4. BAB III.docx

Post on 14-Apr-2016

214 views 0 download

Transcript of 4. BAB III.docx

BAB III

PENEGAKAN DIAGNOSIS

3.1 Gambaran Klinis Asma

Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodik batuk, mengi, dan sesak

napas. Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada, dan

pada asma alergik mungkin disertai pilek atau bersin. Meskipun pada mulanya batuk

tanpa disertai sekret, tetapi pada perkembangan selanjutnya pasien akan

mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih kadang-kadang purulen. Ada sebagian

kecil pasien asma yang gejalanya hanya batuk tanpa disertai mengi, dikenal dengan

istilah cough variant asthma. Bila hal yang terakhir ini dicurigai, perlu dilakukan

pemeriksaan spirometri sebelum dan sesudah bronkodilator atau uji provokasi

bronkus dengan metakolin.9

Pada asma alergik, sering hubungan antara pemajanan alergen dengan gejala asma

tidak jelas. Terlebih lagi pasien asma alergik juga memberikan gejala terhadap faktor

pencetus non alergik seperti asap rokok, asap yang merangsang, infeksi saluran napas

maupun perubahan cuaca.9

Lain halnya dengan asma akibat pekerjaan. Gejala biasanya memburuk pada awal

minggu dan membaik menjelang akhir minggu. Pada pasien yang gejalanya tetap

memburuk sepanjang minggu, gejalanya mungkin akan membaik bila pasien

dijauhkan dari lingkungan kerjanya, seperti sewaktu cuti misalnya. Pemantauan

dengan alat peak flow meter atau uji provokasi dengan bahan tersangka yang ada di

lingkungan kerja mungkin diperlukan untuk menegakkan diagnosis.9

3.2 Klasifikasi asma

Sebenarnya derajat asma adalah suatu kontinum, yang berarti bahwa derajat asma

persisten dapat berkurang atau bertambah. derajat gejala eksaserbasi atau serangan

asma dapat bervariasi yang tidak tergantung dari derajat sebelumnya.

15

1. Klasifikasi menurut etiologi

Banyak usaha telah dilakukan untuk membagi asma menurut etilogi, terutama

dengan bahan lingkungan yang mensensitisasi. Namun hal itu sulit dilakukan

antara lain oleh karena bahan tersebut sering tidak diketahui.

2. Klasifikasi menurut derajat berat asma

Klasifikasi asma menurut derajat berat berguna untuk menetukan obat yang

diperlukan pada awal penanganan asma. Menurut derajat besar asma

diklasifikasikan sebagai intermiten, persisten ringan, persisten sedang, dan

persisten berat.

3. Klasifikasi menurut kontrol asma

Kontrol asma dapat didefinisikan menurut berbagai cara. Pada umumnya,

istilah kontrol menunjukkan penyakit yang tercegah atau sembuh. Namun pada

asma, hal itu tidak realistis. Maksud kontrol adalah kontrol manifestasi penyakit.

Kontrol yang lengkap biasanya diperoleh dengan pengobatan. Tujuan pengobatan

adalah memperoleh dan mempertahankan kontrol untuk waktu lama dengan

pemberian obat yang aman, dan tanpa efek samping.

4. Klasifikasi menurut gejala

Asma dapat diklasifikasikan pada saat tanpa serangan dan pada saat serangan.

Tidak ada satu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat ringannya

suatu penyakit. Pemeriksaan gejala-gejala dan uji faal paru berguna untuk

mengklasifikasikan penyakit menurut berat ringannya. Klasifikasi itu sangat

penting untuk penatalaksanaan asma. Berat ringan asma ditentukan oleh berbagai

faktor seperti gambaran klinis sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala

malam hari, pemberian obat inhalasi β-2 agonis, dan uji faal paru) serta obat-obat

yang digunakan untukmengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat, dan frekuensi

pemakaian obat). Asma dapat diklasifikasikan menjadi intermitten, persisten

ringan, persisten sedang, dan persisten berat (Tabel 1).

Selain klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan danobat yang

digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat ringannya

16

serangan. Global initiative for asthma (GINA) melakukan pembagian derajat

serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan

pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menetukan terapi yang akan

diterapkan.

Klasifikasi tersebut adalah asma serangan ringan, asma serangan sedang, dan

asma serangan berat (tabel 2). Dalam hal ini perlu adanya pembedaan antara asma

kronik dengan serangan asma akut. Dalam melakukan penilaian berat ringannya

serangan asma, tidak harus lengkap untuk setiap pasien. Penggolongannya harus

diartikan sebagai prediksi dalam menangani pasien asma yang datang ke fasilitas

kesehatan dengan keterbatasan yang ada.1

Tabel 1. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gejala pada orang dewasa1

Derajat Asma Gejala Gejala Malam Faal Paru

intermitten Bulanan

Gejala <1x/minggu,

tanpa gejala di luar

serangan

Serangan singkat

≤2 kali sebulan APE ≥80%

VEP1 ≥80% nilai

prediksi APE

≥80% nilai terbaik

Variabilitas APE

<20%

Persisten ringan Mingguan

Gejala >1x/minggu,

tetapi <1x/hari

Serangan dapat

menggangu

aktivitas dan tidur

>2 kali sebulan APE >80%

VEP1 ≥80% nilai

prediksi APE

≥80% nilai terbaik

Variabilitas APE

20-30%

Persisten sedang Harian

Gejala setiap hari

Serangan

menggangu

aktivitas dan tidur

>2 kali sebulan APE 60-80%

-VEP1 60-80%

nilai prediksi APE

60-80% nilai

terbaik

17

Bronkodilator setiap

hari

-Variabilitas APE

>30%

Persisten berat Kontinyu

Gejala terus

menerus

Sering kambuh

aktivitas fisik

terbatas

Sering APE ≤60%

VEP1 ≤60% nilai

prediksi APE

≤60% nilai terbaik

Variabilitas APE

>30%

Tabel 2. Klasifikasi Derajat Beratnya Serangan Asma9

Ringan Sedang Berat

Aktivitas Dapat berjalan

Dapat berbaring

Jalan terbatas

Lebih suka duduk

Sukar berjalan

Duduk

membungkuk ke

depan

Bicara Beberapa kalimat Kalimat terbatas Kata demi kata

Kesadaran Mungkin

terganggu

Biasanya

terganggu

Biasanya terganggu

Frekuensi napas Meningkat meningkat Sering >30

kali/menit

Retraksi otot-otot

bantu napas

Umumnya tidak

ada

Kadang kala ada ada

Mengi Lemah sampai

sedang

Keras Keras

Frekuensi nadi <100 100-120 >120

Pulsus

paradoksus

Tidak ada

(<10mmHg)

Mungkin ada (10-

25mmHg)

Sering ada (>25

mmHg)

APE sesudah

bronkodilator (%

>80% 60-80% <60%

18

prediksi)

PaCO2 <45mmHg <45mmHg <45mmHg

SaCO2 >95% 91-95% <90%

Keterangan: dalam menentukan klasifikasi tidak seluruh parameter harus dipenuhi.9

3.3 Diagnosis Asma

Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat

ditangani dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau batuk kronik berulang

merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Asma pada anak-anak umumnya

hanya menunjukkan batuk dan saat diperiksa tidak ditemukan mengi maupun sesak.

Diagnosis asma didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang. Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala berupa sesak

episodik, mengi, batuk dan dada sakit/sempit.1

Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai berat keterbatasan arus udara

dan reversibilitas yang dapat membantu diagnosis. Mengukur status alergi dapat

membantu identifikasi faktor resiko. Pada penderita dengan gejala konsisten tetapi

fungsi paru normal, pengukuran respons dapat membantu diagnosis. Asma

diklasifikasikan menurut derajat berat, namun hal itu dapat berubah dengan waktu.

Untuk membantu penanganan klinis, dianjurkan klasifikasi asma menurut ambang

kontrol. Untuk dapat mendiagnosis asma diperlukan pengkajian kondisi klinis serta

pemeriksaan penunjang.1

1. Anamnesis

Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat

hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah dan berair

(konjungtivitis alergi), dan eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik)

disertai mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian cuaca,

adanya hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat berolahraga),

sering terbangun pada malam hari, riwayat keluarga (riwayat asma, rhinitis atau

alergi lainnya dalam keluarga), memelihara binatang di dalam rumah, banyak

kecoa, terdapat bagian yang lembab di dalam rumah. Untuk mengetahui adanya

19

tungau debu rumah, tanyakan apakah menggunakan karpet berbulu, sofa kain

beludru, kasur kapuk, banyak barang di kamar tidur. Apakah sesak seperti bau-

bauan seperti parfum, spray pembunuh serangga, apakah pasien merokok, orang

lain yang merokok, di rumah atau lingkungan kerja, obat yang digunakan pasien,

apakah ada beta blocker, aspirin, atau steroid.1

2. Pemeriksaan klinis

Untuk menetukan diagnosis asma harus dilakukan anamnesis secara rinci,

menetukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada pemeriksaan

fisik pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas, dan terjadi

perubahan bentuk anatomi toraks. Pada inspeksi dapat ditemukan: napas cepat

sampai sianosis, kesulitan bernapas, menggunakan otot napas tambahan di leher,

perut, dan dada. Pada auskultasi dapat ditemukan mengi, ekspirasi diperpanjang.1,9

3. Pemeriksaan penunjang

a. Spirometer

Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga

untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.

b. Peak flow meter/PFM

Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat tersebut

digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Oleh karena

pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan diagnosis asma

diperlukan pemeriksaan objektif (spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer

lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena PFM tidak begitu sensitif

dibanding FEV, untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur

terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat

diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita yang tidak

dapat melakukan pemeriksaan FEV1.

c. X-ray toraks.

Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma

d. Pemeriksaan IgE

20

Uji tusuk kulit (skin prick test), untuk menunjukkan adanya antibodi IgE

spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari

faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab

asma. Pemeriksaan darah IgE atopi dilakukan dengan cara radio allergo

sorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada

dermographism).

e. Petanda inflamasi

Derajat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak berdasarkan

atas penilaian objektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan spirometri

bukan merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif inflamasi

saluran napas dapat dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil

dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas.

Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah

eosinofil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat

berat asma. Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan

gambaran inflamasi tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset.

f. Uji hipereaktivitas bronkus/HRB

Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan

dengan berbagai test provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan

nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran

napas pada penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis yang lebih

besar, terjadi pada subyek alergi tanpa asma. Di samping ukuran alergen

dalam alam yang terpajan pada subyek alergi biasanya berupa partikel dengan

berbagai ukuran dari 2-20μm, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes provokasi

sebenarnya kurang memberikan informasi klinis dibanding dengan tes kulit.

Tes provokasi non spesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan

latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau kering, histamin dan metakolin.1

21