Post on 12-Jan-2016
description
MAKALAH AL ISLAM
TASAWUF
PEMBIMBING : Drs. H. Sumari M.Pd.
Disusun Oleh:
Kelompok 10
1. Fiki An-Najahah (1202011069)
2. M Faried Rahmaniar S (1202011076)
3. Nur Laela (1202011085)
4. Ririn Handayani P (1202011093)
5. Zudia Faizatin (1202011104)
PRODI S1 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKES)
MUHAMMADIYAH LAMONGAN
2014
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmatNya kepada kita
semua, terutama kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Tasawuf ” dengan tepat waktu.
Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, yang
telah membimbing semua umatnya dari zaman kebodohan menuju zaman yang dipenuhi
ilmu yang bermanfaat seperti sekarang ini.
Dengan selesainya makalah ini, penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada :
1. Bpk. Drs H.Budi Utomo,Amd.Kep.M.Kes, selaku ketua STIKES Muhammadiyah
Lamongan.
2. Bpk. Arifal Aris, S. Kep. Ns, selaku ketua prodi S1 Keperawatan STIKES
Muhammadiyah Lamongan
3. Bpk Drs. H. Sumari M.Pd., selaku pembimbing dan dosen mata kuliah Al Islam
Serta pihak yang telah memberikan masukan kepada kelompok 10
4. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.
Penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis membuka diri
untuk menerima berbagai masukan dan kritikan dari semua pihak.
Harapan penulis semoga makalah ini memenuhi tugas mata kuliah AL-ISLAM, dan
semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya
Wassalamu,alaikum Wr. Wb
Lamongan, Mei 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL...................................................................................................................i
KATA PENGANTAR..............................................................................................................iii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................iv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang..........................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan......................................................................................................2
1.3 Manfaat.....................................................................................................................3
BAB II TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi Tasawuf.......................................................................................
2.2 Landasan dan Mofivasi lahirnya Tasawuf....................................................
2.3 Pokok-pokok Ajaran Tasawuf................................................................
2.4 Maqamat dan Ahwal...........................................................................
2.5 Tokoh-tokoh Tasawuf.......................................................................
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan..................................................................................
3.2 Saran.................................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Islam sebagaimana dijumpai dalam sejarah, ternyata tidak sesempit seperti yang
dipahami oleh masyarakat Islam sendiri pada umumnya. Dalam sejarah terlihat bahwa Islam
yang bersumber kepada Al-Qur’an dan AS-Sunnah dapat berhubungan dengan pertumbuhan
masyarakat luas. Dari persentuhan tersebut lahirlah berbagai disiplin ilmu keislaman, salah
satunya adalah tasawuf.
Bagi umat Islam umumnya dan kaum cendekiawan khususnya, adalah panggilan sejarah
untuk terus mengembangkan dan menggali warisan intelektual mereka.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa definisi dari tasawuf?
2. Apa landasan dan motivasi lahirnya tasawuf?
3. Apakah pokok-pokok ajaran tasawuf, dan tujuannya?
4. Apakah maqam dan hal itu?
5. Siapakah tokoh- tokoh tasawuf?
C. TUJUAN PENULISAN
1. Mengetahui definisi dari tasawuf.
2. Mengetahui landasan dan motivasi lahirnya tasawuf
3. Mengetahui pokok-pokok ajaran tasawuf dan tujuannya
4. Mengetahui maqam dan hal
5. Mengetahui tokoh-tokoh tasauf.
D. MANFAAAT PENULISAN
Setelah menyelesaikan makalah ini diharapkan bagi penulis dan pembaca
dapat meningkatkan pengetahuan dan wawasan tentang tasawuf agar dapat selalu
berusaha untuk selalu bersih dihadapan Tuhannya.
BAB II
TINJAUAN TEORI
1.1. Definisi Tasawuf
Secara bahasa tasawuf diartikan sebagai sufisme (bahasa arab) adalah ilmu
untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernikan akhlak, membangun
dhahir dan batin, untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi. Tasawuf pada awalnya
merupakan gerakan zuhud atau menjauhi hal duniawi dalam islam, dan dalam
perkembangannya melahirkn tradisi mistisme islam .
Kata tasawuf diambil dari kata shafa yang berarti bersih. Dinamakan shufi
karena hatinya tulus dan bersih di hadapan Tuhannya. Teori lain mengatakan bahwa
kata tersebut diambil dari kata Shuffah yang berarti serambi Masjid Nabawi di
Madinah yang ditempati oleh sahabat-sahabat Nabi yang miskin dari golongan
Muhajirin. Mereka disebut ahl as-shuffah yang sungguh pun miskin namun berhati
mulia dan memang sifat tidak mementingkan kepentingan dunia dan berhati mulia
adalah sifat-sifat kaum sufi/ teori lainnya menegaskan bahwa kata sufi diambil dari
kata suf yaitu kain yang dibuat dari bulu atau wool, dan kaum sufi memilih memakai
wool yang kasar sebagai simbol kesederhanaan.
Dari berbagai teori di atas, tampak bisa dipahami bahwa sufi dapat
dihubungkan dengan dua aspek, yaitu aspek lahiriyah dan bathiniyah. Teori yang
menghubungkan orang yang menjalani kehidupan tasawuf dengan orang yang berada
di serambi masjid dan bulu domba merupakan tinjauan aspek lahiriyah dari shufi. Ia
dianggap sebagai orang yang telah meninggalkan dunia dan hasrat jasmani, dan
menggunakan benda-benda di dunia hanya untuk sekedar menghindarkan diri dari
kepanasan, kedinginan dan kelaparan. Sedangkan teori yang melihat sufi sebagai
orang yang mendapat keistimewaan di hadapan Tuhan nampak lebih memberatkan
pada aspek bathiniyah.
Tasawuf sebagaimana disebutkan dalam artinya di atas bertujuan untuk
memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan, sehingga disadari benar
bahwa seseorang berada di hadirat Tuhan, dan intisari dari sufisme itu adalah
kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog antara roh manusia dan Tuhan dengan
cara mengasingkan diri dan berkontemplasi. Kesadaran berada dekat dengan Tuhan
itu dapat mengambil bentuk ittihad atau menyatu dengan Tuhan.
Dalam ajaran tasawuf, seorang sufi tidak begitu saja dapat berada dekat
dengan Tuhan, melainkan terlebih dahulu ia harus menempuh latihan tertentu. Ia
misalnya harus menempuh beberapa maqam (stasiun), yaitu disiplin kerohanian yang
ditujukan oleh seorang calon sufi dalam bentuk berbagai pengalaman yang dirasakan
dan diperoleh melalui usaha-usaha tertentu.
Mengenai jumlah maqamat yang harus ditempuh oleh para sufi berbeda-beda
sesuai dengan pengalaman pribadi yang bersangkutan. Abu Bakar Muhammad al-
Kalabadzi misalnya, mengemukakan beberapa mawamat, yaitu : taubat, zuhud, sabar,
al-faqr, al-tawadlu’, taqwa, tawakkal, al-ridla, al-mahabbah, al-ma’rifat dan kerelaan
hati.
1.2. Landasan dan Motivasi Lahirnya Tasawuf
Banyakpendapata yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari luar yang
masuk ke dalam Islam. Sebagian penulis misalnya ada yang berpendapat bahwa
tasawuf berasal dari kebiasaan rahib-rahib Kristen yang menjauhi dunia dan
kesenangan material. Ada pula yang mengatakan bahwa tasawuf timbul atas pengaruh
ajaran Hindu dan disebutkan pula bahwa ajaran tasawuf berasal dari filsafat
Phytagoras dengan ajaran-ajarannya yang meninggalkan kehidupan material dan
memasuki kehidupan kontemplasi. Dikatakan pula bahwa tasawuf masuk ke dalam
Islam karena pengaruh filsafat Plotinus. Disebutkan bahwa menurut filsafat emanasi
Plotinus bahwa roh memancar dari zat Tuhan dan kemudian akan kembali kepada-
Nya. Tetapi dengan masuknya roh ke alam materi, ia menjadi kotor, dan untuk dapat
kembali ke tempat Yang Maha Suci, terlebih dahulu ia harus disucikan. Tuhan Maha
Suci dan Yang Maha Suci tidak dapat didekati kecuali oleh yang suci, dan pensucian
roh ini terjadi dengan meninggalkan hidup kematerian, dan dengan mendekatkan diri
kepada Tuhan sedekat mungkin dan kalau bisa hendaknya bersatu dengan Tuhan
semasih berada dalam hidup ini.
Namun demikian, terlepas atau tidak adanya pengaruh dari luar itu, yang jelas bahwa
dalam sumber ajaran Islam, Al-Qur’an dan hadits terdapat ajaran yang dapat
membawa kepada timbulnya tasawuf. Paham bahwa Tuhan dekat dengan manusia,
yang merupakan ajaran dalam mistisisme ternyata ada di dalam Al-Qur’an dan hadits.
Ayat 186 Surat Al-Baqarah misalnya menyatakan :
�ذ�اد�ع�ان� ا الداع� د�ع�و�ة� �ب� �ج�ي ا �ب� ي ق�ر� �نـي� ف�ا �ي� ع�ن �اد�ى ب ع� �لك� ا س� �ذ�ى و�ا
Artinya :
“Jika hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang diri-Ku. Aku adalah dekat. Aku
mengabulkan seruan orang memanggil jika ia panggil Aku” (QS. Al-Baqarah : 186)
Kata دعا yang terdapat dalam ayat di atas oleh sufi diartikan bukan berdoa dalam arti
yang lazim dipakai, melainkan dengan arti berseru atau memanggil. Tuhan mereka
panggil dan Tuhan memperhatikan diri-Nya kepada mereka.
Ayat 115 juga Surat Al-Baqarah juga menyatakan :
الله و�ج�ه� ف�ثم لو'ا �تو� �م�ا �ن ف�اي و�المغ�ر�ب� ر�ق� الم�ش� و�لله
“Timur dan Barat kepunyaan Allah, maka kemana saja kamu berpaling di situ
(kamu jumpai) wajah Tuhan”.
Bagi kaum sufi ayat ini mengandung arti bahwa di mana saja Tuhan ada dan
dapat dijumpai. Selanjutnya dalam hadits dinyatakan :
ع�ر�ف الله ف�ق�د� ه� نـف�س� ف� ع�ر� م�ن�
“Siapa yang kenal pada dirinya, pasti kenal kepada Tuhan”
Hadits lain juga mempunyai pengaruh kepada timbulnya paham tasawuf
adalah hadits qudsi yang artinya :
“Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin kenal, maka
Kuciptakanlah makhluk dan mereka pun kenal pada-Ku melalui diri-Ku”
Menurut hadits ini, bahwa Tuhan dapat dikenal melalui makhluk-Nya, dan
pengetahuan yang lebih tinggi ialah mengetahui Tuhan melalui diri-Nya.
Tahanuts yang dilakukan Nabi Muhammad Saw di Gua Hira merupakan
cahaya pertama dan utama bagi nur tasawuf, karena itulah benih pertama bagi
kehidupan rohaniah. Di dalam mengingat Allah serta memuja-Nya di Gua Hira,
putuslah ingatan dan tali rasa beliau dengan segala makhluk lainnya. Di situ pula
berawalnya Nabi Muhammad mendapat hidayah, membersihkan diri dan mensucikan
jiwa dari noda-noda penyakit yang menghinggapi sukma, bahkan sewaktu itu pulalah
berpuncaknya kebesaran, kesempurnaan, dan kemuliaan jiwa Muhammad Saw. dan
membedakan beliau dari kebiasaan hidup manusia biasa.
Fakta sejarah menunjukkan bahwa selama hayatnya, segenap peri kehidupan
beliau menjadi tumpuan masyarakat, karena segala sifat terpuji terhimpun pada
dirinya, bahkan beliau merupakan lautan budi yang tidak pernah kering airnya
kendatipun diminum oleh semua makhluk yang memerlukan air. Amal ibadah beliau
tiada tara bandingannya. Dalam sehari semalam Rasulullah minimal membaca
istighfar minimal 70 kali, shalat fardhu, rawatib serta shalat dhuha yang tidak kurang
dari delapan rakaat setiap hari. Shalat tahajjud beliau tidak lebih dari sebelas rakaat,
dan lama sujudnya sama dengan lamanya sahabat membaca lima puluh ayat. Shalat
beliau yang khusuk dan tuma’ninah amat sempurna. Dalam berdoa, perasaan khauf
dan raja’ selalu dinampakkan Rasulullah dengan tangis dan sedu sedannya.
Masih banyak lagi amalan Rasulullah yang menunjukkan ketasawufannya.
Apa yang dikemukakan di atas dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa amalan
tasawuf ternyata sudah dipraktekkan oleh Rasulullah Saw.
Pola hidup dan kehidupan Rasulullah yang sangat ideal itu menjadi suri
tauladan bagi para sahabatnya, baik bagi sahabat dekat maupun sahabat yang jauh.
Tumpuan perhatian mereka senantiasa ditujukan untuk mengetahui segala sifat, sikap
dan tindakan Rasulullah, sehingga para sahabat tersebut dapat pula memantulkan
cahaya yang mereka terima kepada orang yang ada di sekitarnya dan generasi
selanjutnya. Amalan tasawuf sebagaimana dipraktekkan oleh Rasulullah itu juga
diikuti oleh para sahabatnya.
Abu Bakar Ash-Shiddieq misalnya, pernah hidup dengan sehelai kain saja.
Dalam beribadat kepada Allah Swt. karena khusu dan tawadhu’nya sampai dari
mulutnya tercium bau limpanya, karena terbakar oleh rasa takut kepada Allah. Pada
malam hari ia beribadat dengan membaca Al-Qur’an sepanjang malam.
Umar bin Khattab dikenal dengan keadilan dan amanahnya yang luar biasa. Ia
pernah berpidato di hadapan orang banyak, sedangkan di dalam pakaiannya terdapat
dua belas tambalan dan dia tidak memiliki kain yang lainnya. Usman bin Affan
dikenal sebagai orang yang tekun beribadah dan pemalu, dan meskipun ia juga
dikenal sebagai seorang sahabat yang tekun mencari rezeki, tetapi iapun terkenal
sebagai pemurah, sehingga tidak sedikit kekayaannya digunakan untuk menolong
perjuangan Islam. Sahabat selanjutnya adalah Ali bin Abi Thalib yang tidak peduli
terhadap pakaiannya yang robek dan menjahitnya sendiri.
1.3. Pokok-pokok ajaran Tasawuf
Tasawuf itu bersumber pada Al-Qur’an dan Al-Hadits. Banyak ayat Al-Qur’an
dan Al-Hadits Nabi SAW. berbicara tentang hubungan antara Allah dengan hamba-
Nya manusia. Di dalam makalah ini hanya membahas tentang Ajaran Pokok Tasawuf
yang mempunyai lima pembahasan saja yang kami ketahui, yaitu Zuhud, Al
mahabbah, Al ma’rifah, Al Fana’ dan Al Baqa’, dan Al Ittihad. Tujuan sebenarnya
dari sufi ialah berada sedekat mungkin dengan Tuhan sehingga tercapainya persatuan.
1.3.1. ZUHUD
Secara etimologis, zuhud berarti ragaba ‘ansyai’in wa tarakahu, artinya tidak
tertarik terhadap sesuatu dan meninggalkannya. Zahada fi al-dunya, berarti
mengosongkan diri dari kesenangan dunia untuk ibadah. Orang yang melakukan
Zuhud itu disebut zahid, zuhhad atau zahidun. Zahidah jamaknya zuhdan, artinya
kecil atau sedikit.
Berbicara tentang arti zuhud secara terminologis, maka tidak bisa dilepaskan
dari dua hal. Pertama, zuhud sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari tasawuf.
Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam dan gerakan protes. Apabila tasawuf
diartikan adanya kesadaran dan komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan
sebagai perwujudan ihsan, maka zuhud merupakan suatu stasuin (maqam) menuju
tercapainya “ perjumpaan” atau ma’rifat kepada-Nya. Dalam posisi ini menurut A.
Mukti Ali, zuhud berarti menghindar dari berkehendak terhadap hal-hal yang bersifat
duniawi atau ma siwa Allah.
Al-Junaidi mengatakan bahwa zuhud ialah “kosongnya tangan dari pemilikan
dan kosongnya hati dari pencarian (mencari sesuatu)”. Demikian pula Ruwaim ibn
Ahmad mengatakan bahwa zuhud ialah menghilangkan bagian jiwa dari dunia, baik
berupa pujian dan sanjungan, maupun posisi dan kedududkan di sisi manusia.
Zuhud di sini berupaya menjauhkan diri dari kelezatan dunia dan mengingkari
kelezatan itu meskipun halal, dengan jalan berpuasa yang kadang-kadang
pelaksanaannya melebihi apa yang ditentukan oleh agama. Semuanya itu
dimaksudkan demi meraih keuntungan akhirat dan tercapainya tujuan tasawuf, yakni
rida, bertemu dan ma’rifat Allah SWT.
Di sini zuhud berarti tidak merasa bangga atas kemewahan dunia yang telah
ada di tangan, dan tidak merasa bersedih karena hilangnya kemewahan itu dari
tangannya. Bagi Abu al-Wafa al-Taftazani, zuhud ini bukanlah kependetaan atau
terputusnya kehidupan duniawi, akan tetapi merupakan hikmah pemahaman yang
membuat seseorang memiliki pandangan khusus terhadap kehidupan duniawi itu.
Perbedaaan antara zuhud sebagai maqam dengan zuhud sebagai moral
(akhlak) Islam dan gerakan protes ialah:
Yang pertama melakukan zuhud dengan tujuan bertemu Allah SWT dan ma’rifat
kepada-Nya, dunia dipandang sebagai hijab antara dia dengan Tuhan, sedangkan yang
kedua hanya sebagai sikap mengambil jarak dengan dunia dalam rangka menghias diri
dengan sifat-sifat terpuji, karena disadari bahwa cinta dunia merupakan pangkal
kejelakan (ra’su kulli khafi’ah).
Yang pertama bersifat individual sedangkan yang kedua bersifat individual dan
sosial, dan sering dipergunakan sebagai gerakan protes terhadap ketimpangan sosial.
Yang pertama formulasinya bersifat normatif, doktrinal, dan ahistoris, sedangkan
yang kedua formulasinya bisa diberi makna kontekstual dan historis.
Klasifikasi arti zuhud ke dalam dua pengertian tersebut sejalan dengan makna
ihsan. Yang pertama berarti ibadah kepada Allah seakan-akan melihat-Nya, dan
zuhud sebagai salah satu maqam menuju ke sana. Dan yang kedua, arti dasar ihsan
ialah berbuat baik.
Harun Nasution mencatat ada limapendapat tentang asal usulzuhud. Pertama,
dipengaruhi oleh cara hidup rahib-rahib Kristen. Kedua, dipengaruhi oleh Pythagoras
yang mengharuskan meninggalkan kehidupan materi dalam rangka membersihkan
roh. Ajaran meninggalkan dunia dan pergi berkontemplasi inilah yang mempengaruhi
timbulnya zuhud dan sufisme dalam Islam. Ketiga, dipengaruhi oleh ajaran Plotinus
yang menyatakan bahwa dalam rangka penyucian roh yang telah kotor, sehingga bisa
menyatu dengan Tuhan harus meniggalkan dunia. Keempat, pengaruh Budha dengan
paham nirwananya, bahwa untuk mencapainya orang harus meninggalkan dunia dan
memasuki hidup kontemplasi. Kelima, pengaruh ajaran Hindu yang juga mendorong
manusai meninggalkan dunia dan mendekatkan diri kepada Tuhan untuk mencapai
persatuan Atman dengan Brahmana.
1.3.2. AL MAHABBAH
Al-Junaidi berkata: “Cinta adalah kecenderungan hati,” berarti bahwa hati
cenderungkepada Tuhan dan apa yang berhubungan dengan Tuhan, tanpa dipaksa.
Yang lain berkata: cinta adalah penyesuaian,” yaitu kepatuhan terhadap apa yang
diperintahkan oleh Tuhan, menjauhkan diri dari apa yang dilarang oleh Tuahn, dan
puas dengan apa yang ditetapkan dan diatur oleh-Nya. Muhammad ibn Ali al-Kattani
berkata: “Cinta berarti lebih menyukai Kekasihnya.” Yang lain berkata: “Cinta berarti
lebih menyukai apa yang dicintai untuk orang yang dicintainya.” Abu Abdillah al-
Nibaji berkata: ”Cinta adalah kesenangan jika itu ditunjukan kepada makhluk, dan
pembinasaan jika itu ditunjukan kepada Pencipta. Salah seorang tokoh Sufi berkata:
Cinta adalah suatu kesenangan, dan dengan Tuhan tidak ada kesenangan; sebab
keadaan-keadaan hakikat itu merupakan kekagetan, penyerahan dan kebingungan.
Cinta manusia kepada Tuhan adalah suatu pemujaan yang bersemayam di dalam hati,
dan penafian cinta kepada sesuatu selain Tuhan. Cinta Tuhan kepada manusia adalah
bahwa Dia menyusahkannya, dan membuatnya tidak layak untuk apa pun kecuali
untuk Dia.
Cinta manusia kepad Allah adalah merupakan keagungan yang bertempat di
hatinya, maka hati manusia tidak akan merasa tenang apabila mengagungkan selain
Allah; dan cinta Allah kepada manusia iyalah bahwa Dia akan membebani hamba-
Nya sehingga tidak patut bagi selainnya.
Seorang pemimpin sufi berkata: “Cinta itu ada dua macam: Pertama, cinta
yang hanya dalam pengakuan saja, cinta yang demikian berada pada setiap menusia.
Kedua, cinta yang dihayati dan diresapi dalam hati karena keluar dari lubuk hati, cinta
demikian akan membawa pengorbanan dengan tidak melihat kepentingan/keuntungan
yang akan didapat baik oleh diri orang itu sendiri atau untuk selainnya, cinta yang
demikian adalah cinta cinta yang benar-benar dan semata-mata hanya dari dan untuk
Allah.
1.3.3. AL MA’RIFAH
Al Ma’rifah artinya pengenalan atau mengenal Ilmu Ketuhanan dalam Islam
adakalanya juga disebut “ilmu Ma’rifah”, karena ilmu ini membahas hal pengenalan
kepada Allah (ma’rifatullah) antara lain mengenal sifat-sifat-Nya yang wajib, dan
juga jaiz, demikian juga sifat-sifat mustahil bagi-Nya dan lain-lain ma’rifah yang
diperintahkan Allah untuk dipercayai.
Al Mahabbah senantiasa didampingi oleh al-ma’rifah. Al-Mahabbah dan al-
Ma’rifah merupakan kembar dua yang selalu disebut bersama. Keduanya
menggambarkan hubungan rapat yang ada antara sufi dan Tuhan. Yang pertama
menggambarkan rasa cinta dan yang kedua menggambarkan keadaan mengetahui
Tuhan dengan hati sanubari. Al-ma’rifah tidak sama dengan al-‘ilm. Kalau al-
ma’rifah diperoleh dengan hati nurani, al-‘ilm diperoleh dengan akal. Al-ma’rifah
dimiliki hanya oleh kaum sufi. Al-ma’rifah tidak diperoleh begitu saja tetapi
bergantung pad rahmat Tuhan. Untuk memperoleh itu hati seorang sufi harus dibuka
Tuhan dan tabir yang ada antara sufi dan Tuhan harus dihilangkan terlebih dahulu.
Dalam al-ma’rifah sufi telah berhadap-hadapan dengan Tuhan. Dengan lain kata sufi
telah melihat Tuhan dengan hati nuraninya.
Sufi yang dikatakan pertama membawa paham al-ma’rifah adalah Zunnun Al-
Misri. Sebagai dapat dilihat dari namanya Zunnun berasal dari Mesir. Ia lahir di Mesir
Selatan; tanggal lahirnya kurang diketahui, tetapi ia meninggal pada tahun 859 M.
Selain dari sufi ia menurut riwayatnya juga ahli ilmu pengetahuan dan filsafat.
Dikatakan bahwa ia juga dapat membaca huruf hieroglif yang ditinggalkan zaman
Fir’aun di Mesir.
Al-ma’rifah, kata Zunnun adalah cahaya yang dilontarkan Tuhan ke dalam hati
sufi. “Orang yang tahu Tuhan tidak mempunyai wujud tersendiri tetapi berwujud
melalui wujud Tuhan”.
Tasawuf dalam bentuk al-ma’rifah serupa ini diterima oleh Al-Ghazali dan
atas pengaruh Al-Ghazali selanjutnya dapat pula diterima dan diakui oleh Ahli
Sunnah dan Jama’ah. Dapat dikatakan bahwa atas pengaruh Al-Ghazalilah maka
tasawuf dapat berkembang di dunia Islam yang menganut Ahli Sunnah.
Dengan sampainya seorang sufi ke tingkat al-ma’rifah, ia pada hakikatnya
telah dekat benar dengan Tuhan. Untuk berpindah dari tingkat berhadap-hadapan
dengan Tuhan ke tingkat bersatu dengan Tuhan diperlukan satu langkah saja.
1.3.4. AL FANA’ dan AL BAQA’
Sebelum dapat mencapai tingkat al-ittihad, sufi harus terlebih dahulu
mencapai al-fana’. Al-fana’ senantiasa diikuti oleh al-baqa’. Al-fana’ ialah
penghancuran dari sedangkan al-baqa’ merupakan kelanjutan wujud. Sebagai halnya
dengan al-ma’rifah dan al-mahabbah, al-fana’ dan al-baqa’ juga merupakan kembar
dua.
Yang dimaksud dengan al-fana’ ialah penghancuran perasaan atau kesadaran
seorang tentang dirinya dan tentang makhluk lain di sekitarnya. Sebenarnya dirinya
tetap ada dan demikian juga makhluk lain tetap ada, tetapi ia tidak sabar lagi tentang
wujud mereka bahkan juga tentang wujud dirinya sendiri. Di ketika itulah ia sampai
kepada al-baqa’ atau kelanjutan wujud dalam diri Tuhan. Di situ pulalah tercapainya
al-ittihad.
Di dalam pendapat lain, al-fana’ ialah hilangnya semua keinginan hawa nafsu
seseorang, tidak ada pamrih (kepentingan) dari segala perbuatan manusia, sehingga ia
kehilangan segala perasaannya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar dan ia
telah menghilangkan semua kepentingannya dalam ia berbuat sesuatu.
Dan al-baqa’ yang ada pada sufi, ialah hilangnya segala sesuatu yang ada
pada dirinya dan menetapkan (mengekalkan) apa-apa yang bagi Allah.
Seorang pemimpin sufi berkata: “al-baqa’ itu merupakan tingkatan spritual
yang ada pada para nabi, mereka bersifat tenang, apa-apa yang menimpa diri mereka
tidak dapat mencegah mereka dari kesibukan melaksanakan kewajiban-kewajiban
mereka kepada Tuhan dan tidak dapat mencegah anugerah Allah yang diberikan
kepada mereka.”
Sufi pertama yang membawa falsafat ini adalah Abu Yazid Al-Bustami. Ia
lahir di Bistam di Persia pada tahun 874 M dan meninggal dalam usia 73 tahun.
Kelihatannya ia mempunyai istri, tetapi tak dapat diketahui perincian selanjutnya dari
hidup perkawinannya ibunya juga merupakan seorang zahid dan Abu Yahid amat
patuh padanya. Sungguhpun orang tuanya adalah sa;ah satu pemuka masyarakat yang
berada di Bistam, Abu Yazid memilih kehidupan sederhana dan menaruh kasih
sayang serta kasih pada fakir miskin. Ia jarang keluar dari Bistam dan ketika
kepadanya dikatakan bahwa orang yang mencari hakikat selalu berpindah dari satu
tempat ke tempat lain, ia menjawab: “Temanku (maksudnya Tuhan) tidak pernah
bepergian dan oleh karena itu akupun tidak bergerak dari sini”. Sebagian besar dari
waktunya ia pergunakan untuk beribadat dan memuja Tuhan.
1.3.5. AL ITTIHAD
Dengan tercapainya al-fana’ dan al-baqa’ itu sampailah Abu Yazid kepada al-
ittihad. Dalam tingkat ini seorang sufi merasa dirinya telah bersatu dengan Tuhan.
Yang mencintai dan yang dicintai telah menjad satu. Identitas yang mencintai telah
hilang. Identitas telah menjadi satu. Sufi bersangkutan karena fananya telah tak
mempunyai kesadaran lagi dan berbicara dengan nama Tuhan. Di dalam al-ittihad
yang disadari hanya satu wujud sungguhpun sebenarnya ada dua wujud. Yang
disadari hanyalah wujud Tuhan.
Penyatuan berarti pemisahan dari segala sesuatu yang selain Tuhan, dalam hati
tidak melihat dalam arti memuja apa-apa kecuali Tuhan dan tidak mendengar apa-apa
kecuali firman Tuhan. Al-Nuri berkata: “Penyatuan adalah pengungkapan hati dan
perenungan kesadaran.” Pengungkapan hati itu dilukiskan dalam kata-kata Haritsah:
“Seolah-olah saya melihat Singgasana Tuhan saya tampil,” sedangkan perenungan
(dari ) kesadaran itu ditunjukan dalam perkataan Nabi: “Pujalah Tuhan seolah-olah
engkau melihat-Nya,” dan perkataan Ibn Umar: “Kami melihat Tuhan itu.” Yang lain
berkata: “Penyatuan terjadi ketika kesadaran datang dalam keadaan alpa,” yang
berarti bahwa pemujaan kepada Tuhan itu mengacaukan pemujaan kepada segala
sesuatu yang lain. Salah seorang tokoh besar Sufi berkata: “Penyatuan adalah ketika
hamba itu tidak bersaksi atas apa pun kecuali Penciptanya dan ketika tak ada
pemikiran apa pun kecuali mengenai Pembuat dirinya.” Sahl berkat: “Mereka
digerakkan oleh kesusahan karena itu mereka berada dalam kekacauan. Kalau mereka
sedang tenag, maka mereka pasti telah mencapai penyatuan.
1.4. Maqamat dan Ahwal
1.4.1.MAQAMAT
Maqamat secara harfiah berasal dari bahasa arab yang berarti “tempat orang
berdiri” atau pangkal mulia. Istilah ini selanjutnya diartikan sebagai “jalan panjang
yang harus ditempuh oleh seorang sufi untuk mendekatkan kepada Allah”. Dalam
bahasa inggris, maqamat dikenal dengan istilah stages yang berarti “tangga”.
Tentang beberapa jumlah tangga atau maqamat yang harus ditempuh oleh seorang sufi
menuju Tuhan, yang telah disepakati oleh para sufi yaitu al-zuhud, al-taubah, al-
wara’, al-faqr, al-shabr, al-tawakal, dan al-ridha.
1. Al-Zuhud
Kata al-zuhud secara harfiah berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat
keduniawian. Menurut Imam al-Ghazali “mengurangi keinginan kepada dunia dan
menjauh darinya dengan penuh kesadaran”. Adapula yang mendefenisikannya dengan
makna “berpalingnya hati dari kesenangan dunia dan tidak menginginkannya”. Dalam
perspektif tasawuf, zuhud diartikan dengan kebencian hati terhadap hal ihwal
keduniaan padahal terdapat kesempatan untuk meraihnya hanya karena semata-mata
taat dan mengharapkan ridha Allah SWT.
2. Al-Taubah
Secara bahasa, kata al-taubah berasal dari bahasa Arab yang berarti
“kembali”. Sedangkan taubat yang dimaksud oleh kalangan para sufi adalah
memohon ampun atas segala dosa dan kesalahan yang kita lakukan disertai janji yang
sungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut dan dibuktikan
dengan melakukan amal kebajikan. Menurut Harun Nasution, yang dimaksud taubat
oleh para sufi ialah taubat yang sebenar-benarnya, yaitu taubat yang disertai tekad
untuk tidak melakukan dosa lagi. Taubat yang sesungguhnya sebaiknya tidak
dilakukan hanya satu kali saja.
Dalam Al-Quran banyak dijumpai ayat yang menganjurkan manusia agar bertaubat,
diantaranya:
“Dan, bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman,
supayak amu beruntung.”
3. Al-Wara’
Kata al-wara’ secara bahasa berarti ”saleh”, menjauhkan diri dari perbuatan
dosa. Kata ini selanjutnya mengandung arti menjauhi hal-hal yang tidak baik. Dalam
pengertian sufi, al-wara adalah meninggalkan segala sesuatu yang didalamnya
terdapat keragu-raguan antara halal dan haram (syubhat).
4. Al-Faqr
Al –faqr atau “fakir’ secara bahasa biasanya diartikan sebagai orang yang
berhajat, butuh atau “orang miskin”. Sedangkan dalam pandangan sufi fakir adalah
tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita serta tidak meminta rejeki
kecuali sekedar untuk menjalankan kewajiban-kewajiban. Fakir juga bisa diartikan
sebagai “tidak meminta, sungguh pun tak ada pada diri kita, kalau diberi kita terima”.
Artinya, tidak meminta tetapi juga tidak menolak.
5. Al-Shabr
Kata al-shabr atau “sabar” secara bahasa berarti tabah hati. Menurut Dzu al-
Nun al-Mishri, sabar berarti menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan
kehendak Allah, tetapi tenang ketika seseorang mendapatkan dan menampakkan sikap
cukup walaupun sebenarnya dalam kefakiran (ekonomi). Selanjutnya, Ibn Atha
mengatakan sabar artinya tetap tabah dalam menghadapi cobaan dengan sikap yang
baik.
Di kalangan para sufi, al-shabr diartikan sebagai sabar dalam menjalankan
perintah-perintah Allah dan menjauhi segala larangan-larangan Allah, juga sabar
dalam menerima segala cobaan yang ditimpakan oleh Allah kepada kita. Sabar dalam
menunggu datangnya pertolongan Allah, sabar dalam menjalani cobaan dan tidak
menunggu-nunggu datangnya pertolongan.
Sikap sabar sangat dianjurkan oleh Al-quran. Allah swt berfirman:
“Bersikap sabarlah sebagaimana para rasul yang berjiwa teguh. Jangan tergesa-
gesa menghadapi mereka”.
6. Al-Tawakal
Kata al-tawakal atau “tawakal” secara bahasa berarti menyerahkan diri.
Menurut Hamdun al-Qashshar mengatakan, tawakal adalah berpegang teguh kepada
Dzat Allah. Harun Nasution mengatakan bahwa tawakal adalah menyerahkan diri
kepada takdir dan keputusan Allah. Seseorang yang bersikap tawakal selamanya
dalam keadaan tentram, jika mendapat anugerah dia berterima kasih, dan jika dia
mendapat musibah dia selalu sabar dan pasrah kepada takdir Allah. Seseorang yang
bertawakal tidak memikirkan hari esok, cukup dengan apa yang ada untuk hari ini.
Allah berfirman:
“Dan hanya kepada Allahlah orang-orang yang beriman bertawakal”.
7. Al-Ridha
Kata al-ridha atau “ridha” secara bahasa berarti rela, suka, dan senang. Harun
Nasution mengatakan ridha berarti tidak berusaha menentang qadha dan qadar
Tuhan. Seseorang bersikap ridha akan menerima qadha dan qadar dengan hati yang
senang. Dia mampu menghilangkan kebencian dari hati sehingga yang tinggal
dalamnya hanya perasaan senang dan gembira, dia merasa senang menerima
malapetaka sebagaimana merasa senang menerima nikmat. Dia tidak berusaha
sebelum turunnya qadha dan qadar, dan tidak merasa pahit dan sakit sesudah
turunnya qadha dan qadar. Seseorang yang bersikap ridha justru perasaan cintanya
bergelora di waktu menerima bala’ (cobaan yang berat).
Biasanya manusia merasa sukar menerima keadaan “buruk” yang menimpa
dirinya, seperti kemiskinan, kerugian, kehilangan barang, kehilangan pangkat dan
kedudukan, kematian dan lain-lain, yang dapat mengurangi kesenangannya. Yang
dapat bertahan dari berbagai cobaan seperti itu hanyalah orang-orang yang telah
memiliki sifat ridha. Selain itu, dia juga rela berjuang di jalan Allah, rela menghadapi
segala kesukaran, rela membela kebenaran, rela berkorban harta, jiwa, dan
sebagainya. Semua itu bagi seorang sufi dipandang sebagai sifat-sifat yang terpuji dan
akhlak yang bernilai tinggi, bahkan dianggap sebagai ibadah karena mengharapkan
keridhaan Allah. Dalam hadis qudsi, Rasullah saw menegaskan:
“Sesungguhnya Aku ini Allah, tiada Tuhan selain Aku. Barang siap yang tidak
bersabar atas cobaan-Ku, tidak bersyukur atas segala nikmat-Ku, serta tidak rela
terhadap keputusan-Ku, maka hendaknya dia keluar dari kolong langit dan mencari
Tuhan selain Aku.”
1.4.2. AHWAL
Ahwal adalah bentuk jamak dari ‘hal’ yang biasanya diartikan sebagai keadaan
mental (mental states) yang dialami oleh para sufi di sela-sela perjalanan spiritualnya.
Ibn Arabi menyebut hal sebagai setiap sifat yang dimiliki seorang salik pada suatu
waktu dan tidak pada waktu yang lain, seperti kemabukan dan fana’. Eksistensinya
bergantung pada sebuah kondisi. Ia akan sirna manakala kondisi tersebut tidak lagi
ada. Hal tidak dapat dilihat dilihat tetapi dapat dipahami dan dirasakan oleh orang
yang mengalaminya dan karenanya sulit dilukiskan dengan ungkapan kata.
Sebagaimana halnya dengan maqam, hal juga terdiri dari beberapa macam.
Namun, konsep pembagian atau formulasi serta jumlah hal berbeda-beda dikalangan
ahli sufi. Diantara macam-macam hal yaitu; muraqabah, khauf, raja’, syauq,
Mahabbah, tuma’ninah, musyahadah, yaqin.
1. Muraqabah
Secara etimologi muraqabah berarti menjaga atau mengamati tujuan. Adapun
secara terminologi muraqabah adalah salah satu sikap mental yang mengandung
pengertian adanya kesadaran diri bahwa ia selalu berhadapan dengan Allah dan
merasa diri diawasi oleh penciptanya. Pengertian tersebut sejalan dengan pendangan
al-Qusyairi bahwa muraqabah adalah keadaan mawas diri kepada Allah dan mawas
diri juga berarti adanya kesadaran sang hamba bahwa Allah senantiasa melihat
dirinya.
2. Khauf
Menurut al-Qusyairi, takut kepada Allah berarti takut terhadap hukumnya. Al-
khauf adalah suatu sikap mental merasa takut kepada Allah karena kurang sempurna
pengabdiannya atau rasa takut dan khawatir jangan sampai Allah merasa tidak senang
kepadanya. Ibn Qayyim memandang khauf sebagai perasaan bersalah dalam setiap
tarikan nafas. Perasaan bersalah dan adanya ketakutan dalam hati inilah yang
menyebabkan orang lari menuju Allah.
3. Raja’
Raja’ bermakna harapan. Al-Gazali memandang raja’ sebagai senangnya hati
karena menunggu sang kekasih datang kepadanya. Sedangkan menurut al-Qusyairi
raja’ adalah keterpautan hati kepada sesuatu yang diinginkannya terjadi di masa akan
datang. Sementara itu, Abu Bakar al-Warraq menerangkan bahwa raja’ adalah
kesenangan dari Allah bagi hati orang-orang yang takut, jika tidak karena itu akan
binasalah diri mereka dan hilanglah akal mereka. Dari beberapa pendapat yang
dikemukakan ahli sufi diatas dapat dipahami bahwa raja’ adalah sikap optimis dalam
memperoleh karunia dan nikmat Allah SWT yang disediakan bagi hambaNya yang
saleh dan dalam dirinya timbul rasa optimis yang besar untuk melakukan berbagai
amal terpuji dan menjauhi perbuatan yang buruk dan keji.
4. Syauq
Syauq bermakna lepasnya jiwa dan bergeloranya cinta. Para ahli sufi
menyatakan bahwa syauq merupakan bagian dari mahabbah. Sehingga pengertian
syauq dalam tasawuf adalah suasana kejiwaan yang menyertai mahabbah. Rasa rindu
ini memancar dari kalbu karena gelora cinta yang murni. Untuk menimbulkan rasa
rindu kepada Allah maka seorang salik terlebih dahulu harus memiliki pengetahuan
dan pengenalan terhadap Allah. Jika pengetahuan dan pengenalan terhadap Allah
telah mendalam, maka hal tersebut akan menimbulkan rasa senang dan gairah. Rasa
senang akan menimbulkan cinta dan akan tumbuh rasa rindu, rasa rindu untuk selalu
bertemu dan bersama Allah.
5. Mahabbah
Cinta (mahabbah) adalah pijakan atau dasar bagi kemuliaan hal. Seperti
halnya taubat yang menjadi dasar bagi kemuliaan maqam. Al-Junaid menyebut
mahabbah sebagai suatu kecenderungan hati. Artinya, hati seseorang cenderung
kepada Allah dan kepada segala sesuatu yang datang dariNya tanpa usaha. Adapun
dasar paham mahabbah antara lain dalam firman Allah:
“Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad
dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah
mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah Lembut
terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang
berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.
Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah
Maha luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.”
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku,
niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang.”
Adapun tanda-tanda mahabbah menurut Suhrawardi yaitu; 1) di dalam hati
sang pencinta tidak ada kecintaan pada dunia dan akhirat nanti. 2) ia tidak boleh
cenderung pada keindahan atau kecantikan lain yang mungkin terlihat olehnya atau
mengalihkan pandangannya dari keindahan Allah. 3) ia mesti lebih mencintai sarana
untuk bersatu dengan kekasih dan tunduk. 4) karena dipenuhi dan dibakar cinta, ia
mestilah menyebut-nyebut nama Allah tanpa lelah. 5) Ia harus mengabdi kepada
Allah dan tidak menentang perintahNya. 6) apapun pilhannya pandangannya selalu
mengharapkan keridhaan Allah. 7) menyaksikan Allah dan bersatu denganNya tidak
harus mengurangi kadar cinta dalam dirinya. Dalam dirinya harus bangkit sifat syauq,
dan ketakjuban.
Tokoh utama paham mahabbah adalah Rabi’ah al-Adawiyah (95 H-185 H).
Menurutnya, cinta kepada Allah merupakan cetusan dari perasaan cinta dan rindu
yang mendalam kepada Allah. Konsep mahabbahnya banyak tertuang dalam syair-
syairnya.
6. Tuma’ninah
Secara bahasa tuma’ninah berarti tenang dan tentram. Tidak ada rasa was-was
atau khawatir, tak ada yang dapat mengganggu perasaan dan pikiran karena ia telah
mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi. Menurut al-Sarraj tuma’ninah
sang hamba berarti kuat akalnya, kuat imannya, dalam ilmunya dan bersih ingatannya.
Seseorang yang telah mendapatkan hal ini sudah dapat berkomunikasi langsung
dengan Allah SWT.
7. Musyahadah
Dalam perspektif tasawuf musyahadah berarti melihat Tuhan dengan mata
hati, tanpa keraguan sedikitpun, bagaikan melihat dengan mata kepala. Hal ini berarti
dalam dunia tasawuf seorang sufi dalam keadaan tertentu akan dapat melihat Tuhan
dengan mata hatinya. Musyahadah dapat dikatakan merupakan tujuan akhir dari
tasawuf, yakni menemukan puncak pengalaman rohani kedekatan hamba dengan
Allah. Dalam pandangan al-Makki, musyahadah juga berarti bertambahnya
keyakinan yang kemudian bersinar terang karena mampu menyingkap yang hadir (di
dalam hati). Seorang sufi yang telah berada dalam hal musyahadah merasa seolah-
olah tidak ada lagi tabir yang mengantarainya dengan Tuhannya sehingga
tersingkaplah segala rahasia yang ada pada Allah.
8. Yaqin
Al-yaqin berarti perpaduan antara pengetahuan yang luas serta mendalam dan
rasa cinta serta rindu yang mendalam pula sehingga tertanamlah dalam jiwanya
perjumpaan secara langsung dengan Tuhannya. Dalam pandangan al-Junaid yaqin
adalah tetapnya ilmu di dalam hati, ia tidak berbalik, tidak berpindah dan tidak
berubah. Menurut al-Sarraj yaqin adalah fondasi dan sekaligus bagian akhir dari
seluruh ahwal. Dapat juga dikatakan bahwa yaqin merupakan esensi seluruh ahwal .
1.5. Tokoh-tokoh Tasawuf
1. Ibn Athaillah as Sakandary
Nama lengkapnya Ahmad ibn Muhammad Ibn Athaillah as Sakandary (w.
1350M), dikenal seorang Sufi sekaligus muhadits yang menjadi faqih dalam madzhab
Maliki serta tokoh ketiga dalam tarikat al Syadzili. Penguasaannya akan hadits dan
fiqih membuat ajaran-ajaran tasawufnya memiliki landasan nas dan akar syariat yang
kuat. Karya-karyanya amat menyentuh dan diminati semua kalangan, diantaranya Al
Hikam, kitab ini ditujukan untuk meningkatkan kesadaran spiritual di kalangan murid-
murid tasawuf. Kitab lainnya, Miftah Falah Wa Wishbah Al Arwah (Kunci
Kemenangan dan Cahaya Spiritual), isinya mengenai dzikir, Kitab al Tanwir Fi Ishqat
al Tadhbir (Cahaya Pencerahan dan Petunjuk Diri Sendiri), yang disebut terakhir
berisi tentang metode madzhab Syadzili dalam menerapkan nilai Sufi, dan ada lagi
kitab tentang guru-guru pertama tarekat Syadziliyah - Kitab Lathaif Fi Manaqib Abil
Abbas al Mursi wa Syaikhibi Abil Hasan.
2. Al Muhasibi
Nama lengkapnya Abu Abdullah Haris Ibn Asad (w. 857). Lahir di Basrah.
Nama "Al Muhasibi" mengandung pengertian "Orang yang telah menuangkan karya
mengenai kesadarannya". Pada mulanya ia tokoh muktazilah dan membela ajaran
rasionalisme muktazilah. Namun belakangan dia meninggalkannya dan beralih kepada
dunia sufisme dimana dia memadukan antara filsafat dan teologi. Sebagai guru Al
Junaed, Al Muhasibi adalah tokoh intelektual yang merupakan moyang dari Al
Syadzili. Al Muhasibi menulis sebuah karya "Ri'ayah Li Huquq Allah", sebuah karya
mengenai praktek kehidupan spiritual.
3. Abdul Qadir Al Jilani (1077-1166)
Beliau adalah seorang Sufi yang sangat tekenal dalam agama Islam. Ia adalah
pendiri tharikat Qadiriyyah, lahir di Desa Jilan, Persia, tetapi meninggal di Baghdad
Irak. Abdul Qadir mulai menggunakan dakwah Islam setelah berusia 50 tahun. Dia
mendirikan sebuah tharikat dengan namanya sendiri. Syeikh Abdul Qadir disebut-
sebut sebagai Quthb (poros spiritual) pada zamannya, dan bahkan disebut sebagai
Ghauts Al Azham (pemberi pertolongan terbesar), sebutan tersebut tidak bisa
diragukan karena janjinya untuk memperkenalkan prinsip-prinsip spiritual yang penuh
kegaiban. Buku karangannya yang paling populer adalah Futuh Al Ghayb
(menyingkap kegaiban). Melalui Abdul Qadir tumbuh gerakan sufi melalui bimbingan
guru tharikat (mursyid). Jadi Qadiriyah adalah tharikat yang paling pertama berdiri.
4. Al Hallaj
Nama lengkapnya Husayn Ibn Mansyur Al Hallaj (857-932), seorang Sufi
Persia dilahirkan di Thus yang dituduh Musyrik oleh khalifah dan oleh para pakar
Abbasiyah di Baghdad oleh karenanya dia dihukum mati. Al Hallaj pertama kali
menjadi murid Tharikat Syeikh Sahl di Al Tutsari, kemudian berganti guru pada
Syeikh Al Makki, kemudian mencoba bergabung menjadi murid Al Junaed Al
Baghdadi, tetapi ditolak.
Al Hallaj terkenal karena ucapan ekstasisnya "Ana Al Haqq" artinya Akulah
Yang Maha Mutlak, Akulah Yang Maha Nyata,bisa juga berarti "Akulah Tuhan",
mengomentari masalah ini Al Junaid menjelaskan "melalui yang Haq engkau
terwujud", ungkapan tersebut mengandung makna sebagai penghapusan antara
manusia dengan Tuhan. Menurut Junaid " Al Abd yahqa al Abd al Rabb Yahqa al
Rabb" artinya pada ujung perjalanan "manusia tetap sebagai manusia dan Tuhan tetap
menjadi Tuhan". Pada jamannya Al Hallaj dianggap musrik, akan tetapi setelah
kematiannya justru ada gerakan penghapusan bahkan Al Hallaj disebut sebagai martir
atau syahid. Sampai sekarang Al Hallaj tetap menjadi teka-teki atau misteri karena
masih pro dan kontra.
BAB III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan :
Secara bahasa tasawuf diartikan sebagai sufisme (bahasa arab)
adalah ilmu untuk mengetahui bagaimana cara menyucikan jiwa, menjernikan
akhlak, membangun dhahir dan batin, untuk memperoleh kebahagiaan yang abadi
Kata tasawuf diambil dari kata shafa yang berarti bersih.
Dinamakan shufi karena hatinya tulus dan bersih di hadapan Tuhannya. Teori lain
mengatakan bahwa kata tersebut diambil dari kata Shuffah yang berarti serambi
Masjid Nabawi di Madinah yang ditempati oleh sahabat-sahabat Nabi yang
miskin dari golongan Muhajirin. Mereka disebut ahl as-shuffah yang sungguh
pun miskin namun berhati mulia dan memang sifat tidak mementingkan
kepentingan dunia dan berhati mulia adalah sifat-sifat kaum sufi/ teori lainnya
menegaskan bahwa kata sufi diambil dari kata suf yaitu kain yang dibuat dari
bulu atau wool, dan kaum sufi memilih memakai wool yang kasar sebagai simbol
kesederhanaan.
Pokok-pokok ajaran tasawuf :
1. Zuhud
2. Al- Mahabbah
3. Al- Ma’rifah
4. Al- Fana’ dan Al- Baqa’
5. Al- Ittihad
Tokoh-tokoh tasawuf
1. Ibn athaillah as sakandary
2. Al- Muhasibi
3. Abdul Qadir Al- jilani
4. Al- Hallaj
2. SARAN
itu saran maupun kritik yang bersifat membangun sangat kami harapkan
demi lkesempurnaan Di harapkan dari makalah ini dapat diambil manfaat untuk
aplikasi dalam kehidupan sehari-hari dan kami menyadari bahwa makalah ini jauh
dari sempurna, oleh karena makalah ini
DAFTAR PUSTAKA
Anwar rosihan. 2009. ahklak tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Azra Azyumardi dkk, Ensiklopedi Islam, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2005.
Bagir Haidar, Buku Saku Tasawuf, (Cet. II; Mizan: Bandung), 2006.
Dr. Zakiyah Daradjat, Pengantar Ilmu Tasawuf, IAIN Sumut, 1981, hal. 123
http://referensiagama.blogspot.com/januari/2011
M.sholihin. 2003. Tokoh sufi lintas zaman.Bandung: Pustaka Setia
Nata M.A, Prof. Dr. H. Abudin. 2003. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada,
cet. Kelima
Rosihan anwar. 2009. Ahklak Tasawuf. Bandung : Pustaka Setia