1
1.1. Latar Belakang
Masyarakat Indonesia terbiasa untuk membuat sesuatu yang baru, dan melupakan
yang lama. Padahal seharusnya, kita belajar untuk memelihara tradisi. Yang dimaksud dengan
tradisi adalah tidak memulai segala sesuatu dari nol, melainkan mengadaptasi, melanjutkan,
dan memperbaiki apa yang sudah ada. Melalui bangunan-bangunan tua itu, masyarakat bisa
mempelajari satu bagian perjalanan sebuah bangsa. Dari situ juga, masyarakat bisa
mempelajari apa yang salah di masa lalu, untuk diperbaikinya pada masa datang. Filosofi
mendalam tersebut dijelaskan oleh Dewan Pimpinan Badan Pelestarian Pusaka Indonesia
(BPPI), Bambang Eryudhawan (Andra, 2013).
Demak adalah kesultanan atau kerajaan islam pertama di Pulau Jawa. Kerajaan ini
didirikan oleh Raden Patah (1478-1518) pada tahun 1478, Raden patah adalah bangsawan
kerajaan Majapahit yang menjabat sebagai adipati kadipaten Bintara, Demak. Pamor
kesultanan ini didapatkan dari Walisanga, yang terdiri atas sembila orang ulama besar,
pendakwah islam paling awal di Pulau Jawa (Pemerintah Kabupaten Demak, 2013).
Kabupaten Demak sendiri sekarang dikenal sebagai kota yang religius, karena memiliki sejarah
islam yang kental. Kondisi ini juga diperkuat dengan adanya Masjid Agung Demak yang
merupakan simbol sejarah dan menjadi landmark Kabupaten Demak. Masjid ini juga tidak
terlepas dari bagian kawasan Kampung Kauman yang juga memiliki sejarah kuat di Kabupaten
Demak.
Pada Kampung Kauman ini memiliki beberapa bangunan bersejarah dan tradisional
yang layak dilindungi sebagai bagian dari sejarah Demak. Namun permasalahannya, hanya
terdapat beberapa bangunan yang sampai sekarang masih utuh, terutama dari segi
arsitekturnya yang menandakan bahwa bangunan tersebut memiliki sejarah. Salah satu
bangunan tersebut adalah Masjid Agung. Selain Masjid Agung, juga terdapat beberapa
bangunan peninggalan sejarah yang masih asli, namun tidak sedikit yang tidak terawat dan
terlihat kusam. Sebenarnya, pada kampung ini memiliki cukup banyak bangunan bersejarah,
tetapi sayangnya, saat kepemilikan berpindah tangan, maka pemiliki akan merubah bentuk
dan arsitektur sehingga tanda-tanda sejarah itu perlahan mulai hilang. Kondisi ini sebenarnya
mengkhawatirkan, mengingat Demak sendiri adalah kawasan yang terkenal religius dan
BAB I PENDAHULUAN
Berisi tentang penjelasan latar belakang, tujuan sasaran, ruang lingkup dan sistematika pembahasan
2
sangat bersejarah.Diharapkan dengan studi ini, akan dapat memberikan gambaran dan
rekomendasi terhadap bangunan-bangunan yang harusnya dikonservasi dan dilindungi
sebagai bagian dari penghargaan terhadap sejarah Kabupaten Demak.
1.2. Perumusan Masalah
Kabupaten Demak dengan sejarahnya yang kuat memberikan kita gambaran
mengapa Kabupaten Demak menjadi salah satu tujuan wisata religius di Jawa Tengah.
Namun, kondisi ini bukan berarti Demak tidak memiliki permasalahan terkait pemeliharaan
bangunan bersejarah yang menjadi saksi perjalanan Kabupaten Demak. Permasalahan yang
terlihat di lapangan terkait bangunan bersejarah Kabupaten Demak antara lain:
1.2.1. Permasalahan Fisik
Permasalahan fisik yang ada di Kampung Kauman Kabupaten Demak antara lain:
Bangunan banyak yang telah direnovasi sehingga menghilangkan bentuk aslinya
Bangunan tradisional dan bersejarah mulai sulit ditemukan dan diidentifikasi
Beberapa bangunan tradisional tampak kurang terawat dan rusak
Tidak ada penunjuk arah dan batasan fisik yang jelas menuju Kampung Kauman
1.2.2. Permasalahan Non Fisik
Selain permasalahan fisik, Kampung Kauman juga memiliki permasalahan non fisik
diantaranya:
Kepemilikan bangunan-bangunan tradisional sebagian besar tidak dimiliki oleh
pemerintah
Tidak ada aturan / kebijakan yang tegas dalam upaya pelestarian bangunan
bersejarah
Tidak ada aktivitas sosial budaya yang menonjol pada Kampung Kauman
1.3. Tujuan dan Sasaran
1.3.1. Tujuan
Tujuan dari studi ini adalah untuk mengidentifikasi bangunan-bangunan bersejarah
yang masih layak untuk dikonservasi pada Kampung Kauman Kabupaten Demak.
1.3.2. Sasaran
Sasaran yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan antara lain:
1. Mengidentifikasi potensi dan permasalahan yang berada di Kampung Kauman.
2. Menganalisis karakter kawasan Kampung Kauman.
3
3. Menganalisis beberapa fungsi bangunan tradisional yang berada di Kampung
Kauman.
4. Menetapkan bangunan-bangunan yang layak dikonservasi di Kampung Kauman.
5. Rekomendasi tindakan yang dilakukan terhadap beberapa bangunan-bangunan
bersejarah di Kampung Kauman.
1.4. Ruang Lingkup
Lingkup dalam penyusunan studi ini meliputi 2 hal, yaitu ruang lingkup substansi dan
ruang lingkup wilayah.
1.4.1. Ruang Lingkup Substansi
Materi studi yang akan dikaji dalam penyusunan laporan ini adalah sebatas pada:
Teori Konservasi
Elemen Perancangan Kota
Elemen Citra Kota
Periodisasi Arsitektur Di Indonesia
1.4.2. Ruang Lingkup Wilayah
Ruang lingkup wilayah pada studi
ini mencakup keseluruhan Kampung
Kauman. Kampung Kauman ini memiliki
lokasi yang strategis karena menjadi satu
Kawasan dengan Masjid Agung Demak.
Letaknya sendiri ada di pusat kota yaitu
pada Alun-alun Kabupaten Demak.
Kondisi ini menjadi salah satu potensi yang
kuat, jika ingin mengembangkan Kampung
Kauman. Berikut ini merupakan gambar
wilayah studi:
Sumber: www.wikimapia.com
GAMBAR 1. 1
Wilayah Studi Kampung Kauman
4
Adapun batas-batas administrasi wilayah studi adalah sebagai berikut:
Sebelah Utara : Jl. Singil
Sebelah Selatan : Jl. Sunan Fatah dan Jl. Bhayangkara
Sebelah Barat : Jl. Sultan Fatah dan Alun-Alun Kabupaten Demak
Sebelah Timur : Jl. Bhayangkara
1.5. Sistematika Pembahasan
Dalam penyusunan laporan terdiri dari 5 (lima) bab pembahasan, yaitu sebagai
berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Menjelaskan sejarah dan latar belakang penyusunan laporan yang akan dibuat. Menjelaskan
tujuan dan sasaran yang akan dicapai dalam laporan tersebut dengan melihat beberapa
permasalahan yang terdapat pada kondisi eksisting yang ada.
BAB II TEORI DAN KRITERIA KONSERVASI PADA KAWASAN BERSEJARAH
Menjelaskan tentang beberapa teori yang berhubungan dengan konserrvasi kawasan, jenis
konservasi, kriteria konservasi, bentuk pemberdayaan masyarakat dalam konservasi dan
beberapa elemen perancangan kota dan elemen citra kota.
BAB III GAMBARAN KAMPUNG KAUMAN
Menjelaskan tentang kondisi eksisting dilihat dari beberapa aspek, baik itu dari aspek fisik
maupun aspek nonfisik yang didalamnya menjelaskan tentang urban structure dan figure
ground.
BAB IV ANALISIS PENETAPAN BANGUNAN BERSEJARAH DAN TINDAKAN KONSERVASI
YANG DILAKUKAN
Menjelaskan/melakukan beberapa analisis yang berhubungan dengan identifikasi karakter
kawasan, citra kota, identifikasi bangunan dan analisis kriteria bangunan yang akan dilakukan
untuk konservasi.
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Menjelaskan tentang hasil dari analisis dan membuat sebuah kesimpulan yang nantinya akan
menjadi sebuah rekomendasi baik untuk pemerintah, swasta, maupun bagi masyarakat yang
membutuhkan.
5
2.1. Konservasi
2.1.1. Pengertian Konservasi
Istilah “pelestarian sejarah” secara umum dipergunakan di Amerika Serikat sebagai
suatu ekspresi luas yang mencakup berbagai macam strategi untuk menangani bangunan-
bangunan dan lingkungan-lingkungan perkotaan yang ada. Di Inggris “konservasi” merupakan
istilah yang menjadi payung dari semua kegiatan pelestarian, sedangkan pelestarian sejarah
menyangkut secara lebih spesifik bangunan-bangunan yang sangat penting arti sejarahnya
(Antony J. Catanese, James C. Snyder, dialih bahasa Ir. Susongko,1986: 402).
Konservasi dapat pula diartikan sebagai segenap proses pengelolaan suatu tempat
dan bangunan atau artefak agar secara historis, makna kultural yang dikandungnya,
terpelihara dengan baik (Kimpraswil, 2003). Konservasi sangat diperlukan dikarenakan
tempat-tempat bersignifikansi budaya memperkaya kehidupan manusia, sering memberikan
ikatan rasa yang dalam dan inspirasional kepada masyarakat dan lansekapnya, kepada masa
lalu dan berbagai pengalaman hidup. Tempat-tempat itu adalah rekaman sejarah yang
penting dari ekspresi nyata dari identitas dan pengalaman. Tempat-tempat bersignifikansi
budaya mencerminkan keragaman masyarakat kita serta lansekap. Nilainya tidak tergantikan
dan sangat berharga. Tempat-tempat bersignifikansi budaya ini harus dilestarikan untuk
generasi kini dan masa depan (Piagam Burra, 1999).
Upaya konservasi tidak lepas dari kegiatan perlindungan dan penataan serta tujuan
perencanaan kota yang bukan hanya secara fisik saja. Tetapi juga stabilitas penduduk dan
gaya hidup yang serasi, yakni pencegahan perubahan sosial. Mengingat hal itu, dalam upaya
konservasi perlu digariskan sasaran yang tepat, antara lain dengan mengembalikan wajah dari
obyek pelestarian, memanfaatkan peninggalan obyek pelestarian yang ada untuk menunjang
kehidupan masa kini, dan mengarahkan perkembangan masa kini yang diselaraskan dengan
perencanaan masa lalu yang tercermin dalam obyek pelestarian tersebut, serta menampilkan
sejarah pertumbuhan kota atau lingkungan dalam wujud fisik tiga dimensi. Salah satu tahapan
dalam konservasi adalah menentukan area yang akan dikonservasi dengan pembagian areal
BAB II TEORI DAN PENENTUAN KRITERIA
Berisi tentang penjelasan teori dan penentuan kriteria kawasan konservasi
6
kawasan menjadi lebih kecil untuk mempernudah implementasi tindakan konservasi sesuai
dengan kriteria yang digunakan.
2.1.2. Zonasi Konservasi
Zonasi konservasi merupakan pembagian areal kawasan kota menjadi beberapa
bagian sesuai dengan kriteria yang telah dibentuk dengan tujuan untuk kegiatan konservasi
bangunan dan lingkungan bersejarah. Zonasi konservasi ini merupakan salah satu tahapan
guna mempermudah dalam proses konservasi dan merumuskan tindakan konservasi. Zonasi
konservasi termasuk kedalam bentuk Special-Use Zoning dengan kategori tersendiri karena
adanya keunikan sifat yang dalam hal ini adalah merupakan kawasan bersejarah dan artefak
kota.
Pedoman Pengelolaan Peninggalan Sejarah dan purbakala, di dalamnya terdapat 3
metode zonasi konservasi, yaitu:
1. Zona I
Zona cagar budaya adalah zona, dimana cagar budaya berada dengan lahan di sekitarnya
yang berfungsi untuk mendukung kelestarian cagar budaya itu sendiri yang dikelola oleh
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan atau pemilik yang ditunjuk berdasarkan
petunjuk teknis yang ada.
2. Zona II
Zona penyangga, berfungsi sebagai penyangga yang di dalamnya termasuk fasilitas wisata
budaya yang dikelola oleh pihak lain dengan petunjuk sesuai dengan peraturan yang ada.
3. Zona III
Zona pengembangan, untuk pengembangan sosial ekonomi masyarakat, sosial ekonomi
budaya tetapi dengan pengaturan/ petunjuk dari Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
2.1.3. Tindakan Dalam Konservasi
Kegiatan konservasi antara lain bisa berbentuk (a) preservasi, (b) restorasi, (c)
replikasi, (d) rekonstruksi, (e) revitalisasi dan/atau penggunaan untuk fungsi baru suatu aset
masa lalu, (f) rehabilitasi. Aktivitas tersebut tergantung dengan kondisi, persoalan, dan
kemungkinan yang dapat dikembangkan dalam upaya pemeliharaan lebih lanjut. Masyarakat
awam sering keliru bahwa pelestarian bangunan bersejarah diarahkan menjadi ded
monument (monumen statis) tetapi sebenarnya bisa dikembangkan menjadi life monument
yang bermanfaat fungsional bagi generasi masa sekarang.
7
Suatu program konservasi sedapat mungkin tidak hanya dipertahankan keasliannya
dan perawatannya namun tidak mendatangkan nilai ekonomi atau manfaat lain bagi pemilik
atau masyarakat luas. Konsep pelestarian yang dinamik tidak hanya mendapatkan tujuan
pemeliharaan bangunan tercapai namun dapat menghasilkan pendapatan dan keuntungan
lain bagi pemakainya. Dalam hal ini peran arsitek sangat penting dalam menentukan fungsi
yang sesuai karena tidak semua fungsi dapat dimasukkan. Kegiatan yang dilakukan ini
membutuhkan upaya lintas sektoral, multi dimensi dan disiplin, serta berkelanjutan. Dan
pelestarian merupakan pula upaya untuk menciptakan pusaka budaya masa mendatang
(future heritage), seperti kata sejarawan bahwa sejarah adalah masa depan bangsa. Masa kini
dan masa depan adalah masa lalu generasi berikutnya.
Selain tindakan yang telah disampaikan di atas, terdapat juga istilah-istilah lain
sebagai bentuk perluasan tindakan konservasi, antara lain:
1. Restorasi (dalam konteks yang lebih luas) ialah kegiatan mengembalikan bentukan fisik
suatu tempat kepada kondisi sebelumnya dengan menghilangkan tambahan-tambahan
atau merakit kembali komponens eksisting tnap menggunakan material baru.
2. Restorasi (dalam konteks terbatas) iala kegiatan pemugaran untuk mengembalikan
bangunan dan lingkungan cagar budaya semirip mungkin ke bentuk asalnya berdasarkan
data pendukung tentang bentuk arsitektur dan struktur pada keadaan asal tersebut dan
agar persyaratan teknis bangunan terpenuhi. (Ref.UNESCO.PP. 36/2005).
3. Preservasi (dalam konteks yang luas) ialah kegiatan pemeliharaan bentukan fisik suatu
temapt dalam kondisi eksisting dan memperlambat bentukan fisik tersebut dari proses
kerusakan.
4. Preservasi (dalam konteks yang terbatas) ialah bagian dari perawatan dan pemeliharaan
yang intinya adalah mempertahankan keadaan sekarang dari bangunan dan lingkungan
cagar budaya agar keandalan kelaikan fungsinya terjaga baik (Ref. UNESCO.PP.
36/2005).
5. Konservasi ( dalam konteks yang luas) ialah semua proses pengelolaan suatu tempat
hingga terjaga signifikasi budayanya. Hal ini termasuk pemeliharaan dan mungkin (karena
kondisinya) termasuk tindakan preservasi, restorasi, rekonstruksi, konsoilidasi serta
revitalisasi. Biasanya kegiatan ini merupakan kombinasi dari beberapa tindakan tersebut.
6. Konservasi (dalam konteks terbatas) dari bangunan dan lingkungan ialah upaya perbaikan
dalam rangka pemugaran yang menitikberatkan pada pembersihan dan pengawasan
bahan yang digunakan sebagai kontsruksi bangunan, agar persyaratan teknis bangunan
terpenuhi. (Ref. UNESCO.PP. 36/2005).
8
7. Rekonstruksi ialah kegiatan pemugaran untuk membangun kembali dan memperbaiki
sekaurat mungkin bangunan dan lingkungan yang hancur akibat bencana alam, bencana
lainnya, rusak akibat terbengkalai atau keharusan pindah lokasi karenasalah satu sebab
yang darurat, dengan menggunakan bahan yang tersisa atau terselamatkan dengan
penambahan bahan bangunan baru dan menjadikan bangunan tersebut laik fungsi dan
memenuhi persyaratan teknis. (Ref. UNESCO.PP. 36/2005).
8. Konsolidasi ialah kegiatan pemugaran yang menitikberatkan pada pekerjaan
memperkuat, memperkokoh struktur yang rusak atau melemah secara umum agar
persyaratan teknis banguna terpenuhi dan bangunan tetap laik fungsi. Konsolidasi
bangunan dapat juga disebut dengan istilah stabilisasi kalau bagian struktur yang rusak
atau melemah bersifat membahayakan terhadap kekuatan struktur.
9. Revitalisasi ialah kegiatan pemugaran yang bersasaran untuk mendapatkan nilai tambah
yang optimal secara ekonomi, sosial, dan budaya dalam pemanfaatan bangunan dan
lingkungan cagar budaya dan dapat sebagai bagian dari revitalisasi kawasan kota lama
untuk mencegah hilangnya aset-aset kota yang bernilai sejarah karena kawasan tersebut
mengalami penurunan produktivitas. (Ref. UNESCO.PP. 36/2005, Ditjen PU-Ditjen Tata
Perkotaan dan Tata Pedesaan).
10. Pemugaran adalah kegiatan memperbaiki atau memulihkan kembali bangunan gedung
dan lingkungan cagar budaya ke bentuk aslinya dan dapat mencakup pekerjaan
perbaikan struktur yang bisa dipertanggungjawabkan dari segi arkeologis, histories dan
teknis. (Ref. PP.36/2005). Kegiatan pemulihan arsietktur bangunan gedung dan
lingkungan cagar budaya yang disamping perbaikan kondisi fisiknya juga demi
pemanfaatannya secara fungsional yang memenuhi persyaratan keandalan bangunan.
2.2. Tinjauan Arahan Pelestarian
Pelestarian terhadap bangunan dan lingkungan bersejarah harus didasari oleh
motivasi dan tujuan dilaksanakannya kegiatan pelestarian. Upaya pelestarian secara fisik,
terdiri dari teknik-teknik pelestarian yang sudah dikenal luas, seperti preservasi, konservasi,
rehabilitasi, dan sebagainya. Upaya pelestarian secara non fisik merupakan upaya pelestarian
yang berdasarkan kriteria pelestarian bangunan dan lingkungan seperti kesadaran inisiatif,
dasar hukum, konsep perencanaan, organisasi dan realisasi dan pendanaan. Berdasarkan
aspeknya pelestarian dapat dibedakan menajdi pelestarian fisik dan nonfisik. Penjelasan
mengenai masing-masing upaya pelestarian tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:
9
Berbagai macam jenis dan bentuk pelestarian terhadap bangunan menurut Catanese
dan Snyder (1992) antara lain preservasi, konservasi, rstorasi, rehabilitasi, renovasi,
rekonstruksi, adaptasi, replikasi, substitusi, benefiasi, perlindungan wajah bangunan,
perlindungan garis cakkrawala, perlindungan objek, dan demolisi. Lebih lanjut mengenai
pembagian kelompok teknik pelestarian adalah sebagai berikut:
2.2.1. Elemen Fisik Kawasan
Ada banyak bentuk arahan dalam kegiatan pelestarian fisik bagi suatu kawasan
bersejarah. Bentuk-bentuk arahan didapatkan dari pengalaman para ahli dalam mengelola
dan memecahkan permasalahan-permasalahan seputar kegiatan pelestarian. Biasanya bentuk-
bentuk arahan akan disesuaikan dengan permasalahan yang ada dan diperkirakan dapat
meminimalkan permasalahan tersebut.
a. Penggunaan Lahan
Kawasan bersejarah dapat dikembangkan dengan mengaktifkan kegiatan baru yang
masih sesuai dan dapat memacu pertumbuhan ekonomi (Shirvani, 1985). Upaya memberikan
fungsi baru untuk bangunan lama di kawasan bersejarah dapat dilakukan selama tidak
merusak karakter khas kawasan itu sendiri (Budihardjo, 1997:155). Arahan penggunaan lahan
haruslah merupakan penggunaan dengan fungsi-fungsi yang tidak merusak karakter bersejarah
kawasan. Bentuk-bentuk penggunaan tersebut antara lain berupa kegiatan dinamis yang sesuai
seperti pengembangan bidang jasa pariwisata dan museum.
b. Bangunan
beberapa kegiatan seperti renovasi, adaptasi, benefisasi, dan perlindungan wajah
bangunan.
Konservasi dengan kondisi bangunan yang mengalami perubahan kecil hingga sedang
meliputi kegiatan seperti restorasi, renovasi, adaptasi, benefisasi dan perlindungan
wajah bangunan.
Rehabilitasi atau Demolisi dengan tingkat perubahan sedang meliputi kegiatan seperti
meliputi restorasi, renovasi, adaptasi, benefisasi, rekonstruksi, replikasi, demolisi dan
pembangunan baru.
2.2.2. Elemen Non Fisik Kawasan
Upaya pelestarian bangunan dan lingkungan kota secara non fisik membutuhkan
seperangkat kriteria yang tepat. Gerds menetapkan lima kriteria yang diturunkan dari
pengalaman negara-negara di Eropa dalam melaksanakan kegiatan pelestarian. Kriteria
tersebut adalah sebagai berikut.
10
TABEL II. 1
Kriteria Pelestarian Elemen Non Fisik
No Kriteria Pelestarian Implementasi
1. Kesadaran dan
inisiatif
Motivasi pemerintah, swasta dan
masyarakat
2. Dasar hukum Keberadaan Undang-undang yang
mengatur kegiatan pelestarian
3. Konsep
perencanaan
Organisasi antar departemen yang
terlibat, studi-studi, pendidikan khusus
untuk menyediakan tenaga ahli di bidang
pelestarian, tahapan perancangan dan
penanggung jawab
4. Organisasi dan
realisasi
Organisasi pelaksana, sistem pendekatan
dan penunjang pelaksanaan
5. Pendanaan Subsidi pemerintah dan program khusus
Sumber : Gerds dalam Nasruddin (2001)
2.3. Kriteria dan Dasar-Dasar Pertimbangan Penilaian Kultural Bangunan
Penentuan bangunan / kawasan yang akan dikonservasi ditentukan berdasarkan
perumusan kriteria dari berbagai sumber. Kriteria-kriteria yang telah didapat kemudian
dikombinasikan sehingga didapatkan kriteria baru untuk menilai bangunan yang akan
dikonservasi nantinya. Berikut ini merupakan kriteria-kriteria konservasi dari berbagai sumber:
a. Urban Conservation (Cohen, Nahoum 1999)
Kualitas Penting Untuk Konservasi:
1. Urban Setting: Daerah dengan batas, lingkungan kawasan dapat diidentifikasi dengan
fisik dan abstrak, memiliki focal point yang jelas
2. Sense Of Place: dapat diidentifikasi melalui asosiasi emosi dan sejarah, view, memiliki
tema, memberi kenyamanan, relaksasi, hubungan dengan alam, topografi dan
vegetasi.
3. Internal Links: dalam sebuah area terdapat singularitas tempat dan hubungan, desain
spasial didominasi oleh elemen, posisi, pengukuran jalan masih jarang dan belum
menonjol.
4. Style and Design: melibatkan warna, material, tekstur, dan siluet, serta persamaan dan
perbedaan antara bangunan.
5. Workmanship: material yang digunakan untuk konstruksi telah melalui pengolahan
untuk membuatnya menjadi original dan autentik. Hal tersebut termasuk lengkungan
11
dan kubah, dinding tanah liat tertutup, dan batu khusus yang diproses. Mereka tidak
ditemukan di satu bangunan saja, tetapi proses yang berkesinambungan.
b. Conservation and Planning (Edward, Hobson 2004)
Terdapat dasar yang penting untuk menghargai sebuah nilai yang ditandai dengan:
Special architectural : memiliki desain dan konstruksi yang menarik, mengandung nilai
dan makna, bahan dan material khusus
Historic interest : memiliki nilai sejarah yang tidak terlepas dari bangunan atau area
tersebut
c. Heritage Conservation And Architectural Education: „„An Educational Methodology For
Design Studios‟‟ (Mohga E. Embaby)
Salah satu kriteria utama mengenai konservasi adalah pemahaman identifikasi dan
penilaian signifikansi warisan arsitektur, yang seharusnya menjadi inti dari konservasi. Faktor
utama yang membentuk warisan budaya adalah:
lokasi fisik yang terkait landscape dan pengaturan,
desain (misalnya, skema warna),
sistem konstruksi dan peralatan teknis,
kualitas estetika dan penggunaannya,
nilai tidak berwujud, termasuk yang bersejarah, sosial, ilmiah atau asosiasi spiritual,
atau kreatif dan jenius.
interior berharga seperti sebagai furniture yang terkait, dan seni karya-harus
disertakan.
d. Kriteria yang diungkapkan oleh Pontoh, 1992:
a. Estetika; berhubungan dengan nilai arsitektural, meliputi bentuk, gaya struktur yang
mewakili prestasi khusus atau gaya sejarah tertentu.
b. Kejamakan; objek yang akan dilestarikan mewakili kelas dan jenis khusus, tolok ukur
kejamakan ditentukan oleh bentuk suatu ragam atau jenis khusus yang spesifik.
c. Kelangkaan; kelangkaan suatu jenis karya yang merupakan sisa warisan peninggalan
terakhir dari gaya tertentu yang mewakili zamannya dan tidak dimiliki daerah lain.
d. Keluarbiasaan; suatu objek konservasi yang memiliki bentuk menonjol, tinggi atau
besar. Keistimewaannya memberi tanda atau ciri kawasan tertentu.
12
e. Peranan sejarah; lingkungan kota atau bangunan yang memiliki nilai sejarah , suatu
peristiwa yang mencatat peran ikatan simbolis suatu rangkaian sejarah, dan babak
perkembangan suatu kota.
f. Memperkuat kawasan; kehadiran suatu objek atau karya akan mempengaruhi
kawasan-kawasan sekitarnya dan bermakna untk meningkatkan mutu dan citra
lingkungannya.
g. Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya
KAWASAN CAGAR BUDAYA:
• satuan ruang geografis yang memiliki dua Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya
berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas
• Kriteria Penentuan (Pasal 10):
a) mengandung 2 Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan;
b) berupa lanskap budaya hasil bentukan manusia berusia paling sedikit 50 tahun;
c) memiliki pola yang memperlihatkan fungsi ruang pada masa lalu berusia paling
sedikit 50 tahun;
d) memperlihatkan pengaruh manusia masa lalu pada proses pemanfaatan ruang
berskala luas;
e) memperlihatkan bukti pembentukan lanskap budaya; dan
f) memiliki lapisan tanah terbenam yang mengandung bukti kegiatan manusia atau
endapan fosil.
BENDA CAGAR BUDAYA:
• benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak,
berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang
memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia
• Kriteria Penentuan (Pasal 5):
a) berusia 50 tahun atau lebih;
b) mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 tahun;
c) memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau
kebudayaan; dan
d) memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.
13
PENENTUAN CAGAR BUDAYA DI LUAR KRITERIA (Pasal 11):
Benda atau kawasan yang memiliki arti khusus bagi masyarakat atau bangsa
Indonesia, tetapi tidak memenuhi kriteria Cagar Budaya dapat diusulkan sebagai
Cagar Budaya.
h. Venice Charter (1964)
• Bermula dari Athene Charter (1931) pertemuan kedua di Venesia (1964)
penyempurnaan dari hasil kongres pertama Venice Charter
• Latar belakang prinsip-prinsip pemugaran dan restorasi bangunan bersejarah dan
lingkungannya yang dikaitkan dengan kerangka kebudayaan dan trasisi masing-masing.
• Kriteria Objek (bangunan)
a) Konsep monumen bersejarah: bangunan arsitektural beserta lingkungannya
b) Maksud dan tujuan memugar dan merestorasi monumen-monumen terletak pada
nilai sejarahnya dan hasil karya seninya
• Ketentuan Pemugaran
1) Tidak boleh ada konstruksi bangunan baru maupun pembongkaran-
pembongkaran bangunan lama yang mengganggu hubungan antar massa dan
warna/ wajah.
2) Sejarah suatu monumen dengan tempat kejadiannya tidak dapat dipisahkan dan
tidak boleh memindahkan bagian-bagian monumen bersejarah (skulptur,
patung,lukisan, dekorasi) kecuali demi kelestarian.
• Ketentuan Restorasi:
1) Tujuannya: memugar dan menampilkan kembali nilai-nilai estetika dan nilai-nilai
historis dari monumen tersebut yang didasarkan pada keaslian dan keotentikan
dokumen-dokumennya.
2) Restorasi bukanlah memalsukan bukti-bukti artistik dan sejarah
3) Penambahan tidak dapat dibenarkan, kecuali tidak merusak pandangan bagian-
bagian yang menarik dari bangunan tersebut, lingkungan tradisionalnya,
keseimbangan komposisinya maupun hubungannya dengan sekitarnya.
14
i. Washington Charter (1987)
• Charter For The Conservation Of Historic Towns And Urban Areas (Adopted by
ICOMOS General Assembly in Washington D.C., October 1987)
Piagam ini menyangkut daerah perkotaan bersejarah, besar dan kecil, termasuk kota,
kota dan pusat bersejarah atau tempat, termasuk lingkungan alam dan buatan
manusia
• Asas dan Tujuan
1. Konservasi kota-kota bersejarah dan daerah perkotaan bersejarah lainnya harus
menjadi bagian integral dari kebijakan pembangunan ekonomi-sosial dan
perencanaan perkotaan-regional di setiap tingkat
2. Kualitas dipertahankan termasuk karakter bersejarah dari kota atau daerah
perkotaan. Unsur-unsur spiritual yang mengekspresikan karakter ini antara lain:
a) Pola Perkotaan pola jalan;
b) Hubungan antara bangunan dan RTH;
c) Penampilan formal, interior dan eksterior bangunan skala, ukuran, gaya,
konstruksi, bahan, warna dan dekorasi;
d) Hubungan antara kota/daerah perkotaan dan pengaturan sekitarnya, baik
alam dan buatan manusia; dan
e) Berbagai fungsi kota/daerah perkotaan telah mengakuisisi dari waktu ke
waktu.
Setiap ancaman terhadap kualitas ini akan membahayakan keaslian kota
bersejarah atau daerah perkotaan
3. Partisipasi dan keterlibatan warga sangat penting untuk keberhasilan program
konservasi.
4. Konservasi di kota bersejarah atau daerah perkotaan menuntut kehati-hatian,
pendekatan sistematis dan disiplin.
• Metode dan Instrumen:
1. Perencanaan untuk konservasi kota-kota bersejarah dan daerah perkotaan harus
didahului oleh penelitian multidisiplin.
2. Rencana konservasi harus mengatasi semua faktor yang relevan termasuk
arkeologi, sejarah, arsitektur, teknik, sosiologi dan ekonomi.
3. Rencana konservasi harus bertujuan menjamin hubungan yang harmonis antara
daerah perkotaan bersejarah dan kota secara keseluruhan
15
4. Bangunan gedung baru harus menyesuaikan dengan bangunan dan tata ruang
yang sudah ada
5. Pengenalan unsur-unsur kontemporer harus harmoni dengan lingkungan
6. Penyelidikan arkeologi dan pelestarian sesuai temuan arkeologi untuk
meningkatkan pengetahuan sejarah
7. Lalu Lintas di dalam kota bersejarah atau daerah perkotaan harus dikontrol dan
area parkir harus direncanakan
8. Akses menuju kota bersejarah atau daerah perkotaan harus ditingkatkan
9. Kota bersejarah harus dilindungi terhadap bencana alam dan gangguan
10. Publikasi informasi untuk semua penduduk guna meningkatkan partisipasi warga
11. Pelatihan khusus harus disediakan untuk semua profesi yang peduli dengan
konservasi
Dari penjelasan mengenai kriteria-kriteria di atas, maka dapat dirumuskan penilaian
kriteria berdasarkan literatur dan indikator yang telah dibahas sebelumnya. Perumusan kriteria
ini akan mewakili seluruh indikator yang ada. Perumusan indikator ini aan disajikan dalam
bentuk tabel:
TABEL II. 2
Rumusan Kriteria Pelestarian
No Sumber Indikator
Rumusan Kriteria
Keindahan Ciri
Khas
Nilai
Sejarah Kelangkaan Arsitektur
Peranan
Terhadap
Kawasan
1. Urban
Conservation
(Cohen,
Nahoum 1999)
Urban Setting Sense Of Place Internal Links Style and Design Workmanship
v v v v v v
2. Conservation
and Planning
(Edward,
Hobson 2004)
Special
architectural
Historic interest
v v v v v -
3. Heritage
Conservation
And
Architectural
Education:
„„An
Educational
Methodology
For Design
Studios‟‟
(Mohga E.
Embaby)
lokasi fisik yang
terkait landscape
dan pengaturan,
desain (misalnya,
skema warna),
sistem konstruksi
dan peralatan
teknis,
kualitas estetika
dan
penggunaannya,
nilai tidak
berwujud
v v v v v v
16
No Sumber Indikator
Rumusan Kriteria
Keindahan Ciri
Khas
Nilai
Sejarah Kelangkaan Arsitektur
Peranan
Terhadap
Kawasan
interior berharga
4. Pontoh, 1992 Estetika;
Kejamakan;
Kelangkaan
Keluarbiasaan
Peranan sejarah
Memperkuat
kawasan
v v v v v v
5. UU No.11
Tahun 2010
berusia 50 tahun
atau lebih;
mewakili masa
gaya paling
singkat berusia 50
tahun;
memiliki arti
khusus bagi
sejarah, ilmu
pengetahuan,
pendidikan,
agama, dan/atau
kebudayaan; dan
memiliki nilai
budaya bagi
penguatan
kepribadian
bangsa.
- v v v v v
Sumber: Pengolahan Data, 2014
Berbagai sumber di atas, dapat dikategorikan menjadi 6 indikator utama yang
mewakili, diantaranaya keindahan, ciri khas, nilai sejarah, kelangkaan, arsitektur, dan peranan
terhadap kawasan. Dari masing-masing indikator tersebut akan diberikan tingkatan untuk
melakukan penilaian di wilayah studi. Penilaian tersebut terdiri dari rendah, sedang dan
tinggi. Berikut tabel penjelasan tingkatan tiap indikator:
TABEL II. 3
Penjelasan Kriteria Pelestarian
No Indikator Penjelasan Tingkatan
Tinggi (Skor 30) Sedang (Skor 20) Rendah (Skor 10)
1. Keindahan Estetika bangunan
terkait dengan
variabel konsep
dan kondisi bangunan.
Penilaian estetika
berdasarkan
terpeliharanya
elemen–elemen
bangunan dari suatu
perubahan, sehingga
bentuk dan gaya serta
elemen–elemen
Tingkat perubahan
sangat kecil,
karakter asli tetap
bertahan
Terjadi perubahan yang tidak merubah karakter
Variabel dan konsep bangunan mengalami perubahan / tidak terlihat karakter aslinya.
17
No Indikator Penjelasan Tingkatan
Tinggi (Skor 30) Sedang (Skor 20) Rendah (Skor 10)
bangunan masih sama
dengan bentuk dan
gaya bangunan asli.
2. Ciri Khas Kriteria ciri khas
terkait erat dengan
bentuk bangunan serta
elemen – elemennya
terutama yang
berhubungan dengan
ukuran, sehingga
menjadi faktor
pembentuk karakter
bangunan.
Keseluruhan
bangunan terlihat
dominan sehingga
dapat menjadi
landmark.
Bangunan memiliki
beberapa elemen
yang berbeda
dengan lingkungan
bangunan di
sekitarnya
Bangunan tidak
mendominasi
keberadaan
lingkungan
bangunan
sekitarnya.
3. Nilai Sejarah Penilaian terhadap
nilai sejarah
berhubungan dengan
peristiwa bersejarah
atau perkembangan
Kota yang dapat
dilihat dari gaya dan
karakter bangunan
serta elemen–
elemennya yang
mewakili gaya
arsitektur pada masa
itu
Bangunan memiliki
kaitan dan peranan
dalam suatu
periode sejarah /
periode sejarah
tertentu
Bangunan memiliki
fungsi yang terkait
dengan periode
sejarah
Bangunan tidak
memiliki kaitan
dengan periode
sejarah / periode
sejarah arsitektur
tertentu
4. Kelangkaan Kelangkaan bangunan
serta elemen–elemen
bangunan sangat
terkait dengan aspek
bentuk, gaya dan
struktur yang tidak
dimiliki oleh
bangunan lain pada
kawasan studi,
sehingga menjadikan
bangunan tersebut
satu–satunya
bangunan dengan ciri
khas tertentu yang
terdapat pada
kawasan studi.
Tidak ditemukan
kesamaan /
ditemukan sangat
sedikit kesamaan
dengan bangunan
lain di sekitarnya
Ditemukan
beberapa kesamaan
variabel pada
bangunan lain di
sekitarnya
Ditemukan banyak
kesamaan variabel
pada bangunan di
sekitarnya
5. Arsitektur Penilaian terhadap
kriteria memperkuat
karakter berhubungan
dengan elemen–
elemen bangunan
yang mempengaruhi
bangunan dan
berfungsi sebagai
pembentuk dan
pendukung karakter
bangunan asli.
Memiliki gaya
arsitektur yang erat
hubungannya
dengan nilai
sejarah dan belum
ada perubahan
Memiliki gaya
arsitektur yang erat
hubungannya
dengan nilai sejarah
namun ada
beberapa
perubahan
Memiliki gaya
arsitektur yang erat
hubungannya
dengan nilai sejarah
namun terdapat
banyak perubahan
sehingga tidak
terlihat lagi
arsitektur aslinya
6. Peranan Terhadap
Kawasan
Penilaian terhadap
kriteria peranan di
kawasan berkaitan
dengan pengaruh
kehadiran bangunan
Apabila elemen
bangunan dan
bangunan secara
keseluruhan
menciptakan
Apabila elemen
bangunan dan
bangunan secara
keseluruhan cukup
menciptakan
Apabila elemen
bangunan dan
bangunan secara
keseluruhan tidak
menciptakan
18
No Indikator Penjelasan Tingkatan
Tinggi (Skor 30) Sedang (Skor 20) Rendah (Skor 10)
terhadap kawasan
sekitarnya yang dapat
meningkatkan dan
memperkuat kualitas
dan citra lingkungan
kontinuitas dan
laras arsitektural
pada kawasan.
kontinuitas dan
laras arsitektural
pada kawasan.
kontinuitas dan laras
arsitektural pada
kawasan.
Sumber: Pengolahan Data, 2014
Penjelasan di atas menjadi acuan dalam melakukan penilaian terhadap bangunan-
bangunan yang ada di wilayah studi, selanjutnya dilakukan pembagian kelas menjadi tiga
kelas yaitu potensial tinggi, sedang dan rendah. Masing-masing dari kelas tersebut akan
menentukan upaya pelestarian yang direkomendasikan. Dalam pembagian interval, akan
digunakan rumus sebagai berikut:
2.4. Penilaian Kawasan
Penilaian kawasan ini dilakukan sebagai pendukung analisis sebelumnya. Tentunya
pada sebuah kawasan yang memiliki benda cagar budaya dan situs bersejarah, dapat
berpotensi untuk menjadi lokasi wisata. Sebagai pendukung potensi ini, maka perlu dilakukan
penilaian terhadap kawasan terkait dengan posisi, estetika dan peranan kawasan. Berikut ini
elemen-elemen yang dapat digunakan untuk mendukung analisis.
2.4.1. Teori Figure Ground
Menurut Trancik dalam Zahnd (1999) figure adalah istilah untuk massa bangunan,
sedangkan ground adalah istilah untuk ruang di luar massa tesebut. Teori figure-ground dapat
dipahami melalui pola perkotaan dengan hubungan antara bentuk yang dibangun (building
mass) dengan ruang terbuka (open space). Analisis figure - ground, menurut Markus Zahnd
(1999) adalah alat yang baik untuk:
Mengidentifikasi tekstur dan pola tata ruang perkotaan (urban fabric)
Mengidentifikasi masalah keteraturan massa/ruang perkotaan
19
Adapun kelemahan teori ini muncul dari dua segi. Pertama, perhatiannya hanya
mengarah pada gagasan-gagasan ruang perkotaan secara dua dimensi saja. Kedua,
perhatiannya sering dianggap terlalu statis.
Menurut Trancik, figure ground merupakan poin awal dalam memahami suatu
bentuk arsitektural kawasan. Analisis figure ground ini merupakan alat yang kuat untuk
mengidentifikasi tekstur dan pattern (pola) dari suatu urban fabric. Biasanya untuk melihat
tekstur dan pola tersebut figure ground ditunjukan dengan sebuah warna, misal figure
ditunjukkan dengan warna hitam untuk mengetahui massa yang dibangun, sedangkan ground
ditunjukkan dengan warna putih untuk semua ruang yang berada di luar massa. Analisis
dengan menggunakan teori ini dapat menggambarkan pola ruang kota dan keteraturan massa
bangunan yang ada. Pola kawasan secara tekstural dapat diklasifikasikan menjadi 3 kelompok
(Zahnd, 1999: 80) :
Susunan kawasan yang bersifat homogen dengan suatu pola penataan
Susunan kawasan yang bersifat heterogen dengan dua atau lebih pola berbenturan
Susunan kawasan yang bersifat menyebar dengan kecenderungan kacau
Figure dan ground dalam tingkat kota dapat dilihat dari dua skala, yaitu
Skala makro besar
Dalam skala ini, perencana memperhatikan figure-ground kota secara
keseluruhan. Artinya, sebuah kawasan kota yang kecil tidak akan terlalu
penting, karena pandangan pada skala ini terfokus pada ciri khas dan masalah
tekstur kota secara keseluruhan.
Skala makro kecil
Dalam skala makrokecil biasanya perencana memperhatikan figure-ground
kota dengan fokus pada satu kawasan saja. Jadi kota secara keseluruhan
menjadi tidak terlalu penting,karena yang menjadi fokus utama adalah tekstur
dan masalah tekstur kawasan.
Saat ini terdapat dua pandangan pokok mengenai pola kota yang dibentuk dari
perbedaan sudut pandang. Adapun konfigurasi yang terbentuk dari perbedaan sudut pandang
tersebut antara lain:
Figure yang figuratif : perhatian dititikberatkan pada figure atau
massa.
Ground yang figuratif : konfigurasi ruang dilihat sebagai suatu bentuk
tersendiri.
20
Keterangan:
Masa bangunan (figure)
Ruang di luar massa bangunan (ground)
2.4.2. Teori Linkage
Menurut Shirvani (1985), linkage menggambarkan keterkaitan elemen bentuk dan
tatanan massa bangunan, dimana pengertian bentuk dan tatanan massa bangunan tersebut
akan meningkatkan fungsi kehidupan dan makna dari tempat tersebut. Karena konfigurasi dan
penmapilan massa bangunan dapat membentuk, mengarahkan, menjadi orientasi yang
mendukung elemen tersebut. Terdapat tiga pendekatan yang membagi elemen perkotaan,
dapat dilihat dibawah ini (Zahnd, 1999: 108-129):
Linkage visual
Dua atau lebih fragmen kota dihubungkan menjadi satu kesatuan secara visual
berdasarkan dua pokok perbedaan yaitu:
1. Yang menghubungkan dua daerah secara netral
2. Yang menghubungkan dua daerah dengan mengutamakan salah satu daerah
Linkage Struktural
Linkage struktural berfungsi sebagai stabilitator dan koordinator di dalam lingkungan
kota. Tanpa ada daerah-daerah yang polanya tidak dikoordinasikan serta distabilkan
dengan lingkungannya, maka cenderung akan muncul pola tata kota yang kesannya
agak kacau. Dalam linkage struktural terdapat dua pokok perbedaan, yaitu:
21
1. Menggabungkan dua daerah secara netral
2. Menggabungkan dua daerah deengan mengutamakan satu daerah
Linkage kolektif
Bentuk-bentuk kolektif di dalam kota perlu mendapat perhatian, sebab dengan hal
tersebut akan dicapai landasan perancangan melalui pengelompokan berbagai objek
sebagai bagian dari bentuk kolektif (Zahnd, 1999). Hal yang perlu diperhatikan antara
lain ciri khas, organisasi dan hubungan bentuknya yang bersifat kolektif. Sebuah kota
memiliki banyak bagian yang memiliki arti terhadap hubungan dari dalam maupun
luar, yaitu dari diri sendiri maupun dari lingkungannya. Sehingga kawasan-kawasan
perkotaan yang memiliki sifat bentuk kolektif merupakan karakteristik perkotaan yang
penting. Suatu bentuk kolektif dapat berupa bentukan yang berbeda ataupun
berhubungan dengan lingkungan sekitarnya, tergantung pada linkage visual dan
struktural yang menghubungkannya dengan lingkungan sekitarnya. hubungan tersebut
dapat berupa elemen alami atupun buatan.
2.4.3. Elemen Rancang Kota
Menurut Hamid Shirvani (1985) tedapat delapan elemen yang membentuk kawasan
perkotaan secara fisik, antara lain:
a. Tata Guna Lahan
Tata guna lahan adalah suatu denah dua dimensi yang mendasari terciptanya ruang tiga
dimensi beserta pembentukan fungsinya (Shirvani,1985:8). Suatu penetapan penggunaan lahan
akan mempengaruhi hubungan antara sirkulasi/sistem perparkiran dan intensitas kegiatan di
perkotaan, sebab tata guna lahan berhubungan erat dengan koridor pergerakan (transportasi).
Suatu perencanaan tidak harus dijalankan dengan pembangunan kawasan-kawasan baru
secara menyeluruh. Kawasan bersejarah atau lama yang sudah ada masih dapat dimanfaatkan
dengan menambahkan fungsi baru sesuai fungsi kawasan. Sebab penataan kawasan bersejarah
juga menjadi bagian yang ada dalam pengaturan guna lahan. Terdapat dua masalah utama dalam
kebijakan mengenai tata guna lahan yaitu kurangnya pemanfaatan fungsi dalam suatu lahan serta
masyarakat cenderung tidak menyadari potensi fisik lingkungannya (Shirvani, 1985).
b. Bentuk dan Massa Bangunan
Perencana harus memahami bahwa terdapat banyak kesempatan untuk mengurangi
dampak buruk dan memperoleh dampak positif sebanyak mungkin dari keberadaan
intensitas bangunan (Shirvani, 1985: 13). Sebab keberadaan bangunan selalu berpengaruh
22
pada lingkungannya, sehingga dalam proses pembangunan perencana harus
memperhatikan peraturan persyaratan bangunan yang ada.
Tahap yang terpenting dalam mengidentifikasi intensitas bangunan ialah
mengidentifikasi dasar-dasar serta latar belakang yang membentuk kota secara fisik. Aturan
mengenai intensitas bangunan meliputi aturan koefisien lantai bangunan (KLB), koefisien
dasar bangunan (KDB), sempadan bangunan (setback), gaya arsitektur (langgam), skala,
material, tekstur dan warna. Prinsip dan teknik dasar perancangan kota tentang intensitas
bangunan, antara lain (Spreiregen dalam Shirvani, 1985:23):
Skala, berhubungan dengan pandangan manusia, sirkulasi, bangunan sekitar serta luas
lingkungan.
Ruang kota (urban space), merupakan elemen utama perancangan kota.
Keberadaannya dipengaruhi oleh adanya bentukan fisik dalam kota, skala dan sense
of enclosure, serta jenis ruang kota.
Massa (urban mass), meliputi bangunan, ruang terbuka serta berbagai objek yang
dapat membentuk ruang kota dan pola aktivitas pada skala kecil maupun besar.
c. Sirkulasi dan Sistem Parkir
Elemen sirkulasi dan parkir dapat membentuk kota sebagai suatu kawasan serta area
aktifitas yang jelas. Secara fungsional, sirkulasi ibarat pembuluh darah bagi makhluk hidup
yang berperan sebagai saluran bagi perpindahan berbagai kebutuhan warga kota
(Budihardjo, 1997). Elemen-elemen sirkulasi yaitu jalan, jalur pedestrian dan sistem
perparkiran. Parkir sebagai salah satu bagian dari elemen sirkulasi mempengaruhi kualitas
lingkungan kota dalam kaitannya dengan kegiatan komersial serta dampak visual nya pada
bentuk fisik kawasan
Sirkulasi dan parkir yang baik pada kawasan bersejarah akan mempertegas karakter
yang terbentuk dari dua elemen sebelumnya (penggunaan lahan dan bangunan),
mendukung fungsi kegiatan pada kawasan. Sebaliknya, bentuk sirkulasi yang tidak teratur
akan mengaburkan karakter khas yang dimiliki kawasan, mengaburkan pola aktivitas dan
bahkan dapat merusak karakter kawasan bersejarah baik fisik maupun visual.
d. Ruang Terbuka
Ruang terbuka adalah semua landscapes, hardscapes (jalan, pedestrian dan
sebagainya), taman, tempat rekreasi dan lingkungan perkotaan (Shirvani, 1985:27). Elemen
ruang terbuka antara lain berbagai jenis ruang terbuka seperti taman, square, dan
sebagainya, beserta segala fasilitas di dalamnya seperti kolam, air mancur, tanaman dan
23
bangku taman. Selain itu ketersediaan jalur pejalan kaki, elemen penanda serta fasilitas
pelengkap lain juga merupakan elemen yang penting bagi ruang terbuka.
Ruang terbuka harus menjadi suatu bagian yang terintegrasi dengan bagian kota lain
secara utuh, bukan hanya sebagai pelengkap atau penghias kota saja. Ruang terbuka yang
baik harus dapat mengakomodasi kebutuhan seluruh penggunanya, sehingga selain
berfungsi secara ekologis, juga bermanfaat secara sosial. Ruang terbuka publik dapat
merupakan hasil dari perencanaan yang matang ataupun terjadi melalui ketidaksengajaan.
Misalnya taman yang terbentuk dari pemecahan rute lalu lintas. Hal yang terpenting dalam
penyediaan ruang terbuka publik bukanlah luas ataupun jumlahnya, melainkan
pengaturannya dalam lingkup pembangunan yang lebih luas (Tankel dalam Shirvani,
1985:31).
e. Jalur Pejalan Kaki
Jalur pejalan kaki (pedestrian way) seringkali terabaikan dalam pembangunan.
Padahal keberadaannya dapat membatu mengurangi penggunaan kendaraan bermotor,
meningkatkan jumlah perjalanan dalam kota, serta meningkatkan kualitas lingkungan dan
aktivitas masyarakat serta meningkatkan kualitas udara kota. Jalur pejalan kaki harus dapat
mendukung interaksi antara elemen perkotaan yang paling medasar, memiliki hubungan
yang kuat dengan kawasan terbangun dan pola kegiatan masyarakat serta sesuai dengan
perubahan fisik kota di masa mendatang (Shirvani, 1985).
Penyediaan jalur pejalan kaki harus seimbang dengan ketersediaan jalur kendaraan
bermotor, serta memperhatikan tiga hal, yaitu fungsi dan kebutuhan bagi pengguna,
kenyamanan secara fisik dan psikologis. Untuk itu jalur pejalan kaki perlu dilengkapi
dengan berbagai fasilitas pendukung seperti penerangan, skulptur, kursi taman, tanaman
dan sebagainya. Menurut Wood dalam Shirvani (1985) jalur pejalan kaki juga harus
memperhatikan kesesuaian ukuran dan skala, pemilihan material, serta keberadaan
prasarana bawah tanah.
f. Aktivitas Pendukung
Aktivitas pendukung meliputi semua penggunaan dan kegiatan yang dapat
menunjang keberadaan ruang publik kota yang saling melengkapi satu sama lain. Seperti
aspek bentuk, lokasi serta karakteristik suatu area yang yang dapat menarik suatu fungsi,
penggunaan dan aktivitas tertentu. Hubungan antara suatu ruang dengan aktivitas yang
berlangsung di dalamnya merupakan hal yang krusial dalam perancangan kota (Shirvani,
1985:37).
24
Aktivitas pendukung tidak hanya meliputi penyediaan jalur pejalan kaki ataupun
plaza, tetapi juga pertimbangan terhadap fungsi dan penggunaan utama suatu elemen
dalam suatu kota yang menimbulkan aktivitas masyarakat. Perencanaan aktivitas
pendukung juga meliputi integrasi antara kegiatan yang dilakukan di dalam dan di luar
ruangan. Contohnya pusat perbelanjaan, taman rekreasi, perpustakaan umum, civic centre
dan sebagainya. Pada umumnya tempat-tempat tersebut dirancang dan diletakkan tanpa
memperhitungkan dampak yang akan timbul dan kinerjanya. Suatu simpul aktivitas utama
seharusnya dapat dialokasikan ke tempat yang secara fungsional paling sesuai,
membaurkan aktivitas tersebut dengan aktivitas pelengkap serta menghubungkannya satu
sama lain dengan jalur pejalan kaki yang aman, menarik dan dirancang bagi kepentingan
pengguna (Charlotte dalam Shirvani, 1985:38).
g. Penandaan
Meningkatnya aktivitas masyarakat dalam suatu kota turut mempengaruhi tingkat
kebutuhan masyarakat akan informasi. Salah satu sarana informasi yang dapat memberikan
arahan dan petunjuk bagi masyarakat adalah elemen penanda atau signage. Keberadaan
penanda harus dipertimbangkan agar tidak menganggu pemandangan. Seperti melalui
penyesuaian desain, ukuran dan tampilannya dengan lingkungan sekitar. Elemen
penandaan yang dirancang dengan baik memberikan dampak positif bagi façade
bangunan, menghidupkan suasana jalan serta dapat memberikan infoemasi yang
komunikatif tentang usaha yang dijalankan (Long Beach Guidelines dalam Shirvani,
1985:41).
h. Preservasi
Shirvani (1985) menggunakan terminologi yang mengacu pada aspek perencanaan
dan perancangan yang dapat memelihara lingkungan yang telah ada maupun yang akan
diciptakan. Kegiatan pelestarian merupakan usaha untuk meningkatkan kehidupan kota
tanpa meninggalkan makna kultural maupun nilai sosial ekonominya. Adanya pelestarian
dapat dimanfaatkan untuk melindungi lingkungan dan ruang kota yang ada dan bermakna
sejarah, sehingga kita dapat melanjutkan aktivitas yang ada di lingkungan tersebut ataupun
memasukkan aktivitas baru yang lebih baik dan lebih sesuai ke dalamnya. Pelestarian
kawasan bersejarah juga dapat memberikan manfaat dari aspek ekonomi, sosial, budaya
dan perencanaan. Manfaat yang dapat diperoleh antara lain:
25
Meningkatkan nilai bangunan/lingkungan.
Meningkatkan nilai penjualan dan sewa bangunan di lingkungan tersebut.
Mencegah terjadinya perubahan tampilan ataupun penggantian bangunan.
Meningkatkan penerimaan pajak bagi penggunaan yang tidak sesuai
ketetapan.
2.4.4. Elemen Citra Kota
a. Jaringan jalan (path)
Jalur (path) adalah elemen yang paling penting dalam citra kota. Menurut Lynch
dalam Zahnd (1999) jika identitas jalur pada suatu kota tidak jelas, maka kebanyakan orang
akan meragukan citra kota secara keseluruhan. Path merupakan rute-rute pergerakan atau
sirkulasi yang biasanya digunakan orang secara umum, yaitu jalan, gang-gang utama, jalan
transit, lintasan kereta api, saluran dan sebagainya. Path akan memiliki identitas yang lebih
baik jika jalur tersebut mempunyai tujuan yang besar (misalnya ke stasiun, tugu, alun-alun,
dan lain-lain), serta terdapat penampakan yang kuat (misalnya facade, pohon, dan lain-lain),
atau ada belokan yang jelas.
b. Kawasan (district)
Menurut Lynch dalam Zahnd (1999) kawasan (district) adalah kawasan-kawasan kota
dalam skala dua dimensi. Suatu district memiliki ciri khas yang mirip (bentuk, pola, dan
wujudnya) dan khas pula dalam batasnya, dimana orang merasa harus mengakhiri atau
memulainya. Jadi suatu district mempunyai identitas yang lebih baik jika terdapat batas yang
dibentuk dengan jelas dan terlihat homogen, serta fungsi dan posisinya jelas.
c. Batas (edge)
Batas (edge) adalah elemen linear yang tidak dipakai/dilihat sebagai path, berada
pada batas antara dua kawasan tertentu dan berfungsi sebagai pemutus linear (Zahnd, 1999).
Contohnya pantai, tembok, batasan antara lintasan kereta api, topografi, dan sebagainya.
Edge lebih bersifat sebagai referensi daripada misalnya elemen sumbu yang bersifat koordinasi
(linkage). Edge merupakan penghalang, meskipun terkadang ada tempat untuk masuk. Edge
merupakan pengakhiran atau batas suatu district dengan yang lainnya. Suatu edge akan
memiliki identitas yang lebih baik jika batas kontinuitas dan fungsi batasnya jelas: bersifat
membagi atau menyatukan.
26
d. Tengeran (landmark)
Tengeran (landmark) merupakan titik referesi seperti elemen node, tetapi orang tidak
masuk ke dalamnya karena letaknya bisa dilihat dari luar. Landmark adalah elemen eksternal
dan merupakan bentuk visual yang menonjol dari kota, misalnya gunung atau bukit, gedung
tinggi, menara, tanda tinggi, tempat ibadah, pohon tinggi, dan sebagainya (Zahnd, 1999).
Beberapa landmark letaknya dekat, sedangkan yang lain jauh sampai di luar kota. Beberapa
landmark hanya mempunyai arti di daerah kecil dan dapat dilihat hanya di daerah itu,
sedangkan landmark lain mempunyai arti untuk keseluruhan kota dan bisa dilihat dari mana-
mana. Landmark dapat membantu orang untuk mengorientasikan diri di dalam kota dan
membantu orang mengenali suatu daerah. Identitas landmark akan lebih baik jika bentuknya
jelas, unik dalam lingkungannya, dan ada sekuens dari beberapa landmark (merasa nyaman
dalam orientasi), serta ada perbedaan skala masing-masing.
Dalam perancangan kota dikenal tiga kelompok teori perkotaan secara arsitektural
yang sangat berguna bagi perancang kota, terutama jika perancang memperhatikan implikasi
antara teori yang satu dengan yang lainnya (Zahnd, 1999:69). Menurut Roger Trancik dalam
Zahnd (1999) ketiga pendekatan teori tersebut merupakan landasan penelitian perancangan
perkotaan, baik secara historis maupun modern. Sebab masing-masing teori memiliki potensi
sebagai strategi perancangan kota yang menekankan produk perkotaan secara terpadu. Teori
tersebut adalah Teori Figure-Ground, Teori Linkage dan Teori Place.
e. Pusat Kegiatan (Node)
Simpul (node) merupakan suatu lingkaran daerah strategis, tempat pertemuan arah
atau aktivitasnya dan dapat diubah ke arah atau aktivitas lain (Zahnd, 1999). Contoh node
misalnya persimpangan lalu lintas, stasiun, lapangan terbang, jembatan, kota secara
keseluruhan dalam skala makro besar, pasar, taman, square, dan sebagainya. Tetapi tidak
setiap persimpangan jalan adalah sebuah node. Faktor lain yang menentukan adalah citra
place terhadapnya. Di dalam suatu node orang mempunyai perasaan „masuk‟ dan „keluar‟
dalam tempat yang sama. Identitas node akan lebih baik jika tempatnya memiliki bentuk yang
jelas (karena lebih mudah diingat), serta tampilan berbeda dari lingkungannya (dari segi fungsi
atau bentuk).
27
2.4.5. Elemen Estetika
1. Sumbu
Sumbu merupakan garis maya yang seakan-akan menghubungkan antara satu titik
dengan titik yang lain dalam satu konfigurasi massa terbangun (bangunan, vegetasi,
landscape, dll).
2. Simetri
Simetri adalah konfigurasi massa bangunan yang seakan-akan menciptakan suatu
garis maya yang memisahkan. Atau dengan kata lain simetri merupakan susunan
yang seimbang dari pola bentuk dan ruang yang sama terhadap garis bersama /
sumbu atau titik pusat baik bilateral maupun radial.
3. Hirarki
Hirarki merupakan konfigurasi massa bangunan yang ditujuka untuk menonjolkan
fungsi suatu bangunan tertentu. Hirarki dapat dicapai dengan (a) pembedaan
ukuran, (b) pembedaan bentuk dan (c) pembedaan jarak.
GAMBAR 2. 1
Hirarki
4. Balance
Balance merupakan konfigurasi massa bangunan yang ditujukan tercapainya suatu
keseimbangan pandangan dari sisi pengamat. Rasa yang menyatakan bahwa ada
keseimbangan dalam suatu kawasan. Perancangan yang proporsional dapat
menciptakan kesan ini misalnya dengan persebaran bangunan atau aktifitas yang
merata.
5. Irama
Irama adalah konfigurasi massa bangunan yang menimbulkan perasaan keteraturan
bagi pengamat (ditujukan dengan pengulangan). Unsur irama baik warna maupun
bentuk bangunan secara teratur dan dinamis. Oleh karena itu, untuk menghilangkan
kesan monoton pada kawasan yang memanjang di sepanjang koridor jalan,
diperlukan perencanaan dengan menggunakan konsep irama yang dapat ditimbulkan
melalui warna bangunan maupun bentuk atap yang variatif.
(b) (a) (c)
28
6. Skala Dan Proporsi
Pada skala dan proporsi ditujukan untuk menimbulkan perasaan tertentu bagi
pengamat. Skala berhubungan dengan konfigurasi massa bangunan tersebut dengan
keberadaan pengamat. Sedangkan proporsi berhubungan dengan detail dalam
kofigurasi itu sendiri. Adapun macam skala ada tiga yakni: skala kebesaran, skala
forum dan skala intim.
7. Konteks Dan Kontras
Konteks dan kontras dapat dilihat melalui kesesuaian bangunan dengan kondisi
lahan dan lingkungan sekitarnya.
2.4.6. Kriteria Tak Terukur
Kriteria tak terukur adalah kriteria yang lebih menekankan pada aspek kualitatif di
lapangan. Menurut Hamid Shirvani (1985: 57), kriteria tak terukur terdiri atas enam konsep,
antara lain :
1. Pencapaian (access)
Access memberikan kemudahan, kenyamanan dan keamanan untuk mencapai tujuan.
Maksudnya adalah tersedianya sarana dan prasarana transportasi, dimensi jalan sesuai
dengan kelas jalan, tatanannya, letak serta sirkulasi dan pengaturannya diperhatikan
dengan baik. Access tidak hanya melibatkan kemudahan pencapaian ke ruang atau
kawasan tetapi juga pencapaian ke massa bangunan. Kemudahan pencapaian ke ruang
atau kawasan dan pencapaian ke massa bangunan dapat dipenuhi dengan
mempertimbangkan sirkulasi di dalam dan di luar site.
2. Kecocokan (compatible)
Compatible adalah kecocokan karena letak. Maksudnya adalah kecocokan pada
lokasi, kepadatan, skala dan bentuk massa bangunan.
3. Pemandangan (view)
View berkaitan dengan aspek kejelasan yang terkait dengan orientasi manusia
terhadap bangunan. View dapat berupa landmark. Nilai visual ini dapat diperoleh dari
skala dan pola serta warna, tekstur, tinggi dan besaran.
4. Identitas (identity)
Identity adalah identitas/ nilai yang dibuat/ dimunculkan oleh obyek (bangunan/
manusia) sehingga dapat ditangkap dan dikenali oleh indera manusia. Identity dikenal
juga dengan citra.
29
5. Rasa (sense)
Sense kesan atau suasana yang ditimbulkan. Sense ini biasanya merupakan simbol
budaya dan berhubungan dengan aspek kebudayaan yang disampaikan oleh individu/
kelompok bangunan atau simbol budaya.
6. Kehidupan (livability)
Livability adalah kenyamanan untuk tinggal atau rasa kenyamanan untuk tinggal atau
beraktivitas di suatu kawasan/ obyek.
2.5. Aspek Pelestarian
Manfaat kultural akan mencakup arti penting setiap bangunan dan lingkungan
bersejarah, terhadap dunia pendidikan, kualitas estetika lingkungan kota. Disamping itu akan
memunculkan kesan keterkaitan akan sesuatu bangunan atau tempat tertentu yang pada
umurnnya. telah mengalami perubahan. Implikasi terhadap pembangunan ekonomis
mencakup rneningkatkan niiai kepemilikan, memberikan darnpak bagi peningkatan kapasitas
penjuaian dan penyewaan komersial, penghematan biaya pernbangunan, serta peningkatan
pemasukan pajak pendapatan. Implikasi sosiologis dan perencanaan, agak sulit diu.kur,
narnun merupakan aspek yang tidak kalah penti:ngnya dari manfaat lainnya.
Manfaat kegiatan pelestarian memberikan (Budihardjo: 1985), yaitu :
1. Memperkaya pengalaman visual , memberi tautan makna masa larnpau, dan memberikan
pilihan untuk tetap tinggal dan bekerja di dalam bangunan maupun lingkungan lama bersejarah
tersebut.
2. Ditengah perubahan dan pertumbuhan yang pesat seperti sekarang ini, lingkungan lama
bersejarah akan menawarkan suasana permanen dan menyegarkan.
3. Membantu hadirnya sense of place, identitas diri, dan suasana kontras ditengah-tengan
keseragaman bentuk arsitektur diagra,matis, yang dihasilkan dari teknologi yang berorientasi
dengan nilai-nilai ekonomis
4. Kota dan lingkungan lama adalah asset terbesar dalam industri wisata internasional sehingga
perlu dilestarikan.
5. Pelestarian merupakan suatu kewajiban generasi masa kini untuk dapat melindungi dan
menyampaikan warisan berharga kepada generasi mendatang.
6. Pelestarian membuka kemungkinan bagi setiap manusia untuk memperoleh keamanan psikoiogis,
untuk dapat menyentuh, melihat dan merasakan bukti fisik sesuatu tempat di dalam tradisinya.
7. Pelestarian membantu terpeliharanya warisan arsitektur, yang dapat menjadi catatan sejarah
masa lampau dan melambangkan keabadian serta kesinambungan, yang berbeda dengan
keterbatasan masa kehidupan manusia.
30
Kabupaten Demak merupakan salah satu kabupaten yang terletak di sebelah utara
provinsi Jawa Tengah. Nama Kabupaten Demak sangat tersohor di Indonesia dimana pada
zaman kerajaan dulu, Demak merupakan pusat penyebaran Islam pertama di pulau Jawa dan
Kota Demak menjadi pusat kerajaan tersebut. Pada masa kerajaan itu penyebaran agama
islam dilakukan oleh para sunan-sunan yang hingga saat ini dikenal dengan istilah wali songo
atau Sembilan wali. Pada saat ini kegagahan kerajaan yang wilayah kekuasaannya mencapai
seluruh Pulau Jawa dan sebagian wilayah Sumatra dan Kalimantan ini telah hilang, namun
masih menyisakan Masjid Agung Demak yang merupakan artefak atau peninggalan yang
masih berdiri dan dimanfaatkan hingga sekarang.
Dalam Perda Nomor 6 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah
(RTRW) Kabupaten Demak 2011-2031 pasal 46 menyebutkan bahwa Masjid Agung Demak
merupakan salah satu lokasi cagar budaya di Kabupaten Demak, sehingga harus tetap dijaga
kelestarianya. Masjid Agung Demak merupakan simbol dari kawasan perkampungan
disekitarnya yang perlu juga kiranya dapat perhatian sehingga tidak menimbulkan degradasi
terhadap lingkungannya. Kampung yang di maksud adalah Kampung Kauman Demak yang
merupakan lokasi Masjid Agung Demak.
3.1. Letak Administrasi Kampung Kauman Demak
Lokasi dan Orientasi Kampung Kauman Demak secara Administratif terletak di
Kelurahan Bintoro Kecamatan Demak, dibatasi oleh:
Sebelah Utara : Jl. Singil
Sebelah Selatan : Jl. Sunan Fatah dan Jl. Bhayangkara
Sebelah Barat : Jl. Sultan Fatah dan Alun-Alun Kabupaten Demak
Sebelah Timur : Jl. Bhayangkara
Berdasarkan batas administrasi tersebut Kampung Kauman merupakan kawasan yang
memiliki wilayah yang strategis karena terletak pada daerah konstelasi Terminal Demak(
BAB III SEKILAS KAMPUNG KAUMAN
DEMAK Berisi tentang gambaran Kampung Kauman Demak beserta
sejarah dan bangunan kunonya
31
sebagai pusat trasportsi umum Kabupaten Demak), Kawasan Pecinan (sebagai pusat
perdagangan dan jasa), dan Alun-alun Demak (sebagai pusat kegiatan Kabupaten Demak).
Karena lokasi yang sangat strategis tersebut, Kampung Kauman memiliki tingkat aksesbilitas
dan trasportasi yang baik karena berbatasan langsung dengan terminal Kabupaten dan Alun-
Alun Kota Demak. Sedangkan Jalan Sultan Fatah merupakan jalan yang menghubungkan
antara perkota demak dengan perkotaan lain disekitarnya. Saat ini Kawasan Masjid Agung
Demak telah dimanfaatkan sebagai salah satu destinasi Pariwisata di Kabupaten Demak yang
selalu ramai dikunjungi pengunjung setiap harinya.
Sumber: Pengamatan Kelompok, 2014
GAMBAR 3. 1
Orientasi Wilayah
Letak kampung kauman yang bedekatan dengan lokasi pusat kegiatan di Demak,
menyebabkan semakin cepat berkembangnya lahan di kawasan. Selain itu Masjid Agung
Demak yang sering dimanfaatkan sebagai tempat wisata religi menyebabkan terdapatnya
bangunan rumah tinggal yang diubah fungsikan menjadi losmen. Perkembangan tersebut
sebaiknya dapat diantisipasi agar bangunan-bangunan yang termasuk dalam kategori
bangunan heritage tidak hilang.
32
3.2. Gambaran Fisik Kampung Kauman Demak
3.2.1. Kondisi Fisik Alami
Kondisi fisik alami mencakup topografi dan klimatologi. Hal ini perlu diketahui
sebagai gambaran umum karena sebagai pertimbangan apakah ada pengaruh alam terhadap
perkembangan kawasan tersebut.
a. Topografi
Kondisi topografinya yang landai (kemiringan 7-9 m) menjadikan Kampung Kauman
Demak tergolong sebagai daerah aman dari genangan banjir. Namun saluran tempat
pembuangan air atau drainase harus di kelola lebih baik karena di titik-titik tertentu
terdapat genangan air.
b. Klimatologi
Memiliki iklim tropis 2 (dua) jenis yaitu, musim kemarau dan musim penghujan yang
memiliki siklus pergantian ± 6 bulan. Hujan sepanjang tahun, dengan curah hujan yang
bervariasi dari tahun ke tahun rata-rata 2215 mm sampai dengan 2183 mm dengan
maksimum bulanan terjadi pada bulan Desember sampai bulan Januari. Temperatur udara
berkisar antara 25,80° C sampai dengan 29,30° C, kelembaban udara rata-rata bervariasi
dari 62% sampai dengan 84%. Arah angin sebagian besar bergerak dari arah Tenggara
menuju Barat Laut dengan kecepatan rata-rata berkisar antara 5,7 km/jam.
3.2.2. Kondisi Fisik Binaan
Kondisi fisik binaan pada kawasan kampung kauman Demak terbagi menjadi sarana
dan prasarana. kondisi sarana dan prasarana pada kawasan dapat dilihat pada bagian berikut.
a. Sarana
Fasilitas Peribadatan
Pada kawasan kajian terdapat dua tempat yang di gunakan masyarakat untuk
melakukan kegiatan peribatan, fasilitas peribadatan tersebut adalah mesjid.
Fasilitas Perdagangan dan Jasa
Pada kawasan kajian kegiatan perdagangan dan jasa umumnya terdapat pada
lokasi yang berbatasan langsung dengan jalan utama, hal tersebut tentunya untuk
memudahkan dalam memasarkan barang daganganya. Namun terdapat juga toko
atau warung yang terdapat di dalam kawasan, dimana tingkat pelayananya hanya
sebatas daerah sekitar. Terdapat satu buah hotel di kawasan kajian sebagai
pendukung kegiatan pariwisata di Masjid Agung Demak.
33
Fasilitas Umum
Terdapat fasilitas umum dikawasan yaitu berupa TPU(Tempat Pemakaman Umum)
sebanyak dua lokasi. Pemakan tersebut tentunya memudahkan masyarakat jika ada
keluarga atau sana mereka yang meninggal, sehingga tidak perlu jauh-jauh untuk
memakamkanya.
Aksesbilitas
Aksesbilitas menuju kawasan dapat di dicapai melalui jalan Bhayangkara dan Jl.
Sultan Fatah. Sedangkan jalan-jalan yang terdapat dikawasan umumnya dapat
dicapai dengan kendaraan roda empat. Namun terdapat juga jalan yang hanya
dicapai dengan kendaraan roda dua.
Sumber: Pengamatan Kelompok, 2014
GAMBAR 3. 2
Sebaran Sarana
34
b. Prasarana
Jaringan Drainase
Jaringan drainase di kawasan Kampung Kauman Demak ini mengikuti pola jaringan
jalan. Dimana jaringan drainase tersebut tertutup dan dapat dibuka. Penutupan
drainase tersebut mengunakan besi dan semen. Namun sayang drainase tersebut
banyak terdapat sampah sehingga dapat menghambat penyaluran air pada waktu
musim hujan.
Jaringan Listrik
Jaringan Listrik di kawasan Kampung Kauman Demak ini mengikuti pola jaringan
jalan. Dimana disetiap persimpangan terdapat tiang listrik. Semua kawasan pada
Kampung Batik ini telah teraliri oleh jaringan listrik
Jaringan Air Bersih
Jaringan Air Bersih di kawasan Kampung Kauman Demak ini mengikuti pola
jaringan jalan. Dimana disetiap sisi jalan terdapat pipa-pipa air sebagai sumber air
bersih. Sebagian besar kawasan sudah menggunakan PDAM dan kondisi jaringan air
bersih ini cukup baik.
Jaringan Telepon
Kawasan Kampung Batik juga telah teraliri jaringan telepon yang ditunjukkan
dengan adanya tiang-tiang telepon pada setiap persimpangan jalannya.
3.3. Sejarah Kampung Kauman Demak
Proses terbentuknya masyarakat kauman Demak tidak biasa lepas dari sejarah
terbentuknya Masjid Agung Demak. Masjid Agung Demak merupakan salah satu masjid tertua
di Indonesia. Masjid ini memiliki nilai historis yang sangat penting bagi perkembangan Islam
tanah air, terutama pada masa kesultanan Demak Bintoro. Masjid ini didirikan pada tahun
1478 M oleh prakarsa Raden Fatah dan dibantu dengan masyrakat sekitar dan para wali.
Namun terdapat empat wali yang terlibat langsung dalam pembangunan masjid yaitu, Sunan
Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Ampel, dan Sunan Gunungjati. Masjid Agung Kota Demak
dipercayai oleh masyarakat sebagai tempat berkumpulnya para wali-wali yang lebih dikenal
dengan sebutan walisongo pada zamanya.
Masjid Agung Demak ini merupakan cikal bakal berdirinya Kerajaan Glagahwangi
Bintoro Demak yang dikenal luas sebagai Kesultanan Demak. Seiring dengan perkembangan
tersebut berdirilah kampung-kampung yang mendukung aktifitas kerajaan dan masjid
35
tersebut. Salah satu kampung yang masih ada sekarang adalah Kampung Kauman Demak.
Kampung Kauman Demak merupakan tempat bermukimnya para alim ulama di Kesultanan
Demak. Beberapa bukti dari pernyataan tersebut adalah terdapatnya makam para ulama dan
tokoh-tokoh di Kampung Kauman. Makam-makam tersebut antara lain Sunan Prawoto, Pati
Unus, Pangeran Pandan, Sultan Trenggana Raden Bariyo Penangsang, Raden Patah,
Darmokusumo, dan makam Maulana Malik Ibrahim.
Sumber: http://media-kitlv.nl; www.googleearth.com
GAMBAR 3. 3
(i) Peta Kauman Tahun 1914; (ii) Peta Kauman tahun 2013
Sumber: http://media-kitlv.nl; survey, 2014
GAMBAR 3. 4
(i) Masjid Agung Demak Tahun 1930; (ii) Masjid Agung Kauman tahun 2014
36
3.4. Bangunan Khas dan Historis di Kampung Kauman Demak
Kawasan kampung Kauman Demak, merupakan salah satu kampung yang memiliki
nilai sejarah yang panjang di Demak. Perkembangan perkotaan turut mengubah wajah
kampung tua, sehingga terlihat lebih baru. Peremajaan yang dilakukan tentunya akan
mengubah fisik dari bangunan yang ada. Perubahan fisik dari bangunan tersebut
menyebabkan hilangnya karakteristik kawasan yang merupakan kawasan pribumi.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan di Kampung kauman Demak terdapat 17 bangunan
yang perlu dikonservasi. Bangunan tersebut antara lain :
Tabel III. 1
Bangunan Khas dan Historis di Kampung Kauman Demak
No. ALAMAT KEPEMILIKAN PENGGUNAAN GAYA BANGUNAN
01 ------ Pribadi Rumah Tinggal Lokal 02 ------ Pribadi Rumah Tinggal Lokal 03 ------ Pribadi Rumah Tinggal Lokal 04 ------ Pribadi Rumah Tinggal Lokal 05 Jl. Sultan Fatah BKM (Badan Kesejahteraan Masjid) Masjid Lokal 06 Jl. Kauman II Pribadi Rumah Tinggal Lokal 07 Jl. Sultan Fatah Pemda (DISPARBUD Kab. Demak) Kantor Lokal 08 Jl. Kauman III Pribadi Rumah Tinggal Lokal 09 Jl. Kauman III Pribadi Rumah Tinggal Lokal 10 Jl. Kauman III Pribadi Rumah Tinggal Lokal 11 Gg. IV Pribadi Rumah Tinggal Lokal 12 Gg. IV Pribadi Rumah Tinggal Lokal 13 Jl. Kauman III Pribadi Rumah Tinggal Lokal 14 Jl. Kauman III Pribadi Rumah Tinggal Lokal 15 Jl. Kauman III Pribadi Rumah Tinggal Lokal 16 Jl. Kauman II Pribadi Rumah Tinggal Lokal 17 Jl. Kauman II Pribadi Rumah Tinggal Lokal
Sumber: Observasi Kelompok, 2014
Bangunan kuno yang terdapat di Kampung Kauman Demak tersebar keseluruh kawasan.
Namun hanya sedikit sisa-sisa bangunan yang masih utuh bentuknya. Hal ini dapat disimpulkan karena
sebagian besar bangunan kuno yang terdapat dikawasan Kampung Kauman Demak merupakan
bangunan bergaya arsitektur lokal dengan mengunakan material berupa kayu, sehingga jika tidak
dirawat dengan benar akan mudah lapuk dan rusak dimakan oleh waktu. Penyebaran bangunan-
bangunan tersebut dapat dilihat pada gambar 3.5 yang merupakan peta mapping lokasi bangunan
bersejarah yang ada di Kampung Kauman Demak.
37
Sumber: Observasi Kelompok, 2014
GAMBAR 3. 5
Persebaran Bangunan Khas dan Historis Yang Masih Ada di Kampung Kauman
38
4.1. Analisis Elemen Fisik Kawasan Dalam Kaitannya Dengan Pelestarian
Kampung Kauman merupakan kawasan yang memiliki nilai sejarah dan budaya yang
sangat tinggi, terutama untuk umat muslim. Berdasarkan hal ini, tentu saja banyak
peninggalan-peninggalan penting dan bersejarah yang masih dapat dipertahankan sampai
sekarang. Dalam kaitannya dengan pelestarian, maka elemen fisik kawasan dapat dilihat
berdasarkan dua aspek yaitu penggunaan lahan dan bangunan.
4.1.1. Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan pada Kampung Kauman didominasi oleh lahan terbangun berupa
permukiman. Lingkungan permukiman ini pun dilengkapi dengan sarana prasarana yang
mendukung seperti pemakaman, peribadatan, dll. Dalam kaitannya dengan pelestarian,
penggunaan lahan yang dimaksud pada tahapan ini adalah mengidentifikasi fungsi-fungsi yang
dapat menimbulkan aktivitas baru. Misalnya saja pembentukan fungsi baru pada bangunan
lama dimana bangunan tersebut mencerminkan karakter kawasan.
Pada Kampung Kauman sendiri jika dilihat kondisi di lapangan, banyak nilai sejarah
yang telah hilang, kampung ini pun seakan menjadi permukiman biasa dengan modernisasi
disana sini. Kondisi ini tentunya sangat disayangkan, mengingat Kampung Kauman adalah
salah satu kampung islami dengan icon Masjid Agung Demak yang seharusnya nilai sejarah
dan aura islaminya masih dapat dijumpai dengan mudah.
Penggunaan lahan pada kawasan juga tampak seperti permukiman pada umumnnya,
hanya saja jejak-jejak keislaman pada kampung ini masih sedikit terasa, juga karakter sosial
kebudayaannya. Dilihat pada gambar di bawah berikut ini bahwa penggunaan lahan pada
Kampung Kauman sebenarnya memiliki potensi untuk dilakukan pelestarian, karena
bangunan-bangunan yang memiliki karakter.
BAB IV KAJIAN DAN PENENTUAN
BANGUNAN LAYAK KONSERVASI Berisi tentang analisis bangunan bersejarah Kampung Kauman
beserta penilaian dan penentuan bangunan layak konservasi
39
Sumber: Observasi Kelompok, 2014
GAMBAR 4. 1
Penggunaan Lahan Kampung Kauman
Gambar di atas merupakan kondisi penggunaan lahan pada Kampung Kauman. Jika
dilihat di lapangan, pada setiap fungsi penggunaan lahan memiliki karakter tersendiri yang
mencerminkan budaya Kampung Kauman. Pada masing-masing fungsi tersebut juga memiliki
bangunan / landmark yang dapat dikembangkan sebagai kawasan konservasi. Dengan adanya
bangunan-bangunan yang tersebar pada seluruh kawasan, maka kawasan tersebut tentunya
memiliki potensi untuk dijadikan kawasan konservasi. Berikut ini merupakan gambar dari
masing-masing fungsi penggunaan lahan.
41
4.1.2. Bangunan
Kegiatan pelestarian juga tidak lepas dari bangunan-bangunan bersejarah dan
berkarakter yang juga dapat memberikan nilai lebih pada kawasan. Keberadaan bangunan-
bangunan ini selain memberikan karakter, juga sebagai bentuk penghargaan terhadap sejarah
dan budaya yang ada di kawasan tersebut. Setidaknya ada beberapa negara yang telah
menyadari dan melakukan tindakan konservasi terhadap bangunan tersebut.
Pada Kampung Kauman sendiri, pada observasi yang telah dilakukan, tercatat ada
sekitar 18 bangunan yang memiliki kekhasan dan diyakini sebagai bangunan yang memiliki
nilai sejarah. Bangunan-bangunan tersebut terdiri dari hunian, perdagangan jasa, sampai pada
peribadatan. Selain bangunan-bangunan tersebut, sebenarnya juga banyak bangunan lainnya
yang bersejarah, namun karena tidak adanya perlindungan, maka banyak terjadi renovasi dan
modifikasi sehingga nilai sejarahnya telah hilang. Berikut ini merupakan data bangunan khas
dan bersejarah di Kampung Kauman.
Sumber: Observasi Kelompok, 2014
GAMBAR 4. 3
Data Bangunan Khas dan
Bersejarah
42
Kondisi bangunan-bangunan yang telah disebutkan di atas menjadi penting juga
untuk dibahas, mengingat kegiatan konservasi juga berhubungan dengan karakter bangunan
tersebut. Berikut ini merupakan penjelasan mengenai kondisi bangunan yang ada di Kampung
Kauman.
a. Usia Bangunan
Usia bangunan di kampung kauman demak bervariasi, sebagian besar merupakan
bangunan baru meskipun masih ada beberapa bangunan kuno yang usianya lebih dari 50
tahun. Hal ini diketahui hsil obeservasi serta i wawancara pada beberapa orang yang tua
(usia lebih dari 40 tahun) bahwa rumah yang mereka tempati sudah ada sejak mereka
masih kecil, dan mayoritas pemilik bangunan tua itu adalah generasi kakek mereka yang
sudah tidak ingat kapan tepatnya rumah itu dibangun. Namun jumlah bangunan tua yang
ada di lingkungan kauman demak sudah tidak banyak hanya tinggal 17 bangunan yang
pada umumnya konstruksi terbuat dari kayu.
Sumber: Observasi Kelompok, 2014
GAMBAR 4. 4
Bangunan Tua Yang Ada Di Kampung Kauman Demak
43
b. Fungsi Bangunan
Fungsi bangunan saat ini yang paling dominan adalah bangunan dengan fungsi rumah
tinggal, dan ada beberapa yang dibiarkan kosong tidak berpenghuni. Namun juga ada
bangunan yang sudah masuk cagar budaya dan saat ini dijadikan kantor instansii
pemerintah kabupaten demak.
Sumber: Observasi Kelompok, 2014
GAMBAR 4. 5
Bangunan Tua Yang Dimanfaatkan Sebagai Kantor Pemerintahan
c. Status Kepemilikan Bangunan
Sebagian besar status bangunan tua tersebut merupakan hak milik pribadi kecuali satu
buah bangunan yang dimanfaatkan sebagai Kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
Demak.. Bangunan tersebut milik Pemerintah Kabupaten Demak dan telah terdaftar
sebagai benda cagar budaya Kabupaten Demak. Sedangkan bangunan tua lain yang berada
dalam lingkungan perkampungan merupakan milik pribadi. Hal ini disebabkan karena
pada umumnya masyarakat memperoleh bangunannya melalui warisan leluhurnya.
d. Kondisi Fisik Bangunan
Berdasarkan hasil observasi dilapangan menunjukkan bahwa sebagian besar bangunan
tua yang ada kondisinya tidak cukup baik. Kebanyakan kerusakan yang terjadi ada pada
bagian atap. dan dinding. Bentuk penutup atap ada yang terbuat dari genting, dan kayu.
Tampak bangunan yang terletak di kampung kauman bervariasi, yaitu polos, teras, joglo.
Bangunan-bangunan kuno di kampung kauman masih menggunakan bahan dari kayu
untuk lantai, dinding, struktur penyangga. Aspek bentuk bangunan tradisional Jawa yang
teridentifikasi terdiri dari joglo, limasan dan kampung.
44
Atap bangunan yang terbuat dari kayu. Atap bangunan yang terbuat dari genteng
Lantai bangunan yang terbuat dari kayu Pondasi rumah Panggung yang telah diganti dari
kayu menjadi beton
Sumber: Observasi Kelompok, 2014
GAMBAR 4. 6
Kondisi Fisik Bangunan
Desain pintu
bangunan tua tersebut
umumnya terdiri dari pintu
dengan jumlah daun pintunya
2, dan jendelanya juga dibuat
seperti pintu dengan dua buah
daun pintu. Yang panel-
panelnya diberi kaca.
.
Sumber: Observasi Kelompok, 2014
GAMBAR 4. 7
Kondisi Fisik Bangunan
45
4.2. Analisis Elemen Non Fisik Kawasan Dalam Kaitannya Dengan Pelestarian
4.2.1. Analisis Kondisi Non Fisik Kawasan
a. Ekonomi
Masyarakat Kauman dikenal memiliki tingkat spritualitas yang tinggi, etos kerja
dalam berwiraswasta antara spritualitas keislaman dan semangat kerja merupakan
dimensi yang tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi masyarakat kauman
keuletan dan ketekunan dalam bekerja mencari nafkah merupakan prinsip hidup yang
tercermin dalam suatu adat atau warisan yaitu kegiatan perdagangan. Hal ini dapat
dilihat dari Kampung Kauman Demak yang terletak cukup strategis di pusat Kota dan
merupakan perlintasan jalur perhubungan antarkota di utara Pulau Jawa. Dalam
kehidupan ekonomi masyarakat Kampung Kauman Demak menjalankan aktivitasnya
sebagai pedagang, pengusaha, pegawai, industri konveksi, industry makanan serta
industry kerajinan. Hal ini menunjukkan bahwa di Kampung Kauman memberikan bukti
bahwa terdapat hubungan antara kegiatan perekonomian dengan kepatuhan terhadap
warisan perekonomian agama islam yaitu perdagangan.
Sebagai masyarakat yang bergerak dalam bidang perdagangan dan jasa, Kampung
Kauman Demak mempunyai berbagai macam sumber ekonomi, seperti pertokoan, home
industry dan pariwisata. Sedangkan sumber ekonomi yang utama dalam kehidupan
masyarakat Kampung kauman Demak adalah sektor perdagangan dan industri konveksi
dan kerajinan. Selain itu juga terdapat sumber perekonomian lain yaitu berupa rumah
inap (homestay) di sekitar Masjid Agung Demak yang digunakan sebagai sarana tempat
tinggal sementara para pengunjung dan santri dari luar kota dan warung – warung
makan yang berbentuk permanen maupun semi permanen yang terletak tengah kampung
kauman dan sepanjang Jalan Bhayangkara.
b. Sosial
Ciri khas kehidupan kampung yang perlu dilestarikan adalah kebersamaan,
kerukunan, dan kekeluargaan antar tetangga. Ruang-ruang yang ada perlu didesain untuk
menguatkan sisi kebersamaan masyarakat di Kampung Kauman Demak . Gambaran
secara umum kehidupan sosial masyarakat Kampung Kauman Demak menunjukkan
bentuk dan corak kehidupan yang mencerminkan budaya islami. Salah satu cirinya adalah
para kaum wanitanya mayoritas memakai jilbab dan pakaian yang menutup aurat.
Sedang kaum laki-lakinya kebanyakan memakai sarung dan peci dalam kegiatan dan
aktivitas sosialnya. Masyarakatnya sering berkumpul dalam acara-acara keagamaan
dengan masjid sebagai pusat interaksi dan aktivitasnya. Biasanya di Kampung Kauman
46
ada sosok ulama berpengaruh yang banyak mempunyai santri dan membuka majelis
pengajian rutin.
Sebagai lazimnya masyarakat yang hidup bersama-sama, maka system saling
menghormati serta bentuk kegiatan saling bekerja sama mewarnai kehidupan masyarakat
Kampung Kauman Demak dan sekitarnya. Sehingga berimbas bahwa kawasan atau
lingkungan di Kampung Kauman dan sekitarnya sangat bersih dan nyaman, hal ini
tercermin karena perilaku atau sosial masyarakat setempat sesuai dengan ajaran islam
yang menyukai kebersihan. Tradisi kehidupan Islami di Kampung Kauman ini tentunya
berpengaruh terhadap perilaku keagamaan dalam kegiatan sosial kemasyarakatan.
Tradisi-tradisi inilah yang perlu dijaga, dilestarikan, dan direncanakan dengan baik untuk
keberlanjutannya di masa datang. Sehingga wajah dan kekhasan Kampung Kauman tetap
lestari dan terjaga. Selain itu Kampung Kauman yang memiliki tempat ziarah baik itu
berupa Masjid tua bersejarah atau makam para Wali Ulama dan sultan-sultan terdahulu.
c. Budaya
Arus globalisasi bermuatan budaya modern semakin tak terbendung masuk ke
Indonesia. Kearifan lokal yang ramah lingkungan dalam kondisi darurat dan terancam
tereliminasi. Gaya hidup yang materialis-hedonis telah menggeser sikap harmoni dengan
alam (Hardjosoemantri, 2006). Konsekuensi atas fenomena ini menuntut upaya
revitalisasi budaya dalam menggerakkan pembangunan berkelanjutan. Konsep sustainable
budaya di Kampung kauman dapat diwujudkan melalui pelestarian budaya, baik fisik
maupun non fisik. Dari budaya non-fisik, pelestarian budaya dapat dilakukan dengan
kampanye budaya ramah lingkungan, festival budaya untuk menjaga tradisi kauman di
Kampung Kauman Kota Demak.
Seperti yang dilakukan pada kegiatan Grebeg besar menjelang bertepatan dengan
Hari Raya Idul adha yang diikuti dengan acara selamatan tumpeng songo yang
dilaksanakan dengan harapan agar seluruh masyarakat Demak diberikan berkah
keselamatan dan kebahagiaan dunia akhirat dari Sang Pencipta dengan berbagai ritual
tradisi masyarakat Demak. Selain itu ada juga pesta rakyat serta pasar malam sebagai
hiburan untuk pengunjung dan masyarakat sekitar di halaman masjid Agung Demak.
Sementara saat bulan Ramadhan banyak santri yang berbondong-bondong dari berbagai
daerah untuk mengikuti salat tarawih dan tadarus Alquran sehingga memberikan warna
islami pada aktivitas di Kampung Kauman Demak.
47
4.2.2. Analisis Elemen Non Fisik Pelestarian Kawasan
Penilaian kawasan ini dilakukan tentunya pada sebuah kawasan yang memiliki benda
cagar budaya dan situs bersejarah, dapat berpotensi untuk menjadi lokasi wisata. Didalam
Rencana Tata ruang Wilayah Kabupaten Demak Kawasan Masjid Agung Demak termasuk
dalam Kawasan Suaka Alam, Pelestarian Alam Dan Cagar Budaya (Perda No.6 Tahun 2011
tenang RTRW Kab. Demak, pasal 46).
Kauman adalah sub kawasan dari Kawasan Masjid Agung Demak, oleh karena itu
dalam analisa kawasan ini tidak dapat lepas dari analisis kawasan masjid Agung Demak serta
lingkungannya. Kawasan masjid Agung Demak merupakan suatu kawasan yang mempunyai
kandungan sejarah yang menarik berkaitan dengan masalah penyebaran Agama Islam
pertama di Jawa, hal tersebut dapat di jelaskan sedikit sebagai berikut :
a. Kota Demak merupakan kota yang berkembang berdasarkan kota Islam yang pertama
di Jawa dan Kompleks Masjid Agung Demak menandai masuknya Agama Islam dalam
sistem Pemerintahan Kerajaan Islam di Jawa.
b. Sejarah kawasan masjid Agung Demak yang menjadi sejarah berdirinya Kota Demak
telah meninggalkan artefak-artefak yang berupa elemen-elemen kota yaitu alun-alun,
Masjid Agung, Pecinan, Kauman dan Pasar yang membentuk struktur kota.
Kawasan Masjid Agung Dewak merupakan salah satu dari lingkungan kota Demak,
yang mana sub-sub kawasan tersebut dikelilingi oleh sungai Tuntang, sehingga sub-sub
kawasan ini secara spesifik membentuk satu kawasan tersendiri. Dengan didukungnya elemen
pendukung perkembangan kota untuk menunjang aktifitas di kawasan Masjid Agung Demak.
Kampung Kauman sendiri, memiliki potensi pelestarian yang sebenarnya tidak hanya
pada Masjid Agung Demak. Masih terdapat banyak bangunan-bangunan lain yang memiliki
nilai sejarah dan budaya yang harus tetap dipertahankan. Oleh karena itu, proses pelestarian
tidak hanya memandang pada satu kriteria, tetapi pada beberapa kriteria yang akan
dijabarkan berikut ini.
48
Tabel IV. 1
Tabel Kriteria Penilaian Elemen Non Fisik Kawasan Kampung Kauman
No Kriteria Pelestarian Implementasi
1. Kesadaran dan inisiatif
Kesadaran dan inisiatif ini mencakup motivasi
pada semua pihak diantaranya pemerintah,
swasta dan masyarakat. Pemerintah sendiri
belum memiliki kesadaran penuh untuk
menjaga bangunan-bangunan yang memiliki
nilai sejarah yang ditunjukkan dengan
banyaknya bangunan-bangunan yang tidak
terawat, sampai saat ini hanya kawasan Masjid
Agung yang terlihat masih menjadi perhatian.
Pihak swasta sampai saat ini juga tidak memilki
motivasi untuk mengembangkan kawasan
Kampung Kauman menjadi lokasi tujuan
wisata di Kabupaten Demak, kondisi ini juga
diperparah dengan tidak adanya dukungan
dari pemerintah. Masyarakat sendiri juga tidak
memiliki motivasi besar untuk menjaga
kelestarian bangunan dengan menghilangkan
jejak arsitektur melalui renovasi rumah ke arah
yang lebih modern.
2. Dasar hukum
Keberadaan Undang-undang yang mengatur
kegiatan pelestarian pada Kabupaten Demak
pun belum ada sampai saat ini. Ketentuan
peraturan mengenai pelestarian pada
Kabupaten Demak hanya tertuang dalam
Perda No.6 Tahun 2011 tenang RTRW Kab.
Demak. Kondisi ini sangat disayangkan karena
lama kelamaan jejak budaya akan hilang oleh
modernisasi dan kepentingan-kepentingan
lain.
3. Konsep perencanaan
Dengan tidak adanya peraturan dan motivasi
terhadap pelestarian bangunan di Kampung
Kauman, maka tidak ada konsep perencanaan
yang pasti terkait dengan pelestarian Kampung
Kauman.
4. Organisasi dan realisasi
Organisasi yang bertanggung jawab terhadap
pelestarian sementara ini hanya berada di
pemerintah melalui Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan. Sementara keterlibatan organisasi
masyarakat dan pihak swasta belum terlihat.
5. Pendanaan
Pendanaan di bidang pelestarian juga masih
minim. Sampai saat ini, pendanaan hanya
dialokasikan untuk perawatan kawasan Masjid
Agung Demak, sementara untuk bangunan lain
pada Kampung Kauman tidak ada pendanaan
khusus.
Sumber: Analisis Kelompok, 2014
49
4.3. Analisis Penilaian Potensi Konservasi Bangunan
Penilaian potensi konservasi bangunan pada Kampung Kauman akan dilihat berdasarkan 6 indikator utama, diantaranaya keindahan,
ciri khas, nilai sejarah, kelangkaan, arsitektur, dan peranan terhadap kawasan. Berikut ini merupakan tabel penilaian bangunan yang ada di
Kampung Kauman Demak.
Tabel IV. 2
Tabel Penilaian Bangunan Bersejarah Kampung Kauman
No Bangunan Deskripsi Skor Penilaian
Total Keindahan Ciri Khas Nilai Sejarah Kelangkaan Arsitektur Peran
1.
Hunian Tradisional.
Bentuk aristektur masih
tradisional namun telah
ada perubahan dan
penambahan disana sini.
20 20 20 10 20 20 110
2.
Hunian tradisional.
Sama seperti
sebelumnya, bangunan
disamping difungsikan
sebagai rumah tinggal,
dinding sudah tembok,
dan arsitektur masih
tradisional.
10 10 20 10 20 20 90
50
No Bangunan Deskripsi Skor Penilaian
Total Keindahan Ciri Khas Nilai Sejarah Kelangkaan Arsitektur Peran
3.
Hunian Tradisional.
Gambar disamping juga
difungsikan sebagai
rumah tinggal dengan
dinding masih kayu.
10 20 20 10 20 10 90
4.
Hunian Tradisional.
Gambar disamping juga
difungsikan sebagai
rumah tinggal dengan
dinding masih kayu.
Diperkirakan bangunan
ini berumur sekitar 20
tahunan.
10 20 20 10 10 10 80
5.
Masjid Agung Demak,
yang terletak pada
bagian depan Kampung
Kauman dan dekat
dengan alun-alun.
Menjadi landmark
Kabupaten Demak
sekaligus obyek wisata.
30 30 30 30 30 30 180
51
No Bangunan Deskripsi Skor Penilaian
Total Keindahan Ciri Khas Nilai Sejarah Kelangkaan Arsitektur Peran
6.
Hunian Tradisional,
terletak di Jalan
Kauman II, dengan
kondisi tidak terawat,
dinding kayu dan atap
genteng. Arsitektur
masih tradisional.
10 20 20 20 20 10 100
7.
Kantor Pemerintah
Dinas Pariwisata dan
Kebudayaan. Bangunan
ini memiliki arsitektur
rumah panggung,
termasuk bangunan
dengan arsitektur
tradisional yang
dimanfaatkan untuk
fungsi pemerintahan.
20 30 30 30 30 30 170
8.
Hunian Tradisional.
Dengan dinding semi
permanen, dan
difungsian sebagai
rumah tinggal.
Arsitektur masih
tradisional.
20 20 20 20 20 10 110
52
No Bangunan Deskripsi Skor Penilaian
Total Keindahan Ciri Khas Nilai Sejarah Kelangkaan Arsitektur Peran
9.
Hunian Tradisional.
Terletak di Jalan
Kauman III. Sama
dengan penjelasan
sebelumnya, bangunan
ini memiliki ciri 3 pintu
dengan dinding kayu.
20 30 20 20 30 10 130
10.
Hunian Tradisional.
Terletak di jalan
Kauman III. Arsitektur
tradisional namun
sedikit berbeda dengan
sebelumnya, atap
berbentuk limasan,
dengan dinding sudah
tembok.
10 20 20 20 20 10 100
11.
Hunian Tradisional.
Bangunan ini terletak di
Gang IV pada Kampung
Kauman, terlihat telah
ada renovasi pada
bangunan ini namun
masih tetap
mempertahankan
arsitektur tradisionalnya.
30 20 20 20 30 20 140
53
No Bangunan Deskripsi Skor Penilaian
Total Keindahan Ciri Khas Nilai Sejarah Kelangkaan Arsitektur Peran
12. Hunian Tradisional.
Bangunan ini juga
terletak di gang IV pada
Kampung Kauman,
arsitekturnya terlihat
sudah mulai hilang
karena ada renovasi dan
penambahan.
10 20 10 10 10 10 70
13.
Hunian Tradisional.
Bangunan ini juga
difungsikan sebagai
rumah tinggal tetapi
terdapat penambahan
dan renovasi kecil,
namun masih
mencirikan arsitektur
tradisional dengan atap
limasan.
20 20 20 20 20 10 110
14.
Hunian Tradisional.
Bangunan permukiman
dengan ciri khas 3 pintu
dan dinding kayu.
Arsitektur semacam ini
dikenal pada tahun
1950an.
20 30 20 20 30 10 130
54
No Bangunan Deskripsi Skor Penilaian
Total Keindahan Ciri Khas Nilai Sejarah Kelangkaan Arsitektur Peran
15.
Hunian Tradisional.
Atap berbentuk limasan
dengan dinding kayu
dan 3 pintu. Rumah ini
terletak di jalan Kauman
III
20 20 20 20 30 10 120
16.
Hunian Tradisional.
Rumah dengan dinding
semi permanen dan
atap limasan, arsitektur
tradisional dengan 3
pintu.
30 20 20 20 20 10 130
17.
Hunian Tradisional.
Dengan arsitektur
tradisional dengan
renovasi yang tetap
mempertahankan
arsitektur aslinya.
30 20 20 20 20 10 130
Sumber: Analisis Kelompok, 2014
55
Dengan dilakukannya penilaian di atas, maka tahapan selanjutnya adalah dengan
mengklasifikasikan tiap bangunan tersebut ke dalam tingkatan potensi konservasi, mulai dari
potensi tinggi, sedang hingga potensi rendah. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan
penghitungan interval sebagai berikut:
Panjang interval = (180-70)/3
= 36,6 40
Sehingga didapatkan klasifikasi potensi (Nomor bangunan sesuai dengan urutan pada
penilaian sebelumnya) sebagai berikut:
Tabel IV. 3
Tabel Potensi Pelestarian Kampung Kauman
No Bangunan Total Skor
Tingkat Potensi Pelestarian
Potensi Tinggi
(Skor 170 – 210)
Potensi Sedang
(Skor 120 – 160)
Potensi Rendah
(Skor 70 – 110)
1. Bangunan 1
(Rumah Tinggal)
110
2. Bangunan 2
(Rumah Tinggal)
90
3. Bangunan 3 (Rumah
Tinggal)
90
4. Bangunan 4 (Rumah
Tinggal)
80
5. Bangunan 5
(Masjid Agung)
180
6. Bangunan 6
(Rumah Tinggal)
100
7. Bangunan 7
(Kantor DISPARBUD)
170
8. Bangunan 8
(Rumah Tinggal)
110
9. Bangunan 9
(Rumah Tinggal)
130
10. Bangunan 10
(Rumah Tinggal)
100
11. Bangunan 11
(Rumah Tinggal)
140
12. Bangunan 12
(Rumah Tinggal)
70
13. Bangunan 13
(Rumah Tinggal)
110
14. Bangunan 14
(Rumah Tinggal)
130
15. Bangunan 15
(Rumah Tinggal)
120
16. Bangunan 16
(Rumah Tinggal)
130
17. Bangunan 17
(Rumah Tinggal)
130
Sumber: Analisis Kelompok, 2014
56
Tabel di atas menunjukkan tingkat potensi pelestarian pada bangunan yang ada di
Kampung Kauman. Terlihat bahwa terdapat 2 bangunan yang memiliki tingkat potensi tinggi
antara lain Masjid Agung dan Kantor Pemerintahan Disparbud. Kedua bangunan ini memiliki
rekomendasi tinggi untuk dilakukan konservasi demi mengembangkan karakter kawasan.
Bangunan lainnya berupa hunian / rumah tinggal dimana terdapat tingkat potensi sedang dan
rendah. Klasifikasi potensi ini kemudian dijadikan pedoman dalam memilih tindakan
konservasi pada bangunan di Kampung Kauman.
4.4. Analisis Penilaian Kawasan
Analisis penilaian kawasan ini dilakukan untuk menilai potensi kawasan untuk
dikembangkan sebagai kawasan konservasi dan wisata Kampung Kauman. Analisis ini akan
dirumuskan dengan terlebih dahulu mengkaji beberapa analisis. Analisis-analisis tersebut
antara lain:
4.4.1. Analisis Figure Ground
Analisis Figure Ground digunakan biasanya untuk melihat tekstur dan pola. figure
ground ditunjukan dengan sebuah warna, misal figure ditunjukkan dengan warna hitam untuk
mengetahui massa yang dibangun, sedangkan ground ditunjukkan dengan warna putih untuk
semua ruang yang berada di luar atau juga sering disebut dengan solid void.
Sumber: Analisis Kelompok, 2014
GAMBAR 4. 8
Figure Ground Kampung Kauman
57
Kawasan Kampung Kauman sendiri cenderung memiliki pola heterogen, dimana
terdapat dua pola yang membentuk kawasan yang dipisah oleh sungai kecil:
Pada utara sungai, cenderung membentuk pola beraturan dengan pola grid, dimana
massa bangunan (solid) memiliki ukuran dan bentuk yang hampir sama dan berada
pada blok-blok kawasan, pada kondisi di lapangan kawasan ini merupakan
permukiman-permukiman warga. Sementara soid sendiri membentuk pola kotak / grid
yang merupakan jaringan jalan. Terdapat ruang terbuka yang cukup luas pada bagian
ini, yang jika dilihat pada kondisi di lapangan adalah open space berupa pemakaman.
Pada selatan sungai, cenderung membentuk pola yang tidak beraturan atau heterogen.
Pola ini terlihat tidak memiliki pemisah yang jelas dengan massa bangunan yang
letaknya menyebar dan memiliki ukuran yang berbeda. Kondisi ini jika dilihat di
lapangan berupa kawasan perdagangan jasa dan perkantoran. Elemen void sendiri
terlihat banyak ruang terbuka yang juga memiliki pola tidak beraturan.
4.4.2. Analisis Linkage
Elemen linkage yang merupakan elemen penghubung satu tempat dengan tempat
yang lain atau suatu aktivitas dengan aktivitas yang lainnya di Kawasan Kampung Kauman.
Hasil analisis ini dapat diketahui pola hubungan antar tepat dan antar aktivitas di Kampung
Kauman yang berpengaruh pada perkembangan kawasan tersebut.
Sumber: Analisis Kelompok, 2014
GAMBAR 4. 9
Linkage Kampung Kauman
58
1. Linkage Visual. Linkage visual untuk garis dapat dilihat dari jaringan jalan yang ada pada
Kampung Kauman. Koridor Kampung Kauman ini adalah Jalan Kauman yang membentuk
ruang. Untuk sumbu pada Kampung Kauman yaitu Masjid Agung Kauman.
2. Linkage Struktural. Linkage struktural Kampung Kauman berupa sambungan, dimana
antar aktivitasnya saling berhubungan dan membutuhkan dari massa bangunan yang satu
dengan yang lain.
3. Linkage Kolektif. Linkage kolektif pada permukiman sebelah selatan sungai memiliki pola
yang tidak beraturan dikarenakan bentukan oleh kawasan sekitarnya. Pada sepanjang
jalan Sultan Patah dan Jalan Bhayangkara merupakan kawasan perkantoran dan
perdagangan jasa sehingga pola yang terbentuk mengikuti kepentingan atau nilai lahan
yang ada.
4.4.3. Analisis Elemen Citra Kota
Analisis Elemen Citra Kota Kampung Kauman dan Kejuron Kota Magelang sebagai
berikut ini:
a. Path (Jalan)
Path merupakan suatu jalur yang digunakan oleh pengamat untuk bergerak atau
berpindah tempat serta elemen utama dan penghubung elemen-elemen lingkungan lainnya.
Secara eksisting path di kawasan kampung Kauman dan Demak dapat dijelaskan sebagai
berikut:
Path utama pada koridor kawasan Kampung Kauman adalah Jl. Sutan Fatah, Jl.
Bhayangkara, dan Jl. Singil, koridor tersebut merupkan jalur utama yang digunakan
sebgai akses masuk dan keluar dari kawawan.
Akses utama masuk ke kawasan telah teraspal dengan lebar badan jalan 12 meter.
Akses Jalan lokal di kawasan sudah memadai dengan lebar jalan 2-3 dengan perkerasan
aspal.
Kondisi path yang telah memadai sehingga tidak perlu adanya perbaikan dan
penambahan, karena path tersebut masih mampu mendukung aktivitas kawasan.
b. Edge (Tepian)
Edge di kawasan Demak terdiri dari :
Edge yang terdapat di sekitar berupa pedestrian, kali tuntang dan dinding-dinding
kegiatan perkantoran dan jasa.
Pedestrian yang mengelilingi kawasan dan berbatas langsung dengan path dan kawasan
kajian
59
Edge kawasan merupakan pembatas terhadap kawasan Kampung Kauman Demak
dengan kawasan disekitarnya. Edge di Kampung Kauman Demak harusnya diperindah
untuk memperkuat identitas kawasan.
c. District (Kawasan)
Distrik yang ada di kawasan Kampung Kauman Demak adalah Distrik Permukiman,
Distrik Kawasan Wisata Religi dan Distrik Perdagangan dan jasa. Bangunan yang terdapat di
kawasan kajian sebagian besar merupakan bangunan tradisional yang sudah banyak
mengalami perubahan menjadi bangunan dengan arsitektur modern.
Perancangan district di Kampung Kauman adalah dengan melakukan intervensi melalui
kebijakan-kebijakan sehingga bangunan-bangunan kuno yang masih ada dapat bertahan
lebih lama. Kebijakan-kebijakan tersebut juga bertujuan untuk memperkuat kesan kawasan
sebagai salah satu kawasan kuno di Demak.
d. Node (Simpul)
Node yang terbentuk dari aktivitas di kawasan Kampung Kauman Demak antara lain di
Halaman Masjid dan Parkiran yang merupakan pusat kegiatan di kawasan.
e. Landmark
Landmark di Kawasan Kampung Kauman Demak adalah berupa Masjid Agung Demak.
Sumber: Analisis Kelompok, 2014
GAMBAR 4. 10
Elemen Citra Kota
Kawasan Wisata Religi Kawasan Permukiman Kawasan Perkantoran dan Perdaganagn
Masjid Agung Demak, Merupakan Node dan Landmark Kawasan
Path dan Edge Kawasan
60
4.4.4. Analisis Elemen Estetika
a. Sumbu
Sumbu merupakan garis yang terbentuk oleh dua buah titik dari dalam ruang dimana
terdapat bentuk-bentuk dan ruang-ruang yang dapat disusun menurut cara-cara yang teratur
dan tidak teratur. Sumbu adalah sebuah garis maya untuk mencapai suatu obyek atau
kawasan dan bisa diakhiri dengan sebuah vocal point. Sumbu sebagai pengarah ke bangunan
utama dibentuk dari jalan yang mengarah ke bangunan tersebut.
Masjid Kauman yang menjadi vocal point tidak terhalangi oleh bangunan atau
pepohonan yang terlalu besar sehingga dari kejauhan nampak bangunan Masjid tersebut.
Menara Masjid Agung Demak menjadi penanda dan landmark dari Masjid yang terlihat dari
kejauhan.
Vocal Point
Sumber: Analisis Kelompok, 2014
GAMBAR 4. 11
Sumbu
b. Simetri
Simetri merupakan distribusi bentuk-bentuk ruang-ruang yang sama dan seimbang
terhadap suatu garis bersama (sumbu/titik (pusat). Simetri adalah suatu media atau objek
dengan bentuk dan ukuran di kedua sisinya (kanan dan kiri) sama. Jalan kauman II
merupakan pemisah antara kegiatan wisata religi dan kawasan perumahan dan permukiman.
61
Sumber: Analisis Kelompok, 2014
GAMBAR 4. 12
Simetri
c. Hirarki
Hirarki adalah penonjolan salah satu objek yang memiliki hirarki lebih tinggi
dibandingkan objek lain menurut besarnya, potongan/ penempatannya secara relatif terhadap
bentuk-bentuk dan ruang-ruang lain dari suatu organisasi. Penunjuk hirarki berupa bentuk,
ukuran, perletakan dan lain-lain (orientasi pada fisik bangunan).
Sumber: Analisis Kelompok, 2014
GAMBAR 4. 13
Hirarki
Simetri
Hirarki perbedaan Ukuran
Hirarki Wujud Bentuk
Hirarki Ukuran Jarak
62
Hirarki perbedaan Ukuran : Yaitu hirarki yang memiliki penempatan tertentu terhadap
suatu bangunan. Bisa berupa pada akhir suatu sumbu linear, pada pusat suatu simetri atau
pada fokus organisasi ruang terpusat, seperti Bangunan Kantor PU.
Hirarki Wujud Bentuk ; yaitu suatu hirarki dimana ada suatu bangunan yang
membedakan bentuk wujud secara jelas dengan unsur/ bentuk yang lainnya. Di dalamnya
ada suatu bangunan yang nampak beda dengan bangunan di sekitarnya. Dalam
perancangan kawasan kampong kauman bangunan ini adalah Masjid Agung Demak.
Hirarki Ukuran Jarak; yaitu hirarki yang memiliki bangunan/ tempat dengan ukuran yang
lain menyimpang dari unsur yang lainnya. Maksudnya ada suatu bangunan yang memiliki
ukuran yang lebih besar dari pada yang lainnya. Dalam perancangan kawasan kampong
kauman bangunan ini adalah Menara Parkir.
d. Irama
Pengulangan bentuk atau ketinggian bangunan yang dapat memberikan kesan terhadap
bangunan atau kawasan tersebut. Irama yang terdapat didalam kawasan adalah di bagian
permukiman karena banyak terdapat kemiripan bentuk bangunan sehingga menimbulkan
kesan kesamaan antar bangunan.
e. Skala
Skala merupakan cara untuk melihat besarnya unsur-unsur bangunan terhadap bentuk
lain:
1. Skala umum yaitu skala dimana terdapat unsur-unsur bangunan terhadap bentuk lain di
dalam lingkungannya.
2. Skala manusia adalah skala yang memiliki ukuran ruang terhadap proporsi tubuh
manusia.
Dalam wilayah studi kawasan kampong kauman masjid merupakan bangunan dengan
skala pelayanan yang luas dan menjadi pusat kegitan masyarakat. Perancangan skala kawasan
kampung kauman dirancang sesuai dengan skala pengguna baik untuk penghuninya (rumah
tinggal) maupun pusat tempat kegiatan masyarakatnya yaitu masjid kauman. Masjid kauman
menunjukkan skala pelayanan tidak hanya untuk masyarakat sekitar tapi juga masyarakat
yang berkunjung atau sekedar singgah.
f. Proporsi
Proporsi adalah suatu perbandingan antara bentuk bangunan dengan ruang. Proporsi ini
melibatkan banyak aspek di mana harus sesuai dengan manusia dan sangat bergantung pada
fungsi dan aktivitas yang terjadi. Dalam perancangan suatu bangunan atau kawasan
63
disesuaikan dengan objek perancangan/pemakai. Bangunan plaza centre memiliki proporsi
yang besar karena aktivitasnya yang paling besar dan utama. Dalam perancangan kawasan
kampong kauman, Masjid Agung Kota Demak merupakan plaza centre yang merupakan pusat
aktivitas masyarakatnya.
g. Konteks
Konteks yang ditunjukkan di wilayah kawasan Kampung kauman adalah adanya
pemakan yang terdapat di dua lokasi di Kampung Kauman. Ditunjang dengan adanya
aktivitas wisata religi di Masjid Agung Demak diharapkan kawasan tersebut bias berkembang
dengan tetap mempertahankan kekhasannya.
h. Kontras
Kontras yang ada dikawasan Kampung Kauman Demak adalah bentuk bangunannya
yang masih kuno dan kekhasan yang ada pada masyarakatnya. Adanya bangunan rumah
warga di Kauman Demak yang mengalami perubahan bentuk dengan arsitektur modern di
tengah perkampungan sehingga memiliki kontras baik dengan bentuk bangunan dan massa
bangunannya juga dengan rumah warga yang lain.
Dalam perancangann yang dilakukan adalah memaksimalkan potensi estetika bangunan
dengan kekontrasannya yaitu mempertahankan bangunan kuno yang ada di masyarakatnya.
Hal tersebut akan dipadukan dengan bangunan-bangunan modern baru yang mengadopsi
gaya arsitektur bangunan setempat agar estetika kota yang ditampilkan mempunyai daya tarik
tersendiri.
4.4.5. Analisis Kriteria Tak Terukur
a. Pencapaian (access)
Lokasi kampung kauman yang tepat berada di pusat perkotaan Demak menjadikan
kawasan ini memiliki nilai aksesbilitas yang tinggi dan membuat kawasan menjadi strategis.
Kawasan Kampung Kauman Demak berbatasan langsung dengan jJl. Sutan Fatah yang
merupakan penghubungkan antar kabupaten di Jawa Tengah. Kawasan juga berbatasan
dengan pusat pertokoan dan jasa yaitu terletak disisi Utara kawasan sehingga kawasan
merupakan kawasan prioritas. Terdapat juga terminal antar kota di sisi selatan kawasan
sehingga tidak sulit menuju kawasan.
b. Kecocokan (compatible)
Kawasan kajian mikro Kampung Kauman, Kampung Kejuron dan Alun-Alun Kota
mempunyai dominasi berupa pemukiman, perkantoran dan perdagangan. Letaknya yang
strategis di tengah kota menyebabkan kepadatan bangunan pada kawasan tersebut tergolong
64
tinggi. Compatibility atau kecocokan letak dilihat dari adanya Masjid Agung Demak yang
merupakan utama sebagai pendukung utama aktifitas dan ibadah warga kauman dan
sekitarnya. Sedangkan ketidakcocokan peletakan bangunan terdapat pada pembangunan
rumah/pertokoan menjadi bangunan tiga lantai sehingga menimbulkan perbedaan ketinggian
yang mencolok dengan bangunan disekitarnya.
c. Pemandangan (view)
View yang ada di kawasan kajian mikro salah satunya adalah pemandangan alun-alun
Demak yang indah dengan penataan ornament-ornamen islam dalam street funitur dan
pedestriannya. View to site tersebut sangat menarik untuk dinikmati ditambah dengan view
from site adanya aktivitas warga Demak yang menggunakan ruang publik tersebut untuk
bersantai dan mengisi kegiatan bersama keluarga. Hamparan rumput yang menghijau dan
taman yang mengelilingi alun-alun memberikan pesona dan keteduhan pemandangan.
Namun ada pula bad view yaitu adanya rumah atau bangunan yang terbengkalai dirasa
mengurangi estetika kawasan dan memberikan kesan kumuh.
d. Identitas (identity)
Kota yang baik adalah kota yang mengenang sejarahnya dalam tahapan pembangunan,
bagaikan makhluk hidup yang tumbuh dan berkembang, kemudian musnah apabila tidak
dipelihara ataupun dirawat. Kampung Kauman mengalami perkembangan akibat modernisasi
Kota yang kemajuannya semakin pesat mengalami bahaya menghilangnya nilai budaya
tradisional tergantikan dengan budaya kapitalisme. Beralih fungsinya perumahan menjadi
perdagangan, serta kurangnya kesadaran masyarakat betapa pentingnya sejarah kota dalam
pembangunan ke depan dapat kita lihat dari adanya perubahan bentuk dan fungsi
pemukiman di kawasan Kampung Kauman dan Kampung Kejuron menjadi bangunan baru
berasitektur modern dengan menghilangkan total ciri dari rumah aslinya.
e. Rasa (sense)
Sense dari kawasan muncul dari keberadaan Masjid Agung Demak yang merupakan pusat
syiar dan aktifitas ibadah umat muslimt. Keberadaan Masjid Agung Demak tersebut
mencerminkan adanya nuansa islami dan aktifitas kawasan yang bernafaskan islam. Selain itu
juga terdapat makam para sunan, sehingga rasa akan berada dilokasi wisata religi sangat
terasa. Kegiatan lain yang menciptakan rasa yang berbeda adalah adanya kegiatan pengajian
yang dilakukan ibu-ibu pada sore hari.
65
f. Kehidupan (livability)
Aksesbilitas menjadi salah satu daya tarik kawasan karena letak kampung yang strategis
sehingga memudahkan penduduk yang tinggal di kawasan untuk beraktifitas. Aktivitas yang
dimaksud ialah aktivitas sehari-hari dan aktivitas peribadatan.
4.5. Arahan Konservasi
Konservasi terhadap Kawasan Kauman ini didasarkan pada peninggalan fisik dan non
fisik yang ada di dalam kawasan. Peninggalan fisik berupa bangunan-bangunan yang ada dan
jalur sirkulasi serta penataan ruangnya sedangkan non fisik terlihat dari kebudayaan yang
tumbuh berkembang di masyarakat termasuk kelembagaan yang ada di dalamnya. Dalam
observasi yang dilakukan bangunan yang ada meliputi kompleks Masjid Agung Demak,
bangunan perkantoran serta bangunan permukiman yang berada di sekeliling masjid. Dan
non fisik meliputi kegiatan budaya masyarakat serta keterkaitannya dengan sejarah terutama
sejarah perkembangan agama Islam di pulau Jawa. Dari observasi yang dilakukan konservasi
diarahkan untuk menjaga sehingga elemen fisik yang ada dapat terjaga terutama keindahan,
ke-khas-an, nilai sejarah yang ada, kelangkaan serta arsitektural yang ada.
4.5.1. Arahan Tindakan Konservasi dan Pelestarian Bangunan Kampung Kauman
Arahan tindakan konservasi ini terkait dengan analisis potensi pelestarian bangunan
pada Kampung Kauman Demak. Terdapat beberapa bangunan yang memiliki potensial
rendah, sedang sampai tinggi yang ditunjukkan pada gambar berikut.
Sumber: Analisis Kelompok, 2014
GAMBAR 4. 14
Tingkat Potensi Pelestarian
66
Dari hasil observasi dan analisis yang dilakukan ada beberapa arah tindakan yang
dapat dilakukan terkait dengan bangunan yang ada di Kampung Kauman Demak. Hal
tersebut diantaranya ialah dapat dilakukannya preservasi terhadap Komplek Masjid Agung
Demak. Dengan preservasi yang dilakukan diharapkan dapat dipertahankan keadaan sekarang
dari Masjid Agung Demak dan lingkungannya sehingga selain fungsinya masih bisa diandalkan
sebagai tempat ibadah juga sebagai saksi bisu sejarah perkembangan Islam di Pulau Jawa.
Sedangkan untuk bangunan kantor Disparbud Kabupaten Demak dapat dilakukan konservasi
sehingga bangunan saat ini dapat dikembalikan menjadi bangunan asli yang berupa bangunan
panggung. Sedangkan untuk bangunan permukiman dapat dilakukan kegiatan revitalisasi
sehingga bangunan permukiman yang ada dapat memiliki nilai tambah secara optimal
sehingga keberlangsungan bangunan dapat dicapai. Selain itu dalam penataan ruang yang ada
perlu dipertegas dan dirinci mengenai penggunaan lahan yang ada sehingga kawasan dapat
terjaga. Pengaturan jalur sirkulasi yang telah dilakukan saat ini juga merupakan salah satu
tindakan konservasi terhadap Komplek Masjid Agung Demak dan Kampung Kauman itu
sendiri.
4.5.2. Arahan Zonasi Kawasan Konservasi Kampung Kauman
Pada zonasi kawasan konservasi dibagi
menjadi tiga bagian yaitu zona I yaitu Komplek
Masjid Agung Demak dimana cagar budaya
mendukung kelestarian cagar budaya itu sendiri
yang dikelola oleh Takmir Masjid Agung Demak
juga oleh Badan Kesejateraan Masjid. Zona II
yaitu komplek parkir dan bangunan
perdagangan dan jasa yang ada di utara masjid
berfungsi sebagai penyangga dari Kompleks
Masjid Agung Demak yang didalmnya terdapat
area parkir untuk kendaraan pribadi serta
bangunan perdagangan dan jasa sebagai toko
cinderamata dan tempat makan. Zona III sebagai
zona terbesar yaitu sebagian besar wilayah Kampung Kauman sebagai zona pengembangan
dimana sosial ekonomi dan budaya yang ada di masyarakat dikembangkan sesuai dengan
peraturan yang ada sehingga lebih bermanfaat terutama bagi masyarakat yang mendiami
wilyah tersebut.
Sumber: Analisis Kelompok, 2014
GAMBAR 4. 15
Arahan Zonasi
67
Pelestarian merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk tetap mempertahankan
karakter dan sejarah pada suatu kawasan. Pelestarian sendiri dilakukan selain sebagai
penghargaan terhadap sejarah dan budaya juga diharapkan mampu meningkatkan hajat
hidup masyarakat di sekitarnya. Kampung Kauman sendiri memiliki ciri dan karakter yang
sangat kuat untuk kemudian dipertahankan dan dilakukan kegiatan pelestarian. Dari beberapa
analisis yang telah dilakukan, maka didapatkan kesimpulan dan rekomendasi sebagai berikut:
5.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil dari studi pada Kampung Kauman adalah sebagai
berikut:
Kampung Kauman merupakan kampung dengan ciri dan karakter islami yang
berhubungan erat dengan Masjid Agung Demak, yang sekarang menjadi landmark di
Kabupaten Demak.
Jejak-jejak sejarah pada Kampung Kauman sudah tidak banyak ditemukan karena
banyaknya perubahan dan renovasi akibat kurangnya perhatian pemerintah terhadap
pelestarian kawasan.
Terdapat beberapa bangunan-bangunan yang dapat dilakukan konservasi dan pelestarian
dengan potensial rendah, sedang dan tinggi.
Kampung Kauman sendiri dapat dijadikan kawasan konservasi mengingat perannya
terhadap Kabupaten Demak, dan ikatan religi yang berhubungan dengan umat muslim.
5.2. Rekomendasi
Rekomendasi yang dapat diberikan berdasarkan studi yang telah dilakukan adalah:
1. Diharapkan pemerintah dapat melakukan studi-studi pelestarian terhadap
kawasan Kampung Kauman yang kemudian dapat dijadikan pedoman untuk
menetapkan tindakan konservasi yang akan dilakukan.
BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Berisi tentang kesimpulan dan rekomendasi tindakan yang dilakukan terhadap bangunan bersejarah
68
2. Diharapkan pemerintah dapat lebih perhatian terhadap benda-benda cagar
budaya (urban heritage), dan menempatkan kegiatan konservasi sebagai
program kerja tahunan.
3. Diharapkan status kepemilikan bangunan-bangunan cagar budaya / layak
konservasi dapat diambil alih oleh pemerintah guna menghindari tindakan-
tindakan yang dapat menghilangkan jejak sejarah.
4. Diharapkan pemerintah mampu melakukan sosialisasi kepada masyarakat
tentang ciri dan pentingnya bangunan cagar budaya yang memiliki nilai sejarah
tinggi.
5. Diharapkan masyarakat mampu menjaga dan mempertahankan bangunan-
bangunan cagar budaya atau yang memiliki nilai sejarah tinggi.
6. Diharapkan para akademisi melakukan studi-studi dan masukan kepada
pemerintah terkait pelestarian di Kabupaten Demak yang sangat penting untuk
dilakukan.
Top Related