UNIVERSITAS INDONESIAFAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASIPROGRAM SARJANA REGULER
TUGAS UJIAN AKHIR SEMESTER HUBUNGAN INDUSTRIAL
ANALISIS MANAJEMEN RISIKO PT OLYMPIC DALAM MENGHADAPI
KENAIKAN UPAH MINIMUM KOTA BOGOR TAHUN 2012
Galih Satrio Aji1106058616
Program Studi Administrasi Negara
Pernyataan Orisinalitas
Dengan ini saya menyatakan bahwa, paper iniadalah hasil pemikiran/kerja saya sendiri dan
bukan karya orang lain.Semua ide/pemikiran dan atau pendapat orang
(atau pihak) lain yang saya pergunakan dan atausaya kutip dalam paper ini telah saya tuliskan
sumbernya secara jelas dan benar adanya.
Depok, Kamis 12 Juni 2014Yang menyatakan,
Depok
Juni 2014DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL iDAFTAR ISI
ii1. PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang Masalah1
1.2 Pokok Permasalahan3
1.3 Tujuan Penulisan3
2. KERANGKA TEORI 42.1 Hubungan Industrial
42.2 Manajemen Risiko
42.3 Dimensi Risiko 5
3. PEMBAHASAN 64. PENUTUP 13
4.1 Kesimpulan 134.2 Saran 13
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pembangunan ekonomi kini menjadi prioritas oleh Negara-
Negara di dunia baik Negara maju atau berkembang. Hal ini
memiliki implikasi terhadap situasi sosial dan politik yang
berkembang di Negara tersebut. Implikasi yang selalu menjadi
fokus perhatian studi ilmu sosial salah satunya adalah relasi
antara Negara dengan beragam kelas sosial yang ada di
masyarakat. Salah satu cara membangun ekonomi negara adalah
adanya industrialisasi. Strategi pembangunan ekonomi Negara
seperti industrialisasi memiliki pengaruh yang cukup besar
dalam membentuk pola relasi antara Negara dan kelas sosial di
masyarakat Negara tersebut.
Pada masa perekonomian dengan basis industri seperti saat
ini, hubungan antara empat elemen yakni pemerintah, pengusaha,
pekerja dan juga masarakat haruslah terjalin dengan baik.
Pengaruh yang diberikan oleh elemen satu dengan yang lainnya
akan sama besar dengan dampak yang dihasilkan, sehingga dalam
prosesnya keempat elemen ini tidak dapat dipisahkan satu sama
lain.
Pada praktiknya pemerintah menjadi faktor yang sangat
penting sebagai penggerak perkonomian berbasis industri.
Karena setiap kebijakan yang dibuat oleh pemerintah akan
mempegaruhi ketiga elemen lainnya dan hal tersebut bukanlah
hal yang dapat dihindari. Interaksi satu dengan yang lainnya
pada pola hubungan ini maka dikenal dengan hubungan
industrial. Di Indonesia, hubungan industrial terutama
interaksi yang terjalin antara pengusaha dengan pekerjanya
diatur dalam Undang Undang No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketengakerjaan. Jika membahas mengenai UU Ketenagakerjaan
berarti akan berbicara pula setidaknya dua kepentingan, yaitu
kepentingan pekerja dan pengusaha. Karena dua kepentingan ini
yang kerap berlawanan satu dengan yang lainnya dan bahkan
cenderung menegasikan. Pekerja menuntut kesejahteraan
setinggi-tingginya sedangkan pengusaha ingin memperoleh untung
sebesar-besarnya. Ini pula yang mengakibatkan penyusunan
maupun perubahan UU Ketenagakerjaan menjadi berlarut-larut.
Adanya gap antara harapan kedua belah pihak ini ( pengusaha
dan pekerja) tentu membuat munculnya risiko pada pola hubungan
industrial yang ada pada perusahaan. Dan jika hal in dibiarkan
terus berlarut akan mempengaruhi performa pekerja dan nantinya
akan berimplikasi pada tidak tercapainya target yang sudah
ditetapkan oleh perusahaan. Gap antara pengusaha dan pekerja
ini tidak hanya didorong oleh kondisi internal dalam
perusahaan dimana pengusaha dan juga pekerja tersebut berada
melainkan juga dapat dipengaruhi kondisi eksternal yang dalam
hal ini adalah masyarakat dan juga pemerintah. Dan hal in
didukung dengan teori dari Storey (2007) mengemukakan bahwa
dalam pola hubungan yang berkaitan dengan sumber daya manusia
bukanlah sesuatu yang tetap, ini diasah dan dibentuk oleh
pengaruh global, nasional dan lokal yang membuatnya terus
berubah. Maka solusi dari berbagai masalah sangat bergantung
pada waktu. Dan gejala ini dapat berlipat ganda serta berada
dalam dimensi legal (hukum), sosial dan juga budaya. Untuk
meminimalisasi dampak dari adanya gap antara pengusaha dan
juga pekerja, serta ketidakpastian terhadap kondisi eksternal
yang dapat berubah kapanpun maka dibutuhkan adanya manajemen
risiko.
Pada penghujung tahun 2012, Kota Bogor mengalami kenaikan
upah minimum kota (UMK) sebesar 70% dari yang sebelumnya Rp
1.174.000 menjadi Rp 2.002.000 sesuai dengan keputusan
Gubernur Jawa Barat (kompas.com, 2012). Kebijakan kenaikan UMK
ini tentu akan sangat berpengaruh terhadap besarnya biaya
operasional yang dikeluarkan oleh perusahaan untuk menggaji
pegawainya. Besarnya biaya operasional akan berpegaruh pada
kemampuan perusahaan dalam menggaji para pegawainya. Saat
perusahaan memutuskan untuk mengikuti kenaikan UMK yang telah
ditetapkan oleh Pemerintah sementara kemampuan finansial
perusahaan belum mampu mengimbangi pengeluaran akibat kenakan
UMK, maka akan sangat dimungkinkan jika perusahaan melakukan
pemutusan hubungan kerja. Selain itu kenaikan UMK dapat
mempengaruhi pengeluaran lainnya seperti harga produk, harga
sewa properti dan juga biaya lainnya (detik.com, 2013). Salah
satu perusahaan yang terkena dampak dari kenaikan UMK Bogor
adalah PT Olympic. PT Olympic memiliki lokasi usaha di wilayah
Kota Bogor, yang secara otomatis, naiknya UMK Kota Bogor akan
berpengaruh langsung dengan upah minimum yang diteria oleh
pegawai di PT Olympic. PT Olympic merupakan perusahaan padat
karya dimana perusahaan tersebut mempekerjakan lebih dari 1500
karyawan (kompas.com, 2012). Dampak dari kenaikan UMK Kota
Bogor pada PT Olympic antara lain; tidak adanya perpanjangan
kontrak bagi sekitar 230 karyawan kontrak yang berakhir
Desember 2012. Selain itu, shif kerja dikurangi dan beberapa
tunjangan karyawan, seperti uang makan dan transportasi,
dihentikan sementara hingga perusahaan kembali stabil. Dampak
seperti ini tentu dapat dikurangi jika terdapat manajemen
risiko yang baik, baik dari sisi internal perusahaan maupun
eksternal perusahaan.
1.2 Pokok Permasalahan
- Apa dampak dari kenaikan UMK Bogor terhadap PT Olympic?
- Bagaimana upaya PT Olympic dalam mengurangi dampak dari
kenaikan UMK Bogor sebagai salah satu risiko yang
dihadapi?
1.3 Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui sejauh apa manajemen risiko yang dilakukan
oleh PT Olympic sebagai upaya dalam mengurangi dampak
terhadap kenaikan UMK Bogor tahun 2013.
BAB 2
KERANGKA TEORI
2.1 Hubungan Industrial
Pengertian hubungan industrial menurut Husni (2004),
hubungan industrial meliputi fenomena baik di dalam maupun di
luar tempat kerja yang berkaitan dengan penempatan dan
pengaturan hubungan kerja. Biasanya setiap negara memiliki
sistem hubungan industrial yang berbeda-beda bergantung pada
nilai yang dianutnya. Oleh karena itu, sulit untuk membuat
satu deinisi hubungan industrial yang universal dan
menggambarkan sistem yang ada di dunia secara keseluruhan
(Husni, 2004). Pada hubungan industrial terdapat tiga elemen
yang terkait yakni pemerintah, manajemen perusahaan, dan
pekerja. Ketiga elemen tersebut tidak dapat dipisahkan antara
satu dengan yang lainnya sehingga akan sangat banyak hal yang
saling mempengaruhi dalam pembuatan kebijakan dan juga
bermacam kegiatan. mengubah, dan menginterpretasi isi aturan
substantif.
2.2 Manajemen Risiko
Manajemen risiko merupakan identifikasi terhadap risiko
spesifik pada sebuah organisasi dan juga untuk memilih jalan
yang tepat untuk menanggapi persoalan tersebut. Manajemen
risiko adalah proses formal yang dapat mengidentifikasi,
menafsirkan, perencanaan dan mengontrol risiko (Merna, 2008).
Mengapa manajemen risiko menjadi penting? Karena manajemen
risiko setidaknya dapat menafsirkan efektifitas dari
identifikasi dan juga evaluasi dari risiko yang dambil serta
mengontrol ujuan utama dari organisasi. Dalam buku Coporate
Risk Management (2008) terdapat 3 manfaat dari adanya
manajemen risiko yakni:
- Mengidentifikasi dari kunci dari risiko bisnis yang
dijalankan dalam satu waktu tertentu,
- Pertimbangan dari kemungkinan risiko kristalisasi dan
juga signifikansi dari konsekuensi dampak keuangan
terhadap bisnis yang dijalankan,
- Membentuk prioritas untuk alokasi sumber daya yang
tersedia untuk mengontrol dan uga mengatur serta
komunikasi tujuan dari kontrol tersebut.
Tujuan utama dari manajemen risiko terdapat 3 tingkatan.
Manajemen risiko harus dapat mengidentifikasi risiko,
melakukan analisis risiko khusus pada tujuan perusahaan dan
menanggapi risiko dengan cara yang tepat dan efektif.
Menurut Smith dalam Merna (2008), proses manajemen risiko
meliputi:
- identifikasi risiko,
- analisis dari implikasi,
- respon untuk meminimalkan risiko,
- alokasi kontingensi yang tepat.
Manajemen risiko adalah proses yang berulang terus menerus
bukan sekadar proses linear, dan hal ini dapat diartikan
sebagai keberangsungan proyek, identifikasi siklus, analisis,
kontrol dan pelaporan risiko harus terus dilakukan.
2.3 Dimensi Risiko
Definisi umum dari risiko adalah kemungkinan sesuatu yang
tidak diinginkan terjadi dalam waktu tertentu, secara
konseptual sederhana namun sulit untuk berlaku. Hal ini tidak
memberikan petunjuk untuk konteks keseluruhan dan bagaimana
risiko mungkin dirasakan. Kebanyakan orang berpikir risiko
dalam tiga komponen: sesuatu yang buruk terjadi, kemungkinan
hal itu terjadi, dan konsekuensi jika itu tidak terjadi
(Merna, 2008). Kaplan dan Gerrick (dalam Merna, 2008)
mengusulkan triplet untuk merekam risiko yang mencakup
seperangkat skenario atau kejadian serupa (sesuatu yang buruk
terjadi), probabilitas kejadian tersebut berlangsung
(kemungkinan sesuatu yang buruk terjadi), dan langkah-langkah
konsekuensi yang terkait dengan kejadian tersebut. Dalam
beberapa hal, struktur ini menimbulkan pertanyaan dari
definisi karena masih diserahkan kepada penilai risiko untuk
menentukan apa yang 'buruk' sebenarnya berarti, apa skenario
atau kejadian yang yang dapat menyebabkan sesuatu yang buruk,
dan bagaimana mengukur tingkat keparahan hasil. Langkah-
langkah yang terlibat dalam mendefinisikan dan mengukur risiko
meliputi:
1. Mendefinisikan 'hal buruk' dengan mengidentifikasi tujuan
dari suatu organisasi dan sumber daya yang terancam,
2. Mengidentifikasi skenario yang terjadi dapat mengancam
sumber daya,
3. Mengukur tingkat keparahan atau besarnya dampak.
BAB 3
PEMBAHASAN
Kenaikan upah pokok pegawai memiliki pengaruh yang besar
terhadap kondisi keuangan perusahaan. Disaat upah pokok naik
maka berbagai macam tunjanagan lainnya- pun akan ikut naik
karena penghitungan tunjangan ini, perhitungannya didasarkan
pada upah pokok pegawai. Sementara biaya yang harus
dikeluarkan terus naik sementara jumlah produksi relatif tetap
maka perusahaan tentu akan mengalami kesulitan finansial,
terutama dalam usaha memperoleh profit sebesar- besarnya.
Semakin besar biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan maka hal
tersebut akan semakin memperbesar risiko perusahaan mengalami
kebangkrutan. Jika nantinya upah tenaga kerja sudah menyentuh
titik harga jual produk, maka perlahan kebangkrutan akan
menghampiri. Kenaikan harga yang melonjak akan melumpuhkan
daya beli meski upah dinaikkan.
Dalam hubungan industrial, terutama di Indonesia,
nampaknya kenaikan upah buruh seakan menjadi keharusan dan
rutinitas yang dijalankan setiap tahun. Di Jakarta pada tahun
2013, upah minimum provinsi (UMP) naik sebesar 44% menjadi Rp
2.200.000 (detik.com, 2012). Lalu pada akhir tahun 2012
kenaikan UMK Bogor sebesar 70% dari yang sebelumnya Rp
1.174.000 menjadi Rp 2.002.000 hal ini dilakukan untuk
mengejar upah minimum Kota Bogor agar setidaknya setara dengan
upah minimum di Jakarta. Kenaikan UMK Bogor ini dirasa cukup
mencekik anggaran yang dimiiki oleh perusahaan yang terdapat
di Kota Bogor, terlebih lagi bagi perusahaan yang padat karya.
Padahal sebelumnya dewan pengupahan kota (DPK) dengan para
pengusaha telah menyepakati bahwa kenaikan UMK Bogor hanya
sampai batas Rp 1.669.000. Keputusan Gubernur Jawa Barat untuk
menaikan UMK Bogor menjadi Rp 2.002.000 menjadi masalah baru
bagi perusahaan karena nominal tersebut bukanlah nominal yang
disepakati bersama antara pengusaha dan juga pemerintah dan
pengambilan keputusan tersebut tidak berkonsultasi dahulu
dengan para pengusaha.
Posisi pemerintah disini adalah sebagai pihak eksternal
yang memang menjadi sebuah risiko bagi perusahaan yang berada
dalam wilayah kekuasaan pemerintahan terkait. Pada kasus ini
terdapat miskomunikasi dan koordinasi yang tidak baik antara
pemerintah dan pengusaha sehingga kejadian semacam ini menjadi
risiko yang tidak dapat diduga oleh perusahaan. Ini menjadi
koreksi tersendiri bagi pihak pihak yang terkait mengapa bisa
terjadi hal demikian padahal pihak- pihak yang berkoordinasi
merupakan “orang orang lama” dalam bidang ini. Terlebih lagi
ini merupakan hal yang rutin terjadi setiap tahun dan dampak
dari kebijakan ini tidaklah kecil, baik perusahaan besar
maupun kecil merasakan kesulitan yang sama menghadapi
keputusan ini.
PT Olympic menjadi salah satu perusahaan yang terkena
dampak paling besar saat UMK Bogor naik hiingga 70% pada
penghujung tahun 2012 lalu. PT Olympic merupakan perusahaan
padat karya yang bergerak di bidang furniture dengan lebih dari
1500 orang pegawai. Dapat dibayangkan bagaimana dampak
kenaikan UMK sebesar 70% pada kondisi keuangan PT Olympic? PT
olympic bersama beberapa perusahaan lainnya di Kota Bogor
merupakan perusahaan yang mengajukan penangguhan kenaikan UMK
Bogor sebesar 70%. Bukan hanya perusahaan besar seperti PT
Olympic saja yang khawatir, melainkan juga peusahaan
perusahaan kecil. Kenaikan ini tentu akkan membuat banyak
usaha di Kota Bogor gulung tikar jika mengikuti ketetapan
kenaikan UMK, mengingat perrsaingan usaha yang kini semakin
berat dan usaha yang dijalankan menjadi minim profit.
Dampak dari kenaikan UMK Bogor cukup besar terhadap
berbagai perusahaan di wilayah Kota Bogor termasuk Olympic.
Pada PT Olympic, kenaikan UMK membuat biaya untuk upah naik Rp
18 miliar setahun (detik.com, 2012). Dan untuk menghadapi hal
ini PT Olympic melakukan tidak adanya perpanjangan kontrak
bagi sekitar 230 karyawan kontrak yang berakhir Desember 2012.
Selain itu, shift kerja dikurangi dan beberapa tunjangan
karyawan, seperti uang makan dan transportasi, dihentikan
sementara hingga perusahaan kembali stabil. Berbagai dampak
ini merupakan risiko yang harus diambil oleh manajemen PT
Olympic karena jumlah persentase kenaikan UMK Bogor pada
penghujung tahun 2012 ini merupakan sesuatu yang tidak dapat
terduga. Keputusan yang dibuat oleh manajemen PT Olympic ini
merupakan salah satu langkah konkrit untuk menyelamatkan
perusahaan. Upaya menstabilkan perusahaan menjadi opsi paling
mungkin jika menghadapi kondisi demikian. Karena biar
bagaimanapun ada shock yang terjadi pada perusahaan jika
dihadapkan dengan kondisi demikian sebesar apapun
perusahaannya.
Untuk menyelamatkan perusahaan serta tetap menjaga
kesejahteraan para pegawainya, serikat pekerja PT Olympic
menjadi pihak yang memilik peran penting dalam hal ini. Sekali
lagi dalam upaya meminimalisasi dampak dari risiko yang
diterima oleh PT Olympic, dilansir dari harian online detik.com
disebutkan bahwa manajemen PT Olympic bersama dengan serikat
buruh telah mencapai kesepakatan yakni:
- Pesangon bagi pekerja yang terkena pemutusan hubungan
kerja (PHK) akan dihitung dengan UMK 2012, bukan 2013,
- Kenaikan upah sementara sekitar 1.500 pekerja ditunda
sementara setelah pekerja menaikkan produktivitas kerja.
Untuk itu, waktu kerja akan lebih awal, serta pulang
lebih mundur dengan perhitungan jumlah produksi.
Kedua kesepakatan ini masih lebih condong memihak dari sisi
pengusaha. Meskipun membayarkan uang pesangon merupakan salah
satu kewajiban dari perusahaan namun manajemen PT Olympic
tetap tidak mau mengalami kerugian dengan menggaji pegawai
yang terkena PHK dengan gaji dengan standar UMK Bogor yang
baru. Kesepakatan kedua -pun masih mengutungkan bagi sisi
pengusaha. Penundaan penaikan upah baru akan dilakukan setelah
adanya peningkatan produktivitas. Peningkatan produktivitas
menandakanakan adanya peningkatan kuantitas dari hasil
pekerjaan, peningkatan hasil memiliki korelasi dengan adanya
peningkatan keuntungan perusahaan. Sementara produktivitas
dalam proses yang terus meningkat dan pemberian gaji pegawai
tetap sama, maka akan ada keuntungan yang lebih dari
perusahaan dibandingkan dengan dengan sebelumnya. Keuntungan
lebih ini nantinya dapat membantu meringankan beban perusahaan
dalam masa masa awal membiayai gaji pegawai dengan menerapkan
standar UMK Bogor ataupun membantu pembiayaan kegiata
operasional lainnya.
Terdapat hal menarik yang terkait pada sbentuk dari
manajemen risiko di PT Olympic. Pertama adalah peran
pimpinannya dalam hal ini adalah Au Bintoro sebagai pemilik
dan kedua adalah bagaimana kepegawaian di dalam PT Olympic ini
terbentuk. Peran Au Bintoro sebagai pemilik sangatlah krusial
dalam manajemen risiko pada PT Olympic. Jika diperhatikan,
pada PT Olympic sangat jarang bahkan sangat minim terjadi
gejolak atau pemogokan atau apapun bentuk lainnya yang dapat
menggangu proses produksi perusahaan. Hal ini dikarenakan
sosok Au Bintoro yang sangat dekat dengan para pegawainya
bahkan melebihi kedekatan bagian sumber daya manusia (SDM) PT
Olympic dengan para pegawainya.
Au Bintoro dikenal sangat terbuka untuk mendengar cerita,
masukan atau “curhatan” dari para pegawainya langsung tanpa
melalui orang yang bertanggung jawab dalam hal itu dalam hal
ini adalah bagian SDM. Selain itu Au Bintoro juga rutin
menggelar pertemuan dengan para pegawai bersama dengan
direksinya sedikitnya dua kali dalam setahun. Dalam diskusi
tersebutpun dibahas mengenai keluhan, dan berbagai macam
cerita pegawai. Dan jika keluhan tersbut dapat diselesaikan
ditempat maka akan langsung diselesaiikan ditempat sehingga
saat keluar dari pertemuan tersebut semua pihak baik pegawai
maupun manajemen sama sama tidak ada yang mengganjal dalam
hati dan pikiran masing masing. Sosok Au Bintoro yang seperti
ini memberikan kesan kedekatan dan seakan menghilangkan jarak
antara pekerja dengan manajemen, sehingga dapat muncul rasa
kekeluargaan yang kuat atau setidaknya ada perasaan tidak enak
dari para pegawai karena selama ini jika terdapat keluhan
dapat langsung disampaikan.
Bagaimana pengaruh dari kepegawaian pada PT Olympic dapat
mempengaruhi manajemen risiko? Hal ini disebabkan karena pada
awalnya dan hingga kini, pegawai dari PT Olympic banyak yang
memiliki ikatan keluarga satu sama lain. Seperti sebelumnya
bapaknya bekerja di PT Olympic, dan kini mengajak anaknya atau
menantunya untuk bekerja juga di tempat yang sama. Mengapa ini
dapat mempengaruhi minimalisasi risiko pada PT Olympic? Dengan
pola demikian ( keluarga dekat sebagai pegawai), dapat membuat
minimnya gejolak atau konflik akan terjadi. Karena saat
terjadi konflik atau gejolak dan dapat menyebabkan PHK, dampak
yang akan diterima bukan hanya pada individu pegawai melainkan
juga pada keluarga dari pegawai tersebut, karena akan sangat
dimungkinkan bahwa saat PHK terjadi, orang orang yang terikat
sebagai keluarga dekat tersebut dapat terkena PHK beberapa
orang atau bahkan seluruhnya. Dan karena penghasilan utama
keluarga tersebut berasal dari pekerjaannya sebagai pegawai PT
Olympic, jika sebagian atau seluruh keluarganya terkena PHK
maka kesejahteraan dan keberlangsungan keluarga tersebut dapat
terganggu. Dan hal ini terbukti saat kasus pekerja di kota
Bogor melakukan demo meminta kenaikan UMK menjadi Rp
2.900.000 (okezone.com, 2013). Pada demo kali ini, pekerja PT
Olympic tidak turut serta, karena saat isu ini bergulir
manajemen telah mengatakan kalau perusahaan sudah tidak
sanggup jika saat itu harus menaikan gaji menjadi nominal
tersebut, manajemen menggambarkan kalau pada kenaikan
sebelumnya harus ratusan orang di PHK, maka jika ada kenaikan
lagi maka perusahaan akan kembali mem-PHK-kan para pegawai,
dan para pegawai memilih untuk sementara ini tidak mengalami
kenaikan UMK daripada harus jadi salah satu orang yang
nantinya akan di PHK.
Keterbukaan dan kedekatan antara pihak manajemen dan juga
pegawai terbukti dapat meminimalisir dampak dari adanya risiko
yang dihadapi oleh perusahaan. Meskipun kedua hal yag terjadi
pada PT Olympic belum tentu ada pada perusahaan lain. Tapi
setidaknya cara yang ada pada PT Olympic dapat dikatakan cukup
efektif karena selama ini gap yang muncul sebagai akibat
keinginan pegawai dan juga keinginan perusahaan yang saling
bertolakbelakang dapat diklarifikasi dengan jelas jika
dikomunikasikan secara baik.
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dampak dari kenaikan UMK Bogor pada penghujung tahun 2012
cukup membebani angaran yang dimiliki oleh PT Olympic terutama
dalam anggaran gaji pegawai. Sebagai akibat dari pembengkakan
anggaran gaji pegawai maka perusahaan memutuskan untuk
diadakannya rasionalisasi pegawai yang dalam hal ini adalah
PHK. Selain itu untuk meminimalisasi dampak dari kenaikan UMK
Bogor terutama pada beban anggaran yang ditanggung, PT Olympic
melakukan penundaan kenaikan gaji pegawainya, gaji baru akan
dinaikan setelah terlihat adanya peningkatan produktivitas
kerja. Lalu PT Olympic membayarkan pesangon bagi pegawai yang
di PHK dengan standar upah minimum yang lama.
Salah satu upaya dalam meminimlisir dampak dari risiko
yang dihadapi akibat kenaikan UMK Bogor oleh PT Olympic adalah
membangun kekeluargaan yang erat dalam tubuh perusahaan.
Dengan demikian akan mengurangi gap yang jauh antara pekerja
dengan manajemen dengan membangun keterbukaan serta
komunikasi 2 arah yang bersifat kontinyu sehingga tidak ada
ekspektasi dan keinginan yang berlebihan satu dengan yang
lainnya.
4.2 Saran
- Harus ada koordinasi dan komunikasi yang jelas antara
pemerintah dan juga pengusaha agar tidak jadi penerapan
keputusan UMK secara sepihak seprti pada tahun 2012,
- Maksimalisasi peran dari DPK, agar fungsi advokasi dari
tingkat kota ke provinsi menjadi maksimal,
- Pemerintah harus berpihak secara adil dalam pengambilan
keputusan agar kedua pihak (pengusaha dan pekerja) tidak
dirugikkan terlalu banyak.
- PT Olymic harus mempertahankan budaya baik yang telah ada
dalam perusahaanna,
- Pola hubungan antara pengusaha dengan pekerja harus
terjaga dengan komunikasi yang baik,
- Penguatan peran serikat buruh sebagai mediator lembaga
bipartit dalam perusahaan,
- Perusahaan harus selalu memiliki contingency plan terhadap
setiap keputusan yang diammbil,
- Pekerja tidak hanya memikirkan tuntutannya akan tetapi
memikirkan juga bagaimana kondisi perusahaannya,
- Pola hubungan antara manajemen dan pegawai seperti di PT
Olympic baik untuk ditiru perusahaan- perusahaan lain di
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku
Husni, Lalu. (2004). Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Melalui
Pengadilan & Diluar Pengadilan. PT. Raja Grafindo Persada:
Jakarta.
Merna, Tony dan Faisal F. Al- Thani. (2008). Corporate Risk
Management 2nd Edition. John Wiley & Sons Ltd, The Atrium,
Southern Gate, Chichester, West Sussex PO19 8SQ, England
Storey, John, Patrick Wright dan Dave Ulrich. (2007) The
Routledge Companion to Strategic Human Resources Management. New
York: Routledge
Sumber Publikasi Elektronik
Detik. (2012). Sofjan Wanandi: Tahun Depan (2013) 500.000 Buruh Bakal
Kena PHK. Juni 11, 2014.
http://finance.detik..com/read/2012/12/06/125636/2111050/1
036/sofjan-wanandi-ahun-depan-500000-buruh-bakal-kena-phk
----- (2012). Dunia Usaha Khawatir UMP DKI Jakarta 2014 Bisa Naik 55%.
Juni 11, 2014.
http://finance.detik..com/read/2012/12/18/175858/2121726/4
/dunia-usaha-khawatir-ump-dki-jakarta-2014-bisa-naik-55?
------. (2012). Pengusaha: Gila, Gaji Pekerja di Bogor Naik 70 %. Juni 11,
2014.
http://finance.detik..com/read/2012/12/19/073534/2121979/4
/pengusaha-gila-gaji-pekerja-di-bogor-naik-70?
991101mainnews
JPNN. (2012). UMK Naik, Olympic Ancam PHK Karyawan. Juni 11, 2014.
http://www.jpnn.com/read/2012/12/16/150705/UMK-Naik,-
Olympic-Ancam-PHK-Karyawan-
Kompas. (2012). Perusahaan Kurangi Jumlah Karyawan. Juni 11, 2014.
http://megapolitan.kompas.com/read/2012/12/18/04531847/Per
usahaan.Kurangi.Jumlah.Karyawan
Okezone. (2013). Buruh di Bogor Demo Minta UMK Rp 2,9 Juta. Juni 11,
2014.
http://economy.okezone.com/read/2013/11/19/320/899212/buru
h-di-bogor-demo-minta-umk-rp2-9-juta
Top Related