Post on 16-Jan-2016
description
1
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Bakteri asam laktat merupakan kelompok bakteri yang tergolong ke dalam bakteri Gram
positif yang menghasilkan asam laktat sebagai hasil dari fermentasi karbohidrat. Bakteri
asam laktat banyak digunakan sebagai starter dari proses fermentasi produk turunan
susu, daging, dan sayuran, karena dapat memberikan perbaikan pada rasa dan
pengawetan makanan. Efek pengawetan makanan tersebut, ditimbulkan oleh senyawa
asam-asam organik, hidrogen peroksida, dan bakteriosin. Senyawa-senyawa tersebut,
terbukti dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk makanan dan juga
bakteri patogen (Hajar & Hamid, 2013).
Sayuran merupakan komoditas pangan yang tergolong dalam bahan makanan mudah
rusak. Kerusakan yang kemungkinan timbul antara lain kerusakan fisik, mekanis,
maupun mikrobiologis. Kerusakan tersebut dapat dihindari dengan pemberian perlakuan
tambahan pada sayuran tersebut, salah satunya dengan proses fermentasi. Fermentasi
merupakan sistem pengawetan makanan yang paling tua dalam sejarah perkembangan
produk pangan. Proses fermentasi masih dianggap salah satu proses pengawetan yang
paling ekonomis jika dibandingkan dengan pengalengan atau pembekuan, bahkan
mampu meningkatkan kualitas nutrisi maupun karakteristik sensori dalam bahan
(Tamang et al., 2005).
Sayur asin dapat dibuat dengan proses fermentasi hampir semua jenis sayuran, namun
lazimnya bahan baku fermentasi dibuat dari sawi hijau atau sawi pahit. Sawi pahit
digunakan sebagai bahan baku baku sayur asin karena memiliki kadar air yang sangat
tinggi (91,1 g/100 g bahan), sehingga mudah mengalami kerusakan oleh
mikroorganisme (Pradani & Hariastuti, 2009). Proses fermentasi sayur asin dapat
digolongkan ke dalam proses fermentasi asam laktat. Proses kimiawi yang terjadi
selama proses fermentasi sayur asin memberikan efek pengawetan, yang disebabkan
oleh adanya senyawa laktat yang dihasilkan oleh bakteri penghasil asam laktat atau
Bakteri Asam Laktat (BAL) (Pradani & Hariastuti, 2009). Air rendaman sawi pahit
2
biasanya dibuang ke lingkungan, namun dapat dimanfaatkan sebagai starter
pertumbuhan bakteri asam laktat (Evelyn et al., 2011).
Fermentasi sayur asin dengan menggunakan sawi pahit, akan memberikan efek yang
baik bagi produk yang diferementasi. Asam-asam organik yang dihasilkan selama
proses fermentasi oleh bakteri asam laktat, disamping sebagai pengawet yang mampu
membunuh bakteri patogen dan perusak pada bahan, juga dapat berfungsi sebagai
senyawa yang mampu membentuk aroma dan cita rasa khas fermentasi dan mengurangi
rasa pahit yang ditimbulkan oleh sawi (Pradani & Hariastuti, 2009).
Penggunaan kadar garam 5%, merupakan konsentrasi garam yang paling optimal dalam
proses fermentasi. Menurut Hadiyanti & Wikandari (2013), fermentasi dengan kadar
garam 5% akan meningkatkan aktivitas proteolitik dari BAL selama proses fermentasi.
Aktivitas proteolitik yang tinggi, akan menyebabkan tingginya kandungan protein
sederhana, sehingga akan meningkatkan ketercernaan dari bahan pangan tersebut.
Bahaya biologi (mikroba) pada produk pangan, merupakan ancaman serius bagi
keamanan pangan. Bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli merupakan
bakteri yang paling sering menyebabkan kasus keracunan pangan. Kedua bakteri
tersebut memberikan Escherichia coli merupakan salah satu mikroba yang menjadi
indikator sanitasi lingkungan yang buruk. Pada bahan makanan yang teridentifikasi
adanya Escherichia coli, jika termakan, maka akan menyebabkan keracunan.
Staphylococcus aureus merupakan bakteri yang bersifat enterotoksin, yang biasanya
mengkontaminasi bahan pangan berasal dari hidung, mulut, dan tangan food handler
dan juga dapat berasal dari peralatan masak yang kurang memadahi dari segi sanitasi
(Ariyani & Anwar, 2006).
1.2. Tinjauan Pustaka
1.2.1. Bakteri Asam Laktat
Bakteri asam laktat merupakan kelompok dari bakteri Gram positif, tidak membentuk
spora, memproduksi asam laktat sebagai hasil terbesarnya dalam proses fermentasi
3
karbohidrat dan termasuk genera Aerococcus, Carnobacterium, Enterococcus,
Lactobacillus, Lactococcus, Leuconostoc, Pediococcus, dan Streptococcus,
Tetragenococcus, Vagococcus, dan Weisella. Bakteri asam laktat tergolong ke dalam
bakteri yang sangat selektif terhadap nutrisi yang diperlukan selama pertumbuhan,
yakni memerlukan karbohidrat, asam amino, peptida, asam nukleat, dan vitamin.
Bakteri asam laktat memiliki rentang pH pertumbuhan yang bervariasi, yaitu antara 3,0
hingga 8,0 (Rattanachaikunsopon & Phumkhachorn, 2010).
Tetragenococcus merupakan salah satu genus bakteri asam laktat yang memiliki sifat
Gram positif, non-motil, coccus yang tidak membentuk spora, bersifat homofermentatif,
halofilik, dan memiliki kemampuan tumbuh pada suhu yang bervariasi antara 10-300C,
pada konsentrasi NaCl antara 2-5 %, dan tumbuh optimal hingga pada pH 9.
Tetragenococcus merupakan genus BAL yang diisolasi dari makanan tradisional Korea,
yaitu Kimchi (Lee et al., 2005). Tetragenococcus dapat pula dijumpai pada produk
fermentasi yang lainnya, diantaranya yaitu kecap, kecap ikan, dan terasi (Juste et al.,
2008).
Klasifikasi genus dari bakteri asam laktat didasarkan pada morfologi, model dari
fermentasi glukosa, pertumbuhan dalam variasi suhu, kemampuan tumbuh dalam
konsentrasi garam yang tinggi, dan toleransi terhadap asam atau basa. Secara garis
besar, bakteri asam laktat dibedakan menjadi 2 kelompok berdasarkan pada
pembentukan produk akhirnya selama proses fermentasi, yaitu homofermentatif dan
heterofermentatif. Bakteri asam laktat yang bersifat homofermentatif, seperti
Pediococcus, Streptococcus, Lactococcus, memproduksi asam laktat sebagai hasil
terbesar dari fermentasi glukosa (Gambar 1). Bakteri homofermentatif menggunakan
jalur Embden-Meyerhof-Parnas untuk memproduksi 2 mol laktat tiap mol glukosa. Pada
bakteri asam laktat yang bersifat heterofermentatif, diantaranya Weisella dan
Leuconostoc, dan beberapa jenis Lactobacillus, menghasilkan laktat, CO2, dan etanol
dalam jumlah yang relatif setara (Rattanachaikunsopon & Phumkhachorn, 2010).
4
Gambar 1. Perbedaan Jenis Bakteri Asam Laktat Berdasarkan pada Produk Akhirnya
(Rattanachaikunsopon & Phumkhachorn, 2010).
1.2.2. Peranan Bakteri Asam Laktat Sebagai Antimikroba
Bakteri asam laktat memiliki sejarah yang panjang dalam perkembangan produk
fermentasi makanan, karena memberikan manfaat yang baik dalam komposisi nutrisi,
kualitas organoleptik, dan terhadap umur simpan produk. Penurunan pH secara cepat
pada produk fermentasi sebagai akibat dari asam laktat dan asam-asam organik lainnya
yang turut diproduksi selama proses fermentasi juga memiliki peranan sebagai
antimikroba disamping senyawa lainnya yang diproduksi, antara lain etanol, peroksida,
asam format, reuterin, bakteriosin, dan reutericyclin. Asam-asam organik terutama
dihasilkan terutama oleh Lactococcus, Streptococcus ̧Pediococcus, Lactobacillus, dan
Leuconostoc (De Vuyst & Leroy, 2007).
Xylulose-5-P
Glyceraldehyde-3-P Dihydroxyacetone-P
Glucose-6-P Glucose-6-P
Fructose-6-P 6-Phosphogluconate
Fructose-1,6-DP Ribulose-5-P
Glucose
Glyceraldehyde-3-P Acetyl-P
H2O
2 Pyruvate
2 Lactate
Pyruvate
Lactate
Acetaldehyde
Ethanol
Heterolactic Homolactic
5
Asam-asam organik yang dihasilkan oleh bakteri asam laktat, mampu berfungsi sebagai
pengawet, sementara komponen ester yang dihasilkan, dapat menjadi senyawa
antimikroba yang efektif. Asam laktat mampu merusak permeabilitas bakteri Gram
negatif, yaitu dengan merusak pelindung permeabilitas yang berupa lapisan
lipopolisakarida, karena sifatnya yang mudah larut dalam air. Perusakan dinding sel
disebabkan karena asam laktat dan senyawa lainnya mampu menembus periplasma
bakteri Gram negatif melalui protein porin pada membran luarnya (Widyasih, 2008).
Selain asam-asam organik, ada senyawa-senyawa lain yang memberikan efek
antimikroba, yaitu diantaranya hidrogen peroksida (H2O2), karbon dioksida (CO2),
diasetil, substansi antimikrobial berberat molekul rendah seperti reuterin, reutericyclin,
2 pyrolidone-5-carboxylic acid (PCA), maupun bakteriosin (Ruzanna, 2011). Hidrogen
peroksida memiliki fungsi sebagai agen pengikat oksigen sehingga membuat suasana
lingkungan yang anaerob dan menghambat pertumbuhan bakteri aerob. Kelebihan yang
dimiliki oleh hidrogen peroksida adalah kemampuannya dalam menghambat
pertumbuhan bakteri gram negatif terutama koliform, karena lebih sensitif terhadap
H2O2 (Widyasih, 2008). Hidrogen peroksida memiliki efek bakterisidal karena
menghasilkan superoksida oksigen dan radikal hidroksil, sehingga akan menyebabkan
oksidasi sel bakteri dan merusak struktur dasar molekul dari protein sel (Rachmawati et
al., 2006).
1.2.3. Sayur Asin
Sawi pahit merupakan tumbuhan dari marga Brassica yang biasa dimanfaatkan sebagai
bahan pangan, baik segar maupun difermentasi menjadi sayur asin. Bahan baku
pembuatan sayur asin yang paling sering digunakan adalah sawi pahit, karena
mengandung senyawa carpaine yang memicu rasa pahit, sehingga menurunkan tingkat
kesukaan konsumen. Sawi pahit (Brassica juncea) merupakan jenis sawi yang memiliki
kadar air yang tinggi (91,1 g/100 g bahan), sehingga selama masa penyimpanannya
mudah mengalami kerusakan mikrobiologis. Proses fermentasi sayur asin umumnya
dilakukan pada suhu 30oC, sedangkan pada suhu lebih rendah, maka fermentasi akan
berjalan lebih lambat dan kemungkinan muncul bakteri pembusuk semakin besar.
Pengolahan dengan fermentasi sayur akan memperpanjang umur simpan, karena
6
penggunaan kadar garam yang cukup tinggi dalam proses fermentasinya (Pradani &
Hariastuti, 2009).
Suhu memiliki peranan yang sangat penting dalam berjalannya proses fermentasi sayur
asin. Sayur asin yang dibuat dengan menggunakan kubis, akan tumbuh bakteri asam
laktat jenis Leuconostoc mesenteroides, Lactobacillus cucumeris, Lactobacillus
pentoaceticus. Pada suhu fermentasi yang terlalu tinggi (>21oC), maka Leuconostoc
tidak akan mampu memproduksi asam laktat, sehingga peranannya akan digantikan oleh
Lactobacillus (Rustan, 2013). Menurut Sanchez et al. (2001), Lactobacillus mampu
tumbuh dengan baik hingga pH diatas 9 dan memfermentasi bahan hingga pH dibawah
5. Selain itu, Lactobacillus pentosus atau Lactobacillus plantarum mampu bertahan
pada konsentrasi garam diatas 12%.
Sama halnya dengan sayur asin di Indonesia, kimchi merupakan makanan tradisional
Korea yang pada prinsipnya menggunakan fermentasi asam laktat, namun dengan suhu
yang lebih rendah. Rendahnya suhu yang digunakan, adalah untuk menghindari
produksi asam yang terlalu kuat, over-ripening, dan memperpanjang periode optimum
untuk dikonsumsi jika ditinjau dari aspek sensori. Proses pembuatan kimchi dapat
dilakukan dengan memfermentasi beberapa jenis sayuran, yang dilakukan pada suhu
fermentasi yang bervariasi, yaitu dimana jika terjadi peningkatan suhu, maka waktu
pemeraman akan berkurang. Kimchi akan dapat mencapai tahapan akhir fermentasi
dalam waktu 29 hari dengan suhu 4oC (Jung et al., 2011), dapat dilakukan juga selama 1
minggu jika difermentasi pada suhu 15oC dan 3 hari pada suhu 25
oC (Karovicova &
Kohajdova, 2003). Proses fermentasi kimchi dilakukan dengan proses fermentasi yang
terjadi secara anaerob. (Lee et al., 2005).
1.3. Tujuan Penelitian
Untuk mengisolasi dan mengidentifikasi bakteri asam laktat yang berasal dari
fermentasi sayur asin dalam larutan garam 5% dan suhu 150C, serta menguji daya
hambatnya terhadap bakteri patogen Escherichia coli dan Staphylococcus aureus.