Post on 06-Aug-2015
PENDAHULUAN Latar Belakang
Sumberdaya genetik ternak pada saat ini menghadapi tantangan ganda.
Pada satu sisi, permintaan produk peternakan meningkat di negara berkembang,
seperti diestimasikan oleh Food Agriculture Organization (FAO), bahwa
permintaan susu dan daging asal ternak semakin meningkat dua kali lipat. Di sisi
lain sumberdaya genetik ternak semakin terancam keberadaannya di seluruh
dunia. Sejak 15 tahun lampau hingga kini, 300 dari 6000 breed yang
diidentifikasi oleh FAO mengalami kepunahan (Ruane et al. 2006). Banyak breed
lokal yang penting untuk ketahanan pangan tidak diperhatikan dan ditingkatkan
pemanfaatannya secara berkesinambungan sehingga berada dalam bahaya
kepunahan atau tersingkirkan oleh perkawinan silang atau crossbreeding.
Perlindungan dan pengembangan breed lokal sangat penting disebabkan
karena breed lokal ini dapat memanfaatkan pakan mutu rendah serta lebih tahan
terhadap stress lingkungan dan penyakit. Selain itu, mereka sangat baik
beradaptasi terhadap lingkungan, dengan sumberdaya alam yang sangat terbatas
dan manajemen yang sangat rendah. Hewan secara genetik menyesuaikan diri
dengan kondisi ini yang diharapkan menjadi lebih produktif dengan biaya yang
relatif rendah, mendukung pangan, pertanian dan keragaman budaya, dan menjadi
efektif untuk mendukung tujuan dari ketahanan pangan lokal.
Keadaan yang sama juga akan berdampak pada jenis kambing lokal
(kambing kacang) di Indonesia. Dengan keinginan untuk mempercepat
produktivitasnya, dilakukan kawin silang dengan breed jenis lain yang diimpor
dari luar. Kondisi ini diperparah dengan minimnya penelitian genetik pada
kambing di Indonesia.
Di Indonesia, kambing kacang memiliki nilai ekonomi yang penting dan
disukai oleh masyarakat dan tersebar luas di tangan petani penggarap. Kenyataan
ini menunjukkan peranan yang sangat penting dari ternak kambing untuk petani
penggarap. Kontribusi dari ternak kambing dari total pendapatan pertanian untuk
ruminansia kecil sangat substansial. Produksinya juga memegang peranan penting
2
untuk menumbuhkan aktivitas pendapatan sebagian besar petani kecil disamping
menjadi sumber protein hewani yang menunjang ketahanan pangan nasional.
Hampir 50.3% populasi kambing di Indonesia terdapat di pulau Jawa. Dari
13 182 064 ekor kambing di seluruh Indonesia, sekitar 6 626 653 ekor kambing
berada di pulau Jawa (Ditjen Peternakan 2005). Di luar Jawa, provinsi yang
memiliki populasi kambing terbanyak adalah Lampung (868 133 ekor), Sumatera
Utara (72 858 ekor), Nangroe Aceh Darussalam (655 242 ekor) , Sulawesi Selatan
(511 895 ekor) dan sisanya 3 798 283 ekor tersebar di provinsi lainnya. Apabila
dibandingkan dengan domba, populasi kambing jauh lebih tinggi. Namun data
yang berkenaan tentang kambing sangat minim, padahal data ini sangat diperlukan
dalam rangka pelaksanaan usaha pemuliaan serta pengembangannya. Disamping
itu, pengaruh iklim, topografi maupun vegetasi menyebabkan penampilan
kambing yang dipelihara di satu wilayah dengan wilayah lain berbeda. Perbedaan
ini diperbesar dengan terjadinya kawin silang dengan kambing jenis yang berbeda
(misalnya etawah maupun peranakan etawah) maupun frekwensi pemindahan
antar pulau kambing lokal pada wilayah yang pulaunya sangat berdekatan. Hal ini
dapat dilihat dari bentuk dan performance ternak kambing kacang di beberapa
pulau yang mempunyai karakter sangat beragam seperti di provinsi Maluku Utara
yang dikenal sebagai Provinsi Kepulauan.
Provinsi Maluku Utara yang terbentuk dengan Undang-Undang No.46
tahun 1999 adalah daerah kepulauan yang terdiri atas 395 pulau besar kecil,
sebanyak 64 pulau dihuni dan 331 pulau tidak berpenghuni, dengan luas 33 278
km2 (23.73%) yang tersebar di atas perairan seluas 106 977.32 km2 (76.27%).
Luas wilayah seluruhnya 140 255.36 km2 dengan hamparan topografi yang
berbukit dengan bergunung-gunung dengan ketinggian tempat yang bervariasi
antara 25 sampai 1000 di atas permukaan laut (dpl). Mata pencaharian sebagian
besar penduduknya adalah bertani tanaman pangan, berkebunan dan nelayan dan
sebagian lainnya melakukan kegiatan usaha sampingan seperti memelihara ternak
sapi, kambing dan unggas (ayam buras, ras dan itik).
Populasi kambing kacang tahun 2005 di provinsi Maluku Utara adalah
101 962 ekor (Badan Pusat Statistik Maluku Utara 2006) dan seluruhnya berpola
peternakan rakyat ekstensif dan diusahakan secara tradisional. Pemeliharaan
3
ternak secara tradisional ini menggunakan ketrampilan yang sederhana dan
menggunakan bibit lokal dalam jumlah dan mutu yang relatif terbatas. Ternak
kambing digembalakan di padang penggembalaan umum, pinggir jalan dan
sawah, pinggir sungai, atau tegalan. Kalau siang hari ternak dibiarkan mencari
makan sendiri dan diberi minum dan dimandikan seperlunya, lalu dimasukkan ke
dalam kandang pada sore hari. Pemeliharaan dengan cara ini dilakukan setiap hari
dan dikerjakan oleh anggota keluarga peternak dengan jumlah kepemilikan rata-
rata 5-10 ekor ternak kambing. Persoalan mendasar yang dijumpai adalah
pengetahuan dan ketrampilan peternak yang masih rendah, akibatnya mereka
mengalami kesulitan mengadopsi teknologi baru, yang konsekuensinya adalah
rendahnya produktivitas ternak kambing di Maluku Utara.
Sehubungan dengan berbagai permasalahan di atas, studi untuk mengamati
dan mempelajari karakterisasi, produktivitas dan dinamika populasi ternak
kambing kacang di provinsi Maluku Utara perlu dilakukan sehingga diperoleh
data dasar yang dapat digunakan untuk landasan bagi pengembangan program
pemuliaan kambing kacang di wilayah ini. Dengan demikian usaha pelestarian
sumber genetik ternak asli khususnya ternak lokal dapat dilakukan dengan tetap
memanfaatkannya secara optimal.
Tujuan Penelitian
Merancang pola pemuliaan dan pengembangan ternak kambing kacang di
provinsi Maluku Utara. Untuk mencapai tujuan tersebut penelitian dilakukan
untuk:
1. Memahami karkateristik petani-ternak khususnya peternak kambing di
Maluku Utara sebagai informasi dasar untuk pengembangan program
pemuliaan ternak kambing di Maluku Utara
2. Melakukan karakterisasi kambing kacang meliputi karakterisasi fenotip
kualitatif, karakterisasi fenotip kuantitatif dan karakterisasi genotip dengan
tujuan untuk menentukan tingkat keragaman dan jarak genetik dalam
populasi pada masing-masing wilayah sebagai database genetik untuk
menentukan arah pengembangan program pemuliaan kambing kacang di
wilayah tersebut.
4
3. Mengkaji penampilan produktivitas kambing kacang serta pola
pertumbuhan anak kambing dengan umur tetua yang berbeda yang
dikawinkan secara acak (tanpa melihat umur serta bobot ) dan tetua yang
terseleksi dan dikawinkan tidak secara acak (terpilih) baik pada ternak
kambing yang dipelihara di stasiun percobaan maupun yang di pelihara
secara tradisional di pedesaan untuk mendapatkan pola pertumbuhannya.
4. Mempelajari dinamika populasi kambing kacang yang meliputi struktur
populasi, gambaran tentang sifat-sifat dasar kambing kacang, tingkat
mortalitas untuk menentukan besaran populasi secara berkesinambungan.
5. Menentukan pola dan program pemuliaan yang berkelanjutan untuk
menghasilkan ternak kambing unggul di Maluku Utara.
Manfaat Penelitian
1. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang
berarti bagi pemerintah daerah dalam mengembangkan peternakan
kambing khususnya berkaitan dengan upaya pelestarian plasma nutfahnya
di Maluku Utara.
2. Diharapkan hasil penelitian ini juga akan memberi petunjuk bagi
pengembangan suatu model dalam rangka pemeliharaan dan pembinaan
kelestarian sumberdaya genetik ternak kambing kacang dalam lingkungan
pedesaan di Provinsi Maluku Utara yang bersifat aplikatif bagi peternak.
5
Kondisi Saat ini - Populasi
relatif tinggi - Produksi
daging saja - Pemeliharaan
tradisional - Jarang
menggunakan kandang
- Sebagai usaha sambilan
- Sering dijangkiti penyakit menular
- Ternak dibiarkan cari makan sendiri
- Tidak ada program pemuliaan
Peluang - Sumberdaya lahan tersedia - Ketersediaan pakan tinggi - Adanya political will
pemerintah daerah - Keragaman breed tinggi - Sosial budaya masyarakat
mendukung
Kambing kacang merupakan
plasma nutfah ternak potensial
Tantangan - Kondisi geografis provinsi
kepulauan - SDM peternak rendah - Skala usaha kecil dan menyebar - Kualitas dan mutu bibit rendah - Perkawinan inbreeding - Tidak jelas pola pengembangan - Data dasar molekuler tidak ada
DINAMIKA POPULASI
- Struktur Populasi
- Sifat-sifat dasar Populasi
Produktivitas dan Pola Pertumbuhan
ASPEK GENETIK - Karakt.
Fenotipe - Karakt.
Genotip
PROGRAM PEMULIAAN
TERNAK KAMBING
Keadaan Umum : - Peternak - Kelembagaan - Aspek sosial
Gambar 1. Kerangka berpikir dalam penelitian ini.
6
TINJAUAN PUSTAKA
Karakterstik Wilayah Penelitian
Geografi dan Wilayah Administratif
Provinsi Maluku Utara merupakan hasil pemekaran dari wilayah provinsi
Maluku. Ibukota Provinsi Maluku Utara yang definitif adalah di Sofifi.
Mempertimbangkan berbagai aspek daya dukung prasarana dan sarana
pemerintahan yang ada di Sofifi belum memadai untuk menjalankan
pemerintahan, maka dalam rangka menjalankan roda pemerintahan provinsi,
untuk sementara ditempatkan di kota Ternate dan berjalan sampai dengan saat ini.
Secara geografis wilayah Provinsi Maluku Utara berada pada posisi
koordinat 30 Lintang Utara sampai 30 Lintang Selatan dan 1240 sampai 1290
Bujur Timur, dengan batas – batas wilayah sebagai berikut :
• Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Halmahera
• Sebelah Barat berbatasan dengan Laut Maluku
• Sebelah Utara berbatasan dengan Samudera Pasifik
• Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Seram (Maluku).
Luas total wilayah provinsi Maluku Utara mencapai 140 255.36 km2,
dengan luas wilayah perairan 106 977.32 km2 (76.27%), dan daratan seluas 33
278 km2 (23.73 %). Terdiri dari 395 buah pulau besar dan kecil. Dari jumlah itu,
sebanyak 64 pulau telah di huni, sedangkan 331 pulau lainnya tidak dihuni.
Jumlah penduduk tahun 2004 sebanyak 910 656 jiwa, rata-rata laju pertumbuhan
sebesar 2.16% per tahun.
Sebagai wilayah kepulauan, provinsi Maluku Utara terdiri dari pulau besar
dan pulau kecil. Pulau yang tergolong relatif besar ialah Pulau Halmahera (18
000 km2), Pulau-pulau yang relatif sedang besar ialah Pulau Obi (3 900 km2),
Pulau Taliabu (3 295 km2), Pulau Bacan (2 878 km2) dan Pulau Morotai (2 325
km2) dan pulau – pulau yang relatif kecil antara lain pulau Ternate, Tidore, Moti,
Makian, Kayoa, Gebe dan sebagainya.
7
Secara administratif pemerintahan, provinsi Maluku Utara terdiri dari 6
Kabupaten dan 2 Kota, yaitu Kabupaten Halmahera Tengah, Kota Ternate,
Kabupaten Halmahera Barat, Kabupaten Halmahera Utara, Kabupaten Halmahera
Selatan, Kabupaten Kepulauan Sula, Kabupaten Halmahera Timur, dan Kota
Tidore Kepulauan (Tabel 1).
Tabel 1 Luas wilayah kabupaten/kota di provinsi Maluku Utara
No. Kabupaten/Kota Jumlah kecamatan
Jumlah desa/kelurahan Luas wilayah (km2) Desa Kelurahan
1 2 3 4 5 6 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Halmahera Tengah Kota Ternate Halmahera Barat Halmahera Utara Halmahera Selatan Kepulauan Sula Halmahera Timur Tidore Kepulauan
3 4 5 9 9 6 4 6
31 -
130 174 194 86 41 21
- 63 - - - - -
20
2 276.65 1 122.98
2 897 575 10 493.73 8 977 497 4 977 497
6 506.20 1 797.18
Total 45 676 83 140 255.36 Sumber : Bappeda Provinsi Maluku Utara (2006) Geologi dan Fisiografi
Berdasarkan struktur dan tektonik serta litologinya, geologi sebagian besar
Provinsi Maluku Utara bagian Tengah dan Utara merupakan daerah pegunungan
dengan bahan induk bervariasi. Bagian Utara dan Timur Laut semenanjung
Halmahera didominasi oleh pegunungan, semenanjung Utara disusun oleh formasi
gunung api (Andesit dan bahan batuan beku Andesit). Pada semanjung Timur
Laut ditemukan batuan beku asam, basa, dan ultra basa serta bahan sedimen.
Di semenanjung utara Halmahera terdapat barisan gunung api aktif
dengan bentuk dan struktur yang sangat khas. Pada bagian ini, dataran alluvial
tidak ditemukan, tetapi memasuki daerah Kao ditemukan dataran alluviasi yang
luas pada daerah pedalaman, dataran vulkanik yang berombak dan dataran berawa
secara lokal. Pulau Morotai memiliki banyak kesamaan dengan Pulau Halmahera
bagian Utara dan Timur yang dicirikan oleh gunung-gunung yang berkembang
dari batuan sediment dan batuan beku basa. Pada semenanjung bagian Selatan
Halmahera lebih didominasi oleh daerah gunung yang terutama berkembang dari
8
bahan-bahan sedimentasi dan batu gamping , dimana bagian ini terbentang dataran
sempit alluvial arah Timur-Barat.
Kawasan sepanjang pantai Barat Halmahera terbentang sejumlah pulau-
pulau besar dan kecil yang dimulai dari pulau Ternate bagian Utara sampai Obi di
bagian Selatan. Pulau-pulau kecil di bagian Utara umumnya merupakan daerah
vulkanik yang tersusun dari bahan andesit, dan batuan beku basaltik dengan
lereng curam (30 – 45 %) sampai sangat curam (> 45%).
Kelompok pulau-pulau Bacan mempunyai bentangan lahan pegunungan
yang sama dengan Halmahera Utara yaitu batuan beku basa dan batuan
metamorfik. Batuan metamorfik walaupun menyebar secara lokal tetapi
merupakan batuan induk dominan pada daerah ini. Sepanjang pesisir terdapat
dataran pantai yang sempit, dan bagian tengah dari pusat pulau Bacan dibentuk
oleh daratan alluvial.
Bentang lahan pulau Obi mengikuti pola yang sama, dimana bagian tengah
didominasi oleh daerah pegunungan dengan bahan penyusunnya batuan beku basa
dan diapit oleh deretan perbukitan dari batuan sediment.
Kelompok kepulauan Sulabesi mempunyai struktur yang sama tetapi memiliki
susunan bahan induk yang berbeda sebagian besar pulau. Taliabu dan Pulau
Sanana merupakan daerah pegunungan dengan puncak tajam dan lereng yang
curam, berkembang terutama dari batuan metamorfik. Bagian Barat pulau Sanana
juga ditemukan bahan induk granit.
Topografi
Provinsi Maluku Utara dibentangkan oleh relief-relief besar dimana
palung Oceanis dan punggung pengunungannya saling bergantungan dengan
kemiringan lahannya. Sebagian besar bergunung – gunung dan berbukit – bukit
yang terdiri dari pulau – pulau Vulkanis dan pulau karang, sedangkan sebagian
lainnya merupakan hamparan dataran. Pulau Halmahera mempunyai banyak
pegunungan yang rapat mulai dari teluk Kao, teluk Buli, teluk Weda, teluk
Payahe dan Dodinga. Di setiap daerah terdapat punggung gunung yang merapat
ke pesisir, sedangkan pada daerah sekitar teluk Buli, pesisir barat mulai dari
9
teluk Jailolo ke Utara dan teluk Weda ke Selatan ditemui daerah hamparan
dataran yang luas. Pada bagian lainnya terdapat deretan pegunungan yang
melandai dengan arah pesisir. Pulau – pulau yang relatif sedang (Obi, Morotai,
Taliabu dan Bacan) umumnya memiliki dataran luas yang diselingi pegunungan
yang bervariasi.
Jenis Tanah
Tanah yang terdapat di wilayah provinsi Maluku Utara menunjukkan
sifat–sifat yang berbeda, mulai dari pulau Morotai di bagian Utara sampai pulau
Sulabesi di bagian selatan perbedaan ini disebabkan oleh faktor klimatologi
(curah hujan, suhu dan angin ) yang tinggi.
Selain itu, yang membedakan sifat-sifat tanah adalah tipe batuan/bahan
induk dan kemiringan lereng yang berkorelasi dengan kedalaman efektif
perakaran serta vegetasi dimana tanah itu berkembang. Selain iklim dan vegetasi,
kompleks geologi provinsi Maluku Utara sangat erat hubungannya dengan
penyebaran sifat-sifat tanah. Keadaan geologi dibarengi pula dengan proses
pelapukan dan pencucian di bawah kondisi suhu dan curah hujan yang
bervariasi. Oleh karena itu, tanah di daerah Maluku Utara berada dalam suatu
perkembangan dan kedalaman yang bervariasi dengan drainasi baik, tekstur
tanah halus, kesuburan yang relatif rendah pada daerah-daerah perbukitan dan
pegunungan yang berlereng curam sampai sangat curam dengan penutupan
vegetasi yang jarang. Ini secara relatif juga mempengaruhi erosi permukaan,
sehingga sering ditemukan tanah-tanah dengan kedalaman solum dangkal sampai
sedang dengan tingkat perkembangan lemah sampai sedang. Adapun jenis tanah
yang tersebar di daerah Maluku Utara antara lain, adalah:
1. Jenis tanah mediteran terdapat di pulau Morotai bagian Barat, Timur dan
Selatan, pulau Doi, dan kecamatan Loloda .
2. Jenis tanah podsolik merah kuning terdapat di pulau Halmahera dari Utara ke
Selatan, Tobelo, Ibu, Obi, bagian Timur, Sanana, pulau Taliabu, Oba, Weda,
Patani dan Maba.
10
3. Jenis tanah kompleks terdapat di pulau Morotai bagian Barat dan Timur ,Obi
bagian tengah , pulau Halmahera bagian Tengah sampai Timur.
4. Jenis tanah latosol terdapat di Loloda, Jailolo bagian Selatan, Gane Timur,
Gane Barat, Bacan, Oba, Wasile, Weda dan Maba
5. Jenis tanah regosol terdapat Loloda, Galela, Sahu, Kao, pulau Ternate, pulau
Makian, Pulau Obi di pesisir Utara .
6. Jenis tanah alluvial terdapat di pulau Obi bagian Barat, pulau Taliabu, bagian
Utara dan Tenggara, Oba, Wasile, Weda, Patani dan Maba.
Klimatologi
Secara Umum iklim di kepulauan Maluku Utara hampir sama. Temperatur
rata-rata tahunan yang diukur dari stasiun Duma Galela, Ternate dan Tobelo
antara 25.60 C – 26.10 C dengan curah hujan rata-rata tahunan antara 2.138 mm –
3.693 mm.
Wilayah Maluku Utara dipengaruhi oleh iklim laut tropis dan iklim
musim. Oleh karena itu iklimnya sangat dipengaruhi oleh lautan dan bervariasi
antara tiap bagian wilayah, yaitu Halmahera Utara, Halmahera Tengah/Barat,
Bacan dan Kepulauan Sula.
a. Daerah iklim Halmahera Utara terdiri atas dua musim yaitu :
● Musim hujan pada bulan Desember sampai Februari
● Musim kemarau pada bulan Agustus sampai dengan bulan Desember, yang
diselingi pancaroba pada bulan November – Desember.
b. Daerah iklim Halmahera Tengah/Barat yang dipengaruhi oleh dua musim
yaitu :
● Musim Utara pada bulan Oktober – Maret dan musim pancaroba pada bulan
April.
● Musim Selatan pada bulan April – September yang diselingi angin Timur
dan pancaroba pada bulan September.
c. Daerah iklim Bacan yang dipengaruhi oleh dua musim yaitu :
● Musim Utara pada bulan Oktober – Maret yang diselingi angin Barat dan
pancaroba pada bulan April.
11
● Musim Selatan pada bulan September diselingi angin Timur dan pancaroba
pada bulan September.
d. Daerah iklim kepulauan Sula yang terdiri dari dua musim yaitu :
● Musim Utara pada bulan Oktober – Maret diselingi angin barat dan
pancaroba pada bulan April.
Sebagaimana umumnya daerah Maluku Utara yang didominasi wilayah
laut. Kota Ternate sangat dipengaruhi oleh iklim laut karena mempunyai tipe
iklim tropis yang terdiri dari dua musim (Utara-Barat dan Timur-Selatan), yang
seringkali diselingi dengan dua kali masa pancaroba disetiap tahunnya.
Temperatur rata bulanan 26.96°C (maksimum 30.68 °C – minimum 24.12 °C),
dengan rata-rata kelembaban 86.42 % dan penyinaran matahari 54.42 % dengan
kecepatan angin 4.25 km/jam.
Berdasarkan klasifikasi iklim Schimdt dan Ferguson, daerah Maluku Utara
umumnya bertipe iklim B, dengan rata-rata curah hujan per tahun 1869.4 mm.
Bulan basah adalah bulan dengan curah hujan lebih tinggi atau sama dengan 1000
mm dan bulan kering adalah bulan dengan curah hujan lebih rendah atau sama
dengan 600 mm. Bulan November dan bulan Agustus adalah bulan dengan curah
hujan yang tertinggi selain itu bulan April juga bulan dengan curah hujan yang
tinggi yaitu 293.3 mm (Tabel 2). Periode curah hujan rendah berlangsung pada
bulan September dan Oktober dengan curah hujan terendah 50.8 mm pada bulan
September lihat Tabel 3.
Adapun curah hujan di propinsi Maluku Utara adalah sebagai berikut :
● Curah hujan antara 1000 – 2000 mm, meliputi Pulau Tobelo, Pulau Mangole,
Pulau Sulabesi, Pulau Obi dan sekitarnya, Pulau Bacan dan sekitarnya dan
Pulau Halmahera bagian Selatan.
● Curah hujan antara 2500 – 3000 mm, meliputi Pulau Halmahera bagian Utara,
sebagian Kecamatan Ibu, Galela dan Loloda.
● Sedangkan lainnya adalah curah hujan antara 2000 – 2500 mm per tahun.
12
Tabel 2 Curah hujan, bulan basah dan bulan kering di provinsi Maluku Utara
Kabupaten Curah Hujan per Tahun Pola Tipe Iklim Bulan Hujan Kota Ternate 3000 - 4000 Berfluktuasi Basah CH ≤ 100 = 0 mm/bln
CH ≤ 100 - 150 = 0 mm/bln CH ≤ 150 - 200 = ≤ 2 mm/bln CH > 200 = 9 – 12 mm/bln
Kota Tidore Kepulauan
2000 - 3000 Ganda (double wafe)
Basah CH ≤ 100 = ≤ 4 mm/bln CH ≤ 100 - 150 = ≤ 4 mm/bln CH ≤ 150 - 200 = ≤ 5 mm/bln CH > 200 = 6 – 8 mm/bln
Kabupaten Halmahera Barat
3000 - 4000 Berfluktuasi Basah CH ≤ 100 = 0 mm/bln CH ≤ 100 = 0 mm/bln CH ≤ 150 - 200 = ≤ 2 mm/bln CH > 200 = 9 – 12 mm/bln
Kabupaten Halmahera Utara
1000 - 2000 Berfluktuasi (multiple wafe)
Kering CH ≤ 100 = 0 mm/bln CH ≤ 100 = 0 mm/bln CH ≤ 150 - 200 = ≤ 2 mm/bln CH > 200 = 9 – 12 mm/bln
Kabupaten Halmahera Timur
1000 - 2000 Berfluktuasi (multiple wafe)
Kering CH ≤ 100 = 0 mm/bln CH ≤ 100 = 0 mm/bln CH ≤ 150 - 200 = ≤ 2 mm/bln CH > 200 = 9 – 12 mm/bln
Kabupaten Halmahera Tengah
2000 - 3000 Ganda (double wafe)
Basah CH ≤ 100 = 0 mm/bln CH ≤ 100 = 0 mm/bln CH ≤ 150 - 200 = ≤ 2 mm/bln CH > 200 = 9 – 12 mm/bln
Kabupaten Halmahera Selatan
2000 - 3000 Ganda (double wafe)
Basah CH ≤ 100 = 0 mm/bln CH ≤ 100 = 0 mm/bln CH ≤ 150 - 200 = ≤ 2 mm/bln CH > 200 = 9 – 12 mm/bln
Kabupaten Kepulauan Sula
1000 - 2000 Berfluktuasi (multiple wafe)
Kering CH ≤ 100 = 0 mm/bln CH ≤ 100 = 0 mm/bln CH ≤ 150 - 200 = ≤ 2 mm/bln CH > 200 = 9 – 12 mm/bln
Sumber : Badan Pusat Statistik Maluku Utara (2006)
13
Tabel 3 Suhu udara, kelembaban dan rataan penyinaran matahari pada stasiun
meteorologi Babullah Ternate 2005
No. Bulan
Suhu Udara (OC) Kelembaban
(%)
Penyinaran Matahari Rata-rata
(Jam)
Maks
Min
Rataan
1. Januari 30.1 24.9 26.9 83 41 2. Pebruari 30.5 23.9 26.5 84 62 3. Maret 31.4 24.5 27.2 82 68 4. April 30.6 24.3 26.9 85 56 5. Mei 31.3 24.0 27.0 84 61 6. Juni 30.8 24.1 27.0 83 59 7. Juli 30.0 24.0 27.0 82 41 8. Agustus 31.1 24.0 27.0 77 59 9. September 31.4 23.7 27.1 77 71 10. Oktober 30.8 23.9 26.9 90 49 11. Nopember 30.0 24.0 27.0 86 44 12. Desember 27.0 30.2 27.0 86 37
Sumber : Badan Pusat Statistik Maluku Utara (2006) Keadaan Umum Peternakan Provinsi Maluku Utara
Pembangunan pertanian termasuk didalamnya sub sektor peternakan
sebagai bagian integral dari Pembangunan Daerah mempunyai peranan yang
strategis dalam pemulihan ekonomi daerah. Peranan strategis tersebut khususnya
adalah dalam peningkatan pendapatan daerah, penyediaan pangan, penyediaan
bahan baku industri, peningkatan ekspor, penyediaan kesempatan kerja dan
kesempatan berusaha, peningkatan pendapatan petani dan kesejahteraan
masyarakat.
Namun di era pasca konflik yang bernuansa sara diikuti dengan krisis
moneter yang dialami bangsa Indonesia, kondisi subsektor peternakan di wilayah
Maluku Utara terkena imbasnya yang mengakibatkan rusaknya sarana prasarana
peternakan baik milik pemerintah maupun aset-aset peternakan yang dimiliki
masyarakat di daerah ini. Puluhan ribu ternak hilang, baik ternak ruminansia ( sapi
dan kambing), maupun ternak unggas (ayam ras, buras dan itik). Hal ini dapat
dilihat dari jumlah populasi ternak dari tahun 1999 – 2007 di Maluku Utara pada
Tabel 4.
14
Tabel 4 Populasi ternak tercatat (ekor) pada 1999 – 2007 di provinsi Maluku Utara
No Jenis Ternak Populasi (ekor)
1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007
1 Sapi Potong 2 650 13 631 16 760 20 000 20 212 40 537 41 685 41 115 42 842
2 Sapi Perah 0 0 0 0 0 0 0 0 0
3 Kerbau - - - - 78 89 89 16 16
4 Kambing 3 220 24 31 151 648 113 700 82 402 99 982 101 962 159 981 184 778
5 Domba 0 0 0 0 0 0 0 0 0
6 Babi 421 736 1 288 1 630 1 950 41 236 12 491 20 600 21 012
7 Kuda 30 30 30 30 30 32 33 28 28
8 Ayam Buras 13 800 10 620 8 710 7 120 400 000 600 205 486 742 533 658 656 399
9 Ayam Ras 64 750 44 366 40 151 35 908 80 212 84 325 520 922 290 451 698 935
10 Itik - - - - 14 205 17 620 31 097 46 545 76 519
Sumber : data sekunder rangkuman berbagai sumber (-) data belum diketahui
15
Dari data populasi pada Tabel 4 terjadi pertambahan populasi yang
signifikan pada ternak sapi tahun 2004, hal ini disebabkan beberapa program
pemerintah untuk pengadaan ternak sapi di tahun 2003 melalui program
peningkatan ketahanan pangan melalui sub kegiatan Inpres No. 6 tahun 2003 dan
Program Peningkatan kesejahteraan petani di provinsi Maluku Utara. Hal yang
sama juga dilakukan terhadap ternak kambing pada tahun 2001 sampai dengan
tahun 2003, ternak unggas (ayam ras, buras dan itik) terjadi pertambahan populasi
yang sangat signifikan pada tahun 2003. Jumlah populasi ternak sapi dan
kambing terendah terjadi pada tahun 1999, hal ini disebabkan karena konflik
yang terjadi di masyarakat, dimana pada tahun 1998 untuk ternak sapi di Maluku
Utara sebanyak 86 213 ekor, sedangkan ternak kambing sebayak 133 261 ekor,
penurunan populasi yang sangat drastis terjadi di tahun 1999 untuk kedua jenis
ternak ini disebabkan karena peternak membiarkan ternak sebagian masuk ke
hutan dan sebaian besar dibawa ke provinsi Sulawesi Utara.
Tingkat pertumbuhan populasi pertahun dari masing-masing ternak di provinsi
Maluku Utara dapat disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Tingkat pertumbuhan populasi ternak (2000 -2005)
No. Jenis Ternak Tingkat Pertumbuhan pertahun (%) 1. Sapi potong 25.05 2. Kambing 33.2 3. Babi 76.17 4. Ayam Buras 114.8 5. Ayam Ras 63.6
Sumber : Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Daerah Prov. Maluku Utara (2006)
Tingkat pemotongan untuk beberapa komoditas ternak yang tercatat pada
tahun 2004-2006 disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Pemotongan ternak tercatat (ekor) tahun 2004-2006 No. Jenis Ternak Pemotongan tercatat
2004 2005 2006 1. 2. 3.
Sapi Potong Kambing Babi
4 370 8 056 2 491
4 768 6 887 2 702
5 006 7 231 2 837
Sumber : Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Daerah Prov. Maluku Utara (2006)
16
Sedangkan untuk tingkat produksi/hasil peternakan pada tahun 2005 dapat
di lihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Produksi hasil ternak di Maluku Utara (2005) No. Jenis Produksi Jumlah (kg)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Daging Sapi
Daging kambing
Daging Ayam Buras
Daging Ayan Ras
Telur Ayam Ras
Telur Ayam Buras
Telur Itik
978 751
344 350
705 776
3 334 943
57 672
204 432
145 532
Sumber : Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Daerah (2006)
Pola peternakan di wilayah Maluku Utara untuk semua komoditas ternak
sebagian besar (80-90 persen) masih bertahan dalam bentuk usaha rakyat. Pola
peternakan rakyat ini mempunyai ciri-ciri antara lain (Yusdja 2004), tingkat
pendidikan rendah, pendapatan rendah, penerapan manajemen dan teknologi
konvensional, lokasi ternak menyebar luas, ukuran skala usaha relatif sangat kecil,
penggunaan tenaga kerja keluarga, penguasaan lahan hijauan makanan ternak
(HMT) yang terbatas.
Kambing Liar dan Kambing Domestikasi
Kambing tergolong genus Capra. Ellerman dan Morrison-Scott (1951)
yang dikutip oleh Devandra dan Burns (1970) membagi genus ini atas lima
spesies yaitu Capra hircus (termasuk bezoar), Capra ibex, Capra caucasica,
Capra pyrenaica (Ibex Spanyol) dan Capra falconeri. Menurut Herre dan Rohrs
(1973) yang dikutip oleh Devendra dan Nozawa (1976) kambing liar (Capra
aegagrus) yang hidup dan menyesuaikan diri terutama di lingkungan pegunungan
dan lingkungan yang agak kering (semi-arid) dapat dibagi atas tiga spesies yaitu: -
Bezoar atau Psaang (C.a.aegagrus) yang hidup liar di Asia Barat,- Ibex (C.a..ibex)
hidup di Asia Barat, Afrika Timur dan Eropah, - Markhol (C.a.falconeri) hidup
liar di Afganistan dan Kashmir – Karakorum. Tiap spesies terdiri dari beberapa
17
sub spesies karena terpisah secara geografik, namun persilangan antar sub spesies
adalah subur.
Menurut Murtidjo (1993), umumnya kambing merupakan hewan yang
hidup di lereng-lereng pegunungan, bukit-bukit yang curam ataupun tempat-
tempat yang curam, selain tempat yang tandus dan sedikit ditumbuhi rumput atau
tanaman. Kambing yang kita kenal sekarang merupakan hasil domestikasi
manusia yang diturunkan dari tiga jenis kambing liar, yaitu: Capra hircus,
merupakan jenis kambing liar yang berasal dari daerah sekitar perbatasn Pakistan-
Turki; Capra falconeri, merupakan jenis kambing liar yang berasal dari daerah
sepanjang Kashmir, India; Capra prisca, merupakan jenis kambing liar yang
berasal dari daerah sepanjang Balkan. Dari ketiga jenis kambing liar tersebut, kini
dikenal beberapa bangsa kambing yang tersebar di seluruh dunia, seperti: kambing
Kacang, kambing Etawah, kambing Saanen, kambing Kashmir, kambing Angora,
kambing Toggenburg, Nubian dan lain-lain.
Penyebaran Kambing ke Asia Tenggara
Devendra dan Nozawa (1976) mengemukakan bahwa kambing piara dari
Asia Barat menyebar ke Timur melalui dua jalan utama. Pertama, dari Persia dan
Afganistan melalui Turkestan ke Mongolia atau Cina Utara, yang dinamakan
lintasan sutera, yang terjadi pada sekitar 2000 tahun sebelum Masehi. Kedua,
kearah anak benua India melalui Khyber Pass. Jalan ini sangat tua, yaitu sejak
orang Indo-Aryan mengetahuinya pada sekitar 2000 tahun sebelum Masehi.
Dengan demikian, Mongolia, Cina dan India menerima kambing piara dari Barat
dengan perantaraan para pengembara.
Gambar 2 menunjukkan jalan migrasi kambing asli Asia dari wilayah
penjinakan. Jalan ini diduga atas konfirmasi dari peninggalan-peninggalan lama
dari hasil penelitian. Dari anak benua India, kambing piara ini menyebar ke pulau
Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Philipina dan terus ke Jepang. Thailand
menerima kambing piara dari Utara. Perkembangan selanjutnya, kambing
pendatang ini menjadi kambing asli di wilayah penyebarannya dan di Indonesia
18
kita kenal dengan kambing kacang tersebar di pulau-pulau Indonesia terutama
Jawa dan Sumatera.
Kambing-kambing asli yang sekarang terdapat di Negara di kawasan
Asia Tenggara berasal dari turunan bangsa kambing yang sama dapat dilihat
terutama dari kesamaan morfologinya, terutama warna bulu. Warna bulu coklat
dengan garis punggung berwarna hitam (ciri dari Bezoar) dan warna bulu hitam
merupakan jumlah terbanyak dari kambing asli di Malaysia Barat dan Timur
(Shotake et al. 1976). Hal yang serupa juga terdapat di Philipine, di Tahiland dan
Taiwan. Penelitian yang dilakukan oleh Abdulgani et al. (1981) di Sumatera
Barat, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa kambing yang
berwarna bulu coklat dan hitam merupakan jumlah terbanyak.
Murtidjo (1993) menyatakan bahwa kambing kacang merupakan bangsa
kambing lokal asli Indonesia. Tubuh kambing kacang relatif kecil, kepala ringan
dan kecil, telinga pendek dan tegak lurus mengarah ke atas depan. Kehidupannya
sangat sederhana, memiliki daya adapasi yang tinggi terhadap kondisi alam
setempat dan reproduksinya dapat digolongkan sangat tinggi. Jenis kambing ini
juga terdapat di Filipina, Myanmar, Thailand, Malaysia dan sekitarnya. Kambing
tipe kecil yang disebut kambing kacang merupakan kambing pendatang pertama
di Malaysia dari India dan akhirnya menjadi kambing asli Malaysia (Devendra
1966).
Selanjutnya dikatakan bahwa kambing yang tipenya serupa telah
menyebar di bagian lain dari Asia Tenggara sampai Taiwan dan kepulauan Jepang
bagian Selatan. Imigrasi orang-orang Pakistan ke Thailand menyertakan kambing
tipe dwiguna sehingga menyebabkan variabilitas genetik yang tinggi pada
kambing-kambing asli Thailand, namun tidak dapat dikesampingkan
kemungkinan telah terjadi persilangan dengan bangsa-bangsa kambing Eropah
seperti Seaanen atau lainnya.
19
Gambar 2 Postulat penyebaran kambing piara ( ●) ke Asia Timur dan
Tenggara Sumber Devendra dan Nozawa (1976)
Klasifikasi Bangsa Kambing
De Haas dan Horst (1979) mengelompokkan kambing atas tiga tipe
berdasarkan tinggi pundak dan bobot badan hidup (Tabel 8).
Tabel 8 Klasifikasi bangsa kambing (dewasa) menurut tinggi Pundak dan Bobot
badan Hidup Tipe kambing Tinggi pundak (cm) Bobot badan hidup (kg) Besar Sedang Kecil (dan Kerdil)
65 50-65 50
30-60 20-45 9-30
Sumber : De Haas dan Horst (1979)
Fungsi utama kambing tipe kecil adalah penghasil daging, tipe sedang
untuk penghasil daging dan susu, sedangkan tipe besar ditujukan untuk penghasil
20
susu. Tipe kerdil (dwarf) sama sekali tidak ideal sebagai penghasil daging karena
pertumbuhannya yang sangat lambat.
Chai (1961) dikutip Gunawan (1982) menyatakan bahwa peningkatan
bobot badan dapat dilakukan melalui kawin silang dengan bangsa lainnya yang
superior karena gen-gen yang mengendalikan ukuran-ukuran badan yang lebih
besar dominant terhadap gen-gen yang mengendalikan ukuran-ukuran badan yang
lebih kecil.
Berdasarkan tinggi pundak dan bobot badan Devendra dan Burns (1970)
menyimpulkan bahwa kambing yang tergolong tipe besar diantaranya adalah
Jamnapari, Beetal, Barbari, Malabar, Damascus, Syrian Mounain, Sardinian,
Benadir, Angora, Sahel, Maradi, Mudugh, Sudanese Nubian, Sudanese Shukria,
Soviet Mohair dan Moxoto; yang tergolong tipe kecil diantaranya adalah Ma
T’ou, kambing kacang, Kigezi, Arab angora, Melteze dan Moxoto; yang tergolong
tipe kerdil (dwarf) di antaranya adalah , South China, Bengal, East African ,
South Sudan, Congo dwarf, West African Dwarf dan Kosi.
Selanjutnya dinyatakan bahwa faktor lingkungan sangat berpengaruh
terhadap ukuran-ukuran serta bobot badan kambing. Dengan demikian suatu
bangsa kambing yang tergolong tipe besar pada suatu lokasi akan tergeser ke tipe
kecil pada lokasi lainnya, atau suatu bangsa kambing yang tergolong tipe kecil
pada suatu lokasi akan tergeser ke tipe kerdil (dwarf) pada lokasi lainnya.
Beberapa Ciri Kambing Kacang
Menurut Murtidjo (1993), kambing kacang merupakan kambing lokal asli
Indonesia. Tubuh kambing kacang relatif kecil, kepala ringan dan kecil, telinga
pendek dan tegak lurus mengarah ke atas depan, dengan kehidupan yang
sederhana, memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap kondisi alam setempat
dan reproduksinya dapat digolongkan sangat tinggi. Jenis kambing ini juga
terdapat di Filipina, Myanmar, Thailand, Malaysia dan sekitarnya.
Lebih lanjut dikatakan bahwa kambing kacang memiliki warna tunggal,
yakni: putih, hitam dan coklat, serta adakalanya warna campur dari ketiga warna
tersebut. Kambing Kacang kelamin jantan maupun betina mempunyai tanduk 8 –
21
10 cm. Berat tubuh kambing kacang dewasa rata-rata sekitar 17 – 30 kg. Betina
umumnya memiliki bulu pendek pada seluruh tubuh, kecuali pada bagian ekor dan
dagu. Gambaran beberapa ciri kambing kacang dapat disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3 Jenis kambing kacang (Sumber dok: Hoda 2006)
Damshik (2001) mengemukakan bahwa kambing kacang berbadan relatif
kecil dengan tinggi pundak dewasa rata-rata 50 cm dan bobot badan 30 kg. Bila
dibandingkan dengan bagian-bagian lainnya maka kepala mempunyai proporsi
yang sangat baik dan seimbang; ukuran telinga sedang, selalu bergerak, tidak
tergantung tetapi tegak. Tanduk terdapat baik pada yang jantan maupun pada
betina dan ukurannya relatif pendek. Janggut tumbuh dengan baik pada kambing
jantan, namun juga terdapat pada yang betina dewasa walaupun tidak begitu lebat.
Leher pendek dan memberi kesan tebal dan tegap. Punggung lurus dan pada
beberapa kasus terlihat agak melengkung dan memeberi kesan makin kebelakang
makin tinggi sampai pinggul. Devendra dan Burns (1970) menyatakan bahwa
profil kambing kacang berbentk lurus. Ekor kelihatan kecil dan tegang. Ambing
kecil dengan konformasi baik dengan puting yang besar. Bulu pendek serta kasar
pada yang betina, tetapi pada yang jantan lebih panjang. Kambing kacang tahan
hidup pada keadaan kondisi lingkungan yang sangat beragam dan sanggup
beradaptasi pada metode manajemen yang berubah-ubah dan sangat beragam.
Umur ketika mencapai pubertas sekitar enam bulan pada yang jantan. Umur
beranak pertama dicapai ketika umur 12 – 13 bulan.
22
Siklus Reproduksi Ternak Kambing
Pada umumnya, ternak kambing mulai dewasa kelamin pada umur 5 – 10
bulan. Dewasa kelamin sangat tergantung dari rasa tau tipe, jenis kelamin dan
lokasi pemeliharaan. Kambing tipe kecil lebih cepat mengalami dewasa kelamin
dibandingkan kambing tipe besar. Perkawinan induk kambing betina sebaiknya
dilakukan pada umur 9 – 12 bulan, karena pada umur ini secara fisik kambing
sudah tumbuh dewasa sehingga mampu memproduksi susu dan menjalani masa
kebuntingan. Menurut Devendra dan Burns (1970) menyatakan bahwa
kebanyakan bangsa kambing daerah tropis biasa melahirkan pada umur satu
tahun dan dapat digunakan sebagai produsen anak sampai kambing berumur 5 – 6
tahun. Umur dini pada beranak pertama mengurangi biaya pemeliharaan calon
induk dan meningkatkan pendapatan ekonomi, serta menunjang perbaikan genetik
yang cepat, dan oleh karenanya hal itu sangat diinginkan.
Siklus birahi seekor kambing betina antara 20 – 24 hari. Masa birahinya
berlangsung selama 1 – 2 hari. Kambing betina tidak akan bunting bila
dikawinkan dalam keadaan tidak sedang birahi. Kambing yang sedang bunting
tidak mengalami masa birahi lagi. Mishra dan Biswas (1966) yang mempelajari
penyebaran birahi pada kambing lokal di India, yang melibatkan 12 081 ekor
kambing betina, menunjukkan bahwa rata-rata lama birahi sekitar 38 jam.
Pretorius (1977) mempelajari usap vagina dari induk kambing Angora yang
sedang mengalami siklus birahi dan yang tidak (anestrus) mencirikan perubahan
yang terjadi. Selama birahi, terjadi aliran lendir jernih dan encer yang membentuk
pola kristalisasi seperti pakis. Setelah ovulasi dan pada fase birahi akhir, lendir
tersebut menjadi masa putih yang kental, mengandung banyak elemen sel
bertanduk, sedangkan pada fase luteal dan anestrus ditandai dengan sekresi lender
yang sedikit dan tidak membentuk pola kristalisasi.
Kambing pejantan bisa dikawinkan pada umur 10 bulan tetapi tidak
dibiarkan melayani lebih dari 20 ekor induk betina sebelum umurnya genap satu
tahun. Pada tenggang waktu dua bulan itu, kambing jantan hanya kawin 16 – 20
kali atau maksimal dua kali kawin dalam seminggu. Pejantan dapat digunakan
sebagai pemacek sampai umur 7 – 8 tahun. Penjelasan mengenai perkembangan
23
reproduksi ternak kambing jantan telah banyak dilakukan. Skinner (1975)
menyembelih pejantan kambing boer pada berbagai interval dari saat lahir sampai
berumur 196 hari. Selama waktu itu, berat testis meningkat secara lambat 1.3 g
pada saat lahir menjadi 9.9 g pada umur 84 hari, dan selanjutnya secara cepat
menjadi 25 g pada umur 140 hari, ketika spermatozoa untuk pertama kali tersedia
melalui saluran eferens. Spermatogenensis mulai pada umur 84 hari dan pada
umur 120 hari, spermatozoa ada dalam epididimis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama bunting pada kambing
ditemukan agak konstan sekitar 146 hari, meskipun kisaran yang dilaporkan
antara 143 – 153 hari. Otchere dan Nimo (1975) mengatakan bahwa lama bunting
pada kambing kerdil Afrika Barat dilaporkan rata-rata 141,3 ± 4.7 hari. Shelton
(1978) menduga bahwa lama bunting yang singkat merupakan ciri bangsa
kambing kecil. Penyebab keragaman dalam periode bunting tidak diketahui secara
rinci, tetapi seperti pada spesies hewan lainnya, hal itu dipengaruhi oleh jenis
kelamin janin, kondisi habis beranak, dan keragaman lingkungan lainnya,
khususnya makanan, dan oleh faktor keturunan. Mishra et al. 1979 menemukan
bahwa lama bunting rata-rata 146,42 ± 0.24 hari, dan berkorelasi secara kuat
dengan berat lahir anak (0.33) dan berat induk saat dikawinkan (0.41).
Periode perkawinan merupakan faktor penentu interval beranak yang
paling penting karena beda dalam lama bunting kecil dan manfaat praktisnya
sedikit. Lama periode perkawinan ini tergantung pada seberapa cepat induk
tersebut bunting lagi setelah beranak, yang pada gilirannya tergantung pada
timbulnya siklus birahi. Kondisi ini dipengaruhi oleh bangsa kambing dan oleh
beberapa faktor lingkungan. Kondisi hewan yang buruk, makanan yang tidak
memadai, atau sebab lain yang dapat menunda timbulnya birahi setelah
melahirkan. Devendra(1962) melaporkan bahwa periode perkawinan pada
kambing Anglo-Nubia murni di Malaysia rata-rata 327 hari, sedang pada kambing
lokal (kacang) rata-rata 92 hari.
Mengawinkan kambing sesuai dengan waktunya, baik waktu kelahiran,
penyapihan, serta mengawinkan kembali, perlu dilakukan pengaturan siklus
reproduksi ternak seperti pada Gambar 4 berikut ini.
24
Gambar 4 Siklus reproduksi kambing betina agar dapat beranak 3 kali dalam 2 tahun atau beranak setiap 8 bulan (Mulyono 2004).
Produktivitas Ternak Kambing
Produktivitas semua bangsa hewan ternak dipengaruhi oleh faktor genetik
dan lingkungan hidup ternak bersangkutan (Johansson et al. 1968 yang disetir
Abdulgani 1981). Bersama-sama dengan kedua faktor di atas, peranan peternak
dalam mengelola ternaknya menentukan pula tinggi rendahnya produksi yang
akan dicapai.
Beberapa literatur umumnya dinyatakan bahwa pelaksanaan manajemen
untuk meningkatkan keefisienan produksi ternak antara lain : (1) berusaha agar
kondisi badan serta kesehatannya baik, (2) bebas dari gangguan penyakit, (3)
pelaksanaan flushing (pemberian makanan yang cukup dan bermutu menjelang
dan selama masa birahi), (4) berusaha agar dikawinkan pada umur muda dan tepat
waktunya, (5) lekas dikawinkan kembali setelah beranak, dan (6) cukup tersedia
pejantan unggul yang selalu dijaga kondisi makanannya (Ray dan Smith 1966;
Guha et al. 1967; Turner dan Young 1969 dikutip Abdullgani (1981). Selanjutnya
dinyatakan bahwa dalam bidang pemuliaan ternak, usaha untuk meningkatkan
keefisienan produksinya dilakukan dengan cara menyeleksi ternak-ternak yang
tingkat kesuburannya tinggi, menyisihkan ternak-ternak yang memiliki sifat
produksi buruk, dan cara-cara perkawinan yang tepat.
Menurut Devendra dan Nozawa (1976), usaha peningkatan produktivitas
ternak kambing di suatu wilayah perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: (1)
penggunaan bibit ternak yang baik mutunya; (2) peningkatan banyaknya cempe
beranak kawin beranak
8 bulan
3 bulan 5 bln
lahir Sapih 2-3 bln
Dewasa kelamin 6-8 bln
Birahi Kawin 8-12 bln
Bunting 5 bulan
beranak
25
yang dilahirkan serta memperpanjang kehidupan induk yang produktif; (3) usaha
pengendalian terhadap banyaknya ternak yang dipelihara; (4) meningkatkan
penggunaan bibit ternak yang telah terbukti keunggulannya; (5) manajemen yang
lebih efisien, terutama dalam hal pemberian bahan makanannya; (6) usaha
pengendalian penyakit; (7) penelitian terhadap ternak bersangkutan serta
penerapannya dalam praktek melalui pendidikan.
Untuk mendapatkan gambaran tentang tingkat produktivitas ternak
kambing adalah dengan menghitung banyaknya cempe yang lahir dalam
kelompok kambing tersebut selama waktu tertentu, selang beranak atau interval
kelahiran, umur mulai dikawinkan, masa bunting, umur beranak pertama, bobot
lahir cempe, bobot kambing pada umur tertentu, bobot badan kambing dewasa,
tingkat kematian dan heritabilitasnya.
Jumlah Anak Kambing yang Lahir per Kelahiran (Litter Size)
Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah anak lahir perkelahiran (litter
size) pada ternak kambing diantaranya umur induk, tingkat nutrisi maupun
pengaruh lingkungan lainnya. Astuti (1984) melaporkan bahwa rataan jumlah
anak lahir per kelahiran kambing Peranakan Etawah di Yogyakarta sebesar 1.7
relatif tinggi bila dibanding pengamatan Setiadi et al. 1984 di Bogor yakni sebesar
1.3 ekor.
Wilson (1983) yang mengamati kambing lokal di Sudan dan Mali
mendapatkan jumlah anak lahir per kelahiran sebesar 1.52 di Sudan dan 1.21 di
Mali. Astuti (1984) melaporkan bahwa pada Kambing Kacang di Imogiri
Jogyakarta, rata-rata banyaknnya cempe per kelahiran adalah 1.73 ekor. Data
kelahiran kambing di fakultas peternakan IPB selama periode 1954-1973 rata-rata
menunjukkan banyaknya cempe per kelahiran adalah 1.49 ± 0.07 ekor.
Jumlah anak lahir per kelahiran pada ternak kambing bervariasi baik
dalam satu bangsa maupun antar bangsa kambing. Dari 3 914 ekor anak kambing
Beetal di India, 24 persen lahir tunggal, 63 persen kembar dua, 11.5 persen
kembar tiga dan 1.5 persen kembar empat dan dilain pihak pada kambing Beetal
26
di Zambia, lahir kembar dua jarang terjadi dan hanya kelahiran tunggal yang
sering terjadi (Mc Dowell dan Bove 1977).
Umur Beranak Pertama
Umur beranak pertama sangat erat hubungannya dengan umur mulai
dikawinkan yang bergantung pada kondisi badan atau makanan ternak
bersangkutan. Kambing dara yang masak dini akan lebih cepat beranak pertama
daripada yang masak lambat. Ini berarti bahwa bangsa kambing yang tergolong
masak dini akan lebih cepat mampu menyumbangkan hasil produksinya bagi
masyarakat.
Budihardi (1972) melaporkan bahwa umur beranak pertama pada kambing
kacang di Imogiri Jogyakarta, adalah 1.5 tahun. Di fakultas Peternakan IPB rata-
rata umur beranak pertama adalah 979.50±115.85 hari (29 bulan). Pengaruh
keadaan lingkungan tempat kambing hidup dan berkembang diperlihatkan oleh
adanya perbedaan dalam mencapai umur beranak pertama. Galeon (1951) yang
dikutip Abdulgani (1981) melaporkan bahwa kambing di Pilipina rata-rata umur
beranak pertamanya adalah 459.75 hari. Kambing Saanen yang diternakan di
Israel beranak pertama pada umur 2 tahun (masak lambat).
Bobot Lahir Cempe
Bobot lahir adalah salah satu faktor penting di dalam dunia peternakan,
karena merupakan titik awal pengukuran perkembangan selanjutnya. Epstein dan
Herz (1964) dan Scott (1970) disetir Setiadi (1987) menyatakan bahwa bobot lahir
dapat digunakan sebagai petunjuk terhadap perkembangan setelah lahir.
Banyaknya anak per kelahiran dan jenis kelamin berpengaruh terhadap
bobot lahir. Setiadi (1987) melaporkan bahwa bobot lahir kambing Peranakan
Etawah (PE) di pedesaan sebesar 2.5±0.6 kg. Bobot lahir anak jantan lebih berat
dari betina, yaitu 2.6 kg vs 2.2 kg. Selanjutnya Singh et al.(2002) melaporkan
bahwa bobot lahir kambing Jamnapari jantan sebesar 2.92±1.06 kg dan betina
sebesar 2.68±1.06 kg. Jenis kelamin berpengaruh terhadap bobot lahir, dimana
27
bobot lahir anak jantan lebih tinggi daripada bobot lahir anak betina seperti
disajikan dalam Tabel 9.
Tabel 9 Pengaruh jenis kelamin terhadap bobot lahir beberapa bangsa kambing
Bangsa Bobot lahir (kg) Peneliti Jantan Betina
Parbatsar Jamnapari Black Bengal Malabari Pashmina Kambing Kacang
2.40 ± 0.25 2.92 ± 1.06 1.82 ± 0.03 1.89 ± 0.03 2.34 ± 0.70 1.50
2.03 ± 0.32 2.68 ± 1.06 1.66 ± 0.03 1.69 ± 0.004 2.25 ± 0.80 1.40
Mittal dan Ghosh (1985) Singh et al. (1984) Malik et al. (1986) Mukundun et al. (1981) Mazumder dan Mazumder (1983) Devendra (1966)
Sumber : Abdulgani (1981)
Mittal (1979) menyatakan bahwa faktor musim berpengaruh terhadap
bobot lahir anak kambing (Tabel 10). Penelitiannya meliputi dua bangsa kambing
dengan dua faktor musim yaitu musim panas (summer) dan musim dingin dan
hujan (monsoon). Anak-anak kambing yang tetuanya kawin pada musim dingin
dan hujan mempunyai bobot lahir lebih tinggi dari anak-anak kambing yang
tetuanya kawin pada musim panas. Hal ini berlaku pada kedua bangsa, baik yang
terlahir tunggal maupun yang terlahir kembar.
Tabel 10. Pengaruh musim kawin terhadap bobot lahir anak kambing Bangsa Musim Panas (Summer) Musim Dingin (Winter)
Jantan Betina Jantan Betina Barbari
Tunggal
Kembar Dua
Jamnapari
Tunggal
Kembar dua
1.98 ± 0.30
1.84 ± 0.16
2.69 ± 0.04
2.32 ± 0.02
1.80 ± 0.18
1.72 ± 0.17
2.38 ± 0.09
2.12 ± 0.08
2.41 ± 0.09
2.38 ± 0.04
3.46 ± 0.13
3.20 ± 0.02
2.18 ± 0.04
1.98 ± 0.11
2.94 ± 0.14
2.85 ± 0.12
Sumber : Mittal (1979)
Mittal (1979) juga menyatakan bahwa umur induk berpengaruh terhadap
bobot lahir anak kambing. Ada kecendrungan bahwa makin tua umur induk maka
makin besar pula bobot lahir anaknya, baik pada tipe kelahiran tunggal maupun
pada tipe kelahiran kembar dua Tabel 11.
28
Tabel 11 Pengaruh umur induk terhadap bobot lahir kambing Bangsa Tipe Kelahiran Jenis
Kelamin Umur Induk (tahun)
2 2-4 4-6 Barbari Jamnapari
Tunggal Kembar dua Tunggal Kembar dua
Jantan Betina Jantan betina Jantan Betina Jantan Betina
2.22 ± 0.30 1.89 ± 0.13 1.75 ± 0.23 1.53 ± 0.12 3.02 ± 0.13 2.79 ± 0.07 2.98 ± 0.13 2.51 ± 0.06
2.20 ± 0.12 2.05 ± 0.13 2.11 ± 0.23 1.77 ± 0.24 3.28 ± 0.07 2.88 ± 0.03 3.12 ± 0.20 2.66 ± 0.08
2.38 ± 0.17 2.28 ± 0.11 2.01 ± 0.32 1.71 ± 0.10 3.44 ± 0.12 2.80 ± 0.06 3.14 ± 0.08 2.58 ± 0.15
Sumber : Mittal (1979)
Potensi Ekonomi Ternak Kambing di Indonesia
Peternakan kambing di Indonesia yang masih berskala kecil perlu
diusahakan secara komersial. Hal ini perlu dikembangkan karena adanya
pertumbuhan penduduk sekitar 2% dan kenaikan tingkat daya beli masyarakat.
Kebutuhan daging saat ini belum mencukupi permintaan. Dengan jumlah
penduduk tahun 2005 mencapai sekitar 220 juta jiwa dengan rata-rata konsumsi
daging sekitar 1.75 kg/kapita/tahun, maka total kebutuhan daging domestik
mencapai sekitar 384.81 ribu ton. Sementara itu total produksi daging dalam
negeri hanya mencapai 271.84 ribu ton sehingga masih ada kekurangan sekitar
112.97 ribu ton atau 29.36% dari total kebutuhan dalam negeri (Ditjend
Peternakan 2005)
Selain pertimbangan di atas, ternak kambing juga mempunyai potensi
ekonomi yang baik. Potensi ekonomi ternak kambing ini antara lain menurut
Mulyono (2004):
1) Ternak Kambing mempunyai badan yang relatif kecil dan
pertumbuhan yang cepat sehingga tingkat reproduksi dan produksi
lebih tinggi,
2) ternak kambing tidak memerlukan lahan yang luas, apalagi dapat
dilakukan kemitraan dengan pihak pengadaan pakan hijauan,
3) suka bergerombol sehingga dalam hal tenaga kerja, sistem
pengembalaan lebih efisien,
4) skala usaha pembibitan ternak kambing yang dianjurkan adalah 8-
12 ekor induk dengan harapan setiap kali melahirkan akan
diperoleh anak sapih sekitar 12 – 18 ekor.
29
5) memiliki sifat toleransi yang tinggi terhadap bermacam-macam
hijauan pakan ternak,
6) memiliki daya adaptasi yang baik terhadap berbagai keadaan
lingkungan sehingga dapat diternakkan dimana saja dan dapat
berkembangbiak sepanjang tahun.
Jumlah ternak kambing di Indonesia dibandingkan dengan ternak
ruminansia lainnya pada tahun 2005 relatif lebih banyak Tabel 12 dan untuk
populasi ternak kambing per provinsi dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 12 Populasi Ternak Tahun 2001-2005 (000 ekor)
No
Jenis Ternak
Tahun
2001 2002 2003 2004 2005
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1.
2.
3.
4.
5.
Sapi potong
Sapi perah
Kerbau
Kambing
Domba
11 137
347
2 333
12 464
7 401
11 298
358
2 403
12 549
7 641
10 504
374
2 459
12 722
7 811
10 533
364
2 403
12 781
8 075
10 680
374
2 428
13 182
8 307
Sumber : Dirjen Peternakan (2005)
30
Tabel 13 Populasi kambing tahun 2003-2007 per provinsi di Indonesia Provinsi Tahun
2003 2004 2005 2006 2007
NAD 637 188 647 089 655 242 787 708 894 199 Sumut 712 566 717 196 721 858 643 86 712 753 Sumbar 256 230 195 176 148 467 223 334 259 058 Riau 231 757 203 999 215 793 238 043 250 527 Jambi 126 863 132 369 138 114 137 989 155 169 Sumsel 436 607 435 504 453 926 463 72 582 534 Bengkulu 166 589 108 619 112 964 102 855 106 969 Lampung 810 456 824 235 868 133 798 816 846 122 DKI Jakarta 5 351 6 971 7 313 9 333 10 373 Jabar 930 066 1 144 102 1 235 973 1 148 547 1 393 190 Jateng 2 984 845 2 993 138 3 007 593 3 165 040 3 193 842 DIY 241 007 256 417 258 981 280 182 282 984 Jatim 2 334 554 2 359 375 2 382 969 2 414 350 2 457 059 Bali 61 958 44 418 44 418 70 785 70 833 NTB 282 500 300 280 315 294 376 13 394 937 NTT 435 151 462 101 490 721 496 766 509 23 Kalbar 96 360 99 010 104 960 107 762 118 54 Kalteng 23 160 37 398 37 398 41 046 43 098 Kalsel 84 442 91 911 96 507 107 873 111 733 Kaltim 74 335 72 071 73 512 53 105 54 167 Sulut 45 910 44 234 44 375 42 759 43 399 Sulteng 161 920 163 090 163 948 188 362 171 723 sulsel 555 927 403 505 511 895 433 495 543 672 Sultra 73 927 82 160 90 080 97 976 102 645 Maluku 156 406 168 719 171 755 149 405 152 394 Papua 41 969 55 069 57 066 37 226 41 822 Babel 11 377 2 450 2 499 3 561 3 846 Banten 522 380 566 716 564 463 681 253 817 732 Gorontalo 137 879 92 944 131 618 96 568 111 098 Malut 82 402 70 695 74 229 139 981 149 776 Kepri - - 21 558 20 238 20 643 Irjabar - - 12 923 11 708 13 163 Sulbar - - 209 694 220 179 254 286 Total 12 722 082 12 780 961 13 182 064 13 789 954 14 873 516
Sumber: Dirjen Peternakan (2008)
31
Dinamika Populasi
Dinamika populasi menjelaskan suatu keragaman di dalam ukuran
populasi serta komposisi umur-kelamin, laju reproduksi dan mortalitas di dalam
suatu populasi satwa. Dinamika populasi mempelajari bagaimana keragaman
tersebut muncul akibat adanya interaksi antara individu maupun individu dengan
lingkungannya (Bailey 1984).
Berbagai populasi satwa liar sebagai contoh dapat berubah ukurannya
dalam jangka waktu tertentu (satu musim, satu tahun, ataupun beberapa tahun).
Perubahan-perubahan anggota populasi ini sangat penting diketahui agar dapat
mengatur populasi untuk memperoleh suatu jumlah yang optimum sesuai dengan
daya dukung habitatnya. Perubahan ukuran populasi yang tidak beraturan menurut
skala waktunya (irregular) disebut fluktuasi, sedangkan perubahan yang
beraturan dan tetap skala waktunya (regular) disebut siklis. Fluktuasi dapat
disebabkan karena adanya perubahan cuaca, perubahan ketersediaan makanan,
ataupun karena adanya pengaruh perburuan untuk konsumsi manusia. Menurut
Sihombing (1977) bahwa semua makhluk hidup dalam populasi akan berubah
karena pengaruh perubahan lingkungannya.
Menurut Krebs (1978), populasi dapat dikelompokkan ke dalam deme-
deme atau populasi lokal, yang dapat melakukan perkawinan antara organisme.
Setiap populasi memiliki karakteristik kelompok yang beragam. Secara umum,
karakteristik populasi yang paling mendasar adalah ukuran atau kepadatan. Empat
parameter yang mempengaruhi kepadatan adalah natalitas, mortalitas, emigrasi
dan imigrasi. Karakteristik sekunder dari populasi adalah sebaran umur,
komposisi genetik, dan pola sebaran (penyebaran secara individu di dalam suatu
ruang). Karakteristik yang terakhir adalah karakteristik yang dimiliki secara
individual.
Parameter populasi yang utama adalah struktur populasi, yang terdiri dari
seks rasio, distribusi kelas umur, tingkat kepadatan dan kondisi fisik (Van
Lavieren 1982). Kepadatan populasi adalah besaran populasi dalam suatu unit
luas atau volume. Nilai kepadatan diperlukan untuk menunjukkan kondisi daya
dukung habitatnya.
32
Natalitas merupakan jumlah individu baru (anak) yang lahir dalam suatu
populasi, yang dapat dinyatakan dalam beberapa cara yaitu produksi individu baru
dalam suatu populasi (Odum 1971). Natalitas juga dapat dinyatakan dalam laju
kelahiran kasar (crude birth rate), yaitu perbandingan antara jumlah individu yang
dilahirkan dengan jumlah seluruh anggota populasi pada suatu periode waktu.
Keanekaragaman Genetik
Keanekaragaman genetik seringkali dihubungkan dengan tingkah laku
reproduktif dari individu dalam suatu populasi. Populasi adalah satu kelompok
individu yang kawin satu sama lain dengan menghasilkan keturunan; satu spesies
mungkin mencakup satu atau lebih populasi yang terpisah. Populasi mungkin
terdiri dari satu individu atau jutaan individu (Primack et al. 1998).
Individu di dalam suatu populasi biasanya berbeda secara genetik satu
sama lain. Variasi genetik muncul karena individu memiliki gen yang berbeda,
unit kromosom yang memberi kode untuk protein tertentu. Perbedaan bentuk dari
suatu gen disebut alel, dan perbedaan ini muncul karena mutasi yang terjadi di
dalam deoxyribonucleic acid (DNA) yang membentuk komponen-komponen
individu kromosom. Beragam alel dari satu gen mungkin akan mempengaruhi
perkembangan dan fisiologis suatu organisme secara berbeda. Pengembangbiakan
tanaman dan hewan mengambil keuntungan dari variasi genetik ini untuk
menghasilkan strain yang lebih tahan penyakit terutama untuk spesies yang sudah
dipelihara seperti gandum, jagung dan ternak.
Variasi genetik meningkat sewaktu keturunan menerima kombinasi unik
gen dan kromosom dari induknya melalui rekombinasi gen yang muncul selama
reproduksi seksual. Gen dipertukarkan antara kromosom selama miosis, dan
kombinasi baru diciptakan sewaktu kromosom dari kedua induk dikombinasikan
untuk membentuk keturunan yang unik secara genetik.Walaupun mutasi memberi
materi dasar bagi variasi genetik, namun kemampuan untuk menghasilkan spesies
secara seksual menjadi alel yang disusun secara acak di dalam kombinasi yang
berbeda-beda meningkatkan potensi untuk variasi genetik (Primack et al. 1998).
Lebih jauh dikatakannya, bahwa jumlah variabilitas genetik di dalam suatu
33
populasi ditentukan oleh jumlah gen pool (larikan total gen dan alel di dalam
suatu populasi) yang memiliki lebih dari satu alel (disebut juga gen polymorphik)
dan oleh jumlah alel dari setiap gen yang bersifat polimorfik. Keberadaan gen
polimorfik memungkinkan individu di dalam populasi menjadi heterozygous bagi
gen tersebut untuk menerima alel gen yang berbeda dari setiap induknya.
Pelestarian Sumberdaya Genetik Ternak
FAO memprediksi bahwa paling sedikit satu bangsa ternak tradisional
punah setiap minggu dan lebih dari 30% ternak Eropa sekarang ini diperkirakan
dalam keadaan terancam kepunahan (FAO 1995). Banyak bangsa ternak
tradisional sudah menghilang karena para petani lebih fokus pada bangsa/breed
baru. Sekitar 16% dari bangsa sapi tradisional telah punah dan kurang dari 15%
bersifat jarang (FAO 2000) Semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan
teknologi pemuliaan ternak, bioteknologi, permintaan pasar, mekanisme pertanian
dan produksi ternak, akan mendorong eksploitasi ternak melalui persilangan,
penggantian breed baru (Subandriyo dan Setiadi 2003; Sodhi et al. 2006), maupun
pengurasan stock secara berlebihan, dan pada gilirannya akan mengancam
keragaman genetik ternak. Di lain pihak pelestarian keragaman genetik ternak
akan selalu diperlukan dalam pemuliaan di masa datang, karena tanpa adanya
keragaman genetik, pemuliaan ternak tidak mungkin dilaksanakan untuk
mengantisipasi keperluan di masa mendatang (Subandriyo dan Setiadi 2003)
Pelestarian terhadap sumberdaya genetik ternak lokal sebagai bagian dari
komponen keanekaragaman hayati adalah penting untuk memenuhi kebutuhan
pangan, pertanian dan perkembangan sosial masyarakat di masa yang akan
datang. Ada beberapa alasan untuk ini, antara lain (1) lebih dari 60 persen dari
bangsa-bangsa ternak di dunia berada di negara-negara sedang berkembang; (2)
konservasi bangsa ternak lokal tidak menarik bagi petani; (3) secara umum tidak
ada program monitoring yang sistematis dan tidak tersedianya informasi deskriptif
dasar sebagian besar sumber daya genetik hewan ternak; serta (4) sedikit sekali
bangsa-bangsa ternak asli yang telah digunakan dan dikembangkan secara aktif
(FAO 2001).
34
Ada tiga metode utama program pelestarian plasma nutfah ternak yang
telah dilaksanakan masyarakat atau pemulia: (1) mempertahankan populasi ternak
hidup, (2) penyimpanan beku materi genetik berupa haploid (n) seperti gamet
yakni semen dan oocyte atau berupa diploid (2n) seperti embrio, dan (3)
penyimpanan DNA (deoxyrybonucleic acid). Metode bioteknologi dapat
digunakan untuk mengkarakterisasi gen-gen ternak dan plasma nutfah suatu
populasi. Metode ini akan membantu dalam pembuatan keputusan tentang
pelestarian plasma nutfah yang unik. Studi mengenai struktur dan fungsi gen-gen
pada tingkat molekuler suatu populasi ternak dapat membantu menentukan
kesamaan material genetik yang dibawa oleh dua atau lebih populasi dan
keragaman genetik dalam populasi ternak yang diamati. Identifikasi gen-gen dari
individu ternak akan membantu program pemuliaan (genetik) ternak, yang
membedakan dari penampilan (fenotipe) yang tampak, yang dapat menentukan
proses pemilihan tetua untuk generasi yang akan datang (seleksi buatan). Jika gen-
gen untuk sifat produksi dapat diidentifikasi, ternak-ternak tersebut dapat diseleksi
walaupun tidak diekspresikan oleh individu ternak yang bersangkutan. Sebagai
alternatif, jika mereka dapat diikatkan dengan gen-gen yang diketahui lokasinya
dalam kromosom (marker lokus-lokus), seleksi dapat dilaksanakan berdasarkan
acuan tersebut (Subandriyo dan Setiadi 2003).
Filogeografi Intraspesies
Sebagai prinsip atau proses yang mengarahkan distribusi geografi spesies
tertentu, filogeografi menekankan pada kajian variasi geografi yang mencakup
berbagai tipe karakter seperti morfologi, fisiologi, etologi dan genetik (Lougheed
and Handford 1993). Kajian tersebut memegang peranan penting dalam
memahami proses-proses evolusi, karena variasi-variasi yang bersifat menurun
adalah materi dasar yang terlibat dalam proses seleksi alam dan adaptasi.
Penyebaran populasi suatu spesies dimulai dari variasi-variasi geografi yang
semakin lama semakin berkembang. Filogeografi pada tingkat intraspesies dapat
mengungkap keragaman di dalam spesies, mulai dari tingkat populasi,
subpopulasi, subspesies sampai spesies.
35
Selain dapat menjelaskan pola-pola biogeografi (Mustrangi dan Patton
1997), filogeografi juga memberikan kontribusi pada pemahaman respon populasi
terhadap perubahan lingkungan yang sangat cepat (Avise 1997). Pertama,
populasi konspesies yang berbeda (khususnya yang terpisah dalam kurun waktu
panjang) kemungkinan memberikan respon yang tidak sama terhadap perubahan
lingkungan. Adaptasi terhadap lingkungan menyebabkan gen-gen yang
terakumulasi berbeda antara populasi satu dengan populasi lainnya. Kedua,
perkembangan pesat dalam metode analisis genetik memungkinkan dilakukannya
identifikasi respon populasi terhadap modifikasi lingkungan pada tingkat
intraspesies. Ketiga, analisis filogeografi dapat membuktikan hubungan dekat
antara demografi populasi dan genetik. Hal ini akan berimplikasi pada konservasi
khususnya dalam periode perubahan lingkungan yang sangat cepat. Keempat,
analisis filogeografi dapat menunjukkan catatan-catatan perubahan genetik
sebagai akibat dari perubahan kejadian demografi yang aneh.
Gambar 5 terlihat hubungan asal-usul genetik antara dua populasi
konspesies yang semula berasal dari satu daerah geografi tetapi kemudian terpisah
dalam dua daerah geografi ( daerah I dan II). Adanya Barrier menyebabkan tidak
adanya aliran gen antara populasi B dan C. Filogeni antara keturunan populasi B
dan C semakin berbeda akibat kurun waktu isolasi yang semakin lama. Perbedaan
tersebut dapat ditunjukkan dengan jarak genetik (genetic disttance) yaitu ukuran
perbedaan genetik dari dua takson ( Hillis et al. 1996).
Masa lalu, perspektif filogeografi intraspesies jarang diaplikasikan karena
kekurangan pendekatan genetik molekuler untuk mendapatkan hubungan historis.
Selain itu, juga masih terdapat persepsi luas bahwa pada populasi-populasi yang
masing-masing dapat melakukan silang antar (interbreding), filogeni tidak
memiliki pengertian yang nyata (Avise 1979). Hal tersebut disebabkan analisis
filogeografi dilakukan berdasarkan karakter morfolgi saja sehingga hanya sedikit
dapat menunjukkan keragaman intraspesies.
36
Gambar 5 Hipotesis Avise tentang asal-usul DNA (Avise 1997 dalam Surata
2000). (A) populasi nenek moyang ; (B) populasi yang merupakan keturunan dari populasi A pada daerah I; (C) populasi yang merupakan keturunan dari populasi A pada daerah II ; ( → ) arah divergensi dari populasi induk kepada populasi-populasi keturunannya.
Seleksi dan Breeding
Seleksi dari segi genetik diartikan sebagai suatu tindakan untuk
membiarkan ternak-ternak tertentu berproduksi, sedangkan ternak lainnya tidak
diberi kesempatan berproduksi (Noor 2004). Lebih jauh dikatakannya bahwa
terdapat dua kekuatan yang menentukan apakah ternak-ternak pada generasi
tertentu bisa menjadi tetua pada generasi selanjutnya. Kedua kekuatan itu adalah
seleksi alam dan seleksi buatan.
Seleksi dalam pemuliaan ternak adalah memilih ternak yang baik untuk
digunakan sebagai bibit yang menghasilkan generasi yang akan datang. Untuk
bidang peternakan, yang diseleksi adalah sifat-sifat terukur seperti kecepatan
pertumbuhan, bobot lahir, produksi susu dan bobot sapih (Falconer 1972). Sifat-
sifat ini memberikan manfaat secara ekonomi disamping harus mempunyai
kemampuan mewarisi yang tinggi yang dapat ditentukan dari nilai
heritabilitasnya.
B1
A
B14 B11 B13 B12
B2
B C
C14 C13 C12 C11
C2 C1
Barrier
Waktu
37
Falconer (1972) yang dikutip oleh Hardjosubroto (1994) mengemukakan
bahwa ada tiga metode seleksi yang sederhana, yaitu:
1. Seleksi individu (individual selection) adalah seleksi per ternak sesuai
dengan nilai fenotipe yang dimilikinya. Metode ini adalah yang paling
sederhana daripada umumnya dan menghasilkan respon seleksi yang
cepat.
2. Seleksi keluarga ( family selection) adalah seleksi keluarga per keluarga
sebagai kesatuan unit sesuai dengan fenotip yang dimiliki oleh keluarga
yang bersangkutan. Individu tidak berperan dalam metode seleksi ini.
3. Seleksi dalam keluarga (within-family selection) adalah seleksi tiap
individu di dalam keluarga berdasarkan nilai rata-rata fenotip dari keluarga
asal individu bersangkutan.
Dasar pemilihan dan penyingkiran yang digunakan dalam seleksi adalah
mutu genetik seekor ternak. Mutu genetik ternak tidak tampak dari luar, yang
tampak dan dapat diukur dari luar adalah performansnya. Performans ini sangat
ditentukan oleh dua faktor, yaitu faktor genetik dan lingkungan. Oleh karena itu,
harus dilakukan suatu pendugaan atau penaksiran terlebih dahulu terhadap mutu
genetiknya atas dasar performnsnya (Hardjosubroto 1994).
Menurut Widodo dan Hakim (1981) dalam Rahmat (2006), pada saat
melakukan seleksi, ternak yang mempunyai performans di atas dari performans
yang telah ditentukan terlebih dahulu akan dipilih, sedangkan yang lebih rendah
dari performans tadi akan disingkirkan. Ternak yang terpilih akan memiliki nilai
rerata performans yang lebih tinggi dari performans keseluruhan sebelum
seleksi. Menurut Hadjosubroto (1994), perbedaan antara rerata performans dari
ternak yang terseleksi dengan rerata performans populasi sebelum seleksi disebut
sebagai diferensial seleksi (selection differential) yang dirumuskan sebagai:
S = ( s - )
Keterangan : S = Diferensial seleksi (selection differential)
= rerata fenotip populasi
s= rerata fenotip sesudah adanya seleksi.
Selanjutnya dikatakan bahwa proporsi dari diferensial seleksi yang dapat
diwariskan kepada generasi berikutnya adalah hanya yang bersifat genetik saja,
38
yaitu sebesar angka pewarisannya (heritability). Jadi, besarnya differensial seleksi
yang diwariskan adalah sebesar h2S dan ini disebut sebagai tanggapan (respon)
seleksi yang akan muncul pada generasi berikutnya.
Pola Pemuliaan (Breeding Scheme)
Pemuliaan ternak adalah usaha jangka panjang dengan suatu tantangan
utamanya adalah memperkirakan ternak macam apa yang menjadi permintaan di
masa mendatang serta merencanakan untuk menghasilkan ternak-ternak yang
diharapkan tersebut (Warwick et al. 1990). Peran pemuliaan dalam kegiatan
produksi ternak sangat penting diantaranya untuk menghasilkan ternak-ternak
yang efisien dan adaptif terhadap lingkungan. Produksi ternak yang efisien
bergantung pada keberhasilan memadu sisitem manajemen, makanan, kontrol
penyakit, dan perbaikan genetik.
Salah satu cara untuk perbaikan genetik pada ternak dilakukan melalui
seleksi dalam kelompok ternak lokal dengan tujuan untuk meningkatkan frekuensi
gen yang diinginkan. Kegiatan seleksi akan efektif bila jumlah ternak yang
diseleksi banyak, walaupun catatan performan individu dari jumlah yang banyak
akan sangat mahal. Salah satu cara untuk mengatasi hal ini adalah, seleksi atau
peningkatan mutu genetik dilakukan pada kelompok-kelompok tertentu kemudian
disebarkan pada kelompok lain (Wiener 1999). Struktur ternak bibit umumnya
berbentuk piramida yang terbagi menjadi tiga strata (tiers) yaitu pada puncak
piramida kelompok elite (nucleus), kelompok pembiak (multiplier), dan paling
bawah kelompok niaga (Nicholas 1993; Warwick et al. 1990; Wiener 1999).
Pola pemuliaan pada dasarnya ada dua bentuk yaitu pola inti tertutup
(Closed nucleus breeding scheme) dan pola inti terbuka (Open nucleus breeding
scheme). Pada pola tertutup aliran gen hanya berlangsung satu arah dari puncak
(nucleus) ke bawah tidak ada gen yang mengalir dari bawah ke nucleus. Perbaikan
genetik pada commercial stock terjadi bila ada perbaikan pada nucleus.
Peningkatan mutu genetik pada nucleus tidak segera tampak pada strata di
bawahnya. Perlu waktu untuk meneruskan kemajuan genetik pada suatu strata ke
strata berikutnya. Perbedaan performans antara dua strata yang berdekatan
39
biasanya diekspresikan dengan jumlah tahun terjadinya perubahan genetik yang
ditunjukkan oleh perbedaan performan antara strata yang berdekatan (Nicholas
1993).
Pola inti terbuka adalah suatu sistem dimana inti (nucleus) tidak tertutup.
Oleh karena itu, aliran gen tidak hanya dari strata atas ke bawah saja tetapi juga
dari bawah ke atas. Karena itu setiap perbaikan genetik yang diperoleh dari hasil
seleksi di tingkat dasar akan memberikan kontribusi pada peningkatan genetik
inti, yang besarnya kontribusi bergantung pada laju aliran gen dari dasar ke inti.
Dengan masuknya ternak bibit dari kelompok lain ke inti, hubungan kekerabatan
antara induk dengan jantan makin jauh sehingga laju inbreeding berkurang. James
(1979) mengemukakan bahwa kemajuan genetik pada sistem terbuka lebih tinggi
dibandingkan dengan sistem tertutup. Pada sistem terbuka respon seleksi
meningkat 10 sampai 15%, dengan laju inbreeding lebih rendah 50% bila
dibandingkan dengan sistem tertutup pada kondisi dan ukuran sama.
Kosgey (2004) mengemukakan bahwa pola inti terbuka cocok digunakan
untuk pemuliaan domba di negara berkembang (tropik). Selanjutnya dinyatakan
bahwa pola pemuliaan yang digunakan di negara berkembang berbeda-beda sesuai
dengan kondisi lingkungan dan sosial budaya setempat Pola-pola tersebut antara
lain pola tiga strata terdiri atas inti (nucleus), kelompok pembiak (multiplier) dan
populasi dasar; pola dua strata (inti dan peternak); dan pola hanya inti saja, yang
programnya hanya menyeleksi jantan saja serta program seleksi jantan dan
betina.
Karakteristik Ternak
Setiap sifat yang diekspresikan seekor hewan disebut fenotipe. Seekor
hewan atau ternak menunjukkan fenotipenya (P) sebagai hasil pengaruh seluruh
gen atau genotipenya (G), lingkungan (E) dan interaksi antara genotype dan
lingkungan (IGE) (Martojo 1992; Hardjosubroto 1994) Sifat kuantitatif dan
kualitatif pada hewan atau ternak merupakan fenotipe.
Pada program pemuliaan, prediksi perbedaan genetic di antara hewan
dapat berdasarkan observasi fenotipe yang bergantung pada faktor genetik dan
40
lingkungan (Muladno 2006). Fenotipe ternak dapat diketahui melalui ukuran-
ukuran tubuh (Otsuka et al. 1980; Karthickeyan et al. 2006), warna dan pola
warna tubuh, pertumbuhan tanduk (Wiley 1981; Warwick et al. 1990). Warna
termasuk sifat kualitatif seekor ternak. Warna tubuh ternak dianggap sebagai
character displacement untuk membewdakan satu bangsa dengan bangsa lainnya.
Sifat kuantitatif adalah kharakteristik dari makhluk hidup yang dapat
diukur, dihitung atau diskors. Karakter ini ditentukan oleh banyak pasang gen
(poligenik) dan sangat dipengaruhi oleh lingkungan (Wiley 1981). Sedangkan
sifat kualitatif seperti warna, pola warna, sifat bertanduk atau tidak bertanduk
dapat dibedakan tanpa harus mengukurnya. Sifat kualitatif biasanya hanya
dikontrol oleh sepasang gen (Noor 2004).
Sifat-sifat kualitatif adalah karakteristik yang pada umumnya dijelaskan
dengan kata-kata atau gambar (Warwic et al. 1990). Spesies-spesies sering
ditandai oleh warna atau pola warna tertentu. Pola warna apabila ada
kemungkinan lebih berguna daripada warna itu sendiri. Hal ini biasanya dianggap
sebagai character displacement untuk menghindari kesalahan saat membedakan
bangsa ternak (Wiley 1981).
Balai Penelitian Ternak Ciawi sudah memulai mengkarakterisasi kambing
Kosta (tahun 1995) dan Gembrong (tahun 1997) serta dilanjutkan oleh Loka
Penelitian Kambing Potong Sei Putih pada tahun 2000-2006 untuk
penelitian/karakterisasi kambing Marica (Sulawesi Selatan), kambing Muara
(Kabupaten Tapanuli Utara-Propinsi Sumatera Utara) dan kambing Samosir
(Kabupaten Samosir- Propinsi Sumatera Utara). Sampai saat ini sudah 7 bangsa
kambing yang sudah dikarakterisasi karakteristik penotipenya, dan akan
dilanjutkan untuk melaksanakan penelitian di beberapa daerah lain lagi (seperti
kambing Benggala- Propinsi Nusa Tenggara Timur, Kambing Wetar- Propinsi
Maluku). Diperkirakan masih banyak lagi bangsa kambing lokal Indonesia yang
belum dapat dikarakterisasi dan sebagian mungkin sudah hampir punah atau
jumlah populasinya sudah mendekati punah padahal kita belum sempat
mengekplorasi potensi keragaman genetiknya untuk dimanfaatkan sebagai sumber
peningkatan mutu genetik kambing di Indonesia
41
Struktur Kimia DNA
Setiap nukleotida tersusun oleh tiga komponen, yaitu molekul gula pentosa
(deoxyribose untuk DNA dan ribose untuk RNA), gugus phospat, dan basa
nitrogen. Dua komponen pertama terdapat di semua nukleotida dengan susunan
dan bentuk yang identik, sedangkan komponen ketiga (basa nitrogen) mempunyai
susunan dan bentuk yang berbeda di dalam suatu nukleotida dengan nukleotida
lainnya. Namun demikian, hanya terdapat macam basa nitrogen penyusun setiap
nukleotida (Muladno 2002).
Berdasarkan bentuk molekulnya basa nitrogen dikelompokan menjadi dua,
yaitu purin dan pyrimidin. Basa purin terdiri atas basa Adenin (A) dan Guanin
(G), sedangkan basa pyrimidin terdiri atas basa Cytosin (C), Uracyl (U) dan
Thymin (T). Perbedaan struktur molekul lima basa nitrogen tersebut disajikan
pada Gambar 6.
Gambar 6 Struktur kimia nukleotida pembawa basa nitrogen adenine (A), guanine (G), citosine (C), thymine (T) dan uracil (U) (Alberts et al. 1994).
Untai ganda DNA tersusun oleh dua rantai polinukleotida yang berpilin.
Kedua rantai mempunyai orientasi yang berlawanan (antiparalel), rantai yang satu
mempunyai orientasi 5’ 3’, sedangkan rantai yang lain berorientasi 3’ 5’.
Kedua rantai tersebut berikatan dengan adanya ikatan hidrogen antara basa
42
adenine (A) dengan thymine (T), dan antara guanine (G) dengan cytosine (C).
Ikatan antara A dan T berupa dua ikatan hidrogen, sedangkan antara G dan C
berupa tiga ikatan hidrogen sehingga ikatan G dan C lebih kuat (Gambar 7).
Spesifitas pasangan basa semacam ini disebut sebagai komplementaritas.
Proporsi basa A dan T serta G dan C selalu sama sehingga komposisi DNA dapat
dinyatakan dengan kandungan G + C (G + C content) yang berkisar dari 26%
sampai 74%. Hal ini dikenal sebagai hukum Chargaff.
Gambar 7 Ikatan hidrogen antarnukleotida. Ikatan antara adenine
(A) dengan thymine (T) dilakukan melalui dua ikatan hidrogen, sedangkan pada ikatan antara guanine (G) dan cytosine (C) ada tiga ikatan hidrogen sehingga ikatan G-C lebih kuat diabandingkan dengan ikatan A-T.
Berkembangnya biologi molekuler dan teknik DNA rekombinan
menjadikan DNA inti dan mitokondria semakin banyak dapat diungkapkan.
Sejalan dengan itu, penggunaan kajian genetika molekul telah mulai banyak
dilakukan dalam dunia Genetika Populasi. Genom mitokondria akhir-akhir ini
sering dijadikan alat dalam genetika populasi seperti penelusuran perjalanan
kolonisasi populasi, pemisahan biogeografi populasi, hubungan filogeni, dan
penelusuran asal-usul hewan (Hayashi et al. 1995; Harihara et al. 1996; Ming
1999; Perwitasari-Parajallah 1999). Selain itu, beberapa penyakit degeneratif,
penuaan, dan kanker sering diimplikasikan dari kerusakan (defek) mitokondria
43
(Wallace, 1999). Cukup strategisnya eksistensi genom mitokondria menyebabkan
biologi mitokondria perlu dipahami secara lebih mendalam.
Penciri DNA
Sejak era Mendel sampai tahun 1980-an, para ahli genetika hanya
mendapatkan penciri genetik lokus tunggal berupa tampilan fenotipe (Crawford
et al. 2000 dalam Margawati 2005). Penciri tersebut diantaranya seperti warna
mata Drosophila atau polimorfisme protein seperti dalam penggolongan darah.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa penciri tersebut pada beberapa peta keterpautan
genetik secara rinci telah dikembangkan pada model jenis seperti mencit dan
drosophila. Namun demikian terdapat beberapa keterbatasan untuk penyusunan
peta keterpautan pada persilangan jenis hewan domestik. Kehadiran teknologi
DNA rekombinan, terutama teknik Polymerase Chain Reaction (PCR) telah
mengubah secara mendadak hambatan dalam penyediaan penciri DNA. Dengan
demikian seperti sekarang ini dapat dilihat banyak proyek pemetaan keterpautan
untuk jenis ternak apapun dapat direncanakan dan diimplementasikan. Selama
lebih dari satu dasawarsa terakhir ini, terdapat sejumlah penciri DNA yang secara
rinci telah dideskripsikan dalam hubungannya dengan pencarian Quantitative
Trait Loci (QTL), peta keterpautan perbandingan (comparative linkage mapping)
dan pengukuran keragaman genetik dan pengukuran keragaman genetik.
Secara garis besar penciri DNA ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
Multilocus marker dan single locus marker (Crawford et al. 2000 dalam
Margawati 2005). Termasuk dalam multilocus marker yaitu minisatelit atau
variable number tandem reapeat (VNTR), randem amplified polymorphic DNA
fragment (RAPD) dan amplified fragment length polymorphisms (AFLP).
Sedangkan yang termasuk single locus markers adalah restriction fragment
lenghth polymorphisms (RFLPs), Mikrosatelit dan single nucleotide
polymorphisms (SNPs).
44
DNA Mitokondria
Organisme eukariot termasuk ternak domestik, sumber DNA dapat
diperoleh dari organel-organel sitoplasmik antara lain DNA mitokondria
(mtDNA). DNA mitokondria memiliki karakteristik sebagai molekul DNA yang
diturunkan secara utuh tanpa adanya rekombinasi, memiliki molekul dengan
ukuran kecil/pendek yang susunannya berbeda dengan DNA inti, dan memiliki
variasi basa nukleotida yang lebih tinggi dibandingkan DNA inti. Tingginya
variasi basa nukleotida disebabkan DNA mitokondria memiliki laju perubahan 5 –
10 kali lebih tinggi dibandingkan DNA inti (Muladno 2006).
DNA mitokondria mempunyai beberapa kelebihan yang menjadikannya
banyak digunakan untuk mengidentifikasi keragaman genetik dan dinamika
populasi . Beberapa kelebihan tersebut adalah: (1) memiliki ukuran yang kompak
dan relatif kecil (16 000 - 20 000 pasang basa), tidak sekompleks DNA inti
sehingga dapat dipelajari sebagai satu kesatuan yang utuh; (2) berevolusi lebih
cepat dibandingkan dengan DNA inti; (3) hanya sel telur yang menyumbangkan
material mitokondria sehingga mitokondria DNA hanya diturunkan dari induk
betina; dan (4) bagian-bagian dari genom mitokondria berevolusi dengan laju
yang berbeda, sehingga dapat berguna untuk studi sistematika dan penelusuran
kesamaan asal-usul (Park dan Moran 1995).
Dewasa ini sekuen lengkap basa-basa penyusun genom mitokondria
beberapa jenis organisme, terutama hewan, telah banyak diketahui. Beberapa
diantaranya, bahkan telah banyak dimanfaatkan dalam analisis keragaman genetik
dan biologi populasi pada hewan. Selain dapat melahirkan suatu rekonstruksi
filogenetik dari beberap spesies yang saling berdekatan, hasil analisis tersebut
juga dapat digunakan untuk menelusuri proses pemecahan dari spesies yang satu
terhadap spesies lainnya.
Umumnya DNA mitokondria hewan berbentuk sirkuler dan berutas ganda,
yakni terdiri dari utas berat (Heavy strand) dan utas ringan (Light strand).
Berdasarkan jenis gennya, genom mitokondria ini dapat dibagi menjadi dua
bagian, yaitu: daerah penyandi (coding region) dan daerah bukan penyandi
(noncoding region). Daerah penyandi terdiri dari 37 gen, yaitu: 13 gen penyandi
45
protein, 2 gen penyandi rRNA dan 22 gen penyandi tRNA. Gen-gen tersebut
tersebar pada kedua utas mtDNA. Utas ringan dari mtDNA hewan umumnya
terdiri dari : 1 gen penyandi protein yaitu NADH Dehydrogenase 6 (ND.6) dan 8
gen penyandi tRNA yaitu Glutamic acid (tRNAGlu ), Proline (tRNAPro), Serine
(tRNASer), Tyrosine (tRNATyr), Cyteine (tRNACys), Asparagine (tRNAAsn),
Alanine (tRNAAla), Glutamine (tRNAGln); sedangkan sisanya terdapat pada utas
berat, yaitu: 2 gen penyandi rRNA (16 S rRNA dan 12 S rRNA), 12 gen penyandi
protein (NADH Dehydrogenase (ND) : ND.1, ND.2, ND.3, ND.4, ND.5, ND.4L;
Cytochrome c Oxidase (CO) : CO.I, CO.II, CO.III ; Cytochrome b (Cyt.b),
ATPase 6 dan ATPase 8, dan 14 gen penyandi tRNA : Phenylalanine (tRNAPhe),
Valine (tRNAVal), Leucine (tRNALeu), Isoleucine(tRNAIle), Methionine (tRNAMet),
Tryptophan (tRNATrp), Aspartic acid (tRNAAsp), Lysine (tRNALys), Glycine
(tRNAGly), Arginine (tRNAArg), Histidine (tRNAHis), Serine (tRNASer), Leucine
(tRNALeu) dan Threonine (tRNAThr). Sebaliknya daerah bukan penyandi, hanya
terdiri daerah control (control region), yang memegang peranan penting dalam
proses transkripsi dan replikasi genom mitokondria (Anderson et al. 1981).
Daerah D-Loop
Daerah bukan penyandi (non coding region) merupakan genom yang tidak
membawa urutan informasi untuk pembentukan protein maupun RNA. Tingginya
angka dari polimorfisme nukleotida atau adanya perbedaan runutan pada kedua
bagian hipervariabel dari non coding region digunakan untuk membedakan di
antara individu dan atau sampel biologis (Melton 1999).
Daerah bukan penyandi (non coding region) atau disebut juga daerah
kontrol (control region) atau D-loop terletak di antara gen penyandi tRNAPro (di
sebelah kiri atau depan) dan gen penyandi tRNAPhe (di sebelah kanan atau
belakang). Daerah ini juga mengandung titik awal replikasi utas berat (H-strand
replication region) dan derah promotor untuk transkripsi pada masing-masing
utas DNA-nya, yaitu : LSP (Light Strand Promoter) dan HSP (Heavy Strand
Promoter).
46
Pada proses awal replikasi mtDNA, ternyata utas berat mtDNA yang
sementara belum bereplikasi, digantikan oleh utas DNA yang berkomplementer
dengan utas ringan (leading strand), sehingga di daerah tersebut terbentuk
struktur tiga rantai seperti gelembung (Clyton 1982 yang dikutip Widayanti
2006). Oleh sebab itu, maka daerah control mtDNA dikenal juga dengan nama D-
loop (Displacement-loop).
D-loop merupakan bagian dari mtDNA yang sangat variatif dalam
subtitusi nukleotida, insersi atau delesi pendek (indels) dan memeliki variabel
number tandem repeat (VNTRs) yang dinamis yang terletak pada bagian yang
hipervariatif dan domain yang khusus (Fumagalli et al. 1996). Daerah D-loop
dibagi menjadi 3 domain, yaitu domain I yang berbatasan dengan tRNAPro, terdiri
dari runutan yang diasosiasikan dengan termination of H-strand replication (TAS)
yang sering mengandung VNTRs (R1 repeats), domain II yang terdapat di bagian
sentral dan bersifat kekal, terdapat conserved sequence block (CSB B, C, D, E dan
F) dan domain III yang berbatasan dengan tRNAPhe, terdiri dari runutan yang
variabilitasnya tinggi karena subtitusi nukleotida, insersi dan delesi (indels) serta
VNTRs (R2 repeat) dan runutan nukleotida bersifat kekal yang merupakan
promotor untuk transkripsi untai berat (heavy strand) dan untai ringan (light
strand) berturut-turut HSP dan LSP, titik awal replikasi strand H (OH) dan daerah
blok runutan pendek yang kekal (Conserved sequence block) CSB1, CSB2, dan
CSB3 (Randi dan Luchini 1998).
Menurut Southern et al.(1998), blok runutan kekal (Conserved sequence
block, CSB) merupakan daerah yang homologinya tinggi yang ditemukan pada
mtDNA lumba-lumba, sapi, manusia dan tikus. Variasi ukuran panjang dari D-
loop mtDNA disebabkan oleh variasi jumlah runutan kopi berulang (sequence
tandem repeat). Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Wilkinson dan
Chapman (1991) bahwa adanya runutan nukleotida yang berbeda panjanngnya
antara anak dan induk evening bat disebabkan oleh duplikasi atau delesi runutan
sebesar 81 pb yang berulang dengan kopi sebanyak 5-8 kali di daerah D-loop.
Demikian juga menurut Greenberg et al. (1983), runutan nukleotida di sekitar
daerah awal replikasi untai H pada manusia lebih dari 96% perubahan basanya
adalah transisi dan variasi panjang nukleotida dalam repeat yang berurutan.
47
Pada vertebrata, susunan dari repeat tersebut ditemukan dalam 5 posisi,
dinyatakan sebagai runutan berulang (repetitive sequence) (RS) 1-5 (Hoelzel et
al.1994) dan semua terletak di region replikasi untai H (Gambar 8). RS1 dan RS2
berada di ujung 5’ dari CR dimana replikasi untai H berhenti sebentar,
membentuk untai tiga D-loop. RS3, RS4 dan RS5 berada di ujung 3’ dari CR
upstream dari titik awal replikasi untai H (Hoelzel et al. 1994).
▌ ▌ ▌
Gambar 8 Skema organisasi daerah control mtDNA pada mamalia.
CSB1, CSB2, CSB3: blok runutan berulang; OH : titik awal replikasi untai H; HSP: promotor replikasi untai H; LSP: promotor transkripsi untai L; RS1-RS5: lokasi runutan kopi berulang pada spesies yang berbeda (Savolainen et al.2000).
Prinsip Dasar Penelitian DNA
DNA terdapat di dalam sel organisme, oleh karena itu seluruh bagian
tubuh maupun organ organism dapat dijadikan sebagai sumber untuk
mendapatkan dan mengisolasi DNA. Pada prinsipnya, untuk mendapatkan DNA
dimulai dari ekstraksi dan purifikasi DNA, pengecekan kualitas (konsentrasi) dan
kuantitas DNA melalui alat spektrofotometer. Evaluasi kualitas DNA hasil
purifikasi dapat pula dilakukan dengan gel agarose (Duryadi 2005) dengan standar
konsentrasi tertentu. Menurut Muladno (2002), molekul DNA dikatakan murni
apabila rasio antara nilai OD260 dan nilai OD280 pada sampel DNA diukur melalui
spektrofotometer berkisar antara 1.8 – 2.0. Apabila konsentrasi DNA yang diukur
terlalu kecil, seringkali nilai rasio tersebut sulit digunakan sebagai patokan dalam
menentukan tingkat kemurniannya.
Control region
Cyt b
tRNAPro
tRNAThr
12 sRNA
CSB1 CSB2 CSB3
RS1 RS2 RS3 RS4 RS5
LSP
HSP
OH
48
Ekstraksi DNA pada organisme eukariot (manusia, hewan dan tumbuhan)
dilakukan melalui proses penghancuran dinding sel (lysis of cell walls),
penghilangan protein dan RNA (cell digestion), pengendapan DNA (precipitation
of DNA) dan pemanenan. Prinsip dasar ekstraksi DNA adalah serangkaian proses
untuk memisahkan DNA dari komponen-komponen sel lainnya. Hasil ekstraksi
tersebut merupakan tahapan penting untuk langkah berikutnya (Sulandari dan
Zein 2003).
Memperbanyak DNA target salah satunya melalui teknik PCR
(Polymerase Chain Reaction) PCR merupakan suatu reaksi in vitro untuk
menggandakan jumlah molekul DNA pada target tertentu dengan cara mensintesis
molekul DNA baru yang berkomplemen dengan molekul DNA target tersebut
dengan bantuan enzim dan oligonukleotida sebagai primer dalam suatu
thermocycler (Muladno 2002). Pada suhu 94-950C, DNA mengalami denaturasi.
Apabila suhunya diturunkan antara 36-720C terjadi proses penempelan primer
(annealing). Pada suhu berkisar antara (biasanya) 500C sampai 600C, primer
forward yang runutan nukleotidanya berkomplemen dengan salah satu untai
tunggal akan menempel pada komposisi komplemennya, demikian juga primer
reversenya akan menempel pada basa tunggal lainnya. Setelah kedua primer
tersebut menempel pada posisinya masing-masing, enzim polymerase mulai
mensintesis molekul DNA baru (ekstensi) ini terjadi pada suhu 720C. Proses dari
denaturasi-penempelan-ekstensi disebut sebagai satu siklus. Proses PCR biasanya
berlangsung 35-40 siklus (Muladno 2002). Umumnya setelah proses siklus PCR
selesai, ditambah post elongasi selama 5-10 menit pada suhu 720C agar semua
hasil PCR berbentuk untai ganda (Sulandari dan Zein 2003).
Hasil PCR dapat dilihat dengan melakukan elektroforesis pada gel agarose
untuk memisahkan dan mengidentifikasi fragmen DNA sesuai dengan ukurannya.
Prinsip dasarnya adalah jika molekul DNA, yang bermuatan negatif, ditempatkan
pada penghantar listrik (buffer), molekul tersebut akan bergerak menuju ke
muatan positif. Molekul DNA yang berukuran kecil akan bergerak lebih cepat dari
pada yang berukuran besar. Ukuran fragmen DNA hasil elektroforesis dapat
diketahui dengan menggunakan penanda ukuran (marker) yang salah satunya
didapat dari yang telah dipotong oleh enzim restriksi (Dawson et al. 1996).
49
Suatu terobosan utama dalam genetika molekuler adalah perkembangan
metode mensekuens potongan DNA secara cepat (Muladno 2002). Ada dua
metode dalam sekuensing: metode anger atau dideoxy atau Chain-terminating dan
metode Maxam-Gilbert atau chemical, dengan metode yang pertama lebih umum
digunakan (Nicholas 1996). Tiap metode meliputi pembuatan serangkaian
rangkaian tunggal berlabel dengan panjang bervariasi, yang dimulai dari salah
satu ujung fragmen yang sedang disekuens (Nicholas 1996; Duryadi 2005).
Elektroforesis dari rangkaian-rangkaian tersebut berdasarkan ukuran, yang
menghasilkan tangga pita (ladder) berlabel, dengan tiap pita mewakili
tersekuensnya satu basa. Jika pelabelan bersifat radioaktif, gel tersebut kemudian
dikeringkan dan dilekatkan pada film X-ray, yang mencatat keberadaan tiap pita
pada autoradiograf yang dihasilkan (Nicholas 1996). Belakangan ini penggunaan
label memakai bahan fluoresen yang diaktifkan dengan sinar laser akan
menggantikan pelabelan dengan bahan radioaktif.
50
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dibagi dalam dua kegiatan yaitu kegiatan lapangan dilakukan
di Provinsi Maluku Utara selama duabelas bulan mulai Januari s/d Desember
2007 (Lampiran 1). Pertimbangan pemilihan Provinsi Maluku Utara sebagai
lokasi penelitian adalah (1) ada kebijakan pemerintah daerah setempat yang
menetapkan salah satu wilayah menjadi pusat pembibitan ternak kambing kacang,
(2) Secara geografis provinsi Maluku Utara merupakan daerah kepulauan dengan
jumlah ternak kambing yang terbanyak dibandingkan dengan ternak ruminansia
lainnya, (3) tingginya ternak kambing yang diantarpulaukan sehingga terjadi
persilangan dalam yang akan berdampak pada penurunan mutu genetik kambing
di wilayah ini, dan (4) adanya kebijakan pemerintah setempat untuk
mengembangkan sentra pengembangan ternak kambing tipe daging dan perah.
Kegiatan laboratorium untuk analisis DNA dilaksanakan pada bulan
Januari-Maret 2008 di Laboratorium Genetika Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) Cibinong kabupaten Bogor.
Bahan dan Alat
Ternak
Karakterisasi fenotip, digunakan 712 ekor kambing kacang dari beberapa
pulau yang mewakili kabupaten/kota yaitu pulau Jailolo (kabupaten Halmahera
Barat), pulau Sofifi (Kota Tidore Kepulauan), pulau Morotai (kabupaten
Halmahera Utara), pulau Bacan (kabupaten Halmahera Selatan) pulau Ternate
(Kota Ternate) dan pulau Sananan (kabupaten Kepulauan Sula). Untuk
karakterisasi genotipe, sampel darah dari 180 ekor kambing diambil secara
intravenus menggunakan venoject dengan tabung vacum 10 ml yang lebih dulu
diisi dengan heparin/etanol. Seluruh sampel darah tersebut merupakan sumber
DNA yang akan dianalisis selanjutnya. Jumlah dan asal masing-masing asal
kambing yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 14.
51
Tabel 14 Jumlah dan lokasi kambing kacang yang diambil darahnya untuk penelitian laboratorium.
No. Lokasi Kambing Kacang
Jumlah Sampel (ekor) Jantan Betina Jumlah
1. 2. 3 4. 5 6
Bacan (Pbn) Jailolo (Pjo) Morotai (Pmi) Sanana (Psn) Sofifi (Psf) Ternate (Pte)
5 5 5 5 5 5
25 25 25 25 25 25
30 30 30 30 30 30
Jumlah 30 150 180
Bahan kimia yang digunakan pada setiap tahapan karakterisasi genotip
adalah :
A. Ekstraksi dan purifikasi
1. Larutan penyangga pelisis A (lysis buffer) yang tersusun dari:
0.32 M sucrose (timbang 54.8 gram sucrose
1 % v/v Triton X-100 (ambil 5 ml lartan Triton X-100)
5 mM MgCl2 (ambil 5 ml larutan 1 M Tris HCl pH 7.4)
Masukkan kedalam air distilasi (steril) sampai volume 500 ml
2. Larutan Penyangga pencuci B (rinse buffer) yang tersusun dari:
75 mM NaCl (ambil 7.5 ml larutan 5 M NaCl)
50 mM EDTA pH 8.0 (ambil 50 ml larutan 0.5 M EDTA pH 8.0)
Masukkan kedalam air distilasi (steril) sampai volume 500 ml
3. Larutan penyangga digesti C (digestion buffer) yang tersusun dari:
200 mM NaCl (ambil 20 ml larutan 5 M NaCl)
50 mM Tris HCl (ambil 25 ml larutan 1 M Tris HCl)
100 mM EDTA pH 8.0 (ambil 100 ml larutan 0.5 M EDTA)
1 % (w/v) SDS (50 ml dari larutan 10% SDS)
Masukkan kedalam air distilasi (steril) sampai volume 500 ml
4. RNAase (10 mg/ml)
5. Proteinase K (10 mg/ml)
6. Larutan D tersusun dari:
TE pH 7.5
10 mM Tris HCl (ambil 1 ml larutan 1 M Tris HCl)
1 mM EDTA (ambil 0.2 ml larutan 0.5 M EDTA)
52
0,02 mg/ml RNAase (ambil 0.2 ml atau 200 µl larutan stock RNAase)
Masukkan kedalam air distilasi (steril) sampai volume 100 ml dan
simpan larutan D dalam freezer -200C
7. Fenol
8. Chloroform
9. Ethanol 70% yang disimpan dalam lemari pendingin (40C)
B. Analisis PCR
1. Sepasang Primer
2. Sampel DNA
3. Enzim taq polymerase
4. Deoxynucleoside triphosphate (dNTP)
5. Buffer PCR
6. Air
C. Elektroforesis gel agarose
1. Gel agarose
2. 1 x buffer TAE
3. Ethidium bromide (10 mg/ml)
4. DNA ladder
5. Loading dye
D. Elektroforesis gel polyacrylamide
1. Gel polyacrylamide
2. DNA ladder
3. Loading dye
A l a t
Alat yang akan digunakan selama penelitian ini adalah sebagai berikut:
A. Untuk Karakterisasi fenotipe;
Alat tulis, tongkat ukur, kliper, pita ukur dan timbangan
B. Untuk Karakterisasi genotip terdiri atas:
B.1. Ekstraksi dan Purifikasi
1. Refrigerated Microcentrifuge (high speed)
53
2. General centrifuge
3. Kotak Penyimpan sampel
4. Rak Tabung ependorf
5. Tabung ependorf 1.5 ml
6. Tabung 10 ml
7. Vortex mixter
8. Pipetor (1 set) dengan tip pepet kuning dan biru
9. Sarung tangan (hand glove), gunting dan pinset steril
10 Shaking Water bath, Autoclave, Rotary mixer, Aspirator, Kaca
pembesar/lop, dan Mortar
B.2. Polymerase Chain Reaction (PCR)
1. Mesin Thermal cycler
2. Tabung ependorf 0.2 ml, 0.5 ml atau 1.5 ml dengan rak tabungnya.
3. Pipetor satu set dengan tip warna kuning, biru dan ptih
4. Vortex, dan Mesin sentrifuge.
B.3. Elektroforesis
1. Horizontal agarose electroforesis apparatus (MUPID)
2. Well-forming combs (sisir pembentuk sumur)
3. Power supply
4. Microwave atau hotplate
5. UV transilluminator
6. Camera Pollaroid
7. Parafilm atau plastic cling wrap.
Metode Penelitian
Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh gambaran mengenai penyebaran ternak kambing
kacang di Maluku Utara dilakukan studi awal dengan menggunakan data yang
tersedia di Dinas Peternakan masing-masing Kabupaten/Kota di bantu juga
dengan daftar pertanyaan (Lampiran 2)
54
Jenis data yang dikumpulkan:
1. Informasi mengenai daerah sampel : meliputi informasi yang berkaitan
dengan penggunaan lahan, populasi ternak, curah hujan, komponen usaha tani,
produksi pertahun dan karakteristik wilayah lainnya. Kategori data ini
dikumpulkan dari Badan Pusat Statistik Provinsi sampai kantor desa.
2. Informasi mengenai petani responden; meliputi pengalaman beternak, umur
peternak, pemilikan ternak, tingkat pendidikan dan penguasaan lahan.
3. Dinamika Populasi : Struktur populasi ternak kambing (Jantan, betina, induk
kering, induk laktasi, jantan dan betina remaja, cempe).
4. Produktivitas ternak ; bobot lahir, bobot umur 30, 60, 90 dan 120 hari.
5. Karakterisasi Kambing Kacang meliputi tiga kegiatan yaitu karakterisasi
fenotip kualitatif, karakterisasi fenotip kuantitatif dan karaketerisasi genotip
berbasis varians mitokondria DNA pada daerah D-loop
Penentuan Responden
Penentuan responden dilakukan dengan metode Simple Random Sampling
yaitu sebesar 10% - 15% dari total peternak kambing yang ada pada setiap
lokasi terpilih dengan kriteria yang sudah melakukan pemeliharaan kambing
lebih dari 1 tahun.
Prosedur Penelitian
a) Mengetahui sifat-sifat dasar kambing kacang yang dimiliki atau dipelihara
oleh pemilik dan pemelihara terpilih dilakukan dengan pengamatan dan
dibantu dengan daftar pertanyaan (kuesioner), sedangkan untuk menentukan
struktur populasinya selain dengan daftar pertanyaan dilakukan pengamatan
pada struktur gigi kambing. Kambing yang gigi serinya belum berganti
diberi Kode I-0, berumur kurang atau sama dengan satu tahun. Kode I-2, I-
4, I-6, dan I-8 digunakan untuk kambing yang gigi serinya telah berganti
sebanyak dua, empat, enam dan delapan buah yang masing-masing berumur
1-1.5 tahun, 2-2.5 tahun, 3-3.5 tahun dan lebih dari empat tahun.
55
b) Karakterisasi genotip dilakukan dengan metode eksperimen sesuai
petunjuk Sulandari dan Zein (2003). Secara ringkas tahapan karakterisasi
genotipe dapat disajikan pada Gambar 9 berikut ini:
Gambar 9 Tahapan karakterisasi genotipe
Kambing Kacang
Ektraksi Darah Total
Purifikasi
PCR
- Denaturasi - Anneling - Ekstension
- Agarose
Elektroforesis
- Haplotipe - Varians
Sekuen
Larutan DNA
Tepung DNA
Keping DNA
Analisis data
Pengukuran
Coding
Dokumentasi Pita/Band DNA
56
b.1. Ekstraksi dan Purifikasi DNA
1. Sampel darah yang masih segar dipisahkan menjadi serum, sel darah
merah dan sel darah putih (buffy coat) dengan teknik sentrifugasi pada
kecepatan 3.500 rpm selama 10 menit.
2. Lapisan paling atas (serum) dibuang dengan menggunakan pipetor,
kemudian lapisan kedua yang merupakan sel darah putih dikoleksi dengan
pipetor dan dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge 10 ml dan disimpan
didalam freezer sampai dilakukan ekstraksi DNA.
3. Kedalam tabung yang berisi sel darah putih (buffy coat) ditambahkan
larutan penyangga pelisis A dengan volume sama dan kocok secara
manual sampai larut.
4. Sentrifugasi dengan kecepatan 6500 rpm selama 1 menit pada temperatur
kamar.
5. Supernatan dibuang, sedangkan endapannya (erythrosit dan leukosit)
ditambahkan larutan penyangga pencuci B (rinse buffer) dengan volume
sama (200 µl), goyang-goyang dengan tangan dan divortex sampai
endapan larut.
6. Ditambah larutan penyangga digest C sebanyak 500 µl, 15 µl proteinase K
(10 mg/ml) dan 5 µl RNAase (10 mg/ml). Goyang dengan tangan dan
vortex sebentar.
7. Inkubasikan dengan menggunakan shaking water bath pada temperatur
550C selama kurang lebih 16 jam.
8. Setelah sampel tercerna semua, ambil sampel dari inkubator dan ditambah
phenol sebanyak 500 µl. Vortex atau menggunakan rotary mixer selama
30 menit sehingga larutan tercampur semua.
9. Sentrifugasi pada kecepatan 13000 rpm selama 2 menit , sehingga di
dalam tabung ependorf terlihat larutan terpisah menjadi dua.
10. Ambil larutan bagian atas/supernatan ( warna seperti putih telur) kemudian
pindahkan ke tabung ependorf baru.
11. Tambah phenol-chloroform (1:1) dengan volume yang sama, vortex atau
menggunakan rotary mixer perlahan-lahan selama 30 menit.
12. Sentrifugasi pada 13000 rpm selama 2 menit.
57
13. Ambil bagian atas (supernatan berwarna putih) dan pindahkan ke tabung
ependorf baru.
14. Tambahkan ethanol 100% sebanyak 2 kali volume sampel, digoyang
dengan tangan selama 10 menit dan biasanya akan terbentuk material putih
(jika kandungan DNA sedikit, material putih tidak jelas). Simpan di dalam
freezer selama 5 menit.
15. Sentrifugasi pada 13000 rpm selama 2 menit.
16. Ethanol dibuang dan diganti dengan 70% ethanol (600 µl), kemudian
sentrifugasi pada 13000 rpm selama 2 menit.
17. Ethanol 70% dibuang secara hati-hati menggunakan pipetor agar pellet
DNA tidak ikut terbuang bersama ethanol.
18. Material/pellet dikeringkan dengan bantuan aspirator.
19. Keluarkan larutan D dari tempat penyimpananya (-200C). Tambahkan
larutan D sebanyak 100 µl. Sentrifugasi sebentar dan inkubasi dalam
shaking water bath pada temperatur 370C selama 15 menit.
20. Simpan sampel DNA pada temperatur 40C.
b.2. Validasi Kuantitas dan Kualitas DNA
Secara kuantitatif, konsentrasi DNA ditentukan dengan spektrophotometri
sinar ultra violet dengan alat Spektrophotometer (Beckman DU 650). DNA
menyerap secara kuat sinar ultra violet pada panjang gelombang 260 nm (nano
meter), sedangkan protein pada panjang gelombang 280 nm. Pada panjang
gelombang 260 nm, absorbansi dengan nilai satu setara dengan 50 µg/ml DNA
untai ganda. Dengan demikian untuk mendapatkan konsentrasi digunakan rumus :
Konsentrasi DNA (µ/ml) = OD260 x 50 x faktor pengenceran
Mengetahui tingkat kemurnian DNA yang berkorelasi dengan kualitas
DNA ditentukan dengan cara membagi nilai Optical Density (OD)260 dengan
(OD)280. Apabila nilai ratio yang didapatkan berkisar antara 1.8 – 2.0 maka DNA
58
dikatakan murni (kualitas DNA baik). Jika nilai ratio lebih kecil dari 1.80 maka
DNA tersebut terkontaminasi dengan protein.
b.3. Analisis PCR (Polymerase Chain Reaction)
Analisis PCR merupakan teknik perbanyakan molekul DNA dengan ukuran
tertentu secara enzimatik melalui mekanisme perubahan suhu, reaksi PCR dibuat
dalam tabung 0.2 ml dan proses reaksinya dilakukan dengan alat thermocycler
GeneAmp PCR system 9700 (Applied Biosystem). Komponen yang terdapat dalam
setiap tabung reaksi adalah sebagai berikut: larutan penyangga (buffer), dNTP
(Deoxynucleoside triphosphate), primer, enzim Taq DNA polymerase, sampel
DNA dan air. Semua komponen tersebut diatas dicampur dalam total volume 50
µl.
Reaksi PCR untuk volume 50 µl :
1µl forward primer (2.5 pmol/ µl)
1 µl reverse primer (2.5 pmol/ µl)
0.4 µl dNTP Mix 10mM
5 µl MgCl2 25mM
5 µl Buffer 10 x
0.25 µl Taq Ferment recomb
36.35 µl dH2O
Untuk mengamplifikasi mtDNA D-loop pada ternak kambing kacang,
sepasang PCR primer spesifik yang dibuat berdasarkan publikasi IAEA digunakan
(Tabel 15).
Tabel 15 Primer yang digunakan untuk analisis PCR dan sekuen Nama Primer 5’ to 3’ sequence
15388F
CD-774R
Forward: 5’-gcc cca cta tca aca ccc aaa gc-3’
Reverse: 5’-aat ggg cga ttt tag atg aga tgg c-3’
Sedangkan kondisi PCR yang dipakai selama 30 siklus adalah sebagai berikut:
Pre Denaturasi 950C selama 5 menit
Denaturasi 940C selama 45 detik
59
Anneling 600C selama 45 detik
Extension 720C selama 90 detik
Final Extension 720C selama 10 menit
b.4. Elektroforesis dan Visualisasi Produk PCR
Melalui proses elektroforesis pada gel agarose 2% yang diestimasi dari
intensitas fluorescence dan dipancarkan oleh ethidium bromide, visualisasi produk
PCR dilakukan dibawah lampu Ultra Violet (UV) dengan menggunakan
transiluminator. Bila terlihat adanya fragmen yang teramplifikasi pengambilan
photograph dilaksanakan. Adapun proses elektroforesis dilaksanakan sebagai
berikut:
1. Letakan gel agarose di dalam tangki elektroforesis dan tuangkan larutan 1
X buffer TAE ke dalam tangki tersebut hingga sekitar 1 mm di atas
permukaan gel.
2. Ambil sampel dengan pipetor sebanyak kapasitas sumur yang biasanya
sekitar 4-8 µl. Letakkan sampel diatas parafilm atau plastik cling wrap dan
tambahkan loading dye buffer sebanyak 1/10 volume sampel kemudian
aduk hingga merata. Ambil larutan tersebut dengan pipetor dan masukkan
ke dalam sumur pada gel agarose.
3. Setelah sampel dimasukkan dalam sumur, tutup tangki elektroforesis dan
hubungkan arus listrik. Setelah itu proses elektroforesis siap dijalankan.
4. Lamanya elektroforesis tergantung dari persentasi gel agarose, tegangan
arus listrik dan ukuran molekul DNA. Tegangan arus listrik yang
digunakan 100 Volt dan ukuran fragmen DNA yang dianalisis 50 – 2000
pasang basa.
5. Setelah proses elektroforesis selesai, matikan arus listrik dan ambil tray
dengan menggunakan sarung tangan. Letakan gel pada UV
transilluminator dan jika pita molekul DNA kelihatan terang maka ambil
dokumentasi dengan menggunakan camera Polaroid.
60
b.5. Purifikasi Produk PCR
Produk PCR dipurifikasi dengan QIAquick PCR purification kit (QIAGEN
GmbH, Germany). Tahapan purifikasi ini sangat penting untuk menghilangkan
subtansi-subtansi seperti primer, nukleotida dan garam yang dapat mengganggu
reaksi sekuen. Amplifikasi daerah kontrol dengan PCR (Polymerase Chain
Reaction) menggunakan Primer DNA 15388F untuk forward primer: 5’gcc cca cta
tca aca ccc aaa gc 3’ dan CD-774R untuk reverse primer: 5’ aat ggg cga ttt tag atg
aga tgg c 3’. Primer ini dirancang pada program IAEA ternak kambing di
Indonesia oleh Muladno dkk. (Komunikasi pribadi). Adapun tahapan dalam
analisis PCR adalah sebagai berikut:
1. Semua larutan produk PCR dipindahkan ke tabung eppendorf 1.5 ml
kemudian ditambahkan 5 volume buffer (5 x 25µl), kemudian di
sentrifugasi sebentar (±20 detik) pada kecepatan 3000 rpm.
2. Transfer 150 µl campuran tersebut ke tabung spin column dan di
sentrifugasi pada kecepatan 13 000 rpm selama 1 menit. Kemudian
buang cairan yang terdapat didalam tabung koleksi (collection tube) dan
dipasang kembali column.
3. Tambahkan 750 ml buffer PE 750 µl ke dalam column, kemudian
sentrifugasi pada kecepatan 13 000 rpm selama 1 menit. Buang cairan
yang terdapat di dalam tabung koleksi dan pasang kembali ke column.
Letakan kembali di dalam mesin sentrifugasi, dan sentrifugasi selama 1
menit pada kecepatan 14 000 rpm. Terakhir buang cairan sisa-sisa
buffer PE.
4. Buang tabung koleksi dan ganti dengan tabung eppendorf 1.5 ml.
Kemudian pasang column kembali ke tabung 1.5 ml eppendorf yang
baru dipasang. Tambahkan 35 µl buffer EB, dengan cara langsung di
tambahkan ke center membrane/column) Kemudian, sentrifugasi pada
kecepatan 13 000 rpm, selama 1 menit. Setelah selesai, buang
columnnya dan tutup 1.5 ml tabung eppendorf.
5. Produk PCR telah selesai dipurifikasi. Selanjutnya produk PCR tersebut
diukur kosentrasinya dengan spektrofotometer dan di elektrofotesis.
61
b.6. Sekuen fragmen D-loop
Produk PCR yang telah dipurifikasi, disekuen dengan menggunakan mesin
DNA sekuenser untuk mengetahui runutan sekuen nukleotida dengan tepat. Direct
sequencing terhadap segmen Hypervariabel 1 (HV1) daerah D-loop dilakukan
dengan menggunakan primer 15388Forward. Kit Cycle sekuensing yang
digunakan adalah BigDye*Terminator version 3.1 (Macrogen, Korea) dengan
total volume 20 µl yang mengandung 20 ng produk PCR yang telah dipurifikasi
sebagai template DNA dan 3.2 pmol primer. Pada setiap tabung reaksi PCR berisi
8 µl Big Dye terluminator ready reaction mix (campuran dNTP, ddNTP, buffer,
enzim dan MgCl2), 8 µl air, 2 µl forward atau reverse primer dan 2 µl template di
edit dari sekuen fragmen D-loop.
c) Karakterisasi fenotip kualitatif dengan mengamati karakter fenotip sampel
kambing terpilih, meliputi:
1) Garis Muka: dilihat dari samping dan diklasifikasikan ke dalam
dua kelompok yaitu lurus dan cembung.
2) Mata : diklasifikasikan kedalam dua kelompok yaitu cembung
(menonjol keluar) dan normal
3) Ada tidaknya tanduk, baik jantan maupun betina diklasifikasikan
dalam dua kelompok yaitu tidak bertanduk dan bertanduk
4) Garis punggung: dilihat dari samping pada posisi berdiri normal,
diklasifikasikan dalam tiga kelompok yaitu cembung, lurus dan
cekung.
5) Warna dasar dominan: diklasifikasikan ke dalam kelompok yaitu
putih, hitam, coklat, abu-abu dan kombinasi diantara warna.
6) Kombinasi warna diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok yaitu
satu warna, dua warna dan tiga warna
7) Pola warna diklasifikasikan ke dalam warna polos, bintik-bintik
(speckle), bercak (belang) kecil, bercak (belang) besar, strip sempit
dan strip besar.
62
d) Karakterisasi fenotip kuantitatif dilakukan berdasarkan petunjuk Herrera et
al. (1996) yaitu seperti pada Gambar 10 sebagai berikut:
(1) Withers height (HL) atau Tinggi pundak : diukur dari titik tertinggi
pundak sampai sampai tanah dengan menggunakan tongkat ukur dalam
satuan cm
(2) Body Length(BL) atau Panjang Badan : diukur dari tepi tulang
processus spinocus sampai dengan benjolan tulang tapis/tulang duduk
(os ischium), dengan menggunakan tongkat ukur dalam satuan cm.
(3) Shoulder point width (SW) atau Lebar dada : diukur dari penonjolan
sendi bahu (os scapula) kiri dan kanan, dengan menggunakan kaliper
dalam satuan cm.
(4) Chest girth(ChG) atau Lingkar dada: diukur melingkar rongga dada di
belakang sendi bahu (os scapula) menggunakan pita ukur dalam satuan
cm.
(5) Chest depth (ChD) atau Dalam dada : diukur dari bagian tertinggi
pundak sampai dengan dasar dada dalam satuan cm.
(6) Rump Length atau (RL) Panjang Pinggul
(7) Rump width (RW) atau Lebar Pinggul : diukur jarak antara pinggul kiri
dan pinggul kanan dalam satuan cm.
(8) Head Length (HL) atau Panjang Tengkorak: diukur jarak antara titik
tertinggi sampai titik terdepan tengkorak dalam satuan cm.
(9) Head Widht (HW) atau Lebar Tengkorak: diukur jarak antara titik
penonjolan tengkorak kiri dan kanan menggunakan kaliper dalam
satuan cm.
(10) Bobot Badan (BB) : ditimbang pada pagi hari sebelum kambing diberi
makan, dalam satuan kg.
(11) Shin circumference(SC) atau Lingkar kanon/lingkar pipa : diukur
melingkar ditengah-tengah tulang pipa kaki depan sebelah kanan,
diukur dengan pita ukur dalam satuan cm.
63
Gambar 10 Cara pengukuran karakter fenotip kuantitatif.
Keterangan:
Zoometrical Variabels (Herrera et al. 1996):Withers height(WH), Chest depth(ChD), Body Length (BL), Shoulder point width (SW), Rump Length (RL), Rump width (RW), Head Length (HL), Head Widht (HW), ChG (Chest girth), Shin circumference (SC)
e) Mengetahui sifat pertumbuhan ternak kambing dilakukan seleksi kambing-
kambing untuk dijadikan tetua dan dikelompokan berdasarkan umur dan jenis
kelamin. Tetua yang yang berumur 1-1.5 tahun diberi kode I-2, kode I-4, I-6
dan I-8 masing-masing digunakan untuk tetua yang berumur 2-2.5, 3-3.5
tahun dan lebih dari 4 tahun. Dengan demikian ada 8 kelompok yaitu : J-2, J-
4, J-6, J-8 dan B-2, B-4, B-6 dan B-8 (J = jantan, B = betina dan angka =
kode umur). Hasil penimbangan ditabulasikan berdasarkan kedelapan
kelompok dihitung rataan serta simpangan bakunya.
Hasil perhitungan nilai rataan dan simpangan baku (SB) dari bobot badan,
maka setiap kelompok dibagi lagi atas dua anak kelompok berdasarkan
seleksi individu yang dilakukan dalam kelompok umur dan jenis kelamin
yaitu anak kelompok A untuk kelompok dengan berat badan diatas rata-rata
dan B untuk kelompok dibawah rata-rata berat badan. Dengan demikian
struktur dari pengelompokan ini adalah sebagai berikut:
Sub-Kelompok Jantan : J-2-A, J-4-A, J-6-A, J-8-A dan J-2-B, J-4-B, J-6-
B, J-8-B
Sub-Kelompok Betina : B-2-A, B-4-A, B-6-A, B-8-A dan B-2-B, B-4-B,
B-6-B, B-8-B
64
Diadakan penyilangan (perkawinan) yang tergabung dalam perkawinan setara
antara sub-sub kelompok jantan dan betina dengan metode sebagai berikut:
1. J-2-A x B-2-A 2. J-2-B x B-2-B
3. J-4-A x B-4-A 4. J-4-B x B-4-B
5. J-6-A x B-6-A 6. J-6-B x B-6-B
7. J-8-A x B-8-A 8. J-8-B x B-8-B
Memastikan bahwa anak yang dikandung benar-benar berasal dari jantan
yang terpilih maka baik jantan dan betina ditempatkan dalam satu kandang
yang sama selama tiga bulan setelah terlebih dahulu induk disterilkan dari
jantan yang lain.
Seluruh turunan kambing diikuti pertumbuhan hariannya dengan cara
menimbang mulai dari lahir sampai berumur 90 hari. Penimbangan dilakukan
setiap bulan (30 hari) pada pagi hari sebelum diberi makan. Seluruh kambing
yang diteliti diberi identitas berupa kalung leher yang diberi nomor. Sebagai
kontrol juga diamati kambing-kambing yang melakukan perkawinan secara
acak tanpa seleksi dengan memperhatikan rataan bobot badan dalam
populasinya.
f) Menentukkan pola pemuliaan dilakukan melalui diskusi terfokus untuk
menentukan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kegiatan pemuliaan
dengan memilih responden ahli. Kemudian faktor-faktor ini dilakukan
pembobotan dengan menyebarkan kuesioner kepada responden terpilih dalam
merumuskan pola pemuliaan ternak kambing yang paling cocok diantara pola
yang ada dengan menggunakan proses analisis hirarki (Analitical Hierarchy
Process) menurut Saaty (1983).
65
Analisis Data
1) Data karakteristik usaha peternakan kambing kacang maupun parameter-
parameter untuk dinamika populasinya (struktur populasi, seks rasio, distribusi
kelas umur, angka mortalitas, angka natalitas) ditabulasi silang dengan analisis
rataan kemudian disajikan dalam bentuk deskriptif.
2) Struktur populasi ternak kambing kacang dianalisis dengan menduga umur
ternak melalui pengamatan terhadap pertumbuhan gigi serinya dengan
berpedoman pada Tabel 16 di bawah ini:
Tabel 16 Pergantian gigi seri kambing
Sumber: Ensminger (2002).
3) Karakterisasi Kambing Kacang
Hasil pengamatan dari seluruh karakter fenotip kualitatif dihitung
frekuensinya, sehingga diperoleh karakter fenotip kualitatif yang dominan dari
setiap populasi kambing yang diamati. Untuk mendapatkan karakter fenotip
kuantitatif, nilai dari setiap karakter yang diperoleh dari hasil pengukuran
dihitung rata-rata dan standar deviasinya. Untuk menentukan jarak genetik
digunakan fungsi diskriminan sederhana seperti yang dijelaskan oleh Herrera et
al. (1996). Fungsi diskriminan yang digunakan melalui pendekatan sidik jari
Mahalanobis seperti yang dijelaskan oleh Nei (1987), dimana matrik ragam antar
peubah dari masing-masing populasi kambing yang diamati digabung menjadi
sebuah matrik.
Menghitung jarak kuadrat genetik digunakan rumus sesuai petunjuk Nei
(1987) sebagai berikut :
Umur Gigi Seri yang berganti
Umur kurang dari 1 tahun Umur 1 – 1.5 tahun Umur 1.5 – 2 tahun Umur 2.5 – 3 tahun Umur 3 – 4 tahun
Lebih dari 4 tahun
Gigi seri belum ada yang berganti Gigi seri dalam (I1) berganti Gigi seri tengah dalam (I2) berganti Gigi seri tengah luar (I3) berganti Gigi seri luar (I4) berganti atau semua (8) gigi seri telah berganti Gigi tetap aus dan mulai lepas
66
D2(i/j) = ( Xi – Xj) Cov-1 (Xi – Xj)
Keterangan:
D2(i/j) = Nilai statistik Mahalonobis sebagai ukuran jarak kuadrat genetik antar
dua populasi (populsi i terhadap poplasi j).
Cov-1 = Kebalikan matrik gabungan ragam peragam antar peubah.
Xi = Vektor nilai rataan pengamatan dari populasi kambing kacang i pada
masing-masing peubah.
Xj = Vektor nilai rataan pengamatan dari populasi kambing j pada masing-
masing peubah.
Membantu analisis statistik Mahalanobis digunakan paket program
statistik SAS release 6.03 dengan menggunakan PROC.DISCRIM. Hasil
perhitungan jarak kuadrat tersebut kemudian dianalisis lebih lanjut dengan
program software MEGA (Molecular Evolutionary Genetics Analysis) seperti
petunjuk Kumar et al. (1993) untuk mendapatkan pohon fenogram. Teknik
pembuatan pohon fenogram dilakukan dengan metode UPGMA (Unweghted Pair
Group Methode with Arithmetic).
Analisis canonical (Herrera et al. 1996) dilakukan untuk menentukkan peta
penyebaran ternak kambing dan nilai kesamaan dan campuran di dalam dan
diantara populasi kambing. Analisis ini juga digunakan untuk menentukan
beberapa peubah dari ukuran fenotipik yang memiliki pengaruh kuat terhadap
penyebab terjadinya pengelompokan populasi kambing. Prosedur analisis dengan
menggunakan PROC CANDISC.
Data sekuen fragmen D-loop mitokondria DNA kambing dianalisis dengan
menggunakan berbagai program software genetik seperti:
a) Chromas digunakan untuk viewing dan editing hasil sekuen.
b) Multiple alignment sekuen digunakan program ClustalX ver.1.83
(Thompson et al. 1997; yang diperoleh dari ftp://ftp-igbmc:u-
strasbg.fr/pub/CulstalX)
c) Untuk penentuan polymorphic sites digunakan program MacClade 4.0
yang tersedia pada http://ag.arizopna.edu/macclade/macclade.html).
67
d) Distance dan Phylogenetic digunakan program Molecular Evolutionary
Genetic Analaysis (MEGA) version 3.1 (Kumar et al.2004, tersedia
pada http://www.megasoftware.net/)
e) Untuk diversitas haplotype diilustrasikan dengan menggunakan analisis
Network yaitu program NETWORK 4.1.0.8 (Bandelt et al. 1999).
4) Laju Reproduksi Induk (LRI) dihitung dengan menggunakan rumus:
5) Mendapatkan gambaran pola pertumbuhan kambing dianalisis secara statistik
sebagai berikut:
5.1. Pertumbuhan dari masing-masing kelompok anak didekati dengan tiga
jenis fungsi yaitu:
Fungsi linier : = a + bX
Fungsi eksponensial: = abX
Fungsi kuadratik : = a + bX + cX2
dimana peubah bebasnya adalah umur sedangkan peubah tak bebasnya
adalah bobot badan. Pendekatan ini dilakukan berdasarkan
pengamatan kurva pertumbuhannya, kemudian ditentukan jenis fungsi
yang paling tepat untuk mengkaji pola pertumbuhannya.
5.2. Mengetahui efek pengelempokan atas sub-kelompok, atau dengan kata
lain efek dari perkawinan tetua yang telah mengalami seleksi massa,
maka diadakan pengujian dengan sidik ragam dan diteruskan dengan
pengujian terhadap pasangan rataan seperti A-2 dengan Kontrol, B-2
dengan Kontrol dan seterusnya, baik pada anak jantan maupun betina.
Pengujian ini dilakukan pada bobot badan dari umur 0 hari 30, 60, 90
dan 120 hari. Setelah itu dilakukan uji lanjut dengan prosedur Duncan
(Steel and Torrie 1980) dengan tahapan sebagai berikut:
Tahapan 1 : Menentukan nilai BNT (Beda Nyata Terkecil)
68
Tahapan 2 : Menentukan nilai jarak terdekat Duncan (JNTD)
di mana : = nilai baku faktor R (range) pada taraf
uji α jarak P (=part) dan derajat bebas galat v
5.3. Dilakukan analisis terhadap pertambahan bobot harian dari setiap
kelompok anak yang berasal dari semua kelompok persilangan dengan
rumus (Devendra 1966) :
Dimana : PBBH = Pertambahan Bobot Badan Harian
BBakhir = Bobot Badan Akhir
BBawal = Bobot Badan Awal
6) Merumuskan pola pemuliaan ternak kambing di Maluku Utara dilakukan
dengan Proses Hierarki Analitik (PHA). Langkah-langkah yang ditempuh
dalam analisis ini adalah : 1) Penilaian kriteria dan alternatif, yaitu
dilakukan melalui perbandingan berpasangan dari masing-masing kriteria
dan alternatif dengan menggunakan skala 1 sampai 9 untuk
mengekspresikan pendapat. Kriteria berdasarkan diskusi terfokus yang
berkontribusi terhadap program pemuliaan meliputi (1) sumberdaya
manusia, (2) sumberdaya ternak, (3) tujuan pemuliaan, (4) seleksi dan
breeding, (5) infrastruktur, (6) sosial budaya, (7) pasar, dan (8) parameter
genetik. Nilai dan defenisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan
Saaty (1983) dapat dilihat pada Tabel 17.
69
Tabel 17 Skala perbandingan Saaty Nilai Keterangan 1 3 5 7 9 2,4,6,8
Kriteria/Alternatif A sama penting dengan Kriteria/Alternatif B A Sedikit lebih penting dari B A Jelas lebih penting dari B A sangat jelas lebih penting dari B Mutlak lebih penting dari B Apabila ragu-ragu antara dua nilai yang berdekatan
Penentuan prioritas, untuk setiap kriteria dan alternatif perlu dilakukan
perbandingan berpasangan (pairwise comparisons). Nilai-nilai perbandingan
relative kemudian diolah untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh
alternatif. Baik kriteria kualitatif, maupun kuantitatif dapat dibandingkan sesuai
dengan pertimbangan-pertimbangan yang telah ditentukan untuk menghasilkan
bobot dan prioritas. Bobot dan prioritas ini dihitung dengan manipulasi matriks
atau melalui penyelesaian persamaan matematik dengan langkah sebagai berikut:
Langkah 1:
(i,j = 1,2,…n)
Dimana :
Langkah 2:
)
Dimana :
Langkah 3:
Bila perkiraan baik akan cenderung untuk dekat dengan nisbah . Jika n
juga berubah maka n diubah menjadi maks sehingga diperoleh: