Post on 08-Mar-2019
ANALISIS KELAYAKAN PENGUSAHAAN PUPUK KOMPOS (Kasus pada Unit Usaha Koperasi Kelompok Tani Lisung Kiwari,
Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)
SKRIPSI
WIWIN WIDIYANI H34060046
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
RINGKASAN
WIWIN WIDIYANI. H34060046. 2010. Analisis Kelayakan Pengusahaan Pupuk Kompos (Kasus pada Unit Usaha Koperasi Kelompok Tani Lisung Kiwari, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Skripsi. Departemen Agribisnis. Fakultas Ekonomi Dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor (Di bawah bimbingan RITA NURMALINA).
Pembangunan pertanian di Indonesia memiliki peranan penting dalam pembangunan ekonomi. Beberapa hal yang mendasari pentingnya pertanian di Indonesia yaitu potensi keanekaragaman sumber daya alam, pemenuhan kebutuhan pangan, penyedia bahan mentah untuk industri, sektor riil pendapatan nasional, dan basis pertumbuhan di perdesaan. Sebuah proyek pada masa orde baru diadakan untuk mendorong pembangunan pertanian yaitu gerakan revolusi hijau.
Adanya gerakan revolusi hijau tidak hanya berhasil membuat Indonesia mencapai swasembada beras tetapi juga menimbulkan dampak negatif dalam jangka panjang. Krisis lingkungan yang terjadi akibat gerakan revolusi hijau sejak tahun 1970-an mulai kini dirasa sangat merugikan masyarakat khususnya petani. Revolusi hijau yang menginstruksikan pemakaian pupuk anorganik secara intensif mengakibatkan kandungan organik tanah (humus) menurun drastis sehingga tingkat kesuburan lahan pertanian menurun secara perlahan. Departemen Pertanian mencetuskan suatu sistem pertanian organik (organik farming) dengan tema “Go Organic 2010” yang bertujuan untuk mengurangi penggunaan bahan berbasis anorganik untuk disubstitusikan dengan bahan berbasis organik. Salah satu bentuk aktivitas nyata yang turut mendukung program tersebut yaitu dengan menambahkan pupuk organik/kompos ke lahan-lahan sawah.
Diketahui pada tahun 2008 terdapat selisih yang cukup besar antara kebutuhan dan ketersediaan pupuk organik di Indonesia bila dibandingkan dengan jenis pupuk lainnya yaitu sebesar 16.655.000 ton. Besarnya kebutuhan pupuk organik menunjukkan adanya peluang pengusahaan pupuk kompos sebagai usaha yang berpotensi untuk mengembangkan sistem pertanian organik. Salah satu daerah yang turut berupaya mewujudkan pengembangan pertanian organik yaitu Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor. Sebagian besar petani di Desa Ciburuy telah melakukan kegiatan pembuatan pupuk kompos tetapi hanya digunakan untuk kebutuhannya sendiri dan belum dikomersilkan. Keterbatasan modal dan pengetahuan yang dimiliki membuat para petani belum termotivasi untuk menjadikannya sebagai sebuah usaha, disamping risiko kerugian yang mungkin timbul dari suatu usaha. Satu-satunya usaha pengomposan yang terdapat di Desa Ciburuy dilaksanakan oleh Unit Usaha Koperasi Kelompok Tani (KKT) Lisung Kiwari yang bermitra dengan Lembaga Pertanian Sehat (LPS).
Saat ini, kondisi yang terjadi memperlihatkan kegiatan pengusahaan belum berkembang secara signifikan walaupun umur usaha telah berjalan selama ± 4 tahun. Adanya potensi pasar yang belum terpenuhi juga mendorong unit usaha untuk melakukan pengembangan usaha dengan cara meningkatkan kapasitas produksinya. Rencana peningkatan kapasitas produksi ini tentunya
iii
memerlukan biaya investasi tambahan. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis kelayakan pada kondisi usaha saat ini untuk mengetahui apakah usaha menguntungkan atau tidak agar tidak terjadi kerugian yang terlalu lama dan analisis kelayakan pada rencana pengembangan usaha untuk mengetahui apakah rencana pengembangan usaha ini akan membuat kondisi usaha jauh lebih baik untuk dijalankan atau tidak.
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah 1) Menganalisis kelayakan pengusahaan pupuk kompos ditinjau dari aspek non finansial, 2) Menganalisis tingkat kelayakan finansial pengusahaan pupuk kompos pada kondisi saat ini dan pengembangan usaha dan 3) Menganilisis tingkat sensitivitas pengusahaan pupuk kompos terhadap kenaikan harga bahan baku, penurunan jumlah produksi dan harga jual pupuk kompos yang dapat mempengaruhi usaha dengan menggunakan metode switching value.
Berdasarkan hasil analisis aspek-aspek non finansial, yaitu 1) Aspek pasar, 2) Aspek teknis, 3) Aspek manajemen dan hukum, 4) Aspek sosial, ekonomi dan budaya, dan 5) Aspek lingkungan, pengusahaan pupuk kompos KKT Lisung Kiwari layak untuk dijalankan. Analisis aspek-aspek finansial menggunakan dua skenario. Skenario I merupakan kondisi pengusahaan pupuk kompos pada saat ini, dimana usaha telah berproduksi secara optimal karena besarnya permintaan yang diajukan oleh LPS melebihi kapasitas produksi sebesar 12 ton per bulan. Hasil perhitungan kriteria investasi menunjukkan bahwa nilai NPV yang diperoleh adalah Rp 67.911.262,34; Net B/C 3,52; IRR 56,82 persen, dan payback period selama 2,84 atau 2 tahun 10 bulan 2 hari. Skenario II merupakan kondisi pengusahaan pupuk kompos pada rencana pengembangan usaha berupa peningkatan kapasitas produksi tiap bulannya menjadi 21 ton per bulan. Berdasarkan analisis kriteria investasi, diperoleh nilai NPV sebesar Rp 138,322,490.83; Net B/C 5.91; IRR 96.77 persen, dan payback period 1.69 atau 1 tahun 8 bulan 8 hari.
Hasil analisis finansial menunjukkan bahwa kedua skenario usaha layak untuk dijalankan berdasarkan kriteria investasi. Skenario usaha II memiliki tingkat kelayakan yang lebih tinggi daripada skenario usaha I karena adanya pengembangan usaha dapat memberikan tingkat perolehan manfaat yang lebih besar berupa tambahan keuntungan secara finansial. Berdasarkan perbandingan hasil analisis switching value diperoleh bahwa usaha pada kondisi pengembangan usaha (skenario II) memiliki tingkat kepekaan yang lebih rendah atau batas maksimal yang lebih tinggi terhadap kemungkinan perubahan biaya dan manfaat yang terjadi. Dengan demikian, kondisi pada pengembangan usaha menjadi skenario yang paling menguntungkan untuk diusahakan.
Rekomendasi saran yang dapat dipertimbangkan dalam penelitian ini yaitu unit usaha sebaiknya melakukan pengembangan usaha dengan peningkatan kapasitas produksi sebesar 21 ton melalui perluasan lahan pengomposan, membuka jalur pemasaran lainnya, mempertahankan kualitas produk, dan melakukan perbaikan pengelolaan administrasi. Bagi LPS dan Pemerintah, sebaiknya terus mendukung pengusahaan pupuk kompos dengan cara menjalin hubungan kemitraan yang baik diantara keduanya dan melaksanakan pembinaan untuk berbagi informasi dan edukasi kepada masyarakat mengenai pentingnya pertanian ramah lingkungan.
ANALISIS KELAYAKAN PENGUSAHAAN PUPUK KOMPOS (Kasus pada Unit Usaha Koperasi Kelompok Tani Lisung Kiwari,
Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)
WIWIN WIDIYANI H34060046
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada
Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
Judul Skripsi : Analisis Kelayakan Pengusahaan Pupuk Kompos (Kasus pada Unit Usaha Koperasi Kelompok Tani Lisung Kiwari, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat)
Nama : Wiwin Widiyani
NIM : H34060046
Menyetujui, Pembimbing
Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS NIP. 19550713 198703 2 001
Mengetahui Ketua Departemen Agribisnis
Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Nunung Kusnadi, MS NIP. 19580908 198403 1 002
Tanggal Lulus:
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul “Analisis
Kelayakan Pengusahaan Pupuk Kompos (Kasus pada Unit Usaha Koperasi
Kelompok Tani Lisung Kiwari, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa
Barat)” adalah karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada
perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya
yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam bentuk daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juni 2010
Wiwin Widiyani
H34060046
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 05 Juli 1988. Penulis adalah
anak kedua dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Sumpeno Riyadi dan Ibu
Siti Rasimah. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri 08 Pagi
Jakarta pada tahun 2000 dan pendidikan menengah pertama di SLTP Negeri 123
Jakarta yang lulus pada tahun 2003. Penulis juga telah menamatkan pendidikan
lanjutan menengah atas di SMU Negeri 72 Jakarta pada tahun 2006.
Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur
Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) tahun 2006. Setelah melewati Tingkat
Persiapan Bersama, pada tahun 2007 penulis diterima di Departemen Agribisnis,
Fakultas Ekonomi dan Manajemen, Institut Pertanian Bogor.
Selama masa perkuliahan, penulis tercatat sebagai anggota Himpunan
Mahasiswa Peminat Agribisnis (HIPMA) Fakultas Ekonomi dan Manajemen.
Penulis juga berkesempatan menjadi Asisten Dosen Mata Kuliah Ekonomi Umum
Program Tingkat Persiapan Bersama (TPB) pada tahun 2009 dan 2010 yang di
bawahi oleh Departemen Ilmu Ekonomi. Selain itu penulis juga aktif dalam
berbagai kegiatan kepanitiaan baik di lingkungan Departemen, Fakultas maupun
Institut.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat,
hidayah serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Analisis Kelayakan Pengusahaan Pupuk Kompos (Kasus pada Unit
Usaha Koperasi Kelompok Tani Lisung Kiwari, Kecamatan Cigombong,
Kabupaten Bogor, Jawa Barat)”.
Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak termasuk
penulis dan juga usaha tempat penulis melakukan penelitian. Penulis juga
mengharapkan masukan dan kritik yang bersifat membangun untuk
penyempurnaan pada skripsi ini.
Bogor, Juni 2010
Wiwin Widiyani
ix
UCAPAN TERIMAKASIH
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
berkah, rahmat dan anugerah-Nya serta jalan dan kemudahan yang Engkau
tunjukkan kepada penulis. Penulis menyadari dalam menyelesaikan skripsi ini
juga tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak atas bimbingan dan doanya. Dalam
kesempatan ini, penulis ucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Ir. Rita Nurmalina, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
memberikan bimbingan, arahan, waktu dan kesabaran kepada penulis selama
penyusunan skripsi ini.
2. Dr. Ir. Ratna Winandi, MS selaku dosen penguji utama yang telah meluangkan
waktunya serta memberikan kritik dan saran demi perbaikan skripsi ini.
3. Yanti Nuraini, SP, MAgribuss selaku dosen penguji komisi pendidikan atas
segala kritik dan saran yang telah diberikan demi perbaikan skripsi ini.
4. Kedua orangtua tercinta. Terima kasih atas segalanya, tanpa kalian aku takkan
bisa seperti ini. Semoga karya ini dapat menjadi bukti kasih sayangku teruntuk
kalian.
5. Ir. Harmini, MSi selaku dosen pembiming akademik selama masa perkuliahan
di Departemen Agribisnis atas dukungan dan bimbingan akademik penulis.
6. Dosen-dosen dan Staf Departemen Agribisnis. Terimakasih atas semua ilmu
pengetahuan dan bantuan yang kalian berikan kepada penulis dan teman-
teman.
7. Bapak H.A. Zakaria selaku Ketua Gapoktan Silih Asih, Bapak Harry Kuswara
selaku Ketua Koperasi Kelompok Tani Lisung Kiwari, para petani dan
masyarakat sekitar Desa Ciburuy di Kecamatan Cigombong. Terima kasih atas
waktu, kesempatan, informasi, pelajaran, dan dukungan yang diberikan selama
penelitian.
8. Bapak H. Samsudin, Bapak Khoirul Anam, Ibu Santi, dan seluruh pihak
Lembaga Pertanian Sehat serta Instansi-instansi terkait atas waktu, informasi,
dan kesempatan yang diberikan dalam penyusunan skripsi ini.
9. Kakak ku, Fitri Yuliani yang selalu memberikan cinta dan kasih sayang serta
dukungan dan doa. Adik-adik ku Mahendra Ilham Prayogo dan Maharani
Syaputri atas segala keceriaan, penghiburan, serta semangat.
x
10. Mayasari selaku pembahas seminar, terima kasih atas masukan dan dukungan
baik saat perkuliahan maupun saat penyelesaian skripsi.
11. Sahabat-sahabat seperjuangan, Evine, Anne, Dilla, Emil, dan Dea. Terima
kasih atas segala kebersamaan dan rasa persahabatan yang telah kalian berikan
selama ini. Semoga perjuangan dalam kebersamaan kita akan selalu ada.
12. Teman-teman satu bimbingan skripsi, Selly, Khusnul, dan Ade untuk
masukan, semangat, dukungan dan doa dalam menyusun skripsi ini.
13. Teman-teman satu lokasi penelitian, Ribut, Agista, dan Lulus serta Tim
gladikarya Desa Sukaresmi, Bayu, Elva, Gladys, dan Puspi. Terima kasih atas
kerjasama, dukungan, dan kebersamaan kalian hingga menjadi pengalaman
yang berharga dan tak terlupakan bagi penulis.
14. Sahabat-sahabat dan teman-teman AGB 43,42,44 atas semangat,
kebersamaan, dan kekompakkan selama ini. Menjadi bagian dari orang-orang
cerdas dan kritis seperti kalian semua merupakan suatu motivasi bagi penulis
untuk terus berjuang ke arah yang lebih baik lagi. Dina, Firdy, Yani sebagai
teman satu pembimbing akademik. Anyez, Bale, Dida, Haris, Izil, Jiban,
Nanang, Okla, Rendi, Yuli atas kecerian, kebersamaan, kepedulian, doa dan
dukungan dalam menyusun skripsi. AGB Growing The Future !
15. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, terimakasih atas
bantuannya.
Bogor, Juni 2010
Wiwin Widiyani
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ............................................................................ xiii
DAFTAR GAMBAR ........................................................................ xv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................... xvi
I PENDAHULUAN ................................................................. 1 1.1 Latar Belakang ........................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah ................................................... 7 1.3 Tujuan ......................................................................... 11 1.4 Manfaat ...................................................................... 12 1.5 Ruang Lingkup ........................................................... 12
II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................... 13 2.1 Limbah Organik ......................................................... 13 2.1.1 Pengelolaan Limbah Organik ............................. 13 2.2 Pemupukan ................................................................. 14 2.2.1 Jenis Pupuk ....................................................... 15 2.2.1.1 Pupuk Anorganik ................................... 15 2.2.1.2 Pupuk Organik ....................................... 16 2.3 Kompos ...................................................................... 18 2.3.1 Bokashi ............................................................... 20 2.4 Pengolahan Limbah Organik Untuk Kompos ............ 21 2.4.1 Proses Pengomposan ......................................... 22 2.4.2 Laju Pengomposan ............................................ 23 2.4.3 Metode Pengomposan ....................................... 25 2.5 Pengusahaan Pupuk Kompos ..................................... 26 2.5.1 Perencanaan Pengusahaan Pupuk Kompos ........ 27 2.6 Tinjauan Studi Terdahulu ............................................. 28
III KERANGKA PEMIKIRAN ............................................... 32 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis ..................................... 32 3.1.1 Analisis Kelayakan Proyek ................................ 32 3.1.2 Teori Biaya dan Manfaat .................................... 35 3.1.3 Analisis Kelayakan Investasi ............................. 37 3.1.4 Analisis Finansial ............................................... 37 3.1.5 Analisis Sensitivitas ........................................... 39 3.2 Kerangka Pemikiran Operasional ............................... 40
IV METODE PENELITIAN .................................................... 45 4.1 Lokasi dan Waktu ...................................................... 45 4.2 Data dan Instrumentasi ............................................... 45 4.3 Metode Pengumpulan Data ........................................ 46 4.4 Metode dan Analisis Data .......................................... 46 4.5 Analisis Kelayakan Usaha............................................ 46 4.6 Analisis Nilai Pengganti (Switching Value) ................ 51 4.7 Asumsi Dasar yang Digunakan ................................... 52
xii
V GAMBARAN UMUM ......................................................... 55 5.1 Gambaran Umum Desa Ciburuy ................................ 55 5.1.1 Kondisi Fisik Desa Ciburuy ............................... 55 5.1.2 Potensi Pertanian ................................................ 55 5.2 Gambaran Umum Usaha ............................................. 56 5.2.1 Sejarah dan Perkembangan Usaha ..................... 56 5.2.2 Pengadaan Input ................................................. 59 5.2.3 Proses Produksi .................................................. 59 5.2.4 Pemasaran .......................................................... 66
VI HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................. 68 6.1 Analisis Aspek-Aspek Non Finansial ......................... 68 6.1.1 Aspek Pasar ........................................................ 68 6.1.2 Aspek Teknis ...................................................... 77 6.1.3 Aspek Manajemen dan Hukum .......................... 88 6.1.4 Aspek Sosial, Ekonomi, dan Budaya ................. 91 6.1.5 Aspek Lingkungan ............................................. 93 6.2 Analisis Aspek Finansial ............................................. 94 6.2.1 Analisis Kelayalan Finansial Skenario I ............ 94 6.2.1.1 Inflow ..................................................... 94 6.2.1.2 Outflow ................................................... 97 6.2.1.3 Analisis Laba Rugi Usaha ...................... 111 6.2.1.4 Analisis Kelayakan Finansial ................. 112 6.2.1.5 Analisis Switching Value ....................... 114 6.2.2 Analisis Kelayakan Finansial Skenario II .......... 116 6.2.2.1 Inflow ..................................................... 117 6.2.2.2 Outflow ................................................... 119 6.2.2.3 Analisis Laba Rugi Usaha ...................... 130 6.2.2.4 Analisis Kelayakan Finansial ................. 131 6.2.2.5 Analisis Switching Value ....................... 132 6.2.3 Perbandingan Laba Rugi .................................... 134 6.2.4 Perbandingan Hasil Kelayakan Finansial ........... 135 6.2.5 Perbandingan Hasil Analisis Switching Value ... 136
VII PENUTUP ............................................................................. 138 7.1 Kesimpulan ................................................................ 138 7.2 Saran ............................................................................ 139
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................... 140
LAMPIRAN ...................................................................................... 142
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Kebutuhan dan Ketersediaan Pupuk di Indonesia Tahun 2008 4
2. Potensi Pasar Pupuk Organik di Indonesia Tahun 2009 .......... 5
3. Permintaan Pupuk Organik di Kota dan Kabupaten Bogor Tahun 2008 ............................................................................ 9
4. Standar Kualitas Unsur Makro Kompos Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 19-7030-2004) .................. 19
5. Sumber-sumber Kompos dari Bahan Organik ....................... 20
6. Kandungan Nilai C/N Ratio Beberapa Bahan Organik Untuk Kompos ........................................................................ 24
7. Studi Terdahulu yang Berkaitan dengan Penelitian ................ 31
8. Jumlah Total Produksi dan Nilai Penjualan Skenario Usaha I (Kapasitas 12 ton/bulan) ........................................... 96
9. Nilai Sisa Investasi pada Skenario Usaha I (Kapasitas
12 ton/bulan) ........................................................................... 97
10. Rincian Biaya Investasi pada Skenario Usaha I (Kapasitas
12 ton/bulan) ........................................................................... 100
11. Rincian Biaya Reinvestasi pada Skenario Usaha I (Kapasitas
12 ton/bulan) ........................................................................... 101
12. Rincian Biaya Tetap pada Skenario Usaha I (Kapasitas
12 ton/bulan) ........................................................................... 104
13. Rincian Kebutuhan Bahan Baku dan Tenaga Kerja
untuk Kapasitas Produksi 1 ton dalam 1 petak ...................... 106
14. Rincian Biaya Variabel pada Skenario Usaha I (Kapasitas
12 ton/bulan) ........................................................................... 110
15. Hasil Analisis Kelayakan Finansial pada Skenario Usaha I
(Kapasitas 12 ton/bulan) ......................................................... 113
16. Hasil Analisis Switching Value pada Skenario Usaha I
(Kapasitas 12 ton/bulan) ......................................................... 114
17. Jumlah Total Produksi dan Nilai Penjualan Skenario II
(Kapasitas 21 ton/bulan) ......................................................... 118
xiv
18. Nilai Sisa Investasi pada Skenario Usaha II (Kapasitas
21 ton/bulan) ........................................................................... 119
19. Rincian Biaya Investasi pada Skenario Usaha II (Kapasitas
21 ton/bulan) ........................................................................... 121
20. Rincian Biaya Reinvestasi pada Skenario Usaha II
(Kapasitas 21 ton/bulan) ......................................................... 122
21. Rincian Biaya Tetap pada Skenario Usaha II (Kapasitas
21 ton/bulan) ........................................................................... 124
22. Rincian Biaya Variabel pada Skenario Usaha II (Kapasitas
21 ton/bulan) ........................................................................... 129
23. Rincian Pajak Penghasilan pada Skenario Usaha II
(Kapasitas 21 ton/bulan) ......................................................... 130
24. Hasil Analisis Kelayakan Finansial pada Skenario Usaha II
(Kapasitas 21 ton/bulan) ......................................................... 131
25. Hasil Analisis Switching Value pada Skenario Usaha II
(Kapasitas 21 ton/bulan) ......................................................... 132
26. Perbandingan Hasil Laba Rugi ............................................... 135
27. Perbandingan Hasil Kelayakan Finansial ............................... 135
28. Perbandingan Hasil Analisis Switching Value ....................... 136
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Kerangka Pemikiran Operasional ........................................... 44
2. Program Pemberdayaan Petani Sehat (P3S) Bogor ................ 57
3. Penumpukan dan Pengolahan Bahan Kompos ........................ 62
4. Penambahan Kapur Pertanian dan Penyiraman Kultur Bakteri 63
5. Pembalikkan Berulang Olahan Bahan Kompos ....................... 64
6. Pengayakan Pupuk Kompos ..................................................... 65
7. Pengemasan Pupuk Kompos .................................................... 65
8. Alur Pembuatan Pupuk Kompos OFER .................................. 66
9. Skema Saluran Distribusi Pupuk Kompos KKT Lisung Kiwari ......................................................................... 74
10. Koperasi Kelompok Tani Lisung Kiwari ................................ 81
11. Layout Lokasi Usaha Pupuk Kompos OFER .......................... 85
12. Layout Bangunan Pengomposan ............................................. 86
13. Mesin Pencacah Jerami ........................................................... 88
14. Struktur Organisasi Koperasi Kelompok Tani Lisung Kiwari 90
15. Bahan Kompos ........................................................................ 162
16. Jerami ...................................................................................... 162
17. Arang Sekam ........................................................................... 162
18. Fermentasi Pengomposan ....................................................... 162
19. Pupuk Kompos Kemasan ........................................................ 162
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Harga Pokok Produksi Pupuk Kompos per kg ..................... 143
2. Cashflow Skenario Usaha I ................................................... 144
3. Cashflow Skenario Usaha II ................................................. 146
4. Laporan Laba Rugi Skenario Usaha I ................................... 148
5. Laporan Laba Rugi Skenario Usaha II .................................. 149
6. Cashflow Analisis Switching Value Kenaikan Biaya Variabel Skenario Usaha I .................................................... 150
7. Cashflow Analisis Switching Value Penurunan Produksi Skenario Usaha I .................................................... 152
8. Cashflow Analisis Switching Value Penurunan Harga Jual Skenario Usaha I ................................................. 154
9. Cashflow Analisis Switching Value Kenaikan Biaya Variabel Skenario Usaha II ................................................... 156
10. Cashflow Analisis Switching Value Penurunan Produksi Skenario Usaha II .................................................. 158
11. Cashflow Analisis Switching Value Penurunan Harga Jual Skenario Usaha II ............................................... 160
12. Dokumentasi ......................................................................... 162
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan pertanian di Indonesia memiliki peranan penting dalam
pembangunan ekonomi. Beberapa hal yang mendasari pentingnya pertanian di
Indonesia yaitu potensi keanekaragaman sumber daya alam, pemenuhan
kebutuhan pangan, penyedia bahan mentah untuk industri, sektor riil pendapatan
nasional, dan basis pertumbuhan di perdesaan (Winangun 2005). Teori Malthus
mengatakan bahwa pertumbuhan populasi mempunyai kecenderungan meningkat
melebihi ketersediaan pangan. Hal ini turut mendorong para ahli untuk membuat
suatu terobosan yang mampu mengatasi kelangkaan pangan. Sebuah proyek pada
masa orde baru diadakan untuk memacu produktivitas dan mendorong
pembangunan pertanian yaitu gerakan revolusi hijau (Zaini 2008).
Gerakan revolusi hijau telah ada di dunia sejak tahun 1950-an atau setelah
Perang Dunia II dan di Indonesia mulai tahun 1970-an melalui kebijakan
intensifikasi pertanian yaitu program bimbingan massal atau bimas. Kebijakan
pemerintah pada saat itu merekomendasikan penggunaan energi luar, dengan
mendorong pemakaian benih varietas unggul (high variety yield), pemakaian
pupuk anorganik dan pestisida (Salikin 2003). Tujuan diadakannya program
tersebut dengan maksud dapat meningkatkan produktivitas pertanian secara cepat
untuk pertumbuhan penduduk yang cepat (Karama et.al. 1990, diacu dalam
Pirngadi 2008). Produktivitas padi saat itu mencapai 4,54 ton GKG per hektar
dengan umur panen <135 hari. Sedangkan pada masa pra revolusi hijau dengan
pengelolaan bahan organik secara in situ (di lokasi setempat), produktivitas masih
rendah 2,3 ton GKG per hektar dengan umur panen enam bulan (Makarim dan
Suhartatik 2006, diacu dalam Pirngadi 2008). Gerakan revolusi hijau mencapai
puncaknya yaitu dengan terwujudnya swasembada beras pada tahun 1984 (Zaini
2008).
Keberhasilan teknologi revolusi hijau yang dapat dilihat dalam waktu
singkat, ternyata menimbulkan kerugian-kerugian yang akan terlihat dalam jangka
panjang. Petani-petani tidak menyadari bahwa biaya yang harus dikeluarkan untuk
mencapai hal tersebut sangatlah tinggi terutama dalam bentuk ketergantungan
2
pemakaian pupuk anorganik, kerusakan lingkungan yang parah dan penurunan
tingkat kesuburan tanah. Pada tahun 1990-an gerakan revolusi hijau mencapai titik
baliknya karena dinilai gagal dan mulai banyak diprotes oleh masyarakat
(Winangun 2005).
Teknologi revolusi hijau telah membuat petani-petani Indonesia
tergantung terhadap penggunaan bibit unggul, pupuk anorganik, dan obat-obatan
kimia. Ketergantungan penggunaan pupuk anorganik secara intensif menyebabkan
perkembangan mikroorganisme di dalam tanah mati sehingga mikroorganisme
tersebut tidak lagi dapat menguraikan bahan organik. Akibatnya kandungan
organik tanah (humus) menurun drastis dan sisa-sisa pupuk yang tidak terserap
akar tanaman akan terakumulasi di dalam tanah, sehingga kondisi tanah menjadi
keras dan bergumpal. Produktivitas tanah sebagai daya dukung terhadap
ketersediaan air, hara dan kehidupan biota cenderung menurun. Pada kondisi
seperti ini bila tidak diatasi akan terjadi levelling off, yaitu kondisi dimana
pertambahan input tidak lagi mampu meningkatkan produksi tanaman. Dampak
dari pemakaian pestisida berbahan kimia pun menyebabkan hama menjadi kebal
(Oesman 2007).
Saat ini, diketahui lahan pertanian yang telah berubah menjadi kondisi
kritis mencapai 66 persen dari total 7 juta hektar lahan pertanian di Indonesia1).
Dilaporkan sebesar 73 persen lahan pertanian baik lahan sawah maupun lahan
kering mempunyai kandungan bahan organik yang rendah < 2 persen. Akibatnya,
produksi padi cenderung turun dan kebutuhan pupuk terus meningkat (Pirngadi
2008). Dilain pihak, kebijakan ekonomi oleh Menteri Perdagangan Marie
Pangestu yang mengizinkan ekspor pupuk lebih besar ke luar negeri telah
mendorong terjadinya kenaikan harga pupuk setiap kali musim tanam. Secara
ekonomi, kebijakan tersebut dirasa wajar dalam memaksimalkan keuntungan. Hal
ini disebabkan harga jual pupuk ke luar negeri jauh lebih mahal daripada ke petani
lokal. Misalnya harga pupuk urea bersubsidi di pasar dalam negeri hanya Rp
1.200,- per kg. Padahal harga pupuk urea di pasar internasional tahun 2008
diketahui mencapai Rp 4.000,- per kg. Namun, akibat dari kebijakan itu, pasokan
1) Sakina, NN. 2009. Pencemaran Tanah Oleh Pupuk. Blog at WordPress.com. [Diakses
15 Desember 2009]
3
pupuk kepada petani menjadi berkurang sehingga harga pupuk di dalam negeri
meningkat lebih dari 40 persen2).
Upaya mengatasi dampak negatif dari sistem pertanian dengan
penggunaan bahan anorganik yang tinggi, Departemen Pertanian mencetuskan
sistem pertanian organik (organik farming) dengan tema “Go Organic 2010”
sebagai alternatif solusi dari masalah tersebut. Sistem pertanian organik
merupakan kegiatan usahatani secara menyeluruh mulai dari proses produksi (pra-
panen) sampai proses pengolahan hasil (pasca-panen) yang bersifat ramah
lingkungan dan dikelola secara alami tanpa menggunakan bahan kimia sintetis
dan rekayasa genetika, sehingga menghasilkan produk yang sehat dan bergizi
(IFOAM 2002, diacu dalam Hartatik et.al 2008). Menurut Salikin (2003), salah
satu model sistem pertanian lainnya yang juga berbasis organik adalah sistem
pertanian masukan luar rendah atau LEISA (Low External Input Sustainable
Agriculture). Metode LEISA tidak bertujuan memaksimalkan produksi dalam
jangka pendek, namun untuk mencapai tingkat produksi yang stabil dan
mencukupi dalam jangka panjang. Adanya model LEISA dapat menghindari
penurunan produktivitas secara drastis, sebab penggunaan input luar masih
diperkenankan hanya bila hal tersebut sangat penting dan diperlukan untuk
melengkapi unsur-unsur yang kurang dalam agroekosistem. Konsep pertanian
organik ini pada dasarnya bertujuan untuk mengurangi penggunaan bahan-bahan
yang berbasis anorganik untuk disubstitusikan dengan bahan yang berbasis
organik.
Salah satu langkah nyata dari sistem pertanian organik ini adalah dengan
menambahkan pupuk organik/kompos ke lahan-lahan sawah. Penggunaan pupuk
kompos selain bermanfaat dalam mengurangi jumlah limbah organik juga dapat
mengurangi dosis pupuk dan pencemaran lingkungan. Kompos harus ditambahkan
dalam jumlah yang cukup hingga kandungan bahan organik kembali ideal seperti
semula. Berkembangnya isu pertanian berkelanjutan ramah lingkungan,
pencemaran, dan penurunan tingkat kesuburan lahan akibat pupuk anorganik telah
menyebabkan peningkatan kembali minat masyarakat dan petani dalam
2) [MDR] Media Data Riset PT. 2009. Optimalisasi Industri Pupuk Menghadapi Krisis
Pupuk di Indonesia 2009. www.mediadata.co.id [Diakses 15 Desember 2009]
4
memanfaatkan kompos sebagai pupuk dan pembenah tanah dalam sistem
budidaya tanaman (Aminah et al. 2003). Selain itu, diketahui setiap tahun lebih
dari 165 juta ton bahan organik dihasilkan dari limbah panen tanaman pangan dan
hortikultura, namun potensi tersebut pada umumnya belum terkelola dengan baik
yaitu sekitar 75-80 juta ton digunakan untuk keperluan industri (kertas, karbon,
jamur merang) dan di sawah lebih banyak dibakar (Pirngadi et.al. 2006b,
Makarim dan Sumarno 2007, diacu dalam Pirngadi 2008). Hal ini dapat menjadi
suatu peluang potensial bagi pelaku industri pupuk dalam memanfaatkan
pergeseran minat dan potensi limbah untuk memenuhi kebutuhan petani terhadap
pupuk kompos.
Pupuk organik memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Diketahui
kebutuhan pupuk organik di Indonesia tahun 2008 mencapai 17 juta ton jauh lebih
besar dibanding kebutuhan pupuk anorganik yang hanya berkisar 1-5 juta ton.
Besarnya jumlah kebutuhan pupuk organik tersebut dikarenakan lahan pertanian
di Indonesia sudah berubah menjadi lahan kritis sehingga diperlukan pupuk
organik dalam jumlah besar untuk dapat mengembalikan fungsi daya dukung
lahan. Tabel 1 menunjukkan kebutuhan dan ketersediaan pupuk organik dan
anorganik di Indonesia tahun 2008.
Tabel 1. Kebutuhan dan Ketersediaan Pupuk di Indonesia Tahun 2008 Jenis Pupuk Kebutuhan (Ton) Ketersediaan Pupuk (Ton) Selisih (Ton) Urea 5.817.974 4.300.000 1.517.917SP-36 2.443.169 800.000 1.643.169ZA 1.164.744 700.000 464.744NPK 1.269.406 900.000 369.406Organik 17.000.000* 345.000 16.655.000
Sumber: Departemen Pertanian (2009) 3) Keterangan : * angka perkiraan
Berdasarkan Tabel 1, pada tahun 2008 terdapat selisih yang cukup besar
antara kebutuhan dan ketersediaan pupuk organik bila dibandingkan dengan jenis
pupuk lainnya yaitu sebesar 16.655.000 ton. Hal ini menunjukkan jumlah pupuk
organik yang dibutuhkan cukup besar untuk dapat memperbaiki kerusakan lahan
3) [DEPTAN] Departemen Pertanian. 2009. Statistik dalam Angka. www.deptan.go.id [Diakses 15 Desember 2009]
5
pertanian di Indonesia sehingga peluang usaha dalam bentuk penyediaan pupuk
organik masih potensial dan prospektif untuk diusahakan.
Pengelolaan industri pupuk di Indonesia sendiri sebagian besar dikelola
oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bekerjasama dengan sektor
swasta. Perkembangan jenis pupuk yang dihasilkan saat ini masih tergantung pada
penggunaan jenis pupuk untuk pertanian, yaitu jenis pupuk anorganik. Sedangkan
industri yang menghasilkan pupuk organik seperti kompos masih terbatas. Saat
ini, daerah penghasil pupuk organik hanya meliputi Bandung, Wonosobo,
Brastagi, dan Sulawesi Selatan4). Sementara hasil penelitian Puslittanah tentang
status kandungan unsur C Organik lahan pertanian di Indonesia terutama di daerah
Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Kalimantan, NTB, dan Sulawesi Selatan menunjukkan potensi kebutuhan pasar
akan pupuk organik yang cukup tinggi. Potensi pasar pupuk organik dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2. Potensi Pasar Pupuk Organik di Indonesia Tahun 2009
No Provinsi
Luas Areal (Ha) Potensi (Ton)
Total (Ton) Serapan (Ton)
Selisih (Ton) Tanaman
Pangan Hortiku
ltura Tanaman Pangan
Hortikultura
1. Sumbar 52.542 330 26.271 660 26.931 5.386 21.545
2. Sumsel 99.240 110 49.620 220 49.840 9.968 39.872
3. Jabar 173.700 1.660 86.850 3.320 90.170 18.034 72.136
4. Jateng 1.732.626 23.017 866.313 46.034 912.347 182.469 729.878
5. Jatim 2.689.947 56.199 1.344.974 112.398 1.457.372 291.474 1.165.898
6. Kalsel 81.875 556 40.938 1.118 42.056 8.411 33.645
7. NTB 183.750 8.160 91.875 16.320 108.195 21.639 86.556
8. Sulsel 583.000 4.305 291.500 8.610 300.110 87.022 213.088
Sumber : PT Petrokimia Organik (2009)
Berdasarkan Tabel 2, dapat dilihat bahwa total kebutuhan pasar akan
pupuk organik di masing-masing daerah lebih besar dibanding jumlah serapan
pupuk organik. Provinsi Jawa Barat menempati urutan kelima dalam selisih
4) [MDR] Media Data Riset PT. op.cit. Hal 3
6
jumlah permintaan potensial terhadap serapan permintaan pupuk organik yaitu
sebesar 72.136 ton pupuk organik. Dengan demikian, potensi pengembangan
industri pupuk di Indonesia khususnya Provinsi Jawa Barat lebih prospektif pada
usaha penyediaan pupuk organik untuk memenuhi kebutuhan pasar.
Beberapa wilayah di Jawa Barat yang memiliki potensi pertanian dapat
menjadi lokasi yang tepat untuk mendirikan sebuah usaha pupuk kompos, salah
satunya adalah Kabupaten Bogor. Hal ini turut didukung oleh Dinas Pertanian
Kabupaten Bogor bersama Lembaga Pertanian Sehat yang sedang
mengembangkan sistem pertanian organik di kalangan petani. Upaya
pengembangan sistem pertanian organik diwujudkan oleh LPS melalui Program
Pemberdayaan Petani Sehat (P3S) Bogor. Pada Program Pemberdayaan Petani
Sehat (P3S) tersebut, LPS melakukan pelatihan dan pembinaan dalam
memproduksi hasil pertanian yang berbasis ramah lingkungan seperti pupuk
kompos. Penyaluran Program Pemberdayaan Petani Sehat (P3S) dilakukan dengan
cara membangun jejaring komunitas petani di berbagai kecamatan, salah satunya
yaitu Kecamatan Cigombong yang terdapat di Desa Ciburuy oleh Gabungan
Kelompok Tani Silih Asih.
Gapoktan Silih Asih menjadi bagian dari salah satu komunitas petani yang
ikut serta dalam pelaksanaan Program Pemberdayaan Petani Sehat (P3S). Hal ini
dikarenakan potensi limbah pertanian yang cukup besar sebagai bahan baku lokal
pembuatan kompos. Berdasarkan data potensi Desa Ciburuy, diketahui sebesar 21
ton per hektar jerami padi yang tersedia setiap kali panen. Besarnya material sisa
panen padi yang tersedia merupakan suatu potensi yang dapat dimanfaatkan untuk
kegiatan usaha pembuatan pupuk kompos sebagai dasar dalam pengembangan
pertanian organik pada subsektor penyediaan input.
Pengusahaan pupuk kompos dikelola dan menjadi bagian dari unit usaha
Koperasi Kelompok Tani (KKT) Lisung Kiwari. KKT Lisung Kiwari
mendapatkan bantuan dari Dinas Pertanian Kabupaten Bogor berupa sebuah
mesin pencacah jerami yang dapat digunakan untuk pengolahan limbah jerami.
Selain itu, unit usaha juga memanfaatkan bahan organik lainnya seperti arang
sekam, dedak halus serta campuran kotoran sapi dari luar desa. Hasil dari
7
pengolahan bahan-bahan organik tersebut adalah pupuk kompos yang dibutuhkan
tanaman sebagai penambah unsur hara tanah.
1.2 Perumusan masalah
Berbagai permasalahan yang timbul akibat penggunaan pupuk anorganik
dengan dosis tinggi dalam sistem budidaya pertanian telah menyebabkan
masyarakat dan para petani beralih minat untuk menggunakan pupuk kompos
sebagai sebuah terobosan pertanian ramah lingkungan dalam memajukan kembali
produktivitas pertanian yang berkualitas dan berkelanjutan. Hal ini juga didukung
oleh Departemen Pertanian dalam rapat kerja teknisnya yang mencetuskan sistem
pertanian organik dengan tema “Go Organik 2010”. Salah satu wilayah yang turut
aktif berperan serta dalam upaya mendukung program “Go Organik 2010” adalah
Kabupaten Bogor.
Kabupaten Bogor merupakan salah satu daerah di Provinsi Jawa Barat
yang sesuai untuk dijadikan sebagai wilayah untuk mendukung sistem pertanian
ramah lingkungan seperti penggunaan pupuk kompos dan aplikasi teknologi
ramah lingkungan. Hal ini juga didukung oleh Dinas Pertanian Kabupaten Bogor
itu sendiri yang melakukan kerjasama dengan pihak LPS-DD (Lembaga Pertanian
Sehat-Dompet Dhuafa) untuk mewujudkan secara nyata program organik tersebut
yaitu dengan mencanangkan Program Pemberdayaan Petani Sehat (P3S) Bogor
yang diprakarsai oleh LPS.
Program ini telah dilaksanakan sejak tahun 2004 di tiga kecamatan di
Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Salah satunya terdapat di Kecamatan Cigombong
yang dilaksanakan Gapoktan Silih Asih. Salah satu program yang terdapat dalam
P3S ini yaitu transfer teknologi berupa pembuatan pupuk kompos yang dimiliki
LPS kepada petani binaan. Transfer teknologi yang dilakukan untuk membantu
petani dalam mencapai kemandiriannya terhadap aksesibilitas input pertanian.
Melihat perkembangan kemampuan produksi dan potensi pasar yang ada,
LPS berinisiasi untuk menjembatani kedua hal tersebut. LPS tidak hanya berperan
dalam transfer teknologi tetapi juga sebagai lembaga saluran pemasaran dan
distribusi produk yang dihasilkan petani binaan. Kondisi ini membuat Gapoktan
Silih Asih menjadikan kemampuan produksi tersebut sebagai sebuah
8
pengusahaan. Gapoktan Silih Asih mendirikan pengusahaan pupuk kompos
melalui Koperasi Kelompok Tani (KKT) Lisung Kiwari yang berperan sebagai
lembaga perekonomian dari gapoktan tersebut. Pengusahaan pupuk kompos ini
menjadi salah satu dari unit usaha yang dimiliki KKT Lisung Kiwari.
Pendirian usaha pupuk kompos oleh unit usaha KKT Lisung Kiwari selain
sebagai salah satu upaya untuk mendukung program pertanian ramah lingkungan
juga sebagai bentuk pengembangan industri pupuk di wilayah tersebut. Sebagian
besar petani di Desa Ciburuy yang melakukan kegiatan pembuatan pupuk kompos
selama ini hanya digunakan untuk kebutuhannya sendiri dan belum
dikomersilkan. Keterbatasan modal dan pengetahuan yang dimiliki membuat para
petani belum termotivasi untuk menjadikannya sebagai sebuah usaha, disamping
risiko kerugian yang mungkin timbul dari suatu usaha. Pengusahaan pupuk
kompos oleh unit usaha KKT menjadi satu-satunya usaha pengomposan di Desa
Ciburuy yang mulai dijalankan secara komersil pada tahun 2006, dengan kapasitas
produksi rata-rata sebesar 12 ton per bulan berdasarkan luas petakan
pengomposan ukuran 50 m2. Pada wilayah Kabupaten Bogor juga terdapat dua
cluster binaan LPS lainnya yang memproduksi pupuk kompos yaitu Desa
Cibalung dan Desa Ciderung dengan kapasitas produksi yang sama sebesar 2 ton
per bulan. Cluster adalah satu cakupan petani dalam suatu wilayah.
Perkembangan usaha pupuk kompos itu terbilang fluktuatif selama dua
tahun awal produksinya tergantung jumlah pesanan yang diterima dari LPS.
Ketidakpastian jumlah pesanan dari LPS pada saat itu dikarenakan belum adanya
permintaan yang pasti pada pangsa pasar eksternal. Pada segmen pasar eksternal,
permintaan cenderung tidak stabil. Penyebabnya adalah tren harga jual tanaman
hias yang tidak menentu.
Pada tahun 2008 dimana tren tanaman hias sedang booming, LPS
melakukan pemesanan pupuk kompos sesuai kapasitas produksi yang dimiliki unit
usaha sebesar 12 ton per bulan. Peningkatan jumlah pesanan dikarenakan harga
jual tanaman hias yang tinggi sehingga permintaan pada pangsa pasar pun
cenderung meningkat. Para stakeholder tanaman hias berlomba-lomba untuk
menghasilkan tanaman hias yang bernilai tinggi dengan pemakaian input produksi
yang berkualitas. Permintaan pupuk kompos pada saat tren tanaman hias sedang
9
booming mencapai 14 ton per bulan untuk wilayah Bogor dan Jakarta. Pemenuhan
kebutuhan dilakukan oleh cluster Desa Ciburuy sebanyak 12 ton dan sisanya
disediakan oleh dua cluster lainnya. Sementara permintaan pupuk organik untuk
Kota dan Kabupaten Bogor saja dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Permintaan Pupuk Organik di Kota dan Kabupaten Bogor Tahun 2008 Konsumen Permintaan Per Bulan
(kg) Permintaan Per Tahun
(kg) Aura Nursery 1.900 22.800Ciapus 2.150 25.800Alpa 1.950 23.400Suska 1.700 20.400Pesona DaunMas Asri 8.350 100.200Azza Florist 1.600 19.200Rika 1.600 19.200Flora Lestari Harmoni 1.550 18.600Rumah Tangga 1.400 16.800Total 22.200 266.400
Sumber : CV Saung Wira 2008, diacu dalam Khaddafy 2009
Berdasarkan Tabel 3, pada tahun 2008 dimana tren tanaman hias sedang
booming total permintaan pupuk organik di Kota dan Kabupaten Bogor saja
mencapai 266.400 kg per tahun. Dengan kapasitas produksi sebesar 12 ton per
bulan setara dengan 12.000 kg per bulan apabila hanya di pasarkan di Kota dan
Kabupaten Bogor pun belum mampu memenuhi permintaan yang mencapai
22.200 kg per bulan atau baru mampu memenuhi 54,05 persen pasar potensial.
Hal tersebut menunjukkan adanya permintaan pupuk organik yang cukup besar
ketika tren tanaman hias sedang bagus. Sedangkan ketika tren tanaman hias mulai
lesu seperti saat ini, permintaan sarana produksi pertanian mengalami penurunan
termasuk pupuk kompos yang turun menjadi 40 persen dari kondisi saat booming
atau hanya sebesar 5,6 ton per bulan.
Namun kondisi tersebut tidak membuat LPS mengurangi jumlah
pesanannya kepada unit usaha. Sejak tahun 2009, terjadi permintaan pada pasar
internal secara periodik sesuai dengan musim tanamnya, seperti petani padi
organik binaan LPS yang terdapat di Karawang (cluster Jati Sari dan Pedes).
Permintaan pupuk kompos oleh petani tersebut yang digunakan sebagai campuran
10
saat penyemaian benih terjadi setiap tiga bulan sekali dan rata-rata mencapai 10
ton per cluster per musim tanam (tiga bulan). Ruang lingkup cluster petani binaan
yang membutuhkan pupuk kompos ini sebanyak lima cluster mencakup cluster
Brebes, Cianjur (dua cluster), dan Karawang (cluster Jati Sari dan Pedes). Total
permintaan potensial pada petani organik mencapai 50 ton per tiga bulan.
Besarnya permintaan pupuk kompos pada pasar internal dan pasar
eksternal mendorong LPS untuk terus melakukan pemesanan kepada unit usaha
KKT Lisung Kiwari. Saat ini, jumlah pesanan dari LPS mencapai 22,27 ton per
bulan. Namun pengusahaan pupuk kompos ini belum mampu memenuhi jumlah
pesanan yang ada dikarenakan kapasitas produksinya masih terbatas. Dengan
kapasitas produksi rata-rata sebesar 12 ton per bulan, unit usaha baru mampu
memenuhi 53,88 persen atau separuh dari jumlah pesanan tersebut. Hal ini
memperlihatkan kegiatan pengusahaan belum berkembang secara signifikan
walaupun umur usaha telah berjalan selama ± 4 tahun. Oleh karena itu, perlu
dilakukan analisis kelayakannya pada kondisi usaha tersebut untuk mengetahui
apakah usaha menguntungkan atau tidak agar tidak terjadi kerugian yang terlalu
lama. Mengingat, analisis kelayakan usaha hingga saat ini belum pernah
dilakukan karena keterbatasan pengetahuan dari pengelola unit usaha KKT Lisung
Kiwari.
Adanya potensi pasar dari LPS yang belum terpenuhi juga mendorong unit
usaha untuk melakukan pengembangan usaha dengan cara meningkatkan
kapasitas produksinya. Rencana peningkatan kapasitas produksi ini tentunya
memerlukan biaya investasi tambahan. Kondisi tersebut dapat menjadi sebuah
pertimbangan apakah rencana pengembangan usaha ini akan membuat kondisi
usaha jauh lebih baik untuk dijalankan dan dapat mendatangkan keuntungan atau
tidak dibanding kondisi usaha saat ini sehingga perlu dianalisis kelayakannya.
Selain itu, kemungkinan terjadinya keadaan yang berubah-ubah pada
kegiatan usaha pupuk kompos turut mempengaruhi tingkat keuntungan yang akan
diperoleh. Faktor yang dapat menyebabkan perubahan kondisi usaha
pengomposan ini yaitu faktor harga bahan baku, jumlah produksi, dan harga
output. Berdasarkan pengalaman usaha selama ini, perubahan kondisi usaha yang
pernah terjadi hanya sebatas pada faktor harga bahan baku berupa kotoran sapi.
11
Variabel tersebut dapat berubah akibat pengaruh faktor cuaca. Bila musim hujan,
harga kotoran sapi cenderung lebih mahal dari harga normal karena kandungan
kadar air pada kotoran sapi menjadi lebih tinggi sehingga memerlukan perlakuan
yang lebih. Sedangkan pada faktor jumlah produksi dan harga output, variabel-
variabel tersebut tidak mengalami perubahan karena kapasitas produksi yang
terbatas dan penetapan harga jual dalam sistem kemitraan dengan LPS. Namun
demikian, tidak menutup kemungkinan terjadinya perubahan pada kedua faktor
lainnya tersebut yang mungkin dihadapi unit usaha akibat pasokan bahan baku
yang berkurang dan penurunan kualitas pupuk kandang. Oleh karena itu, perlu
dilakukan analisis sensitivitas dari usaha pupuk kompos ini apabila terjadi
perubahan dalam dasar perhitungan biaya dan manfaat.
Berdasarkan pemaparan diatas maka masalah yang dapat dirumuskan
dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah pengusahaan pupuk kompos KKT Lisung Kiwari di Desa Ciburuy
layak untuk dijalankan bila ditinjau dari aspek non finansial?
2. Bagaimana tingkat kelayakan finansial dari pengusahaan pupuk kompos yang
sedang berjalan saat ini dan pengembangan usaha?
3. Bagaimanakah tingkat sensitivitas pengusahaan pupuk kompos pada kondisi
saat ini dan rencana pengembangan usaha terhadap kenaikan harga bahan
baku, penurunan jumlah produksi dan harga jual pupuk kompos yang dapat
mempengaruhi usaha dengan menggunakan metode switching value?
1.3 Tujuan
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah tersebut, tujuan
penelitian ini adalah :
1. Menganalisis kelayakan pengusahaan pupuk kompos ditinjau dari aspek non
finansial.
2. Menganalisis tingkat kelayakan finansial pengusahaan pupuk kompos KKT
Lisung Kiwari pada kondisi saat ini dan rencana pengembangan usaha.
3. Menganilisis tingkat sensitivitas pengusahaan pupuk kompos KKT Lisung
Kiwari pada kondisi saat ini dan rencana pengembangan usaha terhadap
kenaikan harga bahan baku, penurunan jumlah produksi dan harga jual pupuk
12
kompos yang dapat mempengaruhi usaha dengan menggunakan metode
switching value.
1.4 Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :
1. Penulis dalam mengidentifikasi, menganalisis, serta menemukan alternatif
solusi sebagai bentuk aplikasi ilmu yang diperoleh pada masa perkuliahan.
2. Koperasi dan LPS sebagai informasi tambahan mengenai kelayakan dari usaha
yang sedang dijalankannya dan pada saat pengembangan usaha.
3. Pemerintah Kabupaten Bogor sebagai referensi untuk mengembangkan
kegiatan industri pupuk kompos di Kabupaten Bogor.
4. Masyarakat sebagai referensi tambahan ketika ingin mendirikan sebuah usaha
pengomposan atau memperbaiki usaha yang telah dijalankan.
1.5 Ruang Lingkup
Penelitian hanya difokuskan pada analisis kelayakan pengusahaan pupuk
kompos oleh unit usaha Koperasi Kelompok Tani Lisung Kiwari dalam
memanfaatkan berbagai limbah pertanian dari sisa hasil panen padi bebas
pestisida seperti jerami, arang sekam, dedak halus serta campuran kotoran sapi
yang diperoleh dengan membeli dari luar desa. Unit usaha Koperasi Kelompok
Tani (KKT) Lisung Kiwari merupakan wadah petani mitra binaan Lembaga
Pertanian Sehat (LPS) di bawah Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan
Dompet Dhuafa Republika di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten
Bogor. Dalam kaitan dengan analisis usaha, Lembaga Pertanian Sehat (LPS) yang
menjalin mitra dengan para petani berperan sebagai lembaga saluran pemasaran
dan distribusi produk yang dihasilkan petani binaan disamping mengembangkan
produk pertanian ramah lingkungan yang mudah diaplikasikan oleh petani,
pemberdayaan petani dalam membangun komunitas petani, pelatihan dan
pembinaan dalam memproduksi hasil pertanian yang berbasis ramah lingkungan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Limbah Organik
Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik
industri maupun domestik (rumah tangga) yang lebih dikenal sebagai sampah
dimana kehadirannya pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki
lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomis. Bila ditinjau secara kimiawi,
limbah terdiri dari bahan kimia senyawa organik dan senyawa anorganik. Dengan
konsentrasi dan kuantitas tertentu, kehadiran limbah dapat berdampak negatif
terhadap lingkungan terutama bagi kesehatan manusia, sehingga perlu dilakukan
penanganan terhadap limbah. Tingkat bahaya keracunan yang ditimbulkan oleh
limbah tergantung pada jenis dan karakteristik limbah. Beberapa karakteristik
limbah yaitu : (1) berukuran mikro; (2) dinamis; (3) berdampak luas
(penyebarannya); (4) berdampak jangka panjang (antar generasi).
Menurut Hadiwijoto (1983), limbah organik merupakan limbah yang
terdiri dari bahan-bahan penyusun tumbuhan dan hewan yang diambil dari alam
atau dihasilkan dari kegitan pertanian, perikanan dan lainnya. Limbah organik ini
dapat diuraikan dalam proses alami. Limbah yang dihasilkan dari rumah tangga
sebagian besar merupakan bahan organik.
2.1.1 Pengelolaan Limbah Organik
Menurut Hadisuwito (2007), terdapat beberapa alternatif pengelolaan
limbah organik yaitu :
1. Penumpukan
Pada metode ini sebenarnya sampah tidak dimusnahkan secara langsung,
tetapi dibiarkan membusuk menjadi bahan organik. Metode penumpukan bersifat
murah dan sederhana, tetapi sangat berisiko karena bisa menimbulkan penyakit
dan menyebabkan pencemaran.
2. Pembakaran
Metode ini memang yang paling sering dilakukan masyarakat. Namun,
cara ini sebaiknya dilakukan hanya untuk sampah yang dapat terbakar habis.
Selain itu, lokasi pembakaran berada di tempat yang jauh dari pemukiman.
14
Mengingat, sampah yang dibakar ternyata dapat menghasilkan dioksin, yaitu
ratusan jenis senyawa kimia berbahaya seperti CDD (chlorinated dibenzo-p-
dioxin), CDF (chlorinated dibenzo furan), dan PCB (poly chlorinated biphenyl).
3. Sanitary Landfill
Metode ini khusus diberlakukan untuk tempat pembuangan akhir ketika
lahan yang disediakan telah penuh terisi sampah. Caranya yaitu dengan membuat
cekungan baru untuk mengubur sampah yang diatasnya ditutupi tanah.
4. Pengomposan
Metode ini merupakan langkah sederhana yang tidak menimbulkan efek
samping bagi lingkungan, tetapi memberi nilai tambah bagi sampah, khususnya
sampah organik. Pengelolaan sampah dengan cara pengomposan atau
mengubahnya menjadi pupuk merupakan alternatif terbaik. Namun demikian,
menurut data Kementrian Lingkungan Hidup, sampah organik yang dikomposkan
baru berkisar 1-6% sedangkan sisanya lebih banyak dibakar, ditimbun, atau
dibuang ke sungai dan ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir).
2.2 Pemupukan
Pupuk dapat dikatakan sebagai bahan-bahan yang diberikan pada tanah
agar dapat menambah unsur-unsur atau zat makanan yang diperlukan tanah baik
secara langsung atau tidak langsung. Dengan demikian, pemupukan pada
umumnya bertujuan untuk memelihara atau memperbaiki kesuburan tanah,
dimana secara langsung atau tidak langsung akan dapat menyumbangkan bahan
makanan kepada tanaman yang tumbuh di tanah tersebut.
Pemupukan adalah tindakan yang mempengaruhi hubungan tanah dengan
tumbuh-tumbuhan. Tanah dan tumbuh-tumbuhan merupakan dwi tunggal yang
tak bisa dipisahkan. Seperti halnya tumbuh-tumbuhan, tanah juga harus dipandang
sebagai perantara yang hidup bukan sebagai suatu medium atau bahan perantara
yang pasif. Hal itu karena pada hakekatnya yang langsung dipupuk bukan
tanamannya melainkan tanahnya.
Dalam pemupukan, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan
mengenai jenis zat apa yang dibutuhkan oleh tanah agar dapat mencapai hasil
tanaman yang maksimal. Selain itu, jumlah dan perbandingan zat serta pengaruh
15
apa yang ditimbulkannya terhadap bagian-bagian dan sifat-sifat tanah serta tanam-
tanaman.
Pupuk juga mempunyai pengaruh yang tidak langsung terhadap
produktivitas tanah dan tanaman. Pupuk organik dapat membebaskan kation-
kation dari ikatan-ikatan adsorbsif menjadi ion-ion bebas yang tersedia bagi
tanaman. Ini disebabkan oleh adanya asam arang yang tinggi yang ada di
dalamya, berkat peruraian pupuk tersebut. Pemupukan dengan pupuk kandang,
kompos, dan pupuk hijau juga mengakibatkan tanah-tanah yang ringan
strukturnya menjadi lebih baik, daya mengikat air menjadi lebih tinggi, sedangkan
tanah-tanah yang berat menjadi lebih ringan. Pengaruh garam Calcium juga
sangat penting terhadap struktur tanah sebab ion-ion Calcium dapat
mengumpulkan kolloid-kolloid tanah, sehingga struktur tanah menjadi beremah.
Tetapi ion-ion Natrium mempunyai pengaruh sebaliknya, yaitu memperbesar
dispersitas kolloid tanah. Jadi bila dilakukan pemupukan dengan Natrium terus-
menerus, struktur tanah akan menjadi lebih berat. Kolloid tanah menjadi lebih
plastis dan tanah yang berat menjadi lebih berat lagi. Jadi pengaruh garam-garam
Natrium terhadap struktur tanah berakibat tidak baik (Murbandono 1993).
2.2.1 Jenis Pupuk
Beragam jenis dan bentuk pupuk yang dibedakan berdasarkan atas: (1)
terjadinya yaitu pupuk alam dan pupuk buatan; (2) susunan kimiawinya yaitu
pupuk tunggal, pupuk majemuk, pupuk Ca dan Mg; (3) susunan kimiawinya yang
berkenaan dengan perubahan-perubahan di dalam tanah yaitu pupuk organik dan
pupuk anorganik (Murbandono 1993).
2.2.1.1 Pupuk Anorganik
Pupuk anorganik adalah pupuk yang berasal dari bahan mineral yang telah
diubah melalui proses produksi, sehingga menjadi senyawa kimia yang mudah
diserap tanaman. Pupuk anorganik juga bisa diproduksi dengan pengolahan pabrik
(Hadisuwito 2007).
16
Sutedjo (1994) menjelaskan bahwa pupuk anorganik sangat dikenal dan
disukai di daerah tropik, terutama negara dengan penduduk yang melakukan
usaha di bidang pertanian. Hal ini disebabkan oleh :
1. Pupuk anorganik sangat praktis dalam penggunaannya, artinya pemakaian
dapat disesuaikan dengan perhitungan hasil penyelidikan defisiensi unsur hara
yang tersedia dalam kandungan tanah.
2. Penyedia pupuk anorganik bagi para pemakainya dapat meringankan ongkos-
ongkos angkutan, mudah didapat, dapat disimpan lama.
2.2.1.2 Pupuk Organik
Marsono dan Sigit (2002) menjelaskan bahwa pupuk organik sering juga
disebut sebagai pupuk alam, sebab sebagian besar pupuk ini berasal dari alam.
Kotoran hewan, sisa tanaman, limbah rumah tangga, dan batu-batuan merupakan
bahan dasar pupuk organik. Beberapa jenis pupuk organik masih ada yang benar-
benar alami tanpa sentuhan teknologi, tetapi tidak sedikit pula pupuk organik yang
telah diproses dengan teknologi modern sehingga muncul dalam bentuk, rupa, dan
warna yang jauh berbeda dengan bahan dasarnya. Beberapa produsen pupuk
organik ada juga yang menambahkan komponen atau bahan lain ke dalam
produknya kemudian dikemas dan diproduksi secara komersial. Dengan kemasan
yang menarik, pupuk organik dapat sejajar dengan pupuk anorganik.
Pupuk organik dapat dibagi menjadi dua jenis berdasarkan cara
pembentukannya, yaitu pupuk organik alami dan pupuk organik buatan. Pupuk
organik alami merupakan pupuk organik yang bahan-bahannya langsung diambil
dari alam dan benar-benar alami, seperti dari sisa hewan, tumbuhan, serta tanah,
tanpa penambahan unsur hara lain untuk melengkapi atau meningkatkan
kandungan unsur haranya. Kandungan unsur hara pupuk ini tergantung pada jenis
bahan, kondisi pemeliharaan, proses pembuatan, dan cara penyimpanannya. Jenis
pupuk organik alami ada enam macam, yaitu:
1. Pupuk kandang
Pupuk kandang berasal dari hasil pembusukan kotoran hewan, baik itu
berbentuk padat (berupa feses atau kotoran) maupun cair (berupa air seni atau
17
kencing), sehingga warna rupa, tekstur, bau, dan kadar airnya tidak lagi seperti
asli.
2. Pupuk Kompos
Kompos adalah sampah organik yang telah mengalami proses pelapukan
atau dekomposisi akibat adanya interaksi mikroorganikme yang bekerja di
dalamnya. Bahan-bahan organik yang biasa dipakai bisa berupa dedaunan,
rumput, jerami, sisa ranting atau dahan pohon, kotoran hewan, kembang yang
telah gugur, air kencing hewan, kotoran hewan, dan sampah daur ulang.
3. Humus
Humus mirip dengan kompos, tetapi proses pelapukan bahan organiknya
terjadi secara alami. Bahan dasar humus umumnya berupa sisa-sisa tanaman yang
telah melapuk di kawasan hutan. Seperti halnya pupuk kandang dan kompos,
kandungan unsur hara dalam humus cukup baik. Humus mengandung unsur hara
makro N, P, dan K, juga mengandung unsur-unsur hara mikro.
4. Pupuk Hijau
Pupuk hijau adalah pupuk yang berasal dari tanaman atau bagian tanaman
tertentu yang dibenamkan di dalam tanah dalam kondisi segar. Tujuannya untuk
menambah bahan organik tanah dan unsur hara tanah, terutama nitrogen.
Tanaman yang digunakan adalah jenis yang mempunyai kemampuan mengikat
nitrogen bebas di udara dan mengubahnya menjadi bentuk yang dapat diserap
tanaman. Tanaman yang mempunyai kemampuan seperti ini yaitu tanaman dari
keluarga kacang-kacangan atau polong-polongan (Leguminoseae).
5. Kascing
Kascing adalah pupuk organik yang melibatkan cacing tanah dalam proses
penguraian atau dekomposisi bahan organik. Walaupun sebagian besar penguraian
dilakukan oleh jasad renik, kehadiran cacing justru membantu memperlancar
proses dekomposisi. Proses pengomposan dengan melibatkan cacing tanah
tersebut dikenal dengan istilah vermi-composting. Sementara hasil akhirnya
disebut kascing (bekas cacing).
6. Pupuk Guano
Pupuk guano adalah pupuk yang berasal dari kotoran unggas liar,
termasuk kelelawar. Sedangkan pupuk dari kotoran ayam, itik, atau merpati
18
peliharaan tidak termasuk di dalamnya. Karena itu, pupuk ini dikenal pula sebagai
pupuk burung. Pupuk guano merupakan hasil pelapukan batuan dan kotoran
burung yang ada di dalam goa-goa alam. Jenis pupuk ini tergolong langka,
sehingga sulit ditemukan di pasaran.
Sedangkan pupuk organik buatan adalah pupuk organik yang dibuat
dengan sentuhan teknologi untuk memenuhi kebutuhan pupuk tanaman yang
bersifat alami atau nonkimia, berkualitas baik dengan bentuk, ukuran, dan
kemasan yang praktis, mudah didapat, didistribusikan dan diaplikasikan, serta
dengan kandungan unsur hara yang lengkap dan teratur. Kandungan haranya juga
tidak lagi bergantung pada bahan baku organik yang digunakan melainkan sudah
disesuaikan dengan kebutuhan konsumen. Pupuk organik buatan ini terdiri dari
dua bentuk, yaitu padat dan cair.
Marsono dan Sigit (2002) menjelaskan bahwa sifat pupuk organik
memiliki kelebihan yang tidak dapat ditandingi oleh jenis pupuk lain, yaitu
mampu memperbaiki struktur tanah menjadi lebih baik sehinggga pertumbuhan
akar tanaman lebih baik pula. Saat pupuk dimasukkan ke dalam tanah, bahan
organik pada pupuk dirombak oleh mikroorganikme pengurai menjadi senyawa
anorganik yang mengisi ruang pori tanah sehingga tanah menjadi gembur. Pupuk
organik sangat berperan dalam mengatasi masalah kekurangan air di musim
kering karena bahan organik mampu menyerap air dua kali dari bobotnya.
2.3 Kompos
Kompos berasal dari bahasa Latin componere dan dalam bahasa Inggris
disebut compost, artinya mengumpulkan, menaruh semua bahan di suatu tempat,
menumpuk semua bahan menjadi satu campuran bahan. Kompos adalah hasil
akhir peruraian atau penghancuran oleh mikro dan makroorganisme pada bahan
campuran yang berasal dari tanaman (daun, cabang/ranting, batang, buah, dan
lain-lain), kotoran ternak, dan kotoran manusia (tinja, urine) yang siap digunakan
untuk pemupukan (Winangun 2005).
Menurut Murbandono (1993), kompos ialah bahan organik yang telah
menjadi lapuk, seperti daun-daunan, jerami, alang-alang, rumput-rumputan, dedak
padi, batang jagung, sulur, carang-carang serta kotoran hewan. Di lingkungan
19
alam terbuka, kompos bisa terjadi dengan sendirinya. Lewat proses alami, rumput,
daun-daunan dan kotoran hewan serta sampah lainnya lama-kelamaan membusuk
karena kerjasama antara mikroorganik dengan cuaca. Proses tersebut juga bisa
dipercepat oleh perlakuan manusia hingga menghasilkan kompos yang berkualitas
baik dalam waktu tidak terlalu lama. Contoh standar kualitas kompos tercantum
dalam Tabel 4.
Tabel 4. Standar Kualitas Unsur Makro Kompos Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 19-7030-2004)
Kandungan Baku Bahan Organik (%) 27-58 Kadar Air (%) <50 Total N (%) >0,40 Karbon (%) 9,80-32,00 Imbangan C/N 10-20 P (%) >0,10 K (%) >0,20 pH 6,80-7,49
Sumber : Murbandono (1993)
Aminah et al. (2003) mengemukakan mengenai keunggulan-keunggulan
kompos yang tidak dapat digantikan oleh pupuk anorganik, yaitu :
a. Mengurangi kepekatan dan kepadatan tanah sehingga memudahkan
perkembangan akar dan kemampuannya dalam penyerapan hara.
b. Meningkatkan kemampuan tanah dalam mengikat air sehingga tanah dapat
menyimpan air lebih lama dan mencegah terjadinya kekeringan pada tanah.
c. Menahan erosi tanah sehingga mengurangi pencucian hara.
d. Menciptakan kondisi yang sesuai untuk pertumbuhan jasad penghuni tanah
seperti cacing dan mikroba tanah yang sangat berguna bagi kesuburan tanah.
Menurut Sutanto (2002), karakterisasi kompos yang telah selesai
mengalami proses dekomposisi sebagai berikut :
1. Berwarna coklat tua hingga hitam mirip dengan warna tanah
2. Tidak larut dalam air, meski sebagian kompos dapat membentuk suspensi
3. Nisbah C/N berkisar 10–20, tergantung dari komposisi bahan baku dan derajat
humifikasinya
4. Berefek baik jika diaplikasikan pada tanah
20
5. Suhunya kurang lebih sama dengan suhu lingkungan
6. Tidak berbau
Bahan baku pengomposan adalah semua material organik yang
mengandung karbon dan nitrogen. Pada Tabel 5 disajikan bahan-bahan yang
umum dijadikan bahan baku pengomposan.
Tabel 5. Sumber-sumber Kompos dari Bahan Organik Asal Bahan
1. Pertanian • Limbah dan residu tanaman • Limbah dan residu ternak
• Pupuk Hijau
• Tanaman air
• Penambat nitrogen
Jerami dan sekam padi, gulma, batang dan tongkol jagung, semua bagian vegetatif tanaman, batang pisang dan sabut kelapa. Kotoran padat, limbah ternak cair, limbah pakan ternak, tepung tulang, cairan biogas. Gliriside, terrano, mukuna, turi, lamtoro, centrosema, albisia. Azola, ganggang biru, rumput laut, enceng gondok, gulma air. Mikroorganisme, Mikoriza, Rhizobium biogas.
2. Industri • Limbah padat • Limbah Cair
Serbuk gergaji kayu, blotong, kertas, ampas tebu, limbah kelapa sawit, limbah pengalengan makanan dan pemotongan hewan. Alkohol, limbah pengolahan kertas, bumbu masak (MSG), limbah pengolahan minyak kelapa sawit (POME)
3. Limbah rumah tangga • Sampah
Tinja, urin, sampah rumah tangga dan sampah kota
Sumber : Sutanto (2002)
2.3.1 Bokashi
Bokashi adalah pupuk kompos yang dihasilkan dari proses fermentasi atau
peragian bahan organik dengan teknologi EM4 (Effective Microorganikms 4).
Keunggulan penggunaan teknologi EM4 adalah pupuk organik (kompos) dapat
dihasilkan dalam waktu yang relatif singkat dibandingkan dengan cara
21
konvensional. EM4 juga dapat menekan pertumbuhan patogen tanah,
mempercepat fermentasi limbah dan sampah organik, meningkatkan ketersediaan
unsur hara pada tanaman, meningkatkan aktivitas mikroorganisme yang
menguntungkan, serta mengurangi kebutuhan pupuk dan pestisida kimia
(Djuarnani et.al. 2006)
Cairan EM4 mengandung Azotobacter sp., Lactobacillus sp., ragi, bakteri
fotosintetik dan jamur pengurai selulosa. Bahan untuk pembuatan bokashi dapat
diperoleh dengan mudah di sekitar lahan pertanian, seperti jerami, rumput,
tanaman kacangan, sekam, pupuk kandang atau serbuk gergajian. Namun bahan
yang paling baik digunakan sebagai bahan pembuatan bokashi adalah dedak
karena mengandung zat gizi yang sangat baik untuk mikroorganisme.
Pada prinsipnya, peranan bokashi hampir sama dengan pupuk kompos
lainnya, namun bokashi EM4 pengaruhnya dipercepat dengan adanya
penambahan Effective Microorganikms 4 (EM4). Keuntungan penggunaan
bokashi adalah meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman meskipun
bahan organiknya belum terurai seperti pada kompos. Bila bokashi dimasukan ke
dalam tanah, bahan organiknya dapat digunakan sebagai substrat oleh
mikroorganisme efektif untuk berkembangbiak dalam tanah, sekaligus sebagai
tambahan persediaan unsur bagi tanaman (Sutanto 2002).
2.4 Pengolahan Limbah Organik Untuk Kompos
Salah satu unsur pembentuk tanah adalah bahan organik. Sebelum
mengalami proses perubahan, bahan organik yang terbentuk dari sisa tanaman dan
hewan tidak berguna bagi tanaman karena unsur hara terikat dalam bentuk yang
tidak dapat diserap oleh tanaman. Oleh sebab itu, perlu dikomposkan terlebih
dahulu agar unsur hara makanan bebas menjadi bentuk yang larut dan dapat
diserap tanaman melalui proses perubahan dan peruraian bahan organik. Bahan
organik yang akan digunakan sebagai pupuk, sebaiknya mempunyai perbandingan
C/N yang mendekati C/N tanah sebesar 10-12. Sisa-sisa tanaman yang masih
segar pada umumnya memiliki C/N tinggi sehingga belum bisa langsung
digunakan sebagai kompos. Bahan-bahan yang mempunyai C/N sama atau
mendekati C/N tanah tentu dapat langsung digunakan. Tetapi sebelum digunakan
22
sebagai pupuk, sebaiknya dikomposkan terlebih dahulu agar C/N-nya menjadi
lebih rendah dan mandekati C/N tanah (Murbandono 1993).
2.4.1 Proses Pengomposan
Pengomposan adalah proses dimana bahan organik mengalami penguraian
secara biologis, khususnya oleh mikroba-mikroba yang memanfaatkan bahan
organik sebagai sumber energi. Membuat kompos adalah mengatur dan
mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat. Proses
ini meliputi membuat campuran bahan yang seimbang, pemberian air yang cukup,
pengaturan aerasi, dan penambahan aktivator pengomposan.
Teknologi pengomposan sampah sangat beragam, baik secara aerobik
maupun anaerobik, dengan atau tanpa aktivator pengomposan. Aktivator
pengomposan yang sudah banyak beredar antara lain PROMI (Promoting
Microbes), OrgaDec, SuperDec, ActiComp, BioPos, EM4, Green Phoskko
Organic Decomposer dan SUPERFARM (Effective Microorganikm) atau
menggunakan cacing guna mendapatkan kompos (vermicompost). Setiap
aktivator memiliki keunggulan sendiri-sendiri5).
Proses pengomposan secara sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap,
yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Selama tahap-tahap awal proses, oksigen
dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh
mikroba mesofilik. Suhu tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat.
Demikian pula akan diikuti dengan peningkatan pH kompos. Suhu akan
meningkat hingga di atas 50o - 70o C. Suhu akan tetap tinggi selama waktu
tertentu. Mikroba yang aktif pada kondisi ini adalah mikroba Termofilik, yaitu
mikroba yang aktif pada suhu tinggi. Pada kondisi ini terjadi
dekomposisi/penguraian bahan organik yang sangat aktif. Mikroba-mikroba di
dalam kompos dengan menggunakan oksigen akan menguraikan bahan organik
menjadi CO2, uap air dan panas. Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka
suhu akan berangsur-angsur mengalami penurunan. Pada saat ini terjadi
pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus.
5) Isroi. 2008. Kompos. http://id.wikipedia.org/wiki/Kompos [Diakses 15 Desember 2009]
23
Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa
bahan. Pengurangan ini dapat mencapai 30 – 40% dari volume/bobot awal bahan.
Proses pengomposan dapat terjadi secara aerobik (menggunakan oksigen)
atau anaerobik (tidak ada oksigen). Proses yang dijelaskan sebelumnya adalah
proses aerobik, dimana mikroba menggunakan oksigen dalam proses dekomposisi
bahan organik. Proses dekomposisi dapat juga terjadi tanpa menggunakan oksigen
yang disebut proses anaerobik. Pengomposan secara anaerobik memanfaatkan
mikroorganikme yang tidak membutuhkan udara dalam mendegradasi bahan
organik. Namun, proses ini tidak diinginkan, karena selama proses pengomposan
akan dihasilkan bau yang tidak sedap. Proses anaerobik akan menghasilkan
senyawa-senyawa yang berbau tidak sedap, seperti: asam-asam organik (asam
asetat, asam butirat, asam valerat, puttrecine), amonia, dan H2S (Sutanto 2002).
2.4.2 Laju Pengomposan
Aminah et al. (2003), terdapat beberapa faktor penting yang
mempengaruhi laju dalam pembuatan kompos adalah :
1. C/N ratio dalam bahan
Setiap bahan organik mengandung unsur C (Karbon) dan N (Nitrogen)
dalam komposisi yang berbeda antara bahan satu dengan lainnya yang dinyatakan
dengan C/N Ratio. Nilai C/N ratio tersebut berpengaruh terhadap proses
pengomposan. Apabila nilai C/N ratio suatu bahan semakin tinggi maka semakin
lambat bahan tersebut untuk diubah menjadi kompos, sebaliknya nilai C/N ratio-
nya semakin rendah maka akan mempercepat laju pengomposan.
Idealnya bahan-bahan yang akan dikomposkan bernilai C/N ratio 30:1.
Pada nilai tersebut diperlukan waktu sekitar 1 bulan untuk mengubah bahan
menjadi kompos. Namun demikian, di alam tidaklah mudah memperoleh bahan
yang memiliki C/N ratio 30:1. Untuk memperoleh bahan-bahan dengan C/N ratio
mendekati angka tersebut, disarankan mencampur beberapa bahan. Kandungan
nilai C/N ratio pada beberapa bahan organik dapat dilihat pada Tabel 6.
24
Tabel 6. Kandungan Nilai C/N Ratio Beberapa Bahan Organik Untuk Kompos Bahan C/N Ratio
Sisa Makanan 15:1
Bubuk Gergaji, Kayu, Kertas 400:1
Jerami 80:1
Dedaunan 50:1
Sisa-sisa Buah-buahan 35:1
Pupuk Kandang Kering 20:1
Bonggol Jangung 60:1 Sumber : Michel et al. 1999, diacu dalam Aminah 2003
2. Ukuran bahan yang dikompos
Ukuran bahan yang dikompos juga berpengaruh terhadap laju
pengomposan. Ukuran bahan organik yang semakin kecil menjadikan proses
pengomposan akan berlangsung lebih cepat sebab semakin kecil ukuran bahan
maka semakin luas pula permukaan yang dapat dirombak oleh mikroba pengurai.
3. Aerasi
Aerasi merupakan faktor yang juga mempercepat proses pengomposan.
Proses pengomposan dapat berlangsung dalam suasana aerob dan anaerob. Dalam
aktivitasnya merombak bahan organik pada suasana aerob, mikroba aerobik
memerlukan oksigen, sedangkan mikroba anaerobik tidak memerlukan oksigen.
Proses pengomposan yang berlangsung secara anaerob, menimbulkan bau busuk
akibat terlepasnya gas amonia dan membutuhkan waktu yang lama. Untuk
memberikan cukup aerasi dalam pengomposan dapat dilakukan dengan cara
menyediakan celah-celah kosong di bagian bawah tumpukan bahan untuk
memudahkan sirkulasi udara.
4. Kelembaban
Keadaan lingkungan yang lembab sangat diperlukan dalam aktivitas
mikroba pengurai sehingga pengaturan kelembaban perlu dilakukan dalam
pembuatan kompos. Kelembaban optimal yang disarankan adalah 40-60%. Bahan
yang kering akan menghambat proses dekomposisi sedangkan bahan yang terlau
basah akan menghambat aerasi yang pada akhirnya juga akan menghambat proses
penguraian oleh mikroba.
25
5. Suhu
Tinggi rendahnya suhu tergantung dari bahan-bahan yang dikompos.
Bahan dengan C/N ratio tinggi akan sulit mencapai suhu tinggi, sebaliknya bahan
dengan C/N ratio rendah akan dengan cepat mencapai suhu tinggi. Semakin tinggi
suhu yang bisa dicapai akan semakin cepat pula proses pengomposan.
Pengomposan akan berlangsung efisien jika dapat mencapai suhu sekurang-
kurangnya 600C.
2.4.3 Metode Pengomposan
Aminah et al. (2003), terdapat beberapa metode pengomposan yang telah
dikembangkan dan dipraktekkan di Indonesia, antara lain :
a. Metode Indore
Metode ini dibedakan menjadi dua, yakni (1) Indore heap method (bahan
dikompos di atas tanah) dan (2) Indore pit method (bahan dipendam di dalam
tanah). Metode Indore sesuai diterapkan di daerah yang bercurah hujan tinggi.
Lama proses pengomposan lebih kurang 3 bulan. Pada Indore heap method,
bahan-bahan kompos ditimbun secara berlapis-lapis setebal 10-25 cm dan bagian
atasnya ditutupi kotoran ternak yang tipis untuk mengaktifkan proses, kemudian
disiram dengan campuran pupuk kandang dan abu. Pada Indore pit method,
dilakukan penggalian tanah pada tempat yang relatif tinggi dan mempunyai
pengaturan yang baik, bahan dasar kompos yang mudah terdekomposisi disebar
secara merata di dalam lubang galian dan bahan disusun berlapis-lapis serta
dilakukan pembasahan secukupnya. Pembalikan dilakukan pada hari ke 15, 30,
dan 60.
b. Metode Barkeley
Metode ini ditujukan untuk bahan kompos yang berselulosa tinggi (C/N
ratio tinggi) seperti jerami, alang-alang, dll yang dikombinasikan dengan bahan
kompos yang C/N ratio-nya rendah. Bahan kompos ditimbun secara berlapis-lapis
dengan lapisan paling bawah adalah bahan kompos yang C/N ratio-nya paling
rendah diikuti oleh bahan yang C/N ratio-nya tinggi, begitu seterusnya sampai
mencapai ketinggian yang diinginkan. Pembalikan dilakukan pada hari ke tujuh
dan sepuluh. Dalam tiga minggu kompos telah masak dan siap diaplikasikan.
26
c. Metode Jepang
Pada metode Jepang pengomposan juga dilakukan penumpukan seperti
halnya pada metode pit, namun sebagai pengganti lubang galian digunakan bak
penampung yang terbuat dari kawat, atau bambu, atau kayu yang disusun secara
bertingkat. Bagian dasar bak dilapisi bahan kedap air guna menghindarkan
terjadinya pencucian unsur hara ke dalam tanah dibawahnya. Keunggulan metode
Jepang adalah bak yang diletakkan di atas permukaan tanah akan memudahkan
pengadukan, sedangkan dasar yang kedap air dapat mengurangi kehilangan unsur
N selama pengomposan.
2.5 Pengusahaan Pupuk Kompos
Di Indonesia, produktifitas lahan sawah kita, rata-rata hanya 4 ton Gabah
Kering Panen (GKP) per hektar per musim tanam. Sementara petani Thailand
sudah bisa mencapai rata-rata 6 ton GKP per hektar per musim tanam. Rahasianya
ada di kualitas benih dan pemupukan. Untuk mencapai hasil rata-rata 6 ton GKP,
diperlukan aplikasi pemupukan organik minimal 3 ton per hektar per musim
tanam. Untuk kondisi tanah sawah di Jawa yang telah terlanjur rusak karena
keracunan nitrogen akibat pemupukan urea dosis tinggi, diperlukan aplikasi
kompos minimal 5 ton per hektar per musim tanam. Baru pada musim-musim
tanam berikutnya, dosis kompos itu pelan-pelan diturunkan hingga menjadi 3 ton
per hektar per musim tanam.
Perhitungan secara sederhananya, untuk menghasilkan satu satuan volume
produk panen, diperlukan pupuk organik separo dari angka hasil panen tersebut.
Jagung hibrida yang hasilnya 8 ton jagung pipilan kering misalnya, memerlukan
pupuk kompos sebanyak 4 ton per hektar per musim tanam. Jadi kalau produksi
gabah nasional kita sekitar 50 juta ton dan jagungnya 10 juta ton per tahun, maka
total jumlah kompos atau pupuk organik lain yang diperlukan untuk padi dan
jagung tersebut akan mencapai 30 juta ton per tahun. Penggunaan pupuk organik
ini akan bisa menurunkan kebutuhan pupuk anorganik tanpa memperkecil hasil
panen. Selain itu, kompos juga dapat meningkatkan volume produksi sekitar 20%
dari hasil optimal sebelum pupuk organik digunakan. Kalau nilai kompos untuk
jagung dan padi tadi Rp 100.000,- per ton, maka omset dari industri kompos untuk
27
padi dan jagung saja, akan mencapai Rp 3 trilyun per tahun. Pupuk anorganik
yang bisa dihemat sekitar 2.000.000 ton. Dengan harga pupuk anorganik Rp
1.000.000,- per ton, maka penghematan pupuk anorganik akan mencapai Rp 2
trilyun per tahun. Sementara peningkatan hasil panen akan mencapai 20% dari 60
juta ton = 12 juta ton. Dengan harga Rp 1.000.000,- per ton maka nilai
peningkatan hasil panen padi dan jagung akan mencapai Rp 12 trilyun per tahun.
Angka tersebut baru mengacu pada asumsi aplikasi kompos untuk padi
dan jagung. Belum memperhitungkan komoditas-komoditas lain seperti singkong,
kedelai, kacang tanah dan produk hortikultura, terutama sayuran dan buah-
buahan. Jadi tampak betapa strategisnya industri kompos bagi sebuah negara
agraris seperti Indonesia6).
2.5.1 Perencanaan Pengusahaan Pupuk Kompos
Pupuk tanaman bisa menjadi peluang bisnis yang menjanjikan, karena
berkaitan erat dengan produktivitas tanaman dan berpengaruh terhadap hasil
panennya. Kondisi negara Indonesia sebagai negara tropis, mendukung proses
pembuatan pupuk tanaman khususnya pupuk organik dari bahan sisa tanaman
maupun kotoran ternak hewan. Beberapa faktor yang dapat menjadi pertimbangan
dalam merencanakan pendirian sebuah usaha pengolahan pupuk kompos7), yakni:
1. Lokasi Produksi
Jika ingin memulai usaha produksi sebaiknya mencari lokasi yang dekat
dengan lokasi bahan baku dan lokasi pasar, karena untuk mengurangi biaya
transportasi, baik dalam pembelian bahan baku maupun penjualan produk.
Misalnya dekat dengan peternakan hewan, seperti daerah sepanjang Pantura,
seluruh Pulau Jawa, areal peternakan di Jawa Timur, Tapanuli, Aceh, Bengkulu,
NTT, Irian Jaya yang memilki babi, hingga Sulawesi Selatan. Daerah penghasil
pupuk alami saat ini yakni Bandung, Wonosobo, Brastagi, dan Sulawesi Selatan.
6) [FKA] Forum Kerjasama Agribisnis. 2008. Membangun Industri Kompos Komersial. http://foragri.blogsome.com/membangun-industri-kompos-komersial/. [Diakses 19 Desember 2009]
7) [KADINJATENG] Kamar Dagang dan Industri Provinsi Jawa Tengah. 2009. Tabloid Peluang Usaha-Usaha Pupuk Kompos dan Bahan Pendukung Tanaman. Tabloid Peluang Usaha. http://www.kadinjateng.com/12 [Diakses 19 Desember 2009]
28
2. Teknologi
Pelaku usaha sebaiknya selalu meng-update teknologi baru pembuatan
pupuk. Misalnya, untuk di kota produksi kompos lebih ditempat tertutup ataupun
menggunakan zat peredam bau berupa bahan karbon seperti penggembur Green
Phoskko (bulking agent) yang cara kerjanya menyerap bakteri pathogen penyebab
bau yang berasal dari limbah tersebut.
3. Sertifikasi Produk
Salah satu penyebab lemahnya pupuk kompos di Indonesia karena masih
banyak yang belum tersertifikasi dan melalui uji laboratorium. Hal tersebut terjadi
karena mahalnya biaya untuk melakukan semua itu. Biaya yang dibutuhkan bisa
mencapai puluhan juta rupiah sehingga banyak sekali pupuk kompos yang
kualitasnya jelek. Akibat tingginya biaya tersebut banyak kompos yang telah
terkemas baik, namun menyebabkan tanaman hangus terbakar, mati ataupun
kurang produktif.
Untuk mendapatkan sertifikasi kelayakan bisa diajukan ke Departemen
Pertanian, sedangkan untuk pengujian produk bisa dilakukan di berbagai lab
kimia, misalnya laboratorium kimia di berbagai universitas. Untuk uji
keefektifannya bisa di Balai Pertanian daerah setempat dan kelayakan jual dibuat
di Departemen Perindustrian dan Perdagangan.
4. Persaingan Usaha
Persaingan usaha pupuk anorganik sintetik tidak terlalu ketat, karena
pupuk anorganik di Indonesia masih dipegang oleh industri besar bahkan ada
yang masih impor. Sedangkan untuk pupuk kompos persaingan cukup ketat,
namun hal tersebut justru membawa kebaikan, yakni banyak produsen berlomba-
lomba membuat pupuk kompos lebih cepat siap pakai, misalnya dahulu bisa
memakan waktu 1-2 bulan, sekarang banyak yang membuat pupuk komposter
dengan alat mesin Rotary Kiln hanya dalam 5-10 hari.
2.6 Tinjauan Studi Terdahulu
Penelitian yang dilakukan oleh Gustoro (2006) mengenai sistem
penunjang keputusan pendirian industri kompos di TPA Galuga, Bogor. Penelitian
ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menunjang keputusan
29
investasi meliputi prakiraan jumlah timbunan sampah dan penilaian kelayakan
finansial industri pengolahan kompos. Sistem penunjang keputusan untuk
pendirian industri kompos dirancang dengan menggunakan bahasa pemrograman
Visual Basic 6.0 yang disebut SPKKompos. Paket program SPKKompos terdiri
dari dua model yaitu model prakiraan dan model kelayakan finansial industri.
Model prakiraan digunakan untuk melihat prakiraan timbulan pasar sebagai bahan
pembuat kompos dengan cara memprakirakan jumlah penduduk pada masa yang
akan datang dengan metode prakiraan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
diperoleh model prakiraan yang tepat untuk memprakirakan jumlah penduduk di
Kota Bogor dengan menggunakan metode tren linier yaitu persamaan y = 611047
+ 21409x. Hasil prakiraan jumlah penduduk kemudian dilakukan analisis dengan
tetapan-tetapan profil sampah Kota Bogor sehingga didapat volume timbulan
sampah pasar Kota Bogor untuk periode 10 tahun yang akan datang dari tahun
2006-2015. Sedangkan model kelayakan finansial industri digunakan untuk
mengetahui kelayakan suatu usaha dari aspek finansial. Hasil analisa industri
kompos dengan pengadaan sampah pasar 30 ton per hari tidak layak dijalankan.
Untuk pengadaan sampah pasar 60 ton per hari dan 120 ton per hari dengan umur
proyek 10 tahun layak untuk dikembangkan. Hal ini ditunjukkan dengan
perolehan nilai NPV sebesar Rp 1.425.694.004,- dan Rp 4.951.641.556,- dengan
nilai IRR sebesar 33,25 % dan 47,59 %. Untuk nilai B/C ratio diperoleh 1,86 dan
2,68 sedangkan payback period 5,52 tahun dan 3,16 tahun.
Khaddafy (2009) melakukan penelitian tentang analisis kelayakan usaha
pupuk organik di CV Saung Wira, Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa
Barat. Penelitian ini menganalisis kelayakan rencana pengembangan usaha pupuk
organik dari segi non finansial dan finansial serta tingkat kepekaan terhadap
penurunan harga penjualan dan kenaikan biaya variabel. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa rencana pengembangan usaha pupuk organik dilihat dari
kriteria pasar dan pemasaran layak untuk diusahakan karena perusahaan mampu
bersaing dan menyerap pasar dengan cara promosi yang dilakukan serta kualitas
dan kemasan pupuk organik sudah sesuai dengan keinginan konsumen. Dengan
demikian persentase penjualan menjadi meningkat, aspek pasar rencana
pengembangan usaha pupuk organik layak untuk diusahakan. Berdasarkan hasil
30
analisa aspek teknis dan teknologi, dapat dinilai bahwa lokasi dan kondisi
geografis memenuhi syarat pembuatan pupuk organik serta teknologi yang
digunakan mempercepat proses produksi sehingga waktu yang digunakan lebih
efisien. Analisis aspek manajemen yang mencakup analisis struktur organikasi
dan deskripsi pekerjaan sesuai dengan kualifikasi perusahaan sehingga rencana
pengembangan usaha ini layak untuk diusahakan. Dilihat dari aspek sosial,
perusahaan dapat mengurangi dampak pencemaran lingkungan karena sebagian
bahan baku terdiri dari sampah-sampah organik yang dihasilkan rumah tangga.
Perusahaan juga memberikan lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar. Dari
analisis kelayakan finansial skenario I, yaitu dengan menggunakan modal sendiri
merupakan skenario yang paling menguntungkan untuk diusahakan. Hasil
switching value menunjukkan bahwa skenario II merupakan skenario yang paling
rentan terhadap perubahan baik dari segi penurunan penjualan maupun kenaikan
biaya variabel.
Siregar (2009) meneliti tentang analisis kelayakan pengusahaan sapi perah
dan pemanfaatan limbah untuk menghasilkan biogas dan pupuk kompos di UPP
Darul Fallah dan Fakultas Peternakan IPB. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kelayakan pengusahaan sapi perah dan pemanfaatan limbah untuk menghasilkan
biogas dan pupuk kompos di UPP Darul Fallah dan Fakultas Peternakan IPB bila
ditinjau dari aspek-aspek non finansial yaitu aspek pasar, aspek teknis, aspek
manajemen, aspek SDM, dan aspek lingkungan hidup dapat disimpulkan layak
untuk diusahakan. Sedangkan hasil analisis finansial usaha peternakan UPP Darul
Fallah memperoleh NPV>0 yaitu sebesar Rp 202.456.789,33 yang artinya bahwa
usaha ini layak untuk dijalankan. Pada usaha ini diperoleh Net B/C>0 yaitu
sebesar 1,74 yang mengindikasikan bahwa pengusahaan sapi perah dan
pemanfaatan limbah untuk menghasilkan biogas dan pupuk kompos layak untuk
dijalankan dimana setiap Rp 1,00 yang dikeluarkan selama umur proyek
menghasilkan 1,74 satuan manfaat bersih. IRR yang diperoleh sebesar 26,13
persen, artinya usaha ini layak dan menguntungkan karena IRR lebih besar dari
nilai diskon faktor (8,75 %) dengan periode pengembalian investasi selama lima
tahun sepuluh bulan tujuh belas hari. Perbedaan dengan penelitian sebelumnya
dapat dilihat pada Tabel 7.
31
Tabel 7. Studi Terdahulu yang Berkaitan dengan Penelitian
Nama Tahun Judul Beda Penelitian Terdahulu
Metode Analisis
Gustoro 2006 Sistem Penunjang Keputusan Pendirian Industri Kompos di TPA Galuga, Bogor.
Dalam penelitian ini output utamanya yang dibahas yaitu kompos limbah pertanian tanpa memperkirakan model prakiraan. Sedangkan peneliti terdahulu, output berupa kompos limbah pasar dengan memperkirakan model prakiraan volume sampah.
Visual Basic 6.0, tren linier, NPV, IRR, NET B/C Ratio, PP
Khaddafy 2009 Analisis Kelayakan Usaha Pupuk Organik di CV Saung Wira, Kabupaten Bogor.
Dalam penelitian ini output utamanya yang dibahas yaitu kompos limbah pertanian. Sedangkan peneliti terdahulu, output berupa pupuk organik yang berbahan sampah organik rumah tangga.
NPV, IRR, NET B/C, Payback Period, Analisis Switching Value
Siregar 2009 Analisis Kelayakan Pengusahaan Sapi Perah dan Pemanfaatan Limbah Untuk Menghasilkan Biogas dan Pupuk Kompos di UPP Darul Fallah dan Fakultas Peternakan IPB.
Dalam penelitian ini objek yang dikaji hanya sebatas pengusahaan pupuk komposnya saja oleh unit usaha Koperasi Kelompok Tani Lisung Kiwari yang merupakan sampel dari masyarakat suatu desa.
NPV, IRR, NET B/C, Payback Period
III. KERANGKA PEMIKIRAN
3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis
3.1.1 Analisis Kelayakan Proyek
Gittinger (1986) mendefinisikan proyek merupakan suatu kegiatan yang
mengeluarkan uang atau biaya-biaya dengan harapan akan memperoleh hasil dan
yang secara logika merupakan wadah untuk melakukan kegiatan-kegiatan
perencanaan, pembiayaan, dan pelaksanaan dalam satu unit. Menurut Kadariah,
dkk. (1999) proyek merupakan suatu keseluruhan aktivitas yang menggunakan
sumber-sumber untuk mendapatkan kemanfaatan (benefit) atau suatu aktivitas
yang mengeluarkan uang dengan harapan untuk mendapatkan hasil (returns)
diwaktu yang akan datang, dan dapat direncanakan, dibiayai dan dilaksanakan
sebagai satu unit. Aktivitas suatu proyek selalu ditujukan untuk mencapai suatu
tujuan (objective) dan mempunyai suatu titik tolak (starting point) dan suatu titik
akhir (ending point).
Definisi lain menyebutkan bahwa studi kelayakan usaha merupakan suatu
kegiatan yang mempelajari secara mendalam tentang suatu kegiatan atau usaha
atau bisnis yang akan dijalankan, dalam rangka menentukan layak atau tidak
usaha tersebut dijalankan (Kasmir 2003). Husnan dan Suwarsono (2000)
mengemukakan kriteria keberhasilan suatu proyek dapat dilihat dari manfaat
investasi yang terdiri dari :
1. Manfaat ekonomis proyek terhadap proyek itu sendiri (sering juga disebut
sebagai manfaat finansial) yang berarti apakah proyek itu dipandang cukup
menguntungkan apabila dibandingkan dengan risiko proyek tersebut.
2. Manfaat proyek bagi negara tempat proyek itu dilaksanakan (disebut juga
manfaat ekonomi nasional) yang menunjukkan manfaat proyek tersebut bagi
ekonomi makro suatu negara.
3. Manfaat sosial proyek tersebut bagi masyarakat di sekitar proyek.
Menurut Gittinger (1986), dalam menganalisa suatu proyek yang efektif
harus mempertimbangkan aspek-aspek yang saling berkaitan secara bersama-sama
dalam menentukan bagaimana keuntungan yang diperoleh dari suatu penanaman
investasi tertentu dan mempertimbangkan seluruh aspek tersebut pada setiap tahap
dalam perencanaan proyek dan siklus pelaksanaannya. Aspek-aspek tersebut
antara lain :
1. Aspek Pasar
Aspek pasar merupakan aspek penting yang terlebih dahulu harus
dianalisis sebelum memutuskan untuk memulai atau mengembangkan suatu
usaha. Kelayakan aspek pasar akan sangat berkaitan dengan besarnya penerimaan
yang akan diperoleh dalam usaha, karena aspek ini akan menentukan besarnya
penekanan biaya pemasaran dan peningkatan nilai jual output yang dapat
diupayakan.
Analisis aspek pasar pada studi kelayakan mencakup permintaan,
penawaran, harga, program pemasaran, dan prakiraan penjualan yang bisa dicapai
perusahaan (Nurmalina et al. 2009). Permintaan dikaji secara total ataupun
diperinci menurut daerah, jenis konsumen, perusahaan, dan proyeksi permintaan.
Hal-hal yang dikaji dalam penawaran meliputi penawaran dalam negeri maupun
luar negeri, bagaimana perkembangannya di masa lalu dan bagaimana perkiraan
di masa yang akan datang. Kajian aspek harga meliputi perbandingan dengan
produk saingan yang sekelas dan apakah ada kecenderungan perubahan harga atau
tidak. Program pemasaran mencakup strategi pemasaran yang akan dipergunakan
bauran pemasaran (marketing mix) serta market share yang bisa dikuasai
perusahaan atau dapat diserap oleh bisnis dari keseluruhan pasar potensial yang
merupakan keseluruhan jumlah produk yang mungkin dapat dijual dalam pasar
tertentu.
2. Aspek Teknis
Aspek teknis merupakan suatu aspek yang berkenaan dengan proses
pembangunan proyek secara teknis dan pengoperasiannya setelah proyek tersebut
selesai dibangun. Aspek teknis berhubungan dengan input proyek (penyediaan)
dan output (produksi) berupa barang-barang nyata dan jasa-jasa. Aspek teknis
mengkaji beberapa hal yaitu lokasi bisnis, luas produksi untuk mencapai kondisi
yang ekonomis, proses produksi, layout, dan pemilihan jenis teknologi
33
34
(Nurmalina et al. 2009). Analisis aspek teknis akan menguji hubungan-hubungan
teknis yang mungkin dalam suatu proyek yang diusulkan. Hubungan-hubungan
tersebut seperti potensi bagi pembangunan, ketersediaan air, salinitas air, suhu
udara dan pengadaan input produksi yang sangat menentukan keberhasilan usaha
terutama keberhasilan proses produksi. Aspek-aspek lain dari analisis proyek
hanya akan dapat berjalan bila analisis secara teknis dapat dilakukan.
3. Aspek Manajemen dan Hukum
Analisis aspek manajemen memfokuskan pada kondisi internal
perusahaan. Aspek-aspek manajemen yang dilihat pada studi kelayakan terdiri
dari manajemen pada masa pembangunan yaitu pelaksanaan proyek, jadwal
penyelesaian proyek dan pelaksana studi masing-masing aspek, dan manajemen
pada saat operasi yaitu bagaimana bentuk organisasi/badan usaha yang dipilih,
bagaimana struktur organisasi, bagaimana deskripsi masing-masing jabatan,
berapa banyak jumlah tenaga kerja yang digunakan, dan menentukan anggota
direksi dan tenaga inti (Nurmalina et al. 2009). Evaluasi aspek manajemen
diantaranya meliputi jumlah dan persyaratan tenaga manajemen, anggaran balas
jasa karyawan yang diperlukan, berapa macam tugas operasi proyek yang
memerlukan keahlian khusus. Analisis pada aspek ini adalah analisis mengenai
ketepatan dalam penetapan institusi atau lembaga proyek dan analisis tentang
posisi kerja yang harus diisi dengan pekerja yang ahli.
Dalam aspek hukum memerlukan beberapa hal yang harus dipenuhi dalam
proyek atau usaha seperti bentuk badan usaha yang digunakan, jaminan-jaminan
yang dapat diberikan apabila hendak menjamin dana, akta, sertifikat dan izin yang
diperlukan dalam menjalankan usaha. Di samping hal tersebut aspek hukum dari
suatu kegiatan bisnis diperlukan dalam hal mempermudah dan memperlancar
kegiatan bisnis pada saat menjalin jaringan kerjasama (networking) dengan pihak
lain.
4. Aspek Sosial, Ekonomi, dan Budaya
Aspek sosial merupakan aspek yang mempertimbangkan keadaan sosial
yang ada di lingkungan sekitar atau sesuatu yang erat kaitannya dengan
keberlangsungan perusahaan. Pertimbangan-pertimbangan sosial lainnya juga
harus dipikirkan secara cermat agar dapat menentukan apakah suatu proyek yang
35
diusulkan tanggap (responsive) terhadap keadaan sosial tersebut. Aspek sosial
harus mempertimbangkan secara teliti pengaruh negatif dan positif dari
keberadaan proyek yang diusahakan atau didirikan di daerah tersebut (Umar
2005). Dari segi ekonomi suatu usaha dapat memberikan peluang peningkatan
pendapatan masyarakat luas. Adanya bisnis secara sosial, ekonomi, dan budaya
diharapkan lebih banyak memberikan manfaat dibandingkan kerugiannya. Suatu
bisnis tidak akan ditolak masyarakat sekitar bila secara sosial budaya diterima dan
secara ekonomi memberikan kesejahteraan.
5. Aspek Lingkungan
Analisis terhadap aspek lingkungan merupakan suatu analisis yang
berkenaan dengan implikasi lingkungan yang lebih luas dari investasi yang
diusulkan, dimana pertimbangan-pertimbangan lingkungan tersebut harus
dipikirkan secara cermat. Pertimbangan tentang sistem alami dan kualitas
lingkungan dalam analisis suatu bisnis justru akan menunjang kelangsungan suatu
usaha itu sendiri, sebab tidak ada usaha yang akan bertahan lama apabila tidak
bersahabat dengan lingkungan (Hufschmidt et al. 1987). Misal, bagaimana
dampak limbah usaha terhadap lingkungan sekitar.
6. Aspek finansial
Aspek finansial berkaitan dengan pengaruh secara finansial terhadap
proyek yang sedang dilaksanakan. Hal ini menggambarkan keuntungan atau
manfaat yang diterima perusahaan secara internal dari adanya proyek tersebut.
Aspek-aspek finansial dari persiapan dan analisis proyek menerangkan pengaruh-
pengaruh finansial dari suatu proyek yang diusulkan terhadap para peserta yang
tergabung di dalamnya. Analisis finansial meninjau proyek dari sudut peserta
proyek (pelaku proyek) secara individu.
3.1.2 Teori Biaya dan Manfaat
Biaya dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang mengurangi suatu
tujuan, dan suatu manfaat adalah segala sesuatu yang membantu tujuan (Gittinger
1986). Biaya dapat juga didefinisikan sebagai pengeluaran atau korbanan yang
dapat menimbulkan pengurangan terhadap manfaat yang diterima. Biaya-biaya
yang digunakan dalam analisis proyek agribisnis adalah biaya-biaya langsung
36
seperti biaya investasi, biaya operasional, dan biaya lain-lain. Biaya investasi
adalah biaya yang dikeluarkan pada saat proyek mulai dilakukan, sedangkan biaya
operasional adalah biaya yang dikeluarkan sesuai dengan kebutuhan pada saat
proyek berjalan. Biaya operasional dibagi menjadi biaya tetap dan biaya variabel.
Biaya tetap adalah biaya yang besarnya tidak tergantung dari besarnya output
yang dihasilkan. Biaya variabel adalah biaya yang besarnya berubah selama
proses produksi. Biaya yang diperlukan suatu proyek dapat dikategorikan sebagai
berikut :
1. Biaya modal merupakan dana untuk investasi yang penggunaannya bersifat
jangka panjang, seperti : tanah, bangunan, pabrik, mesin.
2. Biaya operasional atau modal kerja merupakan kebutuhan dana yang
diperlukan pada saat proyek mulai dilaksanakan, seperti : biaya bahan baku,
biaya tenaga kerja.
3. Biaya lainnya yaitu pajak, bunga dan pinjaman.
Sedangkan menurut Kadariah (1999), manfaat dapat dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu :
1. Manfaat langsung (direct benefit) yang diperoleh dari adanya kenaikan nilai
output, fisik, dan atau dari penurunan biaya.
2. Manfaat tidak langsung (indirect benefit) yang disebabkan adanya proyek
tersebut dan biasanya dirasakan oleh orang tertentu dan masyarakat berupa
adanya efek multiplier, skala ekonomi yang lebih besar dan adanya dynamic
secondary effect, misalnya perubahan dalam produktivitas tenaga kerja yang
disebabkan oleh keahlian.
3. Manfaat yang tidak dapat dilihat dan sulit dinilai dengan uang (intangible
effect), misalnya perbaikan lingkungan hidup, perbaikan distribusi
Kriteria yang biasa digunakan sebagai dasar persetujuan atau penolakan
suatu proyek adalah perbandingan antara jumlah nilai yang diterima sebagai
manfaat dari investasi tersebut dengan manfaat-manfaat dalam situasi tanpa
proyek. Nilai perbedaannya adalah berupa tambahan manfaat bersih yang akan
muncul dari investasi dengan adanya proyek (Gittinger 1986).
37
3.1.3 Analisis Kelayakan Investasi
Analisis kelayakan investasi diukur berdasarkan ukuran kriteria-kriteria
investasi. Kirteria investasi digunakan untuk mengukur manfaat yang diperoleh
dan biaya yang dikeluarkan dari suatu proyek. Dalam mengukur kemanfaatan
proyek dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu menggunakan perhitungan
berdiskonto dan tidak berdiskonto. Perbedaannya terletak pada konsep Time Value
of Money (nilai waktu uang) yang diterapkan pada perhitungan berdiskonto.
Perhitungan diskonto merupakan suatu teknik yang dapat “menurunkan” manfaat
yang diperoleh pada masa yang akan datang dan arus biaya menjadi nilai pada
masa sekarang, sedangkan perhitungan tidak berdiskonto memiliki kelemahan
umum, yaitu ukuran-ukuran tersebut belum mempertimbangkan secara lengkap
mengenai lamanya arus manfaat yang diterima (Gittinger 1986).
Konsep nilai waktu uang (time value of mone) menyatakan bahwa nilai
sekarang (present value) adalah lebih baik daripada nilai yang sama pada masa
yang akan datang (future value). Ada dua faktor yang menyebabkan hal ini terjadi,
yaitu time preference (sejumlah sumber yang tersedia untuk dinikmati pada saat
ini lebih disenangi daripada jumlah yang sama namun tersedia di masa yang akan
datang) dan produktivitas atau efisiensi modal (modal yang dimiliki saat sekarang
memiliki peluang untuk mendapatkan keuntungan di masa datang melalui
kegiatan yang produktif) yang berlaku baik secara perorangan maupun bagi
masyarakat secara keseluruhan (Kadariah 1999).
Kadariah, et.al (1999) mengungkapkan bahwa kedua unsur tersebut
berhubungan timbal balik di dalam pasar modal untuk menentukan tingkat harga
modal yaitu tingkat suku bunga, sehingga dengan tingkat suku bunga dapat
dimungkinkan untuk membandingkan arus biaya dan manfaat yang
penyebarannya dalam waktu yang tidak merata. Untuk tujuan itu, tingkat suku
bunga ditentukan melalui proses “discounting”.
3.1.4 Analisis Finansial
Aspek finansial merupakan proyeksi anggaran dan pengeluaran bruto pada
masa yang akan datang setiap tahunnya. Analisis finansial juga merupakan suatu
analisis yang membandingkan antara biaya dan manfaat untuk menentukan
38
apakah suatu proyek akan menguntungkan selama umur proyek (Husnan dan
Suwarsono 2000). Analisis finansial terdiri dari:
1. Net Present Value (NPV)
Net Present Value (NPV) suatu proyek menunjukkan manfaat bersih yang
diterima proyek selama umur proyek pada tingkat suku bunga tertentu. Net
Present Value (NPV) merupakan nilai sekarang dari selisih antara manfaat
(benefit) dengan biaya (cost) pada tingkat suku bunga tertentu. NPV juga dapat
diartikan sebagai nilai sekarang dari arus kas yang ditimbulkan oleh investasi.
Dalam menghitung NPV perlu ditentukan tingkat suku bunga yang relevan.
Kriteria investasi berdasarkan NPV yaitu:
• NPV > 0, artinya suatu proyek sudah dinyatakan menguntungkan dan dapat
dilaksanakan.
• NPV < 0, artinya proyek tersebut tidak menghasilkan nilai biaya yang
dipergunakan. Dengan kata lain, proyek tersebut merugikan dan sebaliknya
tidak dilaksanakan.
• NPV = 0, artinya proyek tersebut mampu mengembalikan persis sebesar
modal sosial Opportunities Cost faktor produksi normal. Dengan kata lain,
proyek tersebut tidak untung dan tidak rugi.
2. Net Benefit Cost Ratio (Net B/C Rasio)
Net Benefit Cost Ratio (Net B/C Rasio) menyatakan besarnya
pengembalian terhadap setiap satu satuan biaya yang telah dikeluarkan selama
umur proyek. Net B/C merupakan angka perbandingan antara present value dari
net benefit yang positif dengan present value yang negatif. Kriteria investasi
berdasarkan Net B/C adalah:
• Net B/C > 1, maka NPV > 0, proyek menguntungkan
• Net B/C < 1, maka NPV < 0, proyek merugikan
• Net B/C = 1, maka NPV = 0, proyek tidak untung dan tidak rugi
3. Internal Rate Return (IRR)
Internal Rate Return (IRR) adalah tingkat bunga yang menyamakan
present value kas keluar yang diharapkan dengan present value aliran kas masuk
yang diharapkan, atau didefinisikan juga sebagai tingkat bunga yang
menyebabkan Net Present Value (NPV) sama dengan nol. Gittinger (1986)
39
menyebutkan bahwa IRR adalah tingkat rata-rata keuntungan internal tahunan
bagi perusahaan yang melakukan investasi dan dinyatakan dalam satuan persen.
Tingkat IRR mencerminkan tingkat suku bunga maksimal yang dapat dibayar oleh
proyek untuk sumberdaya yang digunakan. Suatu investasi dianggap layak apabila
nilai IRR lebih besar dari tingkat suku bunga yang berlaku dan sebaliknya jika
nilai IRR lebih kecil dari tingkat suku bunga yang berlaku, maka proyek tidak
layak untuk dilaksanakan.
4. Payback Period (PP)
Payback Period (PP) merupakan suatu periode yang diperlukan untuk
menutup kembali pengeluaran investasi yang didanai dengan aliran kas. Payback
Period (PP) atau tingkat pengembalian investasi juga merupakan salah satu
metode dalam menilai kelayakan suatu usaha yang digunakan untuk mengukur
periode jangka waktu pengembalian modal. Semakin cepat modal itu dapat
kembali, semakin baik suatu proyek untuk diusahakan karena modal yang kembali
dapat dipakai untuk membiayai kegiatan lain (Husnan dan Suwarsono 2000).
5. Analisis Laba Rugi Usaha
Perhitungan rugi laba usaha mengkaji mengenai penerimaan dan
pengeluaran suatu perusahaan selama periode akuntansi. Menurut Gittinger
(1986), laporan rugi laba juga merupakan suatu laporan yang menunjukkan hasil-
hasil operasi perusahaan selama waktu tersebut. Laporan rugi laba ini atau usaha
yang dijalankan mendapatkan keuntungan ataukah mendapatkan kerugian selama
waktu proyek. Laba ialah apa saja yang tersisa setelah dikurangkannya
pengeluaran-pengeluaran yang timbul di dalam memproduksi barang atau jasa
atau dari penerimaan yang diperoleh dengan menjual barang atau jasa tersebut.
3.1.5 Analisis Sensitivitas
Suatu proyek pada dasarnya menghadapi ketidakpastian karena
dipengaruhi perubahan-perubahan, baik dari sisi penerimaan maupun dari sisi
pengeluaran. Perubahan-perubahan tersebut akhirnya akan mempengaruhi tingkat
kelayakan suatu proyek sehingga perlu dilakukan analisis sensitivitas. Analisis
sensitivitas dilakukan untuk meneliti kembali analisis kelayakan proyek yang
telah dilakukan (Gittinger 1986). Analisis sensitivitas dilakukan dengan
40
mengubah suatu unsur atau mengkombinasikan perubahan beberapa unsur dan
menentukan pengaruh dari perubahan pada hasil semula.
Proyek pada sektor pertanian dapat berubah-ubah akibat dari empat
permasalahan utama, yaitu perubahan harga jual produk, keterlambatan
pelaksanaan proyek, kenaikan biaya, dan perubahan volume produksi.
Permasalahan ini timbul karena banyak faktor yang tidak terkendali. Setiap
kemungkinan perubahan atau kesalahan dalam dasar perhitungan sebaiknya
dipertimbangkan dalam analisis sensitivitas (Gittinger 1986).
Suatu variasi dari analisis sensitivitas adalah analisis nilai pengganti
(switching value). Analisis switching value ini merupakan cara perhitungan untuk
mengukur perubahan maksimum dari peningkatan harga input atau perubahan
maksimum dari penurunan harga output dan jumlah produksi yang masih dapat
ditoleransi. Analisis ini menunjukkan sampai berapa persen perubahan yang
terjadi pada variabel (yang diduga bisa menyebabkan perubahan) sampai
menghasilkan nilai NPV sama dengan nol, nilai Net B/C sama dengan satu, dan
nilai IRR sama dengan tingkat suku bunga yang berlaku sehingga proyek
dikatakan masih tetap layak untuk dijalankan.
3.2 Kerangka Pemikiran Operasional
Program revolusi hijau yang diadakan sejak tahun 1970-an mulai kini
dirasa sangat merugikan lingkungan. Perubahan yang terjadi tidak hanya
meningkatkan produktifitas pertanian, tetapi menimbulkan dampak negatif yang
lebih besar dalam jangka panjang. Revolusi hijau yang menginstruksikan
pemakaian pupuk anorganik secara intensif menyebabkan sebagian besar petani
Indonesia masih memiliki ketergantungan bahwa pupuk adalah urea (urea
minded). Akibatnya tanah menjadi jenuh dan kandungan organik tanah (humus)
menurun drastis sehingga seiring waktu tingkat kesuburan tanah pertanian
Indonesia berubah menjadi lahan kritis. Lahan pertanian yang telah masuk dalam
kondisi kritis mencapai 66 persen dari total 7 juta hektar lahan pertanian yang ada
di Indonesia8).
8) Sakina, NN. op.cit. Hal 2
41
Selain itu, material sisa hasil pertanian yang tidak termakan manusia telah
membentuk kumpulan sampah organik dan kemudian menjadi masalah bagi
lingkungan bila tidak ada tindakan pengelolaan. Dilain pihak, adanya kebijakan
ekonomi oleh Menteri Perdagangan Marie Pangestu yang mengizinkan ekspor
pupuk lebih besar ke luar negeri telah mendorong terjadinya peningkatan harga
pupuk setiap kali musim tanam. Akibatnya, pasokan pupuk kepada petani menjadi
berkurang sehingga harga pupuk meningkat lebih dari 40 persen9).
Departemen Pertanian mencetuskan sistem pertanian organik (organic
farming) yang bertemakan “Go Organic 2010” sebagai alternatif solusi dari
masalah tersebut. Konsep pertanian organik ini bertujuan untuk mengurangi
penggunaan bahan-bahan yang berbasis anorganik untuk disubstitusikan dengan
bahan yang berbasis organik. Salah satunya yaitu dengan menambahkan pupuk
organik/kompos ke lahan-lahan sawah.
Pada tahun 2008 terdapat selisih yang cukup besar antara kebutuhan dan
ketersediaan pupuk organik di Indonesia bila dibandingkan dengan jenis pupuk
lainnya yaitu sebesar 16.655.000 ton. Berdasarkan hasil survey tim PT Petrokimia
Organik pada tahun 2009 Propinsi Jawa Barat menempati urutan kelima terbesar
dalam selisih jumlah permintaan potensial terhadap serapan permintaan pupuk
organik yaitu sebesar 72.136 ton pupuk organik. Sedangkan permintaan potensial
pupuk organik di Kota dan Kabupaten Bogor pada tahun 2008 mencapai 22.200
kg per bulan. Besarnya kebutuhan terhadap pupuk organik menunjukkan adanya
potensi pengembangan industri pupuk di wilayah Kabupaten Bogor melalui usaha
penyediaan pupuk organik. Hal ini turut didukung oleh Dinas Pertanian
Kabupaten Bogor bersama pihak LPS-DD (Lembaga Pertanian Sehat-Dompet
Dhuafa) melalui pelaksanaan Program Pemberdayaan Petani Sehat (P3S) Bogor
yang diikuti oleh Koperasi Kelompok Tani (KKT) Lisung Kiwari di Desa Ciburuy
dengan mengusahakan pembuatan pupuk kompos untuk memanfaatkan limbah-
limbah pertanian.
Pengusahaan pupuk kompos yang dijalankan oleh unit usaha KKT Lisung
Kiwari ini merupakan satu-satunya usaha pengomposan yang terdapat di Desa
9) [MDR] Media Data Riset PT. op.cit. Hal 3
42
Ciburuy. Perkembangan usaha pengomposan itu sendiri terbilang cukup fluktuatif
selama dua tahun awal produksinya karena ketidakpastian pesanan yang diterima
dari LPS. Namun sejak tahun 2008 hingga saat ini permintaan LPS kepada unit
usaha KKT Lisung Kiwari cenderung meningkat. Hal ini dikarenakan pada tahun
2008 tren tanaman hias sedang booming dan sejak tahun 2009 terjadi perluasan
permintaan pada pasar petani organik. Secara keseluruhan, jumlah pesanan dari
LPS mencapai 22,27 ton per bulan.
Pengusahaan pupuk kompos yang dijalankan unit usaha KKT Lisung
Kiwari belum mampu memenuhi jumlah pesanan yang ada dikarenakan kapasitas
produksinya masih terbatas. Dengan kapasitas produksi rata-rata sebesar 12 ton
per bulan, unit usaha baru mampu memenuhi 53,88 persen atau separuh dari pasar
potensial yang ada. Kondisi tersebut mendorong unit usaha untuk meningkatkan
jumlah produksinya. Oleh karena itu, analisis kelayakan terhadap usaha
pengolahan pupuk kompos menjadi penting untuk dilakukan agar dapat menilai
apakah usaha pengolahan pupuk kompos yang sedang berjalan saat ini dan
pengembangan usaha layak untuk dipertahankan dan dikembangkan atau tidak.
Kriteria kelayakan ditinjau dari aspek non finansial dan aspek finansial.
Aspek non finansial meliputi aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen dan
hukum, aspek sosial, ekonomi, dan budaya serta aspek lingkungan. Variabel-
variabel aspek pasar meliputi permintaan, penawaran, harga jual produk,
pemasaran, serta perkiraan penjualan. Analisis terhadap aspek teknis meliputi
lokasi bisnis, luas produksi, proses produksi, layout, dan pemilihan jenis
teknologi. Analisis aspek manajemen dan hukum meliputi manajemen sumber
daya manusia, bentuk organisasi, dan struktur organisasi usaha. Analisis terhadap
aspek sosial, ekonomi, dan budaya serta lingkungan mengkaji pengaruh negatif
dan positif dari pengusahaan pupuk kompos terhadap lingkungan dan masyarakat
sekitar dilihat dari sisi sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan.
Sedangkan aspek finansial terdiri dari analisis finansial dan analisis
sensitivitas. Pengukuran analisis finansial menggunakan kriteria kelayakan
investasi NPV, IRR, Net B/C Rasio, dan Payback Period. Analisis finansial
menerapkan dua skenario perhitungan. Penentuan skenario usaha didasarkan atas
potensi pasar LPS yang belum terpenuhi. Analisis kelayakan finansial skenario I
43
didasarkan pada kondisi usaha yang dijalankan saat ini dengan kapasitas produksi
sebesar 12 ton per bulan. Analisis kelayakan finansial skenario II mengacu pada
kondisi pengembangan usaha untuk meningkatkan kapasitas produksi menjadi 21
ton per bulan dengan memperluas petakan pengomposan ukuran 87,5 m2 untuk
memenuhi seluruh permintaan dari LPS pada kedua segmen pasar tersebut.
Pada pengukuran analisis sensitivitas menggunakan metode nilai
pengganti (switching value) untuk melihat batas kelayakan dari unit usaha jika
terjadi perubahan pada faktor harga bahan baku akibat pengaruh cuaca, pada
faktor jumlah produksi akibat pasokan bahan baku yang berkurang, dan faktor
harga jual pupuk kompos akibat peningkatan kadar air pada pupuk kandang yang
digunakan. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dan
rekomendasi mengenai pelaksanaan dan pengembangan usaha pupuk kompos
selanjutnya. Kerangka pemikiran operasional pengusahaan pupuk kompos ini
dapat dilihat pada Gambar 1.
44
Pengusahaan pupuk kompos KKT Lisung Kiwari
• Potensi pasar organik • Besarnya potensi
pertanian wilayah Kabupaten Bogor
• Dukungan oleh Dinas Pertanian Kabupaten Bogor dengan LPS-DD
• Ketergantungan pupuk anorganik • Penurunan tingkat kesuburan tanah pertanian • Masalah limbah organik • Kenaikan harga pupuk anorganik
Pupuk organik
Gagasan Departemen
Pertanian “Go Organic 2010”
• Satu-satunya usaha di Desa Ciburuy • Besarnya permintaan pada sasaran pasar • Kapasitas produksi terbatas
Kelayakan non finansial: • Aspek pasar • Aspek teknis • Aspek manajemen dan hukum • Aspek sosial, ekonomi, dan budaya • Aspek lingkungan
• Kelayakan finansial (NPV, Ner B/C, IRR, PP) • Analisis sensitivitas
Pengembangan usaha
Kondisi saat ini
Tidak Layak
Dapat diusahakan dan dikembangkan
Layak
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Operasional
IV. METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi dan Waktu
Penelitian mengenai kelayakan pengusahaan pupuk kompos dilaksanakan
pada unit usaha Koperasi Kelompok Tani (KKT) Lisung Kiwari yang menjalin
mitra dengan Lembaga Pertanian Sehat (LPS) di bawah Badan Amil Zakat
Nasional (BAZNAS) dan Dompet Dhuafa Republika di Desa Ciburuy, Kecamatan
Cigombong, Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara
sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa unit usaha KKT Lisung Kiwari
merupakan satu-satunya usaha pengomposan di Desa Ciburuy yang memiliki
potensi untuk pengembangan usaha dan juga sebagai salah satu desa yang
berkomitmen mendukung program pemerintah Go Organic 2010 melalui program
P3S Bogor yang dipopulerkan LPS-DD (Lembaga Pertanian Sehat-Dompet
Dhuafa). Selain itu, pelaksanaan pengusahaan pupuk kompos ini belum pernah
melakukan studi kelayakan terhadap usahanya. Pengambilan data ini dilaksanakan
pada bulan Februari hingga April 2010.
4.2 Data dan Instrumentasi
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer merupakan data hasil wawancara dengan pihak-pihak
terkait dan observasi langsung di lapangan. Data primer diperoleh melalui
wawancara langsung dengan petani anggota unit usaha koperasi mengenai aspek
produksi, ketua KKT Lisung Kiwari mengenai perkembangan unit usaha dan
aspek kelayakan, LPS-DD mengenai kemitraan yang dijalin serta wawancara
dengan staf Pemerintah Desa untuk mengetahui kondisi pengusahaan pupuk
kompos dan bentuk dukungan pemerintah daerah terhadap usaha pengomposan di
Kabupaten Bogor. Sedangkan data sekunder diperoleh dari hasil laporan
perusahaan, studi literatur berbagai buku dan skripsi, internet, serta data dari
instansi yang terkait dengan penelitian ini seperti Badan Pusat Statistik (BPS),
Departemen Pertanian, Pemerintah Daerah. Alat pengumpul data atau
instrumentasi yang digunakan adalah alat pencatat, alat perekam, dan alat
penyimpan elektronik.
4.3 Metode Pengumpulan Data
Proses pengumpulan data dilakukan di beberapa lokasi pada bulan
Februari-April 2010. Pengumpulan data primer diperoleh pada saat turun lapang
ke lokasi penelitian yaitu Desa Ciburuy yang meliputi usaha pengomposan dan
Desa Harjasari yang meliputi sistem kemitraan LPS. Metode yang digunakan
untuk pengumpulan data primer adalah wawancara langsung dan mendalam serta
observasi lapang. Sedangkan lokasi pengumpulan data sekunder meliputi
Pemerintah Daerah, perpustakaan IPB, Badan Pusat Statistik, Departemen
Pertanian. Metode yang digunakan untuk pengumpulan data sekunder dilakukan
dengan cara studi literatur dan browsing internet.
4.4 Metode dan Analisis Data
Analisis data dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif meliputi tahap
pengolahan data dan interpretasi data secara deskriptif. Data kuantitatif yang
diperoleh selama penelitian diolah dengan menggunakan program Microsoft Excel
2007 yang relatif mudah untuk dioperasikan. Sedangkan data kualitatif diolah dan
disajikan secara deskriptif.
Analisis kualitatif dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai
pengusahaan pupuk kompos sebagai bentuk pengolahan limbah organik dilihat
dari aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen dan hukum, aspek sosial,
ekonomi, dan budaya serta aspek lingkungan. Analisis kuantitatif dilakukan untuk
mengkaji kelayakan usaha pupuk kompos dilihat dari aspek finansial. Analisis
finansial mengolah data berdasarkan kriteria kelayakan finansial yaitu Net
Present value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Net Benefit Cost Ratio (Net
B/C), dan Payback Period (PP). Selain itu, analisis sensitivitas juga perlu
dilakukan apabila terjadi perubahan pada faktor yang dapat mempengaruhi usaha
dengan menggunakan metode switching value.
4.5 Analisis Kelayakan Usaha
Analisis kelayakan yang dilakukan terhadap berbagai aspek dalam studi
kelayakan usaha yaitu: analisis aspek pasar, aspek teknis, aspek manajemen dan
46
47
hukum, aspek sosial, ekonomi, dan budaya, aspek lingkungan serta aspek
finansial. Analisis aspek-aspek tersebut adalah:
1. Analisis Aspek Pasar
Pemasaran meliputi keseluruhan sistem yeng berhubungan dengan
kegiatan-kegiatan usaha yang bertujuan untuk merencanakan, menentukan harga,
hingga mempromosikan dan mendistribusikan barang atau jasa yang akan
memuaskan kebutuhan pembeli. Aspek pasar mengkaji permintaan, penawaran,
harga jual produk, program pemasaran, serta perkiraan penjualan. Suatu
perusahaan dapat dikatakan layak secara aspek pasar, apabila usaha tersebut
memiliki peluang dan potensi pasar untuk memasarkan produk yang
dihasilkannya serta dapat menghasilkan jumlah hasil penjualan yang memadai dan
menguntungkan.
2. Analisis Aspek Teknis
Pada aspek teknis, variabel-variabel yang dianalisis meliputi lokasi bisnis,
luas produksi, proses produksi, layout, dan pemilihan jenis teknologi. Dalam suatu
bisnis, beberapa variabel yang perlu diperhatikan untuk pemilihan lokasi bisnis
diantaranya ketersediaan bahan baku, letak pasar yang dituju, tenaga listrik dan
air, supply tenaga kerja, dan fasilitas transportasi (Nurmalina et al. 2009).
Pemilihan lokasi yang tepat dapat mengurangi sebanyak mungkin seluruh dampak
negatif dan mendapatkan lokasi dengan paling banyak faktor-faktor produksi
(Umar 2005). Parameter kelayakan suatu usaha berdasarkan aspek teknisnya,
yaitu apakah usaha tersebut menjalankan usahanya sesuai dengan standard
operation procedure (SOP). Jika perusahaan telah menjalankan usaha sesuai SOP
(baik dalam proses produksi maupun ketepatan penggunaan peralatan dan
teknologi), maka usaha tersebut layak secara aspek teknis, dan sebaliknya.
3. Analisis Aspek Manajemen dan Hukum
Aspek manajemen membicarakan mengenai bagaimana perencanaan
pengelolaan proyek tersebut dalam pengoperasian. Analisis ini dilakukan secara
kualitatif untuk melihat bagaimana penerapan fungsi dari manajemen pada
kegiatan. Aspek manajemen memfokuskan pada kondisi internal perusahaan.
Adapun hal-hal yang dibahas pada aspek ini meliputi manajemen sumber daya
manusia, bentuk organisasi, dan struktur organisasi. Sedangkan aspek hukum
48
mempelajari tentang bentuk badan usaha yang akan digunakan (dikaitkan dengan
kekuatan hukum dan konsekuensinya), dan mempelajari jaminan-jaminan yang
bisa disediakan bila akan menggunakan sumber dana yang berupa pinjaman,
berbagai akta, sertifikat, dan izin. Ditinjau dari aspek manajemen dan hukumnya,
suatu usaha dapat dikatakan layak apabila usaha tersebut telah menjalankan fungsi
manajemen yang menjadikan usaha berjalan efektif dan efisien serta memiliki
kekuatan hukum yang dapat memperlancar kegiatan bisnis.
4. Analisis Aspek Sosial, Ekonomi, dan Budaya
Aspek sosial mengkaji penambahan kesempatan kerja atau pengurangan
pengangguran dan pengaruh usaha terhadap lingkungan sekitar lokasi bisnis. Dari
segi ekonomi suatu usaha dapat memberikan peluang peningkatan pendapatan
masyarakat, pendapatan asli daerah (PAD), pendapatan dari pajak, dan dapat
menambah aktivitas ekonomi. Perubahan dalam teknologi atau peralatan mekanis
dalam bisnis dapat secara budaya mengubah jenis pekerjaan yang dilakukan oleh
masyarakat (Nurmalina et al. 2009). Suatu usaha dapat dikatakan layak ditinjau
dari aspek sosial, ekonomi, dan budaya, apabila usaha tersebut secara sosial
budaya diterima dan secara ekonomi memberikan kesejahteraan ataupun manfaat
kepada negara umumnya dan masyarakat sekitar proyek khususnya, dan
sebaliknya.
5. Analisis Aspek Lingkungan
Aspek lingkungan mengkaji mengenai dampak positif maupun negatif
terhadap lingkungan sekitar dari suatu usaha. Pelaku proyek perlu
mempertimbangkan pola dan kebiasaan-kebiasaan sosial dari pihak yang akan
dilayani oleh proyek. Pelaku proyek juga perlu meneliti secara cermat mengenai
masalah dampak lingkungan yang merugikan dari investasi yang diusulkan.
6. Analisis Aspek Finansial
Analisis aspek finansial menggunakan alat ukur kelayakan melalui
pendekatan kriteria investasi sehingga dapat diketahui tingkat kelayakan
pengusahaan pupuk kompos. Kriteria kelayakan investasi yang akan digunakan
antara lain Net Present Value (NPV), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C), Internal
Rate Return (IRR), dan Payback Period (PP).
• Net Present value (NPV)
Net Present Value (NPV) merupakan selisih antara nilai benefit sekarang
dan nilai biaya sekarang pada tingkat suku bunga tertentu selama umur proyek.
Kriteria kelayakan investasi ini menjelaskan bahwa suatu bisnis dapat dinyatakan
layak apabila jumlah seluruh manfaat yang diterimanya melebihi biaya yang
dikeluarkan. NPV dirumuskan sebagai berikut:
NPV =∑= +
−n
tttt
iCB
1 )1(
umber : Nurmalina et al. (2009) S
Keterangan:
NPV : Jumlah nilai bersih sekarang (Rupiah)
Bt : Manfaat yang diperoleh pada tahun ke-t (Rupiah)
Ct : Biaya yang dikeluarkan pada tahun ke-t (Rupiah)
t : Periode waktu (t = 1,2,3,….,n tahun)
n : Umur Proyek (Tahun)
i : Tingkat suku bunga/diskonto (%)
Kriteria kelayakan investasi berdasarkan NPV mencakup tiga kriteria,
yaitu: (1) nilai NPV > 0, artinya bisnis layak untuk dijalankan, (2) nilai NPV = 0,
artinya usaha tersebut mengembalikan sama besarnya dengan nilai uang yang
ditanamkan untuk mencapai hasilnya dan usaha tetap layak dijalankan, (3) nilai
NPV < 0, artinya usaha tersebut tidak layak untuk dijalankan.
• Net Benefit Cost Ratio (Net B/C)
Net B/C merupakan manfaat bersih yang diperoleh setiap penambahan
satu rupiah pengeluaran bersih. Secara matematis Net B/C dapat dirumuskan
sebagai berikut:
Net B/C = ∑
∑
=
=
+−+−
n
tttt
n
tttt
iCBiCB
1
1
)1(
)1( Dimana )0(
)0(<−>−
tt
tt
CBCB
Sumber : Nurmalina et al. (2009)
49
Keterangan:
Bt : Manfaat yang diperoleh pada tahun ke-t (Rupiah)
Ct : Biaya yang dikeluarkan pada tahun ke-t (Rupiah)
t : Periode waktu (t = 1,2,3,….,n tahun)
n : Umur Proyek (Tahun)
i : Tingkat suku bunga/diskonto (%)
Kriteria kelayakan investasi berdasarkan Net B/C mencakup tiga kriteria,
yaitu: (1) Net B/C > 1, artinya bisnis layak untuk dijalankan dan dapat
menghasilkan keuntungan, (2) Net B/C = 1, artinya bisnis layak untuk dijalankan
tetapi tidak mendapatkan keuntungan ataupun kerugian, (3) Net B/C < 1, artinya
bisnis tidak layak dijalankan karena menimbulkan kerugian.
• Internal Rate of Return (IRR)
Internal Rate of Return (IRR) merupakan kriteria investasi yang
digunakan untuk mengukur seberapa besar pengembalian proyek atau usaha
terhadap investasi yang ditanamkan. IRR merupakan nilai discount rate yang
membuat NPV dari usaha sama dengan nol. IRR dirumuskan sebagai berikut:
50
IRR = )'('
iiNPVNPV
NPVi −−
+
Sumber : Nurmalina et al. (2009)
Keterangan :
i : tingkat discount rate yang menghasilkan NPV positif (%)
i’ : tingkat discount rate yang menghasilkan NPV negatif (%)
NPV : NPV yang bernilai positif (Rupiah)
NPV’ : NPV yang bernilai negative (Rupiah)
Kriteria kelayakan investasi berdasarkan IRR mencakup dua kriteria,
yaitu: (1) nilai IRR lebih besar atau sama dengan tingkat discount rate yang
berlaku, artinya usaha layak untuk dijalankan karena pada kondisi tersebut nilai
NPV lebih besar atau sama dengan nol, (2) nilai IRR lebih kecil dari tingkat
discount rate yang berlaku, artinya usaha tidak layak dijalankan karena ada
alternatif penggunaan lain yang lebih menguntungkan.
• Payback Period (PP)
Payback Period atau masa pengembalian investasi merupakan jangka
waktu yang diperlukan untuk membayar kembali semua biaya-biaya yang telah
dikeluarkan di dalam investasi suatu proyek. Semakin cepat pengembalian biaya
investasi suatu usaha, semakin baik usaha tersebut karena semakin lancar
perputaran modal dan semakin kecil risiko yang dihadapi investor. Payback
period dapat dirumuskan sebagai berikut:
Payback period = bA
I
Sumber : Nurmalina et al. (2009)
Keterangan :
I : Jumlah modal investasi yang dibutuhkan (Rupiah)
Ab : Keuntungan bersih yang diperoleh pada setiap tahunnya(Rupiah/tahun)
Nilai payback period berbanding terbalik dengan nilai NPV, semakin
tinggi nilai NPV maka nilai payback period yang dihasilkan semakin kecil.
Semakin kecil nilai payback period yang didapat maka manfaat yang diperoleh
semakin besar karena investasi yang ditanamankan cepat dikembalikan.
4.6 Analisis Nilai Pengganti (Switching Value)
Dalam analisis studi kelayakan bisnis, adanya kemungkinan terjadinya
perubahan pada variabel-variabel yang dapat mempengaruhi keberlangsungan
suatu usaha menjadikan analisis sensitivitas penting untuk dilakukan. Pada
penelitian ini, analisis sensitivitas dilakukan dengan menggunakan metode nilai
pengganti (switching value) untuk melihat batas tingkat kelayakan dari usaha ini
jika terjadi perubahan-perubahan pada variabel-variabel yang mempengaruhi
usaha.
Analisis nilai pengganti ini merupakan cara perhitungan untuk mengukur
perubahan maksimum dari peningkatan harga input atau perubahan maksimum
dari penurunan harga output dan jumlah produksi yang masih dapat ditoleransi
agar pengusahaan pupuk kompos ini masih tetap layak untuk dijalankan.
Perhitungan mengacu kepada berapa besar perubahan terjadi sampai
51
52
menghasilkan nilai NPV sama dengan nol, nilai Net B/C sama dengan satu, dan
nilai IRR sama dengan tingkat suku bunga yang berlaku.
Switching value dilakukan terhadap variabel-variabel yang paling
mempengaruhi kelayakan usaha pupuk kompos baik dari sisi penerimaan maupun
dari sisi pengeluaran. Penentuan variabel tersebut didasarkan pada pengalaman
usaha selama ini. Dari sisi pengeluaran, analisis switching value dilakukan pada
variabel harga bahan baku kotoran sapi karena pengaruh faktor cuaca. Dari sisi
penerimaan, analisis switching value dilakukan pada variabel jumlah produksi dan
harga jual karena adanya kemungkinan pasokan bahan baku yang berkurang dan
penurunan kualitas pupuk kandang.
4.7 Asumsi Dasar yang Digunakan
Asumsi dasar yang digunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut :
1. Umur unit usaha pupuk kompos KKT Lisung Kiwari ditetapkan selama 10
tahun berdasarkan umur ekonomis lantai pengomposan yang dimilikinya,
dimana variabel tersebut merupakan pengeluaran investasi terbesar pada
bangunan produksi dengan umur ekonomis terlama yang berpengaruh dalam
kondisi pengusahaan.
2. Output yang dihasilkan oleh unit usaha hanya berupa pupuk kompos tanpa
kemasan. Hak cipta teknologi produksi dan merk dagang OFER (Organic
Fertilizer) adalah milik LPS.
3. Bahan baku untuk menghasilkan pupuk kompos adalah jerami giling, arang
sekam, dedak halus, kotoran sapi, dolomit, molase, bioaktivator EM4 (effective
microorganisme), dan air.
4. Penentuan harga yang digunakan dalam perhitungan adalah harga yang
berlaku pada saat penelitian dilakukan tahun 2010 dan diasumsikan konstan
hingga umur usaha berakhir.
5. Pengemasan pupuk kompos dilakukan oleh unit usaha namun karung kemasan
berasal dari LPS. Hal ini berimplikasi pada harga beli rata-rata yang diterima
unit usaha hanya sebesar harga curah yaitu Rp 450,- per kg. LPS sendiri hanya
membayarkan upah pengemasan sebesar Rp 30.000,- per HOK.
53
6. Lantai petakan pengomposan yang digunakan seluas 50 m2 untuk 4 petak.
Satu petakan pengomposan seluas 12,5 m2 dengan kapasitas 1 ton per 10 hari.
Kapasitas total empat petakan pengomposan sebesar 4 ton per 10 hari atau 12
ton per bulan setara 144 ton per tahun.
7. Modal yang digunakan dalam usaha ini berasal dari modal sendiri.
8. Biaya investasi dikeluarkan pada tahun pertama usaha yaitu tahun 2010 karena
pembangunan rumah produksi hanya membutuhkan waktu dua bulan dan
diasumsikan awal investasi berada pada bulan pertama di tahun pertama.
9. Biaya reinvestasi dikeluarkan untuk peralatan-peralatan yang telah habis umur
ekonomisnya.
10. Alat pencacah jerami atau chopper diperoleh dari Dinas Pertanian Kabupaten
Bogor sehingga dalam analisis digunakan pendekatan opportunity cost sebesar
Rp 3.750.000,- per unit.
11. Biaya sertifikasi produk dan uji kandungan hara tidak termasuk bagian dari
biaya unit usaha karena proses penjaminan produk sepenuhnya dilakukan oleh
LPS sebagai mitra petani.
12. Biaya pemeliharaan bangunan sepuluh persen dari biaya investasi bangunan
dan diasumsikan konstan selama umur usaha.
13. Upah tenaga kerja per HOK sebesar Rp 30.000,- per orang.
14. Penyusutan barang investasi menggunakan metode garis lurus. Perhitungan
beban penyusutan dilakukan untuk perhitungan laba-rugi yang akan
menghasilkan besarnya pajak penghasilan yang harus dibayar oleh pengelola
koperasi setiap tahunnya.
15. Tingkat diskonto yang digunakan untuk kelayakan pengusahaan pupuk
kompos diasumsikan tetap hingga akhir umur usaha, yaitu tingkat suku bunga
deposito Bank Indonesia sebesar 6,5 persen. Penentuan didasarkan pada social
opportunity cost of capital dari dana yang dimiliki unit usaha.
16. Pada analisis finansial skenario I didasarkan pada kondisi usaha saat ini
dengan jumlah produksi pupuk kompos rata-rata sebesar 12 ton per bulan.
Pada analisis finansial skenario II didasarkan pada kondisi pengembangan
usaha dengan peningkatan jumlah produksi menjadi 21 ton per bulan melalui
perluasan bangunan pengomposan.
54
17. Pajak pendapatan yang digunakan berdasarkan Undang-Undang Republik
Indonesia No. 36 tahun 2008, pasal 17 ayat 2 a dan 31 E, yang merupakan
perubahan keempat atas undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak
penghasilan, yaitu :
• Pasal 17 ayat 1 b. Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap
adalah sebesar 28% (dua puluh delapan persen).
• Pasal 17 ayat 2 a.Tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
menjadi 25% (dua puluh lima persen) yang mulai berlaku sejak tahun
pajak 2010.
• Pasal 31 E Bagi WP UMKM yang berbentuk badan diberikan insentif
pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif normal yang berlaku terhadap
bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4,8 miliar. Pemberian insentif
tersebut dimaksudkan untuk mendorong berkembangnya UMKM yang
pada kenyataannya memberikan kontribusi yang signifikan bagi
perekonomian di Indonesia. Pemberian insentif juga diharapkan dapat
mendorong kepatuhan WP yang bergerak di UMKM.
V. GAMBARAN UMUM USAHA
5.1 Gambaran Umum Desa Ciburuy
5.1.1 Kondisi Fisik Desa Ciburuy
Pengusahaan pupuk kompos yang menjadi objek penelitian terletak di
Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor. Desa Ciburuy terletak
pada ketinggian 600 meter di atas permukaan laut. Suhu rata-rata sepanjang tahun
di Desa Ciburuy berkisar antara 23-320 Celcius dan memiliki curah hujan rata-rata
sepanjang tahun sebesar 3000-4000 mm. Desa Ciburuy memiliki iklim yang
cukup sejuk dikarenakan berada di kaki Gunung Salak. Jarak menuju ibukota
provinsi di Bandung sejauh 120 km, sedangkan jarak menuju ibukota negara di
Jakarta sejauh 81 km. Berdasarkan keadaan iklim dan kondisi fisik yang ada,
pengusahaan pupuk kompos sesuai untuk diusahakan di Desa Ciburuy. Batas
wilayah Desa Ciburuy adalah sebagai berikut:
Sebelah utara : Desa Muara Jaya
Sebelah timur : Desa Sorogol
Sebelah barat : Desa Cisalada
Sebelah selatan : Desa Cigombong
5.1.2 Potensi Pertanian
Desa Ciburuy memiliki total luas wilayah sebesar 160 hektar yang terdiri
dari lahan darat seluas 73 hektar dan lahan pertanian seluas 87 hektar, artinya
lebih dari sebagian lahan yang ada atau terdapat 54,37 persen lahan yang
dimanfaatkan penduduk untuk kegiatan pertanian. Pemanfaatan lahan pertanian di
Desa Ciburuy mayoritas digunakan untuk persawahan dengan komoditas utama
yang diusahakan petani adalah padi organik sebesar 90 persen atau seluas 78,3
hektar. Sisanya dimanfaatkan untuk budidaya peternakan dan ikan air tawar serta
penangkaran benih padi. Pemanfaatan lahan darat di Desa Ciburuy digunakan
untuk pemukiman, sekolah, fasilitas publik, dan bangunan-bangunan usaha seperti
lahan processing beras SAE, lantai penjemuran serta lahan usaha pembuatan
pupuk kompos.
56
Kegiatan budidaya padi organik yang dilakukan para petani di Desa
Ciburuy rata-rata menghasilkan panen sebanyak 2-3 kali dalam satu tahun pada
keadaan musim yang normal. Hasil panen berupa padi sehat sebagai bahan produk
unggulan beras SAE (Beras Organik Bebas Residu Pestisida Kimia). Produktivitas
padi yang dihasilkan mencapai 7 ton per hektar padi sehat kering panen. Total
keseluruhan padi yang dihasilkan di Desa Ciburuy sebesar 548,1 ton padi sehat
kering panen.
Berdasarkan pengalaman bertani selama ini, total jerami yang dihasilkan
sebesar tiga kali lipat dari hasil gabah padi, artinya terdapat sebesar 21 ton per
hektar atau 1644,3 ton jerami padi yang tersedia setiap kali panen. Besarnya
material sisa panen padi yang tersedia merupakan suatu potensi yang dapat
dimanfaatkan sebagai sumber organik bagi tanah. Pemanfaatan jerami dalam
kaitannya untuk menyediakan hara dan bahan organik tanah adalah merombaknya
menjadi kompos. Rendemen kompos yang dibuat dari jerami kurang lebih 60%
dari bobot awal jerami, sehingga kompos jerami yang dapat dihasilkan dalam satu
hektar lahan sawah adalah sebesar 12,6 ton per hektar. Apabila seluruh jerami
yang tersedia dibuat kompos akan dihasilkan kompos sebanyak 986,58 ton di
Desa Ciburuy. Oleh karena itu Desa Ciburuy berpotensi dalam mengusahakan
pembuatan pupuk kompos.
5.2 Gambaran Umum Usaha
5.2.1 Sejarah dan Perkembangan Usaha
Pada tahun 1999, Lembaga Pertanian Sehat (LPS) melalui divisi penelitian
dan pengembangan (Litbang) mulai melakukan kegiatan penelitian dan
pengembangan sarana produksi pertanian yang ramah lingkungan yaitu pupuk
kompos. Divisi Litbang melakukan berbagai percobaan untuk dapat menghasilkan
formulasi pembuatan pupuk kompos yang tepat guna dalam upaya mendukung
produk pertanian sehat yang mudah diaplikasikan dan dimanfaatkan petani. Proses
penelitian ini berlangsung hingga akhir tahun 2001 dimana dihasilkan teknologi
saprotan yang mampu mengatasi kendala para petani serta dapat meningkatkan
kualitas dan mutu produk pertanian agar tetap kompetitif. Teknologi saprotan
tersebut berupa pembuatan pupuk kompos dengan bantuan aktivator Effective
microorganism (EM4).
Pada tahun 2004, LPS sebagai lembaga non pemerintah yang fokus di
bidang pertanian berkelanjutan dan ramah lingkungan berkomitmen akan
mendukung program pemerintah “Go Organic 2010” dengan mencanangkan
Program Pemberdayaan Petani Sehat (P3S) Bogor di tiga kecamatan di
Kabupaten Bogor, yakni salah satunya Kecamatan Cigombong yang diikuti oleh
Gapoktan Silih Asih (Gambar 2). Gapoktan Silih Asih merupakan gabungan dari
11 kelompok tani di Desa Ciburuy yang bergerak di bidang usahatani padi bebas
pestisida yang digarap oleh 6 kelompok tani dan sisanya bergerak pada bidang
perikanan serta benih padi. Gapoktan Silih Asih telah menjalin mitra dengan LPS
di bawah Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) dan Dompet Dhuafa Republika.
57
Gambar 2. Program Pemberdayaan Petani Sehat (P3S) Bogor
Sumber : KKT Lisung Kiwari 2010
Gapoktan Silih Asih sebagai lembaga petani yang sebagian besar
anggotanya bergerak di bidang budidaya padi bebas pestisida, selain beras sebagai
output utamanya namun juga menghasilkan output sampingan berupa jerami sisa
hasil panen. Tentunya jumlah jerami yang dihasilkan tidak sedikit pula. Sejalan
dengan hal itu, adanya kebutuhan aksesibilitas sarana produksi pertanian bagi
seluruh petani yang tergabung sebagai anggota gapoktan menjadi dasar dalam
pengembangan pertanian organik pada subsektor penyediaan input terutama
komoditi pupuk organik.
Dalam upaya mewujudkan kemandirian petani secara bersama pada
subsektor penyediaan input, LPS bersama para petani berinisiasi untuk
58
memanfaatkan limbah pertanian menjadi output yang memiliki nilai ekonomis dan
nilai manfaat lebih terhadap lingkungan. LPS melalui program P3S melakukan
transfer teknologi pembuatan pupuk kompos. Dalam Program P3S tersebut, LPS
mengadakan pembinaan dan pelatihan pembuatan pupuk kompos secara berkala
sehingga petani dapat memenuhi kebutuhannya sendiri terhadap pupuk. Hal ini
penting untuk dilakukan mengingat komponen yang paling berpengaruh di tingkat
pertanian adalah pupuk.
Pola pembinaan yang dilaksanakan mencakup tiga hal, yaitu quality
control, kuota pembuatan yang disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing
cluster dan pemilihan bahan baku. Pembinaan pelatihan dilaksanakan hingga akhir
tahun 2005.
Pada masa pembinaan berlangsung, upaya memperbaiki kualitas terus
dilakukan oleh LPS. Salah satunya dengan mencoba melakukan pengemasan
sehingga pupuk tidak hanya berkualitas tetapi juga kontinu dan memiliki daya
tahan yang lebih lama. LPS mencoba memasarkan kelebihan pupuk yang sudah
tidak terpakai oleh petani di wilayah sekitar sebagai langkah awal pengenalan
produk. Ternyata pupuk kompos produksi petani anggota Gapoktan Silih Asih
mendapat perhatian yang cukup baik di pasaran sehingga membuka peluang untuk
pengusahaan pupuk kompos.
Melihat perkembangan kemampuan produksi dan potensi pasar yang ada,
LPS berinisiasi untuk menjembatani kedua hal tersebut. LPS tidak hanya berperan
dalam hal transfer teknologi saja tetapi juga sebagai lembaga saluran pemasaran
dan distribusi produk yang dihasilkan petani binaan. Kondisi ini membuat
Gapoktan Silih Asih menjadikan kemampuan produksi tersebut sebagai langkah
awal pembentukan sebuah pengusahaan. Gapoktan Silih Asih mendirikan
pengusahaan pupuk kompos melalui Koperasi Kelompok Tani (KKT) Lisung
Kiwari yang dibentuk pada tahun 2005 sebagai lembaga perekonomian dari
gapoktan tersebut. Pengusahaan pupuk kompos ini menjadi salah satu dari unit
usaha yang dimiliki KKT Lisung Kiwari.
Pada tahun 2006 pengusahaan pupuk kompos oleh unit usaha KKT Lisung
Kiwari mulai dijalankan secara komersial kepada pihak LPS. LPS kemudian
memasarkan pupuk kompos tersebut di pasar eksternal dan pasar internal.
59
Pengusahaan pupuk kompos oleh unit usaha KKT Lisung Kiwari hingga saat ini
belum berkembang secara signifikan karena masih berproduksi secara terbatas
sesuai luasan lahan pengomposan yang dimiliki. Padahal permintaan yang terjadi
dari LPS mendekati dua kali lipat dari kapasitas produksi unit usaha.
5.2.2 Pengadaan Input
Pada pengusahaan pupuk kompos ini, bahan baku utama yang digunakan
adalah bahan-bahan yang berasal dari limbah pertanian seperti jerami, arang
sekam, dedak halus, serta campuran kotoran sapi. Unit usaha KKT Lisung Kiwari
memperoleh pasokan bahan baku utama berupa limbah pertanian dari sisa panen
padi yang dihasilkan para petani anggota gapoktan di Desa Ciburuy. Pengadaan
input berupa kotoran sapi sebagai bahan baku campuran diperoleh dari PT
Karyana-Cicurug. PT Karyana-Cicurug merupakan perusahaan skala besar yang
menyediakan tiga jenis kotoran sapi atau pupuk kandang terdiri dari grade satu
dengan kadar air paling rendah hingga grade tiga dengan kadar air paling tinggi
(basah). Jenis pupuk kandang yang digunakan oleh unit usaha KKT Lisung
Kiwari yaitu kotoran sapi grade dua dengan harga Rp 3.000,- per karung (1
karung = 30 kg).
5.2.3 Proses Produksi
Kegiatan pembuatan pupuk organik dapat dilakukan dengan cara
tradisional atau dengan teknologi pengomposan. Pembuatan pupuk organik
dengan cara tradisional membutuhkan waktu berbulan-bulan karena bahan-bahan
organik dibiarkan melapuk dengan sendirinya sehingga proses fermentasi
berlangsung secara alami. Pada pembuatan pupuk organik dengan teknologi
pengomposan proses fermentasi dapat dipercepat dengan cara menambahkan
bahan lain yang disebut aktivator. Aktivator merupakan bahan bagi bakteri
pengurai yang terdiri dari enzim, asam humat bahan, dan mikroorganisme (kultur
bakteri). Aktivator pengomposan yang sudah banyak beredar di pasaran antara
lain PROMI (Promoting Microbes), OrgaDec, SuperDec, ActiComp, BioPos,
EM4, Green Phoskko Organic Decomposer dan SUPERFARM atau menggunakan
60
cacing guna mendapatkan kompos (vermicompost). Setiap aktivator memiliki
keunggulan sendiri-sendiri.
Pada unit usaha KKT Lisung Kiwari pembuatan pupuk kompos dilakukan
dengan bantuan aktivator Effective Microorganism (EM4). Keunggulan yang
dimiliki EM4 yaitu dapat meningkatkan fermentasi limbah organik dan kotoran
ternak hingga lingkungan menjadi tidak bau, meningkatkan ketersediaan unsur
hara untuk tanaman, serta menekan pertumbuhan mikroorganisme pathogen tanah.
Proses pembuatan pupuk kompos diproduksi dengan sistem aerob (menggunakan
oksigen), dimana mikroba menggunakan oksigen dalam proses dekomposisi
bahan organik. Proses dekomposisi dapat juga terjadi tanpa menggunakan oksigen
yang disebut proses anaerob. Pengomposan secara anaerob memanfaatkan
mikroorganisme yang tidak membutuhkan udara dalam mendegradasi bahan
organik. Namun, pada proses ini akan dihasilkan bau yang tidak sedap.
Kegiatan pengusahaan pupuk kompos ini secara umum meliputi persiapan
lokasi pembuatan, pemilihan bahan, pemotongan bahan, penumpukan bahan,
pengayaan, pembalikan, pengayakan, dan pengemasan. Metode pembuatan pupuk
kompos dilakukan dengan cara ditumpuk berlapis-lapis pada areal terbuka dan
ternaungi. Semua tahap kegiatan dilakukan secara manual dengan peralatan yang
tergolong sederhana (cangkul, sekop, ember dsb). Mesin yang digunakan pada
unit usaha ini hanya mesin pencacah jerami atau chopper sehingga pemotongan
jerami tidak lagi dilakukan secara manual dengan golok. Jangka waktu pembuatan
pupuk kompos untuk satu siklus produksi selama 10 hari. Dalam satu siklus
produksi menggunakan empat lantai petakan pengomposan ukuran 5x2,5 m
dengan kapasitas satu ton untuk setiap petak sehingga total kapasitas produksi
sebesar 12 ton per bulan. Tenaga kerja yang digunakan berasal dari petani anggota
gapoktan silih asih.
1. Persiapan bahan dan lokasi
Sebelum memulai proses produksi, bahan-bahan telah dipersiapkan dekat
tempat pengomposan agar mudah dan mempercepat waktu pengolahan. Selain
bahan baku juga perlu disiapkan cangkul untuk mengaduk dan ember untuk
menyiram serta karung goni atau plastik yang berlubang untuk menutupi
tumpukan.
61
Lokasi pengomposan yang dimiliki unit usaha Lisung Kiwari terdiri dari
lahan pengomposan ukuran 5x10 m dan dua buah gudang untuk penyimpanan
bahan baku dan kompos siap jual. Lokasi pengomposan dinaungi dengan atap dari
asbes untuk menghindari curah hujan. Lahan pengomposan unit usaha KKT
Lisung Kiwari memiliki empat petakan atau bedengan yang berdampingan dengan
panjang 5 m, lebar 2,5 m dan tinggi 30 cm untuk setiap petakan yang berkapasitas
satu ton. Tujuan pembuatan petakan untuk menjaga agar tidak tergenang sewaktu
hujan. Lantai petakan disemen agar memudahkan pengadukan dan pembalikan
adonan bahan-bahan tersebut. Disekeliling lokasi juga dibuat parit untuk
membuang kelebihan air saat musim hujan.
2. Pemilihan bahan
Dalam pembuatan pupuk kompos terdapat berbagai alternatif bahan baku
yang dapat digunakan namun bahan-bahan yang harus dipilih adalah bahan
dengan kandungan C/N ratio cukup rendah yang idealnya bernilai antara 20-30
C/N ratio karena mudah melapuk dan terdekomposisi. Apabila nilai C/N ratio
suatu bahan semakin tinggi maka semakin lambat bahan tersebut untuk diubah
menjadi kompos, sebaliknya nilai C/N ratio-nya semakin rendah maka akan
mempercepat laju pengomposan.
Pada pengusahaan pupuk kompos ini, bahan baku yang dipilih adalah
bahan-bahan yang berasal dari limbah pertanian seperti jerami kering, arang
sekam, dan dedak halus, serta kotoran sapi yang relatif sudah matang sebagai
bahan campuran dari limbah peternakan. Unit usaha Lisung Kiwari memilih
menggunakan bahan-bahan dari limbah pertanian karena potensi jerami yang
begitu besar di Desa Ciburuy sehingga berpeluang untuk dapat dimanfaatkan
menjadi pupuk kompos walaupun kandungan nilai C/N ratio pada jerami cukup
besar senilai 80 C/N ratio.
Unit usaha Lisung Kiwari mensiasati hal tersebut dengan mencampur
bahan lain yang nilai C/N ratio-nya rendah agar dapat mempersingkat laju
pengomposan. Dalam hal ini, unit usaha Lisung Kiwari menggunakan kotoran
sapi sebagai bahan campurannya karena memiliki kandungan nilai C/N ratio yang
rendah sebesar 20 C/N ratio. Kotoran sapi yang digunakan telah dibersihkan dari
sisa-sisa plastik, kaca atau potongan kayu dan benda-benda plastik yang sulit
melapuk. Apabila pengadaan bahan baku berupa sekam bakar sulit diperoleh
maka dapat diganti dengan abu gosok yang relatif mudah diperoleh di daerah
perdesaan. Pemilihan bahan-bahan tersebut mampu menghasilkan pupuk kompos
yang bermutu dan berkualitas sehingga nilai jualnya menjadi lebih tinggi.
3. Pemotongan bahan
Bahan-bahan organik yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan
pupuk kompos harus dipotong atau dicacah menjadi berukuran kecil dan seragam
agar proses pengomposan berlangsung cepat. Ukuran potongan ± 5-10 cm.
Ukuran yang kecil memudahkan mikroba atau bakteri untuk merombak bahan-
bahan tersebut sehingga proses fermentasi berlangsung lebih cepat. Pada
pembuatan pupuk kompos ini sudah menggunakan mesin pencacah jerami atau
chopper sehingga pencacahan jerami tidak lagi dilakukan secara manual dengan
golok.
4. Penumpukan bahan dan pengolahan adonan
Pembuatan pupuk kompos pada unit usaha KKT Lisung Kiwari dilakukan
dengan cara menumpuk bahan-bahan secara berlapis-lapis. Bahan-bahan ditimbun
dengan ketinggian tertentu yaitu untuk dataran rendah sekitar 15-20 cm sedangkan
untuk dataran menengah hingga tinggi sebaiknya lebih dari 20 cm. Hal tersebut
dilakukan untuk memperoleh kondisi suhu adonan yang optimum. Lapisan paling
dasar yaitu kotoran sapi yang disebar dan diratakan terlebih dahulu kemudian
diatasnya ditaburkan sekam bakar diikuti jerami, dedak dan dolomit sebagai bahan
terakhir. Bahan-bahan yang telah ditumpuk disiram perlahan-lahan dengan larutan
kultur bakteri (larutan bioaktivator, molase, dan air) dan diaduk dengan sekop
secara merata (Gambar 3).
Gambar 3. Penumpukan dan Pengolahan Bahan Kompos Sumber : KKT Lisung Kiwari 2010
62
Dalam penumpukan bahan, aerasi atau pergerakan udara dalam timbunan
harus tetap dipertahankan agar jasad pembusuk atau mikroba mendapat suplai
oksigen atau udara yang dibutuhkan untuk hidup (aerob) dan aktivitas pelapukan.
Bila tidak tersedia oksigen dan tumpukan tidak menghasilkan suhu yang ideal,
maka pelapukan atau fermentasi akan gagal dan terjadi pembusukan yang tidak
diharapkan oleh bakteri-bakteri anaerob.
5. Pengayaan (enrichment)
Pengayaan dimaksudkan sebagai penambahan bahan lain misal, bahan
yang mengandung hara dan nutrisi lebih banyak. Bahan-bahan kompos dapat
diperkaya dengan penambahan kapur pertanian (dolomit), molase, ikan, serbuk
gergaji, tepung tulang dan sebagainya. Disamping untuk memperkaya,
penambahan bahan ini dapat mempercepat pengomposan. Pengayaan yang
dilakukan pada pembuatan pupuk kompos yaitu menyiram kembali tumpukan
bahan dengan larutan kultur bakteri sekali lagi. Setelah itu, gundukkan adonan
ditutup dengan karung goni atau plastik berlubang selama 4-7 hari agar aerasi
berjalan lancar (Gambar 4).
Gambar 4. Penambahan Kapur Pertanian dan Penyiraman Kultur Bakteri
Sumber : KKT Lisung Kiwari 2010
6. Pembalikan berulang
Tumpukan adonan bahan-bahan dibiarkan selama ± 5-6 hari. Setiap dua
hari sekali dilakukan pembalikan dan diaduk secara merata agar suhu tetap
terkontrol (Gambar 5). Bila suhu terlalu tinggi harus segera diaduk dan dibalik
lagi sehingga suhu tetap optimum berada pada kisaran 40-450C. Gundukan yang
63
telah mencapai suhu normal ditutup kembali dengan karung goni. Disamping itu
kandungan air diusahakan mencapai 30 persen yaitu bila dikepal dengan tangan
air tidak keluar dari adonan dan bila dilepas akan megar.
Gambar 5. Pembalikkan Berulang Olahan Bahan Kompos
Sumber : KKT Lisung Kiwari 2010
7. Pengayakan
Pupuk kompos yang telah jadi dimana proses dekomposisi sudah relatif
berhenti indikatornya adalah perkembangan suhu dari gundukan adonan yang
semakin menurun. Setelah terfermentasi selama 4-7 hari, adonan kompos siap
dikemas dan digunakan sebagai pupuk organik. Bila belum siap dikemas dalam
waktu yang cukup lama, sebaiknya kompos tetap dijaga kelembabannya agar
proses fermentasi menjadi sempurna dan kompos tidak kelihatan kering (tetap
lembab). Ciri-ciri dari bahan-bahan yang sudah menjadi kompos yaitu warna
berubah mendekati kehitaman dan teksturnya remah atau mudah diayak.
Pupuk kompos yang siap kemas sebaiknya diayak terlebih dahulu agar
kualitas pupuk kompos menjadi lebih baik dan butiran pupuk kompos menjadi
halus dan merata. Pengayakan dilakukan dengan menggunakan saringan kawat
atau kawat ram berlubang diameter 0,5-1 cm. Pada unit usaha pengomposan KKT
Lisung Kiwari perlu melakukan pengayakan karena kompos yang dihasilkan
bertujuan komersil sehingga kualitas menjadi sangat penting untuk diperhatikan
(Gambar 6).
64
Gambar 6. Pengayakan Pupuk Kompos
Sumber : KKT Lisung Kiwari 2010
8. Pengemasan
Pupuk kompos milik unit usaha KKT Lisung Kiwari dikemas dengan
karung standar berlabel yang terdapat kemasan plastik didalamnya (inner bag).
Kemasan yang digunakan berasal dari LPS sebagai satu-satunya mitra pemasaran
unit usaha ini (Gambar 7). Hal tersebut dilakukan agar kadar air atau kelembaban
pupuk kompos tetap terjaga dan tidak mudah kering. Oleh karena itu pupuk
kompos ini memiliki ketahanan produk yang cukup kuat untuk penggunaan dan
penyimpanan dalam jangka panjang. Skema pembuatan pupuk kompos pada unit
usaha KKT Lisung Kiwari dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 7. Pengemasan Pupuk Kompos
Sumber : KKT Lisung Kiwari 2010
65
66
BAHAN PADAT BAHAN CAIR
Dedak/Bekatul
Bahan organik
Pupuk kandang Fermentator Molase/gula Air
Gambar 8. Alur Pembuatan Pupuk Kompos OFER Sumber : KKT Lisung Kiwari 2010
5.2.4 Pemasaran
Kemitraan yang terjalin dengan Lembaga Pertanian Sehat (LPS) tidak
hanya dalam hal pelatihan dan pembinaan dalam memproduksi hasil pertanian
yang berbasis ramah lingkungan tetapi juga dalam hal pemasaran. Lembaga
Pertanian Sehat (LPS) berperan sebagai lembaga saluran pemasaran dan distribusi
produk yang dihasilkan petani binaan. LPS pun melakukan upaya penguatan
posisi pupuk kompos di pasaran agar memperoleh hak paten dengan cara
mendaftarkan pupuk kompos ke lembaga Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI)
untuk merk dagang Organic Fertilizer (OFER).
Pada dasarnya kemitraan yang terjalin diantara kedua pihak tersebut
merupakan hubungan yang saling menguntungkan. Pihak LPS sebagai pemilik
hak paten mentransfer teknologi pengomposannya kepada unit usaha KKT Lisung
Kiwari sebagai pelaksana proses produksi untuk kemudian dipasarkan kembali
melalui LPS. Adanya kemitraan tersebut menjadikan LPS sebagai satu-satunya
pasar bagi pupuk kompos unit usaha ini.
Seluruh produksi unit usaha ini diserap dan disalurkan oleh LPS.
Walaupun konsumen petani organik pada pasar internal juga mengetahui
keberadaan pengusahaan pupuk kompos oleh unit usaha KKT Lisung Kiwari,
Bahan Baku Larutan Fermentator
Adonan dengan kadar air 30 – 40 %
Proses Fermentasi Suhu 40-45˚C Kompos Packaging
67
namun tidak menjadikan pembelian langsung kepada unit usaha ini. Konsumen
petani organik tersebut tetap melakukan pembelian melalui LPS. Hal ini
dikarenakan konsumen petani organik tersebut juga merupakan cluster petani
binaan LPS yang terikat sistem kemitraan.
LPS memasarkan kembali pupuk kompos tersebut ke dalam segmen pasar
eksternal dan pasar internal. Ruang lingkup pasar eksternal mencakup agen, retail,
dan pelaku usaha tanaman hias yang tersebar di wilayah Bogor dan Jakarta. Pada
wilayah Kabupaten Bogor terdapat di Cianjur, Cipanas (toko Sigma Agri, Taman
Bunga Nusantara, Graha Tani, Barokah Tani), Bogor Kota (toko Tani Jaya,
Dermaga Tani, Sarana Tani), Sentul, OASIS (toko bunga besar). Pada wilayah
Jakarta terdapat di Kelapa Gading (Kelapa Kopyor 3) dan Cipinang Elok 1.
Sedangkan ruang lingkup pasar internal mencakup lima cluster petani
organik binaan LPS yaitu dua cluster di Cianjur, cluster Jati Sari dan cluster Pedes
di Karawang, serta cluster Brebes. Selain itu, sasaran pasar pupuk kompos LPS
juga meliputi seluruh elemen masyarakat yang peduli akan terciptanya pertanian
yang sehat, baik itu para petani di pedesaan maupun masyarakat kota.
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1 Analisis Aspek-Aspek Non Finansial
6.1.1 Aspek Pasar
Aspek pasar merupakan salah satu aspek bisnis yang penting dikaji
kelayakannya terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk memulai atau
mengembangkan suatu usaha. Jika pasar yang akan dituju tidak jelas, prospek
usaha ke depan pun tidak jelas, maka risiko kegagalan usaha menjadi besar. Pada
pengusahaan pupuk kompos sebagai objek penelitian, variabel-variabel aspek
pasar yang akan dianalisis meliputi permintaan, penawaran, harga, strategi
pemasaran yang akan dilaksanakan, dan perkiraan penjualan.
a. Permintaan
Potensi dan peluang pengembangan pertanian organik pada subsektor
penyediaaan input memiliki prospek yang sangat baik dan telah berkembang
dalam beberapa tahun terakhir. Pertumbuhan permintaan produk organik dunia
mencapai 15-20 persen per tahun, namun pangsa pasar yang mampu dipenuhi
hanya berkisar antara 0,5-2 persen dari keseluruhan produk pertanian (Jolly 2000).
Tingginya permintaan dunia akan produk organik mengindikasikan adanya
potensi pasar pupuk kompos yang sangat tinggi, mengingat pupuk kompos
merupakan komponen penting dalam pertanian produk organik.
Permintaan pupuk organik di Indonesia tahun 2008 mencapai 17.000.000
ton. Selisih yang terjadi saat itu cukup besar antara kebutuhan dan ketersediaan
pupuk organik dibandingkan dengan jenis pupuk lainnya yaitu sebesar 16.655.000
ton. Berdasarkan hasil survey tim PT Petrokimia Organik pada tahun 2009
propinsi Jawa Barat menempati urutan kelima terbesar dalam selisih jumlah
permintaan potensial terhadap serapan pupuk organik yaitu sebesar 72.136 ton
pupuk organik. Hal ini berarti kebutuhan pupuk organik dalam negeri masih
cukup tinggi.
Tingkat permintaan untuk pupuk kompos produksi unit usaha itu sendiri
masih cukup tinggi. Hal ini dikarenakan besarnya permintaan yang dihadapi oleh
LPS. Ditinjau dari segi konsumen, terdapat perbedaan permintaan antara pasar
69
eksternal dan pasar internal. Pada pasar eksternal permintaan pupuk kompos
cenderung fluktuatif karena adanya faktor tren harga tanaman hias. Saat tren
tanaman hias sedang booming seperti yang terjadi hingga tahun 2008, permintaan
pupuk kompos cenderung meningkat karena harga jual tanaman hias yang tinggi.
Akibatnya para stakeholder tanaman hias berlomba-lomba untuk menghasilkan
tanaman hias bernilai tinggi melalui pemakaian input produksi yang berkualitas.
Permintaan pupuk kompos yang dihadapi oleh LPS pada saat itu mencapai 14 ton
per bulan untuk wilayah Bogor dan Jakarta. Sedangkan permintaan potensial
pupuk organik di Kota dan Kabupaten Bogor saja mencapai 22.200 kg per bulan.
Dengan kapasitas produksi sebesar 12.000 kg per bulan, unit usaha baru mampu
memenuhi 54,05 persen pasar potensial apabila hanya di pasarkan di Kota dan
Kabupaten Bogor saja. Lain halnya ketika tren tanaman hias mulai lesu seperti
saat ini, permintaan pupuk kompos turun menjadi 40 persen dari kondisi normal
(booming) atau hanya sebesar 5,6 ton per bulan.
Namun, penurunan permintaan pada pasar eksternal tidak membuat
penjualan pupuk kompos unit usaha ini menurun. LPS tetap melakukan
pemesanan sesuai kuota pembuatan unit usaha. Sejak tahun 2009, terjadi
permintaan yang cukup besar di tingkat petani organik secara periodik sesuai
musim tanamnya. Permintaan potensial di tingkat petani mencapai 50 ton per
musim tanam tetapi yang baru mampu diserap oleh LPS hanya sebesar 38,4
persen dari pasar tersebut.
Besarnya permintaan pupuk kompos pada pasar internal dan pasar
eksternal mendorong LPS untuk terus melakukan pemesanan kepada unit usaha
KKT Lisung Kiwari. Saat ini, jumlah pesanan dari LPS mencapai 22,27 ton per
bulan. Walaupun LPS merupakan satu-satunya pasar bagi unit usaha ini akan
tetapi kondisi tersebut tidak menjadikan unit usaha tidak menghasilkan
keuntungan. Dengan kapasitas produksi rata-rata sebesar 12 ton per bulan saja,
unit usaha baru mampu memenuhi 53,88 persen atau separuh dari jumlah pesanan
tersebut. Hal ini berarti masih banyak bagian yang mungkin dapat diraih oleh unit
usaha dari keseluruhan pasar potensial tersebut.
Namun demikian, adanya kemitraan dengan LPS bukan berarti menutup
unit usaha untuk membuka jalur pemasaran kepada yang lainnya. Unit usaha
70
masih memungkinkan untuk membuka jalur pasarnya sendiri apabila sudah
mampu memenuhi seluruh permintaan yang ada saat ini dari LPS. Dengan
demikian, pada kondisi saat ini unit usaha tetap memprioritaskan kemitraan
pemasarannya yang telah terjalin kepada LPS.
b. Penawaran
Kebutuhan pupuk organik untuk memperbaiki kerusakan lahan pertanian
di Indonesia saat ini sangat besar. Hal tersebut tidak seimbang dengan jumlah
industri pupuk organik yang berkembang di Indonesia. Hal ini disebabkan pupuk
organik hanya diproduksi secara parsial dengan skala industri rumah tangga
(home industry), sehingga jumlah produksi yang dihasilkan relatif kecil dan tidak
kontinyu.
Penawaran pupuk kompos di dalam negeri masih terbatas. Tingginya
ketergantungan petani akan pupuk anorganik menyebabkan pupuk kompos itu
sendiri belum menjadi kebutuhan pokok bagi mereka. Produk pupuk kompos yang
ditawarkan oleh unit usaha KKT Lisung Kiwari terbilang masih rendah. Jumlah
produksi pupuk kompos setiap bulannya baru mencapai 12 ton per bulan. Seluruh
hasil produksi diserap oleh pasar melalui LPS ke berbagai toko dan sentra
tanaman hias (nursery) serta cluster petani organik binaan LPS. Namun demikian,
produsen pupuk kompos binaan LPS tidak hanya unit usaha ini tetapi juga
terdapat dua cluster lagi yang memproduksi pupuk kompos OFER yaitu Desa
Cibalung dan Desa Ciderung. Kuota produksi dari kedua cluster tersebut sama
besar hanya mencapai 2 ton per bulan.
Penawaran pupuk kompos juga belum menjamah pasar luar negeri.
Walaupun kualitas yang dimiliki pupuk kompos sudah bagus namun dari segi
teknologi belum berdaya saing tinggi. Bentuk pupuk kompos yang masih berupa
remahan dibanding kompos lain yang sudah digranulkan belum mampu menarik
pangsa pasar luar negeri. Apabila ingin memasuki pasar luar negeri harus
melakukan inovasi dan modifikasi produk. Kebijakan Go Organik 2010
diharapkan mampu mengangkat tren pupuk kompos di kalangan petani sehingga
mendorong produsen pupuk kompos untuk melakukan modifikasi produk agar
mampu bersaing di pasaran karena pengaplikasiannya yang mudah.
71
c. Harga
Dalam penjualan pupuk kompos, harga yang ditawarkan unit usaha
berbeda antara tingkat eceran dan distributor. Pada tingkat eceran, harga jual
pupuk kompos sebesar Rp 600,- per kg dengan karung biasa tanpa merk.
Penjualan pada tingkat eceran terjadi pada dua tahun awal produksinya. Dimana
pada saat itu permintaan yang terjadi dari LPS masih tidak menentu sehingga sisa
produk dari kuota pembuatan dijual secara eceran di sekitar lingkungan.
Sedangkan sejak tahun 2008 hingga saat ini, penjualan seluruhnya telah
mampu diserap oleh LPS sebagai satu-satunya mitra pemasaran unit usaha ini.
Permintaan yang terjadi di tingkat LPS sangat besar sehingga LPS membeli
seluruh produk sesuai kuota pembuatan unit usaha. Namun pembelian yang
dilakukan oleh LPS hanya sebatas pupuk komposnya saja. Hal ini dikarenakan
karung berlabel yang digunakan berasal dari LPS sehingga harga jual yang
ditawarkan unit usaha kepada LPS hanya sebesar harga curah yaitu Rp 450,- per
kg. Dalam hal ini, LPS membayarkan upah pengemasan sesuai standar upah
tenaga kerja unit usaha yaitu Rp 30.000,- per HOK.
Sistem kemitraan yang dijalankan dengan LPS membuat unit usaha ini
mendapatkan kepastian dalam harga jual pupuk kompos. Hal ini dikarenakan
sistem kemitraan yang dijalin mencakup quality control oleh LPS sendiri sehingga
pengurangan harga jual akibat kualitas yang menurun tidak mungkin terjadi.
Walaupun harga jual di tingkat unit usaha sebesar Rp 450,- per kg jauh lebih
murah dibanding harga jual LPS sebesar Rp 1050,- per kg, namun unit usaha
masih dapat meraup keuntungan karena banyaknya biaya-biaya lain yang tidak
dikeluarkan oleh unit usaha seperti biaya sertifikasi, biaya promosi, biaya
transportasi, dan biaya kemasan.
Jika dilihat di tingkat distributor, pesaing terdekat bagi LPS adalah pupuk
kompos produksi kelompok tani Antanan di Cimande. Pupuk kompos produksi
Antanan terbilang produk saingan pada tingkatan yang sama karena dari segi
harga ataupun kualitas tidak begitu jauh berbeda. Namun jika dilihat perbandingan
harganya, harga agen pupuk kompos yang ditawarkan LPS sebesar Rp 21.000,-
per karung (20 kg) sedangkan harga agen pupuk kompos yang ditawarkan
Antanan sebesar Rp 20.000,- per karung (20 kg), artinya harga agen pupuk
72
kompos LPS lebih mahal Rp 1.000,- per karung dibanding pupuk Antanan. Hal ini
kemasan yang berasal dari LPS menggunakan karung standar berlabel yang
dicetak dan terdapat kemasan plastik didalamnya (inner bag) sedangkan pupuk
antanan hanya menggunakan karung bekas. Kondisi tersebut dirasa
menguntungkan bagi unit usaha karena kualitasnya tetap terjaga dan memiliki
daya tahan lebih lama dibanding pupuk kompos Antanan tanpa mesti
mengeluarkan biaya pengemasan sehingga pupuk kompos unit usaha ini tetap
menjadi produk unggulan. Dengan demikian, unggulnya produk kompos ini di
tingkat distributor secara tidak langsung dapat menjaga kuota pemesanan pupuk
kompos kepada unit usaha.
d. Pemasaran
Salah satu faktor penunjang keberlangsungan pengusahaan pupuk kompos
unit usaha KKT Lisung Kiwari yakni pengelolaan dalam sistem pemasaran yang
dilakukan oleh LPS. LPS sebagai satu-satunya mitra pemasaran dari unit usaha ini
telah berkomitmen untuk mendukung segala bentuk aktivitas yang berbasiskan
pertanian ramah lingkungan. Peran LPS tidak hanya sebatas mendistribusikan
produk ke konsumen tetapi juga sepenuhnya berupaya memasarkan produk
kompos yang dihasilkan unit usaha. Bentuk upaya pemasaran yang sepenuhnya
dilakukan LPS telah menjadi komitmen di dalam sistem kemitraan antara unit
usaha dan LPS dengan saling menguntungkan.
Sistem pemasaran yang diupayakan LPS dengan cara membangun jejaring
kepada petani-petani di beberapa daerah. Selain itu, pemasaran juga dilakukan
dengan menentukan strategi yang tepat terkait bauran pemasarannya untuk
menarik minat beli konsumen. Bauran pemasaran yang dilakukan meliputi harga,
produk, promosi, dan distribusi.
Dalam hal harga, harga yang ditawarkan cukup bersaing di pasaran.
Penetapan harga yang dilakukan berbeda antara agen, retail, dan eceran. Dalam
hal produk, pupuk kompos produksi unit usaha binaan LPS memiliki kualitas
yang lebih bagus dibanding produk pesaing baik dari segi kemasan, isi maupun
keamanan produk. Dari segi kemasan, pupuk kompos dikemas dengan karung
standar berlabel yang terdapat kemasan plastik didalamnya (inner bag). Dari segi
73
isi, pupuk kompos ini memiliki kandungan unsur mikro cukup lengkap untuk
kebutuhan standar hidup tanaman. Aplikasi penggunaan pun cukup tiga kali
dibanding pupuk kompos lain yang bisa sebanyak enam kali untuk mendapatkan
tingkat keamanan dari residu dan hasil yang optimal. Dari segi keamanan produk,
apabila penggunaan pupuk kompos ini tidak sesuai dengan dosis yang dianjurkan
maka tidak akan mempengaruhi pertumbuhan tanaman namun dari segi ekonomi
akan terjadi pemborosan.
Pupuk kompos produksi unit usaha binaan LPS juga telah memenuhi
standar mutu produk organik baik secara prinsip maupun formal. Secara prinsip,
standar pupuk kompos ini telah berpegang pada pengelolaan proses produksi yang
alami dengan menjaga keanekaragaman dan kesinambungan alam serta ekosistem
di sekitarnya sehingga menjadi produk pertanian sehat dan ramah lingkungan.
Sedangkan secara formal, pupuk kompos ini telah mendapat pengakuan formal
dari lembaga sertifikasi yang kredibel dan kompeten untuk memberikan
pengesahan keorganikan melalui mekanisme uji standar lapangan dan
laboratorium. Sertifikasi produk yang dilakukan oleh LPS terdiri dari analisa
kandungan hara oleh Balai Penelitian Biogen dan perolehan hak paten teknologi
pengomposan ini ke lembaga Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) dengan
merk dagang OFER (Organic Fertilizer). Pelabelan diperlukan untuk memberikan
kepastian pada konsumen terhadap produk yang dikonsumsinya, dapat
meningkatkan citra mutu dan nilai jual produk organik.
Dalam hal promosi, LPS melakukan penyebaran news letter atau pamflet
pada toko mitra, website, dan promosi dari mulut ke mulut (word of mouth)
melalui jejaring cluster petani. Hal ini perlu dilakukan dalam upaya memperkecil
barrier informasi dan memberikan awareness kepada masyarakat serta
menciptakan pasar bagi produk organik. Dalam hal distribusi, pupuk kompos ini
dipasarkan di pusat kota yang terbilang strategis dan beberapa daerah lainnya
yang masih berada dalam jangkauan konsumen. Distribusi dari unit usaha ke agen
dan retail dilakukan dengan bantuan pihak LPS untuk kemudian disalurkan
kepada konsumen akhir.
Bauran pemasaran dari yang paling diutamakan yaitu produk, harga,
promosi, dan distribusi. Produk mendapat prioritas pemasaran pertama karena
bagi unit usaha dan LPS, produk merupakan cerminan nilai yang akan didapatkan
konsumen sebagai pelaku pengambil keputusan pembelian. Ketika produk yang
ditawarkan berkualitas maka konsumen akan rela mengeluarkan biaya yang lebih
untuk mendapatkan produk tersebut karena nilai yang didapatkan akan lebih besar
dibanding biaya yang dikeluarkannya. Harga merupakan prioritas pemasaran
kedua karena ketika produk menghadapi kondisi persaingan maka harga yang
ditawarkan juga harus mampu bersaing di pasaran pada tingkat produk sekelas.
Setelah itu promosi dan distribusi dengan urutan prioritas paling akhir.
Pemasaran produk pupuk kompos dilakukan melalui dua saluran distribusi
yaitu (1) unit usaha KKT Lisung Kiwari – Lembaga Pertanian Sehat (LPS) – pasar
internal – cluster petani organik binaan dan (2) unit usaha KKT Lisung Kiwari –
Lembaga Pertanian Sehat (LPS) – pasar eksternal – agen/retail – konsumen akhir.
Skema saluran distribusi pemasaran produk unit usaha KKT Lisung Kiwari dapat
dilihat pada Gambar 9. Pada saluran distribusi tersebut, unit usaha menjual
seluruh hasil produksinya kepada LPS sebagai mitra pemasarannya lalu dijual
kepada pasar agen atau retail untuk kemudian disalurkan kembali hingga
konsumen akhir. LPS membagi pasar produk pupuk kompos ini menjadi dua
bagian yaitu pasar internal dan pasar eksternal. Pada pasar internal, LPS menjual
produk pupuk kompos kepada petani-petani binaan mereka yang belum mampu
memenuhi kebutuhan pupuk komposnya sendiri. Petani binaan LPS merupakan
petani yang konsen dalam bidang pertanian organik sehingga mengutamakan
pemakaian pupuk kompos daripada urea. Sedangkan pada pasar eksternal, LPS
menjual kepada agen, retail atau toko-toko pertanian, dan pelaku usaha tanaman
hias untuk dijual kembali kepada konsumen akhir.
74
Gambar 9. Skema Saluran Distribusi Pupuk Kompos KKT Lisung Kiwari Sumber : KKT Lisung Kiwari 2010
Unit Usaha KKT Lisung Kiwari
Lembaga Pertanian Sehat (LPS)
Pasar Internal
Pasar Eksternal
Cluster Petani Binaan
Retail/Toko, Nursery, dll.
75
Kendala pemasaran yang pernah dihadapi LPS yakni masih kuatnya
pandangan dibenak konsumen bahwa semua pupuk kompos di pasaran sama. Hal
ini disebabkan input produksi yang digunakan juga sama berasal dari limbah
organik sehingga harga pupuk kompos haruslah murah. Sedangkan harga jual
pupuk kompos ini relatif tinggi. Upaya untuk mengatasinya yaitu dengan
melakukan inovasi nama pada produknya menjadi pupuk kompos OFER (Organic
Fertilizer). Hal tersebut dilakukan untuk merubah citra produk sehingga produk
tidak hanya dikenal sebagai pupuk kompos biasa tetapi dikenal dengan sebutan
pupuk kompos OFER agar laku di pasaran.
e. Perkiraan Penjualan
Kondisi persaingan yang dihadapi oleh LPS tidak berpengaruh terhadap
jumlah pemesanan LPS kepada unit usaha. Hal ini disebabkan kualitas pupuk
kompos unit usaha lebih baik dibanding pupuk kompos lainnya. Adanya informasi
produk yang diketahui oleh konsumen menjadikan daya beli terhadap pupuk
kompos ini masih cukup tinggi.
Meskipun pada segmen petani organik memiliki daya beli yang cukup
tinggi tetapi pada segmen petani konvensional daya beli terhadap pupuk kompos
ini masih rendah. Pada segmen petani idealis dengan pola pikir pertanian
berkelanjutan ramah lingkungan akan lebih memilih menggunakan pupuk kompos
dibanding pupuk anorganik. Sedangkan pola pikir petani konvensional dengan
anggapan bahwa pupuk urea mudah dalam pengaplikasiannya dan lebih murah
dibanding pupuk kompos OFER menyebabkan pengorbanan biaya yang rela
dikeluarkan untuk pupuk kompos OFER lebih kecil dibanding pupuk anorganik.
Kondisi ini berarti memungkinkan adanya pasar potensial yang patut untuk
diupayakan dan dikembangkan. Oleh karena itu, tingkat penjualan pupuk kompos
OFER dua tahun mendatang diperkirakan cukup prospektif karena masih banyak
petani yang belum menggunakan pupuk kompos dalam cara bertaninya.
Petani yang terdapat di Pantura misalnya, dapat dikatakan bahwa mereka
dulu alergi terhadap pupuk kompos namun kini mereka merasakan sendiri dampak
dari penggunaan pupuk anorganik. Hal tersebut menyebabkan mereka menjadi
responsif dan beralih terhadap pupuk kompos karena serangan hama pun menjadi
76
berkurang. Prakiraan tersebut akan lebih mudah terwujud apabila senantiasa
berupaya untuk melakukan inovasi produk pupuk kompos OFER. Saat ini LPS
pun sedang mengupayakan penelitian untuk granulasi OFER. Namun granulasi
OFER yang terbuat dari bahan limbah jamur dan kotoran ternak menyebabkan
biaya produksi jadi lebih mahal sehingga LPS masih mendesain formulasi yang
tepat untuk petani agar biaya produksi tidak terlalu besar.
Bila ditinjau dari lingkup pasar pupuk kompos OFER itu sendiri, saat ini
keseluruhan pasar potensial yang ada dari LPS mencapai 22,27 ton per bulan.
Dengan jumlah penjualan sebesar 12 ton per bulan oleh unit usaha KKT Lisung
Kiwari maka market share yang dapat dikuasai dari keseluruhan pasar potensial
tersebut sebesar 53,88 persen. Sedangkan penjualan oleh dua cluster produsen
pupuk kompos OFER lainnya yang masih dibawah binaan LPS, masing-masing
produsen hanya mampu mensuplai sebesar 2 ton per bulan atau market share yang
dimiliki sebesar 8,98 persen untuk setiap cluster produsen. Walaupun market
share yang dimiliki unit usaha ini melebihi separuh dari keseluruhan pasar
potensial tersebut namun masih terdapat 6,27 ton per bulan permintaan LPS yang
belum mampu dipenuhi oleh industri rumah tangga pupuk kompos OFER ini.
Dengan demikian, prakiraan penjualan pada unit usaha ini masih dapat meningkat
karena banyaknya bagian dari pasar potensial yang mungkin diraih oleh unit usaha
ini.
f. Hasil Analisis Aspek Pasar
Berdasarkan analisis terhadap aspek pasar di atas, dapat disimpulkan
bahwa pengusahaan pupuk kompos ini layak untuk dijalankan. Hal ini dapat
dilihat dari besarnya potensi pasar untuk pupuk kompos baik dari sisi permintaan
maupun penawarannya. Adanya kepastian harga jual pupuk kompos akibat
kemitraan yang dijalin dengan LPS juga mengurangi risiko penurunan harga jual.
Selain itu, strategi pemasaran yang diterapkan mampu membuat produk ini
diterima di pasar dan menghadapi kondisi persaingan yang ada sehingga jumlah
penjualan unit usaha kepada LPS dapat terus terjaga bahkan meningkat. Dengan
demikian pengusahaan pupuk kompos ini cukup menjanjikan untuk mendapatkan
keuntungan.
77
6.1.2 Aspek Teknis
Analisis terhadap aspek teknis yang dilakukan dalam penelitian ini
mencakup lokasi usaha, luas produksi, proses produksi, layout, dan pemilihan
jenis teknologi. Berikut adalah hasil analisis pada setiap variabel aspek teknis.
a. Lokasi usaha
Lokasi pengusahaan pupuk kompos OFER unit usaha KKT Lisung Kiwari
terletak di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Beberapa pertimbangan dalam pemilihan lokasi produksi adalah:
1. Ketersediaan bahan bahan baku
Bahan baku merupakan komponen penting dari keseluruhan proses operasi
perusahaan sehingga penanganannya menjadi signifikan dalam penentuan lokasi
usaha. Beberapa hal yang harus diperhatikan dalam penanganan bahan baku ini
meliputi proses pengadaan atau pembelian bahan baku, pengendalian persediaan,
dan penyimpanan. Bahan baku utama yang digunakan dalam pembuatan pupuk
kompos ini adalah bahan-bahan yang berasal dari limbah pertanian seperti jerami,
arang sekam, dedak halus, serta kotoran sapi sebagai bahan baku campuran.
Pengadaan bahan baku berupa limbah pertanian berasal dari material sisa panen
padi yang dihasilkan para petani anggota gapoktan di Desa Ciburuy. Pemilihan
asal pasokan bahan baku ini didasarkan pada potensi lokal yang begitu besar,
kemudahan aksesibilitas, dan ramah lingkungan walaupun kandungan nilai C/N
ratio pada jerami cukup besar senilai 80 C/N ratio yang dapat memperlambat laju
pengomposan.
Unit usaha Lisung Kiwari mensiasati hal tersebut dengan mencampur
bahan lain yang nilai C/N ratio-nya rendah agar dapat mempersingkat laju
pengomposan. Dalam hal ini, unit usaha Lisung Kiwari menggunakan kotoran
sapi sebagai bahan campurannya karena memiliki kandungan nilai C/N ratio yang
rendah sebesar 20 C/N ratio. Pengadaan bahan baku berupa kotoran sapi berasal
dari PT Karyana yang berada di wilayah Kecamatan Cicurug. Pemilihan asal
pasokan kotoran sapi ini didasarkan pada kemudahan aksesibilitas, kualitas, dan
biaya untuk mendapatkannya. Lokasi PT Karyana yang berada di Kecamatan
Cicurug memiliki jarak tempuh yang cukup dekat dengan Desa Ciburuy sehingga
78
mudah dijangkau oleh KKT Lisung Kiwari. Kualitas kotoran sapi yang
ditawarkan PT Karyana juga lebih baik dibandingkan dari peternak sapi secara
individu. Hal ini dikarenakan kandungan air pada kotoran sapi PT Karyana lebih
sedikit dibandingkan dari peternak sapi yang tidak melalui proses pengelolaan
terlebih dahulu sehingga kualitas kompos yang dihasilkan pun lebih bagus. Selain
itu, biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh kotoran sapi sebesar Rp 3.000,- per
karung (30 kg) bebas biaya ongkos kirim. Berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan itulah pengelola usaha memilih bahan baku tersebut sehingga lokasi
usaha dapat berdekatan dengan sumber pasokan bahan baku.
Dalam menentukan jumlah bahan baku yang akan dibeli biasanya
disesuaikan dengan kapasitas produksi usaha selama periode satu bulan yang
didasarkan pada kebutuhan untuk tiga kali siklus produksi. Proses pembelian
bahan baku berupa kotoran sapi dilakukan dengan cara memesan seminggu
sebelumnya baru kemudian produsen bahan baku tersebut mengirimnya ke lokasi
usaha. Sedangkan pembelian bahan baku limbah pertanian dilakukan secara
langsung kepada petani. Sistem pembelian bahan baku dari pemasok
menggunakan sistem cash atau langsung bayar.
Sementara untuk persediaan bahan baku, unit usaha KKT Lisung Kiwari
belum mempunyai aturan baku dalam menentukan besarnya jumlah persediaan
bahan baku. Selama ini persediaan bahan baku dipenuhi dengan pembelian untuk
tiga kali siklus produksi dalam sekali pemesanan bahan baku. Pengelola baru akan
melakukan pemesanan bahan baku lagi apabila stok bahan baku digudang
diperkirakan cukup untuk satu siklus produksi terakhir dalam periode satu bulan.
Hal ini dikarenakan pengelola tidak merasa terkendala dalam memperoleh bahan
baku. Unit usaha KKT Lisung Kiwari sendiri telah mempunyai gudang atau lahan
khusus yang digunakan untuk persediaan bahan baku. Stok bahan baku yang
belum digunakan disimpan di gudang bahan baku yang berdekatan dengan lahan
pengomposan sehingga memudahkan alur produksi yang berlangsung. Jadi secara
keseluruhan, pengelola tidak menghadapi kendala yang cukup berarti dalam
pemenuhan kebutuhan bahan baku.
79
2. Letak pasar yang dituju
Pemasaran pupuk kompos seluruhnya disalurkan melalui LPS sebagai
mitra KKT Lisung Kiwari yang berlokasi di jalan Rancamaya No. 22, Kecamatan
Bogor Selatan, Kota Bogor. LPS kemudian mendistribusikan pupuk tersebut
kepada para petani binaan, agen, toko-toko retail hingga konsumen akhir. Sasaran
pasar pupuk kompos OFER yang dibidik oleh LPS adalah konsumen kelas hobies
tanaman hias dan beberapa cluster petani binaan LPS serta seluruh elemen
masyarakat yang peduli akan terciptanya pertanian yang sehat, baik itu para petani
di pedesaan maupun masyarakat kota.
Ruang lingkup pasar tujuan mencakup di wilayah Bogor dan Jakarta
karena letaknya yang masih cukup dekat dengan Desa Ciburuy, Kabupaten Bogor.
Pada pasar eksternal, letak pasar yang dituju baru mencakup Kabupaten Bogor
dan Jakarta. Letak pasar yang dituju pada wilayah Kabupaten Bogor terdapat di
Cianjur, Cipanas (toko Sigma Agri, Taman Bunga Nusantara, Graha Tani,
Barokah Tani), Bogor Kota (toko Tani Jaya, Dermaga Tani, Sarana Tani), dan
Sentul (toko bunga besar OASIS). Letak pasar yang dituju pada wilayah Jakarta
terdapat di Kelapa Gading (Kelapa Kopyor 3) dan Cipinang Elok 1. Jarak pasar
yang tidak terlalu jauh dan berada di pusat kota menjadikan produk masih berada
dalam jangkauan konsumen.
Pada pasar internal, letak pasar yang dituju sudah mencapai cluster-cluster
petani di Cianjur, Karawang bahkan hingga Brebes. Jarak pasar yang cukup jauh
membuat alokasi biaya pengiriman lebih besar karena harus menyewa truk yang
dapat memuat pesanan dalam jumlah besar. Biaya sewa truk jangkauan Cianjur
sebesar Rp 400.000,- per truk dan biaya sewa truk untuk pengiriman paling jauh
ke Brebes sebesar Rp 900.000,- per truk dengan kapasitas maksimal pengiriman
20 ton. Namun biaya pengimriman ini menjadi tanggungan LPS sebagai
distributor.
3. Tenaga listrik dan air
Kebutuhan unit usaha akan tenaga listrik dan air tidak mengalami
kesulitan dalam mendapatkannya. Desa Ciburuy yang sebagian besar bergerak di
sektor pertanian sudah terjangkau oleh aliran listrik sehingga pemenuhan
kebutuhan tenaga listrik tidak ada masalah. Sedangkan untuk akses air bersih, unit
80
usaha juga tidak mengalami kendala yang berarti karena letak geografis Desa
Ciburuy yang berada di kaki Gunung Salak membuat pasokan air bersih masih
terbilang banyak. Air yang digunakan dalam proses pengomposan berasal dari
sumur sendiri yang dapat dimanfaatkan dengan bebas tanpa mengeluarkan biaya.
4. Supply tenaga kerja
Pada pengusahaan pupuk kompos unit usaha KKT Lisung Kiwari belum
membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah besar karena skala usaha masih kecil
sehingga supply tenaga kerja tidak terkendala. Tenaga kerja berasal dari
masyarakat sekitar lokasi usaha yaitu petani anggota gapoktan silih asih. Tenaga
kerja yang dibutuhkan dalam proses produksi adalah tenaga kerja yang terampil
dan bukan tenaga kerja terdidik. Tenaga kerja harus terampil dan memiliki
keahlian bertani. Tenaga kerja dibutuhkan dalam proses pengadukan dan
pengolahan, proses pengayakan, dan proses pengemasan. Tenaga kerja yang
digunakan hanya berjumlah dua orang dengan upah sebesar Rp 30.000,- per HOK
per orang.
5. Fasilitas transportasi
Lokasi usaha pupuk kompos OFER yang terletak di permukiman Desa
Ciburuy telah memiliki fasilitas jalan aspal dengan kondisi baik dalam
menghubungkan desa dengan desa dan kecamatan lain. Akses dari jalan utama
menuju desa hanya disediakan ojek sepeda motor dan tidak ada angkutan desa non
trayek. Akses dari Desa Ciburuy ke jalur Sukabumi tidak terlalu jauh sehingga
mempermudah pendistribusian bahan baku kotoran sapi yang didatangkan dari PT
Karyana di Kecamatan Cicurug. Alat transportasi yang digunakan untuk akses
sumber bahan baku yaitu kendaraan beroda empat yang disediakan oleh pemasok
bahan baku tersebut. Akses dari Desa Ciburuy menuju jalur pusat kota seperti
Jakarta dan Kota Bogor juga tidak terlalu jauh. Alat transportasi yang digunakan
untuk pendistribusian produk kemasan yaitu kendaraan beroda empat (mobil box)
milik LPS. Sedangkan sarana transportasi yang digunakan untuk pendistribusian
dalam jumlah besar menuju cluster petani di Cianjur, Karawang hingga Brebes
yaitu kendaraan beroda empat truk besar berkapasitas 20 ton yang disewa oleh
LPS kepada agen truk. Kondisi jalan yang memadai menjadikan proses produksi
dan pemasaran berjalan dengan lancar. Dengan demikian, unit usaha tidak
menanggung beban biaya transportasi baik untuk akses bahan baku maupun
distribusi pemasaran.
6. Hukum dan peraturan yang berlaku
Pengusahaan pupuk kompos yang didirikan di Desa Ciburuy tidak
bertentangan dengan hukum dan peraturan yang berlaku di wilayah tersebut
sehingga tidak ada hambatan bagi unit usaha untuk mengoperasikan usahanya.
Pengusahaan pupuk kompos telah mendapat izin resmi dari Pemerintah Desa dan
berbentuk badan usaha koperasi No. 518/03 BHKPTS/ kankop 2005 (Gambar 10).
Selain itu, produk dari unit usaha ini juga telah mendapatkan sertifikasi dari
lembaga Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Kondisi sosial budaya
masyarakat setempat pun tidak ada yang menentang kegiatan usaha ini.
Gambar 10. Koperasi Kelompok Tani Lisung Kiwari
Sumber : KKT Lisung Kiwari 2010
7. Iklim dan keadaan tanah
Kondisi iklim dan keadaan tanah di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong
cukup baik untuk dilakukan usaha pengomposan walaupun keadaan tanah tidak
terlalu berpengaruh terhadap kelangsungan produksi. Lokasi usaha yang terletak
di Desa Ciburuy memiliki iklim yang cukup sejuk dikarenakan berada di kaki
Gunung Salak. Kondisi iklim yang sejuk menjadikan proses fermentasi yang
berlangsung mencapai kondisi seimbang, artinya tidak terlalu basah atau kering.
Padahal kondisi iklim sebagai faktor alam cenderung berubah-ubah sehingga
dapat mempengaruhi kualitas pupuk kompos yang akan dihasilkan. Pada musim
hujan dapat menurunkan kualitas pupuk karena kondisi lingkungan yang terlalu
81
82
lembab dan basah sehingga kontaminan terhadap jamur menjadi tinggi, akibatnya
menghambat aerasi dan proses penguraian oleh mikroba. Sedangkan bila iklim
terlalu panas menjadikan bahan terlalu kering yang juga dapat menghambat proses
dekomposisi. Oleh karena itu, pihak pengelola membangun lokasi pengomposan
dengan memberikan naungan dari asbes untuk menghindari curah hujan dan sinar
matahari yang terlalu terik.
8. Sikap masyarakat
Sikap masyarakat Desa Ciburuy sangat terbuka dan mendukung terhadap
keberadaan unit usaha pupuk kompos ini. Hal tersebut dikarenakan terbatasnya
produsen kompos di Desa Ciburuy sedangkan kesadaran petani akan pentingnya
pertanian organik semakin meningkat. Petani mulai tertarik untuk menghasilkan
produk pertanian yang sehat dengan cara aplikasi pemakaian input berbahan
organik seperti pupuk kompos. Keberadaan usaha pengomposan ini dijadikan
sebagai sarana pembelajaran bagi petani untuk dapat menghasilkan pupuk kompos
secara mandiri. Selain itu, pasokan limbah pertanian yang berasal dari petani
sekitar juga menjadi sumber penghasilan tambahan bagi mereka melalui penjualan
kepada unit usaha pengomposan.
9. Rencana perluasan usaha
Unit usaha KKT Lisung Kiwari berencana memperluas skala usahanya
melalui peningkatan kapasitas produksinya dengan cara menambah lantai petakan
pengomposan seluas 50 m2. Kapasitas produksi yang semula hanya 12 ton per
bulan akan ditingkatkan menjadi 21 ton per bulan. Perencanaan tersebut dilakukan
dengan tujuan dapat memenuhi permintaan potensial yang terjadi di tingkat
petani-petani organik yang mencapai 50 ton per musim tanam. Rencana ini akan
dapat menimbulkan tambahan pengeluaran biaya investasi seperti pembuatan
naungan dan pembuatan lantai semen serta biaya sewa lahan. Namun tambahan
biaya tidak begitu besar karena proses pengomposan yang dilakukan tergolong
sederhana.
b. Luas produksi
Luas produksi adalah jumlah produk yang seharusnya diproduksi untuk
mencapai keuntungan yang optimal. Pada awal didirikannya usaha ini tahun 2006,
83
tidak ada penentuan dalam luas produksi. Unit usaha berproduksi hanya
berdasarkan pesanan karena belum adanya kepastian dari pasar. Pada tahun 2008
dimana tren pasar tanaman hias mulai booming terjadi lonjakan permintaan pupuk
kompos sehingga jumlah pesanan dari LPS pun meningkat. Unit usaha mulai
berproduksi secara optimal dan kontinyu untuk memenuhi kebutuhan pasar. Luas
produksi mencapai 12 ton per bulan.
Saat ini, unit usaha pupuk kompos KKT Lisung Kiwari masih berproduksi
dalam jumlah yang sama. Hal ini dikarenakan luasan lahan pengomposan yang
dimilikinya terbatas. Padahal sejak tahun 2009 terjadi perluasan permintaan pada
pasar internal walaupun pada pasar eksternal menurun. Namun tidak menjadi
masalah bagi unit usaha karena permintaan potensial yang terjadi di tingkat petani
jauh lebih besar dibandingkan penurunan di tingkat hobies sehingga LPS pun
tidak mengurangi jumlah pesanannya.
Jumlah produksi sebesar 12 ton per bulan terbilang belum mencapai luas
produksi optimal karena masih banyak permintaan potensial di tingkat petani
organik yang belum mampu diserap oleh unit usaha. Menurut pihak pengelola
setidaknya unit usaha harus memperbanyak jumlah produksinya sebanyak tiga
petak lagi atau menjadi 21 ton per bulan agar dapat memenuhi seluruh permintaan
yang ada. Oleh karena itu, peluang untuk meraih keuntungan yang besar masih
sangat berpotensi dengan melakukan perencanaan perluasan skala usaha.
c. Proses produksi
Kegiatan pembuatan pupuk kompos ini terdiri dari beberapa tahapan mulai
dari persiapan bahan baku dan lokasi sampai proses pengemasan. Selama
berjalannya usaha ini, tidak ditemui kendala yang berarti dalam proses produksi.
Proses produksi yang dilakukan tergolong sederhana. Namun unit usaha ini telah
menerapkan teknologi pengomposan yaitu dengan bantuan aktivator Effective
Microorganism (EM4).
Pada tahapan persiapan bahan dan lokasi, lahan pengomposan yang
disiapkan telah menggunakan naungan dan petakan yang beralaskan semen untuk
menghindari risiko musim hujan. Bahan-bahan yang akan dijadikan input
produksi telah dipilih berdasarkan pertimbangan kandungan nilai C/N ratio.
84
Sebelum bahan-bahan diolah, unit usaha melakukan pemotongan bahan-bahan
tersebut menjadi berukuran kecil dan seragam agar mempercepat laju
pengomposan. Selama proses fermentasi berlangsung, unit usaha melakukan
kontrol atas suhu dan kandungan air untuk mempersingkat waktu pengomposan.
Pupuk kompos yang dihasilkan juga telah diayak terlebih dahulu sebelum
dikemas sehingga teksturnya menjadi lebih halus. Standar penyimpanan pupuk
kompos di gudang menggunakan kayu valet atau tatakan kayu dengan syarat
penumpukan maksimal 15 karung, suhu kamar, dan pemeliharaan gudang secara
berkala. Berdasarkan literatur, pelaksanaan proses produksi yang dijalankan oleh
unit usaha ini telah sesuai dengan persyaratan yang ada.
Selain itu, upaya penguatan nilai produk di pasaran turut dilakukan oleh
LPS sebagai pihak yang memasarkan melalui sertifikasi produk. Proses sertifikasi
produk yang dilakukan terdiri dari analisa kandungan hara oleh Balai Penelitian
Biogen dan pendaftaran hak paten ke lembaga Hak Atas Kekayaan Intelektual
(HAKI) dengan merk dagang OFER (Organic Fertilizer).
d. Layout
Layout merupakan keseluruhan proses penentuan bentuk dan penempatan
fasilitas-fasilitas yang dimiliki suatu perusahaan. Proses penentuan bentuk atau
layout pada unit usaha pupuk kompos ini masih sederhana. Pengaturan layout
yang dilakukan mencakup lahan pengomposan dan gudang. Unit usaha KKT
Lisung Kiwari memiliki luas bangunan usaha sebesar 118 m2 yang terdiri dari 50
m2 lahan pengomposan, 20 m2 gudang bahan baku, dan 48 m2 gudang pupuk
kompos. Lokasi dari ketiganya terletak menyatu dan berdampingan dalam satu
luasan lahan. Layout dari lokasi usaha pupuk kompos OFER dapat dilihat pada
gambar 11.
85
Gambar 11. Layout Lokasi Usaha Pupuk Kompos OFER
Sumber : KKT Lisung Kiwari 2010 Keterangan : Gudang 1 = Gudang bahan baku kompos Gudang 2 = Gudang kompos siap jual Petak 1,2,3,4 = Petakan pengomposan
Struktur ruangan ditata sesuai dengan alur proses produksi. Pertama,
gudang bahan baku yang digunakan untuk menyimpan stok bahan baku terletak di
bagian sisi kiri paling belakang. Kedua, lahan pengomposan yang digunakan
untuk proses produksi terletak di sisi kiri bagian depan dari gudang bahan baku.
Lahan pengomposan dibentuk dengan membuat petakan-petakan beralaskan
semen dan dinaungi dengan atap dari asbes yang dapat dilihat pada gambar 12.
Ketiga, gudang pupuk kompos yang digunakan untuk menyimpan pupuk kompos
terletak di sebelah kanan gudang bahan baku. Gudang penyimpanan pupuk
kompos ini terbuat dari bilik bambu yang berbentuk bangun ruang persegi.
10 m
2,5 m
Lantai Penjemuran
Padi
Petak 1
Gudang 1Gudang 2
8 m
Petak 2
Petak 3
Petak 4
6 m
5 m
4 m
14 m
13 m
4 123 5 m
10 m
2,5
30
Gambar 12. Layout Bangunan Pengomposan Sumber : KKT Lisung Kiwari 2010
Tata ruang unit usaha yang masih sederhana menjadikan arus produk dari
proses satu ke proses lain berjalan dengan lancar. Letak antara gudang bahan baku
dengan lahan pengomposan yang berdampingan tanpa sekat memudahkan
pengambilan bahan baku saat ingin berproduksi. Dalam penempatan peralatan
pengomposan tidak memiliki ruangan tersendiri, hanya diletakkan pada tempat
yang masih kosong dalam gudang pupuk kompos. Hal ini dilakukan untuk
meminimisasi biaya produksi melalui penggunaan ruang secara optimal.
Kegiatan yang sifatnya administratif, unit usaha tidak memiliki kantor
khusus tetapi bergabung dengan kantor koperasi. Fungsi kantor koperasi sebagai
pelayanan unit usaha kepada masyarakat umum dan kegiatan administratif
lainnya. Lokasi kantor koperasi terpisah dengan lokasi usaha tetapi jarak diantara
keduanya tidak terlalu jauh sehingga pengoperasian usaha masih dapat berjalan
lancar.
86
87
e. Pemilihan jenis teknologi
Pada umumnya masih banyak yang menganggap bahwa pertanian organik
miskin teknologi karena tidak menggunakan input anorganik dan mesin-mesin
modern. Padahal teknologi yang dikembangkan untuk pembuatan pupuk organik
dengan melibatkan mikroorganisme juga sebuah teknologi. Jadi tidak benar
adanya pernyataan bahwa pertanian organik adalah pertanian yang anti teknologi
bahkan anti pembangunan.
Penggunaan teknologi pada pengusahaan pupuk kompos biasa dikenal
dengan istilah soft technology atau ecotechnology karena adanya pemanfaatan
limbah-limbah dalam proses produksinya. Konsep ecotechnology memberikan
jawaban terhadap kebutuhan teknologi yang ramah lingkungan. Penggantian input
anorganik dengan input organik merupakan salah satu penerapan teknologi ini.
Pemilihan jenis teknologi dalam proses pengomposan berpengaruh
terhadap laju pengomposan. Teknologi pengomposan yang dapat dilakukan
seperti pemilihan bahan baku dan penggunaan zat aktivator. Pada proses produksi
pupuk kompos ini digunakan kotoran sapi sebagai bahan baku campuran.
Pemilihan bahan baku tersebut dikarenakan kandungan C/N ratio pada kotoran
sapi cukup rendah sebesar 20 C/N ratio sehingga dapat mempercepat laju
pengomposan. Unit usaha ini juga menggunakan teknologi aktivator untuk
mempercepat proses fermentasinya. Aktivator yang digunakan oleh unit usaha
yaitu aktivator Effective Microorganism (EM4). Keunggulan yang dimiliki EM4
yaitu dapat meningkatkan fermentasi limbah organik dan kotoran ternak hingga
lingkungan menjadi tidak bau, meningkatkan ketersediaan unsur hara untuk
tanaman, serta menekan pertumbuhan mikroorganisme pathogen tanah. Selain itu,
adanya penggunaan mesin pencacah jerami (chopper) dapat memudahkan proses
pemotongan bahan (Gambar 13). Dengan demikian unit usaha ini telah
menggunakan teknologi dalam proses produksinya.
Gambar 13. Mesin Pencacah Jerami
Sumber : KKT Lisung Kiwari 2010
f. Hasil Analisis Aspek Teknis
Berdasarkan analisis terhadap aspek teknis, dapat dikatakan bahwa
pengusahaan pupuk kompos oleh unit usaha KKT Lisung Kiwari layak untuk
dijalankan. Hal ini karena secara teknis pelaksanaannya telah sesuai standar
pengoperasian usaha pupuk kompos baik dalam proses produksi maupun
penggunaan teknologi. Walupun kondisi layout lokasi usaha masih sederhana
tetapi tidak ada kendala dalam alur produksinya. Terkait pengadaan bahan baku,
unit usaha tidak mengalami kesulitan untuk memperoleh bahan baku tersebut.
Teknologi yang digunakan merupakan teknologi ramah lingkungan yang cukup
sederhana sehingga tidak menyulitkan bagi unit usaha. Produk kompos yang
dihasilkan telah memenuhi standar keamanan produk sehingga tidak merugikan
konsumennya.
6.1.3 Aspek Manajemen dan Hukum
Sejak didirikannya Koperasi Kelompok Tani (KKT) Lisung Kiwari awal
tahun 2005, pengusahaan pupuk kompos ini telah menjadi bagian dari salah satu
unit usaha yang terdapat didalamnya. Kegiatan usaha KKT Lisung Kiwari
meliputi unit simpan pinjam, unit sembako, unit sarana produksi pertanian, unit
pembayaran telepon dan listrik. Unit usaha pupuk kompos sebagai bagian dari
unit sarana produksi pertanian telah memiliki struktur organisasi yang formal
namun masih terbilang sederhana karena skala usaha tergolong masih kecil
sehingga manajemen ditangani secara bersama oleh pengurus koperasi.
88
89
Meskipun tanpa struktur organisasi yang lengkap, unit usaha telah
memiliki pembagian tugas yang jelas. Tanggung jawab seluruh kegiatan
pengusahaan baik produksi maupun pemasaran ditangani langsung oleh pengurus
koperasi. Sedangkan dalam pengoperasiannya, unit usaha ini di pimpin oleh
seorang pengelola sekaligus bertindak sebagai tenaga kerja produksi. Jumlah
tenaga kerja produksi yang dimiliki unit usaha saat ini hanya berjumlah dua orang.
Tugas seorang tenaga kerja produksi melakukan seluruh tahapan proses
produksi pupuk kompos yang terdiri dari bagian pengolahan, pengayakan, dan
pengemasan. Pada bagian pengolahan, tugas yang dilakukan mulai dari
pemotongan jerami, penimbunan bahan hingga tahap pematangan. Pengerjaan
bagian pengolahan rata-rata menghabiskan 8 HOK untuk empat petak dalam satu
siklus produksi. Waktu pengerjaan pengolahan hanya empat hari dengan
tanggungan beban kerja masing-masing sebanyak 4 HOK. Pada bagian
pengayakan, tugas yang dilakukan hanya sebatas pengayakan saja. Pengerjaan
bagian pengayakan rata-rata menghabiskan 4 HOK untuk empat petak dalam satu
siklus produksi. Waktu pengerjaan pengayakan hanya dua hari dengan
tanggungan beban kerja masing-masing sebanyak 2 HOK. Pada bagian
pengemasan, tugas yang dilakukan yaitu penimbangan dan pengemasan.
Pengerjaan bagian pengemasan rata-rata menghabiskan 4 HOK untuk empat petak
dalam satu siklus produksi. Waktu pengerjaan pengemasan hanya satu hari karena
menggunakan tenaga kerja tambahan sebanyak dua orang dengan tanggungan
beban kerja masing-masing sebanyak 1 HOK. Namun, beban kerja yang
ditanggung oleh dua orang tenaga kerja unit usaha tidak masuk ke dalam kas unit
usaha karena upah kerja dibayar oleh LPS. Jadi, total beban kerja masing-masing
tenaga kerja yang ditanggung oleh unit usaha sejumlah 6 HOK.
Upah sebagai kompensasi atas jasa diberikan kepada tenaga kerja setiap
satu kali siklus produksi sebesar Rp 30.000 per HOK per orang. Jika
diakumulasikan, total upah yang dibayarkan unit usaha kepada tenaga kerja
produksi sebesar Rp 180.000 per orang per satu siklus produksi. Secara singkat
alur struktur organisasi Koperasi Kelompok Tani Lisung Kiwari dapat dilihat pada
Gambar 14.
90
Gapoktan Silih Asih
Unit Simpan Pinjam
Unit
Sembako
Unit Sarana
Produksi Pertanian
Unit Pembayaran Telepon dan
Listrik
Unit Usaha Pupuk
Kompos
Unit
PenySaprotan
ediaan
KKT Lisung Kiwari
Gambar 14. Struktur Organisasi Koperasi Kelompok Tani Lisung Kiwari Sumber : KKT Lisung Kiwari 2010
Bentuk badan usaha yang digunakan oleh unit usaha pupuk kompos ini
dikategorikan sebagai badan usaha koperasi yang berlandaskan asas-asas
kekeluargaan. Modal koperasi bisa didapatkan dari dua sumber modal utama
yakni modal sendiri dan modal pinjaman. Namun modal yang digunakan oleh
KKT Lisung Kiwari ini berasal dari modal sendiri dimana modal terdiri dari
simpanan pokok, simpanan wajib atau dana cadangan. Besarnya modal tercantum
dalam anggaran dasar koperasi yang dibuat atas dasar kesepakatan bersama. Sisa
hasil usaha dibagikan kepada kas koperasi dan unit usaha sesuai ketentuan yang
berlaku.
KKT Lisung Kiwari didirikan dengan mengikuti persyaratan pendirian
suatu koperasi pada umumnya, yaitu menggunakan akta resmi yang dibuat oleh
notaris. Dalam akta tersebut diantaranya tercantum nama koperasi, nomor
perizinan, bidang usaha, dan alamat perusahaan. Selain itu, unit usaha juga telah
memperoleh sertifikasi dari lembaga yang kompeten untuk pengesahan produk
organiknya.
Berdasarkan hasil analisis terhadap aspek manajemen dan hukum, unit
usaha pupuk kompos KKT Lisung Kiwari layak dijalankan. Secara institusional,
91
tidak ada masalah dalam perizinan usaha karena telah memiliki izin resmi.
Struktur organisasi tergolong sederhana karena unit usaha masih berskala home
industry. Namun demikian pengusahaan ini telah mempunyai pembagian tugas
yang jelas antara pengurus koperasi dan tenaga kerja produksi unit usaha.
6.1.4 Aspek Sosial, Ekonomi, dan Budaya
Keberadaan usaha pengomposan yang dijalankan oleh unit usaha KKT
Lisung Kiwari mendapat dukungan dari masyarakat sekitar Desa Ciburuy karena
tidak menimbulkan dampak buruk terhadap kondisi masyarakat sekitar proyek
yang sebagian besar adalah petani. Dilihat dari segi sosial, usaha ini mampu
membebaskan petani dari ketergantungan terhadap pengusaha benih dan sarana
produksi pertanian lainnya. Pada pertanian konvensional, ketergantungan petani
terhadap pupuk demikian tingginya sehingga biaya produksi usahatani sangat
besar. Kini dengan adanya pengusahaan pupuk kompos yang berbasiskan
pertanian organik di Desa Ciburuy, petani anggota gapoktan telah mengurangi
proporsi pemakaian pupuk anorganik karena petani menjadi tahu bagaimana cara
membuat pupuk kompos yang berasal dari limbah jerami hasil panen sehingga
petani secara mandiri mampu memenuhi kebutuhannya akan pupuk dan dapat
mengeksplorasi benih lokal seperti varietas ciherang dan mekongga yang
memiliki cita rasa khusus.
Selain itu sebagai usaha yang padat karya dan sifatnya yang alami,
produksi pupuk kompos ini banyak melibatkan stakeholder, seperti para petani
dalam hal budidaya pertanian yang menghasilkan produk sampingan berupa
limbah pertanian, para peternak sapi sebagai sumber pengadaan kotoran sapi yang
digunakan untuk campuran bahan baku, pengumpul residu tanaman, hingga usaha
pembuat pupuk kompos itu sendiri yakni unit usaha KKT Lisung Kiwari. Dengan
demikian adanya pengusahaan pupuk kompos secara umum telah membuka
kesempatan kerja di berbagai bidang. Dalam pengusahaan pupuk kompos itu
sendiri telah membuka kesempatan kerja bagi penduduk sekitar walaupun
cakupannya masih sangat kecil yaitu empat orang tenaga kerja yang juga
merupakan petani anggota gapoktan. Hal ini dikarenakan skala usaha yang masih
92
kecil sehingga di dalam tubuh unit usaha itu sendiri belum memerlukan banyak
tenaga kerja.
Dilihat dari segi ekonomi, pengusahaan pupuk kompos yang berbasiskan
pertanian organik telah berkontribusi terhadap pertumbuhan perekonomian desa.
Hal ini dikarenakan pertanian organik yang sifatnya padat karya memungkinkan
tumbuhnya usaha kecil menengah berupa industri pupuk organik skala kecil yang
bersumber pada potensi lokal dimana hal tersebut tidak mungkin dilakukan pada
pertanian anorganik yang membutuhkan modal besar baik finansial maupun
teknologi. Para petani anggota gapoktan dapat memanfaatkan limbah pertaniannya
sebagai sumber bahan baku pembuatan pupuk kompos dimana total jerami yang
tersedia mencapai 21 ton per hektar setiap kali panen. Dengan harga jual sebesar
Rp 375,- per kg maka para petani mampu meningkatkan pendapatannya hingga
Rp 7.875.000 untuk setiap jerami yang dihasilkan dalam satu hektar. Dengan
demikian berdirinya usaha pupuk kompos skala kecil ini telah memberi kontribusi
bagi pertumbuhan perekonomian Desa Ciburuy dan mempererat relasi sosial yang
saling menguntungkan.
Dilihat dari segi budaya, perubahan dalam teknologi pada suatu usaha
dapat secara budaya mengubah perilku kerja yang dilakukan masyarakat. Adanya
pengusahaan pupuk kompos ini juga memberi dampak positif terhadap
perkembangan sistem budidaya pertanian di Desa Ciburuy. Keberhasilan unit
usaha KKT Lisung Kiwari dalam menghasilkan pupuk kompos sebagai produk
pertanian sehat dengan teknologi ramah lingkungan menjadi motivasi bagi
masyarakat Desa Ciburuy yang sebagian besar berprofesi sebagai petani untuk
mengubah kebiasaan mereka dalam sistem budidaya pertaniannya. Para petani di
Desa Ciburuy sudah mulai beralih dan terbiasa dengan sistem budidaya pertanian
organik yang menggunakan pupuk organik sebagai asupan nutrisinya sehingga
penggunaan input eksternal sintesis menjadi minim. Oleh karena itu, pengusahaan
pupuk kompos OFER ini mendapat dukungan dari masyarakat sekitar.
Berdasarkan hasil analisis aspek sosial, ekonomi,dan budaya maka
keberadaan pengusahaan pupuk kompos OFER di Desa Ciburuy layak untuk
dilaksanakan karena pengusahaan tersebut secara sosial budaya diterima dan
93
secara ekonomi memberikan kesejahteraan ataupun manfaat kepada masyarakat
dan pengembangan Desa Ciburuy.
6.1.5 Aspek Lingkungan
Analisis terhadap aspek lingkungan dilakukan untuk mengetahui
bagaimana pengaruh yang ditimbulkan dari keberadaan pengusahaan pupuk
kompos terhadap lingkungan. Berdasarkan hasil observasi, kegiatan pengusahaan
pupuk kompos yang dilakukan oleh unit usaha KKT Lisung Kiwari tidak
menghasilkan limbah yang dapat berdampak buruk bagi keseimbangan
lingkungan namun sebaliknya usaha ini menggunakan bahan-bahan yang berasal
dari limbah pertanian sehingga mengurangi jumlah limbah yang ada dan
memperbaiki ekosistem lingkungan. Proses pengomposan pupuk kompos ini yang
dilakukan secara aerob dengan menggunakan aktivator EM4 juga tidak
menimbulkan pencemaran udara berupa bau yang tidak sedap dimana bau tersebut
akan timbul bila pengomposan dilakukan secara anaerob.
Selain itu, pengusahaan pupuk kompos yang dilaksanakan oleh unit usaha
KKT Lisung Kiwari ini sebagai wujud dari bentuk konservasi keanekaragaman
hayati. Penggunaan benih unggul atau bahkan benih transgenik menyebabkan
hilangnya beberapa varietas tanaman pangan asli Indonesia. Plasma nutfah ini
berangsur-angsur hilang tergusur oleh adanya benih unggul yang diklaim
memiliki ketahanan terhadap berbagai hama dan penyakit disamping kemampuan
produksinya yang tinggi. Namun benih jenis ini hanya bisa dipakai satu kali dan
memerlukan asupan nutrisi yang sangat besar sehingga proporsi pemakaian
terhadap pupuk anorganik pun menjadi tinggi. Akibatnya daya dukung lahan
semakin menurun.
Dengan adanya pengusahaan pupuk kompos ini merupakan upaya
melestarikan keanekaragaman hayati yang ada di berbagai jenis ekosistem karena
mampu mengembalikan daya dukung lahan yang telah menurun sehingga dapat
memunculkan kembali varietas-varietas lokal yang tidak kalah kualitasnya
dibandingkan benih unggul. Berbagai varietas lokal yang telah digunakan oleh
petani organik Desa Ciburuy diantaranya varietas ciherang dan mekongga.
Berdasarkan hasil analisis aspek lingkungan, keberadaan pengusahaan pupuk
94
kompos OFER di Desa Ciburuy bermanfaat bagi lingkungan alam sekitar yang
sifatnya intangible benefit sehingga pengusahaan ini layak untuk dijalankan.
6.2 Analisis Aspek Finansial
Analisis terhadap aspek-aspek finansial dilakukan untuk mengetahui layak
atau tidaknya pengusahaan pupuk kompos unit usaha KKT Lisung Kiwari secara
finansial. Pengukuran hasil kelayakan usaha tersebut dilihat berdasarkan kriteria-
kriteria investasi. Analisis kelayakan finansial pada penelitian ini akan dibagi
menjadi dua skenario berdasarkan kegiatan usaha yang telah dilakukan dan
rencana peningkatan kapasitas produksi ke depan. Penentuan skenario didasarkan
atasa potensi pasar pupuk kompos yang dihadapi LPS. Analisis kelayakan
finansial yang dilakukan pada kedua skenario bertujuan untuk melihat jenis
skenario pengusahaan pupuk kompos manakah yang lebih menguntungkan untuk
dijalankan.
6.2.1 Analisis Kelayakan Finansial Skenario Usaha I
Skenario I merupakan kondisi pengusahaan pupuk kompos pada saat ini,
dimana usaha telah berproduksi secara optimal karena besarnya permintaan yang
diajukan oleh LPS melebihi kapasitas produksi sebesar 12 ton per bulan. Besarnya
kapasitas produksi berdasarkan luasan lahan pengomposan yang dimiliki saat ini.
Luasan lahan pengomposan berukuran 50 m2 terdiri dari empat petakan
pengomposan. Setiap petak kompos berukuran 5x2.5 m hanya mampu
menghasilkan pupuk kompos sebesar 1 ton. Lama pembuatan pupuk kompos
membutuhkan waktu 10 hari untuk satu siklus produksi, dimana setiap satu siklus
produksi dihasilkan 4 ton. Dalam jangka waktu satu bulan, terjadi tiga kali siklus
produksi sehingga total produksi mencapai 12 ton. Pada kondisi ini diasumsikan
tidak terjadi penambahan biaya dan manfaat selama umur usaha berlangsung.
6.2.1.1 Inflow
Aliran kas masuk (inflow) pada skenario usaha I berasal dari penerimaan
penjualan produk pupuk kompos dan penjualan sisa hasil ayakan serta nilai sisa
dari investasi.
95
a. Penerimaan Penjualan
Penerimaan penjualan yang diperoleh pada unit usaha pupuk kompos ini
berasal dari penjualan pupuk kompos dan sisa hasil ayakannya. Setiap bulannya,
jumlah pupuk kompos yang diproduksi rata-rata sebesar 12 ton per bulan. Hal ini
didasarkan atas jumlah pesanan yang diterima unit usaha dari LPS melebihi
jumlah kapasitas produksi sehingga unit usaha memaksimumkan kapasitas yang
ada. Harga jual yang diterima unit usaha sebesar Rp 450,- karena penjualan hanya
berupa pupuk kompos tanpa kemasan.
Besarnya penerimaan penjualan didapat dari perkalian antara jumlah
produksi per tahun dikalikan dengan harga jual satuan. Pada tahun pertama usaha,
unit usaha mulai melakukan produksi pada bulan ke-3. Dalam waktu dua bulan
terhitung dari bulan pertama di tahun yang pertama, investasi unit usaha berupa
pembangunan rumah produksi dapat terselesaikan. Akumulasi jumlah produksi
pupuk kompos di tahun pertama sebesar 120 ton atau 120.000 kg untuk jangka
waktu 10 bulan. Penerimaan penjualan pupuk kompos di tahun pertama mencapai
Rp 54.000.000,-. Sedangkan pada tahun kedua usaha dan seterusnya, produksi
sudah dimulai pada bulan ke-1 sehingga akumulasi jumlah produksi pupuk
kompos mencapai 144 ton atau 144.000 kg per tahun. Penerimaan penjualan
pupuk kompos di tahun kedua dan seterusnya mencapai Rp 64.800.000,-.
Penerimaan penjualan juga berasal dari penjualan sisa hasil ayakan pupuk
kompos. Berdasarkan pengalaman usaha, sisa hasil ayakan yang diperoleh rata-
rata sebesar 25 kg untuk 1 ton pupuk kompos. Harga jual rata-rata pupuk kompos
sisa hasil ayakan sebesar Rp 100,- per kg. Pada tahun pertama usaha, dimana
jumlah produksi mencapai 120 ton, dapat menghasilkan jumlah ayakan sebanyak
3000 kg. Akumulasi penerimaan penjualan ini di tahun pertama mencapai Rp
300.000,-. Sedangkan pada tahun kedua usaha dan seterusnya, dapat
menghasilkan jumlah ayakan sebanyak 3600 kg, sehingga akumulasi penerimaan
penjualan ini mencapai Rp 360.000,- per tahun. Besarnya penerimaan penjualan
yang diterima selama umur usaha berlangsung sebesar Rp 640.740.000,-. Jumlah
total produksi dan nilai penjualan skenario usaha I pupuk kompos ini dapat dilihat
pada Tabel 8.
96
Tabel 8. Jumlah Total Produksi dan Nilai Penjualan Skenario Usaha I (Kapasitas 12 ton/bulan)
Tahun Penjualan Produk Jumlah (kg) Harga Satuan (Rp) Nilai (Rp)
1
Pupuk kompos 120.000 450,00
54.000.000,00
Sisa hasil ayakan 3.000 100,00
300.000,00
Total 123.000 54.300.000,00
2 s/d 10
Pupuk kompos 144.000 450,00
64.800.000,00
Sisa hasil ayakan 3.600 100,00
360.000,00
Total 147.600 65.160.000,00
b. Nilai Sisa (Salvage Value)
Nilai sisa merupakan nilai investasi yang masih ada hingga akhir umur
proyek sehingga dapat ditambahkan sebagai manfaat proyek. Nilai sisa diperoleh
dari penyusutan komponen investasi per tahun dikali dengan sisa tahun yang
belum terpakai selama umur proyek. Perhitungan penyusutan dari investasi
tersebut menggunakan metode garis lurus. Beberapa komponen investasi yang
masih memiliki nilai sisa diakhir umur usaha (pada tahun kesepuluh) yaitu gudang
pupuk kompos, ember, dan alat penyiram. Berdasarkan hasil perhitungan,
besarnya nilai sisa yang diperoleh pada akhir umur usaha sebesar Rp 9.740.672,-.
Nilai sisa terbesar berasal dari komponen gudang pupuk kompos karena pada
komponen tersebut terjadi pengeluaran biaya investasi terbesar. Rincian nilai sisa
investasi pupuk kompos unit usaha KKT Lisung Kiwari dapat dilihat pada Tabel
9.
97
Tabel 9. Nilai Sisa Investasi pada Skenario Usaha I (Kapasitas 12 ton/bulan)
No. Uraian Nilai Beli (Rp) Umur Pakai
(Tahun)
Penyusutan (Rp) Nilai Sisa (Rp)
1 Ijin usaha 500.000,00 -
-
-
2 Gubuk sederhana 6.000.000,00 5
1.200.000,00
-
3 Petakan pengomposan
9.000.000,00 10
900.000,00 -
4 Gudang bahan baku 7.058.824,00 5
1.411.764,80
-
5 Gudang pupuk kompos
16.941.176,00 7
2.420.168,00
9.680.672,00
6 Chopper 3.750.000,00 5
750.000,00 -
7 Cangkul 100.000,00 5
20.000,00
-
8 Sekop 100.000,00 5
20.000,00
-
9 Ember 40.000,00 3
13.333,33
26.666,67
10 Alat penyiram 50.000,00 3
16.666,67
33.333,33
11 Saringan kawat 130.000,00 2
65.000,00 -
12 Thermometer 50.000,00 10
5.000,00 -
Total 6.821.932,80 9.740.672,00
6.2.1.2 Outflow
Arus pengeluaran biaya pada skenario usaha I terdiri dari biaya investasi,
biaya reinvestasi, biaya operasional, dan pajak penghasilan.
a. Biaya Investasi
Biaya investasi adalah biaya yang dikeluarkan pada tahun pertama usaha
mulai dijalankan. Beberapa komponen investasi yang dikeluarkan oleh unit usaha
atas dasar kebutuhan teknis produksi yang meliputi ijin usaha, gubuk
pengomposan, petakan pengomposan, gudang bahan baku, gudang pupuk
kompos, chopper, cangkul, sekop, ember, alat penyiram, saringan kawat, dan
thermometer. Pada komponen investasi berupa uji kandungan hara, perolehan hak
paten produk, dan kendaraan pendistribusian tidak menjadi biaya investasi unit
usaha karena pengeluaran untuk biaya investasi tersebut dilakukan oleh LPS.
Rincian biaya investasi pada skenario usaha I dapat dilihat pada Tabel 10. Biaya
98
investasi pengusahaan pupuk kompos KKT Lisung Kiwari pada skenario usaha I
terdiri dari:
1. Ijin pendirian usaha koperasi dan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) seharga
Rp 2.000.000,-. Adanya empat unit usaha pada KKT Lisung Kiwari
menjadikan persentase biaya perizinan masing-masing unit sebesar 25 persen
dari biaya ijin koperasi.
2. Pembangunan gubuk pengomposan ukuran 50 m2 sebanyak 1 unit seharga Rp
6.000.000,-. Pendirian gubuk pengomposan digunakan sebagai naungan pada
petakan pengomposan yang ada dibawahnya dengan beratapkan asbes dan
pondasi bangunan berbahan kayu sehingga umur ekonomis diperkirakan
selama 5 tahun. Tujuan pendirian gubuk pengomposan ini untuk menghindari
curah hujan atau terik panas matahari secara langsung agar proses fermentasi
dapat berjalan pada kondisi yang seimbang. Dengan demikian, komponen
investasi ini menjadi sangat penting untuk kelangsungan usaha pupuk kompos
ini.
3. Pembangunan petakan pengomposan sebanyak empat petak seharga Rp
2.250.000,- per petak. Setiap petakan yang dibangun berukuran 2,5x5 m atau
seluas 12,5 m2 dengan daya tampung bahan-bahan pengomposan untuk
kapasitas 1 ton. Pembuatan petakan pengomposan digunakan sebagai lahan
untuk pengolahan bahan-bahan kompos dengan berlantaikan semen sehingga
umur ekonomis diperkirakan selama 10 tahun. Tujuan pembuatan petakan
pengomposan ini untuk menjaga agar tidak tergenang sewaktu hujan. Lantai
petakan disemen agar memudahkan pengadukan dan pembalikan adonan
bahan-bahan tersebut.
4. Gudang bahan baku ukuran 20 m2 sebanyak 1 unit seharga Rp 7.058.824,-.
Besarnya biaya investasi tersebut atas dasar informasi yang diberikan oleh unit
usaha bahwa total biaya pembangunan seluruh gudang mencapai Rp
24.000.000,-. Luas total seluruh gudang sebesar 68 m2. Dengan menggunakan
proporsi perbandingan luas gudang, diperoleh biaya investasi gudang untuk 1
m2 seharga Rp 352.941,18. Oleh karena itu, biaya yang dikeluarkan untuk
gudang bahan baku seluas 20 m2 seharga Rp 7.058.824,-.
99
5. Gudang pupuk kompos ukuran 48 m2 sebanyak 1 unit seharga Rp 16.941.176,-
. Besarnya biaya tersebut menggunakan proporsi perbandingan biaya gudang
untuk 1 m2 seharga Rp 352.941,18.
6. Chopper yang digunakan untuk pencacahan jerami. Pada komponen investasi
mesin pencacah ini termasuk ke dalam biaya tidak tunai, dimana unit usaha
sebenarnya tidak mengeluarkan biaya untuk mendapatkannya namun tetap
diperhitungkan sebagai biaya investasi. Alat pencacah jerami ini diperoleh
dari Dinas Pertanian Kabupaten Bogor sehingga dalam analisis digunakan
pendekatan opportunity cost sebesar Rp 3.750.000 per unit.
7. Cangkul digunakan untuk menimbun, mengolah, dan mengaduk adonan pupuk
kompos yang sedang difermentasikan. Cangkul yang dimiliki usaha ini ada
dua unit dengan harga @ Rp 50.000,-.
8. Sekop digunakan untuk mengambil bahan-bahan kompos pada tahap
persiapan bahan dan tahap pengayakan. Sekop yang dimiliki usaha ini ada dua
unit dengan harga @ Rp 50.000,-.
9. Ember digunakan untuk membuat larutan fermentator dan juga mengambil
kebutuhan air. Ember yang dimiliki usaha ini berjumlah dua unit dengan harga
@ Rp 20.000,-.
10. Alat penyiram digunakan untuk menyiramkan larutan fermentator pada
timbunan kompos. Alat penyiram yang dimiliki usaha ini ada dua unit dengan
harga @ Rp 25.000,-.
11. Saringan kawat digunakan untuk mengayak pupuk kompos yang sudah jadi
agar teksturnya menjadi lebih halus dan seragam. Saringan kawat yang
dimiliki usaha ini ada dua unit dengan harga @ Rp 65.000,-.
12. Thermometer digunakan untuk pengecekan suhu adonan pupuk kompos agar
suhu masih berada dalam batas kondisi ideal pada kisaran 40-450C.
Thermometer yang dibutuhkan dalam pengontrolan terhadap suhu cukup 1
unit saja dengan harga @ Rp 50.000,-.
100
Tabel 10. Rincian Biaya Investasi pada Skenario Usaha I (Kapasitas 12 ton/bulan)
No, Uraian Satuan Jumlah Harga Satuan (Rp) Total Nilai (Rp) Umur Ekonomis
(tahun)
1 Ijin usaha - 1 500.000,00
500.000,00 -
2 Gubuk Pengomposan Unit 1 6.000.000,00
6.000.000,00 5
3 Petakan pengomposan Petak 4 2.250.000,00
9.000.000,00 10
4 Gudang bahan baku Unit 1 7.058.824,00
7.058.824,00 5
5 Gudang pupuk kompos Unit 1 16.941.176,00
16.941.176,00 7
6 Chopper Unit 1 3.750.000,00
3.750.000,00 5
7 Cangkul Unit 2 50.000,00
100.000,00 5
8 Sekop Unit 2 50.000,00
100.000,00 5
9 Ember Unit 2 20.000,00
40.000,00 3
10 Alat penyiram Unit 2 25.000,00
50.000,00 3
11 Saringan kawat Unit 2 65.000,00
130.000,00 2
12 Thermometer Unit 1 50.000,00
50.000,00 10
Total Investasi
43.720.000,00
Besarnya biaya investasi yang dikeluarkan oleh unit usaha pada kondisi
skenario I sebesar Rp 43.720.000,-. Biaya investasi terbesar yaitu pembangunan
gudang pupuk kompos sebesar Rp 16.941.176,- dengan umur ekonomis selama
tujuh tahun. Walaupun biaya investasi untuk gudang mempunyai proporsi yang
sama yaitu 1 m2 seharga Rp 352.941,18 namun umur ekonomis pada gudang
bahan baku berbeda dengan gudang pupuk kompos. Hal ini dikarenakan pada
gudang pupuk kompos merupakan bangunan tertutup sedangkan pada gudang
bahan baku hanya berupa bangunan tanpa sekat yang langsung berdampingan
dengan petak pengomposan.
b. Biaya Reinvestasi
Dalam komponen investasi, terdapat beberapa komponen yang telah habis
masa ekonomisnya sebelum umur usaha berakhir. Pada kondisi tersebut, unit
usaha harus melakukan investasi kembali untuk menambah fungsi ekonomisnya
selama umur usaha masih berlangsung. Biaya yang dikeluarkan untuk melakukan
investasi kembali pada komponen yang telah habis masa ekonomisnya disebut
biaya reinvestasi. Biaya reinvestasi yang dikeluarkan berbeda tiap tahunnya
101
tergantung dari banyaknya investasi yang perlu dilakukan kembali. Pada
pengusahaan pupuk kompos ini, reinvestasi dilakukan pada komponen gubuk
pengomposan, gudang bahan baku, gudang pupuk kompos, cangkul, sekop,
ember, alat penyiram, dan saringan kawat. Rincian biaya reinvestasi setiap
tahunnya dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Rincian Biaya Reinvestasi pada Skenario Usaha I (Kapasitas 12 ton/bulan)
Tahun Nilai Reinvestasi
2 - 3 130.000,00 4 90.000,00 5 130.000,00 6 17.008.824,00 7 220.000,00 8 16.941.176,00 9 130.000,00
10 90.000,00
Biaya reinvestasi terbesar dikeluarkan pada tahun keenam usaha, yaitu
sebesar Rp 17.008.824,00,-. Besarnya biaya reinvestasi pada tahun tersebut
dikarenakan jumlah dari lima komponen investasi yaitu gubuk pengomposan,
gudang bahan baku, chopper, cangkul, dan sekop. Pada tahun keempat dan
kesepuluh, biaya reinvestasi yang dikeluarkan paling kecil sebesar Rp 90.000,-
sedangkan pada tahun ketiga, kelima, dan kesembilan memiliki jumlah yang sama
sebesar Rp 130.000,-. Walaupun pada tahun keempat dan kesepuluh, terdapat dua
komponen yang direinvestasi yaitu ember dan alat penyiram namun biaya
reinvestasi tiap komponen lebih kecil dari biaya reinvestasi pada tahun ketiga,
kelima, dan kesembilan yang hanya terdapat satu komponen reinvestasi sehingga
biaya reinvestasi terkecil terjadi di tahun keempat dan kesepuluh. Jika dilihat
secara keseluruhan, total biaya reinvestasi yang dikeluarkan unit usaha cukup
besar karena umur usaha yang berlangsung selama 10 tahun.
102
c. Biaya Operasional
Biaya operasional merupakan biaya yang dikeluarkan selama masa
pengoperasian suatu usaha berlangsung. Biaya operasional terdiri dari biaya tetap
dan biaya variabel.
• Biaya Tetap
Biaya tetap adalah biaya yang besarya sama dan tidak tergantung dari
jumlah pupuk kompos yang dihasilkan selama masa usahanya. Rincian biaya tetap
pada skenario usaha I dapat dilihat pada Tabel 12. Biaya tetap pada pengusahaan
pupuk kompos ini terdiri dari :
1. Sewa lahan yang diperhitungkan berdasarkan biaya sewa lahan di Desa
Ciburuy yaitu sebesar Rp 9.620.000,- per hektar setiap tahunnya. Unit usaha
belum memiliki lahan pribadi koperasi sehingga lahan yang digunakan untuk
lokasi bangunan produksi merupakan lahan sewa. Luas bangunan produksi
secara keseluruhan sebesar 118 m2. Dengan biaya sewa lahan per m2 seharga
Rp 962,- per tahun maka jumlah biaya sewa lahan yang harus dikeluarkan tiap
tahunnya sebesar Rp 113.516,-. Biaya sewa lahan yang dikeluarkan pada
tahun pertama sama dengan tahun kedua dan seterusnya karena pada bulan
pertama di tahun pertama, unit usaha sudah menyewa lahan untuk kegiatan
investasi bangunan produksi.
2. Biaya pemeliharaan bangunan yang dikeluarkan untuk perawatan bangunan-
bangunan investasi. Perawatan bangunan yang dilakukan diantaranya gubuk
pengomposan, petakan pengomposan, gudang bahan baku, dan gudang pupuk
kompos. Pada peralatan-peralatan seperti cangkul, sekop, ember, dan lainnya
tidak terlalu memerlukan pemeliharaan selama kondisi alat tidak dalam
keadaan rusak. Berdasarkan pengalaman usaha selama ini, besarnya biaya
pemeliharaan bangunan setiap tahunnya rata-rata sebesar sepuluh persen dari
total biaya investasi bangunan yaitu Rp 3.900.000,- per tahun. Pada tahun
pertama usaha, biaya pemeliharaan bangunan yang dikeluarkan hanya untuk
10 bulan karena bangunan investasi baru selesai dibangun setelah dua bulan
pertama. Besarnya biaya pemeliharaan pada tahun pertama yaitu Rp
3.250.000,-. Pada tahun kedua dan seterusnya, biaya pemeliharaan bangunan
yang dikeluarkan untuk setiap tahunnya sebesar Rp 3.900.000,-.
103
3. Biaya listrik yang dikeluarkan unit usaha ini setiap bulannya rata-rata sebesar
Rp 50.000,-. Hal ini dikarenakan proses produksi pupuk kompos tidak
menggunakan tenaga listrik yang besar. Listrik hanya digunakan saat
melakukan pemotongan jerami dengan alat chopper. Pada tahun pertama
usaha, perhitungan biaya listrik dilakukan selama 10 bulan karena unit usaha
mulai beroperasi pada bulan ketiga. Biaya listrik yang dikeluarkan di tahun
pertama sebesar Rp 500.000,-. Pada tahun kedua dan seterusnya, biaya listrik
yang dikeluarkan untuk setiap tahunnya sebesar Rp 600.000,-.
4. Biaya komunikasi yang dikeluarkan dihitung dalam biaya komunikasi
bersama karena kegiatan administratif setiap unit usaha berada dalam satu
kantor sehingga menjadi biaya koperasi. Biaya komunikasi yang dikeluarkan
koperasi rata-rata setiap tahunnya sebesar Rp 2.000.000,-. Perhitungan biaya
komunikasi setiap unit usaha berdasarkan proporsi pemakaian dengan asumsi
tingkat pemakaian empat unit usaha sama besar yaitu Rp 500.000,- tiap
tahunnya. Pada tahun pertama usaha, perhitungan biaya komunikasi dilakukan
selama 10 bulan karena unit usaha mulai beroperasi pada bulan ketiga. Biaya
komunikasi yang dikeluarkan di tahun pertama sebesar Rp 416.666,67. Pada
tahun kedua dan seterusnya, biaya komunikasi yang dikeluarkan untuk setiap
tahunnya sebesar Rp 500.000,-.
5. Biaya karung plastik dikeluarkan untuk membeli karung plastik yang
digunakan sebagai penutup timbunan pupuk kompos pada proses fermentasi.
Jumlah karung plastik yang dibutuhkan untuk menutup 1 petak timbunan
pupuk kompos sebanyak 1 lembar. Dalam satu siklus produksi membutuhkan
4 lembar karung plastik. Karung plastik ini dapat bertahan hingga empat
bulan. Total karung plastik yang dibutuhkan setiap tahunnya sebanyak 12
lembar. Harga jual karung plastik per lembarnya sebesar Rp 5.000,-. Total
biaya yang dikeluarkan untuk pembelian karung ini sebesar Rp 60.000,- dan
diasumsikan konstan selama umur usaha.
6. Tunjangan Hari Raya adalah tunjangan yang diberikan unit usaha kepada
tenaga kerja produksi dalam rangka membagikan keuntungan yang diperoleh
selama satu tahun. Walaupun tenaga kerja produksi bukan merupakan tenaga
kerja tetap artinya upah diberikan hanya apabila proses produksi dilakukan,
104
namun sistem kekeluargaan yang menjadi landasan bentuk usaha ini
menjadikan mereka tetap mendapatkan THR. Besarnya THR yang diberikan
sama setiap tahunnya yaitu Rp 1.250.000,- per orang. Pada tahun pertama
usaha, total biaya THR yang dikeluarkan unit usaha sebesar Rp 2.083.300,-
karena unit usaha baru beroperasi selama 10 bulan. Pada tahun kedua dan
seterusnya, total biaya THR yang dikeluarkan unit usaha sebesar Rp
2.500.000,-.
7. Pajak bumi dan bangunan (PBB) dikeluarkan sebesar Rp 150.000,- per tahun.
8. Biaya tetap penyusutan yang terdapat dalam perhitungan laba rugi unit usaha
sebesar Rp 6.821.932,80 per tahun.
Tabel 12. Rincian Biaya Tetap pada Skenario Usaha I (Kapasitas 12 ton/bulan)
No Uraian Satuan Jumlah Harga Satuan (Rp)
Nilai (Rp)
Tahun 1 Tahun 2-10
1 Sewa lahan m² per tahun 118 962,00
113.516,00
113.516,00
2 Pemeliharaan bangunan Tahun 1 3.900.000,00
3.250.000,00
3.900.000,00
3 Listrik Tahun 1 600.000,00
500.000,00
600.000,00
4 Komunikasi Tahun 1 500.000,00
416.666,67
500.000,00
5 Karung plastic Lembar per tahun 12
5.000,00
60.000,00
60.000,00
6 THR Orang per tahun 2
1.250.000,00
2.083.333,33
2.500.000,00
7 PBB Tahun 1 150.000,00
125.000,00
150.000,00
8 Penyusutan peralatan* Tahun 1 6.821.932,80
5.684.944,00
6.821.932,80
Total 12.233.460,00
14.645.448,80
Keterangan: * biaya tetap yang hanya ada dalam perhitungan Laba/Rugi
Pada perhitungan laba rugi unit usaha, komponen biaya tetap terbesar
adalah biaya penyusutan peralatan sebesar Rp 6.821.932,80,- per tahun. Biaya
penyusutan peralatan hanya dimasukkan pada perhitungan laba rugi. Laporan laba
rugi merupakan perhitungan yang dilakukan untuk mengetahui seberapa besar
manfaat bersih yang diterima selama masa pengoperasian usaha berlangsung tiap
tahunnya. Artinya, berapa selisih nilai yang akan didapatkan dari pengeluaran
biaya-biaya operasional dan pemasukan pendapatan yang terjadi dalam satu tahun.
Oleh karena itu, pengeluaran atas biaya investasi tidak dimasukkan dalam
105
perhitungan laba rugi melainkan hanya pengeluaran atas biaya penyusutannya saja
sehingga dibandingkan dengan biaya tetap lainnya, biaya penyusutan peralatan
masih yang terbesar.
Sedangkan pada perhitungan cashflow unit usaha, komponen biaya tetap
terbesar adalah biaya pemeliharaan bangunan sebesar Rp 3.900.000,- per tahun.
Hal ini dikarenakan pada laporan cashflow tidak dimasukkan biaya atas
penyusutan investasi. Selain itu, biaya pemeliharaan yang dimasukkan dalam
cashflow merupakan gabungan dari biaya pemeliharaan empat bangunan investasi
dalam satu tahun. Total biaya tetap dalam perhitungan laba rugi usaha pada tahun
pertama sebesar Rp 12.233.460,00,- dan pada tahun kedua serta seterusnya
sebesar Rp 14.645.448,80. Total biaya tetap dalam perhitungan cashflow pada
tahun pertama sebesar Rp 6.548.516,- dan pada tahun kedua serta seterusnya
sebesar Rp 7.823.516,-.
• Biaya Variabel
Biaya variabel adalah biaya yang besarnya berubah-ubah tergantung dari
jumlah pupuk kompos yang dihasilkan selama masa produksinya. Kebutuhan
operasional produksi pupuk kompos meliputi biaya pembelian bahan baku dan
upah tenaga kerja produksi. Besarnya bahan baku yang digunakan dalam satu
petak berbeda-beda sesuai dengan takarannya masing-masing. Komposisi bahan
baku yang digunakan dalam satu petak dapat menghasilkan satu ton pupuk
kompos setiap satu siklus produksi. Dengan mengetahui perbandingan takaran
masing-masing bahan baku dapat diperoleh Harga Pokok Produksi (HPP) pupuk
kompos per kg. Berdasarkan perhitungan pengeluaran biaya produksi untuk satu
ton pupuk kompos diperoleh HPP sebesar Rp 261,75 per kg. Rincian kebutuhan
bahan baku dan tenaga kerja yang digunakan untuk menghasilkan satu ton pupuk
kompos dapat dilihat pada tabel 13.
106
Tabel 13. Rincian Kebutuhan Bahan Baku dan Tenaga Kerja untuk Kapasitas Produksi 1 ton dalam 1 petak
No. Uraian Satuan Volume Harga Satuan (Rp) Nilai (Rp)
1 Jerami Kg 40 375,00 15.000,00
2 Sekam bakar Kg 100 180,00 18.000,00
3 Dedak Kg 25 750,00 18.750,00
4 Dolomit Kg 3 500,00 1.500,00
5 Kotoran sapi Kg 1.050 100,00 105.000,00
6 EM4 Ml 450 20,00 9.000,00
7 Molase Ml 450 10,00 4.500,00
8 Upah tenaga kerja:
a. Pengolahan HOK 2 30.000,00 60.000,00
b. Pengayakan HOK 1 30.000,00 30.000,00
Total 261.750,00
Biaya produksi per kg 261,75
Rincian biaya variabel pada skenario usaha I dapat dilihat pada Tabel 14.
Biaya variabel pada pengusahaan pupuk kompos ini meliputi :
1. Jerami sebagai bahan baku pupuk kompos berdasarkan potensi lokal Desa
Ciburuy. Jumlah jerami yang digunakan untuk menghasilkan satu ton pupuk
kompos sebanyak tiga karung atau 40 kg dengan harga Rp 375,- per kg. Setiap
bulannya, jerami yang dibutuhkan untuk menghasilkan 12 ton pupuk kompos
sebanyak 480 kg. Pada tahun pertama, unit usaha baru melaksanakan proses
produksinya pada bulan ketiga sehingga lama produksi hanya 10 bulan. Total
jerami yang dibutuhkan untuk menghasilkan 120 ton pupuk kompos sebanyak
4.800 kg. Akumulasi biaya pembelian jerami di tahun pertama sebesar Rp
1.800.000,-. Pada tahun kedua dan seterusnya, unit usaha telah berproduksi
penuh selama 1 tahun atau 12 bulan. Total jerami yang dibutuhkan untuk
menghasilkan 144 ton pupuk kompos sebanyak 5.760 kg. Akumulasi biaya
pembelian jerami di tahun kedua dan seterusnya sebesar Rp 2.160.000,-.
2. Sekam bakar yang digunakan berasal dari bagian padi yang kasar (lema dan
palea) yang telah dibakar. Jumlah sekam bakar yang digunakan untuk
menghasilkan satu ton pupuk kompos sebanyak enam karung atau 100 kg
dengan harga Rp 180,- per kg. Setiap bulannya, sekam bakar yang dibutuhkan
untuk menghasilkan 12 ton pupuk kompos sebanyak 1.200 kg. Pada tahun
pertama, unit usaha baru melaksanakan proses produksinya pada bulan ketiga
107
sehingga lama produksi hanya 10 bulan. Total sekam bakar yang dibutuhkan
untuk menghasilkan 120 ton pupuk kompos sebanyak 12.000 kg. Akumulasi
biaya pembelian sekam bakar di tahun pertama sebesar Rp 2.160.000,-. Pada
tahun kedua dan seterusnya, unit usaha telah berproduksi penuh selama 1
tahun atau 12 bulan. Total sekam bakar yang dibutuhkan untuk menghasilkan
144 ton pupuk kompos sebanyak 14.400 kg. Akumulasi biaya pembelian
sekam bakar di tahun kedua dan seterusnya sebesar Rp 2.592.000,-.
3. Dedak yang digunakan berasal dari kulit ari beras. Jumlah dedak yang
digunakan untuk menghasilkan satu ton pupuk kompos sebanyak 25 kg
dengan harga Rp 750,- per kg. Setiap bulannya, dedak yang dibutuhkan untuk
menghasilkan 12 ton pupuk kompos sebanyak 300 kg. Pada tahun pertama,
jumlah dedak yang dibutuhkan untuk menghasilkan 120 ton pupuk kompos
selama 10 bulan sebanyak 3.000 kg. Akumulasi biaya pembelian dedak di
tahun pertama sebesar Rp 2.250.000,-. Pada tahun kedua dan seterusnya,
jumlah dedak yang dibutuhkan untuk menghasilkan 144 ton pupuk kompos
selama 12 bulan sebanyak 3.600 kg. Akumulasi biaya pembelian dedak di
tahun kedua dan seterusnya sebesar Rp 2.700.000,-.
4. Kapur pertanian atau dolomit sebagai tambahan bahan baku pupuk kompos
dengan kandungan hara atau nutrisi yang lebih banyak. Jumlah dolomit yang
digunakan untuk menghasilkan satu ton pupuk kompos sebanyak 3 kg dengan
harga Rp 500,- per kg. Setiap bulannya, dolomit yang dibutuhkan untuk
menghasilkan 12 ton pupuk kompos sebanyak 36 kg. Pada tahun pertama,
jumlah dolomit yang dibutuhkan untuk menghasilkan 120 ton pupuk kompos
selama 10 bulan sebanyak 360 kg. Akumulasi biaya pembelian dolomit di
tahun pertama sebesar Rp 180.000,-. Pada tahun kedua dan seterusnya, jumlah
dolomit yang dibutuhkan untuk menghasilkan 144 ton pupuk kompos selama
12 bulan sebanyak 432 kg. Akumulasi biaya pembelian dolomit di tahun
kedua dan seterusnya sebesar Rp 216.000,-.
5. Kotoran sapi digunakan sebagai bahan baku campuran yang dapat
mempercepat laju pengomposan dari penggunaan limbah pertanian sebagai
bahan baku lokal Desa Ciburuy. Hal ini dikarenakan kandungan C/N ratio
pada kotoran sapi lebih rendah dibanding limbah pertanian. Jumlah kotoran
108
sapi yang digunakan untuk menghasilkan satu ton pupuk kompos sebanyak 35
karung atau 1050 kg dengan harga Rp 100,- per kg. Setiap bulannya, kotoran
sapi yang dibutuhkan untuk menghasilkan 12 ton pupuk kompos sebanyak
12.600 kg. Pada tahun pertama, jumlah kotoran sapi yang dibutuhkan untuk
menghasilkan 120 ton pupuk kompos selama 10 bulan sebanyak 126.000 kg.
Akumulasi biaya pembelian kotoran sapi di tahun pertama sebesar Rp
12.600.000,-. Pada tahun kedua dan seterusnya, jumlah kotoran sapi yang
dibutuhkan untuk menghasilkan 144 ton pupuk kompos selama 12 bulan
sebanyak 151.200 kg. Akumulasi biaya pembelian kotoran sapi di tahun kedua
dan seterusnya sebesar Rp 15.120.000,-.
6. Cairan EM4 digunakan sebagai larutan bakteri fermentasi yang dapat
mempercepat proses pengomposan. Cairan EM4 yang digunakan untuk
menghasilkan satu ton pupuk kompos sebanyak 450 ml dengan harga Rp 20,-
per ml. Setiap bulannya, EM4 yang dibutuhkan untuk menghasilkan 12 ton
pupuk kompos sebanyak 5.400 ml. Pada tahun pertama, jumlah EM4 yang
dibutuhkan untuk menghasilkan 120 ton pupuk kompos selama 10 bulan
sebanyak 54.000 ml. Akumulasi biaya pembelian EM4 di tahun pertama
sebesar Rp 1.080.000,-. Pada tahun kedua dan seterusnya, jumlah EM4 yang
dibutuhkan untuk menghasilkan 144 ton pupuk kompos selama 12 bulan
sebanyak 64.800 ml. Akumulasi biaya pembelian EM4 di tahun kedua dan
seterusnya sebesar Rp 1.296.000,-.
7. Molase digunakan sebagai campuran larutan kultur bakteri yang mengandung
hara atau nutrisi lebih banyak sehingga dapat memperkaya kandungan unsur
hara dan mempercepat pengomposan. Jumlah molase yang dibutuhkan untuk
menghasilkan satu ton pupuk kompos sebanyak 450 ml dengan harga Rp 10,-
per ml. Setiap bulannya, molase yang dibutuhkan untuk menghasilkan 12 ton
pupuk kompos sebanyak 5.400 ml. Pada tahun pertama, jumlah molase yang
dibutuhkan untuk menghasilkan 120 ton pupuk kompos selama 10 bulan
sebanyak 54.000 ml. Akumulasi biaya pembelian molase di tahun pertama
sebesar Rp 540.000,-. Pada tahun kedua dan seterusnya, jumlah molase yang
dibutuhkan untuk menghasilkan 144 ton pupuk kompos selama 12 bulan
109
sebanyak 64.800 ml. Akumulasi biaya pembelian molase di tahun kedua dan
seterusnya sebesar Rp 648.000,-.
8. Upah tenaga kerja yang diberikan kepada dua orang tenaga kerja produksinya
sebesar Rp 30.000,- per HOK per orang untuk setiap satu siklus produksi.
Pengerjaan proses produksi terdiri dari dua bagian yaitu pengolahan dan
pengayakan.
• Pengolahan
Pada tahap pengolahan, rata-rata membutuhkan 2 HOK untuk
menghasilkan satu ton pupuk kompos. Setiap bulannya, kebutuhan kerja
untuk menghasilkan 12 ton pupuk kompos rata-rata sebesar 24 HOK. Pada
tahun pertama, jumlah kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan 120 ton
pupuk kompos selama 10 bulan sebesar 240 HOK. Beban kerja yang
ditanggung masing-masing tenaga kerja sebesar 120 HOK sehingga
diperoleh upah sebesar Rp 3.600.000,- per orang. Akumulasi upah kerja di
tahun pertama sebesar Rp 7.200.000,-.
Pada tahun kedua dan seterusnya, jumlah kerja yang dibutuhkan
untuk menghasilkan 144 ton pupuk kompos selama 12 bulan sebesar 288
HOK. Beban kerja yang ditanggung oleh setiap tenaga kerja sebesar 144
HOK sehingga diperoleh upah sebesar Rp 4.320.000,- per orang.
Akumulasi upah kerja di tahun kedua dan seterusnya sebesar Rp
8.640.000,-.
• Pengayakan
Pada tahap pengayakan, rata-rata membutuhkan 1 HOK untuk
menghasilkan satu ton pupuk kompos. Setiap bulannya, kebutuhan kerja
untuk menghasilkan 12 ton pupuk kompos rata-rata sebesar 12 HOK. Pada
tahun pertama, jumlah kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan 120 ton
pupuk kompos selama 10 bulan sebesar 120 HOK. Beban kerja yang
ditanggung masing-masing tenaga kerja sebesar 60 HOK sehingga
diperoleh upah sebesar Rp 1.800.000,- per orang. Akumulasi upah kerja di
tahun pertama sebesar Rp 3.600.000,-.
Pada tahun kedua dan seterusnya, jumlah kerja yang dibutuhkan
untuk menghasilkan 144 ton pupuk kompos selama 12 bulan sebesar 144
110
HOK. Beban kerja yang ditanggung oleh setiap tenaga kerja sebesar 72
HOK sehingga diperoleh upah sebesar Rp 2.160.000,- per orang.
Akumulasi upah kerja di tahun kedua dan seterusnya sebesar Rp
4.320.000,-.
• Beban kerja per orang
Total beban kerja yang ditanggung di tahun pertama untuk setiap
tenaga kerja sebanyak 180 HOK dengan perolehan upah sebesar Rp
5.400.000,-. Total beban kerja yang ditanggung di tahun kedua dan
seterusnya untuk setiap tenaga kerja sebanyak 216 HOK dengan perolehan
upah sebesar Rp 6.480.000,-.
Tabel 14. Rincian Biaya Variabel pada Skenario Usaha I (Kapasitas 12 ton/bulan)
No Uraian Satuan Jumlah Harga
Satuan (Rp)
Nilai (Rp)
Tahun 1 Tahun 2-10 Tahun 1 Tahun 2-10
1 Jerami Kg 4.800 5.760 375,00
1.800.000,00
2.160.000,00
2 Sekam bakar Kg 12.000 14.400 180,00
2.160.000,00
2.592.000,00
3 Dedak Kg 3.000 3.600 750,00
2.250.000,00
2.700.000,00
4 Dolomit Kg 360 432 500,00
180.000,00
216.000,00
5 Kotoran sapi Kg 126.000 151.200 100,00
12.600.000,00
15.120.000,00
6 EM4 Ml 54.000 64.800 20,00
1.080.000,00
1.296.000,00
7 Molase Ml 54.000 64.800 10,00
540.000,00
648.000,00
8 Upah tenaga kerja:
a. Pengolahan HOK per orang
120 144
30.000,00
7.200.000,00
8.640.000,00
b. Pengayakan HOK per orang
60 72
30.000,00
3.600.000,00
4.320.000,00
Total 31.410.000,00
37.692.000,00
Akumulasi biaya variabel yang dikeluarkan unit usaha di tahun pertama
sebesar Rp 31.410.000,-. Pada tahun kedua dan seterusnya, total biaya variabel
yang dikeluarkan sebesar Rp 37.692.000,- per tahun. Pengeluaran terbesar
digunakan untuk pembelian bahan baku kotoran sapi. Hal ini dikarenakan jumlah
kotoran sapi yang dibutuhkan untuk menyeimbangkan kandungan C/N ratio pada
komposisi bahan-bahan limbah pertanian cukup besar sehingga biaya pembelian
menjadi besar.
111
d. Pajak Penghasilan
Selain biaya operasional yang dikeluarkan setiap tahunnya, sebuah usaha
juga harus memberikan kompensasi atas keuntungan yang diperolehnya kepada
negara melalui pembayaran pajak penghasilan. Pajak penghasilan merupakan
pengeluaran biaya atas keuntungan yang diperoleh suatu usaha. Permasalahan
mengenai besarnya jumlah pajak penghasilan yang harus dibayarkan kepada
negara setiap tahunnya diatur oleh pemerintah.
Perhitungan pajak yang digunakan oleh unit usaha mengacu pada Undang-
Undang Republik Indonesia No.36 tahun 2008, pasal 31 E yang berisikan tarif
wajib pajak bagi UMKM sebesar 12,5 persen dimana tarif pajak menjadi flat
setiap tahunnya. Berdasarkan perhitungan laba rugi, unit usaha sudah mulai
membayarkan pajak penghasilannya sejak tahun pertama usaha dimulai. Hal ini
dikarenakan pada tahun pertama sudah diperoleh laba atas kegiatan usahanya.
Besar pajak penghasilan di tahun pertama sebesar Rp 1.332.067,50,-. Sedangkan
di tahun kedua dan seterusnya, pengeluaran atas pajak penghasilan lebih besar
yaitu Rp 1.602.818,90 pada tahun kedua hingga kesembilan dan Rp 2.820.402,90
pada akhir umur usaha karena laba yang diperoleh pun lebih besar dari tahun
pertama.
6.2.1.3 Analisis Laba Rugi Usaha
Analisis laba rugi merupakan suatu metode yang digunakan sebuah
perusahaan untuk mengetahui tingkat perolehan laba yang dimilikinya selama
masa usaha berlangsung. Metode yang digunakan dalam analisis laba rugi yaitu
dengan melakukan perhitungan atas pemasukan pendapatan dan pengeluaran
biaya selama masa pengoperasian usaha setiap tahunnya.
Dalam analisis laba rugi usaha, pendapatan diperoleh dari penerimaan
penjualan dan nilai sisa investasi, sedangkan komponen biaya disusun atas biaya
operasional dan pajak penghasilan. Perhitungan laba rugi usaha dimulai dengan
mengurangi jumlah seluruh penerimaan dengan total biaya tetap dan biaya
variabel setiap tahunnya. Pada perhitungan tersebut didapatkan nilai penerimaan
sebelum bunga dan pajak (EBIT) atau laba kotor. kemudian EBIT dikurangi
dengan biaya bunga sehingga didapatkan penerimaan sebelum pajak atau laba
112
bersih sebelum pajak (EBT). Langkah terakhir, dilakukan pengurangan terhadap
EBT dengan pajak penghasilan untuk setiap EBT yang bernilai positif atau
untung. Dengan demikian didapatkan nilai penerimaan setelah pajak atau laba rugi
bersih usaha.
Berdasarkan hasil perhitungan laba rugi usaha, tingkat perolehan laba di
tahun pertama berbeda dengan di tahun kedua dan seterusnya. Pada tahun
pertama, unit usaha ini sudah dapat memperoleh laba bersih sebesar Rp
9.324.472,50,-. Pada tahun kedua dan seterusnya, perolehan laba bersih lebih
besar dari tahun pertama mencapai Rp 11.219.732,30 dan pada akhir umur usaha,
laba bersih yang diperoleh lebih besar lagi senilai Rp 19.742.820,30. Hal ini
dikarenakan masa produksi usaha berlangsung penuh selama 1 tahun dan diakhir
umur usaha ada tambahan penerimaan dari nilai sisa investasi. Akumulasi
keseluruhan laba bersih yang diterima selama umur usaha berlangsung pada
skenario I ini sebesar Rp 118.825.151,20.
6.2.1.4 Analisis Kelayakan Finansial
Analisis kelayakan finansial dilakukan untuk mengetahui tingkat
kelayakan unit usaha berdasarkan atas nilai net benefit (manfaat bersih) yang
diperoleh sebagai dasar perhitungan kelayakan finansial pada empat kriteria
investasi yang meliputi NPV, Net B/C, IRR, dan Payback Period. Dalam analisis
kelayakan finansial, nilai manfaat bersih (net benefit) yang diperoleh
didiskontokan dengan tingkat discount factor sebesar 6,5%. Tingkat discount
factor yang digunakan merupakan tingkat suku bunga deposito Bank Indonesia
(BI) per Januari 2010, dimana Bank Indonesia merupakan acuan untuk seluruh
bank di Indonesia meskipun setiap bank memiliki kebijakan masing-masing. Hal
ini dilakukan karena seluruh modal yang digunakan unit usaha koperasi ini berasal
dari modal sendiri sehingga sebagai nilai social Opportunity Cost of Capital
(OCC) dari modal yang dimiliki tersebut digunakan tingkat suku bunga deposito
sebagai tingkat diskon faktornya. Hasil analisis kelayakan finansial pada skenario
usaha I dapat dilihat pada Tabel 15.
113
Tabel 15. Hasil Analisis Kelayakan Finansial pada Skenario Usaha I (Kapasitas 12 ton/bulan)
Kriteria Kelayakan Investasi JumlahNPV 67.911.262,34 Net B/C 3,52 IRR 56,82%
PP 2,84 atau 2 tahun 10 bulan 2 hari
Berdasarkan hasil perhitungan empat kriteria investasi tersebut, diperoleh
hasil bahwa :
1. Nilai NPV yang diperoleh lebih dari nol (NPV>0) yaitu sebesar Rp
67.911.262,34. Artinya, jumlah manfaat bersih yang diterima unit usaha dari
kegiatan pembuatan pupuk kompos ini selama 10 tahun dengan tingkat
discount rate 6,5 persen sebesar Rp 67.911.262,34 sehingga usaha layak untuk
dijalankan.
2. Pada kriteria investasi yang kedua, nilai Net B/C yang diperoleh lebih dari
satu (Net B/C>1) yaitu sebesar 3,52. Artinya, setiap Rp 1,- biaya yang
dikeluarkan selama umur usaha mendatangkan manfaat sebesar Rp 3,52
sehingga usaha juga layak untuk dijalankan.
3. Pada kriteria investasi yang ketiga, nilai IRR yang diperoleh lebih besar dari
discount rate yang berlaku (IRR>6,5%) yaitu sebesar 56,82 persen. Hal ini
menunjukkan tingkat pengembalian internal yang diperoleh dari kegiatan
pengusahaan pupuk kompos ini jauh lebih besar dibanding tingkat diskonto
yang berlaku sehingga unit usaha mendapatkan keuntungan dari adanya
kegiatan investasi tersebut dibandingkan hanya mendepositokan modal
investasinya di bank. Dengan demikian, usaha tetap layak untuk dijalankan.
4. Pada kriteria investasi yang terakhir, nilai Payback Period yang diperoleh
lebih kecil dari umur usaha (PP<5tahun) yaitu 2,84 atau 2 tahun 10 bulan 2
hari. Hal ini berarti jangka waktu pengembalian untuk sejumlah nilai investasi
yang telah dikeluarkan yaitu selama 2,84 atau 2 tahun 10 bulan 2 hari. Waktu
yang diperlukan untuk mengembalikan nilai investasi tersebut lebih pendek
dari umur usaha. Semakin pendek periode pengembalian investasi maka
semakin baik kegiatan investasi tersebut sehingga dapat dikatakan usaha ini
menjadi layak untuk dijalankan.
114
Berdasarkan analisis kriteria investasi NPV, Net B/C, IRR, dan Payback
Period menunjukkan bahwa secara finansial penggunaan investasi untuk
pengusahaan pembuatan pupuk kompos oleh unit usaha ini layak untuk
dijalankan.
6.2.1.5 Analisis Switching Value
Analisis switching value atau analisis nilai pengganti digunakan untuk
menunjukkan sampai berapa persen perubahan yang terjadi pada variabel (yang
diduga bisa menyebabkan perubahan) sehingga usaha dikatakan masih dapat
diterima. Pada skenario I, analisis switching value dilakukan dengan membuat
nilai NPV mendekati atau lebih besar dari nol sehingga usaha masih dapat
dinyatakan layak untuk dijalankan. Variabel sensitivitas pada analisis switching
value yang dilakukan dalam penelitian ini yaitu variabel harga bahan baku kotoran
sapi, variabel jumlah produksi, dan variabel harga jual pupuk kompos. Hasil
analisis nilai pengganti berdasarkan kriteria investasi dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Hasil Analisis Switching Value pada Skenario Usaha I (Kapasitas 12 ton/bulan)
Perubahan Kenaikan Harga K.Sapi
Penurunan Produksi P.Kompos
Penurunan Harga Jual P.Kompos
Persentase 41,44% 16,40% 16,51%
NPV 0,00
0,00
0,00
Net B/C 1,00
1,00
1,00
IRR 6,50% 6,50% 6,50%
PP 10,00
10,00
10,00
Berdasarkan hasil analisis switching value yang telah dilakukan, apabila
terjadi perubahan pada variabel bahan baku berupa kenaikan harga beli kotoran
sapi maka unit usaha akan masih dapat beroperasi selama dalam batas kenaikan
harga maksimal sebesar 41,44 persen dari biaya kotoran sapi yang dikeluarkan
tiap tahunnya. Peningkatan total biaya kotoran sapi yang mungkin terjadi pada
tahun pertama dari Rp 12.600.000,- sampai Rp 13.716.179,61 dan pada tahun
berikutnya dari Rp 15.120.000,- sampai menjadi Rp 25.818.347,38.
115
Pada variabel jumlah produksi, apabila terjadi penurunan jumlah produksi
pupuk maka unit usaha akan masih dapat beroperasi selama dalam batas
penurunan jumlah produksi sebesar 16,40 persen dari jumlah pupuk yang
diproduksi tiap tahunnya. Penurunan penerimaan penjualan pupuk kompos yang
mungkin terjadi pada tahun pertama dari Rp 54.000.000,- sampai Rp
52.403.541,95 dan pada tahun berikutnya dari Rp 64.800.000,- sampai menjadi
Rp 54.173.808,71.
Pada variabel harga jual, apabila terjadi penurunan harga jual pupuk maka
unit usaha akan masih dapat beroperasi selama dalam batas penurunan harga jual
sebesar 16,51 persen dari harga jual pupuk yang ditawarkan tiap tahunnya.
Penurunan penerimaan penjualan pupuk kompos yang mungkin terjadi pada tahun
pertama dari Rp 54.000.000,- sampai Rp 52.883.820,42 dan pada tahun
berikutnya dari Rp 64.800.000,- sampai menjadi Rp 54.101.652,62.
Dari sisi pengeluaran, besarnya kemungkinan perubahan atas peningkatan
biaya bahan baku biasanya dikarenakan adanya pengaruh iklim dalam proses
pengolahan kotoran sapi tersebut. Iklim sebagai faktor alam yang tidak dapat
dikendalikan, membuat kondisi iklim itu sendiri tidak menentu. Kondisi iklim
hujan menyebabkan kadar air pada kotoran sapi menjadi lebih basah. Upaya
pengelolaan yang dilakukan PT Karyana dalam menjaga kualitas kotoran sapinya
menjadikan harga kotoran sapi tersebut dapat meningkat bila musim hujan datang.
Namun kondisi tersebut tidak menjadikan unit usaha terkendala dalam
perolehan pasokan bahan bakunya karena kenaikan harga yang terjadi pada
biasanya relatif kecil dari Rp 3.000,- menjadi Rp 3.500,- per karung per 30 kg.
Selain itu, adanya kerjasama yang telah terjalin selama ini dirasa membuat unit
usaha masih bisa memperoleh keuntungan. Misal, layanan transportasi yang
disediakan pemasok dapat meminimisasi biaya produksi pupuk kompos.
Sedangkan bila pembelian dilakukan kepada peternak sapi yang masih individu,
unit usaha harus menanggung beban biaya transportasi pengangkutan dimana pada
kondisi saat ini usaha belum memiliki kendaraan operasional sendiri. Oleh karena
itu, selama perubahan harga bahan baku masih berada dalam batas kenaikan,
usaha ini masih layak untuk dijalankan.
116
Dari sisi penerimaan, berdasarkan pengalaman usaha selama ini hampir
tidak pernah terjadi penurunan baik pada jumlah produksi maupun harga jual
karena permintaan yang datang dari LPS melebihi kapasitas produksi dan sistem
kemitraan yang terjalin membuat unit usaha mendapatkan kepastian harga jual.
Perubahan atas penurunan jumlah produksi dan harga jual yang mungkin terjadi
biasanya dikarenakan ketersediaan pasokan bahan baku yang berkurang dan
penurunan kualitas pada pupuk kandang yang digunakan. Dalam analisis
switching value pada kondisi skenario I, variabel penurunan jumlah produksi
merupakan variabel yang paling sensitif sehingga memiliki risiko usaha paling
besar dibandingkan dua variabel lainnya. Unit usaha mengatasi hal tersebut
dengan menjalin hubungan yang baik kepada pemasok bahan baku sehingga
kontinuitas pasokan bahan baku tetap dapat terjaga.
6.2.2 Analisis Kelayakan Finansial Skenario Usaha II
Skenario II merupakan kondisi pengusahaan pupuk kompos pada rencana
pengembangan usaha berupa peningkatan kapasitas produksi tiap bulannya
menjadi 21 ton per bulan. Adanya rencana pengembangan ini atas dasar potensi
pasar yang masih belum terpenuhi. Permintaan yang terjadi dari LPS mencapai
22,27 ton per bulan. Besarnya permintaan tersebut yang baru mampu dipenuhi
oleh ketiga cluster produsen binaan LPS sebesar 16 ton per bulan, dimana
pemasok terbesarnya adalah unit usaha ini.
Setiap bulannya unit usaha ini rata-rata mampu mensuplai pupuk kompos
sebesar 12 ton, sedang dua cluster produsen lainnya masing-masing hanya mampu
mensuplai sebesar 2 ton. Perbedaan yang terjadi antara jumlah pasokan dan
pesanan tersebut mencapai 6,27 ton per bulan. Hal ini mengindikasikan adanya
pesanan yang masih mungkin dapat diserap unit usaha apabila dilakukan
peningkatan kapasitas produksi.
Rencana peningkatan kapasitas produksi dilakukan dengan menambah
jumlah petakan pengomposan sebesar tiga petak. Dalam satu siklus produksi,
setiap petak hanya mampu menampung bahan-bahan pengomposan untuk
komposisi satu ton pupuk kompos. Apabila penambahan petakan sejumlah dua
petak, maka jumlah kompos yang dapat dihasilkan hanya sebesar 2 ton per 10 hari
117
atau 6 ton per bulan. Sedangkan penambahan tiga petak pengomposan akan
menghasilkan 9 ton per bulan. Dengan begitu, unit usaha akan berencana
menambah tiga petak pengomposan untuk dapat menyerap semua pesanan yang
ada walaupun unit usaha tidak berproduksi pada kapasitas optimalnya.
6.2.2.1 Inflow
Aliran kas masuk (inflow) pada skenario usaha II berasal dari penerimaan
penjualan produk pupuk kompos dan penjualan sisa hasil ayakan serta nilai sisa
dari investasi.
a. Penerimaan Penjualan
Penerimaan penjualan yang diperoleh pada unit usaha pupuk kompos ini
berasal dari penjualan pupuk kompos dan sisa hasil ayakannya. Setiap bulannya,
unit usaha hanya memproduksi pupuk kompos sesuai dengan jumlah pesanan
yang ada dari LPS guna memenuhi permintaan pasar saat ini sehingga jumlah
penjualan sama dengan jumlah produksinya. Jumlah pupuk kompos yang
diproduksi unit usaha rata-rata sebesar 18,27 ton per bulan, dengan harga jual
pupuk kompos sama dengan skenario I.
Jumlah penjualan pupuk kompos di tahun pertama berbeda dengan tahun
berikutnya karena proses produksi di tahun pertama dimulai pada bulan kedua
sehingga lama produksi hanya 10 bulan, sedangkan tahun berikutnya proses
produksi telah berlangsung selama satu tahun. Jumlah produksi, harga jual, dan
jumlah penjualan dari pupuk kompos mulai tahun kedua dan seterusnya
diasumsikan tetap selama umur usaha.
Akumulasi jumlah produksi pupuk kompos di tahun pertama sebesar 182,7
ton atau 182.700 kg untuk jangka waktu 10 bulan. Penerimaan penjualan pupuk
kompos di tahun pertama mencapai Rp 82.215.000,-. Sedangkan pada tahun
kedua usaha dan seterusnya, akumulasi jumlah produksi pupuk kompos mencapai
219,24 ton atau 219.240 kg per tahun. Penerimaan penjualan pupuk kompos di
tahun kedua dan seterusnya mencapai Rp 98.658.000,-.
Penerimaan penjualan juga berasal dari penjualan sisa hasil ayakan pupuk
kompos. Sisa hasil ayakan yang diperoleh sama dengan skenario I yaitu rata-rata
118
sebesar 25 kg untuk 1 ton pupuk kompos dengan harga jual yang sama pula. Pada
tahun pertama usaha, dapat menghasilkan jumlah ayakan sebanyak 4567,5 kg.
Akumulasi penerimaan penjualan ini di tahun pertama mencapai Rp 456.750,-.
Sedangkan pada tahun kedua usaha dan seterusnya, dapat menghasilkan jumlah
ayakan sebanyak 5481 kg, sehingga akumulasi penerimaan penjualan ini
mencapai Rp 548.100,- per tahun. Besarnya penerimaan penjualan yang diterima
selama umur usaha berlangsung sebesar Rp 479.496.150,-. Jumlah total produksi
dan nilai penjualan skenario usaha II pupuk kompos ini dapat dilihat pada Tabel
17.
Tabel 17. Jumlah Total Produksi dan Nilai Penjualan Skenario Usaha II (Kapasitas 21 ton/bulan)
Tahun Penjualan Produk Jumlah (kg) Harga Satuan
(Rp) Nilai (Rp)
1 Pupuk kompos 182.700 450,00 82.215.000,00
Sisa hasil ayakan 4.567,5 100,00 456.750,00
Total 187267,5 82.671.750,00 2 s/d 10 Pupuk kompos 219.240
450,00 98.658.000,00
Sisa hasil ayakan 5.481 100,00 548.100,00
Total 224.721 99.206.100,00
b. Nilai Sisa (Salvage Value)
Pada dasarnya, perhitungan nilai sisa pada skenario II sama dengan
skenario I karena komponen investasi yang digunakan sama secara keseluruhan.
Walaupun terdapat penambahan biaya investasi pada gubuk pengomposan dan
petakan pengomposan namun tidak menambah nilai sisa investasi karena tidak
ada nilai komponen yang tersisa diakhir umur usaha. Berdasarkan hasil
perhitungan, besarnya nilai sisa yang diperoleh pada akhir umur usaha sebesar Rp
9.740.672,-. Nilai sisa terbesar berasal dari komponen gudang pupuk kompos
karena pada komponen tersebut terjadi pengeluaran biaya investasi terbesar.
Rincian nilai sisa investasi pupuk kompos unit usaha KKT Lisung Kiwari dapat
dilihat pada Tabel 18.
119
Tabel 18. Nilai Sisa Investasi pada Skenario Usaha II (Kapasitas 21 ton/bulan)
No Uraian Nilai Beli (Rp)
Umur Pakai
(Tahun)
Penyusutan (Rp) Nilai Sisa (Rp)
1 Ijin usaha 500,000.00 -
-
- 2 Gubuk Pengomposan
a. Ukuran 50 m² 6,000,000.00 5
1,200,000.00
-
b. Ukuran 37,5 m² 4,500,000.00 5
900,000.00
-
3 Petakan pengomposan
15,750,000.00 10
1,575,000.00
-
4 Gudang bahan baku 7,058,824.00 5
1,411,764.80
-
5 Gudang pupuk kompos
16,941,176.00 7
2,420,168.00
9,680,672.00
6 Chopper 3,750,000.00 5
750,000.00
-
7 Cangkul 100,000.00 5
20,000.00
-
8 Sekop 100,000.00 5
20,000.00
-
9 Ember 40,000.00 3
13,333.33
26,666.67
10 Alat penyiram 50,000.00 3
16,666.67
33,333.33
11 Saringan kawat 130,000.00 2
65,000.00
-
12 Thermometer 50,000.00 10
5,000.00
-
Total 8,396,932.80
9,740,672.00
6.2.2.2 Outflow
Arus pengeluaran biaya pada skenario usaha II terdiri dari biaya investasi,
biaya reinvestasi, biaya operasional, dan pajak penghasilan.
a. Biaya Investasi
Rencana peningkatan kapasitas produksi dalam skenario usaha II ini,masih
membutuhkan seluruh komponen investasi yang sama dengan skenario usaha I.
Namun, komponen investasi berupa gubuk dan petakan pengomposan pada
skenario usaha I baru mencukupi kebutuhan LPS sebesar 12 ton tiap bulannya.
Sedangkan permintaan yang terjadi dari LPS mencapai 18,27 ton per bulan.
Dengan demikian, pada skenario usaha II ini unit usaha berencana meningkatkan
kapasitas produksinya yang dapat memenuhi semua pesanan tersebut melalui
120
peningkatan jumlah investasi pada komponen gubuk dan petakan pengomposan.
Mengingat, kedua komponen tersebut merupakan tempat utama proses produksi
dilakukan.
Dalam skenario I, jumlah biaya yang dikeluarkan pada investasi gubuk dan
petakan pengomposan dilakukan untuk kapasitas produksi sebesar 12 ton per
bulan sesuai kondisi usaha saat ini, yaitu mencakup pembangunan gubuk seluas
50 m2 dan pembangunan petakan pengomposan sebanyak empat petak. Jumlah
biaya investasi pada gubuk pengomposan tersebut seharga Rp 6.000.000,- untuk
ukuran 50 m2 dan jumlah biaya investasi pada petakan pengomposan seharga Rp
2.250.000,- per petak. Setiap petakan yang dibangun berukuran 2,5x5 m atau
seluas 12,5 m2 dengan daya tampung bahan-bahan pengomposan untuk kapasitas
1 ton.
Sedangkan dalam skenario II, jumlah biaya yang dikeluarkan pada
investasi gubuk dan petakan pengomposan dilakukan untuk rencana peningkatan
kapasitas produksi menjadi 21 ton per bulan, dimana pada kapasitas tersebut telah
mampu memenuhi semua permintaan dari LPS walaupun permintaan tidak sesuai
dengan kapasitas optimalnya. Oleh karena itu, pada rencana ini unit usaha
berproduksi dibawah kapasitas optimalnya sesuai dengan pesanan yang terjadi
saat ini.
Rencana peningkatan kapasitas produksi menjadi 21 ton per bulan
dilakukan melalui penambahan luasan bangunan gubuk ukuran 37,5 m2 untuk
menangungi tambahan tiga petak dibawahnya sehingga mampu menghasilkan
tambahan kapasitas produksi sebesar 9 ton tiap bulannya. Jumlah investasi
tambahan pada gubuk pengomposan tersebut seharga Rp 4.500.000,-. Perhitungan
harga gubuk ini berdasarkan perbandingan harga gubuk untuk luasan 50 m2
sebesar Rp 6.000.000,- sehingga tambahan luasan 37,5 m2 akan menambah biaya
sebesar 75 persen dari harga tersebut. Investasi total untuk gubuk pengomposan
seluas 87,5 m2 seharga Rp 10.500.000,-. Sedangkan biaya investasi tambahan
yang dikeluarkan untuk tiga petakan pengomposan seharga Rp 6.750.000,-
sehingga investasi total untuk tujuh petak seharga Rp 15.750.000,-. Rincian biaya
investasi pada skenario usaha II dapat dilihat pada Tabel 19.
121
Tabel 19. Rincian Biaya Investasi pada Skenario Usaha II (Kapasitas 21 ton/bulan)
No. Uraian Satuan Jumlah Harga Satuan (Rp) Total Nilai (Rp) Umur
Ekonomis (tahun)
1 Ijin usaha - 1 500.000,00 500.000,00 - 2 Gubuk Pengomposan
-
a. Ukuran 50 m² Unit 1 6.000.000,00 6.000.000,00 5
b. Ukuran 37,5 m² Unit 1 4.500.000,00 4.500.000,00 5
3 Petakan pengomposan Petak 7 2.250.000,00 15.750.000,00 10
4 Gudang bahan baku Unit 1 7.058.824,00 7.058.824,00 5
5 Gudang pupuk kompos Unit 1 16.941.176,00 16.941.176,00 7
6 Chopper Unit 1 3.750.000,00 3.750.000,00 5
7 Cangkul Unit 2 50.000,00 100.000,00 5
8 Sekop Unit 2 50.000,00 100.000,00 5
9 Ember Unit 2 20.000,00 40.000,00 3
10 Alat penyiram Unit 2 25.000,00 50.000,00 3
11 Saringan kawat Unit 2 65.000,00 130.000,00 2
12 Thermometer Unit 1 50.000,00 50.000,00 10
Total Investasi 54.970.000,00
Besarnya biaya investasi yang dikeluarkan oleh unit usaha pada kondisi
skenario II sebesar Rp 54.970.000,-. Biaya investasi terbesar tetap terjadi pada
komponen pembangunan gudang pupuk kompos sebesar Rp 16.941.176,- dengan
umur ekonomis selama tujuh tahun.
b. Biaya Reinvestasi
Biaya reinvestasi dikeluarkan pada beberapa variabel yang telah habis
masa ekonomisnya sebelum umur usaha berakhir. Komponen reinvestasi yang
dikeluarkan pada skenario usaha II masih sama dengan skenario usaha I. Hal ini
dikarenakan umur ekonomis dari suatu komponen investasi tidak akan berubah
pada kondisi apapun. Rincian biaya reinvestasi setiap tahunnya dapat dilihat pada
Tabel 20.
122
Tabel 20. Rincian Biaya Reinvestasi pada Skenario Usaha II (Kapasitas 21 ton/bulan)
Tahun Nilai Reinvestasi (Rp) 2 -3 130,000.00 4 90,000.00 5 130,000.00 6 21.508.824,00 7 220,000.00 8 16,941,176.00 9 130,000.00
10 90,000.00
Biaya reinvestasi terbesar dikeluarkan pada tahun keenam usaha, yaitu
sebesar Rp 21.508.824,00,-. Besarnya biaya reinvestasi pada tahun tersebut
dikarenakan adanya tambahan komponen investasi pada gubuk pengomposan
dengan umur ekonomis lima tahun yang lebih singkat dibanding umur usaha 10
tahun, disamping komponen investasi lainnya seperti gudang bahan baku,
chopper, cangkul, dan sekop. Sedangkan pada tahun kedelapan, besarnya biaya
reinvestasi pada tahun tersebut hanya berasal dari komponen gudang pupuk
kompos. Pada tahun keempat dan kesepuluh, biaya reinvestasi yang dikeluarkan
paling kecil sebesar Rp 90.000,- sedangkan pada tahun ketiga, kelima, dan
kesembilan memiliki jumlah yang sama sebesar Rp 130.000,-. Walaupun pada
tahun keempat dan kesepuluh, terdapat dua komponen yang direinvestasi yaitu
ember dan alat penyiram namun biaya reinvestasi tiap komponen lebih kecil dari
biaya reinvestasi pada tahun ketiga, kelima, dan kesembilan yang hanya terdapat
satu komponen reinvestasi sehingga biaya reinvestasi terkecil terjadi di tahun
keempat dan kesepuluh. Jika dilihat secara keseluruhan, total biaya reinvestasi
yang dikeluarkan unit usaha cukup besar karena umur usaha yang berlangsung
selama 10 tahun.
c. Biaya Operasional
Biaya operasional merupakan biaya yang dikeluarkan selama masa
pengoperasian suatu usaha berlangsung. Biaya operasional terdiri dari biaya tetap
dan biaya variabel.
123
• Biaya Tetap
Biaya tetap adalah biaya yang besarya sama dan tidak tergantung dari
jumlah pupuk kompos yang dihasilkan selama masa usahanya. Rincian biaya tetap
pada skenario usaha II dapat dilihat pada Tabel 21. Pada skenario usaha II,
terdapat persamaan dan perbedaan biaya tetap dengan skenario usaha I. Biaya
tetap yang sama dengan skenario usaha I diantaranya biaya listrik, biaya
komunikasi, biaya THR, dan biaya PBB. Sedangkan biaya tetap yang berbeda
dengan skenario usaha I yaitu :
1. Sewa lahan yang diperhitungkan berdasarkan biaya sewa lahan di Desa
Ciburuy sebesar Rp 9.620.000,- per hektar setiap tahunnya. Adanya rencana
peningkatan kapasitas produksi melalui tambahan bangunan pengomposan
seluas 37,5 m2 menjadikan luas lahan yang disewa pun bertambah. Secara
keseluruhan luas lahan yang disewa menjadi sebesar 155,5 m2. Dengan biaya
sewa lahan per m2 seharga Rp 962,- per tahun maka jumlah biaya sewa lahan
yang harus dikeluarkan tiap tahunnya sebesar Rp 149.591,-. Biaya sewa lahan
yang dikeluarkan pada tahun pertama sama dengan tahun kedua dan
seterusnya karena pada bulan pertama di tahun pertama, unit usaha sudah
menyewa lahan untuk kegiatan investasi bangunan produksi.
2. Biaya pemeliharaan bangunan yang dikeluarkan untuk perawatan bangunan-
bangunan investasi. Pada dasarnya, perhitungan biaya pemeliharaan bangunan
di skenario II masih sama dengan skenario I yaitu, setiap tahunnya rata-rata
sebesar sepuluh persen dari total biaya investasi bangunan. Namun pada
skenario II, total biaya investasi bangunan menjadi lebih besar karena adanya
tambahan biaya investasi pada gubuk dan petakan pengomposan sehingga
besarnya biaya pemeliharaan setiap tahunnya menjadi Rp 5.025.000,-. Pada
tahun pertama usaha, besarnya biaya pemeliharaan bangunan yang
dikeluarkan senilai Rp 4.187.000,- untuk 10 bulan pertama. Pada tahun kedua
dan seterusnya, biaya pemeliharaan bangunan yang dikeluarkan untuk setiap
tahunnya sebesar Rp 5.025.000,-.
3. Biaya karung plastik dikeluarkan untuk membeli karung plastik yang
digunakan sebagai penutup timbunan pupuk kompos pada proses fermentasi.
Jumlah karung plastik yang dibutuhkan untuk menutup 1 petak timbunan
124
pupuk kompos sebanyak 1 lembar. Dalam satu siklus produksi membutuhkan
7 lembar karung plastik karena adanya peningkatan jumlah petakan
pengomposan. Karung plastik ini dapat bertahan hingga empat bulan. Total
karung plastik yang dibutuhkan setiap tahunnya sebanyak 21 lembar. Harga
jual karung plastik per lembarnya sebesar Rp 5.000,-. Total biaya yang
dikeluarkan untuk pembelian karung ini sebesar Rp 105.000,- dan
diasumsikan konstan selama umur usaha.
4. Biaya tetap penyusutan yang terdapat dalam perhitungan laba rugi unit usaha
sebesar Rp 8.396.932,80 per tahun.
Tabel 21. Rincian Biaya Tetap pada Skenario Usaha II (Kapasitas 21 ton/bulan)
No. Uraian Satuan Jumlah Harga Satuan (Rp)
Nilai (Rp)
Tahun 1 Tahun 2-10
1 Sewa lahan m² per tahun 155,5 962,00
149.591,00
149.591,00
2 Pemeliharaan bangunan tahun 1 5.025.000,00
4.187.500,00
5.025.000,00
3 Listrik tahun 1 600.000,00
500.000,00
600.000,00
4 Komunikasi tahun 1 500.000,00
416.666,67
500.000,00
5 Karung plastic Lembar per tahun 21
5.000,00
105.000,00
105.000,00
6 THR Orang per tahun 2
1.250.000,00
2.083.333,33
2.500.000,00
7 PBB Tahun 1 150.000,00
125.000,00
150.000,00
8 Penyusutan peralatan* Tahun 1 8.021.932,80
6.684.944,00
8.021.932,80
Total 14.252.035,00
17.051.523,80
Keterangan: * biaya tetap yang hanya ada dalam perhitungan Laba/Rugi
Pada perhitungan laba rugi unit usaha, komponen biaya tetap terbesar
adalah biaya penyusutan peralatan sebesar Rp 8.396.932,80 per tahun. Biaya
penyusutan peralatan hanya dimasukkan pada perhitungan laba rugi. Hal ini
dikarenakan pengeluaran atas biaya investasi tidak dimasukkan dalam perhitungan
laba rugi melainkan hanya pengeluaran atas biaya penyusutannya saja sehingga
dibandingkan dengan biaya tetap lainnya, biaya penyusutan peralatan masih yang
terbesar.
Sedangkan pada perhitungan cashflow unit usaha, komponen biaya tetap
terbesar adalah biaya pemeliharaan bangunan sebesar Rp 5.025.000,- per tahun.
125
Hal ini dikarenakan pada laporan cashflow tidak dimasukkan biaya atas
penyusutan investasi. Selain itu, biaya pemeliharaan yang dimasukkan dalam
cashflow merupakan gabungan dari biaya pemeliharaan empat bangunan investasi
dalam satu tahun. Total biaya tetap dalam perhitungan laba rugi usaha pada tahun
pertama sebesar Rp 14.564.535,- dan pada tahun berikutnya sebesar Rp
17.426.523,80 per tahun. Total biaya tetap dalam perhitungan cashflow pada
tahun pertama sebesar Rp 7.567.091,- dan pada tahun berikutnya sebesar Rp
9.029.591,-.
• Biaya Variabel
Biaya variabel adalah biaya yang besarnya berubah-ubah tergantung dari
jumlah pupuk kompos yang dihasilkan selama masa produksinya. Pada skenario
II, kebutuhan operasional produksi pupuk kompos meliputi biaya pembelian
bahan baku dan upah tenaga kerja produksi yang disesuaikan dengan jumlah
produksi pupuk kompos rata-rata sebanyak 18,27 ton per bulan. Besarnya
kebutuhan bahan baku dan tenaga kerja yang digunakan untuk menghasilkan satu
ton pupuk kompos sama besar dengan skenario usaha I sehingga tidak ada
perubahan dalam perolehan Harga Pokok Produksi (HPP) pupuk kompos yaitu
seharga Rp 261,75 per kg. Rincian biaya variabel pada skenario usaha II dapat
dilihat pada Tabel 22. Biaya variabel pada pengusahaan pupuk kompos ini
meliputi :
1. Jerami yang digunakan untuk menghasilkan satu ton pupuk kompos sebanyak
tiga karung atau 40 kg dengan harga Rp 375,- per kg. Setiap bulannya, jerami
yang dibutuhkan untuk menghasilkan 18,27 ton pupuk kompos sebanyak
730,8 kg. Pada tahun pertama, unit usaha baru melaksanakan proses
produksinya pada bulan ketiga sehingga lama produksi hanya 10 bulan. Total
jerami yang dibutuhkan untuk menghasilkan 182,7 ton pupuk kompos
sebanyak 7.308 kg. Akumulasi biaya pembelian jerami di tahun pertama
sebesar Rp 2.740.500,-. Pada tahun berikutnya, unit usaha telah berproduksi
penuh selama 1 tahun atau 12 bulan. Total jerami yang dibutuhkan untuk
menghasilkan 219,24 ton pupuk kompos sebanyak 8769,6 kg. Akumulasi
biaya pembelian jerami di tahun kedua dan seterusnya sebesar Rp 3.288.600,-.
126
2. Sekam bakar yang digunakan untuk menghasilkan satu ton pupuk kompos
sebanyak enam karung atau 100 kg dengan harga Rp 180,- per kg. Setiap
bulannya, sekam bakar yang dibutuhkan untuk menghasilkan 18,27 ton pupuk
kompos sebanyak 1827 kg. Pada tahun pertama, sekam bakar yang dibutuhkan
untuk menghasilkan 182,7 ton pupuk kompos sebanyak 18.270 kg. Akumulasi
biaya pembelian sekam bakar di tahun pertama sebesar Rp 3.288.600,-. Pada
tahun berikutnya, total sekam bakar yang dibutuhkan untuk menghasilkan
219,24 ton pupuk kompos sebanyak 21.924 kg. Akumulasi biaya pembelian
sekam bakar di tahun kedua dan seterusnya sebesar Rp 3.946.320,-.
3. Dedak yang digunakan untuk menghasilkan satu ton pupuk kompos sebanyak
25 kg dengan harga Rp 750,- per kg. Setiap bulannya, dedak yang dibutuhkan
untuk menghasilkan 18,27 ton pupuk kompos sebanyak 456,75 kg. Pada tahun
pertama, jumlah dedak yang dibutuhkan untuk menghasilkan 182,7 ton pupuk
kompos selama 10 bulan sebanyak 4567,5 kg. Akumulasi biaya pembelian
dedak di tahun pertama sebesar Rp 3.425.625,-. Pada tahun berikutnya, jumlah
dedak yang dibutuhkan untuk menghasilkan 219,24 ton pupuk kompos selama
12 bulan sebanyak 5.481 kg. Akumulasi biaya pembelian dedak di tahun
kedua dan seterusnya sebesar Rp 4.110.750,-.
4. Kapur pertanian atau dolomite yang digunakan untuk menghasilkan satu ton
pupuk kompos sebanyak 3 kg dengan harga Rp 500,- per kg. Setiap bulannya,
dolomit yang dibutuhkan untuk menghasilkan 18,27 ton pupuk kompos
sebanyak 54,81 kg. Pada tahun pertama, jumlah dolomit yang dibutuhkan
untuk menghasilkan 182,7 ton pupuk kompos selama 10 bulan sebanyak 548,1
kg. Akumulasi biaya pembelian dolomit di tahun pertama sebesar Rp
274.050,-. Pada tahun berikutnya, jumlah dolomit yang dibutuhkan untuk
menghasilkan 219,24 ton pupuk kompos selama 12 bulan sebanyak 657,72 kg.
Akumulasi biaya pembelian dolomit di tahun kedua dan seterusnya sebesar Rp
328.860,-.
5. Kotoran sapi yang digunakan untuk menghasilkan satu ton pupuk kompos
sebanyak 35 karung atau 1050 kg dengan harga Rp 100,- per kg. Setiap
bulannya, kotoran sapi yang dibutuhkan untuk menghasilkan 18,27 ton pupuk
kompos sebanyak 19.183,5 kg. Pada tahun pertama, jumlah kotoran sapi yang
127
dibutuhkan untuk menghasilkan 182,7 ton pupuk kompos selama 10 bulan
sebanyak 191.835 kg. Akumulasi biaya pembelian kotoran sapi di tahun
pertama sebesar Rp 19.183.500,-. Pada tahun berikutnya, jumlah kotoran sapi
yang dibutuhkan untuk menghasilkan 219,24 ton pupuk kompos selama 12
bulan sebanyak 230.202 kg. Akumulasi biaya pembelian kotoran sapi di tahun
kedua dan seterusnya sebesar Rp 23.020.200,-.
6. Cairan EM4 yang digunakan untuk menghasilkan satu ton pupuk kompos
sebanyak 450 ml dengan harga Rp 20,- per ml. Setiap bulannya, EM4 yang
dibutuhkan untuk menghasilkan 18,27 ton pupuk kompos sebanyak 8.221,5
ml. Pada tahun pertama, jumlah EM4 yang dibutuhkan untuk menghasilkan
182,7 ton pupuk kompos selama 10 bulan sebanyak 82.215 ml. Akumulasi
biaya pembelian EM4 di tahun pertama sebesar Rp 1.644.300,-. Pada tahun
berikutnya, jumlah EM4 yang dibutuhkan untuk menghasilkan 219,24 ton
pupuk kompos selama 12 bulan sebanyak 98.658 ml. Akumulasi biaya
pembelian EM4 di tahun kedua dan seterusnya sebesar Rp 1.973.160,-.
7. Molase yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu ton pupuk kompos
sebanyak 450 ml dengan harga Rp 10,- per ml. Setiap bulannya, molase yang
dibutuhkan untuk menghasilkan 18,27 ton pupuk kompos sebanyak 8.221,5
ml. Pada tahun pertama, jumlah molase yang dibutuhkan untuk menghasilkan
182,7 ton pupuk kompos selama 10 bulan sebanyak 82.215 ml. Akumulasi
biaya pembelian molase di tahun pertama sebesar Rp 822.150,-. Pada tahun
berikutnya, jumlah molase yang dibutuhkan untuk menghasilkan 219,24 ton
pupuk kompos selama 12 bulan sebanyak 98.658 ml. Akumulasi biaya
pembelian molase di tahun kedua dan seterusnya sebesar Rp 986.580,-.
8. Upah tenaga kerja yang diberikan kepada dua orang tenaga kerja produksinya
sebesar Rp 30.000,- per HOK per orang untuk setiap satu siklus produksi.
Pengerjaan proses produksi terdiri dari dua bagian yaitu pengolahan dan
pengayakan.
• Pengolahan
Pada tahap pengolahan, rata-rata membutuhkan 2 HOK untuk
menghasilkan satu ton pupuk kompos. Setiap bulannya, kebutuhan kerja
untuk menghasilkan 18,27 ton pupuk kompos rata-rata sebesar 36 HOK.
128
Pada tahun pertama, jumlah kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan
182,7 ton pupuk kompos selama 10 bulan sebesar 360 HOK. Beban kerja
yang ditanggung masing-masing tenaga kerja sebesar 180 HOK sehingga
diperoleh upah sebesar Rp 5.400.000,- per orang. Akumulasi upah kerja di
tahun pertama sebesar Rp 10.800.000,-.
Pada tahun kedua dan seterusnya, jumlah kerja yang dibutuhkan
untuk menghasilkan 219,4 ton pupuk kompos selama 12 bulan sebesar 432
HOK. Beban kerja yang ditanggung oleh setiap tenaga kerja sebesar 216
HOK sehingga diperoleh upah sebesar Rp 6.480.000,- per orang.
Akumulasi upah kerja di tahun kedua dan seterusnya sebesar Rp
12.960.000,-.
• Pengayakan
Pada tahap pengayakan, rata-rata membutuhkan 1 HOK untuk
menghasilkan satu ton pupuk kompos. Setiap bulannya, kebutuhan kerja
untuk menghasilkan 18,27 ton pupuk kompos rata-rata sebesar 18 HOK.
Pada tahun pertama, jumlah kerja yang dibutuhkan untuk menghasilkan
182,7 ton pupuk kompos selama 10 bulan sebesar 180 HOK. Beban kerja
yang ditanggung masing-masing tenaga kerja sebesar 90 HOK sehingga
diperoleh upah sebesar Rp 2.700.000,- per orang. Akumulasi upah kerja di
tahun pertama sebesar Rp 5.400.000,-.
Pada tahun kedua dan seterusnya, jumlah kerja yang dibutuhkan
untuk menghasilkan 219,4 ton pupuk kompos selama 12 bulan sebesar 216
HOK. Beban kerja yang ditanggung oleh setiap tenaga kerja sebesar 108
HOK sehingga diperoleh upah sebesar Rp 3.240.000,- per orang.
Akumulasi upah kerja di tahun kedua dan seterusnya sebesar Rp
6.480.000,-.
• Beban kerja per orang
Total beban kerja yang ditanggung di tahun pertama untuk setiap
tenaga kerja sebanyak 270 HOK dengan perolehan upah sebesar Rp
8.100.000,-. Total beban kerja yang ditanggung di tahun kedua dan
seterusnya untuk setiap tenaga kerja sebanyak 324 HOK dengan perolehan
upah sebesar Rp 9.720.000,-.
129
Tabel 22. Rincian Biaya Variabel pada Skenario Usaha II (Kapasitas 21
ton/bulan)
No. Uraian Satuan Jumlah Harga
Satuan (Rp)
Nilai (Rp)
Tahun 1 Tahun 2-10 Tahun 1 Tahun 2-10
1 Jerami Kg 7.308 8.769,6 375,00
2.740.500,00
3.288.600,00
2 Sekam bakar Kg 18.270 21.924 180,00
3.288.600,00
3.946.320,00
3 Dedak Kg 4.567,5 5.481 750,00
3.425.625,00
4.110.750,00
4 Dolomit Kg 548,1 657,72 500,00
274.050,00
328.860,00
5 Kotoran sapi Kg 191.835 230.202 100,00
19.183.500,00
23.020.200,00
6 EM4 ml 82.215 98.658 20,00
1.644.300,00
1.973.160,00
7 Molase ml 82.215 98.658 10,00
822.150,00
986.580,00
8 Upah tenaga kerja:
a. Pengolahan HOK per orang 180 216
30.000,00
10.800.000,00
12.960.000,00
b. Pengayakan HOK per orang 90 108
30.000,00
5.400.000,00
6.480.000,00
Total 47.578.725,00
57.094.470,00
Akumulasi biaya variabel yang dikeluarkan unit usaha di tahun pertama
sebesar Rp 47.578.725,-. Pada tahun berikutnya, total biaya variabel yang
dikeluarkan sebesar Rp 57.094.470,- per tahun. Pengeluaran terbesar digunakan
untuk pembelian bahan baku kotoran sapi. Hal ini dikarenakan jumlah kotoran
sapi yang dibutuhkan untuk menyeimbangkan kandungan C/N ratio pada
komposisi bahan-bahan limbah pertanian cukup besar sehingga biaya pembelian
menjadi besar.
d. Pajak Penghasilan
Komponen pengeluaran lainnya pada skenario usaha II ini yaitu
pengeluaran atas pajak penghasilan. Perhitungan pajak yang digunakan oleh unit
usaha masih sama dengan skenario I yang mengacu pada Undang-Undang
Republik Indonesia No.36 tahun 2008, pasal 31 E. Pada pasal tersebut berisikan
tarif wajib pajak bagi UMKM sebesar 12,5 persen dimana tarif pajak menjadi flat
setiap tahunnya. Berdasarkan perhitungan laba rugi, unit usaha sudah mulai
membayarkan pajak penghasilannya sejak tahun pertama usaha dimulai. Hal ini
dikarenakan pada tahun pertama sudah diperoleh laba atas kegiatan usahanya.
Besar pajak penghasilan di tahun pertama sebesar Rp 2.566.061,25-. Sedangkan di
130
tahun kedua dan seterusnya, pengeluaran atas pajak penghasilan lebih besar yaitu
Rp 3.085.638,28 pada tahun kedua hingga kesembilan dan Rp 4.303.222,28 pada
akhir umur usaha karena laba yang diperoleh pun lebih besar dari tahun pertama.
Rincian besarnya pajak penghasilan yang dikeluarkan setiap tahunnya pada
skenario usaha II dapat dilihat pada Tabel 23.
Tabel 23. Rincian Pajak Penghasilan pada Skenario Usaha II (Kapasitas 21 ton/bulan)
Tahun Laba Bersih Sebelum Pajak (Rp) Nilai Pajak (Rp) 1 20,528,490.00 2.566.061,252 24,685,106.20 3.085.638,28 3 24,685,106.20 3.085.638,28 4 24,685,106.20 3.085.638,28 5 24,685,106.20 3.085.638,28 6 24,685,106.20 3.085.638,287 24,685,106.20 3.085.638,288 24,685,106.20 3.085.638,289 24,685,106.20 3.085.638,28
10 34.425.778,20 4.303.222,28
6.2.2.3 Analisis Laba Rugi Usaha
Hasil perhitungan laba rugi pada skenario usaha II menunjukkan bahwa
kegiatan pembuatan pupuk kompos ini selalu mendapatkan keuntungan selama
umur usahanya. Perhitungan laba rugi pada skenario usaha II sama seperti
perhitungan pada skenario usaha I, hanya saja yang membedakan adalah besarnya
penerimaan pendapatan dan pengeluaran biaya operasional yang terjadi akibat
peningkatan kapasitas produksi pada usahanya. Berdasarkan hasil perhitungan
laba rugi usaha, tingkat perolehan laba di tahun pertama berbeda dengan di tahun
kedua dan seterusnya. Pada tahun pertama, unit usaha ini sudah dapat memperoleh
laba bersih sebesar Rp 17.962.428,75,-. Pada tahun kedua dan seterusnya,
perolehan laba bersih lebih besar dari tahun pertama mencapai Rp 21.599.467,93
dan pada akhir umur usaha, laba bersih yang diperoleh lebih besar lagi senilai Rp
30.122.555,93. Hal ini dikarenakan masa produksi usaha berlangsung penuh
selama 1 tahun dan diakhir umur usaha ada tambahan penerimaan dari nilai sisa
131
investasi. Akumulasi keseluruhan laba bersih yang diterima selama umur usaha
berlangsung pada skenario II ini sebesar Rp 220.880.728,08.
6.2.2.4 Analisis Kelayakan Finansial
Perhitungan analisis finansial pada skenario II menggunakan cara yang
sama seperti perhitungan pada skenario I, yaitu dengan mendiskontokan nilai net
benefit yang diperoleh pada tingkat discount factor yang berlaku sebesar 6,5
persen. Pendiskontoan net benefit tersebut sebagai dasar dalam perhitungan empat
kriteria investasi yang meliputi NPV, Net B/C, IRR, dan Payback Period. Hasil
analisis kelayakan finansial pada skenario usaha II dapat dilihat pada Tabel 24.
Tabel 24. Hasil Analisis Kelayakan Finansial pada Skenario Usaha II (Kapasitas 21 ton/bulan)
Kriteria Kelayakan Investasi JumlahNPV 138,322,490.83 Net B/C 5.91 IRR 96.77%PP 1.69 atau 1 tahun 8 bulan 8 hari
Berdasarkan hasil perhitungan empat kriteria investasi tersebut, diperoleh
hasil bahwa :
1. Nilai NPV yang diperoleh lebih dari nol (NPV>0) yaitu sebesar Rp
138.322.490,83. Artinya, jumlah manfaat bersih yang diterima unit usaha dari
kegiatan pembuatan pupuk kompos ini selama 10 tahun dengan tingkat
discount rate 6,5 persen sebesar Rp 138.322.490,83 sehingga usaha layak
untuk dijalankan.
2. Pada kriteria investasi kedua, nilai Net B/C yang diperoleh lebih dari satu (Net
B/C>1) yaitu sebesar 5,91. Artinya, setiap Rp 1,- biaya yang dikeluarkan
selama umur usaha mendatangkan manfaat sebesar Rp 5,91 sehingga usaha
juga layak untuk dijalankan.
3. Pada kriteria investasi ketiga, nilai IRR yang diperoleh lebih besar dari
discount rate yang berlaku (IRR>6,5%) yaitu sebesar 96,77 persen. Hal ini
menunjukkan tingkat pengembalian internal yang diperoleh dari kegiatan
pengusahaan pupuk kompos ini jauh lebih besar dibanding tingkat diskonto
132
yang berlaku sehingga unit usaha mendapatkan keuntungan dari adanya
kegiatan investasi tersebut dibandingkan hanya mendepositokan modal
investasinya di bank. Dengan demikian, usaha tetap layak untuk dijalankan.
4. Pada kriteria investasi yang terakhir, nilai Payback Period yang diperoleh
lebih kecil dari umur usaha (PP<5tahun) yaitu 1,69 tahun atau 1 tahun 8 bulan
8 hari. Hal ini berarti jangka waktu pengembalian untuk sejumlah nilai
investasi yang telah dikeluarkan yaitu selama 1,69 tahun atau 1 tahun 8 bulan
8 hari. Waktu yang diperlukan untuk mengembalikan nilai investasi tersebut
lebih pendek dari umur usaha sehingga dapat dikatakan usaha ini menjadi
layak untuk dijalankan.
Berdasarkan analisis kriteria investasi NPV, Net B/C, IRR, dan Payback
Period menunjukkan bahwa penambahan penggunaan investasi untuk
pengusahaan pembuatan pupuk kompos pada skenario II ini secara finansial layak
untuk dijalankan.
6.2.2.5 Analisis Switching Value
Perhitungan analisis switching value pada skenario II menggunakan cara
yang sama seperti perhitungan pada skenario I, yaitu dengan membuat nilai NPV
mendekati atau lebih besar dari nol sehingga usaha masih dapat dinyatakan layak
untuk dijalankan. Begitu juga dengan variabel sensitivitas yang dianalisis
switching value pada skenario II masih sama dengan skenario I yaitu variabel
harga bahan baku kotoran sapi, variabel jumlah produksi, dan variabel harga jual
pupuk kompos. Hasil analisis nilai pengganti berdasarkan kriteria investasi dapat
dilihat pada Tabel 25.
Tabel 25. Hasil Analisis Switching Value pada Skenario Usaha II (Kapasitas 21
ton/bulan)
Perubahan Kenaikan Harga K.Sapi Penurunan Produksi P.Kompos
Penurunan Harga Jual P.Kompos
Persentase 49,03% 22,29% 22,44%NPV 0,00 0,00 0,00Net B/C 1,00 1,00 1,00 IRR 6,50% 6,50% 6,50%PP 10,00 10,00 10,00
133
Berdasarkan hasil analisis switching value yang telah dilakukan, apabila
terjadi perubahan pada variabel bahan baku berupa kenaikan harga beli kotoran
sapi maka unit usaha akan masih dapat beroperasi selama dalam batas kenaikan
harga maksimal sebesar 48.63 persen dari biaya kotoran sapi yang dikeluarkan
tiap tahunnya. Peningkatan total biaya kotoran sapi yang mungkin terjadi pada
tahun pertama dari Rp 19.183.500,- sampai Rp 21.456.948,37 dan pada tahun
berikutnya dari Rp 23.020.200,- sampai menjadi Rp 44.810.724,95.
Pada variabel jumlah produksi, apabila terjadi penurunan jumlah produksi
pupuk maka unit usaha akan masih dapat beroperasi selama dalam batas
penurunan jumlah produksi sebesar 21,94 persen dari jumlah pupuk yang
diproduksi tiap tahunnya. Penurunan penerimaan penjualan pupuk kompos yang
mungkin terjadi pada tahun pertama dari Rp 82.215.000,- sampai Rp
78.963.314,69 dan pada tahun berikutnya dari Rp 98.658.000,- sampai menjadi
Rp 77.014.443,44.
Pada variabel harga jual, apabila terjadi penurunan harga jual pupuk maka
unit usaha akan masih dapat beroperasi selama dalam batas penurunan harga jual
sebesar 22,09 persen dari harga jual pupuk yang ditawarkan tiap tahunnya.
Penurunan penerimaan penjualan pupuk kompos yang mungkin terjadi pada tahun
pertama dari Rp 82.215.000,- sampai Rp 79.904.729,41 dan pada tahun
berikutnya dari Rp 98.658.000,- sampai menjadi Rp 76.514.541,34.
Dari sisi pengeluaran, apabila kenaikan harga kotoran sapi yang terjadi
lebih besar dari batas impas tersebut, maka akan menyebabkan pengusahaan
pupuk kompos ini menjadi tidak layak untuk dijalankan secara finansial.
Sedangkan dari sisi penerimaan, banyaknya pupuk kompos yang dihasilkan
selama ini menunjukkan hasil yang ekonomis karena telah berproduksi sesuai
dengan kapasitas optimalnya dan juga adanya kemitraan yang mencakup quality
control membuat hasil kualitas pupuk kompos yang dihasilkan terjaga sehingga
penurunan harga jual hampir belum pernah terjadi. Berdasarkan pengalaman
usaha selama ini, harga jual pupuk kompos terendah yang diterima sebesar Rp
450,- per kg dan harga jual pupuk kompos tertinggi hingga mencapai Rp 600,- per
kg sehingga dalam penelitian digunakan harga jual rata-rata sebesar Rp 450,- per
kg.
134
Dalam analisis switching value pada kondisi skenario usaha II, variabel
penurunan jumlah produksi merupakan variabel yang paling sensitif sehingga
memiliki risiko usaha paling besar dibandingkan dua variabel lainnya. Namun
demikian, adanya hubungan yang terjalin baik dengan pemasok bahan baku
membuat kontinuitas pasokan bahan baku tetap dapat terjaga sehingga
memperkecil risiko terjadinya perubahan dari sisi penerimaan dan unit usaha tetap
berada dalam batas kelayakannya.
6.2.3 Perbandingan Laba Rugi
Berdasarkan hasil perhitungan laba rugi yang dilakukan pada skenario I
dan skenario II, dapat dipastikan bahwa pengusahaan pupuk kompos pada kondisi
skenario II menghasilkan laba bersih yang lebih menguntungkan dibanding
perolehan laba bersih pada kondisi skenario I. Setiap tahunnya, jumlah laba bersih
yang diperoleh pada skenario II yaitu Rp 21.927.592,93 lebih besar dari laba
bersih pada skenario I yang hanya sebesar Rp 11.547.857,30. Demikian halnya
dengan total laba bersih yang diperoleh selama umur usaha pada kondisi skenario
II jauh lebih besar dari kondisi skenario I, yaitu pada skenario II sebesar Rp
224.107.290,58 dan pada skenario I hanya sebesar Rp 122.051.713,70. Besarnya
jumlah laba bersih pada skenario II dikarenakan adanya peningkatan penerimaan
penjualan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan tambahan pengeluaran
investasi yang dilakukan dalam rencana pengembangan usahanya. Dengan
demikian, rencana peningkatan kapasitas produksi pada pengusahaan pupuk
kompos ini akan membuat kondisi usaha jauh lebih baik dari kondisi usaha saat
ini. Perbandingan hasil laba rugi dapat dilihat pada Tabel 26.
135
Tabel 26. Perbandingan Hasil Laba Rugi
Tahun Laba Bersih
Skenario I (Rp) Skenario II (Rp) 1 9,597,910.00 18,235,866.25 2 11,547,857.30 21,927,592.93 3 11,547,857.30 21,927,592.93 4 11,547,857.30 21,927,592.93 5 11,547,857.30 21,927,592.93 6 11,547,857.30 21,927,592.93 7 11,547,857.30 21,927,592.93 8 11,547,857.30 21,927,592.93 9 11,547,857.30 21,927,592.93
10 20,070,945.30 30,450,680.93
Total 122,051,713.70 224,107,290.58
6.2.4 Perbandingan Hasil Kelayakan Finansial Cashflow
Hasil analisis finansial kedua skenario usaha menunjukkan bahwa
pengusahaan pupuk kompos KKT Lisung Kiwari secara finansial layak untuk
dijalankan. Rincian perbandingan hasil kelayakan finansial kedua skenario usaha
dapat dilihat pada Tabel 27.
Tabel 27. Perbandingan Hasil Kelayakan Finansial Kriteria Skenario I Skenario II
NPV 67,911,262.34 138,322,490.83
Net B/C 3.52 5.91
IRR 56.82% 96.77%
PP 2 tahun 10 bulan 2 hari 1 tahun 8 bulan 8 hari
Berdasarkan Tabel 27, skenario usaha II memiliki tingkat kelayakan yang
paling tinggi dibandingkan dengan skenario usaha I. Nilai NPV skenario II lebih
besar dari skenario I. Demikian juga dengan nilai Net B/C dan IRR, skenario II
menghasilkan Net B/C dan IRR yang lebih besar daripada skenario I. Dilihat dari
masa pengembalian biaya investasinya (payback periode), skenario II relatif lebih
cepat dibanding skenario I. Hal ini dikarenakan pada skenario II, kondisi usaha
melakukan peningkatan kapasitas produksi menjadi 21 ton per bulan untuk
menyerap semua permintaan yang terjadi dari LPS. Walaupun rencana
peningkatan kapasitas produksi pada skenario II membuat unit usaha berproduksi
136
dibawah kapasitas optimalnya akibat pesanan hanya sebanyak 18,27 ton per bulan
serta menambah pengeluaran biaya investasi, namun jumlah penerimaan
penjualan yang diperolehnya menghasilkan nilai yang lebih besar daripada
pengeluaran itu semua. Sedangkan pada skenario I, unit usaha telah berproduksi
sesuai kapasitas optimalnya sebanyak 12 ton per bulan akan tetapi besarnya
jumlah tersebut belum mampu memenuhi seluruh permintaan yang terjadi dari
LPS. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa skenario usaha II lebih
menguntungkan daripada skenario usaha I karena adanya pengembangan usaha
dapat memberikan tingkat perolehan manfaat yang lebih besar berupa tambahan
keuntungan secara finansial.
6.2.5 Perbandingan Hasil Analisis Switching Value
Analisis switching value yang dilakukan pada kedua skenario usaha
bertujuan untuk mengetahui batas maksimal kenaikan harga bahan baku kotoran
sapi serta batas maksimal penurunan jumlah produksi dan harga jual, agar masih
berada pada batas kelayakan usaha atau mencapai titik impasnya. Perbandingan
hasil switching value pada kedua skenario usaha tersebut dapat dilihat pada Tabel
28.
Tabel 28. Perbandingan Hasil Analisis Switching Value Kondisi Usaha Kenaikan Harga
K.Sapi (%) Penurunan Produksi
P.Kompos Penurunan Harga Jual
P.Kompos Skenario I 41.44% 16.40% 16.51%Skenario II 48.63% 21.94% 22.09%
Berdasarkan Tabel 28, kondisi usaha pada skenario II memiliki tingkat
kepekaan yang lebih rendah atau batas maksimal yang lebih tinggi terhadap
perubahan ketiga variabel yang dianalisis sensitivitas perubahannya dibandingkan
dengan skenario I. Pada skenario II, persentase batas kenaikan harga beli kotoran
sapi yang masih memberikan keuntungan sebesar 48,63 persen dan pada skenario
I sebesar 41,44 persen. Batas maksimal perubahan penurunan produksi pupuk
kompos pada skenario II yang masih memberikan keuntungan adalah sebesar
21,94 persen dan pada skenario I hanya sebesar 16,40 persen. Pada variabel harga
jual, skenario II memiliki batas maksimal perubahan penurunan harga jual yang
137
masih memberikan keuntungan adalah sebesar 22,09 persen dan skenario I hanya
sebesar 16,51 persen.
Jika dilihat pada masing-masing skenario, baik skenario I maupun
skenario II sama-sama menghadapi tingkat kepekaan yang paling tinggi pada
variabel penurunan produksi pupuk kompos. Hal ini menunjukkan kedua skenario
usaha lebih sensitif dalam menghadapi perubahan variabel tersebut. Sedangkan
jika dilihat perbandingannya diantara kedua skenario usaha, kondisi usaha pada
skenario I lebih sensitif dalam menghadapi perubahan ketiga variabel dibanding
skenario II. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa skenario II merupakan
skenario yang paling menguntungkan untuk diusahakan dengan tingkat
sensitivitas paling rendah terhadap kemungkinan perubahan biaya dan manfaat
melalui rencana pengembangan usaha yang meningkatkan kapasitas produksinya.
VII. PENUTUP
7.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka kesimpulan yang
dapat diambil adalah sebagai berikut:
1. Berdasarkan hasil analisis terhadap aspek-aspek non finansial, secara umum
pengusahaan pupuk kompos pada kondisi saat ini layak untuk dijalankan.
Dilihat dari aspek pasar, peluang pasar pupuk kompos masih terbuka karena
permintaan yang tinggi dan melebihi kapasitas produksi. Dilihat dari aspek
teknis, kegiatan pengusahaan pupuk kompos ini secara teknis pelaksanaannya
telah sesuai standar pengoperasian usaha pupuk kompos baik dalam proses
produksi maupun penggunaan teknologi yang ramah lingkungan. Dilihat dari
aspek manajemen dan hukum, kegiatan pengusahaan pupuk kompos telah
memiliki pembagian tugas yang jelas dan memiliki izin resmi serta kegiatan
usaha tergolong sederhana sehingga tidak memerlukan struktur organisasi
yang kompleks. Dilihat dari aspek sosial, ekonomi, dan budidaya, usaha
pupuk kompos ini mampu mewujudkan kemandirian petani terhadap
aksesibilitas pupuk, membuka kesempatan kerja di berbagai bidang,
meningkatkan perekonomian desa, dan mengubah sistem budidaya pertanian
yang mengarah ke pertanian organik. Dilihat dari aspek lingkungan, kegiatan
usaha ini mampu mengurangi jumlah limbah dan sebagai wujud dari bentuk
konservasi keanekaragaman hayati dengan memunculkan kembali varietas-
varietas lokal.
2. Hasil analisis aspek finansial menunjukkan bahwa kedua skenario usaha layak
untuk dijalankan berdasarkan kriteria investasi. Skenario usaha II memiliki
tingkat kelayakan yang lebih tinggi daripada skenario usaha I karena adanya
pengembangan usaha dapat memberikan tingkat perolehan manfaat yang lebih
besar berupa tambahan keuntungan secara finansial. Begitupun dengan hasil
analisis laba rugi yang menunjukkan nilai positif setiap tahunnya, dimana total
laba bersih yang diperoleh selama umur usaha pada skenario II jauh lebih
besar dari skenario I sehingga rencana peningkatan kapasitas produksi pada
139
skenario II akan membuat kondisi usaha jauh lebih baik dari kondisi usaha
saat ini.
3. Usaha pada kondisi pengembangan usaha (skenario II) memiliki tingkat
kepekaan yang lebih rendah atau batas maksimal yang lebih tinggi terhadap
kemungkinan perubahan biaya dan manfaat dibandingkan dengan kondisi
usaha saat ini (skenario I). Dengan demikian, kondisi pada pengembangan
usaha menjadi skenario yang paling menguntungkan untuk diusahakan.
7.2 Saran
1. Unit usaha sebaiknya melakukan pengembangan usaha dengan peningkatan
kapasitas produksi sebesar 21 ton per bulan agar dapat menyerap seluruh
permintaan dari LPS yang mencapai 18,27 ton per bulan.
2. Apabila rencana pengembangan usaha telah dilakukan, unit usaha sebaiknya
membuka jalur pemasaran yang lainnya sehingga dapat berproduksi pada
kapasitas optimal tanpa adanya sisa produk yang tidak terjual kepada LPS.
3. Unit usaha sebaiknya dapat terus menjaga sistem kemitraan yang terjalin
dengan LPS untuk menghindari risiko kerugian akibat penurunan pesanan
dimana unit usaha menghadapi tingkat sensitivitas paling tinggi pada variabel
penurunan jumlah produksi dan harga jual dengan cara mempertahankan
kualitas produk yang telah ada melalui pelaksanaan proses produksi yang
sesuai dengan standar pengoperasian usaha pupuk kompos dan kerjasama
yang baik dengan pemasok bahan baku.
4. Unit usaha sebaiknya melakukan perbaikan dalam pengelolaan atau
pencatatan administrasi dengan membuat laporan keuangan setiap bulannya
untuk dapat memisahkan antara pengeluran bersama koperasi dengan unit
usaha itu sendiri.
5. Untuk penelitian lanjutan dapat dilakukan analisis kelayakan pengusahaan
pupuk kompos tidak hanya sebatas pupuk komposnya saja tetapi sampai
dengan pupuk kompos kemasan yang terjadi di tingkat distributor. Dengan
demikian dapat dibandingkan pengelolaan usaha dalam kondisi mana yang
paling menguntungkan bagi pelaku usaha.
DAFTAR PUSTAKA
Aminah S, Soedarsono GB, Sastro Y. 2003. Teknologi Pengomposan. Jakarta: Balai Pengkajian Teknologi Pertanian.
Djuarnani N, Kristian, Setiawan BS. 2006. Cara Cepat Membuat Kompos. Jakarta: PT. Agromedia Pustaka.
Gittinger JP. 1986. Analisa Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Edisi Kedua. Slamet Sutomo dan Komet Mangiri. penerjemah Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Gustoro I. 2006. Sistem penunjang keputusan pendirian industri kompos studi kasus: TPA Galuga, Bogor [Skripsi]. Departemen Teknologi Industri Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Hadisuwito S. 2007. Membuat Pupuk Kompos Cair. Jakarta: Agromedia Pustaka Cetakan I, hal 4-6.
Hadiwiyoto S. 1983. Penanganan dan Pemanfaatan Sampah. Jakarta: Yayasan Idayu.
Hartatik W, Setyorini D, Agus F. 2008. Pupuk organik dan pupuk hayati pada sistem pertanian organik. Di dalam Seminar Nasional Sumberdaya Lahan dan Lingkungan Pertanian. Prosiding jilid II; Bogor, 7-8 Nov 2008. Bogor: Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. hlm 161-170.
Husnan S, Muhammad S. 2000. Studi Kelayakan Proyek. Edisi Keempat. Yogyakarta: UPP AMP YKPN.
Ibrahim J. 2003. Studi Kelayakan Bisnis. Jakarta: Rineka Cipta.
IFOAM (International Federation Organic Movement). 2002. Organic Agriculture Worldwide. Statistic and Future Prospects. The World Organic Trade Fair Nurnberg, BIO-FACH.
Indrasti NS. 2003. The Perspective of Solid Waste Management and Landfill Technology in Indonesia. Makalah. Abdichtung, Stillegung Und Nachsorge Von deponien 15 : 99, Nurnberg, Jerman.
Kadariah, Karlina L, Gray C. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Khaddafy M. 2009. Analisis kelayakan usaha pupuk organik di CV Saung Wira Kecamatan Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat [Skripsi]. Ekstensi Manajemen Agribisnis. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Murbandono L. 1993. Membuat Kompos. Jakarta: Penebar Swadaya, hal 3-13.
141
Nurmalina R, Sarianti T, Karyadi A. 2009. Studi Kelayakan Bisnis. Bogor : Departemen Agribisnis.
Oesman MR. 2007. Tuntunan, strategi dan kebijakan pengelolaan lingkungan pertanian di era globalisasi. Di dalam Seminar Nasional Sumberdaya Lahan dan Lingkungan Pertanian. Prosiding jilid I; Bogor, 7-8 Nov 2007. Bogor: Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. hlm 39-43.
Pirngadi K. 2008. Peran Bahan Organik dalam Peningkatan Produksi Padi Berkelanjutan Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
Salikin KA. 2003. Sistem Pertanian Berkelanjutan. Yogyakarta: Kanisius.
Samsudin, Manuwoto S. 2008. Panduan Pembuatan Kompos. Bogor: Pusat Kajian Buah Tropika LPPM IPB.
Siregar Y. 2009. Analisis kelayakan pengusahaan sapi perah dan pemanfaatan limbah untuk menghasilkan biogas dan pupuk kompos studi kasus: UPP Darul Fallah dan Fakultas Peternakan, IPB [Skripsi]. Departemen Agribisnis. Fakultas Ekonomi Dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor.
Suherman. 2005. Formulasi Pupuk Kompos Organik Berbasis Kompos Untuk Berbagai Tanaman [Skripsi]. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Sutanto R. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Yogyakarta: Kanisius.
Umar H. 2005. Studi Kelayakan Bisnis. Edisi Ketiga. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Winangun YW. 2005. Membangun Karakter Petani Organik Sukses dalam Era Globalisasi. Yogyakarta: Kanisius.
Zaini Z. 2008. Memacu Peningkatan Produktivitas Padi Sawah Melalui Inovasi Teknologi Budidaya Spesifik Lokasi dalam Era Revolusi Hijau Lestari. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Harga Pokok Produksi Pupuk Kompos per kg(untuk kapasitas Produksi 1 ton dalam 1 petakan)
No Uraian Satuan Volume Harga Satuan (Rp) Nilai (Rp) 1 Jerami kg 40 375.00 15,000.00 2 Sekam bakar kg 100 180.00 18,000.00 3 Dedak kg 25 750.00 18,750.00 4 Dolomit kg 3 500.00 1,500.00 5 Kotoran sapi kg 1,050 100.00 105,000.00 6 EM4 ml 450 20.00 9,000.00 7 Molase ml 450 10.00 4,500.00 8 Upah tenaga kerja: a. Pengolahan HOK 2 30,000.00 60,000.00 b. Pengayakan HOK 1 30,000.00 30,000.00
Total 261,750.00 Biaya produksi per kg 261.75
143
Lampiran 2. Cashflow Skenario Usaha I (Kapasitas Produksi 12 ton/bulan)
Uraian 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
INFLOW Penjualan Kompos 54,000,000.00 64,800,000.00 64,800,000.00 64,800,000.00 64,800,000.00 64,800,000.00 64,800,000.00 64,800,000.00 64,800,000.00 64,800,000.00
Penjualan S.Ayakan 300,000.00 360,000.00 360,000.00 360,000.00 360,000.00 360,000.00 360,000.00 360,000.00 360,000.00 360,000.00
Nilai Sisa 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 9,740,672.00
Total Inflow 54,300,000.00 65,160,000.00 65,160,000.00 65,160,000.00 65,160,000.00 65,160,000.00 65,160,000.00 65,160,000.00 65,160,000.00 74,900,672.00
OUTFLOW 1. Biaya Investasi Ijin usaha 500,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Gubuk Pengomposan 6,000,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 6,000,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Petakan pengomposan 9,000,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Gudang bahan baku 7,058,824.00 0.00 0.00 0.00 0.00 7,058,824.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Gudang pupuk kompos 16,941,176.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 16,941,176.00 0.00 0.00
Chopper 3,750,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 3,750,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Cangkul 100,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 100,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Sekop 100,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 100,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Ember 40,000.00 0.00 0.00 40,000.00 0.00 0.00 40,000.00 0.00 0.00 40,000.00
Alat penyiram 50,000.00 0.00 0.00 50,000.00 0.00 0.00 50,000.00 0.00 0.00 50,000.00
Saringan kawat 130,000.00 0.00 130,000.00 0.00 130,000.00 0.00 130,000.00 0.00 130,000.00 0.00
Thermometer 50,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Total Biaya Investasi 43,720,000.00 0.00 130,000.00 90,000.00 130,000.00 17,008,824.00 220,000.00 16,941,176.00 130,000.00 90,000.00
2. Biaya Operasional 2.1 Biaya Tetap Sewa lahan 113,516.00 113,516.00 113,516.00 113,516.00 113,516.00 113,516.00 113,516.00 113,516.00 113,516.00 113,516.00
Pemeliharaan bangunan 3,250,000.00 3,900,000.00 3,900,000.00 3,900,000.00 3,900,000.00 3,900,000.00 3,900,000.00 3,900,000.00 3,900,000.00 3,900,000.00
Listrik 500,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00
Komunikasi 416,666.67 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00
Karung plastik 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00
THR 2,083,333.33 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00
144
PBB 125,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00
Total Biaya Tetap 6,548,516.00 7,823,516.00 7,823,516.00 7,823,516.00 7,823,516.00 7,823,516.00 7,823,516.00 7,823,516.00 7,823,516.00 7,823,516.00
2.2 Biaya Variabel
Jerami 1,800,000.00 2,160,000.00 2,160,000.00 2,160,000.00 2,160,000.00 2,160,000.00 2,160,000.00 2,160,000.00 2,160,000.00 2,160,000.00
Sekam bakar 2,160,000.00 2,592,000.00 2,592,000.00 2,592,000.00 2,592,000.00 2,592,000.00 2,592,000.00 2,592,000.00 2,592,000.00 2,592,000.00
Dedak 2,250,000.00 2,700,000.00 2,700,000.00 2,700,000.00 2,700,000.00 2,700,000.00 2,700,000.00 2,700,000.00 2,700,000.00 2,700,000.00
Dolomit 180,000.00 216,000.00 216,000.00 216,000.00 216,000.00 216,000.00 216,000.00 216,000.00 216,000.00 216,000.00
Kotoran sapi 12,600,000.00 15,120,000.00 15,120,000.00 15,120,000.00 15,120,000.00 15,120,000.00 15,120,000.00 15,120,000.00 15,120,000.00 15,120,000.00
EM4 1,080,000.00 1,296,000.00 1,296,000.00 1,296,000.00 1,296,000.00 1,296,000.00 1,296,000.00 1,296,000.00 1,296,000.00 1,296,000.00
Molase 540,000.00 648,000.00 648,000.00 648,000.00 648,000.00 648,000.00 648,000.00 648,000.00 648,000.00 648,000.00
Upah tenaga kerja:
a. Pengolahan 7,200,000.00 8,640,000.00 8,640,000.00 8,640,000.00 8,640,000.00 8,640,000.00 8,640,000.00 8,640,000.00 8,640,000.00 8,640,000.00
b. Pengayakan 3,600,000.00 4,320,000.00 4,320,000.00 4,320,000.00 4,320,000.00 4,320,000.00 4,320,000.00 4,320,000.00 4,320,000.00 4,320,000.00
Total Biaya Variabel 31,410,000.00 37,692,000.00 37,692,000.00 37,692,000.00 37,692,000.00 37,692,000.00 37,692,000.00 37,692,000.00 37,692,000.00 37,692,000.00
Total Biaya Operasional 37,958,516.00 45,515,516.00 45,515,516.00 45,515,516.00 45,515,516.00 45,515,516.00 45,515,516.00 45,515,516.00 45,515,516.00 45,515,516.00
3. Pajak Penghasilan 1,332,067.50 1,602,818.90 1,602,818.90 1,602,818.90 1,602,818.90 1,602,818.90 1,602,818.90 1,602,818.90 1,602,818.90 2,820,402.90
Total Outflow 83,010,583.50 47,118,334.90 47,248,334.90 47,208,334.90 47,248,334.90 64,127,158.90 47,338,334.90 64,059,510.90 47,248,334.90 48,425,918.90
Net Benefit (28,710,583.50) 18,041,665.10 17,911,665.10 17,951,665.10 17,911,665.10 1,032,841.10 17,821,665.10 1,100,489.10 17,911,665.10 26,474,753.10
DF 6.5% 0.94 0.88 0.83 0.78 0.73 0.69 0.64 0.60 0.57 0.53
PV/Tahun (26,958,294.37) 15,906,601.51 14,828,155.69 13,954,243.80 13,073,381.11 707,841.25 11,468,352.25 664,949.84 10,162,241.01 14,103,790.26
PV Positif 94,869,556.71
PV Negatif (26,958,294.37)
NPV 67,911,262.34
Net B/C 3.52
IRR 56.82%
PP 2.84
145
Lampiran 3. Cashflow Skenario Usaha II (Kapasitas Produksi 21 ton/bulan)
Uraian 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
INFLOW
Penjualan Kompos 82,215,000.00 98,658,000.00 98,658,000.00 98,658,000.00 98,658,000.00 98,658,000.00 98,658,000.00 98,658,000.00 98,658,000.00 98,658,000.00
Penjualan S.Ayakan 456,750.00 548,100.00 548,100.00 548,100.00 548,100.00 548,100.00 548,100.00 548,100.00 548,100.00 548,100.00
Nilai Sisa 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 9,740,672.00
Total Inflow 82,671,750.00 99,206,100.00 99,206,100.00 99,206,100.00 99,206,100.00 99,206,100.00 99,206,100.00 99,206,100.00 99,206,100.00 108,946,772.00
OUTFLOW
1. Biaya Investasi
Ijin usaha 500,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Gubuk Pengomposan
a. Ukuran 50 m² 6,000,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 6,000,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00
b. Ukuran 37,5 m² 4,500,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 4,500,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Petakan pengomposan 15,750,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Gudang bahan baku 7,058,824.00 0.00 0.00 0.00 0.00 7,058,824.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Gudang pupuk kompos 16,941,176.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 16,941,176.00 0.00 0.00
Chopper 3,750,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 3,750,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Cangkul 100,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 100,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Sekop 100,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 100,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Ember 40,000.00 0.00 0.00 40,000.00 0.00 0.00 40,000.00 0.00 0.00 40,000.00
Alat penyiram 50,000.00 0.00 0.00 50,000.00 0.00 0.00 50,000.00 0.00 0.00 50,000.00
Saringan kawat 130,000.00 0.00 130,000.00 0.00 130,000.00 0.00 130,000.00 0.00 130,000.00 0.00
Thermometer 50,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Total Biaya Investasi 54,970,000.00 0.00 130,000.00 90,000.00 130,000.00 21,508,824.00 220,000.00 16,941,176.00 130,000.00 90,000.00
2. Biaya Operasional
2.1 Biaya Tetap
Sewa lahan 149,591.00 149,591.00 149,591.00 149,591.00 149,591.00 149,591.00 149,591.00 149,591.00 149,591.00 149,591.00
Pemeliharaan bangunan 4,187,500.00 5,025,000.00 5,025,000.00 5,025,000.00 5,025,000.00 5,025,000.00 5,025,000.00 5,025,000.00 5,025,000.00 5,025,000.00
Listrik 500,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00
Komunikasi 416,666.67 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00
Karung plastik 105,000.00 105,000.00 105,000.00 105,000.00 105,000.00 105,000.00 105,000.00 105,000.00 105,000.00 105,000.00
146
THR 2,083,333.33 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00
PBB 125,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00
Total Biaya Tetap 7,567,091.00 9,029,591.00 9,029,591.00 9,029,591.00 9,029,591.00 9,029,591.00 9,029,591.00 9,029,591.00 9,029,591.00 9,029,591.00
2.2 Biaya Variabel
Jerami 2,740,500.00 3,288,600.00 3,288,600.00 3,288,600.00 3,288,600.00 3,288,600.00 3,288,600.00 3,288,600.00 3,288,600.00 3,288,600.00
Sekam bakar 3,288,600.00 3,946,320.00 3,946,320.00 3,946,320.00 3,946,320.00 3,946,320.00 3,946,320.00 3,946,320.00 3,946,320.00 3,946,320.00
Dedak 3,425,625.00 4,110,750.00 4,110,750.00 4,110,750.00 4,110,750.00 4,110,750.00 4,110,750.00 4,110,750.00 4,110,750.00 4,110,750.00
Dolomit 274,050.00 328,860.00 328,860.00 328,860.00 328,860.00 328,860.00 328,860.00 328,860.00 328,860.00 328,860.00
Kotoran sapi 19,183,500.00 23,020,200.00 23,020,200.00 23,020,200.00 23,020,200.00 23,020,200.00 23,020,200.00 23,020,200.00 23,020,200.00 23,020,200.00
EM4 1,644,300.00 1,973,160.00 1,973,160.00 1,973,160.00 1,973,160.00 1,973,160.00 1,973,160.00 1,973,160.00 1,973,160.00 1,973,160.00
Molase 822,150.00 986,580.00 986,580.00 986,580.00 986,580.00 986,580.00 986,580.00 986,580.00 986,580.00 986,580.00
Upah tenaga kerja: 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
a. Pengolahan 10,800,000.00 12,960,000.00 12,960,000.00 12,960,000.00 12,960,000.00 12,960,000.00 12,960,000.00 12,960,000.00 12,960,000.00 12,960,000.00
b. Pengayakan 5,400,000.00 6,480,000.00 6,480,000.00 6,480,000.00 6,480,000.00 6,480,000.00 6,480,000.00 6,480,000.00 6,480,000.00 6,480,000.00
Total Biaya Variabel 47,578,725.00 57,094,470.00 57,094,470.00 57,094,470.00 57,094,470.00 57,094,470.00 57,094,470.00 57,094,470.00 57,094,470.00 57,094,470.00
Total Biaya Operasional 55,145,816.00 66,124,061.00 66,124,061.00 66,124,061.00 66,124,061.00 66,124,061.00 66,124,061.00 66,124,061.00 66,124,061.00 66,124,061.00
3. Pajak Penghasilan 2,566,061.25 3,085,638.28 3,085,638.28 3,085,638.28 3,085,638.28 3,085,638.28 3,085,638.28 3,085,638.28 3,085,638.28 4,303,222.28
Total Outflow 112,681,877.25 69,209,699.28 69,339,699.28 69,299,699.28 69,339,699.28 90,718,523.28 69,429,699.28 86,150,875.28 69,339,699.28 70,517,283.28
Net Benefit (30,010,127.25) 29,996,400.73 29,866,400.73 29,906,400.73 29,866,400.73 8,487,576.72 29,776,400.73 13,055,224.73 29,866,400.73 38,429,488.73
DF 6.5% 0.94 0.88 0.83 0.78 0.73 0.69 0.64 0.60 0.57 0.53
PV/Tahun (28,178,523.24) 26,446,605.15 24,724,872.72 23,246,935.85 21,798,913.55 5,816,825.92 19,161,298.92 7,888,373.94 16,944,798.85 20,472,389.18
PV Positif 166,501,014.07
PV Negatif (28,178,523.24)
NPV 138,322,490.83
Net B/C 5.91
IRR 96.77%
PP 1.69
147
Lampiran 4. Laporan Laba Rugi Skenario Usaha I (Kapasitas Produksi 12 ton/bulan)
Uraian 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 INFLOW Penjualan Kompos 54,000,000.00 64,800,000.00 64,800,000.00 64,800,000.00 64,800,000.00 64,800,000.00 64,800,000.00 64,800,000.00 64,800,000.00 64,800,000.00 Penjualan S.Ayakan 300,000.00 360,000.00 360,000.00 360,000.00 360,000.00 360,000.00 360,000.00 360,000.00 360,000.00 360,000.00 Nilai Sisa 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 9,740,672.00 Total Inflow 54,300,000.00 65,160,000.00 65,160,000.00 65,160,000.00 65,160,000.00 65,160,000.00 65,160,000.00 65,160,000.00 65,160,000.00 74,900,672.00 OUTFLOW 1. Biaya Tetap Sewa lahan 113,516.00 113,516.00 113,516.00 113,516.00 113,516.00 113,516.00 113,516.00 113,516.00 113,516.00 113,516.00 Pemeliharaan bangunan 3,250,000.00 3,900,000.00 3,900,000.00 3,900,000.00 3,900,000.00 3,900,000.00 3,900,000.00 3,900,000.00 3,900,000.00 3,900,000.00 Listrik 500,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 Komunikasi 416,666.67 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 Karung plastik 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 THR 2,083,333.33 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 PBB 125,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 Penyusutan peralatan* 5,684,944.00 6,821,932.80 6,821,932.80 6,821,932.80 6,821,932.80 6,821,932.80 6,821,932.80 6,821,932.80 6,821,932.80 6,821,932.80 Total Biaya Tetap 12,233,460.00 14,645,448.80 14,645,448.80 14,645,448.80 14,645,448.80 14,645,448.80 14,645,448.80 14,645,448.80 14,645,448.80 14,645,448.80 2. Biaya Variabel Jerami 1,800,000.00 2,160,000.00 2,160,000.00 2,160,000.00 2,160,000.00 2,160,000.00 2,160,000.00 2,160,000.00 2,160,000.00 2,160,000.00 Sekam bakar 2,160,000.00 2,592,000.00 2,592,000.00 2,592,000.00 2,592,000.00 2,592,000.00 2,592,000.00 2,592,000.00 2,592,000.00 2,592,000.00 Dedak 2,250,000.00 2,700,000.00 2,700,000.00 2,700,000.00 2,700,000.00 2,700,000.00 2,700,000.00 2,700,000.00 2,700,000.00 2,700,000.00 Dolomit 180,000.00 216,000.00 216,000.00 216,000.00 216,000.00 216,000.00 216,000.00 216,000.00 216,000.00 216,000.00 Kotoran sapi 12,600,000.00 15,120,000.00 15,120,000.00 15,120,000.00 15,120,000.00 15,120,000.00 15,120,000.00 15,120,000.00 15,120,000.00 15,120,000.00 EM4 1,080,000.00 1,296,000.00 1,296,000.00 1,296,000.00 1,296,000.00 1,296,000.00 1,296,000.00 1,296,000.00 1,296,000.00 1,296,000.00 Molase 540,000.00 648,000.00 648,000.00 648,000.00 648,000.00 648,000.00 648,000.00 648,000.00 648,000.00 648,000.00 Upah tenaga kerja: a. Pengolahan 7,200,000.00 8,640,000.00 8,640,000.00 8,640,000.00 8,640,000.00 8,640,000.00 8,640,000.00 8,640,000.00 8,640,000.00 8,640,000.00 b. Pengayakan 3,600,000.00 4,320,000.00 4,320,000.00 4,320,000.00 4,320,000.00 4,320,000.00 4,320,000.00 4,320,000.00 4,320,000.00 4,320,000.00 Total Biaya Variabel 31,410,000.00 37,692,000.00 37,692,000.00 37,692,000.00 37,692,000.00 37,692,000.00 37,692,000.00 37,692,000.00 37,692,000.00 37,692,000.00 Total Outflow 43,643,460.00 52,337,448.80 52,337,448.80 52,337,448.80 52,337,448.80 52,337,448.80 52,337,448.80 52,337,448.80 52,337,448.80 52,337,448.80 EBIT 10,656,540.00 12,822,551.20 12,822,551.20 12,822,551.20 12,822,551.20 12,822,551.20 12,822,551.20 12,822,551.20 12,822,551.20 22,563,223.20 Biaya Bunga 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 EBT 10,656,540.00 12,822,551.20 12,822,551.20 12,822,551.20 12,822,551.20 12,822,551.20 12,822,551.20 12,822,551.20 12,822,551.20 22,563,223.20 Pajak Penghasilan 1,332,067.50 1,602,818.90 1,602,818.90 1,602,818.90 1,602,818.90 1,602,818.90 1,602,818.90 1,602,818.90 1,602,818.90 2,820,402.90 Laba Bersih Setelah Pajak 9,324,472.50 11,219,732.30 11,219,732.30 11,219,732.30 11,219,732.30 11,219,732.30 11,219,732.30 11,219,732.30 11,219,732.30 19,742,820.30
148
Lampiran 5. Laporan Laba Rugi Skenario II (Kapasitas Produksi 21 ton/bulan)
Uraian 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 INFLOW Penjualan Kompos 82,215,000.00 98,658,000.00 98,658,000.00 98,658,000.00 98,658,000.00 98,658,000.00 98,658,000.00 98,658,000.00 98,658,000.00 98,658,000.00 Penjualan S.Ayakan 456,750.00 548,100.00 548,100.00 548,100.00 548,100.00 548,100.00 548,100.00 548,100.00 548,100.00 548,100.00 Nilai Sisa 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 9,740,672.00 Total Inflow 82,671,750.00 99,206,100.00 99,206,100.00 99,206,100.00 99,206,100.00 99,206,100.00 99,206,100.00 99,206,100.00 99,206,100.00 108,946,772.00 OUTFLOW 1. Biaya Tetap Sewa lahan 149,591.00 149,591.00 149,591.00 149,591.00 149,591.00 149,591.00 149,591.00 149,591.00 149,591.00 149,591.00 Pemeliharaan bangunan 4,187,500.00 5,025,000.00 5,025,000.00 5,025,000.00 5,025,000.00 5,025,000.00 5,025,000.00 5,025,000.00 5,025,000.00 5,025,000.00 Listrik 500,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 Komunikasi 416,666.67 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 Karung plastik 105,000.00 105,000.00 105,000.00 105,000.00 105,000.00 105,000.00 105,000.00 105,000.00 105,000.00 105,000.00 THR 2,083,333.33 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 PBB 125,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 Penyusutan peralatan* 6,997,444.00 8,396,932.80 8,396,932.80 8,396,932.80 8,396,932.80 8,396,932.80 8,396,932.80 8,396,932.80 8,396,932.80 8,396,932.80 Total Biaya Tetap 14,564,535.00 17,426,523.80 17,426,523.80 17,426,523.80 17,426,523.80 17,426,523.80 17,426,523.80 17,426,523.80 17,426,523.80 17,426,523.80 2. Biaya Variabel Jerami 2,740,500.00 3,288,600.00 3,288,600.00 3,288,600.00 3,288,600.00 3,288,600.00 3,288,600.00 3,288,600.00 3,288,600.00 3,288,600.00 Sekam bakar 3,288,600.00 3,946,320.00 3,946,320.00 3,946,320.00 3,946,320.00 3,946,320.00 3,946,320.00 3,946,320.00 3,946,320.00 3,946,320.00 Dedak 3,425,625.00 4,110,750.00 4,110,750.00 4,110,750.00 4,110,750.00 4,110,750.00 4,110,750.00 4,110,750.00 4,110,750.00 4,110,750.00 Dolomit 274,050.00 328,860.00 328,860.00 328,860.00 328,860.00 328,860.00 328,860.00 328,860.00 328,860.00 328,860.00 Kotoran sapi 19,183,500.00 23,020,200.00 23,020,200.00 23,020,200.00 23,020,200.00 23,020,200.00 23,020,200.00 23,020,200.00 23,020,200.00 23,020,200.00 EM4 1,644,300.00 1,973,160.00 1,973,160.00 1,973,160.00 1,973,160.00 1,973,160.00 1,973,160.00 1,973,160.00 1,973,160.00 1,973,160.00 Molase 822,150.00 986,580.00 986,580.00 986,580.00 986,580.00 986,580.00 986,580.00 986,580.00 986,580.00 986,580.00 Upah tenaga kerja: 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 a. Pengolahan 10,800,000.00 12,960,000.00 12,960,000.00 12,960,000.00 12,960,000.00 12,960,000.00 12,960,000.00 12,960,000.00 12,960,000.00 12,960,000.00 b. Pengayakan 5,400,000.00 6,480,000.00 6,480,000.00 6,480,000.00 6,480,000.00 6,480,000.00 6,480,000.00 6,480,000.00 6,480,000.00 6,480,000.00 Total Biaya Variabel 47,578,725.00 57,094,470.00 57,094,470.00 57,094,470.00 57,094,470.00 57,094,470.00 57,094,470.00 57,094,470.00 57,094,470.00 57,094,470.00 Total Outflow 62,143,260.00 74,520,993.80 74,520,993.80 74,520,993.80 74,520,993.80 74,520,993.80 74,520,993.80 74,520,993.80 74,520,993.80 74,520,993.80 EBIT 20,528,490.00 24,685,106.20 24,685,106.20 24,685,106.20 24,685,106.20 24,685,106.20 24,685,106.20 24,685,106.20 24,685,106.20 34,425,778.20 Biaya Bunga 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 EBT 20,528,490.00 24,685,106.20 24,685,106.20 24,685,106.20 24,685,106.20 24,685,106.20 24,685,106.20 24,685,106.20 24,685,106.20 34,425,778.20 Pajak Penghasilan 2,566,061.25 3,085,638.28 3,085,638.28 3,085,638.28 3,085,638.28 3,085,638.28 3,085,638.28 3,085,638.28 3,085,638.28 4,303,222.28 Laba Bersih Setelah Pajak 17,962,428.75 21,599,467.93 21,599,467.93 21,599,467.93 21,599,467.93 21,599,467.93 21,599,467.93 21,599,467.93 21,599,467.93 30,122,555.93
149
Lampiran 6. Cashflow Analisis Switching Value Kenaikan Biaya Variabel Skenario Usaha I (Kapasitas Produksi 12 ton/bulan)
Uraian 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
INFLOW Penjualan Kompos 54,000,000.00 64,800,000.00 64,800,000.00 64,800,000.00 64,800,000.00 64,800,000.00 64,800,000.00 64,800,000.00 64,800,000.00 64,800,000.00
Penjualan S.Ayakan 300,000.00 360,000.00 360,000.00 360,000.00 360,000.00 360,000.00 360,000.00 360,000.00 360,000.00 360,000.00
Nilai Sisa 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 9,740,672.00
Total Inflow 54,300,000.00 65,160,000.00 65,160,000.00 65,160,000.00 65,160,000.00 65,160,000.00 65,160,000.00 65,160,000.00 65,160,000.00 74,900,672.00
OUTFLOW 1. Biaya Investasi Ijin usaha 500,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Gubuk Pengomposan 6,000,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 6,000,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Petakan pengomposan 9,000,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Gudang bahan baku 7,058,824.00 0.00 0.00 0.00 0.00 7,058,824.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Gudang pupuk kompos 16,941,176.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 16,941,176.00 0.00 0.00
Chopper 3,750,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 3,750,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Cangkul 100,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 100,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Sekop 100,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 100,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Ember 40,000.00 0.00 0.00 40,000.00 0.00 0.00 40,000.00 0.00 0.00 40,000.00
Alat penyiram 50,000.00 0.00 0.00 50,000.00 0.00 0.00 50,000.00 0.00 0.00 50,000.00
Saringan kawat 130,000.00 0.00 130,000.00 0.00 130,000.00 0.00 130,000.00 0.00 130,000.00 0.00
Thermometer 50,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Total Biaya Investasi 43,720,000.00 0.00 130,000.00 90,000.00 130,000.00 17,008,824.00 220,000.00 16,941,176.00 130,000.00 90,000.00
2. Biaya Operasional 2.1 Biaya Tetap Sewa lahan 113,516.00 113,516.00 113,516.00 113,516.00 113,516.00 113,516.00 113,516.00 113,516.00 113,516.00 113,516.00
Pemeliharaan bangunan 3,250,000.00 3,900,000.00 3,900,000.00 3,900,000.00 3,900,000.00 3,900,000.00 3,900,000.00 3,900,000.00 3,900,000.00 3,900,000.00
Listrik 500,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00
Komunikasi 416,666.67 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00
Karung plastik 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00
THR 2,083,333.33 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00
150
PBB 125,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00
Total Biaya Tetap 6,548,516.00 7,823,516.00 7,823,516.00 7,823,516.00 7,823,516.00 7,823,516.00 7,823,516.00 7,823,516.00 7,823,516.00 7,823,516.00
2.2 Biaya Variabel
Jerami 1,800,000.00 2,160,000.00 2,160,000.00 2,160,000.00 2,160,000.00 2,160,000.00 2,160,000.00 2,160,000.00 2,160,000.00 2,160,000.00
Sekam bakar 2,160,000.00 2,592,000.00 2,592,000.00 2,592,000.00 2,592,000.00 2,592,000.00 2,592,000.00 2,592,000.00 2,592,000.00 2,592,000.00
Dedak 2,250,000.00 2,700,000.00 2,700,000.00 2,700,000.00 2,700,000.00 2,700,000.00 2,700,000.00 2,700,000.00 2,700,000.00 2,700,000.00
Dolomit 180,000.00 216,000.00 216,000.00 216,000.00 216,000.00 216,000.00 216,000.00 216,000.00 216,000.00 216,000.00
Kotoran sapi 13,716,179.61 25,818,347.38 25,818,347.38 25,818,347.38 25,818,347.38 25,818,347.38 25,818,347.38 25,818,347.38 25,818,347.38 25,818,347.38
EM4 1,080,000.00 1,296,000.00 1,296,000.00 1,296,000.00 1,296,000.00 1,296,000.00 1,296,000.00 1,296,000.00 1,296,000.00 1,296,000.00
Molase 540,000.00 648,000.00 648,000.00 648,000.00 648,000.00 648,000.00 648,000.00 648,000.00 648,000.00 648,000.00
Upah tenaga kerja:
a. Pengolahan 7,200,000.00 8,640,000.00 8,640,000.00 8,640,000.00 8,640,000.00 8,640,000.00 8,640,000.00 8,640,000.00 8,640,000.00 8,640,000.00
b. Pengayakan 3,600,000.00 4,320,000.00 4,320,000.00 4,320,000.00 4,320,000.00 4,320,000.00 4,320,000.00 4,320,000.00 4,320,000.00 4,320,000.00
Total Biaya Variabel 32,526,179.61 48,390,347.38 48,390,347.38 48,390,347.38 48,390,347.38 48,390,347.38 48,390,347.38 48,390,347.38 48,390,347.38 48,390,347.38
Total Biaya Operasional 39,074,695.61 56,213,863.38 56,213,863.38 56,213,863.38 56,213,863.38 56,213,863.38 56,213,863.38 56,213,863.38 56,213,863.38 56,213,863.38
3. Pajak Penghasilan 1,332,067.50 1,602,818.90 1,602,818.90 1,602,818.90 1,602,818.90 1,602,818.90 1,602,818.90 1,602,818.90 1,602,818.90 2,820,402.90
Total Outflow 84,126,763.11 57,816,682.28 57,946,682.28 57,906,682.28 57,946,682.28 74,825,506.28 58,036,682.28 74,757,858.28 57,946,682.28 59,124,266.28
Net Benefit (29,826,763.11) 7,343,317.72 7,213,317.72 7,253,317.72 7,213,317.72 (9,665,506.28) 7,123,317.72 (9,597,858.28) 7,213,317.72 15,776,405.72
DF 6.5% 0.94 0.88 0.83 0.78 0.73 0.69 0.64 0.60 0.57 0.53
PV/Tahun (28,006,350.34) 6,474,304.24 5,971,538.52 5,638,171.35 5,264,862.37 (6,624,101.23) 4,583,899.22 (5,799,325.31) 4,092,499.09 8,404,502.07
PV Positif 40,429,776.88
PV Negatif (40,429,776.88)
NPV 0.00
Net B/C 1.00
IRR 6.50%
PP 10.00
151
Lampiran 7. Cashflow Analisis Switching Value Penurunan Produksi Skenario Usaha I (Kapasitas Produksi 12 ton/bulan)
Uraian 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
INFLOW Penjualan Kompos 52,403,541.95 54,173,808.71 54,173,808.71 54,173,808.71 54,173,808.71 54,173,808.71 54,173,808.71 54,173,808.71 54,173,808.71 54,173,808.71
Penjualan S.Ayakan 300,000.00 360,000.00 360,000.00 360,000.00 360,000.00 360,000.00 360,000.00 360,000.00 360,000.00 360,000.00
Nilai Sisa 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 9,740,672.00
Total Inflow 52,703,541.95 54,533,808.71 54,533,808.71 54,533,808.71 54,533,808.71 54,533,808.71 54,533,808.71 54,533,808.71 54,533,808.71 64,274,480.71
OUTFLOW 1. Biaya Investasi Ijin usaha 500,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Gubuk Pengomposan 6,000,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 6,000,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Petakan pengomposan 9,000,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Gudang bahan baku 7,058,824.00 0.00 0.00 0.00 0.00 7,058,824.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Gudang pupuk kompos 16,941,176.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 16,941,176.00 0.00 0.00
Chopper 3,750,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 3,750,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Cangkul 100,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 100,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Sekop 100,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 100,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Ember 40,000.00 0.00 0.00 40,000.00 0.00 0.00 40,000.00 0.00 0.00 40,000.00
Alat penyiram 50,000.00 0.00 0.00 50,000.00 0.00 0.00 50,000.00 0.00 0.00 50,000.00
Saringan kawat 130,000.00 0.00 130,000.00 0.00 130,000.00 0.00 130,000.00 0.00 130,000.00 0.00
Thermometer 50,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Total Biaya Investasi 43,720,000.00 0.00 130,000.00 90,000.00 130,000.00 17,008,824.00 220,000.00 16,941,176.00 130,000.00 90,000.00
2. Biaya Operasional 2.1 Biaya Tetap Sewa lahan 113,516.00 113,516.00 113,516.00 113,516.00 113,516.00 113,516.00 113,516.00 113,516.00 113,516.00 113,516.00
Pemeliharaan bangunan 3,250,000.00 3,900,000.00 3,900,000.00 3,900,000.00 3,900,000.00 3,900,000.00 3,900,000.00 3,900,000.00 3,900,000.00 3,900,000.00
Listrik 500,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00
Komunikasi 416,666.67 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00
Karung plastik 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00
THR 2,083,333.33 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00
152
PBB 125,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00
Total Biaya Tetap 6,548,516.00 7,823,516.00 7,823,516.00 7,823,516.00 7,823,516.00 7,823,516.00 7,823,516.00 7,823,516.00 7,823,516.00 7,823,516.00
2.2 Biaya Variabel
Jerami 1,800,000.00 2,160,000.00 2,160,000.00 2,160,000.00 2,160,000.00 2,160,000.00 2,160,000.00 2,160,000.00 2,160,000.00 2,160,000.00
Sekam bakar 2,160,000.00 2,592,000.00 2,592,000.00 2,592,000.00 2,592,000.00 2,592,000.00 2,592,000.00 2,592,000.00 2,592,000.00 2,592,000.00
Dedak 2,250,000.00 2,700,000.00 2,700,000.00 2,700,000.00 2,700,000.00 2,700,000.00 2,700,000.00 2,700,000.00 2,700,000.00 2,700,000.00
Dolomit 180,000.00 216,000.00 216,000.00 216,000.00 216,000.00 216,000.00 216,000.00 216,000.00 216,000.00 216,000.00
Kotoran sapi 12,600,000.00 15,120,000.00 15,120,000.00 15,120,000.00 15,120,000.00 15,120,000.00 15,120,000.00 15,120,000.00 15,120,000.00 15,120,000.00
EM4 1,080,000.00 1,296,000.00 1,296,000.00 1,296,000.00 1,296,000.00 1,296,000.00 1,296,000.00 1,296,000.00 1,296,000.00 1,296,000.00
Molase 540,000.00 648,000.00 648,000.00 648,000.00 648,000.00 648,000.00 648,000.00 648,000.00 648,000.00 648,000.00
Upah tenaga kerja:
a. Pengolahan 7,200,000.00 8,640,000.00 8,640,000.00 8,640,000.00 8,640,000.00 8,640,000.00 8,640,000.00 8,640,000.00 8,640,000.00 8,640,000.00
b. Pengayakan 3,600,000.00 4,320,000.00 4,320,000.00 4,320,000.00 4,320,000.00 4,320,000.00 4,320,000.00 4,320,000.00 4,320,000.00 4,320,000.00
Total Biaya Variabel 31,410,000.00 37,692,000.00 37,692,000.00 37,692,000.00 37,692,000.00 37,692,000.00 37,692,000.00 37,692,000.00 37,692,000.00 37,692,000.00
Total Biaya Operasional 37,958,516.00 45,515,516.00 45,515,516.00 45,515,516.00 45,515,516.00 45,515,516.00 45,515,516.00 45,515,516.00 45,515,516.00 45,515,516.00
3. Pajak Penghasilan 1,332,067.50 1,602,818.90 1,602,818.90 1,602,818.90 1,602,818.90 1,602,818.90 1,602,818.90 1,602,818.90 1,602,818.90 2,820,402.90
Total Outflow 83,010,583.50 47,118,334.90 47,248,334.90 47,208,334.90 47,248,334.90 64,127,158.90 47,338,334.90 64,059,510.90 47,248,334.90 48,425,918.90
Net Benefit (30,307,041.55) 7,415,473.81 7,285,473.81 7,325,473.81 7,285,473.81 (9,593,350.19) 7,195,473.81 (9,525,702.19) 7,285,473.81 15,848,561.81
DF 6.5% 0.94 0.88 0.83 0.78 0.73 0.69 0.64 0.60 0.57 0.53
PV/Tahun (28,457,316.01) 6,537,921.32 6,031,272.88 5,694,259.94 5,317,527.72 (6,574,650.20) 4,630,332.11 (5,755,726.35) 4,133,437.08 8,442,941.50
PV Positif 40,787,692.56
PV Negatif (40,787,692.56)
NPV 0.00
Net B/C 1.00
IRR 6.5%
PP 10.00
153
Lampiran 8. Cashflow Analisis Switching Value Penurunan Harga Jual Skenario Usaha I (Kapasitas Produksi 12 ton/bulan)
Uraian 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
INFLOW Penjualan Kompos 52,883,820.42 54,101,652.62 54,101,652.62 54,101,652.62 54,101,652.62 54,101,652.62 54,101,652.62 54,101,652.62 54,101,652.62 54,101,652.62
Penjualan S.Ayakan 300,000.00 360,000.00 360,000.00 360,000.00 360,000.00 360,000.00 360,000.00 360,000.00 360,000.00 360,000.00
Nilai Sisa 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 9,740,672.00
Total Inflow 53,183,820.42 54,461,652.62 54,461,652.62 54,461,652.62 54,461,652.62 54,461,652.62 54,461,652.62 54,461,652.62 54,461,652.62 64,202,324.62
OUTFLOW 1. Biaya Investasi Ijin usaha 500,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Gubuk Pengomposan 6,000,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 6,000,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Petakan pengomposan 9,000,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Gudang bahan baku 7,058,824.00 0.00 0.00 0.00 0.00 7,058,824.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Gudang pupuk kompos 16,941,176.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 16,941,176.00 0.00 0.00
Chopper 3,750,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 3,750,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Cangkul 100,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 100,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Sekop 100,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 100,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Ember 40,000.00 0.00 0.00 40,000.00 0.00 0.00 40,000.00 0.00 0.00 40,000.00
Alat penyiram 50,000.00 0.00 0.00 50,000.00 0.00 0.00 50,000.00 0.00 0.00 50,000.00
Saringan kawat 130,000.00 0.00 130,000.00 0.00 130,000.00 0.00 130,000.00 0.00 130,000.00 0.00
Thermometer 50,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Total Biaya Investasi 43,720,000.00 0.00 130,000.00 90,000.00 130,000.00 17,008,824.00 220,000.00 16,941,176.00 130,000.00 90,000.00
2. Biaya Operasional 2.1 Biaya Tetap Sewa lahan 113,516.00 113,516.00 113,516.00 113,516.00 113,516.00 113,516.00 113,516.00 113,516.00 113,516.00 113,516.00
Pemeliharaan bangunan 3,250,000.00 3,900,000.00 3,900,000.00 3,900,000.00 3,900,000.00 3,900,000.00 3,900,000.00 3,900,000.00 3,900,000.00 3,900,000.00
Listrik 500,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00
Komunikasi 416,666.67 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00
Karung plastik 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00 60,000.00
THR 2,083,333.33 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00
154
PBB 125,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00
Total Biaya Tetap 6,548,516.00 7,823,516.00 7,823,516.00 7,823,516.00 7,823,516.00 7,823,516.00 7,823,516.00 7,823,516.00 7,823,516.00 7,823,516.00
2.2 Biaya Variabel
Jerami 1,800,000.00 2,160,000.00 2,160,000.00 2,160,000.00 2,160,000.00 2,160,000.00 2,160,000.00 2,160,000.00 2,160,000.00 2,160,000.00
Sekam bakar 2,160,000.00 2,592,000.00 2,592,000.00 2,592,000.00 2,592,000.00 2,592,000.00 2,592,000.00 2,592,000.00 2,592,000.00 2,592,000.00
Dedak 2,250,000.00 2,700,000.00 2,700,000.00 2,700,000.00 2,700,000.00 2,700,000.00 2,700,000.00 2,700,000.00 2,700,000.00 2,700,000.00
Dolomit 180,000.00 216,000.00 216,000.00 216,000.00 216,000.00 216,000.00 216,000.00 216,000.00 216,000.00 216,000.00
Kotoran sapi 12,600,000.00 15,120,000.00 15,120,000.00 15,120,000.00 15,120,000.00 15,120,000.00 15,120,000.00 15,120,000.00 15,120,000.00 15,120,000.00
EM4 1,080,000.00 1,296,000.00 1,296,000.00 1,296,000.00 1,296,000.00 1,296,000.00 1,296,000.00 1,296,000.00 1,296,000.00 1,296,000.00
Molase 540,000.00 648,000.00 648,000.00 648,000.00 648,000.00 648,000.00 648,000.00 648,000.00 648,000.00 648,000.00
Upah tenaga kerja:
a. Pengolahan 7,200,000.00 8,640,000.00 8,640,000.00 8,640,000.00 8,640,000.00 8,640,000.00 8,640,000.00 8,640,000.00 8,640,000.00 8,640,000.00
b. Pengayakan 3,600,000.00 4,320,000.00 4,320,000.00 4,320,000.00 4,320,000.00 4,320,000.00 4,320,000.00 4,320,000.00 4,320,000.00 4,320,000.00
Total Biaya Variabel 31,410,000.00 37,692,000.00 37,692,000.00 37,692,000.00 37,692,000.00 37,692,000.00 37,692,000.00 37,692,000.00 37,692,000.00 37,692,000.00
Total Biaya Operasional 37,958,516.00 45,515,516.00 45,515,516.00 45,515,516.00 45,515,516.00 45,515,516.00 45,515,516.00 45,515,516.00 45,515,516.00 45,515,516.00
3. Pajak Penghasilan 1,332,067.50 1,602,818.90 1,602,818.90 1,602,818.90 1,602,818.90 1,602,818.90 1,602,818.90 1,602,818.90 1,602,818.90 2,820,402.90
Total Outflow 83,010,583.50 47,118,334.90 47,248,334.90 47,208,334.90 47,248,334.90 64,127,158.90 47,338,334.90 64,059,510.90 47,248,334.90 48,425,918.90
Net Benefit (29,826,763.08) 7,343,317.72 7,213,317.72 7,253,317.72 7,213,317.72 (9,665,506.28) 7,123,317.72 (9,597,858.28) 7,213,317.72 15,776,405.72
DF 6.5% 0.94 0.88 0.83 0.78 0.73 0.69 0.64 0.60 0.57 0.53
PV/Tahun (28,006,350.31) 6,474,304.23 5,971,538.52 5,638,171.35 5,264,862.37 (6,624,101.23) 4,583,899.22 (5,799,325.31) 4,092,499.09 8,404,502.07
PV Positif 40,429,776.85
PV Negatif (40,429,776.85)
NPV 0.00
Net B/C 1.00
IRR 6.50%
PP 10.00
155
Lampiran 9. Cashflow Analisis Switching Value Kenaikan Biaya Variabel Skenario Usaha II (Kapasitas Produksi 21 ton/bulan)
Uraian 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
INFLOW
Penjualan Kompos 82,215,000.00 98,658,000.00 98,658,000.00 98,658,000.00 98,658,000.00 98,658,000.00 98,658,000.00 98,658,000.00 98,658,000.00 98,658,000.00
Penjualan S.Ayakan 456,750.00 548,100.00 548,100.00 548,100.00 548,100.00 548,100.00 548,100.00 548,100.00 548,100.00 548,100.00
Nilai Sisa 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 9,740,672.00
Total Inflow 82,671,750.00 99,206,100.00 99,206,100.00 99,206,100.00 99,206,100.00 99,206,100.00 99,206,100.00 99,206,100.00 99,206,100.00 108,946,772.00
OUTFLOW
1. Biaya Investasi
Ijin usaha 500,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Gubuk Pengomposan
a. Ukuran 50 m² 6,000,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 6,000,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00
b. Ukuran 37,5 m² 4,500,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 4,500,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Petakan pengomposan 15,750,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Gudang bahan baku 7,058,824.00 0.00 0.00 0.00 0.00 7,058,824.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Gudang pupuk kompos 16,941,176.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 16,941,176.00 0.00 0.00
Chopper 3,750,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 3,750,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Cangkul 100,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 100,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Sekop 100,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 100,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Ember 40,000.00 0.00 0.00 40,000.00 0.00 0.00 40,000.00 0.00 0.00 40,000.00
Alat penyiram 50,000.00 0.00 0.00 50,000.00 0.00 0.00 50,000.00 0.00 0.00 50,000.00
Saringan kawat 130,000.00 0.00 130,000.00 0.00 130,000.00 0.00 130,000.00 0.00 130,000.00 0.00
Thermometer 50,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Total Biaya Investasi 54,970,000.00 0.00 130,000.00 90,000.00 130,000.00 21,508,824.00 220,000.00 16,941,176.00 130,000.00 90,000.00
2. Biaya Operasional
2.1 Biaya Tetap
Sewa lahan 149,591.00 149,591.00 149,591.00 149,591.00 149,591.00 149,591.00 149,591.00 149,591.00 149,591.00 149,591.00
Pemeliharaan bangunan 4,187,500.00 5,025,000.00 5,025,000.00 5,025,000.00 5,025,000.00 5,025,000.00 5,025,000.00 5,025,000.00 5,025,000.00 5,025,000.00
Listrik 500,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00
Komunikasi 416,666.67 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00
156
Karung plastik 105,000.00 105,000.00 105,000.00 105,000.00 105,000.00 105,000.00 105,000.00 105,000.00 105,000.00 105,000.00
THR 2,083,333.33 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00
PBB 125,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00
Total Biaya Tetap 7,567,091.00 9,029,591.00 9,029,591.00 9,029,591.00 9,029,591.00 9,029,591.00 9,029,591.00 9,029,591.00 9,029,591.00 9,029,591.00
2.2 Biaya Variabel
Jerami 2,740,500.00 3,288,600.00 3,288,600.00 3,288,600.00 3,288,600.00 3,288,600.00 3,288,600.00 3,288,600.00 3,288,600.00 3,288,600.00
Sekam bakar 3,288,600.00 3,946,320.00 3,946,320.00 3,946,320.00 3,946,320.00 3,946,320.00 3,946,320.00 3,946,320.00 3,946,320.00 3,946,320.00
Dedak 3,425,625.00 4,110,750.00 4,110,750.00 4,110,750.00 4,110,750.00 4,110,750.00 4,110,750.00 4,110,750.00 4,110,750.00 4,110,750.00
Dolomit 274,050.00 328,860.00 328,860.00 328,860.00 328,860.00 328,860.00 328,860.00 328,860.00 328,860.00 328,860.00
Kotoran sapi 21,456,948.37 44,810,724.95 44,810,724.95 44,810,724.95 44,810,724.95 44,810,724.95 44,810,724.95 44,810,724.95 44,810,724.95 44,810,724.95
EM4 1,644,300.00 1,973,160.00 1,973,160.00 1,973,160.00 1,973,160.00 1,973,160.00 1,973,160.00 1,973,160.00 1,973,160.00 1,973,160.00
Molase 822,150.00 986,580.00 986,580.00 986,580.00 986,580.00 986,580.00 986,580.00 986,580.00 986,580.00 986,580.00
Upah tenaga kerja: 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
a. Pengolahan 10,800,000.00 12,960,000.00 12,960,000.00 12,960,000.00 12,960,000.00 12,960,000.00 12,960,000.00 12,960,000.00 12,960,000.00 12,960,000.00
b. Pengayakan 5,400,000.00 6,480,000.00 6,480,000.00 6,480,000.00 6,480,000.00 6,480,000.00 6,480,000.00 6,480,000.00 6,480,000.00 6,480,000.00
Total Biaya Variabel 49,852,173.37 78,884,994.95 78,884,994.95 78,884,994.95 78,884,994.95 78,884,994.95 78,884,994.95 78,884,994.95 78,884,994.95 78,884,994.95
Total Biaya Operasional 57,419,264.37 87,914,585.95 87,914,585.95 87,914,585.95 87,914,585.95 87,914,585.95 87,914,585.95 87,914,585.95 87,914,585.95 87,914,585.95
3. Pajak Penghasilan 2,566,061.25 3,085,638.28 3,085,638.28 3,085,638.28 3,085,638.28 3,085,638.28 3,085,638.28 3,085,638.28 3,085,638.28 4,303,222.28
Total Outflow 114,955,325.62 91,000,224.22 91,130,224.22 91,090,224.22 91,130,224.22 112,509,048.22 91,220,224.22 107,941,400.22 91,130,224.22 92,307,808.22
Net Benefit -32,283,575.62 8,205,875.78 8,075,875.78 8,115,875.78 8,075,875.78 -13,302,948.22 7,985,875.78 -8,735,300.22 8,075,875.78 16,638,963.78
DF 6.5% 0.94 0.88 0.83 0.78 0.73 0.69 0.64 0.60 0.57 0.53
PV/Tahun -30,313,216.55 7,234,786.55 6,685,606.43 6,308,657.64 5,894,426.97 -9,116,964.30 5,138,960.69 -5,278,140.83 4,581,874.19 8,864,009.21
PV Positif 44,708,321.67
PV Negatif -44,708,321.67
NPV 0.00
Net B/C 1.00
IRR 6.50%
PP 10.00
157
Lampiran 10. Cashflow Analisis Switching Value Penurunan Produksi Skenario Usaha II (Kapasitas Produksi 21 ton/bulan) Uraian 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
INFLOW
Penjualan Kompos 78,963,314.69 77,014,443.44 77,014,443.44 77,014,443.44 77,014,443.44 77,014,443.44 77,014,443.44 77,014,443.44 77,014,443.44 77,014,443.44
Penjualan S.Ayakan 456,750.00 548,100.00 548,100.00 548,100.00 548,100.00 548,100.00 548,100.00 548,100.00 548,100.00 548,100.00
Nilai Sisa 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 9,740,672.00
Total Inflow 79,420,064.69 77,562,543.44 77,562,543.44 77,562,543.44 77,562,543.44 77,562,543.44 77,562,543.44 77,562,543.44 77,562,543.44 87,303,215.44
OUTFLOW
1. Biaya Investasi
Ijin usaha 500,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Gubuk Pengomposan
a. Ukuran 50 m² 6,000,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 6,000,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00
b. Ukuran 37,5 m² 4,500,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 4,500,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Petakan pengomposan 15,750,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Gudang bahan baku 7,058,824.00 0.00 0.00 0.00 0.00 7,058,824.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Gudang pupuk kompos 16,941,176.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 16,941,176.00 0.00 0.00
Chopper 3,750,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 3,750,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Cangkul 100,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 100,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Sekop 100,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 100,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Ember 40,000.00 0.00 0.00 40,000.00 0.00 0.00 40,000.00 0.00 0.00 40,000.00
Alat penyiram 50,000.00 0.00 0.00 50,000.00 0.00 0.00 50,000.00 0.00 0.00 50,000.00
Saringan kawat 130,000.00 0.00 130,000.00 0.00 130,000.00 0.00 130,000.00 0.00 130,000.00 0.00
Thermometer 50,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Total Biaya Investasi 54,970,000.00 0.00 130,000.00 90,000.00 130,000.00 21,508,824.00 220,000.00 16,941,176.00 130,000.00 90,000.00
2. Biaya Operasional
2.1 Biaya Tetap
Sewa lahan 149,591.00 149,591.00 149,591.00 149,591.00 149,591.00 149,591.00 149,591.00 149,591.00 149,591.00 149,591.00
Pemeliharaan bangunan 4,187,500.00 5,025,000.00 5,025,000.00 5,025,000.00 5,025,000.00 5,025,000.00 5,025,000.00 5,025,000.00 5,025,000.00 5,025,000.00
Listrik 500,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00
Komunikasi 416,666.67 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00
Karung plastik 105,000.00 105,000.00 105,000.00 105,000.00 105,000.00 105,000.00 105,000.00 105,000.00 105,000.00 105,000.00
THR 2,083,333.33 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00
158
PBB 125,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00
Total Biaya Tetap 7,567,091.00 9,029,591.00 9,029,591.00 9,029,591.00 9,029,591.00 9,029,591.00 9,029,591.00 9,029,591.00 9,029,591.00 9,029,591.00
2.2 Biaya Variabel
Jerami 2,740,500.00 3,288,600.00 3,288,600.00 3,288,600.00 3,288,600.00 3,288,600.00 3,288,600.00 3,288,600.00 3,288,600.00 3,288,600.00
Sekam bakar 3,288,600.00 3,946,320.00 3,946,320.00 3,946,320.00 3,946,320.00 3,946,320.00 3,946,320.00 3,946,320.00 3,946,320.00 3,946,320.00
Dedak 3,425,625.00 4,110,750.00 4,110,750.00 4,110,750.00 4,110,750.00 4,110,750.00 4,110,750.00 4,110,750.00 4,110,750.00 4,110,750.00
Dolomit 274,050.00 328,860.00 328,860.00 328,860.00 328,860.00 328,860.00 328,860.00 328,860.00 328,860.00 328,860.00
Kotoran sapi 19,183,500.00 23,020,200.00 23,020,200.00 23,020,200.00 23,020,200.00 23,020,200.00 23,020,200.00 23,020,200.00 23,020,200.00 23,020,200.00
EM4 1,644,300.00 1,973,160.00 1,973,160.00 1,973,160.00 1,973,160.00 1,973,160.00 1,973,160.00 1,973,160.00 1,973,160.00 1,973,160.00
Molase 822,150.00 986,580.00 986,580.00 986,580.00 986,580.00 986,580.00 986,580.00 986,580.00 986,580.00 986,580.00
Upah tenaga kerja: 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
a. Pengolahan 10,800,000.00 12,960,000.00 12,960,000.00 12,960,000.00 12,960,000.00 12,960,000.00 12,960,000.00 12,960,000.00 12,960,000.00 12,960,000.00
b. Pengayakan 5,400,000.00 6,480,000.00 6,480,000.00 6,480,000.00 6,480,000.00 6,480,000.00 6,480,000.00 6,480,000.00 6,480,000.00 6,480,000.00
Total Biaya Variabel 47,578,725.00 57,094,470.00 57,094,470.00 57,094,470.00 57,094,470.00 57,094,470.00 57,094,470.00 57,094,470.00 57,094,470.00 57,094,470.00
Total Biaya Operasional 55,145,816.00 66,124,061.00 66,124,061.00 66,124,061.00 66,124,061.00 66,124,061.00 66,124,061.00 66,124,061.00 66,124,061.00 66,124,061.00
3. Pajak Penghasilan 2,566,061.25 3,085,638.28 3,085,638.28 3,085,638.28 3,085,638.28 3,085,638.28 3,085,638.28 3,085,638.28 3,085,638.28 4,303,222.28
Total Outflow 112,681,877.25 69,209,699.28 69,339,699.28 69,299,699.28 69,339,699.28 90,718,523.28 69,429,699.28 86,150,875.28 69,339,699.28 70,517,283.28
Net Benefit (33,261,812.56) 8,352,844.17 8,222,844.17 8,262,844.17 8,222,844.17 (13,155,979.83) 8,132,844.17 (8,588,331.83) 8,222,844.17 16,785,932.17
DF 6.5% 0.94 0.88 0.83 0.78 0.73 0.69 0.64 0.60 0.57 0.53
PV/Tahun (31,231,748.88) 7,364,362.60 6,807,274.08 6,422,899.57 6,001,696.38 (9,016,241.84) 5,233,535.77 (5,189,337.94) 4,665,257.18 8,942,303.10
PV Positif 45,437,328.67
PV Negatif (45,437,328.67)
NPV (0.00)
Net B/C 1.00
IRR 6.50%
PP 10.00
159
Lampiran 11. Cashflow Analisis Switching Value Penurunan Harga Jual Skenario Usaha II (Kapasitas Produksi 21 ton/bulan) Uraian 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
INFLOW
Penjualan Kompos 79,941,551.68 76,867,475.04 76,867,475.04 76,867,475.04 76,867,475.04 76,867,475.04 76,867,475.04 76,867,475.04 76,867,475.04 76,867,475.04
Penjualan S.Ayakan 456,750.00 548,100.00 548,100.00 548,100.00 548,100.00 548,100.00 548,100.00 548,100.00 548,100.00 548,100.00
Nilai Sisa 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 9,740,672.00
Total Inflow 80,398,301.68 77,415,575.04 77,415,575.04 77,415,575.04 77,415,575.04 77,415,575.04 77,415,575.04 77,415,575.04 77,415,575.04 87,156,247.04
OUTFLOW
1. Biaya Investasi
Ijin usaha 500,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Gubuk Pengomposan
a. Ukuran 50 m² 6,000,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 6,000,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00
b. Ukuran 37,5 m² 4,500,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 4,500,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Petakan pengomposan 15,750,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Gudang bahan baku 7,058,824.00 0.00 0.00 0.00 0.00 7,058,824.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Gudang pupuk kompos 16,941,176.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 16,941,176.00 0.00 0.00
Chopper 3,750,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 3,750,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Cangkul 100,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 100,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Sekop 100,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 100,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Ember 40,000.00 0.00 0.00 40,000.00 0.00 0.00 40,000.00 0.00 0.00 40,000.00
Alat penyiram 50,000.00 0.00 0.00 50,000.00 0.00 0.00 50,000.00 0.00 0.00 50,000.00
Saringan kawat 130,000.00 0.00 130,000.00 0.00 130,000.00 0.00 130,000.00 0.00 130,000.00 0.00
Thermometer 50,000.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
Total Biaya Investasi 54,970,000.00 0.00 130,000.00 90,000.00 130,000.00 21,508,824.00 220,000.00 16,941,176.00 130,000.00 90,000.00
2. Biaya Operasional
2.1 Biaya Tetap
Sewa lahan 149,591.00 149,591.00 149,591.00 149,591.00 149,591.00 149,591.00 149,591.00 149,591.00 149,591.00 149,591.00
Pemeliharaan bangunan 4,187,500.00 5,025,000.00 5,025,000.00 5,025,000.00 5,025,000.00 5,025,000.00 5,025,000.00 5,025,000.00 5,025,000.00 5,025,000.00
Listrik 500,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00 600,000.00
Komunikasi 416,666.67 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00 500,000.00
Karung plastik 105,000.00 105,000.00 105,000.00 105,000.00 105,000.00 105,000.00 105,000.00 105,000.00 105,000.00 105,000.00
160
THR 2,083,333.33 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00 2,500,000.00
PBB 125,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00 150,000.00
Total Biaya Tetap 7,567,091.00 9,029,591.00 9,029,591.00 9,029,591.00 9,029,591.00 9,029,591.00 9,029,591.00 9,029,591.00 9,029,591.00 9,029,591.00
2.2 Biaya Variabel
Jerami 2,740,500.00 3,288,600.00 3,288,600.00 3,288,600.00 3,288,600.00 3,288,600.00 3,288,600.00 3,288,600.00 3,288,600.00 3,288,600.00
Sekam bakar 3,288,600.00 3,946,320.00 3,946,320.00 3,946,320.00 3,946,320.00 3,946,320.00 3,946,320.00 3,946,320.00 3,946,320.00 3,946,320.00
Dedak 3,425,625.00 4,110,750.00 4,110,750.00 4,110,750.00 4,110,750.00 4,110,750.00 4,110,750.00 4,110,750.00 4,110,750.00 4,110,750.00
Dolomit 274,050.00 328,860.00 328,860.00 328,860.00 328,860.00 328,860.00 328,860.00 328,860.00 328,860.00 328,860.00
Kotoran sapi 19,183,500.00 23,020,200.00 23,020,200.00 23,020,200.00 23,020,200.00 23,020,200.00 23,020,200.00 23,020,200.00 23,020,200.00 23,020,200.00
EM4 1,644,300.00 1,973,160.00 1,973,160.00 1,973,160.00 1,973,160.00 1,973,160.00 1,973,160.00 1,973,160.00 1,973,160.00 1,973,160.00
Molase 822,150.00 986,580.00 986,580.00 986,580.00 986,580.00 986,580.00 986,580.00 986,580.00 986,580.00 986,580.00
Upah tenaga kerja: 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00 0.00
a. Pengolahan 10,800,000.00 12,960,000.00 12,960,000.00 12,960,000.00 12,960,000.00 12,960,000.00 12,960,000.00 12,960,000.00 12,960,000.00 12,960,000.00
b. Pengayakan 5,400,000.00 6,480,000.00 6,480,000.00 6,480,000.00 6,480,000.00 6,480,000.00 6,480,000.00 6,480,000.00 6,480,000.00 6,480,000.00
Total Biaya Variabel 47,578,725.00 57,094,470.00 57,094,470.00 57,094,470.00 57,094,470.00 57,094,470.00 57,094,470.00 57,094,470.00 57,094,470.00 57,094,470.00
Total Biaya Operasional 55,145,816.00 66,124,061.00 66,124,061.00 66,124,061.00 66,124,061.00 66,124,061.00 66,124,061.00 66,124,061.00 66,124,061.00 66,124,061.00
3. Pajak Penghasilan 2,566,061.25 3,085,638.28 3,085,638.28 3,085,638.28 3,085,638.28 3,085,638.28 3,085,638.28 3,085,638.28 3,085,638.28 4,303,222.28
Total Outflow 112,681,877.25 69,209,699.28 69,339,699.28 69,299,699.28 69,339,699.28 90,718,523.28 69,429,699.28 86,150,875.28 69,339,699.28 70,517,283.28
Net Benefit (32,283,575.57) 8,205,875.77 8,075,875.77 8,115,875.77 8,075,875.77 (13,302,948.23) 7,985,875.77 (8,735,300.23) 8,075,875.77 16,638,963.77
DF 6.5% 0.94 0.88 0.83 0.78 0.73 0.69 0.64 0.60 0.57 0.53
PV/Tahun (30,313,216.50) 7,234,786.54 6,685,606.42 6,308,657.64 5,894,426.96 (9,116,964.30) 5,138,960.69 (5,278,140.83) 4,581,874.18 8,864,009.20
PV Positif 44,708,321.64
PV Negatif (44,708,321.64)
NPV (0.00)
Net B/C 1.00
IRR 6.50%
PP 10.00
161
Lampiran 12. DOKUMENTASI
Gambar 15. Bahan Kompos Gambar 16. Jerami
Gambar 17. Arang Sekam Gambar 18. Fermentasi Pengomposan
Gambar 19. Pupuk Kompos Kemasan