Post on 03-Jun-2015
ANALISIS KANDUNGAN LOGAM BERAT Hg, Cd DAN Pb DAGING KIJING LOKAL (Pilsbryoconcha exilis) DARI
PERAIRAN SITU GEDE, BOGOR
RODIEISER SEMBIRING C34050058
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
RINGKASAN
RODIEISER SEMBIRING. C34050058. Analisis Kandungan Logam Berat Hg, Cd dan Pb Daging Kijing Lokal (Pilsbryoconcha exilis) dari Perairan Situ Gede, Bogor. Dibimbing oleh NURJANAH dan ASADATUN ABDULLAH.
Kijing lokal (Pilsbryoconcha exilis) termasuk salah satu jenis kerang air tawar yang telah dikonsumsi oleh masyarakat. Salah satu bahan pencemar yang sering terdapat pada hewan filter feeder seperti kiijng adalah logam berat. Logam-logam berat berbahaya yang sering mencemari lingkungan antara lain merkuri (Hg), cadmium (Cd), dan timbal (Pb).
Tujuan penelitian ini adalah mempelajari kandungan logam berat Hg, Cd, dan Pb daging kijing lokal berukuran kecil dan besar selama periode dua bulan (Mei dan Juli) serta menerapkan perlakuan depurasi sebagai usaha untuk mengurangi kandungan logam berat. Penelitian dilakukan dengan cara mengiventarisasi wilayah pengambilan sampel, analisis karakteristik kijing, melakukan depurasi, dan analisis kandungan logam berat Hg, Cd, dan Pb daging kijing.
Sampel kijing lokal diambil dari perairan Situ Gede yang terletak di Kelurahan Situ Gede, Bogor. Perairan Situ Gede memiliki luas 5,3 ha. Sampel kijing yang diambil berada di bagian tepi situ yang memiliki sedimen substrat berlumpur, berarus tenang, kedalaman 1-2 meter, suhu + 25 0C, dan memiliki tingkat kekeruhan yang tinggi.
Kijing lokal ukuran kecil memiliki panjang rata-rata 7,53+0,26 cm; lebar 3,46+0,17 cm; dan tebal 1,46+0,08 cm, sedangkan ukuran besar memiliki panjang berkisar 9,47+0,27 cm; lebar 4,42+0,17 cm; dan tebal 1,88+0,19 cm. Kandungan proksimat daging kijing yang diukur adalah kadar air 81,54%, protein 8,90%, lemak 1,04%, abu 3,08%, dan karbohidrat 5,44%. Rendemen daging kijing ukuran kecil sebesar 22,45% (tanpa depurasi), 23,52% (setelah 10 hari depurasi), dan 24,08% (setelah 96 jam depurasi), sedangkan rendemen daging kijing ukuran besar sebesar 20,07% (sebelum depurasi), 19,58% (setelah 10 hari depurasi), dan 18,94% (setelah 20 hari depurasi). Perbedaan ukuran memberikan pengaruh yang signifikan terhadap rendemen daging kijing, sedangkan perlakuan depurasi tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Kijing kecil mengalami peningkatan rendemen daging setelah depurasi karena adanya pertumbuhan, sedangkan kijing besar mengalami penurunan.
Kijing lokal di perairan Situ Gede menunjukkan kandungan logam berat merkuri dan kadmium yang tidak terdeteksi pada daging selama periode dua bulan (Mei dan Juli) baik pada ukuran kecil maupun besar. Kandungan timbal bulan Mei lebih tinggi dibandingkan bulan Juli. Rata-rata kandungan logam berat timbal di perairan Situ Gede selama dua periode adalah sebesar 1,34 ppm pada kijing kecil dan 1,44 ppm pada kijing besar. Perlakuan depurasi selama 20 hari dapat menurunkan kandungan timbal pada kijing kecil sebesar 0,0861 ppm (setelah 10 hari depurasi) dan 0,1506 ppm (setelah 20 hari depurasi), sedangkan kijing besar 0,0513 ppm (setelah 10 hari depurasi) dan 0,0835 ppm (setelah 20 hari depurasi).
ANALISIS KANDUNGAN LOGAM BERAT Hg, Cd DAN Pb DAGING KIJING LOKAL (Pilsbryoconcha exilis) DARI
PERAIRAN SITU GEDE, BOGOR
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
Oleh:
RODIEISER SEMBIRING
C34050058
DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian : Analisis Kandungan Logam Berat Hg, Cd dan Pb Daging Kijing Lokal (Pilsbryoconcha exilis) dari Perairan Situ Gede, Bogor
Nama : Rodieiser Sembiring
NRP : C34050058
Departemen : Teknologi Hasil Perairan
Menyetujui:
Pembimbing I Pembimbing II Ir. Nurjanah, MS Asadatun Abdullah, S.Pi, M.Si
NIP. 195910131986012002 NIP. 198304052005012001
Mengetahui:
Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan
Dr. Ir Ruddy Suwandi, MS, M.Phil NIP. 195805111985031002
Tanggal lulus:
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Analisis
Kandungan Logam Lerat Hg, Cd dan Pb Daging Kijing Lokal (Pilsbryoconcha
exilis) dari Perairan Situ Gede, Bogor” adalah karya saya sendiri dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Oktober 2009
Rodieiser Sembiring C34050058
KATA PENGANTAR
Puji dan segala syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan anugerah, rahmat, karunia dan izin-Nya kepada penulis sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
Penelitian dengan judul “Analisis Kandungan Logam Berat Hg, Cd dan
Pb Daging Kijing Lokal (Pilsbryoconcha exilis) dari Perairan Situ Gede,
Bogor” merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan,
pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini,
terutama kepada :
1. Ibu Ir. Nurjanah, M.S dan Ibu Asadatun Abdullah, S.Pi, M.Si selaku dosen
pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan pengarahan dalam
penyusunan tugas akhir ini.
2. Ibu Ir. Anna C Erungan, MS dan Bapak Uju, S.Pi, M.Si selaku dosen penguji
atas segala masukan dan saran untuk perbaikan tugas ini.
3. Bapak Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil selaku Ketua Departemen
Teknologi Hasil Perairan.
4. Bapak Dr. Ir. Agoes M Jacoeb, Dipl. Biol selaku komisi pendidikan
Departemen Teknologi Hasil Perairan.
5. Ayah dan Ibu tercinta atas segala doa dan semangat yang diberikan.
6. Abang dan Kakak yang juga telah memberikan semangat selama penelitian
dan penyusunan skripsi ini.
7. Uli, Anne dan Pur (Kijing’ers) atas kebersamaannya.
8. Alan, Abdul, Edo, Rio, dan Bang Bremin serta teman-teman satu daerah
lainnya yang memberi semangat dalam penyelesaian skripsi ini.
9. Semua teman-teman THP yang tidak dapat disebutkan satu per satu namanya
yang tetap kompak dan saling mendukung dalam penyusunan skripsi ini,
10. Ibu Emma Masruroh, Mas Ipul, Mas Zacky selaku laboran, seluruh Staff TU
THP (Mas Mail, Pak Ade, Pak Tatang), dan Ummi, yang telah banyak
membantu penulis selama penelitian.
11. Bu Dian selaku laboran Laboratorium Nutrisi Ternak Perah yang telah
membantu dalam penelitian ini.
12. Semua pihak yang telah membantu penulis selama penelitian dan penyusunan
skripsi, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa di dalam skripsi ini masih terdapat banyak
kekurangan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
memerlukan.
Bogor, Oktober 2009
Penulis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di desa Pasar Baru, Kabupaten Karo, Sumatera
Utara pada tanggal 5 Desember 1986 dari ayah bernama Bilik
Sembiring dan Ibu yang bernama Daksi br Tarigan. Penulis
merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara.
Penulis menempuh pendidikan formal dimulai dari SD Inpres
Kidupen dan lulus pada tahun 1999, pada tahun yang sama penulis melanjutkan
sekolah di SLTP Swasta RK Azizi Tigabinanga dan lulus pada tahun 2002.
Pendidikan selanjutnya ditempuh di SMUN 1 Kabanjahe dan lulus pada tahun
2005.
Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) pada
tahun 2005 melalui jalur Ujian Seleksi Mahasiswa IPB (USMI). Setelah satu
tahun mengikuti Tingkat Persiapan Bersama, penulis diterima di Program Studi
Teknologi Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Selama kuliah penulis pernah aktif sebagai asisten mata ajaran Penanganan
Hasil Perairan (PHP) tahun ajaran 2007/2008, Teknologi Industri Tumbuhan Laut
(TITL), Teknologi Pengolahan Hasil Perairan (TPHP), dan Pengetahuan Bahan
Baku Hasil Perairan (PBB) tahun ajaran 2008/2009. Penulis melakukan penelitian
dan menyusun skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, dengan judul “Analisis
Kandungan Logam Berat Hg, Cd dan Pb Daging Kijing Lokal (Pilsbryoconcha
exilis) dari Perairan Situ Gede, Bogor”, dibimbing oleh Ir. Nurjanah, MS dan
Asadatun Abdullah, S.Pi, M.Si.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .............................................................................................. viii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ ix
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................... x
1. PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................. 1
1.2 Tujuan .............................................................................................................. 2
2. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 3
2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Kijing Lokal (Pilsbryoconcha exilis) ..................... 3
2.2 Karakteristik Logam Berat ............................................................................... 5
2.2.1 Raksa (Hg) .......................................................................................... 7 2.2.2 Kadmium (Cd) .................................................................................... 8 2.2.3 Timbal (Pb) ......................................................................................... 9 2.2.4 Pencemaran oleh logam berat ........................................................... 10 2.2.5 Akumulasi logam berat oleh organisme. ........................................... 12 2.2.6 Pengaruh logam berat Hg, Cd, dan Pb pada manusia ....................... 13
2.3 Depurasi ......................................................................................................... 16
2.4 Kualitas Air ..................................................................................................... 17
2.4.1 Suhu .................................................................................................. 17 2.4.2 Kekeruhan ......................................................................................... 18 2.4.3 Oksigen terlarut ................................................................................. 18 2.4.4 pH ...................................................................................................... 19
3. METODOLOGI ............................................................................................ 20
3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan ..................................................................... 20
3.2 Bahan dan Alat ................................................................................................ 20
3.3 Prosedur Penelitian ......................................................................................... 20
3.3.1 Pengambilan sampel ............................................................................ 21 3.3.2 Persiapan sampel dan depurasi ............................................................ 21 3.3.3 Pengamatan dan analisis...................................................................... 22
3.4 Rancangan percobaan...................................................................................... 27
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ..................................................................... 29
4.1 Inventarisasi Wilayah Situ Gede ..................................................................... 29
4.2 Kualitas Air ..................................................................................................... 29
4.2.1 Kualitas air danau dan air PAM untuk depurasi ................................. 29 4.2.2 Kualitas air PAM akibatn depurasi .................................................... 30
4.3 Karakteristik Kijing Lokal (Pilsbryoconcha exilis) ........................................ 33
4.3.1 Karakteristik fisik kijing lokal (Pilsbryoconcha exilis) ...................... 33 4.3.2 Kandungan proksimat daging kijing lokal (Pilsbryoconcha exilis) .... 35
4.4 Kandungan Logam Berat Merkuri (Hg), Kadmium (Cd), dan Timbal (Pb) pada Daging Kijing Lokal (Pilsbryoconcha exilis) ........................................ 37
4.4.1 Merkuri (Hg) ....................................................................................... 38 4.4.2 Kadmium (Cd)..................................................................................... 39 4.4.3 Timbal (Pb) ......................................................................................... 40
5. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 44
5.1 Kesimpulan ..................................................................................................... 44
5.2 Saran ................................................................................................................ 44
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 46
LAMPIRAN ......................................................................................................... 52
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Kualitas air tempat kijing lokal hidup ............................................................. 30
2. Karakteristik fisik kijing lokal (Pilsbryoconcha exilis) .................................. 34
3. Kandungan proksimat daging kijing lokal (Pilsbryoconcha exilis) ................ 36
4. Kandungan logam berat merkuri daging kijing lokal di perairan Situ Gede .. 39
5. Kandungan logam berat kadmium daging kijing lokal di perairan Situ Gede .......................................................................................................... 41
6. Kandungan logam berat timbal daging kijing lokal di perairan Situ Gede Situ Gede .......................................................................................................... 41
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Kijing lokal (Pilsbryoconcha exilis) ................................................................. 4
2. Perjalanan logam berat sampai ke tubuh manusia ......................................... 11
3. Diagram alir proses depurasi kijing lokal (Pilsbryoconcha exilis) ................. 22
4. Prosedur analisis logam berat ......................................................................... 25
5. Lokasi pengambilan sampel kijing lokal......................................................... 30
6. Histogram konsentrasi DO air ......................................................................... 31
7. Histogram nilai pH air ..................................................................................... 32
8. Histogram nilai kekeruhan air ......................................................................... 33
9. Histogram nilai suhu air .................................................................................. 34
10. Grafik pengaruh perlakuan depurasi terhadap rendemen daging kijing lokal ................................................................................................................. 35
11. Grafik kandungan timbal pada daging kijing lokal berdasarkan ukuran dan perlakuan depurasi .................................................................................. 44
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Peta wilayah Situ Gede ................................................................................... 53
2. Hasil uji statistik ANOVA pengaruh ukuran dan perlakuan depurasi terhadap rendemen daging kijing lokal ........................................................... 54
3. Hasil uji kandungan logam berat daging kijing lokal (Pilsbryoconcha exilis).................................................................................... 55
4. Pengaruh depurasi terhadap kandungan timbal (Pb) daging kijing lokal ....... 56
5. Cara penghitungan jumlah maksimal berat daging kijing yang boleh masuk ke dalam tubuh manusia .................................................................................. 57
6. Hasil uji statistik ANOVA pengaruh ukuran dan perlakuan depurasi terhadap kandungan logam Pb ........................................................................ 58
7. Data kualitas air .............................................................................................. 59
8. Hasil perhitungan kandungan logam berat ...................................................... 60
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kerang merupakan salah satu komoditi perairan yang memiliki nilai
ekonomis tinggi. Perairan Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk
produksi kerang. Volume produksi kerang-kerangan di Indonesia dari tahun
2003-2007 berturut-turut adalah 2.869 ton, 12.991 ton, 16.348 ton, 18.896 ton dan
15.623 ton (DKP 2009).
Kijing lokal (Pilsbryoconcha exilis) termasuk jenis kerang air tawar.
Kijing lokal banyak terdapat di perairan Situ Gede, Bogor. Kijing lokal memiliki
kandungan gizi yang tinggi. Kijing lokal telah dikonsumsi oleh masyarakat Situ
Gede sebagai salah satu alternatif sumber protein selain kerang-kerangan dari laut.
Selain itu, kijing lokal juga dapat digunakan sebagai bahan baku untuk produk
yang berbasis kerang-kerangan. Kerang-kerangan pada umumnya dapat diproses
dalam bentuk kukus, dipanggang, digoreng atau diadon.
Sifat kijing salah satunya adalah filter feeder, yang diduga merupakan
salah satu penyebab tercemarnya kijing tersebut. Hal merugikan dapat terjadi pada
masyarakat bila mengkonsumsi kijing yang ternyata telah tercemar. Salah satu
bahan pencemar yang sering terdapat pada hewan filter feeder adalah logam berat.
Logam berat berbahaya yang sering mencemari lingkungan antara lain merkuri
(Hg), cadmium (Cd), dan timbal (Pb). Logam berat tersebut diketahui dapat
terakumulasi di dalam tubuh suatu organisme, dan tetap tinggal dalam jangka
waktu lama sebagai racun. Logam tersebut dapat terdistribusi ke bagian tubuh
manusia dan sebagian akan terakumulasikan melalui berbagai perantara, salah
satunya adalah melalui makanan yang terkontaminasi oleh logam berat. Jika
keadaan ini berlangsung terus menerus, dalam jangka waktu lama dapat mencapai
jumlah yang membahayakan kesehatan manusia.
Oleh sebab itu, sangat penting untuk mengetahui kandungan logam berat
suatu organisme perairan sebelum organisme tersebut dikonsumsi oleh manusia.
Ukuran kerang maupun waktu pengambilan kerang dapat mempengaruhi
kandungan logam berat. Szefer et al. (1999) melaporkan bahwa kandungan logam
berat berbeda-beda pada kerang yang berbeda ukurannya. Karimah (2002) juga
menyebutkan dalam penelitiannya bahwa tingkat kandungan logam berat pada
kerang mengalami fluktuasi selama tiga bulan. Pencegahan maupun usaha-usaha
untuk mengurangi tingkat pencemaran logam berat pada produk perairan perlu
dilakukan. Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah melalui proses depurasi.
Chan et al. (1999) melaporkan bahwa kandungan logam berat pada kerang sangat
berbeda secara signifikan setelah didepurasi dengan cara ditransplantasi dari
perairan tercemar ke perairan bersih selama setahun. Chong dan Wang (2000)
juga melaporkan bahwa kandungan logam berat mengalami penurunan selama 35
hari depurasi. Pentingnya penelitian ini adalah untuk mengetahui kandungan
logam berat pada daging kijing lokal berukuran kecil dan besar selama periode
dua bulan serta menerapkan perlakuan depurasi sebagai usaha untuk mengurangi
kandungan logam berat.
1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui kandungan logam berat Hg, Cd, dan Pb pada daging kijing
lokal yang berukuran kecil dan besar selama periode dua bulan.
2. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan depurasi terhadap kandungan logam
berat pada daging kijing lokal yang berukuran kecil dan besar.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Klasifikasi dan Deskripsi Kijing Lokal (Pilsbryoconcha exilis)
Pilsbryoconcha exilis termasuk ke dalam filum moluska. Ciri umum dari
filum ini mempunyai bentuk tubuh bilateral atau simetri, tidak beruas-ruas, tubuh
lunak dan ditutupi mantel yang menghasilkan zat kapur, bentuk kepala jelas,
bernapas dengan paru-paru atau insang. Tubuhnya berbentuk pipih secara lateral
dan memiliki dua cangkang (valve) yang berengsel dorsal dan menutupi seluruh
tubuh membuatnya termasuk ke dalam kelas Pelecypoda. Famili Unionidae pada
umumnya banyak ditemukan di kolam-kolam, danau, sungai, situ atau
perairan-perairan tawar lainnya (Suwignyo et al. 1998).
Klasifikasi kijing lokal menurut Jutting (1953):
Filum : Moluska
Kelas : Pelecypoda (Bivalvia)
Famili : Unionidae
Genus : Pilsbryoconcha
Spesies : Pilsbryoconcha exilis Lea
Kijing terdiri dari tiga lapisan utama, yaitu mantel, insang, dan organ
dalam. Mantel menggantung di seluruh tubuh, dan membentuk lembaran yang
luas dari jaringan yang berada di bawah cangkang. Tepi mantel menghasilkan
tiga lipatan yaitu dalam, tengah, dan luar. Otot radial dan circular terdapat pada
lapisan dalam, lapisan tengah berfungsi sebagai sensori, dan lapisan luar terdapat
cangkang. Seluruh permukaan mantel mensekresi zat kapur
(Rupert dan Barnes 1994).
Kijing memakan detritus, alga bersel satu, dan bakteri. Proses yang terjadi
terhadap makanan yang masuk ke dalam tubuhnya (Suwignyo et al. 1998) adalah
sebagai berikut:
1. Makanan masuk melalui sifon inhalant akan dijebak pada insang karena
adanya mukus yang dihasilkan oleh kelenjar hypobranchial.
2. Zat makanan ini akan dialirkan ke mulut oleh sistem silia yang
berkembang dengan baik, yang dikhususkan mengambil makanan dari
permukaan insang menuju mulut. Kemudian makanan akan disortir oleh
palp yang mengelilingi mulut yang mampu membedakan antara makanan
dengan kerikil atau pasir, karena mengandung chemoreceptor.
3. Kerikil atau pseudofeces akan dikeluarkan oleh sifon exhalant, makanan
ditransformasikan ke mulut.
4. Bagian ventral dari perut atau style sac berisi crystalline sac merupakan
mucopolysaccharide yang memproyeksikan makanan ke perut. Sel-sel
yang mensekresikan enzim-enzim pencernaan terdapat pada style sac.
Sel-sel pada style sac tersebut mempunyai cillia yang secara perlahan
memutari style sac, gerakan rotasi ini berlangsung pada chitinous plate
(gastric shield).
5. Gerakan rotasi ini akan mengakibatkan bercampurnya kandungan perut
dan kemudian makanan akan hancur secara mekanis. Material yang tidak
dicerna akan dibuang melalui anus sebagai feses.
Gambar 1. Kijing lokal (Pilsbryoconcha exilis)
Kijing bersifat filter feeder, mekanisme makan bergabung dengan
mekanisme pernafasan. Zat-zat makanan seperti fitoplankton serta organisme
mikroskopik lain akan ikut tersaring dan kemudian diubah menjadi jaringan tubuh
ketika kijing menyaring air. Kijing mampu menyaring volume air sebanyak
300 ml/jam (Turgeon 1988).
Kijing lokal menyukai perairan yang dalam dengan kecerahan yang tinggi,
mengandung bahan organik total yang tinggi dan substrat liat atau berlumpur.
Pola distribusinya memencar dengan populasi berkelompok pada habitatnya.
Faktor lingkungan yang mempengaruhi kehidupan kijing adalah suhu, pH,
oksigen, endapan lumpur, dan fluktuasi permukaan air (Prihartini 1999).
Kijing familia Unionidae bermanfaat secara ekologis karena mampu
menjernihkan air berkat efisiensinya menyaring partikel-partikel tersuspensi dan
alga. Selain itu, kerang Unionidae memiliki potensi ekonomis yaitu sebagai bahan
pangan sumber protein bagi manusia, sumber pakan ternak, industri kancing dan
penghasil mutiara (Prihartini 1999) serta komoditas budidaya perikanan darat
(Suwignyo et al. 1998). Tepung dari daging kijing juga dapat dimanfaatkan
sebagai bahan fortifikasi dalam pembuatan kerupuk (Mathlubi 2006). Ekstrak
kijing juga menunjukkan adanya komponen bioaktif kelompok alkaloid dan
flavonoid (Ayuningrat 2009).
2.2 Karakteristik Logam Berat
Pencemaran yang menghancurkan tatanan lingkungan hidup biasanya
berasal dari limbah-limbah yang sangat berbahaya yang memiliki daya racun yang
tinggi. Logam berat mempunyai sifat yang unik yaitu tidak dapat terdegradasi
secara alami dan cenderung terakumulasi dalam air, tanah, sedimen dasar
perairan, dan tubuh organisme (Miretzky et al. 2004, diacu dalam
Harun et al. 2008). Berdasarkan densitasnya, golongan logam dibagi menjadi
logam ringan (ligth metal) yang memiliki densitas lebih kecil dari 5 gr/cm3 dan
logam berat (heavy metal) yang memiliki densitas lebih besar dari 5 gr/cm3
(Hutagalung 1991). Logam berat adalah unsur-unsur kimia yang terletak di sudut
kanan bawah sistem periodik, mempunyai afinitas yang tinggi terhadap unsur
sulfidril dan biasanya bernomor atom 22 sampai 92 dari perioda 4 sampai 7
(Miettinen 1977, diacu dalam Purnama 2009).
Logam-logam di alam umumnya ditemukan dalam bentuk persenyawaan
dengan unsur lain, sangat jarang yang ditemukan dalam elemen tunggal. Unsur ini
dalam kondisi suhu kamar tidak selalu berbentuk padat melainkan ada yang
berbentuk cair, misalnya merkuri (Hg). Logam dalam perairan pada umumnya
berada dalam bentuk ion-ion, baik sebagai pasangan ion ataupun dalam bentuk
ion-ion tunggal. Logam ditemukan dalam bentuk partikel pada lapisan atmosfir,
unsur-unsur logam tersebut ikut berterbangan dengan debu-debu yang ada di
atmosfir (Palar 2004). Setiap logam memiliki sifat-sifat menurut bentuk dan
kemampuannya (Palar 2004) sebagai berikut:
a. Sebagai penghantar daya listrik (konduktor).
b. Sebagai penghantar panas yang baik.
c. Rapatan yang tinggi.
d. Dapat membentuk alloy dengan logam lainnya.
e. Untuk logam yang padat, dapat ditempa dan dibentuk.
Logam berat dapat menimbulkan efek gangguan terhadap kesehatan
manusia, tergantung pada bagian mana dari logam berat tersebut yang terikat
dalam tubuh serta besarnya dosis paparan. Efek toksik dari logam berat mampu
menghalangi kerja enzim sehingga mengganggu metabolisme tubuh,
menyebabkan alergi, bersifat mutagen, teratogen, atau karsinogen bagi manusia
maupun hewan (Widowati et al. 2008).
Air sering tercemar oleh komponen-komponen anorganik antara lain
berbagai logam berat yang berbahaya. Logam berat banyak digunakan dalam
berbagai keperluan sehari-hari dan secara langsung maupun tidak langsung dapat
mencemari lingkungan dan apabila sudah melebihi batas yang ditentukan
berbahaya bagi kehidupan. Peristiwa yang menonjol dan dipublikasikan secara
luas akibat pencemaran logam berat adalah pencemaran merkuri (Hg) yang
menyebabkan Minamata desease di teluk Minamata, Jepang dan pencemaran
kadmium (Cd) yang menyebabkan Itai-itai disease di sepanjang sungai Jinzo di
Pulau Honsyu, Jepang (Darmono 1995).
Logam berat sebagian bersifat essensial bagi organisme air untuk
pertumbuhan dan perkembangan hidupnya, antara lain dalam pembentukan
haemosianin dalam sistem darah dan enzimatik pada biota (Darmono 1995).
Apabila logam berat masuk ke dalam tubuh dengan jumlah yang berlebih, maka
akan berubah fungsi menjadi racun bagi tubuh (Palar 2004).
Tingkat toksisitas logam berat terhadap hewan air, mulai dari yang paling toksik,
adalah Hg, Cd, Zn, Pb, Cr, Ni, dan Co. Tingkat toksisitas terhadap manusia dari
yang paling toksik adalah Hg, Cd, Ag, Ni, Pb, As, Cr, Sn, dan Zn (Widowati et al.
2008).
2.2.1 Raksa (Hg)
Logam merkuri (Hg) adalah salah satu trace element yang mempunyai
sifat cair (Budiono 2003). Raksa pada fase cair berwarna putih perak, sedangkan
pada fase padat berwarna abu-abu. Logam ini merupakan satu-satunya unsur
logam berat yang berbentuk cair pada suhu kamar (25 oC) (Hutagalung 1985).
Merkuri yang terdapat dalam limbah atau waste di perairan umum diubah
oleh aktivitas mikroorganisme menjadi komponen metil merkuri (CH3-Hg) yang
memiliki sifat racun dan daya ikat yang kuat disamping kelarutannya yang tinggi
terutama dalam tubuh hewan air. Hal tersebut mengakibatkan merkuri
terakumulasi melalui proses bioakumulasi dan biomagnifikasi dalam jaringan
tubuh hewan-hewan air, sehingga kadar merkuri dapat mencapai level yang
berbahaya baik bagi kehidupan hewan air maupun kesehatan manusia, yang
makan hasil tangkap hewan-hewan air tersebut (Budiono 2003). Sanusi (1980)
mengemukakan bahwa terjadinya proses akumulasi merkuri di dalam tubuh
hewan air, karena kecepatan pengambilan merkuri (up take rate) oleh organisme
air lebih cepat dibandingkan dengan proses eksresi.
Merkuri digolongkan sebagai pencemar paling berbahaya diantara
berbagai macam logam berat. Disamping itu, ternyata produksinya cukup besar
dan penggunaannya di berbagai bidang cukup luas (Budiono 2003).
Kadar merkuri yang tinggi pada perairan umumnya diakibatkan oleh
buangan industri (industrial wastes) dan akibat sampingan dari penggunaan
senyawa-senyawa merkuri di bidang pertanian. Merkuri dapat berada dalam
bentuk metal, senyawa-senyawa anorganik dan senyawa organik.
Terdapatnya merkuri di perairan dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu pertama
oleh kegiatan perindustrian seperti pabrik cat, kertas, peralatan listrik, klorin dan
soda kaustik; kedua oleh alam itu sendiri melalui proses pelapukan batuan dan
peletusan gunung berapi. Pencemaran merkuri yang disebabkan kegiatan alam
pengaruhnya terhadap biologi maupun ekologi tidak signifikan (Budiono 2003).
Gavis dan Ferguson (1972) diacu dalam Sanusi (1980) mengemukakan
beberapa kemungkinan bentuk merkuri yang masuk ke dalam lingkungan perairan
alam, yaitu:
a. Sebagai inorganik merkuri, melalui hujan, run-off ataupun aliran sungai.
Unsur ini bersifat stabil terutama pada keadaan pH rendah.
b. Dalam bentuk organik merkuri, yaitu fenil merkuri (C6-H5-Hg), metil
merkuri (CH3-Hg) dan alkoksialkil merkuri atau metioksi-etil merkuri
(CH3O-CH2-CH2-Hg+).
c. Organik merkuri yang terdapat di perairan alam dapat berasal dari kegiatan
pertanian (pestisida).
d. Terikat dalam bentuk suspended solid sebagai Hg2+ (ion merkuri),
mempunyai sifat reduksi yang baik.
e. Sebagai metalik merkuri (HgO), melalui kegiatan perindustrian dan
manufaktur.
Unsur ini memiliki sifat reduksi yang tinggi, berbentuk cair pada
temperatur ruang dan mudah menguap. Transfer dan transformasi merkuri dapat
dilakukan oleh phytoplankton dan bakteri, disebabkan kedua organisme tersebut
relatif mendominasi suatu perairan, dan juga oleh sea grasses. Bakteri dapat
merubah merkuri menjadi metil merkuri, dan membebaskan merkuri dari sedimen.
Dalam kegiatannya bakteri membutuhkan bahan organik atau komponen-
komponen karbon, nitrogen dan posphat sebagai makanannya (Goldwater 1971;
Wood 1972, diacu dalam Sanusi 1980).
2.2.2 Kadmium (Cd)
Kadmium (Cd) adalah salah satu logam berat dengan penyebaran yang
sangat luas di alam, logam ini bernomor atom 40, berat atom 112,40 dengan titik
cair 321 oC dan titik didih 767 oC. Logam Cd di alam bersenyawa dengan
belerang (S) sebagai greennocckite (CdS) yang ditemui bersamaan dengan
senyawa spalerite (ZnS). Kadmium merupakan logam lunak (ductile) berwarna
putih perak dan mudah teroksidasi oleh udara bebas dan gas Amonia (NH3) (Palar
2004). Logam Cd akan mengendap di perairan karena senyawa sulfitnya sukar
larut (Bryan 1976, diacu dalam Sanusi 1985).
Kadmium (Cd) merupakan logam yang sangat penting dan banyak
kegunaannya, khususnya untuk electroplating (pelapisan elektrik) serta
galvanisasi karena Cd memiliki keistimewaan nonkorosif. Cd banyak digunakan
dalam pembuatan alloy, dan digunakan pula sebagai pigmen warna cat, keramik,
plastik, stabilizer plastik, katode untuk Ni-Cd pada baterai, bahan fotografi,
pembuatan tabung TV, karet, sabun, kembang api, percetakan tekstil, dan pigmen
untuk gelas dan email gigi (Widowati et al. 2008).
Kadmium di atmosfer berasal dari penambangan/pengolahan bahan
tambang, peleburan, galvanisasi, pabrik pewarna, pabrik baterai, dan
electroplating. Kadmium di tanah berasal dari endapan atmosfer, debu, air, limbah
tambang, pupuk limbah lumpur, pupuk fosfat, dan pestisida, sedangkan kadmium
di perairan berasal dari endapan atmosfer, debu, air, limbah tambang, air
pengolahan limbah, dan limbah cair industri (Widowati et al. 2008).
2.2.3 Timbal (Pb)
Timbal (Pb) memiliki titik lebur rendah, mudah dibentuk, memiliki sifat
kimia yang aktif, sehingga bisa digunakan untuk melapisi logam agar tidak timbul
perkaratan. Pb adalah logam lunak berwarna abu-abu kebiruan mengkilat serta
mudah dimurnikan dari pertambangan. Timbal meleleh pada suhu 328 oC; titik
didih 1740 oC; dan memiliki gravitasi 11,34 dengan berat atom 207,20
(Widowati et al. 2008).
Salah satu logam berat yang banyak mencemari air sungai adalah
timbal (Pb). Tercemarnya air sungai oleh limbah pabrik yang mengandung Pb
menyebabkan tanaman konsumsi yang tumbuh di daerah sungai menjadi tercemar
oleh Pb (Kohar et al. 2004). Timbal (Pb) merupakan salah satu pencemar yang
dipermasalahkan karena bersifat sangat toksik dan tergolong sebagai bahan
buangan beracun dan berbahaya (Purnomo dan Muchyiddin 2007).
Timbal (Pb) adalah logam yang bersifat toksik terhadap manusia, yang
bisa berasal dari tindakan mengkonsumsi makanan, minuman, atau melalui
inhalasi dari udara, debu yang tercemar Pb, kontak lewat kulit, mata, dan
parenteral. Logam Pb bisa menghambat aktivitas enzim yang terlibat dalam
pembentukan hemoglobin (Hb) di dalam tubuh manusia dan sebagian kecil Pb
diekskresikan lewat urin atau feses karena sebagian terikat oleh protein,
sedangkan sebagian lagi terakumulasi dalam ginjal, hati, kuku, jaringan lemak,
dan rambut (Widowati et al. 2008).
2.2.4 Pencemaran oleh logam berat
Pencemaran lingkungan perairan oleh logam berat beracun (toxic heavy
metals) disebabkan terutama oleh meningkatnya skala kegiatan sektor
perindustrian yang tidak disertai dengan proses penanggulangan air limbah yang
dihasilkan. Umumnya air limbah industri mengandung unsur logam berat beracun
seperti Hg, Cd, Pb, Cu, Zn, dan lainnya (Sanusi et at. 1985). Penggunaan logam
sebagai bahan baku berbagai jenis industri untuk memenuhi kebutuhan manusia
akan mempengaruhi kesehatan manusia melalui dua jalur (Widowati et al. 2008),
yaitu:
1. Kegiatan industri akan menambah polutan logam dalam lingkungan udara, air,
tanah, dan makanan.
2. Perubahan biokimia logam sebagai bahan baku berbagai jenis industri bisa
mempengaruhi kesehatan manusia.
Unsur-unsur logam berat secara alamiah terdapat di seluruh alam baik di
tanah, air maupun udara, namun dalam kadar yang sangat rendah. Kadar ini akan
meningkat bila limbah perkotaan, pertambangan, pertanian, dan perindustrian
yang banyak mengandung logam berat masuk ke lingkungan perairan secara
kontinyu tanpa melalui proses pengolahan terlebih dahulu (Hutagalung 1984).
Logam berat merupakan salah satu unsur pencemar perairan yang bersifat
toksik dan perlu diwaspadai. Nilai baku mutu air untuk budidaya ikan (Kep.
02/MENKLH/I/1988) yang diperbolehkan untuk kandungan logam berat Hg, Cd,
dan Pb berturut-turut adalah 0,003 ppm, 0,1 ppm, dan 0,01 ppm (Wahyono 1993).
Polutan logam mencemari lingkungan, baik di lingkungan udara, air, dan tanah
yang berasal dari proses alami dan kegiatan industri. Proses alami antara lain
siklus alamiah sehingga bebatuan gunung berapi bisa memberikan konstribusi ke
lingkungan udara, air, dan tanah. Kegiatan manusia yang bisa menambah polutan
bagi lingkungan berupa kegiatan industri, pertambangan, pembakaran bahan
bakar, serta kegiatan domestik lain yang mampu meningkatkan kandungan logam
di lingkungan udara, air, dan tanah. Pencemaran logam di darat, yakni di tanah,
selanjutnya akan mencemari bahan pangan, baik yang berasal dari tanaman atau
hewan dan akhirnya dikonsumsi oleh manusia. Pencemaran logam, baik dari
industri, kegiatan domestik, maupun sumber alami dari batuan akhirnya sampai ke
sungai/laut dan selanjutnya mencemari manusia melalui ikan, air minum, atau air
sumber irigasi lahan pertanian sehingga tanaman sebagai sumber pangan manusia
tercemar logam. Pencemaran logam melalui udara terjadi melalui beberapa jalur.
Salah satunya adalah melalui kontak langsung dengan manusia atau proses
inhalasi (Widowati et al. 2008). Gambar 2 menunjukkan perjalanan logam sampai
ke tubuh manusia.
Gambar 2. Perjalanan logam berat sampai ke tubuh manusia
(Klassen et al. 1986; Marganof 2003, diacu dalam Widowati et al. 2008).
Faktor yang menyebabkan logam berat dikelompokkan ke dalam bahan
pencemar adalah karena logam berat tidak dapat terurai melalui biodegradasi
seperti pencemaran organik. Logam berat dapat terakumulasi dalam lingkungan
terutama dalam sedimen sungai kemudian terikat dengan senyawa organik dan
anorganik melalui absorpsi dan pembentukan kompleks (Harahap 1991).
Batuan gunung berapi
Darat Limbah logam
Sungai Laut Udara
Industri
Fitoplankton Kolam Pertanian, Peternakan
Ikan Pangan, Tanaman, Hewan
Air minum
Bentos Manusia
Zooplankton
Berdasarkan hasil penelitian BPLHD, Dinas Perikanan dan Kelautan
Provinsi Jawa Barat, dan Institut Teknologi Bandung, pencemaran oleh berbagai
jenis logam terhadap waduk Cirata mempengaruhi ikan yang dibudidayakan di
waduk tersebut. Diketahui bahwa logam Zn, Pb, dan Hg diabsorpsi dan
diakumulasi oleh ikan. Sementara itu, unsur Cd, Cr, Cu, dan As tidak terdeteksi
dalam tubuh ikan (Widowati et al. 2008). Pencemaran logam berat dapat
menimbulkan berbagai masalah (Harahap 1991), antara lain:
1. Berhubungan dengan estetika seperti perubahan bau, warna, dan rasa air.
2. Dapat menimbulkan bahaya bagi kehidupan tanaman dan binatang.
3. Berbahaya bagi kesehatan manusia.
4. Dapat menyebabkan kerusakan ekosistem.
2.2.5 Akumulasi logam berat oleh organisme
Bahan pencemar yang masuk ke dalam lingkungan perairan akan
mengalami tiga macam proses akumulasi, yaitu fisik, kimia, dan biologis.
Buangan limbah industri yang mengandung bahan berbahaya dengan toksisitas
yang tinggi dan kemampuan biota laut untuk menimbun logam-logam bahan
pencemar mengakibatkan bahan pencemar langsung terakumulasi secara fisik dan
kimia kemudian mengendap di dasar perairan. Metabolisme bahan berbahaya
terjadi melalui rantai makanan secara biologis yang disebut bioakumulasi
(Hutagalung 1984).
Kadar logam berat yang terdapat dalam tubuh organisme perairan lebih
tinggi jika dibandingkan dengan kadar logam berat yang terdapat dalam
lingkungan hidupnya. Unsur-unsur logam berat dapat masuk ke dalam tubuh
organisme dengan tiga cara, yaitu melalui rantai makanan, insang, dan difusi
melalui permukaan kulit. Pengeluaran logam berat dari tubuh dan insang serta
melalui isi perut dan urine (Bryan 1976).
Logam berat bersifat toksik karena tidak bisa dihancurkan
(non-degradable) oleh organisme hidup yang ada di lingkungan sehingga
logam-logam tersebut terakumulasi ke lingkungan, terutama mengendap di dasar
perairan dan membentuk senyawa kompleks bersama bahan organik dan
anorganik (Widowati et al. 2008). Akumulasi terjadi karena kecenderungan logam
berat untuk membentuk senyawa komplek dengan zat-zat organik yang terdapat
dalam tubuh organisme sehingga logam berat terfiksasi dan tidak segera
diekskresikan oleh organisme yang bersangkutan (Waldichuk 1974).
2.2.6 Pengaruh logam berat Hg, Cd, dan Pb pada manusia
Pengaruh logam berat pada manusia dapat beraneka ragam, tergantung
jenis logam yang mencemarinya. Toksisitas logam berat bisa dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu bersifat toksik tinggi yang terdiri dari unsur-unsur Hg, Cd, Pb,
Cu, dan Zn; bersifat toksik sedang, yang terdiri dari unsur-unsur Cr, Ni, dan Co;
dan bersifat toksik rendah, yang terdiri atas unsur Mn dan Fe
(Widowati et al. 2008).
a. Logam berat merkuri (Hg)
Merkuri terdapat dalam bentuk Hg (murni), Hg anorganik, dan Hg
organik. Merkuri di alam umumnya terdapat sebagai metil merkuri yaitu bentuk
senyawa organik (alkil merkuri atau metil merkuri) dengan daya racun yang tinggi
dan sukar terurai dibandingkan zat asalnya. Metil merkuri bila terakumulasi dalam
tubuh dapat mengakibatkan keracunan yang bersifat akut maupun kronis
(Hamidah 1980).
Efek toksik Hg berkaitan dengan susunan syaraf yang sangat peka
terhadap Hg dengan gejala pertama adalah parestesia, lalu ataksia, disartria,
ketulian, dan akhirnya kematian. Terdapat hubungan antara dosis Hg dengan
gejala toksisitas, seperti keracunan metil merkuri di Irak yang menunjukkan kadar
Hg pada rambut korban minimum 100 ppm sehingga muncul kasus parestesia.
Merkuri (Hg) bisa menghambat pelepasan GnRH (gonadotropin releasing
hormone) oleh kelenjar hipotalamus dan menghambat ovulasi sehingga terjadi
akumulasi Hg pada korpus luteum (Widowati et al. 2008).
Keracunan akut dapat mengakibatkan rasa mual, muntah-muntah, diare
berdarah, kerusakan ginjal serta dapat mengakibatkan kematian. Keracunan kronis
ditandai oleh peradangan mulut dan gusi, pembengkakan kelenjar ludah dan
pengeluaran ludah secara berlebihan, gigi menjadi longgar dan kerusakan pada
ginjal (Hamidah 1980). Batas aman merkuri dalam makanan oleh Badan
Kesehatan Dunia (WHO) dan Ketetapan Departemen Kesehatan Republik
Indonesia adalah 0,5 ppm (Nurjanah dan Widiastuti 1997).
b. Logam berat kadmium (Cd)
Logam berat Cd merupakan unsur logam berat yang paling beracun setelah
logam berat Hg. Logam berat Cd akan diubah sebagian oleh aktivitas bakteri
menjadi senyawa organik yang lebih beracun (Hutagalung dan Hamidah 1982).
Senyawa Hg dan Cd yang terdapat dalam tubuh organisme secara cepat atau
lambat akan ditranslokasikan ke dalam tubuh manusia melalui pemanfaatan
organisme perairan sebagai makanan (rantai makanan) (Hutagalung 1985).
Keracunan Cd pada manusia bersifat kronis. Logam ini dapat merusak
tulang, hati, dan ginjal. Logam Cd akan mempengaruhi proses metabolisme
kalsium yang dapat menyebabkan gangguan tulang, rasa sakit pada tulang
belakang dan kerapuhan pada tulang kaki sehingga penderita menjadi lemah.
Logam Cd di dalam hati dan ginjal akan mengikat protein yang ada pada
membran hati dan ginjal sehingga menimbulkan rasa sakit (Lauwerys 1983).
Keracunan kadmium dapat mengakibatkan efek yang kronik dan akut.
Efek kronis dari keracunan kadmium biasanya mengakibatkan kerusakan pada
ginjal, kerusakan pada sistem syaraf, dan sebagian renal tubules (Laws 1981).
Batas aman logam berat Cd dalam makanan baik oleh Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, FDR New Zealand serta FAO adalah sama yaitu 1 ppm,
tetapi Australia menetapkan batas aman logam Cd pada makanan adalah 2 ppm
(Nurjanah dan Widiastuti 1997).
c. Logam berat timbal (Pb)
Logam Pb dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui udara, air dan
makanan, baik yang berasal dari tanaman, hewan, dan organisme laut
(Nasralla dan Ali 1985). Keracunan yang disebabkan oleh logam Pb dapat
mengakibatkan efek yang kronis dan akut. Keracunan akut dapat mengakibatkan
terbakarnya mulut, terjadinya perangsangan dalam gastrointestinal dan disertai
diare. Keracunan yang kronis dapat menyebabkan anemia, sakit di sekitar perut
serta dapat pula mengakibatkan kelumpuhan. Logam Pb dapat mempengaruhi
kerja dari enzim-enzim atau fungsi dari protein (Hamidah 1980).
Logam Pb di dalam tubuh manusia bisa menghambat aktivitas enzim yang
terlibat dalam pembentukan hemoglobin (Hb) dan sebagian kecil Pb diekskresikan
lewat urin atau feses karena sebagian terikat oleh protein, sedangkan sebagian lagi
terakumulasi dalam ginjal, hati, kuku, jaringan lemak, dan rambut. Waktu paruh
timbal (Pb) dalam eritrosit adalah selama 35 hari, dalam jaringan ginjal dan hati
selama 40 hari, sedangkan waktu paruh dalam tulang adalah selama 30 hari.
Tingkat ekskresi Pb melalui sistem urinaria adalah sebesar 76%, gastrointestinal
16%, dan rambut, kuku, serta keringat sebesar 8% (Klaassen et al. 1986, diacu
dalam Widowati et al. 2008).
Daya racun Pb dalam tubuh diantaranya disebabkan penghambatan enzim
oleh ion-ion Pb2+ dengan grup sulfur yang terdapat di dalam asam-asam amino,
misalnya sistein dari enzim tersebut (Fardiaz 1992). Departemen Kesehatan
Republik Indonesia membatasi Pb maksimum dalam makanan sebesar 4 ppm,
sedangkan FAO sebesar 2 ppm (Nurjanah dan Widiastuti 1997).
Timbal bersifat kumulatif. Mekanisme toksisitas Pb berdasarkan organ
yang dipengaruhinya (Widowati et al. 2008) adalah:
1. Sistem haemopoitik; logam Pb menghambat sistem pembentukan
hemoglobin (Hb) sehingga menyebabkan anemia.
2. Sistem saraf; logam Pb bisa menimbulkan kerusakan otak dengan gejala
epilepsi, halusinasi, kerusakan otak besar, dan delirium.
3. Sistem urinaria; logam Pb bisa menyebabkan lesi tubulus proksimalis, loop
of Henle, serta menyebabkan aminosiduria.
4. Sistem gastro-intestinal; logam Pb menyebabkan kolik dan konstipasi.
5. Sistem kardiovaskuler; logam Pb bisa menyebabkan peningkatan
permiabilitas pembuluh darah.
6. Sistem reproduksi berpengaruh terutama terhadap gametotoksisitas atau
janin belum lahir menjadi peka terhadap Pb. Ibu hamil yang
terkontaminasi Pb bisa mengalami keguguran, tidak berkembangnya sel
otak embrio, kematian janin waktu lahir, serta hipospermia dan
teratospermia pada pria.
7. Sistem endokrin; logam Pb mengakibatkan gangguan fungsi tiroid dan
fungsi adrenal.
8. Bersifat karsinogenik dalam dosis tinggi.
2.3 Depurasi
Menurut Trilaksani dan Riyanto (2004), salah satu tahap operasional
pengolahan moluska yang sangat penting dan tidak dapat diabaikan untuk
mendapatkan produk akhir yang berkualitas adalah rewatering procedure. Tujuan
dari rewatering adalah sangat multifungsi antara lain:
a. mengkondisikan moluska untuk recovery dari stres akibat pemanenan dan
penanganan
b. menciptakan 2–3 buffer stock untuk kelangsungan produksi dalam kasus ada
cuaca buruk (bad weather)
c. dapat digunakan untuk pembersihan moluska terhadap akumulasi kotoran
seperti pasir, grit, dan silt
d. sistem ini juga dapat digunakan sebagai stasiun depurasi bila diperlukan
Depurasi atau purifikasi terkendali merupakan hal yang umum dilakukan
dalam proses kerang-kerangan (DHHS dan FDA 1995, diacu dalam
Zhu et al. 1999). Depurasi adalah suatu proses penanganan pasca panen yang
bertujuan untuk membersihkan kerang-kerangan dari bahan-bahan pencemar dan
beracun yang terdapat di dalam daging dan cangkang kerang. Cara sederhana
dengan merendam kerang di dalam air bersih dalam kondisi terkontrol, atau dapat
juga dengan cara mengalirkan air dengan kondisi kerang terendam di dalam air
(DKP 2008).
Sistem yang paling baik untuk revitalisasi mussel yang telah diidentifikasi
adalah Vertical Rewatering Method (VRM). Metode ini menjamin suplai air dan
oksigen secara merata ke seluruh lapisan kerang di dalam container dan kerang
akan selalu terendam di dalamnya. Ukuran tempat (container) sangat bervariasi
dari 1–10 m3, dari bahan plastik sampai stainless steel (Gorski 1999, diacu dalam
Trilaksani dan Riyanto 2004).
Kerang-kerangan membersihkan diri selama depurasi dengan cara
menekskresikan kotoran mereka. Sistem mengalir (flow-through system) biasanya
berpangkalan di darat dan diterapkan dengan pasokan kualitas air yang tetap.
Sistem sirkulasi (recirculating system) dapat dibangun di pedalaman, memiliki
keuntungan wilayah yang ridak terbatas, lebih efisien, dan akses kapal lebih
mudah (Zhu et al. 1999).
Air yang digunakan untuk rewatering harus bebas dari bakteri, mendekati
100% saturasi oksigen, dan tidak mengandung partikel tersuspensi. Biasanya
rewatering dilakukan selama 8-12 jam (tergantung kondisi kerang yang
ditangani). The European Community Directives, yang juga compatible dengan
standar FDA mengklasifikasikan semua areal laut untuk kultur moluska menjadi
empat golongan dan hanya moluska yang dikultur atau dipanen pada areal dengan
kategori kualitas air A yang dapat langsung dikonsumsi, sedangkan yang berasal
dari kategori perairan lainnya harus didepurasi. Ketika menggunakan sistem
rewatering untuk depurasi moluska maka waktu yang diperlukan tergantung pada
kualitas perairan asal moluska tersebut dipanen dan peraturan negara setempat,
sebagai contoh Italia dan Spanyol mewajibkan adanya depurasi bila moluska
dipanen pada perairan yang kualitas airnya tidak baik
(Trilaksani dan Riyanto 2004).
Purifikasi logam berat pada oyster sebelum dipanen untuk dijual dan
dikonsumsi akan dilakukan untuk meminimalisasi risiko terhadap kesehatan.
Kandungan logam berat pada kerang sangat berbeda secara signifikan setelah
didepurasi dengan cara ditransplantasi dari perairan tercemar ke perairan bersih
selama setahun (Chan et al. 1999).
2.4 Kualitas Air
Kualitas air merupakan faktor penting untuk kelangsungan hidup kijing.
Faktor lingkungan yang mempengaruhi kehidupan kijing adalah suhu, pH,
oksigen, endapan lumpur, dan fluktuasi permukaan air (Prihartini 1999).
2.4.1 Suhu
Suhu berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, biologi badan air dan juga
kehidupan biota yang ada di dalamnya. Peningkatan suhu mengakibatkan
viskositas, reaksi kimia, evaporasi, dan volatilisasi juga meningkat, tetapi
menurunkan kelarutan gas dalam air. Dekomposisi bahan organik dalam perairan
oleh mikroba juga meningkat dengan meningkatnya suhu. Peningkatan suhu
perairan sebesar 10 oC meningkatkan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik
sekitar 2-3 kali (Effendi 2003).
Suhu di suatu ekosistem air berfluktuasi baik harian maupun tahunan,
fluktuasinya mengikuti pola temperatur udara lingkungan sekitar (Basmi 1998).
Suhu perairan yang tidak sesuai dengan tingkat toleransi biota, misal terlalu tinggi
atau terlalu rendah dapat menghambat pertumbuhan pada biota tersebut. Kijing
dapat hidup pada perairan dengan suhu antara 11 oC sampai 29 oC
(Suwignyo et al. 1981).
2.4.2 Kekeruhan
Kekeruhan adalah gambaran sifat optik air suatu perairan yang ditentukan
berdasarkan banyaknya cahaya yang diserab dan dipancarkan oleh bahan-bahan
yang terdapat dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh bahan organik dan anorganik
baik tersuspensi maupun terlarut seperti lumpur, pasir halus, bahan anorganik dan
bahan organik seperti plankton dan mikroorganisme lainnya (APHA 1998).
Pennak (1953) menyebutkan bahwa suhu, suplai makanan, arus air, unsur kimia
tertentu di dalam air sangat dipengaruhi oleh kekeruhan. Suatu perairan yang
keruh akan lebih panas dari perairan yang jernih (Welch 1952).
Kekeruhan yang tinggi pada perairan dapat menekan pertumbuhan
tanaman air dan alga sehingga mempengaruhi produktivitas ikan maupun
organisme perairan lainnya. Bahan-bahan padat yang banyak terdapat pada
keadaan yang tak tentu dalam air mungkin dihasilkan dari erosi alami, aliran
permukaan, dan banyaknya alga (Priyono 1994).
2.4.3 Oksigen terlarut (DO)
Oksigen terlarut merupakan kebutuhan dasar untuk kehidupan tanaman
dan hewan dalam air. Kehidupan makhluk hidup dalam air tersebut tergantung
dari kemampuan air untuk mempertahankan konsentrasi oksigen minimum yang
dibutuhkan untuk kehidupannya. Oksigen di perairan bersumber dari difusi udara
dan hasil dari proses fotosintesis oleh organisme nabati, seperti fitoplankton dan
tumbuhan air di zona eufotik (Effendi 2003). Selain itu, oksigen dapat masuk ke
perairan karena terbawa oleh aliran air yang masuk ke dalam badan perairan
(inflow). Aliran air yang masuk bergerak ke waduk sebagai arus densitas.
Ketika aliran air sungai memasuki suatu danau atau waduk, aliran air tersebut
akan mengalir menuju lapisan yang memiliki densitas yang hampir sama dengan
densitasnya (Suwignyo et al. 1981).
Konsentrasi kelarutan oksigen dalam air secara umum adalah kurang dari
10 mg/l. Kejenuhan oksigen dalam air tawar kurang lebih antara 15 mg/l pada
suhu 0 oC sampai dengan 8 mg/l pada suhu 25 oC. Kelarutan oksigen berpengaruh
secara fisiologis bagi organisme akuatik. Banyak organisme air yang tidak dapat
bertahan di bawah tingkat kelarutan oksigen tertentu (Priyono 1994). Kijing
membutuhkan oksigen terlarut 3,8 sampai 12,5 mg/l, namun kijing dapat bertahan
dengan kadar oksigen yang sedikit dalam jangka waktu pendek. Kijing dapat
mengatur tingkat metabolisme oksigen dengan baik sehingga masih dapat hidup
pada keadaan kandungan oksigen dalam air sangat sedikit (Suwignyo et al. 1981).
2.4.4 pH
Nilai pH mencirikan keseimbangan antara asam dan basa dalam air dan
merupakan pengukuran aktifitas ion hidrogen dalam larutan. Selain itu, pH air
dapat mempengaruhi jenis dan susunan zat dalam lingkungan dan mempengaruhi
tersedianya hara serta toksisitas dari unsur renik. Nilai pH diperoleh dari hasil
interaksi sejumlah substansi yang terlarut dalam air dan dari kejadian-kejadian
biologi di dalamnya. Kebanyakan perairan mempunyai pH antara 6-9. Sebagian
besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar
7-8,5 (Effendi 2003). Kijing dapat bertahan hidup pada perairan dengan pH antara
4,8 sampai 9,8 (Suwignyo et al. 1981).
Perairan asam tidak lebih umum daripada perairan alkali. Sumber
pembuangan air asam dan sampah-sampah industri yang tidak dinetralkan
menyebabkan pengurangan pH air. Nilai pH air akan mempengaruhi komposisi
jenis suatu lingkungan akuatik dan mempengaruhi tersedianya nutrisi dan racun
pada bagian-bagian tertentu (Priyono 1994).
3. METODOLOGI
3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei – Agustus 2009. Penelitian
dilakukan di Laboratorium Pengolahan Hasil Samping dan Limbah, Laboratorium
Biokimia Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan, Laboratorium Nutrisi Ternak Perah, Fakultas
Peternakan, Laboratorium Lingkungan Akuakultur, Departemen Budidaya
Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, dan
Balai Penelitian Tanah, Bogor.
3.2 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah kijing lokal
(Pilsbryoconcha exilis), sampel air danau Situ Gede, sampel air PAM, kalium
sulfat (K2SO4), HgO, asam sulfat (H2SO4), asam borat (H3BO3) 3%, asam klorida
(HCl), asam nitrat pekat (HNO3), larutan HClO4: HNO3 (2:1), dan aquades.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat destruksi dan destilasi
kjeldahl, water checker, Turbidimeter, termometer, neraca analitik, oven, tungku
pengabuan, desikator, cawan porselin, sentrifuse, vakum evaporator, dan peralatan
gelas meliputi labu alas bulat, pendingin tegak, pipet volumetrik, pipet tetes, labu
takar, erlenmeyer dan lain-lain. Untuk menganalisis kandungan logam berat
digunakan peralatan Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) jenis Hitachi
Z5000.
3.3 Prosedur Penelitian
Inventarisasi wilayah pengambilan sampel dilakukan sebelum dimulai
penelitian. Inventarisasi dilakukan dengan cara mengumpulkan informasi dari
penduduk di sekitar wilayah pengambilan sampel atau dari pihak yang terkait.
Informasi yang diharapkan mampu memberi keterangan mengenai luas wilayah,
jumlah penduduk, kualitas perairan, titik pengambilan sampel, dan informasi
lainnya yang berhubungan dengan penelitian yang dilakukan. Penelitian ini
dilaksanakan dalam beberapa tahap, meliputi:
3.3.1 Pengambilan sampel
Sampel kijing lokal diambil dari perairan tergenang di Situ Gede,
Sindangbarang, Bogor selama dua periode yaitu bulan Mei dan Juli. Sampel kijing
diambil pada titik yang sama selama dua periode tersebut dengan luas titik
berkisar (5 x 5) m2. Titik pengambilan sampel ditentukan berdasarkan informasi
dari penduduk Situ Gede yang sering mengambil kijing di perairan tersebut.
Sampel kijing yang diambil dikelompokkan menjadi dua yaitu kijing ukuran kecil
(panjang <9 cm) dan kijing ukuran besar (panjang ≥9 cm).
3.3.2 Persiapan sampel dan depurasi
Sampel yang diambil akan dianalisis kandungan logam beratnya (Hg, Cd,
dan Pb). Selanjutnya diberikan perlakuan depurasi pada kijing yang diambil bulan
Juli untuk mengurangi kandungan logam berat (Hg, Cd, atau Pb) yang paling
banyak terdapat pada daging kijing. Selain itu, pengaruh depurasi terhadap
kualitas air dan rendemen daging kijing juga dianalisis.
Kijing yang diambil dari situ akan diaklimatisasi terlebih dahulu selama
satu hari. Aklimatisasi dilakukan dengan cara mengganti air danau tempat kijing
hidup semula secara bertahap dengan air PAM pada wadah depurasi. Aklimatisasi
bertujuan untuk menyesuaikan lingkungan hidup kijing yang asli dengan
lingkungan hidup yang baru. Setelah diaklimatisasi, kijing akan diberikan
perlakuan depurasi selama 10 hari dan 20 hari dengan cara mengganti air tempat
kijing hidup setiap 12 jam sekali dengan air yang sama kualitasnya (Chong dan
Wang 2000 dengan modifikasi). Chong dan Wang (2000) pada penelitiannya
memberi makanan yang mengandung logam pada kerang yang didepurasi dan
penggantian air setiap 24 jam. Penelitian ini tidak terdapat pemberian makan pada
kijing dan penggantian air dilakukan setiap 12 jam. Diagram alir proses depurasi
kijing dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Diagram alir proses depurasi kijing lokal (Pilsbryoconcha exilis) (Chong dan Wang 2000 dengan modifikasi)
3.3.2 Pengamatan dan analisis
Pengamatan terhadap ukuran panjang, lebar, tebal, dan rendemen dari
kijing dilakukan terlebih dahulu sebelum dilakukan analisis. Bagian kijing yang
dianalisis dihancurkan hingga homogen, lalu disimpan dalam plastik polyetilen
yang bersih dan diikat rapat, kemudian sampel disimpan dalam freezer. Sebelum
dianalisis, sampel diperiksa dahulu apakah sampel tetap dalam keadaan homogen.
Bila terdapat cairan yang terpisah dari sampel, maka sampel diblender dulu
hingga homogen. Analisis yang dilakukan adalah kadar logam Hg, Cd, Pb dan
proksimat dari sampel.
3.3.2.1 Analisis proksimat kijing lokal (Pilsbryoconcha exilis)
Analisis proksimat kijing dilakukan dengan metode yang mengacu pada
AOAC (1995), meliputi:
Kijing (ukuran kecil dan besar
Depurasi (Penggantian air setiap 12 jam sekali)
Aklimatisasi (24 jam)
Analisis kandungan logam berat
Analisis kandungan logam berat (setelah depurasi selama 10 hari)
Analisis kandungan logam berat (setelah depurasi selama 20 hari)
a. Kadar air (AOAC 1995)
Penentuan kadar air didasarkan berat contoh sebelum dan sesudah
dikeringkan. Cawan kosong dikeringkan di dalam oven selama 30 menit pada
suhu 105 oC, lalu didinginkan di dalam desikator selama 15 menit kemudian
ditimbang. Sampel sebanyak 5 gram dimasukkan ke dalam cawan lalu
dikeringkan di dalam oven pada suhu 100-102 oC selama 6 jam dan kemudian
cawan didinginkan di dalam desikator selama 30 menit dan selanjutnya ditimbang
kembali. Kadar air ditentukan dengan rumus:
Keterangan: a = berat sampel awal (g) b = berat sampel setelah dikeringkan (g)
b. Kadar abu (AOAC 1995)
Cawan dibersihkan dan dikeringkan di dalam oven selama 30 menit
dengan suhu 105 oC, lalu didinginkan dalam desikator dan kemudian ditimbang.
Sampel sebanyak 5 gram ditimbang lalu dimasukkan ke dalam cawan dan
kemudian dibakar di atas kompor listrik sampai tidak berasap lagi dan selanjutnya
dimasukkan ke dalam tanur pengabuan (650 oC) dan kemudian dibakar selama
5 jam. Cawan didinginkan di dalam desikator lalu ditimbang. Kadar abu
ditentukan dengan rumus:
c. Kadar protein (AOAC 1995)
Sampel sebanyak 0,5 g dimasukkan ke dalam labu kjeldahl berukuran
50 ml, lalu ditambahkan 2,0 mg K2SO4, 40 mg HgO dan 2,5 ml H2SO4. Sampel
didestruksi selama 30 menit sampai cairan berwarna sampai hijau jernih.
Dibiarkan sampai dingin, kemudian dipindahkan ke alat destilasi.
Labu kjeldahl dicuci dengan air aquades, lalu air aqudes tersebut
dimasukkan ke dalam alat destilasi dan kemudian ditambahkan 10 ml NaOH pekat
sampai berwarna coklat kehitaman dan selanjutnya didestilasi. Destilat ditampung
dalam erlemenyer berukuran 125 ml yang berisi 5 ml H3BO3 3% dan indikator
metil merah lalu dititrasi dengan larutan HCl 0,02 dan kemudian larutan contoh
dianalisis seperti contoh. Kadar protein ditentukan dengan rumus:
Perhitungan total nitrogen:
Kadar protein(%) = % nitrogen x 6,25 (faktor koreksi)
d. Kadar lemak (AOAC 1995)
Sampel sebanyak 0,5 g ditimbang dan dibungkus dengan kertas saring dan
diletakkan pada kertas pada alat ekstraksi soxhlet yang dipasang di atas kondensor
serta labu lemak di bawahnya. Pelarut heksana dituangkan ke dalam labu lemak
secukupnya sesuai dengan ukuran soxhlet yang digunakan dan dilakukan refluks
minimal selama 16 jam sampai pelarut turun kembali ke dalam labu lemak.
Pelarut di dalam labu lemak didestilasi dan ditampung. Labu lemak yang berisi
lemak hasil ekstraksi kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105 oC selama
5 jam. Labu lemak kemudian didinginkan dalam desikator selama 20-30 menit
dan ditimbang. Kadar lemak dapat dihitung berdasarkan rumus:
3.3.2.2 Analisis kandungan logam berat
Kijing diambil pada bulan Mei dan Juli 2009. Hasil analisis kandungan
logam berat daging kijing ukuran kecil (>9 cm) dan ukuran besar (≥9 cm)
dua periode tersebut dibandingkan dan diterapkan perlakuan depurasi pada kijing
yang diambil pada bulan Juli sebagai usaha untuk mengurangi kandungan logam
berat yang paling banyak terdapat pada daging kijing. Analisis kandungan logam
berat daging kijing dilakukan lagi setelah proses depurasi selama 20 hari.
Penentuan kandungan logam berat terbagi atas beberapa tahap.
Tahap-tahap tersebut yaitu destruksi, pembacaan absorbans contoh, dan
perhitungan kandungan logam berat.
Metode analisis dilakukan berdasarkan APHA (1998), yang diadopsi
menjadi SNI 06-6992.2-2004 untuk merkuri dan SNI-06-6989.46-2005 untuk
kadmium dan timbal. Adapun tahap destruksi dilakukan menurut Cantle (1982).
Proses analisis yang dilakukan dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Prosedur analisis logam berat
a. Tahap destruksi
Sampel sebanyak 1 gram dimasukkan ke dalam erlenmeyer 100 ml dan
ditambahkan 5 ml HNO3 (p) kemudian didiamkan selama 1 jam pada suhu ruang
di ruang asam. Sampel dipanaskan di atas hot plate dengan temperatur rendah
selama 4-6 jam kemudian dibiarkan 24 jam dengan kondisi tertutup. Setelah itu
ditambahkan 0,4 ml H2SO4 dan dipanaskan selama 1 jam di atas hot plate sampai
larutan berkurang (lebih pekat). Kemudian ditambahkan 2-3 tetes larutan HClO4:
HNO3 (2:1) selama sampel masih di atas hot plate sampai ada perubahan warna
dari coklat menjadi kuning tua dan menjadi kuning muda. Setelah ada perubahan
warna, pemanasan masih dilanjutkan selama 10-15 menit. Sampel dipindahkan
dan didinginkan kemudian ditambahkan 2 ml akuades dan 0,6 ml HCl (p). Setelah
itu, sampel dipanaskan kembali selama 15 menit kemudian dimasukkan ke dalam
labu takar 100 ml. Apabila ada endapan maka sampel disaring dengan kertas
saring. Sampel siap untuk dianalisis kandungan logam beratnya dengan
Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS).
Destruksi
Sampel
Penyaringan ke dalam labu takar
Pembacaan absorbans dengan AAS (panjang gelombang sesuai dengan jenis logam)
b. Pembacaan absorban
Pembacaan logam berat merkuri dilakukan dengan spektrofotometer penyerapan
atom tanpa nyala pada panjang gelombang 253,7 nm. Kadmium dan timbal
ditentukan dengan nyala asetilen pada panjang gelombang 228,8 nm.
c. Perhitungan
Kadar logam berat dalam sampel dihitung dengan memasukkan nilai
absorbans contoh ke dalam persamaan garis standar.
Y = a + bx
Dimana nilai absorbans sebagai Y sedang a dan b dari persamaan garis
standar, maka diperoleh harga x yang merupakan konsentrasi contoh.
Hasil perhitungan dinyatakan dengan ppm.
Keterangan: Ac = Absorban contoh. Ab = Absorbans blanko. FP = Faktor pengenceran.
3.3.2.3 Analisis kualitas air
Analisis kualitas air dilakukan untuk mengetahui kualitas air tempat kijing
lokal hidup semula dengan kualitas air yang digunakan untuk proses depurasi
maupun kualitas air setelah depurasi. Sampel air danau dan air PAM diambil
secara langsung menggunakan botol kemudian langsung diukur kualitasnya.
Kualitas air yang diukur yaitu oksigen terlarut (DO), pH, salinitas, kekeruhan, dan
suhu.
a. DO
Nilai DO diukur menggunakan water checker. Air sampel dimasukkan ke
dalam gelas piala 100 ml kemudian diaduk dengan stirrer sambil diukur nilai DO.
b. pH
Nilai pH air diukur dengan menggunakan water checker dengan cara yang
sama dengan pengukuran nilai DO.
c. Kekeruhan
Nilai kekeruhan air diukur dengan menggunakan Turbidimeter. Sampel air
dimasukkan ke tabung yang telah dibilas akuades kemudian diukur nilainya.
d. Suhu
Suhu air diukur dengan menggunakan termometer. Sampel air diukur
langsung ke tempat sampel tersebut berada.
3.4 Rancangan percobaan (Mattjik dan Sumertajaya 2002)
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian adalah rancangan
percobaan faktorial acak lengkap dengan dua faktor yaitu faktor ukuran (kecil dan
besar) dan faktor depurasi (10 hari dan 20 hari). Setiap kombinasi perlakuan
dilaksanakan dua kali ulangan. Model umum rancangan percobaan yang
digunakan:
Yijk = μ + αi + ßj + (αß)ij + εijk
Keterangan:
Yijk = Nilai pengamatan pada satuan percobaan ke-k yang memperoleh
kombinasi perlakuan ij (taraf ke-i dari faktor ukuran dan taraf ke-j dari faktor
depurasi).
μ = Nilai tengah populasi.
αi = Pengaruh aditif dari ukuran (i = 1,2).
ßj = Pengaruh aditif dari depurasi (i = 1,2).
(αß)ij = Pengaruh interaksi antara ukuran ke-i dan depurasi ke-j.
εijk = Pengaruh galat dari percobaan ke-k (k=1,2) yang memperoleh kombinasi
(αß)ij.
Bentuk hipotesis yang diuji dalam rancangan dua faktor dalam rancangan acak
lengkap adalah sebagai berikut:
a. Pengaruh utama faktor A (ukuran kijing)
H0: αi=...=αa=0 (faktor ukuran tidak berpengaruh)
H1: paling sedikit ada satu i dimana αi≠0
b. Pengaruh utama faktor B (depurasi)
H0: ß1=...=ßb=0 (faktor depurasi tidak berpengaruh)
H1: paling sedikit ada satu j dimana ßj≠0
c. Pengaruh sederhana interaksi faktor A dengan faktor B
H0: (αß)ij=(αß)12=...=(ßα)ab=0 (interaksi faktor A dengan faktor B tidak
berpengaruh)
H1: paling sedikit ada sepasang (i,j) dimana (αß)ij≠0
Data dianalisis menggunakan uji statistika ANOVA dengan aplikasi
komputer Minitab. Apabila hasil analisis menunjukkan nilai yang signifikan atau
berbeda nyata, maka dilakukan analisis lanjutan dengan uji wilayah berganda
Duncan.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Inventarisasi Wilayah Situ Gede
Perairan Situ Gede terletak di Kelurahan Situ Gede, Bogor. Perairan Situ
Gede memiliki luas 5,3 ha. Kelurahan Situ Gede berbatasan dengan Desa Semplak
di sebelah utara, sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Bubulak, sebelah
barat berbatasan dengan Desa Cikarawang, dan sebelah selatan berbatasan dengan
Kelurahan Balumbang. Terdapat dua buah anak danau yang merupakan bagian
(include) dari Situ Gede, yaitu Situ Leutik dan Situ Panjang yang tidak jauh dari
lokasi Situ Gede. Peta wilayah perairan Situ Gede dapat dilihat pada Lampiran 1.
Selama ini, Situ Gede dijadikan tempat melepas penat dan hiburan bagi
masyarakat. Perairan tersebut juga berfungsi sebagai irigasi pertanian dan
perkebunan masyarakat sekitarnya. Aliran Situ Gede yang memiliki mata air
sendiri bermuara di Situ Burung, Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga,
Kabupaten Bogor. Situ Gede juga menyimpan beragam jenis ikan yang jumlahnya
sangat banyak. Selain itu, sektor pertanian yang ada di Kelurahan Situ Gede
kurang lebih 70 hektare.
Secara umum, danau atau situ dicirikan dengan arus yang sangat lambat
(0,001-0,01 m/detik) atau tidak ada arus sama sekali. Oleh karena itu, waktu
tinggal (residence time) air dapat berlangsung lama. Arus air di danau dapat
bergerak ke berbagai arah. Perairan danau biasanya memiliki stratifikasi kualitas
air secara vertikal. Stratifikasi ini tergantung pada kedalaman dan musim
(Effendi 2003).
Sampel kijing lokal yang diambil berada di bagian tepi danau yang
memiliki sedimen substrat berlumpur, berarus tenang, kedalaman 1-2 meter, suhu
+ 28 oC, pH 7,10-7,50, oksigen terlarut (DO) 5,06-5,08 mg/l, dan memiliki tingkat
kekeruhan 9,70-10,00 NTU (Nephelometric Turbidity Units). Kijing lokal
menyukai perairan yang dalam dengan kecerahan yang tinggi, mengandung bahan
organik total yang tinggi dan substrat liat atau berlumpur. Pola distribusinya
memencar dengan populasi berkelompok pada habitatnya (Prihartini 1999).
Kerang air tawar umumnya berdiam di dasar perairan dengan membuat lubang
menggunakan kakinya yang besar dan berpindah mencari tempat yang cocok dan
umumnya banyak ditemukan di perairan tenang seperti danau. Lokasi
pengambilan sampel dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Lokasi pengambilan sampel kijing lokal
4.2 Kualitas Air
Kualitas air sangat mempengaruhi tingkat stres dan kelangsungan hidup
suatu organisme perairan seperti kijing. Faktor lingkungan yang mempengaruhi
kehidupan kijing adalah suhu, pH, oksigen, endapan lumpur, dan fluktuasi
permukaan air (Prihartini 1999).
4.2.1 Kualitas air danau dan air PAM untuk depurasi
Hasil pengukuran kualitas air dapat dilihat pada Tabel 1. Hasil pengukuran
kualitas air menunjukkan bahwa kualitas air danau tempat kijing hidup dengan
kualitas air PAM yang digunakan untuk depurasi memiliki perbedaan. Perbedaan
kualitas air dapat dilihat pada nilai DO, pH, kekeruhan, dan suhu. Nilai DO, pH,
kekeruhan, dan suhu air danau berturut-turut adalah 5,07 mg/l, 7,24, 9,83 NTU,
dan 28 oC, sedangkan air PAM berturut-turut adalah 6,73 mg/l, 6,97, 0,37 NTU,
dan 25 oC. Perbedaan kualitas air tersebut tidak mempengaruhi kelangsungan
hidup kijing yang didepurasi. Hal tersebut dapat dilihat dari tingkat kelangsungan
hidup kijing 100% selama depurasi.
Tabel 1. Kualitas air tempat kijing hidup
Sampel DO (mg/l) pH Kekeruhan (NTU) Suhu (oC) Air danau 5,07 7,24 9,83 28 Air PAM 6,73 6,97 0,37 25
4.2.2 Kualitas air PAM akibat depurasi
Analisis kualitas air selama proses depurasi juga dilakukan dalam
penelitian ini. Kualitas air akibat depurasi perlu diketahui untuk kelangsungan
hidup kijing selama proses depurasi. Nilai kualitas air yang dianalisis adalah nilai
DO, pH, kekeruhan, dam suhu.
4.2.2.1 Oksigen terlarut ( DO)
Hasil analisis konsentrasi DO air PAM sebelum dan setelah depurasi dapat
dilihat pada Gambar 6. Nilai DO air PAM yang digunakan untuk depurasi adalah
6,73 mg/l. Nilai DO air setelah depurasi 12 jam pada kijing besar dan kecil
mengalami penurunan. Nilai DO air kijing besar turun menjadi 4,87 mg/l,
sedangkan pada kijing kecil 6,15 mg/l. Penurunan nilai DO tersebut dapat
disebabkan oleh proses metabolisme kijing yang memerlukan oksigen. Rosita
(2005) juga melaporkan bahwa perlakuan depurasi menurunkan nilai DO air.
Gambar 6. Histogram konsentrasi DO air PAM sebelum dan setelah depurasi
Penurunan nilai DO lebih tinggi pada kijing besar. Hal ini menunjukkan
bahwa kebutuhan oksigen kijing besar lebih banyak dibandingkan kijing kecil.
Nilai DO air tersebut masih dalam kisaran nilai DO tempat kijing dapat hidup.
Suwignyo et al. (1981) melaporkan bahwa kijing membutuhkan oksigen terlarut
3,8 sampai 12,5 mg/l, namun kijing dapat bertahan dengan kadar oksigen yang
sedikit dalam jangka waktu pendek. Kijing dapat mengatur tingkat metabolisme
oksigen dengan baik sehingga masih dapat hidup pada keadaan kandungan
oksigen dalam air sangat sedikit.
4.2.2.2 pH
Hasil analisis nilai pH air PAM sebelum dan setelah depurasi dapat dilihat
pada Gambar 7. Nilai pH air PAM yang digunakan untuk depurasi adalah 6,97.
Perubahan pH tidak terjadi secara signifikan setelah dilakukan depurasi selama
12 jam. Nilai pH air depurasi kijing besar dan kijing kecil turun menjadi 6,81.
Rosita (2005) juga melaporkan bahwa nilai pH mengalami penurunan pada kerang
hijau setelah depurasi. Penurunan nilai pH ini dapat disebabkan karena proses
metabolisme kijing yang menghasilkan amoniak. Nilai pH air depurasi kijing
tersebut masih dalam ambang batas tempat kijing biasanya hidup. Suwignyo et al.
(1981) melaporkan bahwa kijing dapat bertahan hidup pada perairan dengan pH
antara 4,8 sampai 9,8.
Gambar 7. Histogram nilai pH air PAM sebelum dan setelah depurasi
4.2.2.3 Kekeruhan
Hasil analisis nilai kekeruhan air PAM sebelum dan setelah depurasi dapat
dilihat pada Gambar 8. Nilai kekeruhan air PAM yang digunakan untuk depurasi
adalah 0,37 (Nephelometric Turbidity Units). Kekeruhan air depurasi kijing besar
dan kijing kecil mengalami penurunan yang tidak signifikan setelah 12 jam yaitu
menjadi 0,33 NTU. Nilai kekeruhan air tidak mempengaruhi kelangsungan hidup
kijing. Hal ini dapat dilihat dengan kelangsungan hidup kijing yang 100% sampai
20 hari depurasi. Penurunan ini dapat disebabkan karena kijing mengkonsumsi
partikel-partikel atau bahan organik yang terdapat dalam air. APHA (1998)
menyebutkan bahwa kekeruhan dapat disebabkan oleh bahan organik dan
anorganik baik tersuspensi maupun terlarut seperti lumpur, pasir halus, bahan
anorganik dan bahan organik seperti plankton dan mikroorganisme lainnya.
Gambar 8. Histogram nilai kekeruhan air PAM sebelum dan setelah depurasi
4.2.2.4 Suhu
Hasil analisis suhu air PAM sebelum dan setelah depurasi dapat dilihat
pada Gambar 9. Suhu air PAM yang digunakan untuk depurasi adalah 25 oC. Suhu
air depurasi kijing besar maupun kijing kecil tidak mengalami perubahan setelah
depurasi selama 12 jam. Suhu air tersebut juga masih dalam ambang batas untuk
kijing dapat hidup. Suwignyo et al. (1981) melaporkan bahwa kijing dapat hidup
pada perairan dengan suhu antara 11 oC sampai 29 oC.
Gambar 9. Histogram nilai suhu air PAM sebelum dan setelah depurasi
4.3 Karakteristik Kijing Lokal (Pilsbryoconcha exilis)
Karakteristik kijing lokal yang diukur pada penelitian ini adalah
karakteristik fisik (panjang, lebar, tebal, berat total, berat daging, dan pengaruh
perlakuan depurasi terhadap rendemen daging), dan proksimat (air, lemak,
protein, dan abu).
4.3.1 Karakteristik fisik kijing lokal
Karakteristik fisik kijing lokal yang diukur adalah panjang, lebar, tebal,
berat total, berat daging, dan rendemen daging. Hasil pengukuran karakteristik
fisik kijing dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Karakteristik fisik kijing lokal (Pilsbryoconcha exilis)
Parameter Ukuran Kijing Kecil (<9 cm) Besar (≥9 cm)
Panjang (cm) 7,53+0,26 9,47+0,27 Lebar (cm) 3,46+0,17 4,42+0,17 Tebal (cm) 1,46+0,08 1,88+0,19 Berat total (g) 17,78+2,23 39,70+4,77 Berat daging (g) 3,96+0,37 7,68+0,78 Rendemen daging (%) 22,45+2,34 20,07+1,70
Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa kijing yang digunakan pada
penelitian ini terbagi dua, yaitu ukuran kecil (panjang <9 cm) dan ukuran besar
(panjang ≥9 cm). Hasil pengukuran menunjukkan kijing ukuran kecil memiliki
panjang berkisar antara 7,10-7,90 cm dengan rata-rata 7,53+0,26 cm, sedangkan
ukuran besar berkisar antara 9,20-10 cm dengan rata-rata 9,47+0,27 cm. Selda
(2003) melaporkan bahwa kijing angsa (Anadonta cygnea) memiliki panjang
antara 45-145 mm dengan panjang rata-rata 104,2±0,52 mm. Hubungan antara
berat dan panjang adalah W=0,0001*L2,88 (berat kijing adalah 0,0001 kali dari
panjang dipangkat 2,88). Paunovic et al. (2006) menyebutkan dalam penelitiannya
bahwa kerang air tawar memiliki panjang berkisar antara 70-100 mm.
Morton (1992) menyatakan bahwa cangkang atau tubuh kerang (bivalvia)
akan semakin panjang dan ketebalannya akan meningkat seiring dengan
pertambahan usia. Hasil juga menunjukkan bahwa pertambahan ukuran cangkang
kijing diikuti dengan pertambahan lebar dan tebal cangkang kijing, sedangkan
pertambahan ukuran kijing menurunkan berat daging kijing.
Pengukuran rendemen daging kijing lokal sebelum dan setelah depurasi
dilakukan dalam penelitian ini. Hasil perhitungan menunjukkan rendemen daging
kijing ukuran kecil adalah 22,45% (tanpa depurasi), 23,52% (setelah 10 hari
depurasi), dan 24,08% (setelah 96 jam depurasi), sedangkan rendemen daging
kijing ukuran besar adalah 20,07% (sebelum depurasi), 19,58% (setelah 10 hari
depurasi), dan 18,94% (setelah 20 hari depurasi). Rendemen daging kijing
sebelum dan setelah perlakuan depurasi dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10. Grafik pengaruh perlakuan depurasi terhadap rendemen daging
kijing lokal (Pilsbryoconcha exilis), kijing kecil; kijing besar.
Hasil perhitungan rendemen menunjukkan bahwa nilai rendemen kijing
kecil mengalami peningkatan setelah depurasi, tetapi kijing besar mengalami
penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa kijing kecil masih mengalami
pertumbuhan saat depurasi, sedangkan kijing besar tidak mengalami pertumbuhan
lagi. Dody (2008) menyebutkan dalam penelitiannya bahwa kerang tapes (Tapes
literatus) mengalami pertumbuhan cangkang yang relatif tetap setelah sepuluh
bulan pemeliharaan. Ohba (1959) juga melaporkan bahwa laju pertumbuhan
kerang T. japonica mulai menurun setelah umurnya mencapai dua tahun.
Ukuran kijing memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada rendemen
daging kijing (p<0,05; Lampiran 2). Hal ini dapat disebabkan oleh pertumbuhan
daging yang menurun dengan bertambahnya ukuran kijing sehingga rendemen
daging besar lebih kecil. Menurut Hepher dan Pruginin (1981), pertumbuhan
individu dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal
adalah faktor yang berkaitan dengan sifat genetik dan kondisi fisiologi. Faktor
eksternal adalah yang berhubungan dengan lingkungan yaitu karakteristik kimia
air, suhu, sisa metabolisme, ketersediaan oksigen dan ketersediaan makanan.
4.3.2 Kandungan proksimat daging kijing lokal (Pilsbryoconcha exilis)
Kandungan proksimat daging kijing lokal yang diukur adalah air, protein,
lemak, abu, dan karbohidrat (by difference). Selda (2003) menyebutkan bahwa
kandungan proksimat (berat daging kering, air, abu, protein, dan lemak) kerang air
tawar spesies Anodonta cygnea Linnaeus bervariasi setiap bulan. Suhardjo et
al. (1977) melaporkan bahwa kandungan lemak kijing besar lebih tinggi daripada
kijing kecil, tetapi kandungan proteinnya lebih sedikit, sedangkan kandungan air,
abu dan karbohidrat tidak berbeda secara signifikan. Hasil pengukuran kandungan
proksimat daging kijing lokal dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Kandungan proksimat daging kijing lokal (Pilsbryoconcha exilis)
Parameter Jumlah (%) Kadar air 81,54+0,76 Kadar abu 3,08+0,68 Kadar protein 8,90+0,99 Kadar lemak 1,04+0,51 Kadar karbohidrat 5,44+0,40
4.3.2.1 Kadar air
Air yang terdapat dalam suatu bahan makanan dinamakan sebagai air
terikat yaitu suatu sistem yang mencakup air yang mempunyai derajat keterikatan
yang berbeda dalam bahan (Budiyanto 2002). Hasil analisis kadar air pada daging
kijing diperoleh sebesar (81,54+0,76)%. Suhardjo et al. (1977) melaporkan bahwa
kandungan air pada kijing berkisar antara 85-87%. Zaitsev et al. (1969)
menyebutkan bahwa variasi kadar air selain dipengaruhi oleh jenis juga
dipengaruhi oleh iklim tempat hidup, kadar lemak total, umur, dan pertumbuhan.
Kadar air cenderung mempunyai pola perbandingan terbalik dengan kadar lemak,
yaitu pada saat kadar air tinggi maka kadar lemak cenderung turun (Sunarya
1987).
4.3.2.2 Kadar abu
Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik.
Kandungan komposisinya tergantung pada jenis bahan dan cara pengabuannya
(Budiyanto 2002). Hasil analisis kadar abu daging kijing diperoleh sebesar
(3,08 + 0,68)%. Hasil ini lebih tinggi dibandingkan hasil yang dilaporkan oleh
Suhardjo et al. (1977) yaitu berkisar 1,5-1,6%. Kadar abu dalam daging kijing
dapat dipengaruhi oleh faktor makanan. Menurut Zaitsev et al. (1969), zat gizi
termasuk mineral, akan sangat tergantung pada konsumsi zat tersebut dari
lingkungannya.
4.3.2.3 Kadar protein
Protein merupakan sumber asam amino yang mengandung unsur C, H, O,
dan N yang tidak dimiliki oleh lemak dan karbohidrat. Molekul protein juga
mengandung fosfor, belerang, dan ada jenis protein yang mengandung unsur
logam seperti besi dan tembaga (Budiyanto 2002). Hasil analisis kadar protein
pada daging kijing diperoleh sebesar (8,90+0,99)%. Suhardjo et al. (1977)
melaporkan bahwa kandungan protein pada kijing berkisar antara 5,74-7,73%.
4.3.2.4 Kadar lemak
Lemak dalam makanan merupakan campuran lemak heterogen yang
sebagian besar terdiri dari trigliserida. Dalam lemak makanan juga terdapat
sejumlah kecil fosfolipid, sfingolipid, kolesterol, dan fitosterol (Budiyanto 2002).
Hasil analisis kadar lemak pada daging kijing diperoleh sebesar (1,04+0,51)%.
Suhardjo et al. (1977) melaporkan bahwa kandungan lemak pada kijing berkisar
antara 0,6-1,1%. Kadar lemak tergantung pada spesies, jenis kelamin, umur,
lokasi geografis, dan ukuran (Ackman 1982).
Kadar lemak dalam kerang juga berhubungan dengan bioakumulasi dan
pencemaran dalam jaringan. Umumnya, ketika kontaminan organik berubah
antara hewan yang berlemak tinggi dan lingkungannya mendekati keadaan yang
seimbang (steady state), penyebaran dalam jaringan dapat berkorelasi dengan
kadar lemak dalam jaringan. Oleh karena itu, faktor yang mempengaruhi kadar
lemak, seperti siklus penyimpanan musiman pada jaringan pencernaan dan
jaringan reproduksi dapat mempengaruhi bioakumulasi dan penyebaran
kontaminan dalam jaringan (Widdows dan Donkin 1992).
4.3.2.5 Kadar karbohidrat
Karbohidrat memegang peranan penting dalam alam karena merupakan
sumber energi utama bagi manusia dan hewan (Almatsier 2006). Kadar
karbohidrat pada daging kijing dihitung secara by difference. Hasil analisis kadar
karbohidrat pada daging kijing diperoleh sebesar (5,44+0,40)%. Hasil ini sesuai
dengan yang dilaporkan oleh Suhardjo et al. (1977) yaitu berkisar antara
3,3-6,1%.
Karbohidrat yang ada dalam produk perikanan tidak mengandung serat,
kebanyakan dalam bentuk glikogen. Selain itu juga terkandung glukosa, fruktosa,
sukrosa serta monosakarida dan disakarida lainnya. Kandungan glikogen yang
terkandung pada produk perikanan sebesar 1 % untuk ikan, 1 % untuk krustasea
dan 1-8 % untuk kerang-kerangan (Okuzumi dan Fujii 2000).
4.4 Kandungan Logam Berat Merkuri (Hg), Kadmium (Cd), dan Timbal (Pb) pada Daging Kijing Lokal (Pilsbryoconcha exilis)
Kandungan logam berat yang dianalisis pada penelitian ini adalah
merkuri (Hg), kadmium (Cd), dan timbal (Pb). Hasil analisis kandungan logam
berat pada daging kijing lokal (Pilsbryoconcha exilis) ukuran besar dan kecil yang
berasal dari Situ Gede, Bogor yang diambil pada bulan Mei dan Juli serta
pengaruh perlakuan depurasi selama 0 hari, 10 hari, dan 20 hari dapat dilihat pada
Lampiran 3 dan Lampiran 4.
4.4.1 Merkuri (Hg)
Kandungan logam berat merkuri daging kijing di perairan Situ Gede
ukuran kecil dan besar dapat dilihat pada Tabel 4. Hasil analisis pada tabel
menunjukkan bahwa kandungan logam berat merkuri pada daging kijing ukuran
besar dan kecil tidak terdeteksi (<0,001 ppm) selama bulan Mei dan Juli. Hal ini
menunjukkan bahwa daging kijing di perairan tersebut masih aman dari
pencemaran logam berat merkuri. Batas aman merkuri dalam makanan oleh
Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan Ketetapan Departemen Kesehatan Republik
Indonesia adalah 0,5 ppm.
Merkuri secara luas tersebar di udara, tanah, bebatuan, air, dan di bagian
lain lingkungan sebagai hasil dari aktifitas manusia. Akan tetapi, sedikit yang
diketahui bahwa Hg diakumulasikan oleh hewan. Data menunjukkan tanah
mengandung 0,1-0,3 ppm dan buah-buahan, sayur-sayuran, dan sereal
mengandung 0,005-0,035 ppm Hg (Underwood 1977, diacu dalam McDowell
1992). Merkuri biasanya masuk ke lingkungan perairan melalui beberapa bentuk,
yaitu Hg anorganik yang berasal dari air hujan atau aliran sungai, Hg organik
yang bisa berasal dari pestisida hasil kegiatan pertanian, Hg yang terikat dalam
bentuk suspended soil sebagai Hg+2, dan logam Hg yang berasal dari kegiatan
industri (Budiono 2002, diacu dalam Widowati et al. 2008). Rendahnya
kandungan logam berat merkuri pada daging kijing di perairan situ Gede juga
menunjukkan bahwa perairan tersebut belum tercemar dari logam berat merkuri.
Tabel 4. Kandungan logam berat merkuri daging kijing di perairan Situ Gede selam dua periode
Sampling Kandungan Merkuri (ppm) Kijing Kecil (<9 cm) Kijing Besar (≥9 cm)
1 (Bulan Mei) <0,001 <0,001 2 (Bulan Juli) <0,001 <0,001
Rata-rata <0,001 <0,001
Menurut Sanusi et al. (1985), akumulasi Hg oleh ikan dan hewan air
lainnya selain dipengaruhi oleh spesies dan jenis kelamin, juga dipengaruhi oleh
faktor fisika kimia air meliputi suhu air, pH, dan salinitas. Selain itu, waktu
kontak organisme dengan air juga mempengaruhi akumulasi logam berat pada
ikan dan hewan lainnya. Sering terjadi korelasi yang nyata antara ikan konsumsi
dan kadar Hg pada jaringan tubuh manusia (Moretti et al. 1990, diacu dalam
McDowell 1992).
Hal lain yang diduga penyebab kecilnya kandungan logam berat Hg pada
daging kijing adalah karena kelompok bivalvia kadang-kadang dapat mencegah
absorbsi logam berat dengan menutup cangkang. Selain itu, kelompok bivalvia
juga dapat mengatur keseimbangan logam dalam tubuh dengan konsentrasi logam
tersebut dalam air melalui proses absorbsi dan ekskresi (Bryan 1976, diacu dalam
Hartanti 1998).
4.4.2 Kadmium (Cd)
Kandungan logam berat kadmium daging kijing di perairan Situ Gede
ukuran kecil dan besar selama bulan Mei dan Juli dapat dilihat pada Tabel 5. Hasil
analisis pada tabel menunjukkan bahwa kandungan logam berat kadmium pada
daging kijing di perairan Situ Gede tidak terdeteksi (<0,005 ppm). Hal ini juga
menunjukkan bahwa daging kijing di perairan tersebut masih aman dari
pencemaran logam berat kadmium. Batas aman logam berat Cd dalam makanan
baik oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia, FDR New Zealand serta
FAO adalah sama yaitu 1 ppm, tetapi Australia menetapkan batas aman logam Cd
pada makanan adalah 2 ppm (Nurjanah dan Widiastuti 1997).
Kandungan logam berat kadmium yang rendah pada daging kijing di
perairan Situ Gede juga menunjukkan bahwa perairan tersebut masih aman dari
pencemaran kadmium. Hal ini diduga karena lokasi perindustrian jauh dari
perairan tersebut dan kegiatan pertanian tidak mempengaruhi kandungan logam
merkuri secara signifikan di perairan tersebut.
Data yang menyebutkan bahwa Cd dapat sebagai elemen esensial sangat
sedikit. Hal tersebut menunjukkan bahwa Cd masih merupakan salah satu elemen
yang berbahaya bila terdapat pada tubuh manusia. Berdasarkan hasil penelitian
BPLHD, Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Jawa Barat, dan Institut
Teknologi Bandung, diketahui bahwa logam Zn, Pb, dan Hg diabsorpsi dan
diakumulasi oleh ikan. Sementara itu, unsur Cd, Cr, Cu, dan As tidak terdeteksi
dalam tubuh ikan (Widowati et al. 2008).
Tabel 5. Kandungan logam berat kadmium daging kijing di perairan Situ Gede selama dua periode
Sampling Kandungan Kadmium (ppm) Kijing Kecil (<9 cm) Kijing Besar (≥9 cm)
1 (Bulan Mei) <0,005 <0,005 2 (Bulan Juli) <0,005 <0,005
Rata-rata <0,005 <0,005
4.4.3 Timbal (Pb)
Kandungan logam berat timbal daging kijing ukuran kecil dan besar di
perairan Situ Gede dianalisis pada bulan Mei dan Juli. Perlakuan depurasi juga
dilakukan sebagai usaha untuk mengurangi kandungan timbal daging kijing
karena kandungan timbal lebih banyak dibandingkan kandungan Hg (<0,001 ppm)
dan Cd (<0,005 ppm).
4.4.3.1 Perbedaan waktu pengambilan sampel
Hasil analisis kandungan logam berat timbal daging kijing kecil dan besar
di perairan Situ Gede selama bulan Mei dan bulan Juli dapat dilihat pada Tabel 6.
Hasil analisis pada tabel menunjukkan bahwa kandungan rata-rata logam berat
timbal daging kijing di perairan Situ Gede selama bulan Mei pada kijing kecil
sebesar 1,49 ppm dan pada kijing besar sebesar 1,71 ppm, sedangkan pada bulan
Juli sebesar 1,19 ppm pada kijing kecil dan 1,17 ppm pada kijing besar.
Tabel 6. Kandungan logam berat timbal daging kijing di perairan Situ Gede selama dua periode
Sampling Kandungan Timbal (ppm) Kijing Kecil (<9 cm) Kijing Besar (≥9 cm)
1 (Bulan Mei) 1,49 1,71 2 (Bulan Juli) 1,19 1,17
Rata-rata 1,34 1,44
Hasil analisis kandungan timbal selama dua periode menunjukkan bahwa
kandungan timbal daging kijing ukuran kecil dan besar pada bulan Mei lebih
tinggi dibandingkan bulan Juli. Karimah (2002) melaporkan bahwa kandungan
timbal pada kerang berfluktuasi selama tiga periode. Hal ini dapat disebabkan
oleh perbedaan cuaca selama periode tersebut yang mempengaruhi keadaan
perairan tempat kijing hidup. Hasil di lapangan saat pengambilan sampel
menunjukkan bahwa pada bulan Mei memiliki curah hujan yang lebih tinggi
dibandingkan bulan Juli. Data BMKG (2009) menunjukkan bahwa curah hujan di
daerah Situ Gede sebesar 570,6 mm pada bulan Mei, sedangkan pada bulan Juli
hanya 131,1 mm. Tingginya curah hujan tersebut akan menyebabkan danau
menampung lebih banyak air yang kemungkinan membawa bahan pencemar
seperti timbal. Kandungan timbal di perairan tersebut akan disaring oleh kijing
bersamaan dengan makanan.
Rata-rata kandungan logam berat timbal di perairan Situ Gede selama dua
periode adalah sebesar 1,34 pada kijing kecil dan 1,44 pada kijing besar.
Kandungan logam berat timbal daging kijing tersebut lebih rendah dibandingkan
organisme lain. Arief (2004) melaporkan bahwa kandungan logam timbal kerang
darah (Anadara granosa) ukuran kecil berkisar 1,00-1,83 ppm, sedangkan ukuran
lebih besar berkisar 2,20-3,85 ppm.
Perbedaan kandungan logam berat Pb pada kijing yang berbeda ukuran
dapat dipengaruhi oleh interaksi berbagai faktor lingkungan seperti kondisi
lingkungan dan kemampuan organisme dalam mentolerir logam berat pada saat
mengabsorbsi, juga melalui proses ekskresi dan pengaturan secara fisiologis yang
selanjutnya akan menentukan sifat akumulatif dalam jaringan organisme (Wood
1979, diacu dalam Hartanti 1998). Suryono dan Chrisna (1997) melaporkan
bahwa kerang yang mempunyai ukuran paling besar akan menunjukkan nilai
filtrasi yang tinggi bila dibandingkan dengan kerang yang berukuran lebih kecil.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia membatasi Pb maksimum
dalam makanan sebesar 4 ppm, sedangkan FAO sebesar 2 ppm (Nurjanah dan
Widiastuti 1997), tetapi FDA (2000), diacu dalam ADSDR (2007) menetapkan
kadar Pb pada produk yang ditujukan bagi bayi dan anak anak adalah 0,5 ppm.
Hasil analisis logam berat yang didapatkan menunjukkan bahwa daging kijing
masih aman dari pencemaran logam Pb sesuai standar Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, tetapi sudah melebihi ambang batas untuk bayi dan anak-
anak yang ditetapkan FDA.
Batas maksimum kadar logam Pb dalam tubuh biota air yang aman
dikonsumsi manusia sebesar 0,7 mg atau 700 µg per 70 kg berat badan per
minggu (WHO 1989). Dosis tersebut tidak akan memperlihatkan gejala keracunan
pada orang selama hidupnya. Berdasarkan hasil analisis kandungan logam berat
Pb pada daging kijing dapat dihitung jumlah maksimal berat daging kijing yang
boleh masuk ke dalam tubuh manusia, yaitu 406,98 gram/minggu (Lampiran 5).
Kandungan logam berat Pb yang terdapat pada daging kijing juga dapat
disebabkan karena perairan tempat kijing tersebut hidup telah tercemar Pb. Logam
Pb dalam air dapat berasal dari tanah, bebatuan, dari debu yang jatuh ke air, dan
pembuangan kendaraan (Quarterman 1986, diacu dalam McDowell 1992). Timbal
dapat masuk ke dalam tubuh melalui penyerapan tidak hanya pada saluran
pencernaan, tetapi juga melalui saluran pernafasan dan kulit (Fick 1974, diacu
dalam McDowell 1992).
4.4.3.1 Depurasi kijing
Kandungan logam berat timbal daging kijing setelah dilakukan depurasi
dapat dilihat pada Gambar 11. Hasil analisis kandungan logam berat timbal
daging kijing kecil dan besar di perairan Situ Gede menunjukkan ukuran kijing
dan perlakuan depurasi maupun interaksi ukuran kijing dan perlakuan depurasi
memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap kandungan timbal
(p>0,05; Lampiran 6). Kijing ukuran kecil memiliki kandungan timbal 1,19 ppm
sebelum depurasi kemudian mengalami penurunan menjadi 1,10 ppm setelah
10 hari depurasi dan 1,04 ppm setelah 20 hari depurasi. Kijing ukuran besar
memiliki kandungan timbal 1,17 ppm sebelum depurasi kemudian mengalami
penurunan menjadi 1,12 ppm setelah 10 hari depurasi dan 1,09 ppm setelah
20 hari depurasi. Chong dan Wang (2000) juga melaporkan bahwa depurasi dapat
menurunkan kandungan logam berat pada kerang hijau (Perna viridis) dan remis
Manila (Ruditapes philippinarum).
Gambar 11. Grafik kandungan timbal pada daging kijing berdasarkan ukuran
dan perlakuan depurasi, kijing kecil; kijing besar.
Hasil depurasi selama 20 hari menunjukkan penurunan kandungan logam
berat timbal sebesar 0,0861 ppm (setelah 10 hari depurasi) dan 0,1506 ppm
(setelah 20 hari depurasi) pada kijing kecil, sedangkan kijing besar 0,0513 ppm
(setelah 10 hari depurasi) dan 0,0835 ppm (setelah 20 hari depurasi). Hal ini dapat
disebabkan karena perbedaan kemampuan kijing dalam menyerap dan
mengeliminasi kandungan logam. Nugroho (2006) melaporkan bahwa kijing
ukuran besar memiliki tingkat filtrasi yang lebih besar terhadap padatan
tersuspensi total, padatan terlarut total, dan bahan organik total dibandingkan
kijing kecil. Kecilnya penurunan kandungan timbal setelah depurasi juga dapat
disebabkan karena waktu depurasi yang kurang lama dan kemampuan kijing yang
rendah dalam mengeliminasi kandungan logam timbal.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Kijing lokal di perairan Situ Gede menunjukkan kandungan logam berat
merkuri dan kadmium yang tidak terdeteksi pada daging selama periode dua bulan
(Mei dan Juli) baik pada ukuran kecil maupun besar. Kandungan timbal bulan Mei
lebih tinggi (1,49 ppm pada kijing kecil dan 1,71 ppm pada kijing besar)
dibandingkan bulan Juli (1,19 ppm pada kijing kecil dan 1,17 ppm pada kijing
besar).
Rata-rata kandungan logam berat timbal di perairan Situ Gede selama dua
periode adalah sebesar 1,34 ppm pada kijing kecil dan 1,44 ppm pada kijing besar.
Perlakuan depurasi selama 20 hari dapat menurunkan kandungan timbal pada
kijing kecil sebesar 0,0861 ppm (setelah 10 hari depurasi) dan 0,1506 ppm
(setelah 20 hari depurasi), sedangkan kijing besar 0,0513 ppm (setelah 10 hari
depurasi) dan 0,0835 ppm (setelah 20 hari depurasi).
5.2 Saran
Setelah melakukan penelitian ini disarankan agar:
1. Dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui pengaruh depurasi terhadap
kandungan logam berat dengan waktu yang lebih lama pada kijing.
2. Dilakukan penelitian lebih lanjut untuk pengaruh depurasi terhadap kandungan
logam berat lainnya, misalnya Zn, Cu, As, Co, dan Ag pada kijing.
3. Dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui pengaruh depurasi terhadap
kandungan logam berat pada organisme lain selain kijing.
4. Dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kandungan logam berat
pada kijing dengan periode yang lain dan ukuran yang berbeda.
5. Anak-anak atau bayi tidak mengkonsumsi daging kijing dari perairan Situ
Gede dalam jumlah yang banyak.
DAFTAR PUSTAKA
Ackman RG. 1982. Fatty acid composition of fish oil. Di dalam: Barlow SM, Stansby ME editor. Nutritional Evaluation of Llong Chain Fatty Acid in Fish Oil.
Almatsier S. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
[AOAC] Association of Official Analytical Chemysts. 1995. Official Methods of Analysts of the Association of Official Analytical Chemysts. Virginia: AOAC Inc.
[APHA] American Public Health Association. 1998. Standard Method for Examination of Water and Wastewater. Ed ke-17. Washington DC: American Water Works Association, dan Water Pollution Control Federation.
Arief A. 2004. Analisis logam berat Pb dan Cu dalam kerang darah (Anadara granosa) di perairan Tanjung Bunga Makassar. http://www.unhas.ac.id/lemlit/researches/view/132.html [1 Februari 2009].
[ATSDR] Agency for Toxic Substances and Disease Registry. 2007. Toxicological profile for lead. Georgia: Division of Toxicology and Environmental Medicine/Applied Toxicology Branch.
Ayuningrat E. 2009. Penapisan awal komponen bioaktif dari kijing taiwan (Anadonta woodiana Lea) sebagai senyawa antioksidan [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Basmi J. 1998. Perkembangan komunitas fitoplankton sebagai indikator perubahan tingkat kesuburan kualitas perairan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Bryan GW. 1976. Heavy metal contamination in the sea. Di dalam: Johnston R, editor. Marine Polution. New York: Academic Press.
Budiyanto MAK. 2002. Dasar-Dasar Ilmu Gizi. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.
Budiono A. 2003. Pengaruh pencemaran merkuri terhadap biota air [makalah]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Cantle JE. 1982. Tehnique and Instrumentation in Analytical Chemistry. Vol. 5 ”Atomic Absorption Spectrometry. Amsterdam: Elsevier Scientific Publishing Company.
Chan KW, Cheung RYH, Leung SF, Wong MH. 1999. Depuration of metal from soft tissue of oyster (Crassostrea gigas) transplanted from a contaminated site to clean sites. Environmental Pollution 105:299-310.
Chong K, Wang WX. 2000. Comparative studies on the biokinetics of Cd, Cr, and Zn in the green mussel Perna viridis and the Manila clam Ruditapes philippinarum. Environmental Pollution 115:107-121.
Darmono. 1995. Logam dalam Sistem Makhluk. Hidup. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia.
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2008. Budidaya kerang hijau (Perna viridis). http://www.indonesia.go.id/id/index.php.htm [15 Feb 2009].
[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2007. Sistem Informasi Data Statistik. www.simpatik.com. [28 Juni 2009].
Dody S. 2008. Morfometri dan pertumbuhan kerang tapes (Tapes literatus) di pulau Fair, Maluku Tenggara [prosiding seminar riptek kelautan nasional]. Jakarta: Pusat Penelitian Oseanografi, LIPI.
Effendi, Hefni. 2003. Telaah kualitas Air. Yogyakarta: Kanisius
Fardiaz S. 1992. Polusi Air dan Polusi Udara. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor.
Hamidah. 1980. Pengaruh logam berat terhadap lingkungan. Pewarta Oseana, Vol. VI No. 2. Jakarta: LON LIPI.
Harahap S. 1991. Tingkat pencemaran air kali Cakung ditinjau dari sifat fisika khususnya logam berat dan keanekaragaman jenis hewan bentos makro [tesis]. Bogor: Ilmu Pengolahan Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Harun NH, Tuah PM, Markom MZ, Yusof MY. 2008. Distribution of heavy metals in Monochoria hastata and Eichornia crassipes in natural habitats. Environmental Science Programme School of Science and Technology, University of Malaysia.
Hartanti. 1998. Kandungan logam berat raksa (Hg), cadmium (Cd), timah hitam (Pb), arsen (As) dan tembaga (Cu) dalam tubuh kerang-kerangan konsumsi [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Hepher B, Pruginin Y. 1981. Commercial Fish Farming. New York: Wiley Interscience.
Hutagalung HP, Hamidah. 1982. Pengamatan pendahuluan kadar Pb dan Cd dalam air dan biota di estuaria Muara Angke. Oseanologi di Indonesia, No. 15: Jakarta: LON LIPI.
Hutagalung HP. 1984. Logam berat dalam lingkungan laut. Pewarta Oseana, Vol. IX No. 1: Jakarta LON LIPI.
Hutagalung HP. 1985. Raksa (Hg). Oseana 3: 93-105.
Hutagalung HP. 1991. Pencemaran laut oleh logam berat. Status Pencemaran Laut di Indonesia dan Teknik Pemantauannya. Jakarta: Proyek Penelitian dan Pengembangan Oseanografi, LIPI.
Karimah A. 2002. Profil kandungan logam berat timbal (Pb) dalam cangkang kupang beras (Tellina versicolor) [skripsi]. Surabaya: Prodram Studi Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Jember.
Kohar I, Hardjo PH, Jonatan M, Agustanti O. 2004. Studi kandungan logam Pb dalam batang dan daun kangkung (Ipomoea reptans) yang direbus dengan penambahan NaCl. Makarla Sains 8(3): 85-88.
Lauwerys R. 1983. In vivo tests to monitor body burdens of toxic metal in man. Dalam Chemical Toxicology and Clinical Chemistry of Metals. Editor SB Stanley. London: Academic Press.
Laws EA. 1981. Aquatic Polution. New York: John Willey & Sons.
Lestari A. 2002. Kandungan logam berat Hg dan Pb pada kerang hijau (Mytilus viridis) berbagai ukuran hasil tangkapan di pantai Losari Makassar provinsi Sulawesi Selatan [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Mathlubi W. 2006. Studi karakteristik kerupuk kijing taiwan (Anadonta woodiana Lea) [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Mattjik AN, Sumertajaya M. 2002. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. Ed ke-2. Bogor: IPB Press.
McDowell LR. 1992. Minerals in Animal and Human Nutrition. London: Academic Press.
Morton B. 1992. The evolution and succes of the heteromyarian form in the mytiloida. Di dalam: Gosling E, editor. The Mussel Mytilus: Ecology, Physiology, Genetics and Culture. Netherlands: Elsevier. Hlm 21-48.
Nasralla MM, Ali EA. 1985. Lead accumulationin edible portions of crops grown near Egyptian traffic roads. Agriculture Ecosystem Environment 103:280-291.
Noviana. 1994. Pengaruh konsentrasi logam berat merkuri (Hg) terhadap beberapa aktivitas biologi kerang darah (Anadara granosa Linn.) [skripsi]. Bandung: Fakultas Pertanian, UNPAD.
Nugroho AE. 2006. Tingkat biofiltrsai kijing (Pilsbryoconcha exilis) terhadap bahan organik [skripsi]. Bogor: Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Nurjanah, Widiastuti R. 1997. Ancaman dibalik ikan. Warta Konsumen, Edisi November No. 11 Tahun XXIII. Jakarta: YLKI.
Ohba S. 1959. Ecological studies in the natural population of a clam Tapes japonica with special reference to seasonal variations in the size and structure of the population and to individual growth. Biol. J. Okayama Univ. 5:13–43.
Okuzumi M, Fujii T. 2000. Nutritional and Functional Properties of Squid and Cuttlefish. Japan: National Cooperative Association of Squid Processors.
Palar H. 2004. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta: Rineka Cipta.
Paunovic M, Csanyi B, Simic V, Stojanovic B, Cakic P. 2006. Distribution of Anodonta (Sinanodonta) woodiana (Rea,1834) in inland waters of Serbia. Aquatic Invasion 3(1):154-160.
Prihartini W. 1999. Keragaman jenis dan ekobiologi kerang air tawar famili Unionidae (Moluska: Bivalvia) beberapa situ di Kabupaten dan Kotamadya Bogor [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Priyono A. 1994. Parameter-Parameter Kualitas Air. Bogor: Laboratorium Analisis Lingkungan, Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.
Purnama D. 2009. Logam berat. http://dedepurnama.blogspot.com/logam-berat.html [17 November 2009].
Purnomo T, Muchyiddin. 2007. Analisis kandungan timbal (Pb) pada ikan bandeng (Chanos chanos Forsk.) di Tambak Kecamatan Gresik. Surabaya: Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Surabaya.
Rosita N. 2005. Efektivitas kitosan dalam menurunkan kandungan timbal (Pb) pada kerang hijau (Mytilus viridis) dengan sistem resirkulasi sederhana [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Ruppert EE, Barnes RD. 1994. Invertebrate Zoology 6th Edition. Orlando, Florida: College Publishing. 1056p.
Sanusi HS. 1980. Akumulasi logam berat Hg dan Cd pada tubuh ikan bandeng (Chanos chanos Forskal) [disertasi]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Sanusi HS, Syamsu S, Sardjirun S. 1985. Kandungan dan distribusi logam berat pada berbagai komoditi ikan laut yang disalurkan lewat TPI, Jakarta. Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor.
Selda N. 2003. Investigation population parameters of freshwater mussels and economic evaluation posibility in Lake Çildir. Fisheries Engineer: North Caroline.
[SNI] Standar Nasional Indonesia 06-6992.2-2004. 2004. Cara Uji Merkuri (Hg) secara Uap Dingin (Cold Vapour) dengan Mercury Analyzer. Jakarta: Dewan Standarisasi Nasional.
[SNI] Standar Nasional Indonesia 06- 6989.46-2005. 2005. Cara Uji Kadar Timbal (Pb) dengan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) secara Ekstraksi. Jakarta: Dewan Standarisasi Nasional.
Steel RGB, Torrie JH. 1989. Prinsip dan Prosedur Statistika. Soemantri B, penerjemah. Jakarta: PT. Gramedia.
Suhardjo, Sibarani S, Nasoetion A, Tjiptaningrum E. 1977. Berbagai aspek pemanfaatan Kijing Taiwan serta analisa kadar gizinya [laporan penelitian]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Sukiyanti, E. 1987. Kadar merkuri kerang darah dari Teluk Jakarta dan hubungannya dengan kadar merkuri kerang darah dari tempat pelelangan ikan Muara Angke [tesis]. Jakarta: Program Pascasarjana, Universitas Indonesia.
Supriyanto C, Samin, Kamal Z. 2007. Analisis cemaran logam berat Pb, Cu, dan Cd pada ikan air tawar dengan metode spektrometri nyala serapan atom (SSA). Yogyakarta: Pusat Teknologi Akselerator dan Proses Bahan, Sekolah Tinngi Teknologi Nuklir, Batan.
Sunarya. 1987. Extraction and storage stability of nutritionaly important components of shark liver oil [thesis]. United Kingdom: School of Food Studies, Humberside College of Higher Education.
Suryono, Chrisna A. 1997. Laju filtrasi kerang hijau Perna viridis terhadap mikroalgae Chaetocheros. http://ik-ijms.com/category/year-1997/volume-ii-05/ [11 Februari 2009].
Suwignyo S, Basmi PJ, Lumbanbatu DTF, Affandi R. 1981. Studi biologi kijing taiwan (Anadonta woodiana). Bogor: Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Suwignyo S, Widigdo B, Wardiatno Y, Krisanti M. 1998. Avertebrata Air untuk Mahasiswa Perikanan. Jilid 2. Bogor: Fakultas perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Szefer P, Ali AA, Ba-Haroon AA, Rajeh AA, Geldon J, Nabrzyski M. 1999. Distribution and relationships of selected trace metals in molluscs and
associated sediments from the Gulf of Aden, Yemen. Science Direct 106:299-314.
Trilaksani W, Riyanto B. 2004. Teknologi Pengolahan Kerang-Kerangan. Bogor: Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor.
Turgeon. 1988. Classs Pelecypodsa. 3rd edition. San Diego: Academia Press. 985p.
Wahyono MM. 1993. Kajian tentang kualitas lingkungan perairan dan kandungan logam berat pada kerang bulu (Anadara indica EMELIN) di estuaria Muara Kamal, Teluk Jakarta [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
Waldichuk M. 1974. Some biological concern in heavy metals pollution. Dalam Pollution and Physiology of Marine Organism. Editor KJ Vernberg dan WB Vernberg. New York: Academic Press.
Welch PS. 1952. Limnology: Lake and river ekosystem. Ed ke-3. San Diego: Academia Press.
[WHO] World Health Organisation. 1989. Lead, environmental health criteria 85. WHO, Geneva. 106 hlm.
Widowati W, Sastiono A, Jusuf R. 2008. Efek Toksik Logam. Yogyakarta: Penerbit Andi.
Widdows J dan Donkin P. 1992. Mussel and environmental contaminants: bioaccumulation and physiological aspects. Di dalam: The Mussel Mythilus: Ecology, Physiology, Genetics and Culture. Gosling E, editor. Elsevier chapter 8.
Zaitsev V, Kizevetter I, Lagunov L, Makarova T, Minder L, Podsevalov V. 1969. Fish Curing and Processing. Moscow: Mir Publishing.
Zhu S, Saucier B, Durfey J, Chen S, Dewey B. 1999. Waste excretion charachteristics of Manila clams (Tapes philippinarum) under different temperature conditions. Aquacultural Engineering 20:231144.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta wilayah Situ Gede
U
Lampiran 2. Hasil uji statistik ANOVA pengaruh ukuran dan perlakuan depurasi terhadap rendemen daging kijing lokal
Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
Fhit P
Ukuran 1 447,567 447,567 77,67 0,000 Depurasi 2 1,170 0,585 0,100 0,904 Interaksi 2 34,985 17,492 3,04 0,052 Galat 114 656,927 5,763 - - Total 119 1140,649 - - -
Lampiran 3. Hasil uji kandungan logam berat daging kijing lokal
Jenis Logam Sampling Ulangan Ukuran Kecil (<9 cm) Besar (≥9 cm)
Hg (ppm) 1 (Bulan Mei) 1 <0,001 <0,001 2 <0,001 <0,001 2 (Bulan Juni) 1 <0,001 <0,001 2 <0,001 <0,001 Rata-rata (ppm) <0,001 <0,001
Cd (ppm) 1 (Bulan Mei) 1 <0,005 <0,005 2 <0,005 <0,005 2 (Bulan Juni) 1 <0,005 <0,005 2 <0,005 <0,005 Rata-rata (ppm) <0,005 <0,005
Pb (ppm) 1 (Bulan Mei) 1 1,39 1,72 2 1,60 1,69 2 (Bulan Juni) 1 1,22 1,04 2 1,15 1,31 Rata-rata (ppm) 1,34 1,44
Lampiran 4. Tabel pengaruh depurasi terhadap kandungan timbal (Pb) daging kijing lokal
Ukuran Kijing Kandungan Pb (ppm) Tanpa depurasi Depurasi 10 hari Depurasi 20 hari
Kecil 1,2211 1,1248 1,1067 1,1547 1,0787 0,9680 Rata-rata 1,1879 1,1018 1,0373 Besar 1,3062 1,1683 1,1622 1,0408 1,0761 1,0179 Rata-rata 1,1735 1,1222 1,0901
Lampiran 5. Cara penghitungan jumlah maksimal berat daging kijing yang boleh masuk ke dalam tubuh manusia
Batas maksimum kadar logam Pb dalam tubuh biota air yang aman dikonsumsi manusia sebesar 0,7 mg atau 700 µg per 70 kg berat badan per minggu.
Kandungan logam Pb yang tertinggi pada kijing adalah 1,72 ppm, maka jumlah maksimal berat daging kijing yang boleh masuk ke dalam tubuh manusia:
0,7 mg = 406,98 gram/minggu.
1,72 mg Pb/kg daging
Lampiran 6. Hasil uji statistik ANOVA pengaruh ukuran dan perlakuan depurasi terhadap kandungan logam Pb
Sumber Keragaman
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
Fhit P
Ukuran 1 0,00082 0,000382 0,04 0,842 Depurasi 2 0,053779 0,053779 3,03 0,123 Interaksi 2 0,001836 0,001836 0,10 0,903 Galat 6 0,053191 0,008865 - - Total 11 0,109188 - - -
Lampiran 7a. Data kualitas air
Sampel Ulangan DO (mg/L) pH Kekeruhan Suhu A 1 5.06 7.50 9.70 28 2 5.07 7.10 10 28 3 5.08 7.11 9.80 28 Rata-rata 5,07 7,24 9,83 28 B 1 6.72 7.05 0.40 25 2 6.73 6.96 0.30 25 3 6.73 6.91 0.40 25 Rata-rata 6,73 6,97 0,37 25 C 1 4.84 6.81 0.40 25 2 4.88 6.82 0.30 25 3 4.88 6.80 0.30 25 Rata-rata 4,87 6,81 0,33 25 D 1 6.17 6.81 0.30 25 2 6.15 6.81 0.40 25 3 6.12 6.81 0.30 25 Rata-rata 6,15 6,81 0,33 25
Keterangan :
A: Air danau Situ Gede
B: Air PAM untuk Depurasi
C: Air PAM setelah Depurasi 12 jam untuk Kijing Besar
D: Air PAM setelah Depurasi 12 jam untuk Kijing Kecil
Lampiran 7b. Data hasil analisis kandungan logam berat Pb pada air depurasi
kijing lokal
Sampel Ulangan Timbal (ppm) Air 1 <0,030 Air 2 <0,030
Lampiran 8. Hasil perhitungan kandungan logam berat
Abs std ppm std
-0,0001 0 0,0149 2 0,0351 4 0,0958 8 0,1258 12 0,1702 16 0,2066 20
Kode spl Bobot spl (g) BK Absorbans ppm spl (y) ppm splxFPK01 5,1820 0,1812 0,0006 0,2531 1,2211 K02 5,0750 0,1812 0,0004 0,2344 1,1547 K101 4,9990 0,1797 0,0002 0,2157 1,0787 K102 5,0020 0,1797 0,0003 0,2251 1,1248 K201 5,0840 0,1735 0,0003 0,2251 1,1067 K202 5,0880 0,1735 0,0000 0,1970 0,9680 B01 5,1810 0,1754 0,0002 0,2157 1,0408 B02 5,0230 0,1754 0,0007 0,2625 1,3062 B101 5,0160 0,1808 0,0004 0,2344 1,1683 B102 5,0110 0,1808 0,0002 0,2157 1,0761 B201 5,0680 0,1835 0,0001 0,2064 1,0179 B202 5,0420 0,1835 0,0004 0,2344 1,1622
Contoh perhitungan:
1. Kode sampel K01
Bobot sampel = 5,1820 g
Faktor pengenceran = 25
Absorban = 0,0006
y = 93,50x + 0,197
maka,
y = 93,5 x (0,0006)+0,197
y = 0,2531
ppm sampel = (0,2531/5,1820) x 25
= 1,2211 ppm