Post on 22-Jul-2016
description
LOWER CLASS CULTURE THEORY(KASUS NENEK MINAH MENGAMBIL BEBERAPA BUAH KAKAU)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia sebagai negara yang besar serta memiliki sumber daya alam yang
melimpah ruah tetapi tidak bisa memakmurkan kehidupan rakyatnya. Kemiskinan,
kebodohan dan kelaparan menyebabkan tingginya angka kejahatan ditengah-tengah
masyarakat, namun negara tidak memikirkan mengapa kejahatan itu timbul tapi selalu
melakukan upaya refpresif untuk menertibkan segala tindakan masyarakat yang telah
menyalahi aturan walaupun perbuatan tersebut dilakukan untuk menyambung
hidupnya.
Disatu sisi masyarakat hidup didalam kemiskinan dan kebodohan,dan disisi
yang lain ada sebuah kehidupan yang berbanding terbalik dengan kehidupan
masyarakat yang merupakan simbol-simbol dari kekayaan dan eksploitasi yakni
perusahaan-perusahaan besar. Perusahaan-perusahaan besar ini diberikan fasilitas oleh
negara untuk mengeksploitasi sumber daya alam yang ada, namun kehidupan
masyarakat disekitar perusahaan tersebut tidak tersentuh oleh hasil eksploitasi dan
eksplorasi sumber daya alam tersebut.
Akibatnya, kejahatan ditengah masyarakat merebak dan negara dalam
melakukan penegakan hukum terhadap pelaku-pelaku pelanggaran tersebut terlalu
berlebih-lebihan dalam menyikapinya, salah satunya ialah pada kasus nenek Minah.
Sudah selayaknya aparat penegak hukum berlaku bijaksana. Sedangkan kasus-kasus
1
korupsi besar lainnya yang menyebabkan kerugian negara yang sangat besar, jauh dari
penegakan hukum.
Ditinjau dari teori Lower Class Culture kejahatan yang dilakukan oleh
nenek Minah merupakan kejahatan kelas bawah yang didasari oleh kesulitan hidup,
ketegaran, kemiskinan dan kebodohan. Nenek Minah mengambil biji kakau bukan
untuk menambah kekayaan dan bukan pula untuk bersenang-senang tetapi
digunakannnya untuk ditanam kembali dan hasilnya nanti digunakan untuk memenuhi
kehidupannya. Namun disatu sisi Indonesia merupakan negara hukum, hukum harus
ditegakkan.
Pada dasarnya kehidupan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum.
Sepanjang sejarah peradaban manusia, peran sentral hukumdalam upaya menciptakan
suasana yang memungkinkan manusia merasa terlindungi, hidup berdampingan secara
damai dan menjaga eksistensinya didunia telah diakui1.
Indonesia adalah negara yang berdasarkan kepada hukum (rechtaat), hukum
harus dijadikan panglima dalam menjalankan kehidupan bernegara dan
bermasyarakat, sehingga tujuan hakiki dari hukum bisa tercapai seperti keadilan,
kepastian dan ketertiban. Secara normatif hukum mempunyai cita-cita indah namun
didalam implentasinya hukum selalu menjadi mimpi buruk dan bahkan bencana bagi
masyarakat. Ketidaksinkronan antara hukum di dalam teori (law in a book) dan
hukum dilapangan (law in action) menjadi sebuah perdebatan yang tidak kunjung
hentinya. Terkadang untuk menegakkan sebuah keadilan menurut hukum harus
melalui proses-proses hukum yang tidak adil.
1 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Surabaya, 2005, hlm.1
2
Sebagain besar hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum bekas jajahan
Belanda, banyak kaedah-kaedah dalam hukum tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai
yang ada di tengah-tengah masyarakat dan tidak mencerminkan nilai-nilai keadilan.
Hukum kolonial yang masih berlaku di Indonesia menganut ajaran Positivisme.
Hukum menurut aliran ini adalah apa yang menurut undang-undang, bukan apa yang
seharusnya. Atas dasar itu, hukum harus pula dibersihkan dari anasir-anasir yang
tidak yuridis seperti etis (penilaian baik dan buruk), politis (subjektif dan tidak bebas
nilai), sosiologis (terlepas dari kenyataan sosial).
Kasus hukum nenek Minah yang sangat menarik untuk ditelaah, yakni
seorang nenek berumur 55 Tahun yang bernama Minah diganjar 1 bulan 15 hari
penjara karena menyangka perbuatan isengnya memetik 3 buah kakao di perkebunan
milik PT. Rumpun Sari Antan (RSA) adalah hal yang biasa saja.
Ironi hukum di Indonesia ini berawal saat Minah sedang memanen kedelai di
lahan garapannya di Dusun Sidoarjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang,
Banyumas, Jawa Tengah, pada 2 Agustus lalu. Lahan garapan Minah ini juga dikelola
oleh PT RSA untuk menanam kakao.
Ketika sedang asik memanen kedelai, mata tua Minah tertuju pada 3 buah
kakao yang sudah ranum. Dari sekadar memandang, Minah kemudian memetiknya
untuk disemai sebagai bibit di tanah garapannya. Setelah dipetik, 3 buah kakao itu
tidak disembunyikan melainkan digeletakkan begitu saja di bawah pohon kakao.
Dan tak lama berselang, lewat seorang mandor perkebunan kakao PT RSA. Mandor
itu pun bertanya, siapa yang memetik buah kakao itu. Dengan polos, Minah mengaku
hal itu perbuatannya. Minah pun diceramahi bahwa tindakan itu tidak boleh dilakukan
karena sama saja mencuri.
3
Sadar perbuatannya salah, Minah meminta maaf pada sang mandor dan
berjanji tidak akan melakukannya lagi. 3 Buah kakao yang dipetiknya pun dia
serahkan kepada mandor tersebut. Minah berpikir semua beres dan dia kembali
bekerja. Namun dugaanya meleset. Peristiwa kecil itu ternyata berbuntut panjang.
Sebab seminggu kemudian dia mendapat panggilan pemeriksaan dari polisi. Proses
hukum terus berlanjut sampai akhirnya dia harus duduk sebagai seorang terdakwa
kasus pencuri di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto. Majelis hakim yang dipimpin
Muslih Bambang Luqmono SH memvonisnya 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan
selama 3 bulan. Minah dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar pasal
362 KUHP tentang pencurian.
Oleh sebab itu, penulis mencoba menganalisa kasus nenek Minah dari teori
Lower Class Cultur. Penulis mencoba menganalisa tindakan nenek Minah mengambil
buah kakau yang jatuh dari pohonnya di perusahaan tersebut ditinjau dari premis-
premis yang ada, dan untuk masalah ini masalah penegakan hukumnya dicoba untuk
sidingkirkan, karena fokus dari penulisan ini adalah penyebab terjadinya kejahatan
pada masyarakat kelas bawah.
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. Analisa Berdasarkan Teori Lower Class Culture
Kasus nenek Minah merupakan sebuah gambaran umum mengenai kejahatan-
kejahatan yang dilakukan oleh masyarakat kelas bawah yang harus mendapatkan
perhatian yang serius dari pemerintah. Dalam menganalisa kejahatan budaya kelas
bawah, menurut Walter B Miller ada enam premis yang dapat diajukan menjadi
acuan dalam menganalisa kejahatan budaya kelas bawah, dimana ke 6 premis tersebut
bersifat alternatif serta tidak berkesinambungan. Adapun untuk kasus ini, Penulis
hanya memaparkan beberapa premis yang hanya berkaitan secara lansung. Adapun
premis pertama ialah :
1. Kesulitan (Trouble)
Kesulitan merupakan cirri utama kebudayaan kelas bawah. Konsep ini
punya aneka makna. Kesulitan merupakan situasi atau sejenis perilaku yang disukai
untuk membingungkan petugas atau agen dari kelas menengah. Mendapatkan
kesulitan dan keluar dari kesulitan mewakili isu utama bagi pria dan wanita, dewasa
dan anak.
Bagi nenek Minah mengambil buah kakau tersebut merupakan sebuah
kesulitan kehidupan yang dialaminya berupa kemiskinan. Untuk keluar dari
kemiskinan tesebut nenek Minah rela mengambil sesuatu yang bukan haknya, karena
apapun kesempatan yang ada didepan mata diambilnya tanpa harus memikir panjang
apa yang akan terjadi dikemudian hari.
5
2. Ketegaran
Konsep ketegaran pada kebudayaan kelas bawah digambarkan dengan
memiliki ketangguhan dan keberanian yang diukur dengan berani melawan aturan-
aturan yang ada. Pranata-pranata kehidupan yang ada tidak lagi berfungsi secara
maksimal sehingga untuk mendapatlkan tujuannya masyarakat kelas bawah sering
melanggar aturan-aturan tersebut. Pada kasus nenek Minah, nenek Minah setelah
mendapatkan teguran mengaku bersalah kepada Mandor perkebunan tersebut dan
segera meminta maaf. Dari sini kita bisa melihat bahwa nenek Minah sadar bahwa
yang dilakukannya adalah salah.
3. Nasib/Takdir (Faith)
Kelompok yang merasa kehidupannya dikuasai oleh suatu kekuatan besar
merasa bahwa kehidupannya dikuasai oleh suatu kekuatan besar merasa bahwa
kehidupan ini sudah ditakdirkan sudah diatur kita tinggal menjalankannya saja. Nasib
sial dan mujur bagi individu kelas bawah tidak lansung disamakan dengan kekuatan
supernatural atau agama yang diorganisasikan secara formal. Pemikirannya lebih
banyak bertalian dengan kekuatan megis, sedang bernasib mujur maka memang
demikianlah adanya. Sikap pasrah dan menerima yang dilakukan oleh nenek Minah
yang ditampakkan oleh ekspresi wajahnya, karena dia meyakini inilah takdir yang
harus dijalaninya ketika mendapatkan kasus hukum tersebut.
4. Otonomi (Authonomy)
Kontrol terhadap perilaku individu merupakan suatu yang penting dalam
kebudayaan. Bagi suatu kebuadayaan kelas bawah memiliki cirri khas tersendiri
dengan pola yang berbeda-beda. Kesenjangan antara apa yang dinilai secara terbuka
dengan apa yang diusahakan secara tertutup sering menonjol dibidang ini. Pada
tingkat terbuka ada cara penyelesaian yang digunakan melalui control eksternal,
6
sebagai pembatasan perilaku terhadap otoritas yang tidak adil. Pada tingkat yang
tertutup keinginan akan kebebasan pribadi dikendalikan melalui kelembagaan. Hal ini
menunjukkan disatu pihak mereka menghendaki kebebasan pribadi, dilain pihak
mencari lingkungan sosial restriktif di mana ada control eksternal yang tetap terhadap
perilaku mereka. Suatu kesenjangan yang sama antara apa yang diinginkan secara
terbuka dan tertutup ditemukan dalam bidang dependensi dan independensi.
Pada kasus nenek Minah terdapat kurangnya otonomi, yakni disatu sisi apa
yang dilakukan oleh nenek Minah merupakan suatu yang hal yang wajar dan tidak
menjadi masalah sedangkan disatu sisi yang lain perbuatan nenek Minah merupakan
sebuah pelanggaran hukum, karena mengambil sesuatu yang bukan milikinya. Hal ini
harus dilakukan penekanan yang tegas bahwa mengambil buah kakau yang terjatuh
merupakan sebuah kejahatan karena mengambil bukan haknya. Namun, dalam
penyelesaian kasus nenek Minah harus dilakukan dengan bijaksana.
Kerisauan otonomi dependensi terurai dengan kesulitan yang dikontrol
oleh kekuatan yang sering memaksa, sementara mereka itu berhadapan dengan
kekuatan penentu untuk menghambat, sehingga mereka berusaha untuk
menyelamatkan diri dengan bersikap acuh terhadap segala sesuatu yang ingin
membatasi perilakunya. Solusinya adalah menata perilaku sedemikian rupa oleh
seperangkat kontrol yang kuat untuk menghindari perlawanan.
Salah satu penyebab banyaknya terjadi kejahatan dikelas bawah ialah kurang
tegasnya aturan yang mengatur tentang kehidupan yang bermasyarakat, hal ini
disebabkan oleh kekurangtahuan yang disebabkan oleh kebodohan dan kurangnya
sosialisasi dan penegakan hukum dari aparat penegak hukum. Sehingga masyarakat
pada kelas bawah yang sedang terhimpit oleh kesulitan hidup sering melakukan
7
kejahatan-kejahatan dan merasa bahwa kejahatan yang dilakukannya bukan
merupakan sebuah perbuatan kejahatan.
8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kasus nenek Minah yang mengambil beberapa buah kakau yang telah jatuh
dari pohonnya dari perkebunan milik sebuah perusahaan besar merupakan sebuah
perbuatan yang dilarang. Hal ini bisa dinamakan dengan kejahatan karena mengambil
sesuatu yang bukan haknya. Ditinjau dari teori Lower Class Culture, tindakan nenek
Minah bisa dikategorikan sebagai kejahatan budaya kelas bawah, hal ini didasarkan
dengan kesamaan premis-premis pendukung dari teori tersebut dengan analisa
mengenai tindakan kajahatan yang dilakukan oleh nenek Minah.
Adapun premis-premis yang berkaitan lansung dengan kasus nenek Minah ini
ialah Kesulitan berupa kemiskinan dan desakan hidup, ketegaran berupa berani
melawan aturan-aturan yang ada, Nasib/ takdir berupa bersifat pasrah dengan yang
diterima serta otonomi berupa kurangya control eksternal maupun internal dalam
kehidupan nenek minah sehingga menganggap perbuatan yang dilakukannya bukan
merupakan sebuah pelanggaran terhadap nilai-nilai yang ada.
9
DAFTAR PUSTAKA
Hans Kelsen, Toeri Hukum Murni, Nusamedia, Bandung, 2008
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia, Surabaya, 2005
Muhammad Sidiq, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Prandya Paramita, Jakarta, 2009
Sabian Usman, Dasar-Dasar Sosiologi Hukum Makna Dialog Antara Hukum dan Masyarakat, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009
Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta, 1999
Soetandyo Wignjosobroto, Hukum, Paradigma, metode dan Dinamika Masalahnya, Elsam & Huma, Jakarta, 2002
Satjipto Raharjo II, Buku Materi Pokok Pengantar Ilmu Hukum Bagian IV, Karunika, Jakarta, 1985
10