TUGAS AGAMA
Oleh:
Kharishul I.
K2510041
PENDIDIKAN TEKNIK MESIN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU
PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2010
MANUSIA
Hakikat manusia
Manusia adalah mahluk paling sempurna yang pernah diciptakan
oleh Allah SWT. Kesempurnaan yang dimiliki oleh manusia merupakan
suatu konsekuensi fungsi dan tugas mereka sebagai khalifah dimuka
bumi ini. Al-Quran menerangkan bahwa manusia berasal tanah dengan
mempergunakan bermacam-macam istilah, seperti : Turab, Thien,
Shal-shal, dan Sualalah.
Hal ini dapat diartikan bahwa jasad manusia diciptakan Allah
dari bermacam-macam unsur kimiawi yang terdapat dari tanah. Adapun
tahapan-tahapan dalam proses selanjutnya, Al-Quran tidak
menjelaskan secara rinci. Akan tetapi hampir sebagian besar para
ilmuwan berpendapat membantah bahwa manusia berawal dari sebuah
evolusi dari seekor binatang sejenis kera, konsep-konsep tersebut
hanya berkaitan dengan bidang studi biologi. Anggapan ini tentu
sangat keliru sebab teori ini ternyata lebih dari sekadar konsep
biologi. Teori evolusi telah menjadi pondasi sebuah filsafat yang
menyesatkan sebagian besar manusia. Dalam hal ini membuat kita
para manusia kehilangan harkat dan martabat kita yang diciptakan
sebagai mahluk yang sempurna dan paling mulia.
Walaupun manusia berasal dari materi alam dan dari kehidupan
yang terdapat di dalamnya, tetapi manusia berbeda dengan makhluk
lainnya dengan perbedaan yang sangat besar karena adanya karunia
Allah yang diberikan kepadanya yaitu akal dan pemahaman. Itulah
sebab dari adanya penundukkan semua yang ada di alam ini untuk
manusia, sebagai rahmat dan karunia dari Allah SWT. {“Allah telah
menundukkan bagi kalian apa-apa yang ada di langit dan di bumi
semuanya.”}(Q. S. Al-Jatsiyah: 13). {“Allah telah menundukkan bagi
kalian matahari dan bulan yang terus menerus beredar. Dia juga
telah menundukkan bagi kalian malam dan siang.”}(Q. S. Ibrahim:
33). {“Allah telah menundukkan bahtera bagi kalian agar dapat
berlayar di lautan atas kehendak-Nya.”}(Q. S. Ibrahim: 32), dan
ayat lainnya yang menjelaskan apa yang telah Allah karuniakan
kepada manusia berupa nikmat akal dan pemahaman serta derivat
(turunan) dari apa-apa yang telah Allah tundukkan bagi manusia itu
sehingga mereka dapat memanfaatkannya sesuai dengan keinginan
mereka, dengan berbagai cara yang mampu mereka lakukan. Kedudukan
akal dalam Islam adalah merupakan suatu kelebihan yang diberikan
Allah kepada manusia dibanding dengan makhluk-makhluk-Nya yang
lain. Dengannya, manusia dapat membuat hal-hal yang dapat
mempermudah urusan mereka di dunia. Namun, segala yang dimiliki
manusia tentu ada keterbatasan-keterbatasan sehingga ada pagar-
pagar yang tidak boleh dilewati.
Di dalam diri manusia terdapat apa-apa yang terdapat di dalam
makhluk hidup lainnya yang bersifat khsusus. Dia berkembang,
bertambah besar, makan, istirahat, melahirkan dan berkembang biak,
menjaga dan dapat membela dirinya, merasakan kekurangan dan
membutuhkan yang lain sehingga berupaya untuk memenuhinya. Dia
memiliki rasa kasih sayang dan cinta, rasa kebapaan dan sebagai
anak, sebagaimana dia memiliki rasa takut dan aman, menyukai
harta, menyukai kekuasaan dan kepemilikan, rasa benci dan rasa
suka, merasa senang dan sedih dan sebagainya yang berupa perasaan-
perasaan yang melahirkan rasa cinta. Hal itu juga telah
menciptakan dorongan dalam diri manusia untuk melakukan pemuasan
rasa cintanya itu dan memenuhi kebutuhannya sebagai akibat dari
adanya potensi kehidupan yang terdapat dalam dirinya. Oleh karena
itu manusia senantiasa berusaha mendapatkan apa yang sesuai dengan
kebutuhannya, hal ini juga dialami oleh para mahluk-mahluk hidup
lainnya, hanya saja, manusia berbeda dengan makhluk hidup lainnya
dalam hal kesempurnaan tata cara untuk memperoleh benda-benda
pemuas kebutuhannya dan juga tata cara untuk memuaskan
kebutuhannya tersebut. Makhluk hidup lain melakukannya hanya
berdasarkan naluri yang telah Allah ciptakan untuknya sementara
manusia melakukannya berdasarkan akal dan pikiran yang telah Allah
karuniakan kepadanya.
Dewasa ini manusia, prosesnya dapat diamati meskipun secara
bersusah payah. Berdasarkan pengamatan yang mendalam dapat
diketahui bahwa manusia dilahirkan ibu dari rahimnya yang proses
penciptaannya dimulai sejak pertemuan antara spermatozoa dengan
ovum.
Didalam Al-Qur`an proses penciptaan manusia memang tidak
dijelaskan secara rinci, akan tetapi hakikat diciptakannya manusia
menurut islam yakni sebagai mahluk yang diperintahkan untuk
menjaga dan mengelola bumi. Hal ini tentu harus kita kaitkan
dengan konsekuensi terhadap manusia yang diberikan suatu
kesempurnaan berupa akal dan pikiran yang tidak pernah di miliki
oleh mahluk-mahluk hidup yang lainnya. Manusia sebagai mahluk yang
telah diberikan kesempurnaan haruslah mampu menempatkan dirinya
sesuai dengan hakikat diciptakannya yakni sebagai penjaga atau
pengelola bumi yang dalam hal ini disebut dengan khalifah. Status
manusia sebagai khalifah , dinyatakan dalam Surat All-Baqarah ayat
30. Kata khalifah berasal dari kata khalafa yakhlifu khilafatan atau
khalifatan yang berarti meneruskan, sehingga kata khalifah dapat
diartikan sebagai pemilih atau penerus ajaran Allah.
Namun kebanyakan umat Islam menerjemahkan dengan pemimpin atau
pengganti, yang biasanya dihubungkan dengan jabatan pimpinan umat
islam sesudah Nabi Muhammad saw wafat , baik pimpinan yang
termasuk khulafaurrasyidin maupun di masa Muawiyah-‘Abbasiah. Akan
tetapi fungsi dari khalifah itu sendiri sesuai dengan yang telah
diuraikan diatas sangatlah luas, yakni selain sebagai pemimpin
manusia juga berfungsi sebagai penerus ajaran agama yang telah
dilakukan oleh para pendahulunya,selain itu khalifah juga
merupakan pemelihara ataupun penjaga bumi ini dari kerusakan.
Dari uraian diatas dapat kita ambil bahwa manusia diciptakan
atau berasal dari tanah sebagaimana yang telah dilampirkan dalam
Al-Qur`an dan selain itu manusia sesuai dengan hakikatnya menurut
islam adalah sebagai pengelola atau penjaga bumi,selain itu
manusia juga merupakan penerus ajaran agama yang telah turun
temurun dilaksanakan oleh para ulama sebelum kita.
Martabat Manusia
“Dan aku tidak ciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka mengabdi
kepadaku” (Q.S. Adz-Dzariyaat : 56)
Ayat diatas tersebut merupakan dalil yang berkenaan tentang
keberadaan manusia di dunia. Manusia di dunia untuk mengabdi
kepada Allah SWT. Bentuk pengabdiannya tersebut berupa pengakuan
atas keberadaan Allah SWT, melaksanakan perintahNya serta menjauhi
laranganNya. Sebagai bentuk mengakui keberadaan Allah adalah
dengan mengikuti Rukun Iman dan Rukun Islam. Rukun Iman terdiri
dari enam perkara, yakni percaya kepada Allah SWT, Malaikat, Nabi-
nabi Allah, Kitab-kitab Allah, percaya kepada Hari Kiamat dan
percaya terhadap Takdir (Qadha dan Qadar) Allah SWT. Sebagai wujud
keimanan terhadap Allah SWT, Allah SWT menyatakan bahwa manusia
tidak cukup hanya meyakini didalam hati dan diucapkan oleh mulut,
tetapi manusia harus melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagai bagian dari mengabdi kepada Allah SWT adalah
menunaikan Rukun Islam, yaitu mengucapkan dua kalimat syahadat
sebagai karcis masuk Islam, melakukan shalat, membayar zakat,
melakukan puasa serta menunaikan ibadah haji. Dengan demikian
dapat disimpulkan keberadaan manusia diciptakan Allah untuk
menjadi manusia yang Islami (Islam yang benar). Menjadi Islam yang
benar adalah dengan mengerti, memahami dan melaksanakan dalam
kehidupan apa yang telah dilarangNya, dengan kata lain secara
konsisten melaksanakan Rukun Iman dan Rukun Islam.
Eksistensi manusia di dunia adalah sebagai tanda kekuasaan
Allah SWT terhadap hamba-hambaNya, bahwa dialah yang menciptakan,
menghidupkan dan menjaga kehidupan manusia. Dengan demikian,
tujuan diciptakannya manusia dalam konteks hubungan manusia dengan
Allah SWT adalah dengan mengimani Allah SWT dan memikirkan
ciptaanNya untuk menambah keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.
Sedangkan dalam konteks hubungan manusia dengan manusia serta
manusia dengan alam adalah untuk berbuat amal, yaitu perbuatan
baik dan tidak melakukan kejahatan terhadap sesama manusia, serta
tidak merusak alam. Terkait dengan tujuan hidup manusia dengan
manusia lain dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Tujuan Umum Adanya Manusia di Dunia
Dalam al-qur’an Q.S. Al-Anbiya ayat 107 yang artinya :
“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk Rahmat bagi semesta alam”
Ayat ini menerangkan tujuan manusia diciptakan oleh Allah SWT
dan berada didunia ini adalah untuk menjadi rahmat bagi alam
semesta. Arti kata rahmat adalah karunia, kasih sayang dan belas
kasih. Jadi manusia sebagai rahmah adalah manusia diciptakan oleh
Allah SWT untuk menebar dan memberikan kasih saying kepada alam
semesta.
2. Tujuan Khusus Adanya Manusia di Dunia
Tujuan khusus adanya manusia di dunia adalah sukses di dunia
dan di akhirat dengan cara melaksanakan amal shaleh yang merupakan
investasi pribadi manusia sebagai individu. Allah berfirman dalam
Q.S. An-Nahl ayat 97 yang artinya : “Barang siapa mengerjakan amal
shaleh baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka
sesungguhnya Allah SWT akan memberikan kepadanya kehidupan yang
baik dan akan diberi balasan kepada mereka dengan pahala yang
lebih baik dengan apa yang telah mereka kerjakan”.
3. Tujuan Individu Dalam Keluarga
Manusia di dunia tidak hidup sendirian. Manusia merupakan
makhluk sosial yang mempunyai ifat hidup berkelompok dan saling
membutuhkan satu sama lain.. Hampir semua manusia, pada awalnya
merupkan bgian dari anggota kelompok sosial yang dinamakan
keluarga. dalam Ilmu komunukasi dan sosiologi kelurga merupakan
bagian dari klasifikasi kelompak sosial dan termasuk dalam small
group atau kelompok terkecil di karnakan paling sedikit anggotanya
terdiri dari dua orang. Nanun keberadaan keluraga penting karena
merupakan bentuk khusus dalm kerangka sistem sosial secara
keseluruhan. Small group seolah-olah merupakan miniatur masyarakat
yang juga memiliki pembagian kerja, kodo etik pemerintahan,
prestige, ideologi dan sebagainya. Dalam kaitannya dengan tujuan
individu daln keluarga adalah agar individu tersebut menemukan
ketentraman, kebahagian dan membentuk keluarga sakinah, mawaddah
dan rahmah. Manusia diciptakan berpasang-pasangan. Oleh sebab utu,
sudah wajar manusia baik laki-laki dan perempuan membentuk
keluarga. Tujuan manusia berkelurga menurut Q.S. Al-Ruum ayat 21
yang artinya:
"Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-
istri dari jenismu sendiri, supaya kamu merasa tentram, dan dijadikan-Nya diantara
kamu rasa kasih sayang . Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda-tanda bagi kaaum yang mau berfikir."
Tujuan hidup berkeluarga dari setiap manusia adalh supaya
tentram. Untuk menjadi keluarga yang tentram, Allah SWT memberikan
rasa kasih sayang. Oleh sebab itu, dalam kelurga harus dibangun
rasa kasih sayang satu sama lain.
4. Tujuan Individu Dalam Masyarakat
Setelah hidup berkeluarga, maka manusia mempunyai kebutuhan
untuk bermasyarakat. Tujuan hidup bermasyarakat adalah keberkahan
dalam hidup yang melimpah. Kecukupan kebutuhan hidup ini
menyangkut kebutuhan fisik seperti perumahan, makan, pakaian,
kebutuhan sosial (bertetangga), kebutuhan rasa aman, dan kebutuhan
aktualisasi diri. Kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat mudah
diperoleh apabila masyarakat beriman dan bertakwa. Apabila
masyarakat tidak beriman dan bertakwa, maka Allah akan memberikan
siksa dan jauh dari keberkahan. Oleh sebab itu, apabila dalam
suatu masyarakat ingin hidup damai dan serba kecukupan, maka kita
harus mengajak setiap anggota masyarakat untuk memelihara iman dan
takwa. Allah berfirman :
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami
akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka
mendustakan itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS Al-Araaf : 96)
Pada dasarnya manusia memiliki dua hasrat atau keinginan
pokok, yaitu:
a. Keinginan untuk menjadi satu dengan manusia lain di
sekelilingnya yaitu masyarakat
b. Keinginan untuk menjadi satu dengan suasan alam di
sekelilingnya
Istilah masyarakat dalam Ilmu sosiologi adalah kumpulan
individu yang bertempat tinggal di suatu wilayah dengan batas-
batastertntu, dimana factor utama yang menjadi dasarnya adalh
interaksi yang lebih besar diantara anggot-anggotanya .
5. Tujuan Individu Dalam Bernegara
Sebagai makhluk hidup yang selalu ingin berkembang menemukan
jati diri sebagai pribadi yang utuh, maka manusia harus hidup
bermasyarakat/bersentuhan dengan dunia sosial. Lebih dari itu
manusia sebagai individu dari masyarakat memiliki jangkauan yang
lebih luas lagi yakni dalam kehidupan bernegara. Maka, tujuan
individu dalam bernegara adalah menjadi warganegara yang baik di
dalam lingkungan negara yang baik yaitu negara yang aman, nyaman
serta makmur.
6. Tujuan Individu Dalam Pergaulan Internasional
Setelah kehidupan bernegara, tidak dapat terlepas dari
kehidupan internasional / dunia luar. Dengan era globalisasi kita
sebagai makhluk hidup yang ingin tetap eksis, maka kita harus
bersaing dengan ketat untuk menemukan jati diri serta pengembangan
kepribadian. Jadi tujuan individu dalam pergaulan internasional
adalah menjadi individu yang saling membantu dalam kebaikan dan
individu yang dapat membedakan mana yang baik dan buruk dalam
dunia globalisasi agar tidak kalah dan tersesat dalam percaturan
dunia.
Fungsi dan Peran Manusia
Allah SWT berfirman bahwa fungsi dan peran manusia adalah
sebagai khalifah atau pemimpin di muka bumi. Allah berfirman dalam
Q.S. 2 : 30 yang artinya :
“Ingatlah ketika tuhanmu berfirman kepada para malaikat : “Sesungguhnya aku
hendak menjadikanmu sebagai khalifah di muka bumi”, mereka berkata : “Mengapa
engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
engkau dan mensucikan engkau?”. Allah berfirman : “Sesungguhnya aku mengetahui apa
yang tidak kamu ketahui”.
Dalam kamus Bahasa Indonesia, khalifah berarti pimpinan umat.
Menjadi pemimpin adalah fitrah setiap manusia. Namun karena satu
dan lain hal, fitrah ini tersembunyi, tercemar bahkan mungkin
telah lama hilang. Akibatnya, banyak orang yang merasa dirinya
bukan pemimpin. Mereka telah lama menyerahkan kendali hidupnya
pada orang lain dan lingkungan sekitarnya. Mereka perlu
“dibangunkan” dan disadarkan akan besarnya potensi yang mereka
miliki.
Kepemimpinan adalah suatu amanah yang diberikan Allah yang
suatu ketika nanti harus kita pertanggungjawabkan. Karena itu
siapa pun anda, di mana pun anda berada, anda adalah seorang
pemimpin, minimal memimpin diri sendiri. Kepemimpinan adalah
mengenai diri sendiri. Kepemimpinan adalah perilaku kita sehari-
hari. Kepemimpinan berkaitan dengan hal-hal sederhana seperti
berbakti kepada orang tua, tidak berbohong, mengunjungi kawan yang
sakit, bersilahturahmi dengan tetangga, mendengar keluh kesah
sahabat, dan sebagainya.
Kepemimpinan (Leadership) adalah kemampuan dari seseorang
(yaitu pemimpin atau leader) untuk mempengaruhi orang lain (yaitu
yang dipimpin atau pengikut-pengikutnya), sehingga orang lain
tersebut bertingkah laku sebagaimana dikehendaki oleh pemimpin
tersebut. Kadangkala dibedakan antara kepemimpinan sebagai
kedudukan dan kepemimpinan sebagai suatu proses sosial. Sebagai
kedudukan, kepemimpinan merupakan suatu kompleks dari hak-hak dan
kewajiban-kewajiban yang dapat dimiliki oleh seseorang atau suatu
badan. Sebagai suatu proses sosial, kepemimpinan meliputi segala
tindakan yang dilakukan seseorang atau suatu badan, yang
menyebabkan gerak dari warga masyarakat.
Allah SWT berfirman dalam Surat An-Nisa ayat 58-59 yang
artinya :
“Sesungguhnya Allah SWT menyuruh kamu menyampaikan amanah
kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu apabila
menetapkan suatu hukum diantara manusia supaya kamu menetapkan
dengan adil. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Hai orang-orang yang beriman taatlah Allah dan RasulNya, dan
orang-orang yang memegang kekuasaan diantara kamu, kemudian jika
kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalilah kepada Al-
Qur’an dan Hadits. Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian, yang demikian itu lebih utama dan lebih baik
akibatnya bagimu”.
Di dalam Surat An-Nisa ayat 58-59 tersebut dijelaskan kriteria
pemerintahan (kepemimpinan) yang baik, yaitu :
a. Pemerintah yang pemimpinnya menyampaikan amanat kepada
yang berhak dan berlaku adil.
b. Musyawarah pada setiap persoalan dan apabila terjadi
perselisihan maka hendaklah kembali kepada sumber hukum
Islam.
c. Pemerintahan yang memiliki sifat kooperatif antara rakyat
dan pemerintah, rakyat harus patuh dan taat pada peraturan
yang dibuat oleh pemerintah dalam hal ini baik dan benar
dan pemerintah harus benar-benar menjalankan pemerintahan
untuk kepentingan rakyat.
Keunggulan dan potensi manusia
Potensi diri adalah kekuatan dari individu yang masih
terpendam di dalam, yang dapat di wujudkan menjadi suatu kekuatan
nyata dalam kehidupan manusia. Apabila pengrtian potensi diri
dikaitkan dengan penciptaan manusias oleh Allah SWT, maka potensi
diri manusia adalah: kekutan manusia yang di berikan oleh Alah SWT
sejak dalm kandungan ibunya sampai akhir hayatnya yang masih
terpendam dalam dirinya , menunggu untuk diwujudkan menjadi
sesuatu yang bermanfaat dalam kehidupan diri manusia di dunia dan
di akhirat sesuai dengan tujuan diciptakannya manusia oleh Allah
SWT untuk mengabdi kepadanya.
Potensi diri manusia terdiri dari potensi fisik yaitu tubuh
manusia sebagai sebuah sistem yang paling sempurna bila
dibandingkan dengan makhlik Allah lainnya seperti: binatang, jin,
malaikat. Sedangkan potensi non fisik adalah hati, ruh, indera dan akal
pikiran. Potensi apapun yang dimiliki manusia masing-masing
memiliki fungsi dan perannya, oleh karenanya harus dimanfaatkan
dngan sebaik-baiknya agar dapat berguna bagi diri dan
lingkungannya.
Secara umum manisia yang dilahirkan normal kedunia ini telah
dilengkapi dengan otak. Para ahli Psikologi sepakat bahwa otak
manusia adalah sumber kekuatan yang luar biasa. Tugas otak selain
mengendalikan aktifitas fisik bagian bagian didalam tubuh
seperti ; paru-paru , jantung dan sebagainya. Juga berfungsi
sebagai untuk menghafal. Kegiatan-kegiatan yang memerlukan logika
seperti : berhitunh, menganalisa, bahasa. Aktivitas imajinasi,
intuisi kreativitas, inovasi dan sebagainya. Tugas otak melahirkan
kegiatan berfikir yang pada gilirannya dapat menghasilkan karya
nyata. Jadi otak adalah sumber kekuatan manusia untuk menghasilkan
karya melalui proses berfikir.
A. Tanggung Jawab ManusiaManusia diserahi tugas hidup yang merupakan amanat Allah dan harus
dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya. Tugas hidup yang dipikul manusia
di muka bumi adalah tugas kekhalifaan, yaitu tugas kepemimpinan , wakil
Allah di muka bumi, serta pengelolaan dan pemeliharaan alam.
Khalifah berarti wakil atau pengganti yang memegang mandat Tuhan
untuk mewujudkan kemakmuran di muka bumi. Kekuasaan yang diberikan
kepada manusia bersifat kreatif, yang memungkinkan dirinya serta
mendayagunakan apa yang ada di muka bumi untuk kepentingan hidupnya.
Sebagai khalifah, manusia diberi wewenang berupa kebebasan memilih
dan menentukan, sehingga kebebasannya melahirkan kreatifitas yang
dinamis. Kebebasan manusia sebagai khalifah bertumpu pada landasan
tauhidullah, sehingga kebebasan yang dimilikitidak menjadikan manusia
bertindak sewenang-wenang.
Kekuasaan manusia sebagai wakil Tuhan dibatasi oleh aturan-aturan
dan ketentuan-ketentuan yang telah digariskan oleh yang diwakilinya,
yaitu hokum-hukum Tuhan baik yang baik yang tertulis dalam kitab suci
(al-Qur’an), maupun yang tersirat dalam kandungan alam semesta (al-
kaun). Seorang wakil yang melanggar batas ketentuan yang diwakili
adalah wakil yang mengingkari kedudukan dan peranannya, serta
mengkhianati kepercayaan yang diwakilinya. Oleh karena itu, ia diminta
pertanggungjawaban terhadap penggunaan kewenangannya di hadapan yang
diwakilinya, sebagaimana firman Allah dalam QS 35 (Faathir : 39) yang
artinya adalah :
“Dia-lah yang menjadikan kamu khalifah-khalifah dimuka bumi. Barang
siapa yang kafir, maka (akibat) kekafiranorang-orang kafir itu tidak
lain hanyalah akan menambah kemurkaan pada sisi Tuhannya dan kekafiran
orang-orang yang kafir itu tidak lainhanyalah akan menambah kerugian
mereka belaka”.
Kedudukan manusia di muka bumi sebagai khalifah dan juga sebagai
hamba allah, bukanlah dua hal yang bertentangan, melainkan suatu
kesatuan yang padu dan tak terpisahkan. Kekhalifan adalah realisasi
dari pengabdian kepada allah yang menciptakannya.
Dua sisi tugas dan tanggung jawab ini tertata dalam diri setiap
muslim sedemikian rupa. Apabila terjadi ketidakseimbangan, maka akan
lahir sifat-sifat tertentu yang menyebabkan derajad manusia meluncur
jatuh ketingkat yang paling rendah, seperti fiman-Nya dalam QS (at-
tiin: 4) yang artinya
“sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk
yang sebaik-baiknya”.
KETUHANAN YANG MAHA ESA
1. Keimanan Dan Ketakwaan
Iman atau kepercayaan merupakan dasar utama seseorang dalam
memeluk sesuatu agama karena dengan keyakinan dapat membuat orang
untuk melakukan apa yang diperintahkan dan apa yang dilarang oleh
keyakinannya tersebut atau dengan kata lain iman dapat membentuk
orang jadi bertaqwa
Iman menurut bahasa adalah percaya atau yakin, keimanan
berarti kepercayaan atau keyakinan. Dengan demikian, rukun iman
adalah dasar, inti, atau pokok – pokok kepercayaan yang harus
diyakini oleh setiap pemeluk agama Islam.
Kata iman juga berasal dari kata kerja amina-yu’manu – amanan
yang berarti percaya. Oleh karena itu iman berarti percaya
menunjuk sikap batin yang terletak dalam hati. Dalam surat Al-
Baqarah 165 dikatakan orang beriman adalah orag yang amat sangat
cinta kepada Allah.Oleh karena iu beriman kepada Allah berarti
amat sangat terhadap ajaran Allah yaitu Al-Quran.
Pada setiap agama, keimanan merupakan unsure pokok yang harus
dimiliki oleh setiap penganutnya. Jika kita ibaratkan dengan
sebuah bangunan, keimanan adalah pondasi yang menopang segala
sesuatu yang berada diatasnya, yang kokoh tidaknya bangunan itu
sangat tergantung pada kuat tidaknya pondasi tersebut.. Meskipun
demikian, keimanan saja tidak cukup. Ia harus diwujudkan dengan
amal perbuatan yang baik, yang sesuai dengan ajaran agama yang
kita anut. Keimanan tidaklah sempurna, jika diyakini oleh hati,
diikrarkan oleh lisan, dan dibuktikan dalam segala perilaku
kehidupan sehari – hari.
Keimanan adalah peebuatan yang bila diibaratkan pohon,
mempunyai pokok dan cabang. Bukankah sering kit abaca atau dengar
sabda Rasullah saw. Yang kita jadikan kata – kata mutiara,
misalnya malu adalah sebagian dari iman, kebersihan sebagian dari
iman, cinta bangsa dan Negara sebagian dari iman, bersikap ramah
sebagian dari iman, menyingkirkan duri atau yang lainnya yang
dapat membuat orang sengsara dan menderita, itu juga sebagian dari
iman. Diantara cabang – cabang keimanan yang paling pokok adalah
keimanan kepada Allah SWT.
Taqwa berasal dari kata waqa, yaqi , wiqayah, yang berarti
takut, menjaga, memelihara dan melindungi.Sesuai dengan makna
etimologis tersebut, maka taqwa dapat diartikan sikap memelihara
keimanan yang diwujudkan dalam pengamalan ajaran agama Islam
secara utuh dan konsisten ( istiqomah ). Karakteristik orang –
orang yang bertaqwa, secara umum dapat dikelompokkan kedalam lima
kategori atau indicator ketaqwaan.
1. Iman kepada Allah, para malaikat, kitab – kitab dan para
nabi. Dengan kata lain, instrument ketaqwaan yang pertama ini
dapat dikatakan dengan memelihara fitrah iman.
2. Mengeluarkan harta yang dikasihnya kepada kerabat, anak
yatim, orang – orang miskin, orang – orang yang terputus di
perjalanan, orang – orang yang meminta – minta dana, orang – orang
yang tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kewajiban
memerdekakan hamba sahaya. Indikator taqwa yang kedua ini, dapat
disingkat dengan mencintai sesama umat manusia yang diwujudkan
melalui kesanggupan mengorbankan harta.
3. Mendirikan solat dan menunaikan zakat, atau dengan kata
lain, memelihara ibadah formal.
4. Menepati janji, yang dalam pengertian lain adalah
memelihara kehormatan diri.
5. Sabar disaat kepayahan, kesusahan dan diwaktu perang, atau
dengan kata lain memiliki semangat perjuangan.
Hubungan taqwa dengan Allah SWT
Seseorang yang bertaqwa ( muttaqi ) adalah orang yang
menghambakan dirinya kepada Allah dan selalu menjaga hubungan
dengan-Nya setiap saat. Memelihara Hubungan dengan Allah terus
menerus akan menjadi kendali dirinya sehingga dapat menghindar
dari kejahatan dan kemungkaran dan membuatnya konsisten terhadap
aturan – aturan Allah. Karena itu inti ketaqwaan adalah
melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya.
Memelihara hubungan dengan Allah SWT dimulai dengan
melaksanakan tugas perhambaan dengan melaksanakan ibadah secara
sungguh – sungguh ( khusuk ) dan ikhlas seperti mendirikan solat
dengan khusuk dan penuh penghayatan sehingga solat memberikan
bekas dan memberi warna dalam kehidupannya. Melaksanakan puasa
dengan ikhlas melahirkan kesabaran dan pengendalian diri. Zakat
mendatangkan sikap peduli dan menjauhkan diri dari ketamakan dan
kerasukan. Dan haji mendatangkan sikap persamaan, menjauhkan dari
takabur dan mendekatkan diri kepada Allah.
Memelihara hubungan dengan Allah dilakukan juga dengan
menjauhi perbuatan yang dilarang Allah, yaitu perbuatan dosa dan
kemungkaran. Melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Allah
pada dasarnya adalah bentuk – bentuk prilaku yang lahir dari
pengendalian diri atau mengendalikan hawa nafsu yang ada dalam
dirinya.
Hubungan taqwa dengan Sesama Manusia
Hubungan dengan Allah menjadi dasar bagi hubungan sesama
manusia. Orang yang bertaqwa akan dapat dilihat dari peranannya di
tengah – tengah masyarakat. Sikap taqwa tercermin dalam bentuk
kesediaan untuk menolong orang lain, melindungi yang lemah dan
berpihakan pada kebenaran dan keadilan. Karena itu, orang yang
taqwa akan menjadi motor penggerak gotong royong dan kerja sama
dalam segala bentuk kebaikan dan kebajikan.
Allah menjabarkan cirri – cirri orang yang bertaqwa dengan
cirri – cirri perilaku yang berimbang antara pengabdian formal
kepada Allah dengan hubungan sesame manusia.
Pada surat Al – Baqarah ayat 177, menerangkan bahwa diantara
cirri – cirri orang bertaqwa itu ialah orang – orang yang beriman
kepada Allah, Hari kemudian, malaikat – malaikat, kitab – kitab
Allah. Aspek – aspek tersebut merupakan dasar keyakinan yang
dimiliki orang yang taqwadan dasar hubungan dengan Allah dalam
bentuk ubudiah. Selanjutnya Allah menggambarkan hubungan
kemanusiaan, yaitu mengeluarkan harta, dan orang – orang yang
menepati janji. Dalam ayat itu Allah menggambarkan dengan jelas
dan indah, bukan saja karena aspek tenggang rasa terhadap sesame
manusia dijelaskan secara terurai, yaitu siapa saja yang mesti
diberi tenggang rasa, tetapi juga mengeluarkan harta diposisikan
diantara aspek keimanan dan sholat.
A. Filsafat Ketuhanan
Tuhan atau Allah hakekatnya adalah cermin bagi diri manusia
karena DIA menjadikan cermin ini sebagai jembatan antara manusia
dan DIA. DIA yang sering disalah artikan yakni disamakan dengan
Tuhan atau Allah, padahal DIA adalah ESA. Esa artinya tidak
berbilang, tidak ternamakan, tidak terfikirkan,tidak pula
terusahakan,tidak terkenali. DIA satu-satunya ZAT, satu-satunya
yang mampu.Yang lainnya bukan zat dan tidak berkemampuan, tidak
pernah mampu memohon/berdoa kepada DIA, dan tidak pantas DIA
menerima doa/permohonan, karena DIA adalah ABSOLUT tidak mengalami
usaha/perbuatan, tidak mengalami proses berfikir, sehingga DIA
tidak pernah terkait hubungan sebab-akibat/perbuatan. Sebaliknya
manusia adalah kumpulan USAHA/proses berfikir dan terkait hubungan
sebab akibat dari kumpulan keinginan/pengorbanan, bukan kemampuan
dan zat sebagaimana DIA. Tuhan atau Allah adalah cermin yang dapat
difikirkan dan dapat dirasakan, dan mempunyai nama dan sifat yang
dapat dikenali manusia sekaligus karena Allah adalah cermin, maka
Allah adalah titik terdekat manusia dengan DIA. Dengan demikian
perintah beriman kepada Allah semestinya diartikan bahwa manusia
hendaklah berusaha membuktikan adanya cermin (Allah) dalam dirinya
dimana ia bercermin dan mengenali dirinya sehingga ia menerima
tanda-tanda adanya DIA. Al Quran adalah siarnya Allah kepada
manusia yang menjelaskan fungsi CERMIN agar manusia tidak
bercermin kepada selain Allah, dalam usaha manusia mencari tanda-
tanda adanya DIA. Semestinya manusia berdoa demikian ” Dengan
menyebut nama Allah (BERCERMIN) agar diberikan kebaikan didunia
dan di akhirat”. Perkataan ‘Bismillahirrahmanirrahim’ mengandung
arti ” dengan menyebut nama Allah (BERCERMIN) agar mendapatkan
Kasih dan Sayang”. Jadi sebenarnya ,kebaikan dunia dan akhirat,
pengasih dan penyayang itu ada dalam diri manusia sendiri. Dengan
demikian semua sifat atau perbuatan mengasihi, menyayangi,
mencipta, menguasai, melihat, mengetahui, dsb adalah murni sifat
manusia, yakni hasil fikiran yang terkait proses sebab akibat.
Adalah salah menyatakan bahwa DIA bersifat dan berbuat, bahkan
energi/kekuatan untuk melakukan semua sifat dan perbuatan itu
hanyalah DIA, karena itu DIA lah satu-satunya ZAT dan yang Mampu.
Allah adalah esensi syahadat. Syahadat adalah esensi ikhlas.
Ikhlas adalah esensi sabar. Sabar adalah esensi lindungan, dan
kasih sayang Allah. lindungan Allah adalah esensi ibadah, dan
kasih sayang Allah adalah esensi amal shaleh. Allah adalah CERMIN
— yang menampilkan citra/bayangan benda didepannya dengan apa
adanya, agar manusia yang melihat ke cermin tsb, mendapati dirinya
sendiri –mengenali dirinya sendiri–. Menyembah DIA adalah
mustahil, karena DIA diluar fikiran manusia, DIA adalah ESA/HAQ,
ZAT yang MAMPU dan BENAR. semua bentuk ibadah semestinya(sholat,
dzikir, puasa dll) bertujuan agar manusia senantiasa menaati Allah
(bercermin), karena sebelumnya fikiran dan hawa nafsu manusia
telah menguji dirinya sendiri, dan hasilnya adalah bahwa fikiran
dan hawa nafsu TIDAK PERNAH BENAR-BENAR MAMPU dalam hal apapun.
karena itu, Sholat yang maknanya mengingat Allah sesungguhnya
adalah bercermin diri (bagi fikiran dan hawa nafsu), dan jika
tidak diikuti (tidak bercermin diri) maka menurut fikiran dan hawa
nafsu Allah telah MATI. dan yang rugi hanyalah manusia sendiri
HUKUM
A. KETAATAN KEPADA HUKUM TUHAN
Sesungguhnya di dalam hidup ini kita tidak dapat
melepaskan diri daripada memberi perintah dan diperintah.
Cuma yang menjadi pertimbangannya ialah suatu perintah yang
dikeluarkan itu patut atau tidak, dan menepati kehendak
syarakat tidak. Selagi perintah tersebut keluar daripada
mulut manusia biasa,pertimbangan tersebut wajib dilakukan,
melainkan perintah yang datang daripada Allah SWT dan
Rasulullah S.A.W.
Suruhan yang tidak boleh disanggah dan pertikaikan
hanyalah perintah Allah SWT. Setiap kali Allah menyuruh hamba
Allah dengan satu perintah, maka Hamba Allah itu tidak ada
pilihan melainkan melakukan perintah itu dengan penuh ikhlas
dan semaksima yang mampu. Allah S.W.T. tidak sesekali
memerintahkan hamba-Nya dengan satu perintah yang tidak mampu
dilakukan kerana firman Allah dari surah al-Baqarah ayat 286
yang bermaksud: "Allah tidak mentaklifkan (membebankan)
seseorang melainkan menurut kemampuan seseorang."
Oleh itu setiap perintah Allah pasti membawa kebaikan
kepada orang yang melaksanakan sama ada di dunia atau di
akhirat. Sementara segala larangan Allah S.W.T. pasti pula
membawa mudharat di dunia dan di akhirat.
Firman Allah dari surah al-Fath ayat 16 yang bermaksud:
"Jika kamu taat
(menjalankan perintah Allah), Allah akan mengurniakan kepada
kamu dengan balasan yang baik (di dunia dan di akhirat), dan
kalau kamu berpaling engkar seperti keingkaran kamu dahulu,
nescaya Allah akan menyiksakamu dengan siksaan yang tidak
terperi sakitnya."
Sesungguhnya tidak ada untungnya melawan perintah Allah
S.W.T., bahkan kerugian jugalah yang terpaksa ditanggung oleh
manusia.
Orang-orang yang degil dan terus menderhakai Allah
S.W.T. dengan tidak
mempedulikan perintah dan larangannya, seperti meninggalkan
sembahyang,
menderhaka kepada ibu bapa, mengkhianati amanah dan
tanggungjawab,
menyesatkan manusia daripada jalan Allah SWT dan lain-lain
akan mendapat dosa dan dimasukkan ke dalam neraka sekiranya
tidak diampun oleh Allah S.W.T.Firman Allah dari Surah an-
Nisa’ ayat 41 yang bermaksud: "Dan sesiapa yang derhaka
kepada Allah dan Rasulullah, dan melampaui batas-batas
syariatnya,akan dimasukkannya ke dalam api neraka,
berkekalanlah ia di dalamnya, dan baginya
azab yang menghinakan."
Sesudah manusia mentaati Allah dan Rasulullah, mereka
pula diperintah mentaati perintah manusia, termasuklah
pemerintah, ibu bapa, ulama’, ketua dan seterusnya.
Sungguhpun begitu, ketaatan kepada sesama manusia tidaklah
mutlak sifatnya. Ini bermakna ada perintah yang wajib ditaati
dan ada perintah yang haram ditaati.
Jelaslah di sini bahawa ketaatan kepada sesama manusia
menjadi wajib apabila suruhan–nya itu selari dengan kehendak
dan tuntutan syariat Allah S.W.T. Apabila suruhan itu
menyimpang daripada landasan syariat Allah maka pada masa itu
tidak lagi menjadi wajib, bahkan berdosa pula jika dituruti
seperti suruhan melakukan rasuah, membela dan menyokong
golongan yang batil, menyertai kumpulan ahli maksiat dan
sebagainya. Sabda Rasulullah S.A.W. dari Riwayat al-Bukhari
yang bermaksud: "Maka apabila disuruh dengan perkara maksiat,
tidak harus lagi dengar dan taat."
Oleh itu seorang Islam wajib patuh kepada perintah
ulama’. Seorang rakyat wajib patuh kepada pemerintah. Seorang
isteri wajib patuh kepada suami dan seorang anak wajib patuh
kepada ibu bapa. Kepatuhan itu wajib selagi perintah tersebut
tidak berlawanan dengan syariat Allah S.W.T.
Firman Allah dari Surah an-Nisa’ ayat 59 yang bermaksud:
"Wahai orang-orang yang beriman, taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu
kepada rasul,danorang-orang yang berkuasa di kalangan kamu. Maka
sekiranyakamuberselisihandidalam sesuatu perkara, maka hendaklah kamu
kembalikan kepada Allah dan Rasulullah (al-Quran dan al-Sunnah), jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah dan hari akhirat. Itulah lebih baik bagi kamu dan lebih
elok kesudahannya."
B. Fungsi Profetik Agama dalam Hukum
Dalam pandangan Islam, keberagamaan adalah fithrah
(sesuatu yang melekat pada diri manusia dan terbawa sejak
kelahirannya):
م ق�� أ�� �ك � ف� ه� ج�� و� ن� ي�� لد أ ل� ف ي� ن ة�� ح�� ر� ط ف� ي� اهلل� ت� ر� ال�� ط� �أس� ف� �أ ال�ن ه� ي� ل� ا ع�� ل� ل� ي�3 د ن� ت��5 لق� �خ ل� ك � اهلل� ل� �ن� ذ ي�� م ال�د ي� ق�� كن�� ال� ل�� ث�Cر� و� Eك أس ا�� �ا ال�ن ل�
مون�� عل� ي���Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah);
(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah.
(Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui, (QS Ar-Rum [30]: 30)
Ini berarti manusia tidak dapat melepaskan diri dari
agama. Tuhan menciptakan demikian, karena agama merupakan
kebutuhan hidupnya. Memang manusia dapat menangguhkannya
sekian lama -- boleh jadi sampai dengan menjelang
kematiannya. Tetapi pada akhirnya, sebelum ruh rmeninggalkan
jasad, ia akan merasakan kebutuhan itu. Memang, desakan
pemenuhan kebutuhan bertingkat-tingkat. Kebutuhan manusia
terhadap air dapat ditangguhkan lebih lama dibandingkan
kebutuhan udara. Begitu juga kebutuhan manusia makanan, jauh
lebih singkat dibandingkan dengan kebutuhan manusia untuk
menyalurkan naluri seksual. Demikian juga kebutuhan manusia
terhadap agama dapat ditangguhkan, tetapi tidak untuk
selamanya.
Ketika terjadi konfrontasi antara ilmuwan di Eropa
dengan Gereja, ilmuwan meninggalkan agama, tetapi tidak lama
kemudian mereka sadar akan kebutuhan kepada pegangan yang
pasti, dan ketika itu, mereka menjadikan "hati nurani"
sebagai alternatif pengganti agama. Namun tidak lama kemudian
mereka menyadari bahwa alternatif ini, sangat labil, karena
yang dinamai "nurani" terbentuk oleh lingkungan dan latar
belakang pendidikan, sehingga nurani Si A dapat berbeda
dengan Si B, dan dengan demikian tolok ukur yang pasti
menjadi sangat rancu.
Setelah itu lahir filsafat eksistensialisme, yang
mempersilakan manusia melakukan apa saja yang dianggapnya
baik, atau menyenangkan tanpa mempedulikan nilai-nilai.
Namun, itu semua tidak dapat menjadikan agama tergusur,
karena seperti dikemukakan di atas ia tetap ada dalam diri
manusia, walaupun keberadaannya kemudian tidak diakui oleh
kebanyakan manusia itu sendiri.
William James menegaskan bahwa, "Selama manusia masih
memiliki naluri cemas dan mengharap, selama itu pula ia
beragama (berhubungan dengan Tuhan)." Itulah sebabnya mengapa
perasaan takut merupakan salah satu dorongan yang terbesar
untuk beragama.
MORAL
Agama Sebagai Sumber Moral
Telah kita ketahui betapa pentingnya pendidikan moral bagi
anak. Pendidikan moral tidak berarti hanya memberi pengertian
tentang mana yang baik dan mana yang buruk menurut nilai atau
kesusilaan. Seperti ditegaskan oleh Dewey, yang dikutip M. Ngalim
Purwanto (1992 : 198), bahwa “ Pendidikan kesusilaan tidak akan
berhasil hanya dengan berpidato saja tentang yang baik dan yang
buruk”. Dalam dunia modern, orang kelihatan kurang mengindahkan
agama,. Anak-anak dibesarkan dan menjadi dewasa, tanpa mengenal
pendidikan agama, terutama pendidikan agama dalam rumah tangga,
dan hal ini terintegral di bagian yang menyertai kepribadian agama
dalam rumah tangga, dan hal ini terintegral di bagian yang
menyertai kepribadian dan sikap seseorang, Maka keyakinannya
itulah dikemudian hari akan mengawasi segala tindakan-tindakan,
perkataan bahkan perasaan, jika terjadi tarikan orang kepada
sesuatu yang nampaknya menyenagkan dan meggembirakan maka
keimanannya cepat bertindak apakah hal tersebut boleh ataukah
terlarang oleh agama, andaikan termasuk hal-hal yang terlarang.
Betapun tarikan luar tak diindahkan karena ia takut melaksanakan
yang terlarang oleh agama, dan hal inilah yang sebenarnya yang
menjadi titik perhatian para ahli yang mengemangkan dunia
pendidikan dan pengajaran, serta pengajaran agama Islam pada
khususnya. Akan tetapi sudah menjadi suatu strategi dari dunai
maju, dimana segala sesuatu hampir dapat dicapai ilmu pengetahuan,
sehingga keyakinan beragama mulai terdesak. Kepercayan Tuhan
tinggal sebagai symbol larangan-larangan dan suruhan-suruhan-Nya
tidak diindahkan lagi. Dengan longgarnya pegangan kepada ajaran
agama, maka hilanglah kekuatan pengontrol yang ada dalam dirinya.
Dengan demikian satu-satunya alat pengawas dan pengatur moral yang
dimilikinya adalah masyarakat dengan hukum serta pengaturannya,
dan biasanya pengawasan masyarakat dengan berbagai perangkat hukum
dan pengaturannya itu tidak sekuat pengawasan dari dalam diri
sendiri, karena pengawasan masyarakat itu datang dari luar, jika
orang itu tidak tahu tidak ada orang yang disangka perbuatannya
maka dengan senang hati orang itu berani berbuat atau melanggar
peraturan-perturan dan hukm-hukum sosial itu dan apabila ia dalam
masyarakat itu banyak orang yang melakukan pelanggaran moral,
dengan sendirinya orang yang kurang kenyakinannya maka akan mudah
pula meniru malukukan perbuatan pelanggaran-pelanggaran yang sama.
Dan yang lebih berbahaya dalam hal ini adalah orang yang pandai
tetapi tidak beragama ataupun tidak memiliki sebuah keyakinan
terhadap adanya Tuhan. Mereka itu dengan mudah menyelesaikan,
mengelabui dan membujuk orang kepada perbuatan-perbuatan yang
amoral. Maka untuk menjaga keamanan dan keterampilan masyarakat,
perlu diadakan pengawasan yang ketat, karena setiap orang dapat
menjaga dirinya sendiri, tidak mau melanggar hukum dan ketentuan-
ketentuan Tuhan-Nya. Semakin jauh agama, semakin susah memelihara
moral seseorang dalam masyarakat itu dan kacaulah suasana karena
semakin banyak pelanggar atas hak, hukum serta nilai-nilai moral.
Pembinaan moral seharusnya dilaksankan sejak anak masih kecil,
disesuaikan dengan kemampuan dan umurnya. karena setiap anak lahir
belum mengerti mana yang benar dan mana yang salah serta belum
tentu tahu batas-batas dan ketentuan moral yang berlaku dalam
lingkungannya.tanpa dibiasakan menanamkan sikap dan dianggap baik
untuk pertumbuhan moral, anak-anak dan dibesarkan tanpa mengerti
moral.jika perlu diingat bahwa pengertian tentang moral belum
tentu menjamin adanya tindakan moral. Banyak orang yang tahu
sesuatu perbuatan adalah nyata salah, akan tetapi dilakukannya
juga perbuatan tersebut. Moral adalah bukan sesuatu pelajaran yang
dapat dicapai hanya dengan mempelajarinya saja, tanpa membiasakan
hidup bermoral dari kecil.
Akhlak MuliaAKHLAK ialah tingkahlaku yang dipengaruhi oleh nilai-nilai
yang diyakini oleh seseorang dan sikap yang menjadi sebahagian
daripada keperibadiannya. Nilai-nilai dan sikap itu pula terpancar
daripada konsepsi dan gambarannya terhadap hidup. Dengan perkataan
lain, nilai-nilai dan sikap itu terpancar daripada aqidahnya iaitu
gambaran tentang kehidupan yang dipegang dan diyakininya
Aqidah yang benar dan gambaran tentang kehidupan yang tepat
dan tidak dipengaruhi oleh kepaisuan, khurafat dan falsafah-
falsafah serta ajaran yang paisu, akan memancarkan nilai-nilai
benar yang murni di dalam hati. Nilai-nilai ini akan mempengaruhi
pembentukan sistem akhlak yang mulia. Sebaliknya, jika aqidah yang
dianuti dibina di atas kepalsuan dan gambarannya mengenai hidup
bercelaru dan dipengaruhi oleh berbagai-bagai fahaman paisu, ia
akan memancarkan nilai-nilai buruk di dalam diri dan mempengaruhi
pembentukan akhlak yang buruk.
Akhlak yang baik dan akhlak yang buruk, merupakan dua jenis
tingkahlaku yang berlawanan dan terpancar daripada dua sistem
nilai yang berbeza. Kedua-duanya memberi kesan secara langsung
kepada kualiti individu dan masyarakat. lndividu dan masyarakat
yang dikuasai dan dianggotai oleh nilai-nilai dan akhlak yang baik
akan melahirkan individu dan masyarakat yang sejahtera. Begitulah
sebaliknya jika individu dan masyarakat yang dikuasai oleh nilai-
nilai dan tingkahlaku yang buruk, akan porak peranda dan kacau
bilau. Masyarakat kacau bilau, tidak mungkin dapat membantu
tamadun yang murni dan luhur.
Sejarah membuktikan bahawa sesebuah masyarakat itu yang
inginkan kejayaan bermula daripada pembinaan sistem nilai yahg
kukuh yang dipengaruhi oleh unsur-unsur kebaikan yang terpancar
daripada aqidah yang benar. Masyarakat itu runtuh dan tamadunnya
hancur disebabkan keruntuhan nilai-nilai dan akhlak yang terbentuk
daripadanya. Justeru itu, akhlak mempunyai peranan yang penting di
dalam kehidupan dan dalam memelihara kemuliaan insan serta
keluhurannya. Martabat manusia akan menurun setaraf haiwan
sekiranya akhlak runtuh dan nilai-nilai murni tidak dihormati dan
dihayati. Oleh kerana itu Rasulullah s.a.w. bersabda yang
bermaksud:
'Sesungguhnya aku diutus untuk melengkapkan akhlak yang
mutia. (Riwayat al-Baihaqi)
Para sarjana dan ahli fikir turut mengakui pentingnya
akhlak di dalam membina keluhuran peribadi dan tamadun manusia.
akhlak yang mulia menjadi penggerak kepada kemajuan dan
kesempurnaan hidup. Sebaliknya, akhlak yang buruk menjadi pemusnah
yang berkesan dan perosak yang meruntuhkan kemanusiaan serta
ketinggian hidup manusia di bumi ini.
Kepentingan akhlak dalam kehidupan dinyatakan dengan jelas
dalam. Al-Ouran menerusi berbagai-bagai pendekatan yang meletakkan
al-Ouran sebagai sumber pengetahuan mengenai nitai dan akhlak yang
paling terang dan jelas. Pendekatan al-Quran dalam menerangkan
akhlak yang mulia, bukan pendekatan teoritikal tetapi dalam bentuk
konseptual dan penghayatan. akhlak yang mulia dan akhlak yang
buruk digambarkan dalam perwatakan manusia, dalam sejarah dan
dalam realiti kehidupan manusia semasa, al-Ouran diturunkan.
Al-Quran menggambarkan bagaimana aqidah orang-orang
beriman, kelakuan mereka yang mulia dan gambaran kehidupan mereka
yang penuh tertib, adil, luhur dan mulia. Berbanding dengan
perwatakan orang-orang kafir dan munafiq yang jelek dan
merosakkan. Gambaran mengenai akhlak mulia dan akhlak keji begitu
jelas dalam perilaku manusia blepanjang sejarah. Al-Quran juga
menggambarkan bagaimana perjuangan para rasul untuk menegakkan
nilai-niiai mulia dan murni di dalam kehidupan dan bagaimana
mereka ditentang oleh kefasikan, kekufuran dan kemunafikan yang
cuba menggagalkan tertegaknya dengan kukuh akhlak yang mulia
sebagai teras kehidupan yang luhur dan murni itu.
Al-Quran sumber bagi hukum-hukum dan peraturan-peraturan
yang menyusun tingkahlaku dan akhlak manusia. Al-Quran menentukan
sesuatu yang haial dan haram, apa yang boleh dilakukan dan apa
yang tidak boleh dilakukan. Al-Quranmenentukan bagaimana
sepatutnya kelakuan manusia. Al-Quran juga menentukan perkara yang
baik dan tidak baik. Justeru itu al-Quran menjadi sumber yang
menentukan akhlak dan nilai-nilai kehidupan ini.
Al-Quran mengharamkan yang buruk dan keji serta melarang
manusia melakukannya. Al-Quranmelarang manusia minum arak, memakan
riba, bersikap angkuh dan sombong terhadap Allah, satu-satu kaum
menghina kaum yang lain. Al-Quran melarang pencerobohan, fitnah
dan berbunuhan. Al-Quranmelarang menyebarkan maklumat mengenai
perkara-perkara keji.
Al-Quran mengajak manusia supaya mentauhidkan Allah S.W.T.,
bertaqwa kepada-Nya, mempunyai sangkaan baik terhadap-Nya. Al-
Quran juga mengajak manusia berfikir, cinta kepada kebenaran,
bersedia menerima kebenaran. Malah mengajak manusia supaya berilmu
dan berbudaya ilmu.
Al-Quranjuga mengajak manusia supaya berhati lembut,
berjiwa mulia, sabar, tekun, berjihad, menegakkan kebenaran dan
kebaikan. Al-Quran mengajak manusia supaya bersatupadu,
berkeluarga dan mengukuhkan hubungan silaturrahim.
Jelaslah bahawa al-Ouran menjadi sumber nilai-nilai dan
akhlak mulia. Penampilan akhlak mulia dalam al-Ouran, tidak
bersifat teoritikal semata-mata, tetapi secara praktikal
berdasarkan realiti dalam sejarah manusia sepanjang zaman. Al-
Quran adalah sumber yang kaya dan berkesan untuk manusia memahami
akhlak mulia dan menghayatinya.
Top Related