Post on 31-Oct-2020
ANALISIS STATUS PENDIDIKAN TERHADAP MOBILITAS
SOSIAL MASYARAKAT DI GAMPONG AMARABU
KECAMATAN SIMEULUE CUT
KABUPATEN SIMEULUE
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan
Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial
OLEH
Hajrul Amin
09c20210026
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
PROGRAM STUDI ILMU SOSIOLOGI
UNIVERSITAS TEUKU UMAR
MEULABOH-ACEH BARAT
2016
ix
ABSTRAK
Hajrul Amin Nim 09c20210026 dengan judul : Mobilitas Sosial Masyarakat
di Gampong Amarabu Kecamatan Simeulue Cut Kabupaten Simeulue. di
Bawah Bimbingan Sudarman Alwy dan Triyanto.
Dalam perspektif masyarakat Simeulue pada umumnya beranggapan jika
pendidikan seseorang lebih tinggi maka akan tinggi pula derajat sosialnya dalam
masyarakat dan biasanya ditempuh lewat pendidikan di jenjang-jenjang hasil
belajar dari pendidikan formal tersebut. Makin tinggi pendidikannya maka makin
tinggi pula tingkat penguasaan ilmunya sehingga dipandang memiliki status yang
tinggi dalam masyarakat Simeulue. Tujuan penelitian ini adalah Untuk
mengetahui persepsi masyarakat terhadap tingkat pendidikan dan mengapa
masyarakat di Gampong Amarabu Kecamatan Simeulue Cut Kabupaten Simeulue
melakukan mobilitas pendidikan. Penelitian ini menggunakan metode penelitian
kualitatif dengan teknik pengumpulan sumber data menggunakan teknik
purposive sampling, dengan sumber data primer dan data sekunder. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa Pendidikan merupakan jalan bagi mobilitas sosial.
Pendidikan dipandang sebagai jalan untuk mencapai kedudukan yang lebih baik
dalam masyarakat. Pendidikan merupakan hal terpenting pada banyak dunia kerja,
karena jika tanpa ijazah pendidikan tinggi, mendapat pekerjaan yang layak dalam
struktur sosial masyarakat adalah sesuatu yang jarang terjadi. Hampir pada
umumnya dalam pandangan masyarakat luas memiliki ijazah perguruan tinggi
merupakan bukti akan kesanggupan intelektualnya dapat memperluas pandangan
dan pemahamanya mengenai masalah-masalah dunia. Masyarakat Amarabu dalam
melakukan mobilitas karena dengan pendidikan status sosial akan naik ke yang
lebih baik dalam masyarakat. Tingginya tingkat pendidikan berpeluang besar
terhadap kenaikan status sosial dalam masyarakat. Hal ini terlihat dengan
banyaknya perbedaan antara status sosial seseorang dibandingkan dengan orang
tuanya dalam masyarakat Amarabu.
Kata Kunci: Mobilitas, Sosial, Masyarakat, Perspektif, Intelektualnya
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam tiap masyarakat terdapat mobilitas sosial atau perpindahan
golongan yang cukup banyak. Naik atau turun statusnya dalam berbagai sistem
dalam masyarakat itu yang didasarkan atas golongan sosial, kekayaan jabatan,
kekayaan dan sebagainya. Perpindahan orang dari golongan sosial yang lain, yang
lebih tinggi atau lebih rendah disebut mobilitas sosial vertikal. (S. Nasution, h. 35-
36). Mobilitas sebagai salah satu indikator bahwa masyarakat mengalami
kamajuan atau tidak cukup pantas kiranya dijadikan sebuah orientasi dari
pendidikan. Sebab, tanpa adanya mobilitas sosial masyarakat tidak mungkin untuk
mencapai kemajuan dan kesejahteraan.
Manusia memerlukan kedudukan dan peranan dalam kehidupan
masyarakat sehingga terjadi pelapisan masyarakat dan mobilitas sosial, karena
dengan adanya gejala tersebut sekaligus dapat memecahkan masalah yang
dihadapi masyarakat, yaitu penempatan individu pada tempat-tempat yang
tersedia dalam struktur sosial dan mendorong individu-individu tersebut agar
melaksanakan kewajiban yang sesuai dengan kedudukan dan peranannya,
pengisian tempat-tempat tersebut merupakan daya dorong agar masyarakat
bergerak sesuai dengan fungsinya.
Pendidikan merupakan hal terpenting pada banyak dunia kerja, karena jika
tanpa ijazah pendidikan tinggi, mendapat pekerjaan yang layak dalam struktur
sosial masyarakat adalah sesuatu yang jarang terjadi. Hal ini disebabkan karena
2
perguruan tinggi masih dapat memberi perluasan mobilitas, meskipun jaminan
ijasah belum tentu meningkat untuk status sosial.
Dalam temuan sementara peneliti menemukan Gampong Amabaru
merupakan salah satu Gampong di Provinsi Aceh tepatnya di Kecamatan
Simeulue Cut Kabupaten Simeulue yang tingkat pendidikannya tampak terjadi
perubahan ke arah yang lebih baik. Dalam persektif lain masyarakat Simeulue
pada umumnya beranggapan jika pendidikan seseorang lebih tinggi maka akan
tinggi pula derajat sosialnya dalam masyarakat dan biasanya ditempuh lewat
pendidikan di jenjang-jenjang hasil belajar dari pendidikan formal tersebut. Makin
tinggi pendidikannya maka makin tinggi pula tingkat penguasaan ilmunya
sehingga dipandang memiliki status yang tinggi dalam masyarakat Simeulue.
Namun dengan perkembangan pada dunia usaha di Simeulue banyak yang mulai
mempercayai bahwa skill atau kemampuan lebih diutamakan dari pada ijasah
yang kadang kala tidak sesuai dengan kompetensi tanda lulus tersebut.
Beberapa lembaga baik negeri maupun swasta di Simeulue yang memiliki
pekerja yang dipekerjakan karena melihat skill bukan dari ijazahnya, seperti pada
dua sekolah tingkat pertama dan sekolah tingkat atas yang ada di Gampong
Amarabu yang mengupayakan mengangkat guru dari tenaga honorer menjadi guru
tetap dengan alasan guru tersebut menguasai komputer karena saat ini segala hal
mengenai data guru harus di olah dan dikirim melalui internet, sehingga sekolah
tersebut sangat membutuhkan guru tersebut karena memiliki skill dibidang
komputer untuk mengakses internet demi kelancaran administrasi yang
dibutuhkan oleh sekolah, padahal ijazah terakhirnya bukan dari latar belakang
sebagai pendidik.
3
Hal ini juga ditemukan pada bidang kesehatan, seperti salah seorang
mantri (orang yang bergerak dibidang medis tetapi bukan dokter) yang mengobati
banyak orang, dan banyak orang yang merasa berhasil diobati, padahal latar
belakang mantri tersebut bukan dari kalangan medis melainkan seorang pensiunan
pegawai negeri sipil dengan ijazah terakhir bergelar Insyiur. Namun berkat
pekerjaan sebagai mantri ini, mampu membiayai bersekolah lagi dibidang medis
untuk mendukung karir yang sedang dijalani. Dari hasil temuan sementara di
Gampong Amarabu membuktikan bahwa skill sekarang ini merupakan salah satu
peluang seseorang agar bisa menduduki strata sosial yang diinginkan di dalam
masyarakat.
“Kesempatan pakerjaan antara satu daerah dengan daerah lainnya berbeda-
beda karena mobilitas sosial dipengaruhi adanya pendidikan, sehingga hubungan
dengan mobilitas sosial dipengaruhi kesempatan memperoleh pekerjaan sesuai
dengan kualifikasi pendidikannya” (Jalal, Faisal, et.al, h. 34). Sehingga apabila
ingin mobilitas sosial semakin baik maka kesempatan memperoleh pendidikan
semakin baik, dan hasil pendidikan sesuai dengan kebutuhan lapangan pekerjaan.
Berdasarkan uraian di atas yang menjadi latar belakang masalah maka penulis
terdorong untuk mengungkap fakta-fakta lebih jauh dan mengangkat suatu
penelitian dengan judul: ”Analisis status pendidikan terhadap mobilitas sosial
masyarakat di Gampong Amarabu Kecamatan Simeulue Cut Kabupaten
Simeulue”
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah:
4
1. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap tingkat pendidikan di Gampong
Amarabu Kecamatan Simeulue Cut Kabupaten Simeulue?
2. Bagaimana masyarakat Gampong Amarabu Kecamatan Simeulue Cut
Kabupaten Simeulue melakukan mobilitas pendidikan?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari studi ini adalah:
1. Untuk mengetahui persepsi masyarakat terhadap tingkat pendidikan di
Gampong Amarabu Kecamatan Simeulue Cut Kabupaten Simeulue.
2. Untuk mengetahui mengapa masyarakat di Gampong Amarabu Kecamatan
Simeulue Cut Kabupaten Simeulue melakukan mobilitas pendidikan.
1.4 Manfaat Penelitian
Setelah penelitian ini selesai, peneliti berharap dapat mengambil beberapa
manfaat yaitu sebagai berikut :
1.4.1 Manfaat Teoritis
Sebagai sarana untuk melatih dan mengembangkan kemampuan berfikir
ilmiah dengan sistematis dan metodologis sebagai wacana baru guna memperkaya
aspek kognitif, akdemisnya, Agar menjadi masukan secara langsung maupun
tidak bagi perpustakaan depatemen ilmu sosiologi mengingat minimnya wacana
sepert ini, dan juga sebagai referensi bagi penulis dan bagi pihak-pihak lain yang
ingin melakukan penelitian ini lebih lanjut.
1.4.2 Manfaat praktis
Dapat memberikan konstribusi mengenai data dan imformasi yang dapat
membantu penelitian labih lanjut dari peneliti-peneliti lainnya terutama mobilitas
sosial masyarakat.
5
1.5 Sistematika Pembahasan
Bab I : Pendahuluan.
Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta sistematika
pembahasan.
Bab II : Tinjauan Pustaka
Bab ini membahas mengenai landasan teori sebagai pijakan
dasar untuk melakukan penelitian lebih lanjut dengan acuan
teori teori yang relevansi dengan hal yang diteliti.
Bab III : Metodologi Penelitian
Bab ini terdiri dari bentuk penelitian, lokasi penelitian, teknik
pengumpulan data, teknik analisis data serta jadwal penelitian.
Bab IV : Hasil Penelitian dan Pembahasan
Bab ini membahas mengenai hasil penelitian yang ditemui
dilapangan, yang menyangkut dengan penelitian serta relevansi
dengan landasan teori sebagai pijakan serta pembahasan
mengenai hasil penelitian keseluruhan.
Bab V : Kesimpulan dan Saran
Bab ini membahas mengenai kesimpulan dari hasil penelitian
secara keseluruhan dan berisi saran-saran untuk kedepan.
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Terdahulu
Sebagai bahan pertimbangan dalam penelitian ini akan dicantumkan
beberapa hasil kajian terdahulu serta relevan yang digunakan oleh peneliti yaitu:
Kajian dari Indera Ratna Megawati 2010. Universitas Indonesia, Penelitian
ini menggunakan metode kuantitatif, menggunakan model socio economic index
dari Ducan dan teori kajian Marx dan Weber, dengan judul penelitian Mobilitas
Sosial Antar Generasi, dengan rumusan masalah bagaimanakah mobilitas relatif
antara orang tua dan anak dilihat baik secara keseluruhan maupun mobilitas ayah
dan anak serta ibu dan anak?. Dalam lembaga pendidikan seperti sekolah, pada
umumnya merupakan saluran mobilitas sosial vertikal. Bahkan sekolah-sekolah
dapat dianggap sebagai social elevator yang bergerak dari kedudukan-kedudukan
yang paling rendah kepada kedudukan yang paling tinggi. kesimpulan kajiannya
menyebutkan bahwa berubahnya kedudukan secara vertikal disebabkan oleh
adanya proses alamiah, yaitu adanya proses pergantian generasi maupun proses-
proses kultural yang berlangsung melalui saluran pendidikan, politik, maupun
yang bersifat sosiokultural.
Selanjutnya kajian Wardah Hanafie 2009. Universitas Sumatra Utara
dengan judul kajian pendidikan, stratifikasi sosial, dan mobilitas sosial, dengan
rumusan masalah apakah faktor pendidikan, mempengaruhi mobilitas vertikal
naik?. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan analisis interaktif.
Teori yang dipakai kajian Marx dan Weber. Dari hasil kajian diperoleh
7
kesimpulan bahwa pendidikan dapat memperkokoh stratifikasi sosial dalam
masyarakat, dan dapat mendorong mobilitas sosial yang utama yaitu vertikal.
Pendidikan berfungsi untuk menyiapkan peserta didik untuk beradaptasi dalam
konteks sosial, dan generasi ini akan membawa pada stratifikasi dan mobilitas
sosial di dalam masyarakat.
Terdapat perbedaan antara kajian penelitian terdahulu dengan yang dikaji
dalam penelitian ini yang lebih menitik beratkan kajian mengenai mobilitas sosial
yang terjadi (dalam pendidikan) berpengaruh terhadap perubahan masyarakat di
tilik dari teori struktural fungsional. Dimana individu dari masyarakat
memerlukan kedudukan dan peranan dalam kehidupan masyarakat sehingga
terjadi pelapisan masyarakat dan mobilitas sosial, penempatan individu pada
tempat-tempat yang tersedia dalam struktur sosial dan merupakan daya dorong
agar masyarakat bergerak sesuai dengan fungsinya.
2.2 Pengertian Mobilitas Sosial
Menurut tinjauan etimologis konsep mobilitas sosial berasal dari kata
mobilis (latin) yang berarti bergerak, dan kata sosial (Inggris), yang artinya
masyarakat. Jadi secara etimologis mobilitas sosial adalah gerakan masyarakat.
Menurut pakar sosiologi Indonesia (Soerjono, 2000, h. 34), mobilitas sosial adalah
suatu gerak dalam struktur sosial, yaitu pola-pola tertentu yang mengatur
organisasi suatu kelompok sosial. Setiap kedudukan yang ada di dalam
masyarakat mempunyai sejumlah peranan yang berisi tentang hak-hak maupun
kewajiban yang harus dilakukan seseorang berkaitan dengan kedudukannya.
Mobilitas sosial dalam pengertian sosiologi secara umum merupakan
perubahan status sosial atau status pekerjaan seseorang. Giddens mendefinisikan
8
mobilitas sosial sebagai “pergerakan individu-individu dan kelompok-kelompok
diantara kelompok sosial ekonomi yang berbeda” (Giddens, 2001, h. 30). Hal
senada dinyatakan oleh Lipset dan Bendix bahwa dalam (Giddens, 2001, h. 36)
bahwa mobilitas sosial merujuk pada proses dimana para individu berpindah dari
satu posisi ke posisi lain dalam masyarakat – posisi tersebut telah diberikan nilai
hirarkis tertentu secara khusus berdasarkan kesepakatan dalam masyarakat. Proses
perpindahan individu-individu tersebut terjadi dari posisi rendah ke posisi yang
lebih tinggi, ataupun sebaliknya. Maka dapat disimpulkan bahwa mobilitas sosial
adalah perpindahan seorang atau sekelompok orang dari kedudukannya yang satu
ke kedudukan lain. Kedudukan dapat berarti, situasi tempat, dapat pula berarti
status.
2.3 Pengertian Pendidikan
2.3.1 Pendidikan dalam Analisis Sosiologis
Setiap individu, kelompok, komunitas, masyarakat, atau Negara yang
menjalankan program pendidikan formal melakukannya dengan sengaja dan untuk
alasan tertentu. Alasan itu berasal dari keyakinan umum yang mengikat individu-
individu terkait pada situasi pertemuan khusus yang menghendaki adanya
keputusan dan tindakan kelompok. Ketika masyarakat yakin bahwa mereka
memiliki cara hidup yang tak ternilai harganya, mereka mengupayakan sarana
untuk meneruskan cara hidup itu kepada anak turunannya, dan hasrat inilah yang
meningkat menjadi pendidikan formal. (SPA Teamwork, 2005, h. 15).
Pendidikan formal menjadi pusat pelestarian dan pengembangan nilai-
nilai, sebuah proses penyiapan peserta didik untuk hidup bermasyarakat. Tugas
utama pendidikan, termasuk pendidikan di sekolah, yang paling utama ialah
9
menanamkan nilai-nilai. Internalisasi nilai-nilai tentunya adalah nilai yang positif
yang dapat membantu peserta didik untuk hidup bermasyarakat.
Sesuai dengan konteks misi kemanusiaan, pendidikan merupakan usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi diri, kepribadian
kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya dan
masyarakat. (Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 bab 1
ayat 1 tentang Sistim Pendidikan Nasional) Kegiatan pendidikan sebagai upaya
membentuk manusia sebagaimana mestinya agar dapat menjalankan misinya
sebagai anggota masyarakat.
Pendidikan dalam kehidupan manusia senantiasa berjalan dalam berbagai
aspek, apakah aspek hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya. Hal
ini menegaskan pendidikan tidak melihat manusia sebagai sosok yang sama,
karena manusia memiliki karakteristik yang penuh variatif antara yang satu
dengan yang lain. Keanekaragaman manusia dapat dipertemukan dalam konteks
pendidikan dan memang pendidikan mestinya perlu memfasilitasi ‘perbedaan’
agar bisa berkembang. (Ramayulis, 2009, h. 15) Setting sosial yang efektif di
dalam pendidikan akan menumbuhkan interaksi positif dan efektif dalam
kehidupan sosial.
Masyarakat yang dinamis dan melangkah maju yang di dalamnya domain
pendidikan mendapat apresiasi. Tugas utama pendidikan adalah mengidentifikasi
dan memisahkan orang-orang yang terlahir sebagai pemimpin dari orang-orang
yang menjadi pengikut, dan menyiapkan masing-masing dari mereka untuk
mengemban peran sosial mereka yang sebenarnya. (Tilaar, 2002, h. 58) Pemimpin
10
yang lahir dari pendidikan akan mendapatkan kelas sosial yang ilmiah dan mampu
melakukan mobilisasi sosial dengan kesadaran yang rasional.
Era sekarang ini, kemajuan suatu masyarakat, intensitas mobilisasi sosial
yang tinggi apabila di dalamnya mutu dan pemerataan pendidikan yang tinggi.
Pendidikan menciptakan stratifikasi sosial dalam skala makro yakni munculnya
istilah negara maju dan negara berkembang. Negara maju dikonotasikan sebagai
komunitas yang terdidik sedang Negara berkembang sebagai komunitas yang rata-
rata rendah pendidikannya. Pendidikan yang bermutu di sini dilihat dengan
indikator sekolah yang berkualitas, yang di dalamnya dikelola oleh tenaga yang
profesional, didukung infrastruktur yang lengkap, dan ditopang oleh dana yang
tinggi.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal sasaran utamanya membantu
peserta didik mengembangkan potensinya dan menjaga dan menginternalisasi
nilai-nilai budaya yang positif. Dengan demikian, pendidikan dikembangkan
sesuai dengan semangat kebudayaan masyarakat setempat. Kebudayaan
masyarakat jika dikaitkan dengan pendidikan maka ditemukan sejumlah konsep
pendidikan.
a. Keberadaan sekolah tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat
sekitarnya.
b. Perlu dibentuk badan kerjasama antara sekolah dengan tokoh-tokoh
masyarakat termasuk wakil orang tua siswa untuk ikut memajukan
pendidikan
c. Proses sosialisasi anak-anak perlu ditingkatkan
d. Dinamika kelompok dimanfaatkan untuk belajar
11
e. Kebudayaan menyangkut seluruh cara hidup dan kehidupan manusia
yang diciptakan oleh manusia ikut mempengaruhi pendidikan atau
perkembangan anak. Sebaliknya pendidikan juga dapat mengubah
kebudayaan anak (Muis, 2004, h. 2)
Konsep pendidikan yang berbasis masyarakat tentunya dapat menjadi
wadah pengembangan kearifan lokal, dan begitu juga kearifan lokal menjadi
inspirator dalam mengembangkan pendidikan. Pendidikan diarahkan untuk
menjaga stabilitas sosial pada satu sisi dan mendorong melakukan mobilisasi
sosial pada sisi lain. Stabilitas sosial dimaksudkan sebagai nilai-nilai sosial,
prilaku sosial positif, keamanan, dan sebagainya. Kemudian mobilisasi sosial
sebagai upaya proses pendidikan untuk melakukan yang terbaik dari yang kurang
baik, meningkatkan taraf hidup layak, dinamika komunikasi sosial yang lebih
efektif, dan seterusnya. Hal inilah sasaran pendidikan yang cukup mempengaruhi
kondisi sosial kemasyarakatan.
2.4 Tinjauan Pendidikan Terhadap Stratifikasi dan Mobilitas Sosial
Manusia sebagai makhluk sosial selalu ingin hidup dan eksis dalam
masyarakat. Salah satu institusi sosial yang dapat membantu eksistensi manusia
dalam masyarakat adalah institusi pendidikan. Sebagai sistem sosial, lembaga
pendidikan harus memiliki fungsi dan peran dalam perubahan masyarakat menuju
ke arah perbaikan dalam segala lini. Dalam hal ini lembaga pendidikan memiliki
dua karakter secara umum.
a. melaksanakan peranan fungsi dan harapan untuk mencapai tujuan dari
sebuah sistem. Kedua, mengenali individu yang berbeda-beda dalam
peserta didik yang memiliki kepribadian dan disposisi kebutuhan.
12
b. karakter umum lembaga pendidikan tersebut menunjukkan bahwa
intitusi pendidikan juga sebagai institusi sosial. (Oemar, 2005, h. 23)
Dalam pendidikan, dikenal tripusat lingkungan pendidikan, yaitu
lingkungan pendidikan keluarga (informal), lingkungan sekolah (formal), dan
lingkungan masyarakat (nonformal). Ketiga klasifikasi tersebut dalam
pergumulanya di masyarakat memiliki peran yang berbeda-beda, lembaga
pendidikan pertama, yaitu informal atau keluarga, ranah garapanya adalah lebih
banyak diarahkan dalam pembentukan karakter atau keyakinan dan norma.
Lembaga pendidikan formal atau sekolah, peran besarnya lebih banyak di
arahkan pada pengembangan penalaran peserta didik, dan lembaga pendidikan
ketiga, yaitu masyarakat, peranya lebih banyak pada pembentukan karakter sosial.
Ketiga lingkungan pendidikan tersebut mestinya sinergi dalam upaya penguatan
sistim sosial secara universal (Abu, 2002, h. 183-184).
Pedagogik tradisional memandang lembaga pendidikan sebagai salah satu
dari struktur sosial dan kebudayaan dalam suatu masyarakat. Oleh sebab itu,
lembaga pendidikan seperti sekolah perlu disiapkan agar lembaga tersebut
berfungsi sesuai dengan perubahan sosial yang terjadi. Apabila lembaga sekolah
tidak dapat mengikuti perubahan sosial maka dia kehilangan fungsinya dan
kemungkinan besar dia ditinggalkan masyarakat. Olehnya itu, fungsi sosial
sekolah tetap menjadi elan vital bagi proses dinamika sosial menuju cita-cita yang
ideal yaitu masyarakat equilibrium. (Tilaar, 2002, h. 5)
Pendidikan yang berbasis masyarakat akan dapat menjadi faktor
pendorong pemicu solution bagi problem masyarakat. Masyarakat dipandang
sebagai laboratorium di mana anak belajar, menyelidiki dan turut serta dalam
13
usaha-usaha masyarakat yang mengandung unsur pendidikan. Sekolah
mengikutsertakan orang banyak dalam proses pendidikan dalam mempelajari
problem-problem sosial. (Abu, 2007, h. 133)
Terkait dengan hal tersebut, pemerintah telah menetapkan arah baru
pendidikan nasional, yaitu kesetaraan sektor pendidikan dengan sektor lain,
pendidikan berorientasi rekonstruksi sosial, pendidikan dalam rangka
pemberdayaan sosial, pemberdayaan infrastuktur sosial untuk kemajuan
pendidikan nasional, pembentukan kemandirian dan keberdayaan untuk kemajuan
pendidikan, penciptaan iklim kondusif untuk tumbuhnya toleransi dan iconsensus
dalam kemajemukan, perencanaan terpadu secara horizontal dan vertikial,
pendidikan berorientasi peserta didik, pendidikan multikiultural, dan pendidikan
dengan perfektif global. (Syarifuddin, 2005, h. 22)
Sebagai lembagai lembaga sosial, maka proses belajar di dalam sekolah
haruslah disesuaikan pula dengan fungsi dan peranan lembaga pendidikan. Fungsi
sekolah ialah mentransmisikan nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat dan
kebudayaan pada saat itu. Di dalam pedagogik tradisional, tempat individu adalah
sebagai obyek perubahan sosial. Individu tersebut mempelajari peranan yang baru
di dalam kehidupan sosial yang berubah. Sekolah adalah tempat yang
memperoleh legitimasinya dari kehidupan masyarakat atau pemerintah yang
mempunyainya. (Idi, 2006, h. 56), karena legitimasi dari masyarakat dan
pemerintah, maka sekolah seyogyanya berfungsi untuk memperkuat institusi
sosial, melestarikan dan memperbaiki nilai-nilai sosial, mendorong mobilisasi
vertikal yang efektif, dan seterusnya.
14
Sekolah mempersiapkan individu-individu untuk hidup dalam konteks
sosial kemasyarakatan. Individu tidak dapat berkembang apabila diisolasikan dari
dunia sosial budaya di mana di mana dia hidup. Hal ini berarti adanya suatu
pengakuan peran aktif partisipatif dari individu yang menjadi dalam tatanan
kehidupan sosial dan budayanya. Individu bukanlah sekedar menerima nilai-nilai
tersebut hanya dapat dimilikinya melalui peranannya yang aktif partisipatif di
dalam aktivitas sosial budaya dalam lingkungannya. Jadi, berbeda dengan
pandangan pedagogik tradisional yang melihat individu sebagai suatu makhluk
yang pasif reaktif, yang hanya berkembang karena pengaruh-pengaruh dari luar,
termasuk pengaruh dari perubahan sosial yang terjadi dalam lingkungannya.
(Syarifuddin, 2005, h. 32) kondisi ini menjadikan masyarakat menjadi pengikut
tanpa ada inisiasi untuk melakukan dinamika sosial.
Konteks pendidikan yang transformative mempersiapkan individu-
individu yang peka dengan lingkungannya, inisiatif, dan terdorong untuk
melakukan dinamika. Pedagogik transformatif terhadap individu bukanlah sebagai
suatu entity yang telah jadi, tetapi yang sedang menjadi. Individu mempunyai
peran emansipasif di dalam kehidupan sosial budaya, termasuk melalui proses
pendidikan dalam lingkungan keluarga dan sekolah. Di dalamnya peranannya
yang emansipatif tersebut maka individu bukan hanya sebagai obyek dari
perubahan sosial, tetapi sekaligus pula berperan sebagai faktor dari pengubah dan
pengarah dari perubahan sosial atau agen of change (individu-individu pengubah).
(Tilaar, 2002, h. 6)
Sekolah sebagai insitusi sosial diharapkan dapat melahirkan luaran yang
mampu melakukan rekayasa sosial. Sebelum melakukan dinamika dan perjuangan
15
social, maka harus dimulai dari sendiri. Terminology diri sebagai lokomotif
perjuangan sosialakan dapat mendorong masyarakat untuk ikut dalam perjuangan
tersebut. Olehnya itu, di sekolah dituntut para pendidiknya mampu bersikap
secara professional dalam mengarahkan peserta didik tersebut. Dengan demikian,
para pendidik perlu menjadi fasilitator agar dorongan dan bimbingan dapat
terwujud dalam perubahan perilaku peserta didik. Tugas berat pendidik ini tetap
menjadi sebuah harapan dari masyarakat dan pemerintah. (Yulaelawati, 2004, h.
2)
Secara filosofis, setiap manusia wajib belajar untuk sebuah kemandirian
dan eksistensi dalam kehidupan social. Kewajiban belajar telah merupakan
keputusan bersama umat manusia dan tuntutan tersebut bukan hanya tuntutan
formal tetapi juga menuntut perubahan yang radikal dari isi dan proses dalam
lembaga-lembaga pendidikan formal tersebut. Bahkan berbagai perubahan dunia
dipelopori dari perubahan lingkungan pendidikan formal, seperti pemberontakan
mahasiswa Perancis tahun 1968 yang mengubah kehidupan politik, sosial, bahkan
kebudayaan dari masyarakat Perancis. (Tilaar, 2002, h. 85)
Bukti sejarah ini mempertegas bahwa pendidikan memiliki elan vital bagi
sebuah dinamika social, memperkokoh struktur social, stratifikasi social,
mobilitas sosial, perubahan social, dan seterusnya. Tampaknya pendidikan dapat
mereduksi stratifikasi sosial atas dasar prestise tetapi memperkuat stratifikasi
sosial atas dasar prestasi. Begitu juga mobilitas sosial lebih cepat terjadi secara
vertikal karena dorongan institusi pendidikan yang efektif.
16
2.5 Hubungan Pendidikan dan Mobilitas Sosial
Berbagai wacana teoritis dan penelitian terdahulu menempatkan
pendidikan sebagai faktor yang berpengaruh dalam mobilitas sosial. Secara
teoritis para penganut paradigma struktural-fungsional berpendapat bahwa
pendidikan berperan penting, dan bahkan meningkat, dalam menerangkan
mobilitas kelas antar-generasi (Jackson et.al., 2005, h. 56).
Pendidikan dipandang sebagai jalan untuk mencapai kedudukan yang lebih
baik di dalam masyarakat. Makin tinggi pendidikan yang diperoleh makin besar
harapah untuk mencapai tujuan itu. Dengan demikian terbuka kesempatan untuk
ke golongan sosial yang lebih tinggi. Pendidikan dilihat sebagai kesempatan untuk
beralih dari golongan yang satu kegolongan yang lebih tinggi. Dikatakan bahwa
pendidikan merupakan jalan bagi mobilitas sosial. Pada zaman dahulu
keturunanlah yang menentukan status sosial seseorang yang sukar ditembus karna
sistem golongan yang ketat.
Para tokoh-tokoh pendidikan banyak yang menaruh kepercayaan akan
keampuhan pendidikan untuk mengubah dan memperbaiki nasib seseorang.
Dengan memperluas dan meratakan pendidikan diharapkan dicairkannya batas-
batas golongan-golongan sosial. Diharapkan kesempatan belajar yang sama
membuka jalan bagi seriap peserta didik untuk memperoleh pekerjaan yang
diinginkannya. Kewajiban belajar atau pendidikan universal memberikan
penetahuan dan keterampilan yang sama bagi semua peserta didik dari semua
golongan sosial. Dengan demikian perbedaan golongan sosial akan dikurangi
sekalipun tidak dapat dihapuskan sepenuhnya. Dalam kenyataan cita-cita itu tidak
mudah diwujutkan (Nasution, 2011, h. 38)
17
1. Mobilitas sosial melalui pendidikan
Pendidikan merupakan anak tangga mobilitas yang penting. Bahkan jenis
pekerjaan kasar yang berpeng hasilan baik pun sukar diperoleh, kecuali jika
seseorang mampu membaca petunjuk dan mengerjakan soal hitungan yang
sederhana. Pada banyak dunia usaha dan perusahaan industri, bukan hanya
terdapat satu, melainkan dua tangga mobilitas.Yang pertama berakhir pada jabatan
mandor, yang lainnya bermula dari kedudukan “program pengembangan
eksekutif,” dan berakhir pada kedudukan pimpinan. Menaiki tangga mobilitas
yang kedua tanpa ijasah pendidikan tinggi adalah sesuatu hal yang jarang terjadi.
Hal ini di duga bahwa bertambah tingginya taraf pendidikan makin besarnya
kemungkinan mobilitas bagi anak-anak golongan rendah dan menengah. Ternyata
ini tidak selalu benar bila pendidikan itu terbatas pada pendidikan tingkat
menengah. Jadi walaupun kewajiban belajar ditingkatkan sampai SMU masih
menjadi pertanyaan apakah mobilita ssosial dengan sendirinya akan meningkat.
Mungkin sekal tidak akan terjadi perluasan mobilitas sosial, seperti
dikemuka kan di atas ijasah SMU tidak lagi memberikan mobilitas yang lebih
besar kepada seseorang. Akan tetapi pendidikan tinggi masih dapat memberikan
mobilitas itu walaupun dengan bertambahnya lulusan perguruan tinggi makin
berkurang jaminan ijasah untuk meningkat dalam status sosial
2. Strategi Pembaharuan Pendidikan Demi tercapainya Mobilitas Sosial
Pada dasarnya, pendidikan itu hanya salah satu standar saja. Dari tiga “jenis
pendidikan” yang tersedia yakni pendidikan informal, pendidikan formal dan
pendidikan nonformal, tampaknya dua dari jenis yang terakhir lebih bisa
diandalkan. Pada pendidikan formal dunia pekerjaan dan dunia status lebih
18
mempercayai kepemilikan ijasah tanda lulus seseorang untuk naik jabatan dan
naik status. Akan tetapi seiring dengan perkembangan kemudian mereka lebih
mempercayai kemampuan atau skill individu yang bersifat praktis dari pada harus
menghormati kepemilikan ijasah yang kadang tidak sesuai dengan kompetensi
sang pemegang syarat tanda lulus itu. Inilah yang akhirnya memberikan peluang
bagi tumbuhnya pendidikan-pendidikan non formal, yang lebih bisa memberikan
keterampilan praktis pragramatis bagi kebutuhan dunia kerja yang tentunya
berpengaruh pada pencapaian status seseorang. Dalam perspektif lain, dari sisi
intelektualitas, memang orang-orang berpendidikan lebih tinggi derajat sosialnya
dalam masyarakat dan biasanya ini lebih terfokus pada jenjang-jenjang hasil
keluaran pendidikan formal. Makin tinggi sekolahnya makin tinggi tingkat
penguasaan ilmunya sehingga dipandang memiliki status yang tinggi dalam
masyarakat.
Strategi pembaharuan pendidikan merupakan perspektif baru dalam dunia
pendidikan yang mulai dirintis sebagai alternatif untuk memecahkan masalah-
masalah pendidikan yang belum diatasi secara tuntas. Jadi pembaharuan
pendidikan dilakukan untuk memecahkan masalah-masalah yang ada dalam dunia
pendidikan dan menyongsong arah perkembangan dunia pendidikan yang lebih
memberikan harapan kemajuan kedepan.
Dalam proses perubahan pendidikan paling tidak memiliki dua peran yang
harus diperhatikan, yaitu:
1. Pendidikan akan berpengaruh terhadap perubahan masyarakat
2. Pendidikan harus memberikan sumbangan optimal terhadap proses
transformasi menuju terwujudnya masyarakat madani.
19
2.6 Teori Struktural Fungsional
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori Struktural Fungsional
Talcott Parsons yang dianggap relevan digunakan dalam penelitian ini. Menurut
Parsons ada empat fungsi penting yang mutlak dibutuhkan bagi semua sistem
sosial, meliputi adaptasi (A), pencapaian tujuan atau goal attainment (G),
integrasi (I), dan Latensi (L). Empat fungsi tersebut wajib dimiliki oleh semua
sistema agar tetap bertahan (survive), penjelasannya sebagai berikut:
a. Adaptation (A) : fungsi yang amat penting disini sistem harus dapat
beradaptasi dengan cara menanggulangi situasi eksternal yang gawat, dan
sistem harus bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan juga dapat
menyesuaikan lingkungan untuk kebutuhannnya.
b. Goal attainment (G) : pencapainan tujuan sangat penting, dimana sistem
harus bisa mendifinisikan dan mencapai tujuan utamanya.
c. Integrastion (I) : artinya sebuah sistem harus mampu mengatur dan
menjaga antar hubungan bagian-bagian yang menjadi komponennya,
selain itu mengatur dan mengelola ketiga fungsi (AGL).
d. Latency (L) : laten berarti sistem harus mampu berfungsi sebagai
pemelihara pola, sebuah sistem harus memelihara dan memperbaiki
motivasi pola-pola individu dan cultural .
Pertama adaptasi dilaksanakan oleh organisme prilaku dengan cara
melaksanakan fungsi adaptasi dengan cara menyesuaikan diri dan mengubah
lingkungan eksternal. Sedangkan fungsi pencapaian tujuan atau Goal attainment
difungsikan oleh sistem kepribadian dengan menetapkan tujuan sistem dan
memolbilisai sumber daya untuk mencapainya. Fungsi integrasi di lakukan oleh
20
sistem sosial, dan laten difungsikan sistem kultural. Bagaimana sistem kultural
bekerja Jawabannya adalah dengan menyediakan aktor seperangkat norma dan
nilai yang memotivasi aktor untuk bertindak. Tingkat integrasi terjadi dengan dua
cara, masing-masing tingkat yang paling bawah menyediakan kebutuhan kondisi
maupun kekuatan yang dibutuhkan untuk tingkat atas. Sedangkan tingkat yang
diatasnya berfungsi mengawasi dan mengendalikan tingkat yang ada dibawahnya.
Parson memberikan jawaban atas masalah yang ada pada fungsionalisme
structural dengan menjelaskan beberapa asumsi sebagai berikut:
1. sistem mempunyai property keteraturan dan bagian-bagian yang saling
tergantung.
2. sistem cenderung bergerak kearah mempertahankan keteraturan diri atau
keseimbangan.
3. sistem bergerak statis, artinya ia akan bergerak pada proses perubahan yang
teratur.
4. sifat dasar bagian suatu sistemakan mempengaruhi begian-bagian lainnya.
5. sistem akam memelihara batas-batas dengan lingkungannya.
6. alokasi dan integrasi merupakan dua hal penting yang dibutuhkan untuk
memelihara keseimbangan sistem.
7. sistem cenderung menuju kerah pemeliharaan keseimbangan diri yang
meliputi pemeliharaan batas dan pemeliharaan hubungan antara bagian-
baguan dengan keseluruhan sistem, mengendalikan lingkungan yang berbeda
dan mengendalikan kecendrungan untuk merubah sistem dari dalam.
Pada pembahasannya Parson mendefinisikan sistem sosial sebagai berikut:
sistem sosial terdiri dari sejumlah aktor-aktor individual yang saling berinteraksi
21
dalam situasi yang sekurang-kurangnya mempunyai aspek lingkungan atau fisik,
aktor-aktor yang mempunyai motivasi dalam arti mempunyai kecendrungan untuk
mengoptimalkan kepuasan yang hubungannya dengan situasi mereka
didefinisikan dan dimediasi dalam term sistem simbol bersama yang terstruktur
secara kultural. (Parsons, 1951, h. 5-6) kunci masalah yang dibahas pada sistem
sosial ini meliputi aktor, interaksi, lingkungan, optimalisasi, kepuasan, dan
cultural. Hal yang paling penting pada sistemsosialyang dibahasnya Parsons
mengajukan persyaratan fungsional dari sistem sosial diantaranya:
1. sistem sosial harus terstuktur (tertata) sehingga dapat beroperasi dalam
hubungan yang harmonis dengan sisten lain.
2. untuk menjaga kelangsungan hidupnya
3. sistem sosial harus mendapatkan dukungan dari sistem lain. sistem sosial
harus mampu memenuhi kebutuhan aktornya dalam proporsi yang
signifikan.
4. sistem sosial harus mampu melahirkan partisipasi yang memadai dari para
anggotanya.
5. sistem sosial harus mampu mengendalikan prilaku yang berpotensi
menggangu.
6. bila konflik akan menuimbulkan kekacauan maka harus bisa dikendalikan.
7. sistem sosial memerlukan bahasa.
Secara lebih rinci, prinsip-prinsip dasar teori fungsionalisme menurut
Sanderson dapat dikemukakan kembali sebagai berikut:
22
a. bahwa masyarakat itu merupakan sistem yang kompleks yang terdiri dari
bagian-bagian yang berhubungan dan tergantung satu sama lain, dan setiap
bagian tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap bagian lainnya.
b. Bahwa setiap bagian dari masyarakat itu eksis karena bagian tersebut
memiliki fungsi penting dalam memelihara eksistensi dan stabilitas
masyarakat secara keseluruhan.
c. Bahwa semua masyarakat memiliki mekanisme untuk mengintegrasikan
dirinya, yaitu mekanisme yang dapat mengikatkannya menjadi satu dan salah
satu bagian penting dari mekanisme tersebut adalah komitmen para anggota-
anggota masyarakat terhadap serangkaian kepercayaan dan nilai-nilai yang
sama (kebudayaan).
d. Bahwa masyarakat cenderung mempertahankan suatu kondisi yang
berimbang atau harmoni agar tercapai stabilitas kehidupan bersama.
e. Bahwa perubahan sosial adalah merupakan peristiwa yang tidak biasa dalam
masyarakat, tetapi jika hal itu terjadi juga, maka perubahan tersebut pada
umumnya akan mengarah pada konsekuensi-konsekuensi yang
menguntungkan masyarakat secara keseluruhan (Sanderson, 1995, h. 9).
23
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Sesuai dengan masalah yang penulis ajukan, maka penulis menggunakan
metode penelitian kualitatif. yaitu suatu proses penelitian dan pemahaman yang
berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial dan
masalah manusia yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Bogdan dan Taylor dalam
Moleong 2001, h. 3).
Tujuan penelitian adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan
secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta
hubungan antar fenomena yang diselidiki (Emzir 2009, h. 63). Adapun Sasaran
yang ingin dicapai dalam penelitian ini yaitu mengidentifikasikan fenomena sosial
masyarakat yang berhubungan dengan mobilitas sosial di Gampong Amarabu,
Kabupaten Simeulue.
3.2 Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah:
a. Sumber primer adalah sumber data yang langsung memberikan data kepada
pengumpul data.
1. Hasil observasi, yaitu hasil yang di dapat dari hasil penelitian langsung
dilapangan (lokasi penelitian) yang juga merupakan bukti yang berupa
panduan observasi.
24
2. Wawancara, yaitu hasil wawancara peneliti dengan beberapa nara
sumber yang dipilih dalam penelitian.
b. Sumber data sekunder yaitu sumber yang tidak langsung memberikan data
kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau lewat dokumen.
(Sugiyono 2011, h. 225).
Dalam penelitian ini data yang diperoleh dari informan dikumpulkan dan
dihubungkan, kemudian data tersebut dikelompokkan berdasarkan permasalahan
yang mencuat, jadi penelitian ini bersifat induktif.
3.3 Teknik Pengumpulan Data
a. Observasi
Observasi adalah suatu proses yang komplek, suatu proses yang tersusun
dari berbagai proses biologis dan psikologis, dua diantara yang terpenting adalah
proses-proses pengamatan dan ingatan. (Sutrisno dalam Sugiyono 2009, h. 203)
”Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik observasi non partisipan.
Observasi non partisipan merupakan suatu proses pengamatan menempatkan
peneliti sebagai pengamat tanpa ikut dalam kehidupan orang yang diobservasi dan
secara terpisah berkedudukan sebagai pengamat (Margono, 2005 , h. 161-162).
b. Wawancara
Wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan
ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik
tertentu. Dalam penelitian ini penulis melakukan wawancara mendalam (in depth
interview), wawancara mendalam adalah wawancara yang dipergunakan untuk
memperoleh informasi yang lebih mendalam dari informan. (Esterberg dalam
Sugiyono 2009, h. 317).
25
Peneliti juga menggunakan wawancara semi terstruktur, yang juga sudah
termasuk katagori in depth interview yaitu untuk menemukan permasalahan
secara lebih terbuka dimana pihak yang diajak wawancara diminta pendapat dan
ide-idenya, dengan langsung dan terbuka yang berhubungan dengan penelitian
dan merupakan bukti dalam lapangan yang merupakan bagian kecil dari populasi
yang dimaksudkan untuk memperoleh data tentang permasalahan yang
berhubungan dengan penelitian.
c. Dokumentasi.
Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah lalu. Dokumen bisa
berbentuk tulisan misal, catatan harian, sejarah kehidupan, biografi, cerita,
peraturan dan kebijakan, berbentuk gambar, misalnya foto, gambar hidup, sketsa
dan lain-lain atau karya-karya monumental dari seseorang misalnya film, patung,
gambar dan lain-lain. (Sugiyono, 2011, h. 240). Hasil dari observasi dan
wawancara didokumentasikan, baik berupa catatan di lapangan maupun berupa
gambar (foto).
3.4 Informan Penelitian
Peneliti memilih Informan guna mendapat informasi lebih dalam dan
akurat mengenai hal yang akan di bahas, sedangkan informan dipilih melalui
Purposive sampling.
Purposive sampling yaitu teknik pengambilan sampel sumber data dengan
pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini atas dasar orang tersebut
dianggap mengetahui dan berhubungan atau orang tersebut sebagai penguasa
sehingga memudahkan peneliti menjelajah obyek/situasi sosial yang diteliti.
(Sugiyono 2011, h. 218).
26
Untuk kelengkapan data yang menjadi informan pada penelitian ini
berjumlah 10 (sepuluh) informan, yang terdiri dari:
1. Keuchik Gampong Amarabu Kecamatan Simeulue Cut Kabupaten
Simeulue yang merupakan pimpinan dalam Gampong yang dianggap lebih
mengetahui mengenai data Gampong dan permasalahan yang terjadi di
dalam Gampong
2. Tokoh masyarakat Gampong Amarabu 9 (sembilan) orang, yang
merupakan bagian dari masyarakat secara luas dalam penelitian ini, yang
dimintai tanggapannya sebagai masyarakat dan yang menilai dan
menanggapi fenomena yang terjadi di Gampong Amarabu.
3.5 Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode analisis data
yaitu analisis model interaktif. Analisis data berlangsung stimulan yang dilakukan
bersamaan dengan proses pengumpulan data dengan alur tahapan, pengumpulan
data (data collection), reduksi data (data reduction), penyajian data (data display)
dan kesimpulan atau verifikasi data (conclution drawing and verifying),
Karenanya pengumpulan data dan analisis data menjadi satu kesatuan yang tidak
mungkin dipisahkan keduanya berlangsung stimulan dan serempak yang
dilakukan ketika di lapangan.
1. Reduksi Data
Yaitu peneliti melakukan perangkuman dengan memilih dan memilih data
dan hal-hal yang pokok dan penting, memfokuskan pada hal-hal penting dan
mencari tema serta polanya, seperti memfokuskan pada mobilisasi, pendidikan
dan status sosial dalam masyarakat, peneliti juga melakukan diskusi dengan teman
27
serta beberapa orang yang mengetahui mengenai hal yang diteliti.
2. Penyajian Data
Setelah data direduksi, selanjutnya penyajian data melalui uraian singkat
dalam bentuk teks naratif sehingga memudahkan peneliti untuk memahami yang
sedang terjadi saat ini. Karena penelitian ini melakukan penelitian dalam
fenomena sosial sangat kompleks data dapat selalu berupah mulai dari awal
memasuki lapangan, kemudian setelah berlangsung agak lama mengalami
perkembangan data, maka data yang peneliti peroleh harus selalu teruji apakah
data masih tetap sama atau tidak, yaitu dilakukan melalui wawancara, pengamatan
dan dokumentasi.
3. Kalkulasi dan verifikasi data
Yaitu peneliti melakukan perumusan pada kesimpulan-kesimpulan sebagai
temuan sementara yang dilakukan dengan cara mensintesiskan semua data yang
terkumpul. Dan data akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti kuat yang
mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya, tetapi apabila bukti-bukti
data serta temuan di lapangan yang peneliti temukan pada tahap awal konsisten
serta valid maka kesimpulan yang didapat adalah kredibel dan kesimpulan itu
berupa temuan yang bersifat deskripsi atau gambaran mengenai hal yang diteliti
yang masih remang-remang sehingga setelah diteliti menjadi jelas. Miles dan
Huberman dalam (Sugiyono 2011, h. 243).
3.6 Pengujian Kredibilitas Data
Uji kredibilitas data atau kepercayaan data hasil penelitian kualitatif antara
lain dilakukan dengan, perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan dalam
penelitian, triangulasi, diskusi dengan teman sejawat, analisis kasus negatif serta
28
membercheck. Digunakan uji ini dimaksudkan untuk mendapatkan data yang lebih
mendalam mengenai subyek penelitian. (Sugiyono 2009, h. 270).
Adapun pengujian kredibilitas data adalah sebagai berikut:
1. Perpanjangan pengamatan perlu dilakukan, dirasakan data yang diperoleh
masih kurang memadai. Perpanjangan pengamatan berarti peneliti tinggal
di lapangan penelitian sampai titik kejenuhan pengumpulan data tercapai.
(Moleong 2002, h. 237).
2. Peningkatan ketekunan. Meningkatkan ketekunan berarti melakukan
pengamatan secara lebih cermat dan berkesinambungan, dengan cara
tersebut maka kepastian data dan urutan peristiwa dapat direkam secara
pasti dan sistematis. (Sugiyono 2011, h. 272). Yaitu peneliti membaca
referensi baik dari buku atau hasil penelitian yang lain serta dokumentasi-
dokumentasi terkait dengan hal yang diteliti, sehingga dengan
pengetahuan yang peneliti dapat nantinya dari hasil membaca tersebut
berguna untuk memeriksa data yang ditemukan itu benar atau salah.
3. Triangulasi, dalam pengujian kredibilitas data ini diartikan sebagai
pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara dan berbagai
waktu.
Dari berbagai sumber, peneliti mengecek data baik dari informan kunci
dan informan biasa, bacaan referensi dan lain sebagainya, dilakukan dengan
berbagi teknik yang berbeda-beda guna mendapat informasi dan dilakukan pada
berbagai waktu yang memungkinkan jawaban tidak berdasarkan pada kelelahan
dan lain sebagainya. William dalam (Sugiyono 2011, h. 273)
29
3.7 Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada Gampong Amarabu Kecamatan Simeulue
Cut, Kabupaten Simeulue. Peneliti memilih Gampong Amarabu sebagai obyek
penelitian karena adanya fenomena paradigma sosial yang terlihat mengenai
mobilitas pendidikan terhadap perubahan sosial di Gampong Amarabu.
3.8 Jadwal Penelitian
Adapun Jadwal penelitian untuk pengumpulan data mengenai mobilitas
pendidikan terhadap perubahan sosial di Gampong Amarabu Kecamatan Simeulue
Cut Kabupaten Simeulue selama enam bulan atau satu semester dimulai pada
bulan Januari sampai dengan bulan Juni 2014.
Tabel 1. Jadwal Penelitian
No Kegiatan Bulan
1 2 3 4 5 6
1 Persiapan Kebutuhan untuk proses di lapangan
Perizinan √
Pemilihan beberapa orang sebagai
informan √
Pemilihan instrumen yang digunakan
dalam penelitian
√
2 Penelitian
Mengamati faktor yang mendorong
terjadinya mobilisasi dalam masyarakat
√
Mengamati hubungan mobilitas,
pendidikan dan status sosial dalam
masyarakat Amarabu Simeulue
√
Mengamati pengaruh pendidikan
terhadap status sosial dalam masyarakat
Amarabu Simeulue
√
3
Pengolahan data dan pembuatan laporan hasil
penelitian
√
4 Persiapan Ujian
√
30
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Letak Geografis
Gampong Amarabu adalah salah satu Gampong yang terdapat di
Kabupaten Simeulue tepatnya pada Kecamatan Simeulue Cut. Luas Gampong
Amarabu kurang lebih 200 (dua ratus) hektar, dan terbagi empat Dusun yaitu,
Dusun Loya, Dusun Koneng-koneng, Dusun Wel Sawah dan Dusun Tabi. Yang di
dalamnya terdapat masyarakat yang tumbuh dan hidup berdampingan dalam
lingkungan rasa sosial yang tinggi, rukun dan damai satu dengan yang lainnya.
Gampong Amarabu memiliki batasan Gampong sebagai berikut:
Sebelah Barat berbatas dengan Samudra Hindia
Sebelah Timur berbatas dengan Gampong Aie
Sebelah Utara berbatas dengan Gampong Kuta Inang
Sebelah Selatan berbatas dengan Samudra Hindia
Tabel 2. Data luas wilayah Gampong Amarabu
Gampong Luas wilayah Kebun Sawah Pemukiman
Amarabu
4 Km/segi
10Ha
7Ha
8Ha
Sumber: Profil Gampong Amarabu, 2014
4.1.2 Penduduk
Gampong Amarabu memiliki kepadatan penduduk sebanyak 658 (enam
ratus lima puluh delapan) jiwa, dengan banyak jumlah kepala keluarga 198
31
(seratus sembilan puluh delapan) kk. Dengan perincian menurut jenis kelamin
dapat dilihat dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 3. Klasifikasi penduduk Gampong Amarabu berdasarkan jenis kelamin
No Jenis kelamin jumlah
1 Laki-laki 309
2 Perempuan 349
Jumlah 658
Sumber: Profil Gampong Amarabu, 2014
Untuk jumlah penduduk berdasarkan umur dapat dilihat pada tabel berikut
ini.
Tabel 4. Jumlah Penduduk berdasarkan umur
No Uraian Perempuan Laki-laki Jumlah
(jiwa)
1 0 Bulan – 1 Tahun 15 16 31
2 2 Tahun – 4 Tahun 20 21 41
3 5 Tahun – 10 Tahun 34 27 61
4 11 Tahun – 15 Tahun 36 35 71
5 16 Tahun – 20 Tahun 38 34 72
6 21 Tahun – 30 Tahun 49 44 93
7 31 Tahun – 40 Tahun 49 43 92
8 41 Tahun – 50 Tahun 36 42 78
9 51 Tahun – 60 Tahun 38 23 61
10 Di atas 61Tahun 34 24 58
TOTAL 349 309 658
Sumber: Profil Gampong Amarabu 2014
4.1.3 Pedidikan
Jika ditilik dari segi pendidikan, masyarakat Gampong Amarabu sekarang
ini secara keseluruhan tampak adanya perkembangan dalam bidang pendidikan,
naiknya antusias masyarakat di bidang pendidikan terlihat dari keinginan untuk
melanjutkan menimba ilmu sampai pada jenjang Perguruan Tinggi, ini satu hal
yang sangat patut diberi apresiasi positif bagi kelangsungan pembangunan
pendidikan di Aceh, khususnya Kabupaten Simeulue .
32
Tabel 5. Data Penduduk Gampong Amarabu Berdasarkan Pendidikan
No Pendidikan Jumlah Informan
1 Tidak Sekolah 152
2 Tamat SD/SR 92
3 Tamat SLTP/Sederajat 125
4 Tamat SLTA/Sederajat 196
5 Akademi/Diploma 41
6 Sarjana/S1 52
Total 658 Sumber: Profil Gampong Amarabu, 2014
4.1.4 Mata Pencaharian.
Jika ditilik dari aspek mata pencaharian Masyarakat yang ada di
Gampong Amarabu pada umumnya bermata pencaharian pada sektor perikanan.
Tabel 6. Data Penduduk Gampong Amarabu Berdasarkan Pekerjaan
No Pekerjaan Jumlah
1 Tidak bekerja 276
2 Perikanan 151
3 PNS 65
4 Perdagang 57
5 Supir 30
6 Petani 69
7 Tukang Jahit 10
Total 658 Sumber: Profil Gampong Amarabu, 2014
Dari data tersebut diatas terlihat bahwa masyarakat Gampong Amarabu
pada umumnya menggantungkan hidupnya dari mata pencaharian perikanan.
4.1.5 Sarana dan Prasarana
Berdasarkan hasil observasi yang penulis lakukan di lapangan bahwa
selain keadaan penduduk, dan mata pencaharian. Di Gampong Amarabu juga
dilengkapi oleh beberapa fasilitas atau berupa sarana dan prasarana umum, dan
tentunya dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat di Gampong Amarabu,
antara lain sarana peribadatan, sarana dan prasarana kesehatan, sarana pendidikan,
33
sarana umum lainnya, dan pengelola sarana dan prasarana. Untuk lebih jelasnya
dapat dilihat pada tabel berikut ini :
Tabel 7. Sarana dan Prasarana Umum Gampong Amarabu
No Fasilitas Umum Jumlah
1 Masjid 2
2 Pesantren 1
3 TK 1
4 MIN 1
5 SMP 1
6 SMA -
7 Posyandu 1
8 Lapangan Olahraga :
a. Sepak Bola
1
Total 8 Sumber: Profil Gampong Amarabu, 2014
4.1.6 Agama dan Kepercayaan
Masyarakat Gampong Amarabu memiliki 1 (satu) Masjid sebagai sarana
peribadatan, dimana masyarakat Gampong Amarabu menganut agama islam. Pada
setiap kegiatan keagamaan salah satunya majelis ta’lim, wirit yasiin setiap hari
Jumat. Masyarakat Gampong tersebut aktif dalam setiap kegiatan, karena menurut
mereka agama dan kepercayaan merupakan unsur yang paling utama yang harus
dijalankan dalam kehidupan masyarakat.
4.1.7 Karakteristik Informan.
Dalam karakteristik informan akan tampak pada tabel yang akan
diklasifikasi berdasarkan umur, jenis kelamin, pendidikan dan pekerjaan berikut
ini.
34
Tabel 8. Data informan berdasarkan jenis kelamin
No Jenis kelamin Jumlah Informan
1 Laki-laki 6
2 Perempuan 4
Total 10
Sumber: Penelitian 2014
Pada tabel di atas dapat kita lihat daftar informan berdasarkan jenis
kelamin, laki-laki sebanyak enam orang sedangkan perempuan sebanyak empat
orang pemilihan diambil secara acak tanpa maksud tertentu. Data usia untuk
informan diambil mulai usia dua puluh tahun sampai lima puluh tahun ke atas
untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 9. Data informan berdasarkan usia
No Usia Informan Jumlah Informan
1 30 – 39 Tahun 3
2 40 – 45 Tahun dst 7
Total 10
Sumber: Penelitian 2014
Penulis menetapkan Usia informan dimulai dari usia tiga puluh tahun
karena dimana seseorang bisa memberikan konstribusi yang besar mengenai apa
yang dirasakan, gagasan dan fikiran dalam permasalahan yang terjadi dalam
Gampong.
Adapun data mengenai tingkat pendidikan informan dapat dilihat pada
tabel berikut ini.
35
Tabel 10. Data informan berdasarkan tingkat pendidikan
No Pendidikan Jumlah Informan
1 Tamat SLTP/Sederajat 2
2 Tamat SLTA/Sederajat 3
3 Akademi/Diploma 1
4 Sarjana/S1 4
Total 10
Sumber: Penelitian 2014
Data yang terlihat pada tabel di atas menunjukkan Tingkat pendidikan
informan yang beragam, dimulai dari Tamat SLTP sebanyak dua, Tamat SLTA
sebanyak tiga, Tamat Akademi/Diploma sebanyak satu serta Sarjana/S1 sebanyak
empat.
Adapun data mengenai pekerjaan informan dapat dilihat pada tabel di
bawah ini
Tabel 11. Data informan berdasarkan pekerjaan
No Pekerjaan Jumlah Informan
1 PNS 2
2 Wiraswasta 2
3 Petani 2
4 Guru 2
5 Nelayan 2
Total 10
Sumber: Penelitian 2014
Dari data yang terdapat pada tabel di atas dapat kita lihat klasifikasi
informan berdasarkan pekerjaan dan diperoleh data bahwa informan yang bekerja
sebagai PNS sebanyak dua, sebagai wiraswasta sebanyak dua, petani sebanyak
dua, nelayan dua dan guru dua.
36
4.1.8 Persepsi Masyarakat Terhadap Tingkat Pendidikan Di Gampong
Amarabu Kecamatan Simeulue Cut Kabupaten Simeulue
Kesenjangan sosial merupakan keadaan yang tumbuh tanpa disadari, yang
dimanfaatkan oleh masyarakat untuk lebih memberi jaminan bagi terisinya
jabatan-jabatan penting oleh orang-orang yang paling cakap, berikut pernyataan
Noni Purwanti mengenai tingkat pendidikan.
“Menurut saya tingkat pendidikan saat ini sangat mempengaruhi seseorang dalam
menentukan perolehan pekerjaan serta jabatan, orang yang berpendidikan rendah
hanya akan mengisi jabatan rendah dan orang yang berpendidikan tinggi
berkemungkinan memperoleh pekerjaan serta jabatan yang lebih baik”.
(Wawancara: 22 Mei 2014)
Pendidikan merupakan hal terpenting pada banyak dunia kerja, karena jika
tanpa ijazah pendidikan tinggi, mendapat pekerjaan yang layak dalam struktur
sosial masyarakat adalah sesuatu yang jarang terjadi seperti pernyataan beberapa
masyarakat Amarabu, salah satunya Aminin.
“Saya pribadi menganggap pendidikan itu merupakan hal yang sangat penting,
karena dengan pendidikan dapat menaikkan status dalam masyarakat seperti
beberapa orang yang ada di Amarabu yang sekolah tinggi itu di segani orang”
(Wawancara: 22 Mei 2014)
Tidak selalu jelas diketahui alasan orang tua mengizinkan seseorangnya ke
sekolah, seperti penuturan Hermansyah dan Khairil salah seorang masyarakat
Amarabu masyarakat Amarabu berikut ini.
“Pendidikan yang tinggi itu perlu setidaknya dapat memperoleh
pekerjaan yang layak baginya karena sekarang dimana-mana ijazah
masih menjadi syarat penting walaupun ijazah itu belum menjamin
kesiapan seseorang untuk melakukan pekerjaan tertentu makin
37
tinggi pendidikan makin besar harapan memperoleh pekerjaan yang
baik” (Wawancara: 24 Mei 2014)
Setiap individu pada umumnya menginginkan pendidikan yang dimaksud
disini adalah pendidikan formal, menurut masyarakat Amarabu makin banyak dan
makin tinggi pendidikan akan semakin baik, seperti pernyataan Siswati berikut
ini.
“Menurut saya makin banyak pendidikan yang diterima seseorang
maka semakin baik karena pendidikan dapat membentuk pola pikir
yang lebih maju karena memperoleh berbagai macam pengetahuan,
dapat memperoleh pekerjaan dengan pengetahuannya, yang
pastinya akan menaikkan status seseorang dalam masyarakat”
(wawancara: 23 Mei 2014)
Hampir pada umumnya dalam pandangan masyarakat luas memiliki ijazah
perguruan tinggi merupakan bukti akan kesanggupan intelektualnya untuk
menyelesaikan studinya yang tidak mungkin dicapai oleh orang yang rendah
kemampuannya. Orang yang telah bersekolah memiliki ketrampilan dasar setidak-
tidaknya pandai membaca dan berhitung yang diperlukan dalam kehidupan
masyarakat di era dewasa ini. Selanjutnya dapat memperluas pandangan dan
pemahamanya mengenai masalah-masalah dunia.
Hal ini disebabkan karena perguruan tinggi masih dapat memberi
perluasan mobilitas, meskipun jaminan ijazah belum tentu meningkat untuk status
sosial. Sekolah juga dipandang sebagai jalan bagi mobilitas sosial. Melalui
pendidikan orang dari golongan rendah dapat meningkat ke golongan status yang
lebih tinggi. Hal ini dinyatakan oleh Suwardi tokoh masyarakat Amarabu.
“Pada zaman sekarang ini tamatan sekolah rakyat seperti saya ini
sudah tidak berarti lagi dalam memperbaiki status sosial, tetapi
gelar akademis akan sangat membantu dalam pencapaian
menduduki tempat yang penting dalam dunia pekerjaan, karena
mereka yang sudah tinggi kedudukannya memandang pendidikan
tinggi sebagai syarat mutlak untuk mempertahankan status
38
sosialnya, ini bisa saya lihat sendiri contohnya pada seseorang
saya” (Wawancara: 25 Mei 2014)
Begitu juga yang dirasakan oleh Sukirman tokoh masyarakat Amarabu
Lainnya yang menyatakan berkat pendidikan yang meningkatkan status sosialnya.
“Keluarga saya dulunya adalah orang yang kurang mampu, bapak
saya meninggal ketika saya SD kelas 5, ibu nyuci baju kerumah-
rumah tetangga tetapi keinginan ibu sangat kuat untuk
menyekolahkan saya, SMA saya sudah kerja bersih-bersih sekolah
yang kebetulan ada didekat tempat tinggal kami, uangnya saya
tabung alhasil saya bisa masuk perguruan tinggi, saya kuliah sambil
bekerja jadi tukang sapu di Fakultas tempat saya kuliah, saya tidak
malu tekadnya saya harus berhasil. Karena melihat kemampuan
Fakultas menawarkan beasiswa S2 di Malaysia. Lulus dengan
waktu yang telah ditentukan dan sekarang Alhamdulillah semua
jerih payah keluarga saya terbayar, dan status sosial keluarga kami
juga naik di mata masyarakat” (Wawacara: 28 Mei 2014)
Dilihat dari beberapa pernyataan dari masyarakat Amarabu mengenai
tingkat pendidikan yang mana masyarakat mulai sadar pentingnya pendidikan
dalam kehidupan sosial masyarakat, hal ini terlihat makin banyaknya masyarakat
di Gampong Amarabu yang menyekolahkan seseorang sampai perguruan tinggi
negeri dengan segala usaha.
Kecepatan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat berbeda-beda,
Perubahan dalam masyarakat terpencil berjalan lambat, akan tetapi bila
terbukanya komunikasi dan transportasi daerah dengan daerah yang sudah maju
maka masyarakat di dalamnya akan berkembang dengan lebih cepat.
4.1.9 Mobilitas Pendidikan Masyarakat Gampong Amarabu Kecamatan
Simeulue Cut Kabupaten Simeulue Melakukan
Dari persepsi masyarakat Amarabu dapat disimpulkan bahwa pendidikan
merupakan jalan bagi mobilitas sosial. Pendidikan dipandang sebagai jalan untuk
mencapai kedudukan yang lebih baik dalam masyarakat. Makin tinggi pendidikan
39
yang diperoleh makin besar harapan untuk mencapai tujuan itu. Dengan demikian
terbuka kesempatan meningkat ke golongan yang lebih tinggi. Hal ini dinyatakan
oleh Herman selaku Keuchik di Amarabu.
“Tingginya antusias masyarakat dalam meningkatkan status sosial
melalui pendidikan sangat jelas terlihat dalam lima tahun terakhir,
dari yang dulunya hanya sedikit yang sadar pentingnya pendidikan
sekarang terus bertambah yang bersekolah, hal ini disebabkan
syarat lamaran pekerjaan yang menuntut tingkat pendidikan dan
kemampuan yang lebih tinggi sesuai dengan kualifikasi
pendidikannya”.
(Wawancara: 29 Mei 2014)
Data tingkat pendidikan penduduk yang terus meningkat sejak lima tahun
terakhir dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 12. Data Tingkat Pendidikan Penduduk Lima Tahun Terakhir
No Tingkat Pendidikan Tahun
2010 2011 2012 2013 2014
1 Tidak Sekolah 369 329 278 195 62
2 TK Sederajat 52 52 60 64 88
3 SD Sederajat 55 63 70 78 92
4 SLTP Sederajat 88 87 110 110 125
5 SLTA Sederajat 89 112 111 135 196
6 Perguruan Tinggi 5 15 29 76 93
Total Jumlah Penduduk 658 Jiwa Sumber: Profil (RPJM) Gampong Amarabu 2014
Masyarakat Amarabu melakukan mobilitas pendidikan karena dengan
pendidikan status sosial akan naik ke yang lebih baik dalam masyarakat.
Tingginya tingkat pendidikan berpeluang besar terhadap kenaikan status sosial.
Hal ini terlihat dengan banyaknya perbedaan antara status sosial seseorang
dibandingkan dengan orang tuanya. Seperti pernyataan Darman selaku Tokoh
masyarakat Amarabu berikut ini.
“Zaman ayah saya dulu tamat SR saja sudah begitu bangga, beliau
bisa mendapatkan kerja di pemerintahan dan mendapatkan
kedudukan sosial yang terhormat. Tetapi lain halnya zaman
sekarang ini saya yang lulusan STM untuk melamar kerja susah,
40
hampir semua tempat yang saya lamar kerja membutuhkan
karyawannya yang ijazah S1, akhirnya saya membuka sebuah
bengkel sesuai kemampuan yang saya terima di STM”
(Wawancara: 28 Mei 2014)
Makin tinggi taraf pendidikan semakin besar pula kemungkinan mobilitas
bagi seseorang-seseorang golongan rendah dan menengah tidak selalu benar bila
pendidikan itu hanya sebatas pada pendidikan tingkat menengah. Pendidikan SD
bahkan SMA hampir tidak ada pengaruhnya dalam mobilitas sosial. Untuk
menjadi pesuruh kantor saja harus melamar pakai ijazah SMA. Namun apabila
kewajiban belajar ditingkatkan sampai SMA maka ijazah SMA tidak ada artinya
lagi dalam mencari kedudukan yang tinggi atau berpindah ke kedudukan yang
lebih tinggi.
Pendidikan tinggi kini dianggap suatu syarat bagi mobilitas sosial. Bagi
lulusan Perguruan Tinggi pun kini sudah bertambah sukar untuk memperoleh
kedudukan yang tinggi. Hal ini dinyatakan oleh Herman selaku Keuchik di
Amarabu “Dewasa ini jangankan ijazah SMA yang punya ijazah perguruan tinggi
pun saat ini sukar memperoleh pekerjaan, dimana-mana pendidikan tinggi sudah
menjadi syarat tes untuk melamar kerja”.(Wawancara: 29 Mei 2014)
Pendidikan tinggi masih sangat selektif. Tidak semua orang tua mampu
membiayai seseorangnya diperguruan Tinggi seperti pada kasus Sukirman salah
satu masyarakat Amarabu. Menggunakan komputer untuk menilai tes seleksi
masuk menjadi obyektif artinya tidak lagi dipengaruhi kedudukan orang tua atau
orang yang memberikan rekomendasi. Cara itu membuka kesempatan yang luas
bagi seseorang-seseorang golongan rendah dan menengah untuk memasuki
perguruan tinggi atas dasar prestasinya masuk tes itu. Biaya yang cukup banyak
selalu menjadi hambatan bagi golongan rendah menengah untuk menyekolahkan
41
seseorangnya pada tingkat Universitas. Beasiswa dari pemerintah dan kesempatan
untuk mengadakan pinjaman dari bank dapat memperluas kesempatan belajar bagi
mereka yang berbakat akan tetapi ekonomi rendah.
Bagi orang tua yang memandang pendidikan merupakan hal yang sangat
penting akan berupaya demi terjaminnya keberlangsungan pendidikan agar anak
tetap sekolah seperti pernyataan Hermansyah salah seorang masyarakat Amrabu
“Saya adalah seorang nelayan bagi saya pendidikan sangat penting
agar masa depan anak saya dapat lebih baik keadaannya dibanding
saya sekarang ini, demi pendidikan anak agar tetap sekolah saya
selalu menabung dari tergantung berapa banyak pendapatan saya
perhari, awalnya agak sulit namun saya harus yakin agar anak saya
berhasil” (Wawancara: 23 Mei 2014)
Pernyataan yang lainnya juga diutarakan oleh Danil Saputra salah seorang
masyarakat Amarabu lainnya.
“Sebagai seorang petani yang pendapatannya tidak menentu
tergantung hasil panen memang sulit untuk menjamin anak tetap
sekolah tinggi, namun saya punya kiat tersendiri setiap hasil panen
selalu saya sisihkan untuk menabung, selain itu saya membuka kios
pulsa, yang kebetulan di tempat saya tinggal agak jauh dari kota,
keuntungannya lumanyan bisa ditabung” (Wawancara: 23 Mei
2014).
4.2 Pembahasan
4.2.1 Persepsi Masyarakat Terhadap Tingkat Pendidikan Di Gampong
Amarabu Kecamatan Simeulue Cut Kabupaten Simeulue
Dari hasil temuan mengenai persepsi masyarakat terhadap tingkat
pendidikan di Gampong Amarabu Kecamatan Simeulue Cut Kabupaten Simeulue,
hampir pada umumnya masyarakat memiliki persepsi bahwa pendidikan
seseorang merupakan tangga mobilitas bagi status dalam masyarakat. Pendidikan
merupakan hal terpenting pada banyak dunia kerja, karena jika tanpa ijazah
pendidikan tinggi, mendapat pekerjaan yang layak dalam struktur sosial
42
masyarakat. Bahkan jenis pekerjaan kasar yang berpenghasilan baik pun sukar
diperoleh, dunia usaha dan perusahaan industri, bukan hanya terdapat satu,
melainkan dua tangga mobilitas bawahan dan pimpinan. Menaiki tangga mobilitas
yang kedua tanpa ijasah pendidikan tinggi adalah sesuatu hal yang jarang terjadi.
Hal ini diduga bahwa bertambah tingginya taraf pendidikan makin besarnya
kemungkinan mobilitas bagi seseorang golongan rendah dan menengah. Ternyata
ini tidak selalu benar bila pendidikan itu terbatas pada pendidikan tingkat
menengah. Jadi walaupun kewajiban belajar ditingkatkan sampai SMU masih
menjadi pertanyaan apakah mobilitas sosial dengan sendirinya akan meningkat.
Mungkin sekali tidak akan terjadi perluasan mobilitas sosial, seperti
dikemukakan di atas ijasah SMU tidak lagi memberikan mobilitas yang lebih
besar kepada seseorang. Akan tetapi pendidikan tinggi masih dapat memberikan
mobilitas itu walaupun dengan bertambahnya lulusan perguruan tinggi makin
berkurang jaminan ijasah untuk meningkat dalam status sosial. Pada dasarnya,
pendidikan itu hanya salah satu standar saja. Dari tiga “jenis pendidikan” yang
tersedia yakni pendidikan informal, pendidikan formal dan pendidikan nonformal,
tampaknya dua dari jenis yang terakhir lebih bisa diandalkan.
Pada pendidikan formal dunia pekerjaan dan dunia status lebih
mempercayai kepemilikan ijasah tanda lulus seseorang untuk naik jabatan dan
naik status. Akan tetapi seiring dengan perkembangan kemudian masyarakat lebih
mempercayai kemampuan atau skill individu yang bersifat praktis daripada harus
menghormati kepemilikan ijasah yang kadang tidak sesuai dengan kompetensi
sang pemegang syarat tanda lulus itu. Inilah yang akhirnya memberikan peluang
bagi tumbuhnya pendidikan pendidikan nonformal, yang lebih bisa memberikan
43
keterampilan praktis pragramatis bagi kebutuhan dunia kerja yang tentunya
berpengaruh pada pencapaian status seseroang di Amarabu.
Dalam perspektif lain, dari sisi intelektualitas, memang orang-orang
berpendidikan lebih tinggi derajat sosialnya dalam masyarakat dan biasanya ini
lebih terfokus pada jenjang-jenjang hasil keluaran pendidikan formal. Makin
tinggi sekolahnya makin tinggi tingkat penguasaan ilmunya sehingga dipandang
memiliki status yang tinggi dalam masyarakat Amarabu , seperti halnya perguruan
tinggi masih dapat memberi perluasan mobilitas, meskipun jaminan ijazah belum
tentu meningkat untuk status sosial. Sekolah juga dipandang sebagai jalan bagi
mobilitas sosial. Melalui pendidikan orang dari golongan rendah dapat meningkat
ke golongan status yang lebih tinggi.
Mobilitas sosial dapat diartikan sebagai suatu gerak perpindahan dari suatu
kelas sosial ke kelas sosial yang lainnya (Horton & Hunt, 1999, h. 89).
Masyarakat dengan sistem stratifikasi terbuka memilki tingkat mobilitas yang
tinggi dibanding masyarakat dengan sistem stratifikasi sosial yang tertutup. Dalam
dunia modern seperti sekarang ini, banyak negara mengupayakan peningkatan
mobilitas sosial dalam masyarakatnya, karena masyarakat yakin bahwa hal
tersebut akan membuat orang melakukan jenis pekerjaan yang paling cocok bagi
individu. Apabila tingkat mobilitas tinggi, meskipun latar belakang sosial individu
berbeda, maka masyarakat tetap dapat merasa mempunyai hak yang sama dalam
mencapai kedudukan sosial yang lebih tinggi. Apa bila tingkat mobilitas sosial
rendah, maka tentu saja kebanyakan orang akan terkungkung dalam status para
nenek moyang.
44
Clark (1944, h.67) dalam bukunya yang berjudul, An Investment in People,
menyatakan bahwa, “experiments in law-income communities show cleary that
education can be used to help people obtain a higher standard of living through
their own efforts”. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan dapat dipergunakan
untuk membantu penduduk dalam meningkatkan taraf hidupnya ke tingkat yang
lebih tinggi melalui usaha mereka sendiri. Penegasan ini berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan terhadap masyarakat yang berpenghasilan rendah.
Hal ini tidak sukar untuk dipahami karena dengan bekal pengetahuan yang
mantap dan lebih-lebih lagi secara sengaja meteri yang berhubungan dengan
masalah ekonomi mendapat tekanan lebih berat, maka out put dari pendidikan
akan dapat berusaha lebih baik dalam menghadapi segala persoalan tentang
kesejahteraannya. Sebaliknya perkembangan ekonomi juga dapat membantu
proses pendidikan karena dengan meningkatnya ekonomi baik nasional maupun
masyarakat sekitar tempat di gelarnya pendidikan berarti meningkat pula kekuatan
untuk memikul biaya pendidikan.
Masalah ekonomi mempunyai pengaruh yang sangat jelas terhadap
kelancaran kegiatan pendidikan dan bahkan ditekankan bahwa kurikulum juga
dipengaruhi oleh tuntutan-tuntutan dari pekerjaan perdagangan dan industri.
Kenyataannya memang demikian, berbagai masalah yang berhubungan dengan
perburuhan, perdagangan dan industri memang harus dipertimbangkan dalam
menyusun kurikulum. Kurikulum yang baik memang memperhatikan kenyataan-
kenyataan yang ada di masyarakat.
45
Signifikansi antara tingkat pendidikan dengan tingkat keadaan ekonomi
atau hubungan antara tingkat pendidikan dan tingkat sosial ekonomi seseorang
oleh Clark (1944, h. 68) tersebut bisa diutarakan sebagai berikut.
1. Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang, makin tinggi pula tingkat
penghasilannya (tamatan sekolah dasar maksimal antara empat dan
lima ribu dolar setahun; tingkat sekolah menengah atas maksimal
antara lima dan enam ribu dolar setahun dan tingkat perguruan tinggi
maksimal antara delapan dan sembilan ribu dolar setahun)
2. Tamatan sekolah dasar (atau sekolah menengah pertama) akan
mendapat penghasilan maksimal pada usia sekitar 35-34 tahun;
tamatan sekolah menengah atas akan mendapatkan penghasilan
maksimal pada usia sekitar 35-44 tahun dan tamatan perguruan tinggi
akan mendapat hasil maksimal pada usia sekitar 45-54 tahun.
3. Tamatan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama pada usia tua
mendapat hasil yang lebih rendah dari hasil ketika mereka mulai
bekerja. Tamatan sekolah menengah atas pada usia tua mendapat hasil
yang seimbang dengan hasil ketika mereka mulai bekerja. Tamatan
perguruan tinggi pada usia tua mendapat hasil yang lebih besar ketika
mereka mulai bekerja. Walau demikian tentulah dimaklumi bahwa
tidak semua orang mengalami atau memiliki korelasi antara tingkat
pendidikan dan penghasilan seperti diatas, penyimpangan tentu ada
sebagaimana dalam masalah sosial lainnya.
Dalam keterkaitannya dengan mobilitas sosial manusia sebagai mahluk
sosial yang mana setiap kehidupan manusia selalu mengalami perubahan,
46
perubahan dapat terjadi dengan cepat (revolusi) dan perubahan secara lambat
(evolusi), perubahan dapat terjadi diberbagai kehidupan manusia, salah satunya
terjadi mobilitas sosial sehingga perubahan yang terjadi membuat masyarakat
melakukan perubahan mengenai hak dan kewajibannya sesuai dengan perubahan
peranannya dalam lingkungan sosial masyarakat. Tanpa disadari perubahan dari
status sosial sebagai orang dari golongan menegah ke bawah berubah menjadi
golongan atas dalam pandangan status sosial masyarakat Amarabu di ikuti dengan
peran dan fungsinya yang baru pula.
Hal ini relevan dengan teori struktural fungsional Talcott Parsons dalam
(Ratna, 2005, h. 56) yang mengasumsikan bahwa masyarakat merupakan sebuah
sistem yang terdiri dari berbagai bagian atau subsistem yang saling berhubungan.
Bagian-bagian tersebut berfungsi dalam segala kegiatan yang dapat meningkatkan
kelangsungan hidup dari sistem. Fokus utama adalah mendefinisikan kegiatan
yang dibutuhkan untuk menjaga kelangsungan hidup sistem sosial. Yang di dalam
menjaga kelangsungan tersebut terdapat mobilitas sosial yang terus berjalan
seiring perkembangan kebutuhan hidup masyarakat didalamnya.
Terdapat empat fungsi penting yang mutlak dibutuhkan bagi semua sistem
sosial, meliputi adaptasi (A), pencapaian tujuan atau goal attainment (G),
integrasi (I), dan Latensi (L). Empat fungsi tersebut wajib dimiliki oleh semua
sistema agar tetap bertahan (survive). Pada masa adaptasi (Adaption) seseorang
mulai mengadakan penyesuaian diri dengan lingkungannya. Reaksi yang
dilakukannya tidak hanya datang dari dalam dirinya, melainkan datang dari luar.
Hukuman dan penghargaan mengenai sikap yang harus dilakukan dan perbuatan
yang harus ditinggalkan. Pada fase pencapaian tujuan (goal attainment), seorang
47
seseorang bertindak dengan tujuan tertentu dan lebih terarah. Kemudian berusaha
untuk melakukan perbuatan yang menyebabkannya mendapat penghargaan dari
orang lain.
Pada fase integrasi (integration), perbuatan seorang seseorang sudah lebih
mendalam, yaitu setiap tindakan yang dilakukannya merupakan bagian dari
hidupnya. Norma-norma yang dilakukan merupakan bagian dari hidupnya di
tengah-tengah masyarakat.
Pada fase latensi, perbuatan seseorang hanya didasarkan atas respon orang
lain di luar dirinya. Di sini seseorang belum mampu merumuskan apa yang
dilakukan karena pengenalan terhadap dirinya belum jelas. Oleh karena itu,
lingkungan tempat tinggalnya belum menganggap dirinya sebagai individu yang
perlu diajak berinteraksi.
Sosialisasi pada masa remaja seseorang berada pada masa transisi, yaitu
meninggalkan masa anak-anak dan masuki usia remaja. Masa ini disebut juga
sebagai reserve socialization, yaitu orang yang lebih muda dapat menggunakan
pengaruh mereka kepada orang yang lebih tua. Dengan kata lain, reserve
socialization berarti orang yang seharusnya disosialisasikan, tetapi justru
menyosisalisasikan. Proses ini terjadi pada masyarakat yang mengalami
perubahan cepat. (Piotr Sztomka, 2007, h. 78)
Agen sosialisasi pada masa remaja bukan lagi orang tua, melainkan teman
sebaya. Pada masa ini, sangat sedikit ketergantungan kepada orang tua sebab dia
mendapatkan nilai-nilai baru secara lebih luas di luar. Proses sosialisasi dialami
orang dewasa pada saat mendapatkan peran yang baru, peran itu dapat berupa
mendapatkan pekerjaan, menikah, dan memiliki seseorang. Tiga bentuk peran itu
48
menuntut seseorang melakukan pembelajaran. semua peran baru ini menuntut
orang dewasa memulainya lagi dari nol sebab ia belajar bersosialisasi kembali.
Ketika perubahan pada suatu masyarakat terjadi dengan sendirinya
mobilitas sosial pun terjadi karena perpindahan golongan, status dan peran
seseorang dalam masyarakat dari suatu tingkat yang rendah ke suatu tingkat yang
lebih tinggi atau sebaliknya. Zaman dahulu seseorang mendapat status tinggi
dalam sistem stratifikasi dalam masyarakatnya karena faktor keturunan dan inipun
akan berlangsung selama seumur hidup tanpa ada proses kompetisi untuk
menggapai ataupun mempertahankan status tertentu (kecuali atas dasar
pengkhianatan terhadap golongan kelas dan perkawinan). Ini pun sangat jarang
terjadi, kini pada masyarakat industri modern kesempatan-kesempatan untuk
berkompetisi meraih status pada kelas-kelas atas sangat terbuka sekali.
4.2.2 Mobilitas Pendidikan Masyarakat Gampong Amarabu Kecamatan
Simeulue Cut Kabupaten Simeulue Melakukan
Dalam masyarakat Dewasa ini yang lebih dihargai pada diri seseorang
adalah prestasi, kecakapan, keahlian dan faktor determinan utama, yakni struktur
sosial yang menentukan jumlah relatif dari kedudukan tinggi yang terdistribusi
dan kemudahan untuk memperolehnya. Ketika individu yang ada di dalamnya
adalah pemainnya yang akan menentukan siapa yang berhasil mencapai
kedudukan tertentu dalam masyarakat. Dalam hasil penelitian tampak pada
umumnya masyarakat Amarabu melakukan mobilitas sosial melalui pendidikan,
namun menempuh pendidikan bukannya tanpa rintangan, hal yang paling utama
adalah biaya pendidikan yang terus meningkat.
49
Pendidikan tinggi masih sangat selektif. Tidak semua orang tua mampu
membiayai seseorangnya diperguruan Tinggi seperti pada kasus Sukirman salah
satu masyarakat Amarabu. Menggunakan komputer untuk menilai tes seleksi
masuk menjadi obyektif artinya tidak lagi dipengaruhi kedudukan orang tua atau
orang yang memberikan rekomendasi. Cara itu membuka kesempatan yang luas
bagi seseorang-seseorang golongan rendah dan menengah untuk memasuki
perguruan tinggi atas dasar prestasinya masuk tes itu. Biaya yang cukup banyak
selalu menjadi hambatan bagi golongan rendah menengah untuk menyekolahkan
seseorangnya pada tingkat Universitas. Beasiswa dari pemerintah dan kesempatan
untuk mengadakan pinjaman dari bank dapat memperluas kesempatan belajar bagi
mereka yang berbakat akan tetapi ekonomi rendah.
Bagi orang tua yang memandang pendidikan merupakan hal yang sangat
penting akan berupaya demi terjaminnya keberlangsungan pendidikan agar anak
tetap sekolah. Dalam masyarakat juga terdapat saluran-saluran tertentu bagi
mobilitas sosial, melalui saluran-saluran ini status seseorang warga bisa bergerak
naik dari lapisan yang rendah ke dalam lapisan yang lebih tinggi. Saluran
mobilitas sosial ini antara lain organisasi pemerintahan, lembaga keagamaan,
lembaga ekonomi dan lembaga pendidikan.
Di samping itu perbedaan hak merupakan konsekuensi kompleksitas
budaya yang juga tidak dapat dihindari, pada dasarnya setiap individu dalam suatu
masyarakat mempunyai kesempatan untuk menaikan kelas sosial mereka dalam
struktur sosial masyarakat yang bersangkutan. Termasuk dalam masyarakat yang
menganut sistem pelapisan yang tertutup atau kaku. Inilah yang biasa disebut
dengan mobilitas sosial. Sebagaimana orang berhasil mencapai status yang tinggi,
50
namun beberapa orang mengalami kegagalan, dan selebihnya tetap tinggal pada
tingkat status yang dimiliki oleh orang tua mereka, bahkan turun lebih rendah dari
pada itu.
Mobilitas jenis di atas merupakan bentuk mobilitas dalam lingkup antar
generasi yakni kita bisa memperbandingkan status pekerjaan ayah dan seseorang,
selain itu kita juga bisa mengetahui sampai sejauh mana sang seseorang mengikuti
jejak sang ayah dalam hal pekerjaan. Mobilitas juga bisa ditelaah dari segi gerak
“intra generasi”, yakni kita bisa mengukur sejauh mana individu yang sama
mengalami perubahan sosial dalam masa hidupnya sendiri. Kembali seperti
pembahasan sebelumnya, dalam kedua hal itu yang diperhatikan adalah tingkat
keterbukaan masyarakat secara ekstrim, suatu masyarakat terbuka adalah
masyarakat di mana hubungan antara pekerjaan ayah dan pekerjaan seseorang,
umpamanya, sama sekali acak sifatnya. Ini adalah sebuah masyarakat di mana
status diperoleh, berkat prestasi (achievement), di mana mengetahui pekerjaan
seorang ayah tidak akan membantu kita untuk meramalkan pekerjaan seseorang-
seseorangnya.
Di ujung ekstrtim lainnya, sebuah masyarakat yang tertutup sama sekali
adalah masyarakat dimana status sudah merupakan bawaan (ascribed) sejak lahir,
penyapu jalan melahirkan (calon) penyapu jalan, juru rawat melahirkan (calon)
juru rawat, pengemis melahirkan (calon) pengemis pula. Akan tetapi, dalam setiap
masyarakat terdapat suatu campuran antara prestasi dan askripsi, hubungan timbal
balik antara usaha sendiri dan keturunan adalah kompleks dan berubah-ubah.
Meskipun mobilitas sosial memungkinkan masyarkat untuk mengisi kursi
jabatan dengan orang yang paling ahli dan memberikan kesempatan bagi orang
51
untuk mencapai tujuan hidupnya, namun mobilitas sosialpun mengakibatkan
konsekuensi-konsekuensi yang sebenarnya tidak diinginkan, seperti rasa
ketegangan pada pribadi yang berusaha untuk naik status, rasa ketidakpuasan akan
kegagalan, sikap angkuh dan sombong atas keberhasilan, rasa khawatir akan
turunnya status, dan secara sosial bisa memperlemah solidaritas kelompok sebagai
akibat dari dinamika antargolongan sosial dalam masyarakat. Hal ini relevan
dengan yang dikiemukakan oleh SPA Teamwork, (2005, h. 15) yang mengatakan
bahwa Ketika masyarakat yakin bahwa mereka memiliki cara hidup yang tak
ternilai harganya, mereka mengupayakan sarana untuk meneruskan cara hidup itu
kepada anak turunannya, dan hasrat inilah yang meningkat menjadi pendidikan
formal.
Tilaar, (2002, h. 6) mengemukakan Konteks pendidikan yang
transformative mempersiapkan individu-individu yang peka dengan
lingkungannya, inisiatif, dan terdorong untuk melakukan dinamika. Pedagogik
transformatif terhadap individu bukanlah sebagai suatu entity yang telah jadi,
tetapi yang sedang menjadi. Individu mempunyai peran emansipasif di dalam
kehidupan sosial budaya, termasuk melalui proses pendidikan dalam lingkungan
keluarga dan sekolah. Di dalamnya peranannya yang emansipatif tersebut maka
individu bukan hanya sebagai obyek dari perubahan sosial, tetapi sekaligus pula
berperan sebagai faktor dari pengubah dan pengarah dari perubahan sosial atau
agen of change (individu-individu pengubah).
Dalam masyarakat berkasta, bisa temui contoh-contoh ekstrim dari
konsekuensi-konsekuensi mobilitas sosial di atas, di sana perbedaan antara
golongan yang menduduki tingkat tertentu dalam masyarakat sangat menonjol
52
sekali dengan garis pembatas yang jelas. Norma-norma, nilai dan gaya hidup dari
masing-masing kelompok juga sangat mencolok perbedaannya. Jadi menjadi hal
yang biasa pada seseorang, rasa kekhawatiran orang kasta atas timbul saat
posisinya terancam untuk turun ke kasta bawah. Bahkan orang kasta tertentupun
jika melakukan pelanggaran atas norma yang berlaku dengan serta merta akan
dikeluarkan dari kelompoknya dan dikucilkan oleh orang-orang sekasta bahkan
keluarga sendiri.
Dalam masyarakat yang struktur sosial dan politiknya menciptakan
kemungkinan mobilitas sosial yang tidak sehat akan lebih memperparah
konsekuensi nagatif atas proses dinamika sosial dan bahkan bisa menimbulkan
sebuah antagonisme sosial yang tinggi antarkelompok. Kemajuan teknologi
memang tidak menghilangkan ketidakadilan sosial, akan tetapi ia memperlemah
efeknya. Masyarkat modern adalah masyarakat yang kompleks, dimana
keragaman jenis pekerjaan yang berbeda-beda kepentingannya membawa
penghasilan yang tidak sama serta kondisi kerja yang tidak sama pula.
Di sini di tuntut harus memahami situasi ini secara jelas. Adalah mungkin
untuk menampilkan dua pandangan yang berbeda tentang evolusi masyarakat
industri. Pada satu pihak, bisalah ditunjukkan bahwa mereka bergerak ke arah
stratifikasi sosial yang kompleks, menuju diversifikasi pekerjaan dan jenis
pekerjaan, akan tetapi, di pihak lain kita dapat melukiskan suatu situasi yang
persis sebaliknya, penguburan garis-garis kelas yang ada dalam masyarakat.
53
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa:
1. Persepsi masyarakat terhadap tingkat pendidikan di Gampong Amarabu
Kecamatan Simeulue Cut Kabupaten Simelue sebagai berikut:
a. Pendidikan dipandang sebagai jalan bagi mobilitas sosial, untuk
mencapai kedudukan ke golongan yang lebih tinggi.
b. Pendidikan yang tinggi merupakan hal terpenting untuk memperoleh
ijazah karena perguruan tinggi masih dapat memberi perluasan
mobilitas, meskipun jaminan ijazah belum tentu meningkat untuk
status sosial.
c. Hampir pada umumnya dalam pandangan masyarakat luas memiliki
ijazah perguruan tinggi merupakan bukti akan kesanggupan
intelektualnya untuk menyelesaikan studinya
2. Masyarakat Amarabu melakukan mobilitas pendidikan dengan cara
menyisihkan penghasilan baik gaji maupun hasil panen dengan menabung
serta bagi yang berprestasi baik berupaya memperoleh beasiswa dari
pemerintah serta mengadakan pinjaman dari bank agar dapat memperluas
kesempatan bagi masyarakat dari golongan ekonomi rendah.
5.2 Saran
Bagi masyarakat Amarabu patut diberi apresiasi positif karena
meningkatnya antusias masyarakat dalam meningkatkan pendidikan, sehingga
54
dengan sendirinya akan terjadi mobilitas sosial yang akan mengaburkan
kesenjangan antara golongan rendah dan golongan tinggi dalam masyarakat
Bagi pemerintah setempat hendaknya dapat membantu mewujudkan
apresiasi masyarakat dalam hal pendidikan dengan kebijakan-kebijakan
pemberian beasiswa bagi masyarakat Amarabu khususnya yang ingin melanjutkan
pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi, mengingat pendidikan tinggi merupakan
syarat terpenting agar memperoleh pekerjaan.
55
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, H. Abu. 2007, Sosiologi Pendidikan, Cet. II, Jakarta: Rineka Cipta
Abdullah Idi, 2011. Sosiologi Pendidikan, Jakarta : Rajawali Pers
Ary. H. Gunawan, 2000. Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta
David Jarry dan Julia Jary, Dictionary of Sociology, (The Harper Collins
Publisher)
Emzir. 2010. Metode penelitian kualitatif, analisis data. Jakarta: Rajawali pers
Hamalik, Oemar, 2005 Perencanaan Pegajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem,
cet V, Jakarta: Bumi Aksara
Idi, Abdullah., dan Toto Suharto, 2006, Revitalisasi Pendidikan Islam,
Yogyakarta: Tiara Wacana
Iman, Muis Sad, 2004, Pendidikan Partisipatif, Yogyakarta: Safiria Insania Press
Jalal, Faisal., dan Dedi Supriadi, 2001, Reformasi Pendidikan Dalam Konteks
Otonomi Daerah, Yogyakarta: Adicita Karya Nusa
Maryati, Kun dan Juju Suryawati 2006, Sosiologi, Jilid II, Jakarta, Esis
Moloeng,lexy J. (2001). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT Penerbit
Remaja Rosdakarya.
Nasution, S. 2004. Sosiologi Pendidikan. Jakarta, Bumi Aksara
Nazir. 2005. Metode penelitian.Bogor: Ghalia Indonesia
Nur Uhbiyati 2002, Ilmu Pendidikan, Cet.II, Jakarta: Rumka cipta
Pidarta, Made, 2000, Landasan Kependidikan Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak
Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta
Parsons, Talcott. 1970. Social Strurcture and Personality. London: The Free Press
Sanderson, Stephen K, 1995, Sosiologi Makro, Rajawali Press Jakarta.
Sarwono, Sarlito. 2001, Psikologi Sosial – Psikologi Kelompok dan Psikologi
Terapan, Cet. II, Jakarta: Balai Pustaka
Sugiyono 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, Bandung:
Alfabeta
56
Soekanto, Soerjono. 2000, Sosiologi Suatu Pengantar, Cet. Revisi VII, Jakarta: UI
Press
Suhartono, Suparlan, 2009, FIlsafat Pendidikan, Cet. IV, Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media
Susanto, A. Budi, 2003, Identitas dan Poskolonialitas di Indonesia, Yogyakarta:
Kanisius
Thut, I.N., dan Don Adams, 2005, “Educational Pattern in Contemporary
Societies”, diterjemahkan oleh SPA Teamwork dengan judul Pola-pola
Pendidikan dalam Masyarakat Kontemporer – Seri Pendidikan
Perbandingan, Cet. I, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Tilaar, H.A.R, 2002, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik
untuk Indonesia, Jakarta: Gramedia
Tilaar, 2003, Kekuasaan dan Pendidikan, Jakarta: Indonesia Tera
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistim
Pendidikan Nasional.
Yulaelawati, Ella, 2004, Kurikulum dan Pembelajaran. Filosofi, Teori, dan
Aplikasi, Bandung: Pakar Raya