Post on 30-Dec-2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konjungtivitis adalah peradangan selaput bening yang menutupi
bagian putih mata dan bagian dalam kelopak mata. Peradangan tersebut
menyebabkan timbulnya berbagai macam gejala, salah satunya adalah
mata merah. Konjungtivitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri, alergi,
atau kontak dengan benda asing, misalnya kontak lensa. Konjungtivitis
alergi merupakan bentuk radang konjungtiva akibat reaksi alergi
terhadap noninfeksi, dapat berupa reaksi cepat seperti alergi biasa dan
reaksi terlambat sesudah beberapa hari kontak seperti pada reaksi
terhadap obat, bakteri, dan toksik. Merupakan reaksi antibodi humoral
terhadap alergen. Biasanya dengan riwayat atopi. Konjungtivitis alergi
biasanya mengenai kedua mata. Tandanya, selain mata berwarna
merah, mata juga akan terasa gatal. Produksi air mata juga berlebihan
sehingga mata sangat berair.1
Konjungtivitis vernal adalah bentuk konjungtivitis alergi yang
lebih serius dimana penyebabnya tidak diketahui. Kondisi paling sering
terjadi pada anak laki-laki, khususnya yang berumur kurang dari 10
tahun yang memiliki eksema, asma, atau alergi musiman.
Konjungtivitis vernal biasanya kambuh setiap musim semi dan hilang
pada musim gugur dan musim dingin. Banyak anak tidak
mengalaminya lagi pada umur dewasa muda.2,3
Penyebaran konjungtivitis vernal merata di dunia, terdapat
sekitar 0,1% hingga 0,5% pasien dengan masalah tersebut. Penyakit ini
lebih sering terjadi pada iklim panas (misalnya di Italia, Yunani, Israel,
dan sebagian Amerika Selatan) daripada iklim dingin (seperti Amerika
Serikat, Swedia, Rusia dan Jerman).4
Semua penelitian tentang penyakit ini melaporkan bahwa
biasanya kondisi akan memburuk pada musim semi dan musim panas di
1
belahan bumi utara, itulah mengapa dinamakan konjungtivitis ”vernal”
(atau musim semi). Di belahan bumi selatan penyakit ini lebih
menyerang pada musim gugur dan musim dingin. Akan tetapi, banyak
pasien mengalami gejala sepanjang tahun, mungkin disebabkan
berbagai sumber alergi yang silih berganti sepanjang tahun.2
Kelopak mata atau palpebra di bagian depan memiliki lapisan kulit
yang tipis, sedang di bagian belakang terdapat selaput lendir tarsus yang
disebut konjungtiva tarsal. Pada kelopak terdapat bagian-bagian berupa
kelenjar-kelenjar dan otot. Kelenjar yang terdapat pada kelopak mata di
antaranya adalah kelenjar Moll atau kelenjar keringat, kelenjar Zeiss pada
pangkal rambut, dan kelenjar Meibom pada tarsus yang bermuara pada
margo palpebra. Kalazion merupakan radang granulomatosa kronik yang
steril dan idiopatik pada kelenjar meibom, umumnya ditandai oleh
pembengkakan setempat yang tidak terasa sakit dan berkembang dalam
beberapa minggu. Kalazion terjadi pada semua umur; sementara pada
umur yang ekstrim sangat jarang, kasus pediatrik mungkin dapat dijumpai.
Pengaruh hormonal terhadap sekresi sabaseous dan viskositas mungkin
menjelaskan terjadinya penumpukan pada masa pubertas.2
B. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk:
1. Menambah pengetahuan mengenai konjungtivitis vernal terkait alur
diagnosis serta penatalaksanaannya.
2. Menambah pengetahuan mengenai kalazion terkait alur diagnosis serta
penatalaksanaannya.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konjungtivitis Vernal
1. Anatomi & Fisiologi Konjungtiva
Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan
tipis yang membungkus permukaan posterior kelopak mata
(konjungtiva palpebralis) dan permukaan anterior sklera
(konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan dengan kulit
pada tepi kelopak (persambungan mukokutan) dan dengan epitel
kornea limbus.2
Konjungtiva mengandung kelenjar musin yang dihasilkan oleh
sel goblet. Musin bersifat membasahi bola mata terutama kornea.
Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu :2
a.Konjungtiva tarsal yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal
sukar digerakkan dari tarsus.
b.Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari
sklera di bawahnya.
c.Konjungtiva fornises atau forniks konjungtiva yang merupakan
tempat peralihan konjungtiva tarsal dengan konjungtiva bulbi.
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan dengan sangat
longgar dengan jaringan di bawahnya sehingga bola mata mudah
bergerak.1
3
Gambar 1. Anatomi Konjungtiva4
Secara histologis, konjungtiva terdiri atas lapisan :2
a. Lapisan epitel konjungtiva, terdiri dari dua hingga lima
lapisan sel epitel silinder bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan
epitel konjungtiva di dekat limbus, di atas karankula, dan di dekat
persambungan mukokutan pada tepi kelopak mata terdiri dari sel-
sel epitel skuamosa.
b. Sel-sel epitel supercial, mengandung sel-sel goblet bulat
atau oval yang mensekresi mukus. Mukus mendorong inti sel
goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata
secara merata diseluruh prekornea. Sel-sel epitel basal berwarna
lebih pekat daripada sel-sel superfisial dan di dekat limbus dapat
mengandung pigmen.
c.Stroma konjungtiva, dibagi menjadi :
1) Lapisan adenoid (superficial)
Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid dan dibeberapa
tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa
sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang
sampai setelah bayi berumur 2 atau 3 bulan. Hal ini menjelaskan
mengapa konjungtivitis inklusi pada neonatus bersifat papiler
bukan folikuler dan mengapa kemudian menjadi folikuler.
2) Lapisan fibrosa (profundus)
4
Lapisan fibrosa tersusun dari jaringan penyambung yang
melekat pada lempeng tarsus. Hal ini menjelaskan
gambaran reksi papiler pada radang konjungitiva.
Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata.
d. Kelenjar air mata asesori (kelenjar Krause dan wolfring),
yang struktur dan fungsinya mirip kelenjar lakrimal, terletak di
dalam stroma. Sebagian besar kelenjar krause berada di forniks
atas, dan sedikit ada di forniks bawah. Kelenjar wolfring terletak
ditepi atas tarsus atas.
2. Definisi
Konjungtivitis vernal adalah peradangan konjungtiva bilateral
dan berulang (recurrence) yang khas, dan merupakan suatu reaksi
alergi. Penyakit ini juga dikenal sebagai “catarrh musim semi” dan
“konjungtivitis musiman” atau “konjungtivitis musim kemarau”.
Sering terdapat pada musim panas di negeri dengan empat musim,
atau sepanjang tahun di negeri tropis (panas).2,3
3. Etiologi dan Predisposisi
Konjungtivitis vernal terjadi akibat reaksi hipersensitivitas tipe I
yang mengenai kedua mata, sering terjadi pada orang dengan
riwayat keluarga yang kuat alergi.3,5
Mengenai pasien usia muda 3-25 tahun dan kedua jenis kelamin
sama. Biasanya pada laki-laki mulai pada usia dibawah 10 tahun.
Penderita konjungtivitis vernal sering menunjukkan gejala-gejala
alergi terhadap tepung sari rumput-rumputan.5
Reaksi hipersentsitivitas memiliki 4 tipe reaksi seperti berikut:5,6
a. Tipe I : Reaksi Anafilaksi
Di sini antigen atau alergen bebas akan bereaksi dengan
antibodi, dalam hal ini IgE yang terikat pada sel mast atau sel
basofil dengan akibat terlepasnya histamin. Keadaan ini
5
menimbulkan reaksi tipe cepat. Contoh: Konjungtivitis vernal dan
anterior uveitis disebabkan oleh makanan.
b. Tipe II : reaksi sitotoksik
Di sini antigen terikat pada sel sasaran. Antibodi dalam hal
ini IgE dan IgM dengan adanya komplemen akan diberikan dengan
antigen, sehingga dapat mengakibatkan hancurnya sel tersebut.
Contoh: Melanoma Maligna
c. Tipe III : reaksi imun kompleks
Di sini antibodi berikatan dengan antigen dan komplemen
membentuk kompleks imun. Keadaan ini menimbulkan faktor
neurotrophichemotactic yang dapat menyebabkan terjadinya
peradangan atau kerusakan lokal. Pada umumnya terjadi pada
pembuluh darah kecil. Reaksi demikian juga terjadi pada keratitis
Herpes simpleks dan uveitis rekurens.
d. Tipe IV : Reaksi tipe lambat
Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, II dan III yang berperan
adalah antibodi (imunitas humoral), sedangkan pada tipe IV yang
berperan adalah limfosit T atau dikenal sebagai imunitas seluler.
Limfosit T peka (sensitized T lymphocyte) bereaksi dengan
antigen, dan menyebabkan terlepasnya mediator (limfokin) yang
jumpai pada reaksi penolakan pasca keratoplasti,
keratokonjungtivitis flikten, keratitis Herpes simpleks dan keratitis
diskiformis.
6
Gambar 2. Peranan Sel Mast pada Inflamasi Konjungtiva5
4. Manifestasi Klinis
Gejala yang mendasar adalah rasa gatal, manifestasi lain
yang menyertai meliputi mata berair, sensitif pada cahaya, rasa
pedih terbakar, dan perasaan seolah ada benda asing yang
masuk. Penyakit ini cukup menyusahkan, muncul berulang, dan
sangat membebani aktivitas penderita sehingga menyebabkan ia
tidak dapat beraktivitas normal.4
Terdapat dua bentuk klinik, yaitu :
a. Bentuk palpebra, terutama mengenai konjungtiva tarsal
superior. Terdapat pertumbuhan papil yang besar (cobble stone)
yang diliputi sekret yang mukoid. Konjungtiva tarsal bawah
hiperemi dan edema, dengan kelainan kornea lebih berat
dibanding bentuk limbal. Secara klinik papil besar ini tampak
sebagai tonjolan bersegi banyak dengan permukaan yang rata
dan dengan kapiler di tengahnya.
7
Gambar 3. Konjungtivitis vernal bentuk palpebral4
b. Bentuk limbal, hipertrofi papil pada limbus superior
yang dapat membentuk jaringan hiperplastik gelatin, dengan
Trantas dot yang merupakan degenerasi epitel kornea atau
eosinofil di bagian epitel limbus kornea, terbentuknya pannus,
dengan sedikit eosinofil.
Gambar 4. Konjungtivitis vernal bentuk limbal4
5. Patofisiologi
Perubahan struktur konjungtiva erat kaitannya dengan
timbulnya radang insterstitial yang banyak didominasi oleh reaksi
hipersensitivitas tipe I. Pada konjungtiva akan dijumpai hiperemia
dan vasodilatasi difus, yang dengan cepat akan diikuti dengan
hiperplasi akibat proliferasi jaringan yang menghasilkan
pembentukan jaringan ikat yang tidak terkendali. Kondisi ini akan
diikuti oleh hyalinisasi dan menimbulkan deposit pada konjungtiva
8
sehingga terbentuklah gambaran cobblestone4. Jaringan ikat yang
berlebihan ini akan memberikan warna putih susu kebiruan
sehingga konjungtiva tampak buram dan tidak berkilau5. Proliferasi
yang spesifik pada konjungtiva tarsal, oleh von Graefe disebut
pavement like granulations. Hipertrofi papil pada konjungtiva
tarsal tidak jarang mengakibatkan ptosis mekanik dan dalam kasus
yang berat akan disertai keratitis serta erosi epitel kornea.
Pada bentuk palpebral, jaringan epitel membesar pada
beberapa area dan menular ke area lainnya. Kadangkala, eosinofil
(warna kemerahan) tampak kuat di antara sel-sel jaringan epitel.
Perubahan yang menonjol dan parah terjadi pada substansi propria
(jaringan urat). Pada tahap awal jaringan terinfiltrasi dengan
limfosit, sel plasma, eosinofil, dan basofil. Sejalan dengan
perkembangan penyakit, semakin banyak sel yang berakumulasi
dan kolagen baru terbentuk, sehingga menghasilkan bongkol-
bongkol besar pada jaringan yang timbul dari lempeng tarsal.
Terkait dengan perubahan-perubahan tersebut adalah adanya
pembentukan pembuluh darah baru dalam jumlah yang banyak.
Peningkatan jumlah kolagen berlangsung cepat dan menyolok.7,8
Limbus konjungtiva juga memperlihatkan perubahan akibat
vasodilatasi dan hipertropi yang menghasilkan lesi fokal. Pada
tingkat yang berat, kekeruhan pada limbus sering menimbulkan
gambaran distrofi dan menimbulkan gangguan dalam kualitas
maupun kuantitas stem cells limbus. Sekresi mukus yang kental
dan melekat pada penderita konjungtivitis vernalis, menurut
Neumann dan Krantz, mengandung banyak mukopolisakarida serta
asam hyaluronat. Walaupun karakteristik klinis dan patologi
konjungtivitis vernal telah digambarkan secara luas, namun
patogenesis spesifik masih belum dikenali. 7,8
6. Pemeriksaan Penunjang
9
Pada eksudat konjungtiva yang dipulas dengan Giemsa
terdapat banyak eosinofil dan granula eosinofilik bebas.9 Pada
pemeriksaan darah ditemukan eosinofilia dan peningkatan kadar
serum IgE.4,8
Pada konjungtivitis vernal, terdapat sebagian besar sel
yang secara rutin tampak dalam jaringan epitel. Pengawetan
yang lebih baik adalah menggunakan glutaraldehyde, lapisan
plastik, dan ditampilkan pada media sehingga dapat
memungkinkan untuk menghitung jumlah sel ukuran 1µ
berdasarkan jenis dan lokasinya. Jumlah rata-rata sel per
milimeter persegi tidak melampaui jumlah normal. Diperkirakan
bahwa peradangan sel secara maksimum seringkali berada
dalam kondisi konjungtiva normal. Jadi, untuk mengakomodasi
lebih banyak sel dalam proses peradangan konjungtivitis vernal,
maka jaringan akan membesar dengan cara peningkatan jumlah
kolagen dan pembuluh darah.4,8
Jaringan tarsal atas yang abnormal ditemukan dari empat
pasien konjungtivitis vernal yang terkontaminasi dengan zat
imun, yaitu: dua dari empat pasien mengandung spesimen IgA-,
IgG-, dan IgE- secara berlebih yang akhirnya membentuk sel
plasma. Sel-sel tersebut tidak ditemukan pada konjungtiva
normal dari dua pasien lainnya.
Kandungan IgE pada air mata yang diambil dari sampel
serum 11 pasien konjungtivitis vernal dan 10 subjek kontrol
telah menemukan bahwa terdapat korelasi yang signifikan
antara air mata dengan level kandungan serum pada kedua mata.
Kandungan IgE pada air mata diperkirakan muncul dari serum
kedua mata, kandungan IgE dalam serum (1031ng/ml) dan pada
air mata (130ng/ml) dari pasien konjungtivitis vernal melebihi
kandungan IgE dalam serum (201ng/ml) dan pada air mata
(61ng/ml) dari orang normal. Butiran antibodi IgE secara
10
spesifik ditemukan pada air mata lebih banyak daripada butiran
antibodi pada serum. Selain itu, terdapat 18 dari 30 pasien yang
memiliki level antibodi IgG yang signifikan yang menjadi
butiran pada air matanya. Orang normal tidak memiliki jenis
antibodi ini pada air matanya maupun serumnya. Hasil
pengamatan ini menyimpulkan bahwa baik IgE- dan IgG- akan
menjadi perantara mekanisme imun yang terlibat dalam
patogenesis konjungtivitis vernal, dimana sistesis lokal antibodi
terjadi pada jaringan permukaan mata. Kondisi ini ditemukan
negatif pada orang-orang yang memiliki alergi udara, tetapi
pada penderita konjungtivitis vernal lebih banyak berhubungan
dengan antibodi IgG dan mekanisme lainnya daripada antibodi
IgE.
Kandungan histamin pada air mata dari sembilan pasien
konjungtivitis vernal (38ng/ml) secara signifikan lebih tinggi
daripada kandungan histamin air mata pada 13 orang normal
(10ng/ml, P<0.05). Hal ini sejalan dengan pengamatan
menggunakan mikroskopi elektron yang diperkirakan
menemukan tujuh kali lipat lebih banyak sel mastosit dalam
substantia propia daripada dengan pengamatan yang
menggunakan mikroskopi cahaya. Sejumlah besar sel mastosit
ini terdapat pada air mata dengan level histamin yang lebih
tinggi.8
Hapusan konjungtiva pada daerah-daerah yang terinfeksi
menunjukkan adanya banyak eosinofil dan butiran eosinofilik.
Ditemukan lebih dari dua eosinofil tiap pembesaran 25x dengan
sifat khas penyakit (pathognomonic) konjungtivitis vernal.
Tidak ditemukan adanya akumulasi eosinofil pada daerah
permukaan lain pada level ini.4
7. Diagnosis Banding
11
Walaupun secara prinsip konjungtivitis vernal sangat
berbeda dengan trakoma dan konjungtivitis demam rumput,
namun seringkali gejalanya membingungkan dengan dua
penyakit tersebut. Trakoma ditandai dengan banyaknya serabut-
serabut sejati yang terpusat, sedangkan pada konjungtivitis
vernal jarang tampak serabut sejati. Pada trakoma, eosinofil
tidak tampak pada hapusan konjungtiva maupun pada jaringan,
sedangkan pada konjungtivitis vernal, eosinofil memenuhi
jaringan. Trakoma meninggalkan parut-parut pada tarsal,
sedangkan konjungtivitis vernal tidak, kecuali bila terlambat
ditangani.
Tanda konjungtivitis demam rumput adalah edema,
sedangkan tanda konjungtivitis vernal adalah infiltrasi selular.
Demam rumput memiliki karakteristik sedikit eosinofil, tidak
ada sel mastosit pada jaringan epitel, tidak ada peningkatan sel
mastosit pada substantia propria, dan tidak terdapat basofil,
sedangkan konjungtivitis vernal memiliki karakteristik adanya
tiga serangkai, yaitu: sel mastosit pada jaringan epitel, adanya
basofil, dan adanya eosinofil pada jaringan.
Tabel 1. Diagnosis banding Trakoma, Konjungtivitis folikularis, Konjungtivitis
vernal.3,4
12
13
Trakoma Konjungtivitis
folikularis
Konjungitvitis
vernalGambaran
lesi
(kasus dini) papula kecil atau
bercak merah bertaburan
dengan bintik putih-kuning
(folikel trakoma). Pada
konjungtiva tarsal (kasus
lanjut) granula (menyerupai
butir sagu) dan parut,
terutama konjungtivatarsal
atas
Penonjolan
merah-muda
pucat tersusun
teratur seperti
deretan “beads”
Nodul lebar datar
dalam susunan
“cobble stone”
pada konjungtiva
tarsal atas dan
bawah, diselimuti
lapisan susu
Ukuran
lesi
Lokasi lesi
Penonjolan besar lesi
konjungtiva tarsal atas dan
teristimewa lipatan retrotarsal
kornea-panus, bawah
infiltrasi abu-abu dan
pembuluh tarsus terlibat.
Penonjolan
kecil terutama
konjungtiva
tarsal bawah
dan forniks
bawah tarsus
tidak terlibat.
Penonjolan besar
tipe tarsus atau
palpebra;
konjungtiva tarsus
terlibat, forniks
bebas. Tipe limbus
atau bulbus; limbus
terlibat forniks
bebas, konjungtiva
tarsus bebas (tipe
campuran lazim)
tarsus tidak terlibat
Tipe
sekresi
Kotoran air berbusa atau
“frothy” pada stadium lanjut.
Mukoid atau
purulen
Bergetah, bertali,
seperti susuHapusan Kerokan epitel dari
konjungtiva dan kornea
memperlihatkan ekfoliasi,
proliferasi, inklusi seluler.
Kerokokan
tidak
karakteristik
(Koch-Weeks,
Morax-
Axenfeld,
mikrokokus
kataralis
stafilokokkus,
pneumokokkus)
Eosinofil
karakteristik dan
konstan pada
sekresi
Penyulit
atau
sekuela
Kornea: panus, kekeruhan
kornea, xerosis, kornea
Konjungtiva: simblefaron
Palpebra: ektropion atau
entropion trikiasis
Kornea: ulkus
kornea
Palpebra:
blefaritis,
ektropion
Kornea: infiltrasi
kornea (tipe limbal)
Palpebra:
pseudoptosis (tipe
tarsal)
8. Komplikasi
Dapat menimbulkan keratitis epitel atau ulkus kornea
superfisial sentral atau parasentral, yang dapat diikuti dengan
pembentukan jaringan sikatriks yang ringan. Penyakit ini juga
dapat menyebabkan penglihatan menurun. Kadang-kadang
didapatkan panus, yang tidak menutupi seluruh permukaan
kornea. Perjalanan penyakitnya sangat menahun dan berulang,
sering menimbulkan kekambuhan terutama di musim panas.4
9. Penatalaksanaan
Biasanya penyakit ini akan sembuh sendiri. Tetapi
medikasi yang dipakai terhadap gejala hanya memberikan hasil
jangka pendek, karena dapat berbahaya jika dipakai untuk
jangka panjang. Penggunaan steroid berkepanjangan ini harus
dihindari karena bisa terjadi infeksi virus, katarak, hingga ulkus
kornea oportunistik.10
a. Farmakologi11
Kortikosteroid lokal diberikan pada fase akut dengan gejala
mata merah kecoklatan (kotor) dan keluhan sangat gatal.
Diberikan setiap 2 jam selama 4 hari, untuk selanjutnya
digantikan obat-obat lain seperti:
1) Sodium cromoglycate 2% topikal dapat diberikan 4 - 6 kali 1 tetes/ hari
untuk mencegah degranulasi sel mast.
2) Lodoxamide tromethamine 0,1% 4 x 2 tetes/hari
Lodoxamide digunakan pada konjungtivitis vernal dengan
derajat sedang sampai berat. Sangat efektif untuk mencegah
terjadinya komplikasi pada kornea.
3) Levocabastin 2 – 4 x 1 tetes/hari.
4) Anti histamin dan steroid sistemik dapat diberikan pada kasus yang berat.
14
5) Cromolyn topical adalah agen profilaktik yang baik untuk kasus sedang
sampai berat. Bila tidak ada hasil dapat diberikan radiasi, atau dilakukan
pengangkatan giant papil.
6) Antibiotik dapat diberikan untuk mencegah infeksi sekunder disertai
dengan sikloplegik.
7) Anti-radang non-steroid yang lebih baru, seperti kerolac cukup bermanfaat
mengurangi gejala.
b. Non Farmakologi10
Penderita diusahakan untuk menghindari menggosok-
gosok karena akan menyebabkan iritasi berlanjut. Kompres
dingin dapat juga digunakan untuk menghilangkan edema.
Selain itu, tidur di tempat ber AC dapat menyamankan pasien.
Lebih baik apabila penderita pindah ke tempat beriklim sejuk
dan lembab.
10. Prognosis
Kondisi ini dapat terus berlanjut dari waktu ke waktu, dan
semakin memburuk selama musim-musim tertentu.12
B. Kalazion
1. Definisi
Kalazion merupakan peradangan granulomatosa kelenjar
Meibom yang tersumbat. Pada kalazion terjadi penyumbatan kelenjar
Meibom dengan infeksi ringan yang mengakibatkan peradangan kronis
15
tersebut. Biasanya kelainan ini dimulai penyumbatan kelenjar oleh
infeksi dan jaringan parut lainnya.13
2. Etiologi
Kalazion juga disebabkan sebagai lipogranulomatosa kelenjar
Meibom.2 Kalazion mungkin timbul spontan disebabkan oleh sumbatan
pada saluran kelenjar atau sekunder dari hordeolum internum.
Kalazion dihubungkan dengan seborrhea, chronic blepharitis, dan acne
rosacea.
3. Epidemiologi
Kalazion terjadi pada semua umur; sementara pada umur yang
ekstrim sangat jarang, kasus pediatrik mungkin dapat dijumpai.
Pengaruh hormonal terhadap sekresi sabaseous dan viskositas mungkin
menjelaskan terjadinya penumpukan pada masa pubertas dan selama
kehamilan.
4. Patofisiologi
Kalazion merupakan radang granulomatosa kelenjar Meibom.
Nodul terlihat atas sel imun steroid responsif termasuk jaringan ikat
makrofag seperti histiosit, sel raksasa multinucleate sel plasma,
sepolimorfonuklear leukosit dan eosinofil.2
Kalazion akan memberi gejala adanya benjolan pada kelopak,
tidak hiperemik, tidak ada nyeri tekan, dan adanya pseudoptosis.
Kelenjar preaurikuler tidak membesar. Kadang-kadang mengakibatkan
perubahan bentuk bola mata akibat tekanannya sehingga terjadi
kelainan refraksi pada mata tersebut.
Kerusakan lipid yang mengakibatkan tertahannya sekresi
kelenjar, kemungkinan karena enzim dari bakteri, membentuk jaringan
granulasi dan mengakibatkan inflamasi. Proses granulomatous ini yang
membedakan antara kalazion dengan hordeolum internal atau eksternal
(terutama proses piogenik yang menimbulkan pustul), walaupun
16
kalazion dapat menyebabkan hordeolum, begitupun sebaliknya. Secara
klinik, nodul tunggal (jarang multipel) yang agak keras berlokasi jauh
di dalam palpebra atau pada tarsal. Eversi palpebra mungkin
menampakkan kelenjar meibom yang berdilatasi.2
5. Manifestasi Klinis
a. Benjolan pada kelopaka mata, tidak hiperemis dan tidak ada nyeri
tekan.
b. Pseudoptosis
c. Kelenjar preaurikel tidak membesar.
d. Kadang-kadang mengakibatkan perubahan bentuk bola mata akibat
tekanannya sehingga terjadi kelainan refraksi pada mata tersebut.
e. Pada anak muda dapat diabsobsi spontan.14
Gambar 5. Kalazion
6. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil
pemeriksaan kelopak mata. Kadang saluran kelenjar Meibom bisa
tersumbat oleh suatu kanker kulit, untuk memastikan hal ini maka
perlu dilakukan pemeriksaan biopsi.
7. Penatalaksanaan
17
Kadang-kadang kalazion sembuh atau hilang dengan sendirinya
akibat diabsorbsi (diserap) setelah beberapa bulan atau beberapa tahun.
a. Kompres hangat 10-20 menit 4kali sehari.
b. Antibiotika topikal dan steroid disertai kompres panas dan bila
tidak berhasil dalam waktu 2 minggu maka dilakukan pembedahan.
c. Bila kecil dapat disuntik steroid dan yang besar dapat dilakukan
pengeluaran isinya.
Untuk mengurangi gejala :
a. Dilakukan ekskokleasi isi abses dari dalamnya atau
dilakukan ekstirpasi kalazion tersebut. Insisi dilakukan seperti
insisi pada hordeolum internum.
b. Bila terjadi kalazion yang berulang, beberapa kasus
sebaiknya dilakukan pemeriksaan histopatologik untuk
menghindarkan kesalahan diagnosis dengan kemungkinan adanya
suatu keganasan.15
Ekskokleasi Kalazion
Terlebih dahulu mata ditetesi dengan anastesi topikal pentokain.
Obat anestesi infiltratif disuntikan dibawah kulit di depan kalazion.
Kalazion dijepit dengan klem kalazion kemudian klem dibalik sehingga
konjungtiva tarsal dan kalazion terlihat. Dilakukan insisi tegak lurus margo
palpebra dan kemudian isi kalazion dikuret sampai bersih. Klem kalazion
dilepas dan diberi salep mata.
Pada abses palpebra pengobatan dilakukan dengan insisi dan
pemasangan drain kalau perlu diberi antibiotik, lokal dan sistemik.
Analgetik dan sedatif diberikan bila sangat diperlukan untuk rasa sakit.15
18
Gambar 6. Ekskokleasi Kalazion
8. Komplikasi
Rusaknya sistem drainase pada kalazion dapat menyebabkan
trichiasis, dan kehilangan bulu mata. Kalazion yang rekuren atau
tampat atipik perlu dibiopsi untuk menyingkirkan adanya keganasan.
Astigmatisma dapat terjadi jika massa pada palpebra sudah mengubah
kontur kornea. Kalazion yang drainasenya hanya sebagian dapat
menyebabkan massa jaringan granulasi prolapsus diatas konjungtiva
atau kulit.
9. Prognosis
Pasien yang memperoleh perawatan biasanya memperoleh hasil
yang baik. Seringkali timbul lesi baru, dan rekuren dapat terjadi pada
lokasi yang sama akibat drainase yang kurang baik. Kalazion yang
tidak memperoleh perawatan dapat mengering dengan sendirinya,
namun sering.
BAB III
LAPORAN KASUS
19
Anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan pada hari Selasa tanggal 6 Maret
2012 di Poliklinik Mata RSUD A.W. Sjahranie Samarinda.
Sumber anamnesis: autoanamnesis
A. Anamnesis
Identitas Pasien
Nama : An. IA
Usia : 11 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Pelajar
Suku : Jawa
Agama : Islam
Alamat : Jln. Yos Sudarso Samarinda
Keluhan Utama: Kedua mata merah
Riwayat penyakit sekarang:
Kedua mata merah sudah dialami pasien sejak 3 hari yang lalu.
Pasien juga mengeluhkan kedua mata terasa gatal dan sering berair, hanya
sedikit kotoran mata saat bangun tidur, sedangkan pada mata kiri terasa
mengganjal. Keluhan ini dirasakan pasien terutama pada saat cuaca panas
dan berdebu. Keluhan ini sudah sering dirasakan oleh pasien dalam kurun
waktu 1 tahun terakhir secara berulang, namun pasien tidak berobat dan
keluhan hilang dalam beberapa hari. Pasien juga mengeluhkan adanya
pandangan kabur saat melihat jauh, namun ini sudah dirasakan sebelum
adanya keluhan mata merah dan gatal. Pasien tidak mengeluhkan adanya
rasa sakit pada mata.
Riwayat penyakit dahulu:
Pasien sering mengalami mata merah dan gatal secara berulang
dalam waktu 1 tahun terakhir, terutama saat cuaca panas dan berdebu.
20
Riwayat penyakit keluarga:
Tidak ada anggota keluarga yang menderita keluhan serupa.
Riwayat alergi disangkal oleh pasien.
B. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : baik
Kesadaran : composmentis
Tanda Vital
1. Tekanan darah: 110/70 mmHg
2. Nadi : 86 x/menit
3. Respirasi : 20 x/menit
4. Suhu : 36,5 ͦC
Status generalisata
1. Kepala leher : Anemis (-), ikterik (-), pupil isokor, refleks cahaya
(+/+), hiperemi okuler dextra et sinistra, pembesaran KGB
2. Thorax : Bentuk dada dan pergerakan simetris, vesikuler,
rhonki (-/-), wheezing (-/-), sonor (+/+), S1 S2 tunggal reguler,
gallop (-), murmur (-)
3. Abdomen : flat, soefl, nyeri tekan (-), Hepar/Lien/Ginjal tidak
teraba
4. Ekstremitas : akral hangat,edem (-)
Pemeriksaan Oculi Dextra Oculi SinistraVisus 6/15 6/15Posisi bola mata Simetris Simetris Pergerakan bola mata Bebas ke segala arah, Bebas ke segala arah,
21
nyeri gerak (-) nyeri gerak (-)Silia Normal NormalPalpebra superior Hematom (-),
hiperemis (-), benjolan
(-), edema (-),
hipertrofi papil
Hematom (-),
hiperemis (-), benjolan
(+), edema (-),
hipertrofi papilPalpebra inferior Hematom (-),
hiperemis (-), benjolan
(-), edema (-)
Hematom (-),
hiperemis (-), benjolan
(-), edema (-)Konjungtiva bulbi Injeksi konjungtiva (+)
injeksi siliar (-)
Injeksi konjungtiva (+)
injeksi siliar (-)Konjungtiva tarsal Hiperemi HiperemiKornea Jernih Jernih COA Kedalaman normal,
hipopion (-), hifema (-)
Kedalaman normal,
hipopion (-), hifema (-)Pupil Bulat, reguler, ø 3 mm,
refleks cahaya (+),
Bulat, reguler, ø 3 mm,
refleks cahaya (+), Iris Warna kecoklatan,
kripte baik
Warna kecoklatan,
kripte baikLensa Jernih Jernih
Gambar 7. Oculi dextra dan sinistra An. IA
22
Resume
Seorang anak usia 11 tahun datang berobat ke poli mata RSUD
A.W. Sjahranie dengan keluhan kedua mata merah sejak 3 hari yang lalu,
disertai dengan rasa gatal, sering berair, hanya sedikit kotoran mata saat
bangun tidur, sedangkan pada mata kiri terasa mengganjal. Pasien
mengalami keluhan tersebut secara berulang dalam 1 tahun terakhir
terutama pada saat cuaca panas dan berdebu. Pasien mengeluhkan adanya
pandangan kabur saat melihat jauh, namun ini sudah dirasakan sebelum
adanya keluhan mata merah dan gatal. Tidak ada riwayat alergi.
Pemeriksaan oftalmologi OD: visus 6/15, pada konjungtiva bulbi
terdapat injeksi konjungtiva, konjungtiva tarsal hiperemi, pada palpebra
superior dan inferior Hematom (-), hiperemis (-), benjolan (-), edema (-),
hipertrofi papil (+). Pemeriksaan oftalmologi OS: visus 6/15, pada
konjuntiva bulbi terdapat injeksi konjungtiva, konjungtiva tarsal hiperemi,
pada palpebra superior Hematom (-), hiperemis (-), benjolan (+), edema
(-), hipertrofi papil (+) pada palpebra inferior Hematom (-), hiperemis (-),
benjolan (-), edema (-).
C. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang
D. Diagnosis Kerja
ODS Konjungtivitis vernal
OS Kalazion palpebra superior dengan ukuran diameter 1 mm
E. Penatalaksanaan
Planning Diagnosis
1. Melakukan pemeriksaan hapusan konjungtiva untuk mengetahui
etiologi konjungtivitis.
23
Planning Terapi
1. Terapi konjungtivitis vernal
a. Kortikosteroid lokal betamethasone Na phosphate 1 -2 tetes setiap
2 jam selama 4 hari
b. Lodoxamide tromethamine 0,1 % 4 x 2 tetes/ hari
c. Levocabastin 2 – 4 kali 1 tetes/ hari
Planning Monitoring
1. Pasien dijadwalkan untuk kontrol satu minggu kemudian untuk
mengetahui perkembangan hasil terapi.
2. Setelah konjungtivitis vernal sudah sembuh, direncanakan untuk
melakukan insisi pada OD kalazion palpebra superior.
3. Melakukan pemeriksaan visus ulang setelah konjungtivitis sembuh,
dan apabila visus tetap turun maka akan dilakukan koreksi visus
terbaik.
Planning Edukasi
1. Edukasi untuk konjungtivitis vernal
a. Menghindari tindakan menggosok-gosok mata dengan tangan atau
jari tangan
b. Menggunakan kaca mata untuk mengurangi kontak dengan alergen
c. Hidari penggunaan obat tetes mata steroid secara terus-menerus
d. Kompres dingin selama 10 menit beberapa kali sehari
e. Kontrol secara teratur
2. Edukasi untuk Kalazion tidak dapat sembuh atau hilang dengan
pengobatan, sehingga perlu dilakukan insisi untuk menangani
kalazion.
F. Prognosis
Dubia ad bonam
24
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien anak laki-laki berusia 11 tahun datang ke poliklinik mata RSUD
A.W. Sjahranie dengan keluhan kedua mata merah sejak 3 hari yang lalu, disertai
dengan rasa gatal, sering berair, hanya sedikit kotoran mata saat bangun tidur,
sedangkan pada mata kiri terasa mengganjal. Pasien mengeluhkan adanya
pandangan kabur saat melihat jauh, namun ini sudah dirasakan sebelum adanya
keluhan mata merah dan gatal. Pada pemeriksaan fisik didapatkan visus 6/15 pada
kedua mata, kornea jernih, pupil isokor, refleks cahaya (+), pada konjuntiva bulbi
25
terdapat injeksi konjungtiva, konjungtiva tarsal hiperemi, pada palpebra superior
sinistra hematom (-), hiperemis (-), benjolan (+), edema (-), hipertrofi papil pada
palpebra superior dextra et sinistra.
Diagnosis pada pasien ini ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik, dimana keluhan dan hasil dari beberapa pemeriksaan fisik
mengarah pada konjungtivitis vernal, antara lain kedua mata merah, terasa gatal,
sering berair dan terjadi secara berulang dalam 1 tahun terakhir terutama pada saat
cuaca panas dan berdebu. Pasien mengatakan tidak ada riwayat alergi. Pasien juga
merasakan adanya kotoran mata saat bangun tidur, dan mata kiri terasa
mengganjal. Keluhan pada mata kiri yang terasa mengganjal, tanpa adanya rasa
nyeri mengarah pada diagnosis kalazion.
Konjungtivitis vernal terjadi akibat alergi dan cenderung kambuh pada
musim panas. Konjungtivitis vernal sering terjadi pada anak-anak, biasanya
dimulai sebelum masa pubertas dan berhenti sebelum usia 20 tahun. Penyebaran
konjungtivitis vernal merata di dunia, terdapat sekitar 0,1% hingga 0,5% pasien
dengan masalah tersebut. Penyakit ini lebih sering terjadi pada iklim panas
(misalnya di Italia, Yunani, Israel, dan sebagian Amerika Selatan) daripada iklim
dingin (seperti Amerika Serikat, Swedia, Rusia dan Jerman). Umumnya terdapat
riwayat keluarga yang bersifat alergi atopik.4
Pada pasien ini terdapat beberapa gejala yang merupakan manifestasi
klinis dari konjungtivitis vernal dimana keluhan kedua mata merah, gatal, sering
berair yang terjadi secara berulang dalam 1 tahun terakhir terutama pada saat
cuaca panas dan berdebu. Pasien juga mengeluhkan adanya pandangan kabur saat
melihat jauh, namun keluhan tersebut dirasakan pasien sebelum adanya keluhan
mata merah dan gatal.
Berdasarkan anamesis, kemungkinan penyebab konjungtivitis vernal
adalah alergi terhadap cuaca panas dan debu yang termasuk sebagai reaksi
hipersensitif tipe I. Reaksi hipersensitif tipe I, antigen atau alergen bebas akan
bereaksi dengan antibodi, dalam hal ini IgE yang terikat pada sel mast atau sel
basofil dengan akibat terlepasnya histamin. Keadaan ini menimbulkan reaksi tipe
cepat. Bila alergen berikatan dengan molekul IgE yang sebelumnya telah melekat
26
pada permukaan mastosit atau basofil, maka hal itu akan menyebabkan
dilepaskannya berbagai mediator oleh mastosit atau basofil. Keadaan ini
menyebabkan manifestasi klinik seperti mata berair, peningkatan sekresi hidung
dan bersin pada hay fever, sesak dan batuk pada asma, kulit kemerahan dan gatal
pada urtikaria. Reaksi alergi ini biasanya membutuhkan waktu 15-30 menit
setelah pemaparan antigen, namun bisa berlanjut sampai 10 atau 12 jam. Alergi
ini diperantarai oleh IgE namun komponen selular yang terlibat adalah sel mast
dan basofil yang dibantu oleh platelet, neutrofil dan eosinofil. Pada biopsi
jaringan biasanya yang nampak adalah sel mast dan eosinofil. Faktor genetik
berperan dalam mengatur berbagai aspek timbulnya gejala alergi, diantaranya
mengatur pembentukan IgE, respons imun spesifik terhadap alergen tertentu dan
respons imun berlebihan. Meskipun faktor genetik diketahui berperanan dalam
penyakit alergi yang diperantarai IgE, namun faktor lingkungan ternyata lebih
berperan pada proses terjadinya alergi.11
Kalazion terjadi pada semua umur; sementara pada umur yang ekstrim
sangat jarang, kasus pediatrik mungkin dapat dijumpai. Pengaruh hormonal
terhadap sekresi sabaseous dan viskositas mungkin menjelaskan terjadinya
penumpukan pada masa pubertas. Kalazion juga disebabkan sebagai
lipogranulomatosa kelenjar Meibom yang timbul spontan disebabkan oleh
sumbatan pada saluran kelenjar.
Berdasarkan hasil yang diperoleh dari pemeriksaan oftalmologi didapatkan
visus 6/15 pada kedua mata, kornea jernih, pupil isokor, refleks cahaya (+), pada
konjungtiva bulbi terdapat injeksi konjungtiva, konjungtiva tarsal hiperemi, pada
palpebra superior sinistra hematom (-), hiperemis (-), benjolan (+), edema (-),
hipertrofi papil pada palpebra superior dextra et sinistra. Penurunan visus pada
pasien ini dapat disebabkan karena pada kalazion terkadang dapat terjadi
perubahan bentuk bola mata akibat tekanannya sehingga terjadi kelainan refraksi
pada mata.
Pada kasus ini tidak dilakukan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan teori,
pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan berupa hapusan konjungtiva
untuk mempelajari gambaran sitologi. Hasil pemeriksaan menunjukkan banyak
27
eosinofil dan granula-granula bebas eosinofilik. Di samping itu, terdapat basofil
dan granula basofilik bebas.4,8 Untuk kasus kalazion, terkadang saluran kelenjar
Meibom bisa tersumbat oleh suatu kanker kulit, sehingga untuk memastikan hal
ini maka perlu dilakukan pemeriksaan biopsi.
Pada kasus ini pasien mendapatkan terapi farmakologi berupa
Kortikosteroid lokal yaitu betamethasone Na phosphate 1 -2 tetes setiap 2 jam
selama 4 hari, Lodoxamide tromethamine 0,1 % 4 x 2 tetes/ hari, dan
Levocabastin 2 – 4 kali 1 tetes/ hari. Kortikosteroid lokal yaitu betamethasone Na
phosphate diberikan pada fase akut dengan gejala mata merah kecoklatan dan
keluhan sangat gatal. Betamethasone Na phospate bekerja dengan cara
menstabilkan neutrofil lisosomal dan mencegah degranulasi, menghambat sintesis
produk lipoxygenase dan prostaglandin, mengaktifkan gen anti-inflamasi, dan
menghambat sitokin.
Lodoxamide adalah stabilisator sel mast yang kira-kira 2500 kali lebih
kuat dari cromolyn dalam pencegahan pelepasan histamin. Lodoxamide efektif
dalam mengurangi tingkat tryptase dan perekrutan sel-sel inflamasi dalam cairan
air mata setelah tantangan alergen. Dalam uji klinis awal, lodoxamide
telah terbukti memberikan bantuan yang lebih besar dan sebelumnya
pada pasien dengan bentuk yang lebih kronis dari konjungtivitis (yaitu,
VKC, AKC, GPC) dari cromolyn. Levocabastine adalah agen topikal antihistamin
kuat memiliki aktivitas yang cepat dan tahan lama tanpa efek sistem saraf pusat.
Tampaknya levoisomer yang senyawa ini memiliki afinitas ikatan yang lebih
besar dan spesifisitasdari dextroisomer, karena itu hanya levoisomer yang
digunakan dalam persiapan, yang merupakan suspensi. Levocabastine memiliki
H1-reseptor aktivitas selektif dengan minimal untuk mengikat dibandingkan
dengan dopamin, adrenergik, serotonin, atau reseptor opiat. Levocabastine telah
terbukti efektif dalam pengobatan alergi konjungtivitis bila dibandingkan dengan
plasebo.10
Penatalaksanaan pada kalazion dapat dilakukan insisi. Namun pada pasien
ini tidak dilakukan dan ditunda sampai konjungtivitis vernal dapat diatasi.
28
Kemudian, melakukan pemeriksaan visus ulang setelah konjungtivitis sembuh,
dan apabila visus tetap turun maka akan dilakukan koreksi dengan visus terbaik.
Prognosis pasien dengan konjungtivitis vernal dan kalazion yaitu dubia ad
bonam, karena kondisi ini dapat terus berlanjut dari waktu ke waktu, dan semakin
memburuk saat musim panas, dan kalazion dapat terjadi berulang.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Telah dilaporkan kasus pasien anak laki-laki, usia 11 tahun yang
didiagnosis konjungtivitis vernal dan kalazion berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan fisik, dengan keluhan kedua mata merah, gatal dan berair
terutama pada saat cuaca panas dan berdebu. Keluhan tersebuh terjadi
secara berulang dalam kurun waktu 1 tahun terakhir. Dari pemeriksaan
oftalmologi didapatkan injeksi konjungtiva bulbi, konjungtiva tarsal
29
hiperemi, palpebra superior sinistra terdapat benjolan, dan pseudoptosis
palpebra superior dextra et sinistra. Penatalaksanaan yang diberikan pada
pasien berupa terapi farmakologi antara lain kortikosteroid topikal,
stabilisator sel mast, dan antihistamin topikal serta edukasi. Secara umum,
alur penegakan diagnosis dan penatalaksanaan yang telah diberikan
kepada pasien sesuai dengan literatur yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta: FK UI. 2008. hal 133-134
Vaughan, Daniel G., Asbury Taylor, Riordan Eva-Paul. Oftalmologi Umum. Edisi
17. Jakarta: EGC. 2000. hal :110.
Troy Bedinghaus. 2009. Vernal Conjunctivitis
http://vision.about.com/od/eyediseasesandconditions/g/Vernal_Conjunc.h
tm diakses tanggal 7 Maret 2011.
Sowka , Joseph W., Andrew S. Gurwood, Alan G. Kabat. 2001. Conjunctivitis
Vernal (in Handbook of Ocular Disease Management).
30
http://cms.revoptom.com/handbook/hbhome.htm diakses tanggal 7 Maret
2011.
Bielory, L. Allergic and immunologic disorders of the eye. Part I: Immunology of
the eye. Current reviews of allergy and clinical immunology. J ALLERGY
CLIN IMMUNOL 2000. p. 805 – 816.
Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ke-2. Jakarta: Sagung Seto. 2002. Hal
104.
Bacon AS and McGill JL, Adhesion moleculer and relationship to leucocyte level
in allergic eye disease, Invest Vis Sci l998(39):2.
Linda J. Vorvick. 2010. Vernal Conjungtivitis. A service of the U.S. National
Library of Medicine.
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/001390.htm diakses
tanggal 7 Maret 2012
Lambiase J, Boriani S, Increased plasma level of Substance p in Vernal
Keratoconjunctivitis, Invest Ophthalmol and Vis Sci, Sept, l997, 2161-4.
1. Bielory, L. Allergic and immunologic disorders of the eye. Allergic and
immunologic disorders of the eye. Part II: Ocular allergy. J allergy clin
immunol december. 2000. p. 1019 – 1032.
2. Nurwasis, dkk. Pedoman Diagnosis dan Terapi RSU Dokter Soetomo
Surabaya Edisi III. 2006.
3. Hadinoto, D. Efek epigallocatechin-3-gallate (egcg) Topikal Terhadap
Ekspresi Siklooksigenase-2 Konjungtivitis Alergi pada Model Tikus
Wistar.
4. Ilyas, Sidarta. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke-3. Jakarta: FK UI; 2009. hal
28-29.
5. Ilyas, Sidarta. dkk. Ilmu Penyakit Mata: Untuk Dokter Umum dan
Mahasiswa Kedokteran). Edisi ke-2. Jakarta: CV Sagung Seto; 2009. hal
61.
6. Ophthalmologists of The Internationally Renowned Hospital for
Oculoplastic Surgery (online). Germany. 2006. Diunduh dari: URL:
31
http://www.palpebra.com/english/clinical_pictures/pic_2007025.html
(diakses 13 Maret 2012).
32