DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

95
DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT SUMBER DAYA AIR (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU/II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005 dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013) Oleh : MARICHA NASUTION NIM. 11150480000100 P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1441 H / 2019 M

Transcript of DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

Page 1: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT

SUMBER DAYA AIR

(Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU/II/2004

dan Nomor 008/PUU-III/2005 dengan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013)

Oleh :

MARICHA NASUTION

NIM. 11150480000100

P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1441 H / 2019 M

Page 2: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

i

DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT

SUMBER DAYA AIR

(Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU/II/2004

dan Nomor 008/PUU-III/2005 dengan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013)

Oleh :

MARICHA NASUTION

NIM. 11150480000100

P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1441 H / 2019 M

Page 3: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …
Page 4: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …
Page 5: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …
Page 6: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

v

ABSTRAK

MARICHA NASUTION, NIM 11150480000100, “DISPARITAS

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT SUMBER DAYA AIR

(Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU/II/2004

dan Nomor 008/PUU-III/2005 dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

85/PUU-XI/2013)”. Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Program Studi

Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, 1440 H/2019 M.

Permasalahan utama dalam skripsi ini adalah terdapat pada disparitas

putusan Mahkamah Konstitusi terkait sumber daya air. Pemanfaatan sumber daya

air sejatinya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Air yang merupakan

elemen penting dalam kehidupan sehari-hari, penunjang kebutuhan makhluk

hidup yang ada di muka bumi. Tidak ada air, maka tidak ada kehiduoan. Sakral,

ya begitulah sifat nyata air.Setiap tahun pertumbuhan masyarakat terus meningkat,

sehingga kebutuhan akan air pun turut meningkat. Maka dari itu, pengaturan akan

sumber daya air sangat dibutuhkan. Pengaturan sumber daya air yang baik salah

satunya dengan mementingkan atau mendahulukan hak-hak rakyat atas air.

Dengan begitu kaya Indonesa dengan sumber daya alam terutama sumber daya

air, masyarakat mengharapkan tidak kekurangan atau sulit dalam mengakses air

untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari, Namun hal ini tidak tercermin dalam

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air dan terbukti

dengan dilakukannya pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang

Sumber Daya Air.

Disinilah peneliti ingin menganalisis lebih dalam terkait adanya

disparitas putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air, sebagaimana yang tertuang

dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU/II/2004 dan

Nomor 008/PUU-III/2005 dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

85/PUU-XI/2013.

Metode penelitian ini menggunakan pendekatan bersifat penelitian

hukum normatif. Penelitian hukum normative dilakukan dengan cara meneliti

kepustakaan aturan-aturan yang berkaitan dengan sumber daya air baik dari bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder, ataupun bahan hukum tersier yang ada.

Kata Kunci : Disparitas, sumber daya air, dan Mahkamah Konstitusi

Pembimbing Skripsi : Dr. J. M. Muslimin, M.A.

Andi Syafrani, S.H.I., M.C.C.L.

Daftar Pustaka : Tahun 1993 – Tahun 2019

Page 7: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

vi

KATA PENGANTAR

حِيمِ حْمنِ الرَّ بسِْمِ اللهِ الرَّ

Segala puji dan syukur hanya untuk Allah S.W.T dan atas berkat rahmat,

hidayahnya dan juga anugerah-Nya, peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan

judul “DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT

SUMBER DAYA AIR (Studi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-

060-063/PUU/II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005 dengan Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013)”. Sholawat serta salam tidak lupa

tercurahkan oleh peneliti kepada junjungan besar Nabi Muhammad S.A.W, yang

telah membawa umat manusia dari zaman jahiliah kepada zaman islamiyah.

Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini tidak dapat

diselesaikan oleh peneliti tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak selama

penyusunan skripsi ini.

Peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas para

pihak yang telah memberikan peranan baik secara langsung maupun tidak langsung

atas pencapaian yang telah dicapai oleh peneliti, yaitu antara lain kepada:

1. Dr. Ahmad Tolabi Kharlie, S.H., M.A., M.H . Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta;

2. Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan

Drs. Abu Tamri, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta;

3. Dr. J. M. Muslimin, M.A. dan Andi Syafrani, S.H.I., M.C.C.L selaku Dosen

pembimbing skripsi peneliti, terima kasih atas kesempatan waktu, arahan, dan

kritik serta saran yang diberikan demi penelitian yang saya lakukan;

4. Ayah saya Musonnip Nasution dan Mama saya Dahlia yang telah memberikan

dukungan materi dan imateriil berupa motivasi, doa, bahkan kepercayaan untuk

Page 8: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

vii

bisa duduk dibangku kuliah hingga mendapat gelar sarjana. Terima kasih.

Mungkin ini hanya bagian kecil kebahagian yang dapat peneliti berikan;

5. Ka Mutia Nasution dan Adik Rosalina Nasution, terima kasih sudah menerima

dan mendengarkan keluh kesah dan menjadi saudara terbaik peneliti selama ini;

6. Kepala Pusat dan Staff Perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi

kepustakaan yang menjadi referensi untuk melengkapi hasil penelitian peneiti;

7. Keluarga besar Moot Court Community terkhusus sidang semu konstitusi

Mahkamah Konstitusi tahun 2017 s.d. 2018, dan keluarga besar Ilmu Hukum

2015 terutama kelas Ilmu Hukum C terima kasih sudah mewarnai perjalananku;

8. Semua pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu-persatu, namun peneliti

sangat berterima kasih sekali karena telah memberikan kontribusi kepada

peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang membutuhkan dan menjadi

referensi bagi peneliti selanjutnya, untuk mengembangakan penelitian khususnya

dalam bidang hukum Mahkamah Konstitusi. Akhir kata peneliti berharap Tuhan

Yang Maha Esa berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah

membantu.

Jakarta, 2 Oktober 2019

Peneliti,

Maricha Nasution

Page 9: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................ ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ............................................. iii

LEMBAR PENYATAAN ............................................................................... iv

ABSTRAK ........................................................................................................ v

KATA PENGANTAR ..................................................................................... vi

DAFTAR ISI .................................................................................................. viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah.................................................. 1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ..... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................... 7

D. Metode Penelitian ............................................................. 8

E. Sistematika Penelitian ..................................................... 11

F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ............................ 12

BAB II TINJAUAN UMUM SUMBER DAYA AIR DAN DISPARITAS

A. Kerangka Konseptual ..................................................... 18

1. Tinjauan Umum Sumber Daya Air ........................ 18

2. Disparitas Putusan Hakim ....................................... 24

B. Kerangka Teori ................................................................ 25

1. Keadilan Hukum ...................................................... 25

2. Kekuasaan Kehakiman ............................................ 26

3. Utilitarianisme .......................................................... 28

4. Ne bis in Idem ............................................................ 29

Page 10: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

ix

BAB III TINJAUAN UMUM PERBANDINGAN PUTUSAN

MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 058-059-060-

063/PUU-II/2004 DAN NOMOR 008/PUU-III/2005 DENGAN

PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 85/PUU-

XI/2013

A. Tabel Perbandingan ........................................................ 31

B. Berdasarkan Legal Standing atau Kedudukan

Hukum Pemohon ............................................................. 36

C. Perbandingan Berdasarkan Alasan Permohonan

Pemohon ........................................................................... 39

BAB IV DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

MENGENAI SUMBER DAYA AIR

A. Pertimbangan Hakim Konstitusi; Menolak .................. 49

B. Pertimbangan Hakim Konstitusi;

Menerima dan Menghidupkan Kembali Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan ................... 50

C. Analisis Peneliti ................................................................ 59

D. Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi ............. 67

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ...................................................................... 72

B. Rekomendasi .................................................................... 74

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 75

Page 11: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan salah satu negara kemaritiman yang memiliki

wilayah berupa darat dan laut. Berbicara tentang laut, tentunya berbicara

tentang sumber daya air. Sumber daya air, pertama kali diatur dalam Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan. Lalu dengan berjalannya

waktu undang-undang tersebut sudah tidak relevansi lagi dengan saat ini.

Dewan Perwakilan Rakyat RI merancang Undang-Undang Nomor 7 Tahun

2004 Tentang Sumber Daya Air lahir sebagai suatu wujud pengaturan

turunan untuk menjelaskan lebih jelas Pasal 33 Ayat (3) Undang-undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Agar menjadi lebih jelas, maka peneliti melihat sejarah pembuatan

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air. Pada

Tahun 1997 terjadi krisis ekonomi, yang menyebabkan jatuhnya

perekonomian Indonesia dan defisit neraca pembayaran (balance of

payment), yang mana akhirnya mendorong Pemerintah untuk mencari

pinjaman yang bersifat “quick disburse” atau pencairan cepat untuk

membantu neraca pembayaran Indonesia. Maka dari itu, Bank Dunia

menawarkan pinjaman seperti Structural Adjustment Loan (SAL) kepada

Indonesia, tentunya dengan persyaratan dilakukannya perubahan struktural

baik dari segi kelembagaan, peraturan, dan pengelolaan dari sektor tertentu).1

Dari Stuctural Adjustment Loan (SAL) lahirlah Natural Resources

Structural Adjustment Loan (NATSAL) yang mencangkup sektor kehutanan,

pertanian, dan sumber daya air. Kemudian dipecah kembali menjadi

Agricultural Structural Adjustment Loan (AGSAL) dan Forestry Structural

Adjustment Loan (FORSAL). Terdapat pengerucutan kembali untuk sumber

1 Hamid Chalid, Hak-Hak Asasi Manusia Atas Air: Studi Tentang Hukum Air di

Belanda, India dan Indonesia, Disertai Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas

Indonesia, Jakarta: Program Pasca Sarjana Strata 3, 2009, h., 322.

Page 12: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

2

daya air itu tersendiri yaitu dengan program Water Resources Sector

Adjustment Loan (WATSAL).2

Percepatan penyelesaian rancangan undang-undang sumber daya

air pun tidak terlepas dengan Program Water Resources Sector Adjustment

Loan (WATSAL) dari Bank Dunia. Program Watsal merupakan bagian dari

paket utang dari Bank Dunia yang bernilai US $300 juta. Perjanjian utang

ditandatangani tertanggal 28 Mei 1999.3 Namun pencairan utang yang sudah

memasuki tahap ketiga ini tertunda dari jadwal semula yaitu Maret 2000.

Pasalnya, Bank Dunia mensyaratkan agar Indonesia segera menuntaskan

reformasi di bidang pengelolaan sumber daya air. Desakan yang begitu kuat

dari Bank Dunia mengakibatkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004

Tentang Sumber Daya Air disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat RI dan

Presiden RI. Memang terjadi polemik sebelum disahkannya undang-undang

tersebut, baik antar anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI itu sendiri maupun

para pengamat hukum dan masyarakat. Selama sidang program legislasi

prioritas.

Walaupun dalam konsideran Undang-Undang Nomor 7 Tahun

2004 Tentang Sumber Daya Air mencantumkan Pasal 33 Ayat (3) Undang-

undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai landasan

hukum. Namun secara tersirat keberpihakan undang-undang tersebut lebih

condong ke arah para pengusaha air. Terdapat beberapa pasal yang secara

terang-terangan mengizinkan para perusahaan air berkontribusi penuh dalam

pengelolaan sumber daya air.

Air dapat dijadikan komersialisasikan karena selain merupakan

peluang besar dalam dunia usaha, pun untuk mendapatkan izinnya sangat

mudah dilakukan oleh pihak swasta, mengingat sumber daya air itu sendiri

2 BAPPENAS, CAS Progress Report, (BAPPENAS RI, 1997), dikutip oleh Chalid

Hamid, Hak-hak Asasi Manusia Atas Air: Studi Tentang Hukum Air di Belanda, India, dan

Indonesia, Disertai Doktor Ilmu Hukum FHUI,.., h., 21.

3 Lihat pada Alasan Permohonan Perkara Nomor 058/PUU-II/2004 poin ke 12 h.,

41, https://mkri.id

Page 13: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

3

salah satu sumber daya alam yang tentunya memiliki peluang besar dalam

dunia bisnis. Cukup hanya dengan mengantongi izin dari Pemerintah atau

Pemerintah Daerah, pengusahaan dalam bidang air akan mendapatkan benefit

yang sangat besar dan akan tetap hidup subur. Karena sejatinya manusia

bahkan seluruh makhluk hidup yang ada di muka bumi ini akan selalu

bergantung pada sumber daya air.

Dalam waktu kurang dari tiga bulan sejak Undang-Undang Nomor

7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air disahkan dan diundangkan,4 banyak

pihak yang melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air bukanlah satu-

satunya undang-undang mengenai sumber daya alam yang diuji ke

Mahkamah Konstitusi. Diketahui terdapat beberapa undang-undang yang

mengatur sumber daya alam juga diujikan lebih dari satu kali, yaitu antara

lain: Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas telah

diujikan sebanyak 3 kali,5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 Tentang

Ketenagalistrikan sebanyak 1 kali,6 dan saat disahkan undang-undang baru

yakni Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan

diujikan kembali sebanyak 5 kali7, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999

Tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

Nomor 19 Tahun 2004 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

4 Lihat pada lembar pengesahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang

Sumber Daya Air tertulis tanggal diundangkan 18 Maret 2004, dan pengujian pertama kali

dilakukan pada undang-undang a quo Perkara Nomor 058/PUU-II/2004 tertanggal 9 Juni

2004.

5 Pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003 amar putusan

menolak permohonan formil; mengabulkan sebagian, pada Putusan Mahkmaah Konstitusi

Nomor 20/PUU-V/2007 amar putusan tidak dapat diterima, dan pada Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 amar putusan dikabulkan.

6 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-022-/PUU-I/2003 amar putusan

dikabulkan.

7 Putusan Nomor 149/PUU-VIII/2009 amar putusan ditolak,putusan Mahkamah

Konsitusi Nomor 9/PUU-XI/2013 amar putusan ditolak seluruhnya, putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 106/PUU-XI/2013 amar putusan tidak dapat diterima, putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 17/PUU-XIV/2016, dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 111/PUU-

XI/2015 amar putusan mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian.

Page 14: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

4

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menjadi undang-undang

diujikan sebanyak 10 Tahun,8 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007

Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil diujikan

sebanyak 1 kali,9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang

Pertambangan Mineral dan Batubara diujikan sebanyak 7 kali.10

Dari keenam

undang-undang tersebut memiliki putusan yang berbeda-beda, dan pada

pengujian yang terakhir akhirnya Mahkamah Konstitusi mengabulkan

permohonan para pemohon.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air

tidak mengedepankan amanat konstitusi Pasal 33 Ayat (3) Undang-undang

Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Disparitas putusan majelis hakim

Mahkamah Konstitusi juga tercerminkan dalam Putusan Nomor 058-059-

060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005 dengan Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013. Yang mana dalam putusan

pertama yakni nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan nomor 008/PUU-

III/2005 amar putusan Mahkamah Konstusi adalah menolak, sedangkan pada

8 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-III/2005 amar putusan ditolak,

putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-III/2005 amar putusan tidak diterima,

putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 021/PUU-III/2005 amar putusan ditolak, putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-VII/2010 amar putusan penarikan kembali, putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 72/PUU-VIII/2010 amar putusan ditolak, putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011 amar putusan dikabulkan, putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 105/PUU-X/2012 amar putusan ditarik kembali, putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 35/PUU-X/2012 amar putusan dikabulkan sebagian, putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 70/PUU-XII/2014 amar putusan tidak dapat diterima, dan putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 25/PUU-XV/2017 amar putusan mengabulkan penarikan kembali

permohonan pemohon.

9 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 amar putusan

dikabulkan sebagian.

10 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 121/PUU-VII/2009 amar putusan ditolak,

putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 72/PUU-VIII/2010 amar putusan ditolak, putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-VIII/2010 amar putusan dikabulkan sebagian, putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-VIII/2010 amar putusan dikabulkan sebagian, putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-VIII/2010 amar putusan dikabulkan seluruhnya.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108/PUU-XII/2014 amar putusan ketetapan

pencabutan permohonan, dan putusan Mahkmaah Konstitusi Nomor 10/PUU-XII/2014 amar

putusan ditolak seluruhnya.

Page 15: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

5

putusan kedua yakni nomor 85/PUU-XI/2013 amar putusan Mahkamah

Konstitusi menerima permohonan pemohon.

Dewasa ini Indonesia tidak memiliki pengaturan tentang sumber

daya air setelah dibatalkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004

Tentang Sumber Daya Air oleh Mahkamah Konstitusi pada pengujian kedua.

Memang saat membatalkan undang-undang sumber daya air, Mahkamah

Konstitusi mengambil langkah untuk menghidupkan kembali Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan sebagai salah satu langkah

agar tidak terjadi kekosongan hukum selama Dewan Perwakilan Rakyat dan

Pemerintah membuat undang-undang sumber daya air terbaru yang

mengedepankan kesejahteraan rakyat.

Berbicara terkait Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 Tentang

Pengairan yang dihidupkan kembali oleh Mahkamah Konstitusi tentunya

mengundang pro dan kontra dari pengamat hukum maupun masyarakat. Salah

satunya adalah ketidaksesuaian undang-undang pengairan dihidupkan

kembali pada era sekarang, pun terdapat keterbatasan di dalamnya.

Berlandaskan hal tersebut, peneliti tertarik untuk mengetahui lebih

dalam mengenai perbedaaan amar putusan hakim terkait sumber daya air di

antaranya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-

II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005 dengan Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 85/PUU-XI/2013.

Pembahasan mengenai topik tersebut akan diuraikan dalam

penelitian skripsi yang berjudul “DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH

KONSTITUSI TERKAIT SUMBER DAYA AIR (STUDI KPUTUSAN

MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 058-059-060-063/PUU-II/2004

DAN NOMOR 008/PUU-III/2005 DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH

KONSTITUSI NOMOR 85/PUU-XI/2013)”.

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah adalah beberapa permasalahan yang

berkaitan dengan penelitian. Penemu menemukan ragam masalah yang

Page 16: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

6

muncul dalam latar belakang yang telah disebutkan sebelumnya, di

antaranya:

a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya

mengandung unsur komersialisasi air yang dilakukan oleh pihak

swasta.

b. Awal pembentukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang

Sumber Daya Air sudah mengalami kejanggalan.

c. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air

tidak mengedepankan amanat konstitusi Pasal 33 Ayat (3) Undang-

undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

d. Tiga bulan setelah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang

Sumber Daya Air disahkan dan diundangkan, banyak pihak yang

melakukan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi.

e. Pada putusan pertama yakni nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004

dan nomor 008/PUU-III/2005 Mahkamah Konstusi berpendapat

bahwa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber

Daya Air tidak bertentangan dengan konstitusi Pasal 33 Ayat (3)

Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

f. Pada putusan kedua yakni nomor 85/PUU-XI/2013 Mahkamah

Konstitusi dengan amar putusan bahwa Undang-Undang Nomor 7

Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air bertentangan dengan Pasal

33 Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

g. Disparitas putusan majelis hakim Mahkamah Konstitusi Nomor

058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005

dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013.

2. Pembatasan Masalah

Untuk mempermudah pembahasan dalam penelitian skripsi

ini, peneliti membatasi masalah yang akan dibahas, sehingga

pembahasannya lebih jelas dan terarah sesuai dengan yang diharapkan

peneliti. Disini peneliti hanya akan membahas tentang Disparitas

Page 17: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

7

Putusan Mahkamah Kontsitusi terkait Sumber Daya Air (Studi Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan

Nomor 008/PUU-III/2005 dengan Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 85/PUU-XI/2013).

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah, maka

peneliti merumuskan masalah sebagai berikut : Disparitas Putusan

Mahkamah Kontsitusi terkait Sumber Daya Air (Analisis Kasus Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan

Nomor 008/PUU-III/2005 dengan Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 85/PUU-XI/2013), untuk mempertegas arah dari masalah utama

yang telah diurakan di atas maka peneliti menjabarkan penulisan ini

melalui rincian perumusan masalah dalam bentuk pertanyaan :

a. Bagaimana pertimbangan majelis hakim Mahkamah Konstitusi

dalam memutuskan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-

059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005 terhadap

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013?

b. Bagaimana Implimentasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

85/PUU-XI/2013 dalam mewujudkan kesejahteraan penggunaan

dan pemanfaatan sumber daya air di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk meneliti

permasalahan tentang Disparitas putusan Mahkamah Konstitusi terkait

Sumber Daya Air Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor

008/PUU-III/2005 dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

85/PUU-XI/2013. Pun untuk menjawab pertanyaan penelitian sebagai

berikut :

Page 18: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

8

a. Untuk mengetahui pertimbangan serta alasan dari majelis hakim

Mahkamah Konstitusi dalam mengeluarkan amar Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan

Nomor 008/PUU-III/2005 dengan Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 85/PUU-XI/2013.

b. Untuk mengetahui implementasi dari penerapan Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 terkait pengelolaan

dan pemanfaatan sumber daya air.

2. Manfaat Penelitian

Selain tujuan umum tersebut, ada beberapa hal yang

merupakan manfaat dari studi ini di antaranya :

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya dan

menambah aspek-aspek yuridis, filosofis, dan sosiologis dalam

perbedaan putusan Mahkamah Konstitusi, wawasan ilmu

pengetahuan dalam bidang hukum terutama terkait sumber daya air

sehingga dapat dapat menjadi sumbangan pemikiran dalam

pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan hukum

lingkungan, hukum tata negara terkhususnya.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini sangat diharapkan berguna untuk

menjadi acuan dalam proses pembuatan peraturan perundang-

undangan oleh Dewan Perwakilan Rakyat RI, pedoman para

pengkaji kepentingan dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat

D. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif.

Penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara meneliti kepustakaan

aturan-aturan yang berkaitan dengan sumber daya air baik dari bahan

Page 19: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

9

hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang

ada,11

kemudian disusun secara sistematik dan ditarik kesimpulan

mengenai hubungannya dengan masalah yang akan diteliti.

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan

undang-undang (statuethory approach). Pertama, pendekatan undang-

undang yakni peneliti melakukan penelitian berdasarkan perundang-

undangan yang berkaitan dengan penelitian ini, dan yang kedua,

pendekatan analitis, adalah untuk mengetahui makna yang dikandung

oleh istilah-istilah yang digunakan dalam aturan perundang-undangan

secara konsepsional, sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktik

dan putusan hukum.

3. Sumber Bahan Hukum

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang mencakup

ketentuan peraturan peundang-undangan terkait, catatan-catatan

resmi atau bahkan risalah dalam pembuatan perundang-undangan,

dan putusan-putusan hakim.12

Dalam penelitian ini yang termasuk dalam bahan hukum

primer antara lain:

1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945

2) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya

Air

3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan

11

Fahmi Muhammad Ahmadi, Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum (Ciputat:

Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010), h., 31.

12 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2010), h., 14.

Page 20: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

10

4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-pokok

Agraria

5) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-

II/2004 Tentang Sumber Daya Air

6) Putusan Mahkamah Konstitus Nomor 008/PUU-III/2005

Tentang Sumber Daya Air

7) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 ang

membatalkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang

Sumber Daya Air

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder yaitu semua publikasi tentang

hukum namun Bahan hukum sekunder merupakan semua publikasi

tentang hukum, namun merupakan dokumen yang tidak resmi.

Publikasi tersebut seperti buku-buku, kamus-kamus, skripsi, tesis,

jurnal hukum13

yang berkaitan dengan sumber daya air. Yang mana

bahan hukum sekunder tersebut bertujuan untuk memberikan

penjelasan lebih lanjut atau mendalam terkait bahan hukum primer.

c. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Penelitian ini menggunakan studi kepustakaan sebagai

teknik pengumpulan data. Studi kepustakaan dilakukan dengan

mencari referensi untuk mendukung materi penelitian ini melalui

literatur seperti buku, bahan ajar perkuliahan, artikel, jurnal,

skripsi, dan undang-undang terkait di berbagai perpustakaan umum

maupun universitas.

d. Teknik Penulisan

Dalam metode penelitian peneliti mengacu kepada

“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2017” berdasarkan kaidah-

kaidah dan teknik penelitian yang sudah ditentukan oleh fakultas.

13

Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h., 54.

Page 21: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

11

E. Sistematika Penelitian

Masing-masing bab akan terdiri atas beberapa sub-bab sesuai

pembahasan dan materi yang diteliti. Adapun perinciannya sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan. Pendahuluan yang terdiri dari latar

belakang masalah, identifikasi, pembatasan, dan perumusan masalah, tujuan

dan manfaat penelitian, masalah penelitian metode penelitian, sistematika

penelitian, dan tinjauan (review) kajian terdahulu. Membahas perihal

Disparitas Putusan Mahkamah Konstitusi terkait Sumber Daya Air Nomor

058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005 dengan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013.

BAB II : Tinjauan Teoritis mengenai Sumber Daya Air dan

Disparitas. Secara keseluruhan pada bab II menyajikan kajian pustaka yang

diawali dengan pemaparan kerangka konsep dan dilanjutkan dengan kajian

teori yang tentunya untuk menunjang analisis peneliti berkaitan dengan

konsistensi majelis hakim Mahkamah Konstitusi dalam membuat putusan.

BAB III : Tinjauan Umum Perbandingan Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-

III/2005 dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013.

Berisi data-data perbandingan dari kedua putusan tersebut, sehingga dapat

ditentukannya Disparitas putusan hakim Mahkamah Konstitusi.

BAB IV : Disparitas Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai

Sumber Daya Air. Pada bab ini merupakan inti dari pembahasan masalah

yang dibahas dan merupakan jawaban yang terdapat di dalam pembatasan

dan perumusan masalah, maka di dalam bab ini pun menjelaskan faktor

penyebab yang mempengaruhi adanya Disparitas Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-

III/2005 dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 dan

membahas implemtasi dari Disparitas tersebut.

BAB V : Penutup. Bab terakhir dari sistematika penulisan skripsi

ini berisikan kesimpulan dan rekomendasi. Peneliti akan menarik beberapa

Page 22: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

12

kesimpulan dari penelitian ini untuk menjawab rumusan masalah dan

memberikan tanggapan serta saran yang dianggap perlu.

F. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Sebelum peneliti mengkaji lebih dalam mengenai Disparitas Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor

008/PUU-III/2005 dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-

XI/2013, terdapat beberapa kajian terdahulu yang sudah membahas mengenai

Sumber Daya Air sebagai berikut:

1. Skripsi

a. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 85/PUU-XI/2013 Tentang Sumber Daya Air oleh Wiwi

Linda Hartati, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga

Yogyakarta.14

Skripsi ini membahas dari segi hukum Islam dalam

kaitan putusan Mahkamah Konstitusi tentang Sumber Daya Air.

Persamaan dari skripsi ini dengan skripsi peneliti adalah membahas

putusan Mahkamah Konstitusi tentang sumber daya air.

Perbedaannya terletak pada, skripsi ini membahas hanya satu

putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2013 dengan tinjauan hukum

Islam, sedangkan skripsi peneliti membahas kedua putusan

Mahkamah Konstitusi tentang sumber daya air putusan pada tahun

2005 dan 2013, pun melihat dari segi Disparitas kedua putusan

Mahkamah Konstitusi tersebut.

b. Analisis Hukum Islam Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 85/PUU-XI/2013 Tentang Pengujian Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air oleh Iin Fitriyah,

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Walisongo, Semarang, 2018.15

14

Lihat pada laman http://digilib.uin-suka.ac.id/17320/ diakses tertanggal 21

Januari 2019 pukul 22.12 WIB.

15 Lihat pada laman http://eprints.walisongo.ac.id/8159/1/132311071.pdf diakses

tertanggal 22 Januari 2019 pukul 13.45 WIB.

Page 23: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

13

Skripsi ini membahas mengenai pengusaan Negara atas sumber

daya air menurut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-

XI/2013 terhadap Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004

Tentang Sumber Daya Air dan dari segi Hukum Islam memandang.

Persamaaan antara skripsi ini dengan peneliti yakni membahas

pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber

Daya Air. Untuk perbedaannya dapat dilihat dari, yaitu skripsi ini

membahas dari satu putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

85/PUU-XII/2013 dengan menganalisi secara hukum Islam,

sedangkan peneliti akan membahas dari segi Disparitas kedua

putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-

II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005 dengan Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013.

c. Andi Sutomo Iqwal Iskandar, “Implikasi Hukum Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 Mengenai

Pembatalan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang

Sumber Daya Air”, skripsi, Makassar: Universitas Hasanuddin,

2016.16

Skripsi ini membahas apa implikasi hukum suatu putusan

Mahkamah Konstitusi yang membatalkan undang-undang sumber

daya air. Persamaan skripsi ini dengan skripsi peneliti yakni sama-

sama membahas tentang sumber daya air. Perbedaannya ialah

terletak difokus penelitiannya, skripsi ini membahas dari segi

Implikasi Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-

XI/2013 Mengenai Pembatalan Undang-Undang Nomor 7 Tahun

2004 Tentang Sumber Daya Air, sedangkan skripsi peneliti

membahas Disparitas kedua putusan Mahkamah Konstitusi tentang

sumber daya air yakni Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan

16

Lihat pada laman

http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/19377/SKRISI%20LENGKAP-

HTN-ANDI%20SUTOMU%20IQWAL%20ISKANDAR.pdf?sequence=1 diakses tertanggal

23 Januari 2019 pukul 09.55 WIB.

Page 24: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

14

Nomor 008/PUU-III/2005 dengan Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 85/PUU-XI/2013.

d. Slamet Senimin, “Analisis Hukum Islam Terhadap Pasal 9 UU

SDA Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Hak Guna Usaha Air

Relevansinya dengan Konsep Al-Ammah Dalam Islam”, Skripsi,

Semarang: Perpustakaan IAIN Walisongo, 200517

membahas

terdapat penafsiran akan pasal 9 UU SDA yakni pertama sebagai

water right yang memposisikan air sebagai property dan kedua

ditafsirkan sebagai the right to water yang mengedepankan adanya

universalitas hak atas air dan membahas dari perspektif hukum

Islam. Persamaan skripsi ini dengan skripsi peneliti yaitu

membahas sumber daya air. Perbedaannya, skripsi ini membahas

lebih kepada menganalisis dari segi hukum Islam terhadap Pasal 9

UU SDA Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Hak Guna Usaha Air

Relevansinya dengan Konsep Al-Ammah, sedangkan skripsi

peneliti membahas perihal Disparitas Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor

008/PUU-III/2005 dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

85/PUU-XI/2013.

e. Moh. Lukmanul Hakim, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap

Komersialisasi Sumber Daya Air dalam Undang-Undang Nomor 7

Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air”, Skripsi. Semarang:

Perpustakaan: IAIN Walisongo, 2013 membahas mengenai praktek

dan perkembangan komersialisasi sumber daya air di Indonesia dan

tinjauan hukum Islam dan hukum positif (UU Nomor 7 Tahun

2004 Tentang Sumber Daya Air) menyangkut hal komersialisasi

sumber daya air. Persamaan skripsi ini dengan skripsi peneliti

adalah membahas mengenai sumber daya air. Perbedaanya, pada

17

Lihat pada laman http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-

gdl-s1-2005-slametseni-590-COVER_dl-7.pdf diakses tertanggal 22 Januari 2019 pukul

14.00 WIB.

Page 25: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

15

skripsi ini membahas dari pandangan hukum Islam terhadap

komersialisasi sumber daya air dalam Undang-Undang Nomor 7

Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air, sedangkan peneliti akan

membahas perihal Disparitas Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-

III/2005 dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-

XI/2013

f. Konsep Penguasaan Negara Atas Sumber Daya Air Dalam

Perspektif Islam (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

058-059-060-063/PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005 tentang

Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber

Daya Air oleh Afnanul Huda, UIN Syarif Hidayatullah, 2011.18

Skripsi ini membahas tentang bagaimana konsep suatu penguasaan

Negara atas sumber daya air dari perspektif hukum Islam.

Persamaan antara skripsi ini dengan skripsi penelti ialah membahas

sumber daya air. Perbedaannya, skripsi ini membahas lebih kepada

konsep suatu penguasaan Negara atas sumber daya air dari

perspektif hukum Islam, sedangkan peneliti akan membahas

perihal Disparitas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-

060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005 dengan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013.

g. Komersialisasi Sumber Daya Air Menurut Hukum Islam (Studi

Kasus di Desa Padarincang, Serang, Banten) oleh Syaeful Anwar,

UIN Syarif Hidayatullah, 201619

membahas dari segi

komersialisasi sumber daya air yang dilakukan oleh pengusaha

pengelolaan sumber daya air seperti danone, coca-cola dan sosro

18

Lihat pada laman

http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5629/1/AFNANUL%20HUDA

FSH.pdf diakses tertanggal 23 Januari 2019 pukul 09.45 WIB.

19 Lihat pada laman http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/32978

diakses tertanggal 23 Januari 2019 pukul 10.00 WIB.

Page 26: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

16

yang mengakibatkan Desa Padarincang terancam kekeringan air

dikarenakan telah merampas 100 hektar sawah yang subur dan

melakukan pengeboran sedalam 800 meter diluar perjanjian awal.

Persamaan dari skripsi ini dan skripsi peneliti adalah membahas

sumber daya air. Perbedaannya, skripsi ini membahas

komersialisasi sumber daya air menurut hukum Islam dan

menggunakan jenis penelitian empiris dengan lokasi di Desa

Padarincang, Serang, Banten, sedangkan peneliti akan membahas

perihal Disparitas Putusan Mahkamah Konstitusi terkait Sumber

Daya Air Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor

008/PUU-III/2005 dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

85/PUU-XI/2013.

2. Buku

a. Buku mengenai “Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu”, oleh

Robert J. Kodoatie, Ph.D dan Roestam Sjarief, Ph.D, yang

diterbitkan oleh C.V Andi Offset Tahun 2008.

Buku ini membahas berkaitan dengan air dalam bentuk

“Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu”. Di mulai dari siklus

hidrologi baik permuikaan maupun air tanah, lalu dilanjutkan

dengan permasalahan pengelolaan sumber daya air, disandingkan

pula secara ringkas dengan beberapa substansi konstitusi tentang

sumber daya air pun dalam konteks otonomi daerah. Hal ini tentu

relevan dengan penelitian ini.

b. “Menjaga Kedaulatan Air” oleh Robert J. Kodoatie dan Widiarto,

yang diterbitkan oleh C.V Andi Offset Tahun 2016. Buku ini

membahas tentang menjaga kedaulatan air merupakan kewajiban

setiap elemen masyarakat. Mengingat pertumbuhan penduduk

memberikan konsekuensi peningkatan ruang terbangun dan

kebutuhan air namun sebaliknya mengurangi wadah air dan

Page 27: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

17

ketersediaan air, maka dari itu pemenuhan akan air haruslah

tercukupi.

3. Jurnal

Jurnal dengan judul: Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 85/PUU-XI/2013 terhadap Sistem Penyediaan Air Minum oleh

Santi Puspitasari dan Utari Nindyaningrum, Fakultas Hukum,

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Jurnal ini membahas mengenai implikasi Putusan MK Nomor

85/PUU-XI/2013 cenderung menyebabkan kemunduran khususnya

tanggung jawab Negara dalam penyediaan air minum rumah tangga

yang bersih dan sehat. Konsekuensi dari Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 85/PUUXI/2013 adalah batalnya Undang-Undang Nomor 7

Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air, sehingga Undang-Undang

Nomor 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan berlaku kembali. Dengan

adanya konsekuensi tersebut sebaiknya segera dibentuk undang-undang

tentang sumber daya air baru beserta peraturan pelaksananya yang lebih

komprehensif serta mampu mengakomodir kepentingan rakyat.20

20

Lihat pada laman https://jurnal.ugm.ac.id/jph/article/view/19114 diakses

tertanggal 20 Juli 2019 pukul 21.23 WIB.

Page 28: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

18

BAB II

TINJAUAN UMUM SUMBER DAYA AIR DAN DISPARITAS

A. Kerangka Konseptual

1. Tinjauan Umum Sumber Daya Air

a. Pengertian Sumber Daya Air

Sebelum membahas pengertian dari air itu tersendiri,

peneliti akan membahas terlebih dahulu mengenai pengertian

sumber daya. Sumber daya merupakan suatu yang memiliki nilai

ekonomi atau dapat memenuhi kebutuhan manusia, atau input-

input bersifat langka yang dapat menghasilkan utilitas (kegunaan

atau kemanfaatan) baik melalui suatu proses produksi atau tidak,

bentuk barang dan jasa. Secara etimologi sumber daya adalah

kemampuan untuk memenuhi atau menangani sesuatu, sumber

persediaan, penunjang dan pembantu, sarana yang dihasilkan oleh

kemampuan atau pemikiran seseorang.1 Dari pengertian sumber

daya di atas dapat disimpulan:

1. Terkait dengan kegunaan (userfulness);

2. Diperlukan sebagai sarana untuk mencapai tujuan;

3. Menghasilkan utilitas dengan atau melalui aktivitas

produksi; dan

4. Utilitas dikonsumsi baik langsung maupun tidak

langsung seperti jasa lingkungan, pemandangan,

dsb.2

Sumber daya alam terdiri dari kesatuan tanah, air, dan

ruang udara, termasuk kekayaan alam yang ada di atas dan di

1 Maria S.W. Sumardjono, Nurhasan Ismail, dkk, Pengaturan Sumber Daya Alam

di Indonesia antara yang Tersurat dan Tersirat (Kajian Kritis Undang-undang Terkait

Penataan Ruang dan Sumber Daya Alam (Yogyakarta: FH UGM, 2014), h., 8.

2 Maria S.W. Sumardjono, Nurhasan Ismail, dkk, Pengaturan Sumber Daya Alam

di Indonesia antara yang Tersurat dan Tersirat (Kajian Kritis Undang-undang Terkait

Penataan Ruang dan Sumber Daya Alam (Yogyakarta: FH UGM, 2014), h., 9.

Page 29: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

19

dalamnya. Berfokus pada sumber daya air itu sendiri memiliki

pengertian yaitu air atau H2O adalah salah satu sumber daya alam

yang amat penting karena tidak terlepas dari tujuan hidup yakni

untuk keberlangsungan mahluk hidup terutama manusia. Tanpa air

sangat sulit untuk bertahan hidup. Dalam tubuh manusia, air

merupakan penyusun utama tubuh yaitu sekitar yaitu 55-60% dari

berat badan orang dewasa atau 70% dari bagian tubuh tanpa

lemak.3

Air juga memiliki arti yaitu cairan jernih tidak berwarna,

tidak berasa, dan tidak berbau yang diperlukan dalam kehidupan

manusia, hewan, dan tumbuhan yang secara kimiawi mengandung

hydrogen dan oksigen.4

Jika melihat pengaturan tentang sumber daya air juga

dapat kita temui dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria atau biasa disebut

undang-undang agraria. Undang-undang agraria tentunya berkaitan

erat dengan sumber daya air, selain sebagai landasan hukum tanah

nasional juga mengatur di dalamnya akan air.5 Memang tidak ada

definisi yang tegas akan pengertian air, namun dapat disimpulkan

dengan merujuk pada Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yaitu

bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang

terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh

Negara. Pasal 1 Ayat (5) undang-undang agraria memberikan

pengertian akan air,yaitu :

3 Lihat pada laman https://foodtech.binus.ac.id/2015/03/19/air-bagi-kehidupan/

diakses tertanggal 1 Juli 2019 pukul 20.12 WIB.

4 Lihat pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (Badan Pengembangan dan

Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2016).

5 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-

undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya (Djambatan: Jakarta, 2007), h., 6.

Page 30: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

20

(1) Perairan pedalaman termasuk di dalamnya disini seluruh

sungai-sungai dan danau-danau yang terdapat di seluruh

wilayah tanah air;

(2) Perairan lautan;

(3) Bumi yang terdapat di bawah perairan, yakni seluruh

bagian dasar dari perairan kita maupun seluruh kekayaan

yang terdapat antara air dan bumi, juga merupakan

daerah territorial Indonesia sehingga tentunya kita

berhak untuk mengambil keuntungan kepadanya, dan

berhak melarang orang lain untuk mendapatkan

keuntungan daripadanya.6

Air merupakan salah satu bagian dari sumber daya alam

yang dilindungi oleh Negara, tepatnya dalam Pasal 33 Ayat (3)

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

berbunyi:

“Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di

dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk

sebesar-besar kemakmuran rakyat”

Lebih lanjut pengertian air juga diatur dalam Pasal 1 butir

3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan,

bahwasanya air adalah semua air yang terdapat di dalam dan atau

berasal dari sumber-sumber air, baik yang terdapat di atas maupun

di bawah permukaan tanah, tidak termasuk dalam pengertian ini air

yang terdapat di luar.

b. Hukum Sumber Daya Air

Hukum dalam bidang sumber daya air di Indonesia tidak

terlepas dari dua issue yakni hak atas air dan hak air.7 Hak air

6Lihat pada laman

https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/1572/05.2%20bab%202.pdf?sequence=9

&isAllowed=y diakses tertanggal 27 Juli 2019 pukul 21.32 WIB, h,. 23-24.

7 Ibnu Sina Chandranegara, Purifikasi Konstitusional Sumber Daya Air Indonesia,

dalam Jurnal Rechtsvinding Media Pembinaan Hukum Nasional, Volume 5, Nomor 3,

Desember 2016, h., 361.

Page 31: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

21

(water rights) dan hak atas air (rights to water) merupakan dua

dalil yang penting dalam pembentukan hukum dalam bidang

sumber daya air dibelahan dunia manapun. Hak air atau water right

merupakan suatu alat yang dikeluarkan oleh negara sebagai

institusi yang menguasai air kepada perorangan atau badan usaha

yang secara hukum disebut sebagai ‘lincenses’, ‘permissions’8,

‘authorizations’9, ‘consents’

10, and ‘concenssions’

11. Sedangkan

hak atas air atau right to water adalah bagian yang tidak dapat

terpisahkan dari kehidupan manusia yang bermartabat, oleh karena

itu hak atas air merupakan suatu hak yang mutlak dan telah

memunculkan kewajiban bagi negara untuk mengakuinya.12

Bahwasanya hak air dan hak atas air secara tersirat telah dijamin

dalam Pasal 28B Ayat (1), Pasal 28C Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1),

Pasal 28I Ayat (1) dan Ayat (2) dan lebih dipertegas kembali dalam

Pasal 33 Ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Hak-hak tersebut yang telah dijamin oleh

konstitusi sangatlah penting dan merupakan salah satu ciri pokok

dianutnya prinsip negara hukum.13

Berfokus pada Indonesia untuk

mewujudkan Indonesia sebagai negara hukum sesuai dengan yang

tercantum dalam Undang-undang Dasar Republik Negara

8 Permissions yang artinya izin. Izin dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah

pernyataan mengabulkan (tidak melarang dan sebagainya); persetujuan membolehkan.

9 Authorizations yang artinya otorisasi. Otorisasi dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia adalah pemberian kekuasaan; pemberian kuasa.

10 Consents yang artinya persetujuan. Persetujuan dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia adalah pernyataan setuju; pembenaran.

11 Concenssions yang artinya izin. Izin dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

adalah pernyataan mengabulkan (tidak melarang dan sebagainya); persetujuan membolehkan.

12 Lihat pada Percik Edisi III, 2010, Majelis Umum PBB Sahkan Resolusi Hak

Azasi Atas Air, h., 6.

13 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta:

Konstitusi Press, 2006), h., 112.

Page 32: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

22

Indonesia Tahun 1945 atau disebut UUD NRI Tahun 1945 Pasal 1

Ayat (3), yakni “Negara Indonesia adalah negara hukum”, dimana

negara memiliki suatu kewajiban dalam pembangunan hukum

nasional yang dilakukan secara terencana, terpadu, dan

berkelanjutan dalam sistem hukum nasional yang menjamin

perlindungan hak dan kewajiban segenap rakyat Indonesia,

termasuk di dalamnya adalah perlindungan dan pemenuhan

terhadap hak asasi rakyat atas air. Maka setiap tindakan yang

dilakukan oleh pemerintah harus sesuai dengan isi yang termuat

dalam aturan yang berlaku dan tersedia yakni berdasarkan UUD

NRI Tahun 1945.

Upaya perlindungan dan pemenuhan terhadap hak asasi

rakyat atas air tentunya dilakukan oleh negara, dalam hal ini negara

yang mengatur secara langsung dengan lebih mengoptimalkan

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan/atau Badan Usaha Milik

Daerah (BUMD). Secara etimologis makna dari penguasaan yakni

proses, cara, perbuatan menguasai atau mengusahakan. Namun

kata penguasaan lebih luas cangkupannya, jika dihubungkan

dengan konteks hak menguasai negara mengandung makna yaitu

negara menguasai serta mengusahakan sumber daya alam dengan

segala potensi yang terkandung di dalamnya.14

Penguasaan negara

tersebut berarti negara diberi mandat untuk membuat kebijakan

(beleid), pengurusan (bestuursdaad), tindakan pengaturan

(regelendaad), tindakan pengelolaan (beheersdaad), dan tindakan

pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya

demi kemakmuran rakyat15

dan juga tersimpul adanya kewibawaan

14

Athari Farhani, Ibnu Sina Chandranegara, Penguasaan Negara terhadap

Pemanfaatan Sumber Daya Alam Ruang Angkasa Menurut Undang-undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, dalam Jurnal Konstitusi Volume 16 Nomor 2, Juni 2019, h.,

242. 15

Lilis Mulyani, Pengelolaan Sumber Daya Alam di Mata Mahkamah Konstitusi:

Analitis Kritis atas Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Sumber Daya Alam, dalam Jurnal

Masyarakat & Budaya, Vol. 10 No. 2 Tahun 2008, h., 71.

Page 33: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

23

yaitu negara sebagai organisasi kekuasaan tertinggi yang mengatur

dan bertanggung jawab atas kehidupan serta kesejahteraan

rakyatnya.16

Pun untuk melaksanakan amanah konstitusi yang

terdapat dalam Alinea Keempat Pembukaan (Preambule) Undang-

undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang

berbunyi:

“…… untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia

yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah

darah Indonesia …”

Air dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat maka hak atas air ada di tangan rakyat. Untuk lebih jelasnya

pengertian Hak Atas Air dijelaskan dalam Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 yang mana hak atas air

merupakan salah satu hak asasi manusia, dan oleh karenanya wajib

dihormati, dilindungi, dan dipenuhi oleh negara.17

Karena

merupakan hak asasi manusia maka air menjadi benda publik atau

menjadi milik bersama dan semestinya dapat diakses dengan

mudah dan diperoleh oleh siapapun. Bukan malah sebaliknya yang

mana penguasaan sumber air dikelola secara privat oleh pihak

swasta yang bergerak di bidang pengelolaan air sehingga

menghalangi hak orang lain untuk mendapatkan air dari sumber

tersebut. Hal ini tentunya tidak dapat dibenarkan dengan alasan

apapun dan tindakan ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran

akan hak asasi manusia atas air yang akan mengancam hak untuk

hidup seseorang.18

16

N,H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, edisi kedua

(Jakarta: Erlangga, 2004), h., 232.

17 Lihat pada Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 85/PUU-

XI/2013 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya

Air.

18 Hamid Chalid, Arief Ainul Yaqin, Studi tentang Hukum Air dan Problematika

Pemenuhan Hak Asasi Manusia atas Air di Indonesia, Jurnal Hukum dan Pembangunan

Tahun ke-48 No. 2 April-Juni 2018, h., 415-416.

Page 34: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

24

2. Disparitas Putusan Hakim

Mahkamah Konstitusi atau biasa disebut sebagai the guardian

of the constitution19

hadir ialah karena suatu kebutuhan bangsa dan

negara Indonesia untuk melindungi hak-hak konstitusional masyarakat

dan sebagai pertanda semangat akan penegakan konstitusi sebagai

grundnorm atau highest norm, yang mana memiliki makna yakni segala

peraturan perundang-undangan yang berada tepat dibawahnya, tidak

boleh bertentangan dengan yang sudah diatur dalam konstitusi atau

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau

UUD NRI Tahun 1945. Maka dari itu suatu undang- undang hanya

berlaku dan dapat diberlakukan jika sesuai dengan konstitusi, dan tidak

berlaku jika bertentangan dengan konstitusi, pun melihat pandangan

Hans Kelsen, suatu undang-undang yang telah dinyatakan tidak berlaku

oleh Mahkamah Konstitusi tidak dapat diterapkan oleh lembaga negara

lainnya.20

Disparitas adalah perbedaan.21

Menurut Andrew Ashworth,

disparitas putusan tidak dapat dilepaskan dari diskresi hakim dalam

menjatuhkan putusan di suatu perkara. Disparitas putusan

dikarenakanadanya perbedaan metode penafsiran yang digunakan,

ataupun dimungkinkan karena aturan hukum yang disusun oleh

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat RI membuka adanya ruang

untuk itu.22

19

Jimly Asshiddiqie, Perkembangan & Konsulidasi Lembaga Negara Pasca

Reformasi (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), h., 154.

20 Hamdan Zoelva, Mengawal Konstitusionalisme (Jakarta: Konstitusi Press,

2016), h., 100.

21 Lihat pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (Badan Pengembangan dan

Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2016).

22Lihat pada laman

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt524a2ce258cb5/disparitas-putusan-

dan-pemidanaan-yang-tidak-proporsional/ diakses tertanggal 15 Oktober 2019 pukul 13.42

WIB.

Page 35: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

25

B. Kerangka Teori

1. Keadilan Hukum

Keadilan memiliki arti yakni menempatkan sesuatu pada

tempatnya atau sesuai dengan porsinya. Hal ini dapat ditelisik dari

pandangan Thomas Hobbes, suatu perbuatan dikatakan adil apabila

didasarkan perjanjian yang telah disepakati. Teori ini ditambahkan oleh

Notonegoro, keadilan hukum adalah suatu keadaan dikatakan adil jika

sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Rasa keadilan

masyarakat dapat pula ditemukan dalam penegakan hukum melalui

putusan hakim.23

John Rawls pun menggaribawahi bahwasanya keadilan dapat

tercapai manakala terjadi kepatuhan terhadap konstitusi dan

terintegralisasinya dan kewajiban constitutional yang berlandaskan

nilai-nilai moral.24

Keadilan bukanlah tentang suatu status melainkan

suatu proses, oleh karena itu kita akan lebih memahaminya dengan

lebih baik, apabila kita melihat perwujudan keadilan itu dalam

berjalannya suatu proses tersebut justru kita akan menangkap apa yang

sebetulnya disebut adil.25

Keadilan juga merupakan sendi terakhir pada

tujuan suatu hukum. Agar keadilan dapat tercapai maka hukum yang

diciptakan harus bersendikan juga pada norma-norma moral.

Keadilan juga dapat dilihat dalam Ideologi Indonesia yang

berlandaskan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 yakni sila pertama dan sila kelima Pancasila,

yang berbunyi “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”, dan “Keadilan

Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Konsepsi adil dalam sila kedua

23

Abdul Wahid, Tafsir Misoginisme dan Inkonsistensi Birokrat (Implikasi

Putusan MK Nomor 4/PUU-VIII/2010), Jurnal Konstitusi, Volume 8 Nomor 2 April 2010, h.,

9 – 10.

24 John Ralws, A Theory of Justice, dikutip oleh Pan Mohamad Faiz, Teori

Keadilan John Rawls, dalam Jurnal Konstitusi, Vol. 6, No. 1, April 2009, h., 146.

25 Moh. Kusnadi, Bintan R. Saragih, Ilmu Negara (Jakarta: Gaya Media Pratama,

2008), h., 234.

Page 36: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

26

diarahkan kepada makna keadilan dalam arti individu (keadilan

individu) dan adil dalam arti kemasyarakatan atau keadilan ke dalam

tatanan hidup kemasyarakatan.26

Jika mengaitkan sila kelima Pancasila dengan teori keadilan,

John Rawls, maka keadilan harus berisikan dua proposisi, diantaranya:

pertama, proposisi bahwa setiap manusia memiliki hak yang sama

untuk memenuhi kemerdekaan atau kebebasan dasar antara manusia

dengan manusia lainnya, dan kedua, proposisi bahwa suatu

ketimpangan ekonomi dan sosial harus dihilangkan melalui jaminan

terhadap terlaksananya pengharapan yang logis, dan dijamin

kelangsungan hidupnya.27

Keadilan sosial itu tersendiri tidak terlepas dari tujuan hukum,

menurut Satjipto Rahardjo, hukum mesti “secara progresif

membebaskan” masyarakat dari ketidakadilan sosial itu. Struktur yang

menindas, diskriminasi, dan tidak adil, harus dapat dibongkar oleh

hukum. Untuk melakukan pembongkaran, hukum sendiri harus bebas

dari struktur kaku yang tidak berpihak pada keadilan sosial, harus bebas

juga dari unsur kuasa penguasa atau kelompok yang dipaksakan kepada

masyarakat yang berdampak pada ketidakadilan sosial.28

2. Kekuasaan Kehakiman

Kekuasaan kehakiman adalah suatu kekuasaan yang merdeka

guna menyelenggarakan peradilan tidak lain untuk menegakan hukum

dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 demi terselenggaranya Negara Hukum

26

Ahmad Sudiro, Deni Bram, Hukum dan Keadilan (Aspek Nasional dan

Internasional), (Jakarta: Rajawali Press, 2013), h., 164.

27 Ahmad Sudiro, Deni Bram, Hukum dan Keadilan (Aspek Nasional dan

Internasional), …, h., 165.

28 Hyronimus Rhti, Filsafat Hukum (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya

Yogyakarta, 2011), h., 258.

Page 37: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

27

Republik Indonesia.29

Kekuasaan kehakiman dijalankan oleh sebuah

Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam

lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan militer, lingkungan

peradilan tata usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi,

serta badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan

kehakiman diatur dalam undang-undang.30

Menjalankan kekuasaan kehakiman salah satunya adalah

Hakim. Oemar Seno Adji mengatakan bahwa hakim bebas dalam

memutuskan segala putusannya tanpa adanya interpensi atau campur

tangan pihak lain31

dengan berpegang pada asas “kepatuhan”, “rasa

keadilan”, dan “itikad baik”. Dalam melaksanakan asas kebebasan

guna dapat menjatuhkan putusan yang tetap, hakim pun dapat

melakukan interpretasi, penghalusan hukum, dan konstruksi hukum,

artinya hakim dapat turun langsung ke masyarakat untuk mengenal,

merasakan, dan melihat kondisi hukum dan keadilan yang hidup di

masyarakat.32

Oleh karena itu, hakim mempunyai kewajiban untuk

menegakkan independensi pada dirinya sendiri. Hal ini tentunya juga

berlaku untuk masyarakat ataupun kekuasaan lain di luar kekuasaan

kehakiman wajib menegakkan independensi dengan tidak mencampuri

proses suatu peradilan, termasuk saat hakim mengambil putusan.

Kebebasan kekuasaan kehakiman bukan untuk kepentingan

dan kepuasan hakim semata dalam memutus suatu perkara, akan tetapi

bertujuan untuk melindungi warga Negara dari kesewenang-wenangan

29

Vide Ketentuan Umum Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

Tentang Kekuasaan Kehakiman.

30 Vide pada Pasal 24 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 memberikan pengertian akan Kekuasaan Kehakiman.

31 Dachran Busthami, Kekuasaan Kehakiman dalam Perspektif Negara Hukum di

Indonesia, dalam Karya Ilmiah, Jilid 46 No. 4, Oktober 2017, h., 341.

32 I Dewa Gede Atmadja, Demokrasi, HAM, dan Konstitusi (Malang: Setara Press,

2011), h., 80.

Page 38: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

28

kekuasaan legislative maupun kekuasaan eksekutif atau bahkan mereka

yang berkuasa.33

3. Utilitarianisme

Utilitarianisme atau utilisme merupakan aliran yang

meletakkan kepada kemanfaatan sebagai tujuan utama hukum. Dapat

diartikan bahwa kemanfaatan memiliki makna yakni sebagai

kebahagiaan (happiness)34

untuk semua orang. Jadi kebahagiaan yang

bersifat universal disini diartikan pula orang banyak, atau kepentingan

kemanusiaan pada umumnya dan bangsa.

Salah satu kekuatan utilitarianisme yakni kenyataan bahwa

menggunakan prinsip yang jelas dan rasional. Dengan kata lain,

pemegang kekuasaan mempunyai pegangan yang jelas untuk

membentuk suatu kebijaksanaan dalam mengatur masyarakat.

Kekuataan lainnya adalah terlihat pada hasil perbuatan.35

Misal pada

masa perang, dengan menggunakan dalih demi kepentingan dan

keselamatan banyak orang, kita akan terus mengatakan kebohongan

pada media selama konferensi pers.

Maka terlihat bahwa prinsip ini dapat menjadi sebuah cara

yang berguna pun akan memberikan manfaat bagi mayoritas orang, dan

hanya jika para pembuat keputusan mampu membuat penilaian yang

akurat tentang hasil yang akan diperoleh dan jika hasil tersebut

melampaui kepentingan dari mereka yang membuat pilihan moral.36

33

Hamdan Zoelva, Mengawal Konstitusionalisme, …, h., 139.

34 Muhammad Syukri Albani Nasution, Zul Pahmi Lubis, Hukum dalam

Pendekatan Filsafat (Jakarta: Kencana, 2015), h., 160.

35 Lihat pada http://digilib.uinsby.ac.id/672/5/Bab%202.pdf diunduh pada Kamis,

7 Juli 2019, h., 69.

36 Patricia J. Parsons, Terjemahaan: Etika Public Relations Panduan Praktik

Terbaik (London: Erlangga, 2007), h., 43.

Page 39: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

29

4. Ne bis in idem

Dalam kamus Hukum, Ne bis in idem (non is in idem) adalah

suatu perkara yang sama tidak dapat diadili untuk kedua kalinya.37

Menurut Alfitra, asas Ne bis in idem (non is in idem) berasal dari bahasa

latin yang berarti tidak atau jangan dua kali yang sama.38

Asas ne bis in idem adalah salah satu prinsip hukum pidana

untuk mewujudkan kepastian hukum bagi sesorang yang mendapatkan

putusan hakim berkekuatan tetap atas tindak pidana yang telah

dilakukan. Asas ini diatur dalam perundang-undangan Indonesia

tepatnya dalam Pasal 76 KUHP (Kitab Undang-undang Hukum

Pidana), berbunyi:

(1) Kecuali diatur dalam putusan hakim masih

mungkin diulangi, orang tidak boleh dituntut

dua kali karena perbuatan yang oleh hakim

Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan

putusan yang menjadi tetap. Dalam artian

hakim Indonesia, termasuk juga hakim

pengadilan swapraja dan adat, di tempat-tempat

yang mempunyai pengadilan-pengadilan

tersebut.

(2) Jika putusan yang menjadi tetap itu berasal dari

hakim lain, terhadap orang itu dank arena delik

itu pula, tidak boleh diadakan penundaan dalam

hal:

1. Putusan berupada pembebasan dari tuduhan

atau lepas dari tuntuan hukum;

2. Putusan berupa pemidanaan dan telah

dijalani seluruhnya atau telah diberi ampun

atau wewenang untuk menjalankannya telah

hapus lewat waktu.

Dalam Pasal 76 Kitab Undang-undang Hukum Pidana

(KUHP), seseorang dapat dikatakan bebas dari penuntutan untuk kedua

kalinya berdasarkan asas ne bis in idem apabila memenuhi persyaratan,

antara lain: adanya keputusan pengadilan yang telah mempunyai

37

Kamus Hukum Online Indonesia, https://kamushukum.web.id

38 Alfitra, Hapusnya Hak dan Menuntut Mennjalankan Pidana, (Depok: Raih Asia

Sukses, 2012), h., 132.

Page 40: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

30

kekuatan hukum tetap terhadap tindak pidana yang sama, putusan itu

dijatuhkan terhadap orang yang sama, perbuatan yang dilakukan

tersangka atau terdakwa sama. Asas ne bis in idem pada ranah hukum

perdata diatur dalam Pasal 1917 KUHPerdata, yang berbunyi:

“Kekuatan sesuatu putusan hakim yang telah

memperoleh kekuataan mutlak tidaklah lebih luas

daripada sekadar mengenai soal putusannya. Untuk

dapat memajukan kekuataan itu, perlulah bahwa soal

yang dituntut adalah sama; lagi pula dimajukan oleh

dan terhadap pihak-pihak yang sama di dalam

hubungan yang sama pula”

Asas ne bis in idem juga digunakan dalam Hukum

Acara Mahkamah Konstitusi. Mengingat begitu banyak

permohonan yang sama yang diujikan di Mahkamah Konstitusi.

Maka diatur dalam Pasal 60 Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, berbunyi:

(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan.atau

bagian dalam undang-undang yang telah diuji,

tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dapat dikecualikan jika materi muatan dalam

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 yang dijadikan dasar pengujian

berbeda.

Page 41: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

31

BAB III

TINJAUAN UMUM PERBANDINGAN PUTUSAN MAHKAMAH

KONSTITUSI NOMOR 058-059-060-063/PUU-II/2004 DAN NOMOR

008/PUU-III/2005 DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI

NOMOR 85/PUU-XI/2013

A. Tabel Perbandingan

Sebelum peneliti memasuki pembahasan lebih rinci dalam hal

perbandingan Putusan Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor

008/PUU-III/2005 dengan Putusan Nomor 85/PUU-XI/2013, peneliti akan

membandingkan profil dari kedua putusan tersebut dalam sebuah tabel, yaitu:

Tabel 3.1

Putusan

Mahkamah Konstitusi

Nomor 058-059-060-063/PUU-

II/2004 dan

Nomor 008/PUU-III/2005

Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor

85/PUU-XI/2013

Nomor dan

Tanggal

Pengajuan

Perkara

058/PUU-II/2004

tertanggal 9 Juni 2004

059/PUU-II/2004

tertanggal 1 Juli 2004

060/PUU-II/2004

tertanggal 28 Juli 2004

063/PUU-II/2004

tertanggal 20 Jui 2004

008/PUU-III/2005

tertanggal 24 Februari 2005

85/PUU-XI/2013

tertanggal 23

September 2013

Page 42: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

32

Tabel 3.2

Daftar

Pemohon

Pada permohonan:

1. nomor 058/PUU-II/2004:

Munarman

(Ketua Yayasan Lembaga

Bantuan Hukum Indonesia

atau YLBHI)

2. nomor 059/PUU-II/2004:

a. Longgena Ginting

(Ketua Yayasan

Wahana Lingkungan

Hidup Indonesia

(WALHI), dkk,

sebanyak 16 orang.

b. Henry Saragih

(Sekretaris Jenderal

Federasi Serikat Petani

Indonesia)

3. nomor 060/PUU-II/2004:

a. Zumrotun (Petani),

dkk, sebanyak 868

orang.

b. Pdt. Serdy R. Pratastik

4. nomor 063/PUU-II/2004:

Suta Widhya

5. nomor 008/PUU-III/2005:

Suyanto dan P. Siburian, dkk,

sebanyak 2063 orang.

Badan Hukum Privat:

1. Pimpinan Pusat

Muhammadiyah yang

diwakili oleh Ketua

PP Muhammadiyah,

Prof. Dr. H.M. Din

Syamsuddin, M.A.,

2. Al-Jami’yatul

Washiliyah, diwakili

oleh Drs. HA. Aris

Banadji

3. Solidaritas Juru

Parkir, Pedagang

Kaki Lima,

Pengusaha, dan

Karyawan/SOJUPEK

4. Perkumpulan

Vanaprastha, diwakili

oleh Ketua

Umumnya, Gembong

Tawangalun.

Perorangan:

1. Drs. H. Amidhan

2. Marwan Batubara

3. Adhyaksa Dault

4. Laode Ida

5. M. Hatta Taliwang

6. Rachmawati

Soekarnoputri

7. Drs. Fahmi Idris,

M.H

Page 43: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

33

Tabel 3.3

Pasal

undang-

undang yang

diujikan

Pada permohonan:

nomor 058/PUU-II/2004:

1. Formil:

Prosedur Persetujuan

Undang-Undang Nomor 7

Tahun 2004 Tentang

Sumber Daya Air;

2. Materiil:

Pasal 6 Ayat (3), Pasal 7

Ayat (1) dan Ayat (2), Pasal

8 Ayat (2) huruf c, Pasal 9

Ayat (1), Pasal 29 Ayat (3),

Ayat (4) dan Ayat (5), Pasal

38 Ayat (2), Pasal 40 Ayat

(1), Ayat (4), dan Ayat (7),

Pasal 45 Ayat (3) dan Ayat

(4), Pasal 46 (2), Pasal 91

dan Pasal 29 Undang-

Undang Nomor 7 Tahun

2004 Tentang Sumber Daya

Air;

nomor 059/PUU-II/2004:

1. Formil:

Prosedur Pengesahan

Undang-Undang Nomor 7

Tahun 2004 Tentang

Sumber Daya Air;

2. Materiil :

Pasal 6 Ayat (2), Ayat (3), dan

Ayat (4), Pasal 7, Pasal 8,

*Pasal 6 Ayat (2) dan

Ayat (3);*

*Pasal 7;*

*Pasal 8;*

*Pasal 9 Ayat (1);*

Pasal 10;

Pasal 11 Ayat (3)

Pasal 26;

*Pasal 29 Ayat (2)

dan Ayat (5);*

Pasal 40 Ayat (4)

*Pasal 45;*

*Pasal 46;*

Pasal 48 Ayat (1);

Pasal 49 Ayat (1);

Pasal 80;

*Pasal 91;*

*Pasal 92*

Undang-Undang Nomor

7 Tahun 2004 Tentang

Sumber Daya Air.

Page 44: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

34

Tabel 3.3.2

Pasal 9, Pasal 10, Pasal 26

Ayat (7), Pasal 40 Ayat (4),

Pasal 41 Ayat (2), Ayat (3),

dan Ayat (5), Pasal 45 Ayat

(2) dan Ayat (3), Pasal 46

Ayat (1), Pasal 80 Undang-

Undang Nomor 7 Tahun

2004 Tentang Sumber Daya

Air;

nomor 060-PUU/II/2004:

1. Formil:

Prosedur Pengesahan

Undang-Undang Nomor 7

Tahun 2004 Tentang

Sumber Daya Air

2. Materiil:

Pasal 5, Pasal 6 Ayat (4),

Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9,

Pasal 10, Pasal 26 Ayat (7),

Pasal 40 Ayat (4), Pasal 41

Ayat (2), Ayat (3), dan Ayat

(5), Pasal 45 Ayat (2) dan

Ayat (3), Pasal 46 Ayat (1),

Pasal 80,

nomor 063/PUU-II/2004:

1. Formil:

Prosedur Persetujuan DPR

RI terhadap Rancangan

Undang-Undang Sumber

Daya Air menjadi Undang-

Page 45: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

35

Tabel 3.3.3

Undang Nomor 7 Tahun

2004 Tentang Sumber Daya

Air

2.Materiil:

Pasal 9, Pasal 26 Ayat (7),

Pasal 45, dan Pasal 46 Ayat

(1) Undang-Undang Nomor

7 Tahun 2004 Tentang

Sumber Daya Air

nomor 008/PUU-III/2005:

Materiil:

Pasal 6 Ayat (2) dan Ayat (3),

Pasal 7, Pasal 8 Ayat (1) dan

Ayat (2), Pasal 9 Ayat (1),

Pasal 11 Ayat (3), Pasal 29

Ayat (3), Pasal 38, Pasal 39,

Pasal 40 Ayat (4), dan Pasal

49.

Batu uji

dalam

Undang-

undang

Dasar (UUD)

Negara

Republik

Indonesia

Tahun 1945

Pasal 18B Ayat (2)

Pasal 27;

Pasal 28A;

Pasal 28C Ayat (2);

Pasal 28D Ayat (1);

Pasal 28H Ayat (1) dan

Ayat (2)

Pasal 33 Ayat (2), Ayat (3),

dan Ayat (4)

Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun

1945.

Pasal 18B Ayat (2);

Pasal 28C Ayat (2);

Pasal 28D Ayat (1);

Pasal 28H Ayat (1);

Pasal 28I Ayat (4);

Pasal 33 Ayat (2) dan

Ayat (3) Undang-undang

Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945

Page 46: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

36

Tabel 3.4

Amar

Putusan

Menolak Permohonan

Pemohon

Menerima Permohonan

Pemohon dan

Menghidupkan Kembali

Undang-Undang Nomor

11 Tahun 1974 Tentang

Pengairan

B. Perbandingan Berdasarkan Legal Standing atau Kedudukan Hukum

Pemohon

Perbandingan Legal Standing atau Kedudukan Hukum Pemohon

pada Permohonan Perkara Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor

008/PUU-III/2005 dengan Nomor 85/PUU-XI/2013, antara lain:

A. Pada permohonan Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor

008/PUU-III/2005, para pemohon berasal dari Yayasan Lembaga

Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI, Yayasan Wahana Lingkungan

Hidup Indonesia (WALHI), Federasi Serikat Petani Indonesia, Petani,

masyarakat hukum adat dan seorang Pendeta. Para pemohon pada

pengujian tahun 2004-2005 ini berasal dari beberapa organisasi yang

berbentuk Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang

penyelamatan dan pemulihan lingkungan hidup, memperjuangkan hak-

hak asasi masyarakat kecil, perjuangan petani, sedangkan pada

permohonan nomor 85/PUU-XI/2013 permohon terdiri dari badan

hukum privat dan perorangan Warga Negara Indonesia yang mewakili

lapisan masyarakat Indonesia khususnya masyarakat hukum adat yang

dilanggar hak asasinya. Permohonan ini telah sesuai dengan Pasal 51

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi

dan tidak ne bis in idem karena pemohon pada kedua permohonan ini

berbeda. Berikut pemohon dari badan hukum privat, sebagai berikut:

Page 47: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

37

a. Pimpinan Pusat Muhammadiyah; disebut Pemohon I

Sebagaimana kita ketahui Muhammadiyah merupakan

gerakan Islam dan Dakwah Amar Ma’rut Nahi Munkar, beraqidah

Islam dan bersumber pada Al-Quran dan Sunnah, bercita-cita dan

bekerja untuk terwujudnya masyarakat utama, adil, makmur yang

diridhai oleh Allah S.W.T., untuk melaksanakan fungsi misi

manusia sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi.

Muhammadiyah pada kesempatan ini mengambil langkah untuk

turut memperjuangkan hak-hak rakyat di bidang air, karena air

merupakan rahmat dari Allah S.W.T yang tidak dapat dibatasi

dalam ruang gerak rakyat memperoleh hak atas air, bahkan yang

disebabkan oleh perusahaan swasta.

b. Al Jami’yatul Washiliyah; disebut Pemohon II

c. Solidaritas Juru Parkir, Pedagang Kaki Lima, Pengusaha, dan

Karyawan (SOJUPEK); disebut Pemohon III

d. Perkumpulan Vanaprastha atau perkumpulan pecinta alam; disebut

Pemohon IV,

Dari keempat badan hukum privat di atas, Mahkamah hanya

menerima legal standing dari ketiga bahan hukum privat tersebut yaitu

Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Al Jami’yatul Washiliyah, dan

Perkumpulan Vanaprastha. Sedangkan Solidaritas Juru Parkir,

Pedagang Kaki Lima, Pengusaham dan Karyawan (SOJUPEK). tidak

memiliki kedudukan hukum atau legal standing. Solidaritas Juru Parkir,

Pedagang Kaki Lima, Pengusaham dan Karyawan (SOJUPEK) tidak

membuktikan keberadaannya sebagai badan hukum privat karena tidak

menyerahkan alat bukti. Sehingga Mahkamah berpendapat Pemohon

III tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing untuk

mengajukan permohonan a quo.

B. Nomor 008/PUU-III/2005 memohon pengujian konstitusionalitas secara

formil dan materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang

Sumber Daya Air. Pengujian formil terletak dan mendalilkan prosedur

Page 48: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

38

pengesahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber

Daya Air yang bertentangan dengan Pasal 20 Ayat (1) Undang-undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 33 Ayat (2) huruf

a dan Ayat (5) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1999 Tentang Susunan

dan Kedudukan MPR, DPR,dan DPRD, dan Keputusan DPR RI Nomor

03A/DPR RI/2001-2002 Tentang Peraturan Tata Tertib DPR RI,

sehingga para pemohon menilai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004

Tentang Sumber Daya Air adalah cacat hukum. Lalu pada pengujian

materiil terdapat 19 Pasal yaitu Pasal 6 Ayat (3); Pasal 7 Ayat (1), dan

Ayat (2); Pasal 8 Ayat (2) huruf c; Pasal 9 Ayat (1); Pasal 11 Ayat (3);

Pasal 29 Ayat (3), Ayat (4); dan Ayat (5); Pasal 38 Ayat (2); Pasal 40

Ayat (1), Ayat (4), dan Ayat (7); Pasal 45 Ayat (3),dan Ayat (4); Pasal

46 Ayat (2); Pasal 91; Pasal 92 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3) Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air yang

bertentangan dengan Pasal 18B Ayat (2), Pasal 27 Ayat (1), Ayat (2),

dan Ayat (3); Pasal 28A; Pasal 28C Ayat (2); Pasal 28D Ayat (1); Pasal

28H Ayat (1) dan Ayat (2); Pasal 33 Ayat (2), Ayat (3), dan Ayat (4)

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pada permohonan nomor 85/PUU-XI/2013, secara keseluruhan atau

setidak-tidaknya para permohon menguji Pasal 6 Ayat (1), Ayat (2),

Ayat (3), dan Ayat (4); Pasal 9 Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3); Pasal

10; Pasal 26 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), Ayat (4), Ayat (5), Ayat (6),

dan Ayat (7); Pasal 29 Ayat (2) dan Ayat (5); Pasal 45 Ayat (1), Ayat

(2), Ayat (3), dan Ayat (4); Pasal 46 Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), Ayat

(4); Pasal 48 Ayat (1), Pasal 49 Ayat (1); Pasal 80 Ayat (1), Ayat (2),

Ayat (3), Ayat (4), Ayat (5), Ayat (6), dan Ayat (7); Pasal 91; serta

Pasal 92 Ayat (1), Ayat (2), dan Ayat (3) Undang-Undang Nomor 7

Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air terhadap Undang-undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Page 49: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

39

C. Perbandingan Berdasarkan Alasan Permohonan Pemohon

Perbandingan Alasan Permohonan Pemohon pada Perkara Nomor

058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005 dengan Nomor

85/PUU-XI/2013. Di satu sisi alasan terkuat pengujian kembali Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air adalah penafsiran

mengenai undang-undang a quo telah diselewenangkan secara normatif dan

berdampak dalam teknis dan pelaksanaan undang-undang a quo. Di sisi lain,

pertama, terdapat beberapa pasal yang sama yang diujikan kembali pada

pengujian yang kedua, untuk mengetahui lebih lanjut alasan permohonan

pemohon. Maka kesempatan kali ini peneliti akan memaparkan perbedaan

alasan-alasan permohonan para pemohon pada kedua pengujian undang-

undang a quo terhadap pasal-pasal yang sama. Kedua, peneliti juga akan

memaparkan pasal-pasal yang memiliki alasan permohonan sama. Ketiga,

pada pengujian kedua nomor 85/PUU-XI/2013 pasal jantung yang

membuktikan bahwa undang-undang a quo bertentangan dengan Undang-

undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai berikut:

1. Perbedaan alasan-alasan permohonan para pemohon pada kedua

pengujian undang-undang a quo terhadap pasal-pasal yang sama, yaitu:

a. Pada permohonan perkara nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004

dan nomor 008/PUU-III/2005 para pemohon menguji salah satunya

Pasal 6 Ayat (3) undang-undang a quo yang menyatakan hak

ulayat masyarakat hukum adat atas sumber daya air diakui

sepanjang kenyataannya masih ada dan telah dikukuhkan dengan

peraturan daerah setempat. Hal ini tentu bertentangan dengan Pasal

18B Ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia,

“….. sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan

masyarakat dan prinsip NKRI, yang diatur dalam undang-

undang”, dan sampai saat ini undang-undang yang mengatur akan

masyarakat hukum adat, sehingga jelas menyalahi hirarki dan

bertentangan dengan asas aturan peraturan perundang-undangan,

bahwa hukum yang di bawah tidak boleh lebih bertentangan

Page 50: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

40

dengan peraturan yang lebih tinggi. Ketika Pasal 6 Ayat (3) ini

tidak dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi maka pada

permohonan berikutnya yakni nomor 85/PUU-XI/2013

mengajukan kembali uji materiil Pasal 6 bukan hanya pada ayat (3)

tapi seluruh ayat dalam Pasal 6 yakni Ayat (1), Ayat (2), (3), dan

Ayat (4) dan menunjukkan bahwa keberadaan pasal ini benar-benar

merugikan konstitusional masyarakat hukum adat.

b. Pasal 7 Ayat (1) dan Ayat (2) merupakan salah satu pasal yang

bertentangan dengan jiwa dan semangat UUD 1945 yang anti

penjajahan, yang mengutamakan persatuan dan kedaulatan,

kemakmuran rakyat dan mengutamakan demokrasi ekonomi.

Percepatan penyelesaian Rancangan Undang-undang Sumber Daya

Air terkait dengan Program Water Resources Sector Adjustment

Loan (WATSAL) dari Bank Dunia. Program Watsal merupakan

bagian dari paket utang dari Bank Dunia yang bernilai US $300

juta. Perjanjian utang ditandatangani 28 Mei 1999. Namun

pencairan utang yang sudah memasuki tahap ketiga ini tertunda

dari jadwal semula yaitu Maret 2000. Pasalnya, Bank Dunia

mensyaratkan agar Indonesia segera menuntaskan reformasi di

bidang pengelolaan sumber daya air. Bahwa secara keseluruhan

UU Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air merupakan

ancaman bagi negara, ancaman bagi kemerdekaan karena terbukti

disetujui oleh DPR RI dan disahkan Presiden Republik Indonesia

karena tekanan pihak asing, sedangkan pada permohonan perkara

nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan nomor 008/PUU-

III/2005 para pemohon selain menguji Pasal 6, juga menguji Pasal

7 undang-undang a quo. Para pemohon memberikan alasan kenapa

menguji Pasal 7, pengujian pada Pasal 7 undang karena instrument

hak guna pakai menetapkan batasan penggunaan air bagi

kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk pertanian rakyat. Batasan

ini mengakibatkan bentuk dan jumlah aktivitas penggunaan air oleh

Page 51: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

41

masyarakat lebih sempit disbanding sebelum adanya undang-

undang a quo, dan aktivitas oleh masyarakat di luar batasan

tersebut dan pengusahaan swasta, dikategorikan sebagai aktivitas

komersil dan dituntut untuk mendapatkan izin hak guna usaha, dan

penggunaan air dalam hak guna usaha dikenakan biaya. Semakin

sempitnya bentuk dan jumlah penggunaan air oleh masyarakat

dalam kategori non usaha, maka semakin besar ketersediaan air

untuk pengunaan usaha komersial.

c. Permohonan nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan nomor

008/PUU-III/2005 para pemohon menguji Pasal 8 namun hanya

Ayat (2) huruf c saja. Para pemohon mendalilkan yang pada pokok

permasalahannya sama seperti Pasal 7, sempitnya bentuk dan

volume air batasan dalam undang-udang a quo, maka alokasi air

bagi kepentingan komersial akan semakin besar. Dengan demikian

sumber air akan terkonsentrasi kepada sekelompok pemilik modal

dengan tujuan komersial. Sehingga upaya masyarakat untuk

meningkatkan kemakmuran dan kualitas hidupnya terhambat

dengan adanya batasan tersebut, sedangkan pada permohonan

nomor 85/PUU-XI/2013 selain melihat pasal 8 juga melihat

penjelasan pasal 8 tersebut undang-undang a quo secara

fundamental merekonstruksi nilai air yang merupakan barang

publik (common good) menjadi komoditas ekonomi (commercial

good) yang dapat dikuasai individu dan badan usaha. Hak guna

pakai yang menjadi instrument dasar undang-undang a quo ini

mengadopsi instrument “water rights” dalam kebijakan sektor air

Bank Dunia dan menjadi landasan diberlakukannya komersialisasi

air.

d. Alasan permohonan para pemohon pada permohonan nomor 058-

059-060-063/PUU-II/2004 dan nomor 008/PUU-III/2005 Pasal 9

Ayat (1) menyebutkan hak guna usaha air dapat diberikan kepada

perseorangan atau badan usaha dengan izin dari Pemerintah atau

Page 52: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

42

Pemerintah Daerah sesuai dengan kewenangannya, jelas terlihat

privatisasi dan komersialisasi terhadap air. Pengaturan izin untuk

hak guna usaha yang diberikan oleh Pemerintah Daerah, maka

kedepannya swasta memiliki peluang untuk menguasai sumber-

sumber air milik bersama masyarakat. Proses perizinan merupakan

hanya sebagai wujud formalitas semata yang mana akan menjadi

hambatan bagi masyarakat untuk menggunakan dan mengusahakan

sumber air yang sebelumnya menjadi milik bersama1, sedangkan

pada permohonan nomor 85/PUU-XI/2013 pasal 9 undang-undang

a quo selain keterlibatan pihak swasta dalam proses pengelolaan

sumber daya air, juga tidak terlepas dari pergeseran makna air yang

sebelumnya merupakan barang publik berubah menjadi komoditas

yang lebih mementingkan aspek ekonomi yang akhirnya

berorientasi mencari keuntungan. Dalam hal ini Pemohon

menunjukkan pergeseran makna ini terdapat pada Pasal 2

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan, “…

fungsi sosial serta digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran

rakyat” dengan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004

Tentang Sumber Daya Air, “…. fungsi sosial, lingkungan hidup,

dan ekonomi yang diselenggarakan dan diwujudkan secara

selaras”. Pergeseran makna ini dapat dilihat juga dalam

pengaturan tentang hak guna usaha air yang secara terang-

terangan memberikan peluang hak pengelolaan atas air kepada

swasta.

e. Pada permohonan 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan nomor

008/PUU-III/2005 para pemohon memiliki alasan Pasal 29

menderogasi dan melimitasi hak warga negara untuk bermata

pencaharian dibidang pertanian dibidang pertanian termasuk

mengusahakan tanaman pangan, hortikultura, perkebunan,

1 Vide Putusan Mahkmah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004,

dan nomor 008/PUU-III/2005, hal., 59.

Page 53: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

43

peternakan dan perikanan. Kata sistem irigasi yang sudah ada

memang menjadi prioritas. Namun dimuatnya kata “sistem irigasi

yang sudah ada” dapat menyebabkan usaha pertanian masyarakat

yang sedang dilakukan setelah keberlakukan undang-undang a quo

ini tidak menjadi prioritas. Akibatnya bidang pertanian dapat mati,

karena tidak mendapatkan sumber daya air yang diperlukan. Maka

dari itu, Pasal 29 Ayat (3) undang-undang a quo bertentangan

dengan Pasal 27 Ayat (3) UUD Tahun 1945. Pada permohonan

nomor 85/PUU-XI/2013 para pemohon menyatakan Pasal 29

secara keseluruhan bertentangan dengan jiwa dan semangat

pembukaan UUD Tahun 1945 karena memicu dan berpotensi

menyebabkan konflik antara Pemerintah inter-alia konflik

masyarakat. Pasal 29 Ayat (4) dan Ayat (5) mempunyai implikasi

jika suatu saat urutan prioritas diubah dan hal ini berpengaruh juga

pada perseorangan dan/atau badan hukum yang telah diberikan hak

guna usaha atas air. Pemerintah wajib memberikan kompensasi,

sedangkan kompensasi dari Pemerintah berasal dari Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara/Daerah (APBN/D) yang sumber

pendapatannya diantaranya berasal dari uang masyarakat. Maka

dari itu, Pasal 29 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004

Tentang Sumber Daya Air merugikan masyarakat apabila terdapat

kasus Pemerintah memberikan kompensasi kepada perorangan

dan/atau badan hukum privat/swasta.

f. Permohonan nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan nomor

008/PUU-III/2005, Pasal 38 Ayat (2) berbunyi: “badan usaha dan

perseorangan dapat melaksanakan pemanfaatan awan dengan

teknologi modifikasi cuaca” para pemohon mengatakan pasal 38

Ayat (2) undang-undang a quo bertentangan dengan jiwa dan

semangat pembukaan UUD Tahun 1945 karena memicu dan

berpotensi menyebabkan konflik antara Pemerintah inter-alia

konflik masyarakat. Artinya, wilayah yang kaya akan air akan

Page 54: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

44

menganggap, air adalah potensi yang bisa dimanfaatkan sehingga

untuk kepentingan bisnis tidak mau memberikan air ke daerah yang

telah membutuhkan, juga terkait jaminan bahwa hujan yang

diturunkan melalui teknologi cuaca dengan pasti akan jatuh tepat

sasaran yang direncanakan, sedangkan dalam permohonan nomor

85/PUU-XI/2013 pemohon tidak mencantumkan pasal 38 Ayat (2),

namun ahli dari pemohon memberikan pertanyaan penegasan akan

tanggung jawab Negara terkait pasal tersebut. Ahli dari pemohon

yaitu Suteki mengatakan: “apakah jika pemerintah telah

memberikan izin lalu hujan buatan dapat dilakukan oleh swasta.

Jika terjadi kesalahan hujan, siapa pihak ya.ng bertanggung

jawab?”. Seharusnya pengelolaan air bersifat integrated. Persoalan

sumber daya air jangan hanya menjadi urusan PU semata2

g. Pasal 45 berbunyi: “…. Pengusahaan sumber daya air … dapat

dilakukan oleh perseorangan, badan usaha, atau kerja sama antar

badan usaha….”, dan Ayat (4) menyatakan “Pengusahaan

sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat berbentuk: (a)

pengunaan air pada suatu lokasi tertentu … (b) pemanfaatan

wadah air pada suatu lokasi tertentu …. (c) pemanfaatan daya air

pada suatu lokasi tertentu …” pada permohonan nomor 058-059-

060-063/PUU-II/2004 dan nomor 008/PUU-III/2005 para

permohon memiliki alasan permohonan dengan melihat penjelasan

pasal 45 Ayat (3) yaitu pasal tersebut mendorong meningkatnya

peran swasta dalam pengelolaan air dan pada saat yang bersamaan

mengurangi peran Negara. Pengelolaan air oleh swasta menurut

undang-undang a quo ini dapat dilakukan dalam berbagai aspek,

antara lain penyelenggaraan sistem air minum, pengelolaan sumber

air, dan penyediaan air baku bagi irigasi pertanian. Walaupun

dalam pasal per pasal undang-undang a quo tidak menggunakan

2 Vide Putusan Mahkanah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 , hal., 40.

Page 55: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

45

kata “privatisasi”, namun pelibatan swasta dalam berbagai bentuk

dan tahap pengelolaan air menunjukkan adanya agenda privatisasi

dalam undang-undang a quo, sedangkan permohonan nomor

85/PUU-XI/2013 para pemohon mengkhawatirkan pasal 45 Ayat

(3) undang-undang a quo akan menimbulkan pelepasan tanggung

jawab Negara atas pemenuhan hak atas air dari rakyatnya. Dengan

kata lain tanggung jawab Negara akan diemban atau dikontrol

pada orang-orang ataupun badan usaha, baik badan usaha swasta

nasional maupun asing, artinya profit oriented akan menjadi tujuan

utama pihak-pihak tersebut, bukan untuk pemenuhan hak-hak

dasar. Pengusahaan sumber daya air sejatinya menjadi tugas

Negara sesuai dengan Pasal 33 UUD Tahun 1945 dan dapat melihat

pernyataan-pernyataan founding fathers yang terlibat dalam

penyusunan teks UUD Tahun 1945, yaitu Prof. Dr. Mr. Soepomo,

“…… termasuk pengertian mengatur dan/atau menyelenggarakan

terutama untuk memperbaiki dan mempertimbangkan produksi …

“, selanjutnya “… Pemerintah membangun dari atas,

melaksanakan yang besar-besar seperti membangun tenaga listrik,

persediaan air minum, … , menyelenggarakan berbagai macam

produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Apa yang

disebut dalam bahasa Inggris “public utilities” diusahakan oleh

Pemerintah. Milik perusahaan besar tersebut sebaik-baiknya

ditangan Pemerintah…..”.

Keputusan Seminar Penjabaran Pasal 33 UUD Tahun 1945 yang

disetujui oleh Dr. Mohammad Hatta, menyatakan: “kekayaan bumi,

air, udara dan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara

dan demikian pula cabang-cabang produksi yang menguasai hajat

hidup rakyat banyak harus dikuasai mutlak oleh Negara”. Dengan

ini Pasal 45 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 bertentangan

dengan jiwa dan semangat Pasal 33 Ayat (3) UUD Tahun 1945.

Page 56: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

46

h. Pada permohonan nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan

nomor 008/PUU-III/2005 terhadap 46 Ayat (2), para pemohon

mengatakan sumber air milik bersama masyarakat dan diperoleh

secara bebas dapat diambil alih oleh swasta (individu dan badan

usaha) dengan adanya izin hak guna usaha ini merupakan

diskriminasi formalitas perizinan dan menciptakan monopoli

penguasaan sumber air oleh swasta dan kelompok yang mampu

memperoleh izin hak guna air terhadap kelompok masyarakat yang

selama ini menggunakan air secara bersama-sama yang tergolong

tidak mampu, sedangkan pada permohonan nomor 85/PUU-

XI/2013 pemohon memiliki alasan yaitu Pasal 46 undang-undang a

quo ini berbunyi “Pemerintah atau Pemerintah Daerah sesuai

dengan kewenangannya, mengatur dan menetapkan alokasi air

pada sumber air untuk pengusahaan sumber daya air oleh badan

usaha atau perseorangan”, memberikan ruang seluas-luasnya bagi

badan usaha dan individu untuk menguasai sumber daya air melalui

izin hak guna usaha.

2. Persamaan alasan permohonan antara permohonan nomor 058-059-060-

063/PUU-II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005 dengan Putusan

Nomor 85/PUU-XI/2013 juga ditemukan, yaitu:

a. Pasal 91

Alasan Permohonan pada permohonan nomor 058-059-060-

063/PUU-II/2004 dan nomor 008/PUU-III/2005 dengan

permohonan nomor 85/PUU-XI/2013 para pemohon mengatakan

Pasal 91 undang-undang a quo telah menderogasi dan melimitasi

hak setiap orang untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya,

bertentangan dengan ketentuan UUD Tahun 1945 yang menjamin

setiap orang dan secara kolektif mempertahankan hak-hak asasinya,

bertentangan dengan jaminan kemerdekaan pikiran dan hati nurani

setiap warga negara, serta bertentangan dengan jaminan hak setiap

orang untuk berkomunikasi dan menyampaikan informasi dengan

Page 57: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

47

menggunakan segala jenis saluran yang tersedia, termasuk saluran

peradilan, dengan mengajukan gugatan,

b. Pasal 92

Alasan permohonan pemohon pada permohonan nomor

058-059-060-063/PUU-II/2004 dan nomor 008/PUU-III/2005

dengan permohonan nomor 85/PUU-XI/2013 terkait pasal 92, para

pemohon mengatakan pencantuman kata “organisasi yang bergerak

pada bidang sumber daya air” telah melanggar prinsip paling pokok

dalam penegakan hukum yakni pengakuan dan jaminan,

perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang

sama didepan hukum sebagaimana dinyatakan dalam UUD 1945

inter-alia ketentuan Pasal 92 ayat (1) undang-undang a quo

merupakan pasal yang diskriminatif. Karenanya Pasal 92 ayat (1)

UU Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air bertentangan

dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.

3. Selain pasal-pasal di atas, terdapat juga beberapa pasal baru yang

diujikan oleh Pemohon pada permohonan perkara nomor 85/PUU-

XI/2013, alasan permohonan sebagai berikut:

a. Pasal 11 Ayat (3), pola pengelolaan sumber daya air dilakukan

dengan melibatkan masyarakat dan dunia usaha seluas-luasnya.

b. Pasal 40 Ayat (4), koperasi, badan usaha swasta dan masyarakat

dapat berperan serta dalam penyelenggaraan pengembangan sistem

penyediaan air minum

Pasal ini telah menjustifikasi bahwa swasta dapat berperan

dalam pengelolaan sumber daya air yang semakin menegaskan

rangkaian pasal-pasal yang memandang air adalah komoditas ekonomi.

Air sebagai sumber daya milik bersama, dewasa ini seringkali tidak

dikelola secara bersama adalah sebuah kenyataan. Demikian pula

tanggung jawab atasnya tidak dipikul bersama-sama. Hal ini dijadikan

pintu masuk yang seharusnya bertanggung jawab terhadap pengelolaan

dan penyediaan air seringkali merasa tidak memiliki sumber daya yang

Page 58: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

48

cukup untuk mengelola, menyediakan air, maka jalan privatisasilah

yang biasanya dipilih.

Privatisasi dan/atau komersialisasi sumber daya air akan

mendorong kenaikan tarif, terjadinya korupsi, melemahkan kontrol

sosial, dan hak-hak publik, serta menyebabkan pemborosan apabila

dibandingkan dengan pembiayaan oleh negara.

Undang-undang a quo membatasi peran negara semata

sebagai pembuat dan pengawas regulasi atau regulator yang akan

kehilangan kontrol setiap tahapan pengelolaan air untuk memastikan

terjaminnya keselamatan dan kualitas pelayanan bagi setiap pengguna

air terkhususnya bagi kelompok-kelompok tidak mampu dan rentan

dalam mendapatkan akses terhadap air yang sehat dan terjangkau.

Page 59: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

49

BAB IV

DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI MENGENAI

SUMBER DAYA AIR

A. Pertimbangan Hakim Konstitusi; Menolak

Pada putusan nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan nomor

008/PUU-III/2005 perihal pengujian formil dan materiil Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air, majelis hakim konstitusi

memiliki pertimbangan hukum sebagai berikut:

Pertama, pertimbangan hukum akan Pasal 6 Ayat (3) undang-

undang a quo adalah keberadaan hukum adat telah dijamin haknya dalam

Pasal 18B Ayat (2) UUD Tahun 1945. Mahkamah juga berpendapat

bahwasanya Pasal 6 Ayat (2) dinilai justru untuk menjamin hak masyarakat

hukum adat atas sumber daya air. Terkait pengukuhan dengan peraturan

daerah harus dimaknai tidak bersifat konstitutif melainkan bersifat deklaratif

belaka. Adanya kekhawatiran bahwa penguasaan sumber air oleh masyarakat

hukum adat akan diambilalih oleh perusahaan swasta tidak akan terjadi.

Kedua, Pasal 8 Ayat (2) huruf c dan Pasal 29 Ayat (3) pertimbangan

hukum Mahkamah terhadap kedua pasal tersebut, Mahkamah mengatakan

dalam memenuhi kebutuhan air kepada masyarakat luas, harus diatur jumlah

volume standar atau universal yang boleh digunakan oleh masyarakat untuk

memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Hal ini dilakukan karena seseorang

tidak dapat mendasarkan pada hak asasi atas air tanpa batas, yang mana justru

akan merugikan hak asasi orang lain. Hak guna pakai air yang dirumuskan

dalam Pasal 8 undang-undang a quo lebih bersifat penghormatan dan

perlindungan terhadap hak asasi atas air.1 Mahkamah juga berpendapat

dalam pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat, tidaklah cukup

dengan menggunakan sumber air yang diperoleh langsung dari sumber air,

1 Vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-

II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005 h., 491.

Page 60: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

50

tetapi juga menggantungkan pada saluran distribusi. Maka kewajiban

Pemerintah untuk memenuhi hak atas air di luar hak pakai air telah tercermin

salah satunya dalam Pasal 29.2

Ketiga, pertimbangan hukum Mahkamah menolak Pasal 7, Pasal 9,

Pasal 45, dan Pasal 46 undang-undang a quo diantaranya, (1) menurut

Mahkamah hak guna air mempunyai dua sifat yaitu bersifat in persona dan

hak guna usaha air. Hak in persona sebagai pencerminan dari hak asas, oleh

karenanya hak tersebut melekat kepada subjek manusia yang tidak

terpisahkan. (2) hak guna usaha air adalah hak yang semata-mata timbul dari

izin maka terikat kaidah-kaidah perizinan, ketentuan persyaratan perizinan di

dalamnya, dan tidak akan mengakibatkan penguasaan air akan jatuh ke

tangan swasta. Hak guna usaha air merupakan instrument dalam sistem

perizinan yang digunakan Pemerintah untuk membatasi jumlah atau volume

air yang dapat diperoleh atau diusahakan oleh yang berhak, pun sumber daya

air tidak semata-mata hanya untuk kebutuhan pokok sehari-hari secara

langsung, akan tetapi dalam fungsi sekundernya dibutuhkan untuk memenuhi

kegiatan industri baik industri kecil, menengah maupun besar yang dilakukan

oleh non Pemerintah. Sebagai unit kegiatan ekonomi penting bagi usaha

untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat.

B. Pertimbangan Hakim Konstitusi; Menerima dan Menghidupkan

Kembali Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan

Sebelum memasuki pertimbangan-pertimbangan hakim konstitusi

yang menerima permohonan pemohon, peneliti akan membahas mengapa

para pemohon dinyatakan oleh Mahkamah memiliki legal standing atau

kedudukan hukum pada pengujian kedua terhadap Undang-Undang Nomor 7

Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air diterima atau dinyatakan tidak ne bis

in idem oleh Mahkamah Konstitusi.

2 Vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-

II/2004 dan Nomor 008/PUU-III/2005, h., 491-492.

Page 61: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

51

Asas ne bis in idem selain digunakan dalam peradilan biasa juga

digunakan dalam Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Mengingat begitu

banyak permohonan yang sama yang diujikan di Mahkamah Konstitusi.

Maka diatur dalam Pasal 60 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang

Mahkamah Konstitusi, berbunyi:

(1) Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan.atau bagian

dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat

dimohonkan pengujian kembali.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat

dikecualikan jika materi muatan dalam Undang-undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang

dijadikan dasar pengujian berbeda.

Slike Brammer mengungkapkan adanya rasionalitas ekonomi di

balik asas nebis in idem yakni agar membantu terjaminnya efisiensi

penegakan hukum itu sendiri. Ne bis in idem dalam pengujian undang-undang

di Mahkmah Konstitusin Dapat dikatakan Ne bis in idem jika dalam

pengujian undang-undang terdapat hal seperti:

1. Dasar pengujian sama atau materi muatan ayat, pasal yang diujikan

sama walaupun dengan pemohon yang berbeda seperti pengujian

sebelumnya3;

2. Alasan-alasan para Pemohon sama dengan permohonan sebelumnya;4

Namun dalam perkembangan hukum di Mahkamah Konstitusi

dalam kurun waktu 2003 – 2018 tercatat sebanyak 1187 putusan pengujian

undang-undang yang dijatuhkan oleh Mahkamah Konstitusi terdiri dari 258

putusan menyatakan mengabulkan, 420 putusan menyatakan menolak 389

putusan menyatakan tidak dapat diterima, dan 120 putusan menyatakan

permohonan ditarik kembali.5 Banyaknya pengujian undang-undang yang

3 Pan Mohamad Faiz, lihat pada Ruang Konstitusi di Majalah Konstitusi Nomor

144, Februari 2019, h., 74.

4 Lihat pada Perkara Nomor 24/PUU-X/2012 Tentang Pengujian Undang-Undang

Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan dinyatakan ne bis in idem oleh Mahkamah

Konstitusi karena alasan para Pemohon sama dengan permohonan sebelumnya yakni pada

Perkara Nomor 19/PUU-VIII/2010 dan Perkara Nomor 34/PUU-VIII/2010, h., 40.

5 https://mkri.id/index.php?page=web.RekapPUU diakses 24 September 2019

pukul 15.33 WIB.

Page 62: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

52

dikabulkan oleh Mahkamah, menunjukkan bahwa produk hukum yang

dilahirkan masih cacat ideologis. Pengujan undang-undang merupakan salah

satu wujud dari adanya check and balances antar lembaga negara dan

menjadi sarana untuk melakukan purifikasi undang-undang sehingga tidak

merugikan masyarakat.

Hal ini terbukti juga pada pengujian Undang-Undang Nomor 7

Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air, meskipun harus melakukan

pengujian ulang karena pemerintah tidak menjalankan kewajibannya dalam

peran penguasaan sumber daya air sebagaimana telah diamanatkan Pasal 33

Ayat (3) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Untuk lebih jelas, peneliti melihat alasan hukum Mahkamah

Konstitusi mengabulkan pengujian kembali undang-undang a quo dan

menyatakan tidak ne bis in idem, sebagai berikut:

“Menimbang bahwa dengan adanya ketentuan tersebut di atas

Mahkamah berpendapat, UU SDA telah cukup memberikan

kewajiban kepada Pemerintah untuk menghormati, melindungi

dan memenuhi hak atas air, yang dalam peraturan pelaksanaannya

Pemerintah haruslah memperhatikan pendapat Mahkamah yang

telah disampaikan dalam pertimbangan hukum yang dijadikan

dasar atau alasan putusan. Sehingga, apabila undang-undang a

quo dalam pelaksanaan ditafsirkan lain dari maksud sebagaimana

termuat dalam pertimbangan Mahkamah di atas, maka terhadap

undang-undang a quo tidak tertutup kemungkinan untuk diajukan

kembali (conditionally constitutional)” (Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor

008/PUU-III/2005 hal., 495.)

Alasan hukum Mahkamah Konstitusi mengabulkan pengujian kembali pada

Undang-Udang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air terletak

pada konstitusional bersyarat yang diberikan sendiri oleh Mahkamah

Konstitusi pada undang-undang tersebut. Pada putusan pertama Mahkamah

Konstitusi mendalilkan bahwasanya apabila undang-undang a quo dalam

pelaksanaan ditafsirkan lain dari maksud sebagaimana termuat dalam

pertimbangan Mahkamah di atas, maka undang-undang a quo tidak tertutup

kemungkinan untuk diajukan pengujian kembali (conditionally

constitutional).

Page 63: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

53

Adanya re-judicial review tersebut mengindifikasikan bahwasanya

aturan pelaksana dari undang-undang sumber daya air dianggap telah

ditafsirkan lain dari maksud sebagaimana yang ditentukan oleh Mahkamah

Konstitusi.

Berikut salah satu alasan permohonan pemohon pada pengujian

kedua Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air

yang merupakan bukti bahwa Pemerintah menafsirkan lain dari tafsir

Mahkamah:

“Bahwa pengembangan SPAM seperti pada PP Nomor

16 Tahun 2005 yang merupakan implementasi Pasal 40

Undang-Undang a quo adalah merupakan swastanisasi

terselubung dan pengingkaran penafsiran konstitusional

Mahkamah terhadap Undang-Undang a quo. Dengan

kondisi yang demikian ini maka melahirkan secara

sempurna telah melahirkan mindset pengelola air yang

selalu profit-oriented dan akan mengusahakan

keuntungan maksimum bagi para pemegang saham

sehingga public service di luar pengabdiannya karena

bukan orientasi prinsipal dan watak dasarnya. Keadaan

ini jelas bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945 yang

telah mengamanahkan penguasaan sebesar- besarnya

bagi kemakmuran rakyat.”

Setelah dinyatakan tidak ne bis in idem dan para pemohon memiliki

legal standing atau kedudukan hukum. Maka selanjutkan peneliti akan

memaparkan pertimbangan hukum Mahkamah dalam memutus pengujian

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air, sebagai

berikut:

Pertama, Pasal 6 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang

Sumber Daya Air, berbunyi: “hak ulayat masyarakat hukum adat atas sumber

daya air tetap diakui sepanjang kenyataan masih ada dan telah dikukuhkan

dengan peraturan daerah setempat”, Mahkamah berpendapat selain

bertentangan dengan Pasal 18B Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 juga sampai

saat ini undang-undang yang mengatur akan masyarakat hukum adat belum

Page 64: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

54

ada, sehingga jelas menyalahi hirarki dan bertentangan dengan asas peraturan

perundang-undangan6 dan merugikan konstitusional masyarakat hukum adat.

Kedua, “hak guna pakai air diperoleh tanpa izin dan menjadi

prioritas pertanian rakyat bagi yang berada di dalam sistem irigasi.”7 Jika

melihat lebih lanjut pada penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 7 Tahun

2004 Tentang Sumber Daya Air, hak guna pakai hanya dinikmati oleh

mereka yang mengambil dari sumber air dan bukannya dari saluran distribusi

atas dasar konstruksi yang dikehendaki oleh undang-undang a quo tersebut.

Maka pada Putusan Nomor 85/PUU-XI/2013 Mahkamah berpendapat

pengguna sumber daya air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan

untuk pertanian rakyat tidak dibebani biaya jasa pengelolaan sumber daya air,

sepanjang pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan untuk pertanian

rakyat di atas diperoleh langsung dari sumber air. Namun jika dalam

pemenuhan kebutuhan sehari-sehari menggantungkan pada saluran distribusi,

maka Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam

pengembangan sistem penyediaan air minum dan harus menjadi prioritas

program Pemerintah dan Pemerintah Daerah.8

Ketiga, dalam Pasal 7, Pasal 9, Pasal 45, dan Pasal 46 Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air yang secara garis

besar berbunyi: ”hak guna usaha air dapat diberikan kepada badan usaha

dengan izin dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan

kewenanangnya”. Mahkamah berpendapat konsep hak guna usaha air

haruslah dibedakan dengan konsep hak dalam pengertian umum, ditafsirkan

sebagai turunan (derrative) dari hak hidup yang dijamin oleh UUD Tahun

1945, dan berjalan dengan konsep res communen yang tidak boleh menjadi

6 Yuliandri, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik

Gagasan Pembentukan Undang-undang Berkelanjutan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

2010), h., 117.

7 Vide Pasal 8 dan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang

Sumber Daya Air.

8 Vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013, h., 141.

Page 65: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

55

harga ekonomi. Oleh karena itu, pemanfaatan air di luar hak guna pakai air

yakni hak guna usaha air, harus melalui permohonan izin kepada Pemerintah9

serta memberikan pembatasan yang sangat ketat dalam pengusahaan sumber

daya air, antara lain setiap pengusahaan atas air tidak boleh mengganggu,

mengesampingkan, apalagi meniadakan hak rakyat atas air karena sejatinya

bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya selain harus

dikuasai oleh negara, juga diperuntukkan untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat.10

Faktor yang mempengaruhi adanya disparitas dari putusan

Mahkamah Konstitusi pada putusan nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004

dan Nomor 008/PUU-III/2005 dengan putusan nomor 85/PUU-XI/2013,

diantaranya:

1. Faktor Sosiologis

Mengutip keterangan Ahli Pemohon yaitu Salamuddin Daeng

dalam agenda mendengarkaan keterangan DPR, Ahli/Saksi Pemohon

dan Pemerintah, Rabu, 29 Januari 2014 yang menjadi faktor sosiologis

pertimbangan majelis hakim konstitusi: Indonesia merupakan salah satu

negara dengan potensi hutan terluas di dunia setelah Brazil yang

menyimpan cadangan air yang sangat besar. Indonesia memiliki

kekayaan air berlimpah, namun air baru dimanfaatkan sekitar 23% dari

penyediaan air baku, air irigasi, dan kebutuhan rumah tangga,

perkotaan, dan industri. Selain itu kebutuhan air untuk lahan irigasi

seluas 7,2 juta hektare baru sekitar 11% yang terlayani.

Tingginya ongkos produksi pertanian disebabkan oleh

kerusakan infrastruktur pengairan yang buruk, biaya sarana produksi

yang tinggi, serta risiko pertanian yang besar akibat bencana alam,

kekeringan, dan perubahan iklim. Hal ini mengakibatkan sebagian besar

9 Vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013, hal., 142.

10 Vide Pasal 33 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 dan hal., 138 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013.

Page 66: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

56

rakyat yaitu petani berpendapatan rendah semakin dimiskinkan. Dewasa

ini, petani diharuskan membayar mahal untuk dapat memenuhi

kebutuhan irigasi mereka, mengingat irigasi memegang sebanyak 80%

daripada penggunaan sumber daya air di Indonesia.

Kebutuhan masyarakat terhadap air yang semakin meningkat

mendorong lebih menguatnya nilai ekonomi air dibandingkan nilai dan

fungsi sosialnya. Kondisi ini sangat berpotensi menimbulkan konflik

kepentingan antarsektor, antarwilayah, dan tentunya berbagai pihak

yang terkait dengan sumber daya air. Di sisi lain, pengelolaan sumber

daya air yang lebih bersandar pada nilai ekonomi akan cenderung

memihak kepada pemilik modal dan dapat mengabaikan fungsi sosial

sumber daya air. Berdasarkan kondisi air seperti itu seharusnya

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air lebih

melindungi kepentingan masyarakat luas terutama masyarakat

berekonomi lemah.11

2. Faktor Sosial Politis

World Bank sesuai dengan penugasan IMF karena IMF

menyatakan secara khusus bahwa menyangkut air akan ditugaskan

kepada World Bank bergerak lebih jauh melalui project manajemen

sumber daya air sebagaimana yang dikatakan oleh Ahli sebelumnya dan

yang telah ditandatangani pada bulan April tahun 1998 untuk

mendorong komersialisasi dan privatisasi air di Indonesia. Selanjutnya,

komersialisasi dan privatisasi air tersebut dituangkan secara jelas di

dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya

Air yang merupakan bagian dari pelaksanaan pinjaman US$150 juta

dari Bank Dunia sebagai persyaratan dari total pinjaman secara

keseluruhan US$300 juta untuk program restrukturisasi air. Jadi jelas

11

Vide pada Risalah 18 Februari 2015 Tentang Pembacaan Putusan dan Penetapan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013, h., 14.

https://mkri.id/index.php?page=web.RisalahSidang&id=396&kat=1&cari=2 diakses

tertanggal 18 September 2019 pukul 14.37 WIB.

Page 67: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

57

bahwa lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber

Daya Air itu adalah merupakan bagian dari project Bank Dunia untuk

restrukturisasi air di Indonesia.

Pada putusan pertama, Mahkamah menyatakan Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air bersifat

conditionally constitutional. Artinya, Mahkamah berpendapat bahwa

undang-undang a quo dianggap tidak bertentangan dengan UUD 1945

apabila pelaksanaannya sejalan dengan penafsiran Mahkamah atas

ketentuan yang ada di dalamnya. Penafsiran Mahkamah sebetulnya

telah menyelamatkan undang-undang quo dari maksud aslinya yang

mana hendak mengakomodasi beberapa kepentingan Bank Dunia dalam

reformasi sektor sumber daya air. Hal ini sebagaimana termaktub dalam

program WATSAL ataupun Keputusan Menteri Koordinator

Perekonomian Nomor KEP-14/M.EKON/12/2012 Tahun 2001.

3. Faktor Yuridis

Strategi pengelolaan air dalam Undang-Undang Nomor 7

Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air tampak jelas ditujukan untuk

memfasilitasi sektor bisnis. Terdapat tiga kata kunci di dalam undang-

undang a quo yang menunjukkan upaya komersialisasi dan privatisasi.

Pertama adalah kata pengelolaan air. Kedua, kata keterlibatan swasta

dan masyarakat. Ketiga, kata hak guna air.

Dalam bagian menimbang Undang-Undang Nomor 7 Tahun

2004 Tentang Sumber Daya Air poin b dikatakan:

“bahwa dalam menghadapi ketidakseimbangan antara

penyediaan air yang cenderung menurun dan kebutuhan

air yang semakin meningkat, sumber daya air wajib

dikelola dengan memerhatikan fungsi sosial, lingkungan

hidup, dan ekonomi secara selaras.”

Selanjutnya dalam poin d berbunyi:

“bahwa sejalan dengan semangat demokratisasi,

desentralisasi, keterbukaan, dan tatanan kehidupan

Page 68: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

58

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, masyarakat

perlu peran dalam pengelolaan sumber daya air.”

Jadi yang lebih harus diutamakan adalah peran masyarakat dalam ikut

andil pengelolaan air, bukan malah persoalan bagaimana rakyat

menerima haknya atas air. sehingga kedua poin tersebut membuka

peluang masyarakat yang seringkali disalahartikan sebagai “sektor

swasta” untuk melakukan pengelolaan air untuk kepentingan ekonomi

semata.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya

Air diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang

Penanaman Modal. Dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007

Tentang Penanaman Modal ditetapkan berbagai macam hak penguasaan

tanah dalam bentuk hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai

yang sifatnya sama dengan hak guna air, juga memberikan dasar

penetapan sektor yang tertutup dan terbuka untuk penanaman modal

asing. Hal ini semakin menunjukkan komersialisasi kekayaan alam

Indonesia melalui penanaman modal.

Mengacu pada Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007

Tentang Penanaman Modal, pemerintah mengeluarkan Peraturan

Presiden Nomor 36 Tahun 2010 Tentang Daftar Bidang Usaha Tertutup

dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang

Penanaman Modal. Di dalam daftar ini pemerintah telah menetapkan

bahwa penguasaan air minum dapat dikuasai hingga 95% oleh

penanaman modal asing dan usaha di bidang pertanian yang tentunya

hal ini berkaitan erat dengan air.

Faktor yang lainnya juga dapat ditemukan dalam

diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 Tentang

Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum khususnya dengan

adanya aturan-aturan mengenai penetapan biaya jasa pengelolaan

sumber daya air (full cost recovery), dan Pasal 37 Ayat (3) Peraturan

Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 berbunyi “dalam hal BUMN atau

Page 69: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

59

BUMD sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (2) tidak dapat

meningkatkan kuantitas dan kualitas pelayanan SPAM di wilayah

pelayanannya, BUMN atau BUMD atas persetujuan dewan pengawas

atau komisaris dapat mengikutsertakan koperasi, badan usaha swasta

dan atau masyarakat dalam penyelenggaraan di wilayah pelayanannya.

Di lain sisi juga terdapat Peraturan Pemerintah Nomor 20

Tahun 2008 Tentang Irigasi, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun

2008 Tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, Peraturan Pemerintah

Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Air Tanah, Peraturan Pemerintah

Nomor 38 Tahun 2011 Tentang Sungai, Peraturan Pemerintah Nomor

73 Tahun 2013 Tentang Rawa memperlihatkan bahwa pemerintah ingin

melepaskan diri dari tanggung jawab secara mutlak terhadap

penyediaan air minum untuk rakyatnya dengan memberikan ruang luas

kepada swasta dalam pengelolaan air minum dengan membangun

kemitraan dengan swasta dan dalam pengembangan penyediaan air

minum. Hal ini sekali lagi tentu akan mengubah makna air yang

sebelumnya barang publik yang pemenuhannya merupakan kewajiban

Pemerintah menjadi air sebagai komoditas ekonomi dimana hanya

orang-orang tertentulah yang dapat mengaksesnya. Dengan demikian,

telah secara terang dan nyata Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004

Tentang Sumber Daya Air bertentangan dengan tafsir Mahkamah

Konstitusi yang meletakkan undang-undang a quo sebagai

conditionally constitutional.

C. Analisis Peneliti

Pertama, Pasal 6 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004

Tentang Sumber Daya Air, menyatakan: “Hak ulayat masyarakat hukum adat

atas sumber daya air tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan

telah dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat.”.Pasal ini dalam

putusan pertama yaitu nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan nomor

008/PUU-III/2005, menurut pertimbangan hukum Mahkamah harus dimaknai

tidak bersifat konstitutif melainkan bersifat deklaratif belaka, sehingga

Page 70: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

60

dinyatakan tidak bertentangan dengan Pasal 18B Ayat (2) UUD NRI Tahun

1945. Sedangkan pada putusan kedua yaitu nomor 85/PUU-XI/2013

Mahkamah berpendapat Pasal 6 bertentangan dengan Pasal 18B Ayat (2)

UUD NRI Tahun 1945.

Agar tidak tersesat saat membaca dan memahami konstitusi, upaya

yang paling mendasar untuk dapat memahaminya dengan melalui metode

tafsir konstitusi, yang tentunya berbeda dengan penafsiran peraturan

perundang-undangan biasa. Menurut Albert H. Y. Chen, penafsiran konstitusi

merupakan upaya penafsiran terhadap ketentuan-ketentuan yang terdapat

dalam konstitusi atau undang-undang dasar dan sudah menjadi bagian

kesatuan dari aktifitas judicial review.12

Dalam peradilan di Indonesia, pelaksanaan penafsiran konstitusi

diterapkan secara bebas karena Indonesia menganut kekuasaan kehakiman.

Yang mana hakim bebas menentukan metode tafsir apa saja yang akan

digunakannya dalam memutus suatu perkara. Metode tafsir yang biasa

digunakan untuk interpretasi regulasi diantaranya terdapat penafsiran

gramatikal, sistematis, teleologis, historis, komparatif, dan futuristik.13

Pada bagian ini, peneliti akan mencoba untuk mengkritisi

pertimbangan hakim konstitusi terhadap putusan pertama tentang sumber

daya air melalui penafsiran historis terutama untuk Pasal 6 Ayat (3) undang-

undang a quo yang berbunyi tentang hukum masyarakat adat. Penafsiran ini

menekankan pada konteks sejarah hukum baik sejarah terbentuknya suatu

peraturan perundangan-undangan maupun sejarah hukum itu sendiri seperti

yang dilihat atau dikehendaki oleh pembentuk undang-undang pada waktu

pembentukannya.14

12

Ali Syafa’at, Penafsiran Konstitusi, http://safaat.lecture.ub.ac.id, h., 66 diakses

pada 9 September 2019, pukul 12.40 WIB.

13 Loura Hardjaloka, Legal Reasoning Pada Pekara Pengujian Undang-undang

(Studi Perbandingan), dalam Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 1, Maret 2015, h., 99.

14 Loura Hardjaloka, Legal Reasoning Pada Pekara Pengujian Undang-undang

(Studi Perbandingan),… h.,98.

Page 71: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

61

Jika melihat dari pengertian, deklaratif merupakan pernyataan

ringkas dan jelas.15

Pun memiliki arti dalam praktik,

“the declaration or declaratory part of a judgement,

decree, or order is that part which gives the of law in the

case. Thus, in an action raising a question as to the

construction of a will, the judgement or order declares that,

according to the true construction of the will, the plaintiff

has become entitled to the will, the plaintiff has become

entitled to the residue of the testator’s estate, or the like”16

(deklarasi atau deklaratori bagian dari keputusan, surat keputusan, atau

perintah adalah bagian yang memberikan hukum dalam kasus tersebut.

Dengan demikian, dalam tindakan yang menimbulkan pertanyaan tentang

pembangunan wasiat, putusan atau perintah menyatakan bahwa, sesuai

dengan konstruksi wasiat yang sebenarnya, penggugat berhak atas wasiat,

penggugat menjadi berhak atas residu real pewaris, atau sejenisnya).

Maka deklaratif terhadap pengukuhan hak ulayat masyarakat hukum

adat atas sumber daya air oleh peraturan daerah menurut peneliti, tidak

sesuai. Karena sejatinya deklaratif adalah pernyataan, pengakuan atau

penegasan kembali akan keadaan yang sebenarnya. Sedangkan masyarakat

hukum adat beserta hak-hak ulayatnya tidak perlu melakukan upaya

penegasan kembali akan keberadaannya karena telah dijamin oleh UUD

Tahun 1945.17

Memberikan persyaratan seperti dengan dilakukannya pengukuhan

terlebih dahulu kepada masyarakat hukum adat melalui peraturan daerah

setempat telah melanggar dan mencederai sejarah pembentukan Pasal 18B

Ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Mencederai tiang berdirinya Negara Indonesia yang sesuai dengan

15

Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2016).

16 Henry Campbrell Black, Black’s Law Dictionary (West Publishing, 1968), h.,

495.

17 Vide Pasal 18B Ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945.

Page 72: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

62

keistimewaan sifat dann corak masyarakat Indonesia. Indonesia yang

integralistik, negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, dan yang

mengatasi seluruh golongan-golongannya dalam hal apapun.18

Pemerintah

seharusnya dapat mengatasi segala golongan dan segala seseorang,

mempersatukan diri dengan segala lapisan rakyat seluruhnya, termasuk

masyarakat hukum adat, dengan melindungi hak-hak dan tidak

mendiskriminasi elemen masyarakat merupakan salah wujud pemerintahan

yang baik.19

Dengan melindungi seluruh masyarakat Indonesia termasuk

masyarakat hukum adat, negara telah menjalankan asas-asas penyelenggaraan

pemerintahan yang baik yakni asas kepastian hukum, tertib penyelenggaraan

negara, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas

dan tentunya akuntabilitas.20

Namun nyatanya tidak. dapat dibuktikan dengan

keenam peraturan turunan dari undang-undang a quo yakni peraturan

pemerintah tidaklah sesuai dengan penyelengaraan pemerintahan yang baik.

Suatu negara dapat dikatakan telah menjalankan suatu sistem

pemerintahan yang baik jika memenuhi asas-asas yaitu asas kepastian hukum,

asas tertib penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas

keterbukaan, asas proporsionalitas, asas profesionalisme dan asas

akuntabilitas.21

Asas-asas tersebut selain guna menjalankan pemerintahan

yang baik, juga merupakan tujuan utama hukum yakni kemanfaatan.

Kemanfaatan yang membawa kebahagiaan untuk semua orang termasuk di

dalamnya masyarakat hukum adat. Untuk membawa dan mencapai

18

Risalah Sidang BPUPKI h., 29 lihat pada laman

lhttp://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20381404-Himpunan%20Risalah%20sidang-

sidang%20dari%20BPUPKI%20dan%20PPKI%20yang%20berhubungan%20dengan%20pen

yusunan%20undang-undang%20dasar%201945.pdf diakses tertanggal 9 September 2019

pukul 13.03 WIB.

19 I Dewa Gede Atmadja, Demokrasi, HAM, dan Konstitusi, ..., h., 29.

20Yudhi Setiawan, Boedi Djatmiko Hadiatmodjo, Imam Ropii, Hukum

Administrasi Pemerintahan Teori dan Praktik (Depok: Rajawali Press, 2017), h., 65.

21 Lihat pada Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan

Negara yang Bebas dan Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.

Page 73: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

63

kebahagiaan, pemegang kekuasaan dalam hal ini Pemerintah haruslah

membuat kebijakan yang tidak mendiskriminasi suatu golongan tertentu.

Kedua, Pasal 8 Ayat (2) huruf c dan Pasal 29 Ayat (3) Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air, berbunyi: “hak

guna pakai air diperoleh tanpa izin dan menjadi prioritas pertanian bagi

yang berada di dalam sistem irigasi.” Mahkamah dalam putusan nomor 058-

059-060-063/PUU-II/2004 dan nomor 008/PUU-III/2005 berpendapat hak

guna pakai air yang dirumuskan dalam Pasal 8 undang-undang a quo lebih

bersifat penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi atas air, juga

kewajiban Pemerintah untuk memenuhi hak atas air di luar hak pakai air telah

tercermin salah satunya dalam Pasal 29. Sehingga dinyatakan tidak

bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.

Menurut A. Mukhtie Fadjar, ketentuan mengenai keharusan adanya

izin Pemerintah atau Pemerintah Daerah hak guna pakai air di luar sistem

irigasi, jelas sudah mendiskrimasi hak asasi atas pemakai air untuk pertanian

rakyat yang berada dalam sistem irigasi yang sudah ada dengan yang tidak,

mengakibatkan tidak meratanya penggunaan air untuk pertanian rakyat.

Peneliti pun menilai makna kata “di dalam sistem irigasi”

merupakan suatu diskriminasi bagi masyarakat yang berada di luar sistem

irigasi atau yang belum bergabung pada sistem irigasi yang pemerintah buat

saat undang-undang a quo ini lahir. Di dalam atau di luar sistem irigasi,

pemenuhan akan air untuk pertanian rakyat haruslah terpenuhi tanpa adanya

perbedaan di dalamnya. Jika hanya yang di dalam irigasi yang diberikan hak

guna pakai air untuk pertanian rakyat, lantas bagaimana dengan petani-petani

lain di luar sistem irigasi untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-harinya.

Diskriminasi hak asasi atas pemakaian air seharusnya tidak ada

karena sejatinya setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskrimatif

atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan

yang bersifat diskriminatif tersebut.22

Diskriminasi bukanlah wujud dari cita-

22

Vide Pasal 28I Ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945.

Page 74: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

64

cita Negara Indonesia yang termaktub dalam Alinea keempat Pembukaan

Undang-undang Dasar Negara Republik Tahun 1945 “…. Memajukan

kesejahteraan umum” dan sila kelima Pancasila yakni “keadilan sosial bagi

seluruh rakyat Indonesia”.

Menurut John Rawls, keadilan dapat tercapai jika terjadi kepatuhan

terhadap konstitusi dan terintegralisasinya dan kewajiban constitutional yang

berlandaskan nilai-nilai moral.23

Keadilan memang mengandung banyak

aspek dan juga dimensi, yaitu keadilan hukum, keadilan ekonomi, keadilan

politik, dan keadilan sosial. Walaupun keadilan sosial tidak sama dengan

nilai-nilai keadilan yang diimpikan dalam falsafah kehidupan yang biasa

dikembangkan oleh para filosof. Namun akhir dari pemikiran dan impian

tentang keadilan merupakan aktual dalam kehidupan nyata yang tercermin

dalam struktur kehidupan kolektif dalam masyakarat.24

Istilah keadialan sosial sangat erat dengan pembentukan struktur

kehidupan masyarakat yang didasarkan pada prinsip persamaan dan

solidaritas, dan konsep keadilan sosial mengandung makna pengakuan akan

martabat manusia yang memiliki hak yang sama yang bersifat asasi.25

Kesejahteraan umum salah satunya berasal dari sumber daya air

yang juga berkaitan erat dengan istilah “ibu pertiwi”26

dan keadilan sosial

dalam hal penyelenggaraan negara di bidang ekonomi dalam bentuk

demokrasi ekonomi dengan tujuan mewujudkan sebesar-besar kemakmuran

rakyat.

23

John Rawls, A Theory of Justice, dikutip oleh Pan Mohamad Faiz, Teori

Keadilan John Rawls, …., h., 146.

24 Jimly Asshiddiqie, Pesan Konstitusional Keadilan Sosial, lihat pada laman

http://www.jimly.com/makalah/namafile/151/PESAN_KEADILAN_SOSIAL.pdf, diakses 13

September 2019 pukul 11.27 WIB.

25 Jimly Asshiddiqie, Pesan Konstitusional Keadilan Sosial, …, diakses 13

September 2019 pukul 11.27 WIB

26 Ibu pertiwi merupakan julukan personifikasi bagi Negara Indonesia sebagai ibu

yang menyusui dan menyayangi rakyat sebagai anak-anaknya, lihat pada Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013 h., 134.

Page 75: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

65

Sebesar-besarnya kemakmuran rakyat merupakan tujuan utama dari

setiap pengelolaan dan penggunaan sumber daya alam nasional. Tujuan ini

disebut sebagai kepentingan yang tentunya tidak dapat diabaikan begitu saja

atau bersifat mutlak dan tidak dapat diubah27

, karena selain merupakan

amanat dari konstitusi, pun di cita-citakan oleh setiap warga negara dan

menjadi tanggung jawab negara sebagai konsekuensi hak menguasai negara

itu tersendiri.

Ketiga, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 45, dan Pasal 46 Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air pada poinnya berbunyi:

“hak guna usaha air dapat diberikan kepada badan usaha dengan izin dari

Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan kewenangannya”

Pada Pasal 7 selain berbunyi hak guna air meliputi hak guna pakai

air dan hak guna usaha air, pun dalam Pasal 7 Ayat (2) juga ditegaskan

bahwasanya hak guna air tersebut tidak dapat disewakan atau

dipindahtangankan baik secara sebagian maupun seluruhnya. Pasal ini terlihat

jelas bahwa sebagai sebuah hak untuk menguasai sumber daya air yang

dimiliki oleh negara. Maka seharusnya Pemerintah dalam hal ini tidak boleh

menyewakan ataupun memindahtangankan baik sebagian ataupun seluruhnya

hak guna air yang dimilikinya. Menurut peneliti juga negara memiliki

peranan dalam menguasai sumber daya dengan tujuan kemakmuran rakyat,

tentunya. Pentingnya penguasaan negara atas sumber daya air dilakukan agar

warga negara tidak saling berkelahi dalam memperjuangkan kepentingan

mereka masing-masing dan akan mengganggu keseimbangan

bermasyarakat.28

Hak guna usaha air dapat diberikan kepada pihak swasta. Jika kita

amati jelas dalam pemberian hak guna usaha air yang melibatkan partisipasi

27

Ronald Z. Titahelu, Penetapan Azas-azas Hukum Umum dalam Pengunaan

Tanah untuk Sebesar-besar Kemakmuran Rakyat, Disertasi, Program Pasca Sarjana

Universitas Airlangga, Surabaya, 1993, h., 14.

28 Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Konstitusi (Jakarta:

Kencana, 2012), h., 60.

Page 76: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

66

sektor swasta dapat disebut dengan privatisasi. Bagaimana tidak, pemberian

peluang dunia usaha seluas-luasnya ke pihak swasta sangat menunjukkan

bahwa negara melepaskan tanggung jawab akan pemenuhan hak-hak rakyat

atas air. Negara yang sejatinya merupakan sebagai pihak yang seharusnya

bertanggung jawab baik terhadap pengelolaan maupun penyediaan air untuk

masyarakat.

Pengelolaan sumber daya air harus memperhatikan fungsi sosial,

mengakomodasi semangat demokratisasi, desentralisasi, keterbukaan dalam

tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta mengakui

hak ulayat masyarakat hukum adat. Hal ini justru tidak terwujud dan

dilaksanakan oleh Pemerintah dengan tidak mengeluarkan kebijakan dan

menjalankan pengelolaan sumber daya air sesuai dengan penafsiran dari

Putusan Mahkamah Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Nomor

008/PUU-III/2005. Yang mana mengakibatkan semakin terlihatnya

keberpihakan Pemerintah kepada pihak swasta yang dengan jelasnya

memprivatisasi air. Masyarakatlah yang merasakan dampak langsung dari

undang-undang sumber daya air, yang mana semakin sulit untuk mengakses

air. Dalam penjelasan Pasal 80 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004

Tentang Sumber Daya Air Masyarakat dibebankan akan turut ikut membayar

biaya jasa pengelolaan sumber daya air secara langsung maupun tidak

langsung. Ketentuan ini tidak berlaku untuk pengguna sumber daya air yang

mengambil air bukan dari saluran distribusi.

Jika kita melihat ke masyarakat DKI Jakarta sebagai contoh

penggunaan air bahwasanya berdasarkan data Badan Pusat Statistik, Jakarta

dalam angka 2017 pengelolaan sumber daya air. Jumlah pelanggan air bersih

pada Tahun 2016 terjadi peningkatan yang signifikan sekitar 839.391

pelanggan29

dan yang memegang kendali dalam menyediakan air bersih bagi

penduduk DKI Jakarta ada di tangan PAM Lyonaise Jaya (Palyja) dan PT.

29

Badan Pusat Statistik, Jakarta dalam angka 2017, diakses pada tanggal 21

Januari 2018 dari http://ptsp.jakarta.go.id/penanaman_modal/files/sektor-investasi/Potensi-

Investasi-Sektor-Air-Bersih.pdf pukul 15.49 WIB.

Page 77: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

67

Aetra Air Jakarta (Aetra). Palyja dan Aetra merupakan perusahaan swasta

yang telah melakukan perjanjian kontrak pemerintah DKI Jakarta per 2023

dan memegang kekuasaan perihal pengelolaan air minum atau menyediakan

air bersih di DKI Jakarta. Pada sistem pelayanan air bersih perpipaan baru

mampu melayani sekitar 54% total populasi di DKI Jakarta, sisanya

memanfaatkan dari sumber air tanah, sehingga terjadi eksploitasi terhadap air

tanah.

Melihat karakteristik pengusaha swasta yang selalu mendepankan

profit-oriented dengan optimum untuk para pemegang saham. Semakin besar

diberikan hak guna usaha air untuk pihak swasta oleh Pemerintah, maka

semakin besar juga penguasaan air melalui saluran distribusi dan tentu

mengakibatkan berkurangnya sumber air non-distribusi. Maka dari itu,

masyarakat mau tidak mau, terpaksa harus membayar air untuk keperluan

sehari-harinya dan pertanian rakyat. Keterpaksaan tersebutlah yang membuat

kehidupan masyarakat tidak nyaman dan tidak terjamin kemakmurannya.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air tidak

memberikan manfaat dan kebahagiaan untuk masyarakat luas melainkan

memberikan peluang bisnis yang seluas-luasnya kepada perusahaan swasta di

bidang pengelolaan air.

D. Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi

Sebelum Mahkamah Konstitusi membatalkan Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air, peneliti mengingat dalam

agenda mendengarkan keterangan DPR, ahli atau saksi Pemohon dan

Pemerintah pada Rabu, 29 Januari 2014, terdapat keterangan seorang ahli

pemohon yaitu Irman Putra Sidin, menyatakan:

“Hal ini semakin menunjukkan bahwa Undang-Undang

Sumber Daya Air ini jauh dari karakter atau paradigma

konstitusi yang sudah terbangun sejak tahun 2012 kemarin

pascaputusan MK. Oleh karena, Undang-Undang Sumber

Daya Air sudah tidak sesuai lagi dengan konstitusi

mengingat yang dibatalkan juga termasuk pasal yang

mencabut Undang-Undang Pengairan Tahun 1974, maka

Page 78: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

68

Undang-Undang Pengairan kemungkinan akan hidup

kembali sambil memerintahkan pembentukan Undang-

Undang Pengairan yang baru, yang lebih sesuai dengan

paradigma konstitusi, mungkin paling lambat 3 tahun

setelah putusan dibacakan.”

Lanjut,

“Inkonstitusionalitas Undang-Undang Sumber Daya Air

ini penting diketahui publik sebelum pemilu presiden

karena inkonstitusionalitas Undang-Undang Sumber Daya

Air ini akan membuka mata kekuatan kapital pasar yang

ingin mencoba-coba berselingkuh dengan kekuatan

politik, guna menguasai sektor produksi konstitusi kita

bahwa Undang-Undang Sumber Daya Air yang bisa jadi

adalah desain konspiratif kekuataan pasar harus dibatalkan

atas nama supremasi konstitusi, sehingga kekuatan politik

pun tidak lagi mencoba-coba mengadaikan otoritasnya

guna mendapatkan suntikan ekonomi politik guna

pemenangan pemilu 2014 nanti.”

Dengan pertimbangan hukum yang ada, Mahkamah dalam Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013, memiliki amar putusan,

sebagai berikut :

1. Permohonan Pemohon III tidak dapat diterima;

2. Mengabulkan pemohonan Pemohon I, Pemohon II,

Pemohon

IV, Pemohon V, Pemohon VI, Pemohon VII, Pemohon

VIII, Pemohon IX, Pemohon X, dan Pemohon XI untuk

seluruhnya;

3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber

Daya Air (Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun

2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4377) bertentangan dengan Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

4. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang

Sumber Daya Air (Lembaran NegaraRepublik

Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 4377) tidak

memiliki kekuatan hukum mengikat;

Page 79: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

69

5. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 Tentang

Pengairan (Lembaran NegaraRepublik Indonesia Tahun

1974 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 3046) berlaku kembali;

6. Memerintahkan pemuatan putusan ini dengan

menempatkannya dalam Berita Negara Republik

Indonesia sebagaimana mestinya.

Penghidupan kembali akan Undang-Undang Nomor 11 Tahun

1974 Tentang Pengairan dilakukan dengan nyata oleh Mahkamah, setelah

menyatakan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya

Air bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945. Hal ini tentunya menjadi problematika dalam pengaturan

sumber daya air. Walau tujuan awal Mahkamah adalah tidak lain untuk

melindungi dari kekosongan hukum. Peneliti mengingat dalam hal

penghidupan kembali suatu aturan yang telah lama mati atau dibatalkan,

bukan pertama kali dilakukan oleh Mahkamah, contohnya: Mahkamah

membatalkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 Tentang

Perkoperasian. Namun memberlakukan atau menghidupkan kembali Undang-

Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian.30

Perlu kita ketahui, dewasa ini Undang-Undang Nomor 11 Tahun

1974 Tentang Pengairan sudah tidak sesuai, juga sangat terbatas dalam

mengatur pengelolaan sumber daya air. Hal ini tentu menjadi polemik,

seperti: Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 dibentuk sebelum era

hadirnya otonomi daerah. Kebijakan otonomi daerah di Indonesia hadir pada

tahun 1999, tepatnya sejak lahir Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999

Tentang Pemerintah Daerah, kemudian diganti dengan Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, lalu diubah menjadi

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah Daerah.

Sehingga tidak ada pelibatan pihak daerah dalam pengelolaan sumber daya

30

Putusan Mahkmah Konstitusi Nomor 28/PUU-XI/2013, akses pada laman

https://www.bphn.go.id/data/documents/28_puu_2013-uukoperasi-telahucap-28mei2014-

tdk_dtrima-_wmact.pdf pukul 16.22 WIB

Page 80: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

70

air. Di satu sisi, kepastian hukum akan perusahaan-perusahaan swasta yang

bergerak dalam bidang pengelolaan sumber daya air menjadi tidak memiliki

landasan hukum. Dapat saja perusahaan-perusahaan swasta tersebut dicabut

izinnya. Namun jika tetap diizinkan berdasarkan Di sisi lain, keadilan untuk

masyarakat dalam pemenuhan hak atas airnya terlindungi dengan

dibatalkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya

Air. Keadilan yang sudah ditunggu selama kurang lebih 10 tahun sejak

diundangkannya undang-undang a quo tersebut, diantaranya masyarakat

hukum adat tidak perlu melakukan pengukuhan terlebih dahulu kepada

Pemerintah Daerah untuk mendapatkan hak atas air. Masyarakat tidak perlu

membayar biaya pengelolaan sumber daya air, yang mana sejatinya menjadi

tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Tidak ada batasan

penggunaan air baik untuk pertanian di luar atau di dalam irigasi.

Dalam pertimbangan hukum Mahkamah memberikan enam prinsip

dasar pembatasan yang menjadi acuan atau dasar Pemerintah dalam

menyusun aturan transisi dan rancangan undang-undang sumber daya air

yang baru, yaitu;

“pembatasan pertama adalah setiap pengusahaan atas air

tidak boleh mengganggu, mengesampingkan, apalagi

meniadakan hak rakyat atas air karena bumi dan air dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya selain harus

dikuasai oleh negara, juga peruntukannya adalah untuk

sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kedua bahwa negara

harus memenuhi hak rakyat atas air. sebagaimana

dipertimbangkan di atas, ……, ‘perlindungan, pemajuan,

penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah

tanggung jawab negara, terutama pemerintah’. Ketiga, harus

mengingat kelestarian lingkungan hidup, sebab sebagai

salah satu hak asasi manusia,…... Keempat, sebagai cabang

produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang

banyak yang harus dikuasai oleh negara, …….,

pengendalian oleh negara atas air sifatnya mutlak. Kelima,

sebagai kelanjutan hak menguasai oleh negara … prioritas

utama yang diberikan pengusahaan atas air adalah Badan

Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah.

Keenam, apabila setelah semua pembatasan tersebut di atas

sudah terpenuhi dan ternyata masih ada ketersediaan air,

pemerintah masih dimungkinkan untuk memberikan izin

Page 81: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

71

kepada usaha swasta untuk melakukan pengusahaan atas air

dengan syarat-syarat tertentu dan ketat.”

Setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-

XI/2013, dengan memperhatikan keenam prinsip dari Mahkamah, sebagai

implementasinya Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor

121 Tahun 2015 Tentang Pengusahaan Sumber Daya Air dan Peraturan

Pemerintah Nomor 122 Tahun 2015 Tentang Sistem Penyediaan Air Minum

sebagai pelaksana aturan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974

Tentang Pengairan. Dalam Peraturan Pemerintah ini, swasta tetap dilibatkan

namun dengan porsi tertentu. Memiliki porsi dimana pemerintah dalam

kondisi tidak memungkinkan atau tidak mempunyai kapasitas untuk

mengelola sumber daya air tersebut secara mandiri, tentunya dengan skema

kerjasama dengan perijinan yang cukup ketat sebagai upaya kontrol.31

31 Laporan Penelitian, Analisis Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi atas

Pengelolaan Sumber Daya Alam Kerjasama antara Mahkamah Konstitusi dan Fakultas

Hukum Universitas Brawijaya Malang, (Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah

Konstitusi Republik Indonesia, 2017, h., 57. http://www.mkri.id diakses tertanggal 8

September 2019 pukul 20.01 WIB.

Page 82: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

72

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dari seluruh rangkaian penelitian serta pengkajian

yang telah dilakukan, maka peneliti menarik kesimpulan dari permasalahan

yang telah ditemukan dalam skripsi ini, sebagai berikut:

1. Pertimbangan disparitas atau perbedaan Mahkamah Konstitusi dalam

putusan kedua terkait sumber daya air didasarkan pada tiga alasan,

sebagai berikut:

Pertama, perihal hak ulayat masyarakat hukum adat atas

sumber daya air tetap diakui sepanjang kenyataannya masih ada dan

telah dikukuhkan dengan peraturan daerah setempat. Mahkamah pada

putusan nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan nomor 008/PUU-

III/2005, menilai ketentuan sebagaimana tertera dalam undang-undang

a quo tersebut menilai untuk menjamin hak masyarakat hukum adat atas

sumber daya air. Terkait pengukuhan dengan peraturan daerah harus

dimaknai tidak bersifat konstitutif melainkan deklaratif semata.

Sedangkan pada putusan nomor 85/PUU-XI/2013, Mahkamah

berpendapat ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 18B Ayat (2)

UUD Tahun 1945 juga sampai saat ini undang-undang yang mengatur

akan masyarakat hukum adat belum ada, sehingga jelas menyalahi

hirarki dan bertentangan dengan asas peraturan perundang-undangan

dan merugikan konstitusional masyarakat hukum adat.

Kedua, hak guna pakai air diperoleh tanpa izin dan menjadi

prioritas pertanian rakyat bagi yang berada di dalam sistem irigasi. Pada

point ini pada putusan nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan

nomor 008/PUU-III/2005, Mahkamah berpendapat hak guna pakai air

yang dirumuskan dalam Pasal 8 undang-undang a quo lebih bersifat

penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi atas air. Mahkamah

juga berpendapat dalam pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari

Page 83: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

73

masyarakat, tidaklah cukup dengan menggunakan sumber air yang

diperoleh langsung dari sumber air, tetapi juga menggantungkan pada

saluran distribusi. Maka kewajiban Pemerintah untuk memenuhi hak

atas air di luar hak pakai air telah tercermin salah satunya dalam Pasal

29. Sedangkan pada Putusan Nomor 85/PUU-XI/2013 Mahkamah

berpendapat pengguna sumber daya air untuk memenuhi kebutuhan

pokok sehari-hari dan untuk pertanian rakyat tidak dibebani biaya jasa

pengelolaan sumber daya air, sepanjang pemenuhan kebutuhan pokok

sehari-hari dan untuk pertanian rakyat di atas diperoleh langsung dari

sumber air. Namun jika dalam pemenuhan kebutuhan sehari-sehari

menggantungkan pada saluran distribusi, maka Pemerintah dan

Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam pengembangan sistem

penyediaan air minum dan harus menjadi prioritas program Pemerintah

dan Pemerintah Daerah.

Ketiga, Hak guna usaha air dapat diberikan kepada badan

usaha dengan izin dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah dengan

kewenangannya. Pada putusan nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004

dan nomor 008/PUU-III/2005, Mahkamah berpendapat sumber daya air

tidak semata-mata hanya untuk kebutuhan pokok sehari-hari secara

langsung, akan tetapi dalam fungsi sekundernya dibutuhkan untuk

memenuhi kegiatan industri baik industri kecil, menengah maupun

besar yang dilakukan oleh non Pemerintah. Sebagai unit kegiatan

ekonomi penting bagi usaha untuk meningkatkan taraf hidup

masyarakat. Sedangkan dalam putusan nomor 85/PUU-XI/2013,

Mahkamah berpendapat pemanfaatan air di luar hak guna pakai air

yakni hak guna usaha air, harus melalui permohonan izin kepada

Pemerintah, serta memberikan pembatasan yang sangat ketat dalam

pengusahaan sumber daya air, antara lain setiap pengusahaan atas air

tidak boleh mengganggu, mengesampingkan, apalagi meniadakan hak

rakyat atas air karena sejatinya bumi dan air dan kekayaan alam yang

Page 84: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

74

terkandung di dalamnya selain harus dikuasai oleh negara, juga

diperuntukkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

2. Implimentasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013

dalam mewujudkan kesejahteraan dalam penggunaan dan pemanfaatan

sumber daya air di Indonesia, pemerintah mengeluarkan Peraturan

Pemerintah Nomor 121 Tahun 2015 Tentang Pengusahaan Sumber

Daya Air dan Peraturan Pemerintah Nomor 122 Tahun 2015 Tentang

Sistem Penyediaan Air Minum

B. Rekomendasi

Walaupun Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 Tentang

Pengairan dihidupkan kembali dengan tujuan untuk tidak terjadi kekosongan

hukum dan Pemerintah sudah mengeluarkan peraturan pelaksananya yaitu

Peraturan Peraturan Pemerintah Nomor 121 Tahun 2015 Tentang

Pengusahaan Sumber Daya Air dan Peraturan Pemerintah Nomor 122 Tahun

2015 Tentang Sistem Penyediaan Air Minum. Namun menurut peneliti

tidaklah cukup, karena payung hukum utama sumber daya air merupakan

produk hukum tahun 1974-an yang mana di dalamnya masih sangat terbatas

dengan keadaan hukum sekarang.

Penegasan kembali akan wewenang pemegang alih kuasa dalam

sumber daya air yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sebagaimana tertuang dalam

pertimbangan Mahkamah benar-benar harus diperhatikan. Jika pihak swasta

ingin turut bergabung dalam pengelolaan sumber daya air harus bekerja sama

dengan pemerintah, bukan dengan pemberian izin semata, yang mana

menurut peneliti itu hanya sekedar formalitas semata untuk menguasai

perekonomian di bidang sumber daya air Indonesia.

Page 85: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

75

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku

Ahmadi, Muhammad. Fahri. Jaenal Aripin. Metode Penelitian Hukum. Ciputat:

Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah. 2010.

Alfitra. Hapusnya Hak dan Menuntut Mennjalankan Pidana. Depok: Raih Asia

Sukses, 2012.

Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2009.

Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta:

Konstitusi Press, 2006.

, Perkembangan & Konsulidasi Lembaga Negara Pasca

Reformasi. Jakarta: Konstitusi Press, 2006.

Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-

undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya. Djambatan: Jakarta,

2007.

I Dewa Gede Atmadja, Demokrasi, HAM, dan Konstitusi. Malang: Setara Press,

2011.

J. Parsons, Patricia. Terjemahaan: Etika Public Relations Panduan Praktik

Terbaik. London: Erlangga, 2007.

Kusnadi, Moh. Bintan R. Saragih. Ilmu Negara. Jakarta: Gaya Media Pratama,

2008.

Manan, Bagir. Dissenting Opinion. Jakarta: IKAHI, 2006.

Mahmud Marzuki, Peter. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2010.

Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Konstitusi. Jakarta: Kencana,

2012.

Page 86: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

76

Rhti, Hyronimus. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya

Yogyakarta, 2011.

Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Konstitusi. Jakarta: Kencana,

2012.

Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara

Mahkamah Konstitusi. Sekretaris Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah

Konstitusi: Jakarta. 2010.

Setiawan, Yudhi. Boedi Djatmiko Hadiatmodjo. Imam Ropiin. Hukum

Administrasi Pemerintahan Teori dan Praktik Depok: Rajawali Press,

2017.

Siahaan, N.H.T. Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, edisi kedua.

Jakarta: Erlangga, 2004.

Sudiro, Ahmad. Deni Bram. Hukum dan Keadilan (Aspek Nasional dan

Internasional). Jakarta: Rajawali Press, 2013.

Syukri Albani Nasution, Muhammad. Zul Pahmi Lubis. Hukum dalam

Pendekatan Filsafat. Jakarta: Kencana, 2015.

S.W. Sumardjono, Maria. Nurhasan Ismail, dkk. Pengaturan Sumber Daya

Alam di Indonesia antara yang Tersurat dan Tersirat (Kajian Kritis

Undang-undang Terkait Penataan Ruang dan Sumber Daya Alam.

Yogyakarta: FH UGM, 2014.

Wahid, Abdul, Dilema dan Akibat Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi

mengenai Kewenangan Memutus Sengketa Pilkada, dalam Jurnal

Konstitusi Volume 11 Nomor 4, Desember 2014.

Yuliandri. Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang Baik

Gagasan Pembentukan Undang-undang Berkelanjutan. Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada, 2010.

Page 87: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

77

Zoelva, Hamdan. Mengawal Konstitusionalisme. Jakarta: Konstitusi Press, 2016.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi

Undang-Undang Nomr 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974 Tentang Pengairan

Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang

Bebas dan Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme

Putusan Mahkamah Konstitusi

Putusan Mahkmah Konstitusi Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004, dan nomor

008/PUU-III/2005

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 85/PUU-XI/2013

Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 Tentang

Sumber Daya Air

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 24/PUU-X/2012 Tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 002/PUU-I/2003 Tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas

Putusan Mahkmaah Konstitusi Nomor 20/PUU-V/2007 Tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-X/2012 Tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas

Page 88: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

78

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 001-021-022-/PUU-I/2003 Tentang

Pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 Tentang

Ketenagalistrikan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 149/PUU-VIII/2009 Tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan

Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 9/PUU-XI/2013 Tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 106/PUU-XI/2013 Tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 17/PUU-XIV/2016 Tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 111/PUU-XI/2015 Tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 Tentang Ketenagalistrikan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/PUU-III/2005 Tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun

2004 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 013/PUU-III/2005 Tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun

2004 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 021/PUU-III/2005 Tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

Page 89: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

79

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun

2004 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-VII/2010 Tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun

2004 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 72/PUU-VIII/2010 Tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun

2004 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 45/PUU-IX/2011 Tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun

2004 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 105/PUU-X/2012 Tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun

2004 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

Page 90: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

80

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 Tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun

2004 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 70/PUU-XII/2014 Tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun

2004 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-XV/2017 Tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun

2004 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 Tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 121/PUU-VII/2009 Tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral

dan Batubara

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 72/PUU-VIII/2010 Tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral

dan Batubara

Page 91: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

81

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 32/PUU-VIII/2010 Tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral

dan Batubara

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-VIII/2010 Tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral

dan Batubara

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 25/PUU-VIII/2010 Tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral

dan Batubara

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108/PUU-XII/2014 Tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral

dan Batubara

Putusan Mahkmaah Konstitusi Nomor 10/PUU-XII/2014 Tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral

dan Batubara

Putusan Mahkmah Konstitusi Nomor 28/PUU-XI/2013 Tentang Pengujian

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian

Jurnal

Chalid, Hamid. Arief Ainul Yaqin, Studi tentang Hukum Air dan Problematika

Pemenuhan Hak Asasi Manusia atas Air di Indonesia, Jurnal Hukum

dan Pembangunan Tahun ke-48 No. 2 April-Juni 2018

Farhani, Athari. Ibnu Sina Chandranegara, Penguasaan Negara terhadap

Pemanfaatan Sumber Daya Alam Ruang Angkasa Menurut Undang-

undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam Jurnal

Konstitusi Volume 16 Nomor 2, Juni 2019

Page 92: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

82

Hardjaloka, Loura. Legal Reasoning Pada Pekara Pengujian Undang-undang

(Studi Perbandingan), dalam Jurnal Konstitusi, Volume 12, Nomor 1,

Maret 2015

Mohamad Faiz, Pan. Teori Keadilan John Rawls, dalam Jurnal Konstitusi, Vol. 6,

No. 1, April 2009

Mulyani, Lilis. Pengelolaan Sumber Daya Alam di Mata Mahkamah Konstitusi:

Analitis Kritis atas Putusan Mahkamah Konstitusi tentang Sumber

Daya Alam, dalam Jurnal Masyarakat & Budaya, Vol. 10 No. 2 Tahun

2008

Puspitasi, Santi. Utari Nindyaningrum. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 85/PUU-XI/2013 Terhadap Sistem Penyediaan Air Minum.

Jurnal Penelitian Hukum Vol. 2 No. 1. Maret 2015

Rahman, Faiz. Dian Agung Wicaksono, Eksistensi dan Karakteristik Putusan

Bersyarat Mahkamah Konstitusi, dalam Jurnal Konstitusi, Vol. 13, No.

2, Juni 2016

Saviour Wilade, Revolver. Penerapan Dissenting Opinion dalam Proses

Pengambilan Putusan Perkara Korupsi, dalam Jurnal Lex Privatum

Vol. VI/No. 4/Jun/2018,

, Penerapan Dissenting Opinion dalam Proses

Pengambilan Putusan Perkara Korupsi, dalam Jurnal Lex Privatum

Vol. VI/No. 4/Jun/2018, h., 161.

Sina Chandranegara, Ibnu. Purifikasi Konstitusional Sumber Daya Air Indonesia,

dalam Jurnal Rechtsvinding Media Pembinaan Hukum Nasional,

Volume 5, Nomor 3, Desember 2016

Wahid, Abdul. Tafsir Misoginisme dan Inkonsistensi Birokrat (Implikasi Putusan

MK Nomor 4/PUU-VIII/2010), Jurnal Konstitusi, Volume 8 Nomor 2

April 2010

Page 93: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

83

Karya Ilmiah

Dachran Busthami, Kekuasaan Kehakiman dalam Perspektif Negara Hukum di

Indonesia, dalam Karya Ilmiah, Jilid 46 No. 4, Oktober 2017.

Hamid. Chalid, Hak-Hak Asasi Manusia Atas Air: Studi Tentang Hukum Air di

Belanda, India dan Indonesia, Disertai Doktor Ilmu Hukum Fakultas

Hukum Universitas Indonesia, Jakarta: Program Pasca Sarjana Strata 3,

2009.

Titahelu, Ronald Z. Penetapan Azas-azas Hukum Umum dalam Pengunaan Tanah

untuk Sebesar-besar Kemakmuran Rakyat, Disertasi, Program Pasca

Sarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 1993.

Majalah

Percik Edisi III, 2010, Majelis Umum PBB Sahkan Resolusi Hak Azasi Atas Air,

Pan Mohamad Faiz, lihat pada Ruang Konstitusi di Majalah Konstitusi Nomor

144, Februari 2019

Kamus

Kamus Besar Bahasa Indonesia (Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2016

Henry Campbrell Black, Black’s Law Dictionary (West Publishing, 1968

Kamus Hukum Online Indonesia, https://kamushukum.web.id

Media Internet

Jimly Asshiddiqie, Pesan Konstitusional Keadilan Sosial, lihat pada laman

http://www.jimly.com/makalah/namafile/151/PESAN_KEADILAN_SOS

IAL.pdf, diakses 13 September 2019 pukul 11.27 WIB.

http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20381404-Himpunan%20Risalah%20sidang-

sidang%20dari%20BPUPKI%20dan%20PPKI%20yang%20berhubung

Page 94: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

84

an%20dengan%20penyusunan%20undang-

undang%20dasar%201945.pdf diakses tertanggal 9 September 2019

pukul 13.03 WIB.

https://foodtech.binus.ac.id/2015/03/19/air-bagi-kehidupan/ diakses tertanggal 1

Juli 2019 pukul 20.12 WIB.

https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/1572/05.2%20bab%202.pdf?s

equence=9&isAllowed=y diakses tertanggal 27 Juli 2019 pukul 21.32

WIB.

http://digilib.uinsby.ac.id/672/5/Bab%202.pdf diunduh pada Kamis, 7 Juli 2019.

http://digilib.uin-suka.ac.id/17320/ diakses tertanggal 21 Januari 2019 pukul 22.12

WIB.

http://eprints.walisongo.ac.id/8159/1/132311071.pdf diakses tertanggal 22 Januari

2019 pukul 13.45 WIB

http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/19377/SKRISI%20LEN

GKAP-HTN-

ANDI%20SUTOMU%20IQWAL%20ISKANDAR.pdf?sequence=1

diakses tertanggal 23 Januari 2019 pukul 09.55 WIB.

http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/12/jtptiain-gdl-s1-2005-

slametseni-590-COVER_dl-7.pdf diakses tertanggal 22 Januari 2019

pukul 14.00 WIB.

http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/5629/1/AFNANUL%20

HUDA-FSH.pdf diakses tertanggal 23 Januari 09.45 WIB.

http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/32978 diakses tertanggal

23 Januari 2019 pukul 10.00 WIB.

https://jurnal.ugm.ac.id/jph/article/view/19114 diakses tertanggal 20 Juli 2019

pukul 21.23 WIB.

Page 95: DISPARITAS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERKAIT …

85

https://mkri.id/index.php?page=web.RisalahSidang&id=396&kat=1&cari=2

diakses tertanggal 18 September 2019 pukul 14.37 WIB.

http://ptsp.jakarta.go.id/penanaman_modal/files/sektor-investasi/Potensi-

Investasi-Sektor-Air-Bersih.pdf diakses tertanggal 21 Januari 2019

pukul 15.49 WIB.

https://www.bphn.go.id/data/documents/28_puu_2013-uukoperasi-telahucap-

28mei2014-tdk_dtrima-_wmact.pdf diakses tertanggal 3 September

2019.

https://mkri.id/public/content/infoumum/penelitian/pdf/hasilpenelitian_edit_60_A

nalisis%20Implementasi%20Putusan%20Mahkamah%20Konstitusi%2

0atas%20Pengelolaan%20Sumber%20Daya%20Alam%20%20-

%20Laporan%20Hasi%20Penelitian%20P4TIK%20MK%20&%20Uni

versitas%20Brawijaya%20Malang.pdf diakses tertanggal 8 September

2019.

Laporan Penelitian, Analisis Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi atas

Pengelolaan Sumber Daya Alam Kerjasama antara Mahkamah

Konstitusi dan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang,

(Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik

Indonesia, 2017, http://www.mkri.id diakses tertanggal 8 September

2019 pukul 20.01 WIB.