Post on 14-Jan-2022
4
2. LANDASAN TEORI
2.1. Landasan Bandar Udara
Untuk memberikan petunjuk dalam merancang bandar udara, ICAO
(International Civil Aviation Organization) dan FAA (Federal Aviation
Administration) telah menyiapkan kriteria rancangan. Kriteria rancangan tersebut
meliputi lebar, kemiringan runway, taxiway, dan hal-hal lainnya yang
berhubungan dengan daerah pendaratan.
Standar-standar rancangan FAA sangat mirip dengan ketentuan-
ketentuan ICAO, yang memberikan keseragaman fasilitas-fasilitas bandar udara
dan pedoman bagi pembuat dan operator pesawat terbang mengenai fasilitas-
fasilitas yang mungkin disediakan pada masa yang akan datang.
Untuk penetapan standar-standar rancangan geometrik berbagai ukuran
bandar udara dan fungsi yang dilayani, digunakan kode-kode angka dan huruf
untuk mengklasifikasikan bandar udara. FAA mengklasifikasikan bandar udara
berdasarkan kategori pendekatan ke landasan (approach category) pesawat
terbang dan kelompok rancangan pesawat.
Kategori pendekatan ke landasan seperti terlihat pada Tabel 2.1.
ditentukan berdasarkan kecepatan pesawat saat mendekati landasan bagi pesawat
pada bobot pendaratan kotor maksimum. Pesawat dengan bobot lepas landas
maksimum yang diijinkan lebih dari 12.500 pon diklasifikasikan sebagai pesawat
besar, yang lainnya diklasifikasikan sebagai pesawat kecil. Spesifikasi-spesifikasi
rancangan geometrik untuk semua pesawat dalam kategori A dan B ditentukan
oleh spesifikasi bandar udara utilitas. Bandar udara transport didefinisikan sebagai
bandar udara yang melayani pesawat yang termasuk kategori pendekatan ke
landasan C, D, dan E, serta pesawat dengan bobot lepas landas maksimum yang
diijinkan melebihi 50.000 pon.
Kelompok rancangan pesawat untuk rancangan geometrik bandar udara
didefinisikan menurut bentang sayap pesawat yang paling banyak menggunakan
bandar udara itu. Kelompok rancangan pesawat dapat dilihat pada Tabel 2.2.
5
Tabel 2.1. Klasifikasi Kategori Pendekatan Pesawat ke Landasan (Aircraft Approach Category), Menurut FAA
Kategori Pendekatan Kecepatan Mendekati Landasan, knot A kurang dari 91 B 91-120 C 121-140 D 141-165 E 166 atau lebih besar
Sumber: Planning and Design of Airport, Robert Horonjeff / Francis X. McKelvey
Tabel 2.2. Klasifikasi Kelompok Rancangan Pesawat untuk Rancangan Geometrik Bandar Udara, Menurut FAA
Kelompok Rancangan Bentang Sayap, ft Pesawat Terbang Tipikal
Pesawat I Kurang dari 49 Learjet 24, Rockwell Sabre 75A II 49 tetapi kurang dari 79 Gulfstream II, Rockwell Sabre 80 III 79 tetapi kurang dari 118 B-727, B-737, BAC1-11, B-757,
B-767, Concorde, L-1011, DC-9 IV 118 tetapi kurang dari 171 A-300, A-310, B-707, DC-8 V 171 tetapi kurang dari 197 B-747 VI 197 tetapi kurang dari 262 Belum ada
Sumber: Planning and Design of Airport, Robert Horonjeff / Francis X. McKelvey
Pengetahuan umum mengenai pesawat terbang adalah perlu bagi
perancangan bandar udara. Berat pesawat terbang menentukan tebal perkerasan
runway, taxiway dan apron, serta mempengaruhi panjang runway. Bentang sayap
dan panjang badan pesawat mempengaruhi ukuran apron. Ukuran pesawat
menentukan lebar runway dan taxiway, serta mempengaruhi jari-jari pada kurva
perkerasan. Gambar 2.1. memperlihatkan keterangan dari ukuran-ukuran utama
pesawat terbang.
2.1.1. Geometrik Runway
Runway adalah bagian dari bandar udara yang dipergunakan untuk
tinggal landas dan pendaratan bagi pesawat terbang. Bagian-bagian runway di
suatu bandar udara terdiri dari perkerasan struktur, bahu landasan (shoulder),
6
bantal hembusan (blast pad), dan daerah aman runway (runway safety area).
Gambar 2.2. akan memperlihatkan bagian-bagian runway tersebut.
Tampak Depan
Tampak Samping
Tampak Atas
Sumber: Planning and Design of Airport, Robert Horonjeff / Francis X. McKelvey
Gambar 2.1. Keterangan Istilah-istilah yang Berhubungan dengan Ukuran- ukuran Pesawat
7
Bantal hembusan
Bantal hembusan Bahu landasan
Sumber: Planning and Design of Airport, Robert Horonjeff / Francis X. McKelvey
Gambar 2.2. Tampak Atas Unsur-unsur Runway
Perkerasan struktur harus mampu mendukung pesawat sehubungan
dengan beban struktur, kemampuan manuver, kendali, stabilitas, kriteria dimensi
dan operasi lainnya.
Bahu landasan yang terletak berdekatan dengan pinggir perkerasan
struktur berguna untuk menahan erosi hembusan jet dan menampung peralatan
bagi pemeliharaan dan keadaan darurat.
Bantal hembusan adalah daerah yang dirancang untuk mencegah erosi
permukaan yang berdekatan dengan ujung-ujung runway yang menerima
hembusan jet yang terus-menerus atau yang berulang. FAA menetapkan bahwa
panjang bantal hembusan harus 100 ft untuk kelompok rancangan pesawat I, 150
ft untuk kelompok rancangan II, 200 ft untuk kelompok rancangan III dan IV, dan
400 ft untuk kelompok rancangan V dan VI. Lebar bantal hembusan harus
mencakup lebar runway dan bahu landasan.
Daerah aman runway adalah daerah yang bersih tanpa benda-benda yang
mengganggu, diberi drainase, rata, dan mencakup perkerasan struktur, bahu
landasan, dan bantal hembusan. Daerah ini selain harus mampu mendukung
peralatan pemeliharaan, dalam keadaan darurat juga harus mampu mendukung
pesawat seandainya pesawat karena sesuatu hal keluar dari perkerasan. FAA
menetapkan bahwa daerah aman runway harus menerus sepanjang 240 ft dari
ujung runway untuk pesawat kecil dalam kelompok rancangan pesawat I, 300 ft
untuk pesawat kecil dalam kelompok rancangan II, 600 ft untuk operasi-operasi
instrumentasi presisi bagi pesawat kecil serta 1.000 ft untuk pesawat besar dalam
8
seluruh kelompok rancangan. Daerah aman runway harus mencakup bantal
hembusan dan lebarnya harus 500 ft untuk pesawat kategori transport.
Standar-standar geometrik runway untuk kategori pendekatan C, D, E,
dan transport menurut FAA, dikaitkan dengan lebar perkerasan, lebar daerah
aman, dan lebar bahu landasan, serta kemiringan memanjang dan melintang,
diberikan pada Tabel 2.3. berikut ini.
Tabel 2.3. Standar-standar Geometrik Runway, Menurut FAA
Kategori Pendekatan Geometrik Runway C, D, E, Transport
I II III IV V VI Lebar perkerasan (ft) 100 100 100 150 150 200 Lebar daerah aman (ft) 500 500 500 500 500 500 Lebar bahu landasan* (ft) 10 10 20 25 35 40 Kemiringan memanjang maksimum (%) 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 Kemiringan memanjang efektif 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 maksimum (%) Perubahan kemiringan memanjang 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 maksimum (%) Perubahan kemiringan memanjang 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 0,1 kurva transisi per 100 ft (%) Kemiringan melintang maksimum (%) 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 - Kemiringan memanjang daerah aman 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 maksimum (%) Kemiringan melintang daerah aman 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 maksimum (%)
* Perkerasan dan bahu landasan paling sedikit 200 ft untuk kode-kode D dan E Sumber: Planning and Design of Airport, Robert Horonjeff / Francis X. McKelvey
Kemiringan efektif pada runway didefinisikan sebagai kemiringan yang
dihitung dengan membagi perbedaan antara ketinggian maksimum dan minimum
di sepanjang garis tengah runway dengan panjang keseluruhan runway. Untuk
bandar udara transport, dibatasi hanya sebesar 1,0%.
Sehubungan dengan profil memanjang, FAA memperbolehkan adanya
perubahan kemiringan, tetapi jumlah dan ukurannya dibatasi. Perubahan
kemiringan memanjang maksimum yang diijinkan terdapat pada Tabel 2.3.
Perubahan kemiringan ditetapkan dengan bantuan kurva-kurva vertikal. Panjang
9
kurva vertikal ditentukan berdasarkan besarnya perubahan kemiringan dan
perubahan kemiringan maksimum yang diijinkan per 100 ft runway. Kedua nilai
tersebut terdapat dalam Tabel 2.3. Pada umumnya kurva-kurva vertikal tidak
dibutuhkan apabila perubahan kemiringan tidak lebih dari 0,4%. FAA menetapkan
bahwa panjang minimum kurva peralihan vertikal adalah 1.000 ft untuk bandar
udara yang melayani pesawat dengan ketegori pendekatan ke landasan C, D dan
E. Jumlah perubahan kemiringan dibatasi oleh aturan-aturan berikut. FAA
menetapkan bahwa jarak antara titik potong dari dua kurva yang berurutan tidak
boleh lebih kecil dari jumlah nilai persentase mutlak perubahan kemiringan
dikalikan dengan 1.000 ft, untuk bandar udara transport.
Sebagai tambahan terhadap keterangan yang diberikan dalam Tabel 2.3.,
terdapat faktor-faktor lainnya yang harus dipertimbangkan sewaktu menetapkan
profil memanjang, yaitu jarak pandang. FAA tidak mempunyai ketentuan untuk
jarak pandang pada runway di bandar udara yang dilengkapi menara pengendali
karena standar untuk kemiringan memanjang di bandar udara tersebut
memberikan garis pandang yang cukup.
2.1.2. Panjang Runway
Sangat sulit menentukan panjang runway, karena panjang runway
tergantung pada banyak faktor, antara lain karakteristik pesawat, lingkungan di
bandar udara, dan prestasi pesawat. Karakteristik pesawat yang merupakan faktor
utama untuk menentukan panjang runway adalah bobot pesawat. Ada enam
macam bobot pesawat yaitu, bobot kosong operasi, muatan, bobot bahan bakar
kosong, bobot lerengan maksimum, bobot lepas landas maksimum, dan bobot
pendaratan maksimum. Bobot lepas landas maksimum (maximum take off weight)
adalah bobot pesawat terbesar, sehingga bobot inilah yang digunakan dalam
perancangan landasan dan perkerasan dari suatu bandar udara.
Lingkungan di bandar udara yang berpengaruh terhadap panjang runway
adalah sebagai berikut:
a. Ketinggian. Makin tinggi letak suatu bandar udara, makin panjang runway
yang dibutuhkan. Untuk keperluan perancangan, pertambahan panjang runway
10
dibandingkan panjang runway pada ketinggian muka air laut sebesar 7% per
1.000 ft, dirumuskan sebagai berikut:
L1000
h0,07Fe ××= (2.1)
di mana Fe = koreksi panjang runway akibat ketinggian (ft)
h = ketinggian bandar udara terhadap muka laut (ft)
L = panjang runway (ft)
b. Temperatur. Makin tinggi temperatur, makin panjang runway yang dibutuhkan
karena temperatur yang tinggi mencerminkan kerapatan udara yang lebih
rendah, yang mengakibatkan hasil daya dorong yang lebih rendah. Besarnya
koreksi panjang runway adalah 1% untuk tiap derajat temperatur penunjuk
lapangan dikurangi temperatur standar.
Temperatur penunjuk lapangan = 3
Ta)-(TmTa + (2.2)
di mana Ta = temperatur rata-rata sehari dari rata-rata sebulan untuk bulan
terpanas dalam setahun.
Tm = temperatur rata-rata harian maksimum dari rata-rata sebulan
pada bulan terpanas dalam setahun.
Temperatur standar dapat ditentukan dengan mengurangi suhu standar pada
permukaan laut yaitu, 15,5°C dengan 0,0065 °C untuk tiap meter ketinggian
bandar udara di atas muka laut. Kontrol untuk total koreksi akibat ketinggian
dan temperatur tidak boleh lebih dari 35% (≤ 35%).
c. Kemiringan runway. Kemiringan ke atas membutuhkan runway yang lebih
panjang daripada runway yang rata atau yang kemiringannya ke bawah.
Kriteria rancangan bandar udara menetapkan kemiringan maksimum sebesar
1,5%. Untuk keperluan perancangan bandar udara, FAA menggunakan
kemiringan efektif. Kemiringan efektif didefinisikan sebagai selisih ketinggian
antara titik tertinggi dan terendah pada profil runway sebenarnya dibagi dengan
panjang runway tersebut, besarnya tidak boleh melebihi 1% untuk kategori
pendekatan C, D, E, dan transport. Faktor koreksi (Fs) untuk kemiringan
menurut FAA adalah 10% untuk tiap persen kemiringan efektif bagi runway
11
untuk pesawat bermesin turbojet dan turbofan, dan 20% untuk pesawat
bermesin piston dan turboprop.
d. Angin permukaan. Ada dua macam angin permukaan yang mempengaruhi
perhitungan panjang runway, yaitu angin haluan (head wind) dan angin buritan
(tail wind). Angin haluan menyebabkan kebutuhan akan runway menjadi lebih
pendek, sedangkan angin buritan sebaliknya. Angin haluan dengan kecepatan 5
knot akan mengurangi panjang runway kira-kira sebesar 3%, sedangkan angin
buritan dengan kecepatan 5 knot akan menambah panjang runway kira-kira
sebesar 7%.
Panjang runway dapat juga dihitung berdasarkan tabel-tabel data prestasi
pesawat menurut FAA, Advisory Circular 150/5325-4. Data lingkungan yang
diperlukan yaitu, ketinggian bandar udara, temperatur, dan kemiringan efektif
runway. Pada prosedur ini, kemiringan efektif runway dianggap nol. Untuk
memperhitungkan kondisi-kondisi sebenarnya, panjang yang didapat dari tabel
ditambah 10% untuk setiap persen dari kemiringan efektif bagi pesawat terbang
yang digerakkan turbin. Tabel didasarkan pada pengaturan sirip sayap pesawat
terbang (flap settings) untuk pendaratan dan lepas landas, serta kondisi runway
yang basah, dengan tidak ada penyesuaian bagi kondisi kering.
2.1.3. Kapasitas Runway
Kapasitas runway adalah jumlah operasi pesawat terbang maksimum
yang dapat dilakukan di atas runway selama jangka waktu tertentu. Kapasitas
runway pada perancangan ini dihitung pada peak hour dengan berdasarkan hasil
repetisi total pergerakan pesawat. Dari kapasitas runway dapat dicari jumlah exit
taxiway dengan menggunakan Gambar 2.3., Gambar 2.4., dan Gambar 2.5. Data
yang dibutuhkan dalam penentuan exit taxiway yaitu, kapasitas runway, komposisi
pesawat terbang yang beroperasi, panjang runway, tipe exit, aturan penerbangan
yang digunakan (VFR = Visual Flight Rules atau IFR = Instrument Flight Rules),
dan tipe operasi yang dilakukan di runway.
Tabel 2.4. berikut ini memberikan penggolongan komposisi pesawat
terbang yang beroperasi pada runway.
12
Tabel 2.4. Penggolongan Komposisi Pesawat Terbang
Kelas Jenis Pesawat Terbang A B
C
D
E
Boeing 707, 747, 720; Douglas DC-8 dan DC-10; Lockhead L-1011 Boeing 727, 737; Douglas DC-9; BACI-11; semua pesawat perusahaan penerbangan bermesin piston dan turboprop yang besar Pesawat terbang kecil yang digerakkan propeler untuk perusahaan penerbangan, seperti Fairchild F-27 dan pesawat jet bisnis Pesawat penerbangan umum yang digerakkan propeler bermesin ganda dan beberapa pesawat dengan mesin tunggal yang lebih besar Pesawat penerbangan umum yang digerakkan propeler bermesin tunggal
Sumber: Planning and Design of Airport, Robert Horonjeff / Francis X. McKelvey
Gambar 2.3. di bawah ini digunakan untuk mendapatkan komposisi
interpolasi jika komposisi pesawat terbang sebenarnya berbeda dari yang
diberikan pada Gambar 2.4.
Sumber: Planning and Design of Airport, Robert Horonjeff / Francis X. McKelvey
Gambar 2.3. Interpolasi Pesawat Kelas B dengan Pesawat Kelas A Ekivalen
Dengan kapasitas runway pada peak hour dan komposisi pesawat terbang
yang telah diinterpolasi, dari Gambar 2.4. didapatkan nilai exit rating. Gambar
13
2.4. dipakai untuk single runway dalam kondisi VFR dengan operasi-operasi
campuran bagi berbagai komposisi pesawat terbang.
Sumber: Planning and Design of Airport, Robert Horonjeff / Francis X. McKelvey
Gambar 2.4. Kapasitas per Jam untuk Single Runway dalam Kondisi VFR untuk Operasi Campuran
Jumlah exit didapatkan dengan menggunakan Gambar 2.5. di bawah ini,
untuk tipe exit 90°. Data yang dipakai adalah panjang runway dan nilai exit rating.
14
Sumber: Planning and Design of Airport, Robert Horonjeff / Francis X. McKelvey
Gambar 2.5. Nilai Keluar (Exit Rating) untuk tipe exit 90°
2.1.4. Taxiway
Taxiway adalah bagian dari permukaan bandar udara yang digunakan
pesawat terbang untuk geraknya di antara runway dan apron. Kapasitas minimal
taxiway harus sama dengan kapasitas runway.
Rancangan taxiway merupakan faktor penting yang harus ditentukan
bersama-sama dengan rancangan runway dan apron. Taxiway dirancang untuk
menyederhanakan lalu lintas dan runway cepat bebas. Syarat-syarat dalam
perancangan taxiway, yaitu hindari persilangan-persilangan, lurus dan langsung,
dapat dilihat dari menara, meminimalkan waktu pemakaian runway, dan tidak ada
hambatan-hambatan
Karena kecepatan pesawat di taxiway jauh lebih kecil daripada
kecepatan di runway, standar-standar geometrik taxiway tidaklah seketat seperti
untuk runway. Nilai-nilai penting rancangan geometrik taxiway terdapat dalam
Tabel 2.5. di bawah ini.
Tabel 2.5. Standar-standar Geometrik Taxiway, Menurut FAA
Geometrik Taxiway Kategori Pendekatan C, D, E, Transport
I II III IV V VI Lebar perkerasan (ft) 25 35 50* 75 75 100Lebar daerah aman (ft) 49 79 118 171 197 262Lebar bahu landasan (ft) 10 10 20 25 35 40 Kemiringan memanjang maksimum (%) 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 Perubahan kemiringan memanjang 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 maksimum (%) Perubahan kemiringan memanjang 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 1,0 kurva transisi per 100 ft (%) Kemiringan melintang maksimum (%) 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 1,5 Kemiringan melintang daerah aman 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 3,0 maksimum (%)
* 60 ft apabila jarak antara roda depan dan roda utama paling sedikit 60 ft Sumber: Planning and Design of Airport, Robert Horonjeff / Francis X. McKelvey
Panjang taxiway dibuat agar lalu lintas sedemikian sederhana untuk
menghemat bahan bakar, sedangkan lebar taxiway dibuat lebih kecil daripada
15
lebar runway, karena kecepatan pesawat di taxiway lebih kecil dibandingkan
dengan kecepatan pesawat di runway. Selain itu, yang harus diperhatikan adalah
jari-jari tikungan pada taxiway. Untuk mencari jari-jari pada tikungan taxiway ini
tersedia tiga cara yang kemudian diambil nilai yang terbesar, yaitu:
• Dengan V = 60 mil/jam untuk tipe exit 30°, V = 40 mil/jam untuk tipe exit 45°,
dan V = 15-20 mil/jam untuk tipe exit 90°, maka R dapat dicari memakai
rumus berikut ini.
f15VR
2
= (2.3)
di mana R = jari-jari (ft)
V = kecepatan pesawat saat menuju taxiway (mil/jam)
f = koefisien gesekan antara ban dan perkerasan = 0,13
Selain dari rumus di atas, R dapat langsung ditentukan dengan melihat Tabel
2.6. di bawah ini.
Tabel 2.6. Jari-jari Tikungan Taxiway untuk Pesawat Kategori Transport
Kecepatan di Taxiway (mil/jam) Jari-jari Tikungan Taxiway (ft) 10 20 30 40 50 60
50 200 450 800
1.250 1.800
Sumber: Planning and Design of Airport, Robert Horonjeff / Francis X. McKelvey
• Jari-jari minimum R = 120 m untuk bandar udara yang melayani pesawat
dengan mesin turboprop, dan jari-jari minimum R = 180 m untuk bandar udara
yang melayani pesawat dengan mesin turbojet.
• Dengan menghitung jarak antara tengah-tengah roda utama ke tepi perkerasan
taxiway, R dapat dicari memakai rumus berikut ini.
S-T21
0,388wR2
= (2.4)
di mana R = jari-jari (ft)
w = wheel base atau jarak antara sumbu roda depan dan belakang (ft)
16
T = lebar taxiway (ft)
S = jarak antara tengah roda utama ke tepi perkerasan taxiway (ft)
Jarak antara tengah-tengah roda utama ke tepi perkerasan taxiway (S) adalah
setengah dari jarak antara roda utama pesawat terbang ditambah jarak
minimum tepi luar roda ke tepi perkerasan pada Tabel 2.7.
Tabel 2.7. Jarak Minimum Tepi Luar Roda ke Tepi Perkerasan
Kelompok Rancangan Pesawat Jarak (ft) I II III IV V VI
5,0 7,5 10,0 15,0 15,0 20,0
Sumber: Planning and Design of Airport, Robert Horonjeff / Francis X. McKelvey
2.1.5. Exit Taxiway
Exit taxiway adalah jalan penghubung antara runway dan taxiway. Fungsi
exit taxiway adalah untuk mengurangi pemakaian runway oleh pesawat yang
mendarat.
Exit taxiway dapat ditempatkan tegak lurus (90°) atau dengan sudut
lainnya terhadap runway. Sudut belok exit taxiway 60°-90° disebut right angled
exits, 31°-59° disebut angled exits, dan ≤ 30° disebut standard high speed exits.
Letak exit taxiway sangat tergantung pada komposisi pesawat, kecepatan
pesawat saat menyentuh landasan, jarak titik sentuh dari ujung landasan,
kecepatan pesawat saat menuju exit taxiway, dan laju perlambatan. Jarak dari
ujung runway sampai ke exit taxiway (SE) dirumuskan sebagai berikut:
SE = jarak titik sentuh dari ujung landasan + D
SE = jarak titik sentuh dari ujung landasan +
2E
2TD
2aVV − (2.5)
di mana VTD = kecepatan pesawat saat menyentuh landasan (ft/detik)
VE = kecepatan pesawat saat menuju exit taxiway (ft/detik)
a = perlambatan (ft/detik2)
17
Jarak titik sentuh dari ujung landasan dianggap 1.500 ft untuk pesawat angkutan
udara atau pesawat dalam kelas A, B, dan C, serta 1.000 ft untuk pesawat
penerbangan umum bermesin ganda atau pesawat dalam kelas D dan E.
Berdasarkan kelas pesawat pada Tabel 2.4., VTD = 140 knot untuk kelas A, VTD =
130 knot untuk kelas B dan C, VTD = 95 knot untuk kelas D, dan VTD = 60 knot
untuk kelas E.
Jarak dari ujung runway sampai ke exit taxiway (SE) harus dikoreksi
terhadap ketinggian dan temperatur. Akibat ketinggian, tiap kenaikan 1000 ft dari
muka laut SE naik 3%. Akibat temperatur, SE naik 1,5% untuk tiap kenaikan 10° F
dari 59° F.
Gambar 2.6. di bawah ini menunjukkan salah satu tipe exit dengan sudut
belok 90°.
Sumber: Planning and Design of Airport, Robert Horonjeff / Francis X. McKelvey
Gambar 2.6. Exit dengan Sudut Belok 90°
2.1.6. Apron
Apron merupakan penghubung antara gedung terminal dengan bandar
udara, yang digunakan untuk tempat berhenti pesawat, menaikkan/menurunkan
penumpang dan barang, tempat pelayanan pesawat terbang misalnya, pengisian
bahan bakar, dan fasilitas-fasilitas lainnya. Apron mencakup daerah parkir
pesawat yang disebut ramp dan daerah untuk menuju ke ramp tersebut. Pada ramp
ini, pesawat diparkir di tempat yang disebut gate.
18
Luas apron didasarkan pada tiga faktor, yaitu jumlah gate, ukuran gate
dan denah parkir pesawat di tiap gate. Ukuran gate tergantung ukuran pesawat,
turning radius pesawat, dan konfigurasi parkir pesawat.
Seperti halnya dengan fasilitas-fasilitas bandar udara lainnya, jumlah
gate ditetapkan sedemikian sehingga jumlah gerakan pesawat per jam yang telah
ditetapkan lebih dulu dapat ditampung. Jadi, jumlah gate yang dibutuhkan
bergantung pada jumlah pesawat yang harus ditampung selama jam rencana dan
berapa lama pesawat mendiami suatu gate.
Dalam menghitung jumlah gate yang dibutuhkan, langkah-langkah yang
harus diikuti adalah:
• Tetapkan kelas pesawat yang harus ditampung dan persentase dari komposisi
tersebut
• Tetapkan waktu pemakaian gate untuk tiap kelas pesawat yang didasarkan
pada Tabel 2.8.
• Tetapkan volume total rencana per jam dan persentase pesawat yang datang.
• Hitung volume total rencana per jam dari kedatangan dengan mengalikan
persentase kedatangan dengan volume total rencana per jam.
• Dengan menggunakan rumus jumlah kedatangan, rumus berikut ini
memberikan jumlah gate yang dibutuhkan, yaitu:
UVTG = (2.6)
di mana G = jumlah gate
V = volume desain untuk kedatangan (gerakan/jam)
T = waktu pemakaian gate (jam)
U = faktor pemakaian gate (0,5-0,6 untuk perusahaan penerbangan
yang berbeda dan 0,6-0,8 untuk semua perusahaan penerbangan)
Tabel 2.8. Waktu Pesawat Menempati Gate
Pesawat Waktu Pesawat Menempati Gate (menit) Kelas A Kelas B
Kelas C, D, dan E
60 40 30
Sumber: Planning and Design of Airport, Robert Horonjeff / Francis X. McKelvey
19
Dalam menentukan panjang dan lebar apron untuk sistem frontal pada
parkir pesawat, diberikan rumus sebagai berikut:
Panjang apron = (jumlah gate)×(2R) + (jumlah gate)×C (2.7)
Lebar apron = L + C + W, untuk 1 taxi lane (2.8.)
di mana R = turning radius pesawat (ft)
C = jarak pesawat ke pesawat dan pesawat ke terminal (25-35 ft)
L = panjang pesawat (ft)
W = lebar taxi lane (160 ft untuk pesawat kecil, dan 290 ft untuk
pesawat berbadan lebar)
Jika turning radius pesawat (R) tidak tersedia pada data pesawat, maka rumus di
bawah ini dapat digunakan, yaitu:
R = (wing span/2) + (wheel base/tg 60°) (2.9)
Pada Gambar 2.7. berikut ini diberikan gambar apron dengan sistem frontal untuk
parkir pesawat.
W
Gambar 2.7. Apron dengan Sistem Frontal pada Parkir Pesawat
2.2. Perkerasan Landasan Bandar Udara
Perancangan perkerasan berlaku untuk bandar udara sipil yang besar,
yang melayani pesawat dengan berat kotor lebih dari 30.000 pon. Perancangan
struktur perkerasan terdiri dari tebal total perkerasan dan tebal komponen-
komponennya. Faktor-faktor yang mempengaruhi ketebalan perkerasan adalah
karakteristik pesawat, volume lalu lintas pesawat, konsentrasi lalu lintas pesawat
pada daerah tertentu, kualitas tanah dasar, dan susunan material perkerasan. Yang
perlu diperhatikan dalam perancangan perkerasan adalah beban pesawat dan
metode perancangan yang ditetapkan oleh ICAO maupun FAA.
C C Apron
R
Gedung Terminal
20
Tipe-tipe perkerasan secara umum terbagi atas dua, yaitu perkerasan
fleksibel yang terdiri dari campuran aspal dan agregat bermutu tinggi, dan
perkerasan kaku yang terdiri dari plat beton.
Perkerasan fleksibel terbagi atas lapisan-lapisan berikut ini:
• Lapis permukaan (surface), berupa campuran bahan berbitumen, biasanya
aspal, dan agregat yang tebalnya bervariasi dari minimum 3-4 inci sampai 12
inci atau lebih. Fungsi utamanya adalah memberikan permukaan yang rata dan
operasi lalu lintas yang aman, untuk memikul beban-beban yang bekerja dan
pengaruh lingkungan untuk jangka waktu tertentu, dan untuk menyebarkan
beban yang bekerja ke lapisan-lapisan di bawahnya.
• Lapis pondasi (base course), dapat terdiri dari material berbutir dengan bahan
pengikat, misalnya dengan semen Portland atau aspal, atau yang tanpa bahan
pengikat. Seperti halnya dengan lapis permukaan, lapis pondasi harus dapat
memikul beban-beban yang bekerja dan menyebarkannya ke lapisan di
bawahnya.
• Lapis pondasi bawah (subbase course), dapat terdiri dari bahan batu yang
dipecah dulu atau yang alamiah, tapi seringkali digunakan bahan sirtu (pasir-
batu) yang tidak dipilih atau bahan yang dipilih dari hasil galian di tempat
pekerjaan. Fungsinya sama seperti untuk lapis pondasi. Harus diingat bahwa
tidak setiap perkerasan fleksibel memerlukan lapis pondasi bawah, sebaliknya
perkerasan yang sangat tebal dapat memiliki beberapa lapis pondasi bawah.
• Lapisan tanah dasar (subgrade) , merupakan dasar dari struktur perkerasan dan
dapat berupa timbunan atau galian. Tanah dasar juga menerima beban yang
sama, meskipun pada tingkat yang terendah. Semakin dalam, tegangan ini
makin berkurang, kecuali kalau berlaku kondisi yang tidak biasa seperti kadar
air atau kepadatan yang amat bervariasi terhadap kedalaman. Kemampuan
partikel tanah untuk menahan geser dan deformasi bervariasi menurut
kepadatannya dan kadar kelembaban.
Perkerasan kaku terdiri dari plat beton yang diletakkan di atas lapis
pondasi bawah dari batu pecah atau lapis pondasi bawah yang distabilisasi, yang
diletakkan di atas tanah dasar yang dipadatkan.
21
2.2.1. Metode Perancangan FAA untuk Perkerasan Fleksibel
Karakteristik kekuatan tanah untuk perancangan perkerasan fleksibel
yang digunakan dalam metode FAA adalah nilai CBR. Parameter-parameter yang
dibutuhkan untuk perancangan perkerasan ini meliputi bobot lepas landas
maksimum pesawat yang menggunakan landasan, konfigurasi roda pendaratan,
volume lalu lintas, dan kualitas tanah dasar. Kurva-kurva perancangan disajikan
secara terpisah untuk single wheel, dual wheel, dual tandem wheel, dan untuk
pesawat berbadan lebar. Langkah pertama adalah menentukan prediksi
keberangkatan tahunan dari setiap tipe pesawat dan mengelompokkannya ke
dalam pesawat berbadan sempit menurut konfigurasi roda pendaratan, dan
berbadan lebar menurut tipe pesawat.
2.2.2. Kajian Keberangkatan Tahunan Ekivalen Mengingat bandar udara melayani berbagai jenis pesawat, maka untuk
menentukan prediksi keberangkatan tahunan dari setiap tipe pesawat, semua
pesawat dikonversikan terhadap pesawat rencana. Pesawat rencana ditetapkan
sebagai pesawat yang membutuhkan tebal perkerasan yang paling besar dan tidak
harus merupakan pesawat yang paling berat yang akan beroperasi di bandar udara
tersebut. Bobot lepas landas maksimum dari setiap pesawat digunakan dalam
prosedur perancangan ini, dan diasumsi 95% dari bobot tersebut dipikul oleh roda
pendaratan utama. Pesawat-pesawat yang beroperasi di bandar udara mungkin
mempunyai konfigurasi roda pendaratan utama yang berbeda dengan konfigurasi
roda pendaratan utama dari pesawat rencana. Gambar 2.8. menunjukkan tipe
konfigurasi roda pendaratan utama.
Single Dual Dual Tandem
22
ST = jarak antar sumbu pada roda tandem S = jarak antar pusat kontak area
Sumber: Pavements, Aerodrome Design Manual Gambar 2.8. Konfigurasi Roda
Perbedaan konfigurasi roda pendaratan utama tersebut harus
dikonversikan terhadap roda pendaratan utama pesawat rencana, sesuai dengan
faktor konversi yang disajikan dalam Tabel 2.9. berikut ini.
Tabel 2.9. Tabel Konversi Konfigurasi Roda Pendaratan Utama
Konfigurasi Roda Pendaratan Konfigurasi Roda Pendaratan Faktor Konversi Utama Pesawat Sebenarnya Utama Pesawat Rencana
Single Wheel Dual Wheel 0.8 Dual Tandem Wheel 0.5
Dual Wheel Single Wheel 1.3 Dual Tandem Wheel 0.6
Dual Tandem Wheel Single Wheel 2.0 Dual Wheel 1.7
Double Dual Tandem Wheel Dual Wheel 1.7 Dual Tandem Wheel 1.0
Sumber: Pavements, Aerodrome Design Manual
Keberangkatan tahunan dari pesawat rencana ditetapkan dengan
menjumlahkan keberangkatan tahunan tiap pesawat menurut persamaan berikut:
R2 = repetisi pesawat pada tahun rencana × faktor konversi (2.10)
log R1 = log R2 (W2/W1)0,5 (2.11)
di mana R1 = keberangkatan tahunan ekivalen oleh pesawat rencana
R2 = jumlah keberangkatan tahunan oleh pesawat lain
W1 = beban roda pesawat rencana (kg)
W2 = beban roda pesawat lain (kg)
2.2.3. Tebal Perkerasan Fleksibel Prosedur yang digunakan adalah metode perancangan FAA yang baru
(Aerodrome Design Manual, part 3 Pavements, second edition – 1983) di mana
prosedur ini memberikan sedikit perbedaan tebal perkerasan dibandingkan metode
FAA sebelumnya. Prosedur ini menggunakan kurva perancangan perkerasan. Data
23
yang dibutuhkan yaitu nilai CBR tanah dasar, nilai CBR lapis pondasi bawah,
bobot lepas landas maksimum, dan jumlah keberangkatan tahunan pesawat
rencana. Kurva perancangan tebal lapis permukaan, tebal lapis pondasi bawah dan
total tebal perkerasan untuk pesawat dengan konfigurasi roda dual tandem
disediakan dalam Gambar 2.9. berikut ini.
24
Sumber: Pavements, Aerodrome Design Manual
Gambar 2.9. Kurva Perancangan Perkerasan Fleksibel, Dual Tandem Gear
Tebal lapis permukaan, lapis pondasi bawah dan total tebal perkerasan untuk
pesawat Airbus A-300-B4 dapat juga dicari berdasarkan Gambar 2.10. berikut ini.
25
Sumber: Advisory Circular 150/5320-6B, Airport Pavement Design and Evaluation, Departement
of Transportation Federal Aviation Administration
Gambar 2.10. Kurva Perancangan Perkerasan Fleksibel Pesawat Airbus A-300-B4
Pada Gambar 2.11. disajikan grafik untuk menentukan tebal minimum lapis
pondasi. Tebal perkerasan minimum lapis pondasi bawah tidak disyaratkan.
26
Sumber: Pavements, Aerodrome Design Manual
Gambar 2.11. Kurva Perancangan Tebal Minimum Lapis Pondasi
Untuk pembacaan nilai tebal perkerasan dengan angka di belakang koma lebih
besar dari 0,5 maka dibulatkan ke atas dan jika lebih kecil dari 0,5 dibulatkan ke
27
bawah. Untuk keberangkatan tahunan R1∃25.000, tebal lapis permukaan harus
ditambah 1 inci (3 cm) dan total tebal perkerasan ditambah menurut Tabel 2.10.
berikut ini.
Tabel 2.10. Penambahan Total Tebal Perkerasan
Sumber: Pavements, Aerodrome Design Manual
Penyelidikan menunjukkan bahwa lalu lintas pesawat pada umumnya
disebarkan pada daerah lateral dari permukaan perkerasan selama operasi,
demikian juga selama sebagian operasi pada sistem runway sifat-sifat aerodinamik
pesawat akan menurunkan beban perkerasan sebenarnya seperti yang ditunjukkan
pada Gambar 2.12. berikut ini.
Sumber: Pavements, Aerodrome Design Manual
Gambar 2.12. Pembebanan dengan beban P
Oleh karena itu, FAA memperbolehkan perubahan tebal perkerasan pada
permukaan yang berbeda sebagai berikut:
Annual Departure Level (R1) Penambahan Total Tebal Perkerasan (%) 50.000 104 100.000 108 150.000 110 200.000 112
28
• Tebal total critical area perkerasan T dan tebal lapis permukaan didapatkan
sesuai yang disyaratkan pada kurva perancangan perkerasan fleksibel.
• Tebal 0,9 T digunakan pada non critical area dan berlaku pada lapis pondasi
dan lapis pondasi bawah. Pada bagian transisi dan bagian pinggir yang tipis,
pengurangan hanya berlaku pada lapis pondasi.
• Tebal perkerasan 0,7 T adalah batas minimum untuk lapis pondasi, dan tebal
lapis pondasi bawah sebaiknya ditambah atau bervariasi untuk menyediakan
drainase yang baik dari seluruh permukaan tanah dasar.
Sumber: Advisory Circular 150/5320-6B, Airport Pavement Design and Evaluation, Departement
of Transportation Federal Aviation Administration
Gambar 2.13. Potongan Melintang Perkerasan Runway