KARYA TULIS ILMIAH
LITERATURE REVIEW
KOMUNIKASI PEREKAM MEDIS DENGAN DOKTER DALAM
KETEPATAN RESELEKSI DIAGNOSA DI RUMAH SAKIT
MUHAMMAD IKZAN
NIM 17.03.168
YAYASAN PERAWAT SULAWESI SELATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PANAKKUKANG
PRODI D3 REKAM MEDIS DAN INFORMASI KESEHATAN
MAKASSAR 2020
ii
KARYA TULIS ILMIAH
LITERATURE REVIEW
KOMUNIKASI PEREKAM MEDIS DENGAN DOKTER DALAM
KETEPATAN RESELEKSI DIAGNOSA DI RUMAH SAKIT
Diajukan sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan Pendidikan
Program Studi Diploma 3 Rekam Medis dan Informasi Kesehatan
Disusun dan diajukan oleh :
MUHAMMAD IKZAN
NIM 17.03.168
YAYASAN PERAWAT SULAWESI SELATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PANAKKUKANG
PRODI D3 REKAM MEDIS DAN INFORMASI KESEHATAN
MAKASSAR 2020
vii
KATA PENGANTAR
Assalamu Alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. yang telah melimpahkan
segala kasih, karunia, dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya
Tulis Ilmiah dengan judul “Literature Review Komunikasi Perekam Medis dengan
Dokter dalam Ketepatan Reseleksi Diagnosa di Rumah Sakit”.
Penulisan Karya Tulis Ilmiah Literature Review ini sebagai salah satu
persyaratan dalam menyelesaikan program studi D3 Rekam Medis dan Informasi
Kesehatan STIKES Panakkukang Makassar.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga saya sampaikan kepada keluarga
khususnya kepada ibunda Haryani yang senantiasa mendoakan, mendukung, serta
memberi semangat yang luar biasa sehingga saya bisa sampai pada tahap ini.
Dalam menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah literature review ini, penulis
banyak mendapat masukan, bantuan, dorongan, saran, bimbingan dan kritik dari
berbagai pihak. Maka dengan segenap kerendahan hati penulis ingin menyampaikan
rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. H. Sumardin Makka, SKM, M.Kes, selaku Ketua Yayasan Perawat Sulawesi
Selatan.
2. Dr. Ns. Makassau, S.Kep, M.Kes, M.EDM, selaku Ketua STIKES Panakkukang
Makassar.
viii
3. Syamsuddin, A.Md.PK, SKM, M.Kes, selaku Ketua Prodi D3 Rekam Medis dan
Informasi Kesehatan.
4. Arief Azhari Ilyas, S.St. MIK., M.KM selaku pembimbing I yang dengan
kesabaran dan perhatiannya dalam memberikan bimbingan, arahan, semangat,
dan saran sehingga Karya Tulis Ilmiah literature review ini bisa terselesaikan
5. Ns. Evi Lusiana, S.Kep, M.Kep selaku pembimbing II yang dengan kesabaran
dan perhatiannya dalam memberikan bimbingan, arahan, semangat, dan saran
sehingga Karya Tulis Ilmiah literature review ini bisa terselesaikan dengan baik.
6. Seluruh dosen dan staf Program Studi D3 Rekam Medis dan Informasi
Kesehatan yang telah memberikan ilmu serta motivasinya kepada penulis selama
menuntut ilmu di STIKES Panakkukang Makassar.
7. Terima kasih buat teman - teman seperjuangan yang selalu membantu dalam
penyusunan literature review ini sehingga dapat terselesaikan dengan baik.
Penulisan ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis
membutuhkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi penyempurnaan
penulisan ini. Penulis berharap penulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan
pembaca selanjutnya.
Makassar, 20 November 2020
Muhammad Ikzan
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................... iv
KATA PENGANTAR ....................................................................................... vii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xii
ABSTRAK ......................................................................................................... xiii
ABSTRACT ....................................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................ 6
C. Tujuan Penulisan .............................................................................. 6
D. Manfaat Penulisan ............................................................................ 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan tentang Rekam Medis ...................................................... 8
B. Tinjauan tentang ICD 10 ...................................................................... 10
C. Tinjauan tentang Koding .................................................................. 11
D. Tinjauan tentang Macam – Macam Diagnosa Menurut WHO ........ 14
x
E. Tinjauan tentang Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Ketepatan
Kode Diagnosa Utama Pasien .......................................................... 15
F. Tinjauan tentang Komunikasi Efektif .............................................. 19
G. Tinjauan tentang Aturan Reseleksi Kondisi Utama ......................... 21
BAB III HASIL YANG DICAPAI
A. Desain Penelitian .............................................................................. 24
B. Pencarian Literatur .......................................................................... 25
C. Kriteria Inklusi dan Ekslusi .............................................................. 26
D. Sintesis Pencarian Literature ............................................................... 27
E. Ekstraksi Data .................................................................................. 30
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil ................................................................................................. 32
B. Penbahasan ...................................................................................... 37
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................................... 44
B. Saran ................................................................................................ 45
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Strategi Pencarian Literature Review ............................................... .. 26
Tabel 2 : Kriteria Inklusi dan Ekslusi .............................................................. .. 26
Tabel 3 : Daftar Artikel yang Memenuhi Kriteria .......................................... .. 29
Tabel 4 : Hasil Ekstraksi Data Literature Review ............................................... 30
Tabel 5 : Karakteristik Data Literatur ................................................................. 32
Tabel 6 : Proses Komunikasi dalam Menentukan Reseleksi Diagnosa .............. 34
Tabel 7 : Ketepatan dalam Menentukan Diagnosa Utama Pasien ...................... 35
Tabel 8 : Faktor – Faktor yang Menyebabkan Ketidaktepatan dalam Menentukan
Diagnosa Utama Pasien ........................................................................ 36
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 : Proses Pencarian Literatur................................................................ 28
xiii
ABSTRAK
MUHAMMAD IKZAN : LITERATURE REVIEW KOMUNIKASI PEREKAM MEDIS
DENGAN DOKTER DALAM KETEPATAN RESELEKSI DIAGNOSA DI RUMAH
SAKIT
PEMBIMBING: Arief Azhari Ilyas dan Evi Lusiana
Latar Belakang : Dalam kaidah koding ICD apabila klarifikasi tentang diagnosis kepada
dokter tidak bisa dilakukan, maka koder dapat menggunakan aturan koding MB1 sampai rule
MB 5 sesuai dengan Volume 2 ICD untuk memilih ulang suatu diagnosis sebagai diagnosis
utama. Tujuan Penelitian : Mengetahui proses komunikasi dalam menentukan reseleksi kode
diagnosa, mengetahui ketepatan dalam menentukan diagnosa utama pasien, dan mengetahui
faktor yang menyebabkan ketidaktepatan dalam menentukan kode diagnosa utama pasien.
Metodologi : Penelitian ini menggunakan metode literature review yaitu mengumpulkan data
atau sumber yang berhubungan pada sebuah topik tertentu yang biasa ditemukan dari berbagai
sumber jurnal, internet, dan pustaka lainnya. Pencarian artikel menggunakan Google Scholar
dan GARUDA sesuai dengan kriteria yang ditetapkan untuk menemukan literatur. Hasil
Penelitian : Proses komunikasi yang digunakan dalam menentukan reseleksi diagnosa yaitu
ketika penulisan diagnosa kurang jelas maka perekam medis melakukan klarifikasi kepada
dokter yang bersangkutan. Selain itu, jika ada rekam medis yang tidak lengkap, maka perekam
medis mengembalikan rekam medis kepada dokter untuk dilengkapi. Meskipun proses
komunikasi yang digunakan sama, namun dari hasil review ditemukan bahwa setiap referensi
memiliki persentase ketepatan kode diagnosa yang berbeda. Ketidaktepatan ini disebabkan
karena dokter keliru dalam menetapkan diagnosa ataupun koder kurang teliti dalam menentukan
kode diagnosa. Kesimpulan : Komunikasi dilakukan dengan cara perekam medis akan
melakukan klarifikasi kepada dokter yang bersangkutan apabila terjadi kesalahan dalam
menentukan diagnosa. Faktor yang menyebabkan ketidaktepatan dalam menentukan kode
diagnosa utama yaitu dokter tidak menuliskan diagnosa, diagnosa tidak spesifik, diagnosa tidak
terbaca, serta informasi medis tidak lengkap.
Kata Kunci: Komunikasi perekam medis, reseleksi diagnosa, diagnosa utama.
xiv
ABSTRACT
MUHAMMAD IKZAN : LITERATURE REVIEW OF MEDICAL RECORDER
COMMUNICATION WITH A DOCTOR IN RESELECTION ACCURACY OF
DIAGNOSIS RECORDING IN HOSPITALS.
SUPERVISOR: Arief Azhari Ilyas and Evi Lusiana
Background: In the ICD coding rules, if clarification about the diagnosis to the doctor cannot
be done, the coder can use the MB1 coding rule to the MB 5 rule according to Volume 2 ICD to
re-select a diagnosis as the main diagnosis. Research objectives: Knowing the communication
process in determining the diagnostic code reselection, knowing the accuracy in determining
the patient's main diagnosis, and knowing the factors that cause inaccuracy in determining the
patient's main diagnostic code. Methodology: This study uses the literature review method,
which is to collect data or sources related to a particular topic that is commonly found from
various sources of journals, the internet, and other literature. Search for articles using Google
Scholar and GARUDA according to the criteria set for finding literature. Results: The
communication process used in determining the diagnosis reselection was that when the
diagnosis was not written, the medical recorder clarified it to the doctor concerned. In addition,
if there is an incomplete medical record, the medical recorder returns the medical record to the
doctor to be completed. Even though the communication process used is the same, from the
review results it is found that each reference has a different percentage of diagnostic code
accuracy. This inaccuracy is caused by the doctor being wrong in making the diagnosis or the
coder is not careful in determining the diagnostic code. Conclusion: Communication is carried
out by means of a medical recorder and will clarify to the doctor concerned if there is an error
in determining the diagnosis. Factors that cause inaccuracy in determining the main diagnostic
code are doctors who do not write down a diagnosis, a non-specific diagnosis, an illegible
diagnosis, and incomplete medical information.
Keywords: Medical recorder communication, diagnostic reselection, main diagnosis.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Rumah sakit merupakan institusi pemberi pelayanan kesehatan yang
menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna
yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Dalam
pelayanan di rumah sakit diantaranya terdapat pelayanan kesehatan paripurna
(medis) dan non medis. Pelayanan paripurna meliputi promotif, preventif, kuratif
dan rehabilitatif (UU RI No.44 Tahun 2009). Salah satu contoh pelayanan non
medis yaitu melaksanakan administrasi umum dan keuangan. Salah satu bentuk
pelayanan administrasi umum di Rumah Sakit adalah pelayanan pencatatan,
pelaporan atau rekam medis (Peraturan Presiden RI No. 77 Tahun 2015).
Menurut Permenkes Nomor 269 (2008) tentang Rekam Medis pasal
1 ayat (1), mengemukakan bahwa rekam medis adalah berkas yang berisikan
catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan,
tindakan dan pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien. Rekam medis
harus berisi data yang cukup untuk identifikasi pasien, mendukung diagnosis
atau sebab kedatangan pasien ke rumah sakit, melakukan tindakan serta
mendokumentasikan hasil tindakan tersebut dengan akurat. Rekam medis
dikatakan bermutu apabila rekam medis tersebut akurat, lengkap, valid dan tepat
waktu.
2
Rekam medis mempunyai arti penting karena merupakan bahan
pertanggungjawaban terhadap pelayanan yang diberikan kepada pasien serta
sebagai media informasi rumah sakit yang berfungsi untuk mengetahui tingkat
pengembangan pelayanan kesehatan di rumah sakit. Dalam upaya meningkatkan
pelayanan kesehatan perlu diadakan pengolahan rekam medis yang baik yaitu
pengolahan rekam medis dimulai dari tempat penerimaan pasien (membuat atau
menyiapkan rekam medis), dilanjutkan dengan assembling, analisis, koding,
indexing, dan filling. Oleh karena itu setiap rumah sakit perlu meningkatkan
upaya penyelamatan rekam medis yaitu pengolahan rekam medis sesuai aturan
yang telah ditetapkan, salah satunya adalah pengkodean diagnosa penyakit dan
diagnosa tindakan berdasarkan ICD-10 (International Statistical Classification of
Diseases and Related Health Problems Tenth Revision) dan ICD-9CM
(International Classification of Diseases, 9th Revision, Clinical Modification).
(Budi 2011).
Menurut Kepmenkes RI Nomor 312 (2020) tentang Standar Profesi
Perekam Medis dan Informasi Kesehatan, seorang perekam medis memiliki 7
area kompetensi, salah satunya yaitu Keterampilan Klinis, Kodefikasi Penyakit,
dan Masalah Kesehatan Lainnya, serta Prosedur Klinis. Dalam area kompetensi
ini, seorang perekam medis dituntut untuk menguasai beberapa hal, yakni
pemahaman konsep serta penggunaan berbagai jenis klasifikasi klinis dan
kodefikasi penyakit dan masalah kesehatan lainnya serta prosedur klinis.
3
Seorang perekam medis harus mampu menetapkan kode penyakit dan
tindakan dengan tepat sesuai klasifikasi yang diberlakukan di Indonesia (ICD-10)
tentang penyakit dan tindakan medis dalam pelayanan dan manajemen kesehatan.
Penerapan pengkodean digunakan untuk mengindeks pencatatan penyakit,
masukan bagi sistem pelaporan diagnosis medis, memudahkan proses
penyimpanan dan pengambilan data terkait diagnosis karakteristik pasien dan
penyedia layanan, bahan dasar dalam pengelompokan INA CBG untuk sistem
penagihan pembayaran biaya pelayanan, pelaporan nasional dan internasional
morbiditas dan mortalitas, tabulasi data pelayanan kesehatan bagi proses evaluasi
perencanaan pelayanan medis, menentukan bentuk pelayanan yang harus
direncanakan dan dikembangkan sesuai kebutuhan zaman, analisis pembiayaan
pelayanan kesehatan, serta untuk penelitian epidemiologi dan klinis (Karimah et
al. 2016).
Berdasarkan fakta dan teori di atas maka penentuan ketepatan kode
diagnosis dilakukan dengan mencocokkan hasil pengkodean dengan aturan
sesuai dengan prosedur WHO yang ada pada ICD-10. Ketidaktepatan kode
diagnosis tersebut menghambat pembayaran asuransi karena diagnosis dan gejala
pasien tidak runtut dan lengkap sehingga perlu dilakukan perbaikan. Waktu yang
dibutuhkan dalam melakukan perbaikan cukup lama sehingga proses klaim
asuransi pada pasien terhambat. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap
pengelolaan dokumen rekam medis selanjutnya (Karimah et al. 2016).
4
Berdasarkan hasil penelitian Servasius (2013), didapatkan hasil bahwa
dalam kegiatan koding sering terjadi kesalahan pemberian kode karena petugas
koding tidak dapat membaca tulisan dokter. Dari hasil penelitian 50 rekam medis
diketahui sebagian besar dokter menuliskan diagnosa jelas terbaca walaupun
sebagian juga masih ada beberapa dokter yang tidak jelas menuliskan diagnosa
sehingga menyulitkan petugas koding dalam melakukan pemilihan kode
diagnosa utama pasien. Ketidakjelasan penulisan diagnosa utama akan
menghambat pekerjaan koder dalam mengkode rekam medis karena koder harus
mencari dokter dan mengkofirmasi ketidakjelasan penulisan diagnosa utama.
Menurut Utami (2017) penyebab dari ketidaktepatan dalam pemilihan
kode diagnosis utama yaitu antara lain faktor kelelahan dari petugas koding
karena beban kerja yang terlalu tinggi, diagnosis utama yang telah ditetapkan
oleh dokter di lembar RM 1 dan resume tidak sesuai dengan lembar IGD,
Lembar Persalinan, Lembar Asuhan keperawatan, sehingga membingungkan
petugas koding dalam memilih kode diagnosis utamanya dengan tepat, diagnosis
yang ditetapkan oleh dokter tidak spesifik, tulisan diagnosis yang ditetapkan oleh
dokter tidak terbaca, sehingga menyulitkan petugas koding dalam memilih kode
diagnosis utama pasien. Saat diagnosa yang dituliskan oleh dokter tidak terbaca
atau tidak sesuai, maka petugas koding akan menkonfirmasi kepada dokter yang
bersangkutan, sehingga komunikasi juga menjadi salah satu dalam ketepatan
penulisan kode diagnosa.
5
Menurut Kepmenkes RI Nomor 312 (2020) tentang Standar Profesi
Perekam Medis dan Informasi Kesehatan, seorang perekam medis harus mampu
melakukan komunikasi efektif, yakni mampu menggali dan mengumpulkan
informasi dari pemangku kepentingan untuk digunakan sebagai bahan
pengambilan keputusan dalam pelayanan rekam medis dan informasi kesehatan.
Seorang perekam medis harus mampu berkomunikasi dengan pengguna jasa
pelayanan kesehatan, mitra kerja, serta masyarakat dengan menggunakan bahasa
yang efektif.
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis tertarik untuk melakukan
laporan kasus dengan mengambil judul LITERATURE REVIEW KOMUNIKASI
PEREKAM MEDIS DENGAN DOKTER DALAM KETEPATAN RESELEKSI
DIAGNOSA DI RUMAH SAKIT.
Untuk mengetahui kronologi masalah dalam satu pokok masalah yang
jelas, fenomena yang diungkap dalam Karya Tulis Ilmiah dilengkapi dengan data
yang lengkap dengan uraian pertanyaan penelitian menggunakan format PICO
antara lain :
P (Problem) : Perekam medis dan dokter yang biasa terjadi kesalahan dalam
pemilihan kode diagnosa
I (Intervention) : Komunikasi antara perekam medis dan dokter dalam proses
reseleksi
C (Comperation) : -
O (Outcome) : Ketepatan diagnosa utama pasien.
6
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan dari latar belakang diatas, maka fokus masalah yang akan
dilakukan proses review yaitu bagaimana komunikasi perekam medis dengan
dokter dalam menentukan reseleksi kode diagnosa di rumah sakit ?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan literature review ini terdiri dari tujuan umum dan
tujuan khusus, yakni sebagai berikut :
1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari literature review ini yaitu mendapatkan
gambaran mengenai reseleksi kode diagnosa di rumah sakit.
2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dari literature review ini yaitu :
a. Diketahui proses komunikasi dalam menentukan reseleksi kode
diagnosa
b. Diketahui ketepatan dalam menentukan kode diagnosa utama pasien.
c. Diketahui faktor – faktor yang menyebabkan ketidaktepatan dalam
menentukan kode diagnosa utama pasien.
7
D. Manfaat Penulisan
1. Institusi Pendidikan
Karya Tulis Ilmiah yang dihasilkan peneliti diharapkan dapat
memberi masukan ilmu sebagai bahan pembelajaran dan memperkaya
wawasan terutama dibidang rekam medis serta mendapatkan masukan untuk
meningkatkan tersusunnya kurikulum rekam medis dan informasi kesehatan
yang sesuai dengan kebutuhan
2. Bagi Peneliti lain
Dapat menjadi acuan dan wacana bagi peneliti lain yang akan
melakukan penelitian dengan topik yang hampir sama.
3. Bagi Peneliti
Penulis mendapatkan tambahan wawasan dan pengalaman yang
sangat bermanfaat untuk penulisan yang lebih lanjut serta tambahan ilmu
pada bidang rekam medis dan informasi kesehatan yang bisa diterapkan pada
dunia kerja serta terpenuhinya syarat untuk menyelesaikan program
pendidikan ahli madya rekam medis dan informasi kesehatan.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan tentang Rekam Medis
1. Pengertian Rekam Medis
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 269 tahun
2008 tentang rekam medis disebutkan bahwa rekam medis adalah berkas
yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan,
pengobatan, tindakan, pelayanan lain yang telah diberikan kepada pasien,
dimana pasien adalah setiap orang yang melakukan konsultasi masalah
kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang diperlukan baik
secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi dan
atau tenaga kesehatan tertentu.
Dari definisi rekam medis diatas dapat disimpulkan bahwa rekam
medis merupakan kumpulan fakta tentang kehidupan seseorang dan riwayat
penyakit, pengobatan saat ini yang ditulis oleh para praktisi kesehatan dalam
upaya memberikan pelayanan kesehatan kepada pasien.
2. Tujuan Rekam Medis
Menurut Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik Revisi II dalam
bukunya Pedoman Penyelenggaraan dan Prosedur Rumah Sakit di Indonesia
(2006:13). Tujuan rekam medis adalah guna menunjang tercapainya tertib
administrasi dalam rangka upaya peningkatan pelayanan kesehatan di rumah
9
sakit. Tanpa didukung suatu sistem pengelolaan rekam medis yang baik dan
benar, tidak akan terciptanya tertib administrasi rumah sakit sebagaimana
yang diharapkan. Sedangkan tertib administrasi merupakan salah satu faktor
yang menentukan di dalam upaya pelayanan kesehatan di rumah sakit.
3. Manfaat Rekam Medis
Menurut Rustiyanto (2010:18), kegunaan rekam medis secara
umum antara lain sebagai berikut:
a. Sebagai alat komunikasi antara dokter dan tenaga ahli lainnya yang ikut
ambil bagian di dalam memberikan pelayanan, pengobatan, perawatan
kepada pasien.
b. Sebagai dasar untuk merencanakan pengobatan atau perawatan yang
harus diberikan kepada pasien.
c. Sebagai bukti tertulis atas segala tindakan pelayanan, perkembangan
penyakit, dan pengobatan selama pasien berkunjung/dirawat di rumah
sakit.
d. Sebagai bahan yang berguna untuk analisa, penelitian, dan evaluasi
terhadap kualitas pelayanan yang diberikan kepada pasien.
e. Melindungi kepentingan hukum bagi pasien, rumah sakit maupun dokter
dan tenaga kesehatan lainnya.
f. Menyediakan data – data khususnya yang sangat berguna untuk
penelitian dan pendidikan.
10
g. Sebagai dasar didalam perhitungan pembayaran pelayanan medis
pasien.
h. Menjadi sumber ingatan yang harus didokumentasin, serta sebagai
bahan pertanggung jawaban dan laporan.
B. Tinjauan tentang ICD- 10
Menurut Hatta dalam Agustine & Pratiwi (2017) International
Statistical Classification of Diseases and Related Health Problems atau ICD
adalah sistem klasifikasi yang komprehensif dan diakui secara internasional.
Sistem klasifikasi penyakit adalah sistem yang mengelompokkan penyakit-
penyakit dan prosedur-prosedur yang sejenis ke dalam satu grup nomor kode
penyakit dan tindakan yang sejenis. Penerapan pengodean sistem ICD digunakan
untuk mengindeks pencatatan penyakit dan tindakan di sarana pelayanan
kesehatan, masukan bagi sistem pelaporan diagnosis medis, pelaporan nasional
dan internasional morbiditas dan mortalitas, tabulasi data pelayanan kesehatan
bagi proses evaluasi perencanaan pelayanan medis, serta untuk penelitian
epidemiologi dan klinis.
11
C. Tinjauan tentang Koding
1. Pengertian Koding
Kegiatan pengkodean adalah pemberian penetapan kode dengan
menggunakan huruf dan angka atau kombinasi antara huruf dan angka yang
mewakili komponen data. Kegiatan yang dilakukan dalam koding meliputi
kegiatan pengkodean diagnosis dan pengkodean tindakan medis. Tenaga
rekam medis sebagai koder bertanggungjawab atas keakuratan kode (Budi
2011).
Koding adalah proses Pengklasifikasian data dan penentuan kode
(sandi) nomor / alfabet / numerik untuk mewakilinya. Diagnosis pasien (ICD)
terdiri dari nama penyakit, proses penyakit, causa penyakit, dan masalah
terkait kesehatan. Koding diagnosis harus dilaksanakan dengan presisi
(sesuai dengan aturan ICD-10), akurat (sesuai dengan proses hasil akhir
produk), dan tepat waktu sesuai episode pelayanan (Siswati and Pratami
2015).
2. Tujuan Koding
Menurut Hatta dalam Mangentang (2015), pengodean Sistem ICD
berguna untuk:
a. Mengindeks catatan penyakit dan tindakan pada sarana pelayanan
kesehatan.
b. Sebagai masukan untuk sistem pelaporan diagnosis medis.
12
c. Mempermudah proses penyimpanan dan pengambilan data yang
terkait diagnosis karakteristik pasien dan penyedia layanan.
d. Bahan dasar guna pengelompokan DRGs (diagnosis-related groups)
disistem penagihan pembayaran biaya pelayanan.
e. Untuk pelaporan nasional dan internasional morbiditas dan mortalitas.
f. Tabulasi data bagi proses evaluasi perencanaan pelayanan medis.
g. Menentukan bentuk layanan yang akan direncanakan danjuga akan
dikembangkan.
h. Analisis pembiayaan.
i. Penelitian epidemiologi dan klinis.
3. Langkah-Langkah Koding
Menurut Kasim dalam Hatta dalam (Maryati 2016) prosedur
pengkodean adalah langkah-langkah penentuan kode penyakit sesuai dengan
ICD-10. Langkah-langkah penentuan kode diagnosa adalah sebagai berikut :
a. Tentukan tipe pernyataan yang akan dikode, dan buka volume 3
Alphabetical Indeks (kamus). Bila pernyataan adalah istilah penyakit
atau cedera atau kondisi lain yang terdapat pada Bab I-XIX dan XXI
(volume 1), gunakanlah ia sebagai “lead-term” untuk dimanfaatkan
sebagai panduan menelusuri istilah yang dicari pada seksi I indeks
(volume 3). Bila pernyataan adalah penyebab luar (external cause) dari
cedera (bukan nama penyakit) yang ada di Bab XX (volume 1), lihat dan
cari kodenya pada seksi II di indeks (volume 3).
13
b. “Lead term” (kata panduan) untuk penyakit dan cedera biasanya
merupakan kata benda yang memaparkan kondisi patologisnya.
Sebaiknya jangan menggunakan istilah kata benda anatomi, kata sifat
atau kata keterangan sebagai kata panduan. Walaupun demikian,
beberapa kondisi ada yang diekspresikan sebagai kata sifat atau eponim
(menggunakan nama penemu) yang tercantum di dalam indeks sebagai
“lead term”.
c. Baca dangan seksama dan ikuti petunjuk catatan yang muncul dibawah
istilah yang akan dipilih pada volume 3.
d. Baca istilah yang terdapat dalam tanda kurung “( )” sesudah lead term
(kata dalam tanda kurung = modifier, tidak akan memengaruhi kode).
Istilah lain yang ada di bawah lead term (dengan tanda (-) minus = idem
= indent) dapat memengaruhi nomor kode, sehingga semua kata-kata
diagnosis harus diperhitungkan.
e. Ikuti secara hati-hati setiap rujukan silang (cross reference) dan perintah
see dan see also yang terdapat dalam indeks.
f. Lihat daftar tabulasi (volume 1) untuk mencari nomor kode yang paling
tepat. Lihat tiga kode karakter diindeks dengan tanda minus pada posisi
keempat yang berarti bahwa isian untuk karakter keempat itu ada di
volume 1 dan merupakan posisi tambahan yang tidak ada dalam indek
(volume 3). Perhatikan juga perintah untuk membubuhi kode tambahan
(additional code) serta aturan cara penulisan dan pemanfaatannya dalam
14
pengembangan indeks penyakit dan dalam sistem pelaporan morbiditas
dan mortalitas.
g. Ikuti pedoman Inclusion dan Exclusion pada kode yang dipilih atau
bagian bawah suatu bab (chapter), blok, kategori atau subkategori.
h. Tentukan kode yang anda pilih.
i. Lakukan analisis kuantitatif dan kualitatif data diagnosis yang dikode
untuk pemastian kesesuaiannya dengan pernyataaan dokter tentang
diagnosis utama di berbagai lembar formulir rekam medis pasien, guna
menunjang aspek legal rekam medis yang dikembangkan.
D. Tinjauan tentang Macam - Macam Diagnosis Menurut WHO
1. Principal diagnosis
Diagnosis yang ditegakkan setelah dikaji, terutama bertanggung
jawab menyebabkan admission pasien ke rumah sakit. Diagnosa utama
merupakan kata / frasa yang digunakan oleh dokter untuk menyebutkan
suatu penyakit yang diderita seorang pasien yang memerlukan, mencari atau
menerima asuahan medis. Diagnosis diperoleh pada saat dokter telah
melakukan pemeriksaan terhadap pasien sedangkan diagnosis utama adalah
penyakit atau cacat luka, keadaan sakit yang utama dari pasien yang dirawat
di rumah sakit, adapun batasan-batasan diagnosa utama adalah sebagai
berikut :
15
a. Diagnosa ditentukan setelah cermat dikaji (determinated after study).
b. Menjadi alasan penyebab fakta admission (masuk rawat) (caused this
particular admission).
c. Menjadi fakta asuhan terapi atau pengobatan (tindakan lain yang
dilaksanakan ) untuk menegakkan diagnosis ( focus of treatment).
2. Other diagnosis
Diagnosis selain principal diagnosis yang menggambarkan suatu
kondisi dimana pasien mendapatkan pengobatan, atau dimana dokter
mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan untuk memasukannya dalam
pemeriksaan kesehatan lebih lanjut.
3. Complication
Suatu diagnosis yang menggambarkan suatu kondisi yang muncul
setelah dimulainya observasi dan perawatan dirumah sakit yang
mempengaruhi perjalanan penyakit pasien atau asuhan medis.
E. Tinjauan tentang Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Ketepatan Kode
Diagnosa Utama Pasien
1. Ketidaklengkapan Rekam Medis
Ketidaklengkapan dalam pengisian rekam medis akan
mempengaruhi mutu rekam medis. Sebelum melakukan pengkodean
diagnosis penyakit, petugas rekam medis diharuskan mengkaji data pasien
dalam lembar - lembar rekam medis tersebut diatas untuk memastikan
16
rincian diagnosis yang dimaksud, sehingga penentuan kode penyakit dapat
mewakili sebutan diagnosis tersebut secara utuh dan lengkap, sebagaiman
aturan yang digariskan dalam ICD-10.
2. Tenaga Medis
Ketepatan kode yang dihasilkan oleh petugas koding terutama
ditentukan oleh data dasar yang ditulis dan ditentukan oleh tenaga medis
penanggung jawab pasien. Oleh karena itu, penting bagi tenaga medis terkait
untuk mengetahui dan memahami proses koding dan data dasar yang
dibutuhkan, sehingga dalam proses perekaman dapat memenuhi beberapa
persyaratan kelengkapan data guna menjamin ketepatan diagnosa utama
pasien, oleh karenanya apabila ada hal-hal kurang jelas atau meragukan
dalam penentua kode perlu komunikasi terhadap dokter penanggung jawab.
3. Tenaga Rekam Medis
Kunci utama dalam pelaksanaan kodig adalah koder atau petugas
koding. Ketepatan kode diagnosa utama merupakan tanggung jawab tenaga
rekam medis khususnya tenaga koding. Kurangnya tenaga pelaksana rekam
medis khususnya tenaga koding baik dari segi kualitas maupun kuantitas,
kualitas petugas koding di RS dapat dilihat dari :
a. Pengalaman kerja
Pengalaman kerja yang dimiliki oleh petugas koding sangat
mendukung dalam pelaksanaan tugasnya, petugas koding yang
17
berpengalaman dapat menentukan kode penyakit lebih cepat
berdasarkan ingatan dan kebiasaan.
b. Pendidikan
Keakuratan pilihan kode diagnosis dalam ICD adalah
manajemen kesehatan. Kesalahan mengutip, memindahkan dan memilih
kode secara tepat merupakan kesalahan yang sering terjadi pada saat
pengkodean diagnosis penyakit. Salah satu penyebab kesalahan tersebut
umumnya adalah kurangnya pengetahuan mengenai aturan-aturan dalam
koding yang menggunakan ICD-10. Kemampuan Koding merupakan
salah satu kompetisi kritis yang tidak dimiliki oleh tenaga kesehatan
lain, karena koding merupakan salah satu tugas pokok tenaga rekam
medis.
c. Pelatihan
Apabila tenaga koding belum mempunyai kesempatan untuk
mendapatkan pendidikan khusus dibidang rekam medis dan informasi
kesehatan, maka untuk mendapatkan hal yang baik, setidaknya petugas
memperoleh pelatihan yang cukup tentang seluk beluk pekerjaannya
selaku tenaga rekam medis. Pelatihan yang bersifat aplikatif berupa in-
house atau on the- job training akan sangat membantu meningkatkan
pemahaman dan keterampilan petugas tenaga koding, terutama bila latar
belakang pendidikan sama sekali tidak menunjang kesesuaian penentuan
kode.
18
d. Faktor lain
Sebagaimana hanya tenaga kerja/ SDM pada umumnya,
tentunya kualitas tenaga juga dipengaruhi oleh faktor SDM lain seperti
usia, system renunerasi, motivasi, sanksi.
4. Sarana
Sesuai dengan standar pelayanan rekam medis, maka fasilitas yang
cukup harus disediakan guna pelayanan yang efisien, adapun sarana dalam
pelaksanaan pengkodean oleh ICD-10 yang terdiri atas volume 1, 2, dan 3.
Kamus bahasa inggris dan terminologi medis bagi petugas koding yang
belum menguasai kedua bahasa tersebut dengan baik.
5. Kebijakan
Kebijakan rumah sakit yang dituangkan dalam bentuk SK Direktur
Protap (prosedur tetap) atau SOP (standar operating procedure) akan
mengikat dan mewajibkan semua petugas rumah sakit yang terlibat dalam
pengisian lembar-lembar rekam medis untuk melaksanakannya sesuai
dengan peraturan dan perundangan yang berlaku. Selain itu, dalam rangka
penjaminan kualitas penyelenggaraan pelayanan rekam medis dirumah sakit,
kebijakan yang dituangkan dalam aturan tertulis akan sangat berperan
sebagai dasar pelaksanaan dan pedoman penyelenggaraan pelayanan rekam
medis, sehingga pengawasan juga menjadi lenoh mudah dengan danya
standar atau acuan baku. Adanya akreditasi dirumah sakit juga dapat
19
menjadikan acuan penyelenggaraan pelayanan rekam medis yang berkualitas
dirumah sakit (Mahendra, 2019).
F. Tinjauan tentang Komunikasi Efektif
Komunikasi adalah pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara
dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Menurut
Kepmenkes RI Nomor 312 (2020) tentang Standar Profesi Perekam Medis dan
Informasi Kesehatan, seorang perekam medis harus mampu menggali dan
mengumpulkan informasi dari pemangku kepentingan untuk digunakan sebagai
bahan pengambilan keputusan dalam pelayanan rekam medis.
Dalam area komunikasi efektif terdapat 5 hal yang harus diperhatikan
yakni komunikasi lisan dan tertulis yang dapat dipahami oleh pengguna jasa
PMIK, komunikasi lisan dan tertulis dalam rangka kolaborasi dengan mitra kerja,
komunikasi dengan masyarakat, komunikasi verbal dan non verbal, serta
penerapan ilmu komunikasi untuk pengumpulan, pengolahan, penyajian data
beserta informasi kesehatan. Selain itu, lulusan perekam medis mampu
berkomunikasi dengan pengguna jasa pelayanan kesehatan, mitra kerja, serta
masyarakat dengan menggunakan bahasa yang efektif.
20
Komunikasi digolongkan menjadi 3 kategori jenis komunikasi antara
lain yaitu (Prabowo, 2017:16-18) :
1. Komunikasi lisan dan tulisan
Dasar dari penggolongan komunikasi lisan dan tulisan ini adalah
bentuk pesan yang disampaikan, pada komunikasi antar pribadi komunikasi
jenis ini yang paling banyak dilakukan. Komunikasi lisan merupakan jenis
komunikasi yang disampaikan secara lisan atau berinteraksi dengan
menggunakan suara mulut/berbicara. Sedangkan komunikasi secara tertulis
disampaikan melalui media atau sarana tulisan, baik berupa pesan singkat
melalui gawai, atau tertulis melalui surat.
2. Komunikasi verbal dan nonverbal
Menurut buku manajemen keperawatan, komunikasi verbal adalah
komunikasi yang disampaikan dalam bentuk lisan maupun tulisan.
Komunikasi ini dapat terjadi secara langsung, yaitu melalui tatap muka, atau
tidak langsung, yakni melalui telepon, tulisan, telekonferen, dan lain-lain.
Sementara itu, komunikasi nonverbal merupakan komunikasi yang
disampaikan melalui bahasa tubuh.
Dalam prosesnya, baik komunikasi verbal maupun nonverbal dapat
berlangsung satu arah maupun dua arah. Komunikasi satu arah adalah
komunikasi yang terjadi tanpa ada umpan balik (feed back), komunikasi ini
biasanya bersifat koersif, yakni berupa perintah atau instruksi.
21
Bentuk komunikasi verbal efektif yaitu:
a. Berlangsung secara timbal balik.
b. Makna pesan dapat disampaikan secara ringkas dan jelas.
c. Bahasa yang digunakan mudah untuk dipahami.
d. Cara penyampaian mudah diterima.
e. Disampaikan secara tulus
f. Mempunyai tujuan yang bisa ditangkap jelas.
g. Memperhatikan norma yang berlaku.
h. Disertai dengan humor atau cara-cara menyenangkan lainnya.
Bentuk komunikasi nonverbal efektif yaitu penampilan fisik yang
meyakinkan lawan bicara, sikap tubuh dan gesture, ekspresi wajah, sentuhan.
3. Komunikasi vertikal dan horizontal
Komunikasi vertikal terjadi saat pimpinan perusahaan/ organisasi
memberikan instruksi kepada bawahan dan karyawannya. Sedangkan
komunikasi secara horizontal yakni komunikasi antara karyawan dengan
karyawan, baik yang berlangsung secara formal maupun nonformal.
G. Tinjauan tentang Aturan Reseleksi Kondisi Utama
Dalam kaidah koding ICD apabila klarifikasi tentang diagnosis kepada
dokter penanggung jawab pasien tidak bisa dilakukan, maka koder dapat
menggunakan aturan koding MB1 sampai dengan rule MB 5 sesuai dengan
22
Volume 2 ICD untuk memilih ulang (reseleksi) suatu diagnosis sebagai diagnosis
utama.
1. Rule MB 1
Bilamana suatu kondisi minor atau kondisi yang sudah lama terjadi,
atau masalah yang bersifat insidental tercatat sebagai “kondisi utama”
sedangkan kondisi yang lebih signifikan dan lebih relevan terhadap
pengobatan yang diberikan dan yang lebih sesuai dengan spesialisasi yang
merawat pasien, terekam sebagai “kondisi lain” dimana yang disebutkan
terakhir justru menjadi “kondisi utama”.
2. Rule MB 2
Bilamana beberapa kondisi baik yang tak dapat dikode dengan
kondisi multiple ataupun kategori kombinasi, terekam sebagai “kondisi
utama” sedangkan rincian lain pada catatan mengacu pada salah satu kondisi
sebagai “kondisi utama” berdasarkan pelayanan kesehatan yang diterima
oleh pasien, maka pilihlah kondisi yang terakhir ini atau pilih saja kondisi
yang pertama disebutkan apabila tidak ada keterangan yang memadai.
3. Rule MB 3
Bila suatu gejala (symptom) atau tanda (sign) yang umumnya
terklasifikasi dalam bab XVII atau masalah non-morbid yang
terklasifikasikan pada bab XXI, terekam sebagai “kondisi utama” dan hal
tersebut secara jelas menggambarkan tanda,gejala atau permasalahan dari
kondisi yang didiagnosis dibagian lain, sedangkan perawatan atau pelayanan
23
kesehatan yang diberikan kepada pasien tersebut sesuai dengan gambaran
diagnosis tadi maka, reseleksi dengan memilih diagnosis yang terakhir tadi
sebagai “kondisi utama” yang harus dikode.
4. Rule MB 4
Apabila diagnosis yang terekam sebagai “kondisi utama”
menggambarkan suatu kondisi dengan istilah yang leboh umum (general)
sedangkan terminilogy yang lebih spesifik dapat memberikan informasi yang
lebih spesifik tentang lokasi atau gambaran lengkap dari kondisi tersebut
diletakkan dibagian lain, maka reseleksilah kondisi yang lebih spesifik tadi
sebagai “kondisi utama” yang akan dikode.
5. Rule MB 5
Bilamana suatu gejala atau tanda direkam sebagai “kondisi utama”
dengan indikasi bahwa kondisi tersebut mungkin disebabkan oleh kondisi
lainnya atau sebab lain diluar yang terekam, maka sebaiknya pilih gejala
(sympton) tersebut sebagai “kondisi utama”. Sedangkan bila terdapat dua
atau lebih gejala yang terekam sebagai kondisi utama maka pilihlah yang
pertama kali disebutkan (WHO, 2004).
24
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Desain penelitian ini adalah Literature Review atau tinjauan pustaka.
Literature Review adalah uraian tentang teori, temuan dan bahan penelitian lain
yang diperoleh dari bahan acuan untuk dijadikan landasan kegiatan penelitian
untuk menyusun kerangka pemikiran yang jelas dari perumusan masalah yang
ingin diteliti. Studi literature review merupakan cara yang dipakai untuk
mengumpulkan data atau sumber yang berhubungan pada sebuah topik tertentu
yang biasa ditemukan dari berbagai sumber jurnal, internet, dan pustaka lainnya.
Tujuan akhir literature review adalah untuk mendapatkan gambaran yang
berkenaan dengan apa yang sudah pernah dikerjakan orang lain sebelumnya.
Dari tiga penelitian yang dilakukan review, dua penelitian
menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan cross sectional, satu
penelitian menggunakan jenis penelitian analitik dengan pendekatan cross
sectional, dan satu penelitian menggunakan jenis penelitian analitik korelasi.
25
B. Pencarian Literature
1. Kata Kunci
Kata kunci yang digunakan dalam pencarian jurnal pada Google
Scholar dan GARUDA adalah reseleksi kode diagnosa serta komunikasi
perekam medis dengan dokter. Hal ini telah sesuai dengan judul yang akan
diangkat oleh peneliti.
2. Database Pencarian
Dalam menemukan jurnal yang terkait dengan judul yang diangkat
oleh peneliti, maka peneliti menggunakan database pencarian jurnal nasional
seperti Google Scholar dan Gerba Rujukan Digital (GARUDA).
3. Strategi Pencarian
Penelusaran artikel publikasi pada Google Scholar dan GARUDA
menggunakan kata kunci reseleksi kode diagnose dan komunikasi perekam
medis dengan dokter. Artikel atau jurnal yang sesuai dengan kriteria inklusi
dan eksklusi diambil untuk selanjutnya di analisis melalui analisis judul
jurnal, tujuan penelitian, metode penelitian, dan hasil penelitian. Literature
Review ini menggunakan literatur terbitan tahun 2013-2020 yang dapat di
akses secara keseluruhan. Kriteria jurnal yang direview adalah artikel jurnal
penelitian bahasa indonesia dengan subyek manusia dewasa.
Jurnal yang sesuai dengan kriteria inklusi termasuk dalam
komunikasi perekam medis dengan dokter dalam ketepatan reseleksi
diagnosa di rumah sakit, kemudian dilakukan review.
26
Tabel 1
Strategi Pencarian Literature Review
DATA BASE STRATEGI PENCARIAN JURNAL
Google Scholar
Reseleksi kode diagnosa and
komunikasi perekam medis dengan
dokter
GARUDA
Reseleksi kode diagnosa
Komunikasi perekam medis dengan
dokter
C. Kriteria Inklusi dan Eksklusi
Kriteria inklusi dan eksklusi yang diambil oleh peneliti sesuai dengan
judul yang diangkat oleh peneliti yaitu “Literature Review Komunikasi Perekam
Medis dengan Dokter dalam Ketepatan Reseleksi Diagnosa di Rumah Sakit”
Tabel 2
Kriteria Inklusi dan Ekslusi
INKLUSI EKSKLUSI
Artikel tahun 2013-2020 Artikel dibawah tahun 2013
Prosedur reseleksi diagnosa di
rumah sakit
Jurnal yang hanya menampilkan
abstrak atau tdk fulltext
Komunikasi perekam medis dengan
dokter
Prosedur reseleksi diagnosa di
puskesmas
27
D. Sintesis Pencarian Literature
1. Hasil Pencarian Literature
Jurnal penelitian diseleksi dengan mengidentifikasi topik dan
abstrak serta berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi kemudian
dikumpulkan, dibuat ringkasan jurnal meliputi nama peneliti, tahun terbit
jurnal, judul jurnal, tujuan peulisan, metode penulisan, dan hasil penulisan.
Untuk lebih memperjelas analisis abstrak dan fulltext jurnal dibaca dan
dicermati. Data yang sudah terkumpul kemudian dicari persamaan dan
perbedaannya lalu dibahas untuk menarik kesimpulan.
Berdasarkan hasil penelusuran dengan kata kunci reseleksi kode
diagnosa didapatkan 18 jurnal bersumber dari :
- Google Scholar : 17 jurnal
- GARUDA : 1 jurnal
Dari 18 jurnal yang sesuai kata kunci tersebut, kemudian dilakukan
skrining terdapat 5 jurnal di ekslusi karena tahun terbit sebelum 2013 dan 8
jurnal yang di eksklusi karena tidak sesuai dengan tema judul yang akan
diangkat oleh peneliti. Dari hasil skrining tersebut didapatkan sebanyak 5
jurnal, kemudian dilakukan skrining kembali sehingga didapatkan 3 jurnal
fulltext yang akan dilakukan review.
28
Berikut adalah gambaran diagram alur review jurnal :
Proses Pencarian Literatur
Gambar 1
17 jurnal ditemukan sesuai
dengan kata kunci
5 jurnal eksklusi karena
tahun terbit sebelum 2013
1 jurnal tidak full text
3 jurnal yang full text
4 hasil jurnal hasil
skrining
8 jurnal eksklusi karena
tidak sesuai dengan tema
judul
29
2. Daftar Artikel yang Memenuhi Kriteria
Tabel 3
Daftar Artikel yang Memenuhi Kriteria
NO JUDUL NAMA PENELITI
(TAHUN)
1. Ketepatan Reseleksi Kode Diagnosa dan
Kode Utama Berdasarkan Aturan
Morbiditas Pembiayaan Jaminan
Kesehatan INA-CBGs.
Linda Widyaningrum
(2015)
2. Hubungan Pengetahuan Koder dengan
Keakuratan Kode Diagnosis Pasien Rawat
Inap Jaminan Kesehatan Masyarakat
berdasarkan ICD-10 di RSUD Simo
Boyolali.
Utami, Y. T. (2015)
3. Tingkat Akurasi Kodefikasi Morbiditas
Rawat Inap Guna Menunjang Akurasi
Pelaporan di Bagian Rekam Medis Rumah
Sakit Cahya Kawaluyan.
Mandels, R. J., &
Calvin, L. (2013)
30
E. Ekstraksi Data
Tabel 4
Hasil Ekstraksi Data Literature Review
NO JUDUL, NAMA
PENELITI, TAHUN
DESAIN
PENELITIAN
PERSENTASE
KETEPATAN
KODE DIAGNOSA
POPULASI
SAMPEL
KOMUNIKASI DALAM
RESELEKSI DIAGNOSA
1. Ketepatan Reseleksi
Kode Diagnosa dan Kode
Utama Berdasarkan
Aturan Morbiditas
Pembiayaan Jaminan
Kesehatan INA-CBGs,
Linda Widyaningrum
(2015).
Analitik
Korelasi 93,3 %
30 Rekam
Medis
Komunikasi dilakukan
dengan dokter dalam hal
pembacaan informasi pada
penunjang medis.
2. Hubungan Pengetahuan
Koder dengan
Keakuratan Kode
Diagnosis Pasien Rawat
Inap Jaminan Kesehatan
Masyarakat berdasarkan
ICD-10 di RSUD Simo
Boyolali, Utami, Y. T.
(2015)
Analitik dengan
pendekatan
cross sectional
62,37 % 93 Rekam
Medis
Diagnosis yang ditetapkan
oleh dokter tidak spesifik,
tulisan diagnosis yang
ditetapkan oleh dokter tidak
terbaca, dokter tidak atau lupa
menuliskan kode diagnosis
utama pada formulir RM 1,
serta diagnosis utama yang
telah ditetapkan oleh dokter
tidak sesuai dengan obat,
tindakan, terapi, dan
pelayanan lain yang diberikan
kepada pasien.
31
NO JUDUL, NAMA
PENELITI, TAHUN
DESAIN
PENELITIAN
PERSENTASE
KETEPATAN
KODE DIAGNOSA
POPULASI
SAMPEL
KOMUNIKASI DALAM
RESELEKSI DIAGNOSA
3. Tingkat Akurasi
Kodefikasi Morbiditas
Rawat Inap Guna
Menunjang Akurasi
Pelaporan di Bagian
Rekam Medis Rumah
Sakit Cahya Kawaluyan,
Mandels, R. J., & Calvin,
L. (2013).
Deskriptif
Kuantitatif 74,17%
213 Rekam
Medis
Faktor yang mengakibatkan
kurang akuratnya pengkodean
yaitu tulisan dokter sulit
dibaca, ketidaklengkapan
informasi medis, dan terdapat
penggunaan singkatan yang
tidak biasa sehingga petugas
harus melakukan klarifikasi
terlebih dahulu ke dokter.
32
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Berdasarkan hasil pencarian literature review, penulis mendapatkan 3
jurnal yang memenuhi kriteria inklusi. Penelitian tersebut berhubungan dengan
komunikasi antara perekam medis dengan dokter terkait reseleksi kode diagnosa
di rumah sakit. Hasil literature review tersebut dapat dilihat dengan tabel
dibawah ini :
Tabel 5
Karakteristik Data Literatur
No
Judul, Nama
Peneliti
(Tahun)
Nama
Jurnal
(Vol, No),
Sumber
Database
Metode Hasil Penelitian
1. Ketepatan
Reseleksi
Kode
Diagnosa dan
Kode Utama
Berdasarkan
Aturan
Morbiditas
Pembiayaan
Jaminan
Kesehatan
INA-CBGs,
Linda
Widyaningrum
(2015).
Jurnal
Manajeme
n
Informasi
Kesehatan
Indonesia
(JMIKI) (Vol. 3,
No. 2),
Garuda
Analitik
Korelasi
Persentase keakuratan kode
diagnosis pada 30 rekam medis
ditemukan bahwa kode
diagnosis 28 dokumen (93,3%)
akurat dan 2 dokumen (6,7%)
tidak akurat.
Penyebab dari ketidakakuratan
pengkodean diagnosa ini
adalah kesalahan dalam hal
pembacaan informasi pada
penunjang medis dan diagnosis
yang ditetapkan oleh dokter
tidak spesifik.
33
2. Hubungan
Pengetahuan
Koder dengan
Keakuratan
Kode
Diagnosis
Pasien Rawat
Inap Jaminan
Kesehatan
Masyarakat
berdasarkan
ICD-10 di
RSUD Simo
Boyolali,
Utami, Y. T.
(2015)
Jurnal
Ilmiah
Rekam
Medis dan
Informasi
Kesehatan (Vol. 5,
No. 1),
Scholar
Analitik
dengan
pendekat
an cross
sectional
Keakuratan kode diagnosis
pasien rawat inap jamkesmas
pada tahun 2013 berdasarkan
penelitian terhadap 93
dokumen yang diamati
ditemukan kode diagnosis
akurat yaitu 62,37 %.
Penyebab ketidaktepatannya
yaitu diagnosis yang ditetapkan
oleh dokter tidak spesifik,
tulisan diagnosis yang
ditetapkan oleh dokter tidak
terbaca, dokter tidak atau lupa
menuliskan kode diagnosis
utama pada formulir RM 1,
diagnosis utama yang telah
ditetapkan oleh dokter tidak
sesuai dengan obat, tindakan,
terapi, dan pelayanan lain yang
diberikan kepada pasien, faktor
kelelahan dari petugas koder,
kurang telitinya petugas coder
dalam membaca tulisan dokter,
serta petugas coder dalam
melakukan pengkodean tidak
sesuai dengan protap.
3. Tingkat
Akurasi
Kodefikasi
Morbiditas
Rawat Inap
Guna
Menunjang
Akurasi
Pelaporan di
Bagian Rekam
Medis Rumah
Sakit Cahya
Kawaluyan,
Mandels, R. J.,
& Calvin, L.
(2013).
Jurnal
Kesehatan
“Caring
and
Enthusias
m” (No. 1
Vol. 2)
Scholar
Deskripti
f
Kuantitat
if
Persentase keakuratan kode
diagnosis pada 213 rekam
medis ditemukan bahwa kode
diagnosis 158 dokumen
(74,2%) akurat dan 55
dokumen (25,8 %) tidak
akurat.
Faktor yang mengakibatkan
kurang akuratnya pengkodean
yaitu tulisan dokter sulit
dibaca, ketidaklengkapan
informasi medis, dan terdapat
penggunaan singkatan yang
tidak biasa sehingga petugas
harus melakukan klarifikasi
terlebih dahulu ke dokter.
34
Berdasarkan tabel 5 dapat diketahui bahwa persentase keakuratan
kode diagnosa tertinggi ada pada jurnal (1) yaitu mencapai angka 93,3%,
sedangkan persentase keakuratan kode diagnosa terendah ada pada jurnal ke
(2) dengan persentase keakuratan 62,37%. Penyebab terjadinya kesalahan
dalam pengkodean diagnosa disebabkan berbagai macam faktor, baik dari
dokter maupun perekam medis.
1. Proses Komunikasi dalam Menentukan Reseleksi Kode Diagnosa
Tabel 6
Proses Komunikasi dalam Menentukan Reseleksi Kode Diagnosa
No Jurnal Nama Peneliti
(Tahun) Proses Komunikasi
1. (1)
Linda
Widyaningrum
(2015)
-
2. (2) Utami, Y. T.
(2015)
Petugas rekam medis mengembalikan
berkas rekam medis pasien yang tidak
lengkap ke ruang perawatan agar
dilengkapi oleh dokter atau perawat yang
bersangkutan, meminta dokter untuk
mengisi diagnosis sesuai dengan standar
yang ada pada ICD-10 dan ditulis dengan
jelas.
3. (3)
Mandels, R. J.,
& Calvin, L.
(2013).
Melakukan komunikasi baik antar
petugas kodefikasi di Unit Kerja Rekam
Medis maupun dengan dokter yang
bersangkutan. Komunikasi dilakukan
untuk menyeragamkan persepsi baik
dalam membaca diagnosa maupun
menentukan kode untuk suatu diagnosa.
Koder melakukan klarifikasi langsung
kepada dokter jika ada penulisan
diagnosa yang tidak tepat ataupun
penulisan diagnosa tidak jelas.
35
Berdasarkan tabel 6 tentang proses komunikasi dalam menentukan
reseleksi kode diagnosa dapat dilihat bahwa dua penelitian yang ada
memiliki proses komunikasi yang sama, dimana ketika penulisan diagnosa
kurang jelas atau tidak ada maka perekam medis dalam hal ini petugas
analisis akan melakukan klarifikasi kepada dokter yang bersangkutan. Selain
itu, jika ada rekam medis yang tidak lengkap, maka perekam medis akan
mengembalikan rekam medis kepada dokter untuk dilengkapi.
2. Ketepatan dalam Menentukan Kode Diagnosa Utama Pasien
Tabel 7
Ketepatan dalam Menentukan Diagnosa Utama Pasien
No Jurnal Nama Peneliti
(Tahun)
Persentase
Ketepatan
Kode Diagnosa
Populasi
Sampel
1. (1)
Linda
Widyaningrum
(2015)
93,3 % 30 rekam
medis
2. (2) Utami, Y. T.
(2015) 62,37 %
93 rekam
medis
3. (3)
Mandels, R. J.,
& Calvin, L.
(2013)
74,17% 213 rekam
medis
Berdasarkan tabel 7 tentang ketepatan dalam menentukan kode
diagnosa utama pasien dapat dilihat bahwa jurnal dengan persentase tertinggi
ada pada jurnal (1) yang ditulis oleh Linda Widyaningrum (2015) yaitu
mencapai angka 93,3 % dari total 30 rekam medis. Selanjutnya pada jurnal
(3) yang ditulis oleh Mandels & Calvin (2013) dengan persentase ketepatan
mencapai 74,17% dari total 213 rekam medis. Untuk persentase terendah ada
36
pada jurnal (2) yang ditulis oleh Utami, Y. T. (2015) dengan persentase
ketepatan dalam menentukan kode diagnosa utama pasien mencapai angka
62,37 % dari total 93 rekam medis.
3. Faktor – Faktor yang Menyebabkan Ketidaktepatan dalam Menentukan
Kode Diagnosa Utama Pasien
Tabel 8
Faktor – Faktor yang Menyebabkan Ketidaktepatan dalam
Menentukan Diagnosa Utama Pasien
No Jurnal
Nama
Peneliti
(Tahun)
Faktor Pernyataan
1. (1)
Linda
Widyani
ngrum
(2015)
Dokter Diagnosis yang ditetapkan oleh
dokter tidak spesifik
Perekam
Medis
Salah dalam hal pembacaan
informasi pada penunjang medis.
2. (2)
Utami,
Y. T.
(2015)
Dokter
1. Diagnosis yang ditetapkan
oleh dokter tidak spesifik,
2. Diagnosis yang ditetapkan
oleh dokter tidak terbaca,
3. Dokter tidak atau lupa
menuliskan kode diagnosis
utama pada formulir RM 1,
4. Diagnosis utama yang telah
ditetapkan oleh dokter tidak
sesuai dengan obat, tindakan,
terapi, dan pelayanan lain yang
diberikan kepada pasien.
Perekam
Medis
1. Kurang teliti dalam membaca
tulisan dokter,
2. Petugas coder dalam
melakukan pengkodean
diagnosis tidak sesuai dengan
protap.
3. (3)
Mandels,
R. J., &
Calvin,
L. (2013)
Dokter
1. Tulisan dokter sulit dibaca,
2. Informasi medis tidak lengkap,
3. Terdapat penggunaan
singkatan yang tidak biasa.
37
Dari tabel 8 tentang faktor yang menyebabkan ketidaktepatan dalam
menentukan kode diagnosa utama pasien dapat dilihat bahwa dokter menjadi
penyebab terjadinya ketidaktepatan dalam menentukan kode diagnosa utama
pada semua jurnal. Sedangkan perekam medis menjadi penyebab terjadinya
ketidaktepatan dalam menentukan kode diagnosa utama pada jurnal (1) yang
ditulis oleh Linda Widyaningrum (2015) dan pada jurnal (2) yang ditulis
oleh Utami, Y. T. (2015).
B. Pembahasan
1. Proses Komunikasi dalam Menentukan Reseleksi Kode Diagnosa
Pada umumnya, komunikasi dilakukan secara lisan atau verbal yang
dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. apabila tidak ada bahasa verbal
yang dapat dimengerti oleh keduanya, komunikasi masih dapat dilakukan
dengan menggunakan gerak-gerik badan, menunjukkan sikap tertentu,
misalnya tersenyum, menggelengkan kepala, mengangkat bahu. Cara seperti
ini disebut komunikasi nonverbal. Pengukuran efektivitas dari suatu proses
komunikasi dapat dilihat dari tercapainya tujuan si pengirim pesan.
Berdasarkan hasil review pada semua literatur, ditemukan bahwa
semua penelitian memiliki proses komunikasi yang sama dalam menentukan
reseleksi kode diagnosa, dimana ketika tulisan dokter sulit dibaca, penulisan
diagnosa kurang jelas, dokter tidak menuliskan diagnosa, atapun diagnosa
tidak spesifik, maka perekam medis akan melakukan klarifikasi kepada
38
dokter yang bersangkutan. Selain itu, jika ada rekam medis yang tidak
lengkap, maka perekam medis akan mengembalikan rekam medis kepada
dokter untuk dilengkapi..
Berdasarkan review yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa
setiap rumah sakit harus menerapkan proses komunikasi yang efektif dalam
menentukan reseleksi kode diagnosa. Penulisan kode diagnosa sangat
berdampak terhadap besarnya klaim yang dibayarkan karena besarnya biaya
klaim tergantung dari kode diagnosa yang dimasukkan ke dalam program
INA-CBGs, sehingga ketidakakuratan kode diagnosa yang disebabkan oleh
komunikasi tidak efektif ini akan membawa dampak besar terhadap
pendapatan rumah sakit karena rumah sakit dapat mengalami kerugian akibat
ketidaksesuaian jumlah klaim yang dibayar dengan besaran biaya yang telah
dikeluarkan oleh rumah sakit untuk suatu pelayanan. Oleh karena itu,
komunikasi antara dokter dengan koder sangat penting dalam menunjang
ketepatan kode diagnosa. Hal ini sesuai dengan penelitian Hamid (2013)
yang menyatakan bahwa ketepatan isi rekam medis merupakan persyaratan
untuk menentukan diagnosis sehingga kerjasama antara dokter dan koder
sangat berperan dalam ketepatan diagnosis penyakit. Selain itu, menurut
Kepmenkes RI Nomor 312 (2020) tentang Standar Profesi Perekam Medis
dan Informasi Kesehatan, seorang perekam medis harus mampu menggali
dan mengumpulkan informasi dari pemangku kepentingan untuk digunakan
sebagai bahan pengambilan keputusan dalam pelayanan rekam medis.
39
2. Ketepatan dalam Menentukan Kode Diagnosa Utama Pasien
Diagnosa utama adalah diagnosis yang ditegakkan setelah dikaji,
terutama bertanggung jawab menyebabkan admission pasien ke rumah sakit.
Diagnosa utama merupakan kata / frasa yang digunakan oleh dokter untuk
menyebutkan suatu penyakit yang diderita seorang pasien yang memerlukan,
mencari atau menerima asuahan medis. Diagnosis diperoleh pada saat dokter
telah melakukan pemeriksaan terhadap pasien sedangkan diagnosis utama
adalah penyakit atau cacat luka, keadaan sakit yang utama dari pasien yang
dirawat di rumah sakit
Berdasarkan hasil review pada semua literatur, ditemukan bahwa
tidak satupun literatur yang mencapai persentase 100% dalam hal ketepatan
menentukan kode diagnosa utama. Literatur dengan ketepatan menentukan
kode diagnosa utama pasien tertinggi yaitu di Rumah Sakit Ortopedi Prof.
Dr. R. Soeharso Surakarta yang ditulis oleh Widyaningrum (2015) dengan
persentase ketepatan mencapai 93,3 % dari total 30 rekam medis yang
diteliti. Selanjutnya pada penelitian Mandels & Calvin (2013) di Rumah
Sakit Cahya Kawaluyan dengan persentase ketepatan mencapai 74,17% dari
213 rekam medis yang diteliti. Literatur dengan angka ketepatan
menentukan kode diagnosa utama pasien paling rendah yaitu di RSUD Simo
Boyolali yang ditulis oleh Utami (2015) dengan persentase ketepatan
mencapai 62,37 % dari 93 rekam medis yang diteliti.
40
Berdasarkan review yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa
setiap rumah sakit harus melakukan upaya dalam hal peningkatan persentase
ketepatan kode diagnosa utama. Sebelum melakukan upaya peningkatan
persentase ketepatan kode diagnosa utama, pihak rumah sakit wajib terlebih
dahulu memperhatikan faktor – faktor yang menyebabkan terjadinya
kesalahan dalam menentukan diagnosa utama sehingga dapat menentukan
upaya yang harus dilakukan untuk meningkatkan persentase ketepatan kode
diagnosa utama. Pada penelitian yang dilakukan oleh Agiwahyuanto dkk
(2019) persentase kesesuaian kode adalah 100 %. Selain kode diagnosa dan
tindakan terdapat anamnesa, pemeriksaan baik fisik maupun penunjang dan
lembar informed consent yang sesuai dan lengkap yang dapat menunjang
diagnosa. Koder melakukan koding sesuai dengan langkah yang benar yaitu
dengan memberi kode diagnosa dan tindakan yang ditulis oleh dokter
dengan mencari kode diagnosa di buku ICD-10 Vol 3 dan setelah ditemukan
dirujuk ke ICD-10 Vol 1, untuk tindakan medis atau operasi mencari kode di
buku ICD-9 CM. Kemudian dituliskan pada lembar yang terdapat kode no
ICD seperti lembar ringkasan masuk dan keluar serta lembar resume medis
untuk kode rawat inap dan lembar ringkasan medis rawat jalan untuk kode
rawat jalan. Pada koding morbiditas, proses koding dilakukan sesuai dengan
diagnosis yang ditegakkan oleh dokter. Jika ditemukan kesalahan atau
inkonsistensi pencatatan diangnosis, maka koder harus melakukan klarifikasi
kepada dokter penanggungjawab pelayanan (DPJP).
41
3. Faktor - Faktor yang Menyebabkan Ketidaktepatan dalam Menentukan Kode
Diagnosa Utama Pasien
Menurut Mahendra (2019) faktor – faktor yang dapat menyebabkan
ketidaktepatan dalam menetukan kode diagnosa utama yaitu tenaga medis,
tenaga rekam medis, kelengkapan rekam medis, sarana, serta kebijakan.
Sebelum melakukan pengkodean diagnosis penyakit, petugas rekam medis
diharuskan mengkaji data pasien dalam lembar - lembar rekam medis
tersebut diatas untuk memastikan rincian diagnosis yang dimaksud, sehingga
penentuan kode penyakit dapat mewakili sebutan diagnosis tersebut secara
utuh dan lengkap, sebagaiman aturan yang digariskan dalam ICD-10.
Berdasarkan hasil review pada semua literatur, ditemukan bahwa
yang menyebabkan ketidaktepatan dalam menentukan kode diagnosa di
Rumah Sakit Ortopedi Prof. Dr. R. Soeharso Surakarta menurut penelitian
Widyaningrum (2015) yaitu diagnosa yang ditetapkan oleh dokter tidak
spesifik serta koder tidak teliti dalam hal pembacaan informasi pada
penunjang medis. Selanjutnya di RSUD Simo Boyolali yang diteliti oleh
Utami (2015), dokter menjadi penyebab ketidaktepatan dalam menentukan
kode diagnosa utama karena diagnosa yang ditetapkan tidak spesifik, tulisan
diagnosis tidak terbaca, tidak menuliskan diagnosa pada RM 1, serta
diagnosa yang ditetapkan tidak sesuai dengan obat, tindakan, terapi, dan
pelayanan lain yang diberikan kepada pasien. Selain dokter, koder juga
menjadi penyebab ketidaktepatan dalam menentukan kode diagnosa karena
42
tidak teliti dalam membaca tulisan dokter dan petugas koder dalam
melakukan koding tidak sesuai dengan protap. Terakhir pada penelitian
Mandels & Calvin di Rumah Sakit Cahya Kawaluyan menyebutkan bahwa
faktor – faktor yang menyebabkan ketidaktepatan dalam menentukan kode
diagnosa yaitu tulisan dokter sulit dibaca, informasi medis tidak lengkap,
serta terdapat penggunaan singkatan yang tidak biasa.
Berdasarkan review yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa
setiap rumah sakit harus segera mengatasi faktor – faktor yang menyebabkan
ketidaktepatan dalam menentukan kode diagnosa ini. Upaya yang dapat
dilakukan yakni memberikan pelatihan yang bersifat aplikatif berupa in-
house atau on the- job training akan sangat membantu meningkatkan
pemahaman dan keterampilan petugas tenaga koding seperti pada penelitian
Karimah dkk yang menyatakan bahwa pelatihan dan sosialiasi dapat
menjalin komunikasi dan kerjasama yang baik antara dokter dengan perekam
medis serta memudahkan dan meringankan apabila terdapat kesulitan dalam
menangani hal – hal yang berkaitan dengan rekam medis, selain itu
meningkatkan keterampilan dengan mengikuti pelatihan juga dapat
memberikan dampak positif bagi rumah sakit dalam memberikan pelayanan
yang prima dan melaksanakan pekerjaan menjadi lebih efektif, efisien, dan
tepat waktu. Upaya lain yang dapat dilakukan untuk mengatasi atau
meminimalisir ketidaktepatan kode diagnosis, diantaranya yaitu
mengembalikan berkas rekam medis pasien yang tidak lengkap ke ruang
43
perawatan agar dilengkapi oleh dokter atau perawat yang bersangkutan,
meminta dokter untuk mengisi diagnosis sesuai dengan standar yang ada
pada ICD-10 dan ditulis dengan jelas. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan
yang terdapat dalam Permenkes No. 269 Tahun 2008 bahwa setiap dokter
atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat
rekam medis yang tepat dan jelas.
44
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan yang telah diuraikan dapat disimpulkan
sebagai berikut :
1. Proses komunikasi dalam menentukan reseleksi kode diagnosa dapat dilihat
bahwa semua penelitian memiliki proses komunikasi yang sama, dimana
ketika penulisan diagnosa kurang jelas atau tidak ada maka perekam medis
dalam hal ini bagian analisis akan melakukan klarifikasi kepada dokter yang
bersangkutan. Selain itu, jika ada rekam medis yang tidak lengkap, maka
perekam medis akan mengembalikan rekam medis kepada dokter untuk
dilengkapi.
2. Jurnal dengan persentase ketepatan pengkodean diagnosa tertinggi yaitu
jurnal (1) mencapai angka 93,3 % dari total 30 rekam medis. Untuk
persentase terendah ada pada jurnal (2) dengan persentase ketepatan dalam
menentukan kode diagnosa utama pasien mencapai angka 62,37 % dari total
93 rekam medis.
3. Faktor yang menyebabkan ketidaktepatan dalam menentukan kode diagnosa
utama pasien yaitu dokter tidak menuliskan diagnosa pada rekam medis,
diagnosa tidak spesifik, diagnosa tidak terbaca, serta informasi medis tidak
lengkap.
45
B. Saran
Berdasarkan hasil pembahasan dan kesimpulan yang telah diuraikan,
maka penulis memberikan saran sebagai berikut :
1. Sebaiknya dokter mengisi diagnosis sesuai dengan standar yang ada pada
ICD-10 dan ditulis dengan jelas sesuai dengan ketentuan yang terdapat
dalam Permenkes No. 269 Tahun 2008.
2. Memberikan pelatihan atau seminar terkait cara reseleksi diagnosa yang
akan sangat membantu meningkatkan pemahaman dan keterampilan tenaga
koding.
3. Meningkatkan kerjasama yang baik antara koder dengan dokter sehingga
dapat berdampak positif bagi pelayanan di rumah sakit.
DAFTAR PUSTAKA
Agiwahyuanto, F., Sari, T. I., & Octaviasuni, S. (2019). Analisis ketepatan koding
dan Kinerja Petugas di Unit Koding/Indeksing Rumah Sakit Mitra Husada
Kota Pring Sewu. Jurnal Manajemen Informasi Kesehatan Indonesia.
https://doi.org/10.33560/jmiki.v7i2.243
Agustine, D. M., & Pratiwi, R. D. (2017). Hubungan Ketepatan Terminologi Medis
dengan Keakuratan Kode Diagnosis Rawat Jalan oleh Petugas Kesehatan di
Puskesmas Bambanglipuro Bantul. Jurnal Kesehatan Vokasional.
https://doi.org/10.22146/jkesvo.30315
Budi, S. C. (2011). Manajemen unit kerja rekam medis. In quantum sinergis media.
Depkes RI. (2006). Pedoman Penyelenggaraan dan Prosedur Rekam Medis Rumah
Sakit di Indonesia. In Journal of Chemical Information and Modeling.
Karimah, R. N., Setiawan, D., & Nurmalia, P. S. (2016). Analisis Ketepatan Kode
Diagnosis Penyakit Gastroenteritis Acute Berdasarkan Dokumen Rekam
Medis di Rumah Sakit Balung Jember. Journal of Agromedicine and
Medical Sciences.
Kemenkes. (2015). Peraturan Presiden RI No. 77 Tahun 2015. Nhk技研.
Kemenkes. (2020). Keputusan Menteri Kesehatan RI No.312 Tahun 2020 tentang
Standar Profesi Perekam Medis dan Informasi Kesehatan.
Lumis, S. (2013). Keterisian dan Keakuratan Penulisan Kode ICD-10 (International
Statistical Classification of Diseases and Related Health Problem Tenth
Revision) terhadap Diagnosis Utama di Poli Bedah Rumah Sakit Baptis
Batu. Jurnal Manajemen Informasi Kesehatan Indonesia.
https://doi.org/10.33560/.v1i2.52
Mahendra. (2019). Analisis Pelaksanaan Rekam Medis Pasien Rawat Inap di Rumah
Sakit Umum Daerah dr. Rasidin Padang Tahun 2018. Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Andalas. Padang.
Mangentang, F. R. (2015). Kelengkapan Resume Medis dan Kesesuaian Penulisan
Diagnosis Berdasarkan ICD-10 Sebelum dan Sesudah JKN di RSU
Bahteramas. Jurnal ARSI.
Maryati, W. (2016). Hubungan Antara Ketepatan Penulisan Diagnosis Dengan
Keakuratan Kode Diagnosis Kasus Obstetri Di Rs Pku Muhammadiyah
Sukoharjo. Infokes.
Menkes RI. (2008). Peraturan Menteri Kesehatan No. 269/MENKES/PER/III/2008.
In Permenkes Ri No 269/Menkes/Per/Iii/2008.
Pratami, S. L. S. (2015). Hubungan Ketepatan Pemberian Kode Diagnosa Dan
Tindakan Terhadap Persetujuan Klaim BPJS. Hubungan Ketepatan
Pemberian Kode Diagnosa Dan Tindakan Terhadap Persetujuan Klaim
Bpjs.
Rudy J, M., & Calvin, L. (2014). Tingkat Akurasi Kodefikasi Morbiditas Rawat Inap
Guna Menunjang Akurasi Pelaporan di Bagian Rekam Medis Rumah Sakit
Cahya Kawaluyan. In Jurnal Kesehatan “Caring and Enthusiasm” No. 1
Vol. 2 April 2014 - ISSN : 977-2338-7823-01.
Rustiyanto, E. (2010). Statistik rumah sakit untuk pengambilan keputusan.
Yogyakarta: Graha Ilmu.
Tri Prabowo. (2017). Komunikasi dalam keperawatan. Pustaka Baru press.
Undang - Undang RI. (2009). Undang - Undang RI Nomor 44 Tahun 2009 tentang
Rumah Sakit. Rumah Sakit.
Utami, Y. T. (2015). Hubungan Pengetahuan Coder Dengan Keakuratan Kode
Diagnosis Pasien Rawat Inap Jaminan Kesehatan Masyarakat Berdasarkan
ICD-10 Di RSUD Simo Boyolali. Jurnal Ilmiah Rekam Medis Dan
Informasi Kesehatan.
Utami, Y. T. (2017). Hubungan Konsistensi Penulisan Diagnosis Utama Pada Lembar
Rm 1 Dan Resume Keluar Dengan Akurasi Pemilihan Kode Pada Kasus
Persalinan Di Rsud Kota Surakarta. Infokes.
WHO. (2004). The global burden of disease 2004. Update, World Health
Organization.
Widyaningrum, L. (2015). Ketepatan Reseleksi Diagnosa dan Kode Utama
berdasarkan Aturan Morbiditas Pembiayaan Jaminan Kesehatan Ina-Cbgs.
Jurnal Manajemen Informasi Kesehatan Indonesia.
https://doi.org/10.33560/.v3i2.81
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Nama lengkap Penulis Muhammad Ikzan, lahir di Makassar
pada tanggal 28 Juni 1999, merupakan anak tunggal dari
pasangan Faisal dan Haryani. Penulis memiliki hobi yaitu
bermain futsal dan juga bermain game online.
Pengalaman menempuh jenjang pendidikan mulai dari Sekolah Dasar di SDN 56
Macero dan lulus pada tahun 2010. Kemudian melanjutkan sekolah menengah
pertama di SMP Negeri 4 Belawa dan lulus pada tahun 2013. Selanjutnya menempuh
pendidikan sekolah menengah atas di Madrasah Aliyah Negeri Wajo lulus pada tahun
2017. Penulis melanjutkan pendidikan di STIKES PANAKKUKANG MAKASSAR
prodi D3 Rekam Medis Dan Informasi Kesehatan pada tahun 2017.
Top Related