Post on 14-Mar-2019
ANALISIS DAMPAK EKONOMI DARI ALIH FUNGSI
LAHAN PERTANIAN KE NON PERTANIAN TERHADAP
KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN BOGOR
SARAH NUR AMALIA
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER
INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Dampak
Ekonomi dari Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian Terhadap Ketahanan
Pangan di Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skirpsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juli 2014
Sarah Nur Amalia
NIM H44090043
ABSTRAK
SARAH NUR AMALIA. Analisis Dampak Ekonomi dari Alih Fungsi Lahan
Pertanian ke Non Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh RIZAL BAHTIAR.
Peningkatan jumlah penduduk di Kabupaten Bogor terus mengalami
peningkatan setiap tahunnya. Searah dengan peningkatan jumlah penduduk juga
terjadi peningkatan kebutuhan pangan. Selain itu, yang terjadi sekarang ini adalah
perubahan transformasi struktur ekonomi ke arah manufaktur dan industri, yang
menyebabkan permintaan akan lahan bangunan yang semakin meningkat pula.
Pemenuhan kebutuhan pemukiman dan lahan terbangun untuk industri dan
manufaktur mengindikasikan terjadinya alih fungsi lahan sawah yang ada di
Kabupaten Bogor. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi laju alih
fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian di Kabupaten Bogor, menganalisis
faktor–faktor apa saja yang berpengaruh terhadap alih fungsi lahan pertanian ke
penggunaan non pertanian di Kabupaten Bogor dan dampak ekonomi dari alih fungsi
lahan terhadap pendapatan petani dan produksi pangan di Kabupaten Bogor, serta untuk
menganalisis langkah pengendalian alih fungsi lahan yang harus diterapkan dalam bentuk
kebijakan pemerintahan. Laju alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Bogor dari
tahun 2002-2011 sebesar 0,10 persen dengan rata-rata laju alih fungsi lahan
sebesar 0,01 persen per tahun. Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan
pertanian khususnya lahan sawah di tingkat wilayah dipengaruhi oleh kepadatan
penduduk dan produktivitas padi sawah. Faktor-faktor yang mempengaruhi alih
fungsi lahan pertanian di tingkat petani dipengaruhi oleh luas lahan, jumlah
anggota keluarga, dan jumlah tanggungan. Adanya alih fungsi lahan menyebabkan
perubahan rata-rata pendapatan total petani sebelum dan sesudah alih fungsi lahan
mengalami perubahan sebesar Rp 52.176 per bulannya. Selain pendapatan, akibat
alih fungsi lahan juga menyebabkan penurunan produksi padi. Rata- rata
kehilangan produksi padi per hektar lahan sawah yang teralihfungsikan sebesar
2.878,96 ton per tahun, sedangkan kehilangan rata-rata nilai produksi yaitu
sebesar Rp 7.771.656.534,60 per tahun dalam bentuk gabah dan sebesar Rp
8.518.512.570,00 per tahun dalam bentuk beras. Hasil perhitungan perkiraan
perubahan luas dan ketahanan pangan di Kabupaten Bogor yaitu produksi beras di
Kabupaten Bogor belum dapat memenuhi kebutuhan berasnya semenjak tahun
2002 hingga tahun 2011.
Kata Kunci : Alih Fungsi Lahan Pertanian, Dampak Ekonomi, Kabupaten Bogor
ABSTRACT
SARAH NUR AMALIA. Analysis The Economic Effect of Agricultural Land
Conversion in Bogor Regency. Supervised by RIZAL BAHTIAR.
Population growth in Bogor Regency increasing year by year. Along with
population growth, there is also increasing food needs that related to agricultural
sector. Currently, changes to the transformation of the economic development
towards the direction of industrial development and manufacturing. In addition,
increasing population growth requires residential development. This case,
indicated agricultural land conversion. The aims of the study were to know the
rate of agricultural land conversion in Bogor Regency, to find out the factors
which affect, and to analyze the economic effect and an appropriate policy in the
control of agricultural land conversion. Agricultural land conversion in Bogor
Regency has been fluctuated year by year. The average of land conversion in
Bogor Regency was 0,01 percent per year or 7,1 hectar per year. On this study
showed that the increasing density of society and the paddy productivity were
affected to the agricultural land conversion. Meanwhile, the agricultural land
conversion will affect change of the farmer‟s total income before and after land
conversion amount of Rp 52.176 in month. The average income before the
conversion amount of Rp 1.931.157 and the average income amount of Rp
2.878,96. Beside the farmer‟s total income, the agricultural land conversion also
caused the reducing of paddy production. The average loss of paddy production
per hectare converted land was 2.878,96 tons per year, while the average loss
production value was Rp 7.771.656.534,60 in paddy forms and Rp
8.518.512.570,00 in rice forms. The estimation result of food security in Bogor
Regency showed that rice production has not adequated the needs of rice in 2002-
2011.
Keywords : Agricultural land conversion, Bogor Regency, Effect
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi pada
Departemen Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan
ANALISIS DAMPAK EKONOMI DARI ALIH FUNGSI
LAHAN PERTANIAN KE NON PERTANIAN TERHADAP
KETAHANAN PANGAN DI KABUPATEN BOGOR
SARAH NUR AMALIA
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014
Judul Skripsi : Analisis Dampak Ekonomi dari Alih Fungsi Lahan Pertanian ke
Non Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan di Kabupaten Bogor.
Nama : Sarah Nur Amalia
NIM : H44090043
Disetujui oleh
Rizal Bahtiar, S.Pi, M.Si
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr. Ir.Aceng Hidayat, MT
Ketua Departemen
Tanggal lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya
ilmiah yang berjudul “Analisis Dampak Ekonomi dari Alih Fungsi Lahan
Pertanian ke Non Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan Di Kabupaten Bogor”.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Rizal Bahtiar, S.Pi, M.Si
selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan serta arahan
kepada penulis. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Ir.
Nindyantoro, M.Sp dan Ibu Fitria Dewi Raswatie, S.P, M.Si selaku dosen penguji
atas saran dan masukannya dalam penulisan karya ilmiah ini. Di samping itu,
penghargaan penulis sampaikan kepada Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor,
Dinas Kehutanan dan Pertanian Kabupaten Bogor, Dinas Catatan Sipil Kabupaten
Bogor serta dinas terkait lainnya dan kepada Bapak Agus, Bapak Asep, Bapak
Mustar serta para kelompok tani di Kecamatan Ciampea yang telah membantu
dalam pengumpulan data dalam penelitian. Ungkapan terima kasih juga penulis
sampaikan kepada nenek buyut (Siti Romlah), ayah (Maliyanto), ibu (Salbiah),
adik (Siska Nur Hidayah dan Maulana Syahreza Pahlevi) serta seluruh pihak
keluarga yang selalu memberi semangat, doa dan mendampingi dalam pembuatan
karya ilmiah ini serta teman-teman BOS 46, Keluarga Wisma Ayu, Keluarga
BEM TPB 46, BEM FEM Sinergi, BEM FEM Progresif, BEM KM KUN, ESL 46,
ODOJ 570, Edukasi Gizi dan para Relawan Turun Tangan atas doa dan
dukungannya serta tak terlupa terima kasih pula kepada Korean Exchange Bank,
BUMN, serta Dikti selaku pihak yang telah memberikan beasiswa kepada penulis
selama proses belajar di IPB ini. Penulis menyadari terdapat banyak kekurangan
dalam karya ilmiah ini dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari teman-teman agar karya
ilmiah ini dapat menjadi lebih baik. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juli 2014
Sarah Nur Amalia
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................ xiv
I. PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah ............................................................................ 5
1.3. Tujuan Penelitian ................................................................................ 6
1.4. Manfaat Penelitian .............................................................................. 6
1.5. Ruang Lingkup Penelitian .................................................................. 7
II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 9
2.1. Tinjauan Umum Tentang Lahan Pertanian ......................................... 9
2.2. Alih Fungsi Lahan Pertanian .............................................................. 10
2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian ...... 11
2.4. Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian ................... 13
2.5. Produktivitas Lahan ............................................................................ 14
2.6. Reforma Agraria (Landreform) dan Landasan Hukum Kebijakan
Alih Fungsi Lahan .............................................................................. 14
2.7. Ketahanan Pangan .............................................................................. 17
2.8. Penelitian Terdahulu ........................................................................... 18
III. KERANGKA PEMIKIRAN ................................................................... 23
IV. METODE PENELITIAN ........................................................................ 27
4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian .............................................................. 27
4.2. Jenis dan Sumber Data ....................................................................... 27
4.3. Metode Pengambilan Sampel ............................................................. 28
4.4. Analisis Data....................................................................................... 28
4.4.1. Analisis Deskriptif .................................................................... 29
4.4.2. Analisis Laju Alih Fungsi Lahan .............................................. 29
4.4.3. Analisis Faktor .......................................................................... 30
4.4.3.1. Analisis Regresi Linier Berganda ............................... 30
4.4.3.2. Analisis Regresi Logistik ............................................ 35
4.4.4. Analisis Hilangnya Penerimaan Petani ..................................... 37
4.4.5. Analisis Estimasi Dampak Produksi ......................................... 38
V. GAMBARAN UMUM ............................................................................ 41
5.1. Kondisi Geografis Kabupaten Bogor ................................................ 41
5.2. Kependudukan Kabupaten Bogor ....................................................... 42
5.3. Keadaan Lahan di Kabupaten Bogor .................................................. 43
5.4. Pertanian di Kabupaten Bogor ............................................................ 44
5.5. Gambaran Umum Kecamatan Ciampea ............................................ 45
5.2.1. Sebaran Usia Responden ......................................................... 47
5.2.2. Pendidikan Formal Responden ............................................... 48
5.2.3. Lama Menetap di lokasi ......................................................... 48
5.2.4. Luas Lahan yang dimiliki ....................................................... 49
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 51
6.1. Perkembangan dan Laju Alih Fungsi Lahan Sawah di Kabupaten
Bogor .................................................................................................. 51
6.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan di Tingkat
Wilayah Kabupaten Bogor ................................................................. 54
6.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan di Tingkat
Petani di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor ............................. 58
6.4. Dampak Alih Fungsi Lahan Terhadap Pendapatan Petani
Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor ............................................. 61
6.5. Perkiraan Perubahan Luas Sawah dan Dampak Terhadap
Ketahanan Pangan di Kabupaten Bogor ............................................ 62
6.6. Dampak Alih Fungsi Lahan Produksi dan Nilai Produksi Padi di
Kabupaten Bogor ............................................................................... 66
6.7. Implikasi Kebijakan dalam Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah
di Kabupaten Bogor ........................................................................... 68
VII. SIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 73
7.1. Simpulan ............................................................................................ 73
7.2. Saran .................................................................................................. 74
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 75
LAMPIRAN ............................................................................................. 79
RIWAYAT HIDUP ................................................................................. 92
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Nilai PDRB Indonesia pada Tahun 2009–2011 Menurut Lapangan
Usaha Atas Dasar Harga Berlaku dan Harga Konstan 2000 ................... 1
2. Penduduk 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan
Pekerjaan Utama 2008-2012 ................................................................... 3
3. Jumlah Penduduk Kabupaten Bogor Tahun 2004-2010 ......................... 4
4. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Kabupaten Bogor ...... 4
5. Penelitian Terdahulu ............................................................................... 19
6. Matriks Metode Analisis Data ............................................................... 28
7. Jumlah Penduduk Kabupaten Bogor dari Tahun 2002-2011 .................. 42
8. Luas Pemanfaatan Lahan dalam Bidang Pertanian di Kabupaten
Bogor Tahun 2012 ............................................................................... .. 43
9. Luas Pemanfaatan Lahan Kering di Kabupaten Bogor ........................... 44
10. Rata-rata Hasil per ahektar Tananaman padi Sawah di Masing-Masing
Kecamatan di Kabupaten Bogor Tahun 2009-2011 ................................ 45
11. Data Kependudukan Desa di Kecamatan Ciampea ................................. 46
12. Mata Pencaharian Masyarakat di Kecamatan Ciampea Tahun 2012 ...... 47
13. Luas Lahan Kepemilikan Berdasarkan Rata-rata Luas Lahan ................ 49
14. Luas dan Laju Alih Fungsi Lahan Sawah di Kabupaten Bogor Tahun
2002-2011 ............................................................................................... 53
15. Rata-rata Luas Alih Fungsi Lahan Menurut jenis Lahan Sawah di
Kabupaten Bogor Selama Periode 2002-2011 (dalam Hektar) ............... 54
16. Hasil Estimasi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan
Sawah di Tingkat Wilayah Kabupaten Bogor ......................................... 55
17. Hasil Estimasi Faktor-faktor Internal yang Mempengaruhi Petani
untuk menjual Lahan Sawah ................................................................... 59
18. Perbandingan Rata-rata Pendapatan Petani Sebelum dan Sesudah
Terjadinya Alih Fungsi Lahan ................................................................ 61
19. Perubahan Luas Masing-Masing Sawah Berdasarkan Tipe Irigasinya
di Kabupaten Bogor (dalam Hektar) ....................................................... 63
20. Produksi Padi Untuk Masing-masing Tipe Sawah Berdasarkan
Irigasinya di kabupaten Bogor (dalam ton) ............................................. 64
21. Produksi Beras Untuk Masing-masing Tipe Sawah Berdasarkan
Irigasinya di kabupaten Bogor (dalam ton) ............................................. 65
22. Perbandingan Produksi dan Kebutuhan Beras dengan Konsumsi Beras
Perkapita Tetap di Kabupaten Bogor ...................................................... 65
23. Dampak Terhadap Produksi Padi dan Nilai Produksi Padi yang Hilang
Akibat Alih Fungsi Lahan Sawah di Kabupaten Bogor Tahun 2002-
2011 ........................................................................................................ 67
24. Dampak Terhadap Surplus Produksi Padi dan Nilai Produksi Padi
Akibat Pembukaan Lahan Sawah Baru di Kabupaten Bogor Tahun
2002-2011 ............................................................................................... 68
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Skema Kerangka Pemikiran ................................................................... 25
2. Karakteristik Responden Kecamatan Ciampea Berdasarkan Usia pada
Tahun 2013 ............................................................................................. 48
3. Karakteristik Responden Kecamatan Ciampea Berdasarkan Tingkat
Pendidikan pada Tahun 2013 ................................................................. 48
4. Karakteristik Responden Kecamatan Ciampea Berdasarkan Lama
Menetap pada Tahun 2013 ..................................................................... 49
5. Luas Lahan Sawah Kabupaten Bogor Tahun 2002-2011 ....................... 49
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Kuesioner Penelitian ............................................................................... 80
2. Peta Tata ruang Wilayah Kabupaten Bogor ........................................... 83
3. Peta Kecamatan Ciampea ....................................................................... 84
4. Hasil Regresi Linear Berganda ............................................................... 85
5. Hasil Regresi Logistik ............................................................................ 87
6. Harga Gabah Kering Giling dan Harga Beras Eceran di Provinsi Jawa
Barat Tahun 2002-2011 .......................................................................... 89
7. Total Pendapatan Petani Sebelum dan Sesudah Alih Fungsi Lahan ...... 90
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sensus penduduk tahun 2010 menunjukkan jumlah penduduk Indonesia
mencapai 237,6 juta jiwa atau bertambah 32,5 juta jiwa sejak tahun 2000.
Pertambahan jumlah penduduk Indonesia memperlihatkan kecenderungan
peningkatan setiap tahunnya. Sejalan dengan pertambahan penduduk, terjadi pula
peningkatan kebutuhan pangan. Saat ini yang menjadi salah satu agenda global
ialah ketahanan pangan dan kemiskinan. Kegagalan riil pencapaian ketahanan
pangan akan diidentikkan dengan kemiskinan dan kondisi rawan pangan. Hal ini
menyebabkan ketersediaan pangan sangat memerlukan penanganan yang serius
dan terencana.
Masalah yang paling pokok dalam menangani ketersediaan pangan akan
sangat tergantung pada bagaimana kebijakan nasional di sektor pertanian. Sektor
pertanian telah memberikan sumbangsih besar dalam pertumbuhan ekonomi
nasional, seperti peningkatan ketahanan nasional, penyerapan tenaga kerja,
peningkatan pendapatan masyarakat, peningkatan Pendapatan Domestik Regional
Bruto (PDRB), perolehan devisa melaui ekspor–impor, dan penekanan inflasi.
Sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan merupakan sektor kedua
setelah industri pengolahan yang memberikan kontribusi besar terhadap
peningkatan PDRB Indonesia. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Nilai PDRB Indonesia pada tahun 2009–2011 Menurut Lapangan Usaha
Atas Dasar Harga Berlaku dan Harga Konstan 2000.
Lapangan Usaha
Atas dasar harga
berlaku (triliun
rupiah)
Atas dasar harga konstan
2000 (triliun rupiah)
2010 2011 2010 2011
Pertanian, peternakan, kehutanan, dan
perikanan 985,40 1.093,5 304,7 313,7
Pertambangan dan penggalian 718,1 886,3 186,6 189,2
Industri pengolahan 1.595,8 1.803,5 597,1 634,2
Listrik, gas dan air bersih 49,1 55,7 18,1 18,9
Bangunan 660,9 756,5 150,0 160,1
Perdagangan, hotel, restoran 882,5 1.022,1 400,5 437,2
Pengangkutan dan komunikasi 423,2 491,2 218 241,3
Keuangan, persewaaan, jasa perusahaan 466,6 535,0 221,0 236,1
Jasa – jasa 654,7 783,3 217,8 232,5
Produk Domestik Bruto (PDB) 6.436,3 7.427,1 2.313,8 2.463,2
PDB Tanpa Migas 5.936,2 6.794,4 2.171 2.321,8
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor (2010)
2
Pada Tabel 1 di atas dapat dilihat besaran kontribusi yang diberikan oleh
sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan terhadap peningkatan
PDRB Indonesia. Berdasarkan harga berlaku sektor pertanian, peternakan,
kehutanan, dan perikanan menyumbang nilai PDRB pada tahun 2010 sebesar Rp
985,40 triliun dan meningkat sebesar Rp 54,10 triliun menjadi Rp 1.039,50 triliun
di tahun 2011. Sedangkan berdasarkan harga konstan sektor pertanian, peternakan,
kehutanan, dan perikanan menyumbang nilai PDRB pada tahun 2010 sebesar Rp
304,70 triliun dan meningkat sebesar Rp 9,00 triliun menjadi Rp 313,70 triliun di
tahun 2011. Hal ini menunjukkan bahwa sektor pertanian, peternakan, kehutanan,
dan perikanan masih menyumbangkan PDRB terbesar dibandingkan sektor lain
terhadap pembangunan di Indonesia.
Sektor pertanian juga masih memberikan kontribusi terbesar dibandingkan
sektor–sektor lain di Indonesia dalam penyediaan lapangan pekerjaan. Dapat
dilihat pada Tabel 2. Tabel tersebut menunjukkan data penduduk usia 15 tahun ke
atas yang bekerja menurut lapangan pekerjaan utama pada tahun 2008-2012.
Terlihat penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian, perkebunan, kehutanan,
perburuan, dan perikanan masih terbesar dibandingkan dengan sektor–sektor lain.
Adanya transformasi struktur ekonomi yang terjadi, mengakibatkan
berkurangnya kontribusi lapangan pekerjaan pada sektor pertanian terhadap
output dan kemampuannya menyerap angkatan kerja. Hal tersebut menyebabkan
semakin besarnya alih fungsi lahan pertanian menjadi penggunaan lahan non
pertanian. Kebanyakan lahan yang dialihfungsikan adalah lahan-lahan pertanian
karena land rent (sewa lahan) pertanian umumnya relatif lebih kecil dibandingkan
dengan non pertanian. Menurut Barlowe (1978) land rent merupakan nilai
ekonomi yang diperoleh oleh suatu bidang lahan bila lahan tersebut digunakan
untuk kegiatan proses produksi. Salah satu faktor yang mempengaruhi nilai sewa
lahan tersebut adalah lokasi lahan, karena mempengaruhi jarak dari lahan dengan
pusat pasar. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan fenomena alih
fungsi lahan pertanian ini merupakan dampak dari transformasi struktur ekonomi
dari pertanian ke industri atau demografi dari pedesaan ke perkotaan, yang pada
akhirnya mendorong transformasi sumberdaya lahan dari pertanian ke non
pertanian. Dampak alih fungsi lahan menyebabkan tenaga kerja di bidang
3
pertanian, perkebunan, dan kehutanan menjadi berkurang, terlebih lagi semakin
banyaknya pertambahan penduduk maka alih fungsi lahan pertanian untuk
pemukiman akan semakin meningkat. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS)
Indonesia (2010), dalam waktu 10 tahun terakhir terdapat alih fungsi lahan sawah
seluas 80.000 ha per tahun menjadi lahan non pertanian seperti industri dan
perumahan, sehingga menyebabkan adanya pengurangan terhadap lahan pertanian.
Besaran kontribusi terhadap lapangan pekerjaan yang diberikan oleh
sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan terhadap peningkatan
PDRB Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Penduduk 15 Tahun ke Atas yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan
Utama 2008-2012 (dalam Jiwa)
No
Lapangan
Pekerjaan
Utama
2008 2009 2010 2011 2012
1. Pertanian,
Perkebunan,
Kehutanan,
Perburuan dan
Perikanan
41.331.706 41.611.840 41.494.941 39.328.915 38.882.134
2. Pertambangan
dan Penggalian 1.070.540 1.155.233 1.254.501 1.465.376 1.601.019
3. Industri 12.549.376 12.839.800 13.824.251 14.542.081 15.367.242
4. Listrik, Gas dan
Air 201.114 223.054 234.070 239.636 248.927
5. Konstruksi 5.438.965 5.486.817 5.592.897 6.339.811 6.791.662
6. Perdagangan,
Rumah Makan
dan Jasa
21.221.744 21.947.823 22.492.176 23.396.537 23.155.798
7. Transportasi,
Pergudangan dan
Komunikasi
6.179.503 6.177.985 5.619.022 5.078.822 4.998.260
8. Lembaga
Keuangan, Real
Estate, Usaha
Persewaan dan
Jasa Perusahaan
1.459.985 1.486.596 1.739.486 2.633.362 2.662.216
9. Jasa
Kemasyarakatan,
Sosial, dan
Perorangan
13.099.817 14.001.515 15.956.423 16.645.859 17.100.896
10. Lainnya - - - - -
Total 102.552.750 104.870.663 108.207.767 109.670.399 110.808.154
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor (2012)
Ketersediaan lahan pertanian di Indonesia semakin sempit terutama lahan
sawah sehingga upaya peningkatan produksi padi untuk memenuhi kebutuhan
pangan semakin bermasalah. Alih fungsi lahan yang terjadi terutama di daerah
Jawa sebagai gudang pangan nasional menyebabkan gangguan yang serius dalam
4
pengadaan pangan nasional. Alih fungsi lahan sawah yang tidak terkendali akan
dapat menyebabkan penurunan kapasitas penyerapan tenaga kerja pertanian
Permasalahan alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian saat
ini, sering terjadi dibeberapa wilayah di Indonesia terutama di Pulau Jawa, yang
merupakan kota–kota pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. Semakin
besarnya aktivitas perekonomian di suatu wilayah akan menyebabkan tingginya
sikap kompetitif untuk penggunaan lahan. Salah satu daerah dengan aktivitas
perekonomian yang terus berkembang adalah Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Daerah Kabupaten Bogor, saat ini masih banyak didominasi oleh lahan pertanian,
baik lahan sawah maupun lahan perkebunan. Namun perkembangan ekonomi ini
diikuti pula dengan peningkatan pertumbuhan penduduk setiap tahunnya.
Pertumbuhan penduduk Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4,
berikut ini.
Tabel 3. Jumlah Penduduk Kabupaten Bogor Tahun 2004-2010
Tahun Jumlah Penduduk (Jiwa) 2004 3.438.055 2005 3.700.207 2006 4.215.436 2007 4.251.838 2008 4.340.520 2009 4.477.344 2010 4.345.915
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, berbagai terbitan
Tabel 3 tersebut menunjukkan pertumbuhan penduduk secara keseluruhan
pertumbuhan penduduk di Kabupaten Bogor tahun 2004-2010. Terlihat
peningkatan jumlah penduduk yang signifikan dari tahun 2004 hingga tahun 2010.
Pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat, menyebabkan kebutuhan
tempat tinggal serta sarana dan prasarana sehari-hari yang akan meningkat.
Sehingga lahan yang sifatnya relatif tetap dengan kebutuhan serta permintaan
yang tidak terbatas, mengakibatkan adanya alih fungsi lahan pertanian ke non
pertanian. Hal tersebut mengakibatkan, jumlah lahan pertanian akan mengalami
penurunan yang signifikan dari tahun ke tahun.
Pengendalian alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian sangat
penting dalam pembangunan yang berkelanjutan. Salah satu langkah berani yang
disampaikan pemerintah dalam paket Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan
5
Kehutanan (RPPK) adalah dimunculkannya wacana pengadaan lahan pertanian
abadi pada bulan juni 2005. Lahan pertanian pangan abadi adalah suatu kebijakan
yang mengatur mengenai tata guna lahan, khususnya bertujuan untuk melindungi
pengalihfungsian lahan pertanian untuk keperluan yang lainnya. Pemerintah
menargetkan pencapaian 15 juta ha lahan sawah ditambah dengan 15 juta ha lahan
tegalan, yang hanya diperbolehkan digunakan untuk lahan pertanian, dan tidak
diijinkan dialihfungsikan untuk penggunaan yang lainnya. Memang tidak mudah
untuk mewujudkan lahan pertanian pangan abadi, namun berbagai upaya
konstruktif harus dilakukan pemerintah untuk mewujudkan hal tersebut. Target
pencapaian luasan lahan pertanian pangan abadi seluas 15 juta hektar memerlukan
upaya yang kuat. Semangat ini sebenarnya mecerminkan adanya aspek reformasi
agraria (land reform). Sehingga pengendalian alih fungsi lahan pertanian sangat
erat dengan reforma agraria ini.
1.2 Perumusan Masalah
Faktor–faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya alih fungsi lahan yaitu
adanya pertumbuhan jumlah penduduk, pertumbuhan ekonomi yang semakin
berkembang serta adanya intervensi pemerintah melalui Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW). Keadaan Kabupaten Bogor dengan pertumbuhan penduduk dan
pertumbuhan ekonomi yang semakin berkembang mengarah pada alih fungsi
lahan yang terus meluas. Alih fungsi lahan tersebut terjadi karena kebutuhan
masyarakat yang semakin bertambah tiap tahunnya, tuntutan hidup untuk
memperoleh kondisi yang lebih baik serta masalah property right dalam
penggunaan lahan yang tidak jelas. Permasalahan alih fungsi lahan ini memang
tidak dapat dihindari dalam proses pembangunan, namun sangat perlu
pengendalian yang tepat. Peningkatan kebutuhan lahan terjadi akibat adanya
peningkatan aktivitas ekonomi masyarakat, peningkatan jumlah penduduk setiap
tahunnya serta kebutuhan penduduk tersebut secara langsung dan tidak langsung
telah menyebabkan terjadinya pengurangan luas lahan pertanian. Alih fungsi
lahan pertanian ke non pertanian yang terjadi di Kabupaten Bogor akan
menimbulkan berbagai dampak seperti penurunan hasil produksi pertanian dan
daya serap tenaga kerja sehingga akan berpengaruh terhadap keberlanjutan hidup
6
petani. Kehilangannya lapangan pekerjaan pada petani, menyebabkan penurunan
pendapatan bagi rumah tangga petani itu sendiri, sehingga terjadi kemiskinan dan
penurunan kesejahteraan petani serta penurunan pada hasil produksi pertanian.
Berdasarkan latar belakang permasalahan tersebut, dapat dirumuskan
permasalahan-permasalahan sebagai berikut :
1. Seberapa besar laju alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian di
Kabupaten Bogor?
2. Faktor–faktor apa saja yang berpengaruh terhadap alih fungsi lahan pertanian
ke penggunaan non pertanian di Kabupaten Bogor?
3. Bagaimana dampak ekonomi dari alih fungsi lahan terhadap pendapatan petani
dan produksi padi di Kabupaten Bogor?
4. Bagaimana langkah pengendalian alih fungsi lahan yang harus diterapkan
dalam bentuk kebijakan pemerintahan?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui pentingnya
memproteksi aset dan mengendalikan alih fungsi lahan yang ada di Indonesia.
Selain itu, dalam penelitian ini juga terdapat tujuan khusus sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi laju alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian
di Kabupaten Bogor.
2. Menganalisis faktor–faktor apa saja yang berpengaruh terhadap alih fungsi
lahan pertanian ke penggunaan non pertanian di Kabupaten Bogor.
3. Menganalisis dampak ekonomi dari alih fungsi lahan terhadap pendapatan
petani dan produksi pangan di Kabupaten Bogor.
4. Menganalisis langkah pengendalian alih fungsi lahan yang harus diterapkan
dalam bentuk kebijakan pemerintahan.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Bagi peneliti, diharapkan peneliti dapat menjadi sarana dalam mengaplikasikan
ilmu pengetahuan bidang keilmuan ekonomi pertanian sumberdaya dan
lingkungan yang dipelajari selama menjalani perkuliahan di Institut Pertanian
Bogor.
7
2. Bagi pemerintah daerah maupun pusat, informasi ini dapat menjadi acuan
dalam pembuatan kebijakan pembangunan infrastruktur yang sejalan dengan
pembangunan pertanian serta untuk mengendalikan alih fungsi lahan yang
terjadi di Kabupaten Bogor.
3. Bagi civitas akademi, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi
yang digunakan untuk penelitian selanjutnya.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian
Dalam penelitian yang berjudul diperlukan batasan penelitian agar lebih
fokus dalam penelitian. Adapun pembatasan penelitian dari penelitian ini adalah :
1. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
2. Alih fungsi lahan pertanian yang terjadi berupa lahan non sawah di Kabupaten
Bogor.
3. Faktor–faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan dilihat dari faktor
eksternal dan faktor internal di wilayah tersebut.
4. Pendapatan yang diperhitungkan dilihat dari perubahan pendapatan rumah
tangga dari petani sebelum dan sesudah kegiatan alih fungsi lahan pertanian
khususnya lahan sawah.
5. Hasil produksi pertanian yang diperhitungkan dari hasil produksi lahan sawah
di Kabupaten Bogor dari sebelum dan sesudah kegiatan alih fungsi lahan
pertanian.
9
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Tentang Lahan Pertanian
Hampir seluruh sektor pembangunan fisik memerlukan lahan seperti sektor
pertanian, kehutanan, perumahan, industri, pertambangan dan transportasi. Tanah
berarti bumi, sedangkan lahan merupakan tanah yang sudah ada peruntukan dan
umumnya ada pemiliknya. Luas lahan dipengaruhi oleh pendapatan individu.
Utomo et al. (1992) menyatakan bahwa lahan sebagai modal alami utama yang
melandasi kegiatan kehidupan, memiliki dua fungsi dasar, yaitu:
1. Fungsi kegiatan budidaya, memiliki makna suatu kawasan yang dapat
dimanfaatkan untuk berbagai penggunaan, seperti pemukiman, perkebunan,
perkotaan maupun pedesaan, hutan produksi, dan lain-lain.
2. Fungsi lindung, memiliki makna suatu kawasan yang ditetapkan dengan fungsi
utamanya untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang ada, yang
mencakup sumberdaya alam, sumberdaya buatan, nilai sejarah, dan budaya
bangsa yang bisa menunjang pemanfaatan budidaya.
Fungsi lahan bagi pertanian adalah mengukur hasil gabah dan jerami yang
dihasilkan untuk suatu luas tertentu, adapun fungsi lahan pertanian yang
berpengaruh lebih luas adalah menjaga ketahanan pangan, menjaga kestabilan
hidrologis Daerah Aliran Sungai (DAS), menurunkan erosi, menyerap tenaga
kerja, memberikan keunikan dan daya tarik pedesaan serta mempertahankan nilai-
nilai budaya. Fungsi lahan bagi para stakeholder memiliki arti penting masing-
masing. Fungsi lahan bagi masyarakat, lahan sebagai tempat tinggal dan sumber
mata pencaharian. Bagi petani, lahan sebagai sumber memproduksi makanan dan
keberlangsungan hidup. Bagi pihak swasta, lahan ialah aset untuk
mengakumulasikan modal. Bagi pemerintah, lahan merupakan kedaulatan suatu
negara dan untuk kesejahteraan rakyat.
Menurut Yoshida (1994) dan Kenkyu (1996) bahwa dari aspek lingkungan,
keberadaan lahan pertanian dapat berkontribusi dalam lima manfaat, yaitu:
pencegahan banjir, pengendali keseimbangan tata air, pencegahan erosi,
pengurangan pencemaran lingkungan yang berasal dari limbah rumah tangga, dan
mencegah pencemaran udara yang berasal dari gas buangan. Menurut Sumaryanto
10
dan Tahlim (2005), manfaat lahan pertanian dapat dibagi menjadi dua kategori.
Pertama, use value. Manfaat ini dihasilkan dari hasil eksploitasi atau kegiatan
usahatani yang dilakukan pada sumber daya lahan pertanian. Kedua, non use
value, berbagai manfaat yang dapat tercipta dengan sendirinya walaupun bukan
merupakan tujuan dari eksploitasi dari pemilik lahan pertanian.
2.2 Alih Fungsi Lahan Pertanian
Lahan sebagai salah satu faktor produksi merupakan pabrik hasil-hasil
pertanian yang menjadi tempat proses produksi dan hasil produksi diperoleh.
Dalam pertanian terutama di negara berkembang termasuk Indonesia, faktor
produksi tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting. Bagi petani, lahan
juga mempunyai arti yang sangat penting. Dari lahan sawah lah mereka dapat
mempertahankan hidup bersama keluarganya, melalui kegiatan bercocok tanam
dan beternak. Karena lahan merupakan faktor - faktor produksi dalam berusaha
tani, maka keadaan status penguasaan terhadap lahan menjadi sangat penting. Ini
berkaitan dengan keputusan jenis komoditas apakah yang mau diusahakan dan
juga berkaitan dengan besar kecilnya bagian yang akan diperoleh dari usahatani
yang diusahakan.
Jika dikaitkan dengan proses pembangunan pada dasarnya pertumbuhan
ekonomi dalam suatu wilayah akan mendorong terjadinya peningkatan permintaan
akan lahan untuk berbagai kebutuhan termasuk kebutuhan pertanian, industri jasa
dan kegiatan lainnya. Oleh karena persediaan lahan tidak berubah dalam suatu
wilayah maka dengan perubahan struktur ekonomi yang terjadi seperti yang
terlihat terutama dalam wilayah perkotaan, perubahan tersebut telah menggeser
peranan sektor pertanian ke sektor industri yang juga membutuhkan lahan untuk
kegiatannya. Dalam keadaan demikian lahan-lahan pertanian akan mendapat
tekanan permintaan untuk penggunaan lahan bagi kepentingan kegiatan di luar
pertanian (Anwar 1993).
Menurut Kustiawan (1997) alih fungsi lahan secara umum menyangkut
transformasi dalam pengalokasian sumberdaya lahan dari satu penggunaan ke
penggunaan lainnya. Alih fungsi lahan biasanya terjadi di wilayah sekitar
perkotaan yang dimaksudkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan
11
membangun sektor–sektor industri dan jasa. Sebagai sumberdaya alam, lahan
merupakan wadah dan faktor produksi strategis bagi kegiatan pembangunan untuk
meningkatkan kesejahteraan manusia. Perubahan pola penggunaan lahan pada
dasarnya bersifat permanen dan juga dapat bersifat sementara (Utomo, 1992). Jika
lahan sawah beririgasi teknis berubah menjadi kawasan pemukiman atau industri,
maka alih fungsi lahan bersifat permanen. Akan tetapi, jika sawah tersebut
berubah menjadi perkebunan tebu, maka alih fungsi lahan tersebut bersifat
sementara, karena pada tahun–tahun yang akan datang dapat dijadikan sawah
kembali. Alih fungsi lahan permanen biasanya lebih besar dampaknya dari pada
alih fungsi lahan sementara.
Perkembangan sektor pertanian pada umumnya terjadi pada wilayah-
wilayah yang berlahan subur. Pada wilayah-wilayah inilah berkembang pusat-
pusat pemukiman penduduk sehingga menuntut pemerintah daerah setempat
untuk membangun fasilitas-fasilitas umum dan prasarana-prasarana di wilayah
tersebut. Adanya pusat pemukiman penduduk, ketersediaan prasarana dan sarana
yang berdasarkan pertimbangan faktor-faktor lokasi dengan pemukiman sebagai
tenaga kerja, maka penggunaan lahan untuk penggunaan non pertanian seperti
industri cenderung untuk berkembang di wilayah ini (Nuryati, 1995).
2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Sawah
Sejalan dengan peningkatan pembangunan pertumbuhan ekonomi, maka
laju penggunaan lahan akan semakin meningkat. Meningkatnya permintaan akan
lahan mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian. Menurut
Pakpahan et al (1993), faktor–faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan sawah
ke penggunaan non pertanian dapat dibedakan menjadi dua yaitu faktor yang
mempengaruhi alih fungsi lahan sawah di tingkat wilayah yaitu faktor yang tidak
langsung mempengaruhi keputusan petani untuk melakukan alih fungsi lahan dan
faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan sawah di tingkat petani yaitu
faktor-faktor yang secara langsung mempengaruhi keputusan petani melakukan
alih fungsi lahan.
Menurut Hayat (2002), faktor-faktor yang diduga mempengaruhi alih
fungsi lahan sawah di tingkat wilayah dengan metode kuadrat terkecil biasa (OLS)
12
dengan menggunakan pendekatan dua variabel, variabel tak bebas yaitu,
penurunan jumlah luas lahan dan variabel bebas yaitu, kepadatan penduduk,
produktivitas padi sawah, persentase luas lahan sawah, kontribusi sektor non
pertanian, pertambahan jalan aspal dan proporsi jumlah tenaga kerja sektor non
pertanian.
Menurut Winoto (2005) faktor-faktor yang mendorong terjadinya alih
fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian antara lain :
1. Faktor kependudukan, yaitu peningkatan dan penyebaran penduduk di suatu
wilayah. Pesatnya peningkatan jumlah penduduk telah meningkatkan
permintaan tanah. Selain itu, peningkatan taraf hidup masyarakat juga turut
berperan menciptakan tambahan permintaan lahan.
2. Faktor ekonomi, yaitu tingginya land rent yang diperoleh aktifitas sektor non
pertanian dibandingkan dengan sektor pertanian. Rendahnya insentif untuk
bertani disebabkan tingginya biaya produksi, sementara harga hasil pertanian
relatif rendah dan berfluktuasi. Selain itu karena faktor kebutuhan keluarga
petani yang semakin mendesak menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan.
3. Faktor sosial budaya, antara lain keberadaan hukum waris yang menyebabkan
terfragmentasinya tanah pertanian, sehingga tidak memenuhi batas minimun
skala ekonomi usaha yang menguntungkan.
4. Perilaku myopic, yaitu mencari keuntungan jangka pendek namun kurang
memperhatikan jangka panjang dan kepentingan nasional secara keseluruhan.
Hal ini tercermin dari rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang cenderung
mendorong alih fungsi tanah pertanian untuk penggunaan tanah non pertanian.
5. Lemahnya sistem perundang-undangan dan penegakan hukum dari peraturan
yang ada.
Menurut Utomo (1992) secara umum masalah alih fungsi dalam
penggunaan lahan terjadi antara lain karena pola pemanfaatan lahan masih
sektoral, delineasi antar kawasan belum jelas, koordinasi pemanfaatan ruang
masih lemah, dan pelaksanaan UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) masih
lemah dan penegakkan hukum yang masih lemah.
13
2.4 Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian
Menurut Widjanarko et all (2006) dampak negatif akibat alih fungsi lahan,
antara lain :
1. Berkurangnya luas sawah yang mengakibatkan turunnya produksi padi, yang
mengganggu tercapainya swasembada pangan.
2. Berkurangnya luas sawah yang mengakibatkan bergesernya lapangan kerja dari
sektor pertanian ke non pertanian, apabila tenaga kerja lokal yang ada tidak
terserap seluruhnya justru akan meninggikan angka penygangguran. Dampak
sosial ini akan berkembang dengan meningkatnya kecemburuan sosial
masyarakat setempat terhadap pendatang yang pada gilirannya berpotensi
meningkatkan konflik sosial.
3. Investasi pemerintah dalam pengadaan prasarana dan sarana pegairan menjadi
tidak optimal pemanfaatannya.
4. Kegagalan investor dalam melaksanakan pembangunan perumahan maupun
industri sebagai dampak krisis ekonomi atau karena kesalahan perhitungan
mengakibatkan tidak termanfaatkannya tanah yang telah diperoleh sehingga
meningkatkan luas lahan tidur yang pada gilirannya akan menimbulkan konflik
sosial seperti penjarahan tanah.
5. Berkurangnya ekosistem sawah terutama di jalur pantai utara Pulau Jawa yang
terbaik dan telah terbentuk puluhan tahun, sedangkan pencetakan sawah baru
yang sangat besar biayanya di luar Pulau Jawa seperti Kalimantan Tengah,
tidak memuaskan hasilnya.
Menurut Firman (2005) alih fungsi lahan yang terjadi menimbulkan
dampak langsung maupun tidak langsung. Dampak langsung yang diakibatkan
oleh alih fungsi lahan berupa hilangnya lahan pertanian subur, hilangnya investasi
dalam infrastruktur irigasi, kerusakan natural lanskap, dan masalah lingkungan.
Sedangkan dampak tidak langsung yang ditimbulkan berupa inflasi penduduk dari
wilayah perkotaan ke wilayah tepi kota.
Menurut Sibolak (1995), pengalihan fungsi lahan ke penggunaan lain,
secara otomatis mengubah besaran maupun jenis manfaat yang dapat di terima
dari penggunaan lahan tersebut. Kerugian akibat alih fungsi lahan petanian ke non
pertanian terutama adalah hilangnya „peluang‟ memproduksi hasil pertanian di
14
lahan sawah yang besarnya berbanding lurus dengan luas lahan yang
teralihfungsikan. Kerugiannya antara lain penurunan produksi pertanian dan
nilainya, pendapatan usahatani, kesempatan kerja pada kegiatan usahatani,
kehilangan manfaat investasi dari lahan teralihfungsikan.
2.5 Produktivitas lahan
Produktivitas dapat diartikan sebagai suatu keluaran dari setiap produk
persatuan (baik satuan total maupun tambahan) terhadap setiap masukan atau
faktor produksi tertentu, misalnya sebagai hasil per satuan benih, tenaga kerja,
atau air selain terhadap satuan luas lahan (Hildebran, 1987).
Produktivitas lahan sawah menentukan pendapatan petani dari
usahataninya. Semakin rendah produktivitas lahan sawah, maka produk yang
dihasilkan oleh lahan sawah tersebut semakin rendah. Rendahnya pendapatan
petani yang diakibatkan oleh rendahnya produktivitas lahan sawah akan
menyebabkan petani memutuskan untuk mengalihfungsikan lahan sawahnya dan
beralih ke sektor non pertanian. Hal ini dikarenakan pekerjaan di sektor non
pertanian dipandang dapat mengahasilkan pendapatan yang lebih tinggi daripada
pendapatan yang diperoleh dari hasil lahan sawah yang mempunyai produktivitas
rendah (Utama, 2006).
2.6 Reforma Agraria (Land Reform) dan Landasan Hukum Kebijakan Alih
Fungsi Lahan
Pengertian reformasi agraria secara luas mencakup pengaturan hubungan
manusia dan lahan, termasuk redistribusi pemilikan lahan, konservasi, dan
kelembagaan yang mengatur hubungan manusia dan lahan (Norton, 2004). Pada
dasarnya tujuan yang ingin dicapai oleh adanya kebijaksanaan adalah pemerataan
kesempatan yang menyangkut pemanfaatan lahan bagi warga masyarakat
sehingga masyarakat dapat meningkatkan kesejahteraannya. Atas dasar tersebut
tujuan kebijaksanaan pertanahan dapat meliputi :
1. Pemerataan pemilikan dan penggarapan lahan. Pemilikan dicegah untuk tidak
terpusat pada segelintir orang, yang menyebabkan menurunnya produktivitas
lahan. Program landreform merupakan usaha meningkatkan produktivitas,
usaha distribusi penguasaan lahan serta usaha mengubah landless menjadi
15
pemilik lahan. Dengan demikian, pemerataan ini akan memperbaiki distribusi
pendapatan masyarakat.
2. Penentuan luas penguasaan lahan yang memungkinkan pemiliknya dapat
memaksimumkan manfaatnya (skala usaha).
3. Pengaturan hubungan pemilik‐penggarap (UU bagi hasil, dan lain‐lain).
4. Penyebaran informasi/peraturan yang menyangkut pertanahan kepada
masyarakat.
5. Pengaturan tentang konservasi/pelestarian sumberdaya lahan.
6. Pengaturan penggunaan lahan secara tepat (untuk pertanian, industri,
pemukiman, hutan lindung, dan lain‐lain).
Adapun tujuan dari landreform adalah : (1) penyebaran/pemerataan
pemilikan lahan sehingga terjadi pemerataan pendapatan, (2) peningkatan
produktivitas pertanian, dan (3) peningkatan pendapatan nasional. Berdasarkan
pengertian dan tujuan dari landreform, dapat dikemukakan beberapa keuntungan
dari landreform, yaitu :
1. Pendapatan petani meningkat sehingga daya belinya juga meningkat.
Peningkatan pendapatan tersebut diharapkan dapat merubah status buruh tani
menjadi pemilik tanah.
2. Industri berkembang.
3. Secara multiplier akan meningkatkan Gross National Product (GNP).
Hal‐hal di atas perlu menjadi perhatian karena kondisi pengusaan lahan di
Indonesia yang diperuntukkan sebagai lahan pertanian mengalami penurunan
luasan yang banyak akibat adanya alih fungsi lahan.
Secara konseptual, agraria terdiri dari dua aspek utama yang berbeda, yaitu
aspek “penguasaan dan pemilikan” dan aspek “penggunaan dan pemanfaatan”.
Hal ini misalnya terlihat secara tegas dalam batasan tentang reforma agraria yang
terdapat dalam TAP MRP No. 9 tahun 2001 pasal 2, yang menyebutkan bahwa:
“pembaharuan agraria mencakup satu proses yang berkesinambungan berkenaan
dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan
sumber daya agraria”. Aspek penguasaan dan pemilikan jelas berbeda dengan
aspek penggunaan dan pemanfaatan. Karena yang pertama berkenaan dengan
bagaimana relasi hukum manusia dengan tanah, sedangkan yang kedua berkenaan
16
dengan bagaimana tanah (dan sumber daya agraria lain) digunakan dan
dimanfaatkan sebagai sumber daya ekonomi. Undang-Undang Peraturan Agraria
(UUPA) No. 5 tahun 1960 dan amandemen UU tersebut yang sudah sejak tahun
2003 yang telah dimasukkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN)
menempatkan aspek penguasaan jauh lebih penting dari pada aspek penggunaan.
Landasan hukum dari kebijakan alih fungsi lahan pertanian selain UUPA
antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang perlindungan lahan pertanian
pangan berkelanjutan pada pasal 50, yang menyebutkan bahwa segala bentuk
perizinan yang mengakibatbatkan alih fungsi lahan pertanian pangan
berkelanjutan batal demi hukum, kecuali untuk kepentingan umum.
2. Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang terutama pada
pasal 37, yang menyebutkan bahwa izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai
dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dibatalkan oleh pemerintah dan
pemerintah daerah menurut kewenangan masing-masing sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 16 tahun 2004 tentang penatagunaan tanah
terutama pasal 13, yang menjelaskan penggunaan dan pemanfaatan tanah di
kawasan lindung atau kawasan budidaya harus sesuai dengan fungsi kawasan
dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).
4. Peraturan Pemerintah Nomor 36 tanun 1998 tentang penertiban dan
pendayagunaan tanah terlantar, dimana pada pasal 11 dijelaskan tanah yang
diperoleh dasar penggunaannya oleh orang perseorangan yang tidak
menggunakan tanah tersebut sesuai dengan keadaannya atau menurut sifat dan
tujuan pemberian haknya, atau tidak memeliharanya dengan baik, atau tidak
mengambil langkah-langkah pengelolaan bukan karena tidak mampu dari segi
ekonomi, maka kepala kantor pertanahan mengusulkan kepada kepala kantor
wilayah aar pemegang hak diberi peringatan agar dalam waktu tertentu sudah
menggunakan tanahnya sesuai keadaan atau menurut sifat dan tujuan
pemberian haknya.
5. Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 2 tahun 1999 tentang izin lokasi
penguasaan dan teknis tata guna tanah dimana pada pasal 6 disebutkan izin
17
lokasi diberikan berdasarkan pertimbangan mengenai aspek penguasaan tanah
dan teknis tata guna tanah yang meliputi keadaan hak serta penguasaan tanah
yang bersangkutan, penilaian fisik wilayah, penggunaan tanah, serta
kemampuan tanah.
Menurut Widjanarko et al (2006) ada tiga kebijakan nasional yang
berpengaruh langsung terhadap alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian
adalah:
1. Kebijakan privatisasi pembangunan kawasan industri sesuai Keputusan
Presiden Nomor 53 tahun 1989 yang telah memberikan keleluasaan kepada
pihak swasta untuk melakukan investasi dalam pembangunan kawasan industri
dan memilih lokasinya sesuai dengan mekanisme pasar.
2. Kebijakan pembangunan pemukiman skala besar dan kota baru. Kebijakan
pemerintah ini sangat berpengaruh terhadap alih fungsi lahan, karena
memunculkan spekulan yang mendorong minat petani menjual lahannya.
3. Kebijakan deregulasi dalam hal penanaman modal dan perizinan sesuai Paket
Kebijaksanaan Oktober Nomor 23 Tahun 1993 memberikan kemudahan dan
penyederhanaan dalam pemrosesan perizinan lokasi. Kebijakan tersebut
menyebabkan peningkatan dalam permohonan izin lokasi untuk kawasan
industri, pemukiman, maupun wisata.
2.7 Ketahanan Pangan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 ketahanan pangan
adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari: (1)
tersedianya pangan secara cukup, baik dalam jumlah maupun mutunya; (2) aman;
(3) merata; dan (4) terjangkau. Dari definisi pada undang-undang tersebut,
ketahanan pangan dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Terpenuhinya pangan dengan kondisi ketersediaan yang cukup, yaitu pangan
dalam jumlah yang cukup dan dengan kualitas atau gizi yang memadai dalam
setiap rumah tangga di Indonesia. Ketersediaan pangan ini harus mencukupi
jumlah satuan kalori yang dibutuhkan untuk kehidupan yang aktif dan sehat
2. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan sebagai bebas dari
cemaran biologis, kimia, atau benda lain yang dapat mengganggu atau merusak
18
kesehatan manusia. Hal tersebut juga termasuk aman dari kaidah agama atau
kepercayaan masing-masing.
3. Terpenuhinya pangan secara merata, diartikan dengan pangan yang aman dan
berkualitas tadi harus tersebar merata untuk mencukupi kebutuhan jumlah
kalori setiap rumah tangga di Indonesia.
4. Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, yaitu pangan yang aman dan
berkualitas tadi harus dapat dibeli dengan harga yang terjangkau oleh semua
kalangan masyarakat Indonesia.
2.8 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu merupakan kumpulan dari penelitian-penelitian yang
sudah dilakukan mengenai laju alih fungsi lahan di suatu wilayah, pengaruh
faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian,
dampak ekonomi ketahanan pangan di suatu wilayah. Perbedaan penelitian ini
dengan penelitian terdahulu adalah terletak pada tambahasan pembahasan
mengenai kebijkan terkait alih fungsi lahan serta penelusuran tentang
kesejahteraan petani. Tabel 5 merupakan kumpulan dari penelitian terdahulu.
19
Tabel 5. Penelitian Terdahulu
No. Pengarang, Tahun dan
Judul Tujuan Metode Hasilnya
1. Neneng Solihah, 2002,
Dampak Alih Fungsi
Lahan Sawah ke
Penggunaan Non Sawah
Terhadap Pendapatan
Petani di Kabupaten
Bogor.
1. Mengkaji besar alih fungsi lahan
sawah dan pola alih fungsi yang terjadi
di Kabupaten Bogor.
2. Menganalisis pola alih fungsi lahan
sawah di tingkat petani dan aktivitas
petani setelah melakukan alih fungsi
lahan.
3. Menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi alih fungsi lahan sawah
di tingkat wilayah dan tingkat petani.
4. Menganalisis dampak alih fungsi lahan
sawah terhadap pendapatan petani.
1. Tabulasi deskriptif
2. Analisis regresi Linier
Berganda.
3. Analisis faktor logit
1. Perubahan lahan sawah di Kabupaten
Bogor 1996-2001, secara keseluruhan
menurun 2.946 ha atau 491 ha per
tahun.
2. Konversi lahan yang terjadi di
kabupaten Bogor selama 1998-2001
adalah 19,61% atau 22,9% per tahun
sedang non sawah 8,39% atau 2,1%
per tahun, dengan kehilangan lahan
sawah seluas 76,45 ha untuk non
pertanian dan 82,68% untuk
perumahan.
3. Faktor–faktor yang mempengaruhi
adalah jumlah penduduk, jumlah
sarana pendidikan, panjang jalan aspal
dan produktivitas lahan sawah.
4. Secara empirik, alih fungsi lahan
sawah menurunkan pendapatan petani.
2. Fanny Anugerah K, 2005,
Analisis Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi
Konversi Lahan Sawah ke
Penggunaan Non
Pertanian di Kabupaten
Tangerang.
1. Mengidentifikasi perkembangan dan
pola konversi lahan sawah selama
sepeluh tahun terakhir di wilayah
Kabupaten Tangerang.
2. Mengidentifikasi dampak konversi
lahan sawah seiring dengan terjadinya
pergeseran struktur ekonomi di
Kabupate n Tangerang.
3. Menganalisis faktor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya konversi
lahan sawah ke penggunaan non
pertanian di Kabupaten Tangerang.
1. Analisis deskriptif
2. Analisis estimasi dampak
konversi lahan
3. Metode Location Quotieny
(LQ)
4. Analisis surplus pendapatan
dan tenaga kerja.
5. Analisis regresi linier
berganda.
1. Konversi lahan yang terjadi di
Kabupaten Tangerang pada tahun
1994-2003 sebesar 5.407 ha dengan
laju sebesar 2,44% per tahun.
2. Rata-rata lahan sawah yang
terkonversi selama 1994-2003 yaitu
sebesar 3.588,11 ton per tahun dan
kehilangan nilai produksi sebesar Rp
48.439.427.500.
3. Hasil perhitungan LQ berdasarkan
indikator pendapatan menunjukan
sektor pertanian merupakan sektor
basis dan mampu memberikan nilai
surplus.
20
3. Desi Irnalia Astuti. 2011.
Keterkaitan Harga Lahan
Terhadap Laju Konversi
Lahan Pertanian Di Hulu
Sungai Ciliwung
Kabupaten Bogor
1. Mengidentifikasi laju konversi lahan di
Kecamatan Cisarua.
2. Menganalisis keterkaitan harga lahan
terhadap laju konversi lahan pertanian
di
Kecamatan Cisarua.
3. Mengkaji faktor-faktor yang
mempengaruhi penduduk dalam
mengkonversi
lahan di hulu sungai.
1. Analisis Keterkaitan Harga
Lahan terhadap Laju
2. Analisis Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Konversi
Lahan
1. Tren laju konversi lahan di Kecamatan
Cisarua tahun 2001-2010 terus
mengalami peningkatan. Konversi
lahan tertinggi terjadi pada tahun
2006, karena ada pertambahan jumlah
obyek wisata dan jumlah penduduk.
Tingkat konversi lahan untuk
pertanian dan untuk pemukiman
masing-masing sebesar 2.28 % dan
3.94 %.
2. Harga lahan di tingkat Kecamatan
Cisarua pada tahun 2001-2010
berhubungan positif terhadap konversi
lahan. Laju konversi semakin tinggi
karena kenaikan harga lahan di
Kecamatan Cisarua lebih murah
dibandingkan dengan daerah asal
mayoritas pembeli yaitu Jakarta
dimana pembeli memiliki keinginan
untuk berinvestasi.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi
penduduk pada tingkat rumah tangga
dalam mengkonversi lahan adalah
harga lahan, jumlah tanggungan,
pendapatan, dan luas lahan yang
dimiliki saat sebelum menjual.
4. Irvan Maulana Sadikin,
2009, Analisis Dampak
Konversi Lahan Pertanian
Terhadap Produksi Padi
dan Land Rent (Kasus
Perumahan Pakuan
Regency, Bogor Barat,
Kota Bogor)
1. Menjelaskan faktor-faktor yang
mendorong Pemerintah Kota Bogor
mengkonversi lahan pertanian menjadi
lahan pemukiman.
2. Menjelaskan dan menghitung dampak
pembangunan perumahan Pakuan
Regency terhadap hilangnya padi dan
pemasukan (income) petani dari
usahatani padi.
3. Menjelaskan dan menghitung
1. Analisis deskriptif
2. Analisis dampak konversi
lahan pertanian
3. Dampak lingkungan
4. Analisis hilangnya produksi
padi
5. Analisis hilangnya
penerimaan petani
6. Analisis Land rent
7. Analisis faktor-faktor yang
1. Faktor-faktor yang mendorong
peningkatkan kualitas pemukiman
yang telah ada, yaitu visi Kota Bogor
sebagai kota pemukiman sebelum
diubah menjadai kota jasa dan
kontribusi terhadap PDRB.
2. Pembangunan perumahan Pakuan
Regency menghilangkan akses air
irigasi pada lahan pertanian dengan
kehilangan jumlah produksi padi
21
perbandingan nilai Land Rent sebelum
dan sesuadah dibangunnya perumahan
Pakuan Regency.
4. Menjelaskan pengaruh dari faktor-
faktor Land Rent terhadap nilai
ekonomi lahan (land rent) pada lahan
pertanian dan lahan pemukiman
perumahan Pakuan Regency.
mempengaruhi Land Rent sebesar 392 ton Gabah Kering Giling
(GKG) dan lahan yang terganggu
aliran air irigasinya sebesar 22,4 ton
GKG dengan jumlah pendapatan yang
hilang Rp 1.141.760.000,00 per tahun.
Land Rent pemukiman lebih besar
71,68 kali dibandingkan dengan Land
Rent pertanian.
3. Variabel luas lahan dan biaya
operasional berpengaruh negatif
terhadap land rent pertanian dan
variabel penerimaan berpengaruh
secara negatif oleh variabel luas lahan,
biaya operasional dan pajak,
sedangkan variabel luas bangunan dan
total penerimaan berpengaruh positif.
5.
Deny Syaiful Hayat,
2002, Analisis Faktor–
Faktor yang
Mempengaruhi Konversi
Lahan Sawah (Studi
Kasus Kabupaten Bogor,
Jawa Barat)
1. Mengetahui pola konversi lahan sawah
yang terjadi dan mengetahui dampak
ekonomi konversi lahan sawah ke
penggunaan non pertanian terhadap
pembangunan wilayah di kabupaten
Dati II di Bogor.
2. Mengetahui proses transformasi
perekonomian yang terjadi sebagai
implikasi konversi lahan sawah yang
terjadai di Kabupaten Bogor.
3. Faktor–faktor apa yang mempengaruhi
konversi lahan sawah ke penggunaan
non pertanian di Kabupaten Dati II
Bogor.
1. Analisis deskriptif
2. Analisis kuantitatif estimasi
dampak konversi lahan sawah
3. Metode Location Quotient
(LQ).
4. Analisis surplus pendapatan
petani dan tenaga kerja.
5. Analisis estimasi
pertumbuhan.
6. Analisis regresi linier
berganda.
1. Pada tahun 1991-2000 jumlah lahan
yang terkonversi seluas 19.262 ha.
Rata–rata luas lahan yang terkonversi
adalah 1.926,2 ha per tahun.
2. Pola konversi lahan sawah yang
terjadi di Kabupaten bogor terjadi
pada jenis lahan sawah irigasi
sederhana yaitu 44% dari luas lahan
yang terkonversi.
3. Faktor–faktor yang mempengaruhi
adalah produktivitas lahan sawah,
proporsi lahan sawah beririgasi teknis
dan non teknis, kontribusi
pertumbuhan PDRB dan pertambahan
jalan aspal.
6. Dicky fajar Utama, 2006,
Analisis Faktor–Faktor
yang Mempengaruhi
Konversi Lahan Sawah ke
Penggunaan Non Sawah
1. Mengetahui besaran dan laju konversi
lahaan sawah ke penggunaan non
sawah di Kabupaten Cirebon.
2. Mengetahui pola konversi lahan sawah
yang terjadi dan mengetahui dampak
1. Analisis Deskriptif
2. Analisis Kuantitatif Estimasi
Dampak Konversi Lahan
Sawah
3. Analisis Regresi
1. Konversi lahan yang terjadi di
Kabupaten Cirebon pada tahun 1990-
2004 sebesar 5.872 ha atau sekitar
391,47 ha per tahun.
2. Konversi lahan sawah yang terjadi
22
di Kabupaten Cirebon ekonomi konversi lahan sawah.
3. Menganalisis faktor–faktor yang
berpengaruh terhadap konversi lahan
sawah ke penggunaan non sawah di
kabupaten Cirebon.
4. Analisis Operasional
mengakibatkan kehilangan peluang
produksi padi sebesar 42.209,08 ton
dengan nilai sebesar Rp
78.086.798.000 jika diasumsikan
harga 1 ton gabah kering giling
sebesar Rp 1.850.000.
3. Faktor–faktor yang mempengaruhi
adalah kepadatan penduduk,
produktivitas lahan sawah, kontribusi
PDRB non pertanian dan pertumbuhan
panjang jalan aspal.
23
III. KERANGKA PEMIKIRAN
Permasalahan pembangunan sektor ekonomi dan pertumbuhan jumlah
penduduk yang terjadi sangat mempengaruhi ketersediaan lahan pertanian yang
ada. Pembangunan sektor ekonomi yang ada dalam suatu wilayah, sangat
berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan salah satunya terjadi pada
sektor industri. Pertumbuhan sektor industri yang sangat cepat menyebabkan,
permintaan akan kebutuhan lahan akan semakin meningkat. Sehingga, lahan yang
awalnya berupa lahan pertanian, khususnya sawah kini menjadi lahan yang
memiliki nilai ekonomi tinggi. Selain itu, pertumbuhan penduduk yang semakin
meningkat, menyebabkan kebutuhan tempat tinggal serta sarana dan prasarana
sehari-hari akan meningkat pula. Sehingga, lahan yang sifatnya relatif tetap,
dengan kebutuhan serta permintaan yang tidak terbatas, mengakibatkan adanya
alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian.
Semakin sempitnya luas lahan pertanian, khususnya lahan sawah, akan
memberikan dampak yang cukup besar terhadap hilangnya jumlah produksi dan
nilai produksi padi dan hilangnya nilai pendapatan rumah tangga petani. Dampak
yang dirasakan petani akibat terjadinya alih fungsi lahan yaitu, petani yang pada
awalnya merupakan petani pemilik lahan, perlahan mereka mulai berubah
kedudukkan menjadi petani penggarap dilahan orang lain, buruh tani, penggarap
ataupun beralih ke pekerjaan lain, sehingga nilai pendapatan rumah tangga mereka
dapat mengalami peningkatan, penurunan atau bahkan lenyap. Hal tersebut
menunjukkan adanya transformasi dari sektor pertanian ke sektor non pertanian.
Penurunan volume produksi padi akan menghilangkan nilai produksi pertanian
dan pendapatan petani. Selain itu, adanya alih fungsi lahan pertanian ke non
pertanian juga berpengaruh terhadap kondisi lingkungan secara fisik. Seperti
banjir, kekurangan air, pencemaran air yang akan berpengaruh terhadap kondisi
lingkungan masyarakat.
Alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian didasari oleh adanya faktor-
faktor tertentu, baik faktor yang mempengaruhi di tingkat wilayah maupun faktor
yang mempengaruhi di tingkat petani. Faktor yang mempengaruhi alih fungsi
lahan di tingkat wilayah, merupakan faktor yang secara tidak langsung
mempengaruhi hasil keputusan petani melakukan alih fungsi lahan. Faktor yang
24
mempengaruhi alih fungsi lahan di tingkat petani, merupakan faktor yang secara
langsung mempengaruhi petani melakukan alih fungsi lahan. Pengaruh langsung
dipengaruhi oleh pengaruh tidak langsung, seperti pertumbuhan penduduk yang
akan menyebabkan pertumbuhan pemukiman, perubahan struktur ekonomi ke
arah industri dan jasa akan meningkatkan kebutuhan pembangunan sarana
transportasi dan lahan untuk industri, serta peningkatan arus urbanisasi akan
meningkatkan tekanan penduduk atas lahan dipinggiran kota.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan sawah di
tingkat petani adalah kondisi sosial ekonomi petani seperti tingkat pendidikan,
pendapatan dan kemampuan ekonomi secara keseluruhan serta pajak tanah, harga
tanah dan lokasi tanah. Secara umum, alih fungsi lahan sawah ke penggunaan lain
dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Alih fungsi lahan sawah
secara langsung umumnya terjadi sebagai akibat dari keputusan pemilik lahan
sawah untuk mengalihkan lahan tersebut ke jenis pemanfaatan lain, diantaranya di
pengaruhi oleh perubahan struktur ekonomi, pertumbuhan ekonomi, arus
urbanisasi dan konsistensi implementasi rencana tata ruang, sedangkan alih fungsi
lahan secara tidak langsung terjadi sebagai akibat makin menurunnya kualitas
lahan sawah ataupun makin rendahnya income opportunity dari lahan tersebut
secara relatif, diantaranya dipengaruhi oleh pertumbuhan pembangunan sarana
transportasi, pertumbuhan kebutuhan lahan untuk industri, pertumbuhan sarana
pemukiman dan sebaran lahan pertanian.
Pengendalian alih fungsi lahan merupakan langkah tinjauan ulang
kebijakan pemerintah terkait reforma agraria. Sehingga dari gambaran alih fungsi
lahan yang terjadi, pemerintah akan dapat memperhitungkan kompensasi yang
harus diberikan untuk mempertahankan lahan pertanian yang ada di Indonesia.
Skema faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian
beserta dampak terhadap pendapatan petani dan produksi pangan ditampilkan
secara sederhana dalam Gambar 1.
25
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran
Analisis Laju Alih Fungsi
Lahan Pertanian
Kebijakan Pengendalian Alih
Fungsi Lahan Pertanian ke Non
Pertanian
Analisis Pendapatan
Petani dan Alih Kerja
Analisis Produksi
Pangan
Penurunan Kondisi
Lingkungan
Perubahan
Pendapatan Petani
Penurunan Produksi
Pangan
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Pertanian
Dampak
Alih Fungsi Lahan
Pertanian
Peningkatan Kebutuhan
Pemukiman
Peningkatan Kebutuhan
Lahan Industri
Pembangunan
Sektor Ekonomi
Pertumbuhan
Penduduk
Peningkatan Usaha
Keluarga Non
Pertanian
27
IV. METODE PENELITIAN
4.1 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Dari
Juli 2013. Pemilihan Kabupaten Bogor sebagai lokasi penelitian dilakukan secara
sengaja (purposive). Lokasi ini dipilih karena di daerah tersebut banyak
dibangunan pemukiman dan industri, padahal tata guna lahan di daerah tersebut
pada saat ini mayoritas merupakan lahan sawah. Hal ini mengindikasikan
terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke pemukiman ataupun industri. Selain itu
wilayah ini juga merupakan salah satu daerah di Jawa Barat dengan
perkembangan ekonomi yang paling cepat, sehingga memberikan implikasi
adanya perubahan tata guna lahan. Studi kasus pada penelitian ini dilakukan di
Kecamatan Ciampea yang dipilih karena pada daerah tersebut produktivitas padi
per hektarnya dari tahun 2009-2011 terus mengalami penurunan. Hal ini dapat
dilihat pada gambaran umum mengenai Kecamatan Ciampea di bab selanjutnya.
4.2 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian “Analisis Dampak Ekonomi
dari Alih Fungsi Lahan Pertanian ke Non Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan
Di Kabupaten Bogor. ini yaitu data primer dan data sekunder. Data primer
digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan
di tingkat petani, dampak alih fungsi lahan terhadap pendapatan petani dan
dampak alih fungsi lahan terhadap produksi pangan.
Data primer diperoleh dari hasil wawancara langsung dengan pemilik
lahan baik melalui kuesioner maupun wawancara secara mendalam. Responden
yang diambil sebanyak 45 petani. Kecamatan Ciampea ini diambil berdasarkan
hasil Location Quotient (dengan nilai lebih dari 1) basis komoditas padi sawah
dari data Pemerintah Kabupaten Bogor. Data sekunder digunakan untuk
mengetahui laju alih fungsi lahan dan faktor-faktor eksternal dan internal yang
mempengaruhi alih fungsi lahan. Jenis data tersebut diperoleh dari: Badan Pusat
Statistik Nasional, Badan Pusat Statistik Daerah, Bapeda Kota Bogor dan
publikasi beberapa penelitian terdahulu, jurnal, artikel, dan internet.
28
4.3 Metode Pengambilan Sampel
Metode pengambilan sampel yang dilakukan pada penelitian ini dilakukan
kepada petani pemilik lahan yang mengalami alih fungsi lahan dan tidak
mengalami alih fungsi lahan dilakukan secara purposive sampling. Teknik
purposive sampling merupakan bentuk dari non-probability sampling method.
Penelitian dilaksanakan menggunakan metode sampling non-probability
disebabkan oleh jumlah masing-masing populasi yang akan diteliti tidak diketahui
secara pasti.
4.4 Analisis Data
Analisis data bertujuan untuk menyederhanakan data ke dalam bentuk
tabel yang mudah dipahami dan diinterpretasikan. Metode analisis data yang akan
dilakukan dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:
Tabel 6. Matriks Metode Analisis Data
No. Tujuan Penelitian Sumber Data Metode Analisis Data
1. Mengkaji laju alih fungsi
lahan pertanian di
Kabupaten Bogor.
Penelusuran data
sekunder
Analisis laju alih fungsi
lahan
2. Mengidentifikasi faktor-
faktor yang berpengaruh
terhadap alih fungsi lahan
pertanian ke penggunaan
non pertanian di Kabupaten
Bogor.
Penelusuran data
sekunder dan
wawancara
menggunakan
kuesioner
Analisis deskriptif, Analisis
regresi linier berganda dan
Analisis regresi logistik.
3. Menganalisis dampak alih
fungsi lahan terhadap
pendapatan petani dan
produksi pangan di
Kabupaten Bogor.
Penelusuran data
sekunder dan
wawancara
menggunakan
kuesioner
Analisis hilangnya
penerimaan petani, Analisis
hilangnya produksi padi.
4. Menganalisis langkah
pengendalian alih fungsi
lahan yang harus
diterapkan dalam bentuk
kebijakan pemerintahan
Penelusuran data
sekunder
Analisis kebijakan apa saja
yang sudah diterapkan.
29
Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif.
Pengolahan dan analisis data dilakukan secara manual dan menggunakan
komputer dengan program microsoft office excel 2007, Eviews 7 dan SPSS 18.
4.4.1 Analisis deskriptif
Analisis deskriptif merupakan metode yang sistematis, faktual dan akurat
mengenai fakta-fakta dengan interpretasi yang tepat mengenai masalah-masalah
yang ada dalam masyarakat, tata cara yang berlaku, serta situasi-situasi tertentu
termasuk tentang hubungan, kegiatan, sikap, pandangan, serta proses yang sedang
berlangsung dan pengaruh dari satu fenomena (Withney, 1960). Data yang
diperoleh akan diolah dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1. Penulisan data dan informasi diperoleh selama penelitian dengan tujuan untuk
mengevaluasi data. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahan yang terjadi
selama pengamatan.
2. Merumuskan data yang diperoleh ke dalam bentuk tabel untuk menghindari
kesimpangsiuran interpretasi serta sekaligus untuk mempermudah interpretasi
data.
3. Menghubungkan hasil penelitian yang diperoleh dengan kerangka pemikiran
yang digunakan dalam penelitian, dengan tujuan mencari arti atau memberi
interpretasi yang lebih luas dari data yang diperoleh.
Dengan menggunakan analisis deskriptif akan diperoleh gambaran
mengenai faktor-faktor lahan pertanian ke penggunaan non pertanian, dampaknya
terhadap pendapatan petani dan produksi pangan di Kabupaten Bogor.
4.4.2 Analisis Laju Alih Fungsi Lahan
Laju alih fungsi lahan dapat ditentukan dengan cara menghitung laju alih
fungsi secara parsial dan kontinu (Sutandi 2009) dalam Astuti (2011). Laju alih
fungsi lahan secara parsial dapat dijelaskan secara berikut :
𝑉 =𝐿𝑡− 𝐿𝑡−1
𝐿𝑡−1 × 100% .............................................................................(4.1)
Dimana :
V = Laju Alih Fungsi lahan (%)
Lt = Luas lahan sawah saat ini/ tahun ke-t (ha)
Lt-1 = Luas lahan sawah tahun sebelumnya (ha)
30
Laju alih fungsi lahan (%) dapat ditentukan dengan nilai selisih luas lahan
pada tahun ke-t dengan luas lahan tahun sebelumnya, dibagi dengan luas lahan
tahun sebelumnya, kemudian dikalikan dengan 100%. Hal ini dapat dilakukan
pada tahun-tahun sebelumnya sehingga dapat diperoleh hasil laju alih fungsi
setiap tahun.
4.4.3 Analisis Faktor
Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian ke
penggunaan non pertanian digunakan dua analisis yaitu analisis regresi linier
berganda dan analisis regeresi logistik. Analisis regresi linier berganda digunakan
untuk mengetahui faktor-faktor eksternal di tingkat wilayah yang berpengaruh
terhadap alih fungsi lahan pertanian. Sedangkan analisis regresi logistik
digunakan untuk mengetahui faktor-faktor internal di tingkat petani yang
berpengaruh terhadap keputusan petani dalam mengalihfungsikan lahan sawah
yang ada.
4.4.3.1. Analisis Regresi Linier Berganda
Dalam mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan lahan akibat
alih fungsi lahan pertanian digunakan model analisis regresi linier berganda.
Analisis regresi adalah hubungan secara linier antara dua atau lebih variabel
peubah bebas atau independent (X) dengan variabel peubah tak bebas atau
dependent (Y). Hipotesis faktor-faktor dari tingkat wilayah yang mempengaruhi
alih fungsi lahan adalah sebagai berikut:
1. Laju pertumbuhan penduduk (persen)
Laju pertumbuhan penduduk mempengaruhi permintaan terhadap lahan,
seperti untuk pemukiman, sarana dan prasarana serta fasilitas umum lainnya.
Jumlah penduduk yang semakin meningkat akan meningkatan permintaan
terhadap lahan sehingga mendorong penurunan luas lahan pertanian akibat alih
fungsi lahan pertanian yang semakin tinggi.
2. Luas lahan bangunan dan jumlah industri (unit)
Peningkatan luas lahan bangunan dan jumlah industri mendorong
meningkatnya permintaan terhadap lahan. Semakin tinggi pertambahan luas
31
lahan bangunan dan jumlah industri maka semakin tinggi penurunan luas lahan
sawah akibat alih fungsi lahan sawah yang terjadi.
3. Produktivitas lahan pertanian (ton/ha)
Semakin rendah produktivitas lahan pertanian, maka akan meningkatkan
penurunan luas lahan sawah akibat adanya alih fungsi lahan karena lahan
dianggap memilik opportunity cost.
Persamaan model regresi linier berganda antara peubah-peubah diatas
dapat dirumuskan sebagai berikut :
Y = α + β1X1 + β2X2 + β3X3 + β4X4 + ε .................................................(4.2)
Tanda yang diharapkan :
β i > 0
Dimana :
Y = Penurunan lahan pertanian akibat alih fungsi lahan
α = Intersep
Xi = Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi alih fungsi lahan
β i = Koefisien regresi
ε = Erorr Term
Metode Analisis Linier Berganda merupakan metode analisis yang didasarkan
pada Metode Ordinary Least Square (OLS). Konsep dari metode Least Square
adalah menduga koefisisen regresi (β) dengan meminimumkan kesalahan
(error). Ordinary Least Square (OLS) memiliki beberapa sifat : (1) tidak bias
dengan penaksiran varian yang minimum baik linear maupun bukan, (2)
konsisten yaitu dengan meningkatnya ukuran sample secara tidak terbatas,
penaksir mengarah ke nilai populasi sebenarnya, dan (3) β0 dan β1 terdistribusi
secara normal (Gujarati 2002).
Langkah awal yang dapat dilakukan dalam pengujian ini adalah dengan
pengujian ketelitian dan kemampuan model regresi. Pengujian model regresi
diperlukan dalam penelitian ini. Terdapat tiga pengujian, yaitu uji koefisien
determinasi (R-squared), Uji F, dan Uji t.
1. Uji Koefisien Determinasi (R-square)
Nilai R-squared mencerminkan seberapa besar keragaman dari variable
dependen yang dapat diterangkan oleh variabel independen. R-squared dapat
32
menjelaskan kemampuan variabel bebas secara bersamaan dalam menjelaskan
variasi dari peubah tak bebas. Nilai R-squared memiliki besaran yang positif yaitu
0< R-squared < 1. Jika nilai R-squared bernilai nol maka artinya keragaman
variabel dependen tidak dapat dijelaskan oleh variabel independennya. Sebaliknya,
jika nilai R-squared bernilai satu maka keragaman dari variabel dependen secara
keseluruhan dapat diterangkan oleh variabel independennya secara sempurna
(Gujarati, 2002). Rumus R-squared dapat dilihat sebagai berikut.
𝑅2 = 𝐸𝑆𝑆
𝑇𝑆𝑆 ................................................................................................(4.4)
Dimana :
ESS = Explained of Sum Squared
TSS = Total Sum of Squared
2. Uji t
Uji t dilakukan untuk menghitung koefisien regresi masing-masing
variabel independen sehingga dapat diketahui pengaruh variabel independen
terhadap variabel dependennya. Prosedur dalam pengujian Uji t oleh Gujarati
(2002) :
H0 : β1 = 0
H0 : β1 ≠ 0
𝑡 =𝑏−𝛽𝑡
𝑆𝑒𝛽 .................................................................................................(4.5)
Dimana :
b = Parameter dugaan
β1 = Parameter hipotesis
Seβ = Standar error parameter β
Jika t hitung (n-k) < t tabel α/2, maka H0 diterima, artinya variabel (Xi) tidak
berpengaruh nyata terhadap (Y). Namun, jika t hitung (n-k) > t tabel α/2, maka H0 ditolak,
artinya variabel (Xi) berpengaruh nyata terhadap (Y).
3. Uji F
Uji F dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel independen atau
bebas (Xi) secara bersama-sama terhadap variabel dependen atau tidak bebas (Y).
Adapun prosedur yang digunakan dalam uji F (Gujarati 2002):
H0 = β1 = β2 = β3 = ..... = βi = 0
H1 = minimal ada satu βi ≠ 0
33
𝐹ℎ𝑖𝑡 =𝐽𝐾𝐾 /(𝑘−1)
𝐽𝐾𝐺 /(𝑛−𝑘) ......................................................................................(4.6)
Dimana :
JKR = Jumlah Kuadrat Regresi
JKG = Jumlah Kuadrat Galat
k = Jumlah variabel terhadap intersep
n = Jumlah pengamatan/sampel
Apabila F hitung < F tabel maka H0 diterima dan H1 ditolak yang berarti
bahwa variabel bebas (Xi) tidak berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas
(Y). Apabila F hitung > F tabel maka H0 diterima dan H1 diterima yang berarti bahwa
variabel bebas (Xi) berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas (Y).
Model yang dihasilkan dari regresi linear berganda haruslah baik, sehingga
harus memenuhi kriteria BLUE (Best Linear Unbiased Estimator). BLUE dapat
dicapai bila memenuhi asumsi klasik. Uji asumsi klasik merupakan pengujian
pada model yang telah berbentuk linear untuk mendapatkan model yang baik.
Setelah model diregresikan kemudian dilakukan uji penyimpangan asumsi.
a. Uji Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk melihat model tersebut baik atau tidak.
Model yang baik jika mempunyai distribusi normal atau hampir normal. Uji yang
dapat digunakan adalah Uji Kolmogorov-Smirnov.
Hipotesis pada uji Kolmogorov-Smirnov adalah sebagai berikut :
H0 : Error term terdistribusi normal
H1 : Error term tidak terdistribusi normal
Dengan kriteria uji :
Jika P-value < α maka tolak H0
Jika P-value > α maka terima H0
Kelebihan dari uji ini adalah sederhana dan tidak menimbulkan perbedaan
persepsi di antara satu pengamat dengan pengamat lain. Penerapan pada uji
Kolmogrov-Smirnov adalah jika signifikansi di atas 5 persen berarti tidak terdapat
perbedaan yang signifikan antara data yang di uji dengan data baku.
b. Uji Autokorelasi
Autokerelasi adalah adanya korelasi antara variabel itu sendiri, pada
pengamatan berbeda waktu dan individu yang terjadi dapat data time series.
34
Terdapat beberapa cara yang dapat digunakan untuk mendeteksi ada tidaknya
autokorelasi. Salah satunya adalah Uji Durbin Watson (DW-test). Besarnya nilai
statistik DW dapat diperoleh dengan rumus (Nachrowi et all. 2002):
𝑑 = (𝑢𝑡− 𝑢 𝑡−1)2 𝑁
𝑡=2
𝑢𝑡2 𝑁
𝑡−1
..................................................................................(4.7)
Dimana :
d = Statistik Durbin-Watson
ut dan ut-1 = Gangguan estimasi
Pengambilan keputusannya :
- Jika nilai DW terletak antara batas atau upper bound (du) dan (4-du), maka
koefisien autokorelasi sama dengan nol, berarti tidak ada autkorelasi positif.
- Jika nilai DW lebih rendah dari pada batas bawah atau lowne bound (dl), maka
koefisien autokorelasi lebih besar daripada nol, berarti ada autokorelasi positif.
- Jika nilai DW lebih besar daripada (4-dl), maka koefisien autokorelasi lebih
kecil daripada nol, berarti ada autokorelasi positif.
- Jika nilai DW lebih kecil daripada (4-dl), maka koefisien autokorelasi lebih
besar daripada nol, berarti ada autokorelasi negatif.
- Jika nilai DW terletak diantara batas atas (du) dan batas bawah (dl) atau DW
terletak antara (4-du) dan (4-dl), maka hasilnya tidak dapat disimpulkan.
c. Uji Multikolinearitas
Jika suatu model regrasi berganda terdapat hubungan linear sempurna
antar peubah bebas dalam model tersebut, maka dapat dikatakan model tersebut
mengalami multikolinearitas. Terjadinya multikolinearitas menyebabkan R-
squared tinggi namun tidak banyak variabel yang signifikan dari uji t. Uji Varian
Invaction Factor (VIF) merupakan salah satu cara yang digunakan dalam metode
ini. Hanya melihat apakah nilai VIF untuk masing-masing variabel lebih besar
dari 10 atau tidak. Bila nilai VIF lebih besar dari 10 maka model tersebut
mengalami multikolinearitas. Sebaliknya, jika VIF lebih kecil dari 10 maka model
tersebut tidak mengalami multikolinearitas. Jika model mengandung
multikolinearitas, mengatasinya adalah dengan cara mengubah semua variabel
bebas yang berpengaruh menjadi Ln.
35
d. Uji Heteroskedastisitas
Menurut Juanda (2009), heteroskedastisitas terjadi jika ragam sisaan tidak
sama untuk tiap pengamatan ke-i dari peubah-peubah bebas dalam model regresi
yang biasanya terjadi dalam data cross section. Salah satu cara dalam mendeteksi
heteroskedastisitas adalah dengan transformasi terhadap peubah respon dengan
tujuan untuk menjadikan ragam homogeni pada peubah respon hasil transformasi
tersebut. Selain itu, dapat juga dilakukan dengan uji glejser yang dilakukan
dengan meregresikan varibel-variabel bebas terhadap nilai residualnya (Gujarati
2006). Jika nilai signifikan dari hasil uji Glejster lebih besar dari α maka tidak
terdapat heteroskedastisitas dan sebaliknya.
4.4.3.2. Analisis Regresi Logistik
Analisis regresi logistik digunakan untuk mengestimasi faktor-faktor yang
mempengaruhi petani dalam pengalihfungsian lahan sawah. Menurut Nachrowi et
all (2002), model logit adalah model non linear, baik dalam parameter maupun
dalam variabel. Model logit diturunkan berdasarkan fungsi peluang logistik yang
dapat di spesifikasikan sebagai berikut (Juanda 2009) :
𝑃𝑖 = 𝐹 𝑍𝑖 = 𝐹 𝛼 + 𝛽𝑋𝑖 =1
1+𝑒−𝑧 =1
1+𝑒−(𝛼+𝛽𝑋𝑖 ) ..................................(4.8)
Dimana e mempresentasikan bilangan dasar logaritma natural (e=2.718).
Dengan aljabar biasa, persamaan dapat di tunjukkan menjadi :
𝑒𝑧 =𝑃𝑖
1−𝑃𝑖 .................................................................................................(4.9)
Peubah Pi / 1 - Pi dalam persamaan diatas disebut sebagai odds, yaitu rasio
peluang terjadinya pilihan 1 terhadap peluang terjadinya pilihan 0 alternatif.
Parameter model estimasi logit harus diestimasi dengan metode maximum
likelihood (ML). Dengan persamaan logaritma natural, maka :
𝑍𝑖 = ln𝑃𝑖
1−𝑃𝑖→ ln
𝑃𝑖
1−𝑃𝑖= 𝑍𝑖 = 𝛼 + 𝛽𝑋𝑖..................................................(4.10)
Persamaan model regresi logistik untuk mengetahui faktor yang
mempengaruhi alih fungsi lahan adalah sebagai berikut :
ln𝑃𝑖
1−𝑃𝑖= 𝑍 = 𝛼 + 𝛽1𝑋1 + 𝛽2𝑋2 + 𝛽3𝑋3 + 𝛽4𝑋4 + 𝛽5𝑋5 + 𝛽6𝑋6 + 𝜀 ..(4.11)
Dimana:
Z = Peluang alih fungsi lahan (1) dan tidak alih fungsi lahan (0)
36
α = Intersep
Xi = Faktor –faktor yang diduga mempengaruhi keputusan alih fungsi lahan
βi = Koefisien regresi
ε = Error Term
Hipotesis faktor-faktor internal yang mempengaruhi tingkat alih fungsi
lahan adalah sebagai berikut:
1. Pendapatan
Semakin kecil pendapatan yang diperoleh petani, maka semakin tinggi
keinginan petani untuk melakukan alih fungsi lahan.
2. Jumlah Keluarga (Orang)
Semakin banyak jumlah tanggungan anggota keluarga, maka akan semakin
banyak pula kebutuhan yang harus ditanggapi, sehingga tekanan untuk
melakukan alih fungsi lahan akan meningkat.
3. Hasil Panen (ton/ha)
Semakin tinggi hasil panen akan memberikan tingkat pengembalian yang besar,
sehingga akan mendorong petani untuk mempertahankan lahannya. Alih fungsi
lahan yang terjadi akan menurun.
4. Harga Pupuk (Rp/kg)
Semakin meningkat harga pupuk, maka petani akan lebih memilih melakukan
alih fungsi lahan daripada mempertahankan lahannya dengan harga pupuk
yang tinggi.
5. Harga Benih (Rp/kg)
Harga benih yang tinggi, akan mengakibatkan petani lebih memilih untuk
menngalifungsikan lahannya, sehingga alih fungsi lahan akan mengalami
peningkatan.
6. Harga Tanah di Sekitar (Rp/ha)
Harga lahan di suatu wilayah akan mempengaruhi keputusan petani dalam
melakukan alih fungsi lahan. Semakin tinggi harga lahan, semakin tinggi
tingkat alih fungsi lahan di wilayah tersebut.
7. Ketersediaan Irigasi (Dummy)
Ada atau tidaknya irigasi mempengaruhi petani dalam mempertahankan
lahannya. Jika tidak adanya irigasi, maka petani akan lebih memilih melakukan
37
alih fungsi lahan dibandingkan mempertahankan lahannya. Agar diperoleh hasil
analisis regresi logit yang baik perlu dilakukan pengujian untuk melihat model
logit yang dihasilkan keseluruhan dapat menjelaskan keputusan pilihan secara
kualitatif. Pengujian parameter yang dilakukan dengan menguji semua secara
keseluruhan dan menguji masing – masing parameter secara terpisah. Statistik uji
yang digunakan adalah sebagai berikut :
a. Odds Ratio
Odds merupakan rasio peluang kejadian terjadinya sukses (y=1) terhadap
peluang kejadian terjadinya gagal (y=0) (Nachrowi et all, 2002). Odds ratio sering
digunakan sebagai suatu ukuran asosiasi yang sering ditemukan dalam
epidemologi. Pada dasarnya odds ratio digunakan untuk melihat hubungan antara
peubah bebas dan peubah terikat dalam model logit. Odds ratio dapat
didefinisikan sebagai berikut : 𝑃(𝑋𝑖)
1−𝑃(𝑋𝑖) dimana P menyatakan peluang terjadinya
peristiwa (Z=1) dan 1-P menyatakan peluang tidak terjadinya peristiwa.
b. Likelihood Ratio
Likelihood Ratio merupakan rasio kemungkinan maksimum yang
digunakan untuk menguji peranan variabel secara serentak (Hosmer dan
Lemeshow 2002). Statistik uji yang dapat menunjukkan nilai Likelihood Ratio
adalah Uji G dengan rumus seperti:
𝐺 = −2 ln(𝑙0
𝑙𝑖) .......................................................................................(4.12)
Dimana l0 merupakan nilai likelihood tanpa variabel penjelas dan li
merupakan nilai likelihood model penuh. Statistik uji G akan mengikuti sebaran
chi-square dengan derajat bebas α. Kriteria keputusan yang diambil adalah jika G
> chi-square maka H0 ditolak. Jika H0 ditolak maka dapat disimpulkan bahwa
minimal ada βj ≠ 0, dengan pengertian lain, model regresi logistik dapat
menjelaskan atau memprediksi pilihan individu pengamatan.
4.4.4 Analisis Hilangnya Penerimaan Petani
Alih fungsi lahan sawah berdampak pada perubahan penerimaan yang
didapatkan petani dari usaha tani yang dilakukan. Menurut Utama (2006),
penerimaan petani yang lahan pertaniannya teralihfungsikan dihitung berdasarkan
38
produksi padi yang hilang dikalikan dengan harga padi yang berlaku. Sehingga
dapat dirumuskan sebagai berikut :
NQ1 = PR x QR.........................................................................................(4.13)
Dimana :
NQ1 = Penerimaan petani yang hilang dari lahan sawah yang teralihfungsi (Rp)
PR = Harga padi (Rp)
QR = Produksi padi yang hilang (ton)
Penerimaan yang hilang dari petani yang lahan pertaniannya terganggu
dihitung berdasarkan pada selisih penerimaan antara usahatani yang dilakukan
sebelum lahan pertanian tersebut terganggu dan setelah lahan pertanian tersebut
terganggu. Sehingga dapat dirumuskan sebagai berikut :
𝑁𝑄𝑍 = 𝑃𝑅𝑥𝑄𝑅 − 𝑃𝑉𝑥𝑄𝑉𝑗 , .....................................................................(4.14)
Dimana :
NQZ = Selisih penerimaan usahatani sebelum dan sesudah adanya alih fungsi
lahan (Rp)
QR = Produksi padi yang hilang (ton)
QVj = Produksi perkebunan (ton)
PR = Harga padi (Rp)
PV = Harga komoditi perkebunan (Rp)
Penerimaan sari usahatani padi sebagai dampak alih fungsi lahan
merupakan penjumlahan dari penerimaan yang hilang pada lahan yang
teralihfungsikan dan selisih penerimaan antara usahatani padi dan usahatani
perkebunan. Dapat dirumuskan :
NQT = NQ1 + NQ2 ...............................................................................(4.15)
Dimana NQT merupakan hilangnya penerimaan total sebagai dampak alih
fungsi lahan.
4.4.5 Analisis Estimasi Dampak Produksi
Salah satu dampak dari alih fungsi lahan pertanian adalah hilangnya
kesempatan memproduksi pangan dari lahan pertanian yang teralihfungsikan dan
lahan pertanian yang terganggu di sekitar lahan pertanian yang teralihfungsikan.
Model dapat dituliskan sebagai berikut :
𝑄 = 𝑆1 𝑥 𝐻 + (𝑆2𝑥𝐻 ) ......................................................................(4.16)
39
Dimana :
Q = Produksi padi per tahun yang hilang (ton)
S1 = Luas lahan yang teralihfungsikan (ha)
S2 = Luas lahan yang terganggu sehingga tidak dapat menghasilkan produksi
padi (ha)
𝐻 = Produktifitas lahan rata – rata pada kawasan lahan yang teralihfungsikan
(ton/ha)
Produktifitas lahan pertanian rata – rata di peroleh dari rata – rata
produktifitas lahan seluruh responden dengan fungsi sebagai berikut :
𝐻 =
𝑄
𝑆
𝑛 ...................................................................................................(4.17)
Dimana :
𝑄
𝑆 = Jumlah produktifitas lahan pertanian dari seluruh responden yang
melakukan usahatani (ton/ha)
n = Jumlah responden yang menjadi sampel pengamatan
41
V. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN
5.1 Kondisi Geografis Kabupaten Bogor
Kabupaten Bogor merupakan salah satu wilayah yang berbatasan langsung
dengan ibu kota RI (DKI Jakarta) dan secara geografis mempunyai luas sekitar
2.301,95 Km2 terletak antara 6
o19‟ – 6
o47‟ lintang selatan dan 106
o1‟-107
o103‟
bujur timur. Batas-batas Wilayah ini adalah:
- Sebelah utara berbatasan dengan Kota Depok
- Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Lebak.
- Sebelah barat daya berbatasan dengan Kabupaten Tangerang.
- Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Purwakarta
- Sebelah timur laut berbatasan dengan Kabupaten Bekasi.
- Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi.
- Sebelah tenggara berbatasan dengan Kabupaten Cianjur.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik tahun 2012, Kabupaten Bogor terdiri
dari 40 kecamatan, 17 kelurahan, 413 desa, 3.882 Rukun Warga (RW) dan
15.561 Rukun Tangga (RT). Dari jumlah tersebut, mayoritas desa yakni 235 desa
berada pada ketinggian sekitar kurang dari 500 meter terhadap permukaan laut,
sedangkan 145 desa berada di antara 500 - 700 meter dari permukaan laut dan
sisanya 50 desa berada di atas ketinggian lebih dari 700 meter dari permukaan laut.
Dilihat dari aksesibilitas perhubungan, Kabupaten Bogor merupakan daerah
strategis karena menghubungkan antara Ibu Kota Jakarta dan Kota Bogor. Dalam
hal pembangunan regional Jabodetabek, Kabupaten Bogor berfungsi sebagai
daerah penyangga DKI Jakarta.
Kabupaten Bogor dibagi menjadi tiga wilayah pembangunan, yaitu wilayah
pembangunan barat, tengah dan timur. Pembagian perwilayahan pembangunan
merupakan dasar penyusunan rencana strategis wilayah Kabupaten Bogor.
Maksud dan tujuan perwilayahan pembangunan adalah untuk meningkatkan
pertumbuhan wilayah secara seimbang antar kawasan dengan memanfaatkan
sumber daya secara optimal dan berkesinambungan. Pembangunan wilayah barat
meliputi 13 kecamatan, yaitu Kecamatan Jasinga, Parung Panjang, Tenjo, Cigudeg,
Sukajaya, Nanggung, Leuwiliang, Leuwisadeng, Tenjolaya, Cibungbulang,
42
Ciampea, Pamijahan dan Kecamatan Rumpin, dengan luas wilayah sekitar
128.750 Ha. Pembangunan wilayah tengah meliputi 20 kecamatan, yaitu
Kecamatan Gunung Sindur, Parung, Ciseeng, Kemang, Rancabungur, Bojonggede,
Tajurhalang, Cibinong, Sukaraja, Dramaga, Cijeruk, Cigombong, Caringin, Ciawi,
Megamendung, Cisarua, Citeureup, Babakan Madang, Ciomas dan kecamatan
Tamansari, dengan luas wilayah sekitar 87.552 Ha. Pembangunan wilayah timur
meliputi tujuh kecamatan, yaitu Kecamatan Gunung Putri, Cileungsi,
Klapanunggal, Jonggol, Sukamakmur, Tanjungsari dan Kecamatan Cariu.
5.2 Kependudukan Kabupaten Bogor
Kabupaten Bogor merupakan salah satu daerah perlintasan utama menuju
DKI Jakarta dan daerah bertumbuh kembangnya kawasan industri manufaktur.
Sehinggan permasalahan pembangunan seringkali menjadi beban. Terutama
pertumbuhan jumlah penduduk yang cukup pesat. Berdasarkan hasil data dari
Dinas Kependudukan, Catatan Sipil dan Keluarga Berencana Tahun 2011, jumlah
penduduk Kabupaten Bogor sebesar 4.353.591 juta jiwa. Jumlah tersebut
mendiami wilayah seluas 2.997,13 km2, sehingga secara rata-rata kepadatan
penduduk di Kabupaten Bogor adalah 1.453 jiwa per km2. Jumlah penduduk
Kabupaten Bogor terus mengalami peningkatan. Hal tersebut dapat dilihat pada
Tabel 7 berikut ini.
Tabel 7. Jumlah Penduduk Kabupaten Bogor dari Tahun 2002-2011
Tahun Jumlah Penduduk (Jiwa) Kepadatan Penduduk
(Jiwa/Km2)
2002 3.249.781 1.354
2003 3.399.036 1.423
2004 3.438.055 1.439
2005 3.700.207 1.549
2006 4.215.436 1.582
2007 4.251.838 1.596
2008 4.340.520 1.629
2009 4.477.344 1.681
2010 4.771.932 1.998
2011 4.353.591 1.453 Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, berbagai terbitan
43
5.3 Keadaan Lahan di Kabupaten Bogor
Penggunaan lahan pertanian dibedakan menjadi lahan untuk sawah irigasi teknis,
sawah irigasi setengah teknis, pengairan sederhana, pengairan non PU, lahan
kering yang terdiri dari tegalan dan ladang. Luas penggunaan lahan tersebut
mengalami penurunan dari tahun 2002 hingga tahun 2011. Wilayah Kabupaten
Bogor pada tahun 2011 memiliki luas lahan sawah sebesar 299.428 Hektar.
Terdiri dari lahan sawah sebesar hektar 48.185 (17,94%) dan lahan kering sebesar
251.243 hektar (82,06%). Luas lahan penggunaaan sawah di Kabupaten Bogor
mengalami perubahan, yaitu sebesar 48.256 hektar pada tahun 2002 menjadi
48.185 hektar pada tahun 2011 (Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor 2012).
Adapun luas lahan yang dimanfaatkan dalam bidang pertanian :
Tabel 8. Luas Pemanfaatan Lahan dalam Bidang Pertanian di Kabupaten Bogor
Tahun 2012
No. Jenis Pemanfaatan Jumlah (Ha)
1. Pengairan Teknis 2.506
2. Pengairan ½ Teknis 9.644
3. Pengairan Sederhana 14.451
4. Pengairan Non PU 11.635
5. Tadah Hujan 9.949
6. Lebak/Polder Lahan Kering -
Jumlah 48.185 Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Bogor 2012
Selain penggunaan lahan dalam pertanian, Kabupaten Bogor juga
memanfaatkan lahan kering untuk berbagai macam bangunan, hutan dan
perkebunan. Penggunaan lahan kering sebagai bangunan, hutan rakyat serta
perkebunan mengalami peningkatan yang cukup besar dibandingkan penggunaan
lahan sawah setiap tahunnya. Hal ini dikarenakan adanya pertumbuhan jumlah
penduduk yang cukup besar dan usaha perkebunan yang semakin menyeruak.
Berikut ini adalah luasan lahan kering berdasarkan pemanfaatannya di wilayah
Kabupaten Bogor.
44
Tabel 9. Luas Pemanfaatan Lahan Kering di Kabupaten Bogor
No. Jenis Pemanfaatan Jumlah (Ha)
1. Pekarangan/Lahan untuk Bangunan dan Sekitarnya 41.115
2. Tegal Kebun 58.383
3. Ladang/Huma 3.233
4. Penggembalaan/Padang Rumput 899
5. Rawa yang tidak ditanami 76
6. Tambak -
7. Kolam/Tebat/Empang 2.144
8. Lahan Kering sementara tidak diusahakan 1.491
9. Hutan Rakyat 21.564
10. Hutan Negara 79.437
11. Perkebunan 21.239
12. Lain-lain 21.662
Jumlah 251.243 Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Bogor 2012
5.4 Pertanian di Kabupaten Bogor
Sektor pertanian mencakup tanaman pangan, perikanan, perkebunan,
peternakan, dan kehutanan. Pada sektor ini sumber data dari masing masing
instansi terkait di antaranya Dinas Pertanian, Dinas Peternakan dan Perikanan dan
Perum Perhutani. Sektor pertanian di Kabupaten Bogor memegang peranan yang
sangat penting, mengingat luasnya lahan pertanian yang dimiliki dan juga
sebagian besar desa di Kabupaten Bogor masih tergolong Desa Pedesaan yang
menitikberatkan pada sektor pertanian terutama komoditas padi. Luas lahan yang
digunakan untuk sawah tahun 2011 seluas 48.185 ha. Adapun Produksi padi
sawah tahun 2011 sebanyak 519.676 ton dan padi gogo/ladang 7.092 ton.
Produktivitas padi yang tinggi dapat dijadikan benteng Ketahanan Pangan di
Kabupaten Bogor. Umumnya padi sawah menyebar di wilayah tengah dan utara,
dimana sudah tersedia irigasi, seperti di kecamatan Rumpin, Cigudeg, Sukajaya,
Pamijahan, Cibungbulang, Ciampea, Caringin, Jonggol, Sukamakmur dan Cariu.
Berikut rata-rata hasil per hektar tanaman padi sawah dari masing-masing
kecamatan tersebut.
45
Tabel 10. Rata-rata Hasil per Hektar Tanaman Padi Sawah di Masing-masing
Kecamatan Tahun 2009-2011 (Ton/ha)
No. Kecamatan 2009 2010 2011
1. Pamijahan 2,87 6,40 6,40
2. Cibungbulang 3,98 6,46 6,44
3. Ciampea 20,34 6,20 6,24
4. Caringin 2,66 6,28 6,29
5. Sukamakmur 5,70 6,25 6,30
6. Cariu 5,49 6,05 6,26
7. Jonggol 2,46 6,22 6,26
8. Rumpin 3,95 6,10 6,05
9. Cigudeg 5,86 6,22 6,22
10. Sukajaya 7,99 6,15 6,11
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor 2012
Salah satu sumber peningkatan perbaikan gizi masyarakat yaitu dengan
tersedianya makanan yang bergizi baik, salah satunya dengan tersedianya
produksi ikan di Kabupaten Bogor. Produksi ikan kolam air sawah tahun 2011
sebanyak 201,65 ton, kolam air tenang 50.277,34 ton, kolam air deras 5.561,75
ton, ikan dari karamba 37,14 ton, benih 1.378.014,51 ekor dan ikan hias
156.618,82 ekor. Peternakan di Kabupaten Bogor memiliki andil yang sangat
penting mengingat banyaknya jumlah peternakan yang masih dikelola secara
tradisionalnamun memiliki hasil yang baik, sehingga jika mutunya ditingkatkan
dapat dijadikan produk unggulan. Jenis ternak terdiri dari ternak besar, ternak
kecil dan unggas yang menghasilkan produksi dalam bentuk daging, susu dan
telur. Produksi daging (daging sapi, kerbau, kambing, domba, ayam dan itik)
tahun 2011 sebesar 100.146.282 kg, susu 11.198.708 liter dan produksi telur
(ayam dan itik) 42.830.167 butir.
5.5 Gambaran Umum Kecamatan Ciampea
Kecamatan Ciampea merupakan salah satu kecamatan yang termasuk daerah
pengembangan pembangunan wilayah barat Kabupaten Bogor, yang mempunyai
luas wilayah ± 55,63 Km2
yang terdiri dari 13 desa meliputi 108 Rukun Warga
(RW) dan 457 Rukun Tetangga (RT) dengan jumlah penduduk berdasarkan
statistik tahun 2012 adalah 149.568 jiwa dengan laki-laki sebanyak 77.177 jiwa
dan perempuan sebanyak 72.391 jiwa.
46
Tabel 11. Data Kependudukan Desa di Kecamatan Ciampea :
No. Nama Desa Jumlah
Jumlah Penduduk RT RW
1. Benteng 39 7 12.517
2. Bojong Jengkol 34 11 9.211
3. Bojong Rangkas 41 9 11.925
4. Ciampea 31 7 11.401
5. Ciampea Udik 27 9 7.724
6. Cibanteng 45 8 16.763
7. Cibadak 39 7 11.649
8. Cibuntu 26 7 8.164
9. Cicadas 30 9 10.702
10. Cihideung Ilir 25 5 10.185
11. Cihideung Udik 48 15 14.077
12. Cinangka 42 9 12.740
13. Tegal Waru 40 6 12.510
Jumlah 457 108 149.568
Sumber : Laporan Tahunan Kecamatan Ciampea 2012
Kecamatan Ciampea secara administratif mempunyai batas-batas wilayah
sebagai berikut :
- Sebelah utara berbatasan dengan Kecamatan Ranca Bungur dan Kemang
- Sebelah selatan berbatasan dengan Kecamatan Tenjolaya
- Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Cibungbulang
- Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Dramaga
Secara topografi, bentuk dan kontur wilayah Kecamatan Ciampea terdiri
atas dataran sampai berombak sekitar 45 persen dan berombak sampai berbukit
sekitar 55 persen. Ketinggian wilayah berada di antara 300 m di atas permukaan
laut. Suhu udara yang terjadi di Kecamatan Ciampea sekitar antara 20o – 30
oC.
Banyaknya hari hujan antara 15 – 31 dan banyaknya curah hujan antara 79 – 491
mm, hari hujan rata-rata pertahun sekitar 22 hari dan banyaknya curah hujan
sekitar 278 mm/t. Curah hujan merupakan salah satu faktor yang dapat
memberikan gambaran penting tentang penentuan lahan atau kesesuaian lahan
terutama peruntukan wilayah pertanian, jenis tanaman, dan pola cocok tanam.
Jarak dari Ibu Kota Kabupaten Bogor di Cibinong ± 29 Km. Berdasarkan mata
pencaharian mayoritas masyarakat di Kecamatan Ciampea Kabupaten Bogor
47
bekerja sebagai pedagang, pengrajin dan petani. Jumlah jiwa masing-masing
profesi dapat dilihat pada Tabel 12, berikut ini.
Tabel 12. Mata Pencarihan Masyarakat di Kecamatan Ciampea Tahun 2012
No. Mata Pencaharian (Profesi) Jumlah Jiwa
1. Petani 8.978
2. Pengusaha 4.672
3. Pengrajin 9.737
4. Buruh Industri 2.442
5. Pertukangan 1.194
6 Buruh Pertambangan 5.857
7. Pengemudi/Jasa 563
8. Pedagang 10.871
9. TNI/Polri 180
10. Pegawai Negeri Sipil 944
11. Pensiunan/Purnawirawan 406
12. Lain-lain 1.963 Sumber : Laporan Tahunan Kecamatan Ciampea 2012
Kegiatan pertanian di Kecamatan Ciampea terdiri dari pertanian tanaman
pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Pertanian tanaman
pangan dan peternakan merupakan sektor komoditi andalan bagi penduduk
Kecamatan Ciampea yang diarahkan untuk meningkatkan pendapatan dan
kesejahteraan petani dalam meningkatkan produksi pangan baik kualitas maupun
kuantitas.
5.6.1 Sebaran Usia Responden
Responden yang diwawancarai dalam penelitian ini sebanyak 45 orang
yang berasal dari dua wilayah yaitu Desa Tegal Waru dan Desa Cicadas masing-
masing sebanyak 30 dan 15 responden. Responden memiliki tingkat usia yang
bervariasi. Kisaran usia tersebut dimulai dari 28 hingga 74 tahun. Dominics
(2009) menyatakan bahwa kategori usia dibagi tiga, yaitu usia muda (0 – 35
tahun), usia paruh baya (35 – 58 tahun), dan usia tua (>58 tahun). Tingkat paruh
baya pada Desa Tegal Waru mendominasi yaitu sebesar 67% dan usia tua sebesar
33%. Sedangkan pada Desa Cicadas, tingkat usia paruh baya sangat mendominasi
yaitu sebesar 73%, tingkat usia tua sebesar 13% dan usia muda sebesar 14%.
Rata-rata petani adalah laki-laki yang menjadi kepala rumah tangga.
48
35-5867%
>5833%
Sebaran Usia di Desa Tegal Waru
Sumber : Data Primer (diolah)
Gambar 2. Karakteristik Responden di Kecamatan Ciampea Berdasarkan Umur
pada Tahun 2013
5.6.2 Pendidikan Formal Responden
Tingkat pendidikan responden di kedua wilayah berbeda. Di Tegal Waru,
responden yang tidak bersekolah sebanyak 7%, berpendidikan SD sebanyak 72%,
berpendidikan SMP dan SMA masing-masing sebanyak 14% dan 7%. Sementara
itu di Desa Pondok Cicadas, responden yang tidak bersekolah sebanyak 5%,
berpendidikan SD sebanyak 60%, berpendidikan SMP dan SMA masing-masing
sebanyak 20% dan 15%. Berdasarkan tingkat pendidikan tersebut dapat dilihat
bahwa Desa Cicadas memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik. Persentase
tingkat pendidikan dapat dilihat pada Gambar 3.
Sumber : Data Primer (diolah)
Gambar 3. Karakteristik Responden di Kecamatan Ciampea Berdasarkan Tingkat
Pendidikan pada Tahun 2013
5.6.3 Lama Menetap di Lokasi
Responden sebagian besar merupakan penduduk asli yang sudah sejak lahir
tinggal di kedua wilayah tersebut. Responden di Desa Tegal Waru lama menetap
TS
7%
SD
72%
SMP
14%
SMA
7%
Tingkat Pendidikan di Desa
Tegal WaruTS7%
SD53%
SMP20%
SMA20%
Tingkat Pendidikan Desa
Cicadas
0-3514%
35-5873%
>5813%
Sebaran Usia Desa Cicadas
49
sekitar 30 sampai 65 tahun lamanya sedangkan di Desa Cicadas responden
menetap selama 20 sampai 65 tahun lamanya. Persentase responden yang paling
dominan di Desa Tegal Waru yaitu yang lama menetapnya sekitar 51-60 tahun
yaitu sebanyak 47%. Sedangkan persentase responden yang paling terkecil di
Cicadas yaitu yang lama menetapnya lebih dari 60 tahun yaitu sebanyak 6%.
Persentase lama menetap dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini.
Sumber : Data Primer (diolah)
Gambar 4. Karakteristik Responden di Kecamatan Ciampea Berdasarkan Lama
Menetap Tahun 2013
5.6.4 Luas Lahan yang Dimiliki
Luas lahan yang dimiliki oleh responden saat menjual lahan sangat
bervariasi. Kisaran lahan yang dimilki responden Desa Tegal Waru mulai dari 0,2
hektar sampai dengan 4 hektar dengan rata-rata sebesar 1,015 hektar. Sedangkan
luas lahan yang dimiliki responden di Desa Cicadas berkisar dari 0,1 hektar
hingga 1,2 hektar dengan luas rata-rata kepemilikan luas lahan sebesar 0,455
hektar. Sebanyak 70% responden di Desa Tegal Waru memiliki lahan di bawah
luas lahan rata-ratanya 1,015 hektar. Sedangkan sebanyak 66,67% responden di
Desa Cicadas memiliki lahan dibawah luas lahan rata-ratanya yaitu 0,416 hektar.
Tabel 13. Luas Lahan Kepemilikan Berdasarkan Rata-Rata Luas Lahan
Desa Tegal Waru Desa Cicadas
Jumlah (orang) % Jumlah (orang) %
Diatas Rata-Rata 9 30 5 43,33
Dibawah Rata-Rata 21 70 10 66,67
Total 30 100 15 100 Sumber : Data Primer (diolah)
0-3013%
31-4027%
41-5027%
51-6027%
>606%
Lama Menetap di Desa Cicadas
0-30
3% 31-40
7%
41-50
30%
51-60
47%
>60
13%
Lama Menetap di Desa Tegal
Waru
51
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1 Perkembangan dan Laju Alih Fungsi Lahan Pertanian di Kabupaten
Bogor Periode 2002 - 2011
Perkembangan suatu wilayah selalu beririsan dengan pertumbuhan
ekonomi serta peningkatan jumlah penduduk di wilayah tersebut. Secara teori,
semakin pesatnya jumlah penduduk suatu wilayah maka permintaan sumber daya
lahan pun akan semakin meningkat. Namun pada kenyataannya ketersediaan
lahan saat ini sangat terbatas. Bahkan akhir-akhir ini di beberapa wilayah di
Indonesia terjadi bentrokan warga akibat penggusuran lahan dan kepemilikkan
lahan yang tidak jelas. Hal demikian merupakan salah satu dasar terjadinya alih
fungsi lahan pertanian ke lahan non pertanian yang terjadi akhir-akhir ini.
Wilayah Kabupaten Bogor termasuk wilayah yang hingga saat ini terus menerus
meningkatkan pertumbuhan ekonomi wilayahnya. Penurunan luas lahan sawah
yang terjadi di Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Gambar 5 berikut ini.
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, berbagai terbitan (diolah)
Gambar 5. Luas Lahan Sawah Kabupaten Bogor Tahun 2002-2011
Gambar tersebut menunjukkan luas lahan sawah yang relatif menurun dari
tahun 2005-2007 dan tahun 2008-2011, sedangkan sebelumnya mengalami
peningkatan ditahun 2004 dan 2008. Terlihat adanya fluktuasi pergerakan luas
lahan sawah dari tahun ke tahun. Fluktuasi tersebut mengindikasikan terjadinya
46.500
47.000
47.500
48.000
48.500
49.000
Lu
as
Lah
an
Saw
ah
(H
a)
Tahun
Luas
Lahan
Sawah
52
alih fungsi lahan pertanian atau adanya pembukaan lahan pertanian baru.
Pembukaan lahan baru tersebut terlihat pada laju luas lahan sawah yang
mengalami peningkatan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Bogor
pembukaan lahan sawah baru tersebut merupakan hasil pembukaan dari lahan
kering seperti kebun, tanah kosong dan hutan
Menurut Sumaryo dan Tahlim (2005), ada dua pola alih fungsi lahan
pertanian. Pertama, alih fungsi lahan yang dilakukan secara langsung oleh pemilik
lahan yang bersangkutan atau petani, seperti membuat rumah untuk keluarganya
atau gudang untuk penyimpanan. Kedua, alih fungsi lahan pertanian yang diawali
dengan alih penguasaan lahan. Pemilik lahan pertanian menjual lahan mereka
kepada pihak lain yang akan memanfaatkannya untuk usaha non pertanian.
Pemilik lahan secara tidak langsung dianggap mengalihfungsikan lahan pertanian
tersebut. Pada studi kasus yang dilakukan di Kecamatan Ciampea, Kabupaten
Bogor, umumnya petani tidak mengalihfungsikan lahan secara langsung. Sebagian
besar masyarakat membatasi wilayah sawah yang berbatasan dengan pemukiman
dengan menggunakan parit atau pagar pepohonan. Sehingga lahan pertanian tidak
banyak yang dialihkan menjadi lahan non pertanian.
Penelitian ini menggunakan data sekunder time series selama 10 tahun dari
tahun 2002-2011 untuk melihat perkembangan laju alih fungsi lahan ditingkat
wilayah Kabupaten Bogor. Alih fungsi lahan sawah di Kabupaten Bogor selama
periode 2002-2011 mengalami pergerakan dari tahun ke tahun. Secara umum
lahan sawah di Kabupaten Bogor selama sepuluh tahun terakhir berkurang sebesar
71 hektar atau sekitar 7,1 hektar per tahun. Alih fungsi lahan tersebut
menyebabkan luas sawah di Kabupaten Bogor berubah dari luas 48.256 hektar
pada tahun 2002 menjadi 48.185 hektar pada akhir tahun 2011. Laju penyusutan
luas sawah tiap tahunnya dapat dilihat pada Tabel 14.
53
Tabel 14. Luas dan Laju Alih Fungsi Lahan Sawah di Kabupaten Bogor Tahun
2002-2011
Tahun Luas Lahan
Sawah (Ha)
Pembukaan
Lahan Sawah
Baru (Ha)
Luas Lahan
Sawah
Teralihfungsikan
(Ha)
Laju Penyusutan
Luas Lahan Sawah
(%)
2002 48.256 0 0 -
2003 48.177 0 79 -0,16
2004 47.503 0 674 -1,40
2005 48.598 1095 0 2,31
2006 48.425 0 173 -0,36
2007 48.321 0 104 -0,21
2008 48.849 528 0 1,09
2009 48.766 0 83 -0,17
2010 48.484 0 282 -0,58
2011 48.185 0 299 -0,62
Total 1623 1694 -0,10
Rata-rata 162,3 169,4 -0,01 Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, berrbagai terbitan (diolah)
Berdasarkan Tabel 14 di atas nilai laju penyusutan luas sawah yang bertanda
negatif menggambarkan adanya penyusutan luas lahan sawah akibat alih fungsi
lahan. Nilai yang bertanda positif menggambarkan adanya pencetakan sawah baru.
Luas penyusutan lahan sawah selama sepuluh tahun terakhir di Kabupaten Bogor
yaitu sekitar -0,10 persen atau sebesar 1.694 hektar. Artinya selama sepuluh tahun
terakhir lahan sawah telah menyusut sebesar 0,10 persen. Penurunan luas lahan
dimulai pada tahun 2003 dimana lahan berkurang sebanyak 79 hektar dari 48.256
hektar menjadi 48.177 hektar. Pada tahun tersebut luas sawah menyusut sebesar
0,16 persen, hal ini menandakan adanya alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten
Bogor. Alih fungsi lahan yang terbesar terjadi pada akhir tahun 2004 dengan luas
sebesar 674 hektar atau menyusut sebesar 1,40 persen. Namun, pada tahun 2005
dan 2008 luas lahan sawah sempat bertambah masing-masing sebesar 1095 hektar
dan 528 hektar atau meningkat sebesar 2,31 persen dan 1,09 persen, karena
adanya pembukaan lahan sawah baru. Pembukaan lahan sawah baru ini karena
adanya lahan kering kosong yang tidak digunakan pemiliknya sehingga lahan
kosong tersebut dimanfaatkan oleh warga setempat untuk dijadikan sawah. Selain
laju alih fungsi lahan secara keseluruhan terdapat pula laju alih fungsi lahan
54
berdasarkan jenis sawah yang dimiliki Kabupaten Bogor. Tabel 15 Berikut ini
merupakan nilai rata-rata laju alih fungsi lahan menurut jenis sawah.
Tabel 15. Rata–rata Luas Alih Fungsi Lahan Menurut Jenis Lahan Sawah di
Kabupaten Bogor Selama Periode 2002–2011 (dalam Hektar)
Jenis Sawah
Sawah
Irigasi
Teknis
Sawah
Irigasi ½
Teknis
Sawah
Irigasi
Sederhana
Sawah
Tadah
Hujan
Total
Jumlah lahan
sawah -1.992 1.850 1.791 768 2.417
Rata–rata per
tahun -199,2 185 179 76,8 241,7
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, berbagai terbitan (diolah)
Pada Tabel 15 diatas nilai luas lahan sawah yang bertanda negatif
menunjukkan luas lahan sawah yang mengalami alih fungsi lahan. Sedangkan
nilai luas lahan yang bertanda positif sebaliknya mengalami peningkatan atau
adanya pembukaan lahan sawah baru. Berdasarkan pola alih fungsi lahan sawah
diatas, maka lahan sawah yang teralihfungsikan yaitu sawah jenis irigasi teknis
sebesar 1.992 hektar atau 199,2 hektar per tahun, sedangkan jenis sawah lainnya
mengalami peningkatan luas lahan masing-masing yaitu sawah irigasi ½ teknis
sebesar 1.850 hektar atau 185 hektar per tahun, sawah tadah hujan sebesar 1791
hektar atau 179,1 hektar per tahun, dan sawah irigasi sederhana sebesar 768 hektar
atau 76,8 hektar per tahun.
6.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan di Tingkat
Wilayah Kabupaten Bogor
Alih fungsi lahan pertanian di tingkat wilayah Kabupaten Bogor pada tahun
2002-2011 dipengaruhi oleh beberapa faktor. Variabel tak bebas (dependent) yang
digunakan yaitu luas lahan sawah. Sedangkan variabel bebas (independent) atau
faktor-faktor yang diduga mempengaruhi perubahan luas lahan sawah tersebut
yaitu kepadatan penduduk, produktivitas padi, dan luas bangunan di Kabupaten
Bogor.
Analisis dalam penentuan faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi
lahan pertanian di tingkat wilayah yaitu menggunakan analisis linier berganda.
Data yang digunakan dalam membuat model tersebut merupakan data time series
dari tahun 2002-2011. Data tersebut diolah menggunakan software Eviews 7.
55
Hasil estimasi faktor-faktor yang mempengaruhi lahan pertanian di tingkat
wilayah Kabupaten Bogor dapat dilihat pada Tabel 16 di bawah ini.
Tabel 16. Hasil Estimasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan
Pertanian di Tingkat Wilayah Kabupaten Bogor
Variabel Koefisien t-statistik Probabilitas VIF
Intersep 11,38109 23,46203 0,0000
Kepadatan
Penduduk (X1) -0,107466 -2,150102 0,0751*) 1,774828
Produktivitas (X2) 0,237015 3,680963 0,0103*) 2,044927
Luas Bangunan (X3) -0,20011 -0,457798 0,6632 1,436319
R-squared 0,710233 F-statistic 4,902098
Adjusted R-squared 0,565350 Prob(F-statistic) 0,047056
Log Likelihood 34,40385 Durbin – Watson
stat
2.334277
Sumber : Data sekunder (diolah)
Keterangan : *) Nyata pada taraf 10%
Hasil estimasi menunjukkan bahwa model yang digunakan dalam
penelitian ini adalah baik. Berdasarkan Tabel 16 di atas diperoleh koefisien
determinasi (R-squared) sebesar 0,710233. Artinya keragaman yang mampu
dijelaskan oleh faktor-faktor penjelas dalam model sebesar 71,02 persen
sedangkan sisanya 29,08 persen dijelaskan oleh faktor-faktor di luar model.
Adjusted R-squared yang diperoleh sebesar 55,53 persen. Nilai peluang uji F-
statistic (Prob f-statistic) yang diperoleh sebesar 0,047056 atau sebesar 4,7 persen
yang lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan yaitu 10 persen, hal ini berarti
bahwa minimal ada satu variabel bebas (independent) yang mempengaruhi
variabel tak bebasnya (dependent).
Hasil estiamasi model yang dihasilkan dari regresi linear berganda tersebut
cukup baik, karena memenuhi kriteria BLUE (Best Linear Unbiased Estimator).
BLUE dapat dicapai bila memenuhi asumsi klasik, yaitu model tidak memiliki
sifat multikolinearitas, normalitas, autokorelasi, dan heterokedastisitas. Hasil uji
asumsi klasik ini dapat dilihat pada Lampiran 4. Signifikan atau tidaknya
pengaruh setiap variabel tak bebas terhadap variabel bebas dapat dilihat dari
probabilitas setiap variabel bebas dari model tersebut. Apabila nilai probabilitas
lebih kecil dari nilai taraf nyata maka variabel bebas tersebut dapat dinyatakan
signifikan. Berdasarkan model di atas, variabel bebas yang berpengaruh secara
signifikan terhadap perubahan luas lahan sawah, yaitu kepadatan penduduk dan
produktivitas padi yang berpengaruh nyata pada taraf α = 10 persen. Sedangkan
56
luas bangunan tidak berpengaruh nyata terhadap luas lahan sawah. Pembuktian
multikolinearitas dapat ditunjukkan dengan memperhatikan nilai Variance
Inflaction Factors (VIF) dengan kriteria, apabila nilai VIF yang dihasilkan kurang
dari 10, maka dapat disimpulkan bahwa di dalam model tidak terdapat
multikolinearitas. Dengan menggunakan metode pengubahan variabel bebas ke
dalam Ln maka model ini tidak terdapat multikolinearitas. Berdasarkan hasil
permodelan di atas, kepadatan penduduk, produktivitas padi sawah, dan luas lahan
bangunan memiliki VIF kurang dari 10 atau berkisar antara 0-5 sehingga variabel
bebas dalam model tersebut dapat disimpulkan bebas dari masalah
multikolinearitas. Pembuktian autokorelasi dapat dilihat dari nilai breusch-
Godfrey Serial Correlation LM Test. Berdasarkan hasil pengolahan data tersebut
diperoleh nilai Prob. chi-square sebesar 0,3315 atau sebesar 33,15 persen. Nilai
tersebut lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu 10 persen atau 0,1
(0,3315 > 0,1) sehingga menunjukkan bahwa model tersebut bebas dari masalah
autokorelasi. Asumsi normalitas ditunjukkan dengan melihat nilai probabilitas
pada histogram of normality test. Berdasarkan model tersebut nilai probabilitas
yang diperoleh sebesar 0,811070 atau sebesar 81,10 persen. Nilai tersebut lebih
besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu 10 persen (0,8110 > 0,1), sehingga
dapat disimpulkan bahwa pada model ini residual menyebar secara normal atau
tidak terjadi permasalahan normalitas. Pada model ini juga tidak ditemukan
masalah heteroskedastisitas, karena dari hasil uji Glejser diperoleh nilai Prob. chi-
square sebesar 0,7063 atau 70,63 persen. Nilai tersebut lebih besar dari taraf nyata
yang digunakan yaitu 10 persen (0,7063 > 0,1), sehingga pada model ini tidak
ditemukan masalah heteroskedastisitas. Model hasil estimasi regresi faktor-faktor
yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian tingkat wilayah di Kabupaten
Bogor, adalah sebagai berikut :
LnY = 11,38109 - 0,107466 LnX1 + 0,237015 LnX2 - 0,20011 LnX3
Berdasarkan hasil estimasi nilai probabilitas dari variabel kepadatan
penduduk lebih kecil dari taraf nyata 10 persen (0,07 < 0,1). Hal ini berarti bahwa
kepadatan penduduk berpengaruh nyata terhadap perubahan luas lahan sawah.
Koefisien variabel yang bernilai -0,107466 pada tabel menjelaskan bahwa, setiap
kenaikan 10 persen kepadatan penduduk maka luas lahan sawah akan berkurang
57
atau beralih fungsi sebesar 1,07 persen (ceteris paribus). Model estimasi ini sesuai
dengan hipotesis yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa, kepadatan
penduduk berkorelasi negatif dengan luas lahan sawah.
Kepadatan penduduk yang tinggi mengindikasikan adanya pertumbuhan
penduduk yang terus meningkat. Peningkatan pertumbuhan jumlah penduduk
berakibat pada naiknya permintaan lahan untuk pemukiman. Selain pemukiman,
penduduk juga membutuhkan penunjang berupa sarana dan prasarana seperti,
infrastruktur, sekolah, rumah sakit dan sebagainya. Hal tersebut akan
mempengaruhi permintaan akan lahan. Lahan yang jumlahnya sangat terbatas
menjadi kendala dalam mengatasi permasalahan tersebut sehingga mulai
banyaknya lahan sawah yang dilirik untuk dialihfungsikan menjadi lahan
pemukiman. Hal ini mengindikasikan adanya pengalihfungsian lahan dari
pertanian ke non pertanian
Hasil estimasi nilai probabilitas dari variabel produktivitas padi sawah
memiliki hubungan yang positif. Produktivitas padi sawah juga berpengaruh nyata
terhadap luas lahan sawa dengan nilai probabilitas sebesar 0,0103 lebih kecil dari
taraf nyata yang digunakan yaitu 10 persen (0,0103 < 0,1). Sedangkan nilai
koefisien produktivitas padi sawah adalah sebesar 0,237015. Hal ini berarti bahwa
peningkatan produktivitas padi sawah sebesar 10 persen akan mengakibatkan luas
lahan sawah bertambah sebesar 2,3 persen (ceteris paribus).
Keterkaitan searah atau hubungan positif yang terjadi antara produktivitas
padi sawah terhadap luas lahan sawah sesuai dengan hipotesis awal. Produktivitas
lahan yang semakin meningkat akan mempertahankan luasan lahan sawah yang
ada. Hal ini mengindikasikan bahwa, alih fungsi lahan sawah terjadi pada lahan
sawah yang memiliki produktivitas rendah. Produktivitas yang rendah disebabkan
adanya beberapa faktor seperti tekstur tanah yang sulit ditanami, irigasi yang
kurang baik, ataupun penggunaan zat kimia yang berlebihan. Sehingga pemilik
lahan lebih tertarik untuk menjual lahan sawahnya ke investor yang akan lebih
menguntungkan dari pada usaha tani sendiri. Hal terserbut mengindikasikan pula
adanya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian.
Hasil estimasi koefisien luas lahan bangunan berpengaruh negatif terhadap
luas lahan sawah. Namun tidak berpengaruh nyata dimana nilai probabilitas luas
58
lahan bangunan lebih besar dari taraf nyata 10 persen (0,6632 > 0,1). Hal ini tidak
sesuai dengan hipotesis yang menyatakan bahwa luas lahan bangunan akan
berpengaruh terhadap luas lahan sawah.
6.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan di Tingkat Petani
di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor
Alih fungsi lahan Kabupaten Bogor ini tidak hanya dipengaruhi oleh
faktor-faktor yang berasal dari tingkat wilayah saja, namun juga terdapat faktor-
faktor yang berasal dari internal petani itu sendiri. Sebagaimana yang telah
dibahas sebelumnya bahwa pengalihfungsian lahan diawali dengan penjualan
lahan dari petani ke investor. Faktor ini dianalisis untuk melihat apa penyebab
petani menjual lahan tersebut kepada investor sehingga lahan tersebut
dialihfungsikan. Studi kasus mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi alih
fungsi lahan di tingkat petani di Kabupaten Bogor ini dilakukan di Kecamatan
Ciampea. Sebanyak 45 responden dalam penelitian ini merupakan petani pemilik
penggarap. Sebanyak 30 orang merupakan petani yang telah menjual sebagian
lahannya kepada investor, sedangkan 15 orang merupakan petani yang tidak mau
atau belum menjual lahannya kepada investor. Adapun variabel bebas yang
diduga mempengaruhi keputusan petani dalam menjual lahannya adalah lama
menetap di lokasi, banyaknya tanggungan, jumlah anggota keluarga, luas lahan,
dan proporsi pendapatan. Variabel terikat yang digunakan terdapat dua
kemungkinan. Bagi responden yang telah menjual lahan sawahnya diberi nilai 1
(Y=1) dan bagi responden yang tidak atau belum menjual lahan sawahnya diberi
nilai 0 (Y=0). Hasil pengolahan data dengan menggunakan analisis regresi logistik
disajikan pada Tabel 17.
59
Tabel 17. Hasil Estimasi Faktor-Faktor Internal yang Mempengaruhi Petani untuk
Menjual Lahan Pertanian
Variabel Koef Sig. Exp (β) Keterangan
Konstanta -5,592 0,325 0,004 -
Lama Tinggal (X1) 0,338 0,201 1,402 Berpengaruh tidak nyata
Lama Bertani (X2) -0,291 0,321 0,784 Berpengaruh tidak nyata
Jumlah AK (X3) -1,291 0,024 *) 0,275 Berpengaruh nyata *
Proporsi Pendapatan (X4) 0,049 0,125 1,050 Berpengaruh tidak nyata
Luas Lahan (X5) 2,686 0,042 *) 14,680 Berpengaruh nyata *
Jumlah AK yang Bekerja (X6) 0,713 0,213 2,041 Berpengaruh tidak nyata
Sumber : Data Primer (diolah)
Keterangan : *) nyata pada taraf 5%
Berdasarkan hasil analisis regresi logistik tersebut diperoleh nilai Sig pada
Omnimbus test sebesar 0,000. Nilai tersebut lebih kecil dari taraf nyata yang
digunakan yaitu 5 persen (0,000 < 0,05), artinya variabel bebas yang digunakan
secara bersama-sama berpengaruh terhadap keputusan petani untuk menjual lahan.
Dari hasil analisis juga didapat nilai Cox & Snell R Square sebesar 0,495 dan
Nagelkerke R Square sebesar 0,688. Nilai Nagelkerke R Square yang lebih besar
dari Cox & Snell R Square menunjukan kemampuan keenam variabel bebas dalam
menjelaskan varian alih fungsi lahan yaitu sebesar 68,8 persen dan terdapat 32,2
persen faktor lain di luar model yang menjelaskan variabel terikat. Nilai Sig pada
Hosmer and Lemeshow Test yang diperoleh adalah sebesar 0,902. Nilai tersebut
lebih besar dari taraf nyata yang digunakan yaitu 5 persen (0,902 > 0,05), artinya
model yang dibuat dapat diterima dan pengujian hipotesis dapat dilakukan.
Selanjutnya nilai overall percentage pada classification table yang diperoleh
sebesar 91,1 persen. Hal ini menunjukan bahwa model yang dihasilkan adalah
baik.
Berdasarkan Tabel 17 dapat terlihat bahwa dari enam variabel bebas yang
diduga berpengaruh terhadap keputusan petani untuk menjual lahan ternyata
hanya dua variabel yang berpengaruh signifikan. Variabel yang berpengaruh
signifikan terhadap keputusan petani tersebut adalah jumlah anggota keluarga dan
luas lahan. Signifikan atau tidaknya pengaruh suatu variabel dilihat dari nilai Sig
yang ada pada Tabel 17 yang lebih kecil dari taraf nyata yang digunakan yaitu 5
60
persen. Model yang diperoleh dari hasil regresi logistik pada Tabel 17 adalah
sebagai berikut:
Z = -5,592 – 1,291X3 + 2,686X5
Variabel jumlah banyaknya anggota keluarga memiliki nilai Sig. sebesar
0,024. Nilai tersebut berarti bahwa jumlah tanggungan berpengaruh nyata
terhadap peluang terjadinya penjualan lahan oleh petani pada taraf nyata 5 persen
(0,024 < 0,05). Koefisien hasil yang diperoleh bertanda negatif (-1,291) dan nilai
Exp (β) atau odds ratio yang diperoleh sebesar 0,275. Hal ini berarti bahwa jika
banyaknya anggota keluarga petani bertambah satu orang, maka peluang petani
untuk menjual lahan lebih kecil 0,275 kali dibandingkan untuk tidak menjual
lahan. Semakin banyak jumlah anggota keluarga petani maka semakin rendah
peluang petani tersebut untuk menjual lahan.
Jumlah anggota keluarga yang semakin banyak membuat petani berpikir
untuk lebih mempertahankan lahan sawah tersebut untuk memenuhi kebutuhan
keluarga dibandingkan untuk dijual. Hal ini disebabkan karena mereka sudah
terbiasa hidup bertani untuk membiayai kebutuhan hidupnya. Terlebih jika ada
anggota keluarga yang mempunyai pekerjaan dan penghasilan yang jauh lebih
besar maka petani akan terus mempertahankan lahan sawah tersebut.
Variabel luas lahan memiliki nilai Sig. sebesar 0,042. Nilai tersebut berarti
bahwa luas lahan berpengaruh nyata terhadap peluang terjadinya penjualan lahan
oleh petani pada taraf nyata 5 persen (0,042 < 0,05). Koefisien hasil yang
diperoleh bertanda positif (2,686) dan nilai Exp (β) atau odds ratio yang
diperoleh sebesar 14,680. Hal ini berarti bahwa jika luas lahan yang dimiliki
petani bertambah satu hektar, maka peluang petani untuk menjual lahan lebih
besar 14,680 kali dibandingkan untuk tidak menjual lahan. Semakin besar luas
lahan yang dimiliki petani maka semakin tinggi peluang petani tersebut untuk
menjual lahan. Hal ini menunjukkan adanya keterkaitan erat antara luas lahan
yang dimiliki dengan alih fungsi lahan yang terjadi.
61
6.4 Dampak Alih Fungsi Lahan Terhadap Pendapatan Petani Kecamatan
Ciampea, Kabupaten Bogor
Alih fungsi lahan yang terjadi di Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor
akan menyebabkan berkurangnya total pendapatan petani. Hal ini disebabkan
adanya penurunan hasil panen dari lahan yang dimiliki. Dalam studi kasus kali ini,
petani di lokasi penelitian ini masih banyak yang mempertahankan komoditas
padi sebagai produksi utama. Hal ini disebabkan karena wialyah ini cocok untuk
produksi padi. Saat ini petani yang telah menjual lahan juga masih menggarap
lahannya sehingga belum begitu terlihat terhadap pendapatan dari alih fungsi
lahan tersebut. Hal ini menunjukkan dampak alih fungsi lahan terhadap
pendapatan petani belum mempunyai pengaruh yang signifikan. Alih fungsi lahan
dapat mengubah struktur mata pencaharian dalam satu keluarga. Perubahan mata
pencaharian akan mempengaruhi pendapatan yang diperoleh saat ini. Pendapatan
petani pada dasarnya dibagi menjadi dua macam, yaitu pendapatan usaha tani dan
pendapatan diluar usaha tani (non usaha tani). Pendapatan usaha tani merupakan
pendapatan yang diterima dari sektor pertanian, sedangkan pendapatan non usaha
tani adalah pendapatan yang diperoleh dari luar sektor pertanian. Pendapatan yang
diperoleh responden sebelum dan sesudah mengalihfungsikan lahannya dapat
dilihat pada Tabel 18. berikut ini.
Tabel 18. Perbandingan Rata-Rata Per Bulan Pendapatan Petani Sebelum dan
Sesudah Terjadinya Alih Fungsi Lahan
Rata-rata
Pendapatan
Responden
Usaha Tani Non Usaha Tani
Rata-rata
Pendapatan
Total
Responden
Rupiah % Rupiah % Rupiah %
Sebelum
Alih Fungsi 735.038 42,64 1.196.119 57,36 1.931.157 100
Sesudah
Alih Fungsi 691.026 28,28 1.292.307 71,72 1.983.333 100
Perubahan -44.012
96.187
52.176 Sumber : Data Primer (diolah)
Berdasarkan Tabel 18 di atas, terdapat perubahan pendapatan total
responden (dari usaha tani dan non usaha tani) sebelum dan sesudah alih fungsi
lahan dari Rp 1.931.157 menjadi Rp 1.983.333. Hal ini menunjukkan terjadinya
62
perubahan pendapatan total yang diperoleh responden sebelum dan sesudah alih
fungsi lahan yaitu sebesar Rp 52.176. Pendapatan rata-rata yang diperoleh dari
usaha tani mengalami penurunan setelah adanya alih fungsi lahan yaitu sebesar Rp
44.012. Sedangkan pendapatan rata-rata dari non usaha tani mengalami
peningkatan yaitu sebesar Rp 96.187.
Tabel 18 menunjukkan bahwa pendapatan petani baik yang diperoleh dari
usaha tani maupun non usaha tani mengalami perubahan sebelum dan setelah
melakukan alih fungsi lahan. Sebelum melakukan alih fungsi lahan, sebesar 42,64
persen pendapatan diperoleh dari usaha tani dan 57,36 persen pendapatan
diperoleh dari luar usaha tani. Setelah melakukan alih fungsi lahan, sebesar 28,28
persen pendapatan diperoleh dari usaha tani dan 71,72 persen pendapatan
diperoleh dari luar usaha tani. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran struktur
pendapatan petani dari pertanian ke non pertanian dimana pendapatan diluar usaha
tani mengalami peningkatan setelah adanya alih fungsi lahan.
6.5 Perkiraan Perubahan Luas Sawah dan Dampak Terhadap Ketahanan
Pangan di Kabupaten Bogor
Alih fungsi lahan akan berakibat pada ketahanan pangan pada suatu
wilayah. Semakin banyaknya alih fungsi lahan yang terjadi akan semakin sulit
ketahanan pangan diwujudkan. Ketahanan pangan yang terancam akan berdampak
pada stabilitas pembangunan ekonomi di wilayah tersebut. Sehingga pemenuhan
kebutuhan pangan masyarakat akan terganggu. Penilitian ini menghitung
perkiraan dampak alih fungsi lahan terhadap ketahanan pangan di Kabupaten
Bogor sebagai berikut. Menurut tipe irigasi lahan sawah di Kabupaten Bogor
dibedakan menjadi lahan untuk sawah irigasi teknis, sawah irigasi setengah teknis,
pengairan sederhana PU, pengairan non PU dan pengairan tadah hujan. Pada
Tabel 19, dapat dilihat luas masing-masing sawah berdasarkan tipe irigasinya
yang ada di Kabupaten Bogor.
63
Tabel 19. Perubahan Luas Masing-Masing Sawah Berdasarkan Tipe Irigasinya di
Kabupaten Bogor (dalam Hektar)
Tahun
Luas
Total
Sawah
Sawah
Irigasi
Teknis
Sawah
Irigasi
Setengah
Teknis
Sawah
Irigasi
Sederhana
PU
Sawah
Irigasi
Sederhana
Non PU
Sawah
Tadah
Hujan
2002 48.256 4.211 7.794 12.660 14.410 9.181
2003 48.177 4.106 6.402 14.441 14.919 8.309
2004 47.503 3.819 8.033 11.979 14.205 9.467
2005 48.598 4.542 4.746 12.281 15.427 11.602
2006 48.425 4.436 7.095 13.494 12.763 10.637
2007 48.321 4.182 7.942 13.948 12.483 9.766
2008 48.849 3.967 8.481 13.203 13.548 9.650
2009 48.766 3.819 8.033 7.996 19.451 9.467
2010 48.484 2.173 9.904 14.833 12.421 9.153
2011 48.185 2.506 9.644 14.451 11.635 9.949 Sumber : Badan Pusat Statistika Kabupaten Bogor, berbagai terbitan
Sawah irigasi teknis merupakan sawah yang bersumber pengairannya
berasal dari sungai, artinya selalu tersedia sepanjang tahun. Oleh karena itu, pola
tanam pada sawah teknis ini lebih fleksibel dibandingkan dengan sawah lainnya.
Ciri sawah jenis ini dalam pola tanamnya sebagian besar selalu padi -padi. Sawah
irigasi setengah teknis merupakan sawah yang sumber pengairannya dari sungai,
namun ketersediaan airnya tidak seperti sawah irigasi teknis, biasanya air tidak
cukup tersedia sepanjang tahun. Pola tanam pada sawah ini biasanya padi -
palawija atau palawija - padi.
Sawah irigasi sederhana pedesaan merupakan sawah yang sumber
pengairannya berasal dari sumber-sumber air yang terdapat di lembah-lembah
bukit yang ada di sekitar sawah yang bersangkutan. Prasarana irigasi seperti
saluran, bendungan dibuat oleh pemerintah desa dan petani setempat, serta
bendungan irigasi umumnya tidak permanen. Pola tanam pada sawah pengairan
pedesaan ini biasanya padi - padi, dan padi - palawija, atau padi - bera. Petani
yang melakukan padi - padi biasanya terbatas di daerah-daerah yang berdekatan
degan sumber air saja, sedangkan yang jauh biasanya hanya ditanami padi sekali
saja pada musim hujan dan pada musim kemarau dibiarkan bera. Sawah tadah
hujan merupakan sawah yang sumber pengairannya bergantung pada ada atau
tidaknya curah hujan. Sawah jenis ini biasanya terdapat di daerah-daerah yang
topografinya tinggi dan berada di lereng-lereng gunung yang tidak memungkinkan
64
dibuat saluran irigasi. Oleh karena itu, pada sawah semacam ini pola tanamnya
adalah padi - bera, padi - palawija, dan palawija - padi.
Musim tanam padi untuk sawah jenis irigasi teknis, setengah teknis,
sederhana PU dan sederhana non PU ini sebanyak 3 kali dalam setahun.
Sedangkan untuk musim tanam padi sawah tadah hujan ini hanya 1 kali saja
selama setahun. Berikut ini dapa dilihat produksi padi untuk masing-masing tipe
sawah berdasarkan irigasinya.
Tabel 20. Produksi Padi Untuk Masing-Masing Tipe Sawah Berdasarkan
Irigasinya di Kabupaten Bogor (dalam Ton)
Tahun Sawah
Irigasi
Teknis
Sawah
Irigasi
Setengah
Teknis
Sawah
Irigasi
Sederhana
PU
Sawah
Irigasi
Sederhana
Non PU
Sawah
Tadah
Hujan
Produksi
Padi
Total
2002 40.450,07 74.867,69 121.609,56 138.419,73 88.190,95 463.538 2003 31.825,70 49.622,04 111.932,51 115.637,50 64.403,24 373.421 2004 35.852,76 75.413,78 112.458,81 133.356,49 88.876,16 445.958 2005 38.513,63 40.243,44 104.136,05 130.812,38 98.378,51 412.084 2006 36.739,88 58.762,28 111.760,14 105.705,84 88.097,86 401.066 2007 41.520,98 78.852,14 138.482,70 123.937,45 96.961,72 479.755 2008 38.997,67 83.372,63 129.792,34 133.183,87 94.864,50 480.211 2009 39.624,61 83.347,61 829.63,71 201.816,79 98.226,29 505.979 2010 24.331,96 110.899,10 166.091,11 139.083,97 102.489,85 542.895 2011 27.027,25 104.010,7 155.854,27 125.483,66 107.300,13 519.676
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, berbagai terbitan (diolah)
Terjadinya alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Bogor yang terus
menerus berlanjut akan mengancam ketahanan pangan di wilayah tersebut..
Ketahanan pangan yang terancam akan berdampak pada stabilitas dan struktur
pembangunan ekonomi wilayah tersebut. Perkiraan dampak ketahanan pangan ini
dilakukan dengan membandingkan jumlah beras yang dapat diproduksi dengan
jumlah beras yang dibutuhkan masyarakat dari tahun 2002-2011. Jumlah produksi
beras didapat dengan mengkonversi gabah ke beras sebesar 62,74 persen
(BPS,2012). Berikut ini dapat dilihat besarnya produksi beras untuk masing-
masing tipe sawah berdasarkan irigasinya.
65
Tabel 21. Produksi Beras Untuk Masing-Masing Tipe Sawah Berdasarkan
Irigasinya di Kabupaten Bogor (dalam Ton)
Tahun
Sawah
Irigasi
Teknis
Sawah
Irigasi
Setengah
Teknis
Sawah
Irigasi
Sederhana
PU
Sawah
Irigasi
Sederhana
Non PU
Sawah
Tadah
Hujan
Produksi
Beras Total
2002 25.378,37 46.971,99 76.297,84 86.844,54 55.331,00 290.823,74
2003 19.967,44 31.132,87 70.226,46 72.550,97 40.406,60 234.284,34
2004 22.494,02 47.314,60 70.556,66 83.667,86 55.760,90 279.794,05
2005 24.163,45 25.248,73 65.334,96 82.071,68 61.722,67 258.541,50
2006 23.050,60 36.867,45 70.118,31 66.319,84 55.272,60 251.628,81
2007 26.050,26 49.471,83 86.884,05 77.758,36 60.833,78 300.998,29
2008 24.467,14 52.307,99 81.431,71 83.559,56 59.517,99 301.284,38
2009 24.860,48 52.292,29 52.051,43 126.619,85 61.627,17 317.451,22
2010 15.265,87 69.578,10 104.205,56 87.260,66 64.302,13 340.612,32
2011 16.956,90 65.256,31 97.782,97 78.728,45 67.320,10 326.044,72
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor , berbagai terbitan (diolah)
Selain itu, untuk melihat ketahanan pangan yang ada di Kabupaten Bogor,
perhitungan selanjutnya dilakukan dengan mencari kebutuhan beras yang
diperlukan. Kebutuhan beras ini didapat dari jumlah penduduk dikalikan jumlah
konsumsi beras per kapita. dengan konsumsi beras (BPS, 2002) diasumsikan tetap
yaitu 139,15 kg per jiwa. Ketahanan pangan dapat dilihat dari selisih produksi
beras yang diperoleh dengan kebutuhan beras yang diperlukan selama satu tahun.
Kemudian dapat dilihat juga persentase pemenuhannya dengan membagi produksi
beras dengan kebutuhan berasnya. Berdasarkan asumsi tersebut maka beriku ini
merupakan hasil perhitungan perkiraan ketahanan pangan di Kabupaten Bogor
selama periode 2002-2011.
Tabel 22. Perbandingan Produksi dan Kebutuhan Beras dengan Konsumsi Beras
Perkapita Tetap di Kabupaten Bogor
Tahun
Luas
Sawah
(Ha)
Jumlah
Penduduk
(Jiwa)
Produksi
Beras (Ton)
Kebutuhan
Beras (Ton)
Selisih Beras
(Ton)
Persentase
Pemenuhan
Beras (%)
2002 48.256 3.249.781 290.823,74 452.207,03 -161.383,28 64,31%
2003 48.177 3.399.036 234.284,34 472.975,86 -238.691,52 49,53%
2004 47.503 3.438.055 279.794,05 478.405,35 -198.611,30 58,48%
2005 48.598 3.700.207 258.541,50 514.883,80 -256.342,30 50,21%
2006 48.425 4.215.436 251.628,81 586.577,92 -334.949,11 42,90%
2007 48.321 4.251.838 300.998,29 591.643,26 -290.644,97 50,87%
2008 48.849 4.340.520 301.284,38 603.983,36 -302.698,98 49,88%
2009 48.766 4.477.344 317.451,22 623.022,42 -305.571,19 50,95%
2010 48.484 4.345.915 340.612,32 604.734,07 -264.121,75 56,32%
2011 48.185 4.353.591 326.044,72 605.802,19 -279.757,47 53,82%
Sumber : Badan Pusat Statistika Kabupaten Bogor, berbagai terbitan (diolah)
66
Berdasarkan asumsi yang dipergunakan, Tabel 22 menjelaskan bahwa
semenjak tahun 2002 produksi beras di Kabupaten Bogor terlihat tidak dapat
memenuhi kebutuhan beras masyarakatnya secara keseluruhan. Hal tersebut
ditunjukkan oleh bagian persentase pemenuhan beras (persen) yang belum
mencapai 100 persen dan terlihat kebutuhan beras yang ada lebih besar dari
produksi berasnya. Kejadian ini masih berlangsung hingga tahun 2011. Selama ini,
Kabupaten Bogor termasuk Bulog sub dirve Cianjur dimana pasokan beras yang
ada di Bulog Kabupaten Bogor berasal dari daerah Cianjur. Hal ini sangat
membantu dalam pemenuhan kebutuhan beras di Kabupaten Bogor.
6.6 Dampak Alih Fungsi Lahan Terhadap Produksi dan Nilai Produksi Padi
di Kabupaten Bogor
Alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian akan berakibat langsung
terhadap jumlah produksi padi dan nilai dari produksi padi yang dihasilkan dari
wilayah tersebut. Menurut Pakpahan et al (1993), jumlah produksi padi yang
hilang merupakan dampak adanya alih fungsi lahan sawah yang dipengaruhi
antara lain oleh luas panen yang hilang, produktifitas lahan sawah, dan pola tanam
yang diterapkan. Luas panen merupakan jumlah luasan sawah yang digarap atau
berhasil panen dalam satu tahun. Asumsi pada penelitian ini petani menggarap
seluruh lahan sawah yang hilang tersebut dan tidak ada gagal panen. Selanjutnya,
diasumsikan pula pola tanam dalam satu tahun untuk seluruh lahan dipanen tiga
kali. Artinya luas panen yang hilang tersebut tiga kali lipat dari luas lahan sawah
yang teralihfungsikan. Produktivitas lahan sawah merupakan hasil panen per
hektar lahan sawah. Produktivitas untuk seluruh tipe atau jenis sawah pada
penelitian ini disumsikan sama, sehingga tidak ada pembedaan tipe irigasi dan
jenis padi yang ditanam. Perhitungan mengenai produksi dan nilai produksi yang
hilang dapat dilihat pada Tabel 23 berikut ini.
67
Tabel 23. Dampak Terhadap Produksi Padi dan Nilai Produksi Padi yang Hilang
Akibat Alih Fungsi Lahan Sawah di Kabupaten Bogor Tahun 2002-
2011
Tahun
Produkti-
vitas
Padi
Sawah
(ton/ha)
Luas
Lahan
Teralih
-fungsi-
kan (ha)
Produksi
Padi yang
Hilang (ton)
Nilai Produksi Padi
yang Hilang (Rp)
Nilai Produksi Beras
yang Hilang (Rp)
2002 5,29 0 0 0 0
2003 5,18 -79 -1.227,90 -2.026.030.050,00 -2.466.765.014,12
2004 5,25 -674 -10.611,46 -18.039.475.200,00 -19.799.784.168,35
2005 5,37 0 0 0 0
2006 5,40 -173 -2.803,12 -6.587.329.650,00 -8.126.845.772,83
2007 5,74 -104 -1.789,32 -5.033.357.160,00 -6.364.129.197,19
2008 5,91 0 0 0 0
2009 6,15 -83 -1.531,85 -4.947.869.040,00 -5.190.800.831,52
2010 6,19 -282 -5.236,74 -19.072.207.080,00 -19.700.041.933,30
2011 6,23 -299 -5.589,21 -22.010.297.166,00 -23.536.758.782,72
Total -1694 -28.789,60 -77.716.565.346,00 -85.185.125.700,02
Rata-rata -169,4 -2878,96 -7.771.656.534,60 -8.518.512.570,00 Sumber : Badan Pusat Statistika Kabupaten Bogor, berbagai terbitan (diolah)
Berdasarkan Tabel 23 diatas dan asumsi-asumsi yang telah disebutkan
sebelumnya, total produksi padi yang hilang selama sepuluh tahun terakhir di
Kabupaten Bogor adalah sebesar 28.789,6 ton. Nilai produksi padi diestimasi
menggunakan harga gabah kering giling (GKG) yang berlaku di Provinsi Jawa
Barat pada masing-masing tahun tersebut (Lampiran 6). Jumlah produksi padi
yang hilang dikalikan dengan harga pembelian pemerintahnya. Seperti data pada
tahun 2004, jika harga GKG Rp 1.700 per Kg atau Rp 1.700.000 per ton, maka
nilai produksi padi yang hilang adalah 10.611,46 ton x Rp 1.700.000 per ton = Rp
18.039.475.200. Selanjutnya, nilai produksi beras yang hilang dapat diestimasi
menggunakan harga beras dikalikan dengan jumlah produksi padi yang hilang
dikali dengan besaran konversi gabah ke beras sebesar 62,74 persen. Seperti pada
tahun 2004 jika harga beras Rp 2.974 per Kg atau Rp 2.974.000 per ton, maka
nilai produksi beras yang hilang adalah 10.611,46 ton x 62,74% x Rp 2.974.000
per ton = Rp 19.799.784.168,35. Rata-rata nilai produksi padi yang hilang per
tahunnya adalah sebesar Rp 7.771.656.534,60 sedangkan rata-rata nilai produksi
beras yang hilang per tahunnya adalah sebesar Rp 8.518.512.570,00.
68
Pada tahun 2005 dan 2008 luas lahan sawah di Kabupaten Bogor sempat
mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan adanya indikasi pembukaan lahan
sawah baru dari lahan kering yang ada. Pembukaan lahan ini dilakukan untuk
menanggulangi pengalihfungsian lahan yang terjadi. Hal ini menyebabkan adanya
surplus produksi padi pada tahun-tahun tersebut. Dengan asumsi yang sama,
perhitungan mengenai surplus tersebut dapat dilihat pada Tabel 24.
Tabel 24. Dampak Terhadap Surplus Produksi Padi dan Nilai Produksi Padi
Akibat Pembukaan Lahan Sawah Baru di Kabupaten Bogor Tahun
2002-2011
Tahun
Produkti-
vitas
Padi
Sawah
(ton/ha)
Pembuka-
an sawah
Baru (ha)
Surplus
Produksi
Padi (ton)
Surplus Nilai
Produksi Padi (Rp)
Surplus Nilai
Produksi Beras (Rp)
2002 5,29 0 0 0 0
2003 5,18 0 0 0 0
2004 5,25 0 0 0 0
2005 5,37 1.095 17.627,31 33.491.889.000,00 37.402.803.862,31
2006 5,40 0 0 0 0
2007 5,74 0 0 0 0
2008 5,91 528 9.356,69 28.509.828.336,00 29.909.616.930,86
2009 6,15 0 0 0 0
2010 6,19 0 0 0 0
2011 6,23 0 0 0 0
Total 1.623 26.984 62.001.717.336,00 67.312.420.793,17
Sumber : Badan Pusat Statistika Kabupaten Bogor, berbagai terbitan (diolah)
Berdasarkan Tabel 24, total surplus produksi padi akibat pembukaan lahan
sawah baru sebesar 26.984 ton atau dengan nilai sekitar 62 milyar. Surplus ini
tidak menutupi produksi padi yang hilang pada tahun-tahun sebelumnya, karena
total pembukaan lahan hanya sebesar 1.623 hektar sedangkan total alih fungsi
lahan sebesar 1.694 hektar. Produksi padi pada sepuluh tahun terakhir masih
hilang sekitar 1.805,6 ton atau bernilai sekitar Rp 15.714.848.010,00. Nilai
tersebut diperoleh dari selisih produksi yang hilang dan surplus produksi.
6.7 Implikasi Kebijakan dalam Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah di
Kabupaten Bogor
Implikasi atau keterlibatan kebijakan dalam pengendalian alih fungsi lahan
pertanian sangat penting dilakukan. Baik kebijakan yang berasal dari
pemerintahan pusat maupun daerah. Menurut Widjanarko et al (2006) ada tiga
69
kebijakan nasional yang berpengaruh langsung terhadap alih fungsi lahan
pertanian ke non pertanian adalah:
1. Kebijakan privatisasi pembangunan kawasan industri sesuai Keputusan
Presiden Nomor 53 tahun 1989 yang telah memberikan keleluasaan kepada
pihak swasta untuk melakukan investasi dalam pembangunan kawasan industri
dan memilih lokasinya sesuai dengan mekanisme pasar.
2. Kebijakan pembangunan pemukiman skala besar dan kota baru. Kebijakan
pemerintah ini sangat berpengaruh terhadap alih fungsi lahan, karena
memunculkan spekulan yang mendorong minat petani menjual lahannya.
3. Kebijakan deregulasi dalam hal penanaman modal dan perizinan sesuai Paket
Kebijaksanaan Oktober Nomor 23 Tahun 1993 memberikan kemudahan dan
penyederhanaan dalam pemrosesan perizinan lokasi. Kebijakan tersebut
menyebabkan peningkatan dalam permohonan izin lokasi untuk kawasan
industri, pemukiman, maupun wisata.
Permasalahan alih fungsi lahan pertanian ini merupakan masalah serius
yang harus ditangani cepat oleh pemerintah. Sehingga perlunya sinergisitas dari
segala pihak dalam melaksanakan kebijakan tersebut. Selain kebijakan yang
disebutkan di atas, terdapat pula kebijakan lahan abadi dari pencanangan reforma
agraria Indonesia. Kebijakan lahan abadi merupakan salah satu bagian dari
Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK). Dalam RPPK, program
pembukaan lahan pertanian dalam lima tahun ke depan diarahkan ke dalam tiga
bentuk, yaitu :
1. Pemanfaatan lahan terlantar (lahan alang-alang dan semak belukar) dengan
mengembangkan tanaman semusim maupun tahunan, terutama di daerah
transmigrasi.
2. Pengendalian alih fungsi lahan pertanian. Mempertahankan lahan irigasi yang
telah menghabiskan investasi besar dalam pencetakkan dan pembangunan
jaringan irigasinya.
3. Perluasan areal sawah dan lahan kering terutama di luar Jawa.
Kabupaten Bogor merupakan daerah yang perekonomiannya berdaya saing
dengan titik berat pada revitalisasi pertanian, sehingga dibutuhkan langkah
kebijakan dalam menyukseskan revitalisasi pertanian tersebut. Penekanan dengan
70
penganekaragaman konsumsi pangan merupakan salah satu kebijakan yang wajib
diterapkan oleh suatu daerah. Berbagai strategi yang terkait dengan upaya
penganekaragaman konsumsi pangan antara lain adalah (1) Diversifikasi usaha
rumah tangga diarahkan untuk meningkatkan pendapatan produsen, terutama
petani, peternak, dan nelayan kecil melalui pengembangan usahatani terpadu; (2)
Diversifikasi usaha atau produksi pangan dan diversifikasi konsumsi pangan
melalui pengembangan diversifikasi usahatani terpadu bidang pangan, perkebunan,
peternakan, perikanan; (3) Pengembangan pangan lokal sesuai dengan kearifan
dan kekhasan daerah untuk meningkatkan diversifikasi pangan lokal; (4)
Pengembangan sumberdaya manusia di bidang pangan dan gizi dilakukan melalui
pendidikan, pelatihan dan penyuluhan secara komprehensif.
Studi kasus dalam penelitian di Kecamatan Ciampea ini memperlihatkan
bahwa sebenarnya pendapatan petani di daerah tersebut cukup menghasilkan
pendapatan. Hasil perhitungan menyatakan rata-rata kepemilikan lahan yang ada
di Kecamatan Ciampea adalah sebesar 1 hektar dengan pendapatan sebesar Rp
4.056.738 per musim tanam. Nilai tersebut memang belum memenuhi kriteria
hasil yang tinggi (bekisar Rp 6.000.000-Rp 7.000.000). Hal ini dikarenakan
karena produktivitas dari lahan sawah yang masih rendah. Masalah tersebut dapat
ditanggulangi dengan kebijakan pemberian teknologi memadai secara merata
untuk petani-petani di daerah tersebut. Peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk
hal ini. Selain itu, fenomena petani miskin yang ada di Indonesia ini tidak hanya
disebabkan dari hal-hal internal penanaman saja namun juga pola pikir para petani.
Selama ini, pada masa menunggu hasil panen masih tidak banyak petani yang
memanfaatkan waktunya untuk hal-hal yang lain, padahal bisa saja digunakan
untuk berdagang ataupun pekerjaan lainnya. Sehingga pendapatan para petani pun
akan meningkat pula. Petani belum banyak juga yang menyadari pentingnya arti
pendidikan sehingga masih banyak anak-anak petani yang memiliki kualitas
pendidikan yang rendah. Padahal pendidikan anak merupakan investasi untuk
perubahan nasib mereka yang lebih baik di masa yang akan datang.
Dalam kaitannya dengan alih fungsi lahan ini kebijakan yang tepat selain
menekan konsumsi beras masyarakat adalah dengan menekan laju pertumbuhan
penduduk dengan program Keluarga Berencana (KB), pembukaan lahan sawah
71
baru, dan penerapan System of Rice Intensification (S.R.I.). Dinas Pertanian dan
Kehutanan (Distanhut) Kabupaten Bogor semenjak tahun 2012 telah
melaksanakan program atau kegiatan dalam memenuhi kebutuhan pangan
masyarakatnya. Upaya intensifikasi menjadi pilihan utama untuk usaha
peningkatan produksi dan produktivitas pangan. Beberapa kegiatan yang
dilakukan mulai dari on farm sampai off farm. Kegiatan on farm berupa
penyediaan sarana dan prasarana produksi, sedangkan off farm berupa penyediaan
peralatan pasca panen sehingga produk pertanian memiliki nilai tambah.
Beberapa fasilitas sarana dan prasarana yang diberikan Distanhut kepada
petani yaitu melalui kegiatan pengembangan pembenihan/pembibitan padi dan
pengembangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) yang dikenal dengan nama
Gerakan Peningkatan Produksi Padi Berbasis Masyarakat (GP3M). Pola yang
diterapkan pada kegiatan pengembangan PTT padi ini menggunakan pola yarnen
(bayar saat panen). Kegiatan ini ditunjang dengan peralatan usaha tani seperti
traktor, bagan warna daun, caplak, gasrok, alat pengendalian hama, penyuluhan
tentang pengendalian hama hingga alat pasca panen, pengolahan dan pemasaran
hasil pertanian.
Selain itu, adanya program peningkatan produksi beras nasional (P2BN)
dari Kementrian Pertanian, membuat berbagai daerah di Indonesia berkompetisi
untuk mencapai peningkatan produksi beras sebesar 5 persen. Seperti halnya
Kabupaten Bogor pada tahun 2013 berhasil meningkatkan produksi beras hingga
7,3 persen melebihi target tersebut. Keberhasilan tersebut didapat dari adanya
peningkatan produksi dan produktiviitas, peningkatan adopsi teknologi,
pencapaian target kecukupan pangan dan peningkatan pendapatan dengan
melakukan perluasan area tanam serta perbaikan irigasi. Hal tersebut menandakan
betapa penting dan berpengaruhnya kebijakan pemerintah dalam memajukan
pertanian Indonesia.
73
VII. SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan dapat
ditarik kesimpulan, sebagai berikut:
1. Laju alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Bogor dari tahun 2002-2011
sebesar 0,10 persen dengan rata-rata laju alih fungsi lahan sebesar 0,01 persen
per tahun.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan pertanian khususnya lahan
sawah di tingkat wilayah dipengaruhi oleh kepadatan penduduk dan
produktivitas padi sawah. Faktor-faktor yang mempengaruhi alih fungsi lahan
pertanian di tingkat petani dipengaruhi oleh luas lahan, jumlah anggota
keluarga, dan jumlah tanggungan.
3. Adanya alih fungsi lahan menyebabkan perubahan rata-rata pendapatan total
petani sebelum dan sesudah alih fungsi lahan mengalami penurunan sebesar Rp
52.176 per bulannya. Selain pendapatan, akibat alih fungsi lahan juga
menyebabkan penurunan produksi padi. Rata- rata kehilangan produksi padi
per hektar lahan sawah yang teralihfungsikan sebesar 2.878,96 ton per tahun,
sedangkan kehilangan rata-rata nilai produksi yaitu sebesar Rp
7.771.656.534,60 per tahun dalam bentuk gabah dan sebesar Rp
8.518.512.570,00 per tahun dalam bentuk beras. Hasil perhitungan perkiraan
perubahan luas dan ketahanan pangan di Kabupaten Bogor yaitu produksi beras
di Kabupaten Bogor belum dapat memenuhi kebutuhan berasnya semenjak
tahun 2002 hingga tahun 2011 dengan pemenuhan kebutuhan beras hanya
berkisar 43-64 persen saja. Lahan sawah dengan tipe irigasi sederhana non PU
adalah tipe sawah yang memberikan persentase pemenuhan kebutuhan beras
paling besar dibandingkan tipe sawah lainnya.
4. Kebijakan terkait pengendalian alih fungsi lahan sawah sudah dilakukan baik
oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah Kabupaten Bogor. Program-
program yang dilakukan seperti upaya intensifikasi yang terus digalakkan,
program pengembangan tanaman terpadu (PTT) serta program kompetitif yang
dilakukan Kementerian Pertanian yaitu program peningkatan produksi beras
nasional (P2BN)
74
7.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, beberapa saran
direkomendasikan sebagai bahan pertimbangan, sebagai berikut:
1. Perlu adanya ketegasan dan sanksi yang berlaku dalam pelaksanaan kebijakan
pemerintah daerah terkait perizinan pembangunan pemukiman ataupun industri
di lahan pertanian.
2. Pertumbuhan penduduk di Kabupaten Bogor harus ditekan, karena salah satu
hal yang berpengaruh dalam alih fungsi lahan pertanian adalah permintaan
pemukiman akibat tingginya laju kepadatan penduduk. Pertumbuhan penduduk
dapat ditekan melalui pelaksanaan serta penegasan program Keluarga
Berencana (KB) yang dicanangkan pemerintah.
3. Perlu dilakukan penyuluhan berkala kepada petani tiap desa mengenai program
Pertanian Tanaman Terpadu (PTT), penerapan System of Rice Intensification
(S.R.I), dan penerapan program peningkatan produksi beras nasional (P2BN)
dari Kementerian Pertanian.
4. Perlu adanya teknologi terbarukan yang diimplementasikan di pertanian
pedesaan agar produktivitas yang dihasilkan meningkat. Selain itu, perlu
adanya pendampingan penggunaan teknologi tersebut agar petani paham dalam
menggunakan teknologi yang ada.
5. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai luas wilayah pertanian yang
dialihfungsikan dan penetapan wilayah pertanian minimum (lahan pertanian
abadi), agar produksi beras masih dapat mencukupi kebutuhan di wilayah
tersebut.
75
DAFTAR PUSTAKA
Anitasary R F. 2008. Pelaksanaan Alih Fungsi Tanah Pertanian Untuk
Pembangunan Perumahan Di Kota Semarang. Tesis. Universitas Diponegoro,
Semarang.
Anugrah F. 2005. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan
Sawah ke Pengguna non Pertanian di Kabupaten Tangerang. Skripsi. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Astuti DI. 2011. Keterkaitan Harga Lahan Terhadap Laju Konversi Lahan
Pertanian di Hulu Sungai Ciliwung Kabupaten Bogor. Skripsi. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Badan Pusat Statistik. 2011. Indonesia Dalam Angka Tahun 2011. BPS. Jakarta.
_________________. 2012. Indonesia Dalam Angka Tahun 2012. BPS. Jakarta.
_________________. 2002. Provinsi Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2002. BPS.
Provinsi Jawa Barat.
_________________. 2003. Provinsi Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2003. BPS.
Provinsi Jawa Barat.
_________________. 2004. Provinsi Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2004. BPS.
Provinsi Jawa Barat.
_________________. 2005. Provinsi Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2005. BPS.
Provinsi Jawa Barat.
_________________. 2006. Provinsi Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2006. BPS.
Provinsi Jawa Barat.
_________________. 2007. Provinsi Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2007. BPS.
Provinsi Jawa Barat.
_________________. 2008. Provinsi Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2008. BPS.
Provinsi Jawa Barat.
_________________. 2009. Provinsi Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2009. BPS.
Provinsi Jawa Barat.
_________________. 2010. Provinsi Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2010. BPS.
Provinsi Jawa Barat.
76
_________________. 2011. Provinsi Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2011. BPS.
Provinsi Jawa Barat.
_________________. 2012. Provinsi Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2012. BPS.
Provinsi Jawa Barat.
_________________. 2002. Kabupaten Bogor Dalam Angka Tahun 2002. BPS.
Kabupaten Bogor.
_________________. 2003. Kabupaten Bogor Dalam Angka Tahun 2003. BPS.
Kabupaten Bogor.
_________________. 2004. Kabupaten Bogor Dalam Angka Tahun 2004. BPS.
Kabupaten Bogor.
_________________. 2005. Kabupaten Bogor Dalam Angka Tahun 2005. BPS.
Kabupaten Bogor.
_________________. 2006. Kabupaten Bogor Dalam Angka Tahun 2006. BPS.
Kabupaten Bogor.
_________________. 2007. Kabupaten Bogor Dalam Angka Tahun 2007. BPS.
Kabupaten Bogor.
_________________. 2008. Kabupaten Bogor Dalam Angka Tahun 2008. BPS.
Kabupaten Bogor.
_________________. 2009. Kabupaten Bogor Dalam Angka Tahun 2009. BPS.
Kabupaten Bogor.
_________________. 2010. Kabupaten Bogor Dalam Angka Tahun 2010. BPS.
Kabupaten Bogor.
_________________. 2011. Kabupaten Bogor Dalam Angka Tahun 2011. BPS.
Kabupaten Bogor.
_________________. 2012. Kabupaten Bogor Dalam Angka Tahun 2012. BPS.
Kabupaten Bogor.
Gujarati D. 2002 Basic Economics. Mc Graw Hill, Singapore.
Hayat. 2002. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah
(Studi Kasus: Kabupaten Bogor, Jawa Barat). Skripsi Sarjana. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
77
Hildebrand, P. E., 1987. Sistem Bertanam Tumpang Gilir ; Segi Ekonomi dan
Agronomi Ekofarming. Penyunting Joachim Metzner & N. Daldjoeni. Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta : 401 – 420
Juanda B. 2009. Ekonometrika Permodelan dan Pendugaan. IPB Press, Bogor.
Kustiawan A. 1997. Konversi Lahan di Pantai Utara Jawa. Prisma No 1 Tahun
XXVII Januari 1197. LP3ES, Jakarta.
Lutviansari A. 2007. Analisis Terhadap Konsep Kebijakan “Lahan Abadi” Di
Indonesia Dalam Rangka Reforma Agraria (Agrarian Reform).
Nachrowi ND, Hardius U. 2002. Penggunaan Teknik Ekonometrika. Rajawali
Pers, Jakarta.
Nazir M. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia, Jakarta.
Pakpahan A, Sumaryanto, Syafaat. 1993. Analisis Kebijakan Konversi Lahan
Sawah ke Penggunaan non Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi
Pertanian, Bogor.
Ruswandi A. 2005. Dampak Konversi Lahan Pertanian Terhadap Perubahan
Kesejahteraan Petani dan Perkembangan Wilayah. Tesis. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Sadikin. 2009.Analisis Dampak Konversi Lahan Pertanian Terhadap Produksi
Padi dan Land Rent (Kasus Perumahan Pakuan Regency, Bogor Barat, Kota
Bogor). Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sibolak.1995. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Permintaan dan
Penawaran Komoditi Padi Serta Kecenderungan Konversi Lahan Sawah (Studi
Kasus di Kabupaten Karawang, Propinsi Jawa Barat). Skripsi. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Situmeang M. 1998. Pola Hubungan antara Perubahan Penggunaan Lahan Dengan
Transformasi Struktur Ekonomi. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sogo Kenkyu. 1998. An Economic Evolution Of External Economies From
Agriculture by the Replecement Cost Method. National Research Institute of
Agricultural Economics, MAFF. Japan.
78
Solihah N. 2002. Dampak Alih Fungsi Lahan Sawah ke Penggunaan non Sawah
Terhadap Pendapatan Petani di Kabupaten Bogor. Skripsi. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Subali A. 2005. Pengaruh Konversi Lahan Terhadap Pola Nafkah Rumahtangga
Petani. (Studi Kasus; Desa Batujajar, Kecamatan Cigudeg, Kabupaten Bogor).
Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sumaryanto, Tahlim S. 2005. Pemahaman Dampak Negatif Konversi Lahan
Sawah Sebagai Landasan Perumusan Strategi Pengendaliannya. Prosiding
seminar penanganan konversi lahan dan pencapaian pertanian abadi. Satyawan
Et al. Pusat Studi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan LPPM-Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Utama. 2006. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah
ke Penggunaan Non Sawah di Kabupaten Cirebon. Skripsi. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Utomo et al. 1992. Alih Fungsi Lahan: Tinjauan Analisis dalam Makalah Seminar
Pembangunan dan Pengendaian Alih Fungsi Lahan. Universitas Lampung,
Lampung.
Whitney, Frederick. 1960. The Elements of Research. New York: Prentice-Hall,
Inc.
Widjanarko. 2006. Aspek Pertanahan dalam Pengendalian Alih Fungsi Lahan
Pertanian (Sawah). Prosiding seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah.
Pusat Penelitian dan Pengembangan BPN, Jakarta.
Yoshida, K. 1994. An Economic Evaluation Of Multifunctional Roles Of
Agricultural and Rural areas in Japan. Ministry Of Agricultural Forestry and
Fisheries. Japan.
80
Lampiran 1. Kuesioner Penelitian
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN
DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN
LINGKUNGAN
Jl. Kamper level 5 wing 5 Kampus IPB Dramaga Bogor
(16680)
KUESIONER PENELITIAN
Hari/Tanggal : ...................
Nama Responden : ...................................................................................
Alamat Responden : ...................................................................................
...............................................................................................
Nomor Telepon/HP : ...................................................................................
Kuesioner ini digunakan sebagai acuan dalam mengumpulkan data yang
dibutuhkan dalam skripsi “Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Konversi Lahan Pertanian Serta Dampak Ekonomi Di Kabupaten Bogor”
oleh Sarah Nur Amalia, Mahasiswi Departemen Ekonomi Sumberdaya dan
Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB. Saya mohon partisipasi
Bapak/Ibu/Saudara/i untuk mengisi kuesioner ini dengan objektif, lengkap, dan
teliti. Kerahasiaan informasai yang Bapak/Ibu/Saudara/i berikan terjamin dan
tidak untuk dipublikasikan, serta tidak terkait dengan kepentingan politik pihak
manapun. Atas perhatian dan partisipasinya saya ucapkan terima kasih.
A. Karakteristik Responden
1. Jenis Kelamin : L/P
2. Usia : ................... tahun
3. Status : Belum Menikah/Menikah
4. Pendidikan Terakhir : a. Tidak Sekolah d. SMA/Sederajat
b. SD/Sederajat e. Perguruan Tinggi/Sederajat
c. SMP/Sederajat
Sampai dengan kelas/tingkat ...................................
5. Pekerjaan : a. Wirausaha d. Pedagang
b. PNS/Swata e. Buruh
c. Petani f. ................................
81
6. Lamanya tinggal di lokasi : ...................................................tahun.
B. Faktor-Faktor Pengaruh Konversi Lahan
Tingkat Pendapatan
7. Jumlah anggota keluarga : ............................................................ orang
8. Jumlah tanggungan : .............................................................orang
9. Berapa jumlah anggota keluarga yang sudah bekerja?
10. Apakah anggota keluarga yang sudah bekerja ikut membantu dalam
memenuhi kebutuhan rumah tangga? A. Ya b. Tidak
11. Berapa total pendapatan rumah tangga dalam sebulan? Rp ................/bulan
12. Apakah ada hubungan dalam pendapatan dan alasan anda menjual lahan?
a. Ya, alasan ................................................................................................
b. Tidak, alasan ...........................................................................................
Lahan
13. Apakah status lahan yang dimiliki?
a. Sewa b. Milik c. Gadai
14. Berapa luas lahan yang dimiliki? ............(ha)
15. Apakah ada bagian dari lahan yang dikonversi? A. Ya b. Tidak
16. Berapa persentase lahan yang dikonversi dari lahan yang dimiliki?..........%
17. Berapa harga lahan per m2 saat anda menjual lahan anda? Rp ............../ m
2
18. Apakah harga jual rendah/ lebih tinggi dari harga yang diharapkan?
19. Berapa total pendapatan rumah tangga sebelum mengkonversi lahan? Rp ..
20. Apa alasan menjual lahan?
Hasil Panen
21. Sebelum terjadi konversi
N
o. Jenis Tanaman Hasil (kg/ha)
Harga
(Rp/kg)
1
.
2
.
82
22. Setelah terjadi konversi
N
o. Jenis Tanaman Hasil (kg/ha)
Harga
(Rp/kg)
1
.
23. Harga Benih : Rp....................../kg
24. Harga Pupuk : Rp....................../kg
25. Harga Tanah : Rp....................../m
26. Pengairan yang digunakan :
a. Tadah hujan b. Irigasi
27. Berapa jarak pengairan dengan lahan sawah ........................... km
28. Berapa harga setiap pengairan sawah? Rp ............../m3
Faktor Lainnya
29. Apakah ada dari tetangga yang memiliki lahan pertanian di sekitar lahan
yang mengkonversi lahan pertaniannya? A. Ya b. Tidak
30. Berapa orang?
31. Apakah ada pengusaha di bidang non pertanian yang mempengaruhi agar
mengkonversi lahan?
32. Apakah kebijakan pemerintah daerah mempengaruhi terjadinya konversi
lahan pertanian?
33. Apakah bentuk kebijakan pemerintah tersebut?
C. Kesejahteraan Keluarga Responden
N
No. Indikator Kesejahteraan Keterangan
3
1.
Pengeluaran konsumsi per
hari
a. <Rp 10.000 b. Rp 10.000 – 20.000 c. > Rp
20.000
3
2.
Dinding rumah a. Tembok b. Bambu/triplek
3
3.
Lantai rumah a. Tanah b. Semen/keramik
3
4. Perabotan (elektronik)
a. Televisi
b. Radio tape
c. Kulkas
d. Kipas angin
e. AC
f. Computer
g. Telepon
83
h. Telepon seluler
i. Parabola
j. Rice Cooker
k. Setrika
3
5.
Kendaraan a. Tidak punya b. Motor c. Mobil
3
6. Pendidikan anak
1. Anak pertama :
2. Anak kedua :
3. Anak ketiga :
4.
5.
Lampiran 2. Peta Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bogor
Sumber: Situs Resmi Kabupaten Bogor // www.bogorkab.go.id
85
Lampiran 4. Hasil Estimasi Regresi Linear Berganda : Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan Tingkat Wilayah
Dependent Variable: LN_LS
Method: Least Squares
Sample: 2002 2011
Included observations: 10
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
LN_KEPADATAN -0.107466 0.049982 -2.150102 0.0751
LN_PVS 0.237015 0.064389 3.680963 0.0103
LN_BANG -0.020011 0.043711 -0.457798 0.6632
C 11.38109 0.485085 23.46203 0.0000
R-squared 0.710233 Mean dependent var 10.79085
Adjusted R-squared 0.565350 S.D. dependent var 0.015187
S.E. of regression 0.010013 Akaike info criterion -6.080769
Sum squared resid 0.000602 Schwarz criterion -5.959735
Log likelihood 34.40385 Hannan-Quinn criter. -6.213543
F-statistic 4.902098 Durbin-Watson stat 2.334277
Prob(F-statistic) 0.047056
Variance Inflation Factors
Sample: 2002 2011
Included observations: 10
Coefficient Uncentered Centered
Variable Variance VIF VIF
LN_KEPADATAN 0.002498 13441.90 1.774828
LN_PVS 0.004146 1243.558 2.044927
LN_BANG 0.001911 21325.10 1.436319
C 0.235308 23471.56 NA
0
1
2
3
4
-0.015 -0.010 -0.005 0.000 0.005 0.010 0.015
Series: ResidualsSample 2002 2011Observations 10
Mean -4.09e-15Median -0.000926Maximum 0.012019Minimum -0.013511Std. Dev. 0.008175Skewness 0.037126Kurtosis 2.000196
Jarque-Bera 0.418801Probability 0.811070
86
Breusch-Godfrey Serial Correlation LM Test:
F-statistic 0.566801 Prob. F(2,4) 0.6071
Obs*R-squared 2.208201 Prob. Chi-Square(2) 0.3315
Test Equation:
Dependent Variable: RESID
Method: Least Squares
Sample: 2002 2011
Included observations: 10
Presample missing value lagged residuals set to zero.
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
LN_KEPADATAN 0.007674 0.054857 0.139896 0.8955
LN_PVS 0.005260 0.069877 0.075279 0.9436
LN_BANG -0.022568 0.052095 -0.433207 0.6872
C 0.172552 0.548958 0.314327 0.7690
RESID(-1) -0.430998 0.509685 -0.845617 0.4454
RESID(-2) -0.477614 0.536956 -0.889485 0.4240
R-squared 0.220820 Mean dependent var -4.09E-15
Adjusted R-squared -0.753155 S.D. dependent var 0.008175
S.E. of regression 0.010825 Akaike info criterion -5.930282
Sum squared resid 0.000469 Schwarz criterion -5.748731
Log likelihood 35.65141 Hannan-Quinn criter. -6.129443
F-statistic 0.226720 Durbin-Watson stat 2.024755
Prob(F-statistic) 0.932451
Heteroskedasticity Test: Breusch-Pagan-Godfrey
F-statistic 0.418048 Prob. F(3,6) 0.7467
Obs*R-squared 1.728866 Prob. Chi-Square(3) 0.6305
Scaled explained SS 0.311257 Prob. Chi-Square(3) 0.9579
Test Equation:
Dependent Variable: RESID^2
Method: Least Squares
Sample: 2002 2011
Included observations: 10
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 0.001884 0.003422 0.550678 0.6017
LN_KEPADATAN 2.72E-05 0.000353 0.077152 0.9410
LN_PVS -0.000239 0.000454 -0.525692 0.6180
87
LN_BANG -0.000152 0.000308 -0.493711 0.6391
R-squared 0.172887 Mean dependent var 6.02E-05
Adjusted R-squared -0.240670 S.D. dependent var 6.34E-05
S.E. of regression 7.06E-05 Akaike info criterion -15.98903
Sum squared resid 2.99E-08 Schwarz criterion -15.86800
Log likelihood 83.94517 Hannan-Quinn criter. -16.12181
F-statistic 0.418048 Durbin-Watson stat 1.595886
Prob(F-statistic) 0.746719
Heteroskedasticity Test: Glejser
F-statistic 0.324722 Prob. F(3,6) 0.8080
Obs*R-squared 1.396819 Prob. Chi-Square(3) 0.7063
Scaled explained SS 0.700310 Prob. Chi-Square(3) 0.8731
Test Equation:
Dependent Variable: ARESID
Method: Least Squares
Sample: 2002 2011
Included observations: 10
Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.
C 0.167747 0.247929 0.676594 0.5239
LN_KEPADATAN -0.003536 0.025546 -0.138420 0.8944
LN_PVS -0.008476 0.032910 -0.257558 0.8054
LN_BANG -0.011403 0.022341 -0.510425 0.6280
R-squared 0.139682 Mean dependent var 0.006472
Adjusted R-squared -0.290477 S.D. dependent var 0.004505
S.E. of regression 0.005117 Akaike info criterion -7.423132
Sum squared resid 0.000157 Schwarz criterion -7.302098
Log likelihood 41.11566 Hannan-Quinn criter. -7.555906
F-statistic 0.324722 Durbin-Watson stat 1.750500
Prob(F-statistic) 0.807978
Lampiran 5. Hasil Estimasi Regresi Logistik : Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Alih Fungsi Lahan di Tingkat Petani
Dependent Variable Encoding
Original Value Internal Value
Tidak Teralihfungsikan 0
Teralihfungsikan 1
88
Variables in the Equation
B S.E Wald df Sig Exp(B)
Step 1 Lama
Tinggal
,338 ,264 1,632 1 ,201 1,402
Lama Bertani -,291 ,293 ,987 1 ,321 ,748
Jumlah AK -1,291 ,573 5,071 1 ,024 ,275
Pendapatan ,049 ,032 2,357 1 ,125 1,050
Luas Lahan 2,686 1,322 4,132 1 ,042 14,680
Jumlah AK
Bekerja
,713 ,573 1,550 1 ,213 2,041
Constant -5,592 5,682 ,968 1 ,325 ,004
Model Summary
Step -2 Log
likelihood
Cox & Snell
R Square Nagelkerke R Square
1 26,523a ,495 ,688
Hosmer and Lemeshow Test
Step Chi-square df Sig.
1 2,810 7 ,902
Classification Tablea
Observed Predicted
Alih Fungsi
Percentage
Correct
Tidak Alih
Fungsi
Alih
Fungsi
Step 1 Alih
Fungsi
Tidak Alih Fungsi 11 4 73,3
Alih Fungsi 0 30 100,0
Overall Percentage 91,1
Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square df Sig.
Step 1 Step 30,763 6 ,000
Block 30,763 6 ,000
Model 30,763 6 ,000
89
Lampiran 6. Harga Gabah Kering Giling dan Harga Beras Eceran di
Provinsi Jawa Barat Tahun 2002-2011
Tahun Harga Gabah (Rp/Kg) Harga Beras (Rp/ Kg)
2002 1.519 3.240
2003 1.650 3.202
2004 1.700 2.974
2005 1.900 3.382
2006 2.350 4.621
2007 2.813 5.669
2008 3.047 5.095
2009 3.230 5.401
2010 3.642 5.996
2011 3.938 6.712 Sumber: Badan Pusat Statistika Provinsi Jawa Barat, berbagai Terbitan
Correlation Matrix
Constant
Lama
Tinggal
Lama
Bertani
Jumlah
AK
Penda
patan
Luas
Lahan
Jumlah AK
Bekerja
Step 1 Constant 1,000 -,832 ,658 -,126 ,025 -,505 ,285
Lama Tinggal -,832 1,000 -,954 -,211 ,130 ,583 -,033
Lama Bertani ,658 -,954 1,000 ,228 -,140 -,555 -,078
Jumlah AK -,126 -,211 ,228 1,000 -,626 -,277 -,480
Pendapatan ,025 ,130 -,140 -,626 1,000 ,101 ,039
LuasLahan -,505 ,583 -,555 -,277 ,101 1,000 -,070
Jumlah AK
Bekerja
,285 -,033 -,078 -,480 ,039 -,070 1,000
90
Lampiran 7. Total Pendapatan Petani Sebelum dan Sesudah Alih Fungsi Lahan
No Pendapatan sebelum Alih Fungsi lahan Pendapatan Sesudah Alih Fungsi Lahan
Usaha Tani Non Usaha Tani Total Pendapatan Usaha Tani Non Usaha Tani Total Pendapatan
1 Rp 736.433 Rp 579.458 Rp 1.500.000 Rp 736.433 Rp 2.263.567 Rp 3.000.000
2 Rp 686.333 Rp 4.142.083 Rp 5.000.000 Rp 686.333 Rp 5.313.667 Rp 6.000.000
3 Rp 326.467 Rp 1.591.917 Rp 2.000.000 Rp 326.467 Rp 2.673.533 Rp 3.000.000
4 Rp 686.333 Rp 1.142.083 Rp 2.000.000 Rp 686.333 Rp 2.313.667 Rp 3.000.000
5 Rp 686.333 Rp 142.083 Rp 1.000.000 Rp 686.333 Rp 813.667 Rp 1.500.000
6 Rp 600.542 Rp 2.142.083 Rp 3.000.000 Rp 600.542 Rp 3.399.458 Rp 4.000.000
7 Rp 139.000 Rp 3.826.250 Rp 4.000.000 Rp 139.000 Rp 4.861.000 Rp 5.000.000
8 Rp 473.000 Rp 3.408.750 Rp 4.000.000 Rp 473.000 Rp 4.527.000 Rp 5.000.000
9 Rp 732.667 Rp 2.084.167 Rp 3.000.000 Rp 732.667 Rp 3.267.333 Rp 4.000.000
10 Rp 359.867 Rp 550.167 Rp 1.000.000 Rp 359.867 Rp 890.133 Rp 1.250.000
11 Rp 1.014.417 Rp 550.833 Rp 2.000.000 Rp 1.014.417 Rp 1.485.583 Rp 2.500.000
12 Rp 139.000 Rp 826.250 Rp 1.000.000 Rp 139.000 Rp 1.361.000 Rp 1.500.000
13 Rp 1.038.667 Rp (298.333) Rp 1.000.000 Rp 1.038.667 Rp 961.333 Rp 2.000.000
14 Rp 92.667 Rp 1.384.167 Rp 1.500.000 Rp 92.667 Rp 1.907.333 Rp 2.000.000
15 Rp 348.833 Rp 1.501.667 Rp 2.000.000 Rp 348.833 Rp 2.151.167 Rp 2.500.000
16 Rp 539.800 Rp 1.325.250 Rp 2.000.000 Rp 539.800 Rp 2.460.200 Rp 3.000.000
17 Rp 139.000 Rp 3.826.250 Rp 4.000.000 Rp 139.000 Rp 5.861.000 Rp 6.000.000
18 Rp 2.426.400 Rp (2.033.000) Rp 1.000.000 Rp 2.426.400 Rp (426.400) Rp 2.000.000
19 Rp 652.933 Rp 1.183.833 Rp 2.000.000 Rp 652.933 Rp 3.347.067 Rp 4.000.000
20 Rp 473.000 Rp 1.408.750 Rp 2.000.000 Rp 473.000 Rp 2.527.000 Rp 3.000.000
21 Rp 989.917 Rp 85.833 Rp 1.500.000 Rp 989.917 Rp 1.010.083 Rp 2.000.000
91
22 Rp 598.000 Rp 2.003.333 Rp 3.000.000 Rp 598.000 Rp 3.402.000 Rp 4.000.000
23 Rp 1.753.000 Rp (691.250) Rp 1.500.000 Rp 1.753.000 Rp 747.000 Rp 2.500.000
24 Rp 832.867 Rp 958.917 Rp 2.000.000 Rp 832.867 Rp 4.167.133 Rp 5.000.000
25 Rp 1.372.667 Rp 784.167 Rp 2.500.000 Rp 1.372.667 Rp 2.127.333 Rp 3.500.000
26 Rp 308.292 Rp 1.559.583 Rp 2.000.000 Rp 308.292 Rp 2.191.708 Rp 2.500.000
27 Rp 1.054.958 Rp 2.492.917 Rp 4.000.000 Rp 1.054.958 Rp 4.945.042 Rp 6.000.000
28 Rp 359.867 Rp 550.167 Rp 1.000.000 Rp 359.867 Rp 1.140.133 Rp 1.500.000
29 Rp 92.667 Rp 884.167 Rp 1.000.000 Rp 92.667 Rp 1.407.333 Rp 1.500.000
30 Rp 629.767 Rp 100.333 Rp 1.000.000 Rp 629.767 Rp 870.233 Rp 1.500.000
31 Rp 173.000 Rp 253.000 Rp 460.833 Rp 173.000 Rp (253.000) Rp (80.000)
32 Rp 2.076.000 Rp 3.036.000 Rp 4.580.000 Rp 2.076.000 Rp (3.036.000) Rp (960.000)
33 Rp 865.000 Rp 1.265.000 Rp 1.804.167 Rp 865.000 Rp (1.265.000) Rp (400.000)
34 Rp 173.000 Rp 253.000 Rp 460.833 Rp 173.000 Rp (253.000) Rp (80.000)
35 Rp 519.000 Rp 759.000 Rp 1.132.500 Rp 519.000 Rp (759.000) Rp (240.000)
36 Rp 1.297.500 Rp 1.897.500 Rp 2.631.250 Rp 1.297.500 Rp (1.897.500) Rp (600.000)
37 Rp 346.000 Rp 506.000 Rp 546.667 Rp 346.000 Rp (506.000) Rp (160.000)
38 Rp 173.000 Rp 253.000 Rp 360.833 Rp 173.000 Rp (253.000) Rp (80.000)
39 Rp 346.000 Rp 506.000 Rp 521.667 Rp 346.000 Rp (506.000) Rp (160.000)
40 Rp 865.000 Rp 1.265.000 Rp 1.804.167 Rp 865.000 Rp (1.265.000) Rp (400.000)
41 Rp 173.000 Rp 253.000 Rp 460.833 Rp 173.000 Rp (253.000) Rp (80.000)
42 Rp 692.000 Rp 1.012.000 Rp 1.343.333 Rp 692.000 Rp (1.012.000) Rp (320.000)
43 Rp 692.000 Rp 1.012.000 Rp 1.093.333 Rp 692.000 Rp (1.012.000) Rp (320.000)
44 Rp 1.903.000 Rp 2.783.000 Rp 4.069.167 Rp 1.903.000 Rp (2.783.000) Rp (880.000)
45 Rp 519.000 Rp 759.000 Rp 1.132.500 Rp 519.000 Rp (759.000) Rp (240.000)
Total Rp 31.096.192 Rp 53.825.375 Rp 86.902.083 Rp 31.096.192 Rp 58.153.808 Rp 89.250.000
Rataan Rp 691.026 Rp 1.196.119 Rp 1.931.157 Rp 691.026 Rp 1.292.307 Rp 1.983.333
92
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 2 Januari 1992 sebagai anak
sulung dari pasangan Maliyanto dan Salbiah. Penulis merupakan putri pertama
dari tiga bersaudara. Penulis memulai pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri
03 Jakarta, lulus pada tahun 2003. Melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah
Pertama Negeri 95 Jakarta, lulus pada tahun 2006. Kemudian melanjutkan
pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri 13 Bogor, dan lulus tahun 2009.
Pada tahun 2009, penulis melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi
yaitu Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB
(USMI). Penulis diterima sebagai mahasiswa program studi mayor Ekonomi
Sumberdaya dan Lingkungan (ESL), Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM).
Selama menjadi mahasiswa, penulis juga aktif berorganisasi sebagai Sekretaris
Kementerian Badan Pengendali Internal BEM KM IPB 2012, Direktur Biro
Human Resources Development (HRD) BEM FEM Progresif 2011, Sekretaris
Departemen Politik dan Advokasi BEM FEM Sinergi 2010, dan Staf Departemen
Budaya Olahraga dan Seni BEM TPB 2009. Selain berorganisasi penulis juga
aktif mengikuti berbagai kegiatan pelatihan, seminar, konferensi serta kepanitiaan
baik di luar kampus maupun di dalam kampus. Saat ini penulis bergabung dalam
beberapa komunitas seperti Edukasi Gizi yaitu komunitas pemuda yang peduli
terhadap pangan dan gizi negeri serta Relawan Turun Tangan yaitu komunitas
anak muda peduli politik dan perkembangan negeri.
63