Semiotika Arsitektur

7
Semiotika Arsitektur Postmodern Postmodern secara Umum Postmodernisme merupakan gerakan kebudayaan pada umumnya, yang dicirikan oleh penentangan terhadap totalitarianisme dan universalisme, secara kecenderunga ke arah keanekaragaman, ke arah melimpah ruah dan tumpang tindihnya berbagai citraan atau g sehingga menimbulkan fragmentasi kontradiksi, dan pendangkalan makna kebudayaan (Ya 2003 : 1! "ara pandang postmodern muncul darireaksi terhadap ketidaksanggupan modern dalam mencapai impian# $unia industrialisme, kapitalisme, individualime dari modern membe dampak buruk bagi kehidupanmasyarakat sehinggaposisinya menurun yang akhirnya menyemangati lahirnya postmodern, yang dia%ali gerakan dekonstruksi# $ekonstruksi m teori strukturalis dalam sastra yang mengatakan bah%a semua masyarakat dan mempunyai struktur yang sama sehingga hasil sastra dapat dimengerti secara universal# $ekonstruksi lebih menekankan pada pemaknaan yang muncul dari tiap individu yang me hasil sastra (teks!# $alam mendeskripsikan istilah postmodern, banyak hal yang dapat ditin&au s mengenai perspektif postmodern tersebut yang men&adikanistilah postmodern rancu# Postmodern dalam tin&auan se&arah akan berbeda dengan tin&auan estetika, b postmodern yang ditin&au dalam perspektif filsafat, dan akan berbeda lagi fenomena kultural# $ari hal'hal seperti itu bisa dinyatakan bah%a postmodern pada kenyataannya sebuah istilah yang tidak memiliki arti secara harafiah# aya merupakan sebuah istilah penting dalam %acana postmodern# Pendekatan %acana postmoderndilakukan dengan gerakan penolakanterhadap %acana besar, dan postmodern sebagai sub'kultur dari%acana besartersebut, salahsatunya adalahgerakan

description

semiotika

Transcript of Semiotika Arsitektur

Semiotika ArsitekturPostmodern

Postmodern secara UmumPostmodernisme merupakan gerakan kebudayaan pada umumnya, yang dicirikan oleh penentangan terhadap totalitarianisme dan universalisme, secara kecenderungannya ke arah keanekaragaman, ke arah melimpah ruah dan tumpang tindihnya berbagai citraan atau gaya, sehingga menimbulkan fragmentasi kontradiksi, dan pendangkalan makna kebudayaan (Yasraf, 2003 : 19)

Cara pandang postmodern muncul dari reaksi terhadap ketidaksanggupan modern dalam mencapai impian. Dunia industrialisme, kapitalisme, individualime dari modern memberikan dampak buruk bagi kehidupan masyarakat sehingga posisinya menurun yang akhirnya menyemangati lahirnya postmodern, yang diawali gerakan dekonstruksi. Dekonstruksi menolak teori strukturalis dalam sastra yang mengatakan bahwa semua masyarakat dan kebudayaan mempunyai struktur yang sama sehingga hasil sastra dapat dimengerti secara universal. Dekonstruksi lebih menekankan pada pemaknaan yang muncul dari tiap individu yang membaca hasil sastra (teks).

Dalam mendeskripsikan istilah postmodern, banyak hal yang dapat ditinjau sebagai acuan mengenai perspektif postmodern tersebut yang menjadikan istilah postmodern rancu. Postmodern dalam tinjauan sejarah akan berbeda dengan tinjauan estetika, berbeda dengan postmodern yang ditinjau dalam perspektif filsafat, dan akan berbeda lagi ketika ditinjau dari fenomena kultural. Dari hal-hal seperti itu bisa dinyatakan bahwa postmodern pada kenyataannya sebuah istilah yang tidak memiliki arti secara harafiah.

Gaya merupakan sebuah istilah penting dalam wacana postmodern. Pendekatan gaya dalam wacana postmodern dilakukan dengan gerakan penolakan terhadap wacana besar, dan postmodern sebagai sub-kultur dari wacana besar tersebut, salah satunya adalah gerakan Memphis, yang diprakarsai oleh Ettore Sottsass di kota Milan pada dekade 60-an. Gerakan tersebut memperkenalkan kembali bahasa-bahasa dalam seni dan desain. Dan pada dekade 70-an, gaya-gaya dari gerakan Memphis ini dikembangkan oleh kelompok-kelompok sub-kultur di Barat. Ada sekiranya tiga konsep gaya pada sub-kultur tersebut, yaitu :

1. Gaya sebagai satu bentuk praktik pertandaan. Gaya ini digunakan dalam membaca pakaian kelompok sub-kultur tertentu sebagai suatu makna semiotika tertentu. Contohnya dalam arsitektur postmodern, penggunaan kembali elemen klasik pada dekorasi bangunan yang dipadukan dengan struktur modern dapat digunakan dalam membaca gaya bangunan postmodern.

2. Gaya sebagai resistensi. Contohnya saja, penggunaan gaya pakaian atau musik sub-kultur merupakan suatu bentuk counter-culture terhadap kebudayaan mainstream.

3. Gaya sebagai bricolage. Gaya yang mengambil satu cuplikan kecil dari satu tempat dan menempatkannya pada tempat yang lain untuk menciptakan satu makna baru.

Melalui perannya dalam wacana postmodern yang bersifat pluralistik, gaya dapat merupakan satu bentuk sinkretisme, yaitu penyerapan berbagai elemen gaya yang berasal dari berbagai seniman, kebudayaan, periode, atau ideologi yang berbeda, bahkan bersifat kontradiktif sehingga menjadi sebuah menjadi gaya baru.

Postmodern ArsitekturPostmodern telah merambah ke segala bidang. Salah satunya adalah arsitektur, sebagai contoh yang tepat dalam postmodernisme. Seperti halnya bidang lain, postmodernisme dalam arsitektur menolak sebuah wacan-wacana besar, seperti kembali kepada permainan ornamen, ekletisme dari gaya-gaya bangunan dari berbagai periode sejarah yang cenderung tidak beraturan dan saling bertentangan. Penggunaan warna dalam arsitektur postmodern menolak warna-warna primer dan cenderung menggunakan warna-warna pastel, warna toska, atau warna yang saling bertentangan seperti hitam dan putih dan gradasinya seperti abu-abu. Tetapi postmodern bukan semata-mata pengkombinasian berbagai gaya dari masa lalu, lebih kepada masyarakat dan budaya yang ada di dalamnya yang mengacu kepada semangat jaman (kontemporer).

Arsitektur postmodern menurut Charles Jencks :

1. Disharmonious Harmony (keselarasan yang tidak selaras), Charles Jencks menganggap bahwa dalam arsitektur postmodern ini terjadi perpaduan antara keindahan dan komposisi, antara yang tidak selaras dengan yang tidak indah, antara yang simetris dengan yang asimetris.

2. Pluralism, gabungan dari beberapa aliran yang masih mencerminkan arsitektur setempat, resistensi modern.

3. Urbane Urbanism, menciptakan hunian yang sesuai dengan lingkungan.

4. Anthropomorphism, ornamen yang sesuai dengan bentuk-bentuk struktur manusia.

5. Anamnesis, lambang-lambang yang dapat menimbulkan kenangan masa lalu.

6. Divergent Signification, bentuk yang mengandung kesan atau makna yang beda dari yang ditampilkan, place dan desire simbolisme untuk memunculkan makna baru.

7. Double Coding, penggabungan dua macam langgam.

8. Multivalence, perpaduan beberapa macam gaya.

9. Tradition Reinterpretation, pengulangan akan tradisi yang lama.

10. New Rethorical Figures, memperbarui tata cara lama dengan figure yang baru.

11. Return To The Absent Centre (kembali pada pusat yang telah lama ditinggalkan).

12. Semiotics sebagai pondasi mengkomunikasikan makna. Jencks mengistilahkan dalam signified (konsep ruang, nilai sosial dan agama, fungsi, ide arsitektural, aktivitas) dan signifiers (bentuk, ruang, isi, warna, irama, tekstur) (Jencks, 1997 : 6-132. Broadbent, 1980 : 73-74).

Arsitektur postmodern membantu orang manusia untuk betah tinggal di rumah sebagai tempat bernaung, mengenal keadaan lingkungan sosial, dan berinteraksi dengan komunitas sekitar. Arsitektur postmodern merupakan bentuk ruang yang kongkrit tempat kehidupan itu berlangsung. Jadi bentuknya lebih bebas, tanpa ada aturan.

SemiotikaArsitektur postmodern juga memiliki prinsip yang bersifat simbolik, dalam hal ini berbicara semiotika. Dalam semiotika, ada beberapa ahli yang saling mengeluarkan teorinya masing-masing. Di sini tidak akan membahas satu-persatu teori yang dikemukakan para ahli., tetapi langsung menuju teori dari seorang ahli linguistik, Ferdinand de Saussure. Saussure lebih memperhatikan pada tanda itu sendiri. Bagi Saussure, tanda merupakan obyek fisik dengan sebuah makna; atau, untuk menggunakan istilahnya, sebuah tanda terdiri dari penanda (tanda bagi Pierce) dan petanda (interpretan bagi Pierce). Penanda adalah citra tanda seperti yang kita persepsi; petanda adalah konsep mental yang diacukan penanda. Konsep mental ini secara luas sama pada semua anggota kebudayaan yang sama yang menggunakan bahasa yang sama. Saussure menjelaskan bahwa tanda sebagai kesatuan yang tak terpisahkan dari penanda dan petanda. Kesepakatan sosial diperlukan untuk dapat memaknai tanda (Fiske, 1990 : 62-66). Saussure juga mengartikan dasar linguistik yang bertolak dari dikotomi, seperti parole dan langue. Parole adalah penggunaan secara individual yang memilih unsur-unsur tertentu yang disenangi dalam kamus yang dimiliki oleh seseorang. Langue adalah suatu sistem kode yang diketahui dan disepakati oleh semua pihak. Roland Barthes mengimplikasikan lebih lanjut tinjauan teori Saussure yang dibedakan atas dua makna, yaitu denotasi dan konotasi. Denotasi mengarah kepada anggapan umum mengenai kejelasan tanda tersebut. Barthes menjelaskan bahwa ada relasi antara penanda dan petanda di dalam tanda. Rumah mengandung makna denotasi sebagai tempat berteduh. Konotasi menjadi sebuah interpretan yang dipengaruhi oleh subyektif dari penafsir dan obyek. Konotasi menggambarkan interaksi yang berlangsung ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi penggunanya dalam nilai-nilai kultural. Rumah mengandung konotasi sebagai sebuah bangunan, gaya hidup, alamat, identitas, kepribadian, struktur, dan sejarah.

Semiotika ArsitekturSemiotika dalam arsitektur membentuk hubungan dekat antara keadaan geografis, sejarah, dan budaya lokalnya, serta komunitas sosial yang melingkupinya dari penggunaan warna, bentuk, ruang, isi/volume, bahkan permukaan bangunan, karena wujud arsitektur, seperti halnya wujud bidang lain, secara umum dapat dikatakan mempunyai makna denotasi terlebih dahulu kemudian menyusul makna konotasi. Selain rumah, jendela juga memiliki makna denotasi dan konotasi. Makna denotasi sudah jelas, sedangkan konotasinya, misalnya menggambarkan keagungan bangunan yang dapat dilihat dari proporsi atau bentuk.

Maka, seorang Charles Jencks mengistilahkan postmodern dengan semboyan Form Follow Meaning sebagai resistensi dari modern dalam metoda semiotika.

Semiotika Arsitektur PostmodernDalam perkembangan arsitektur, semiotika mulai banyak digunakan sejak era postmodern, yaitu era dimana para arsitek mulai menyadari adanya kesenjangan antara kaum elite pembuat lingkungan, dalam hal ini arsitek, dengan orang awam yang menghuni lingkungan. Saat itu semiotika digunakan dalam pembentukkan kembali makna arsitektur atas peran fungsi bangunan (Forms Follow Function) yang berlebihan tanpa memperhatikan kondisi sosial-budaya yang melingkupi bangunan tersebut. Jencks mempergunakan semiotika sebagai pondasi mengkomunikasikan makna. Bagi Jencks, konsep ruang, nilai sosial, fungsi, ide arsitektural, dan aktivitas, masuk dalam kategori petanda, sedangkan bentuk, ruang, isi, warna, irama, dan tekstur, Jencks mengkategorikan dalam lingkup penanda.

Melalui semiotika, bagi Jencks, arsitektur postmodern bukanlah merupakan bentuk yang mutlak seperti arsitektur modern, tetapi lebih menekankan kepada pola kemiripan bahkan perbedaan antar elemen. Jencks juga menekankan bahwa kode digunakan untuk memahami bentuk-bentuk yang abstraks, tidak bersifat baku, karena bentuk selalu dirangkai guna menciptakan konteks/alur, agar karya arsitektur dapat dibaca, maka arsitektur postmodern dalam lingkup semiotika mengeksplorasi ketidaksesuaian gaya, bentuk, maupun tekstur, mensejajarkan elemen-elemen yang berlawanan. Sebagai contoh, penerapan gaya straight revivalsm pada Museum Paul Getty di Malibu, dimana bangunan tersebut merespon pada konteks dan lebih relatif dalam gaya. Hal ini mendukung penegasan kekhasan lokal (Amerika) dalam bentuk-bentuk bangunan dan menentang bentuk-bentuk bangunan modern.

`

Analisis mengenai fungsi tanda dikenal sebagai sintaks-semiotik. Kemudian analisis yang berhubungan dengan interpretasi tanda dikenal sebagai semantik-semiotik. Sedangkan, analisis tanda yang berhubungan dengan pengirimannya dikenal sebagai semiotik-pragmatik.

Semiotik Pragmatik (semiotic pragmatic)Semiotik Pragmatik menguraikan tentang asal usul tanda, kegunaan tanda oleh yang menerapkannya, dan efek tanda bagi yang menginterpretasikan, dalam batas perilaku subyek. Dalam arsitektur, semiotik prakmatik merupakan tinjauan tentang pengaruh arsitektur (sebagai sistem tanda) terhadap manusia dalam menggunakan bangunan. Semiotik Prakmatik Arsitektur berpengaruh terhadap indera manusia dan perasaan pribadi (kesinambungan, posisi tubuh, otot dan persendian). Hasil karya arsitektur akan dimaknai sebagai suatu hasil persepsi oleh pengamatnya, hasil persepsi tersebut kemudian dapat mempengaruhi pengamat sebagai pemakai dalam menggunakan hasil karya arsitektur. Dengan kata lain, hasil karya arsitektur merupakan wujud yang dapat mempengaruhi pemakainya.

Semiotik Sintaktik (semiotic syntactic)Semiotik Sintaktik menguraikan tentang kombinasi tanda tanpa memperhatikan maknanya ataupun hubungannya terhadap perilaku subyek. Semiotik Sintaktik ini mengabaikan pengaruh akibat bagi subyek yang menginterpretasikan. Dalam arsitektur, semiotik sintaktik merupakan tinjauan tentang perwujudan arsitektur sebagai paduan dan kombinasi dari berbagai sistem tanda. Hasil karya arsitektur akan dapat diuraikan secara komposisional dan ke dalam bagian-bagiannya, hubungan antar bagian dalam keseluruhan akan dapat diuraikan secara jelas.

Semiotik Semantik (semiotic semantic)Semiotik Sematik menguraikan tentang pengertian suatu tanda sesuai dengan arti yang disampaikan. Dalam arsitektur semiotik semantik merupakan tinjauan tentang sistem tanda yang dapat sesuai dengan arti yang disampaikan. Hasil karya arsitektur merupakan perwujudan makna yang ingin disampaikan oleh perancangnya yang disampaikan melalui ekspresi wujudnya. Wujud tersebut akan dimaknai kembali sebagai suatu hasil persepsi oleh pengamatnya. Perwujudan makna suatu rancangan dapat dikatakan berhasil jika makna atau arti yang ingin disampaikan oleh perancang melalui rancangannya dapat dipahami dan diterima secara tepat oleh pengamatnya, jika ekspresi yang ingin disampaikan perancangnya sama dengan persepsi pengamatnya.