Metodologi Studi Islam
Kontribusi yang diberikan Syeikh Abdurrauf
as-Singkel
kepada peradaban Islam Aceh hingga diangkatnya kepemimpinan Sultanah
DISUSUN OLEH:
HAFIZ MUBARRAQ HARIDHI
(121310050)
DOSEN PEMBIMBING:
KAMARUZZAMAN BUSTAMAM-AHMAD, Ph.D
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
FAKULTAS SYRIAH DAN EKONOMI ISLAM
1
HUKUM EKONOMI SYARIAH
DARUSSALAM, BANDA ACEH
2014
Kontribusi yang diberikan Syeikh Abdurrauf as-Singkel
kepada peradaban Islam Aceh hingga diangkatnya
kepemimpinan Sultanah
Abstrak
Kepemimpinan tiga periode kesultanan Aceh yaitu
dimulai setelah meninggalnya Sultan Iskandar Tsani yang
digantikan oleh Sultanah Safiatuddin (1050-1086H/ 1641-
1675M), Sultanah Naqiatuddin Syah (1086-1088H/1675-
1678M), Sultanah Zakiatuddin Syah (1088-1098H/ 1678-
1688M), dan Sultanah Keumalat Syah (1098-1106H/ 1688-
1699M) merupakan sebuah fenomena yang apabila dilihat
dari segi kondisi cultural dan pemahaman keagamaan
masyarakat Aceh pada masa tersebut merupakan sebuah
fenomena yang sangat luar biasa, bahkan dalam dunia,
ketika sebuah kerajaan dipimpin oleh seorang wanita.
Dalam bingkai sejarah Islam, mulai pasca wafatnya Nabi,
masa Khulafa’Rasyidin, Dinasti Umayyah, Absyiah sampai
dengan runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani,
kepemimpinan secara keseluruhan berada dalam
“genggaman” kaum laki-laki. Walaupun dijumpai beberapa
perempuan yang diangkat sebagai pemimpin, namun sangan
terbatas, karena dalam pemahaman ulama dan sebagian
2
besar umat Islam bahwa muatan surat an-Nisa’ ayat 34
telah mengakar dan menjadi landasan kuat. Di mana laki-
laki sebagai pemimpin dalam segala aspek, baik pemimpin
formal maupun informal, seperti dalam rumah tangga.
Pemahaman ini telah menjadi sesuatu yang tasenden dan
sakral, tokoh seperti al-Ghazali pun, mensyaratkan
criteria pemimpin salah satunya harus seorang laki-
laki. Bahkan Jumhur ulama sepakat tentang syarat
tersebut, karena didukung oleh hadist nabi.1
Berdasarkan paparan-paraparan apabila dikaitkan
dengan kondisi masyarakat Aceh pada abad ke-17,
merupakan seuatu hal yang lain dan berbeda dengan
pemahaman keislaman yang berkembang ketika itu. Secara
prinsipil, Aceh adalah bagian belahan dunia Islam yang
menurut Ibnu Batuta dalam suatu ekspedisinya ke Aceh,
bahwa ketika itu masyarakat Aceh menganut mazhab
Syafi’i bila dilihat dari konteks amalan keagamaan.
Namun, realitasnya kesultanan Aceh tidak seluruhnya
berada dalam dominasi kaum laki-laki tetapi dijumpai
adanya kepemimpinan wanita (ratu) yang dapat eksis yang
memimpin hingga hampir setengah abad lamanya dan
mendapat pengakuan dari semua pihak, baik ulama maupun
mayoritas masyarakat Aceh.2
Adapun dari fakta sejarah, ini semua tidak
terlepas dari pengaruh pemikiran ulama besar Aceh yaitu1 Pemerintah Povinsi Naggroe Aceh Darussalam, Aceh Serambi Mekkah, (Yogyakarta: Multi Solusindo, 2008) Hlm.256.2 Aceh Serambi Mekkah.Hlm.256.
3
Syeikh Nuruddun ar-Raniry dan Syeikh Abdurrauf as-
Singkel, yang mana penulis dalam tulisan ini akan
mengkaji mengenai Syeikh Abdurrauf as-Singkel beserta
semua sumbangsihnya baik dari segi pemikiran dan karya-
karyanya terhadap peradaban Islam Aceh yang sehingga
munculnya kepemimpinan wanita dalam sejarah
kepemimpinan kesultanan Aceh.
Kata Pengantar
4
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT., kerena
tanpa rida dan kekuatan yang diberikan-Nya makalah ini
tidak akan bisa diselesaikan. Salawat dan salam
tercurahkan kepada Nabi kita Muhammad SAW., karena atas
jasa beliaulah kita dapat menjadi manusia yang bermoral
dan berilmu pengetahuan seperti saat ini.
Makalah yang berjudul “Kontribusi yang diberikan Syeikh
Abdurrauf as-Singkel kepada peradaban Islam Aceh hingga
diangkatnya kepemimpinan Sultanah” ini kami buat dengan
menggunakan kajian studi pustaka unuk memenuhi salah
satu syarat dalam pembelajaran Metodologi Studi Islam.
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih banyak
kekurangannya. Kritik dan saran sangat kami butuhkan
untuk menyempurnakan makalah ini.
Semoga apa yang kami sajikan dalam makalah ini
dapat memberikan sumbangsi dalam pencarian informasi di
dunia pendidikan. Penulis sangat berharap tulisan ini
dapat membantu pembaca dalam mempelajari salah satu
bagian dari Sejarah Peradaban Islam Aceh.
5
Penulis
BAB I
Pendahuluan
A. Pendahuluan
Dalam sejarah telah tercatat kerajaan Islam Aceh
yang memiliki nama yang besar dan dan kontribusi yang
besar terhadap tersebarnya cahaya Islam keseluruh
plosok Nusantara. Yang bermula pada kerajaan Islam
Pasai, di pase Aceh bagian Timur hingga berdirinya
kerajaan Islam Darussalam yang besar pada masa
Kesultanan Aceh yang masyhur. Mereka telah mencapai
masa-masa kegemilangannya yang sampai saat ini masih
dikenang-kenang oleh masyarakat Aceh khususnya.
6
Kemajuan kerajaan Islam di Aceh dan kontribusinya
terhadap tersebarnya cahaya Islam keseluruh plosok
Nusantara sungguh tidak pernah terlepas dari peranan
ulama-ulama Aceh pada masa dulu yang memiliki peranan
begitu besar bagi kerajaan Islam Aceh dan tersebarnya
cahaya Islam ke plosok Nusantara. Salah satunya yang
menjadi topik tulisan ini, yaitu Syeikh Abdurrauf as-
Singkel yang akan dijelaskan panjang lebar pada bab
selanjutnya.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana Biografi Syeikh Abdurrauf, lahirnya,
tempat-tempat belajarnya ?
2. Apa Kontribusi Syeikh Abdurrauf bagi sejarah
peradaban Islam Aceh dan Nusantara ?
3. Terjadinya pergeseran kepemimpinan pada Kesultanan
Aceh, yang pada mulanya di pimpin oleh para sultan,
dan pada masa Syeikh Abdurrauf, beliau mendukung
kepemimpinan Kesultanan Aceh yang di pimpin oleh
para Sultanah, apa alasan beliau?
C. Tujuan pembahasan
7
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini selain
untuk memenuhi tugas mata Midterm mata kuliah
Metodologi Studi Islam, yaitu untuk memudahkan pembaca
dan tim penulis atau siapa saja yang ingin mempelajari
tentang Syeikh Abdurrauf. Baik biografinya, tempat-
tempat belajarnya, kitab-kitab dan guru-gurunya dan
lain-lain yang merupakan kontribusinya yang besar
terhadap perkembangan peradaban Islam Aceh dan
Nusantara. Dan dapat dipahami sebagai ilmu bagi masing-
masing individu yang mempelajari ilmu Sejarah Islam
Aceh.
8
BAB II
Biografi Syeikh Abdurrauf
Syeikh Abdurrauf Singkel adalah ulama terkenal
pada abad 17M. Ia dilahirkan lebih kurang pada tahun
1001H (1593 M)3 di Singkil bagian dari daerah Aceh yang
terletak di pantai Barat Sumatera yaitu kabupaten Aceh
Selatan atau sekarang sudah menjadi kabupaten sendiri,
yaitu Singkil. Nama lengkapnya ialah Abdurrauf bin Ali
al-Djawi al-Fansuri al-Singkili. Nenek moyangnya
berasal dari Persia yang datang ke Samudra Pasai pada
akhir abad ke-13. Abdurrauf lahir dalam keluarga ulama,
maka dapat dibayangkan aktivitas ilmiahnya sudah
dimulai sejak dini di bawah bimbingan orang tuanya
Syeikh Ali.4 Sejarawan mengatakan bahwa Syekh Ali Al-
3 Buletin Wisata Aceh, (Aceh: Dinas Pariwisata Profinsi Daerah Istimewa Aceh, 1993).hlm.2.4 Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Aceh Bumi Srikandi, (Yogyakarta: Multi Solusindo Press, 2008).hlm.168-169.
9
Fansuri ayahnya Syekh Abdurrauf merupakan abangnya
Syekh Hamzah Fansuri yang terkenal dengan pahamnya
Wahdatul Wujud.5
Ayahnya Syeikh Ali Al-Fansury seorang terkenal
yang membangun dan memimpin “Dayah Simpang Kanan”
dipedalaman singkil. Syeikh Abdurrauf mendapat
pendidikan di Dayah Simpang Kanan bersama dengan
pemuda-pemuda lainnya pada saat itu. Setelah selesai
menuntut ilmu di Dayah Simpang Kanan, Syeikh Abdurrauf
melanjutkan pelajarannya ke barus pada sebuah Dayah
Tinggi (Dayah Tengku Chik) yang di pimpin oleh
Ulama/pujangga besar Syeikh Hamzah Fansury. Di Barus
Syeikh Abdurrauf mempelajari Bahasa Arab, ilmu-ilmu
agama, sejarah, manthik, Filsafat, Sastra Arab/Melayu
dan juga bahasa Persia.
Dari Barus Syeikh Abdurrauf melanjutkan studinya
ke Samudera Pase untuk melanjutkan pelajarannya pada
Dayah Tinggi Syeh Syamsuddin As-Sumatrany yaitu seorang
ulama besar pengikut utama aliran Hamzah Fansury.
5 Aceh Serambi Mekkah.Hlm.251.
10
Syeikh Abdurrauf yang terkenal dengan julukan
Teungku Syiah Kuala, karena ia mendirikan sebuah pusat
pendidikan (rangkang) di dekat muara sungai Aceh atau
disebut kuala. Dia juga menguasai bahasa Arab, Urdu,
Persia, Melayu. Seorang ulma besar yang sukar dicari
tandingannya, politikus, dan negarawan yang sangat
ahli, pengarang yang amat subur. Sebagai negarawan dia
juga menjadi Qadi Malikul Adil di Zaman pemerintahan
para ratu. Telah menulis 21 kitab, yang terdiri dari 1
kitab tafsir, 2 kitab hadits, 3 kitab fiqh dan kitab-
kitab tasauf serta puisi ketuhanan. Kitab-kitab yang
meliputi berbagai bidang ilmu pengetahuan itu
dikarangnya dalam bahasa Arab dan Melayu.6
Ia sangat dimuliakan oleh rakyat Aceh dari sulu
sampai sekarang. Banyak legenda mengenai Syeikh
Abdurrauf yang terus hidup dan dikenal rakyat turun-
temurun. Archer dalam bukunya Muhammadan Mysticis in
Sumatra mengatakan: “syeikh Abdurrauf of Singkel, the
great Muslim Saint of Aceh, now better know by the name
of Teungku di Kuala” dan seterusnya. Winstetd dalam6 Aceh Serambi Mekkah.Hlm.251.
11
bukunya A history of classical Malay Literature menyebutkan: ….”has
survived in popular esteem as a saint” karena namanya tertancap
sangat dalam pada lubuk hati rakyat sebagai ulama dari
intelektual yang jenius pada zaman itu, maka sebagai
kenang-kenangan untuknya, Universitas Negeri yang ada
di Aceh telah mengambil namanya sebagai nama
universitas tersebut sehingga menjadi Universitas Syiah
Kuala, di singkat UNSYIAH.7
Biografinya, terutama masa mudanya, tidak terlalu
banyak diketahui. Literatur-literatur dan sumber
historis yang ada tidak banyak memberikan data untuk
itu, tahun kelahirannya tak diketahui dengan pasti, Dr.
R.A. Ringkes dan Sir Richard Winstedt memperkirakan
tahun 1515, sebagai tahun kelahirannya.8
Sesudah menerima pendidikan di kampung halamnnya
dan di ibu kota kerajaan Aceh, ia meneruskan studinya
ke tanah Arab pada usia 19 tahun setelah Syekh
Syamsuddin As-Sumatrany pindah ke Banda Aceh, karena
7 Aceh Serambi Mekkah.Hlm.252.8 Dr.P.Voorhoeve, Bayan Tajalli, (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1980).hlm.40-41.
12
telah diangkat oleh Sultan Iskandar Muda untuk menjadi
Qadhi Malikul Adil. Pada tahun 1642, ia berangkat ke
Mekkah. Selama sembilan belas tahun di tanah Arab,
Syeikh Abdurrauf menetap beberapa tahun di Yaman,
Mekkah, Madinah, Jeddah, Mokka, Zebid, Betal Fakih dan
beberapa tempat-tempat lain. Sedangkan gurunya yang
terkenal ialah Ahmad Qusyasyi di Madinah. Ahmad
Qusyasyi ini adalah seorang ulama terkenal di dunia
Islam pada waktu itu dan merupakan pemimpin Tarekat
Syattariah. Syeikh Abdurrauf juga berhasil
menyelesaikan studinya pada seorang ulama yang bernama
Molla Ibrahim-setelah wafatnya Syekh Ahmad Qusyasyi-,
yaitu salah satu pengikut Ahmad Qusyasyi yang terkenal.
Baru pada tahun 1661 ia kembali ke Aceh.9 Adapun guru-
guru yang mana Syekh Abdurrauf pernah belajar kepadanya
adalah sebagai berikut yang tertulis di bahagian
terakhir kitabnya yang terkenal yang menceritakan
riwayat pendidikannya “Umdatul-Mumtajin”:10
1. Abdulqadir Maurir di Mokha.
9 Aceh Serambi Mekkah.Hlm.252.10Dr.P.Voorhoeve.hlm.40-41.
13
2. Imam Ali At Tabari di Mekkah.
3. Abdulqadir Barkhali Mufti Jeddah.
4. Abdulwahid Al-Kusyairi di Baitel Faqih, Yaman.
5. Ibrahim Ibnu Abdullah Ja’man di Baitel Faqih.
6. Ibrahim Ibn. Muhammad Ja’nan di Baitel Faqih.
7. Ahmad Janah di Baitel Faqih.
8. Qadhi Ishaq bin Muhammad ja’man di Zabid.
9. Muhammad di Zabid.
10. Abdurrahim di Zabid.
11. Shiddiq Mizjaji di Zabid.
12. Ali Ibnu Muhammad Diba’ di Zabid.
13. Abdullah Al-Adani di Zabid.
14. Qadhi Muhammad di Al Lohaiyah.
15. Qadhi Umar Muhyiddin di Mauza’
16. Ahmad Al-Qusyasyi di Madinah.
17. Burhanuddin Maulana Ibrahim bin Hasan Al-
Qurani di Madinah.
18. Baharuddin Lahore dan Abdullah Lahore, India.
Selain belajar pada ulama-ulama tersebut Abdurrauf
Singkel telah bertemu pula dengan ulama-ulama besar
14
lainnya walawpun beliau tidak “beroleh mengaji pada
mereka itu. Tidak kurang dari 40 orang dari ukama-ulama
tersebut diantaranya:
1. Umar Fursan, mufti Mokha
2. Abdul Fatah Al-Khas, mufti Zabit
3. Qdhi Tajuddin Ibn. Ya’kub dari Mekkah
Dalam masa pengembaraannya Abdurrauf Singkel telah
bertemu segala sufi yang masyhur wilayatnya yaitu:
1. Ahmad Ibn Ujail
2. Abdulqasim Kusyarri’
3. Junaidi
4. Muhammad Al farwi
5. Ali Obali
6. Sayid Husein
7. Muhammad Khadir
8. Muhammad Al Baqi’
9. Sayid Thahir
10. Abdul Qadir Musyarri’
11. Muhammad Sutairi
12. Mirza Naqsyibandi
15
13. Muhammad ma’shum Naqsyibandi
14. Sayid Sulaiman
Dari deretan guru-gurunya tersebut, Abdurrauf
Singkel lebih lama belajar dengan Ibrahim bin Abdullah
Ja’man. Dari gurunya ini, ia belajar Ilmu Fiqih dan
Ilmu Tauhid yang disebutnya dengan ilmu thahir.11
Setelah mempelajari ilmu Thahir tersebut,
Abdurrauf Singkel ke Madinah untuk belajar ilmu Bathin
dari Ahmad Al-Qusyasyi. Tentang gurunya ini Abdurrauf
Singkel menyatakan “daripadanyalah faqir ini beroleh
jalan kepada Allah Ta’ala serta ia berbuat khidmad pada
ilmu bathin.12
Semasih Abdurrauf di Madinah, gurunya Ahmad
Qusyasyi maninggal dunia dan diganti oleh muridnya
Ibrahim bin Hasan Al-Qurani. Dari beliau inilah
Abdurrauf Singkel mendapat surat keterangan untuk
mengajar di Aceh.13 Ia juga belajar pada Syeikh
11 Dr.P.Voorhoeve.hlm.41.12 Dr.P.Voorhoeve.hlm.41.13 Dr.P.Voorhoeve.hlm.42.
16
Nuruddin Ar-Raniry yang kebetulan pada waktu itu sedang
berada di Mekkah.
Setelah pengembara menuntut ilmu bertahun-tahun
lamanya, maka pada tahun 1661 Abdurrauf Singkel kembali
ke Aceh. Dan sesudah itu mengabdikan dan mengajarkan
ilmu pengetahuannya, ia meninggal dunia pada tahun
1690. Kuburannya yang terletak di Kuala sungai Aceh
dianggap suci dan ramai dikunjungi orang.14
Sebagai seorang ahli hukum kenamaan, Syeikh
Abdurrauf menguasai segala bidang ilmu hukum, di
samping menguasai filsafatt, mantiq, Tauhid, sejarah,
Ilmu Bumi, Ilmu Falak, Ilmu Politik, dan sebagainya.
Dalam tahun 1063 H Syeikh Abdurrauftelah sampai kembali
di Banda Aceh, setelah dua tahun sebelumnya Syeikh
Nuruddin Ar-Raniry meninggalkan Aceh menuju ke Mekkah
selanjutnya kembali ke tanah airnya, Ranir Gujarat.
Dari Banda Aceh kemudian Syeikh Abdurrauf
melanjutkan perjalanan ke Singkil dan kemudian kembali
ke Banda Aceh untuk memangku jabatan selaku Qadi
14 Dr.P Voorhoeve.hlm.42.
17
Malikul Adil/ Mufti besar dan Syeikh Jamiah
Baiturrahim, kesemuanya itu untuk menggantikan Syeikh
Nuruddin Ar-Raniry. Semua jabatan tersebut dipangkunya
berturut-turut dalam masa pemerintahan para ratu yaitu
Ratu Safiatuddin, Ratu Waqiatuddin, Ratu Zakiatuddin,
dan Ratu Kamalat Syah.
Semasa pemerintahan tiga ratu yang terakhir, pada
hakikatnya yang memgang kendali pemerintahan adalah
Syeikh Abdurrauf dari belakang layar. Ratu Safiatuddin
(1641-1675) pernah mengirim Syeikh Abdurrauf ke Kudus,
Malaka (Malaysia), India, Baghdad, Turki, Mekkah dan
Madinah untuk menambah ilmu pengetahuannya.
Sekembalinya dari perjalanan itu ia lalu menulis
sebuah hukum yang bernama “Miraatut Thullah” yaitu atas
permintaan dari Ratu Safiatuddin sendiri. Kitab ini
kemudian di kirim ke berbagai negara dianataranya
kesemenanjung Malaysia, Johor, Kedah, Patani Thailand,
Perak, Pahang, dan Serawak. Selanjutnya Kitab tersebut
dikirim ke Sumatera Barat, Ulakan (Pariaman) Kerinci,
18
Banjar, Indragiri,Jawa, Banten, Jepara, Gresik,
Makasaar, Tidore, dan lain-lain.
Pada hari senin tanggal 23 bulan Syawal tahun 1106
H atau 1695 M Syeh Abdurrauf Syiah Kuala berpulang
kerahmatullah dalam usia 105 tahun15 dan dimakamkan
dekat muara sungai Aceh di ingkungan rangkang yang
didirikannya, yang letaknya lebih kurang 4 kilometer
sebelah Utara dari Banda Aceh.16 Pada batu nisannya
tertulis antara lain tulisan yang berbunyi “Al Waliyul
Maliki Syekh Abdurrauf bin Ali sebutan Walijul Mulki, menunjukkan
betapa besarnya peran Syekh Abdurrauf dalam kerajaan
Aceh pada waktu itu. Sesudah beliau meninggal, namanya
diabadikan dengan sebutan Syiah Kuala.17
Empat tahun setelah ia wafat, maka pada hari Rabu
tanggal 20 bulan Rabiul Akhir tahun 1110 H atau bulan
Oktober tahun 1699 M, Ratu Kemalat Syah pun diturunkan
dari takhta kerajaannya.
15 Buletin Wisata Aceh.hlm.4.16 Majalah pengetahuan/kebudayaan Sinar Darussalam, (Banda Aceh: No. 2 - April 1968 – Muharram 1388 – Th. Ke-I.118-11917 Aceh Serambi Mekkah.Hlm.254.
19
BAB III
Kontribusi Syeikh Abdurrauf terhadap peradaban Islam
Aceh
A. Membangun pusat keilmuan Islam
Sepulangnya ke Aceh setelah 19 tahun di tanah
Arab, ia mendirikan rangkang18 di dekat muara sungai
Aceh, yang letaknya lebih kurang 4 kilometer sebelah
Utara dari Banda Aceh yang menjadi pusat kerajaan Aceh18 Dayah
20
pada waktu itu. Dari berbagai penjuru Asia Tenggara,
muridnya datang ke rangkang tersebut untuk belajar.
Dengan demikian, Tarikat Syatariah yang telah di
pelajarinya di tanah Arab tersebar ke seluruh Indonesia
dan Malaysia adalah berkat usaha Syekh Abdurrauf dan
murid-muridnya yang terkenal, seperti Syekh Burhanuddin
di Ulakan, seorang ulama dan mubaligh terkenal
Minangkabau.19
B. Sumbangsih Abdurrauf yang berupa tulisan-tulisan
Disamping kegiatan Syekh Abdurrauf sebagai ulama
dan mubaligh, ia juga terus- menerus memperdalam
ilmunya dalam bidang hukum dan bidang-bidang lain.
Sebuah hasil karyanya terkenal di dalam ilmu hukum
adalah yang berjudul Hudayah Balighah ala Djum’at al
Muchasamah yang mengupas hukum Islam tentang bukti,
persaksian, dan sumpah palsu. Dan bahkan buah
pikirannya tersebut terus hidup sampai sekarang dan
melebur menjadi kaedah hukum adat dalam masyarakat
Aceh.20
19 Aceh Serambi Mekkah.Hlm.252.20 Aceh Serambi Mekkah Hlm.252.
21
Karya lainnya yang sangat terkenal dan naskahnya
masih tersimpan sampai sekarang antara lain berjudul
Miratul Tullab fi tasl Makhrifatu Ahkam Assyar’iyah li Malikul Wahhab
yang merupakan kitab yang dikarang atas permintaan
Sultanah Safiatuddin, kitab ini merupakan saduran dari
kitab fath wahhab, fath jawwad, dan tuhfatul muhtaj.
Kitab tersebut merupakan pengantar Ilmu Fikh menurut
mazhab Syafi’i dan isinya hampir sama dengan karya
Nuruddin ar-Raniry yang berjudul Sirathul Mustaqim.
Perbedaannya, Ar-Raniry dalam Siratul Mustaqim hanya
mengupas soal-soal peribadatan saja, sedangkan buku
Syekh Abdurrauf juga membahas soal-soal muamalah.
Kupasan mengenai pokok-pkok ajaran tasawuf dan dasar-
dasar pendirian Abdurrauf dalam bidang hukum termuat
dalam karyanya yang berjudul Kifayat al-Muhtahyin, Daqaiq al-
Huruf, Bayan Tajalli dan Umdat al-Muhtadin. Beliau juga telah
menyusun tafsir al-Qur’an ke dalam bahasa Jawi (Melayu)
yang berjudul Tarjuman al-Mustafid dan menterjemahkan
buku Mawaiz al Badi’a yang antara lain berisi 32 Hadist
22
Qursi. Beliau juga membuat karya tulis yang berbentuk
puisi yang diberi judul Sya’ir Makrifat.21
Adapun sangat banyak sekali karya-karya yang lain
yang berjumlah 21 kitab , yang terdiri dari 1 kitab
tafsir, 2 kitab hadits, 3 kitab fiqh dan kitab-kitab
tasauf, karya-karya beliau tersebut adalah :
1. Turjuman al-Mustafid (terjemah pemberi faedah),
merupakan kitab tafsir pertama dalam bahasa
melayu, kitab ini ditulis oleh Syeikh Abdurrauf
sekembalinya dari negeri Arab.
2. Mir’atuttullab fi tashil ma’rifat al-Ahkam asy-
Syariat li al-Malik al-Wahhab, kitab fiqh yang
ditulis olehnya atas permintaan Sulthanah Tajul
Alam Safiyatuddin Syah, isi kitab ini adalah
kajian tentang muamalat, termasuk dalam kitab ini
adalah kajian beliau yang membolehkan perempuan
sebagai qadhi dan pemimpin.
3. Al faraidh, risalah tentang hukum kewarisan dalam
Islam.
21 Aceh Serambi Mekkah Hlm.253.
23
4. Hidayah al-Balighah, kitab fiqh yang isimya
mengenai pembuktian dalam peradilan, kesaksian,
dan sumpah.
5. ’Umdat al Muhtajin ila suluk maslak al-Mufridin,
kitab tasauf yang isinya terdiri atas tujuh bab,
di akhir kitab ini Syeikh Abdurrauf menguraikan
silsilah tarekat Syattariyah sampai kepada Nabi
Muhammad SAW.
6. Kifayatul Muhtajin ila masyrah al-Muwahhidin al
Qailin bi Wahdat al-Wujud, berisi beberapa fragmen
mengenai ilmu tasauf.
7. Daqaiqul Huruf, yang isinya terhadap beberapa bait
syair Ibn Arabi
8. Bayan Tajalli, kitab ini berisi tentang penjelasan
Abdurrauf tentang zikir yang yang utama dibaca
ketika sakaratul maut
9. Tambihul Masyi Manshub ila Thariqi al-Qushasi,
isinya mencerminkan perjalanan tasauf Syeikh
Abdurrauf dengan gurunya Ahmad Qushasi.
10. Attariqat as-Syattariyah, berisi tentang
pokok ajaran Syattariyah.
24
11. Mawaizil Badiah, berisi tiga puluh dua hadits
beserta syarahnya yang berhubungan dengan tauhid,
akhlaq, ibadat dan tasauf.
12. Penjelasan tentang Matan al-Arba’in an-
Nawawi.
13. Bayan al-Arkan, pedoman dalam melaksanakan
ibadat.
14. Risalah adab Murid dengan Syeikh.
15. Risalah Mukhtasar fi Bayan Syurut as-Syeikh
wa al-Murid, yang berisi tentang kewajiban-
kewajiban murid terhadap guru mereka terutama
dalam metode zikir metode tarekat Syattariyah.
16. Syams al-Makrifat, uraian berisi tasauf, ilmu
ma’rifat yang beliau ambil dari Ahmad Qushasi.
17. Majmu’ Masail, berisi tasauf terutama uraiaan
menyangkut kehidupan beragama.
18. Bayan al-Aghmadal Masail wa Sifat al-Wajibat
li Rabb al-Ard wa as-Samawati, isinya tentang al-
Akyan as-sabithah, sebuah masalah yang dianggap
sangat rumit oleh para sufi termasuk oleh Nuruddin
ar-Raniry.
25
19. Lubb al-Kasy wa al-Bayan lima yarahu al-
Muqtadar bi al-Iyan, isinya tentang sakaratul
maut.
20. Sullam al-Mustafidhin, penjelasan tentang
nazam-nazam yang dikarang oleh gurunya al Qushasi.
21. Pernyataan tentang zikir yang paling utama
pada saat sakaratul maut, yaitu la ilaa ha illa
Allah.
C. Sumbangsih Abdurrauf dalam pemikiran
Tarekat Syatariah
Seperti yang telah dikemukakan diatas, Syekh
Abdurrauf adalah seorang sufi dari aliran Syatariah dan
bermazhab Syafi’i. Fahamnya dalam tasawuf tergolong
dalam faham yang dinamakan Wihdatusysyuhud, jadi tiada
berbeda dengan faham dan pendirian Nuruddin ar-Raniry.
Ketika berpolemik menentang ajaran-ajaran Hamzah
Fansury dan Syamsyuddin as-Samarthani, Abdurrauf cukup
tegas dan keras, tetapi tetap bijaksana sehingga
kekacauan dan pertentangan agama tidak terjadi dalam
masyarakat.22
22 Aceh Serambi Mekkah.Hlm.253.
26
Syekh Abdurrauf mempelajari tarekat syatariah pada
masa ia melakukan rihlah keilmuannya ke tanah Arab
selama kurang lebih 19 tahun. Disana ia belajar kepada
ulama terkemuka dalam bidang tarekat dan tasawuf ketika
itu, yaitu Syekh Ahmad Qusyasyi yang merupakan ulama
sekaligus pemimpin tarekat syatariah pada masa itu.
Syeikh Abdurrauf berhasil menyelesaikan studinya
pada seorang ulama yang bernama Molla Ibrahim-setelah
wafatnya Syekh Ahmad Qusyasyi-, yaitu salah satu
pengikut Ahmad Qusyasyi yang terkenal. Dan dari beliau
inilah Syeikh Abdurrauf Singkel mendapat surat
keterangan untuk mengajar di Aceh. Baru pada tahun 1661
ia kembali ke Aceh.23
Merumuskan hukum-hukum Islam
Kesanggupan Abdurrauf dalam merumuskan hukum-hukum
Islam dalam ungkapan yang mengagumkan dan fleksibel,
telah menyebabkan syariat Islam dilaksanakan dengan
penuh kesadaran oleh rakyat Aceh. Di sinilah letak
kebesaran Abdurrauf, dan karena itu pula beliau
23 Aceh Serambi Mekkah.Hlm.252.
27
memperoleh kehormatan yang luar biasa seperti ditulis
P.Voorhoeve dalam Encyclopedia of Islam: “Abd al-Rauf Enjoyed such
veneration that he was even accorded the Honour of having been the
bearer of Islam to Achech.24
Syeh Abdurrauf telah menjalankan tata hukum
Kerajaan Aceh dengan sempurna. Ia mengatur adat
istiadat dan kedudukan hukum dalam kerajaan, dan hukum
Islam merupakan hukum tertinggi di dalam kerajaan.
Sehingga di Kerajaan Aceh waktu itu terbentuk suatu
struktur hukum yang sangat baik dan rapi dengan
bahagiannya masing-masing sebagai berikut:25
1. Adat, diserahkan kepada kebijaksanaan Sultan
serta pembesar-pembesar kerajaan.
2. Hukum ditangani oleh Syeh Abdurrauf sebagai juru
fatwa atau Qadhi Malikul Adil.
3. Qanun (adat sopan santun) dan tata tertib
perkawinan ditangani oleh Putroe Phang (Putri
Kamaliah yaitu Permaisuri Sultan Iskandar Muda))
24 Aceh Serambi Mekkah.Hlm.253.25 Peserta Studi Purna Dosen-dosen IAIN seluruh Indonesia, kumpulan paper-paper tentang beberpa ulama Aceh dan tarekat-tarekat di Indonesia,(Yogyakarta: 1974/1975).
28
4. Resam (bagian dari adat) diserahkan kepada
kekuasaan Panglima dalam masing-nasing negeri
kekuasaan.
Sistem hukum ini sudah menjadi pribahasa yang
sangat terkenal di Aceh, yang berbunyii sebagai
berikut:
- Adat bak Po Teumeureuhom,
- Hukom bak Syiah Kuala,
- Kanun bak Putro Phang,
- Reusam bak Bentara (Laksamana)
Abdurrauf as-Singkel dan pandangannya pada
kedudukan perempuan sebagai pemimpin negara
Dalam bingkai sejarah Islam, mulai pasca wafatnya
Nabi, masa Khulafa’Rasyidin, Dinasti Umayyah, Absyiah
sampai dengan runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani,
kepemimpinan secara keseluruhan berada dalam
“genggaman” kaum laki-laki. Walaupun dijumpai beberapa
29
perempuan yang diangkat sebagai pemimpin, namun sangan
terbatas, karena dalam pemahaman ulama dan sebagian
besar umat Islam bahwa muatan surat an-Nisa’ ayat 34
telah mengakar dan menjadi landasan kuat. Di mana laki-
laki sebagai pemimpin dalam segala aspek, baik pemimpin
formal maupun informal, seperti dalam rumah tangga.26
Pemahaman ini telah menjadi sesuatu yang tasenden
dan sakral, tokoh seperti al-Ghazali pun, mensyaratkan
criteria pemimpin salah satunya harus seorang laki-
laki. Bahkan Jumhur ulama sepakat tentang syarat
tersebut, karena didukung oleh hadist nabi. Sistem ini
diyakini dan dijadikan ideologi bahwa pria lebih
superior dibanding perempuan, sehingga perempuan berada
pada posisi dipimpin oleh pria dan menjad bagian dari
property pria. Pemikiran ini membentuk dasar dari
banyaknya peraturan agama dan kenyataan sekaligus
menjelaskan semua tindakan sosial yang memposisikan
perempuan di bawah kepemimpinan kaum lelaki. 27
26 Aceh Serambi Mekkah.Hlm.255.27 Aceh Serambi Mekkah.Hlm.256.
30
Secara historis, paparan di atas bila dikaitkan
dengan suasana di Aceh pada abad ke-17 sesuatu yang
lain dan berbeda dengan pemahaman keislaman yang
berkembang ketika itu. Secara prinsipil, Aceh adalah
bagian belahan dunia Islam yang menurut Ibnu Batuta
dalam suatu ekspedisinya ke Aceh, bahwa ketika itu
masyarakat Aceh menganut mazhab Syafi’i bila dilihat
dari konteks amalan keagamaan. Namun, realitasnya
kesultanan Aceh tidak seluruhnya berada dalam dominasi
kaum laki-laki tetapi dijumpai adanya kepemimpinan
wanita (ratu) yang dapat eksis dan mendapat pengakuan
dari semua pihak, baik ulama maupun mayoritas
masyarakat Aceh.28
Beranjak dari paparan diatas, di sini akan
mengkaji tentang eksistensi kepemimpinan wanita (ratu)
di Aceh sehingga mampu bertahan kurang lebih setengah
abad lamanya, dan ini dianggap waktu yang lama. Di
samping itu juga akan melihat bagaimana sikap dan
peranan ulama-ulama Aceh pada era pemerintahan ratu,
khususnya terhadap dua ulama besar yang mempunyai28 Aceh Serambi Mekkah.Hlm.256.
31
peranan penting dalam menggawangi kepemimpinan ratu
dalam sejarah kerajaan Aceh, yaitu Syekh Nuruddin Ar-
Randiry dan Abdurrauf as-Singkel.29
Kegiatan Abdurrauf sebagai ulama dan mubaligh
sebagian besar dilakukan pada masa pemerintahan
Sultanah Safiatuddin. Sultanah Safiatuddin adalah salah
seorang sultan yang termasyhur dalam deretan nama-nama
sultan Aceh yang kenamaan. Sultan Safiatuddin adalah
sultan Aceh yang paling lama memerintah. Dalam kurun
waktu 34 tahun pemerintahannya, sultan ini menghadapi
masa yang cukup sukar dan sulit, karena penuh dengan
luka-luka akibat hancurnya angkatan perang Aceh setelah
menyerang Malaka pada tahun 1629, dan pertentangan
agama, serta tindakan kekerasan yang dilakukan oleh
Sultan Iskandar Thani dalam membasmi ajaran-ajaran
Hamzah Fansury dan Syamsyuddin as-Samathrani. Vleke
dalam bukunya Nusantara A History of Indonesia menggambarkan
Aceh pada masa itu sebagai sedang berada dalam suatu
periode yang dinamakan: “a turning point periode in Aceh’s
history”. Terutama dalam bidang militer, politik, dan29 Aceh Serambi Mekkah.Hlm.256.
32
ekonomi. Tapi dalam lapangan agama, sosial dan
kebudayaan, Aceh terus memancarkaan sinar gemilang.
Semua itu tidak saja karena kecakapan Sultanah
Safiatuddin, melainkan juga berkat bantuan seorang
ulama besar bernama Syekh Abdurrauf melalui pemikiran-
pemikiran dan karya-karyanya. Di samping syeikh
Abdurrauf sebagai seorang ulama dan mubaliq, ia juga
terus menerus memperdalam ilmunya dalam lapangan hukum,
maka ketika terjadi perdebatan terhadap renana
diangkatnya permaisuri Tajul Alam Safiatuddin Syah
sebagai penguasa tertinggi, Kerajaan Aceh mendukung
sepenuhnya.30 Dan Abdurrauf merupakan ulama yang telah
turut membenarkan seorang wanita menjadi sultan inilah
yang menandai pandangan Aceh menurut ukuran pada waktu
itu sungguh telah sangat maju. Di Iran umpamanya,
sampai pada abad ke-20 ini masalah hak pilih kaum
wanita saja, masih dipertengkarkan di antara para alim
ulama.31
30 Aceh Bumi Srikandi.hlm. 170.31 Aceh Serambi Mekkah.Hlm.253.
33
Salah satu ulama besar-selain ar-Raniry-yang
memberi dukungan kepada para sultanah-adalah Abdurrauf.
Ketika ia kembali ke aceh pada tahun 1661, kekuasaan
telah dipegang oleh Sultanah Safiatuddin. Dimana
kepemimpinan Safiatuddin telah dikukuhkan oleh pengakua
ar-Raniry sebelum Abdurrauf berada di Aceh. Salah satu
karya besarnya adalah Mir’at at Tullab, kitab ini menjadi
bukti atas dukungan dan keharmonisan antara pihak
Sultan dan Ulama di Aceh pada waktu itu. Kitab ini
dikarang atas permintaan Sultanah Safiatuddin. Dalam
pendahuluan kitab tersebut, sebagaimana dikutip oleh
T.Ibrahim Alfian, Abdul Rauf menggambarkan bagaimana
kepemimpinan Safiatuddin:32
“Maka bahwasanya adalah hadarat yang Mahamulia
(Paduka Sri Sultanah Taj al-‘Alam Safat al Din
Syah) itu telah bersabda kepadaku dari pada
sangat akan agama Rasulullah bahwa kekurangan
baginya sebuah kitab dengan bahasa Jawi (melayu)
yang di Bangsakan kepada bahasa Pasai yang muhtaj
(diperlukan) kepadanya orang yang menjabat32 Aceh Serambi Mekkah.Hlm.254.
34
jabatan qadi pada pekerjaan hukum ini dari pada
segala hukum syara’ Allah yang mu’tamad pada
segala ulama yang dibangsakan kepada Imam Syafi’i
Radiallahu’anhu...”
Dalam pengantar yang ditulis oleh Abdurrauf,
terlihat dengan jelas bagaimana seorang ulama
memberikan penghargaan yang cukup besar dan tinggi
kepada seorang sultanah. Bahkan dengan menggunakan
kalimat puji-pujian “Hadarat yang Mahamulia”. Ini
merupakan suatu bukti yang nyata bahwa Abdul Rauf as-
Singkil dapat menjali kerjasama dengan seorang sultanah
tanpa melakukan diskriminasi sebagai yang telah
diupayakan oleh golongan-golongan lain dalam menentangn
kepemimpinan seorang wanita. Bahkan pada masa-masa
berikutnya pasca mangkatnya Safiatuddin, Abdurrauf as-
Singkel tetap mengambil peranan yang cukup besar dalam
mempertahankan kepemimpinan sultanah di kerajaan Aceh.
Hal ini terlihat ketika pada masa Naqiatuddin,
Abdurrauf mengusulkan perombakan sistem pemerintahan di
bagi dalam tiga sagoe.33
33 Aceh Serambi Mekkah.Hlm.254.
35
Kedudukannya sebagai Qadi sangat berpengaruh dan
membuatnya terus-menerus melakukan upaya-upaya dan
memutuskan kebijaksanaan tertentu dalam mewujudkan
kehidupan beragama dalam kerajaan Aceh. Pada Akhir abad
ke-17 muncul keinginan golongan tertentu untuk
mengakhiri kepemerintahan ratu wanita di Aceh. Hal ini
diakibatkan tidak adanya ulama yang kharismatik yang
mendukung kepemimpinan wanita sebagaimana yang
dilakukan oleh Abdurrauf as-Singkel, sikap Abdurrauf
ketika itu telah menjadi pedoman oleh rakyat dalam
menghadapi perihal pro dan kontra terhadap pemerintahan
ratu. Yaitu, dengan dimakzulkan Kamalat Syah pada tahun
1699, menurut data sejarah, Sultan Keumalat Syah baru
meninggal setahun setelah dimakzukan yaitu pada tahun
1700.34
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa
kepemimpinan ratu wanita dalam sejarah Aceh merupakan
suatu hal yang menghadirkan decak kagum dunia dan
kajian para peneliti sejarah. Hal ini dikarenakan pada
masa itu kaum wanita dipandang tidak bisa menjadi34 Aceh Serambi Mekkah.Hlm.255.
36
pemimpin, kedudukannya lebih rendah daripada seorang
laki-laki. Tetapi naiknya tahta wanita pada masa
tersebut, juga tidak terlepas dari intrik-intrik
pertentangan, di mana suatu pihak mendukung bahwa
wanita dijadikan sebagai sultan, namun pihak lain
menentang bolehnya wanita menjadi sultan.35
Pertentangan ini, terlihat di dominasi oleh
golongan pertama. Dalam hal ini, peranan yang telah
“dimainkan” oleh Ar-Raniry pada masa-masa awal naiknya
Sultanah Safiatuddin menjadi satu faktor penentu, di
samping kecakapan Safiatuddin yang telah berpengalaman
dalam mengatur pemerintah, karena ia adalah puteri
Sultan Iskandar Muda, sekaligus sebagai istri dari
Sultan Iskandar Tsani.36
Sepeninggal Ar-Raniry, kembalinya Abdurrauf as-
Singkel dari Arab ke Aceh, menjadi faktor penentu kedua
dalam proses bertahannya kepemimpinan ratu. Hal ini
terlihat, karena setelah 6 tahun meninggalnya
Abdurrauf, golongan yang menetang kedudukan wanita
35 Aceh Serambi Mekkah.Hlm.255.36 Aceh Serambi Mekkah.Hlm.255.
37
sebagai sultan kembali mempunyai kedudukan yang kuat,
sehingga Sultanah Kamalat Syah sebagai pewaris tahta
terakhir dari kangan wanita dapat di makzulkan dan
posisinya digantikan oleh kaum laki-laki.37
Perdebatan yang terjadi pada waktu itu bahwa kaum
laki-laki keturunan Sultan Aceh akan merebut tahta
kesultanan dengan dukungan ulama, yang menyatakan bahwa
perempuan tidak boleh jadi raja, karena bertentangan
dengan syariat Islam. Mereka mengajukan argumentasi
bahwa perempuan tidak boleh menjadi ilmam shalat yang
makmumnya terdapat laki-laki. Sebagai konsekuensi
logisnya perempuan tidak sah apabila diangkat menjadi
Wali al-‘Am. Pada waktu terjadi konflik tersebutm Tajul
Alam Safiatuddin memiliki pengaruh yang besar sekaligus
memiliki kekayaan yang banyak, ia juga dapat
menggunakan dan menggerakan tentara kerajaan Aceh di
bawah pimpinan saudara ibunya Abdul Karim dengan gelar
Maharaja Lela. Pertentangan dan pergolakan semakin hebat,
sehingga terjadi perisiwa berdarah mengakibatkan
terbunuhnya beberapa ulama, salah satu diantaranya37 Aceh Serambi Mekkah.Hlm.255.
38
bernama Faqih Hitam yang menantang keras rencana
pengangkatan Tajul Alam Safiatuddin Syah sebagai
Sultanah.38
Mengamati pertentangan dan pergolakan yang tidak
kunjung reda, akhirnya Syeikh Abdurrauf sebagai seorang
ulama turun tangan. Dalam menghadapi kondisi tersebut,
ia cukup berhati-hati agar tidak berakibat fatal jika
konflik tersebut tidak ditangani secara serius.
Abdurrauf menghadapi du aide yang bertolak belakang,
satu sisi menginginkan perempuang yang menjadi penguasa
yang di dukung pihak militer dan pembesar kerajaan. Di
pihak lain tidak membolehkan perempuan menjadi penguasa
yang didukung oleh uama yang sebagian besar bermazhab
Syafi’I, dasarnya Hadist Rasulullah SAW. yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Bukhari, Nasa’I, Turmuzi
dan Abi Bakrah, yang artinya ; “tidak beruntung satu kaum
(umat) jika mereka menyerahkan uusan mereka untuk dipimpin oleh
perempuan”. Berdasarkan hadist ini mereka berpendapat
bahwa perempuan tidak boleh menjadi pemimpin
38 Aceh Bumi Srikandi.hlm.170.
39
(penguasa). Jika perempuan diangkat menjadi penguasa,
maka bertentangan dengan Hadist Nabi SAW. 39
Sesudah melihat dan mengamati pertentangan ide dan
kondisi politik Aceh saat itu, akhirnya Abdurrauf dapat
mengendalikan dan meredam pergolakan yang terjadi
dengan jalan mengkompromikan kedua belah pihak. Ia
tetap berpendapat bahwa Tajul Alam Safiatuddin dapat
diangkat menjadi sultanah sebagai pengganti suaminya
Iskanda Tsani. Namun pengangkatan tersebut harus
dibatasi dengan syarat urusan nikah, talaq, fasakh, dan
hal-hal lain yang berhubungan dengan hukum agama tetap
dipengan oleh ulama yang bergelar Qadhi Malik al-‘Adil.40
Berkat campur tangan syeikh Abdurrauf lambat laun
stabilitas politik kehidupan keagamaan dapat
dipulihkan. Sebagai balas jasa Tajul Alam Safiatuddin
mengangkat Syeikh Abdurrauf sebagai mufti kerajaan dan
sekaligus penasehatnya. Tawaran sebagai mufti kerajaan
awalnya ditolak, karna ia tidak berambisi untuk
menduduki jabatan tersebut. Akan tetapi dengan berbagai
39 Aceh Bumi Srikandi.hlm.170.40 Aceh Bumi Srikandi.hlm.170-171.
40
pertimbangan seperti untuk tetap menjaga ukhuwah yang
hampir retak, akhirnya ia memenuhi permintaan Tajul
Alam Safiatuddin.41
Seperti yang telah tertulis diatas, 6 tahun
setelah meninggalnya Abdurrauf, golongan yang menentang
kedudukan wanita sebagai sultan kembali memperoleh
kekuatan dan berhasil menurunkan Sultanah Kamalat Syah
dari tahtanya sebagai sultan wanita terakhir dalam
kerajaan Islam Aceh. Lengsernya sang sultan berdasarkan
surat dari seorang Qadi Malik al’Adil di Mekkah, yang
memuat pemberitahuan bahwa penempatan perempuan pada
kekuasaan tertinggi bertentangan dengan Syariat
Islam.42
Pada dasarnya kedatangan surat dari Qadi Malik
al’Adil Mekkah (1699) bermula dari konflik yang terjadi
antara golongan ulama yang menentang pengankatan
perempuan menjadi kepala Negara dengan para Panglima
Tiga Sagi (tiga sagoe) dan orang-orang kaya yang tetap
mempertahankan idenya pada masa tiga ratu sebelumnya.
41 Aceh Bumi Srikandi.hlm.172.42 Aceh Bumi Srikandi.hlm.172.
41
Mereka ingin menebus kekalahan sebelumnya dengan
menawarkan taktik solusi konflik yaitu mengusulkan agar
persoalan keputusan mengenai legalitas kedudukan
perempuan sebagai raja itu sebaiknya diserahkan kepada
raja dan ulama di Mekkah.43
Strategi yang di jalankan golongan ulama berhasil
dengan datangnya surat dari Qadi Malik al-‘Adil Mekkah.
Terbukti para Panglima Tiga Sagi dan orang-orang kaya
tidak berani menentangn isi surat tersebut. Akhirnya
Sultanah Kamalat Syah diturunkan dari tahtanya dan
pemerintahan diserahkan kepada Badrul Alam Syarif
Hasyim Jamaluddin.44
Proses penurunan Sultanah Kamalat Syah dari
tahtanya terjadi setelah Syeikh Abdurrauf meninggal
dunia seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Kendatipun sebelumnya-ketika Syeikh Abdurrauf masih
hidup-pernah terjadi pertentangan yang mempersoalkan
perempuan menjadi kepala Negara, namun selalu dapat
diatasi dan diselesaikan oleh Syeikh Abdurrauf. Hal ini
43 Aceh Bumi Srikandi.hlm.172.44 Aceh Bumi Srikandi.hlm.172.
42
membuktikan keluasan ilmu dan kemampuannya membaca
situasi dan kondisi Aceh saat itu.45
Perspektif ulama terhadap peran perempuan46
Dalam tradisi sosial-keagamaan masyarakat Aceh,
sepanjang sejarah sejak wala terbentuknya masyarakat
Aceh hingga sekarang ini, sebagaimana yang telah
diuraikan di atas peran ulama hampir tidak dapat
dipisahkan dengan kehidupan masyarakat. Oleh karena
itu, ulama turut memberikan konstribusinya dalam
berbagai persoalan yang dihadapi umat, termasuk masalah
yang berkaitan dengan keterlibatan dalam bidang politk.
Kedudukan dan peran perempuan menurut konsep
Islam47
Masyarakat Aceh dibina berdasarkan ajaran Islam,
maka secara teoritis kedudukan wanitanya juga
ditentukan atau menurut yang diatur oleh agama.
ajaranIslam memberikan kedudukan yang sama tingginya
kepada perempuan di dalam masyarakat; yang berbeda
45 Aceh Bumi Srikandi.hlm.172.46 Aceh Bumi Srikandi.hlm.155.47 Aceh Bumi Srikandi.hlm.155-160
43
adalah hak serta tanggung jawab. Hak perempuan dalam
Islam adalah bagian dari pada manusia secara umum
sejalan dengan prinsip kebenaran dan keadilan Islam.
Laki-laki dan perempuan adalah ciptaan Allah SWT yang
sama dalam hal kemanusiaannya. Mereka punya hak dan
punya tanggung jawab. Islam memberikan hak sejalan dan
tidak terpisah dari kewajibannya baik laki-laki dan
perempuan.
Keadilan bagi perempuan dapat dilakukan manakala
kembali kepada ajaran Islam yang sejati. Menurut ajaran
Islam, pada dasarnya Allah SWT menciptakan manusia,
baik laki=laki maupun perempuan, semata-mata ditujukan
agar mereka mampu mendarmabaktikan dirinya untuk
mengabdi kepada-Nya, sebagaimana dalam firman Allah SWT
dalam surat Al-Dzaariyat: 56) dan juga pada surat An-
Nisa’: 32)
Sama halnya mengenai hak perempuan untuk memegang
jabatan-jabatan dalam negara, jabatan tertinggi,
dinyatakan boleh asal mereka sanggup dan mempunyai
oengetahuan untuk bidang-bidang atau al-Qur’an jabatan
44
yang dipegangnya; sama seperti hak laki-laki dalam hal
tersebut
Menurut Muhammad Tha’mah al-Qudhah yang dikutip
oleh Muhammad Koderi ada beberapa persamaan antara
kedudukan laki-laki dan perempuan, diantaranya sebagai
berikut:
1. Sama nilai ketaqwaannya.
2. Keduanya diciptakan dari diri yang satu dan
melewati fase-fase pertumbuhan yang serupa.
3. Pada dasarnya, laki-laki dan perempuan sama
nilainya. Ia menjadi mulia dan tinggi karena imaan
dan rendah karena kekafiran dan penyimpangan dari
ajaran agama.
4. Laki-laki dan perempuan sama-sama berhak
memperoleh kesempatan beribadah.
5. Sama dalam martabat kemanusiaan.
6. Sama-sama berhak dalam kesempatan dalam menuntut
ilmu.
7. Sama dalam menerima hukuman.
8. Sama dalam penilaian iman dan amal.
45
9. Sama-sama saling menolong dan sama-sama
mengerjakan amar ma’ruf nahi mungkar.
10. Perempuan juga sama peluangnya dalam
mengerjakan amal saleh (berkarir) dalam semua
bidang kehidupan seperti bidan pendidikan,
kesehatan, budaya, ekonomi dan lain-lain.
Kedudukan perempuan dalam kerajaan Aceh48
Dalam kitab Safinatul Hukkam karangan ulama Aceh
Syeikh Jalaluddin Tursina, didapati bahwa laki-laki dan
perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam
kerajaan. Perempuan boleh menjadi Raja atau Sultan
asalm memiliki syarat-syarat kecakapan dan ilmu
pengetahuan.
Berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an dan Hadist-
hadist Nabi SAW serta pendapat ulama, maka kerajaan
Islam Perlak, kerajaan Islam Samudera (Pasai), dan
kerajaan Aceh Darussalam, telah memberikan kepada kaum
perempuan Aceh hak dan kewajiban yang sama dengan kaum
laki-laki, sehingga banyak muncul tokoh perempuan Aceh
48 Aceh Bumi Srikandi.hlm.160.
46
baik sebagai pemimpin pemerintahan maupun sebagai
pahlawan dalam peperangan.
Dalam kerajaan Aceh Darussalam hak perempuan untuk
memegang jabatan apa saja dalam kerajaan diakuinya.
Demikian pula dengan kewajjiban mereka terhadap
kerajaan, seperti kewajiban untuk membela dan memajukan
kerajaanm oleh karena perempuan dipandang sama dalam
hukum kerajaan. Sungguh pada tempatnya kalau sejarah
mencatat sejumlah nama perempuan yang telah memainkan
peranan yang penting di tanah Aceh masa lampau, sejak
zaman kerajaan Islam Perlak sampai Zaman revolusi
kemerdekaan. Nama-nama perempuan Aceh yang telah
memainkan peranan penting sejak tersebut diantaranya
sebagai berikut:
a. Putri Lindung Bulang
b. Ratu Nihrasiyah rawa khadiyu
c. Laksamana Malahayati
d. Ratu Safiatuddin
e. Ratu Naqiatuddin
f. Ratu Zakiatuddin
47
BAB IV
Kesimpulan
A. Kesimpulan
Pada hari senin tanggal 23 bulan Syawal tahun 1106
H atau 1695 M Syeh Abdurrauf Syiah Kuala berpulang
kerahmatullah dalam usia 105 tahun49 dan dimakamkan
dekat muara sungai Aceh di ingkungan rangkang yang
didirikannya, yang letaknya lebih kurang 4 kilometer
sebelah Utara dari Banda Aceh.50 Pada batu nisannya
tertulis antara lain tulisan yang berbunyi “Al Waliyul
Maliki Syekh Abdurrauf bin Ali sebutan Walijul Mulki, menunjukkan
betapa besarnya peran Syekh Abdurrauf dalam kerajaan
Aceh pada waktu itu. Sesudah beliau meninggal, namanya
diabadikan dengan sebutan Syiah Kuala.
Syeikh Abdur Rauf Singkel adalah ulama terkenal
pada abad 17M. Ia dilahirkan lebih kurang pada tahun
49 Buletin Wisata Aceh.hlm.4.50 Majalah pengetahuan/kebudayaan Sinar Darussalam.hlm119.
49
1001H (1593 M)51 di Singkil bagian dari daerah Aceh
yang terletak di pantai Barat Sumatera yaitu kabupaten
Aceh Selatan atau sekarang sudah menjadi kabupaten
sendiri, yaitu Singkil. Nama lengkapnya ialah Abdurrauf
bin Ali al-Djawi al-Fansuri al-Singkili.
Syeikh Abdurrauf sangat banyak kontribusinya bagi
sejarah kemajuan peradaban pada masa Kesultanan Islam
Aceh seperti dalam bidan keilmuan beliau mendirikan
tempat pembelajaran ilmu atau disebut dengan “Rangkang
atau masa sekarang disebut dengan “Bale” atau “Dayah”.
Karangan-karangan beliau dalam berbagai bidang keilmuan
juga menjadi bukti begitu besar peranannya dalam
perkembangan peradaban Islam Aceh pada masa Kesultanan
Islam Aceh. Dalam kasus pengankatan perempuan sebagai
kepala Negara yang menjadi topic utama dalam tulisan
ini. Berkat pemikiran yang disumbangkan Syeikh
Abdurrauf, pertentangan antara golongan ulama dan para
pembesar kerajaan mengenai pengankatan perembuan
sebagai kepala negara dapat diselesaikan dengan baik.
Syeikh Abdurrauf menyarankan agaar diadakan pemisahan51 Buletin Wisata Aceh.hlm.2.
50
antara urusan agam dan pemerintahan. Menurutnya, urusan
nikah, talaq, fasak dan lain-lain yang berhubungan
dengan hukum agama tetap dipegang oleh ulama yang
bergelar Qadhi Malik al’-‘Adil. Hal-hal yang berkaitan
dengan sosial kemasyarakatan seperti urusan politik dan
pemerintahan dipegangn oleh perempuan. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa Syeikh Abdurrauf menyetujui
pengangkatan perempuan sebagai kepala Negara, karena
dianggap tidak bertentangan dengan ajaran agama.52
Syeikh Abdurrauf memandang sama antara laki-laki
dan perempuan dalam eksistensi kemanusiaan,
pandangannya ini berdasarkan firman Allah SWT., dalam
surat Al-Baqarah ayat 30, surat An-Nisa’ ayat 1 dan
surat Az-Zariyat ayat 5-6. Syeikh Abdurrahman
menafsirkan kata yang terdapat dalam surat An-Nisa’
ayat 1, sebagai Adam, kemudian Allah SWT menciptakan
dari diri Adam isterinya yaitu Hawa. Hal ini sesuai
dengan maksud sebuah Hadist yang diriwayatkan oleh Abi
Hurairah r.a., bahwa perempuan itu diciptakan dari
tulang rusuk Adam sebelah kiri. Penciptaan Hawa dari52 Aceh Bumi Srikandi.hlm.172.
51
diri Adam bukanlah menunjukkan perempuan lebih rendah
dari laki-laki, akan tetapi merupakan pelengkap dan
bahagian yang tidak dapat dipisahkan dari laki-laki.
Oleh karena itu laki-laki dan perempuan sama-sama
bertenggung jawab dalam kepastiannya sebagai khalifah
Allah di muka bumi.53
Perempuan dalam pandangan Syeikh Abdurrauf juga
memiliki hak yang sama dengan laki-laki. Perempuan
berhak bertindak terhadap harta miliknya menjadi wali
pengampu, hakim dan bahkan kepala negara. Untuk bisa
berperan dan menduduki jabatan tertentu, perempuan
hendaklah memiliki kemampuan dan keahlian. Disinilah
letak pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan
sebagaimana yang dikemukakan oleh Qasim Amin, bahwa
semakin baik tingkat pendidikan perempuan, maka semakin
tinggi pula harkat dan martabatnya.
Begitu besar sumbangsih yang telah diberikan oleh
Syeikh Abdurrauf bagi kemajuan peradaban Islam pada
masa Kesultanan Aceh dalam berbagai bidang. Maka tidak
53 Aceh Bumi Srikandi.hlm.172-173.
52
heran apabilla Syeikh Abdurrauf masih sangat dimuliakan
oleh rakyat Aceh bahkan siapa saja yang telah
mempelajari sejarahnya dari dulu sampai sekarang dan
terus di ingat dan di kenang atas kontribusinya yang
besar bagi peradaban Islam khususnya peradaban Islam
Aceh pada masa kepemimpinan Sultanah Aceh.
B. Saran
1. Penulis berharap tulisan ini dapat membantu pembaca
atau siapa saja yang akan mempelajari tentang
Syeikh Abdurrauf dalam pembelajaran ilmu sejarah
khususnya sejarah peradaban Islam Aceh pada masa
kepemimpinan Sultanah untuk lebih memahami tentang
hal ini.
2. Penulis menganjurkan kepada penulis lainnya yang
akan mengkaji ulang tentang Syeikh Abdurrauf ini,
agar merujuk ke buku-buku lainnya untuk mendapatkan
informasi lebih dari yang telah kami kaji karena
kami menyadari dalam penulisan ini masih banyak
kekurangan-kekurangan. Karena hanya sampai disini
pengkajian yang telah kami lakukan.
53
Buletin Wisata Aceh, (Aceh: Dinas Pariwisata Profinsi
Daerah Istimewa Aceh, 1993)
Dr.P.Voorhoeve, Bayan Tajalli, (Banda Aceh: Pusat
Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1980).
Majalah pengetahuan/kebudayaan Sinar Darussalam, (Banda
Aceh: No. 2 - April 1968 – Muharram 1388 – Th. Ke-I.
Pemerintah Povinsi Naggroe Aceh Darussalam, Aceh Serambi
Mekkah, (Yogyakarta: Multi Solusindo, 2008)
Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Aceh Bumi
Srikandi, (Yogyakarta: Multi Solusindo Press, 2008).
Peserta Studi Purna Dosen-dosen IAIN seluruh Indonesia,
kumpulan paper-paper tentang beberpa ulama Aceh dan tarekat-tarekat
di Indonesia,(Yogyakarta: 1974/1975).
55
Top Related