BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Agency Theory (Teori Keagenan )
Teori keagenan (agency theory) menekankan pentingnya penyerahan
operasionalitas perusahaan dari pemilik (principals) kepada pihak lain yang
mempunyai kemampuan untuk mengelola perusahaan dengan lebih baik (agents).
Konsep manejerial yang mengatur hubungan antara pemilik dan pengelola ini
menyatakan bahwa setiap pihak mempunyai hak dan tanggung jawab dalam
pengelolaan sebuah perusahaan. Menurut Jensen dan Meckling (1974)
mendefinisikan hubungan agensi sebagai sebuah kontrak antara seseorang atau
lebih meminta orang lain untuk melakukan jasa tertentu demi kepentinganya.
Untuk itu orang ini atau pemilik perusahaan akan mendelegasikan wewenanag
untuk mengerjakan sesuatu yang seharusnya dilakukannya kepada orang yang
dipilihnya atau disebut dengan manejer. Pendelegasian wewenang ini menjadi
sebuah keharusan dalam hubungan agensi agar manajer mempunyai kesempatan
yang luas untuk menjalankan tugasnya, sekaligus mempertanggungjawabkan apa
yang telah dikerjakannya kepada pemilik perusahaan (Sulistyanto, 2008).
Teori keagenan (agency theory) juga menjelaskan adanya pemisahan antara
kepemilikan dan pengelolaan suatu perusahaan yang dapat menimbulkan masalah
keagenan (agency problems), yaitu ketidak sejajaran kepentingan antara principal
(pemilik/pemegang saham) dan agent (manajer). Masalah keagenan ini dapat
diminimumkan melalui suatu mekanisme monitoring yang bertujuan untuk
menyelaraskan (alignment) berbagai kepentingan. Mekanisme monitoring yang
efektif dalam pengelolaan perusahaan (corporate governance mechanism) yaitu;
(a) memperbesar kepemilikan saham perusahaan oleh manajemen (managerial
ownership), sehingga kepentingan pemilik atau pemegang saham akan dapat
disejajarkan dengan kepentingan manajer, (b) kepemilikan saham oleh investor
institusional karena dianggap sebagai sophisticated investor dengan jumlah
8
kepemilikan yang cukup signifikan dapat memonitor manajemen, dan (c) melalui
peran monitoring oleh dewan direksi (Nopitasari,2016).
2.2 Kebijakan Hutang
Kebijakan hutang merupakan keputusan yang sangat penting dalam perusahaan.
Dimana kebijakan hutang merupakan salah satu bagian dari kebijakan pendanaan
perusahaan. Kebijakan hutang adalah kebijakan yang diambil oleh pihak
manajemen dalam rangka memperoleh sumber pembiayaan bagi perusahaan
sehingga dapat digunakan untuk membiayai aktivitas operasional perusahaan
(Yeniatie dan Destriana, 2010). Selain itu kebijakan hutang perusahaan juga
berfungsi sebagai mekanisme monitoring terhadap tindakan manajer yang
dilakukan dalam pengelolaan perusahaan. Keputusan pembiayaan atau pendanaan
perusahaan akan dapat memengaruhi struktur modal perusahaan. Sumber
pendanaan dapat diperoleh dari modal internal dan modal eksternal. Modal
internal berasal dari laba ditahan, sedangkan modal eksternal adalah dana yang
berasal dari para kreditur dan pemilik, peserta atau pengambil bagian didalam
perusahaan (Kartika 2009). Hutang adalah semua kewajiban keuangan perusahaan
kepada pihak lain yang belum terpenuhi, di mana hutang ini merupakan sumber
dana atau modal perusahaan yang berasal dari kreditur (Munawir, 2008). Hutang
juga merupakan modal yang berasal dari luar perusahaan yang sifatnya sementara
di dalam perusahaan yang harus segera dibayar sesuai dengan tanggal jatuh tempo
(Bambang Riyanto, 2008 : 227). Ada tiga golongan dalam hutang, antara lain :
1. Hutang jangka pendek (Short –term Debt)
Hutang jangka pendek adalah modal asing yang jangka waktunya paling lama
satu tahun. Sebagian besar hutang jangka pendek terdiri dari kredit
perdagangan, yaitu kredit yang diperlukan untuk dapat menyelenggarakan
usahanya. Adapun jenis-jenis daripada modal asing jangka pendek yang
terutama adalah:
a. Rekening Koran, yaitu kredit yang diberikan oleh Bank kepada perusahaan
dengan batas plafond tertentu dimana perusahaan mengambilnya tidak
sekaligus melainkan sebagian demi sebagian sesuai dengan kebutuhannya,
9
dan bunga yang dibayar hanya untuk jumlah yang telah diambil saja,
meskipun sebenarnya perusahaan meminjamnya lebih dari jumlah tersebut.
b. Kredit dari Penjual, merupakan kredit perniagaan (trade-credit) dan kredit
ini terjadi apabila penjualan produk dilakukan dengan kredit. Apabila
penjualan dilakukan dengan kredit berarti bahwa penjual baru menerima
pembayaran harga dari barang yang dijualnya beberapa waktu kemudian
setelah barang diserahkan.
c. Kredit dari Pembeli, merupakan kredit yang diberikan oleh perusahaan
sebagai pembeli kepada pemasok dari bahan mentahnya atau barang-barang
lainnya. Disini pembeli membayar harga barang yang dibelinya lebih
dahulu, dan setelah beberapa waktu barulah pembeli menerima barang yang
dibelinya.
d. Kredit Wesel, kredit ini terjadi apabila suatu perusahaan mengeluarkan
“surat pengakuan hutang” yang berisikan kesanggupan untuk membayar
sejumlah uang tertentu kepada pihak tertentu dan pada saat tetentu (surat
Promes / Notes Payables), dan setelah ditanda tangani surat tersebut dapat
dijual atau diuangkan kepada Bank.
2. Hutang Jangka Menengah (Intermediate-Term Debt)
Adalah hutang yang jangka waktu atau umumnya adalah lebih dari satu tahun
dan kurang dari 10 tahun. Kebutuhan membelanjai usaha dengan jenis kredit
ini dirasakan karena adanya kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi dengan kredit
jangka pendek di satu pihak dan juga sukar untuk dipenuhi dengan kredit
jangka panjang di lain pihak. Bentuk-bentuk utama dari kredit jangka
menengah, antara lain:
a. Term Loan yaitu kredit usaha dengan umur lebih dari satu tahun dan kurang
dari 10 tahun. Pada umumnya term loan dibayar kembali dengan angsuran
tetap selama suatu periode tertentu, Term Loan ini biasanya diberkan oleh
Bank dagang, Perusahaan asuransi, suppliers atau “Manufactures”.
10
b. Leasing, adalah suatu alat atau cara untuk mendapatkan “service” dari suatu
aktiva tetap yang pada dasarnya adalah sama seperti halnya kalau kita
menjual obligasi untuk mendapatkan “service” dan hak milik atas aktiva
tersebut dan bedanya pada leasing tidak disertai dengan hak milik.
3. Hutang jangka panjang (Long-Term Debt)
Merupakan hutang yang jangka waktunya adalah panjang, umumnya lebih dari
10 tahun. Hutang jangka panjang ini pada umumnya digunakan untuk
membelanjai perluasan perusahaan (ekspansi) atau modernisasi dari
perusahaan, karena kebutuhan modal untuk keperluan tersebut meliputi jumlah
yang besar. Adapun jenis utama dari hutang jangka panjang antara lain:
a. Pinjaman Obligasi (Bonds-payables), adalah pinjaman uang untuk jangka
waktu yang panjang, dimana debitur mengeluarkan surat pengakuan hutang
yang mempunyai nominal tertentu. Jangka waktu pinjaman obligasi
hendaknya didasarkan kepada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :
Jangka waktu pinjaman kredit hendaknya disesuaikan dengan jangka
waktu penggunaanya di dalam perusahaan.
Jumlah angsuran harus disesuaikan dengan jumlah penyusutan dari
aktivatetap yang akan dibelanjai dengan kredit obligasi tersebut. Pelunasan
atau pembayaran kembali pinjaman obligasi dapat diambil dari :
1) penyusutan aktiva tetap yang dibelanjai dengan pinjaman obligasi
tersebut
2) keuntungan.
2.2.1 Definisi Kebijakan Hutang
Berikut beberapa definisi kebijakan hutang, yaitu:
a. Kebijakan hutang menurut Riyanto (2011:98) adalah sebagai berikut:
“Kebijakan hutang adalah keputusan yang sangat penting dalam perusahaan
dimana kebijakan hutang merupakan salah satu bagian dari kebijakan
pendanaan perusahaan. Kebijakan hutang adalah kebijakan yang diambil pihak
11
manajemen dalam rangka memperoleh sumber pembiayaan bagi perusahaan
sehingga dapat digunakan untuk membiayai aktivitas operasional perusahaan.”
b. Menurut Subramanyan dan Wild yang dialih bahasakan oleh Dewi Yanti
(2012:82), menyatakan kebijakan hutang adalah sebagai berikut: “Bagi
pemegang saham dengan adanya kebijakan hutang berarti mendapatkan
tambahan dana yang berasal dari pinjaman mampu member pengaruh positif
bagi peningkatan kinerja para manajemen perusahaan.”
c. Menurut Hartono (2011:137) menyatakan kebijakan hutang adalah sebagai
berikut: “Kebijakan hutang adalah keputusan pendanaan oleh manajemen akan
berpengaruh pada penelitian perusahaan yang terefleksi pada harga saham.
Oleh karena itu, salah satu tugas manajer keuangan adalah menentukan
kebijakan pendanaan yang dapat memaksimalkan harga saham yang
merupakan cerminan dari suatu nilai perusahaan.”
d. Menurut Herawati (2013) kebijakan hutang adalah: “Kebijakan hutang adalah
kebijakan yang menentukan seberapa besar kebutuhan dana perusahaan
dibiayai oleh hutang.”
Berdasarkan definisi di atas dapat dilihat bahwa kebijakan hutang adalah salah
satu aktivitas pendanaan bagi perusahaan, selain modal sendiri, yang digunakan
oleh perusahaan untuk mencapai tujuan tertentu seperti membiayai aktivitas
operasional, meningkatkan kinerja manajemen perusahaan, dan tujuan perusahaan
lainnya serta menentukan kebutuhan dana perusahaan yang dibiayai hutang.
2.2.2 Jenis-jenis Hutang (Obligasi) :
Berikut jenis-jenis obligasi, yaitu:
a. Obligasi biasa (Bonds), adalah obligasi yang bunganya tetap dibayar oleh
debitur dalam waktu-waktu tertentu, dengan tidak memandang apakah debitur
memperoleh keuntungan atau tidak.
b. Obligasi pendapatan (Income Bonds), adalah jenis obligasi dimana
pembayaran bunga hanya dilakukan pada waktu-waktu debitur atau
12
perusahaan yang mengeluarkan surat obligasi tersebut mendapatkan
keuntungan.
c. Obligasi yang dapat ditukarkan (convertible-Bonds), adalah obligasi yang
memberikan kesempatan kepada pemegang surat obligasi tersebut untuk pada
suatu saat tertentu menukarkannya dengan saham dari perusahaan yang
bersangkutan.
d. Pinjaman Hipotik (mortgage), adalah pinjaman jangka panjang dimana
pemberi uang (kreditur) diberi hak hipotik terhadap suatu barang tidak
bergerak, agar supaya bila pihak debitur tidak memenuhi kewajibannya,
barang itu dapat dijual dan dari hasil penjualan tersebut dapat digunakan untuk
menutup tagihannya.
2.2.3 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kebijakan Hutang
Perusahaan dinilai berisiko apabila memiliki porsi hutang yang besar dalam
struktur modal, namun sebaliknya apabila perusahaan mengunakan hutang yang
kecil atau tidak sama sekali maka perusahaan dinilai tidak dapat memanfaatkan
tambahan modal eksternal yang dapat meningkatkan operasional perusahaan.
Menurut Mamduh (2004) terdapat beberapa faktor yang memiliki pengaruh
terhadap kebijakan hutang, antara lain:
a. NDT (Non-Debt Tax Shield)
Manfaat dari penggunaan hutang adalah bunga hutang yang dapat digunakan
untuk mengurangi pajak perusahaan. Namun untuk mengurangi pajak,
perusahaan dapat menggunakan cara lain seperti depresiasi dan dana pensiun.
Dengan demikian, perusahaan dengan NDT tinggi tidak perlu menggunakan
hutang yang tinggi.
b. Struktur Aktiva
Besarnya aktiva tetap suatu perusahaan dapat menentukan besarnya
penggunaan hutang. Perusahaan yang memiliki aktiva tetap dalam jumlah
besar dapat menggunakan hutang dalam jumlah besar karena aktiva tersebut
dapat digunakan sebagai jaminan pinjaman.
13
c. Profitabilitas
Perusahaan dengan tingkat pengembalian yang tinggi atas investasinya akan
menggunakan hutang yang relatif kecil. Laba ditahannya yang tinggi sudah
memadai membiayai sebagian besar kebutuhan pendanaan.
d. Risiko Bisnis
Perusahaan yang memiliki risiko bisnis yang tinggi akan menggunakan hutang
yang lebih kecil untuk menghindari risiko kebangkrutan.
e. Ukuran Perusahaan
Perusahaan yang besar cenderung terdiversifikasi sehingga menurunkan risiko
kebangkrutan. Disamping itu, perusahaan yang besar lebih mudah dalam
mendapatkan pendanaan eksternal.
f. Kondisi Internal Perusahaan
Kondisi internal perusahaan menentukan kebijakan penggunaan hutang dalam
suatu perusahaan.
2.2.4 Teori Kebijakan Hutang
Ada beberapa teori kebijakan hutang yang dikemukakan oleh I Made Sudana
(2011), yaitu sebagai berikut:
1. Trade off Theory
Teori ini menganggap bahwa penggunaan hutang 100 persen sulit dijumpai.
Kenyataannya semakin banyak hutang, maka semakin tinggi beban yang harus
ditanggung. Satu hal yang penting bahwa dengan meningkatnya hutang, maka
semakin tinggi probabilitas kebangkrutan. Beban yang harus ditanggung saat
menggunakan hutang yang lebih besar adalah biaya kebangkrutan, biaya
keagenan, beban bunga yang semakin besar dan sebagainya. Menurut
Mamduh (2004) bahwa biaya kebangkrutan dapat cukup signifikan dapat
mencapai 20 persen nilai perusahaan. Biaya tersebut mencakup dua hal:
a. Biaya langsung: biaya yang dikeluarkan untuk membayar biaya
administrasi, pengacara, dan lainnya yang sejenis.
14
b. Biaya tidak langsung: biaya yang terjadi karena dalam kondisi
kebangkrutan, perusahaan lain atau pihak lain tidak mau berhubungan
dengan perusahaan secara normal.
2. Pecking Order Theory
Teori pecking order menetapkan suatu urutan keputusan pendanaan dimana
para manajer pertama kali akan memilih untuk menggunakan laba ditahan,
hutang dan penerbitan saham sebagai pilihan terakhir (Mamduh, 2004).
Penggunaan hutang lebih disukai karena biaya yang dikeluarkan untuk hutang
lebih murah dibandingkan dengan biaya penerbitan saham. Urutan pendanaan
menurut teori pecking order adalah sebagai berikut :
a. Perusahaan lebih menyukai internal financing (dana internal). Dana
internal tersebut diperoleh dari laba yang dihasilkan dari kegiatan
perusahaan.
b. Perusahaan menyesuaikan target dividen payout ratio terhadap peluang
investasi mereka, sementara mereka menghindari perubahan dividen
secara drastis.
c. Kebijakan dividen yang sticky ditambah fluktuasi profitabilitas dan
peluang investasi yang tidak dapat diproksi, berarti terkadang aliran kas
internal melebihi kebutuhan investasi namun terkadang kurang dari
kebutuhan investasi.
d. Apabila pendanaan eksternal diperlukan, pertama-tama perusahaan akan
menerbitkan sekuritas yang paling aman, yaitu mulai dari penerbitan
hutang convertible bond, dan alternatif paling akhir adalah saham.
3. Signaling Theory
Menurut Marwata (2001) dalam Kusumo (2011) Signaling theory menyatakan
bahwa pemecahan saham memberikan informasi kepada investor tentang
prospek peningkatan return masa depan yang substantial. Dengan memandang
bahwa perusahaan akan memberikan tingkat pengembalian yang tinggi, maka
perusahaan akan memberi daya tarik kepada investor untuk berinvestasi dan
akan mendorong perusahaan untuk melakukan pemecahan saham.
15
2.2.5 Metode Pengukuran Kebijakan Hutang
Menurut Agus Sartono (2010:121) dalam Sudjaja (2017) ada beberapa rasio
hutang yang digunakan oleh perusahaan yakni sebagai berikut:
1. Debt to Total Asset (DTA)
Rasio ini digunakan untuk mengukur besarnya hutang yang akan digunakan
perusahaan dalam membiayai aktivanya yang ditunjukkan dengan
membandingkan antara total utang dengan total aktiva.
2. Debt Equity Ratio (DER)
Debt to equity Ratio merupakan rasio yang digunakan untuk menilai utan
dengan ekuitas. Rasio ini dicari dengan cara membandingkan antara seluruh
hutang, termasuk utang lancar dengan seluruh ekuitas. Rasio ini berguna untuk
mengetahui jumlah dana yang disediakan peminjam (kreditor) dengan pemilik
perusahaan. Tujuan dari rasio ini adalah untuk mengukur kemampuan
perusahaan dalam membayar seluruh hutang yang dimiliki perusahaan dengan
modal atau ekuitas yang ada.
3. Time Interest Earned
Mengukur sejauh mana pendapatan dapat menurun tanpa membuat perusahaan
merasa tidak mampu membayar biaya bunga tahunannya. Apabila perusahaan
tidak mampu membayar bunga, dalam jangka panjangmenghilangkan
kepercayaan dari para kreditor. Bahkan ketidak mampuan menutup biaya tidak
menutup kemungkinan akan mengakibatkan adanya tuntutan hukum dari
kreditur. Lebih dari itu, kemungkinan perusahaan menuju ke arah pailit
semakin besar.
4. Fixed Charge Coverage
Fixed charge Coverage merupakan rasio yang menyerupai Time Interest
Earned Ratio. Hanya saja perbedaaannya adalah rasio ini dilakukan apabila
perusahaan memperoleh utang jangka panjang atau menyewa aktiva
berdasarkan kontrak sewa (lease contract). Biaya tetap merupakan biaya
bunga ditambah kewajiban sewa tahunan atau jangka panjang.
16
Dari ke empat rasio diatas, penulis hanya akan menggunakan rasio DebtEquity
Ratio sebagai alat untuk mengukur kebijakan hutang, yaitu dengan membagi total
utang dengan total ekuitas yang mencerminkan kemampuan perusahaan dalam
menggunakan seluruh kewajibannya yang ditunjukkan oleh beberapa modal
sendiri yang digunakan untuk membayar hutang. Semakin rendah DER, semakin
tinggi kemampuannya untuk membayar seluruh kewajibannya, semakin besar
proporsi utang yang digunakan dalam struktur modal, maka semakin besar pula
kewajibannya. Alasan peneliti menggunakan proksi tersebut karena DER dalam
perkembangannya, perusahaan lebih mengutamakan kebutuhan dananya dengan
mengutamakan pemenuhan sumber dari dalam perusahaan.
Tetapi seiring kebutuhan perusahaan yang semakin banyak, perusahaan harus
menjalankan aktivitasnya dengan bantuan dana dari luar, baik berupa hutang (debt
financing) atau dengan mengeluarkan saham baru (external equity financing).
Apabila kebutuhan dana hanya dipenuhi dengan hutang saja, maka
ketergantungan dengan pihak luar akan semakin besar dan risiko finansialnya
semakin besar pula. Sebaliknya bila kebutuhan dana dipenuhi dengan saham saja,
biaya akan sangat mahal. Perbandingan hutang dan modal sendiri dalam struktur
financial perusahaan disebut struktur modal. Struktur modal dapat diukur dari
rasio perbandingan antara total hutang terhadap ekuitas yang bisa diukur melalui
rasio debt to equity ratio (DER). DER dapat menunjukkan tingkat rasio suatu
perusahaan dimana semakin tinggi rasio DER, maka perusahaan semakin tinggi
risikonya karena pendanaan dari unsure hutang lebih besar daripada modal sendiri
(equity). Artinya, jika hutang perusahaan lebih tinggi dari modal sendirinya berarti
rasio DER diatas 1, sehingga penggunaan dana yang digunakan untuk aktivitas
operasional perusahaan lebih banyak menggunakan dari unsur hutang. Dalam
kondiri DER diatas 1, perusahaan harus menanggung biaya modal yang besar.
Risiko yang ditanggung perusahaan juga meningkat apabila investasi yang
dijalankan perusahaan tidak menghasilkan tingkat pengembalian yang optimal.
Oleh karena itu, investor cenderung lebih tertarik pada tingkat DER yang
besarnya kurang dari 1 karena mengindikasikan bahwa perusahaan memiliki
17
hutang yang lebih kecil dari ekuitas yang dimilikinya. Dengan menggunakan debt
equity ratio juga memberikan gambaran mengenai struktur modal yang dimiliki
oleh perusahaan, sehingga dapat diamati tingkat risiko tak tertagihnya suatu utang
dan dapat mengetahui sejauh mana modal pemilik dapat menutupi utang-utang
kepada pihak luar (kreditor).
2.3 Kepemilikan Manajerial
Para pemegang saham yang mempunyai kedudukan di manajemen perusahaan
baik sebagai kreditur maupun sebagai dewan komisaris disebut sebagai
kepemilikan manajerial (managerial ownership). Adanya kepemilikan saham oleh
pihak manajemen akan menimbulkan suatu pengawasan terhadap kebijakan-
kebijakan yang diambil oleh manajemen perusahaan. Kepemilikan manajerial juga
dapat diartikan sebagai persentase saham yang dimiliki oleh manajer dan direktur
perusahaan pada akhir tahun untuk masing-masing periode pengamatan
(Haruman, 2008). Kepemilikan manajerial adalah persentase kepemilikan saham
oleh pihak manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan
perusahaan. Dalam agency theory hubungan antara manajer dan pemegang saham
digambarkan sebagai hubungan antara agent dan principal. Agency Conflict adalah
konflik kepentingan yang terjadi antara principal dan agent. Konflik keagenan ini
dipengaruhi oleh adanya pemilik perusahaan yang merangkap sebagai pengelola
perusahaan. Dengan adanya kepemilikan oleh pihak manajemen, maka
manajemen akan ikut serta aktif dalam pengambilan keputusan. Mereka akan
memperoleh manfaat langsung atas keputusan keputusan yang diambilnya, namun
juga akan menanggung risiko secara langsung bila keputusan itu salah. Manajer
perusahaan akan mengambil keputusan sesuai dengan kepentingan perusahaan
yaitu dengan cara mengungkapkan informasi sosial yang seluas – luasnya dalam
rangka untuk meningkatkan image perusahaan. Dengan demikian, manajemen
tidak akan bertindak secara sepihak yang akan merugikan perusahaan sehingga
akan mengurangi pengawasan dan agency cost (Edwin, 2015).
Kepemilikan manajerial akan mensejajarkan manajer dengan pemegang saham
sehingga manajer akan bertindak sesuai dengan keinginan pemegang saham.
18
Dengan adanya kepemilikan manajerial maka manajer akan lebih termotivasi
untuk meningkatkan kinerja perusahaan. Hal ini karena manajer merupakan salah
satu pemilik perusahaan dan bukan hanya sebagai pihak eksternal yang
dipekerjakan untuk memenuhi kepentingan pemilik perusahaan. Manajer
memegang peranan penting karena manajer melaksanakan perencanaan,
pengorganisasian, pengarahan pengawasan serta pengambil keputusan.
Kepemilikan manajerial adalah saham perusahaan yang dimiliki oleh manajemen
atau pengelola perusahaan tersebut. Terkadang saham perusahaan dimiliki oleh
direksi, komisaris, sekretaris perusahaan atau bahkan karyawan perusahaan
tersebut (Sukirni, 2012).
Jensen et al. (1992) dalam Subadja (2017) mengemukakan ada beberapa
alternative untuk mengurangi agency cost yaitu :
1. Dengan meningkatkan kepemilikan saham perusahaan oleh manajemen,
manajer akan merasakan langsung manfaat dari keputusan yang diambil
danjuga apabila ada kerugian yang timbul sebagai konsekuensi dari
pengambilan keputusan yang salah. Kepemilikan ini akan mensejajarkan
kepentingan manajemen dengan pemegang saham.
2. Dengan meningkatkan dividend payout ratio sehingga tidak tersedia banyak
free cash flow dan manajemen terpaksa mencari pendanaan dari luar untuk
membiayai investasinya.
3. Meningkatkan pendanaan dengan hutang yang akan menurunkan excess offree
cash flow yang ada dalam perusahaan sehingga menurunkan kemungkinan
pemborosan yang dilakukan oleh manajemen.
4. Meningkatkan kepemilikan saham oleh pihak institusional. Adanya
kepemilikan institusional seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan
investasi, dan kepemilikan institusi lain akan mendorong peningkatan
pengawasan yang lebih optimal terhadap kinerja manajemen.
19
2.3.1 Definisi Kepemilikan Manajerial
Teori Keagenan (agency theory) memunculkan argumentasi terhadap adanya
konflik Antara pemilik yaitu pemegang saham dengan para manajer. Konflik
tersebut muncul sebagai akibat perbedaan kepentingan diantara kedua belah
pihak.
1. Menurut Gideon (2005) dalam Subadja (2017) kepemilikan manajerial
adalah: Jumlah kepemlikan saham oleh pihak manajemen dari seluruh modal
saham perusahaan yang dikelola.
2. Sedangkan menurut Pithaloka (2009:20) dalam Subadja (2017) menjelaskan
bahwa: Kepemilikan manajerial menunjukan adanya peran ganda seorang
manajer, yakni manajer bertindak juga sebagai pemegang saham. Sebagai
seorang manajer sekaligus pemegang saham tidak ingin perusahaan dalam
keadaan kesulitan bahkan mengalami kebangkrutan. Keadaan ini akan
merugikan baik sebagai manajer atau sebagai pemegang saham. Sebagai
manajer akan kehilangan insentif dan sebagai pemegang saham akan
kehilangan return ataupun dana yang di investasikannya.
3. Christiawan dan Josua (2007) dalam Subadja (2017), menyatakan bahwa:
kepemilikan manajerial adalah situasi dimana memiliki saham perusahaan
ataudengan kata lain manajer tersebut sekaligus sebagai pemegang saham.
4. Menurut Wahidahwati (2002:5) dalam Subadja (2017), yang dimaksud
dengan kepemilikan manajerial adalah: Tingkat kepemilikan saham pihak
manajemen yang secara aktif ikut dalam pengembilan keputusan perusahaan,
misalkan direktur dan komisaris.
5. Menurut Sofiana (2009) dalam Subadja (2017), peran struktur kepemilikan
manajerial dapat dilihat dari dua sudut panadang, yaitu: pendekatan
keagenan (agency approach) dan pendekatan informasi asimetri atau ketidak
seimbangan informasi (asymmetric information approach). Dimana
pendekatan keagenan menganggap struktur kepemilikan manajerial sebagai
sebuah instrumen atau alat untuk mengurangi konflik keagenan diantara
berbagai klaim (claim holder) terhadap perusahaan. Oleh karena itu,
perusahaan meningkatkan kepemilikan manajerial untuk mensejajarkan
20
kedudukan manajer dengan pemegang saham sehingga bertindak sesuai
dengan keinginan pemegang saham. Dengan adanya peningkatan persentase
kepemilikan akan mensejajarkan kedudukan manajer dengan pemegang
saham maka manajer termotivasi meningkatkan kinerja dan bertanggung
jawab meningkatkan kemakmuran pemegang saham. Sedangkan menurut
pendekatan kedua, informasi asimetri menganggap setruktur kepemilikan
manajerial sebagai salah satu cara untuk mengurangi ketidak seimbangan
informasi antara insider dan outsider melalui pengungkapan informasi di
dalam pasar modal. Dengan adanya kepemilikan saham oleh pihak insider,
maka insider akanikut memperoleh manfaat langsung atas keputusan-
keputusan yang diambilnya, selain itu para manajer juga akan semakin hati-
hati dalam menentukan hutang perusahaan karena mereka akan memperoleh
manfaat langsung dari keputusan yang mereka ambil serta akan menanggung
kerugian sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan yang salah.
Sehingga kebangkrutan perusahaan bukan lagi menjadi tanggung jawab
pemilik utama.
Berdasarkan beberapa definisi di atas menunjukan bahwa kepemilikan
manajerial merupakan persentase kepemilikan saham yang dimiliki oleh
manajemen perusahaan seperti direksi dan dewan komisaris maupun setiap
pihak yang terlibat secara langsung dalam pembuatan keputusan perusahaan.
2.4 Kepemilikan Institusional
Adanya pemegang saham seperti institusional ownership memiliki arti penting
dalam memonitor manajemen. Adanya kepemilikan oleh institusional seperti
perusahaan asuransi, bank, perusahaan – perusahaan investasi dan kepemilikan
oleh institusi – institusi lain akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih
optimal. Mekanisme monitoring tersebut akan menjamin peningkatan
kemakmuran pemegang saham. Signifikasi institusional ownership sebagai agen
pengawas ditekankan melalui investasi mereka yang cukup besar dalam pasar
modal. Apabila institusional merasa tidak puas atas kinerja manajerial, maka
mereka akan menjual sahamnya ke pasar. Perubahan perilaku institusional
21
ownership dari pasif menjadi aktif dapat meningkatkan akuntabilitas manajerial
sehingga manajer akan bertindak lebih hati-hati dalam pengambilan keputusan.
Meningkatnya aktivitas institusional ownership dalam melakukan monitoring
disebabkan oleh kenyataan bahwa adanya kepemilikan saham yang signifikan
oleh institusional ownership telah meningkatkan kemampuan mereka untuk
bertindak secara kolektif. Kondisi ini akan memotivasi institusional ownership
untuk lebih serius dalam mengawasi maupun mengoreksi semua perilaku manajer
dan memperpanjang jangka waktu investasi. Mekanisme pengawasan dapat
dilakukan dengan menempatkan dewan ahli yang tidak dibiayai perusahaan
sehingga posisinya tidak berada dibawah pengawasan manajer. Dengan demikian,
dewan ahli dapat menjalankan fungsinya secara efektif untuk mengontrol semua
tindakan manajer. Pengawasan lain yang dapat dilakukan adalah dengan cara
memberikan masukan masukan sebagai bahan pertimbangan bagi manajer dalam
menjalankan usaha dan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Semakin
besar prosentase saham yang dimiliki oleh institusional ownership akan
menyebabkan pengawasan yang dilakukan menjadi lebih efektif karena dapat
mengendalikan perilaku oportunistik manajer dan mengurangi agency cost.
Kepemilikan institusional memiliki peranan yang sangat penting dalam
meminimalisasi konflik keagenan yang terjadi antara manajer dan pemegang
saham. Keberadaan investor institusional dianggap mampu menjadi mekanisme
monitoring yang efektif dalam setiap keputusan yang diambil oleh manajer. Hal
ini disebabkan investor institusional terlibat dalam pengambilan yang strategis
sehingga tidak mudah percaya terhadap tindakan manipulasi laba. Kepemilikan
institusional umumnya bertindak sebagai pihak yang memonitor perusahaan.
Perusahaan dengan kepemilikan institusional yang besar (lebih dari 5 %)
mengindikasikan kemampuannya untuk memonitor manajemen. Semakin besar
kepemilikan institusional maka semakin efisien pemanfaatan aktiva perusahaan.
Dengan demikian proporsi kepemilikan institusional bertindak sebagai
pencegahan terhadap pemborosan yang dilakukan manajemen (NoorLaila, 2011).
22
Kepemilikan suatu perusahaan dapat terdiri atas kepemilikan institusional maupun
kepemilikan individual. Atau campuran keduanya dengan proporsi tertentu.
Investor institusional memiliki beberapa kelebihan dibanding dengan investor
individual, diantaranya yaitu:
1. Investor institusional memiliki sumber daya yang lebih daripada investor
individual untuk mendapatkan informasi.
2. Investor institusional memiliki profesionalisme dalam menganalisa informasi,
sehingga dapat menguji tingkat keandalan informasi.
3. Investor institusional, secara umum, memiliki realsi bisnis yang lebih
kuatdengan manajemen.
4. Investor institusional memiliki motivasi yang kuat untuk melakukan
pengawasan lebih ketat atas aktivitas yang terjadi di dalam perusahaan.
5. Investor institusional lebih aktif dalam melakukan jual beli saham sehingga
dapat meningkatkan jumlah informasi secara cepat yang tercermin di tingkat
harga.
Tingkat kepemilikan institusional yang tinggi akan menimbulkan usaha
pengawasan yang lebih besar oleh pihak investor institusional sehingga dapat
menghalangi perilaku opportunistic manajer (Wiranta dan Nugrahanti, 2013).
Kepemilikan institusional memiliki kelebihan antara lain:
1. Memiliki profesionalisme dalam menganalisis informasi sehingga dapat
menguji keandalan informasi.
2. Memiliki motivasi yang kuat untuk melaksanakan pengawasan lebih ketat
atas aktivitas yang terjadi di dalam perusahaan.
2.5 Kebijakan Deviden
Kebijakan dividen perusahaan meliputi dua komponen dasar. Pertama, rasio
pembayaran dividen menunjukan jumlah dividen yang dibayarkan relatif
terhadap laba perusahaan dan kedua adalah stabilitas dividen sepanjang waktu.
Dalam merumuskan kebijakan dividen, manajer keuangan menghadapi
tradeoff. Dengan mengasumsikan manajemen sudah memutuskan berapa banyak
laba perusahaan yang diinvestasikan kembali dan memilih bauran utang-
23
modalnya untuk mendanai investasiini. Kebijakan deviden merupakan keputusan
pembayaran deviden yang mempertimbangkan maksimalisasi harga saham saat
ini dan periode mendatang. Dalam penentuan besar kecilnya deviden yang akan
dibayarkan pada perusahaan yang sudah merencanakan dengan menetapkan
target Dividend Payout Ratio didasarkan atas perhitungan keuntungan yang
diperoleh setelah dikurangi pajak. Untuk dapat membayar deviden dapat dibuat
suatu rencana pembayarannya (Sugiarto,2009:73).
Kebijaksanaan perusahaan untuk membagi keuntungan kepada pemegang saham
membawa arti dalam dua hal :
a. Dana yang dibagikan kepada para pemegang saham. Hal ini ditunjukan
olehpembayaran kepada para pemegang saham.
b. Dana untuk membelanjai kebutuhan perkembangan usaha. Hal ini tercermin
dalam rencana pada pos laba yang ditahan.
Oleh karena politik dividen mempengaruhi baik jangaka panjang maupun bagian
yang dibagikan kepada para pemegang saham maka dalam hal ini terdapat dua
pendekatan, yaitu:
1. Sebagai Kebijaksanaan Pembelanjaan Jangka Panjang
Dalam pendekatan ini berpandangan bahwa semua laba sesudah pajak yang
diperoleh perusahaan adalah merupakan sumber dana jangka panjang.
Pengumuman atas pembagian laba sebagai dividen berarti pengurangan
terhadap sumber dana jangka panjang yang dapat dipergunakan untuk
membelanjai kebutuhan perkembangan usaha.
2. Sebagai Kebijaksanaan untuk Memaksimumkan Nilai Perusahaan
Dalam pendekatan ini berpandangan bahwa kebijaksanaan dividen
mempunyai pengaruh yang kuat terhadap harga pasar dari saham yang
beredar.
Kebijakan dividen merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dengan
keputusan pendanaan perusahaan. Menurut (Martono dan Harjito, 2008)
kebijakan dividen (dividend policy) merupakan keputusan apakahlaba yang
24
diperoleh perusahaan pada akhir tahun akan dibagi kepada pemegang saham
dalam bentuk dividen atau akan ditahan untuk menambah modal guna
pembiayaan investasi di masa yang akan datang. Dividend payout ratio diukur
sebagai dividen yang dibayarkan dengan laba yang tersedia untuk pemegang
saham umum. Jika perusahaan memotong dividen, maka akan dianggap sebagai
sinyal buruk karena dianggap perusahaan membutuhkan dana.
Dalam Brigham dan Houston (2011) dalam Sudjaja (2017) terdapat beberapa teori
yang digunakan dalam menentukan kebijakan dividen dalam suatu perusahaan,
antara lain :
a. Teori Dividend Irrelevant
Teori ini adalah teori yang mengemukakan bahwa kebijakan dividentidak
berdampak pada harga saham ataupun biaya modal suatu perusahaan, kebijakan
dividen merupakan sesuatu yang relevan. Teori ini dikemukakan oleh Profesor
Franco Modigliani dan Merton Miller. Mereka berpendapat bahwa nilai suatu
perusahaan hanya ditentukan oleh kemampuan dasarnya untuk menghasilkan laba
dan risiko bisnisnya. Dengan kata lain, nilai perusahaan tergantung hanya pada
pendapatan yang dihasilkan oleh aktivanya, bukan pada bagaimana pendapatan
tersebut dibagi antara dividen dan laba yang ditahan. Namun perlu dicatat,
Modigliani dan Miller berasumsi bahwa tidak ada pajak yang dibayarkan atas
dividen, saham dapat dibeli dan dijual tanpa adanya biaya transaksi, dan setiap
orang baik investor maupun manajer memiliki informasi yang sama tentang laba
perusahaan di masa yang akan datang.
b. Teori Bird In The Hand
Teori ini dikemukakan oleh Myron Gordon dan John Lintner, dimana dijelaskan
bahwa investor menyukai dividen yang tinggi saat inikarena dividen yang
diterima seperti burung di tangan yang risikonya lebih kecil dibandingkan
keuntungan modal yang tidak pasti (masih mungkin berfluktuasi) di masa depan.
Mereka berpendapat bahwa peningkatan pembayaran dividen akan menyebabkan
investor cenderung membeli saham-saham perusahaan yang membagikan dividen.
Semakin tinggi minat investor terhadap saham tersebut maka harga saham
25
perusahaan juga akan meningkat, hal ini selanjutnya akan berdampak terhadap
nilai perusahaan.
c. Tax Differential Theory
Teori ini menyatakan bahwa karena adanya pajak maka pendapatan yang relevan
adalah pendapatan setelah pajak. Adanya pajak terhadap keuntungan (dividen
dancapital gains) membuat investor lebih menyukai capital gain karena:
1. Pajak atas dividen harus dibayarkan pada tahun yang sama saat dividen
tersebut diterima, sementara pajak atas keuntungan modal (capital gains) tidak
dibayarkan sampai saham dijual. Akibat adanya pengaruh nilai waktu, uang
yang dibayarkan di masa depanakan memiliki biaya efektif yang lebih rendah
dibandingkan dengan uang yang dibayarkan sekarang.
2. Jika saham dimiliki oleh seseorang sampai ia meninggal, maka tidak akan ada
pajak keuntungan modal (capital gains) sama sekali, ahli waris yang
menerima saham tersebut dapat menggunakan nilai saham pada hari kematian
sebagai dasar harga perolehannya, yang memungkinkan mereka dapat
sepenuhnya terbebas dari pajak atas keuntungan modal.
d. Signalling Hypothesis Theory
Profesor Franco Modigliani dan Merton Miller berpendapat bahwa kenaikan
dividen di atas jumlah yang diharapkan merupakan suatu sinyal (signal) bagi
investor bahwa manajemen perusahaan meramalkan laba yang baik di masa
depan. Sebaliknya, penurunan dividen atau kenaikan dalam jumlah lebih kecil dari
yang diharapkan merupakan suatu sinyal bahwa manajemen meramalkan laba
masa depan yang buruk. Para manajer sering kali memiliki informasi yang lebih
baik mengenai prospek dividen di masa depan dibandingkan dengan pemegang
saham, sehingga pengumuman dividen memberikan muatan sinyal mengenai laba
di masa yang akan datang.
e. Clientele Effect Theory
Perusahaan memiliki klien yang berbeda – beda dan setiap klien memiliki
preferensi yang berlainan. Pemegang saham yang membutuhkan pendapatan saat
26
ini akan berada dalam posisi tidak menyenangkan apabila perusahaan lebih
memilih untuk menahan dan menginvestasikan kembali laba daripada membayar
dividen. Sebaliknya, pemegang saham yang lebih suka berhemat daripada
membelanjakan dividen akan lebih menyukai dividen yang rendah, karena makin
kecil dividen yang dibayarkan makin kecil pula jumlah pajak yang harus
dibayarkan oleh pemegang saham. Perusahaan sebaiknya menstabilkan kebijakan
dividen untuk menghindari gangguan pada kliennya. Perusahaan memiliki
kecenderungan untuk menarik sekumpulan investor yang menyukai kebijakan
dividennya.
f. Residual Dividend Model
Perusahaan akan mengikuti empat langkah berikut ketika menentukan sasaran
rasio pembayarannya, pertama perusahaan akan terlebih dahulu menentukan
anggaran modal optimal, kemudian menentukan jumlah ekuitas yang dibutuhkan
untuk mendanai anggaran tersebut, setelah itu perusahaan menggunakan laba
ditahan untuk sejauh mungkin memenuhi persyaratan ekuitas, dan yang terakhir
perusahaan membayarkan dividen hanya jika tersedia laba dalam jumlah yang
lebih besar daripada kebutuhan untuk mendukung anggaran modal optimal.
2.6 Profitabilitas
Profitabilitas merupakan tingkat keuntungan bersih yang mampu diraih oleh
perusahaan pada saat menjalankan operasionalnya. Profitabilitas dapat
mencerminkan bagaimana prospek perusahaan di masa yang akan datang,
sehingga dapat memengaruhi kebijakan para investor terhadap investasi yang
dilakukan di perusahaan tersebut. Perusahaan yang tingkat profitabilitasnya relatif
tinggi akan dapat menarik perhatian investor untuk menanamkan dananya di
perusahaan. Sedangkan apabila tingkat profitabilitas perusahaan tersebut menurun
akan memungkinkan para investor menarik dana yang telah diinvestasikan. Oleh
karena itu, perusahaan selalu berusaha untuk meningkatkan profitabilitasnya
untuk menjamin keberlangsungan hidup perusahaan di masa yang akan datang.
Profitabilitas adalah untuk mengukur pendapatan menurut laporan laba rugi
dengan nilai buku investasi. Rasio profitabilitas kemudian dapat dibandingkan
27
dengan rasio yang sama dengan rasio korporasi lainnya pada tahun – tahun
sebelumnya atau sering disebut sebagai rasio rata-rata industri (Tampubolon,
2006:39). Profitabilitas juga merupakan rasio untuk menilai kemampuan
perusahaan dalam mencari keuntungan dan juga memberikan ukuran tingkat
efektifitas manajemen suatu perusahaan. Hal ini ditunjukkan oleh laba yang
dihasilkan dari penjualan dan pendapatan investasi, intinya adalah bahwa rasio ini
menunjukkan efisiensi perusahaan (Kasmir, 2010:115).
Untuk mengukur tingkat profitabilitas perusahaan, dapat dilakukan dengan
menggunakan rasio profitabilitas. Rasio ini memberikan gambaran mengenai
perubahan-perubahan finansial perusahaan dari tahun ke tahun. Rasio
profitabilitas dapat juga digunakan sebagai bahan analisis bagi penentuan
kebijakan periode selanjutnya, karena setiap perubahan yang terjadi akan
berpengaruh terhadap pertimbangan pihak yang berkepentingan dalam mengambil
keputusan. Dalam penelitian ini rasio profitabilitas yang digunakan adalah Return
On Investment (ROI).
2.6.1 Definisi Profitabilitas
Berikut beberapa definisi mengenai profitabilitas;
Profitabilitas merupakan kemampuan perusahaan untuk menciptakan laba dengan
menggunakan modal yang cukup tersedia. Profitabilitas suatu perusahaan akan
berpengaruh terhadap kebijakan perusahaan dalam menentukan pendanaannya.
a. Menurut Kasmir (2015: 196) dalam Sudjaja (2017) profitabilitas adalah:
“Rasio yang digunakan untuk menilai kemampuan perusahaan dalam mencari
keuntungan. Rasio ini juga memberikan ukuran tingkat efektivitas manajemen
suatu perusahaan. Hal ini ditunjukkan oleh laba yang dihasilkan dari penjualan
dan pendapatan investasi. Penggunaan rasio profitabilitas dapat dilakukan
dengan menggunakan perbandingan antara berbagai komponen yang ada di
laporan keuangan, terutama laporan keuangan neraca dan laporan laba rugi”.
b. Menurut Hery (2016: 152) dalam Sudjaja (2017) rasio profitabilitas adalah:
“Rasio yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan dalam
menghasilkan laba dariaktivitas normal bisnisnya. Rasio profitabilitas dapat
28
diukur dengan membandingkan antara berbagai komponen yang ada di dalam
laba rugi dan neraca”.
c. Menurut Agus Sartono (2012: 122) dalam Sudjaja (2017) profitabilitas adalah:
“Kemampuan perusahaan memperoleh laba dalam hubungannya dengan
penjualan, total aktiva maupun modal sendiri. Dengan demikian bagi investor
jangka panjang akan sangat berkepentingan dengan analisis profitabilitas ini,
misalnya bagi pemegang saham akan melihat keuntungan yang benar-benar
akan diterima dalam bentuk dividen”.
d. Menurut Reeve, et al yang dialih bahasakan oleh Damayanti Dian (2012: 331)
dalam Sudjaja (2017) rasio profitabilitas adalah: “Kemampuan perusahaan
untuk menghasilkan laba”. Kemampuan dalam menghasilkan laba tergantung
pada efektivitas dan efisiensi dari kegiatan operasinya dan sumber daya yang
tersedia. Dengan demikian, analisis profitabilitas menitik beratkan terutama
pada hubungan antara hasil kegiatan operasi seperti yang dilaporkan di
laporan laba rugi dengan sumber daya yang tersedia bagi perusahaan seperti
yang dilaporkan dalam neraca.
e. Menurut Mamduh M. Hanafi dan Abdul Halim (2012: 81) dalam Sudjaja
(2017) profitabilitas adalah: “Kemampuan perusahaan menghasilkan
keuntungan (profitabilitas) pada tingkat penjualan, asset, dan modal saham
yang tertentu.”
f. Menurut Brigham dan Houston yang dialih bahasakan oleh Ali Akbar
Yulianto (2011: 146) dalam Sudjaja (2017) profitabilitas adalah “Sekelompok
rasio yang menunjukkan kombinasi dan pengaruh likuiditas, manajemen aset
dan utang pada hasil operasi”. Berdasarkan beberapa definisi di atas makas
dapat disimpulkan bahwa profitabilitas merupakan kemampuan perusahaan
dalam mengahasilkan laba dengan aktiva dan modal yang dimilikinya.
2.7 Penelitian Terdahulu
Berikut adalah penelitian terdahulu yang digunakan penulis sebagai bahan
referensi dalam melakukan penelitian ini :
29
Tabel 2.1 Ringkasan Penelitian Terdahulu
No Nama
Peneliti
Judul Penelitian Metode Hasil Penelitian
1 Narita,
Mersi
Rona
(2012)
“Pengaruh Ukuran
Perusahaan,
Likuiditas,
Kepemilikan
Institusional,
Profitabilitas dan
Free Cash Flow
Terhadap
Kebijakan Hutang”
Analisis
regresi
linier
berganda
dengan data
kuantitatif
- Ukuran perusahaantidak
berpengaruh terhadap
kebijakan hutang.
- Likuiditas berpengaruh
signifikan terhadap
kebijakanhutang.
- Kepemilikan institusional
tidakberpengaruh terhadap
kebijakan hutang.
- Profitabilitasberpengaruh
signifikan terhadap
kebijakanhutang.
- Free cash flow tidak
berpengrauh terhadap
kebijakan hutang.
2 Damayanti
dan
Hartini
(2013)
“Pengaruh
Profitabilitas,
Likuiditas,
Pertumbuhan
Penjualan dan
Ukuran Perusahaan
Terhadap
Kebijakan Hutang
pada Perusahaan
Sektor Consumer
Goods di BEI
Periode 2008-
2012”
Analisis
regresi
linier
berganda
dengan data
kuantitatif
- Profitabilitas berpengaruh
negative dan signifikan
terhadap kebijakan hutang.
- Likuiditas berpengaruh
negatif terhadap kebijakan
hutang dan signifikan
terhadap kebijakan hutang.
- Pertumbuhan penjualan tidak
berpengaruh terhadap
kebijakan hutang.
- Ukuran perusahaan tidak
berpengaruh terhadap
kebijakan hutang.
30
No Nama
Peneliti
Judul Penelitian Metode Hasil Penelitian
3 Ida
Maftukhah
(2013)
“Analisis Faktor-
Faktor Yang
Mempengaruhi
Kebijakan Hutang
Perusahaan.”
Analisis
regresi
linier
berganda
dengan data
kuantitatif
- Kepemilikan manajerial dan
profitabilitas berpengaruh
negative signifikan.
- Kepemilikan institusional,
pertumbuhan aset, dan DPR
berpengaruh positif
signifikan.
- Pertumbuhan penjualan, fixed
asset ratio, dancorporate tax
rate berpengaruh positif tidak
signifikan.
4 Zulfia
Andina
dan A
Mulyo
Haryanto
(2013)
“Analisis Pengaruh
Profitabilitas,
Likuiditas,
Pertumbuhan
Penjualan,
Pertumbuhan
Perusahaan,
Ukuran Perusahaan
Terhadap
Kebijakan Hutang”
Analisis
regresi
linier
berganda
dengan data
kuantitatif
- Profitabilitas dan likuiditas
berpengaruh negative
signifikan.
- Pertumbuhan
penjualanberpengaruh
negative tidak signifikan.
- Pertumbuhan perusahaan
berpengaruh positif tidak
signifikan.
- Ukuran perusahaan
berpengaruh positif
signifikan.
5 Fransiska,
Yuli;
Endang, S
dan
Purwanto,
Nanang
“Pengaruh
Kepemilikan
Institusional,
Kepemilikan
Manajerial, dan
Kebijakan Dividen
Analisis
regresi
linier
berganda
dengan data
- Kepemilikan Institusional
berpengaruh positif dan
signifikan.
- Kepemilikan Manajerial
terhadap Kebijakan Hutang
berpengaruh positif dan tidak
31
No Nama
Peneliti
Judul Penelitian Metode Hasil Penelitian
(2014) terhadap Kebijakan
Hutang Pada
Perusahaan
Manufaktur yang
Terdaftar Di Bursa
Efek Indonesia
Tahun 2012-2014”
kuantitatif signifikan.
- Kebijakan Dividen terhadap
Kebijakan hutang
berpengaruh positif dan
signifikan.
6 Maretta,R
evi;
Sudjana,
Nengah
dan Saifi,
Muhamad
(2015)
“Pengaruh
Kepemilikan
Manajerial,
Kebijakan
Dividen,dan
Profitabilitas
terhadapKebijakan
Utang Perusahaan”
Analisis
regresi
linier
berganda
dengan data
kuantitatif
- Kepemilikan saham
manajerial berpengaruh
negative dan signifikan
terhadap kebijakan hutang.
- Kebijakan dividen
berpengaruh netagif
signifikan terhadap
kebijakan hutang.
- Profitabilitas berpengaruh
negative dan signifikan
terhadap kebijakan hutang.
2.8 Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran adalah jaringan asosiasi yang disusun, dijelaskan dan
dikolaborasi secara logis antar variabel yang dianggap relevan pada situasi
masalah dan diidentifikasi (Sekaran, 2006 dalam Sefiana 2014).
Populasi yang digunakan adalah perusahaan yang terdapat pada BEI tahun 2012-
2015, variabel dependen (Y) adalah kebijakan hutang dan variabel independen
(X1) adalah kepemilikan institutional, (X2) adalah kepemilikan manejerial, (X3)
32
adalah kebijakan deviden, (X4) adalah profitabilitas. Berikut adalah kerangka
pemikiran dalam penelitian ini:
Gambar 2.1
Kerangka Pemikiran
berdasarkan
2.9 Bangunan Hipotesis
2.9.1 Pengaruh Kepemilikan Institusional terhadap Kebijakan Hutang
Kepemilikan institusional adalah kepemilikan saham perusahaan yang dimiliki
oleh institusi atau lembaga seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan
investasi, dan kepemilikan institusi lain (Tarjo, 2008). Semakin besar kepemilikan
oleh institusional maka akan semakin besar kekuatan suara dalam upaya
peningkatan nilai perusahaan dan kemakmuran pemegang saham. Adanya
kepemilikan oleh institusional seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan-
perusahaan investasi dan kepemilikan oleh institusi – institusi lain akan
mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal. Mekanisme monitoring
tersebut akan menjamin peningkatan kemakmuran pemegang saham. Signifikasi
institusional ownership sebagai agen pengawas ditekankan melalui investasi
mereka yang cukup besar dalam pasar modal. Apabila institusional merasa tidak
puas atas kinerja manajerial, maka mereka akan menjual sahamnya ke pasar.
Perubahan perilaku institusional ownership dari pasif menjadi aktif dapat
meningkatkan akuntabilitas manajerial sehingga manajer akan bertindak lebih
Kepemilikan Institusional
(X1)
Kepemilikan Manajerial
(X2)
Kebijkan Deviden
(X3)
Profitabilitas
(X4)
Kebijakan
Hutang
(Y)
33
hati-hati dalam pengambilan keputusan. Wewenang yang dimiliki oleh
institusional lebih besar dibanding kelompok lain, sehingga mereka cenderung
menginginkan proyek yang besar, berisiko, dan menghasilkan laba yang tinggi.
Upaya pembiayaan proyek yang berisiko tersebut seringkali dibiayai dengan
sumber dana eksternal yaitu hutang. Tingkat kepemilikan institusional yang tinggi
akan menimbulkan usaha pengawasan yang lebih besar oleh pihak investor
institusional sehingga dapat menghalangi perilaku opportunistic manajer (Wiranta
dan Nugrahanti, 2013). Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis.
H1 = Kepemilikan Institusionalberpengaruh terhadap Kebijakan Hutang
2.9.2 Pengaruh Kepemilikan Manajerial terhadap Kebijakan Hutang
Kepemilikan Manajerial (managerial ownership/insider) didefinisikan sebagai
pemegang saham yang mempunyai kedudukan di manajemen perusahaan baik
sebagai manajer maupun sebagai pemegang saham. Kepentingan antara pemegang
saham dan manajer seringkali bertentangan, sehingga memunculkan konflik
keagenan atau disebut agency conflict. Semakin besar proporsi kepemilikan
manajemen pada perusahaan, maka manajer cenderung lebih berhati-hati dalam
bertindak untuk kepentingan pemegang saham yang tidak lain adalah dirinya
sendiri. Manajer cenderung berhati-hati dalam penggunaan hutang sebab mereka
juga akan menanggung risiko atas hutang tersebut kinerjanya. Manajer tak
menginginkan perusahaan mengalami kesulitan keuangan (financial distress).
Kesulitan keuangan (financial distress) itu tak hanya akan berdampak pada
perusahaan tetapi pada pemegang saham yang tak lain adalah dirinya sendiri,
sehingga mereka akan berusaha mengurangi tingkat debt serendah mungkin.
Berdasarkan uraian di atas maka hipotesis penelitian ini dirumuskan sebagai
berikut :
Revi Maretta,Sudjana, Saifi (2015)membuktikan bahwa kepemilikan manajerial
berpengaruh negatif terhadap kebijakan hutang.
H2=Kepemilikan Manajerial berpengaruh terhadap Kebijakan Hutang
34
2.9.3 Pengaruh Kebijakan Deviden terhadap Kebijakan Hutang
Dividen merupakan keuntungan perusahaan yang dibagikan kepada para
pemegang saham sesuai dengan jumlah lembar saham yang dimiliki. Pecking
Order Theory menyatakan bahwa dalam mengambil keputusan pendanaan,
pertama kali perusahaan akan memanfaatkan laba ditahan, kemudian apabila tidak
mencukupi maka barulah akan digunakan pendanaan dengan utang. Ketika
sebagian besar keuntungan perusahaan dibagikan kepada pemegang saham
sebagai dividen, maka dana yang tersedia untuk pendanaan perusahaan dalam
bentuk laba ditahan akan semakin kecil, sehingga untuk memenuhi kebutuhan
dana perusahaan, manajer lebih cenderung menggunakan utang yang relatif besar.
Oleh karena itu, semakin besar dividen yang dibayarkan pada para pemegang
saham maka semakin besar pula penggunaan utang dalam perusahaan. Yuli
Fransiska (2014) membuktikan bahwa Kebijakan Deviden berpengaruh positif
terhadap Kebijakan Hutang.
H3=Kebijakan Deviden berpengaruh terhadap Kebijakan Hutang
2.9.4 Pengaruh Profitabilitas terhadap Kebijakan Hutang
Brigham dan Houston (2013) menyatakan bahwa profitabilitas adalah hasil bersih
dari serangkaian kebijakan dan keputusan. Rasio profitabilitas merupakan
perbandingan antara laba perusahaan dengan investasi atau ekuitas yang
digunakan untuk memperoleh laba tersebut. Perusahaan dengan profitabilitas yang
tinggi cenderung menggunakan hutang yang relatif kecil. Karena mereka
membiayai operasional perusahaan dengan laba ditahan. perusahaan dengan
tingkat profitabilitas yang tinggi cenderung memiliki kemampuan yang baik pula
dalam membayarkan dividen, sehingga akan tercipta sinyal positif bagi
perusahaan. Manajemen memiliki kekuatan dalam pengelolaan dana perusahaan
tanpa harus mempertimbangkan sumber dana eksternal, karena perusahaan
memiliki banyak free cash flow untuk membiayai proyek perusahaan.
Profitabilitas berhubungan negatif dengan tingkat hutang. Semakin tinggi
profitabilitas perusahaan, maka akan semakin rendah tingkat hutang perusahaan.
Top Related