Post on 14-Aug-2015
description
FIQIH JINAYAH
JARIMAH TA’ZIR
(Pengertian, Ruang Lingkup, Dasar Hukum,
serta Uqubah dan Pelaksanaanya)
Oleh kelompok 8:
Irfan Zidny
Erwin Hikmatiar
Arini Zidna
JURUSAN PERADILAN AGAMA
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011/2012
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik Allah SWT. Kita memuji-Nya, mohon pertolongan dan
ampunan-Nya. Kami berlindung kepada Allah dari kejahatan-kejahatan diri kami dan
keburukan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak
ada seorang pun yang dapat menyesatkannya, dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka
tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.
Kami bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah semata, dan tidak ada sekutu bagi-Nya,
Kami bersaksi pula bahwa Nabi Muhammad SAW adalah hamba dan rasulnya.
Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT, yang telah meridlai kami dalam
menyelesaikan tugas untuk mata pelajaran Fiqh Jinayat, dengan judul Jarimah Ta’zir. Yang
Insya Allah pembahasan dari makalah kami ini, telah dilakukan secara runut dan mudah
dipahami.
Semoga makalah ini dapat membantu semua teman mahasiswa/i dalam mempelajari
dan memahami mata pelajaran Fiqh Jinayat, yang khususnya mengenai pembahasan
tentang Jarimah Ta’zir dengan baik.
Jakarta, 06 November 2011
Pemakalah
PENDAHULUAN
Seperti kita ketahui, pada prinsipnya Al-Qur’an merupakan norma-norma dasar. Oleh
karena itu, dalam menentukan hukuman, Al-Qur’an memberikan pola dasar yang umum.
Pemberian pola yang dasar tersebut memberikan keleluasaan bagi masyarakat untuk
menyesuaikan dengan kondisi masyarakat tersebut.
Namun demikian, syari’at menentukan beberapa jenis perbuatan tertentu yang
dianggap sebagai kejahatan. Jenis kejahatan yang telah ditentukan syari’at dan telah
ditentukan pula hukumannya itu sangat terbatas, yaitu jenis-jenis tindak pidana yang masuk
dalam kelompok hudud dan qishash atau diyat yang jumlahnya tidak lebih dari dua belas
jenis.
Adapun selebihnya, yang merupakan bagian terbesar dari jumlah tindak pidana dan
hukuman, diserahkan kepada Ulul Amri dalam menentukan jenis pelanggaran maupun
hukumannya. Walaupun demikian, syari’at masih menentukan beberapa di antaranya
sebagai suatu kejahatan yang dapat dihukum, tanpa menentukan sanksinya. Jadi, hal ini pun
merupakan pendelegasian wewenang dari pembuat syari’at kepada Ulul Amri dalam
menentukan jenis hukumannya.
Kepercayaan yang diberikan pembuat syari’at dalam menentukan bentuk
pelanggaran dan macam hukuman tersebut ditujukan agar penguasa dapat secara leluasa
mengatur masyarakatnya. Seandainya pembuat syari’at menentukan semua bentuk
pelanggaran dan jenis hukuman secara baku, Ulul Amri mungkin akan mendapatkan
kesulitan dalam mencari kemashlahatan bagi rakyatnya. Hal ini karena, kemashlahatan
berubah sesuai dengan perubahan waktu dan tempat sehingga sangat rentan terhadap
perubahan. Oleh sebab itu, hanya pada hal-hal yang kebal terhadap perubahan sajalah,
syari’at memberikan aturan yang berlaku.
Bagian yang tidak ditentukan jenis pelanggarannya dan juga jenis hukumannya,
dalam fiqh disebut dengan ta’zir. Suatu jenis jarimah dan sanksi hukuman yang menjadi
wewenang Ulul Amri dalam pengaturannya.
A. PENGERTIAN dan RUANG LINGKUP
Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa setiap kejahatan yang ditentukan
sanksinya oleh Al-Qur’an maupun oleh hadits disebut jarimah hudud dan qishash atau diyat.
Adapun tindak pidana yang tidak ditentukan oleh Al-Qur’an maupun hadits disebut sebagai
tindakan pidana ta’zir. Misalnya, tidak melaksanakan amanah, menghasab harta, menghina
orang, menghina agama, dan suap.1
Bentuk lain dari jarimah ta’zir adalah kejahatan-kejahatan yang bentuknya
ditentukan oleh Ulul Amri yang sesuai dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai, prinsip-
prinsip dan tujuan syari’ah, seperti peraturan lalu lintas, pemeliharaan lingkungan, dan
memberi sanksi kepada aparat pemerintah yang tidak disiplin.
Ta’zir menurut bahasa adalah mashdar (kata dasar) bagi ‘azzara yang berarti
menolak dan mencegah kejahatan, juga berarti menguatkan, memuliakan, dan membantu2.
Dalam Al-Qur’an disebutkan :
“Supaya kamu sekalian beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)-
Nya, membesarkan-Nya, dan bertasbih kepada-Nya di waktu pagi dan petang”. (QS Al-Fath :
9)
1 Prof. Drs. H. Ahmad Djazuli, Fiqh Jianayat (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalan Islam), hal. 163
2 Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, hal. 248
“(Yaitu) orang-orang yang mengikut Rasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka
dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka
mengerjakan yang ma'ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan
menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang
buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada
mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya, memuliakannya, menolongnya, dan
mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-
orang yang beruntung”. (QS Al-A’raf : 157)
“Dan sesungguhnya Allah telah mengambil perjanjian (dari) Bani Israil dan telah Kami
angkat diantara mereka 12 orang pemimpin dan Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku
beserta kamu, sesungguhnya jika kamu mendirikan shalat dan menunaikan zakat serta
beriman kepada rasul-rasul-Ku dan kamu bantu mereka dan kamu pinjamkan kepada Allah
pinjaman yang baik sesungguhnya Aku akan menutupi dosa-dosamu. Dan sesungguhnya
kamu akan Kumasukkan ke dalam surga yang mengalir air didalamnya sungai-sungai. Maka
barangsiapa yang kafir di antaramu sesudah itu, sesungguhnya ia telah tersesat dari jalan
yang lurus”. (QS Al-Maidah : 12)
Ta’zir juga berarti hukuman yang berupa memberi pelajaran. Disebut dengan ta’zir
karena hukuman tersebut sebenarnya menghalangi si terhukum untuk tidak kembali kepada
jarimah atau dengan kata lain membuatnya jera.
Para fuqaha mengartikan ta’zir dengan hukuman yang tidak ditentukan oleh Al-
Qur’an dan hadits yang berkaitan dengan kejahatan yang melanggar hak Allah SWT dan hak
hamba yang berfungsi untuk memberi pelajaran kepada si terhukum dan mencegahnya
untuk tidak mengulangi kejahatan serupa3.
Ta’zir sering juga disamakan oleh fuqaha dengan hukuman terhadap setiap maksiat
yang tidak diancam dengan hukuman had atau kaffarah.
Hukuman ta’zir sepenuhnya ada ditangan hakim, sebab beliaulah yang memegang
tampuk kekuasaan pemerintahan dan kaum muslimin. Dalam kitab Subulus As-Salam
disebutkan: “Hukuman ta’zir tidak diperkenankan selain dari Imam kecuali dari tiga orang
berikut ini:
a. Ayah, boleh menjatuhkan ta’zir terhadap anaknya yang masih kecil dengan tujuan
edukatif, dan mencegahnya dari akhlak yang buruk.
b. Majikan, diperbolehkan menta’zir hambanya baik yang bersangkutan dengan hak
dirinya atau hak Allah.
c. Suami, diperbolehkan menta’zirkan istrinya dalam masalah nusyuz, sebagaimana
yang telah telah dijelaskan dalam Al-Qur’an.
Para ulama pada umumnya memperbolehkan penggabungan antara had dan ta’zir
selama memungkinkan. Misalnya dalam mazhab Hanafi, pezina yang ghair muhshan dijilid
seratus kali sebagai had lalu dibuang satu tahun sebagai ta’zir. Demikian pula dalam mazhab
3 Prof. Drs. H. Ahmad Djazuli, Fiqh Jianayat (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalan Islam), hal. 165
Maliki dan mazhab Syafi’i penggabungan antara had dan ta’zir itu diperbolehkan, seperti
mengalungkan tangan pencuri setelah dipotong dan menambahkan empat puluh kali jilid
bagi peminum khamar.
Para ulama membagi jarimah ta’zir menjadi dua bagian4, yaitu
1. Jarimah yang berkaitan dengan hak Allah SWT
Yang dimaksud dengan kejahatan yang berkaitan dengan hak Allah SWT adalah
segala sesuatu yang berkaitan dengan kemashlahatan umum. Misalnya, membuat
kerusakan di muka bumi, perampokan, pencurian, perzinaan, pemberontakan, dan tidak
taat kepada Ulul Amri.
2. Jarimah yang berkaitan dengan hak perorangan
Yang dimaksud dengan kejahatan yang berkaitan dengan hak hamba adalah segala
sesuatu yang mengancam kemashlahatan bagi seorang manusia, seperti tidak membayar
utang ataupun penghinaan.
B. DASAR HUKUM
Dasar hukum disyariatkannya ta’zir terdapat dalam beberapa hadits Nabi SAW dan
tindakan sahabat. Hadits-hadits tersebut antara lain5, sebagai berikut :
1. Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bahz ibn Hakim
Dari Bahz ibn Hakim dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi SAW “menahan
seseorang karena disangka melakukan kejahatan” (Hadits diriwayatkan oleh Abu Daud,
Turmudzi, Nas’ai, dan Baihaqi, serta dishahihkan oleh Hakim)
2. Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Burdah
Dari Abu Burdah Al-Anshari RA, bahwa ia mendengar Rasulullah SAW bersabda : :
”Tidak boleh dijilid di atas sepuluh cambuk kecuali di dalam hukuman yang telah ditentukan
oleh ALLA SWT”. (Muttafaq ‘alaih)
3. Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah
Dari Aisyah RA, bahwa Nabi SAW bersabda : “Ringankanlah hukuman bagi orang-
orang yang tidak pernah melakukan kejahatan atas perbuatan mereka, kecuali dalam
jarimah-jarimah hudud”. (Hadits diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, Nas’ai, dan Baihaqi)
Secara umum ketiga hadits tersebut menjelaskan tentang eksistensi ta’zir dalam
syari’at Islam. Hadits pertama menjelaskan tentang tindakan Nabi yang menahan seseorang
4 Ibid, hal. 166
5 Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, hal. 252
yang diduga melakukan tindak pidana dengan tujuan untuk memudahkan penyelidikan.
Hadits kedua menjelaskan tentang batas hukuman ta’zir yang tidak boleh lebih dari sepuluh
kali cambukan, untuk membedakan dengan jarimah hudud. Sedangkan hadits ketiga
mengatur tenyang teknis pelaksanaan hukuman ta’zir yang bisa berbeda antara satu pelaku
dengan pelaku lainnya, tergantung kepada status mereka dan kondisi-kondisi lain yang
menyertainya.6
Adapun tindakan sahabat yang dapat dijadikan dasar hukum untuk jarimah dan
hukuman ta’zir, antara lain tindakan Sayyidina Umar bin Khattab ketika ia melihat sesorang
yang melentangkan seekor kambing untuk disembelih, kemudian ia mengasah pisaunya.
Khalifah Umar memukul orang tersebut dengan cemati dan berkata : “asah dahulu pisaumu
itu, baru telentangkan kambing tersebut”.
C. UQUBAH dan PELAKSANAANNYA
Hukuman ta’zir ialah hukuman yang dijatuhkan atas jarimah-jarimah yang tidak
dijatuhi hukuman yang telah ditentukan oleh hukum syari’at, yaitu jarimah-jarimah hudud
dan qishash atau diyat. Hukuman-hukuman tersebut banyak jumlahnya, yang dimulai dari
hukuman yang paling ringan sampai hukuman yang terberat. Hakim diberi wewenang untuk
memilih di antara hukuman-hukuman tersebut, yaitu hukuman yang sesuai dengan keadaan
jarimah serta diri pembuatnya7.
Macam-macam hukuman jarimah ta’zir :
1. Hukuman Mati8
Sebagaimana diketahui, ta’zir mengandung arti pendidikan dan pengajaran. Dari
pengertian itu, dapat kita pahami bahwa tujuan ta’zir adalah mengubah si pelaku menjadi
orang yang baik kembali dan tidak melakukan kejahatan yang sama pada waktu yang lain.
Oleh karena itu, dalam hukuman ta’zir tidak boleh ada pemotongan anggota badan
atau penghilangan nyawa. Akan tetapi, kebanyakan fuqaha membuat suatu pengecualian
dari aturan umum tersebut, yaitu kebolehan dijatuhkannya hukuman mati jika kepentingan
umum menghendaki demikian, atau apabila hukuman yang berupa pendidikan dan
6 Ibid, hal. 253
7 Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, hal. 221
8 Drs. H. Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayat), hal. 156
pengajaran, tidak mampu memberantas kejahatan dan bahkan si pelaku malah berulang kali
melakukan kejahatan yang sama atau mungkin bertambah variatif jenis kejahatannya.
Dalam hal ini satu-satunya cara untuk mencegah kejahatan tersebut adalah dengan
melenyapkan si pelaku agar dampak negatifnya tidak terus bertambah dan mengancam
kemashlahatan yang lebih luas lagi, seperti mata-mata, pembuat fitnah atau penyebar
bid’ah , membocorkan rahasia negara, residivis yang sangat berbahaya, atau mengedarkan
atau menyelundupkan barang-barang berbahaya yang dapat merusak kemashlahatan.
Itulah sebabnya, kebanyakan ulama membolehkan hukuman mati tadi sebagai
pengecualian dari prinsip ta’dib (pendidikan). Oleh karena itu, walaupun si pelaku telah
mati, tujuan pencegahan dan pendidikan masih akan berlaku bagi orang yang tidak berbuat
jarimah. Jadi, hukuman mati tadi menjadi i’tibar bagi yang lainnya.
Hukuman mati sebagai hukuman ta’zir dengan syarat tersebut di atas sudah barang
tentu tidak banyak jumlahnya. Di luar ta’zir, hukuman mati hanya dikenakan terhadap
perbuatan-perbuatan zina, murtad, gangguan keamanan, pemberontakan, dan
pembunuhan dengan sengaja. Dalam jarimah ta’zir, menurut para fuqaha, tidak lebih dari
lima jarimah. Menurut fuqaha-fuqaha lain, dalam jarimah ta’zir tidak ada hukuman mati dan
hal ini berarti bahwa keseluruhan jarimah yang dijadikan hukuman mati hanya lima.
Kalau dibandingkan dengan hukum positif, maka banyak kita dapati jarimah yang
diancam hukuman mati. Hukum pidana Inggris misalnya, menjatuhkan hukuman mati atas
200 macam jarimah, sedang dalam hukum pidan Perancis ada 150 jarimah. di negara-negara
besar hukuman mati dijalankan seperti di Inggris, Perancis, Jerman, ataupun Amerika. Di
antara alasan yang dikemukakan oleh sarjana-sarjana hukum positif ialah bahwa hukuman
mati merupakan cara terbaik untuk memberantas kejahatan dan mengecilkan sama sekali
terhadap pembuat-pembuat yang berbahaya dari lingkungan masyarakat. Alasan tersebut
tidak jauh berbeda dengan alasan uang dikemukakan oleh para fuqaha.
Alat yang digunakan untuk melaksanakan hukuman mati pada sanksi ta’zir
bardasarkan hadits ialah pedang. Pemilihan pedang sebagai alat dalam melaksanakan
hukuman mati, karena pedang itu mudah digunakan dan tidak menganiaya si terhukum,
karena kematian terhukum dengan pedang itu sangat meyakinkan. Akan tetapi, dikalangan
ulama sekarang membolehkan penggunaan selain daripada pedang selama tujuan dan
hikmah penggunaan pedang tercapai dengan alat tersebut.
2. Hukuman Jilid
Hukuman jilid dalam jarimah hudud, baik perzinaan maupun tuduhan zina dan
sebagainya sudah disepakati oleh para ulama. Adapun hukuman jilid dalam pidana ta’zir
juga berdasarkan Al-Qur’an, hadits, dan ijma. Dalam Al-Qur’an misalnya dalam surat An-Nisa
ayat 34 :
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena
mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita
yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh
karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya,
maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. (QS. An-Nisa : 34)
Meskipun dalam ayat tersebut ta’zir tidak dijatuhkan oleh Ulul Amri, melainkan oleh
suami. Adapun hadits yang menunjukkan bolehnya ta’zir dengan jilid adalah hadits Abu
Burdah yang mendengar langsung bahwa Nabi SAW, bersabda : “Seseorang tidak boleh
dijilid lebih dari sepuluh kali cambukan kecuali dalam salah satu dari had ALLAH SWT”.
3. Hukuman Penjara9
9 Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, hal. 262
Dalam bahasa Arab ada dua istilah untuk hukuman penjara. Pertama : Al-Habsu dan
yang kedua : As-Sijnu. Pengertian Al-Habsu menurut bahasa adalah mencegah atau
menahan. Kata al-Habsu diartikan juga As-Sijnu. Dengan demikian, kedua kata tersebut
mempunyai arti yang sama.
Menurut Imam Ibn Al-Qayyim Al-Jauziyah, yang dimaksud dengan al-Habsu menurut
syara’ bukanlah menahan pelaku di tempat yang sempit, melainkan menahan seseorang
dan mencegahnya agar ia tidak melakukan perbuatan hukum, baik penahanan tersebut di
dalam rumah, atau masjid, maupun di tempat lainnya. Penahanan model itulah yang
dilaksanakan pada masa Nabi SAW dan Khalifah Abu Bakar. Artinya, pada masa itu tidak
ada tempat yang khusus untuk menahan seorang pelaku. Akan tetapi, setelah umat Islam
bertambah banyak dan wilayah Islam bertambah luas, Khalifah Umar pada masa
pemerintahannya membeli rumah Shafwan Ibn Umayyah dengan harga empat ribu
dirham untuk kemudian dijadikan sebagai penjara.
Atas dasar inilah, para ulama membolehkan kepada Ulul Amri untuk membuat
penjara. Meskipun demikian, para ulama yang lain tetap tidak membolehkan untuk
mengadakan penjara, karena hal itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW dan Khalifah
Abu Bakar.
Selain itu, dasar hukum yang membolehkannya hukuman penjara ini adalah Surah
An-Nisaa’ ayat 15 :
Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat
orang saksi diantara kamu (yang menyaksikannya). Kemudian apabila mereka Telah
memberi persaksian, Maka kurunglah mereka (wanita-wanita itu) dalam rumah sampai
mereka menemui ajalnya, atau sampai Allah memberi jalan lain kepadanya. (QS. An-
Nisaa’ : 15)
Hukuman penjara dalam syariat Islam dibagi kepada dua bagian, yaitu :
Hukuman penjara yang dibatasi waktunya
Hukuman penjara terbatas adalah hukuman penjara yang lama waktunya dibatasi
secara tegas. Hukuman penjara terbatas ini diterapkan untuk jarimah penghinaan,
penjual khamar, pemakan riba, melanggar kehormatan bulan suci Ramadhan, mengairi
ladang dari saluran tetangga tanpa izin, caci maki antara dua orang yang dipenjara dan
saksi palsu.
Adapun lamanya hukuman penjara, tidak ada kesepakatan di kalangan para ulama,
begitupun batas tertinggi dan terendah pada hukuman penjara terbatas ini, tidak ada
kesepakatan juga di kalangan para ulama.
Hukuman penjara yang tidak dibatasi waktunya
Hukuman penjara tidak terbatas atau tidak dibatasi waktunya, melainkan
berlangsung terus sampai orang yang terhukum itu mati, atau sampai ia bertobat. Dalam
istilah lain bisa disebut hukuman penjara seumur hidup.
Hukuman penjara seumur hidup dikenakan kepada penjahat yang sangat berbahaya,
misalnya seseorang yang menahan orang lain unktuk dibunuh oleh orang ketiga, atau
seperti orang yang mengikat orang lain, kemudian melemparkannya kedepan hewan
buas. Menurut Imam Abu Yusuf, apabila orang itu mati karena hewan buas maka pelaku
dikenakan hukuman penjara seumur hidup.
4. Hukuman pengasingan10
Diantara hukuman ta’zir dalam syariat Islam ialah pengasingan, hukuman
pengasingan juga termasuk hukuman had yang diterapkan untuk pelaku tindak pidana
perampokan berdasarkan surah Al-Maidah ayat 33 :
10
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, hal. 230
Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan rasul-
Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau
dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat
kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di
akhirat mereka beroleh siksaan yang besar. (QS Al-Maidah : 33)
Meskipun hukuman pengasingan itu merupakan hukuman had, namun dalam
praktiknya, hukuman tersebut diterapkan juga sebagai hukuman ta’zir. Dalam sejarah,
Rasullullah SAW pernah menjatuhkan hukuman pengucilan terhadap tiga orang yang tidak
ikut serta dalam perang Tabuk, yaitu Ka’ab bin Malik, Mirarah bin Rubai’ah, dan Hilal bin
Umaiyah. Mereka dikucilkan selama 50 hari tanpa diajak bicara sehingga turunlah firman
Allah SWT :
Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga
apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun
telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada
tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima Taubat
mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Penerima
Taubat lagi Maha Penyayang. (QS At-Taubah : 108)
Diantara jarimah ta’zir yang dikenakan hukuman pengucilan adalah orang yang
berperilaku mukhannats (waria) yang pernah dilaksanakan oleh Nabi SAW dengan
mengasingkannya ke luar Madinah, pemalsuan terhadap Al-Qur’an, atau pemalsuan
terhadap Baitul Mal. Adapun tempat dan lamanya pengasingan, tidak ada kesepakatan para
fuqaha.
Pesan yang dapat kita tangkap dalam penjatuhan hukuman pengasingan ini adalah
kekhawatiran para ulama akan tersebarnya pengaruh si pelaku kepada orang lain sehingga
ia harus dibuang ke luar daerah.
5. Hukuman-Hukuman Ta’zir yang Lain11
Peringatan keras.
Hukuman denda.
Dihadirkan di hadapan sidang.
Nasihat.
Celaan.
Pemecatan dan pengumuman kesalahan secara terbuka.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin. 2007. Hukum Pidana Islam. Jakarta. Jakarta: Sinar Grafika.
Djazuli, Ahmad. 2000. Fiqh Jinayat (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam).
Jakarta: RajaGrafindo, cetakan III.
Hakim, Rahmat. 2000. Hukum Pidana Islam. Bandung: Pustaka Setia, cetakan II.
Muslich, W.A. 2005. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika, cetakan II.
Hanafi, Ahmad. Asas-Asas Hukum Pidana Islam.
11
Prof. Drs. H. Ahmad Djazuli, Fiqh Jianayat (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalan Islam), hal. 215