ISBN: 978-602-361-000-6 Prosiding Seminar Nasional
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta
405
Harmonisasi Hukum Keimigrasian
Dalam Kerangka Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015
Bilal Dewansyah
Universitas Padjadjaran [email protected]
Abstrak
Salah satu kebijakan dalam kerangka Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015 adalah kebebasan bergerak bagi orang per orang (free movement), khususnya bagi tenaga profesional/ pebisnis (professional/ business persons) dan pekerja yang berketerampilan (skilled labour). Harmonisasi Hukum Keimigrasian negara-negara ASEAN tentu menjadi konsekuensi dari kebijakan regional tersebut. Namun wujud harmonisasi Hukum Keimigrasian antara negara-negara anggota ASEAN tidak sekedar diarahkan pada akomodasi migrasi para profesional, pebisnis dan pekerja berketrampilan, namun juga perlu dititikberatkan pada migrasi pekerja-pekerja yang berketrampilan khusus, misalnya para pekerja domestik atau pekerja sektor informal lainnya, karena dapat dipastikan, walaupun MEA 2015 akan membuka gelombang migrasi pekerja dalam regional ASEAN, bukan hanya pekerja/tenaga profesional atau yang berketrampilan, namun juga kemungkinan besar, juga terjadi gelombang migrasi para pekerja yang tak berketrampilan spesifik atau pekerja sektor informal. Tulisan ini membahas urgensi harmonisasi hukum keimigrasian pada tingkat regional ASEAN khususnya dalam mengantisipasi MEA 2015, serta arah pengaturan dan wujud harmonisasi hukum keimigrasian antara negara-negara anggota ASEAN, dengan membandingkan pengalaman negara-negara Eropa, khusus pada Uni Eropa, khususnya melalui Persetujuan Schengen (1985) dan Konvensi Schengen (1990) merupakan wujud harmonisasi hukum keimigrasian di Eropa baik di antara negara-negara anggota Uni Eropa maupun dengan negara-negara Eropa non Uni Eropa. Kata kunci: harmonisasi hukum, hukum keimigrasian, ASEAN, Uni Eropa A. Pengantar
Salah satu kebijakan dalam kerangka Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan
dimulai pada akhir tahun 2015 ini adalah kebebasan bergerak bagi orang per orang (free
movement), khususnya bagi tenaga profesional/ pebisnis (professional/ business persons)
dan pekerja yang berketerampilan (skilled labour).487 Harmonisasi Hukum Keimigrasian
negara-negara ASEAN tentu menjadi konsekuensi dari kebijakan regional tersebut. Namun
wujud harmonisasi Hukum Keimigrasian antara negara-negara anggota ASEAN tidak
sekedar diarahkan pada akomodasi migrasi para profesional, pebisnis dan pekerja
berketerampilan, namun juga perlu dititikberatkan pada migrasi pekerja-pekerja yang
487 ASEAN Economic Community Blue Print (Cetak Biru MEA).
ISBN: 978-602-361-000-6 Prosiding Seminar Nasional
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta
406
berketrampilan khusus, misalnya para pekerja domestik atau pekerja sektor informal
lainnya. Hal tersebut menjadi penting, karena MEA 2015 akan menciptakan faktor – faktor
baru yang mendorong dan menarik migrasi (push and pull factors), baik secara sah mau
pun tidak sah (legal and illegal migration). Dapat dipastikan, walaupun MEA 2015 akan
membuka gelombang migrasi pekerja dalam regional ASEAN, bukan hanya pekerja/tenaga
profesional atau yang berketrampilan, namun juga kemungkinan besar, juga terjadi
gelombang migrasi para pekerja yang tak berketrampilan spesifik atau pekerja sektor
informal.
Berkaca pada pengalaman negara-negara Eropa khususnya yang merupakan anggota
Uni Eropa, harmonisasi hukum keimigrasian merupakan satu kebutuhan nyata. Hal
tersebut sebagai konsekuensi dari jamnan kebebasan bergerak (free movement), yang
semula hanya dijamin kepada para pekerja, dan kemudian berkembang secara umum juga
kepada warga negara dari negara-negara anggota Uni Eropa (EU Citizen). Walaupun bukan
persetujuan resmi di bawah Uni Eropa, Persetujuan Schengen (1985) dan Konvensi
Schengen (1990) merupakan wujud harmonisasi hukum keimigrasian di Eropa baik di
antara negara-negara anggota Uni Eropa maupun dengan negara-negara Eropa non Uni
Eropa, yang pada intinya menghapuskan batas-batas internal di antara negara tersebut dan
membuat kebijakan keimigrasian pada tingkat regional, seperti harmonisasi dokumen-
dokumen keimigrasian, dan sejenisnya.
Tulisan ini membahas urgensi harmonisasi hukum keimigrasian pada tingkat
regional ASEAN khususnya dalam mengantisipasi MEA 2015. Selain itu, tulisan ini juga
membahas arah pengaturan dan wujudnya harmonisasi hukum keimigrasian antara
negara-negara anggota ASEAN, dengan membandingkan pengalaman negara-negara Eropa,
khususnya Uni Eropa sebagai bench mark. Bukan sekedar hal positif, upaya untuk
mengantisipasi migrasi berlebihan ke Uni Eropa dan pengalaman masalah juga
diperhitungkan untuk mencari format harmonisasi hukum keimigrasian pada negara-
negara ASEAN yang lebih baik.
B. Mengapa Harmonisasi Hukum Keimigrasian Menjadi Penting?
Ada tiga urgensi yang menjadi argumen penulis mengenai seberapa penting
harmonisasi hukum keimigrasian dalam kerangka MEA. Pertama, sebagai bentuk konkret
ISBN: 978-602-361-000-6 Prosiding Seminar Nasional
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta
407
regionalisme melalui integrasi ekonomi, implementasi MEA akan bersentuhan dengan
berbagai sistem hukum keimigrasian yang seringkali dianggap sebagai “benteng terakhir
kedaulatan” (the last bastions of sovereignty)488. Kedua, jaminan kebebasan bergerak
dalam Piagam ASEAN dengan ruang lingkup terbatas berhadapan pada persoalan praktikal
yang bersifat regional, terkait karakteristik pekerja migran di negara-negara anggota
ASEAN, menyiratkan beban tersendiri bagi pranata hukum keimigrasian untuk
mengantisipasi gelombang migrasi ilegal akibat MEA atau persoalan klasik migrasi pekerja
di region ASEAN. Dua urgensi tersebut dielaborasi di bawah ini.
Pertama, sebagai salah satu bentuk regionalisme yang cukup mengemuka di Asia
Tenggara, ASEAN sangat bertumpu pada kerja sama di bidang ekonomi sejak awal
pembentukannya, dan beberapa bidang lain, tanpa pernah bertendensi membangun
komunitas politik.489 Komitmen tersebut menjadi lebih nyata setelah beberapa kerja sama
di bidang ekonomi regional antar negara-negara ASEAN, seperti ASEAN Free Trade Area
(AFTA) maupun dengan beberapa negara Asia lain, seperti China – ASEAN Free Trade Area
(CAFTA). Namun seringkali dalam implementasinya, tidak berjalan dengan baik, seperti
AFTA yang secara formal dianggap sangat berhasil, namun banyak pengamat berpendapat,
secara praktik gagal untuk diwujudkan.490 Terlepas dari persoalan prosedural, seperti
ketiadaan mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif, atau masalah karekter ekonomi
negara-negara anggota ASEAN karena pada umumnya berorientasi pada ekspor yang
sangat kompetitif 491, namun negara-negara anggota ASEAN atau bahkan negara-negara
Asia pada umumnya lebih mengedepankan kedaulatan nasional masing-masing dalam arti
klasik seperti dari Piagam PBB, dengan prinsip non-intervensi (non- interference).492 Pada
lingkup ASEAN cara pandang demikian dikenal dengan ASEAN Way (cara ASEAN) atau
cara-cara menghadapi masalah dengan diplomasi berdasar konsultasi dan konsensus
488Lihat Stephen Legomsky, “The Last Bastions of State sovereignty Immigration and Nationality Go Global”, dalam Andrew C. Sobel (ed), Challenges of Globalization Immigration, Social Welfare, Global Governance, London – New York: Routledge, 2009, hlm. 44; Catherine Dauvergne, Making People Illegal What Globalization Means for Migration and Law, Cambridge – New York: Cambridge University Press, 2008, hlm. 2. 489 Lihat Deklarasi ASEAN 1967. 490 Lihat Tom Ginsburg, “Eastphalia And Asian Regionalism”, Symposium -- The Asian Century? The Concept of Asia in International Law, U.C. Davis Law Review 44, February, 2011, hlm. 865. 491 Ibid. 492 Ibid., hlm. 867.
ISBN: 978-602-361-000-6 Prosiding Seminar Nasional
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta
408
tanpa campur tangan negara anggota lainnya.493 Model demikian, disebut oleh Tom
Ginsburg sebagai “sovereignty reinforcing – regionalism” (regionalisme yang menekankan
kembali kedaulatan) yang dianggap sebagai keberhasilan ASEAN, karena dimana pun di
berbagai belahan dunia, keberadaan organisasi – organisasi regional tampak seperti
mengikis kedaulatan.494 Namun demikian, oleh karena basis utama regionalisme ASEAN
adalah tetap mengedepankan kedaulatan nasional, maka kerja sama regional, walaupun
disepakati dalam basis yang permanen, seperti dalam Piagam ASEAN, atau untuk kasus
MEA atas dasar Deklarasi Cetak Biru MEA, namun implementasinya sangat bergantung
pada respon dinamis pemerintah negara-negara anggota. Sangat mungkin, dan pernah
terjadi saat implementasi AFTA, kesepakatan pengurangan hambatan tarif terkendala
karena kepentingan alamiah negara-negara anggota ASEAN.495
Dalam konteks MEA, hal di atas sangat mungkin terjadi, termasuk dalam hal
implementasi kebebasan bergerak para pekerja di region ASEAN, jika tidak ada upaya
lanjutan yang disepakati bersama untuk mengharmonisasi hukum keimigrasian negara-
negara anggota ASEAN. Di satu sisi, harmonisasi hukum keimigrasian negara-negara
anggota ASEAN tersebut merupakan upaya konkret untuk mengakslerasi implementasi
kebebasan bergerak para pekerja dalam kerangka MEA dalam mendukung pembentukan
pasar tunggal ASEAN. Di sisi lain, harmonisasi hukum keimigrasian akan berhadapan
dengan persoalan kedaulatan nasional masing-masing negara anggota ASEAN, yang seperti
dibahas di atas, merupakan fondasi regionalisme ASEAN yang lebih menekankan pada
perhitungan aspek internal masing-masing negara anggota. Hubungan antara keimigrasian
dan kedaulatan sendiri sangat erat. Bahkan dasar keberadaan kekuasaan keimigrasian
adalah kedaulatan.496 Hukum dan berbagai ketentuan-ketentuan keimigrasian merupakan
yuridiksi kekuasaan domestik negara sebagai perwujudan kedaulatan.497 Bahkan secara
493 Atip Latifulhayat, dkk, Demokratisasi Politik Luar Negeri Indonesia, Laporan Akhir penelitian, kerja sama Kemenlu-RI – FH Unpad, Bandung, 2010, hlm. 60. 494 Tom Ginsburg, op.cit., hlm. 870. 495 Sebagaimana ditegaskan Ginsburg, “Tariff reductions, however, are hardly sufficient for deep integration and reflect a natural interest of states in cross-border coordination rather than an erosion of sovereignty”. Lihat Tom Ginsburg, loc.cit., hlm. 866. 496 Sebagaimana ditegaskan M. Iman Santoso, bahwa “apabila membicarakan fungsi keimigrasian, maka tidak bisa tidak, dikaitkan dengan teori kedaulatan, karena teori ini merupakan landasan dasar bekerjanya fungsi keimigrasian”. M. Iman Santoso, Perspektif Imigrasi Dalam United Nation Convention Against Transnational Organized Crime, Jakarta: Perum Percetakan Negara – RI, 2007, hlm. 18. 497 Guy S. Goodwin Gill, bahwa: keimigrasian menyentuh kepentingan internal negara-negara dan hal tersebut pada umumnya diekspresikan dengan pandangan bahwa keimigrasian merupakan masalah-masalah yang lebih dapat diterima
ISBN: 978-602-361-000-6 Prosiding Seminar Nasional
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta
409
historis, kekuasaan di bidang keimigrasian, meminjam istilah Gill, dianggap sebagai
“absolute and uncontrolled discretion” (diskresional absolut dan tidak dapat dikontrol) dari
negara.498 Dalam hal ini, walaupun upaya-upaya harmonisasi hukum keimigrasian negara-
negara anggota ASEAN sangat penting untuk mendukung implementasi kebebasan
bergerak para pekerja dalam kerangka MEA, namun harmonisasi tersebut akan menjadi
perdebatan hangat di antara pemerintah negara-negara anggota ASEAN.
Sebagai catatan, konsep kedaulatan sendiri mengalami redefinisi, dari kedaulatan
yang absolut sebagaimana pernah diperkenalkan Jean Bodin499 atau dalam kemunculan
prinsip non-intervensi dalam konsep “negara-bangsa” pasca Perdamaian Westphalia500,
bergesar menjadi kedaulatan yang terbatas, terutama dibatasi oleh fenomena globalisasi,
khususnya di bidang ekonomi dan globalisasi jaminan hak asasi manusia secara
universal.501 Banyak pendapat yang menegaskan hal tersebut cermin dari fenomena
pengikisan/erosi kontrol negara (erosion of state control) sebagaimana ditegaskan
sebelumnya, atau bahkan meramalkan kematian negara-negara berdaulat (the death of
sovereign states).502 Namun dalam perkembangan, kedaulatan tidak dianggap sebagai
konsep yang sederhana (internal-eksternal), namun multi-aspek. Stephen D. Krasner,
seorang pakar hubungan internasional, mengelompokkan kedaulatan negara dalam 4
aspek, yaitu international legal sovereignty (kedaulatan secara hukum dalam hubungan
internasional), Westphalian sovereignty (kedaulatan model Westphalia), domestic
dalam yurisdiksi domestik. Guy S. Goodwin Gill, International Law and Movement of Persons Between States, Oxford: Clarendon Press 1978, hlm. 3. 498 Ibid. 499 Dalam pemikiran klasik, sebagaimana diletakkan oleh Jean Bodin hanya berada di tangan negara dan hanya dalam (wilayah) negara, kedaulatan diasosiasikan dengan kekuasaan tertinggi (supreme), mutlak (absolute), dan tidak terbagi (indivisible). Lihat Jo-Anne Pemberton, Sovereignty: Interpretations, Hampshire – New York: Palgrave Macmilan, 2009, hlm. 1. 500 Konsep kedaulatan yang dibatasi hanya pada negara dan hanya dalam batas-batas wilayah tertentu baru terwujudkan setelah serangkaian perjanjian Perdamaian Westphalia (Peace of Westphalia) pada tahun 1648 yang mengakhiri perang 30 tahun antara Imperium Romawi dengan negara-negara protestan, sekaligus menghilangkan kekuasaan universal Kepausan dan Imperium Romawi. Serangkaian perjanjian perdamaian tersebut500 merupakan awal berdirinya negara bangsa yang berdaulat (sovereign nation states) di Eropa yang kemudian berkembang di seluruh dunia yang secara konseptual dikenal dengan kedaulatan Westphalia (Westphalian Sovereignty), walaupun baru benar-benar terwujudkan pada akhir Abad ke-18. Secara eksternal, prinsip non-intervensi yang merupakan bagian dari aspek kedaulatan model Westphalia. Lihat dalam Bilal Dewansyah, Pencegahan dan Penangkalan dalam Perspektif Hak Atas Kebebasan Bergerak Berdasarkan UUD 1945, tesis magister ilmu hukum, tidak dipublikasikan, Bandung: FH Unpad, 2013, hlm. 44 – 45, 53. 501 Lihat ibid., hlm. 16b- 17. 502 Menurut Pamberton, di sejumlah literatur, globalisasi dianggap telah menyebabkan ” kematian negara-negara berdaulat. Lihat Jo-Anne Pemberton, loc.cit., hlm. 1.
ISBN: 978-602-361-000-6 Prosiding Seminar Nasional
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta
410
sovereignty (kedaulatan domestik), dan interdependence sovereignty (kedaulatan
interdependen).503
Pengelompokkan aspek kedaulatan menurut Krasner di atas, menggunakan dua
kategori kunci sebagai dasar pengelompokan, yaitu authority (kewenangan) dan control
(pengendalian).504 Kewenangan dalam pengertian Krasner terkait dengan pengakuan hak-
hak formal antar negara (atau entitas internasional lainnya) untuk terlibat pada berbagai
macam aktivitas tertentu, sementara pengendalian terkait dengan upaya mempertahankan
kewenangan atau bahkan pengerahan kekuatan tanpa adanya kewenangan.505 Kedaulatan
secara hukum dalam hubungan internasional dan kedaulatan model Westphalia terkait isu
kewenangan, sementara aspek kedaulatan interdependen mengacu pada isu
pengendalian.506 Selanjutnya, aspek kedaulatan domestik mengacu baik pada kewenangan
maupun pengendalian.507
Keempat aspek kedaulatan di atas, menurut Krasner dapat saja tidak semua dimiliki
oleh suatu negara atau bahkan pelaksanaan satu aspek kedaulatan dapat melemahkan
aspek kedaulatan lainnya. Menurut Krasner, pelaksanaan kedaulatan secara hukum dalam
hubungan internasional dapat melemahkan aspek kedaulatan model Westphalia, seperti
kasus negara-negara anggota Uni Eropa.508 Ketika negara-negara tersebut mengikatkan
diri pada ikatan Uni Eropa sebagai wujud kerja sama berbasis permanen dalam konteks
hubungan internasional, prinsip non-intervensi sebagai dasar kedaulatan model
Westphalia melemah, karena negara-negara tersebut secara sukerela menundukkan diri
dalam urusan-urusan tertentu pada perjanjian internasional yang telah disepakati509,
503 Kedaulatan secara hukum dalam hubungan internasional merujuk pada praktik-praktik pengakuan antar entitas (negara atau entitas lainnya, seperti organisasi internasional) yang menguasai suatu wilayah dan memiliki kemerdekaan secara yuridis (juridical independence). Kedaulatan model Westphalia mengacu pada organisasi politik (dalam suatu negara) berdasarkan prinsip pengecualian pihak-pihak eksternal dari struktur otoritas dalam suatu wilayah (non-intervensi). Sementara itu, kedaulatan domestik mengacu pada organisasi yang menjalankan otoritas politik secara formal dalam negara dan kemampuan dari otoritas publik untuk melakukan pengendalian secara efektif di dalam batas wilayahnya. Terakhir, kedaulatan interdependen mengacu pada kemampuan dari otoritas publik untuk mengatur arus informasi, gagasan, barang, manusia, pencemar atau modal lintas batas negara. Stephan D. Krasner, Sovereignty: Organized Hypocrisy, Pricenton: Pricenton University Press, 1999, hlm. 3, 9. 504 idem, hlm. 10. 505 Ibid. 506 Ibid. 507 Ibid. 508 Ibid. 509Dalam pandangan Krasner, model (kedaulatan) Westphalia model (prinsip non intervensi – peneliti) telah dilanggar melalui 4 model: penguasa mengundang (negara lain) untuk mengkompromikan otonominya dengan menjadi pihak pada berbagai konvensi atau penandatangan perjanjian (keduanya bersifat sukarela), atau diintervensi hubungan dalam negerinya oleh negara lain melalui tindakan koersif dan imposisi (cara-cara yang memaksa salah satu pihak). Lihat ibid., hlm. 26.
ISBN: 978-602-361-000-6 Prosiding Seminar Nasional
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta
411
bahkan menyerahkannya pada institusi supra nasional.510 Melemahnya aspek kedaulatan
model Westphalia/prinsip non-intervensi, tidak berarti negara-negara anggota Uni Eropa
kehilangan kedaulatannya secara utuh, karena kedaulatan dalam aspek domestik, atau
sebagai badan/subjek hukum internasional tetap melekat. Artinya, globalisasi tidak sama
sekali menghapuskan kedaulatan nasional, namun globalisasi memaksa negara-negara
bangsa untuk “mencari jalan lain” untuk tetap mempertahankan eksistensinya, termasuk
melalui jalan regionalisme.511 Itulah mengapa tesis “kematian kedaulatan” atau bahkan
“erosi globalisasi terhadap kontrol negara”, tidak dapat sepenuhnya diterima. Linda Weiss
menegaskan bahwa “negara-negara bangsa akan berperan lebih besar daripada berkurang
(perannya). Menguatnya peran negara-negara bangsa dalam kenyataan akan
meningkatkan pembangunan ekonomi dunia.”512 Berdasarkan pendapat tersebut, ASEAN
yang disebut Tom Ginsburg sebagai “sovereignty – reinforcing regionalism”, bukan suatu
hal yang mengejutkan, namun satu dari sekian banyak keunikan berbagai jenis
regonalisme yang pernah ada.513
Aspek kedaulatan yang terkait dengan kekuasaan di bidang keimigrasian adalah
kedaulatan interdependen, karena terkait dengan pengendalian (control) mobilitas
manusia antar negara.514 Kuat atau lemahnya aspek kedaulatan ini di bidang keimigrasian,
tidak hanya ditentukan oleh satu negara saja, melainkan melalui kerja sama berbagai
negara terutama yang berbatasan secara fisik. Itu mengapa beberapa pakar menyebut
keimigrasian sebagai the last bastions of sovereignty (benteng terakhir kedaulatan), bukan
hanya karena persoalan kewenangan untuk menentukan hukum dan ketentuan-ketentuan
keluar masuk wilayah suatu negara, khususnya untuk orang asing, namun keimigrasian
juga dapat dianggap sebagai pranata ideal (ideal site) untuk menguji tesis tentang
510 Idem., hlm. 118. 511 Sebagaimana ditegaskan Pelagidis and Papasotiriou (2002), “aktor-aktor (negara) nasional faktanya mempersepsikan regionalisme sebagai suatu mekanisme bertahan terhadap tekanan-tekanan kompetitif yang muncul dari proses globalisasi.” Pelagidis and Papasotiriou (2002) sebagaimana dikutip Raimo V. Yrynen, “Regionalism: Old and New”, International Studies Review (2003) 5, 25–51, hlm. 32, <http://www.wiso.uni-hamburg.de/uploads/media/11_Vaerynen_2003.pdf>, diunduh tanggal 10/01/2015. 512 Dikutip dari Catherine Dauvergne, op.cit., hlm. 31. 513 Sebagaimana ditegaskan, Warleigh-Lack and Rosamond 2010, contoh-contoh regiionalisme seperti ASEAN, ECOWAS, Liga Negara-Negara Arab, MERCOSUR, atau NAFTA kesemuanya memiliki keunikan, walaupun hal tersebut tidak berarti tidak dapat dilakukan studi komparatif. Lihat dalam Lukas Goltermann, Mathis Lohaus, dkk, “Introduction: Roads to Regionalism: Concepts, Issues, and Cases”, dalam Tanja A. Börzel, Lukas Goltermann, et al, Roads to Regionalism: Genesis, Design, and Effects of Regional Organizations, Farnham – Burlington: Ashagate Publishing, 2012, hlm. 9, <https://www.ashgate.com/pdf/SamplePages/Roads_to_Regionalism_Intro.pdf>, diunduh tanggal 10/01/2015. 514 Stephen D. Krasner, loc.cit., hlm. 9.
ISBN: 978-602-361-000-6 Prosiding Seminar Nasional
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta
412
perdebatan globalisasi.515 Walaupun kekuasaan aspek kedaulatan tersebut terkait dengan
isu pengendalian lalu lintas manusia masuk atau keluar dari wilayah suatu negara, namun
pengendalian tersebut akan membuktikan apakah suatu negara dapat mempertahankan
kewenangan formal di bidang keimigrasian atau justru gagal mempertahankannya. Dalam
konteks ASEAN, hal tersebut mencerminkan urgensi harmonisasi hukum keimigrasian
negara-negara anggota ASEAN. Namun karena isu utama bukan persoalan “kewenangan”,
melainkan “pengendalian”, maka upaya harmonisasi hukum keimigrasian bukan hanya
ditujukan untuk merespon “keinginan” formal negara-negara anggota ASEAN, namun
“kebutuhan” yang berkembang dari persoalan-persoalan migrasi regional, khususnya
karakteristik pekerja di wilayah ASEAN.
Urgensi kedua, telah disinggung pada bagian awal, terkait dengan kebebasan
bergerak bagi pekerja dalam kerangka Piagam ASEAN maupun Cetak Biru MEA (ASEAN
Economic Community Blue Print) dengan ruang lingkup yang terbatas pada profesional atau
skilled labours pada umumnya. Di satu sisi hal tersebut sangat wajar, karena MEA
diarahkan untuk membentuk single market and production base (pasar tunggal dan basis
produksi)516, sehingga salah satu elemen inti (core element) yang menjadi tumpuan adalah
arus bebas buruh berketerampilan (free flow if skilled labour).517 Perkembangannya,
ASEAN telah memiliki kerangka hukum untuk memfasilitasi pergerakan lintas negara-
negara ASEAN, pebisnis dan profesional yang terlibat dalam perdagangan barang, jasa dan
investasi di ASEAN sebagaimana tercermin dalam 2012 ASEAN Agreement On The
Movement Of Natural Persons (MNP) untuk “(a) business visitors; (b) intra-corporate
transferees; (c) contractual service suppliers; (d) other categories as may be specified in the
Schedules of Commitments for the temporary entry and temporary stay of natural persons of
the Member State.”518 Khususnya untuk buruh/pekerja terampil telah disepakati Mutual
Recognition Agreements (MRAs) – sebagai bentuk instrumen inti untuk pergerakan pekerja
515 Legomsky, misalnya, mengatakan hal tersebut dikatakan terkait dengan kekuasaan negara untuk menentukan, pertama, siapa yang menjadi warga negaranya, dan kedua, siapa saja orang-orang asing yang dijamin aksesnya secara fisik untuk masuk ke wilayah negara. Sementara itu perkataan tersebut menurut Catherine Dauvergne, mencerminkan pentingnya hukum keimigrasian sebagai “situs ideal” (ideal site) untuk mengobservasi aspek-aspek kunci dalam perdebatan teori globalisasi. Bagi Dauvergne, hukum keimigrasian berfungsi sebagai sebuah laboratorium untuk menguji (testing) hipotesis globalisasi. Lihat Stephen Legomsky, “The Last Bastions of State sovereignty Immigration and Nationality Go Global”, dalam Andrew C. Sobel (ed), loc.cit, hlm. 44; Catherine Dauvergne, loc.cit., hlm. 2. 516 Paragraf 6 Cetak Biru MEA. 517 Paragraf 9 Cetak Biru MEA. 518 Artikel 2 ASEAN Agreement On MNP.
ISBN: 978-602-361-000-6 Prosiding Seminar Nasional
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta
413
terampil di ASEAN – pada bidang akuntansi, teknik, kedokteran, dan keperawatan, dan
pada tahun ini (2015) dibicarakan kerangka MRA untuk bidang arsitektur dan survey.519
Beberapa MRA yang telah disepakati memang membuktikan bahwa pekerja terampil yang
dimaksud lebih ditekankan pada pekerja berketerampilan tinggi yang dihasilkan oleh
lulusan perguruan tinggi. Oleh karena sangat wajar jika dalam Cetak Biru MEA juga
disepakati upaya menguatkan kerja sama anggota-anggota ASEAN University Network
(AUN), pengembangan kompetensi inti dan kualifikasi pekerjaan dan pelatihan dalam
sektor-sektor prioritas, dan penguatan kemampuan riset tiap-tiap negara anggota
ASEAN.520
Di sisi lain, Cetak Biru MEA seperti menutup mata terhadap persoalan pekerja
migrant di ASEAN yang sebagian besar berkarakteristik tidak memiliki keterampilan,
berketerampilan menengah atau rendah. 521 Data tahun 2013 menunjukkan adanya
peningkatan arus pekerja berketerampilan tinggi di ASEAN, namun jauh lebih rendah jika
dibandingkan dengan arus pekerja yang tidak berketerampilan atau berketerampilan
menengah.522 Padahal, perbedaan jumlah populasi yang ekstrim antara negara-negara
ASEAN seperti Singapura dan Brunei Darussalam yang berpopulasi sangat kecil,
dibandingkan misalnya Indonesia, mencerminkan suplai pekerja tak berketerampilan,
berketerampilan rendah atau menengah sangat penting untuk memenuhi kebutuhan
regional. Selain didominasi oleh pekerja yang tidak berketerampilan atau berketerampilan
rendah, banyak dari pekerja-pekerja migran tersebut dikategorikan sebagai migran yang
memasuki wilayah secara tidak sah (irregular/illegal migrant).523 Hal ini disebabkan
karena sebagian besar negara-negara ASEAN sangat sedikit membuka cara untuk bagi
pekerja asing yang berketerampilan rendah, namun membuka kompetesi yang tinggi bagi
pekerja-pekerja terampil.524 Namuan, dengan membatasi kerja sama substansial dalam
pasar tenaga kerja hanya untuk buruh/ pekerja berketerampilan tinggi, anggota – anggota
519 Sarah Huelser, Adam Heal, “Moving Freely? Labour Mobility in ASEAN”, ARTNeT Policy Brief No. 40: Juni, 2014, hlm. 6 – 7, <http://artnet.unescap.org/pub/polbrief40.pdf>, diunduh tanggal 08/01/2015. 520 Paragraf 34 Cetak Biru MEA. 521 Sarah Huelser, Adam Heal, op.cit., hlm. 1. 522 Idem, hlm. 2. 523 Ibid. 524 Idem, hlm. 4.
ISBN: 978-602-361-000-6 Prosiding Seminar Nasional
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta
414
ASEAN kehilangan peluang dan implikasi perkembangan positif dari fasilitasi migrasi yang
dikelola dengan baik.525
Jika ASEAN tidak memiliki skema khusus untuk menangani persoalan pekerja yang
berketerampilan rendah dan menengah, maka sebagian besar migrasi pekerja yang terjadi
di ASEAN tetap didominasi oleh pekerja – pekerja tersebut yang banyak pula berpola
migrasi ilegal. Oleh karena itu para pengamat menyarankan agar ASEAN tetap membuka
kerja sama untuk pembukaan akses tenaga kerja tidak terampil dan berketerampilan
rendah dengan skema pekerjaan sementara (temporary program scheme) dengan
karakteristik pekerja yang bersifat kelompok (crew), bukan individual.526 Dengan skema
pekerjaan sementara, pembukaan arus migrasi pekerja beketerampilan rendah atau
bahkan yang tidak memiliki keterampilan spesifik, diharapkan dapat mengurangi
gelombang migrasi ilegal.527 Oleh karena itu, upaya harmonisasi hukum keimigrasian
antara negara-negara ASEAN merupakan prasyarat untuk mengatur arus migrasi pekerja
di ASEAN, bukan hanya yang digariskan Cetak Biru MEA, namun juga harus dapat menjadi
solusi praktikal untuk mengatasi persoalan migrasi pekerja di wilayah ASEAN.
C. Arah dan Wujud Harmonisasi Hukum Keimigrasian di ASEAN
Walaupun Cetak Biru MEA mengedepankan arus bebas profesional dan pekerja
terampil dalam kerangka MEA, namun hanya terdapat 1 klausul yang menyinggung
harmonisasi hukum keimigrasian di antara negara-negara ASEAN untuk mendukung
tujuan tersebut. Bentuk harmonisasi yang ditegaskan dalam Cetak Biru MEA hanya dalam
konteks memfasilitasi penerbitan visa dan pas pekerja para profesional dan pekerja
terampil ASEAN yang terlibat dalam perdagangan dan investasi lintas batas serta aktivitas
terkait.528
Realisasi dari ketentuan tersebut tercermin dari 2012 ASEAN Agreement on MNP
sebagaimana ditegaskan sebelumnya. Walaupun salah satu maksud dari persetujuan
tersebut terkait dengan implementasi Cetak Biru MEA, namun substansi persetujuan
525 Idem, hlm. 7. 526 Sarah Huelser, Adam Heal, op.cit., hlm. 8; Aniceto C. Orbeta, Jr.,”Enhancing Labor Mobility in ASEAN: Focus on Lower-skilled Workers”, Discussion Paper Series NO. 2013-17, Makati City : Philippine Institute for Development Studies (The PIDS), February 2013, hlm. 15, <http://dirp3.pids.gov.ph/ris/dps/pidsdps1317.pdf>, diunduh tanggal 08/01/2015. 527 Sebagaimana ditegaskan Sarah Huelser dan Adam Heal,bahwa “skema pekerjaan sementara akan menjembatani migrant illegal/irregular ke dalam program yang sah, dan menjamin migrasi ke negara-negara penerima dapat dibatasi dan dikendalikan. Sarah Huelser, Adam Heal, ibid. 528 Paragraf 33.i Cetak Biru MEA.
ISBN: 978-602-361-000-6 Prosiding Seminar Nasional
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta
415
tersebut hanya menegaskan kesepakatan umum mengenai kesediaan negara-negara
anggota ASEAN untuk memberikan jaminan masuk dan tinggal sementara bagi para
profesional,investor/ pebisnis ASEAN yang terlibat dalam perdagangan barang dan jasa
serta investasi, ditambah dengan kewajiban negara-negara ASEAN untuk menerapkan
prinsip transparansi dalam prosedur imigrasi bagi pihak – pihak tersebut, termasuk
mempublikasikan segala persyaratan keimigrasian pada website resmi, termasuk
informasi perubahan ketentuan imigrasi.529 Secara umum, prosedur imigrasi, termasuk
ketentuan mengenai dokumen-dokumen keimigrasian (immigration formality) disesuaikan
dengan hukum keimigrasian pada masing-masing negara anggota ASEAN.530 Begitu pula
untuk bentuk dan persyaratan tiap-tiap kategori pihak-pihak tersebut, termasuk jangka
waktu tinggal sementara, ditentukan oleh masing-masing negara dalam Schedule of
Commitments (daftar komitmen)531, walaupun hal tersebut harus ditindaklanjuti dengan
diskusi lebih lanjut antara negara-negara anggota ASEAN untuk meriviu daftar komitmen
tersebut dalam rangka mencapai liberalisasi lebih lanjut pergerakan manusia di ASEAN.532
Selain bersifat umum dan kurang operasional, persetujuan tersebut sebenarnya
menunjukkan kemunduran komitmen negara-negara ASEAN dalam konteks pengaturan
lalu lintas/ pergerakan manusia di region ASEAN, dan belum mencerminkan upaya
harmonisasi. Padahal sebelumnya negara-negara ASEAN telah menandatangani
persetujuan bebas visa bagi warga negara dari negara-negara ASEAN (2006 ASEAN
Framework Agreement on Visa Exemption). Walaupun hanya tujuan kunjungan singkat
(visit) untuk jangka waktu sampai dengan 14 hari, namun persetujuan tersebut
memperlihatkan bentuk harmonisasi yang konkrit. Bahkan dalam konteks ekternal,
negara-negara anggota ASEAN sedang mempelajari usulan penerapan Visa ASEAN (ASEAN
Common Visa) bagi warga negara dari negara-negara non ASEAN.533
529 Lihat Artikel 8 ASEAN Agreement on MNP. 530 Lihat Artikel 4 dan 5 ASEAN Agreement on MNP. 531 Artikel 6 ASEAN Agreement on MNP. 532 Artikel 7 ASEAN Agreement on MNP. 533 Usulan ini ditanggapi dan diapresiasi dalam beberapa forum resmi ASEAN. Dalam Pertemuan ke-16 para menteri-menteri pariwisata negara-negara anggota ASEAN, misalnya, ditegaskan bahwa para menteri sangat senang dengan kemajuan dari upaya mengkaji usulan ASEAN common visa untuk warga negara non-ASEAN, termasuk juga dengan telah diselenggarakannya Regional Workshop on ASEAN Common Visa pada tanggal 18-19 Juli 2012 di Jakarta, Indonesia, dan pembentukan Joint Working Group on the ASEAN Common Visa (JWGACV). Begitu pula dalam Pernyataan Ketua ASEAN dalam ASEAN Summit ke-22, ditegaskan, bahwa: “..kami sangat menghargai upaya melanjutkan dalam rangka mempertimbangan usulan ASEAN Common Visa yang akan memfasilitas mobilitas bisnis dan pariwisata.” Lihat The Sixteenth Meeting Of Asean Tourism Ministers (16th M-Atm), on Sunday, 20 January 2013, , Statement & Communiques,
ISBN: 978-602-361-000-6 Prosiding Seminar Nasional
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta
416
Praktiknya, dari beberapa perkembangan persetujuan regional ASEAN untuk
meliberalisasi arus bebas pergerakan manusia, yang sangat disayangkan adalah masalah
“kebulatan komitmen” negara-negara anggota ASEAN untuk meratifikasi persetujuan-
persetujuan tersebut, mengingat dua persetujuan tersebut hingga saat ini masih dalam
status belum berlaku (not in force),534 walaupun untuk kebijakan bebas-visa, beberapa
negara anggota ASEAN telah menerapkannya berdasarkan hukum nasionalnya. Dengan
demikian, secara praktikal, upaya meliberalisasi mobilitas manusia di region ASEAN,
khususnya dalam kerangka MEA, belum mencapai kemajuan yang berarti.
Penyesuaian atau standarisasi dokumen keimigrasian merupakan objek harmonisasi
hukum keimigrasian dalam kerangka regionalisme, walaupun tidak terbatas pada hal
tersebut. Di Uni Eropa, harmonisasi ketentuan-ketentuan terkait urusan migrasi dan suaka
(migration asylum matters) dimulai secara tegas sejak The Treaty of Maastricht (1993)/
Treaty of European Union535, salah satunya mengenai standarisasi dokumen keimigrasian,
misalnya melalui uniform format for visas536 yang sebelumnya telah dintroduksi melalui
perjanjian internasional di luar kerangka perjanjian Uni Eropa, yaitu Schengen Agreement
(1985) dan Schengen Convention (1990).537 Sepanjang untuk kunjungan singkat (short
stay/ travel visa & transit visa)538, warga negara asing (third country national/TCN) yang
akan mengunjungi beberapa negara-negara anggota Uni Eropa (kecuali Inggris dan
<http://www.asean.org/news/asean-statement-communiques/item/the-sixteenth-meeting-of-asean-tourism-ministers-16th-m-atm>, “Chairman's Statement of The 22nd ASEAN Summit, "Our People, Our Future Together" on Thursday, 25 April 2013. Posted in 2013, Statement & Communiques, <http://www.asean.org/news/asean-statement-communiques/item/chairmans-statement-of-the-22nd-asean-summit-our-people-our-future-together>, kedua-duanya diakses tanggal 15/01/2015. 534 Untuk 2012 ASEAN Agreement on MNP sampai dengan tahun 2014 lalu baru 7 dari 10 negara anggota ASEAN yang meratifikasi, yaitu Brunei Darussalam, Kamboja, Malaysia, Myanmar, Singapore, Thailand dan Vietnam, sementara untuk 2006 Agreement Framework on Visa Exemption, 7 negara telah meratifikasi Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Laos (Lao PDR), Myanmar, Thailand, Vietnam. Lihat dalam ASEAN Legal Instruments, List of Instrument <http://agreement.asean.org/search/by_pillar/2.html> diakses tanggal 15/01/2015. 535 Lihat Arne Niemann, “The Dynamics of EU Migration Policy: From Maastricht to Lisbon”, preliminary version of the chapter in Richardson, J. (ed.), Constructing a policy-making state? Policy dynamics in the European Union, Oxford: Oxford University Press, 2012, hlm. 1, <http://www.blogs.uni-mainz.de/fb02-internationale-beziehungen/files/2013/02/Niemann-2012-EU-migration-policy.pdf>, diakses tanggal 10/01/2015. 536 Dalam kerangka Uni Eropa, mandate ini pertama kali ditegaskan dalam Artikel 100c Treaty of Maastricht, yang dikemudian diatur lebih lanjut dalam Council Regulation (EC) No 1683/95 of 29 May 1995 laying down a uniform format for visas, <http://eur-lex.europa.eu/LexUriServ/LexUriServ.do?uri=CELEX:31995R1683:EN:HTML>, diakses tanggal 15/01/2015. 537 Schengen Agreement (1985) dan Schengen Convention (1990) berdasarkan the Treaty of Amsterdam (1999) dintegrasikan menjadi perjanjian dalam kerangka Uni Eropa (disebut sebagai Schengen acquis). Lihat Protocol integrating the Schengen acquis into the framework of the European Union dalam the Treaty of Amsterdam (1999). 538 Lihat Artikel 9 & 10 Schengen Convention (1990).
ISBN: 978-602-361-000-6 Prosiding Seminar Nasional
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta
417
Irlandia539), dan beberapa negara Eropa non anggota Uni540, hanya perlu mengajukan
sekali permohonan (uniform visa/schengen visa), namun jika melebihi 3 bulan (long stay
visit), maka yang berlaku adalah visa nasional dari otoritas negara Uni Eropa/Schengen
pary, dan tunduk pada undang-undang negara tersebut (national legislation).541 Artinya,
untuk tujuan-tujuan umum, harmonisasi hukum keimigrasian untuk masuk ke wilayah
Eropa, khususnya Uni Eropa, tetap memberikan ruang bagi implementasi kedaulatan
nasional.
Sementara itu bagi warga negara dari negara-negara Uni Eropa, harmonisasi hukum
keimigrasian dilakukan melalui penghapusan kewajiban memiliki visa untuk tinggal di
wilayah negara-negara anggota Uni Eropa sampai dengan jangka waktu 3 bulan542 sebagai
konsekuensi diperkenalkannya konsep European Union Citizenship (Union Citizen) dalam
The Treaty of Maastricht.543 Jika warga negara tersebut tinggal lebih dari 3 bulan, maka
yang bersangkutan harus memiliki pekerjaan, termasuk pekerja mandiri (self-employed
person) 544, agar tidak menjadi beban negara yang dikunjungi. Dalam hal ini, harmonisasi
hukum keimigrasian dalam konteks Uni Eropa, berlaku bagi baik migrasi internal
(mobilitas warga negara Uni Eropa) maupun migrasi eksternal (non-warga negara Uni
Eropa).
Namun demikian, persoalan harmonisasi hukum keimigrasian bukan hanya
persoalan standarisasi dokumen-dokumen keimigrasian. Pengalaman Uni Eropa,
harmonisasi hukum keimigrasian mencakup berbagai aspek yang luas, termasuk kebijakan
hukum tentang suaka politik (asylum), penanganan imigran illegal.545 Walaupun Uni Eropa
dipandang sangat berhasil dalam mengintergrasikan kebijakan keimigrasian dalam
konteks kebebasan bergerak orang pribadi (free movement of person), namun dalam
perkembangan terdapat beberapa tantangan internal maupun eksternal yang harus
dihadapi. Secara internal, kebebasan bergerak pekerja, khususnya bagi warga negara Uni
Eropa menghadapi “gugatan” dari negara-negara anggota Uni Eropa tertentu, seperti 539 Pengecualian ini ditegaskan kembali dalam Artikel 4 Protocol integrating the Schengen acquis di atas. 540 Seperti misalnya Norwegia, Islandia, dan Swis. 541 Artikel 18 Schengen Convention (1990). 542 Lihat Artikel 4 – 6 Directive 2004/38/EC Of The European Parliament And Of The Council Of 29 April 2004 on the right of citizens of the Union and their family members to move and reside freely within the territory of the Member States. 543 Lihat Artikel 8 The Treaty of Maastricht. 544 Artikel 7 Directive 2004/38/EC. 545 Pengaturan pencari suaka misalnya menjadi objek pengaturan dalam Dublin Convention, dan secara umum penanganan migrant illegal dari negara-negara non-Uni Eropa diatur dalam Eureopean Immigration Pact (2008).
ISBN: 978-602-361-000-6 Prosiding Seminar Nasional
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta
418
Inggris terkait dengan pergerakan pekerja dari negara anggota baru Uni Eropa dari Eropa
Timur ke wilayah negara-negara anggota lama di Eropa Barat.546 Beberapa proposal
perubahan justru diajukan untuk mengurangi jumlah perkerja migran internal Uni Eropa,
atau setidak-tidaknya menunda keuntungan dari kebebasan bergerak bagi pekerja warga
negara Uni Eropa.547 Secara eksternal, kecenderungan untuk meningkatkan kewenangan
institusi supranasional untuk mengelola kekuasaan keimigrasian dari negara-negara non-
Uni Eropa/negara pihak ketiga (third country national/TCN) khususnya untuk bekerja
menjadi tantangan tersendiri. Kebijakan terhadap TCN yang pada hakekatnya bersifat
restriktif, namun dalam perkembangan menjadi lebih terbuka, misalnya melalui kebijakan
single permit bagi TCN untuk tinggal dalam rangka bekerja di Uni Eropa berdasarkan
Directive 2011/98/EU tahun 2011 yang lalu548, setelah mengalami negosiasi yang cukup
alot dengan negara-negara anggota dan Parlemen Eropa karena persoalan preferensi
pengaturan dan masalah hukum lainnya.549 Walaupun kebijakan tersebut disepakti, namun
dua negara anggota Uni Eropa - Denmark dan Inggris - tidak mengadopsi directive
tersebut.550 Di sisi lain, upaya mentransformasi directive tersebut ke dalam hukum nasional
negara-negara anggota Uni Eropa lain, juga menjadi tantangan tersendiri, khususnya untuk
melihat sejauh mana langkah-langkah penerapannya.551
Belajar dari pengalaman Uni Eropa yang masih dalam proses, harmonisasi hukum
keimigrasian, sekalipun dalam regionalisme yang sangat kuat, tetap menjadi perdebatan
yang dinamis antara liberalisasi dan proteksi nasional. Namun kesepakatan sekecil apa
harus dicapai secara konkrit, dan bertahap, seperti evolusi harmonisasi kebebasan
546 Untuk pembahasan lebih lanjut, khususnya sikap Pemerintah Inggris terhadap pekerja-pekerja dari negara – negara anggota dari Eropa Timur, seperti Rumania dan Bulgaria, lihat Mick Wilkinson and Gary Craig, “Wilful Negligence: migration policy, migrants’ work and the absence of social protection”, dalam Emma Carmel, Alfio Cerami and Theodorus Papadoulos (eds), Migration And Welfare in The New Europe, social integration, and the challenges of integration, Bristol: Policy Press, 2012, hlm. 182. 547 548 Lihat DIRECTIVE 2011/98/EU OF THE EUROPEAN PARLIAMENT AND OF THE COUNCIL Of 13 December 2011 On A Single Application Procedure For A Single Permit For Third-Country Nationals To Reside And Work In The Territory Of A Member State And On A Common Set Of Rights For Third-Country Workers Legally Residing In A Member State, <http://eur-lex.europa.eu/legal-content/EN/TXT/?uri=CELEX:32011L0098>, diakeses tanggal 15/01/2015. 549 Sebagian besar negara-negara anggota Uni Eropa yang lebih menyukai harmonasasi secara parsial, dalam hal ini berupa beberapa directive yang terpisah, sesuai tipe pekerja, misalnya highly skilled workers (Blue Card Directive –penulis), intra-corporate transferees, seasonal workers (pekerja musiman) dan remunerated trainees (peserta pelatihan yang digaji). Selain itu, salah satu negara anggota, Republik Czech mempersoalkan dasar hukum directive ini karena menerutnya, the Treaty of Amsterdam tidak mengatur hal tersebut. anggota – anggota Parlamen Eropa dari faksi liberal sempat menolak proposal directive ini pada tahun 2010, sehingga pembahasan lanjutan (2nd reading) menjadi lebih kompleks. Ibid. 550 Ibid. 551 Ibid.
ISBN: 978-602-361-000-6 Prosiding Seminar Nasional
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta
419
bergerak di Uni Eropa, dari tujuan-tujuan ekonomi (mobilitas pekerja dari warga negara
anggota Uni), kebebasan bergerak di luar perspektif ekonomi semata melalui konsep
kebebasan bergerak “citizen of union”. Walaupun arah untuk berkembang menjadi
komunitas politik regional belum tampak, namun ASEAN melalui implementasi MEA mulai
akhir tahun ini, dapat mulai menyepakati harmonisasi hukum keimigrasian yang lebih
konkrit, seperti fokus pada persetujuan demand and supply sektor pekerjaaan yang
membutuhkan low and middle skilled workers, dalam rangka memberdayakan potensi
regional, sekaligus mengurangi jumlah pekerja migrant illegal, mengingat kesepakatan
mengenai arus bebas pekerja terampil masih belum bulat. Upaya untuk mendorong
ratifikasi persetujuan bebas/pengecualian visa (visa exemption), perlu dilakukan sebelum
upaya kesepakatan lebih lanjut untuk mengatur kebijakan regional mengenai Visa ASEAN.
Upaya harmonisasi hukum keimigrasian dalam kerangka MEA atau regionalisme ASEAN
secara umum, juga semestinya bukan hanya ditekankan pada penyesuaian dokumen-
dokumen keimigrasian, namun juga pengembangan sistem bersama dalam rangka
mengantisipasi, dan mengatasi gelombang migrasi illegal, sebagaimana pengalaman Uni
Eropa. Upaya menangkap kebutuhan hukum di luar persoalan kewenangan, seperti tinggai
migrasi pekerja illegal juga, juga membuktikan tesis keimigrasian sebagai cermin
kedaulatan interdependen, yang bukan hanya menekankan pada persoalan “kewenangan”,
tetapi isu “pengendalian”.
D. Kesimpulan
Harmonisasi hukum keimigrasian dalam kerangka MEA tidak dapat ditawar lagi. Jika
akhir tahun ini kebijakan untuk memulai arus bebas pekerja terampil akan dimulai, maka
kesepakatan lebih konkrit, seperti penyesaian visa dan pas pekerja beserta kualifikasinya
harus segera disertai tindakan konkrit negara-negara anggota ASEAN, seperti mendorong
ratifikasi penuh terhadap ASEAN Agreement on MNP. Pembahasan di atas, mencerminkan
bahwa urgensi harmonisasi hukum keimigrasian bukan hanya persoalan ekonomi semata,
namun juga upaya testing kepada negara-negara anggota ASEAN apakah dapat
menegosiasikan sedikit aspek kedaulatannya untuk kebaikan regional atau tidak. Selain
itu, harmonisasi hukum keimigrasian juga harus dapat menjawab “persoalan bersama dan
umum” yang terkait dengan migrasi pekerja. Sudah saatnya ASEAN mempertimbangkan
ISBN: 978-602-361-000-6 Prosiding Seminar Nasional
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta
420
ulang upaya membatasi kebebasan bergerak pekerja di wilayah regional hanya untuk
pekerja-pekerja terampil. Regionalisme sebesar Uni Eropa pada tahap awal dan
perkembangan, tidak hanya fokus pada highly skilled workers, tetapi pekerja-pekerja lain,
semisalnya pekerja-pekerja musimin yang low atau middle skilled workers.
Referensi Aniceto C. Orbeta, Jr.,”Enhancing Labor Mobility in ASEAN: Focus on Lower-skilled
Workers”, Discussion Paper Series NO. 2013-17, Makati City : Philippine Institute for Development Studies (The PIDS), February 2013, , <http://dirp3.pids.gov.ph/ris/dps/pidsdps1317.pdf>, diunduh tanggal 08/01/2015.
ASEAN, The Sixteenth Meeting Of Asean Tourism Ministers (16th M-Atm), on Sunday, 20 January 2013, , Statement & Communiques, <http://www.asean.org/news/asean-statement-communiques/item/the-sixteenth-meeting-of-asean-tourism-ministers-16th-m-atm>, diakses tanggal 15/01/2015.
ASEAN, “Chairman's Statement of The 22nd ASEAN Summit, "Our People, Our Future Together" on Thursday, 25 April 2013. Posted in 2013, Statement & Communiques, <http://www.asean.org/news/asean-statement-communiques/item/chairmans-statement-of-the-22nd-asean-summit-our-people-our-future-together>, diakses tanggal 15/01/2015.
ASEAN Legal Instruments, List of Instrument <http://agreement.asean.org/search/by_pillar/2.html> diakses tanggal 15/01/2015.
Atip Latifulhayat, dkk, Demokratisasi Politik Luar Negeri Indonesia, Laporan Akhir penelitian, kerja sama Kemenlu-RI – FH Unpad, Bandung, 2010.
Bilal Dewansyah, Pencegahan dan Penangkalan dalam Perspektif Hak Atas Kebebasan Bergerak Berdasarkan UUD 1945, tesis magister ilmu hukum, tidak dipublikasikan, Bandung: FH Unpad, 2013.
Dauvergne, Catherine, Making People Illegal What Globalization Means for Migration and Law, Cambridge – New York: Cambridge University Press, 2008.
Gill, Guy S. Goodwin, International Law and Movement of Persons Between States, Oxford: Clarendon Press, 1978.
Ginsburg, Tom, “Eastphalia And Asian Regionalism”, Symposium -- The Asian Century? The Concept of Asia in International Law, U.C. Davis Law Review 44, February, 2011.
Goltermann, Lukas & Lohaus, Mathis, dkk, “Introduction: Roads to Regionalism: Concepts, Issues, and Cases”, dalam Tanja A. Börzel, Lukas Goltermann, et al, Roads to Regionalism: Genesis, Design, and Effects of Regional Organizations, Farnham – Burlington: Ashagate Publishing, 2012, <https://www.ashgate.com/pdf/SamplePages/Roads_to_Regionalism_Intro.pdf>, diunduh tanggal 10/01/2015.
Huelser, Sarah & Heal, Adam, “Moving Freely? Labour Mobility in ASEAN”, ARTNeT Policy Brief No. 40: Juni, 2014, <http://artnet.unescap.org/pub/polbrief40.pdf>, diunduh tanggal 08/01/2015.
ISBN: 978-602-361-000-6 Prosiding Seminar Nasional
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta
421
Krasner, Stephan D. Sovereignty: Organized Hypocrisy, Pricenton: Pricenton University Press, 1999.
Legomsky, Stephen, “The Last Bastions of State sovereignty Immigration and Nationality Go Global”, dalam Andrew C. Sobel (ed), Challenges of Globalization Immigration, Social Welfare, Global Governance, London – New York: Routledge, 2009.
M. Iman Santoso, Perspektif Imigrasi Dalam United Nation Convention Against Transnational Organized Crime, Jakarta: Perum Percetakan Negara – RI, 2007.
Niemann, Arne “The Dynamics of EU Migration Policy: From Maastricht to Lisbon”, preliminary version of the chapter in Richardson, J. (ed.), Constructing a policy-making state? Policy dynamics in the European Union, Oxford: Oxford University Press, 2012, <http://www.blogs.uni-mainz.de/fb02-internationale-beziehungen/files/2013/02/Niemann-2012-EU-migration-policy.pdf>, diakses tanggal 10/01/2015.
Pascouau, Yves and McLoughli, Sheena, “EU Single Permit Directive: a small step forward in EU migration policy", POLICY BRIEF, the European Policy Centre, 24 January 2012, , <http://www.epc.eu/documents/uploads/pub_1398_eu_single_permit_directive.pdf>, diakses tanggal 15/01/2015.
Pemberton, Jo-Anne Sovereignty: Interpretations, Hampshire – New York: Palgrave Macmilan, 2009.
Yrynen, Raimo V., “Regionalism: Old and New”, International Studies Review (2003) 5, 25–51, <http://www.wiso.uni-hamburg.de/uploads/media/11_Vaerynen_2003.pdf>, diunduh tanggal 10/01/2015.
Top Related