Post on 23-May-2017
Abses Peritonsil pada Dewasa
Andy Santoso Hioe
102011314
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara no.6 - Jakarta Barat
selfoneria@gmail.com
Pendahuluan
Tonsil merupakan organ yang penting dalam tubuh manusia. Bersifat sebagai
pelindung tubuh dari infeksi, organ ini memegang peranan penting dalam proteksi tubuh,
terutama bagian mulut dan tenggorokkan. Infeksi atau radang pada tonsil yang disebut
tonsillitis dapat menyebabkan komplikasi yang cukup berat pada manusia, yaitu abses
peritonsil. Bila abses ini tidak ditangani dapat menyebabkan terjadinya penutupan
tenggorokkan sehingga terjadi gangguan pernapasan. Oleh karena itu, penulis membahas
abses peritonsil dimulai dari diagnosis dan penatalaksanaannya.
Anamnesis
Keluhan kelainan tenggorok di daerah faring umumnya adalah 1.) nyeri tenggorok, 2.)
nyeri menelan (odinofagia), 3.) rasa banyak dahak di tenggorok, 4.) sulit menelan (disfagia),
5.) rasa ada yang menyumbat atau mengganjal.
Pada nyeri tenggorok perlu ditanyakan kekerapan nyerinya apakah hilang timbul atau
meneteap. Tanyakan pula bila nyeri tenggorok disertai dengan demam, batuk, serak, dan
tenggorok terasa kering. Informasi tentang riwayat merokok pasien (bila ada) juga perlu
ditanyakan.
Odinofagia merupakan rasa nyeri di tenggorok pada saat gerakan menelan. Dapat
ditanyakan apakah rasa nyeri ini dirasakan sampai ke telinga.
Dahak di tenggorok merupakan keluhan yang sering timbul akibat adanya inflamasi di
hidung dan faring. Apakah dahak ini berupa lender saja, pus atau bercampur darah. Dahak ini
dapat turun dan keluar bila dibatukkan atau terasa turun di tenggorok.
1
Keluhan disfagia dapat ditanyakan sudah berapa lama dan untuk jenis makanan cair
atau padat. Apakah juga disertai muntah dan berat badan menurun dengan cepat.
Rasa sumbatan di leher (sense of lump in the neck) sudah berapa lama, tanyakan
tempatnya.
Pemeriksaan Fisik
Dengan lampu kepala yang diarahkan ke rongga mulut, dilihat keadaan bibir, mukosa
rongga mulut, lidah dan gerakan lidah.
Dengan menekan bagian tengah lidah memakai spatula lidah maka bagian-bagian
rongga mulut lebih jelas terlihat. Pemeriksaan dimulai dengan melihat keadaan dundung
belakang faring serta kelenjar limfanya, uvula, arkus faring serta gerakannya, tonsil, mukosa
pipi, gusi, dan gigi geligi. Palpasi rongga mulut diperlukan bila ada massa tumor, kista dan
lain-lain. Tanyakan apakah ada rasa nyeri di sendi temporomandibula ketika membuka mulut.
Pemeriksaan tanda-tanda vital hanya dapat mengetahui adanya proses inflamasi di
dalam tubuh. Suhu tubuh meningkat dapat menjadi salah satu tanda penting adanya proses
inflamasi pada tubuh. Peningkatan frekuensi napas mungkin dapat ditemukan pada abses
yang sudah hampir menutupi rongga faring.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain pemeriksaan darah dan
pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan darah hanya untuk memastikan adanya proses infeksi
pada tubuh, sedangkan pemeriksaan radiologi meliputi ultrasonografi dan CT-scan untuk
mengetahui posisi dan besar abses yang terjadi.
Pada pemeriksaan darah, peningkatan laju endap darah dan konsentrasi protein
reaktif-C (C-reactive protein, CRP) dapat menunjukkan adanya infeksi dalam tubuh.
Meskipun dapat menghasilkan false negative pada pasien dengan sirosis hati, pemeriksaan
CRP lebih sensitive daripada pemeriksaan laju endap darah.
Untuk mengetahui lokasi dan besarnya abses dapat dilakukan pemeriksaan pencitraan
dengan menggunakan ultrasonografi atau CT-scan. Ultrasonografi lebih dipilih karena lebih
ekonomis daripada pemeriksaan CT-scan. Pemeriksaan dengan ultrasonografi dapat
dilakukan dengan dua metode, yaitu transoral dan transcutaneous servikal.
2
Pemeriksaan ultrasonografi dengan metode transoral (transoral ultrasonography, TUS)
dilakukan dengan cara memasukan probe ke dalam mulut pasien. Prosedur ini dilakukan
tanpa menggunakan anestesi. Hasil dari pencitraan ini yaitu ditemukan daerah hipoekoik
yang dikelilingi daerah isoekoik. Kelemahan dari metode ini adalah bila pasien sudah
mengalami trismus, sehingga sukar untuk membuka rongga mulut.
Gambar 1. Penampalan abses peritonsillar dengan TUS
Pada pemeriksaan ultrasonografi dengan metode transkutaneus servikal
(transcutaneous cervical ultrasonography, TUS) dapat dilakukan bila pasien mengalami
trismus. Probe yang diatur dengan frekuensi tinggi diletakkan di bawah mandibular dan
mengarah ke kedua daerah peritonsiler. Hasil dari pencitraan ini adalah adanya bagian
hipoekoik di sebelah tonsil.
Gambar 2. Ultrasonografi trasnkutaneus dengan abses peritonsillar tonsil kanan yang ditandai dengan tanda
panah. Perhatikan daerah hipoekoik homogen (abses) dan daerah yang diberi garis titik-titik (tonsil).
3
Diagnosis
Working Diagnosis
Abses peritonsil didefinisikan sebagai terkumpulnya pus diantara kapsula tonsil dan
m. constrictor pharyngis. Abses ini merupakan komplikasi paling sering dari tonsillitis akut
dan abses yang umum pada kasus kepala dan leher. Penyakit ini sering menjadi kasus gawat-
darurat karena adanya dehidrasi dan nyeri hebat. Remaja dan dewasa muda yang paling
sering terkena penyakit ini. Aspirasi pus menandakan bahwa bakteri penyebab bersifat
polimikrobial. Diagnosis definitif untuk abses peritonsil adalah dengan aspirasi pada abses.
Differential diagnosis
Tonsilitis
Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatine yang merupakan bagian dari cincin
Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga
mulut Tonsilitis adalah peradangan tonsil palatine yang merupakan bagian dari cincin
Waldeyer. Cincin Waldeyer terdiri atas susunan kelenjar limfa yang terdapat di dalam rongga
mulut yaitu tonsil faringeal (adenoid), tonsil palatine (faucial), tonsil lingual, dan tonsil tuba
Eustachius. Penyebaran infeksi melalui udara, tangan dan ciuman. Dapat terjadi pada semua
umur, terutama pada anak.
Tonsilitis dibagi menjadi tonsillitis akut, tonsillitis membranosa, dan tonsillitis kronik.
Tonsillitis akut disebabkan oleh virus (Epstein Barr virus, Coxsackie virus) dan bakteri
(Streptococcus β-hemolyticus group A, Pneumococcus, S. viridans, S. pyogenes). Gejala dan
tanda dari tonsillitis akut adalah nyeri tenggorok dan nyeri waktu menelan, demam tinggi,
lesu, nyeri pada sendi, anoreksia, dan otalgia.
Tonsillitis membranosa dibagi menjadi tonsillitis difteri (C. diphtheria) tonsillitis
septik, angina Plaut Vincent, penyakit kelainan darah (leukemia akut, anemia pernisiosa,
neutropenia maligna, dan mononucleosis infeksiosa). Gejala khas dari tonsillitis ini adalah
adanya pseudomembran pada permukaan tonsil.
Tonsilitis kronik didefinisikan sebagai nyeri tenggorok persisten, anoreksia, disfagia,
dan eritema faringotonsillar. Dapat juga dicirikan dengan adanya nafas yang berbau dan
adanya pembesaran nnll. Jugulodigastricus. Biasanya kuman yang terisolasi adalah campuran
aerob dan anaerob, dengan predominan streptococcus.
4
Karsinoma Nasofaring
Karsinoma nasofaring merupakan karsinoma yang paling banyak ditemukan di
Indonesia. Karsinoma ini sulit didiagnosa karena nasofaring tersembunyi di belakang tabir
langit-langit dan terletak di bawah dasar tengkorak serta berhubungan dengan daerah penting
di dalam tengkorak daan ke lateral maupun posterior leher.
Gejala dan tanda dari karsinoma nasofaring dapat dibagi menjadi 4 kelompok, yaitu
gejala nasofaring, gejala telinga, gejala mata dan saraf, dan metastasis atau gejala di leher.
Gejala nasofaring dapat berupa epistaksis ringan atau sumbatan hidung. Gangguan pada
telinga merupakan gejala dini yang timbul karena tempat asal tumor dekat dengan muara tuba
Eustachius (fossa Rossenmueller). Gangguan dapat berupa tinnitus, rasa tidak nyaman di
telinga sampai otalgia. Karsinoma juga dapat menekan saraf kranial III, IV, VI, dan V bila
berdekatan dengan foramen lacerum. Dapat pula mengenai saraf kranial IX, X, XI, XII jika
penjalaran melalui foramen jugulare.
Etiologi
Proses ini terjadi sebagai komplikasi dari tonsilitis akut atau infeksi yang bersumber
dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Penyebab abses ini adalah polimikrobial,
dapat berupa bakteri aerob, anaerob, atau campuran. Dalam penelitian, bakteri aerob Gram
positif menjadi patogen utama dalam penyebab abses peritonsilar, seperti golongan
Streptococcus β-hemolyticus grup A (Group A Streptococcus β-hemolyticus, GAS) dan
anggota S. viridans. Sedangkan, dari golongan anaerob, genus Prevotella menjadi penyebab
terbanyak terjadinya abses peritonsillar.
Epidemiologi
Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi
pada umur 20-40. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang menurun sistem
imunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan nafas yang signifikan pada anak-
anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama antara laki-laki dan perempuan. Di Amerika
insiden tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun
5
Patofisiologi
Daerah superior dan lateral fossa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar, oleh
karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering menempati daerah ini,
sehingga tampak palatum molle membengkak.
Walaupun sangat jarang, abses peritonsil dapat terbentuk di bagian inferior. Pada
stadium permulaan (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak permukaannya
hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih lunak.
Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula ke arah kontralateral. Bila proses
berlangsung terus menerus, peradangan jaringan sekitar akan menyebabkan iritasi pada m.
pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, sehingga
memungkinkan terjadinya aspirasi pneumonia.
Manifestasi Klinik
Selain gejala dan tanda tonsillitis akut, juga terdapat odinofagia (nyeri menelan) yang
hebat. Biasanya pada sisi yang sakit terjadi otalgia, mungkin terdapat muntah, mulut berbau
(foetor ex ore), hipersalivasi, suara gumam (hot potato voice), serta pembengkakkan kelenjar
submandibular dengan nyeri tekan.
Pada pemeriksaan terkadang sukar untuk memeriksa seluruh faring karena adanya
trismus. Palatum molle tampak membengkak dan menonjol ke depan, dapat teraba fluktuasi.
Uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral. Tonsil bengkak, hiperemis, mungkin
banyak detritus dan terdorong ke arah tengah, depan dan bawah.
Secara klinis tonsil hiperemis dan bengkak, biasanya dengan eksudat, dan terdapat
pembengkakkan tegas pada daerah superior dan lateral tonsil satu sisi. Pada kasus berat,
uvula dapat terdorong karena ada efek massa. Meskipun pernah dilaporkan adanya abses
peritonsilar bilateral, kasus ini sangat jarang dan abses peritonsilar unilateral merupakan
kasus paling sering pada infeksi peritonsil. Adenopati leher sering terjadi dan lebih jelas pada
sisi yang mengalami infeksi peritonsilar. Nyeri saat membuka mulut terjadi ketika infeksi dan
inflamasi menyebar ke m. pterygoid interna pada ruang parafaringeal. Abses peritonsillar
biasanya ditandai dengan demam, nyeri hebat, adanya pembengkakan jelas pada area
peritonsil, nyeri saat membuka mulut, dan perubahan letak uvula.
6
Penatalaksanaan
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotik golongan penisilin atau klindamisin, dan
obat simtomatik. Obat yang digunakan adalah amoksisilin ditambah asam klavulanat 2 g tiga
kali sehari, sefazolin 2 g saat berkunjung, sefaleksin 500 mg PO 4 kali sehari selama 10 hari.
Penelitian mengatakan penambahan kortikosteroid (deksametason 20 mg IV,
metilprednisolon 80-120 mg IM saat datang; prednisone 60-80 mg PO setiap pagi untk 10
hari di rumah) dapat mengurangi rasa nyeri dan pembengkakkan tonsil. Analgesik yang
disarankan adalah ketorolac dan analgesic opioid. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan
hangat (warm-salt gargle) setiap jam dan kompres dingin pada leher. Pemberian cairan
seperti 5% dekstrosa dalam larutan Ringer laktat IV 1-2 liter saat berkunjung dan asuapan
cairan 2 L/hari di rumah.
Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian diinsisi
untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah paling menonjol dan lunak, atau
pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir pada
sisi yang sakit.
Kemudian pasien dianjurkan untuk operasi tonsilektomi. Bila dilakukan bersama-
sama tindakan drainase abses, disebut tonsilektomi “a chaud”. Bila tonsilektomi dilakukan 3-
4 hari sesudah drainase abses, disebut tonsilektomi “a tiede”, dan bila tonsilektomi 4-6
minggu sesudah drainase abses, disebut tonsilektomi “a froid”. Pada umumnya tonsilektomi
dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase abses.
Tonsilektomi segera (immediate tonsillectomy) lebih disarankan dalam penanganan
abses peritonsil. Teknik tonsilektomi segera tidak mengalami risiko tambahan perdarahan dan
risiko perdarahan dapat diminimalisasi.
Komplikasi
Komplikasi yang terjadi pada abses peritonsil antara lain: 1.) Abses pecah spontan,
dapat mengakibatkan pendarahan, aspirasi pneumonia atau piemia; 2.) Penjalaran infeksi dan
abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses parafaring. Pada penjalaran selanjutnya,
masuk ke mediastinum, sehingga terjadi mediastinitis; 3.) Bila terjadi penjalaran ke daerah
intracranial dapat menyebabkan thrombus sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak.
7
Pencegahan
Karena abses peritonsil merupakan komplikasi dari tonsilitis, pencegahannya adalah
obati tonsillitis dengan tepat agar tidak terjadi kekambuhan. Cara lain adalah dengan menjaga
higiene mulut dengan rajin menggosok gigi dan menjaga daya tahan tubuh. Bila pasien
merokok, kegiatan tersebut dapat dihentikan.
8