Post on 20-May-2019
ANALISIS SEMIOTIKA FOTO PADA BUKU TANAH YANG HILANG
KARYA MAMUK ISMUNTORO
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Dwinda Nur Oceani
1112051100039
JURUSAN JURNALISTIK
FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H / 2018 M
iv
ABSTRAK
Dwinda Nur Oceani
1112051100039
Analisis Semiotika Foto pada Buku Tanah yang Hilang Karya Mamuk
Ismuntoro.
Foto dokumenter menjadi medium yang begitu relevan untuk menyampaikan
sebuah realita sosial. Dalam hal ini, yaitu tragedi besar luapan Lumpur Lapindo di
Sidoarjo yang terjadi pada tahun 2006, sebuah bencana non alamiah akibat campur tangan
manusia atas lingkungan. Berangkat dari tragedi tersebut seorang fotografer dokumenter
Mamuk Ismuntoro membuat catatan visual berupa buku foto Tanah yang Hilang. Karya
tersebut hadir atas keresahannya sebagai warga terdampak. Selamat tujuh tahun ia
mendokumentasikan gambaran atas kehidupan sehari-hari masyarakat dan lansekap
kondisi, situasi desa terdampak.
Dengan latar belakang di atas, muncul pertanyaan apa kandungan makna denotasi
dan konotasi yang terkandung dalam foto-foto Mamuk Ismuntoro? Apa makna mitos
yang terkandung dalam foto-fotonya? Ketiga tahap pemaknaan tersebut terkait bagaimana
kondisi area desa dan keadaan masyarakat terdampak, pasca terjadinya luapan Lumpur
Lapindo yang menenggelamkan beberapa desa di Sidoarjo dalam foto yang dibuat oleh
Mamuk Ismuntoro.
Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis dengan pendekatan
kualitatif. Dalam penelitian ini foto-foto yang dikaji menggunakan metode analisis
semiotika Roland Barthes. Metode analisis ini menekankan pada makna denotasi,
konotasi, dan mitos yang dimaknai oleh penulis dengan memperkaya temuan maknanya
terkait hak-hak korban luapan Lumpur Lapindo yang terenggut.
Dari penelitian ini dapat dilihat makna denotasi yakni gambaran bagaimana
situasi desa-desa terdampak yang terendam dan kondisi masyarakat pasca luapan Lumpur
Lapindo. Dari analisa makna konotasi terungkap bahwa foto-foto karya Mamuk
Ismuntoro dalam buku Tanah yang Hilang menggambarkan kemuraman dan ingatan akan
masa lalu yang telah sirna. Hal tersebut dapat dilihat dari dominasi warna foto dan pose
subyek foto yang menghadap ke arah kiri. Serta gambar lansekap dan kehidupan sehari-
hari masyarakat memperlihatkan rasa kehilangan atas sesuatu yang dimiliki dahulu.
Dalam analisa makna mitos yang terbangun, diketahui bahwa apa yang terjadi di area
terdampak luapan Lumpur Lapindo ialah tentang hilangnya kehidupan sosial, hak-hak
dasar sebagai manusia, juga keputusasaan yang dilatarbelakangi oleh kemusnahan.
Dalam hal ini peran penting negara pun sirna diakibatkan adanya kepentingan orang yang
berkuasa.
Kata kunci: Lumpur Lapindo, Semiotika, Makna, Foto, Tanah yang Hilang
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum wr.wb
Alhamdulillāhi Rabbil ‘ālamīn, puji dan syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam juga tak lupa penulis curahkan
kepada baginda Nabi Muhammad SAW dan para keluarga, para sahabat, juga kita
sebagai pengikutnya, semoga kelak akan mendapatkan petunjuk di hari akhir.
Dengan penuh rasa syukur, akhirnya penulis bisa menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Analisis Semiotika Foto pada Buku Tanah yang Hilang Karya
Mamuk Ismuntoro”, yang disusun untuk memenuhi persyaratan dalam
memperoleh gelar Strata 1 (S1) di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Secara khusus penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada orangtua
dan nenek, yaitu mama Zaidah Destiana, nenek Djamilah, dan ayah Achmad
Apip. Serta dua kaka penulis, yaitu Ade Eka Putri Aksari dan Firman Achmad
Roygan yang menjadi penyemangat terbesar dalam hidup, tiada hentinya
mendoakan, memberikan restu, serta kasih sayang di setiap waktu. Terima kasih
selama ini sudah mengerti, bersabar, dan percaya. Semoga mereka selalu dalam
lindungan Allah SWT.
vi
Penulis menyadari bahwa hasil skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan doa
dari berbagai pihak. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi Dekan Fakultas Ilmu
Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. H. Arief
Subhan, M.A. Wakil Dekan I Bidang Akademik, Dr. Suparto, M. Ed,
Ph.D. Wakil Dekan II Bidang Administrasi Umum, Dr. Hj. Roudhonah,
M.Ag, serta Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan, Dr. Suhaimi, M.Si.
2. Kholis Ridho, M.Si selaku Ketua Program Studi Jurnalistik dan Dra. Hj.
Musfirah Nurlaily, M.A selaku sekretaris Program Studi Jurnalistik yang
telah meluangkan waktu, dan memberikan semangat agar penulis segera
menyelesaikan penelitian ini.
3. Rachmat Baihaky, MA, dosen pembimbing penulis yang sudah banyak
bersabar, memberikan waktu, semangat, dan pikirannya dalam
membimbing penulis.
4. Dosen penguji yaitu Drs. Jumroni , M.Si dan Rubiyanah, M.A. terima
kasih untuk berbagai koreksi yang diberikan untuk penulis.
5. Seluruh dosen dan segenap staf Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi yang telah memberikan ilmu-ilmu yang bermanfaat serta
bantuan dalam hal akademis.
6. Pimpinan dan karyawan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi yang
telah menyediakan buku serta fasilitas lainnya sehingga penulis mendapat
banyak referensi dalam penelitian ini.
vii
7. Mamuk Ismuntoro, yang sudah mau meluangkan waktu di tengah
kesibukannya. Berbagi pengalaman dan cerita dalam proses penggarapan
buku foto Tanah yang Hilang. Terima kasih karena sudah membuat karya
foto yang luar biasa dan menginspirasi penulis. Edi Purnomo, Ridzki
Noviansyah dan Reynaldo Sembiring yang juga telah membantu penulis
dalam memberi informasi dan mau berdiskusi bersama mengenai
penelitian ini.
8. Ka Isafitri selaku korban atau warga terdampak, yang sudah bersedia
penulis ajak berdiskusi terkait tragedi Lumpur Lapindo.
9. Grup penuh berkah, Annisa R, Anisa I, Indah, Nanda, Lukman, dan
Faathir. Terima kasih karena selalu ada, mengingatkan dan tidak pernah
bosan memberi semangat pada penulis.
10. Teman-teman Jurnalistik B dan A 2012, yang telah berproses bersama,
terima kasih untuk semua cerita di perkuliahan. Khususnya Eva Fauziah.
Dari Jurnalistik angkatan 2013 penulis juga mau mengucapkan terima
kasih kepada Atika Fauziyah atas dukungannya.
11. Kakak-kakak terkasih Anisa Azalia, Hana Sayyida, Hanggi Tyo, Meimei,
Zaenatul Nafisa, Alex, Zakaria, Sheila dan Suhainti Harahap yang selalu
ada untuk berbagi keresahan dan memberi semangat di waktu sulit. Doa
dan dukungan kalian sangat berarti. Tidak lupa juga dengan Pak Fahmy,
Mba Dedeh Erawati dan Mba Dwi Ratna yang telah memberi warna dan
menjadi bagian dari perjalanan karir penulis.
viii
12. Keluarga besar KLISE Fotografi, khususnya Dika, Uci, Bang Jali, Bang
Chris, Bang Aldi, Ananta, Iyos, dan semua angkatan yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu.
13. Perkumpulan positif ku, Geng Berani Mimpi Febriyani Wulandari dan
Yuli Astuti, kalo kata anak Jaksel you girls are amazing!. Tidak lupa juga
untuk temen-temen dari Youth Coalition for Girls terima kasih untuk
tambahan semangatnya dan terus mendorong penulis untuk berpikir kritis,
khususnya Sanita Rini, Anita, Rizqi dan tim litbang, who run the world?
GIRLS!. Lalu, Bentara Muda Ka Diah, Ka Diana, Ka Vy, Ka Kondang,
Asmo, dan Ka Purnama terima kasih untuk dukungannya.
14. KKN Kebangsaan penempatan Desa Dayang Suri, Kab. Siak, Riau. Geng
Cendol ku para pemuda-pemudi yang mencintai kebhinekaan negeri ini,
Nim, Nihel, Marlan, Anas, Teguh, Yana, Teti, Nazrah, dan Robi.
Dukungan dan doa kalian sangat berarti, semoga sampai tua nanti tetap
begitu.
15. Temen-temen dan pengajar workshop Galeri Foto Jurnalistik Antara
angkatan XX “Pijar Lintang khususnya Abi Rafdi Aufar yang memberikan
berbagai referensi kepada penulis untuk penelitian ini dan tidak lupa juga
tim manajemen GFJA, Terima Kasih.
ix
16. Terima kasih untuk semua pihak yang telah mendoakan dan membantu
penulis sehingga bisa menyelesaikan penelitian ini. Tanpa mengurangi
rasa hormat dan terima kasih penulis, mohon maaf bila ada nama yang
tidak tertulis. Semoga Allah Subhanahu wa ta’ala membalas kebaikan
kalian semua.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, namun
penulis telah berusaha semaksimal mungkin. Semoga skripsi ini bisa bermanfaat.
Wassalamualaikum. Wr.Wb
Penulis
Dwinda Nur Oceani
x
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN............................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN............................................................................. iii
ABSTRAK ..................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ..................................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR....................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah ......... ......................................... 5
1. Batasan Masalah ................................................................... 5
2. Rumusan Masalah ................................................................ 6
C. Tujuan Penelitian ......................................................................... 6
D. Manfaat Penelitian ....................................................................... 7
1. Manfaat Teoritis ................................................................... 7
2. Manfaat Praktis…….............................................................. 7
E. Metodologi Penelitian ................................................................. 7
1. Paradigma Penelitian ............................................................ 7
2. Pendekatan Penelitian……........…………………………… 8
3. Metode Penelitian ................................................................. 9
4. Definisi Operasional............................................................... 9
xi
5. Sumber Data ……………….......………………………….. 10
6. Subjek dan Objek Penelitian ............................................... 11
7. Teknik Pengumpulan Data ................................................... 11
8. Teknik Analisis Data ............................................................ 12
F. Tinjauan Pustaka ......................................................................... 12
G. Sistematika Penulisan .................................................................. 13
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Umum Fotografi ............................................................ 15
1. Pengertian Fotografi............................................................... 15
2. Unsur-unsur Fotografi ........................................................... 16
3. Aliran-aliran Fotografi ......................................................... 20
4. Fotografi Jurnalistik ............................................................. 22
5. Fotografi Dokumenter........................................................... 23
B. Tinjauan Umum Semiotika.......................................................... 25
1. Pengertian Semiotika …………………………………........ 25
2. Tokoh-tokoh Semiotik ……………………………….......... 27
3. Semiotika Roland Barthes.................................................... 29
BAB III GAMBARAN UMUM BUKU TANAH YANG HILANG
KARYA MAMUK ISMUNTORO
A. Gambaran Umum Buku Foto Tanah yang Hilang Karya
Mamuk Ismuntoro....................................................................... 37
B. Gambaran Umum Lumpur Lapindo............................................ 39
C. Profil Mamuk Ismuntoro............................................................. 42
D. Sejarah Fotografi Indonesia......................................................... 44
xii
E. Perkembangan Fotografi Dunia.................................................... 48
F. Gambaran Umum dan Sejarah Buku Foto.................................... 49
BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA
A. Analisis Data Foto 1: Pria sedang berdoa …….......................... 55
B. Analisis Data Foto II: Kompleks Pemakaman …………............ 62
C. Analisis Data Foto III: Pria Berjalan di Reruntuhan Desa........... 68
D. Analisis Data Foto IV: Rumah-rumah Terkubur Lumpur…........ 75
E. Analisis Data Foto V: Garuda Tertutup Kain ……...................... 82
F. Analisis Data Foto VI: Pengantin wanita di Pengungsian............ 89
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................... 98
B. Saran ......................................................................................... 103
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................
LAMPIRAN .................................................................................................
xiii
DAFTAR GAMBAR
A. Gambar 1. Foto Pertama ...........................……........................... 55
B. Gambar 2. Foto Kedua..................................... …………........... 62
C. Gambar 3. Foto Ketiga................................................................ 68
D. Gambar 4. Foto Keempat................................................…........ 75
E. Gambar 5. Foto Kelima…..............................……..................... 82
F. Gambar 6. Foto Keenam............................................................. 89
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dari sebuah jurnal sosiologi1, Oliver-smith mendefinisikan bencana
sebagai perjumpaan antara kerentanan sosial-ekonomi suatu masyarakat dan
kekuatan menghancurkan atau memusnahkan itu tidak melulu pada gejala alamiah
tetapi juga gejala non alamiah yang terjadi akibat campur tangan manusia atas
lingkungan. Bahwa semua yang terjadi dalam sebuah tragedi besar tidak melulu
terjadi begitu saja karena kehendak Tuhan, melainkan manusia itu sendiri yang
menciptakan bencana dari tangan kecilnya. Dalam hal ini pembahasan merujuk
pada tragedi luapan Lumpur Lapindo.
Tepat pada posisi 200 meter barat daya sumur Banjarpanji-1 milik PT
Lapindo Brantas Inc. Pada 29 Mei 2006 terjadi sebuah tragedi yang berujung
bencana bagi masyarakat Sidoarjo. Semburan lumpur pertama kali di Desa Reno
Kenongo, Porong, Sidoarjo. Lapindo merupakan perusahaan milik swasta yang
bergerak di bidang perminyakan dan gas bumi. Hingga tahun 2015, lumpur sudah
meneggelamkan tiga kecamatan yaitu, Porong, Jabon, dan Tanggulangin yang jika
ditotal terdapat 10 desa terdampak. Tragedi ini memengaruhi berbagai elemen-
elemen kehidupan di daerah sekitar terdampak, tidak hanya manusia tetapi
makhluk lainnya seperti tumbuhan dan binatang. Bangunan-bangunan yang
menyokong perekonomian warga, fasilitas umum, fasilitas desa, dan lain-lainnya
juga turut terdampak.
1 Anto Novenanto, Membangun Bencana: Tinjauan kritis atas Peran Negara dalam
Kasus Lapindo, MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi, 2016. h. 162.
2
Di awal-awal tahun terjadinya semburan, penyebutan tragedi ini masih
simpang-siur, dan setelah adanya pembahasan oleh pemerintah maka pada 22
Januari 2008 di sidang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan diputuskan bahwa
semburan lumpur sebagai fenomena alam (bencana) dan tidak ada hubungannya
dengan aktivitas pengeboran Lapindo.2 Namun menjadi sebuah problematika
ketika tim peneliti yang berasal dari Australia menulis sebuah jurnal di situs
Nature Geoscience3 pada 20 Desember 2007 yang berjudul Triggering of the Lusi
Mud Eruption: Earthquake versus drilling initiation, mengungkapkan bahwa
luapan Lumpur Lapindo tidak dipicu oleh gempa Yogyakarta, tetapi aktivitas
pengeboran atau Tingay dan tim menyebutnya sebagai konsekuensi dari
pengeboran.
Lumpur Lapindo terus menyemburkan lumpur panasnya tetapi kini
intensitasnya cenderung mengurang tidak seperti awal-awal kejadian. Tidak ada
yang bisa memprediksi kapan semburan akan berakhir. Seperti halnya proses ganti
rugi atas korban dilakukan secara bertahap dan terkesan seperti proses jual beli
tanah.
Bukan hanya proses pertanggungjawaban atas hak-hak korban yang telah
terenggut. Jika ditelisik, dapat dilihat lagi hal terkait hak-hak para korban sebagai
manusia yang juga hidup berdampingan dengan lingkungan. Sudahkah pihak PT
2 Anto Novenanto, Melihat Kasus Lapindo Sebagai Bencana Sosial, laporan penelitian
yang dibiayai: Center for Religious and Cross -cultural Studies (CRCS)—Universitas Gadjah
Mada, Institute of Cultural Anthropology and Development Sociology (CA/DS)—Leiden
University, dan beasiswa Study in Netherlands (STUNED)—NUFFIC/NESO. 2010. h 12. 3 Nature Geoscience merupakan sebuah jurnal ilmiah bulanan yang berisi hasil riset-riset
para ilmuan atau periset dari berbagai negara dan universitas. Jurnal ini diterbitkan oleh Nature
Publishing Group.
3
Lapindo Brantas memenuhi berbagai pertanggungjawaban atas hak-hak warga
terdampak yang telah terenggut, ini yang menjadi perhatian.
Berangkat dari peristiwa ini seorang warga Sidoarjo yang juga terdampak
dan memiliki rumah tidak jauh dari lokasi kejadian berinisiatif mencatat sebuah
tragedi besar yang terjadi di dekatnya. Berupa catatan visual, ialah Mamuk
Ismuntoro pria kelahiran Surabaya tahun 1975, bercerita dengan pendekatan
dokumenter yang dibuatnya selama kurung waktu tujuh tahun.
Dalam keterbatasannya Mamuk menghadirkan sebuah tragedi besar
melalui buku foto, dengan perspektif pribadinya terhadap Lumpur Lapindo yang
telah merenggut kehidupan sosial daerah sekitar ia tinggal juga warga desa dari
beberapa kecamatan di Sidoarjo, Jawa Timur. Dalam buku Tanah yang Hilang
terdapat dua genre yang berbeda, yakni lanskap dan potret masyarakat.4 Dari situ
tampak Mamuk ingin menghadirkan sebuah situasi sosial daerah terdampak
Lumpur Lapindo.
Penduduk atau korban dari Bencana Lumpur Lapindo hingga tahun 2015
tidak diketahui jumlah pastinya karena dari pemerintah tidak pernah merilis
berapa jumlah resmi penduduk yang terdampak luapan Lumpur Lapindo sejak
2006. Namun, informasi yang didapat dari pemberitaan Tempo yaitu, kurang
lebih 25.000 jiwa mengungsi akibat rusaknya 10.462 unit rumah, 77 tempat
ibadah, 23 sekolah, 4 kantor pemerintahan, 30 pabrik, dan 360 hektar sawah.5
4 http://pannafoto.org/publication/tanah-yang-hilang/ diakses pada 11/02/2017
5https://nasional.tempo.co/read/423932/alasan-komnas-ham-sebut-lumpur-lapindo-
kejahatan/full&view=ok diakses pada 11/02/2017
4
Sebuah rekam jejak tentang hilangnya kampung halaman. Berdasarkan
teknik penggarapan sebuah proyek foto dokumenter membutuhkan waktu yang
cukup lama, maka ini bukan sekedar foto yang menggambarkan sebuah proses
atau how to tapi sebuah realita sosial yang terjadi di masyarakat dan dikemas
menjadi sebuah catatan. Sejarah yang didokumentasikan dan menjadi faktual
karena fakta-fakta yang terungkap dari sepanjang perjalanan dokumentasi yang
dilakukan.
Berbekal pendidikan Jurnalistik di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi –
Almamater Wartawan Surabaya, Mamuk juga mendapat beasiswa ―Advanced
Photojournalism Course‖ tahun 2007, yang diselenggarakan oleh PannaFoto
Institute dan World Press Photo di Jakarta.6 Mamuk membukukan catatan visual
ini dengan judul Tanah yang Hilang.
Buku foto dokumenter ini juga pernah dimuat media dan ditampilkan di
beberapa festival buku foto internasional, seperti media The Jakarta Post, IPA
(Invisible Photographer Asia), International Photobook dummy Award
dipamerkan di empat negara di Eropa, Photobook Festival di Jerman tahun 2015,
menjadi satu dari 40 buku foto yang dipamerkan dalam Asia-Pacific Photobook
Archive di Photo Ireland Festival 2015, Photobook month di Galeri Foto
Jurnalistik Antara tahun 2015 dan Fotografie Forum Frankfurt turut dipamerkan
dan menjadi bagian dari pameran Beyond Transisi di Jerman tahun 2015.
Lalu apakah yang sebenarnya ingin disampaikan oleh Mamuk Ismuntoro
dalam buku foto Tanah yang Hilang. Dengan dasar itulah penulis mencoba
6 Mamuk Ismuntoro, Tanah yang Hilang, Jakarta, PannaFoto Institute, 2014.
5
menganalisis maksud yang terkandung dalam buku foto Tanah yang Hilang
dengan metode analisis semiotika.
Dengan dasar pemikiran di atas, maka penulis memutuskan untuk
melakukan penelitian dengan judul ―Analisis Semiotika Foto pada Buku Tanah
yang Hilang Karya Mamuk Ismuntoro‖.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Pada penelitian ini pembahasan difokuskan pada Buku Foto Tanah yang
Hilang karya Mamuk Ismuntoro yang dipublikasi pada 2014. Buku tersebut
menceritakan tentang suatu kehilangan tetapi bukan hanya sekedar kehilangan
tanah melainkan hak-hak dasar sebagai manusia yaitu hilangnya kehidupan sosial
yang dulunya ada sebelum Lumpur Lapindo menenggelamkan tiga kecamatan di
Sidoarjo. Penulis membatasi pada enam foto saja, karena bagi penulis keenam
foto tersebut sudah mewakili pesan yang ingin disampaikan oleh fotografer.
Dalam proses pemilihan dari 26 foto di dalam buku menjadi enam foto, penulis
menggunakan teknik sampling purposif. Sampling tersebut mengacu pada tujuan
penelitiannya, jadi teknik sampling ini mencakup hal-hal yang diseleksi atas dasar
kriteria-kriteria tertentu yang dibuat penulis berdasarkan tujuan penelitian.7 Pada
penelitian ini penulis menyeleksinya sesuai dengan pembahasan yang memang isi
dari seluruh rangkaian fotonya menceritakan kehidupan sehari-hari masyarakat
Sidoarjo dan lansekap kondisi desa-desa terdampak. Dua hal tersebut menjadi
poin utama atau kriteria yang akan penulis ungkap dan maknai.
7 Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi. (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group,
2006.) h. 158.
6
Dikarenakan dua poin utama tersebut merupakan tutur bahasa visual, jadi
tampak jelas jika adanya repetisi atau gambar-gambar serupa. Daripada itu agar
memudahkan proses memaknai masing-masing gambar penulis memutuskan
untuk memilih enam foto yang mewakilkan. Terdapat tiga foto yang meliputi
kehidupan sehari-hari masyarakat terdampak dan tiga foto lainnya mengenai
kondisi area dan lingkungan terdampak. Keenam foto tersebut mewakilkan dan
relevan dengan tujuan penulis ingin mengungkap makna dalam foto-foto yang
dibuat oleh Mamuk Ismuntoro terkait pesan isu lingkungan dan hak asasi
manusia.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah diatas, maka penelitian ini dapat dirumuskan
sebagai berikut:
a. Apa makna denotasi pada enam foto karya Mamuk Ismuntoro yang
terkandung dalam buku foto Tanah yang Hilang?
b. Apa makna konotasi pada enam foto karya Mamuk Ismuntoro yang
terkandung dalam buku foto Tanah yang Hilang?
c. Apa makna mitos pada enam foto karya Mamuk Ismuntoro yang
terkandung dalam buku foto Tanah yang Hilang?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah diatas maka tujuan dari
penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan memahami makna denotasi dalam enam foto karya
Mamuk Ismuntoro yang terkandung dalam buku foto Tanah yang Hilang.
7
2. Untuk mengetahui dan memahami makna konotasi dalam enam foto karya
Mamuk Ismuntoro yang terkandung dalam buku foto Tanah yang Hilang.
3. Untuk mengetahui dan memahami makna mitos dalam enam foto karya
Mamuk Ismuntoro yang terkandung dalam buku foto Tanah yang Hilang.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sebagai kajian dan salah satu
referensi tambahan untuk memahami lebih dalam lagi foto melalui simbol atau
tanda dengan metode analisis semiotika. Karena pada setiap foto atau karya
akan memiliki makna yang berbeda-beda.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para penggiat fotografi
khususnya mahasiswa Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
yang menekuni fotografi dokumenter dan jurnalistik. Serta lebih memahami
makna dan fungsi dari sebuah buku foto yang menjadi penting untuk dijadikan
sebuah penelitian.
E. Metodologi Penelitian
1. Paradigma Penelitian
Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma
konstruktivis. Paradigma ini merupakan pandangan yang bersifat subyektif,
didasari dari pandangan yang diteliti. Mereka yang diteliti diperlakukan sebagai
8
subyek penelitian yang memiliki pandangan tertentu atas apa yang menjadi
perhatian penulis. Dengan itu data dalam paradigma konstruktivis harus
mencerminkan apa yang dirasakan dan yang ingin disampaikan oleh subyek
penelitian.
Dalam konstruktivis digunakan teknik pelaporan yang menceritakan ulang
pandangan subyek (konstruksi). Penulis sebagai penyampai kembali subyek
penulis. Maka dari itu penulis menggunakan paradigma konstruktivis untuk
memahami dan menyampaikan kembali proses penggambaran kondisi dan
masalah yang ada dari Lumpur Lapindo dalam buku Tanah yang Hilang.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan kualitatif.
Dalam tradisi penelitian kualitatif, proses penelitian dan ilmu pengetahuan
memiliki tahapan. Karena sebelum hasil-hasil penelitian kualitatif memberi
sumbangan kepada ilmu pengetahuan, tahapan penelitian kualitatif melampaui
berbagai tahapan berpikir kritis-ilmiah, yang mana seorang peneliti menangkap
berbagai fakta dan fenomena-fenomena sosial, melaui pengamatan di lapangan,
kemudian menganalisisnya dan kemudian berupaya mengaitkan dengan teori
berdasarkan apa yang diamati.8
Jika penulis sederhanakan, pendekatan kualitatif merupakan penelitian
dengan cara mencari atau memulainya dengan akibat lalu sebab (induktif).
Melakukan observasi ke lapangan megumpulkan berbagai data, lalu masuk tahap
teorisasi, menganalisa dengan menggunakan teori-teori, maka setelah itu akan
8 Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu
Sosial Lainnya, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2008), hal.6.
9
menemukan temuan-temuan sebab. Akibat lalu sebab merupakan produk berpikir
kualitatif.
3. Metode Penelitian
Pada penelitian ini penulis menggunakan metode analisis semiotika,
karena semiotika merupakan ilmu tentang tanda. Seperti yang dikatakan
Preminger bahwa fenomena sosial dalam masyarakat dan budaya itu merupakan
tanda-tanda.9 Semiotika itu mempelajari aturan-aturan dan sistem-sistem yang
memungkinkan tanda itu memiliki arti atau makna.
Penelitian ini mengungkap makna dari foto, maka dari itu penulis
menggunakan semiotika Roland Barthes untuk membaca foto yang terdiri dari
tiga tahap pemaknaan diawali dengan denotasi, lalu konotasi, dan yang terakhir
adalah mitos.
4. Definisi Operasional
Operasional merupakan konsep yang bersifat abstrak untuk memudahkan
pengukuran suatu variabel. Atau dapat juga diartikan sebagai pedoman dalam
melakukan suatu kegiatan ataupun pekerjaan penelitian. Definisi operasional juga
dapat dikatakan suatu definisi yang memiliki arti tunggal dan diterima secara
objektif.
Maka dari itu perlu dijelaskan beberapa definisi operasional dalam
penelitian ini, yaitu diambil dari semiotika Rolland Barthes untuk mengungkap
makna dalam foto dengan, definisi operasional denotasi, konotasi, dan mitos.
9 Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2006), h.265.
10
Semiotika itu mempelajari aturan-aturan dan sistem-sistem yang memungkinkan
tanda itu memiliki arti atau makna.
Denotasi adalah tahap yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda
pada realitas, menghasilkan makna langsung, dan pasti. Denotasi tidak
mengonstruksi pemaknaan terlalu jauh, karena dapat dimaknai dan ditanggapi
secara langsung. Konotasi merupakan tahap lanjutan dari denotasi yang memberi
makna secara langsung, tahapan ini membentuk makna baru yang berasal dari
pemahaman, latar belakang pengetahuan, pengalaman si pembuat makna.
Konotasi mengacu pada lensa budaya yang kita gunakan untuk menafsirkan
gambar.10
Lalu mitos, tercipta ketika masyarakat meyakini sebuah pemahaman
atau budaya.11
Merujuk pada fungsi mitos yang terdapat di buku Semiotika
Negativa, bahwa mitos berfungsi untuk mendistorsi makna dari sistem semiotik
tingkat pertama yaitu denotasi (makna sebenarnya) sehingga makna itu tidak lagi
menunjuk pada kenyataan yang sebenarnya.
Seperti itu pemaparan definisi operasional dalam penelitian ini, sebab
definisi operasional menjadi acuan untuk menganalisis secara teoritis.
5. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini terbagi dua, yaitu sumber data primer
dan sekunder. Sumber data primer merupakan sasaran utama dalam penelitian ini
sedangkan sumber data sekunder merupakan pengaplikasian dari sumber data
primer sebagai pendukung dan penguat dalam penelitian.
10
Douglas Harper, Visual Sociology,(New York: the Taylor & Francis Group, 2012)h.
118 11
Benny H Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya, h. 4
11
Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui hasil foto yang dipilih
penulis sesuai dengan objek penelitian. Penulis lebih memfokuskan pada enam
foto yang sekiranya sudah mewakili isi buku foto dokumenter Tanah yang Hilang
karya Mamuk Ismuntoro, karena menurut penulis enam foto tersebut sudah
mewakilkan pesan apa yang ingin disampaikan seorang Mamuk Ismuntoro.
Sedangkan data sekunder diperoleh dari wawancara bersama Mamuk
Ismuntoro yang karyanya akan diteliti, selain itu dengan pengajar fotografi Edy
Purnomo, pengamat buku foto Ridzky Noviansyah, dan aktivis lingkungan yang
juga dosen yaitu Raynaldo dari ICEL (Indonesian Center for Environmental Law).
6. Subjek dan Objek Penelitian
Subjek penelitian ini adalah Buku Foto Dokumenter Tanah yang Hilang
Karya Mamuk Ismuntoro. Sedangkan objek pada penelitian ini adalah enam foto
yang ada di dalam buku, sekiranya enam foto dengan konsep lanskap dan daily
life tersebut sudah mewakili apa yang ingin disampaikan oleh fotografer.
7. Teknik Pengumpulan Data
Pada pengumpulan data penulis menggunakan teknik observasi,
wawancara mendalam dan dokumentasi. Observasi yang dilakukan dalam
penelitian ini adalah mengumpulkan, menentukan dan mengamati foto dari
Mamuk Ismuntoro yang menjadi subyek penelitian. Lalu wawancara dilakukan
untuk menggali lebih dalam lagi data yang telah didapat.
Ada beberapa jenis wawancara yang bisa digunakan, berdasarkan
strukturnya terdapat dua jenis yaitu pertama, wawancara relatif tertutup, penulis
12
memfokuskan wawancara pada topik khusus dan terarah, kedua wawancara
terbuka, memulainya dengan sesuatu yang umum dan bebas membahas apa saja
namun perlahan pembahasannya mendalam dan mengerucut.12
Penulis
menerapkan wawancara pada topik khusus dan terarah dengan Mamuk Ismuntoro,
Edy Purnomo, Ridzki Noviansyah, dan Raynaldo. Metode yang juga dapat
memperkuat data adalah dengan dokumentasi, seperti pemberitaan, catatan, atau
arsip yang berkaitan dengan Lumpur Lapindo dan buku foto Tanah yang Hilang.13
8. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data menggunakan analisis semiotika Roland Barthes
yakni mengetahui makna denotasi, konotasi, dan mitos di dalam buku Foto Tanah
yang Hilang karya Mamuk Ismuntoro mengenai sebuah pengalihfungsian tanah
dari tanah produktif menjadi tanah mangkrak dan hilangnya kehidupan sosial
yang dulu ada di lokasi terjadi dan terdampak semburan Lumpur Lapindo.
F. Tinjauan Pustaka
Penulis menemukan beberapa tinjauan pustaka yang menginspirasi penulis
dalam proses penelitian . Beberapa di antaranya yaitu:
―Makna Bencana dalam Foto Jurnalistik (Analisis Semiotika Foto
Terhadap Karya Kemal Jufri Pada Pameran Aftermath: Indonesia In Midst Of
Catastrophes Tahun 2012)‖ Karya Isye Naisila Zulmi, ―Analisis Semiotika
Terhadap Foto Karya Romi Perbawa Berjudul The Riders Of Destiny Pada Ajang
12
Majalah Ilmiah Pawiyatan Vol. XX, Teknkik Pengumpulan Data dalam Penelitian
Kualitatif, 2013. h 87. 13
Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2006),
h.110.
13
Pameran The Jakarta International Photo Summit Tahun 2014‖ karya M.
Hendartyo Hanggi W, dan ―Analisis Semiotik Foto pada Buku Orangutan Rhyme
& Blues‖ karya Andika Febriana. Ketiga skripsi tersebut juga meneliti tanda-tanda
dan mengungkap makna dari foto dengan menggunakan metode analisis
semiotika. Namun subyek atau foto yang akan penulis teliti tentu berbeda dan
berasal dari sumber yang berbeda.
Penelitian ini akan mengungkap makna dari foto-foto dalam buku Tanah
yang Hilang yang megisahkan tentang sebuah tragedi besar yaitu semburan
Lumpur Lapindo yang mengalihfungsikan tanah, terenggutnya hak-hak dasar
manusia dan hilangnya kehidupan sosial.
G. Sistematika Penulisan
BAB I : Pembahasan mengenai berbagai dasar tentang peneitian yang berisi
pendahuluan di mana di dalam itu terdapat latar belakang masalah, batasan dan
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian,
tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan yang seluruhnya mendasari penelitian
“Analisis Semiotika Foto Pada Buku Tanah yang Hilang Karya Mamuk
Ismuntoro.”
BAB II : Penjabaran mengenai landasan teori yang digunakan untuk penelitian
ini, yaitu berisi tentang tinjauan umum mengenai fotografi (pengertian fotografi,
unsur-unsur fotografi, aliran-aliran fotografi, fotografi jurnalistik dan fotografi
dokumenter), tinjauan umum tentang pemaknaan visual dan semiotika.
BAB III : Pemaparan mengenai gambaran umum tentang Lumpur Lapindo,
Gambaran Umum Buku Tanah yang Hilang, profil Mamuk Ismuntoro, sejarah
14
fotografi dunia dan Indonesia, perkembangan fotografi dunia, gambaran umum
dan sejarah buku foto.
BAB IV : Pemaparan temuan dan analisis data foto-foto yang telah penulis
pilih dalam buku Tanah yang Hilang karya Mamuk Ismuntoro dengan
menggunakan analisis semiotika Roland Barthes.
BAB V : Penutup yang berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan saran bagi
mahasiswa/i Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta serta para pegiat fotografi dan buku foto khususnya fotografi
dokumenter.
15
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Umum Fotografi
1. Pengertian Fotografi
Seperti yang diungkapkan oleh Helmut Gernshein dalam buku On
Photograph.1
“Photography is the only “language” understood in all parts of the world,
and bridging all nations and cultures, it links the family man. Independent of
political influence where people are free it reflects truthfully life and events,
allows us to share in the hopes and despire of others, and illuminates political
and social conditions. We become the eye-witnesses of the humanity and
inhumanity of mankind….”.
Sepakat dengan pernyataan di atas, bahwa fotografi merupakan sebuah
bahasa. Peneliti perlu jabarkan secara rinci, mengapa fotografi dapat dikatakan
sebagai bahasa visual. Tidak cukup dengan pengertian mendasar apa itu fotografi?
Tetapi fotografi juga melibatkan perasaan agar pesan dapat tersampaikan dengan
baik sesuai realita yang ada.
Untuk mencapai tahap tersebut perlu ada pemahaman terkait teknis, unsur
dan elemennya. Juga lalu siapa yang berpengaruh pada perkembangan fotografi di
Indonesia dan dunia. Agar semakin lengkap cakrawala mengenai apa itu fotografi
dan bagaimana memaknai sebuah visual? Peneliti akan menjabarkan satu persatu
pada paragraf berikutnya.
1 Susan Sontag, On Photography, (New York : Picador USA, 1977), h. 192.
16
Fotografi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu
photos yang berarti cahaya, dan graphos yang artinya melukis atau menulis.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, fotografi adalah seni dan hasil proses
gambar melalui cahaya pada film atau permukaan yang dipekakan.2 Fotografi juga
bagian dari seni hanya saja memiliki cara yang berbeda. Melukis dilakukan di atas
kanvas dengan kuas untuk memberi warna dan bentuk, sedangkan fotografi
menggunakan cahaya serta mediumnya adalah sebuah teknologi yang disebut
kamera.
2. Unsur-Unsur Fotografi
Beranjak pada pembahasan selanjutnya, terkait teknis dan pesan pada
fotografi. Tidak akan menjadi sebuah karya yang baik dan menarik tanpa adanya
teknik yang baik pula. Fotografi hidup dengan adanya unsur teknis dalam
prosesnya. Fotografi juga sebagai media komunikasi, terdapat unsur pesan dan
makna. Berikut pemaparan terkait teknis dan pesan pada fotografi.
a. Unsur Teknis Fotografi
1. Segitiga Fotografi
Biasa disebut dengan Triangle Photography, merupakan dasar utama dari
teknis fotografi. Untuk memahami dasar teknis pencahayaan dalam kamera
ada tiga elemen dasar yang harus dipahami yaitu, shutter speed, aperture atau
diafragma, dan ISO (International Standardization Organization).
Shutter speed adalah kecepatan membuka jendela rana untuk menangkap
cahaya yang masuk ke sensor kamera. Ketika tombol shutter ditekan, maka
2 Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia Pusat Bahasa Edisi IV, (Jakarta: PT Gramedia, 2013), h. 398.
17
rana dalam kamera akan terangkat untuk memproses masuknya cahaya.
Proses cepat, lambat dan banyak atau sedikitnya cahaya yang masuk
tergantung pengaturannya. Pengaturannya dapat ditentukan dengan angka
atau numerik yang terdapat di layar kamera, terdapat urutan detiknya yaitu,
1/1000, 1/800, 1/500, 1/250, 1/125, 1/30, 1”, 5”, 15”, 30” dan bulb. 1/15
maksudnya adalah 1 detik dibagi 15 begitu juga seterusnya, sedangkan
speedbulb adalah kecepatan yang diatur oleh pemotret sesuai keinginannya
dan disesuaikan dengan kebutuhannya
Adapun efek yang akan dihasilkan dari penggunaan shutter speed
(pergerakan) dari moving hingga freezing. Dengan kecepatan rendah seperti
1/30, 1”, 5”, 15”, 30” yang akan dihasilkan ada moving (tak beraturan) atau
shaking (goyang/guncang). Kecepatan yang rendah akan membuka rana lebih
lama dan cahaya yang masuk akan semakin banyak. Untuk menghasilkan
efek freezing (membeku) pada subyek yang bergerak kecepatan rana yang
digunakan lebih tinggi seperti 1/250, 1/500, 1/800, 1/1000, s/d 1/4000, namun
cahaya yang masuk akan lebih sedikit karena rana terbuka dan tertutup
dengan begitu cepat.
Aperture atau diafragma (fokus) adalah besar kecilnya bukaan pada
lensa, dan biasa diistilahkan seperti keran air, jika dibuka besar maka cahaya
yang masuk akan banyak dan jika diafragma ditutup maka cahaya yang
masuk akan sedikit. Dalam hitungan numeriknya jika bukaan semakin besar
maka angkanya akan semakin kecil dan sebaliknya. Diafragma angkanya
disesuaikan dengan lensanya ada yang dari 1.0, 1.2, 1.4, 1.8, 2.0, 2.8, 3.5, 4.5,
5.0, 5.6, 6.3, sampai dengan bukaan terkecil itu 36.
18
Diafragma dapat memengaruhi ruang tajam atau Depht of Field (DOF),
dan menghasilkan dua efek yaitu, ruang tajam luas dan ruang tajam sempit.
Efek tersebut dapat disesuaikan dengan kebutuhan pemotret.
International Standardization Organization (ISO), yang juga dikenal
dengan sebutan ASA ini merupakan bagian kepekaan kamera terhadap cahaya
yang ada. ISO juga menggunakan numerik atau angka, mulai dari ISO 100,
200, 400, 800, 1000, 1250, 1600, 3200, 6400 dan yang tertinggi sampai
12800.
ISO memengaruhi hasil kejernihan sebuah foto, dan yang pasti dapat
menentukan cahaya gelap atau terang dalam foto. Jika menggunakan ISO
yang tinggi 800 s/d 12800 itu dapat memberikan efek noise/grain atau kasar.
ISO tinggi digunakan ketika di dalam ruangan atau saat cahaya begitu minim.
Jika disederhanakan shutter speed merupakan cara untuk mengatur
seberapa lama menentukan waktu ketika cahaya masuk ke dalam kamera,
kalau diafragma seberapa banyak cahaya masuk ke dalam kamera, dan ISO
merupakan kontrol seberapa sensitif kamera terhadap cahaya.3
2. Elemen Visual
Elemen visual merupakan apa yang ada di dalam suatu foto, komponen-
komponen yang terdapat di dalam sebuah karya foto. Seperti yang
disampaikan seorang pengajar Kelas Dasar Fotografi di Galeri Foto
Jurnalistik Antara yaitu Mosista Pambudi, berangkat dari sebuah penjelasan
3 Henry Carrol, Read This If You Want To Take Great Photographs.(London: Laurence
King Publishing, 2014), h. 31.
19
mengenai Visual Literacy di situs www.noodletools.com karya Debbie
Abilock.
Ada bagian membaca visual atau bahasa visual. Dijelaskan dalam
presentasinya bahwa terdapat enam elemen, yaitu, garis, skala, bentuk,
tekstur, pola dan cahaya. Dari berbagai elemen itulah dapat tercipta sebuah
makna dan tuntunan dalam proses pembuatan sebuah karya foto.
3. Komposisi
“You don’t take a photograph, you make it,” begitu kata Ansel Adams.
Bayangkan komposisi adalah sebuah fondasi dari sebuah gambar atau foto.
Serupa seperti bangunan, fondasi itu harus kuat dan komposisi harus kuat
dan baik agar menghasilkan gambar yang kuat dan sarat makna.4 Komposisi
merupakan gabungan dari elemen-elemen visual yang sudah dijelaskan di
atas.
Pengertian mengenai komposisi fotografi tidak jauh berbeda dengan
pengertian komposisi lainnya. Komposisi itu digunakan untuk menyatukan
berbagai elemen dalam proses pembuatan sebuah karya foto, agar pesan yang
ingin dikirimkan oleh fotografer dapat tersampaikan. Dengan penempatan
posisi juga berbagai hal yang disertakan dalam sebuah karya, itu akan
menjadi lebih menarik untuk dilihat lebih lama.
Kompisisi yang baik akan menghantarkan mata pelihat foto untuk mau
melihat secara spesifik ke mana arah cerita yang fotografer maksud. Pada
4 Henry Carrol, Read This If You Want To Take Great Photographs, h. 9.
20
intinya, adanya komposisi itu dalam kesederhanaan untuk memperindah
sebuah karya juga melengkapi pesan yang ingin disampaikan.
Namun dalam panduan dasar fotografi yang didapat dari presentasi
pengajar kelas dasar Mosista Pambudi di Galeri Foto Jurnalistik Antara5 ada
beberapa istilah yang digunakan, yaitu, rule of third (sepertiga dua pertiga),
simplicity, golden ratio, membingkai subyek, simetris, dan asimetris.
3. Aliran-aliran Fotografi
Dari berbagai teknis yang ada dalam fotografi sudah peneliti jelaskan di
atas. Selain teknis, masyarakat kini menyadari bahwa fotografi tidak hanya
memotret subyek yang ada di depan matanya, namun ada hal-hal berkonsep
yang juga turut mewarnai hasil dari fotonya. Hal ini merupakan
perkembangan dunia fotografi kini dengan berbagai macam konsep yang
diusung, mereka berangkat dari aliran-aliran fotografi yang berbeda.
Mengadaptasi dari sebuah situs atau platform yaitu, LensCulture.6 Dari
situs tersebut aliran fotografi terbagi menjadi beberapa kategori, di antaranya
adalah fine art atau seni rupa, konseptual, hitam putih, landscape atau
pemandangan alam, portraiture, kontemporer, arsitektur, abstrak, panggung,
fotografi jalanan atau yang biasa masyarakat kini kenal dengan street
photography, jurnalistik, dan dokumenter.
5 Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) adalah suatu lembaga pendidikan fotografi
dokumenter dan jurnalistik yang diadakan oleh Kantor Berita Antara setiap tahunnya sejak 1992. 6 LensCulture adalah sebuah jaringan fotografi atau majalah online yang membahas
tentang fotografi kontemporer dalam seni, media, politik, komersial dan budaya popular di dunia.
Lensculture hadir sejak tahun 2004 dengan editor Jim Casper. Tidak hanya sebagai website yang
menyediakan hasil-hasil foto terbaik, tetapi Lensculture juga memberikan ruang kepada para
fotografer-fotografer di seluruh dunia untuk berpartisipasi dengan mengadakan penghargaan
fotografi perkategori.
21
Kategori fine art memberikan ruang bagi pembuat foto untuk lebih
mengeksplorasi. Menggabungkan unsur seni rupa dengan fotografi, seperti
membuat foto dengan sentuhan seperti sebuah lukisan. Kategori konseptual,
hasil foto yang proses produksinya sedemikian rupa serta dikonsepkan secara
matang. Tidak dengan tiba-tiba menjadi karya foto begitu saja, setiap
detailnya begitu diperhatikan dan hasil akhir akan sesuai dengan rencana
awal.
Black and white, kategori yang berisi foto-foto dengan latar warna
keseluruhan hitam dan putih, dan memiliki maksud tertentu kenapa
menggunakan dua warna tersebut. Dibutuhkan keahlian fotografer dalam
kategori fotografi hitam dan putih. Landscape atau pemandangan, kategori
yang memang menampilkan foto-foto alam, perkotaan, pedesaan atau daerah-
daerah yang digambarkan secara keseluruhan. Cenderung hasilnya
menggambarkan keindahan atau kearifan.
Portraiture, kategori yang berisi foto-foto subyek dengan latar
belakang cerita yang sangat kuat atau menarik. Kontemporer, kategori ini
membahas isu-isu klasik yang digabungkan dengan perkembangan zaman.
Panggung, kategori foto panggung berisi foto-foto pementasan seperti musik
dan teater.
Street photography, keindahan fotografi jalanan adalah sifatnya yang
demokratis dan terbuka, bahwa setiap orang dapat berpartisipasi di dalamnya
di mana pun mereka tinggal, kamera apa yang mereka pakai, atau subyek
22
untuk difoto.7 Dijelaskan dari sebuah situs yang membahas tentang fotografi
jalanan, pemaparannya seperti ini, fotografi jalanan adalah tentang
menangkap esensi kemanusiaan, bentuk seni yang indah dan spontan. Butuh
kesabaran dan keberuntungan untuk mendapatkan foto yang bagus dan
bermakna. Tapi ketidakpastiannya adalah yang membuatnya menarik dan
bermanfaat.8
4. Fotografi Jurnalistik
Pada Senin 16 April 1877, saat surat kabar harian The Daily Graphic
di New York memuat gambar yang berisi berita kebakaran hotel dan salon di
halaman pertama,9 hal itu menjadi awal mula munculnya foto jurnalistik.
Seperti kata Kenneth Kobre profesor yang memimpin Jurusan Foto Jurnalistik
di San Fransisco State University dalam bukunya Photojournalism: The
Professionals’ Approach bahwa foto jurnalistik bukan hanya melengkapi
berita di sebuah edisi sebagai ilustrasi atau hiasan untuk mengisi bagian abu-
abu sebuah halaman. Fotografi jurnalistik merupakan produk jurnalistik, di
mana foto memiliki nilai berita.10
Foto menjadi medium terbaik yang ada
untuk melaporkan peristiwa secara ringkas dan efisien.
Dalam buku The Visual Dictionary of Photography11
dipaparkan
bahwa fotografi jurnalistik merupakan pengumpulan berita meggunakan
media gambar atau foto. Dengan ketepatan waktu dan objektivitas dan tujuan
7 http://erickimphotography.com/blog/2013/08/07/what-is-street-photography-2/ diakses
pada 10/04/2018 8 https://expertphotography.com/what-is-street-photography/ diakses pada 10/04/2018
9 Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2014), h. 1
10 Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, h. 17
11 David Prakel, The Visual Dictionary of Photography, (Switzerland: AVA Publishing
SA, 2010) h. 187
23
pembuatannya itu untuk menceritakan sebuah tragedi, atau kisah dan
memungkinkan untuk menjadi sebuah esai panjang.
Namun dalam halnya pembuatan berita, foto juga tidak dapat berdiri
sendiri, melainkan beriringan dengan hadirnya caption. Dua-duanya saling
berkaitan dan melengkapi irama cerita, tulisan keterangan itu perlu untuk
sedikit menjabarkan apa yang terjadi di balik sebuah peristiwa atau memberi
keterangan waktu dan lokasi kejadian.
Dalam sebuah foto berita yang terus diulas adalah tentang
kemanusiaan, lingkungan dan bencana yang selalu menarik untuk diberitakan.
Kategori fotografi jurnalistik berdasarkan standar World Press Photo juga
dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu, foto spot, berita umum, berita alam dan
lingkungan, sains dan teknologi, daily life, seni dan budaya, foto ilustrasi,
feature, foto cerita, portraiture, dan foto olahraga.12
5. Fotografi Dokumenter
Marry Warner, dalam bukunya yang berjudul “Photography : A
Cultural History”, mengungkapkan definisi dokumenter secara umum, yaitu
segala sesuatu representasi non-fiksi di buku atau media visual13
. Menurut
majalah life, fotografi dokumenter adalah visualisasi dunia nyata yang
dilakukan oleh seorang fotografer yang ditunjukan untuk mengomunikasikan
sesuatu yang penting, untuk memberi pendapat atau komentar, yang tentunya
dimengerti oleh khalayak.
12
Worldpressphoto.org diakses pada diakses pada 17/05/2018 13
https://sites.google.com/site/edufotografi/home/6-keahlian-khusus/2-
dokumentasi#TOC-Pengertian Foto-Dokumenter diakses pada 24/08/2016 pukul. 10.51 WIB.
24
Fotografi dokumenter hadir sebagai induk daripada fotografi jurnalistik,
seperti yang diungkapkan Taufan Wijaya dalam bukunya Foto Jurnalistik14
bahwa sebelumnya, foto dokumenter sebagai akar dari foto jurnalistik telah
dikenal di tanah air sejak abad ke-19. Dalam sebuah workshop fotografi yang
diadakan oleh Galeri Foto Jurnalistik Antara dengan menghadirkan seorang
fotografer senior Kantor Berita Reuters Bea Wiharta mengatakan
kehadirannya juga menjadi sebuah cerita yang faktual, apakah ceritanya akan
menjadi panjang atau pendek itu tergantung dari si pemotret namun foto
dokumenter dilaksanakan dalam jangka waktu yang panjang untuk
mengumpulkan fakta-fakta, dan kedalaman cerita juga segala kemungkinan
yang akan terjadi ke depanya tidak dapat dielakan, maka pendekatan ini biasa
disebut dengan long term project atau proyek jangka panjang. Karena jangka
pengambilannya yang panjang dengan adanya riset yang dilakukan, fotografi
menjadi begitu faktual.
Adapun beberapa tokoh yang mempelopori fotografi dokumenter, salah
satunya adalah David Octavius Hill dan Robert Adamson, pada proyeknya
yang dimulai pada tahun 1843 membuat gambaran referensi pekerjaan besar
dan bersejarah para 470 pendeta Skotlandia.15
Dan proyek itu dilaksanakan
untuk memperingati pembebasan gereja di Skotlandia. Dari rangkaian
proyeknya, Hill dan Adam mulai mengembangkan antusiasnya pada tugas dan
calotype process, dan mereka mulai melanjutkan mengumpulkan koleksi
dokumentasinya menjadi proyek jangka panjang.
14
Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik,.hal. 7 15
Michael Langford, The Master Guide to Photography,(New York: Alfred A.Knopf,Inc,
1982), h. 348.
25
a. Unsur Pesan Fotografi
Setiap pembuatan sebuah karya cipta pasti terdapat maksud atau pesan
yang ingin disampaikan. Namun dalam halnya membuat foto, unsur teknis
tidak dapat dikesampingkan. Dari teknis dapat tercipta sebuah makna, tetapi
belum cukup hanya teknis, seperti yang peneliti sampaikan di atas, bahwa
fotografi melibatkan perasaan. “Rasa” tercipta dari akal pikiran dan hati, lalu
ditangkap melalui pandangan mata seorang fotografer atau penyampai pesan.
Asumsi peneliti juga diperkuat dari teori yang digali oleh Paul
Messaris dan dipaparkan dalam buku Kisah Mata karya Seno Gumira
Ajidarma16
, bahwa gambar-gambar yang dihasilkan oleh manusia, termasuk
fotografi itu dapat dibaca. Foto sebagai media visual, bukan hanya
dimungkinkan untuk menarik suatu makna, melainkan makna itu dapat
direkayasa untuk tampil dengan gagasan menghujam. Sebuah foto jadinya
bukan hanya representasi visual obyek yang direproduksinya, melainkan
mengandung pesan.
B. Tinjauan Umum Tentang Semiotika
1. Pengertian Semiotika
Istilah semiotika atau semiotic yang dimunculkan pada akhir abad ke-19
oleh filsuf aliran pragmatik Amerika, Charles Sanders Peirce, merujuk kepada
“doktrin formal tentang tanda-tanda”, yang menjadi dasar semiotika adalah
16
Seno Gumira Ajidharma, Kisah Mata, (Yogyakarta: Galang Press, 2002), h 26-27
26
konsep tentang tanda.17
Konsep tentang tanda ini ada kaitannya dalam
kehidupan.
Dalam buku Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya Ben H Hoed18
dikatakan bahwa semiotika merupakan ilmu yang mengkaji tanda dalam
kehidupan manusia. Dalam kehidupan terdapat dan dilihat juga sebagai tanda,
maka dari itu ada hal yang harus diberi makna. Semiotika membantu manusia
untuk memahami maksud dari sebuah tanda. Kehadirannya memperkuat alasan
bahwa tidak semua hal itu dapat diungkapkan dan ditampakan secara langsung
melainkan dengan sumber tanda-tanda dan diungkap melalui ilmu atau teori
agar memiliki landasan.
Dalam bahasa, kata semiotika itu sendiri berasal dari bahasa Yunani,
semeion yang berarti “tanda” atau seme, yang berarti “penafsir tanda”.19
Ada
tanda maka ada makna, dua hal yang memang tidaklah terpisahkan. Bayangkan
jika dalam kehidupan tidak ada tanda-tanda yang dibuat secara sengaja ataupun
tidak, maka kehidupan bermasyarakat pun tidak ada gunanya. Dikarenakan
hidup yang tidak bermakna, tidak terjalin hubungan satu dengan yang lain,
termasuk komunikasi. Komunikasi berawal dari tanda, sebelum memulai
percakapan biasanya satu pihak memberikan sinyal atau tanda-tanda untuk
memulai percakapan, maka dari itu terjadilah sebuah komunikasi yang
bermakna. Intinya, dengan tanda manusia dapat berkomunikasi dan
meghasilkan sebuah makna.
17
Alex sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2013) h. 13 18
Benny H. Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya, (Depok: Fakultas Ilmu
Pengetahuan Budaya UI Depok, 2008), h. 3 19
Alex sobur, Semiotika Komunikasi, h. 16
27
Dari beberapa referensi dapat ditarik kesimpulan, ada beberapa ranah
dalam menganalisis semiotika yaitu, teks, audio, audiovisual, dan gambar atau
foto. Karena dalam penelitian ini, peneliti menganalisa foto karya Mamuk
Ismuntoro dan ingin mengungkap berbagai makna yang terkandung. Dirasa
analisis semiotika tepat menjadi pisau bedah dalam mengolah dan memaknai
foto-foto yang diteliti.
Peneliti sudah membahas tentang semiotik secara umum namun dirasa
kurang jika tanda-tanda sendiri tidak dijelaskan. Lalu apa itu tanda-tanda?
Dalam buku Alex Sobur dikatakan bahwa tanda-tanda merupakan awal
dimulanya komunikasi. Dengan adanya tanda-tanda manusia dapat memulai
komunikasi dan memaknainya bersama. Dari situ dapat dipastikan juga bahwa
foto merupakan salah satu media menyampaikan pesan (komunikasi), dan di
setiap foto terdapat tanda-tanda yang berujung makna. Dilengkapi pula dengan
apa yang disampaikan oleh Marcel Danesi pada bukunya Pesan, Tanda dan,
Makna20
ia menjelaskan bahwa tanda itu berkaitan dengan sesuatu yang berupa
warna, isyarat, kedipan mata, objek, rumus matematika dan lain sebagainya.
Tanda yang dimaksud di sini juga bukan gambaran akan bunyi melainkan
sejenis warna dan lain-lainnya.
2. Tokoh-tokoh Semiotik
Teori semiotik ini tidak begitu saja hadir, terdapat beberapa tokoh yang
mengokohkan kehadirannya di antaranya ada Charles Sanders Peirce,
Ferdinand de Saussure, dan Roland Barthes yang menjadi tokoh pokok
20
Marcel Danesi, Pesan, Tanda, dan Makna, (Yogyakarta: Jalasutra, 2012), h. 6
28
pembahasan di penelitian ini. Ketiga tokoh di atas terkenal dan sama-sama
mengembangkan teori tentang tanda, namun mereka memiliki pemikiran dan
kekhasannya masing-masing. Charles Sanders Peirce seorang filsuf dari
Amerika pemikir yang argumentatif. 21
Kutipan penjelasan dari Pierce, tanda
“is something which stands to somebody for something in some respect or
capacity.”
Dalam lingkungan semiotik Peirce menyampaikan bahwa secara umum
tanda adalah yang mewakili sesuatu bagi manusia. Peirce juga membagi tanda
menjadi, ikon, indeks dan simbol. 22
Ikon adalah hubungan antara tanda dan
objek, jadi dapat dikatakan mengacu kemiripan, contohnya foto atau peta.
Indeks menunjukan hubungan sebab akibat, lebih mengacu pada sebuah
kenyataan, contohnya adanya asap pasti ada api. Simbol, tanda yang
menunjukan secara alamiah penanda dan petandanya, jadi ketiganya digunakan
sebagai medium pesan.
Pierce menekankan bahwa proses pembentukan makna itu tidaklah
berstruktur seperti apa yang disampaikan Saussure, tetapi proses itu terjadi
secara alami yang diserap melaui panca indera manusia lalu diproses melaui
pegetahuan, pikiran atau kognisi seseorang, dan jadilah sebuah makna. Proses
pemaknaan sebuah tanda baginya tidak rumit melainkan terjadi secara alami.
Ferdinand de Saussure, melihat tanda sebagai pertemuan antara bentuk dan
makna.23
Saussure menamai ilmu yang mengkaji kehidupan tanda-tanda dalam
masyarakat itu sebagai semiologie, yang merupakan bagian daripada psikologi
21
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 39 22
Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 41 23
Benny H Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya, h. 3
29
sosial. Saussure menggunakan istilah signifiant (penanda) dan signifie
(petanda), ia melihat tanda sebagai sesuatu yang terstruktur dan menstruktur di
dalam kognisi manusia.
Dari referensi yang peneliti baca bahwa antara objek dan makna itu tidak
bersifat pribadi melainkan sosial, karena tanda-tanda itu berkembang dari
kehidupan masyarakat. Dalam pemahaman Saussure, semiotik ini masih
memiliki benang merah dengan psikologi sosial, maka dari itu ia menyebutnya
dengan semiologi. Lalu, dari semiologi itu nanti akan dapat ditemukan juga
menunjukan proses dan hal-hal yang menjadikan sesuatu itu sebagai tanda.
3. Semiotika Roland Barthes
Pada pembahasan sebelumnya kita fokus pada pengertian semiotika
secara umum, lalu siapa saja tokoh-tokoh yang berpengaruh pada
perkembangan semiotika sebagai ilmu. Dalam pembahasan berikut masih
seputar tokoh semiotika, namun yang membedakan adalah dalam penelitian ini
secara khusus mengadopsi teori yang dikembangkan lagi oleh Roland Barthes
dan pada bagian ini peneliti mendiskusikan semiotika Roland Barthes lebih
mendalam lagi.
Semiotika Barthes diturunkan dari teori bahasa menurut de Saussure,
atau dapat dikatakan Barthes meneruskan apa yang sudah ditemukan oleh
Saussure. Dalam analisis atas bahasa, kemudian bahasa diartikan dalam
pengertian umum, termasuk gambar, bunyi, dan lain-lain yang bukan termasuk
suara alamiah.
30
Bagi Barthes semiotika tidak hanya tentang penanda dan petanda saja,
tetapi tanda itu sendiri yang mengikat keduanya secara keseluruhan. 24
Barthes
menyebut subyek penelitiannya dengan bahasa “teks”, namun teks di sini
memiliki makna yang luas, tidak diartikan begitu saja dalam konteks sebuah
bahasa atau linguistik. Sebutan teks itu mencakup berita, film, iklan, fashion,
foto, fiksi, puisi, dan drama. Dengan kata lain, foto atau hal-hal yang berkaitan
dengan visual juga disebut dengan teks yang dimaksud oleh Barthes.
Semua komunikasi manusia memiliki kedua ciri ini dan begitu juga
Roland Barthes membahas semiotika dalam fotografi memiliki dua tahap untuk
pemaknaan yaitu denotasi dan konotasi. Konsep tentang denotasi dan konotasi
mejadi kunci analisis Roland Barthes. Ketika konotasi menjadi sangat
kompleks dalam kombinasi simbol dan makna, kita memiliki apa yang disebut
mitos Roland Barthes.25
Makna denotasi adalah tahap yang menjelaskan hubungan penanda dan
petanda pada realitas, menghasilkan makna langsung, dan pasti. Tetapi gambar
tidak pernah menunjukan seperti kata “tanda berhenti” dan dengan demikian
semiotika mengacu pada konotasi ketika berbicara tentang bagaimana simbol
visual beroperasi.
Denotasi tidak mengonstruksi pemaknaan terlalu jauh,
karena dapat dimaknai dan ditanggapi secara langsung.
24
Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), h 123 25
Douglas Harper, Visual Sociology,(New York: the Taylor & Francis Group, 2012) h.
118
31
Jelas saja mengapa denotasi dikatakan sebagai semiotik tingkat
pertama, dikarenakan proses membaca sebuah tanda sesuai realita dalam hal ini
adalah foto atau gambar. Seperti ketika melihat elemen warna merah yang
terdapat dalam foto, ya warna tersebut dikatakan merah tanpa embel-embel
lain, belum terkonstruksi menjadi makna lain seperti merah itu berarti berani.
Konotasi mengacu pada lensa budaya yang kita gunakan untuk
menafsirkan gambar.26
Tidak hanya latar belakang budaya namun makna
subyektif dan berhubugan dengan emosional. Jika disederhanakan, konotasi
merupakan tahap lanjutan dari denotasi yang memberi makna secara langsung,
nah tahapan ini membentuk makna baru yang berasal dari pemahaman, latar
belakang pengetahuan, pengalaman si pembuat makna. Kalau dalam
pembahasan tadi denotasi memberi makna tidak terlalu jauh dan sesuai apa
yang dilihat seperti warna merah, berbeda dengan konotasi makna dari warna
merah menjadi lebih dalam lagi, tidak kasatmata. Warna merah dikonotasikan
berani, marah, terang dan lain sebagainya.
Barthes pun menjelaskan bahwa dalam kehidupan masyarakat
didominasi dengan konotasi. Lalu ketika masyarakat mulai meyakini konotasi
yang ada, dan berkembang akan mejadi mitos.27
Dalam bukunya Semiotika dan
Dinamika Sosial Budaya Benny H Hoed meyatakan bahwa tahapan
pembentukan makna tidak berhenti sampai di situ, ketika mitos begitu diyakini
dan dipercayai oleh masyarakat maka akan menjadi sebuah ideologi.
26
Douglas Harper, Visual Sociology, h. 118 27
Benny H Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya, h. 4
32
Dengan kata lain, denotasi28
yaitu makna paling nyata dari tanda (sign),
bekerja dalam tingkatan objektif. Berbeda dengan konotasi yang menjadi tahap
kedua dalam proses pemaknaan, hadirnya terjadi ketika adanya interaksi antara
tanda dengan perasaan, dan nilai-nilai kebudayaan si pembaca makna.
Tahapan pemaknaan setelah adanya denotasi dan konotasi, Barthes juga
menyertakan mitos dalam tahapannya. Mitos tercipta ketika masyarakat
meyakini sebuah pemahaman atau budaya.29
Merujuk pada fungsi mitos yang
terdapat di buku Semiotika Negativa, bahwa mitos berfungsi untuk mendistorsi
makna dari sistem semiotik tingkat pertama yaitu denotasi (makna sebenarnya)
sehingga makna itu tidak lagi menunjuk pada kenyataan yang sebenarnya.
Mitos berasal dari sudut pandang masyarakat akan sesuatu lalu
diadaptasi dan menjadi suatu kewajaran bagi masyarakat yang terus
ditanamkan. Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan beberapa aspek
tentang apa yang terjadi pada manusia dan atau alam.30
Seperti mitos zaman
dulu berkaitan dengan hidup dan mati, manusia dan dewa, dan mitos masa kini,
mengenai feminisitas, maskulinitas dan kesuksesan.
Ketika disederhanakan lagi, mitos merupakan bagian dari tahap kedua
dalam semiotika Barthes. Tanda baru ini terbentuk dari konotasi yang menjadi
sebuah denotasi maka jadilah mitos. Kalau terus mengumpamakannya dengan
teori dan bahasa yang kurang sederhana, maka dalam hal ini peneliti memberi
contoh agar lebih mudah untuk dipahami, contohnya seperti sebuah rumah tua
atau yang sudah berdiri kokoh sedari lama dikonotasikan sebagai rumah
28
Indiwan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi, h. 21 29
Benny H Hoed, Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya, h. 4 30
Indiwan Seto Wahyu Wibowo, Semiotika Komunikasi, h. 22
33
berhantu, dianggap keramat dan itu terus dibicarakan oleh masyarakat banyak
dan dipercayai, jika terus menerus begitu maka menjadi sebuah mitos di
masyarakat. Pada akhirnya rumah tua itu berhantu menjadi denotasi, pada titik
itu lah dapat disebut sebagai mitos.
Berlanjut dari fungsi yang masih berkaitan, terkadang kita atau
masyarakat sulit mengidentifikasi mitos karena sudah menjadi budaya. Dalam
buku Semiotika Negativa karya ST. Sunardi31
dipaparkan ciri-ciri dari mitos,
yaitu ciri pertama distortif, unsur yang mendistorsi adalah konsep. Konsep atau
makna awal melebar tapi hanya satu sisi tidak menyeluruh. Lalu ciri kedua
intensional, yaitu mitos dibuat bukan tanpa maksud, tetapi ciri ini membuat
mitos hadir untuk memberikan dampak yang kuat terhadap personal. Ciri
ketiga statement of fact, yaitu ciri ini terdapat pesan yang tidak lagi personal
namun universal, ajakan tetapi lebih dari itu menjadi bukti bahwa konsep itu
faktual. Terakhir, ciri keempat yakni motivasional, bentuk mitosnya
mengandung motivasi, atau ada sesuatu yang ditujui.
Selain serangkaian tahap pemaknaan, Barthes juga memaparkan bahwa
terdapat tiga aspek yang mendukung dalam sebuah pemaknaan visual atau
khususnya fotografi, yaitu operator yang merupakan fotografer, spektator
yakni yang melihat fotonya, dan spektrum yaitu apapun yang difoto.32
Dalam
hal ini Barthes memposisikan diri sebagai penikmat yang mengajukan sebuah
teori untuk mengamati foto. Ketiga aspek tersebut pun dapat menghasilkan
31
ST. Sunardi, Semiotika Negativa, h. 89-92 32
Seno Gumira Ajidharma, Kisah Mata, (Yogyakarta: Galang Press, 2002) h. 28
34
berbagai penafsiran, dikarenakan sang operator dan spektator memiliki
pemikiran dan pengalaman yang berbeda.
Barthes pun menjabarkan lagi bahwa terdapat dua hal dalam foto,
studium dan punctum.33
Studium, suatu kesan yang mendorong pemandang
untuk bereaksi suka dan tidak suka, menyatakan indah dan tidak indah, dan
bersifat politis atau terdapat sejarah. Berbalik dengan punctum sebagai inti atau
detail dalam sebuah foto yang membuat pemandang tertarik, sehingga
pemandang akan mengingat dan terus memandangi foto.
Roland Barthes juga melihat fotografi memiliki kekuatan linguistiknya
sendiri. Namun seperti Berger, ia mengarah ke filosofi bukan proses, Berger
memusatkan perhatiannya dengan “mempelajari asumsi” mengenai realitas,
begitu juga Barthes. 34
Terdapat enam prosedur konotasi dalam membaca foto, yang terdapat di
buku Image Music Text Rolland Barthes, di antaranya trick effect, pose, object,
photogenia, aestheticism, dan syntax35
.
1. Trik efek atau manipulasi, prosedur ini berkaitan dengan menambahkan,
mengurangi bahkan mengganti obyek dalam foto. Tahapan analisa
mengenai keaslian foto, apakah terdapat editan, dan ada unsur pemalsuan
atau tidak. Dari situ dapat dinilai apakah sebuah foto dihasilkan dengan
secara alami atau artifisial, atau bahkan bernilai sejarah.
33
Seno Gumira Ajidarma, Kisah Mata, h. 28 34
Ashley La Grange, Basic Critical Theory for Photographers, (Oxford: Elsevier, 2005),
h. 21 35
Rolland Barthes, Image Music Text, (London: Harper Collins Publishers, 1977), h. 21-
24
35
2. Pose atau gestur tubuh, tahap ini menampilkan sikap, ekspresi, atau gerak
tubuh yang memiliki nilai-nilai tertentu di masyarakat dan bermakna
konotasi. Seperti, ketika seseorang duduk dan menunduk, dan pemahaman
akan gestur tubuh seperti itu adalah orang tersebut seperti sedang sedih,
putus asa, kelelahan atau sebagainya. Selain itu dalam pose juga
membahas arah menghadap seperti kanan yang dikonotasikan dengan
masa depan dan arah kiri yaitu masa lalu.
3. Objek, merupakan sesuatu yang ditata sedemikian rupa dan apa yang
menjadi elemen-elemen dari foto itu memiliki makna tertentu.
Menentukan objek (foto) menjadi begitu penting karena ada kaitannya
dengan apa yang ingin disampaikan.
4. Fotogenia
Merupakan penjelasan mengenai tahap produksi foto, berkesinambungan
dengan aspek teknis untuk menghasilkan makna tertentu. Penjabarannya
pun dari pencahayaan sampai dengan proses cetak. Dalam fotogenia pesan
yang dikonotasikan adalah gambar itu sendiri atau foto yang dihasilkan.
5. Estetika
Estetika kaitannya lebih erat dengan warna, komposisi, dan pencahayaan.
Pembahasannya cukup teknis, hampir mirip dengan fotogenia namun
prioritasnya ada pada komposisi, untuk hasil yang baik.
6. Sintaksis
Melihat foto secara keseluruhan, makna muncul dari satu kesatuan atau
keseluruhan foto yang ditampilkan. Tetapi bisa juga jika hanya satu foto
36
dan dilengkapi dengan caption. Dari satu kesatuan dan menjadi urutan
akan menghasilkan makna konotasi lainnya.
Keenam tahapan atau prosedur tersebut akan turut dijelaskan dan
dipergunakan untuk membahas foto yang sudah dipilih dari buku foto Tanah
Yang Hilang karya Mamuk Ismuntoro, pada bab empat skripsi ini.
37
BAB III
Gambaran Umum Buku Tanah yang Hilang Karya Mamuk Ismuntoro
A. Gambaran Umum Buku Foto Tanah yang Hilang karya Mamuk
Ismuntoro
Mamuk Ismuntoro mencatat sebuah tragedi besar yang terjadi di Indonesia
adalah bencana Lumpur Lapindo. Catatan yang Mamuk buat ini berupa catatan
visual yang dibukukan olehnya. Dalam keterbatasannya Mamuk menghadirkan
sebuah tragedi dan bencana melalui buku foto Tanah yang Hilang dengan
pendekatan dokumenter.
Dalam wawancara bersama Mamuk, ia memaparkan bahwa alasannya
memilih pendekatan dokumenter karena memang dasar visual yang ia pelajari
adalah dokumenter. Daerah terdampak ini memiliki kedekatan dengannya,
karena ia juga warga Sidoarjo, yang tinggal di salah satu di antara tiga
kecamatan terdampak. Pada saat itu Mamuk dan keluarga terpapar bau
menyengat seperti belerang hampir setiap hari.1
Buku ini hadir untuk menceritakan realitas sosial dan dikemas dengan dua
genre yaitu lanskap dan kehidupan sehari-hari. “Saya pikir, peristiwa ini tidak
hanya soal orang-orang, namun juga tanah kelahiran mereka, yang bagi saya
bisa diwakili dengan cara visual yang sederhana dan umum sebenarnya, yakni
lanskap. Cerita tentang manusia selalu menarik bagi manusia lainnya, itu
teorinya, dan ini bisa diwakili lewat cerita sehari-hari,” begitu ungkap Mamuk.
Baginya, catatan visual ini bisa jadi alternatif artefak sosial peristiwa yang
skalanya besar.
1 Wawancara dengan Mamuk Ismuntoro melalui email pada 05/07/2018.
38
Buku foto Tanah yang Hilang karya Mamuk Ismuntoro ini merupakan
buku foto ketiga yang dipublikasikan oleh PannaFoto Institute2. Dalam buku
ini Mamuk menawarkan perspektif pribadinya terhadap tragedi di wilayah
tempat tinggalnya, Sidoarjo, Jawa Timur. Foto-fotonya menampilkan lanskap
pedesaan, potret warga yang terdampak bencana, dan kehidupan sosial yang
terenggut oleh semburan lumpur panas Lapindo.3
Tanah yang Hilang adalah bagian dari serial buku foto, portofolio, yang
bertujuan mengangkat karya-karya fotografer Indonesia.
Buku foto dokumenter ini juga pernah dimuat media dan ditampilkan di
beberapa festival buku foto internasional, seperti media The Jakarta Post, IPA
(Invisible Photographer Asia), International Photobook dummy Award
dipamerkan di empat Negara di Eropa pada tahun 2013, Photobook Festival di
Jerman tahun 2015, menjadi satu dari 40 buku foto yang dipamerkan dalam
Asia-Pacific Photobook Archive di Photo Ireland Festival 2015, Photobook
month di Galeri Foto Jurnalistik Antara tahun 2015 dan Fotografie Forum
Frankfurt turut dipamerkan dan menjadi bagian dari pameran Beyond Transisi
di Jerman tahun 2015.4
2 PannaFoto Institute merupakan organisasi non-profit yang berbasis di Jakarta,
Indonesia. Didirikan pada tahun 2006 oleh Sinartus Sosrodjojo dan timnya, PannaFoto Institute
berfungsi sebagai platform untuk pendidikan dan menumbuhkan pemahaman fotografi melalui
program interdisipliner dengan dukungan dari World Press Photo Foundation di Belanda. 3 Mamuk Ismuntoro, Tanah yang Hilang.
4 Wawancara dengan Mamuk Ismuntoro melalui email pada 05/07/2018.
39
B. Gambaran Umum Lumpur Lapindo
Lumpur Lapindo, danau lumpur terbesar tercipta setelah uap, air, dan
lumpur keluar dari perut bumi secara bersamaan pada 29 Mei 2006 di Desa
Siring, Porong Sidoarjo, Jawa Timur. Tragedi ini sempat menjadi perdebatan,
siapa yang bertanggung jawab dan apa penyebabnya? Saat awal kejadian,
Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas (Migas) membuat rilis dalam situs web
resminya menyatakan bahwa semburan lumpur pertama efek dari gelombang
seismik kuat akibat gempa Yogyakarta, pada 26 Mei 2006. Gempa tersebut
terjadi tepat dua hari sebelum semburan pertama di Banjar Panji 1, namun
pernyataan tersebut dibantah oleh seorang peneliti berasal dari Australia
bernama Mark Tingay.
Dalam penelitiannya yang dirilis oleh Nature Geoscience berjudul
Initiation of the Lusi Mudflow Disaster, Tingay mengatakan di bagian
kesimpulan bahwa semburan pertama kali terjadi karena kesalahan saat proses
dan efek dari pengeboran bukan terjadi secara alami.5 Jadi SKK Migas terkesan
terburu-buru dalam membuat sebuah pernyataan kepada publik saat itu. Turut
menyertakan peneliti-peneliti dalam mengungkap asal mulanya semburan,
peneliti yang menyatakan penyebabnya faktor alam adalah peneliti yang
memang dipekerjakan oleh PT. Lapindo Brantas untuk memperkuat argumen
mereka atas tragedi Lumpur Lapindo.
Setelah satu tahun berselang, sangkalan dari PT. Lapindo Brantas
disambut dengan laporan dari Neal Adams Services, sebuah lembaga konsultan
pengeboran dari Houston, Texas, Amerika Serikat, yang disewa oleh Medco
5Mark Tingay, Initiation of The Lusi Mudflow Disaster: Nature Geoscience Vol 8, (2015);
493. https://www.nature.com/articles/ngeo2472
40
E&P Indonesia untuk menyelidiki semburan di Sumur Banjar Panji 1.6 Mereka
memberi catatan bahwa eksplorasi gas oleh PT. Lapindo Brantas, berujung
pada munculnya gelembung hidrogen sulfida pada permukaan. Meski
demikian, hal ini tetap menjadi perdebatan yang tak kunjung usai. Walau
peneliti dalam dan luar negeri sampai aktivis lingkungan turun tangan, ujung
kepastian penyebab semburan lumpur belum didapatkan.
Dari berbagai ketidakpastian yang ada terdapat alasan dan latar belakang
penyebutan tragedi ini dengan sebutan Lumpur Lapindo oleh para aktivis
lingkungan. Seperti yang disampaikan oleh Reynaldo Sembiring, Wakil
Direktur Pelaksana dari Indonesian Center for Environmental Law, ketika
penyebutannya adalah Lumpur Sidoarjo ini berkaitan erat dengan act of god
atau bencana alam. Bahwa diketahui lumpur itu muncul dari adanya aktivitas
signifikan yang disebabkan oleh manusia, yakni PT. Lapindo Brantas yang
melakukan eksplorasi di daerah sekitar permukiman padat penduduk dan
memberikan dampak kerugian yang dirasakan oleh masyarakat.7
Dalam waktu tiga minggu saja, lumpur sudah mengubur 90 ha area padat
penduduk. Jeda seminggu setelah itu, area yang terbenam lumpur mencapai
145 ha, hingga akhir tahun 2006 lumpur yang merendam area warga semakin
melebar sampai 450 ha. Menyusul ledakan pipa gas bawah tanah milik PT
Pertamina yang meruntuhkan tanggul di Timur Laut pada 22 November 2006.
Meskipun usaha membendung dan membuang sebagian lumpur ke Selat
Madura, melalui Kali atau Kanal Porong sudah dilakukan, luapan lumpur tidak
6 Mamuk Ismuntoro, Tanah yang Hilang: Jakarta, PannaFoto Institute, 2014.
7 Wawancara dengan Raynaldo Sembiring selaku Wakil Direktur Pelaksana di kantor
Indonesian Center for Environmental Law pada 13/07/18
41
juga surut. Luas area terdampak semakin melebar, genangan lumpur terus
melebar dengan berbagai upaya yang gagal untuk menutup pusat semburan.8
Daerah terdampak di antaranya terdapat tiga kecamatan Porong, Jabon,
dan Tanggulangin. Dari masing-masing kecamatan terdapat tiga desa, ditotal
menjadi sembilan desa. Tragedi Lumpur Lapindo bukan hanya tentang ganti
rugi kepada warga, tetapi ini erat kaitannya dengan isu lingkungan dan hak
asasi manusia yang terkesampingkan.
Dikutip dari situs web Jaringan Advokasi Tambang, WALHI pada tahun
2008 bahwa tanah dan air di area sekitar lumpur mengandung PAH9
(Polycyclic Aromatic Hydrocarbon) hingga 2000 kali di atas ambang batas
normal.10
Selain itu, pada air Sungai Porong terdapat timbal dengan level di
atas normal, kontaminasi logam berat juga ada dalam sumur warga di desa-
desa sekitar semburan Lumpur Lapindo. Mengakibatkan air sumur di sekitaran
semburan tidak dapat dikonsumsi oleh warga. Hak atas hidup layak sudah
terkesampingkan, yakni hak atas lingkungan hidup.
Komnas HAM menemukan 15 jenis pelanggaran terhadap korban Lumpur
Lapindo, namun yang begitu disoroti adalah pelanggaran atas hak lingkungan
hidup.11
Adanya sebuah ekosistem berarti terdapat lingkungan hidup, yaitu
ruang yang ditempati oleh manusia dan makhluk lainnya, kehadirannya tidak
dapat berdiri sendiri dan saling membutuhkan. Di dalam ekosistem terdapat
8 Anton Novenanto, Membangun Bencana: Tinjauan Kritis atas Peran Negara dalam
Kasus Lapindo: MASYARAKAT Jurnal Sosiologi Vol 20, No.2 (2016); 173. 9 Polisiklik hidrokarbon aromatik (PAHs) merupakan bahan kimia yang muncul secara
alami dalam batu bara, minyak mentah, dan bensin. PAH yang dihasilkan dari sumber-sumber ini
dapat mengikat atau membentuk partikel kecil di udara. Efek yang diberikan kepada manusia
adalah iritasi mata, gangguan pernapasan, hingga kanker. 10
https://www.jatam.org/2017/05/29/dampak-multidimensional-11-tahun-kasus-
semburan-lumpur-lapindo/# diakses pada 19/07/18 11
Wacana HAM Edisi 3, Ecoside dan HAM di Indonesia, (Jakarta: Media Komunikasi
KomnasHAM, 2013), h. 3-4.
42
makna penting lingkungan hidup yang menjadi satu kesatuan. Ketika
lingkungan hidup dirusak maka efeknya akan menyengsarakan kehidupan
manusia dan makluk lainnya dan jelas kaitannya dengan pelanggaran hak asasi
manusia.
Penulis mengutip lagi paparan dari Reynaldo Sembiring, “Atas tragedi ini
PT. Lapindo Brantas harus bertanggung jawab mutlak atas kerugian-kerugian
yang telah ditimbulkan. Dalam hukum lingkungan, dikenal istilah pencemar
pembayar yang berarti bahwa siapapun pihak yang melakukan pencemaran
lingkungan, maka dialah yang bertanggung jawab membayar semua dampak
dari pencemaran yang telah dilakukan,” dengan tegas Reynaldo sampaikan.
Namun kembali lagi, ini masih menjadi problematika dan perdebatan yang
belum menemukan ujungnya.
C. Profil Mamuk Ismuntoro
Mamuk Ismuntoro kelahiran 1975, di Surabaya, Jawa Timur. Mamuk
menempuh pendidikan tingkat akhirnya di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi –
Almamater Wartawan Surabaya.12
Mamuk remaja suka melihat foto-foto di majalah. Tiba suatu hari terbesit
keinginan untuk bisa memotret seperti apa yang ada di majalah. Ketika
memasuki akhir kuliah tahun 1998 ia bergabung di harian Suara Indonesia,
yang kini menjadi harian Radar Surabaya. Kecintaannya terhadap fotografi
bersambut ketika mengenyam pendidikan jurnalistik di Sekolah Tinggi Ilmu
12
Mamuk Ismuntoro, Tanah yang Hilang.
43
Komunikasi-Almamater Wartawan Surabaya, sembari kuliah ia menjalankan
tugasnya di surat kabar harian.
Mamuk bergelut selama lima tahun dalam jurnalisme foto koran, ia
memutuskan untuk melanjutkannya ke sebuah majalah seni dan budaya,
Mossaik pada akhir 2002. Mamuk mulai menemukan ruang yang cukup luas
untuk bereksplorasi dalam foto-foto majalah. Kebijakan visual di majalah
terbitan Suara Surabaya Media ini membuat Mamuk memulai debutnya untuk
menggarap foto-foto feature.
Mamuk mendapatkan beasiswa Advanced Photojournalism Course, tahun
2007, yang diselenggarakan oleh PannaFoto Institute dan World Press Photo di
Jakarta. Ia menjadi salah satu lulusan terbaik dan meraih juara dua dalam
International Photo Competition pada 2008. Berlanjut ketika tahun 2013, ia
mendapatkan beasiswa untuk mengikuti Photobook Masterclass yang
diselenggarakan oleh Goethe Institute dan Galeri Foto Juralistik Antara.
Sejak tahun 2006, Mamuk menggagas sebuah komunitas fotografi
jurnalistik bernama Matanesia. Ia berkomitmen untuk mengelola komunitas di
tengah aktivitas memotret dan mengajar fotografi. Pada tahun 2014 Mamuk
merilis buku foto pertamanya yakni “Tanah yang Hilang”. Buku foto tersebut
merupakan proyek pribadinya, yang berisi pandangan personal terhadap
peristiwa luapan lumpur di Sidoarjo. Sebuah dokumenter tragedi besar di
Indonesia.13
Karena ini merupakan sebuah proyek foto dokumenter, maka
Mamuk mengerjakannya sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Peristiwa
ini begitu memiliki relasi yang kuat dengannya, begitu personal.
13
Wawancara dengan Mamuk Ismuntoro melalui email pada 05/07/ 2018.
44
D. Sejarah Fotografi Indonesia
Perkembangan fotografi saat ini begitu pesat dengan akses referensi yang
mudah, kemajuan teknologi kamera dan semakin terjangkaunya kebutuhan
peralatan fotografi. Jika dibandingkan dengan zaman dulu hanya segelintir
orang yang dapat menikmati bagaimana mengolah film dan kamera. Karena
pada masa awal fotografi dibutuhkan waktu delapan jam untuk dapat
menghasilkan sebuah foto.
Diawali oleh Louise Jacques Mande Daguerre yang terlatih sebagai
pelukis atau desainer panggung teater pada tahun 1814 sampai dengan 1818.
Atas ketertarikannya dengan teknik optical untuk memproduksi sebuah gambar
sungguhan. Daguerre tertarik untuk bekerjasama dengan Joseph Nicephore
Niepce yang memiliki temuan proses mencetak foto yang sempurna, disebut
Heliografi.14
Namun, lahirnya fotografi digagas oleh seorang pria Prancis bernama
Joseph Nicephore Niepce pada tahun 1826, yang bereksperimen dengan
temuannya, proses cetak litografi. Niepce menghasilkan dan membuat sebuah
gambar pertama kali melalui bahan yang bereaksi terhadap cahaya dengan
pencahayaan selama kurang lebih delapan jam.
Niepce merekam bayangan atap gudang dan rumah merpati dari balik
jendela. Cahaya yang ditangkap oleh kamera membentuk bayangan pada pelat
logam yang dilapisi dengan aspal.15
Proses fotografi yang dilakukan oleh
14
Chris Dickie, Little Book of Big Ideas (Photography The 50 most influential
photographers in the world), (London: A&C Black Publisher, 2009), h. 11. 15
Rita Gani Ratri Rizki Kusumalestari, Jurnalistik Foto, (Bandung: Simbiosa Rekatama
Media, 2013 ) h.5.
45
Niepce ini dikenal dengan nama heliography (heliografi), yakni proses
menciptakan gambar cetakan dengan bantuan aspal, minyak lavender, dan
cahaya matahari.
Pada Januari 1839, Daguerre yang juga berkebangsaan Prancis
mengumumkan hasil eksperimen fotografinya yang disebut daguerreotype, ia
tampilkan produksi gambarnya untuk sebuah diorama di Paris. Lalu ada Henry
Fox Talbot (calotype) yang memungkinkan proses cetakan negatif ke positif
dapat diproses dan menghasilkan beberapa salinan, dan Sir John Herschel lah
orang pertama yang mengidentifikasi bahwa cetakan negatif dan positif itu
dapat difinalisasi dengan sodium sulfat agar tahan lama atau permanen.
Kemajuan fotografi pun tercatat setelah George Eastman menciptakan film
kemudian kamera melalui perusahaan Kodak Eastman. Itulah sekilas tentang
sejarah perkembangan terciptanya fotografi pada abad 19-an.
Fotografi tidak akan menjadi apa-apa jika hanya mengandalkan alat,
namun ada sosok di balik kamera tersebut atau biasa disebut dengan istilah
man behind the gun yaitu para fotografer-fotografer berpengaruh di dunia.
Penulis akan menjabarkan beberapa fotografer berpengaruh di dunia di
antaranya adalah Robert Capa co founder dari Magnum Photos, ia mendapat
julukan fearless war photographer dari Little Book of Big Ideas (The 50 most
influential photographers in the world). 16
The Falling Soldier merupakan
karyanya yang mendunia dan kontroversial, foto yang langsung diambil oleh
Capa, seorang serdadu perang yang tertembak mati. Lalu ada Dorothea Lange
fotografer perempuan dari Amerika dengan genre dokumenter, karyanya di
16
Chris Dickie, Little Book of Big Ideas (Photography The 50 most influential
photographers in the world), h. 32.
46
tahun 1930an yang menceritakan tentang potret keputusasaan para buruh
migran di Amerika, begitu menarik simpati masyarakat.
Henri Cartier Bresson fotografer yang berasal dari Prancis, seperti yang
dijabarkan The Master Guide of Photography, tipikal Bresson adalah
menampilkan situasi sebenar-benarnya tetapi unsur eksentrik pun tak luput dari
gaya pengambilan gambarnya, atau masyarakat ramah dengan istilah Decisive
Moment17
yang ia ciptakan. Juga ada W. Eugene Smith salah satu fotografer
berpengaruh yang juga bagian dari Magnum Photos, karya foto yang begitu
terkenal dan membuat masyarakat terenyuh adalah dengan judul Minamata
Disease dipublikasi pada tahun 1971. 18
Mengisahkan seorang ibu yang sedang
memandikan anaknya yang terkena peyakit Minamata saat itu.
Di Indonesia, fotografi diperkirakan masuk pada tahun 1841 oleh Juriaan
Munich, seorang utusan kementerian kolonial lewat jalur Batavia.19
Lalu ada
Kassian Cephas seorang pribumi yang berupaya memotret dan melestarikan
peninggalan arkeologis dan budaya Jawa. Dari sebuah situs web yang berisi
artikel tentang fotografi yaitu 1000kata, Cephas mendapat julukan fotografer
pribumi pertama, dimulai dengan ia bekerja sebagai fotografer profesional
untuk Sultan Yogyakarta pada tahun 1861.20
Foto atau karya pertama Cephas
adalah tentang Barabudur dan Berangka tahun 1872.
Dahulu Cephas memiliki studio fotonya sendiri yang biasa dijadikan
tempat untuk foto keluarga, atau potret seseorang. Studio fotonya berada di
17
Decisive Moment jika diartika adalah memotret yang tepat atau puncak dari suatu
kejadian. Istilah ini pertama kali dicetus oleh Henrie Cartier Bresson. 18
Michael Langford, The master guide to photography, (New York: Alfred A. Knopf Inc,
1982), h. 353. 19
Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2014), h. 7. 20
www.1000kata.com/2011/03/kassian-cephas-jurufoto-pribumi-pertama/ diakses pada
05/07/18
47
Lodji Ketjil. Selain potret orang, Cephas juga membuat foto bangunan, jalanan,
dan monumen kuno yang berada di dalam kota ataupun luar kota.
Sejarah fotografi jurnalistik Indonesia juga diwakili oleh kantor berita
Domei, surat kabar Asia Raya, dan agensi foto Indonesia Press Photo Service
(IPPHOS). Pada tahun 1942 kator berita Domei mejadi alat propaganda yang
dimiliki oleh Jepang. Sebagian tugas fotografer adalah merekam situasi politik.
Alex Mendur menjadi kepala desk foto saat itu. Lalu ada yang kita kenal
dengan nama IPPHOS, digawangi oleh Mendur bersaudara Alex dan Frans
Mendur, J.K Umbas, F.F Umbas, Alex Mamusung, dan Oscar Ganda. Dari
arsip-arsip IPPHOS yang fenomenal adalah foto ketika Ir. Soekarno
membacakan teks proklamasi pada tanggal 17 Agustus 1994, mungkin jika
Alex dan Frans Mendur tidak mendokumentasikan kejadian bersejarah itu,
Indonesia tidak memiliki bukti visual bahwa proklamasi kemerdekaan telah
dikumandangkan. 21
Tepat pada bulan Ramadan atau 17 Agustus waktu subuh, Alex dan Frans
Mendur telah mendengar informasi akan ada peristiwa penting terkait
perjuangan. Pukul 10.00 WIB proklamasi berhasil diabadikan pada sebuah
negatif film, sialnya tentara Jepang mengetahui bahwa Mendur bersaudara
mendokumentasikan peristiwa tersebut. Namun dengan sigap Frans sempat
menyembunyikan roll film miliknya di bawah pohon depan kantor Asia Raya,
sebelum pelat-pelat negatif kameranya dihancurkan oleh tentara Jepang.
Berita proklamasi tersiar di surat kabar pada keesokan harinya, namun foto
hasil jepretan Mendur bersaudara baru dimuat pada Februari 1946 di harian
21
Taufan Wijaya, Foto Jurnalistik, h. 9.
48
Merdeka. IPPHOS merekam sejarah, pergolakan politik dan semangat juang
dalam mencapai kemerdekaan.
E. Perkembangan Fotografi Dunia
Seiring berjalannya waktu, teknologi terus berkembang dan era digital
masuk. Kini fotografi lebih mudah diakses, maka dari itu pergerakan foto
jurnalistik dan berbagai genre yang ada pun juga berkembang pesat. Untuk
kirim, produksi dan menyampaikan lagi ke masyarakat kini aksesnya mudah.
Adanya agensi-agensi foto juga penghargaan atau kompetisi yang
bergengsi pun menjadi satu acuan perkembangan. Seperti adanya kompetisi
tertinggi bagi para pegiat foto jurnalistik dan dokumenter di seluruh dunia
yaitu, World Press Photo. World Press Photo sudah ada sejak 1955. Kontes ini
terus berkembang di dunia dan menjadi kompetisi fotografi paling prestisius,
dan melalui kesuksesan itu mereka dapat menunjukan karya-karya terbaik foto
jurnalistik dan dokumenter di dunia melalui worldwide exhibition program
kepada jutaan masyarakat.22
World Press Photo menjadi tolak ukur bagi para fotografer jurnalistik dan
dokumenter. Penghargan yang diadakan setiap tahunnya, menelurkan karya-
karya terbaik dari isu-isu sosial, politik, ekonomi dan berbagai hal yang sedang
menjadi pembahasan dunia. World Press Photo tidak menutup mata dengan
kehadiran teknologi yang terus berkembang, yaitu kategori multimedia menjadi
bagian baru yang menarik karena menyatukan visual (foto dan video) beserta
audio jadi satu kesatuan produk jurnalistik atau dokumenter.
22
www.worldpressphoto.org/about diakses pada 17/05/2018.
49
Selain World Press Photo, juga terdapat kontes fotografi tigkat dunia yang
cukup menarik simpatik banyak pegiat fotografi, yaitu Lens Culture. Sedikit
berbeda dengan kontes fotografi sebelumnya, Lens Culture terkesan lebih
kontemporer dengan kategori yang lebih banyak dan menyertakan fotografi
fine art, sehingga tidak sekaku World Press Photo. Semakin bermacam juga
peserta kontesnya, dari berbagai macam genre fotografi. Lens Culture juga
megeluarkan edisi majalah daring untuk mempermudah penikmat fotografi
mengakses, karya dan referensi dari berbagai belahan dunia.
Berkisah tentang sejarah dan perkembangan fotografi, tidak hanya sosok
dari fotografer dan karya tunggal atau ceritanya saja yang penting untuk
dipaparkan. Adanya pemaparan ini juga hasil dari pencarian penulis dari buku-
buku fotografi. Buku menjadi medium yang penting bagi para fotografer
terdahulu juga kini.
Mengarsipkan sejarah dalam bentuk buku dengan elemen penting yaitu
visual dan diiringi teks merupakan cara untuk menjadikan sebuah karya abadi.
Tanpa adanya buku tidak akan ada literatur, tidak akan ada bukti sejarah yang
tercatat, begitu pula dengan buku foto. Terkait pemaparan sebelumnya, buku
foto dokumenter karya Mamuk Ismuntoro merupakan medium yang penulis
pilih untuk dijadikan penelitian dan khususnya beberapa foto yang terdapat di
dalam buku foto Tanah yang Hilang.
F. Gambaran Umum dan Sejarah Buku Foto
Sekitar tahun 1843, seorang ahli ilmu tumbuh-tumbuhan dan biologi, Anna
Atkins mempelajari trik sederhana dan murni dari temannya, fotografer dan
50
seorang penemu yaitu John Herschel23
. Proses awal yang begitu sederhana
untuk membuat sebuah buku foto dengan menekan bagian dari tumbuh-
tumbuhan seperti daun atau bunga ke kertas yang peka terhadap cahaya, Atkins
bisa membuat gambar.24
Tidak lama Atkins mengumpulkan cukup banyak gambar untuk sebuah
buku, ia menerbitkan sendiri buku pertamanya yang berjudul Photographs of
British Algae: Cyanotype Impressions, buku ilustrasi tumbuh-tumbuhan pada
Oktober 1843. Teknik yang ia gunakan adalah Cyanotype, teknik alami yang
diciptakan oleh Sir John Herchel dengan menggunakan cetakan berwarna biru.
Buku tersebut merupakan buku foto pertama di dunia dan dibuat oleh
Anna Atkins. Begitu mengenai sejarah singkatnya yang penulis sisipkan dalam
bab ini sebagai satu unsur terpenting dari penelitian ini, karena apa yang diteliti
oleh penulis merupakan rangkaian foto yang terdapat di dalam buku foto.
Apa itu buku foto? Menjadi sebuah pertanyaan di awal ketika penulis
memutuskan untuk meneliti sebuah buku foto. Terjawab secara umum oleh
Martin Parr dan Gerry Badger, mereka memaparkan bahwa buku foto adalah
buku yang ada dan atau tanpa teks, dimana pesan utama itu berada pada foto
yang ditampilkan.25
23
John Frederick William Herchel atau yang dikenal Sir John Herchel kelahiran 7 Maret
1792, ia seorang astronom, matematikawan, ahli biologi, dan fotografer. Ia memiliki peran penting
dalam perkembangan atau sejarah fotografi di dunia. Sir John Herchel memberi kontribusi pada
pengembangan ilmu proses foto sampai bisa menjadi sebuah cetakan foto untuk pertama kalinya
cetakan negatif menjadi cetakan positif, temuannya disebut dengan Cyanotype. 24
https://www.telegraph.co.uk/culture/photography/10774134/The-photobook-today.html
diakses pada 06/07/2018 25
Martin Parr and Gerry Badger The Photobook: A History Volume I, (London: Phaidon
Press Limited, 2004), h 6.
51
Dalam prosesnya, buku foto dibuat atau dikarang oleh fotografernya, lalu
dalam proses editing dan penataan dibantu oleh editor. Buku foto memiliki
karakter yang spesifik, bahkan dalam proses cetaknya menggunakan alat cetak
sendiri untuk fine art exhibition, berbeda dengan alat mencetak kertas.
Bagaimanapun hasil penyajiannya nanti, prosesnya tidak dapat dikatakan
sederhana. Sebuah buku foto itu sebaiknya menjadi cerita yang dikemas
dengan fotografi dan dengan tema yang logis, bermakna dalam, berurut,
memiliki rasa, klimaks, dan berusaha sempurna dalam segi penyampaian agar
pesan tersampaikan kepada para pembaca, begitu yang diungkap oleh Lincoln
Kirstein.26
Dalam sebuah pengantar dari The Photobook: A History Volume I
dijelaskan bahwa buku foto telah menjadi dasar untuk berekspresi dan
penyebarluasan bagi fotografer sejak para praktisi terdahulu meletakan hasil
gambar mereka ke dalam album.27
Berlanjut pada pembahasan kenapa buku foto menjadi penting saat ini bagi
fotografer dan penikmat fotografi sampai tahap akademisi? Atau sebagai
penyampai pesan yang utuh atas sebuah cerita yang sifatnya mendalam
terhadap sebuah isu? Ada dua fotografer yang berinisiatif membuat sebuah
buku. Buku tersebut pembahasannya fokus pada sejarah buku foto dan
berbagai elemennya. Mereka adalah Garry Badger seorang kurator, penulis dan
fotografer, lalu ada Martin Parr, fotografer Magnum Photo yang berasal dari
Inggris.
26
Martin Parr and Gerry Badger The Photobook: A History Volume I h. 8. 27
Martin Parr and Gerry Badger The Photobook: A History Volume I
52
Zaman terus berkembang, fotografi juga mengenal istilah kontemporer,
dalam kaitannya dengan buku foto, ini merupakan sebuah pembahasan yang
menarik. Bagi fotografer kontemporer, buku foto adalah dasar sumber
informasi mengenai fotografi.28
Pembahasannya meliputi isu apa saja yang
terjadi saat ini, siapa yang membuat karya, dan sesuatu yang baru atau inovasi.
Fotografer menemukan media atau metode dan mendapatkan ide melalui buku
foto dengan berbagai genre yang ada. Dipahami saat ini bahwa buku foto
menjadi penting bagi fotografer ataupun penikmat fotografi, sampai pada
akhirnya hampir setiap fotografer memiliki ambisi untuk membuat buku
fotonya sendiri.
Buku foto menjadi penting karena pada dasarnya buku adalah sebuah
pengantar ide, berisi sejarah peradaban dari masa ke masa, dan penanda
perubahan.29
Dengan begitu, buku foto yang berisi berbagai isu dan sisipan
perkembangan zaman dari berbaga genre fotografi menjadi hal yang penting
dan diperkuat lagi dengan ungkapan Barbara W. Tuchman30
“Without books,
history is silent, literature dumb, science crippled, thought and speculation at a
standstill. Without books, the development of civilization would have been
impossible.” Begitu pula halnya dengan buku foto, yang membedakan
hanyalah lebih banyak visual yang disuguhkan dibanding teks. Apa yang
diungkap oleh Barbara mewakilkan kehadiran buku foto di tengah masyarakat
urban dan fotografer kontemporer.
28
Martin Parr and Gerry Badger The Photobook: A History Volume I, h. 9 29
Darius D. Himes and Mary Virginia Swanson, Publish Your Photography Book,(New
York: Princeton Architectural Press, 2011), h. 13. 30
Barbara W Tuchmen, seorang penulis dan sejarawan dari Amerika kelahiran New
York, 30 Januari 1912. Ia sejarawan yang sangat populer di Amerika pada pertengan abad 20,
selain itu ia juga pernah meraih penghargaan tertinggi bagi para penulis, peneliti dan jurnalis yaitu
Pulitzer Prize pada tahun 1963.
53
Bidang fotografi yang juga penulis geluti selalu dikaitkan dengan hasil
akhir sebuah pameran, sebagai media untuk publikasi karya dan capaian
tertinggi seorang fotografer. Namun, jika dilihat lagi buku foto lebih mudah
diakses dibandingkan sebuah pameran yang berjangka waktu. Durasinya tidak
terbatas, abadi untuk sebuah buku, dapat dijadikan bukti sejarah atas apa yang
pernah ditoreh.
Bahwa saat ini pencapaian buku foto sudah masuk ke dalam bidang
ilmiah.31
Khususnya di jurusan sejarah seni pada level perkuliahan banyak
mengambil referensi dari buku fotografi sebagai panduan dan arahan dalam
membuat karya. Literatur buku foto yang pertama kali dikeluarkan adalah buku
Fotografia Publica: Photography in Print from 1919-1939 dari Horacio
Fernandez.32
Buku foto tersebut berisi tentang Perang Dunia I.
Kembali pada pembahasan mengenai penjelasan apa yang Martin Parr dan
Gerry Badger uraikan ialah gagasan dan ide dari buku fotografi sebagai sesuatu
yang lebih dari sekedar batasan halaman dan kumpulan cetakan gambar
CMYK (Cyan, Magenta, Yellow, and Key). Jadi buku foto memiliki nilai
tersendiri, bukan lagi bicara halaman dan cetakan saja tetapi terdapat
orisinalitas karya, pesan, makna, pengaruh yang kuat atas karya yang dibuat,
dan proses produksi sampai publikasi secara teknis.
Pendapat dari pemerhati buku foto masa kini penulis rasa penting untuk
menjadi acuan, penguatan argumen, dan diskusi dalam penelitian buku foto,
khususnya buku foto yang menjadi subyek dari penulis yakni Tanah yang
31
Darius D. Himes and Mary Virginia Swanson, Publish Your Photography Book, h. 15. 32
Darius D. Himes and Mary Virginia Swanson, Publish Your Photography Book, h. 17.
54
Hilang karya Mamuk Ismuntoro ini. Bagi seorang pengamat buku foto dan co
founder dari The Jakarta Photobook yaitu Ridzki Noviansyah, buku foto adalah
sebuah karya fotografis yang berbentuk buku dan berisi nilai yang berupa ide
atau narasi dari fotografer. Buku foto juga terkadang memiliki nilai ekstrinsik
di mana desain, material, dan jumlah menambah nilai terhadap buku foto itu
sendiri.33
Terkait dengan apa yang Mamuk Ismuntoro buat, “Seperti layaknya buku
foto yang lain, saya rasa Tanah yang Hilang memiliki nilai ekstrinsik dan
intrinsik yang dapat diteliti. Selain itu bagaimana peran desain yang
mendukung foto-foto yang ada di dalam buku. Namun yang paling penting
adalah bagaimana Mamuk menggambarkan tentang tragedi soal tanah yang
cukup pelik di Indonesia,” ungkap Ridzki Noviansyah.
Rupanya peran desain buku dan tata letak foto begitu signifikan baginya,
selain isu pelik yang menjadi pokok pembahasan, dengan desain buku foto
Mamuk yang menyerupai akta tanah membantu pembaca memahami maksud
pembuatan buku foto, sebuah pesan tersirat bagi pembaca. Maka dari itu setiap
detilnya menjadi penting bagi sebuah buku foto dan orang-orang yang terlibat
dalam penggarapannya.
33
Wawancara melalui email dengan Ridzki Noviansyah, pengamat dan co founder
The Jakarta Photobook pada 15/07/18
55
BAB IV
TEMUAN DAN ANALISIS DATA
A. Analisis Data Foto I
Foto yang dibahas berikut ini adalah Seorang pria sedang berdoa di
makam keluarganya, di desa Besuki, Jabon, Sidoarjo. 2011. Berikut
tampilan foto yang akan dianalisa:
Gambar 1. Foto Pertama
Sumber: Buku Tanah yang Hilang Karya Mamuk Ismuntoro
1. Tahap Denotasi
Dalam foto pertama ini terdapat seorang pria yang mengenakan
kain sarung, kemeja batik, peci, dan sendal jepit, jongkok dengan tangan
menutupi wajah. Di sekeliling pria tersebut terdapat alang-alang dan
beberapa batu bertuliskan nama. Tepat di hadapannya terdapat sebuah
nisan yang tampak setengah terkubur. Terdapat alang-alang di bagian
56
depan foto sedangkan di belakang pria tersebut terdapat bagian makam
yang retak tidak beraturan.
2. Tahap Konotasi
a. Trick Effect
Rangkaian narasi visual yang berada dalam buku foto Tanah yang
Hilang karya Mamuk Ismuntoro ini menggunakan pendekatan
dokumenter. Dengan pendekatan tersebut setiap karya foto dokumenter
yang diciptakan tidak melalui proses manipulasi. Kejadian sebenar-
benarnya dan tidak dibuat-buat merupakan pedoman utamanya.
Hanya saja terdapat sedikit cropping di masing-masing sudut.
Penulis mendapatkan penjelasan dari fotografer melalui wawancara,
menurutnya, hasil akhir ini hampir tidak melakukan cropping, kalau
pun ada itu hanya sedikit sekali. Hal terpenting adalah hasil dari
cropping tidak mengurangi makna atau pesan dari foto tersebut.
b. Pose
Dalam foto pertama ini terlihat seorang pria berjongkok dengan
meletakan tangan di wajahnya. Gerakan berjongkok seperti ia ingin
merasa lebih dekat dengan makam keluarganya. Gerakan tangan
menutupi wajah seperti ia sedang berdoa. Pria tersebut menghadap ke
arah kiri, seperti mengingat akan masa lalunya dengan keluarga yang
telah pergi untuk selamanya.
c. Objek
Pria tersebut mengenakan penutup kepala yang biasa disebut
dengan songkok atau peci. Bagi masyarakat Indonesia, peci identik
57
dengan agama Islam. Mengenakan pakaian dengan motif batik
merupakan bagian dari budaya masyarakat Indonesia. Batik biasa
dikenakan pada momen-momen yang dirasa penting. Dari situ terlihat,
berkunjung ke makam merupakan hal yang penting bagi pria tersebut.
Penting dalam hal ini ialah mendoakan keluarga yang telah tiada dan
seolah-olah sebagai bentuk komunikasi keduanya.
Pria tersebut mengenakan sarung sebagai pengganti celana. Sarung
biasa digunakan oleh masyarakat Indonesia sebagai atribut sehari-hari
bahkan sarung juga sering digunakan dalam ritual keagamaan. Selain
digunakan untuk beribadah, benda yang hampir diproduksi oleh setiap
daerah di Indonesia ini juga memiliki fungsi berbeda-beda. Dapat
digunakan untuk padu padan baju tradisional, upacara adat, hingga
pesta pernikahan.1 Tetapi seringkali memang digunakan untuk
kegiatan keagamaan atau beribadah, datang ke makam kerabat dan
memanjatkan doa dengan setelan kemeja juga sarung. Tidak aneh
rasanya ketika melihat pria mengenakan sarung untuk sehari-hari atau
ritual keagamaan. Selain songkok dan sarung, yang terlihat dalam foto
adalah alas kaki berupa sendal jepit berbahan karet yang
menggambarkan kesederhanaan.
Di hadapan pria tersebut terdapat sebuah nisan dari makam
keluarganya. Nisan bertuliskan nama merupakan penanda adanya
makam. Alang-alang merupakan tumbuhan liar, hal itu menunjukan
bahwa makam yang ada di dalam foto tersebut seperti tidak terurus.
1 https://www.sarungbhs.co.id/post/article/sarung-tenun-kain-tradisi-yang-multifungsi
diakses pada 28/08/2018.
58
Berdasarkan keterangan Mamuk Ismuntoro selaku fotografer. Pria
dalam foto pertama ini bernama Zainul Arifin, seorang warga desa
Jabon yang berkunjung ke makam keluarganya di desa terdampak
lumpur.
d. Fotogenia
Tahap ini merupakan tahap di mana foto dibaca melalui teknis
pengambilan gambar, proses produksi sampai dengan jadi suatu
produk. Teknik tersebut meliputi pencahayaan dan penyuntingan, lalu
sudut pandang (angle), komposisi, efek gerak, efek diam, efek
kecepatan, efek kabur, dan hasil akhir tata letak atau desain. Dalam hal
ini desain pada buku foto.
Pada foto pertama ini pencahayaannya menggunakan cahaya
alami, tidak ada tambahan cahaya. Terlihat bahwa pria tersebut
mengunjungi makam keluarganya menjelang sore hari. Sudut
pandangnya sejajar antara fotografer dengan subyeknya sehingga
terlihat jelas apa yang dilakukan oleh subyek dalam foto. Dalam istilah
fotografi disebut dengan eye level. Efek yang digunakan adalah diam,
tidak ada pergerakan dalam foto pertama ini. Penulis melihat dengan
posisi seperti itu, pria tersebut tidak banyak bergerak karena sedang
memanjatkan doa dengan sungguh-sungguh.
Teknik yang digunakan ruang tajam sempit dengan memfokuskan
pada pria pembaca doa. Ada pun hal penguat dari rangkaian, tata letak
dan desain buku foto Tanah yang Hilang karya Mamuk Ismuntoro.
Dalam wawancara yang dilakukan dengan Edy Purnomo seorang
59
pengajar dan pengamat fotografi dari Pannafoto Institute, ia
mengatakan bahwa desain buku foto ini pun dikemas seperti sertifikat
tanah atau akta tanah, agar terasa dekat dengan masyarakat. Mamuk
selaku fotografer menyampaikan dalam wawancara, proses editing
hanya menggunakan photoshop. Tools yang digunakan seputar
penambahan atau pengurangan terang gelap, saturasi warna yang
dikurangi, kontras ditambahkan agar terlihat lebih gelap, dan pekat
warnanya. Hasil editing tersebut memberikan rasa muram, kelam, dan
ketegasan pada foto.
e. Estetisisme
Terdapat komposisi dalam penempatan pria dalam foto tersebut, ia
berada di posisi kanan dan diberikan ruang yang lebih luas pada sisi
kiri. Pemilihan komposisi 2/3 ruang lebih di sisi kiri untuk
menyertakan makam-makam yang ada di kiri atas foto, sebuah
penjelasan tempat. Terdapat latar depan (foreground) alang-alang yang
membentuk sebuah bingkai. Latar belakang (background) terdapat
makam dan alang-alang dan pohon-pohon yang tidak terurus. Jelas
yang menjadi point of interest-nya adalah Zainul Arifin sehingga yang
melihat foto langsung tertuju pada pria tersebut.
Penulis melihat latar depan seperti adanya sebuah batasan atau
belenggu terhadap apa yang sedang dihadapi. Pada latar belakang
menjelaskan lokasi dan keadaan sekitar makam tempat Zainul Arifin
memanjatkan doa di makam keluarganya. Namun terlihat bahwa
makam tersebut dan makam lainnya tidak terurus.
60
f. Sintaksis
Tahap ini merupakan pengamatan keseluruhan elemen dalam
sebuah karya. Foto biasa beriringan dengan teks, untuk memberikan
informasi tambahan. Dalam foto pertama ini fotografer menyertakan
teks singkat atau yang biasa disebut keterangan foto. Isi dari
keterangannya “Zainul Arifin berdoa di makam keluarganya di desa
Besuki, Jabon, Sidoarjo, 2011.”
Pada rangkaian dalam Buku Foto Tanah yang Hilang karya
Mamuk Ismuntoro, foto pertama menjadi foto pembuka untuk potret
keseharian. Penulis mencoba melihatnya sebagai pengantar pada
sebuah kisah kehilangan, rasa pilu, dan disertai dengan iringan doa
yang dipanjatkan pada makam keluarga. Sebagai pembuka arah
pembahasan pada foto-foto lanjutannya. Dari berbagai aspek yang
dijelaskan di atas, didapati makna konotasi dari foto pertama.
3. Tahap Mitos
Makam sebagai tempat peristirahatan terakhir terdapat di berbagai
daerah tanpa terkecuali. Salah satunya ada di desa terdampak Lumpur
Lapindo yaitu Desa Besuki, Jabon, Sidoarjo. Kawasan yang harus
dikosongkan segera, karena antisipasi luberan lumpur yang semakin
meluas.
Adapun makna mitos yang terbangun dari foto ini adalah akhir
pada sebuah kehidupan. Terdapat unsur keterpaksaan untuk pindah dari
desa yang disebabkan oleh tercemarnya air, dan lingkungan yang rusak.
61
Hadirnya Lumpur Lapindo menjadi akhir dari sebuah kehidupan yang
digambarkan dengan adanya makam dan manusia. Manusia sebagai
makhluk hidup yang dihadapkan dengan pemakaman, seperti bertemu
dengan titik penghujung, yaitu sebuah akhir atau kematian. Jika diuraikan
kembali ada seorang bapak yang mengunjungi makam dari sanak saudara.
Menghantarkan doa bagi yang telah lebih dahulu menghadap Sang
Pencipta. Seperti yang juga disampaikan Mamuk, ini gambaran seorang
warga yang masih mengunjungi makam keluarganya. Walau sebagian
makam telah dipindahkan oleh keluarganya ke tempat yang baru.
Keberadaan seorang warga dengan pakaian yang mengidentitaskan dirinya
sebagai seorang muslim dan Indonesia sekali.
Batik, sarung, peci dan cara tangannya menutup wajah, begitu
caranya menghajatkan permintaan kepada Sang Pencipta. Ini seperti
sebuah tanda dan doa perpisahan sebelum warga seutuhnya meninggalkan
Desa Besuki. Dalam konteks hak dan lingkungan, Raynaldo dari Indonesia
Center Environmental Law menyampaikan bahwa isi dari foto ini
menggambarkan permasalahan lingkungan dan pencemaran tidak hanya
tentang mendapatkan akses hidup yang sehat dan baik. Ada hal-hal yang
terenggut yaitu cultural right atau dapat dikatakan hak atas budaya yang
biasa dilakukan seperti datang mendoakan keluarga ke pemakaman.
Kasus Lumpur Lapindo ini bukan hanya menghilangkan tanah
kelahiran tetapi keterikatan sosial dan budaya antarwarga dan leluhur.
Dalam masyarakat Jawa, penghormatan akan leluhur merupakan sesuatu
62
yang penting dan cukup diagungkan.2 Contohnya setiap tahun mendekati
bulan Ramadan selalu melakukan ritual tabur bunga dan memanjatkan doa
bersama di makam keluarga dan leluhur. Namun ketika makam tersebut
tenggelam dan tidak tersisa lagi, ritual tersebut pun hilang. Kini warga
hanya dapat memanjatkan doa untuk para pendahulunya di tepi tanggul
Lumpur Lapindo.
B. Analisi Data Foto II
Foto yang dibahas berikut ini adalah taman pemakaman Islam yang
terendam oleh air di Desa Reno Kenongo, Sidoarjo. 2007. Berikut
tampilan foto yang akan dianalisa:
Gambar 2. Foto Kedua
Sumber: Buku Tanah yang Hilang Karya Mamuk Ismuntoro
2 http://korbanlumpur.info/2014/10/rekomendasi-penuntasan-permasalahan-lumpur-
lapindo-kepada-pemerintahan-baru/ diakses pada 08.00 WIB, 27/08/2018.
63
1. Tahap Denotasi
Dalam foto kedua ini terdapat bangunan berwarna putih yang
bertuliskan huruf Arab berwarna hijau. Foto tersebut ditampilkan menjadi
dua halaman. Bangunan tersebut merupakan bagian dari kompleks
pemakaman. Bangunan tersebut tampak terendam air. Di bagian belakang
bangunan terdapat pohon-pohon tanpa daun yang berjajar. Bagian kiri atas
bangunan tersebut terlihat sedikit hancur.
2. Tahap Konotasi
a. Trick Effect
Rangkaian narasi visual yang berada dalam buku foto Tanah yang
Hilang karya Mamuk Ismuntoro ini menggunakan pendekatan
dokumenter. Dengan pendekatan tersebut diketahui bahwa setiap karya
foto dokumenter yang diciptakan tidak melalui proses manipulasi.
Kejadian sebenar-benarnya dan tidak dibuat-buat merupakan pedoman
utamanya.
Hanya saja terdapat sedikit cropping di masing-masing sudut.
Penulis mendapatkan penjelasan dari fotografer melalui wawancara
yang dilakukan. Menurutnya hasil akhir ini hampir tidak melakukan
cropping, kalau pun ada, itu hanya sedikit sekali serta cropping yang
dihasilkan tidak mengurangi makna atau pesan dari foto tersebut.
b. Pose
Buku foto Tanah yang Hilang karya Mamuk Ismuntoro memiliki
dua genre yaitu lansekap dan potret keseharian manusia. Pada foto
kedua, ini merupakan lansekap sebuah kompleks pemakaman yang
64
terendam air dan ditumbuhi pohon-pohon. Namun, pohon-pohon
tersebut sudah tidak tampak lagi daun-daun yang menghiasi. Pada
tahap ini penulis mengaitkan pose pada keterwakilan unsur-unsur atau
objek dari foto dikarenakan tidak ada unsur manusia. Seperti pohon-
pohon yang mengering mewakilkan sebuah kemusnahan.
c. Objek
Pada tahap ini penulis melihat bangunan berwarna putih,
pepohonan, dan air yang merendam kedua elemen tersebut. Bangunan
putih bertuliskan huruf Arab berwarna hijau itu merupakan sebuah
gerbang masuk menuju kompleks pemakaman muslim yang ada di
Desa Reno Kenongo. Warna putih pada bangunan, ditambah dengan
adanya huruf Arab berwarna hijau dan bertuliskan Lailahaillallahu
muhammadurosullullah melambangkan sebuah kesucian.
Warna hijau sendiri identik dengan kehidupan dan Islam. Terdapat
esensi kesakralan, jika diartikan dalam bahasa Indonesia ialah tiada
Tuhan selain Allah dan Muhammad ialah utusan Allah, berkaitan
dengan keyakinan dan hubungan antara pencipta dan manusia. Selain
itu, terdapat pohon-pohon kamboja yang sudah mati berjajar dan
terendam air yang berasal dari semburan Lumpur Lapindo. Dalam foto
kedua ini bisa dilihat bahwa terdapat tiga hal yang saling menguatkan.
Pohon-pohon tersebut telah mati, gapura kompleks pemakaman mulai
berlumut dan kompleks pemakaman tersebut sudah tidak dapat
digunakan kembali akibat semburan Lumpur Lapindo.
65
d. Fotogenia
Pada tahap ini membaca foto seputar teknis pengambilan gambar,
proses produksi sampai dengan jadi suatu produk. Teknik tersebut
meliputi pecahayaan dan editing, lalu sudut pandang (angle),
komposisi, efek gerak, efek diam, efek kecepatan, efek kabur, dan hasil
akhir tata letak atau desain. Dalam hal ini desain pada buku foto.
Foto kedua pencahayaannya menggunakan cahaya alami, tidak ada
tambahan cahaya. Terlihat jelas foto ini diambil pada siang hari. Efek
yang digunakan adalah diam, karena tiga hal yang disebutkan tadi
tidak bergerak, hanya air yang tampak sedikit bergelombang. Ada pun
hal penguat dari rangkaian, tata letak dan desain buku foto Tanah yang
Hilang karya Mamuk Ismuntoro ini. Dalam wawancara yang
dilakukan dengan Edy Purnomo seorang pengajar dan pengamat
fotografi dari Pannafoto Institute. Ia mengatakan bahwa desain buku
foto ini pun dikemas seperti sertifikat tanah atau akta tanah, agar terasa
dekat dengan masyarakat.
Mamuk selaku fotografer menyampaikan dalam wawancara,
proses editing hanya menggunakan photoshop. Tools yang digunakan
seputar penambahan atau pengurangan terang gelap, saturasi warna
yang dikurangi, kontras ditambahkan agar terlihat lebih gelap, dan
pekat warnanya. Hasil penyuntingan tersebut memberikan rasa muram,
kelam, dan ketegasan pada foto.
66
e. Estetisisme
Format yang digunakan pada foto kedua ini horizontal. Komposisi
foto terdapat tiga tatanan atau tingkat dari bawah ke atas. Tampak
seperti berlapis, dari yang paling bawah terdapat genangan air, gapura
kompleks pemakaman, dan pohon-pohon kamboja yang sudah mati.
Dalam tahap ini, penulis melihat Mamuk membuat foto ini dalam porsi
yang sangat pas. Dengan dua halaman dijadikan satu, foto terlihat tidak
ada unsur lain yang ingin dipaparkan selain kompleks pemakaman
yang sudah tidak terlihat lagi makam-makamnya karena terendam air
dan pohon-pohon tidak lagi tumbuh, tetapi mengering dan mati.
f. Sintaksis
Pada rangkaian foto, ini salah satu yang memperkuat dengan gaya
lansekap tidak ada unsur manusia. Foto kedua penjelasan melalui teks
hanya tempat dan tahun pengambilan foto saja, Desa Reno Kenongo,
2007. Foto ini memberi nilai dan pesan yang berkaitan dengan
lingkungan, kehidupan, dan hubungan antara manusia dan Sang
Pencipta yang menjadi sisi pelengkap dari rangkaian foto keseharian
manusia di dalam buku foto Tanah yang Hilang karya Mamuk
Ismuntoro.
3. Tahap Mitos
Seperti yang disampaikan oleh Mamuk dalam wawancara, hilangnya
kehidupan digambarkan melalui makam yang tenggelam di Desa
Renokenongo. Ketenangan makluk hidup direnggut dengan kejadian hasil
67
tangan manusia. Lumpur Lapindo dan genangan air hujan mematikan
kehidupan di luar manusia yaitu ekosistem. Memberi dampak, merusak dan
menghentikan berbagai aspek.
Sewajarnya kompleks pemakaman menjadi tempat peristirahatan terakhir
ketika manusia telah wafat. Tidak lagi terlihat adanya kesunyian dan
ketenangan seperti kompleks pemakaman lainnya. Pohon yang berperan
sebagai bagian dari ekosistem kini telah mati bukan akibat musim.
Lokasi tersebut tampak seperti sebuah artefak, pajangan atas hasil
kekeliruan tangan manusia. Makna mitos yang terbangun dalam foto ini
adalah kehidupan yang benar-benar hilang, kompleks pemakaman yang
tidak lagi terlihat karena terendam dan rusaknya ekosistem. Pohon-pohon
kering sama dengan kematian. Kemudian bahasa Arab yang tertera
merepresentasikan Tuhan, bahwa Tuhan berkuasa atas segala sesuatu.
Termasuk mendatangkan dan memberikan kehidupan maupun kemusnahan.
Gambar ini ingin mempertegas mitos cobaan berupa tragedi ataupun
bencana itu dari Tuhan datangnya. Tetapi tidak dipungkiri juga bahwa
bencana banyak datang diciptakan oleh tangan-tangan manusia.
Dalam hal ini terdapat sebuah pelanggaran atas hak lingkungan hidup
yang tercatat dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup.3 Hak atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat telah terenggut. Adapun pemberlakuan sanksi pidana kepada para
perusak lingkungan. Namun, pada akhirnya pasal-pasal mengenai ketentuan
pidananya hanya menjadi secarik kertas yang tidak ada maknanya. Ketika
3 Wacana Ham edisi 3 tahun 2013 bagian wacana utama. Hal 5.
68
perihal ini dihadapkan kepada para pemilik modal yang didukung oleh
pihak penguasa.4
C. Analisis Data Foto III
Foto yang dibahas berikut ini adalah Seorang pria berumur 50 tahun,
warga desa Reno Kenongo, Porong, Sidoarjo, berjalan di rerutuhan
desanya yang tergenang air untuk mencari batu bata bekas. 2007. Berikut
tampilan foto yang akan dianalisa:
Gambar 3. Foto Ketiga
Sumber: Buku Tanah yang Hilang Karya Mamuk Ismuntoro
1. Tahap Denotasi
Dalam foto ini terdapat seorang pria berkumis mengenakan topi
menghadap ke arah kiri. Kedua tangan pria tersebut berpegangan pada
papan bambu dengan posisi badan setengah terendam air. Di belakang pria
4 Wacana Ham edisi 3 tahun 2013. Hal 5
69
tersebut terdapat bangunan-bangunan tidak utuh dan pohon-pohon yang
sudah tidak ada lagi daunnya. Terlihat juga awan yang sedikit gelap.
2. Tahap Konotasi
a. Trick Effect
Dalam foto ketiga juga tidak menggunakan trick effect. Tidak
merubah sama sekali keaslian foto saat diambil dengan kamera. Satu
elemen pun tidak ada yang dihilangkan atau ditambahkan. Rangkaian
narasi visual yang berada dalam buku foto Tanah yang Hilang karya
Mamuk Ismuntoro ini menggunakan pendekatan dokumenter. Dengan
pendekatan tersebut diketahui bahwa setiap karya foto dokumenter
yang diciptakan tidak melalui proses manipulasi. Kejadian sebenar-
benarnya dan tidak dibuat-buat merupakan pedoman utamanya.
Jadi apa yang terdapat dalam foto merupakan kejadian sebenar-
benarnya dan tanpa rekayasa. Hanya saja terdapat sedikit cropping di
masing-masing sudut. Penulis mendapatkan penjelasan dari fotografer
melalui wawancara yang dilakukan. Menurutnya hasil akhir ini hampir
tidak melakukan cropping, kalau pun ada itu hanya sedikit sekali. Hal
terpenting adalah cropping yang dihasilkan tidak mengurangi makna
atau pesan dari foto tersebut.
b. Pose
Sikap tubuh atau gestur dalam foto ketiga terlihat seorang pria
berkumis bernama Nasir yang sedang berjalan di antara reruntuhan
desanya yang tergenang air. Nasir menghadap ke arah kiri dengan
70
tangan berpegangang pada sampan yang terbuat dari bambu. Arah
kepala Nasir yang menghadap ke kiri seakan sedang mengingat masa
lalu. Mengingat berbagai kenangan dan sejarah masa lalunya di desa
sebelum terdampak tragedi Lumpur Lapindo. Tangan memegang
papan bambu, penulis memaknainya seperti orang yang sedang
bingung untuk menggantungkan hidupnya. Dengan latar belakangnya
rumah-rumah yang sudah runtuh, pohon-pohon yang sudah mati dan
awan mendung, terasa begitu suram.
c. Objek
Ada beberapa objek dalam foto ketiga ini, yaitu dengan point of
interest seorang pria berkumis yang memakai topi dan menghadap ke
arah kiri sambil berpegangan pada papan. Lalu, ada pohon-pohon mati,
rumah-rumah yang sudah tidak utuh lagi dan air yang merendam
semua objek. Berbagai objek yang ada di dalam foto tersebut saling
berkaitan atau memperkuat makna dan pesan.
Objek-objek tersebut secara keseluruhan menggambarkan seorang
korban Lumpur Lapindo sedang kembali ke desa untuk melihat,
mengingat keadaan desa yang telah rusak. Dipertegas dengan paparan
fotografer bahwa Nasir berjalan mengelilingi desa untuk megumpulkan
puing atau batu bata yang masih tersisa walau sudah terendam air. Air
yang merendam seluruh desa juga salah satu unsur yang mematikan
roda kehidupan di desa tersebut.
71
d. Fotogenia
Pada tahap ini membaca foto seputar teknis pengambilan gambar,
proses produksi sampai menjadi suatu produk. Teknik tersebut
meliputi pecahayaan dan editing, lalu sudut pandang (angle),
komposisi, efek gerak, efek diam, efek kecepatan, efek kabur, dan hasil
akhir tata letak atau desain. Pada foto ketiga ini pencahayaannya tetap
menggunakan cahaya alami, berasal dari matahari. Efek yang
digunakan adalah diam walaupun ada unsur manusia tetapi fotografer
memilih untuk membuat objek menjadi diam. Fotografer menerapkan
sudut pandang sesuai posisi mata hanya saja posisi dia berada lebih
tinggi daripada objek utama. Ada pun hal penguat dari rangkaian, tata
letak dan desain buku foto Tanah yang Hilang karya Mamuk
Ismuntoro ini.
Dalam wawancara yang dilakukan dengan Edy Purnomo seorang
pengajar dan pengamat fotografi dari Pannafoto Institute. Ia
mengatakan bahwa desain buku foto ini sengaja dikemas seperti
sertifikat tanah atau akta tanah, agar terasa dekat dengan masyarakat.
Mamuk selaku fotografer menyampaikan dalam wawancara, proses
editing hanya menggunakan photoshop. Tools yang digunakan seputar
penambahan atau pengurangan terang gelap, saturasi warna yang
dikurangi, kontras ditambahkan agar terlihat lebih gelap, dan pekat
warnanya. Hasil editing tersebut memberikan rasa muram, kelam, dan
ketegasan pada foto.
72
e. Estetisisme
Dalam foto ketiga ini komposisi subyek utama yaitu Nasir ada di
tengah depan. Kanan kirinya bagian atas ada rumah-rumah yang sudah
tidak utuh dan pohon-pohon yang sudah mati. Penempatannya begitu
pas, jika menggunakan cara melihat dari teori Gestalt yang
disampaikan Edy Purnomo pada kelas Visual Literasi. Terdapat garis
perspektif dari sisi pundak kanan dan kiri subyek utama. Dengan
menggunakan prinsip Gestalt yaitu continuity arah yang dituju dari
kedua sisi itu ialah pepohonan dan rumah, yang memang memiliki
keterkaitan dengan subyek utama.5
Komposisi ini menggambarkan memang subyek utamanya adalah
pria berkumis dan mengenakan topi bernama Nasir. Ia merupakan
warga dari Desa Reno Kenongo, desa yang dulu ia tinggali dan
terdapat kehidupan, namun kini sudah mati dan rusak karena semburan
Lumpur Lapindo.
f. Sintaksis
Pada tahap ini pengamatan dilakukan pada keseluruhan elemen
dalam penyajian sebuah karya. Ini merupakan salah satu dari dua genre
yang diusung Mamuk di dalam buku fotonya, yakni daily life. Dalam
foto ketiga ini teks atau keterangan foto tidak hanya menyebutkan
lokasi. Tertera, Nasir, 50, warga Desa Reno Kenongo, Porong,
Sidoarjo, berjalan di reruntuhan desanya yang tergenang air untuk
mencari batu bata bekas, 2007.6 Dapat disimpulkan pada foto ketiga ini
5 Edy Purnomo, Makalah Kelas Fotografi Visual Literacy, Jakarta, 2018.
6 Mamuk Ismuntoro, Tanah yang Hilang, Jakarta, PannaFoto Institute, 2014.
73
menggambarkan sedang terjadi sesuatu yang besar terhadap manusia,
yang diwakilkan oleh Nasir pada foto tersebut. Sebagai korban atas
kelalaian manusia lainnya. Ia kehilangan tempat tinggal dan masa lalu,
juga kenangannya selama menjadi warga Desa Reno Kenongo.
3. Tahap Mitos
Dalam foto ketiga, seorang warga terdampak. Latar belakang
tersebut adalah kampung halamannya, tempat ia tinggal dahulu. Pasca
desanya tenggelam ia kehilangan mata pencahariannya dari bertani. Kini
yang dilakukannya adalah mencari batu bata bekas dari rumah-rumah yang
telah ditinggalkan oleh warga. Batu bata tersebut dijual ke pengepul dan
menjadi sumber pendapatannya.7
Mitos yang terbangun dari foto ketiga ini adalah hilangnya sebuah
harapan. Keputusasaan yang dilatarbelakangi oleh kemusnahan dan
kematian. Rumah-rumah tidak utuh hanya tersisa tembok, pohon-pohon
mati. Air hujan yang menggenang juga melambangkan sebuah bencana.
Keputusasaan digambarkan dari arah melihat dan cara tangannya
menggantung. Adanya permasalahan mengenai hilangnya kehidupan dan
penghidupan warga terdampak, yang memang tidak mendapatkan jaminan
atas pekerjaan oleh pihak PT Lapindo Brantas. Dahulu ia bertani karena
terdapat ladang dan sawah yang luas, namun setelah terendam lumpur
semua hilang tak bersisa. Ini menjadi permasalahan yang kurang perhatian.
7 Wawancara dengan Mamuk Ismuntoro pada 01/08/2018.
74
Pelanggaran yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas adalah
menghilangkan mata pencaharian masyarakat terdampak atas kejadian
luapan lumpur. Terdapat undang-undang yang menjadi pelindung bagi
para petani khususnya, karena subyek foto ini merupakan seorang petani.
Perlu rasanya membahas UU Nomor 19 Tahun 2013 tentang perlindungan
pemberdayaan petani.8 Undang-undang tersebut memberikan jaminan
perlindungan dengan berbagai upaya yang dimiliki untuk membantu petani
dalam menghadapi permasalahan kesulitan mendapatkan sarana dan
prasarana produksi, kepastian usaha, risiko harga, kegagalan panen,
praktik ekonomi biaya tinggi dan perubahan iklim. Maka dari itu
sebenarnya apa yang telah terjadi kepada para petani di Desa
Renokenongo, mereka membutuhkan perlindungan dan pemberdayaan
secara terarah.
Jika ditarik kembali secara umum di sektor ekonomi dan tenaga
kerja didapat dari website korbanlumpur.info mulai dari usaha mikro,
kecil dan menengah di Sidoarjo mati seketika. Di dekat pusat eksplorasi
gas yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas Brantas, berdiri 24 pabrik.
Lalu ribuan pekerja di sektor informal dan nonformal seperti industri
rumah tangga, pedagang kecil, petani, tambak ikan dan lain sebagainya
harus kehilangan pekerjaan mereka karena hilangnya sarana dan
prasarana.9
8 http://referensi.elsam.or.id/2014/10/uu-nomor-19-tahun-2013-tentang-perlindungan-
pemberdayaan-petani/ diakses pada 19.10 WIB, 23/08/2018. 9 http://korbanlumpur.info/2014/10/rekomendasi-penuntasan-permasalahan-lumpur-
lapindo-kepada-pemerintahan-baru/ diakses pada 20.00 WIB, 23/08/2018.
75
D. Analisis Data Foto IV
Foto yang dibahas berikut ini adalah sebuah desa yang terendam oleh
lumpur Lapindo. Tampak terlihat dan tersisa hanya atap-atap rumah dan
pepohonan kering. Desa Siring, Sidoarjo. 2007. Berikut tampilan foto
yang akan dianalisa:
Gambar 4. Foto Keempat
Sumber: Buku Tanah yang Hilang Karya Mamuk Ismuntoro
1. Tahap Denotasi
Foto yang dimuat dalam dua halaman ini terdapat lumpur
berwarna abu-abu pekat yang mengubur hampir seluruh bagian rumah.
Lumpur tersebut membuat rumah terlihat hanya pada bagian atap. Awan
gelap terlihat di bagian atas foto. Tiang dan pohon-pohon tanpa daun
terlihat di antara rumah-rumah yang terkubur. Di sisi kiri foto terdapat
tanah yang lebih tinggi dari lumpur dan atap rumah.
76
2. Tahap Konotasi
a. Trick Effect
Dalam foto keempat juga tidak menggunakan trick effect. Tidak
merubah sama sekali keaslian foto saat diambil dengan kamera.
Elemen satu pun tidak ada yang dihilangkan atau ditambahkan.
Rangkaian narasi visual yang berada dalam buku foto Tanah yang
Hilang karya Mamuk Ismuntoro ini menggunakan pendekatan
dokumenter. Dengan pendekatan tersebut dapat dipastikan bahwa
setiap karya foto dokumenter yang diciptakan tidak melalui proses
manipulasi. Kejadian sebenar-benarnya dan tidak dibuat-buat
merupakan pedoman utamanya.
Jadi apa yang terdapat dalam foto merupakan kejadian sebenar-
benarnya dan tanpa rekayasa. Hanya saja terdapat sedikit cropping di
masing-masing sudut. Penulis mendapatkan penjelasan dari fotografer
melalui wawancara yang dilakukan. Menurutnya hasil akhir ini hampir
tidak melakukan cropping, kalau pun ada itu hanya sedikit sekali. Hal
terpenting adalah hasil dari cropping tidak mengurangi makna atau
pesan foto tersebut.
b. Pose
Buku foto Tanah yang Hilang karya Mamuk Ismuntoro memiliki
dua genre yaitu lansekap dan potret keseharian manusia. Foto keempat
merupakan lansekap Desa Siring yang telah mati karena terdampak
Lumpur Lapindo. Melalui foto terlihat bahwa yang tertingal hanya
penampakan atap rumah, pohon-pohon tidak berdaun, dan tiang listrik.
77
Pada tahap ini penulis mengaitkan pose pada keterwakilan unsur-unsur
atau objek dari foto dikarenakan tidak ada unsur manusia. Gesture
yang dapat penulis sampaikan ialah betapa tidak ada lagi kehidupan,
semua mati dan musnah terkubur oleh lumpur.
c. Objek
Terdapat beragam objek dalam foto keempat ini, yaitu lumpur
berwarna abu-abu, awan gelap, rumah-rumah yang hanya terlihat
atapnya, pohon-pohon tidak berdaun, tiang listrik, dan tanggul dari
tanah berada di sisi paling kiri foto. Dari keseluruhan objek, yang
paling terlihat dan menjadi point of interest bagi penulis ialah atap
rumah berjajar. Berjajar atap-atap rumah dari yang tampak sudah
kusam, sampai yang bagian sedikit atas terlihat lebih baru. Objek-
objek dalam foto keempat merupakan gambaran sebuah tragedi besar.
Pengaruh besar atas tragedi yang dibuat oleh ulah manusia selain dari
warga desa tersebut.
Semua objek dan berbagai elemen yang ada nampak jelas terkubur
oleh lumpur berwarna abu-abu pekat. Hilang sudah berbagai kenangan,
sejarah, kehidupan bermasyarakat. Tanggul di situ sebagai salah satu
cara yang dikerahkan untuk menahan aliran lumpur yang berasal dari
pusat semburan Lumpur Lapindo.
d. Fotogenia
Tahap ini yakni membaca foto seputar teknis pengambilan gambar,
proses produksi sampai dengan jadi suatu produk. Teknik tersebut
meliputi pencahayaan dan editing, lalu sudut pandang (angle),
78
komposisi, efek gerak, efek diam, efek kecepatan, efek kabur, dan hasil
akhir tata letak atau desain. Pada foto keempat ini pencahayaannya
tetap menggunakan cahaya alami, berasal dari matahari. Efek yang
digunakan adalah diam. Fotografer menerapkan sudut pandang sesuai
posisi mata hanya saja posisi dia berada lebih tinggi daripada objek
utama. Ada pun hal penguat dari rangkaian, tata letak dan desain buku
foto Tanah yang Hilang karya Mamuk Ismuntoro ini.
Dalam wawancara yang dilakukan dengan Edy Purnomo seorang
pengajar dan pengamat fotografi dari Pannafoto Institute, ia
mengatakan bahwa desain buku foto ini sengaja dikemas seperti
sertifikat tanah atau akta tanah, agar terasa dekat dengan masyarakat.
Mamuk selaku fotografer menyampaikan dalam wawancara, proses
editing hanya menggunakan photoshop. Tools yang digunakan seputar
penambahan atau pengurangan terang gelap, saturasi warna yang
dikurangi, kontras ditambahkan agar terlihat lebih gelap, dan pekat
warnanya.
Warna awan juga sedikit dibuat lebih tegas warna abu-abunya
dengan dikuranginya highlight. Dari awan yang mendung
menggambarkan kelabu tidak secerah biasanya, ada kesedihan. Hasil
editing tersebut memberikan rasa muram, kelam, dan ketegasan pada
foto.
79
e. Estetisisme
Dalam foto keempat, komposisi yang diterapkan ialah pola lapis.
Terbagi menjadi tiga lapis atau bagian, ada lumpur di bagian bawah
foto, lalu atap-atap, pohon-pohon, tiang listrik, dan tanggul di bagian
tengah. Lalu, di lapisan bagian atas terdapat awan mendung
menampakan kekelaman bagi penulis. Memberi makna ada penyebab
dan akibat. Penyebabnya berasal dari yang paling bawah dan dapat
diartikan sebagai sebuah dasar.
Dalam hal ini, lumpur merupakan penyebab dasarnya.
Mengakibatkan sebuah desa yang dulunya terdapat sebuah kehidupan
menjadi mati dan tidak ada lagi, sunyi, sepi, dan kelabu. Fotografer
bertutur juga dalam komposisi yang dibuatnya. Sebuah lansekap yang
menjelaskan bagian drama atau cerita tragedi Lumpur Lapindo. Visual
tidak lagi bungkam.
f. Sintaksis
Tahap ini merupakan pengamatan pada keseluruhan elemen dalam
penyajian sebuah karya. Ini merupakan salah satu dari dua genre yang
diusung Mamuk di dalam buku fotonya, yaitu lansekap. Dalam foto
keempat ini teks atau keterangan foto hanya menyebut lokasi dan
tahun, tertera, Desa Siring, 2007.10
Dapat disimpulkan pada foto ini
sedang terjadi sesuatu yang besar terhadap lingkungan dan tempat
tinggal manusia, yang diwakilkan dengan adanya rumah-rumah yang
menyisakan atap karena terkubur oleh lumpur.
10
Mamuk Ismuntoro, Tanah yang Hilang, Jakarta, PannaFoto Institute, 2014.
80
Pepohonan yang sudah mati, tiang-tiang listrik, dan tanggul dari
tanah. Sebuah kehilangan yang disebabkan oleh manusia lainnya.
Kehilangan tempat tinggal dan masa lalu, juga kenangannya selama
menjadi warga Desa Siring. Desa siring kini sudah mati. Peletakan foto
keempat ini dalam buku, terdapat di bagian tengah. Penulis melihat ini
sebagai salah satu pemaparan yang begitu gamblang. Mewakili unsur
hak tinggal yang terbengkalai dan ingin disampaikan oleh fotografer.
3. Tahap Mitos
Dalam foto keempat ini terlihat jelas rumah-rumah yang tenggelam
oleh lumpur. Tersisa hanya atap, ujung tiang listrik, dan pohon-pohon
yang telah mati. Mitos yang terbangun dari foto ini adalah terkuburnya
kehidupan manusia, hilangnya sebuah peradaban. Bagi Mamuk ini
gambaran kehidupan yang tercerabut, tanah kelahiran yang hilang.11
Selain itu pada foto tersebut menjelaskan bahwa korban-korban luapan
lumpur Lapindo kehilangan tempat tinggalnya tanpa persiapan apapun
yang tiba-tiba terkubur oleh lumpur. Korban atau masyarakat terdampak
secara langsung ini benar-benar kehilangan semuanya, mereka hanya
mampu menyelamatkan nyawanya saja.
Lumpur Lapindo telah mematikan segalanya, tidak ada lagi
keriuhan bertetangga antarwarga, ingatan masa lalu yang ikut terkubur
oleh lumpur. Sudah sangat jelas rumah-rumah di Desa Siring tidak dapat
lagi dihuni, lalu bagaimana warga, kemana mereka berlindung dan
tinggal?
11
Wawancara dengan Mamuk Ismuntoro pada 01/08/2018.
81
PT Lapindo Brantas membagi informasi tanggungan mereka untuk
mengganti rugi kepada masyarakat terdampak. Melalui situs resminya
mereka mengunggah laporan LUSI di tahun 2014. Dalam laporannya
mereka menyertakan PT Lapindo Brantas mengambil alih berbagai
tanggung jawab dan salah satunya adalah pembelian tanah dan bangunan
dari masyarakat yang terkena dampak Lumpur Lapindo. Mereka
menawarkan dua skema agar pemukiman kembali, yang pertama
penyediaan pemukiman baru di Kahuripan Nirvana Village (KNV) yang
juga masih aset properti dari Bakrie Group. Skema kedua pembayaran
dalam bentuk cicilan sebesar Rp 15.000.000 perbulan tanpa bermukim di
KNV.12
Dari kedua skema tersebut masyarakat terdampak tidak cukup puas
dengan cara yang dibuat oleh pihak PT Lapindo Brantas, ini sama halnya
seperti proses jual beli, bukan lagi proses ganti rugi dan pengembalian
hak-hak yang telah terenggut. Dalam hal ini yang telah terenggut adalah
hak atas tempat tinggal yang layak, seperti yang tercatat di Pasal 27 Ayat 2
UUD 1945 sebagai warga negara kita memiliki hak untuk mendapatkan
penghidupan yang layak.13
Setiap warga negara berhak untuk hidup secara
layak di Indonesia dan mengusahakan suatu usaha untuk mencapai tujuan
tersebut.
12
http://lapindo-brantas.co.id/ diakses pada 08/06/2018. 13
http://guruppkn.com/hak-dan-kewajiban-warga-negara-dalam-uud-1945 diakses pada
24/08/2018.
82
E. Analisis Data Foto V
Foto yang dibahas berikut ini adalah bekas ruang kelas Sekolah Dasar
Pejarakan, desa Pejarakan, Kecamatan Jabon, Sidoarjo. 2012. Berikut
tampilan foto yang akan dianalisa:
Gambar 5. Foto Kelima
Sumber: Buku Tanah yang Hilang Karya Mamuk Ismuntoro
1. Tahap Denotasi
Dalam foto ini terdapat pajangan yang menggantung di tembok.
Pajangan tersebut berbentuk seperti burung bertuliskan Bhinneka Tunggal
Ika. Terdapat kain dan karet gelang yang menutupi pajangan. Selain itu di
bawah pajangan terdapat meja kayu, yang di atasnya terdapat sendok,
gelas, baskom, botol minum, piring, dan kantong plastik.
83
2. Tahap Konotasi
a. Trick Effect
Dalam foto kelima juga tidak menggunakan trick effect. Tidak
merubah sama sekali keaslian foto saat diambil dengan kamera. Satu
pun elemen tidak ada yang dihilangkan atau ditambahkan. Rangkain
narasi visual yang berada dalam buku foto Tanah yang Hilang karya
Mamuk Ismuntoro ini menggunakan pendekatan dokumenter. Dengan
pendekatan tersebut dapat dipastikan bahwa setiap karya foto
dokumenter yang diciptakan tidak melalui proses manipulasi. Kejadian
sebenar-benarnya dan tidak dibuat-buat merupakan pedoman
utamanya.
Jadi apa yang terdapat dalam foto merupakan kejadian sebenar-
benarnya dan tanpa rekayasa. Hanya saja terdapat sedikit cropping di
masing-masing sudut. Penulis mendapatkan penjelasan dari fotografer
melalui wawancara yang dilakukan. Menurutnya hasil akhir ini hampir
tidak melakukan cropping, kalau pun ada itu hanya sedikit sekali. Hal
terpenting adalah cropping yang dihasilkan tidak mengurangi makna
atau pesan dari foto tersebut.
b. Pose
Buku foto Tanah yang Hilang karya Mamuk Ismuntoro memiliki
dua genre yaitu lansekap dan potret keseharian manusia. Pada foto
kelima, ini merupakan bagian daripada kehidupan sehari-hari. Namun,
memang tidak ada unsur manusia sama sekali dalam foto kelima ini.
Pada tahap ini penulis mengaitkan pose pada keterwakilan unsur-unsur
84
atau objek dari foto dikarenakan tidak ada unsur manusia. Berada di
dalam sebuah kelas yang telah dialihfungsikan menjadi tempat tinggal.
Sekolah tersebut telah terbengkalai tidak digunakan lagi pasca
ditinggalkan karena terdampak lumpur.14
c. Objek
Dalam foto kelima ini, terdapat beragam objek. Ada pajangan
berupa patung Garuda Pancasila, kain yang menutupi sebagian patung,
karet gelang yang menggantung, lalu ada peralatan dapur dan makan
yang diletakan di atas meja belajar kelas. Namun, yang cukup menjadi
point of interest-nya adalah pajangan menggantung. Pajangan tersebut
merupakan lambang negara yaitu Garuda Pancasila. Lambang negara
tersebut ditutupi kain dan dijadikan tempat untuk menggantungkan
karet gelang. Selain itu meja kelas dialihfungsikan menjadi meja untuk
meletakan peralatan makan dan dapur. Pada keterangan foto dikatakan
tempat tersebut ialah bekas kelas dari Sekolah Dasar Pejarakan yang
dijadikan tempat tinggal oleh sebuah keluarga.
Jadi foto ini menggambarkan sebuah ruang kelas yang telah
dialihfungsikan menjadi tempat tinggal sementara karena sudah tidak
digunakan lagi sekolahnya pasca terdampak Lumpur Lapindo. Garuda
Pancasila tidak lagi menjadi suatu hal yang dijunjung tinggi. Kain
tersebut menutupi sebagian simbol-simbol pancasila, seakan keluarga
yang menempati kelas itu tidak lagi peduli dan percaya terhadap
14
Wawancara dengan Mamuk Ismuntoro pada 01/08/2018.
85
negara. Penulis melihat ada sebuah kekeliruan peletakan yang
dilakukan oleh penghuni.
d. Fotogenia
Pada tahap ini membaca foto seputar teknis pengambilan gambar,
proses produksi sampai dengan menjadi suatu produk. Teknik tersebut
meliputi pecahayaan dan editing, lalu sudut pandang (angle),
komposisi, efek gerak, efek diam, efek kecepatan, efek kabur, dan hasil
akhir tata letak atau desain. Foto kelima pencahayaannya tetap
menggunakan cahaya alami, berasal dari matahari. Terlihat dari
bayangan yang dihasilkan cahaya masuk berasal dari jendela sebelah
kiri. Efek yang digunakan adalah diam.
Fotografer menerapkan sudut pandang sesuai posisi matanya atau
dalam istilah fotografi ialah eye level. Ada pun hal penguat dari
rangkaian, tata letak dan desain buku foto Tanah yang Hilang karya
Mamuk Ismuntoro ini. Dalam wawancara yang dilakukan dengan Edy
Purnomo seorang pengajar dan pengamat fotografi dari Pannafoto
Institute. Ia mengatakan bahwa desain buku foto ini sengaja dikemas
seperti sertifikat tanah atau akta tanah, agar terasa dekat dengan
masyarakat.
Mamuk selaku fotografer menyampaikan dalam wawancara,
proses editing hanya menggunakan photoshop. Tools yang digunakan
seputar penambahan atau pengurangan terang gelap, saturasi warna
yang dikurangi, kontras ditambahkan agar terlihat lebih gelap, dan
pekat warnanya. Dengan penggunaan cahaya alami yang masuk dari
86
jendela memberikan kesan dramatis. Perpaduan antara cahaya yang
masuk dan bayangan yang dihasilkan dari objek-objek yang ada.
e. Estetisisme
Format yang digunakan pada foto kelima ini ialah horizontal.
Komposisinya dipusatkan di tengah-tengah. Terdapat dua tatanan atau
tingkat dari bawah ke atas. Tampak seperti berlapis, dari yang paling
bawah terlihat meja yang di atasnya berisikan peralatan dapur dan alat
makan. Lalu, di bagian tengah atas terdapat pajangan berupa patung
Garuda Pancasila yang setengah tertutup oleh kain berwarna biru
pudar. Dalam tahap ini, penulis melihat Mamuk membuat foto ini
dalam porsi yang tepat.
Jika menggunakan cara melihat dari teori Gestalt yang
disampaikan Edy Purnomo pada kelas Visual Literasi. Terdapat arah
garis yang membentuk segitiga. Garis tersebut terbentuk dari meja
dengan garis horizontal, lalu dari dua sisi meja menarik garis vertikal
meyerong ke arah Garuda Pancasila.15
Jadilah sebuah bentuk segitiga.
Dari garis tersebut membuat objek-objek yang berada dalam foto
menjadi berkesinambungan. Ini dapat menjadi acuan untuk membuat
sebuah pemaknaan.
Ada sebuah ketidakwajaran ketika meja kelas diisi dengan
peralatan makan dan dapur. Lalu, disandingkan dengan kain menutupi
sebagian lambang negara yang dijunjung tinggi oleh masyarakat
Indonesia. Seakan tidak ada lagi Bhinneka Tunggal Ika.
15
Edy Purnomo, Makalah Kelas Fotografi Visual Literacy.
87
f. Sintaksis
Tahap ini merupakan pengamatan keseluruhan elemen dalam
penyajian sebuah karya. Ini merupakan salah satu dari dua genre yang
diusung Mamuk di dalam buku fotonya, yaitu daily life. Dalam foto
kelima ini dilengkapi dengan teks atau keterangan foto tidak hanya
lokasi. Tertera, Bekas ruang kelas SD Pejarakan desa Pejarakan,
Kecamatan Jabon, 2012.16
Dapat disimpulkan foto kelima ini
menggambarkan bahwa terjadi perubahan fungsi sebuah kelas dari
sekolah dasar yang terjadi akibat luapan Lumpur Lapindo. Lalu
lambang negara Garuda Pancasila tidak lagi menjadi sesuatu yang
dijunjung tinggi oleh sebagian orang.
3. Tahap Mitos
Dalam foto kelima terdapat patung garuda yang merupakan
lambang negara Indonesia. Patung tersebut ditutupi oleh kain dan sebagai
tempat untuk menggantungkan karet-karet bekas. Makna mitos yang
terbangun dalam foto ini adalah terenggutnya sebuah keadilan, hilangnya
peran negara dan suramnya kehidupan.
Ruang kelas di sebuah sekolah yang beralih fungsi menjadi tempat
tinggal seorang pengungsi dan keluarga. Kesejahteraan pun turut terserak
tergambarkan dengan meja kelas dijadikan tempat untuk peralatan dapur
dan makan. Warga diambang kemusnahan karena tidak ada lagi keadilan,
16
Mamuk Ismuntoro, Tanah yang Hilang, Jakarta, PannaFoto Institute, 2014.
88
bagaimana menanggung untuk keberlangsungan hidup. Negara tidak lagi
ambil peran dalam permasalahan yang begitu kompleks ini.
Lambang dari pancasila juga tertutup oleh kain, seperti yang
disampaikan oleh Raynaldo dari ICEL hampir kelima sila tertutup oleh
kain dan di sila kelima yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Namun melalui berbagai elemen yang ada baginya dalam foto tersebut
menggambarkan tidak adanya keadilan sosial. Jika disampaikan kembali
cerita di balik foto tersebut Mamuk menyampaikan dalam wawancara,
“Saya memasuki sebuah sekolah dasar yang terbengkalai. Beberapa menit
berkeliling motret, rupanya ada penghuni di salah satu ruang kelas. Bekas
ruang kelas dijadikan tempat tinggal olehnya. Penghuni tersebut
dipersilahkan oleh pengurus sekolah untuk menjaga sekolah pasca
ditinggalkan karena terdampak oleh Lumpur Lapindo.”
Di belakang sekolah tersebut adalah kolam penampungan lumpur
raksasa.”17
Penulis sepakat dengan apa yang Mamuk sampaikan melalui
foto ini, bahwa ada hal yang terlupakan oleh negara. Tanggung jawab atas
pendidikan dasar negara yang tidak sampai pada masyarakat. Berawal dari
negara yang abai terhadap warga, lalu berbalik warga turut abai terhadap
kehadiran dan keberadaan negara sebagai pelindung dan pemersatu.
Gambaran sebuah kealpaan, abai, keputusasaan, dan dampak lingkungan
yang tidak lagi bersahabat kepada para warga terdampak atau korban
luapan lumpur Lapindo.
17
Wawancara dengan Mamuk Ismuntoro pada 01/08/2018
89
F. Analisis Data Foto VI
Foto yang dibahas berikut ini adalah Seorang mempelai wanita berumur
19 tahun, berada di kamarnya di pengungsian Pasar Baru Porong, usai
dirias untuk persiapan pesta pernikahan. 2008. Berikut tampilan foto yang
akan dianalisa:
Gambar 6. Foto Keenam
Sumber: Buku Tanah yang Hilang Karya Mamuk Ismuntoro
1. Tahap Denotasi
Dalam foto ini tampak seorang perempuan di sebuah ruangan
berfondasi kayu dengan dinding kain. Perempuan yang mengenakan gaun
putih tersebut duduk di atas kursi plastik. Di tangannya menggenggam
bunga buatan berwarna merah, kuning, hijau, dan ungu. Perempuan
tersebut berdandan, mengenakan perhiasan dan bersanggul. Di atas sisi kiri
kepala perempuan tersebut terdapat kelambu bermotif bunga, dan sisi
kanan kepala terdapat boneka dan kalender yang menggantung. Lalu sisi
90
kiri bawah ada tempat tidur dan lemari di pojok kiri. Di sisi kanan terdapat
kipas angin dan penanak nasi. Selain itu terdapat sekat kayu untuk ruangan
sebelah terlihat adanya televisi.
2. Tahap Konotasi
a. Trick Effect
Dalam foto kelima juga tidak menggunakan trick effect. Tidak
merubah sama sekali keaslian foto saat diambil dengan kamera. Satu
elemen pun tidak ada yang dihilangkan atau ditambahkan. Rangkaian
narasi visual yang berada dalam buku foto Tanah yang Hilang karya
Mamuk Ismuntoro ini menggunakan pendekatan dokumenter. Dengan
pendekatan tersebut dapat dipastikan bahwa setiap karya foto
dokumenter yang diciptakan tidak melalui proses manipulasi. Kejadian
sebenar-benarnya dan tidak dibuat-buat merupakan pedoman
utamanya. Jadi apa yang terdapat dalam foto merupakan kejadian
sebenar-benarnya dan tanpa rekayasa.
b. Pose
Dalam foto keenam terdapat seorang pengantin wanita di sebuah
kamar darurat. Sikap tubuh atau gestur terlihat seorang wanita
mengenakan gaun pengantin berwarna putih dan berdandan rapi. Ia
duduk di atas kursi plastik menyerong ke arah kiri, sembari
menggenggam bunga di tangannya. Raut wajahnya tidak memancarkan
seyuman bahkan ada sedikit kesedihan. Dengan gestur, arah tubuh, dan
wajah memunculkan makna konotasi bahwa ada tampak kesedihan
91
yang harus dihadapi. Hari pernikahannya harus dirayakan di sebuah
pengungsian yang mungkin tidak pernah terbayangkan baginya.
Suatu momentum bersejarah bagi Diana yang baru menginjak
umur 19 tahun, menata kehidupan, membangun harapan baru bersama
dengan pasangannya. Namun di balik harapan yang dimilikinya
terdapat sebuah kerinduan terhadap kampung halamannya. Desa Reno
Kenongo tempat yang lebih layak untuk melaksanakan sebuah hari
besar yaitu pernikahan. Kini tidak ada lagi Desa Reno Kenongo, hanya
ingatan masa lalu yang tersisa.
c. Objek
Terdapat beberapa objek pada foto keenam ini. Seorang wanita,
bunga yang digenggam, kelambu, kasur untuk tidur, kursi plastik,
lemari, kipas angin, boneka-boneka, kalender, televisi, dan papan
kayu. Tetapi yang menjadi point of interest-nya ialah wanita yang
mengenakan gaun putih. Ia duduk di atas kursi plastik menyerong ke
arah kiri.
Tampilannya begitu rapi seperti seorang pengantin wanita yang
akan segera dipersunting oleh kekasihnya. Lalu, objek-objek
pendukungnya juga menjelaskan di mana lokasi wanita tersebut
berada. Ia berada di sebuah kamar darurat, tempatnya mengungsi.
Soal objek utama yang mengenakan gaun putih dan berdandan rapi
ini menggambarkan hari yang bahagia. Sebuah momentum penting dan
bersejarah dalam hidup Diana. Namun kebahagiaan tidak tampak dari
raut wajahnya yang terlihat biasa saja, tanpa senyuman. Latar tempat
92
pengungsian dan berbagai objek yang terdapat di dalam foto juga
menjadi faktor pancaran kesedihannya. Boneka-boneka menjadi
gambaran dirinya, seorang perempuan belia. Boneka juga diidentikan
dengan ingatan masa lalu, seringkali boneka menjadi teman main
sewaktu kecil. Bunga yang digenggamnya juga menjadi poin
tersendiri, memancarkan sebuah harapan. Bunga identik dengan
harapan, selebrasi, keabadian atau bisa juga kematian.
Penulis melihat bunga artifisial menjadi penanda sebuah
kebahagiaan yang dibaluti rasa kesedihan. Dengan arah badan
menyerong ke arah kiri penulis melihat bahwa ada rasa rindu dan
teringat akan masa lalunya. Harapannya akan sebuah pernikahan yang
sempurna tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi pada dirinya kini,
sebagai korban Lumpur Lapindo.
d. Fotogenia
Pada tahap ini membaca foto seputar teknis pengambilan gambar,
proses produksi sampai dengan jadi suatu produk. Teknik tersebut
meliputi pencahayaan dan editing, lalu sudut pandang (angle),
komposisi, efek gerak, efek diam, efek kecepatan, efek kabur, dan hasil
akhir tata letak atau desain. Pada foto keenam ini pencahayaannya
tetap menggunakan cahaya alami, berasal dari matahari. Efek yang
digunakan adalah diam.
Fotografer menerapkan sudut pandang sesuai posisi mata, jaraknya
pun tidak jauh dengan objek utama. Ada pun hal penguat dari
93
rangkaian, tata letak dan desain buku foto Tanah yang Hilang karya
Mamuk Ismuntoro ini.
Pada proses penggarapannya, Mamuk teringat dengan sebuah genre
memotret yang didapatnya dari kelas bersama Jan Banning yaitu
evnvironmental portraiture. Maka dari itu Mamuk memasukan
elemen-elemen pendukung dalam potret Diana sang pengantin.
Memperlihatkan lingkungan atau gambaran sebuah tempat tinggalnya
di pengungsian. Hal tersebut dilakukan sebagai penguat pesan dari satu
frame foto.
Dalam wawancara yang dilakukan dengan Edy Purnomo seorang
pengajar dan pengamat fotografi dari Pannafoto Institute. Ia
mengatakan bahwa desain buku foto ini sengaja dikemas seperti
sertifikat tanah atau akta tanah, agar terasa dekat dengan masyarakat.
Mamuk selaku fotografer menyampaikan dalam wawancara, proses
editing hanya menggunakan photoshop. Tools yang digunakan seputar
penambahan atau pengurangan terang gelap, saturasi warna yang
dikurangi, kontras ditambahkan agar terlihat lebih gelap, dan pekat
warnanya.
e. Estetisisme
Terdapat komposisi dalam penempatan wanita dalam foto tersebut,
ia berada di posisi kanan dan diberikan ruang yang lebih luas pada sisi
kiri. Pemilihan komposisi 1/3 di bagian wanita, agar memberi ruang
lebih di sisi kiri 2/3 untuk menampakan keadaan di dalam kamar
pengungsian. Fotografer berusaha memperjelas situasi dan keadaan
94
dengan komposisi yang ia buat pada foto. Jelas yang menjadi point of
interest-nya merupakan wanita bergaun putih. Komposisi warna juga
begitu dipertimbangkan oleh fotografer sehingga yang melihat
langsung tertuju pada wanita tersebut.
Penulis melihat ada dua sisi yang ingin disampaikan oleh
fotografer. Sebuah situasi dan kondisi yang memprihatinkan dengan
peletakan barang yang tidak beraturan. Lalu ada wanita duduk
menggenggam bunga artifisial, bergaun dan berdandan rapi. Dua sisi
yang tidak sesuai, sisi bahagia dan muram. Memberikan kesan
berantakan dan bukan tempat yang layak bagi pengantin wanita dalam
mempersiapkan hari bahagianya.
f. Sintaksis
Pada tahap ini pengamatan keseluruhan elemen dalam penyajian
sebuah karya. Ini merupakan salah satu dari dua genre yang diusung
Mamuk di dalam buku fotonya, yaitu daily life atau jika diartikan
adalah kehidupan sehari-hari. Dalam foto keenam ini teks atau
keterangan foto tidak hanya menyebutkan lokasi. Tertera dalam
keterangan foto, Diana, 19 berada di kamarnya di pengungsian Pasar
Baru Porong, usai dirias untuk persiapan pesta pernikahan, 2008.18
Dalam tampilannya di buku, pada bagian pojok kiri terdapat
sebuah ungkapan perasaan Diana oleh Mamuk. Begini isi ungkapan
perasaan Diana dalam sesi pertanyaan yang diungkap menjadi sebuah
tulisan singkat. “Jika ditanya soal rindu, siapa yang tidak rindu
18
Mamuk Ismuntoro, Tanah yang Hilang, Jakarta, PannaFoto Institute, 2014.
95
kampung halaman? Suasana Desa Reno Kenongo masih hadir dalam
mimpi saya.” Ungkapan tersebut berkaitan dengan arah duduk dan
pandang subyek yang mengarah ke kiri. arah ke kiri dimaknai melihat
dan teringat akan masa lalu Dapat disimpulkan foto keenam ini
menggambarkan seorang pengantin wanita yang menunggu di dalam
kamarnya. Tempat pengungsian yang akan menjadi saksi sejarah hari
bahagia yang dibaluti pilu.
3. Tahap Mitos
Dalam foto keenam, makna mitos yang terbangun adalah membuka
lembaran baru, masih ada asa yang tersisa. Namun di balik itu ada
kebahagiaan yang terenggut, wajahnya memancarkan kesedihan tidak ada
senyuman yang dipancarkan. Pernikahan merupakan sesuatu hal yang
sakral.
Jika membayangkan sebuah pernikahan yang tergambarkan adalah
imaji tempat yang bagus, lengkap dengan dekorasi, seperti gedung atau di
rumah. Dengan ornamen-ornamen khas pernikahan, semua dipersiapkan
dengan baik, namun tidak pada keadaan foto ini. Dream wedding hanya
sebuah “mimpi”, tidak lagi menjadi nyata. Semua dilakukan dalam
keadaan darurat, bahkan di lokasi yang darurat yaitu pengungsian korban
Lumpur Lapindo. Foto ini juga mengingatkan penulis pada sebuah
pembahasan dengan korban terdampak dimana tanpa adanya persiapan apa
pun desanya lenyap terkubur oleh Lumpur dan menyisakan kesedihan
karena dengan terpaksa harus pindah ke pengungsian. Untuk terus
96
melanjutkan kehidupan, seperti yang Diana lakukan, melanjutkan
kehidupannya walau berbalut pilu dan ingatan-ingatan akan masa lalu
yang tidak bisa sirna dalam pikirannya.
Seperti yang Mamuk sampaikan “Hidup harus terus berlanjut,
pengungsian hanya tempat tinggal lain, pernikahan tetap berjalan.” Luapan
Lumpur Lapindo menghentikan banyak hal, aktivitas warga, pekerjaan,
perekonomian, kehidupan sosial, dan lain sebagainya. Tetapi tidak bagi
subyek foto ini, gambaran adanya harapan tentang kehidupan yang telah
terenggut oleh sebuah tragedi hasil tangan manusia. Menikah sebagai
simbol keberlanjutan hidup, harapan baru, akan mendatangkan generasi-
generasi penerus pemberi semangat hidup. Walau dilakukan dalam
keadaan darurat, pernikahan tetap dilanjutkan.
Kebahagiaan dibaluti pilu tidak dapat dipungkiri,harapan menikah
di desa kelahiran sudah sirna yang tersisa hanya kerinduan. Dalam
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, menyatakan bahwa hak asasi
manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri
manusia, bersifat universal dan langgeng. Oleh karena itu harus dilindungi,
dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau
dirampas oleh siapapun. Di pasal 10 terkait dengan hak berkeluarga dan
melanjutkan keturunan, melalui pernikahan yang sah. Hak ini memang
terpenuhi, bahwa Diana subyek dari foto ini dapat menikah walau dalam
keadaan darurat. Namun bagi penulis hal ini masih diabaikan dalam
konteks tragedi Lumpur Lapindo.
97
Melanjutkan berkeluarga di pengungsian, dapat dikaitkan dengan
hak atas kesejahteraan pasal 40 dan 41 yang bunyinya setiap orang berhak
bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak.19
Setiap warga negara
berhak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak serta untuk
berkembang pribadinya secara utuh, dan hal-hal inilah yang telah
terabaikan. Hak dasar sebagai manusia juga warga negara telah terabaikan,
demi memenangkan kepentingan-kepentingan pribadi.
19
Hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_39_99.htm diakses pada 27/08/2018.
98
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan dari berbagai penjabaran dan penelitian terhadap enam
foto dari buku Tanah yang Hilang karya Mamuk Ismuntoro. Dengan
menggunakan analisis semiotika Roland Barthes, maka penulis dapat
menyampaikan kesimpulan sebagai berikut:
1. Tahap Denotasi
Kesimpulan dari keenam foto yang penulis teliti dalam buku Tanah
yang Hilang ini memberikan gambaran bagaimana Mamuk Ismuntoro
ingin menyampaikan situasi, kondisi pasca luapan Lumpur Lapindo. Tidak
hanya itu, foto-foto yang terdapat dalam buku ini merupakan ungakapan
perasaannya yang juga sebagai warga terdampak.
Melalui foto-foto tersebut dapat dilihat bagaimana keadaan desa-
desa terdampak dan masyarakatnya, yang terlihat hanya tanah datar dan
sunyi, tidak ada kehidupan seperti tahun-tahun silam. Mamuk tidak
memanipulasi sama sekali hasil foto yang ia ciptakan sehingga pesan dan
informasinya akurat. Karena yang ia sampaikan adalah sebuah realita
kehidupan dan peristiwa besar yang sampai saat ini belum ada ujungnya.
Mamuk juga cukup gamblang menyampaikan keresahannya
mengenai kampung halaman yang telah mati dan terkubur oleh luapan
Lumpur Lapindo. Meski terdapat lebih dari 20 foto dalam buku Tanah
yang Hilang tetapi enam foto yang penulis pilih memiliki kekuatan dan
cerita yang dapat khalayak pahami ketika melihat foto tersebut. Selain itu
99
paling tidak masyarakat dapat merasakan keputusasaan yang dialami para
korban.
Terlihat dari tiga foto yang mengandung unsur manusia, gambaran
sebuah keputusasaan, namun ada satu foto pengantin wanita yang
memberikan harapan baru walau dalam pilu. Kekuatan sebuah naratif
visual juga disertakan dengan adanya kedekatan antara fotografer dengan
subyeknya, dan ini Mamuk miliki. Maka dari itu, tahap denotasi dalam
enam foto yang penulis pilih dapat dijabarkan dengan baik.
2. Tahap Konotasi
Kesimpulan dari tahap konotasi keenam foto dalam buku Tanah
yang Hilang karya Mamuk Ismuntoro tidak hanya dimaknai dari apa yang
kita lihat secara seksama oleh mata. Untuk memahaminya perlu
menyertakan penghayatan dalam pemaknaan foto. Karena pengaruh atas
apa yang penulis lihat, dengar, baca, atau pun tonton memengaruhi hasil
pemaknaan. Begitu juga dengan Mamuk Ismuntoro selaku fotografer yang
juga warga terdampak, sudah terpikirkan kira-kira makna apa yang ingin ia
sampaikan melalui karya foto yang ia buat.
Dalam keenam foto yang dijadikan bahan penelitian, penulis
melihat pose merupakan salah satu elemen yang memiliki makna cukup
dalam. Pada penyajiannya tiga foto di antaranya terdapat unsur manusia,
gesturnya menghadap ke arah kiri. Penulis maknai terkait ingatan masa
lalu dari para subyek, rasa yang terbangun adalah kerinduan akan tempat
tinggal, keputusasaan, namun mau tidak mau hidup harus terus berjalan.
100
Rumah-rumah yang telah terkubur habis oleh lumpur, kehidupan sosial
juga turut terenggut.
Ada unsur warna yang membangun suasana dalam keenam foto.
Gelap dan terang, antara harapan dan kesuraman, semua foto yang penulis
sertakan berwarna namun sedikit direduksi agar memberikan kesan
kebahagiaan yang sirna. Tidak ada senyuman yang terpancar dalam setiap
foto. Terenggut karena luapan Lumpur Lapindo yang menenggelamkan
kehidupan dan penghidupan mereka para korban.
Lalu melihat tiga foto lainnya yang disebut dengan genre lansekap,
hanya memperlihatkan benda-benda mati atau pemandangan tanpa adanya
unsur manusia. Foto-foto tersebut memunculkan makna konotasi
gambaran sebuah tragedi besar yang terjadi. Komposisi seperti lapisan
dalam satu gambar dapat membangun persepsi seperti permasalahannya
tidak hanya satu tetapi ada beberapa atau banyak, dan rumit untuk
diselesaikan. Permasalahan-permasalahan itu menenggelamkan berbagai
aspek kehidupan, yaitu lingkungan hidup dan peradaban.
Di balik kesuraman itu ada makna konotasi yang mengarah pada
sebuah harapan. Foto keenam yaitu seorang perempuan yang mengenakan
gaun pengantin, masih ada harapan yang dapat diperjuangkan.
Meneruskan hidup walau dalam bayang-bayang masa lalu yang selalu
dirindu oleh para korban.
3. Tahap Mitos
Pada tahap ini menjadi poin yang penting dalam menghadirkan
makna lebih dalam dari konotasi, lebih dari ungkapan perasaan. Tetapi di
101
sini penulis ingin mengekspresikan keresahan dan pemahaman penulis
terhadap peristiwa luapan Lumpur Lapindo. Pemahaman itu hadir tidak
semerta-merta atas apa yang dirasakan tetapi atas dasar pengetahuan
penulis yang mempelajari fotografi dan mengumpulkan data-data penguat
terkait tragedi lumpur Lapindo, lalu tambahan pengalaman diskusi dengan
para ahli dan korban lumpur Lapindo yang juga membantu membentuk
perspektif subyektif dan obyektif penulis terhadap penelitian ini.
Melalui diskusi dengan Raynaldo dari Indonesian Center
Environmental Law, penulis mencoba untuk mengupas permasalah dari
sisi hak asasi manusia dan lingkungan hidup. Berawal dari penglihatan
penulis di beberapa foto, bahwa ada sesuatu yang tidak benar, terdapat
kerusakan lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia karena luapan
Lumpur Lapindo. “Masalah Lumpur Lapindo adalah masalah yang cukup
kompleks karena meliputi masalah sosial, lingkungan, dan negara.
Terdapat pelanggaran hak terhadap masyarakat. Hak untuk mendapatkan
lingkungan yang baik dan sehat merupakan bagian dari hak asasi manusia
yang telah dijamin dalam konstitusi,” tegas Dodo.
Peristiwa Lumpur Lapindo dalam buku Tanah yang Hilang karya
Mamuk Ismuntoro menunjukan bahwa kesalahan dari tangan kecil
manusia dapat memberikan dampak begitu dahsyat. Mitos yang terbangun
atas keenam foto yang menjadi bahan penelitian ini adalah tentang alih
fungsi tanah, hilangnya kehidupan sosial dan lingkungan. Melalui buku ini
narasi visual terbaca dan terbayang atas situasi dan kondisi yang melanda
para korban.
102
Diskusi dengan korban atau warga terdampak juga menambah
catatan bahwa terdapat dua hal berbeda yang dialami oleh para korban
yaitu, pertama, desa tempat tinggal para korban tanpa persiapan apa pun
tenggelam atau terkubur begitu saja, sehingga mereka hanya mampu
menyelamatkan nyawanya saja tanpa barang-barang berharga. Kedua,
korban terdampak, karena air dan lingkungan yang tercemar atau rusak
dan memaksa para warga harus pindah, dan memiliki waktu untuk
memindahkan barang-barang berharga. Penulis memaknainya seperti
keputusasaan yang dilatar belakangi oleh kemusnahan, peran penting
negara pun turut sirna diakibatkan adanya kepentingan-kepentingan orang
yang berkuasa sehingga mengesampingkan kepentingan para korban
terdampak Lumpur Lapindo.
Dalam hal ini buku foto mampu untuk mengomunikasikan sebuah
keresahan, ungkapan-ungkapan perasaan secara gamblang, dan informasi
penting yang terkadang luput dari perhatian masyarakat. Penulis
menggarisbawahi betul pelanggaran atas hak asasi manusia yang jelas
terjadi pada peristiwa ini.
Seperti yang tercatat dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999, menyatakan bahwa hak asasi manusia merupakan hak dasar yang
secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng.
Oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak
boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.
Tetapi dapat penulis uraikan di antaranya hak-hak para korban
yang telah terenggut di antaranya hak berbudaya, hak lingkungan hidup,
103
hak kesejahteraan, hak atas tempat tinggal yang layak, dan keadilan sosial.
Terbukti visual memang mampu berbicara, mengarahkan cerita sederhana
bahkan peristiwa besar seperti Lumpur Lapindo walau belum diketahui
ujungnya akan seperti apa.
B. Saran
Seiring berjalannya waktu, fotografi tidak hanya membicarakan
bagaimana proses secara teknis foto dibuat, tetapi pemahamannya lebih
dari itu, yakni sebuah pesan atau makna. Berawal dari melihat lalu
dikoneksikan dengan rasa, selain itu pengalaman dalam melihat dan
memahami sebuah foto juga tidak dapat dipaksakan. Karena menganalisa
makna yang terkandung dalam sebuah foto juga dipengaruhi oleh latar
belakang penikmat atau pelihat foto.
Oleh karenanya dengan mengungkap makna dan pesan yang
terkandung maka akan memperkaya informasi mengenai peristiwa-
peristiwa besar atau pun fenomena yang terjadi di masyarakat. Juga
menambah pengetahuan bagi masyarakat luas terkait fotografi. Maka dari
itu penulis memiliki saran untuk akademisi Fakultas Ilmu Dakwah dan
Ilmu Komunikasi agar penelitian seperti ini tidak berhenti pada analisis ini
saja. Tetapi juga dapat terus dikembangkan oleh mahasiswa Program Studi
Jurnalistik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, serta masyarakat umum yang
juga memiliki ketertarikan pada dunia fotografi khususnya fotografi
dokumenter, di antaranya sebagai berikut:
104
1. Fotografi kini hadir memiliki perannya sendiri, menjadi sumber
informasi dan alat komunikasi. Dalam ranah jurnalistik, fotografi
juga memiliki peran penting. Paparan terhadap visual kepada
masyarakat sudah menjadi konsumsi sehari-hari sebagai tolak ukur
bahwa foto memiliki kekuatan bukan sekedar tulisan. Maka dari itu
penulis memberi saran agar diadakannya mata kuliah fotografi
menjadi dua semester. Dengan pemberlakuan saat ini hanya satu
semester dirasa kurang, dapat ditambahkan mata kuliah sebelum
membahas fotografi jurnalistik yaitu literasi visual. Agar saat akan
meneliti atau membaca foto paling tidak sudah tahu bagaimana
tahapannya. Mahasiswa pun mendapatkan bekal pegetahuan yang
cukup.
2. Dengan meningkatnya minat mahasiswa Fakultas Ilmu Dakwah dan
Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam
menggunakan analisis semiotika yang diperuntukan untuk penelitian
skripsi, penulis menyarankan untuk diadakannya mata kuliah khusus
semiotika. Agar pemahaman mengenai teori ini dapat lebih
mendalam. Lalu diimbangi juga dengan adanya referensi-referensi
yang mendukung terkait semiotika, buku foto, dan fotografi
dokumenter. Karena referensi yang tersedia di perpustakaan masih
sangat sedikit.
3. Karena fotografi sudah mendapatkan tempat tersendiri di masyarakat
dan memiliki peran penting. Maka diharapkan ada lebih banyak
fotografer muda ataupun dewasa yang membuat karya serupa buku
105
foto Tanah yang Hilang karya Mamuk Ismuntoro ini. Jadi bukan
hanya unsur keindahan yang disuguhkan tetapi pesan-pesan personal
dengan isu yang dapat menjadi sebuah pembahasan bersama dan
informasi yang dapat disampaikan ke khalayak.
Maka dari itu, penelitian-penelitian mengenai buku fotografi dan
semiotika yang dibuat oleh mahasiswa Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi dapat terus berkembang. Selain itu dilakukan dengan lebih
baik lagi sehingga mahasiswa akan lebih dimudahkan ketika ingin
membuat penelitian dengan teori semiotika.
DAFTAR PUSTAKA
Ajidarma, Seno Gumira. Kisah Mata, Fotogafi antara Dua Subjek: Perbincangan
tentang Ada. Yogyakarta: Galang Press, 2002.
Barthes, Rolland. Image, Music, Text. London: Harper London Publishers. 1997.
Budiman, Kris. Semiotika Visual: Konsep, Isu, dan Problem Ikonisitas.
Yogyakarta: Jalasutra, 2011.
Bungin, Burhan, Penelitian Kualitatif Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik,
dan Ilmu Sosial Lainnya, Jakarta: Prenada Media Grup, 2008.
Carroll, Henry. Read this if You Want to Take Great Photographs. London:
Laurence King Publishing Ltd, 2014.
Danesi, Marcel. Pesan, Tanda, dan Makna. Yogyakarta: Jalasutra, 2012.
Harper, Douglas. Visual Socialogy. New York: the Taylor & Francis Group, 2012.
Hoed, Benny H. Semiotik & Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas Bambu,
2014.
Kriyantono, Rachmat, Teknik Praktis Riset Komunikasi, Jakarta: Kencana, 2006.
La Grange, Ashley. Basic Critical Theory for Photography. Oxford: Elsevier,
2005.
Langford, Michael. The Master Guide to Photography. United States: Alfred A.
Knopf,inc, 1982
Majalah Ilmiah Pawiyatan Vol. XX, Teknkik Pengumpulan Data dalam Penelitian
Kualitatif, 2013.
Morissan. Metode Penelitian Survei. Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2014.
Mulyana, Dedy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Badung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2004.
Novenanto, Anto , Membangun Bencana: Tinjauan kritis atas Peran Negara
dalam Kasus Lapindo, MASYARAKAT: Jurnal Sosiologi, 2016.
Novenanto, Anto, Melihat Kasus Lapindo Sebagai Bencana Sosial, laporan
penelitian yang dibiayai: Center for Religious and Cross -cultural Studies
(CRCS)—Universitas Gadjah Mada, Institute of Cultural Anthropology and
Development Sociology (CA/DS)—Leiden University, dan beasiswa Study in
Netherlands (STUNED)—NUFFIC/NESO. 2010.
Prakel, David. The Visual Dictionary of Photography. Switzerland: AVA
Publishing SA, 2010.
Prasetya, Erik. On Street Photography. Jakarta: KPG [Kepustakaan Populer
Gramedia], 2014.
Purnomo, Edy, Makalah Kelas Fotografi Visual Literacy, Jakarta, 2018.
Sobur, Alex. Analisis Teks Media. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,2006.
Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,2009.
Sontag, Susan. On Photography. New York: Picador USA, 1977.
Sunardi, St. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Penerbit Buku Baik Yogyakarta,
2004.
Tahir, Muh. Pengantar Metologi Pendidikan. Makasar: Universitas
Muhammadiyah Makasar, 2011.
Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia Pusat Bahasa Edisi IV, Jakarta: PT Gramedia, 2013.
Wacana HAM Edisi 3, Ecoside dan HAM di Indonesia, Jakarta: Media
Komunikasi KomnasHAM, 2013.
Wibowo, Indiawan Seto Wahyu. Semiotika Komunikasi. Jakarta: Mitra Wacana
Media, 2011.
Wijaya, Taufan. Foto Jurnalistik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2014.
Wawancara
Wawancara Pribadi melalui email dengan Mamuk Ismuntoro pada 22 Juni 2018.
Wawancara pribadi dengan Edy Purnomo pada Juli 2018.
Wawancara pribadi melalui email dengan Ridzki Noviansyah pada Juli 2018.
Wawancara dengan Reynaldo Sembiring, Wakil Direktur Pelaksana di kantor
Indonesian Center for Environmental Law pada 13/07/18.
Karya Ilmiah
Wicaksono, Muhammad Hendartyo Hanggi, “Makna Tradisi Budaya „Pacoa Jara‟
dalam Foto (Analisis Semiotika Terhadap Foto Karya Romi Perbawa
Berjudul The Riders of Destiny pada Ajang Pameran The Jakarta
International Photo Summit Tahun 2014)”, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015
Zulmi, Isye Naisila, “Makna Bencana dalam Foto Jurnalistik (Analisis Semiotika
Foto Terhadap Karya Kemal Jufri pada Pameran Aftermath : Indonesia in
Midst of Catastrophes Tahun 2012)”, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014
Andika Febriana “Analisis Semiotik Foto pada Buku Orangutan Rhyme & Blues”.
Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2018
Website
Eric Kim (What is Street Photography?)
http://erickimphotography.com/blog/2013/08/07/what-is-street-photography-2/
diakses pada 10/04/2018
Maya Sari (46 Hak dan Kewajiban Warga Negara dalam UUD 1945)
http://guruppkn.com/hak-dan-kewajiban-warga-negara-dalam-uud-1945 diakses
pada 24/08/2018
Redaksi Kanal (Rekomendasi Penuntasan Permasalahan Lumpur Lapindo kepada
Pemerintah Baru)
http://korbanlumpur.info/2014/10/rekomendasi-penuntasan-permasalahan-
lumpur-lapindo-kepada-pemerintahan-baru/ diakses pada 08.00 WIB, 27/08/2018.
http://lapindo-brantas.co.id/ diakses pada 08/06/2018
PannaFoto Institute (Tanah yang Hilang)
http://pannafoto.org/publication/tanah-yang-hilang/ diakses pada 11/02/2017
Tim Elsam (UU Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan Pemberdayaan
Petani)
http://referensi.elsam.or.id/2014/10/uu-nomor-19-tahun-2013-tentang-
perlindungan-pemberdayaan-petani/ diakses pada 19.10 WIB, 23/08/2018.
Imran Zahid (What is street photography? A Rookie‟s guide to developing
(photography) streed cred)
https://expertphotography.com/what-is-street-photography/ diakses pada
10/04/2018
Tempo.Co (Alasan Komnas HAM sebut Lumpur Lapindo Kejahatan)
https://nasional.tempo.co/read/423932/alasan-komnas-ham-sebut-lumpur-lapindo-
kejahatan/full&view=ok diakses pada 11/02/2017
https://sites.google.com/site/edufotografi/home/6-keahlian-khusus/2-
dokumentasi#TOC-Pengertian Foto-Dokumenter diakses pada 24/08/2016 pukul.
10.51 WIB
Redaksi Jatam (Dampak Multidimensional 11 Tahun Kasus Semburan Lumpur
Lapindo)
https://www.jatam.org/2017/05/29/dampak-multidimensional-11-tahun-kasus-
semburan-lumpur-lapindo/# diakses pada 19/07/18
https://www.nature.com/articles/ngeo2472
Redaksi Sarung BHS (Sarung Tenun Kain Tradisi yang Multifungsi)
https://www.sarungbhs.co.id/post/article/sarung-tenun-kain-tradisi-yang-
multifungsi diakses pada 28/08/2018.
Lucinda Everett (The Photobook Today)
https://www.telegraph.co.uk/culture/photography/10774134/The-photobook-
today.html diakses pada 06/07/2018
Hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_39_99.htm diakses pada 07.00 WIB, 27/08/2018.
Redaksi 1000kata (Kassian Cephas Jurufoto Pribumi Pertama)
www.1000kata.com/2011/03/kassian-cephas-jurufoto-pribumi-pertama/diakses
pada 05/07/18
www.lensculture.com
www.noodletools.com
www.worldpressphoto.org diakses pada diakses pada 17/05/2018
Lampiran 26 foto dari buku Tanah yang Hilang karya Mamuk Ismuntoro.
Berikut keseluruhan foto yang diklasifikasi berdasarkan genre. Bagian pertama merupakan
foto lansdscape kondisi, situasi area terdampak.
Gambar 5
Gambar 4 Gambar 2
Berikut klasifikasi foto kehidupan sehari-hari masyarakat terdampak.
Gambar 6 Gambar 3 Gambar 1
Lampiran
Hasil wawancara
Narasumber : Mamuk Ismuntoro
Jabatan : Fotografer
Hari/ Tanggal : 3 Juli 2018
Via Email
1. Boleh ceritakan bagaimana awal ketertarikan Mas Mamuk pada fotografi?
Awalnya saat jadi mahasiswa (sekitar 1994-95), melalui UKM Foto
kampus, saya mengenal teknis dasar fotografi. Namun sejak SMA sudah
tertartik dgn visual di majalah-majalah dan ingin tahu benar bagaimana
gambar-gambar itu dibuat.
2. Lalu bagaimana ide awal atau latar belakang untuk memulai
mendokumentasikan tragedi Lumpur Lapindo?
Medio 2006, kejadian luapan lumpur dimulai. Saat itu saya adalah
pewarta sebuah majalah dgn konten wisata, budaya dan gaya hidup. Saya
tinggal dekat kejadian luapan lumpur. Tentu insting pewarta adalah
merekamnya. Namun tidak bisa masuk dalam konten media tempatku
bekerja. Sejak itu, saya memutuskan menjadikannya proyek pribadi
selama bertahun-tahun memotret. Disimpan dan nyaris tidak terpublikasi
secara luas, meski sempat dimuat beberapa diantaranya di majalah Asian
Geo – yang terbit di Singapura (2007an).
3. Tepatnya kapan Mas Mamuk motret tragedi besar ini untuk pertama
kalinya?
Sejak pertama luapan, Mei 2006.
4. Kesulitan apa yang Mas Mamuk alami selama proses riset, motret dan
wawancara subyek?
Awalnya saya hanya mengikuti alur kejadian. Hari ke hari saya datang,
memungut gambar, berbicara dgn bbrp nara sumber. Bahkan, lebih sering
hanya datang, melihat-lihat tidak memotret. Kesulitan terbesar adalah
konsistensi merekam peristiwa ini.
Perubahan lansekap kawsaan yg terdampak dari tajun ke tahun tergolong
lamban. Kalau ndk punya cukup energi dan kemauan , pasti akan malas
datang, sebab akan menemui visual yang itu-itu saja.
Maka, ya itu tadi, musti banyak jalan ke tempat-tempat yang media tidak
datang. Ke sekolah2 yang ditinggalkan misalnya. Atau desa terdampak
yang masih ditinggali.
5. Kenapa pendekatan yang Mas Mamuk gunakan adalah dokumenter? Lalu
kenapa menggabungkan antara landcape dan daily life dalam sajian
fotonya?
Simple saja, krn basic visual saya dokumenter. Saya menggunakan
pendekatan yang kurang lebih saya kuasai. Soal lansekap, ini barangkali
secara tidak sadar saya merekammnya cukup intensif. Karena saya pikir,
peristiwa ini tiak hanya soal oarang-orang, namun juga tanah kelahiran
mereka, yang bagi saya bisa diwakili dgn cara visual yang sederhana dan
umum sebenarnya, yakni lansekap. Yang dily lie tentu saja lbh byk ttg
orang-orang di dalamnya. Cerita ttg manusia selalu menarik bagi
manusia lainnya, itu teorinya, dan ini bisa diwakili lewat cerita sehari-
hari (daily life).
6. Apakah dari awal motret ini akan diproyeksikan untuk buku foto?
Tidak ada rencana apapun awalnya, bahkan justru sempat pameran dulu
(2008) di Malang bareng Malang Meeting Point ( yg didirikan Swanti dan
EDY).
7. Boleh yah Mas ceritakan munculnya ide untuk membukukan catatan
visual ini?
Sebagian besar adalah dorongan teman-teman. Terutama Swanti, Eddy
Pur dan Romi Perbawa. Sisanya saya merasa bahwa catatan ini bisa jadi
alternatif artefak sosial peristiwa yang skalanya besar (internasional).
8. Pesan personal apa sih yang mau Mas Mamuk sampaikan melalui buku
foto ini?
Pesan personal sebagai pencerita, mengutip Hine, bahwa tidak cukup
bercerita dengan kata-kata, gambar-gambar akan membuat cerita lebih
berdaya.
9. Apa tanggapan Mas Mamuk atas tragedi besar ini yang banyak merenggut
hak sebagai manusia dan warga negara dengan berbagai hal kompleksnya?
Hak-hak sipil harus dipenuhi oleh siapapun pencetus peristiwa ini. Meski
demikian hidup harus terus berlanjut bagi warga terdampak.
10. Adakah respon dari pemerintah atau lembaga tertentu atas buku foto yang
Mas Mamuk buat?
Tidak ada, atau saya tidak tahu. Sebab buku ini tidak bertujuan untuk itu.
Sebagai pencerita visual, sebab tugas saya hanya sampai pada
pengarsipan dan penyebar luasan catatan visual.
11. Buku foto ini atau serial fotonya sudah dipublis/ dipamerkan dimana saja?
Di Asian Geo, Invisible Photographer Asia, Pameran dan katalog 'Jakarta
Photo Summit', Pameran dan katalog di Bali, saya lupa nama acaranya,
sebab datanya di rumah he he he.
40 shortlist terpilih dalam :
'Dummy Photobook' di Irlandia 2013-2014 (judulnya masih 'Requiem'
waktu itu), dipamerkan keliling di Roma, Dublin , Frankfurt.
Pameran buku di Australia, Yogyakarta, Jepang, Jakarta
12. Apa harapan Mas Mamuk atas pembuatan buku foto ini? Dan harapannya
untuk tragedi Lumpur Lapindo ini kedepannya?
Harapannya buku ini bisa jadi bahan alternatif bagi riset visual atas
peristiwa besar di Indonesia. Intinya, menambah khasanah data visual
negeri sendiri.
13. pertanyaan teknis, kamera apa yang Mas Mamuk gunakan dan lensa
apakah? Lalu ada tambahan pencahayaan kah (dari flash external)?
1Nikon D1X, lena 17-35 : 2.8, Nikon D 100 18-70 : 3.5, Nikon D300s.
Narasumber : Raynaldo Sembiring
Jabatan : Wakil Direktur Eksekutif ICEL
Hari/ Tanggal : Kamis/ 12 Juli 2018
Tempat : Kantor Indonesian Center for Environmental Law
1. Bagaimana tanggapan Bang Dodo mengenai tragedi Lumpur Lapindo?
Pada mulanya peristiwa lumpur yang terjadi di Sidoarjo dinamakan
Lumpur Sidoarjo karena diyakini merupakan act of god, dan karenanya
pihak perusahaan dapat bebas dari tanggung jawab karena tanggung
jawab beralih kepada negara. Namun kemudian, sebagian aktivis
menamainya sebagai peristiwa Lumpur Lapindo, karena lumpur itu
muncul dari adanya aktivitas signifikan yang diciptakan manusia yaitu
oleh Lapindo dan ada pula dampak yang dirasakan oleh masyarakat
setempat. Sehingga, PT. Lapindo harus bertanggung jawab mutlak atas
kerugian-kerugian yang telah ditimbulkan. Dalam hukum lingkungan,
dikenal istilah pencemar pembayar yang berarti bahwa siapapun pihak
yang melakukan pencemaran lingkungan, maka dialah yang bertanggung
jawab membayar semua dampak dari pencemaran yang telah dilakukan.
2. Pandangan tragedi ini di mata hukum bagaimana?
Penjelasanya gini, kita tergantung melihat hukum seperti apa, kalo
misalnya melihat hukum lingkungannya aja bahwa sebenernya kasus ini
tidak selesai karena pihak yang seharusnya bertanggungjawab ini tidak
diminta prtanggungjawabannya itu hukum lingkungannya yang pertama,
nah yang kedua ada pelanggaran prinsip yang sangat esensial dalam
lingkungan itu namanya poluter space principle jadi seharusnya setiap
perusahaan atau perorangan yang mencemari dia sebenearnya
seharusnya mengganti rugi atau membayar. akan sangat tidak masuk akal
ketika ada sebuah bencana yang di situ ada kontribusi dari sebuah
perusahaan atau aktivitas kemudian yang bayar apbn, uang negara uang
rakyat, nih ada pemisalan nih, sebenernya perusahaan itu ga salah karena
ada fakor alam di situ. Nas sekarang pertanyaannya jadi apakah
memungkinkan faktor alam itu menimbulkan bencana seadainya tidak ada
pengeboran di sana, jawabannya ya kemungkinan besar tidak akan
terjadi, lalu berikutnya adalah apakah kontribusi lapindo itu 0% terhadap
bencana yang terjadi? Sehingga membuat ini lepas dari
pertanggungjawaban lapindo. Jadi seolah-olah natural disaster itu
menganulir semua logika, teori dan semua pendapat hukum yang
berkembang gitu. Nah yang ini kalo hukum melihatnya, hukum lingkungan
melihat penanganan perkara ini sebenarnya berada pada jalur yang
salah. Masalahnya tidak selesai, tidak memberikaan jaminan hak bagi
masyarakat, Kalo dari hukum lingkungan ada pelanggaran prinsip yaitu
bertanggung jawab dan yang mencemari harus membayar. Jadi intinya
sudah tidak masuk akal secara hukum lingkungan.
3. Langkah apa yang seharusnya diambil sama pemerintah dan inti
permasalahannya ada dimana menurut Bang Dodo?
Masalah Lumpur Lapindo adalah masalah yang cukup kompleks dan
belum selesai hingga saat ini. Sayangnya, peristiwa lumpur lapindo
kabarnya akan segera case closed. Peristiwa lumpur lapindo ini cukup
kompleks karena meliputi masalah sosial, lingkungan, dan negara.
Banyak pelanggaran yang dilakukan terhadap masyarakat, terutama
pelanggaran hak. Hak untuk medapatkan lingkungan yang baik dan sehat
merupakan bagian dari hak asasi manusia dan telah dijamin dalam
konstitusi. Negara memiliki tanggung jawab dengan prinsip to respect, to
protect, dan to fulfill terhadap pemenuhan hak warga negaranya. Dalam
artian, negara memiliki kewajiban untuk melindungi dan memenuhi hak
asasi warga negaranya. Dengan diabaikan dan tidak diselesaikannya
kasus ini, artinya negara telah gagal untuk memenuhi kewajiban to
protect dan to fulfill dalam melindungi dan memenuhi hak asasi warga
negara yang semestinya didapatkan oleh masyarakat.
Narasumber : Ridzki Noviansyah
Jabatan : Pengamat Buku Foto dan Co Founder Photo Book Club Jakarta
Hari/ Tanggal : Kamis/ 12 Juli 2018
Via email.
1. Ka Ridzki boleh yah jelasin singkat aja mengenai perkembangan buku foto
di Indonesia?
Selama tiga tahun terakhir banyak sekali perkembangan buku foto di
Indonesia. Hal ini didorong oleh akses kepada pengetahuan yang makin
banyak terhadap buku foto, serta akses terhadap percetakan yang
terjangkau. Persepsi orang terhadap buku foto juga semakin meningkat,
dari yang sebelumnya cuma menganggap itu sebuah kumpulan menjadi
sebuah karya yang memiliki bobot narasi.
2. Gimana sih Ka Ridzki memaknai buku foto itu? secara personal juga
secara umum yah ka
Pandangan saya secara personal dan secara umum sama. Sederhananya,
buku foto adalah sebuah karya fotografis yang berbentuk buku dan berisi
nilai yang berupa ide atau narasi dari fotografer. Buku foto juga
terkadang memiliki nilai ekstrinsik di mana desain, material, dan jumlah
menambah nilai terhadap buku foto itu sendiri.
3. Apakah buku foto dapat dikatakan sebagai produk akademis?
Menurut saya, produk akademis memerlukan sebuah syarat-syarat
tertentu. Salah satunya adalah riset, hipotesis, dan pembuktian hipotesis
tadi. Saya tidak bisa bilang bahwa buku foto adalah produk akademis,
karena tidak ada rumusan yang menentukan berapa banyak foto dalam
buku foto untuk disebut sebuah buku foto.
4. Ada ga sih Ka buku foto yang udah terdaftar, atau sebagai rujukan literatur
akademis?
Menurut saya ada, namun, saya belum pernah bertemu seseorang yang
meneliti dan merujuk pada buku foto. Selain itu proses penciptaan buku
foto sendiri pasti merujuk pada karya akademis atau fenomena. Jika
demikian, bukankah lebih baik seseorang merujuk pada sumber utama
daripada sumber turunan?
5. Menurut Ka Ridzki ada sudut pandang tertentu ga sih ketika kita
memutuskan untuk mengangkat buku foto sebagai penelitian?
Sudut pandang yang dapat saya lihat sekarang adalah bagaimana buku
foto dapat diteliti sebagai karya fotografis dari fotografer dari satu
daerah dalam jangka waktu tertentu.
6. Nah dalam hal ini aku sedang meneliti buku foto Mas Mamuk, ku mau
minta pendapat Ka Ridzki yah. Gimana perspektif mu sebagai pengamat
buku foto terhadap buku foto Tanah yang Hilang ini?
Seperti layaknya buku foto yang lain, saya rasa Tanah yang Hilang
memiliki nilai ekstrinsik dan intrinsik yang dapat diteliti. Selain itu
bagaimana peran desain yang mendukung foto-foto yang ada di dalam
buku. Namun yang paling penting adalah bagaimana Mamuk
menggambarkan tentang tragedi soal tanah yang cukup pelik di Indonesia
7. Apa yang menjadi pembeda buku foto Tanah yang Hilang dengan buku-
buku foto lainnya?
Yang menjadi pembeda adalah karena buku foto ini dibuat oleh Mamuk
Ismuntoro berdasarkan pandangannya sendiri.
8. Pesan apa yang begitu tersampaikan ke Ka Ridzki dari buku foto ini?
Yang saya rasakan pertama kali adalah bagaimana sebuah ide mengenai
isu-isu penting disampaikan dengan cara yang tidak gamblang. Kita tidak
lagi memandang isu tanah Lapindo seperti saat kita menonton atau
membaca berita. Namun kita melihat bagaimana kesepian muncul dari
foto-foto itu, terlebih lagi desainnya membantu dalam proses kita
melihatnya
9. Ka kenapa buku foto menjadi begitu penting saat ini bagi fotografer dan
penikmat fotografi?
Karena buku foto memberikan akses kepada kita untuk memandang foto
dalam bentuk cetak. Ia juga memberikan kita terhadap pandangan dan
pemikiran si fotografer.
10. Lalu apa harapan Ka Ridzki terhadap perkembangan buku foto
kedepannya?
Mudah-mudahan sekarang semakin banyak dan semakin berkualitas.
Narasumber : Edy Purnomo
Jabatan : Pengamat Fotografi dan Pengajar di PannaFoto Institute
Hari/ Tanggal : Kamis/ 26 Juli 2018
Tempat : Perpustakaan PannaFoto Institute, di Ohana Bistro lt.2
1. Bagaimana perkembangan buku foto saat ini di Indonesia?
Perkembangannya ku amati dalam 2010-2018 ini ya yang kami dari
panna terutama berapa kali mengadakan workshop dulu bersama Goethe
terus dateng beberapa mentor dari german akhirnya dari situ kita mulai
memproduksi, sebenernya kami dari lama juga sudah mulai memproduksi
tapi juga dengan berbagai macam kendala dan kalo kami ya di panna kita
produksi passing 2012, lalu produksi buku tanah yang hilang dan, yang
terakhir ini wildtopia. Jadi intinya kalo saya pribadi melihat
perkembangannya jauh signifikan yah mungkin sekarang banyak sekali
produksi-produksi buku foto yang dibuat oleh teman-teman fotografer baik
profesional atau yang nonprofesional atau siapapun.
2. Gimana om edy memaknai buku foto secara personal dan umum?
Kalo buku foto ya, itu juga berkembang di seluruh dunia, awal-awal kalo
dulunya buku foto hanya berbentuk kumpulan foto-foto. Tetapi sekarang
sifatnya narasi yang dasarnya atau based nya berdasarkan sequencing
atau editing atau urutan dari foto, jadi foto merupakan basis pembangun
narasi visualnya, akhirnya menjadi carabercerita yang baru, mungkin
kalo dulu buku foto kaya master-master kan pada bikin jadi lebih
ngumpulin foto-foto yag sudah dibikin dari beberapa puluh tahun gitu.
Tapi kalo sekarang sifatnya lebih naratif. Narasinya melalui rangaian foto
jadi bukan hanya sekedar monograf atau sekedar portofolio yang
dibukukan tetapi menjadi medium bercerita baru.
3. Apakah buku foto dapat dikategorikan sebagai produk akademis?
Saya pikir iya, karena itu merupakan kajian ya, kajian yang bersifat
dalam arti lebih bersifat praktikal karena pemaknaannya orang lain yah,
beda kalu kita membuat kajian-kajian umpama, ada beberapa buku foto
yang mengkaji buku foto. Seperti mereview beberapa buku foto contohnya
ada Martin parr ia menginisiasi american photobook, europian photobook
terus kemudia ada chinis photobook,nah disitu bisa dibilang kajian
akademis, nah kajian akademisnya ada di situ karena dia mengkaji buku-
buku foto berdasarkan riset berdasarkan apa yang mereka lihat lalu ada
latar belakang sejarah, sosiologi.
4. Om Edy adakah buku foto yang sudah terdaftar/ sebagai rujuka literatur
akademis?
Kalo buku fotonya sih kalo dia sudah masuk ISBN sih sudah pasti yah,
lalu pasti ada serial numbernya nah biasanya di perpustakaan nasional
sudah ada karena kita kalo mau daftar ISBN kan juga wajib memberikan
beberapa koleksi kita ke mereka, dan berarti sudah bisa dijadikan rujukan
literatur. Mungkin sebagai produk penelitian kalo sebagai produk
akademis sih, karena itu bukan mengkaji yah lebih ke sifatnya ke karya,
karya-karya yang dibuat oleh para fotografer.mungkin sebagian juga bisa
dibilang sebagai kajian seperti tanah yang hilang mungkin bisa menjadi
sebuah kajian bagi mamuk ismuntoro dan wildtopia sebagai kajian saya
melihat wild life, Cuma ya itu tadi dalam bentuk narasi visual, narasinya
betul-betul berbentuk visual bukan merupakan teks yang berdasarkan
data-data seperti kita meliht buku-buku jurnalistik. Teks hanya sebagai
pendukung, kalau kita mengkaji buku-buku akademis paling ngga kan ada
bibliografi dllnya, nah mungkin kalo itu bisa dilakukan oleh buku foto
yang mengkaji buku foto lainnya. Kalo buku fotonya sendiri sebenernya
kaya liat novel kaya liat film atau lihat-lihat produk semcam itu
merupakan ekspresi dari artis atau fotografer yang bersangkutan, bisa
jadi itu memang kajian dari mereka semua. Tapi saya belum bisa
memastikan itu kajian ilmiah atau ngga. Karena masing-masing punya
datanya sendiri. Seperti buku martin parr itu bisa dapat dikatakan kajian
ilmiah acuan atau literatur karena ada landasan yang jelas dan riset.
Sifatnya lebih ke penilitian.
5. Menurut Om Edy ada sudut pandang terntentu ga sih ketika kita
memutuskan untuk mengangkat buku foto sebagai rujukan literatur
akademis?
Ketika orang lain yang melakukan penelitian, ya tentunya dong, orang kan
pasti punya landasan berpikir, kalo saya cenderung patoka referensi buku
siapa yang kita pake, karena di situ kalo kita ngomong kajian atau jurnal
itu bisa dipertanggungjawabkan kajian siapa kajian siapa lalu kita
merefer ke yang bersangkutan seperti itu sih.
6. Gimana pandangan om edy sebagai pengajar, pengamat dan pelaku
fotografi terhadap karya buku foto ini?
Saya terus terang terlibat juga, jadi otomatis saya melihatnya juga dari
awal sampai akhir, juga lebih ke buku fotonya mengapa dibikin seperti ini
tentunya saya mempunyai perspektif dari buku ini dibuat seperti ini
(bentuk fisiknya) latar belakang apa yang membuatnya bahannya jadi
begini, kalo dibandingkan dengan bentuk buku foto lainnya ini kan agak
lain.
Buku ini sih saya melihatnya cukup mungkin ada hal yang agak baru di
kita, karena melihat buku foto mungkin tidak konvensional seperti kita
melihat buku foto dari cara bindingnya cara berceritanya biasanya kan
buku patokannya satu buku dibinding sebagaimana buku ini kita mencoba
dengan bentuk yang lain gitu, yang orang sekilas kalo melihatnya bukan
buku. Melihatnya seperti arsip, buku tanah. Jadi kalo kita kaji pada buku
foto yang udah ada, teori buku foto adalah paduan dari narasi visual
kemudian teks dan desain nah yang pasti tiga itu yang mendominasi kalo
kita ngomongin buku foto.
7. Kekuatan apa yang dimiki buku foto ini / yang menjadi pemeda dari buku
foto lainnya?
Tapi waktu membuatnya tim dari panna waktu membikinnya saya sendiri
yang punya inisiatif ini dibuat menjadi semacam ini ya (desain akte tanah
atau arsip) terus kemudian diresponse sama beberapa kawan seperti
desain, editingnya menjadi berubahkan. Awalnya ya lebih ke gagasan
awal gagasan bahwa kami melihat buku foto itu bukan sekedar kumpulan
foto-foto, tetapi menampilkan sebuah gagasan yang paling tidak orang
tersadarkan atau melihat atau sadar terhadap kejadian yang sedang
berlangsung gitu. Jadi lebih ke gagasan awalnya dan itu bisa diterima
masyarakat itu ngga terlalu jauh yah dan dekat dengan mereka.
Kalau dalam hal substansinya jadi gini, waktu itu saya berpikiran bahwa
sertifikat tanah itu merupakan sebuah kebanggaan sebuah keluarga atau
orang-orang yang mempunyai tanah, nah konsepnya seperti itu. Pas saat
kita membuka itu, ini adalah kisah pedih tentang orang yang kehilangan
jadi di satu pihak kita membuka dramanya dengan sesuatu yang pride
atau yang kita banggakan tentang sebuah kepemilikan tapi disini di
dalamnya ada kisah sedih, tentang orang-orang yang kehilangan bukan
hanya sekedar tanah menurut saya juga, tapi ada sejarah papun yang ada
di sini, sertifikat kan sebenernya sesuatu yang sifatnya hukum tapi yang di
dalem ini sifatnya emosional kalo di buku ini. Jadi pas dibuka orang
melihatnya seperti mendapaatkan sesuatu seperti sertifikat kan orang
biasanya seneng, pas melihat dalamnya ada sesuatu yang emosional nah
kita pengen menggugah sesuatu tuh dengan cara yang orang dekat, ini
kan hampir setiap orang tau map kaya gini itu sertifikat tanah, yang dekat
tidak jauh.
8. Menurut om edy perspektif apa yang mamuk gunakan untuk
menyampaikan pesan dalam fotonya? Lalu pesan apa yang begitu
tersampaikan ke om edy melalui rangkaian foto?
Kalau dalam segi visual ada dua bagian besar ini lansekap dan portrait,
jadi portrait ada di belakang dan yang megawali ada lansekap tanah-
tanah itu sendiri, bagaimana mamuk melihat projectnya, ini dia
mengerjakan juga sudah cukup lama dan karena dia juga tinggal di dekat
situ. Dia melihat bahwa ada dua hal yang besar yaitu tanah dan orang-
orang yang berada di situ, jadi kami melihatnya seperti itu. Dan pada saat
itu tantangannya banyak sekali foto-foto tentang lapindo ini kan maka
dari itu kita tidak mau membuat hal yang sama yang sudah dilakukan oleh
kawan-kawan sebelumnya karena masing-masing cara bercerita dan
bentuk visual itu kan berbeda-beda seperti media dengan cara bercerita
yang seperti itu. Kami memaknainya. Kami melihat bahwa tanah yang
hilang memiliki cara baru atau yang lain untuk bercerita.
Kalau rangkiannya sih yang ada sih mamuk memiliki cara bercerita yang
khas sebenernya dia menggunakan ruang atau space lain, terus dia ada
foto tentang perempuan yang akan menikah, itu kan karena mamuk
tinggal di dekat situ toh, jadi dia tau sekali apa yang terjadi di situ jadi
sebenernya banyak hal yang sebenernya sifatnya sangat personal buat
dia. Jadi tidak sekedar orang dateng lalu balik lagi untuk motret, ya
mamuk memang tinggal di situ dan dia memotret dengan perasaannya jadi
dia bisa menangkap realitas dengan menggunakan portrait dan lansekap
yang kuat yah narasi visualnya seperti itu ya kami di tim ya tim editor
hanya ingin membantu mikir saja pada saat itu. Pada saat itu pun saya
hanya berpikir bagaimana kalo buku ini dibuat menjadi seperti sertifikat
udah satu itu yang lainnya merespon.
9. Menurut om edy seberapa relevan kah buku foto ini dikaitkan degan isu
ham dan lingkungan hidup?
Sangat sih, kalo isu ham nya kan lebih kepada hak-hak atas kepemilikan
yang terenggut, itu jelas sangat, seperti hak atas tanahnya tercerabut lalu
hak atas hidup juga, hak atas kelangsungan hidup, kemudian kehilangan
sesuatu yang dia miliki yang tercerabut itu sudah pasti ad kaitannya. Saya
tidak begitu tahu secara teknis, namun yang saya lihat di sini begitu
mewakili. Khususnya foto-foto portrait ada hak-hak dasar manusia yang
tercerabut dengan adanya bencana yang disebabkan oleh manusia.
10. Seberapa penting buku foto hadir ke dalam masyarakat?
Penting banget menurut ku apalagi sekarang tuh yah visual sebagai alat
komunikasi utama dari beberapa diskusi atau seminar aku selalu
menyampaikan di abad 21 ini kita sudah masuk di abad visual culture,
pengguna visual lebih banyak dari menggunakan teks karna ada tiga
perubahan besar di dunia tuh, sebelum orang mengenal teks orang
menggunakan lisan lalu setelah itu masuk orang menggunakan teks terus
sekarang terakhir menggunakan bahasa visual.