Post on 14-Apr-2016
BAB III
PENEGAKAN DIAGNOSIS
3.1 Gambaran Klinis Asma
Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodik batuk, mengi, dan sesak
napas. Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada, dan
pada asma alergik mungkin disertai pilek atau bersin. Meskipun pada mulanya batuk
tanpa disertai sekret, tetapi pada perkembangan selanjutnya pasien akan
mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih kadang-kadang purulen. Ada sebagian
kecil pasien asma yang gejalanya hanya batuk tanpa disertai mengi, dikenal dengan
istilah cough variant asthma. Bila hal yang terakhir ini dicurigai, perlu dilakukan
pemeriksaan spirometri sebelum dan sesudah bronkodilator atau uji provokasi
bronkus dengan metakolin.9
Pada asma alergik, sering hubungan antara pemajanan alergen dengan gejala asma
tidak jelas. Terlebih lagi pasien asma alergik juga memberikan gejala terhadap faktor
pencetus non alergik seperti asap rokok, asap yang merangsang, infeksi saluran napas
maupun perubahan cuaca.9
Lain halnya dengan asma akibat pekerjaan. Gejala biasanya memburuk pada awal
minggu dan membaik menjelang akhir minggu. Pada pasien yang gejalanya tetap
memburuk sepanjang minggu, gejalanya mungkin akan membaik bila pasien
dijauhkan dari lingkungan kerjanya, seperti sewaktu cuti misalnya. Pemantauan
dengan alat peak flow meter atau uji provokasi dengan bahan tersangka yang ada di
lingkungan kerja mungkin diperlukan untuk menegakkan diagnosis.9
3.2 Klasifikasi asma
Sebenarnya derajat asma adalah suatu kontinum, yang berarti bahwa derajat asma
persisten dapat berkurang atau bertambah. derajat gejala eksaserbasi atau serangan
asma dapat bervariasi yang tidak tergantung dari derajat sebelumnya.
15
1. Klasifikasi menurut etiologi
Banyak usaha telah dilakukan untuk membagi asma menurut etilogi, terutama
dengan bahan lingkungan yang mensensitisasi. Namun hal itu sulit dilakukan
antara lain oleh karena bahan tersebut sering tidak diketahui.
2. Klasifikasi menurut derajat berat asma
Klasifikasi asma menurut derajat berat berguna untuk menetukan obat yang
diperlukan pada awal penanganan asma. Menurut derajat besar asma
diklasifikasikan sebagai intermiten, persisten ringan, persisten sedang, dan
persisten berat.
3. Klasifikasi menurut kontrol asma
Kontrol asma dapat didefinisikan menurut berbagai cara. Pada umumnya,
istilah kontrol menunjukkan penyakit yang tercegah atau sembuh. Namun pada
asma, hal itu tidak realistis. Maksud kontrol adalah kontrol manifestasi penyakit.
Kontrol yang lengkap biasanya diperoleh dengan pengobatan. Tujuan pengobatan
adalah memperoleh dan mempertahankan kontrol untuk waktu lama dengan
pemberian obat yang aman, dan tanpa efek samping.
4. Klasifikasi menurut gejala
Asma dapat diklasifikasikan pada saat tanpa serangan dan pada saat serangan.
Tidak ada satu pemeriksaan tunggal yang dapat menentukan berat ringannya
suatu penyakit. Pemeriksaan gejala-gejala dan uji faal paru berguna untuk
mengklasifikasikan penyakit menurut berat ringannya. Klasifikasi itu sangat
penting untuk penatalaksanaan asma. Berat ringan asma ditentukan oleh berbagai
faktor seperti gambaran klinis sebelum pengobatan (gejala, eksaserbasi, gejala
malam hari, pemberian obat inhalasi β-2 agonis, dan uji faal paru) serta obat-obat
yang digunakan untukmengontrol asma (jenis obat, kombinasi obat, dan frekuensi
pemakaian obat). Asma dapat diklasifikasikan menjadi intermitten, persisten
ringan, persisten sedang, dan persisten berat (Tabel 1).
Selain klasifikasi derajat asma berdasarkan frekuensi serangan danobat yang
digunakan sehari-hari, asma juga dapat dinilai berdasarkan berat ringannya
16
serangan. Global initiative for asthma (GINA) melakukan pembagian derajat
serangan asma berdasarkan gejala dan tanda klinis, uji fungsi paru, dan
pemeriksaan laboratorium. Derajat serangan menetukan terapi yang akan
diterapkan.
Klasifikasi tersebut adalah asma serangan ringan, asma serangan sedang, dan
asma serangan berat (tabel 2). Dalam hal ini perlu adanya pembedaan antara asma
kronik dengan serangan asma akut. Dalam melakukan penilaian berat ringannya
serangan asma, tidak harus lengkap untuk setiap pasien. Penggolongannya harus
diartikan sebagai prediksi dalam menangani pasien asma yang datang ke fasilitas
kesehatan dengan keterbatasan yang ada.1
Tabel 1. Klasifikasi derajat asma berdasarkan gejala pada orang dewasa1
Derajat Asma Gejala Gejala Malam Faal Paru
intermitten Bulanan
Gejala <1x/minggu,
tanpa gejala di luar
serangan
Serangan singkat
≤2 kali sebulan APE ≥80%
VEP1 ≥80% nilai
prediksi APE
≥80% nilai terbaik
Variabilitas APE
<20%
Persisten ringan Mingguan
Gejala >1x/minggu,
tetapi <1x/hari
Serangan dapat
menggangu
aktivitas dan tidur
>2 kali sebulan APE >80%
VEP1 ≥80% nilai
prediksi APE
≥80% nilai terbaik
Variabilitas APE
20-30%
Persisten sedang Harian
Gejala setiap hari
Serangan
menggangu
aktivitas dan tidur
>2 kali sebulan APE 60-80%
-VEP1 60-80%
nilai prediksi APE
60-80% nilai
terbaik
17
Bronkodilator setiap
hari
-Variabilitas APE
>30%
Persisten berat Kontinyu
Gejala terus
menerus
Sering kambuh
aktivitas fisik
terbatas
Sering APE ≤60%
VEP1 ≤60% nilai
prediksi APE
≤60% nilai terbaik
Variabilitas APE
>30%
Tabel 2. Klasifikasi Derajat Beratnya Serangan Asma9
Ringan Sedang Berat
Aktivitas Dapat berjalan
Dapat berbaring
Jalan terbatas
Lebih suka duduk
Sukar berjalan
Duduk
membungkuk ke
depan
Bicara Beberapa kalimat Kalimat terbatas Kata demi kata
Kesadaran Mungkin
terganggu
Biasanya
terganggu
Biasanya terganggu
Frekuensi napas Meningkat meningkat Sering >30
kali/menit
Retraksi otot-otot
bantu napas
Umumnya tidak
ada
Kadang kala ada ada
Mengi Lemah sampai
sedang
Keras Keras
Frekuensi nadi <100 100-120 >120
Pulsus
paradoksus
Tidak ada
(<10mmHg)
Mungkin ada (10-
25mmHg)
Sering ada (>25
mmHg)
APE sesudah
bronkodilator (%
>80% 60-80% <60%
18
prediksi)
PaCO2 <45mmHg <45mmHg <45mmHg
SaCO2 >95% 91-95% <90%
Keterangan: dalam menentukan klasifikasi tidak seluruh parameter harus dipenuhi.9
3.3 Diagnosis Asma
Diagnosis asma yang tepat sangatlah penting, sehingga penyakit ini dapat
ditangani dengan baik, mengi (wheezing) berulang dan/atau batuk kronik berulang
merupakan titik awal untuk menegakkan diagnosis. Asma pada anak-anak umumnya
hanya menunjukkan batuk dan saat diperiksa tidak ditemukan mengi maupun sesak.
Diagnosis asma didasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Diagnosis klinis asma sering ditegakkan oleh gejala berupa sesak
episodik, mengi, batuk dan dada sakit/sempit.1
Pengukuran fungsi paru digunakan untuk menilai berat keterbatasan arus udara
dan reversibilitas yang dapat membantu diagnosis. Mengukur status alergi dapat
membantu identifikasi faktor resiko. Pada penderita dengan gejala konsisten tetapi
fungsi paru normal, pengukuran respons dapat membantu diagnosis. Asma
diklasifikasikan menurut derajat berat, namun hal itu dapat berubah dengan waktu.
Untuk membantu penanganan klinis, dianjurkan klasifikasi asma menurut ambang
kontrol. Untuk dapat mendiagnosis asma diperlukan pengkajian kondisi klinis serta
pemeriksaan penunjang.1
1. Anamnesis
Ada beberapa hal yang harus diketahui dari pasien asma antara lain: riwayat
hidung ingusan atau mampat (rhinitis alergi), mata gatal, merah dan berair
(konjungtivitis alergi), dan eksem atopi, batuk yang sering kambuh (kronik)
disertai mengi, flu berulang, sakit akibat perubahan musim atau pergantian cuaca,
adanya hambatan beraktivitas karena masalah pernapasan (saat berolahraga),
sering terbangun pada malam hari, riwayat keluarga (riwayat asma, rhinitis atau
alergi lainnya dalam keluarga), memelihara binatang di dalam rumah, banyak
kecoa, terdapat bagian yang lembab di dalam rumah. Untuk mengetahui adanya
19
tungau debu rumah, tanyakan apakah menggunakan karpet berbulu, sofa kain
beludru, kasur kapuk, banyak barang di kamar tidur. Apakah sesak seperti bau-
bauan seperti parfum, spray pembunuh serangga, apakah pasien merokok, orang
lain yang merokok, di rumah atau lingkungan kerja, obat yang digunakan pasien,
apakah ada beta blocker, aspirin, atau steroid.1
2. Pemeriksaan klinis
Untuk menetukan diagnosis asma harus dilakukan anamnesis secara rinci,
menetukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada pemeriksaan
fisik pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas, dan terjadi
perubahan bentuk anatomi toraks. Pada inspeksi dapat ditemukan: napas cepat
sampai sianosis, kesulitan bernapas, menggunakan otot napas tambahan di leher,
perut, dan dada. Pada auskultasi dapat ditemukan mengi, ekspirasi diperpanjang.1,9
3. Pemeriksaan penunjang
a. Spirometer
Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga
untuk menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.
b. Peak flow meter/PFM
Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat tersebut
digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Oleh karena
pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan diagnosis asma
diperlukan pemeriksaan objektif (spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer
lebih diutamakan dibanding PFM oleh karena PFM tidak begitu sensitif
dibanding FEV, untuk diagnosis obstruksi saluran napas, PFM mengukur
terutama saluran napas besar, PFM dibuat untuk pemantauan dan bukan alat
diagnostik, APE dapat digunakan dalam diagnosis untuk penderita yang tidak
dapat melakukan pemeriksaan FEV1.
c. X-ray toraks.
Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma
d. Pemeriksaan IgE
20
Uji tusuk kulit (skin prick test), untuk menunjukkan adanya antibodi IgE
spesifik pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari
faktor pencetus. Uji alergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab
asma. Pemeriksaan darah IgE atopi dilakukan dengan cara radio allergo
sorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan (pada
dermographism).
e. Petanda inflamasi
Derajat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak berdasarkan
atas penilaian objektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan spirometri
bukan merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif inflamasi
saluran napas dapat dilakukan melalui biopsi paru, pemeriksaan sel eosinofil
dalam sputum, dan kadar oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas.
Analisis sputum yang diinduksi menunjukkan hubungan antara jumlah
eosinofil dan Eosinophyl Cationic Protein (ECP) dengan inflamasi dan derajat
berat asma. Biopsi endobronkial dan transbronkial dapat menunjukkan
gambaran inflamasi tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset.
f. Uji hipereaktivitas bronkus/HRB
Pada penderita yang menunjukkan FEV1 >90%, HRB dapat dibuktikan
dengan berbagai test provokasi. Provokasi bronkial dengan menggunakan
nebulasi droplet ekstrak alergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran
napas pada penderita yang sensitif. Respons sejenis dengan dosis yang lebih
besar, terjadi pada subyek alergi tanpa asma. Di samping ukuran alergen
dalam alam yang terpajan pada subyek alergi biasanya berupa partikel dengan
berbagai ukuran dari 2-20μm, tidak dalam bentuk nebulasi. Tes provokasi
sebenarnya kurang memberikan informasi klinis dibanding dengan tes kulit.
Tes provokasi non spesifik untuk mengetahui HRB dapat dilakukan dengan
latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau kering, histamin dan metakolin.1
21