EKONOMI REGIONAL
“ Wilayah Nodal, Lokasi dan Agglomerasi “
Azka Khoirunnisa 8105128003
Bachtiar Hidayat 8105128008
Citra Rizky Utami 8105128009
Lisa Hariyanti 8105128040
Syifa Habibah 8105128095
Non Reguler
Pendidikan Ekonomi Koperasi 2012
Ekonomi dan Administrasi
Fakultas Ekonomi
Universitas Negeri Jakarta
2014
Wilayah Nodal, Lokasi, dan Agglomerasi
Wilayah nodal adalah wilayah yang secara fungsional memiliki sifat saling
ketergantungan antara pusat (inti) dan daerah dibelakangnya (hinterland).
Ketergantungan antara pusat dan daerah dapat dilihat dari faktor produksi,
penduduk, barang dan jasa, komunikasi, transportasi serta perhubungan di antara
keduanya. Wilayah nodal digunakan dalam analisis mengenai ekonomi wilayah
(ekonomi ruang yang dikuasai oleh satu atau beberapa pusat kegiatan ekonomi).
Batas wilayah nodal didasarkan pada pengaruh suatu pusat kegiatan ekonomi jika
digantikan oleh pusat kegiatan ekonomi lainya. Struktur dari wilayah nodal dapat
digambarkan berupa suatu sel hidup dengan adanya inti dan plasma yang saling
melengkapi. Intergrasi fungsional merupakan dasar hubungan ketergantungan atas
dasar kepentingan masyarakat di wilayah tersebut. Beberapa contoh wilayah nodal
seperti Jabodetabek (Jakarta sebagai inti dan Bogor, Depok, Tagerang, Bekasi
sebagai wilayah belakangnya).
Sadono Sukirno (1976) menyatakan bahwa pengertian wilayah nodal yang
paling ideal untuk di gunakan dalam analisis mengenai ekonomi wilayah,
mengartikan wilayah tersebut sebagai ekonomi ruang yang yang di kuasai oleh
suatu atau beberapa pusat kegiatan ekonomi.
Ciri-ciri daerah nodal:
• Mempunyai ketergantungan antara pusat ( inti ) dan daerah belakangnya
(interland ) , dilihat dari arus penduduk, faktor produksi, barang dan jasa.
• Pertukaran barang dan jasa secara intern di dalam wilayah merupakan
suatu hal yang mutlak harus ada.
• Daerah belakang/interland akan menjual barang-barang mentah (raw
material) dan jasa tenaga kerja pada daerah pusat/inti,
• Daerah inti akan menjual ke daerah belakang dalam bentuk barang jadi
• Digambarkan sebagai sel hidup inti dengan daerah perifer yang saling
melengkapi
• Contoh : Jabodetabek, SIJORI, IMS- GT ( Indonesia Malaysia Singapore
Growth Triangle )
LOKASI
Teori lokasi adalah ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial order)
kegiatan ekonomi, atau ilmu yang menyelidiki alokasi geografis dari sumber-
sumber yang potensial, serta hubungannya dengan atau pengaruhnya terhadap
keberadaan berbagai macam usaha/kegiatan lain baik ekonomi maupun sosial
(Tarigan, 2006).
Pengertian lain dari Teori lokasi adalah suatu penjelasan teoretis yang
dikaitkan dengan tata ruang dari kegiatan ekonomi. Hal ini selalu dikaitkan pula
dengan alokasi geografis dari sumber daya yang terbatas yang pada gilirannya
akan berpengaruh dan berdampak terhadap lokasi berbagai aktivitas baik
ekonomi maupun sosial (Sirojuzilam, 2006: 22).
Johann Heinrich Von Thunen seorang ekonom dan tuan tanah di
Jermanmengupas tentang perbedaan lokasi dari berbagai kegiatan pertanian atas
dasar perbedaan sewa tanah (pertimbangan ekonomi). Dalam Modelnya tersebut
Von Thunen membuat asumsi sebagai berikut:
a) Wilayah analisis bersifat terisolir (isolated state) sehingga tidak terdapat
pengaruh pasar dari kota lain.
b) Tipe pemukiman adalah padat di pusat wilayah (pusat pasar) dan makin
kurang padat apabila menjauh dari pusat wilayah.
c) Seluruh wilayah model memiliki iklim, tanah, dan topografi yang seragam.
d) Fasilitas pengangkutan adalah primitive (sesuai pada zamannya dan
relative seragam. Ongkos ditentukan oleh berat barang yang dibawa.
e) Kecuali perbedaan jarak ke pasar, semua factor alamiah yang
memengaruhi penggunaan tanah adalah seragam dan konstan.
Berdasarkan asumsi di atas Von Thunen membuat kurva hubungan sewa tanah
dengan jarak ke pasar sebagai berikut :
Dari gambar tersebut terlihat bahwa tingkat sewa tanah adalah paling
mahal di pusat pasar dan makin rendah apabila makin jauh dari pasar.
Berdasarkan perbandingan (selisih) antara harga jual dengan biaya produksi,
masing-masing biaya produksi memiliki kemampuan yang berbeda untuk
membayar sewa tanah. Makin tinggi kemampuannya untuk membayar sewa tanah,
makin besar kemungkinan kegiatan itu berlokasi dekat ke pusat pasar. Selain itu,
masing-masing jenis produksi memiliki kurva permintaan atas tanah berupa
indiverence curve yang menggambarkan hubungan Antara sewa tanah dan jarak
dari pasar. Kemiringan kurva berbeda antara satu jenis produksi dengan produksi
lainnya. Terdapat kurva yang menurun tajam, agak tajam, agak landau dan landai.
Analisis dari kurva perbadaan sewa tanah sesuai dengan perbedaan jarak ke pasar
dapat dilanjutkan sampai beberapa macam kegiatan yang
membutuhkanpenggunaan tanah. Hasilnya adalah suatu pola penggunaan tanah
berupa diagram cincin yang pada waktu itu adalah sebagai berikut :
Penggunaan tanah saat ini tidak lagi berkelompok persis seperti cincin da nisi
masing-masing cincin juga tidak lagi sama seperti dalam diagram Von Thunen.
Namun demikian konsep Von Thunen bahwa sewa tanah sangat memengaruhi
jenis kegiatan yang mengambil tempat pada lokasi tertentu masih tetap berlaku
dan hal ini yang mendorong terjadinya konsentrasi kegiatan tertentu pada lokasi
tertentu. Penggunaan tanah di perkotaan tidak lagi berbentuk cincin tetapi tetap
terlihat adanya kecenderungan pengelompokan untuk penggunaan yang sama
berupa campuran Antara berbagai kegiatan. Penggunaan lahan mmemang berbeda
Antara satu kota dengan kota lainnya, namun kecenderungan saat ini adalah pusat
kota umumnya didominasi oleh kegiatan perdagangan dan jasa, sedikit kearah luar
diisi oleh kegiatan industry kerajinan bercampur dengan perumahan dari lingkup
menengah ke bawah. Perumahan elit justru mengambil lokasi lebih kearah luar
lagi (mengutamakan kenyamanan). Industri besar umumnya berada di luar kota,
karena biasanya pemerintah kota melarang industry besar dan berpolusi
mengambil lokasi di dalam kota.
Perkembangan teori Von Thunen adalah selain harga tanah tinggi di pusat kota
dan akan semakin menurun apabila semakin menjauh dari pusat kota. Harga tanah
tinggi ketika berada pada jalan-jalan utama, dan akan semakin murah apabila
menjauh dari jalan utama. Jadi, bentuk gambarnya seperti kerucut segitiga jarring
laba-laba, dimana puncak kerucut merupakan pusat kota.
Teori Lokasi Biaya Minimum Weber
Alfred Weber seorang ahli ekonomi jerman menulis buku berjudul
uberden standort der industrien pada tahun 1909. Weber menganalisis lokasi
kegiatan industry. Weber mendasarkan teori nya bahwa pemilihan lokasi industry
didasarkan atas prinsip minimisasi biaya. Weber menyatakan bahwa lokasi setiap
industry tergantung pada total biaya transportasi dan tenaga kerja dimana
penjumlahan keduanya harus minimum.
Prinsip teori Weber adalah bahwa penentuan lokasi industri ditempatkan di
tempat-tempat yang resiko biaya atau biayanya paling murah atau minimal ( least
cost location) yaitu tempat dimana total biaya transportasi dan tenaga kerja di
mana penjumlahan keduanya minimum,tempat dimana total biaya transportasi dan
tenaga kerja yang minimumyang cenderung identik dengan tingkat keuntungan
yang maksimum. Prinsip tersebut didasarkan pada enam asumsi bersifat
prakondisi, yaitu :
1. Wilayah bersifat homogen dalam hal topografi, iklim dan penduduknya
(keadaan penduduk yang dimaksud menyangkut jumlah dan kualitas
SDM)
2. Ketersediaan sumber daya bahan mentah
3. Upah tenaga kerja.
4. Biaya pengangkutan bahan mentah ke lokasi pabrik (biaya sangat
ditentukan oleh bobot bahan mentah dan lokasi bahan mentah)
5. Persaingan antar kegiatan industri.
6. Manusia berpikir secara rasional.
Weber bertitik tolak pada asumsi bahwa:
1. Unit telahan adalah suatu wilayah yang terisolasi, iklim yang homogeny,
konsumen terkonsentrasi pada beberapa pusat, dan kondisi pasar adalah
persaingan sempurna.
2. Beberapa sumber daya alam seperti air, pasir dan batu tersedia dimana-
mana dalam jumlah yang memadai.
3. Material lainnya seperti bahan bakar mineral dan tambang tersedia secara
sporadic dan hanya terjangkau pada beberapa tempat terbatas.
4. Tenaga kerja tidak ubiquitous (tidak menyebar secara merata) tetapi
berkelompok pada beberapa lokasi dan dengan mobilitas yang terbatas.
Menurut weber dari ketiga asumsi diatas ada tiga factor yang
mempengaruhi lokasi industry yaitu biaya transfortasi, biaya upah tenaga kerja,
dan kekuatan agglomerasi atau deagglomerasi. Weber memberi contoh 3 arah
sebagai berikut. Konsep ini dinyatakan sebagai segitiga lokasi atau locational
triangle seperti
Untuk menunjukan lokasi optimum tersebut lebih dekat kelokasi bahan baku atau
pasar, weber merumuskan indeks material (IM) sebagai berikut.
IM = bobot bahan baku local/ Bobot produk akhir
Apabila IM >1 , perusahanan akan berlokasi dekat ke bahan baku dan apabila IM
< 1 perusahan akan berlokasi dekat pasar.
Dalam menentukan lokasi industri, terdapat tiga faktor penentu, yaitu
biaya transportasi, upah tenaga kerja, dan dampak aglomerasi dan deaglomerasi.
Biaya transportasi diasumsikan berbanding lurus terhadap jarak yang ditempuh
dan berat barang, sehingga titik terendah biaya transportasi menunjukkan biaya
minimum untuk angkutan bahan baku dan distribusi hasil produksi. Biaya
transportasi akan bertambah secara proporsional dengan jarak. titik terendah biaya
transportasi adalah titik yang menunjukkan biaya minimum untuk angkutan bahan
baku (input) dan distribusi hasil produksi (output).
Teori Lokasi Pendekatan Pasar Losch
Apabila Weber mwlihat persoalan dari sisi produksi, Losch melihat
persoalan dari sisi permintaan (pasar). Weber mengasumsikan bahwa semua
barang yng diproduksi akan laku terjual, walaupun Weber tidak menyatakan
secara tegas. Sedangkan Losch menyatakan bahwa lokasi penjual sangat
berpengaruh terhadap jumlah konsumen yang dapat digarap. Biasanya semakin
jauh tempat penjual dari konsumen, maka semakin enggan konsumen
unttuk membeli barang tersebut, karena biaya untuk menuju tempat penjual
semakin meningkat. Produsen harus memilih lokasi yang menghasilkan
penjualan terbesar yang identic dengan penerimaan terbesar. Pandangan ini
mengikuti pandangan Christaller seperti diuraikan terdahulu. Atas dasar
pandangan diatas, Losch cenderung menyarankan agar lokasi produksi berada di
pasar atau di dekat pasar.
Terhadap pandangan Losch ini perlu dicatat bahwa saat ini banyak pemerintah
kota yang melarang industry berada di dalam kota. Dengan demikian, lokasi
produksi harus berada di pinggir kota ataupun luar kota tetapi dengan tetap
membuka kantor pemasaran atau cabang di dalam kota. Artinya, walaupu berada
di luar kota tetap merupakan bagian dari kegiatan kota dalam arti kata
memanfaatkan range atau wilayah dari kota tersebut.
Teori Lokasi Memaksimumkan Laba
Teori weber hanya melihat sisi produksi sedangkan teori Losch hanya
melihat sisi permintaan. Kedua teori ini hanya melihat dari satu sisi. Sisi produksi
hanya melihat lokasi yang memberikan ongkos terkecil sedangkan sisi permintaan
melihat pada penerimaan maksimal yang dapat diperoleh. Kedua pandangan itu
perlu digabung, yaitu dengan mencari lokasi yang menghasilkan ongkos
terkecil dan lokasi yang memberikan penerimaan terbesar. Permasalahan ini
diselesaikan oleh D.M. Smith (dikutip dari Glasson, 1047) dengan mengintrodusir
konsep average cost (biaya rata-rata) dan average revenue (penerimaan rata0rata)
yang terkait dengan lokasi. Dengan asumsi jumlah produksi adalah sama maka
dapat dibuat kurva average cost ( per unit produksi) yang bervariasi dengan
lokasi. Di lain sisi dapat pula dibuat kurva average revenue yang terkait dengan
lokasi. Kemudian kedua kurva itu digabung dan di mana terdapat selisih average
revenue dikurangi average cost adalah tertinggi maka itulah lokasi yang
memberikkan keuntungan maksimal. Hal ini dapat dijelaskan pada gambar berikut
ini.
Lokasi yang memberikan keuntungan adalah antara A dan B dan yang
optimal adalah pada titik O. Lebih ke kiri dari titik A atau lebih ke kanan dari titik
B perusahaan akan menderita kerugian.
Menetapkan titik lokasi optimal bagi sebuah perusahaan menjadi lebih
sulit dikarenakan oleh fakta bahwa produsen dapat memasarkan barangnya atau
menunjuk ditributor untuk memasarkan barangnya dengan mendatangi
pengecer/konsumen, jadi , lokasi produsen tidak harus berada di pasar atau di
sekitarnya, terlebih-lebih harga lahan sudah sangat tinggi. Di banyak tempat,
pemerintah melarang kegiatan produksi komoditi tertentu atau melampaui volume
tertentu untuk berlokasi di dalam kota karena alasan polusi dan kemacetan lalu
lintas yang ditimbulkannya. Namun produsen harus tetap berlokasi tidak terlalu
jauh dari pusat distribusi yang umumnya adalah kota (kecuali untuk kegiatan yang
memang harus berada di lokasi bahann baku seperti pertambangan, pertanian, atau
perikanan). Selain itu faktor aglomerasi tetap memegang peran yang penting,
namun dalam banyak hal lokasi agglomerasi dengan pusat ditribusi adalah sejalan.
Dengan membuat penyesuaian seperlunya maka teori Losch yang mengatakan
bahwa pemilihan lokasi produksi (terutama industri dan jasa) harus ditujukan
untuk dapat menjangkau pasar seluas mungkin, masih tetap relevan. Penyesuaian
seperlunya yaitu Losch mengatakan lokasi kegiatan itu harus berada di pasar.
Pada saat ini untuk kegiatan processing berskala besar umumnya tidak berada di
tengah pasar tatapi di pinggiran kota, tetapi lokasi itu dipilih dalam rangka
memanfaatkan wilayah pengaruh (range) dari pasar/kota tersebut.
Mc. Grone (1969) berpendapat bahwa teori lokasi dengan tujuan
memaksimumkan keuntungan sulit ditangani dalam keadaan ketidakpastian yang
tinggi dan dalam analisis dinamik. Ketidaksempurnaan pengetahuan dan
ketidakpastian biaya dan pendapatan di masa depan pada tiap lokasi, biaya
relokasi yang tinggi, preferensi personal, dan pertimbangan lain membuat model
maksimisasi keuntungan lokasi sulit dioperasikan. Selain itu, pengusaha mungkin
saja lebih memberikan perhatiannya pada maksimisasi keuntungan untuk
pertumbuhan jangka panjang dari pertumbuhan jangka pendek dan ini mungkin
saja menyebabkan diterapkannya suatu keputusan tentang lokasi yang berlainan.
Menurut Isard (1956), masalah lokasi merupakan penyeimbangan antara
biaya dengan pendapatan yang dihadapkan pada suatu situasi ketidakpastian yang
berbeda-beda. Keuntungan relatif dari lokasi bisa saja sangat dipengaruhi pada
tiap waktu oleh faktor dasar: (a) biaya input atau bahan baku; (b)biaya
transportasi; (c) keuntungan agglomerasi. Di antara berbagai biaya tersebut, jarak
dan aksesibilitas tampaknya merupakan pilihan terpenting dalam konteks tata
ruang. Sungguh pun seluruh biaya bervariasi dengan waktu dan tempat, namun
biaya transportasi biasanya bervariasi dengan jarak karena ia merupakan fungsi
dari jarak. Jadi, Isard menekankan pada faktir-faktor jarak, aksesibilitas, dan
keuntungan agglomerasi sebagai hal yang utama dalam pengambilan keputusan
lokasi.
Masih mengenai kasus yang sama, Richardson (1969) mengemukakan
bahwa aktivitas ekonomi atau perusahaan cenderung untuk berlokasi pada pusat
kegiatan sebagai usaha mengurangi ketidakpastian dalam keputusan yang diambil
guna meminimumkan risiko. Faktor unsur ketidakpastian minimum dapat
diperoleh pada pusat kegiatan sehingga keputusan lokasi didasarkan pada kriteria
lain dari keuntungan dan biaya-biaya langsung. Dalam hal ini, baik kenyamanan
(amenity) maupun keuntungan agglomerasi merupakan penentu lokasi yang
penting, yang menjadi daya tarik lokasi yang lebih kuat daripada sumber daya
alam, sumber tenaga kerja (upah rendah), dan elemen kunci yang lain dari teori
lokasi tradisional. Richardson lebih lanjut mengemukakan bahwa pemahaman
tentang perkembangan kota dan wilayah tidak dapat diperoleh tanpa apresiasi
penuh dari kekuatan agglomerasi yang terjadi karena kekuatan ini bagaimanapun
juga menghasilkan konsentrasi industri dan aktivitas lainnya.
Klaasen (1972), menekankan peranan preferensi lokasi seperti peranan
amenitas dalam menark industri-industri saling mendekat di mana lokasi
perusahaan ditentukan dengan mempertimbangkan penyediaan input dan besarnya
pasar yang dihadapi. Ia menyatakan bahwa semakin besar suatu kota, tidak hanya
penyediaan input yang semakin besar melainkan juga daerah pasarnya pun lebih
besar.
Modal Gravitasi Sebagai Faktor Penting Penentu Lokasi
Ada kegiatan yang harus berada di suatu lokasi tanpa ada pilihan lain,
misalnya apabila kegiatan itu terkait dengan potensi alam, seperti pertambangan,
daerah pariwisata, olahraga ski (salju), pengelolaan hutan, perkebunan Tembakau
Deli, dan pelabuhan laut. Ada lokasi kegiatan yang walaupun hasil kreasi manusia
telah berada di tempat tersebut sejak dahulu jkala sehingga keberadaannya sudah
merupakan suatu yang given. Namun berbagai kegiatan yang kemudian muncul
dapat dianalisis mengapa kegiatan itu memilih lokasi di tempat tersebut. Salah
satu alat analisis yang memungkinkan kita menjelaskan keberadaan kegiatan pada
lokasi tersebut adalah model Gravitasi.
Model gravitasi adalah model yang paling banyak digunakan untuk
melihat besarnya daya tarik dari suatu potensi yang berada pada suatu
lokasi dan besarnya wilayah pengaruh dari potensi tersebut. Dalam
perencanaan wilayah, model ini sering dijadikan alat untuk melihat apakah
lokasi berbagai fasilitas kepentingan umum telah berada pada tempat yang
benar. Selain itu, apabila kita ingin membangun suatu fasilitas yang baru maka
model ini dapat digunakan untuk menentukan lokasi yang optimal. Artinya,
fasilitas itu akan digunakan sesuai kapasitasnya. Itulah sebabnya model gravitasi
berfungsi ganda, yaitu sebagai teori lokasi dan sebagai alat dalam perencanaan.
Teori Pemilihan Lokasi Kegiatan Industri Secara Komprehensif
Tidak ada sebuah teori tunggal yang bisa menetapkan di mana lokasi suatu
kegiatan produksi (industri) itu sebaiknya dipilih. Untuk menetapkan lokasi suatu
industri (skala besar) secara komprehensif, diperlukan gabungan dari berbagai
pengetahuan dan disiplin. Pengusaha bertaraf internasional pada umumnya
memilih lokasi yang memungkinkan menjangkau pasar yang seluas mungkin.
Faktor yang dipertimbangkan antara lain adalah ketersediaan bahan baku, upah
buruh, jaminan keamanan, fasilitas penunjang, daya serap pasar lokal, dan
aksesibilitas dari tempat produksi ke wilayah pemasaran yang dituju (terutama
aksesibilitas pemasaran ke luar negeri). Faktor lain yang sangat mempengaruhi
pertimbangan investor saat ini adalah faktor stabilitas politik suatu negara. Dalam
memilih provinsi/kabutan/kota, perlu diperhatikan perbedaan kebijakan pemda
setempat terhadap kegiatan usaha karena dengan berlakunya otonomi daerah
kebijakan di tiap daerah berbeda-beda.. sampai tingkat pemilihan lokasi maka
prinsip yang dipakai terutama adalah prinsip ekonomi dan kelangsungan usaha
dalam jangka panjang (politik dan keamanan). Dari sudut ekonomi, lokasi yang
dipilih adalah yang memiliki keunggulan komparatif untuk kegiatan yang ingin
dilaksanakan. Artinya, secara perbandingan maka lokasi itu adalah yang paling
efisien dari sudut biaya dan mudah dalam pemasarannya.
Apabila hendak membangun atau mengembangkan sebuah usaha baru
pada lokasi tertentu, pengusaha harus melakukan apa yang dinamakan studi
kelayakan finansial. Dalam melakukan sebuah studi kelayakan finansial, selain
melakukan hitungan atas data masa kini, harus pula dibuat berbagai proyeksi,
yang hasilnya turut menentukan hasil perhitungan akhir. Selain itu, pengusaha
juga harus melakukan studi kelayakan ekonomi dan studi dampak lingkungan. Hal
ini untuk melihat bahwa proyek itu tidak hanya memberi keuntungan kepada
pengusahanya tetapi juga memberi manfaat yang lebih besar dibanding kerugiam
yang ditimbulkannya kepada ekonomi nasional dan kepada lingkungan.
Menetapkan lokasi sebuah usaha, pertama-tama harus mempelajari
peraturan yang ada, yaitu di mana saja usaha seperti itu boleh dibangun.
Terkadang ada pilihan antara berlokasi pada industrial estate (kawasan industri)
yang sudah mendapat izin dari pemerintah atau di luar industrial estate.kedua
pilihan itu harus dihitung terlebih dahulu kerugian dan keuntungannya, bukan
hanya dari sudut keuangan tapi juga dari sudut keamanan/sikap masyarakat.
Apabila memilih diluar kawasan industri maka di antara lokasi yang
diperbolehkan, harus disurvei bahwa daya dukung, termasuk jenis tanah,
ketinggiam dari permukaan laut, kemiringannya, bukan daerah yang terkena
banjir, tanah lonsor dan lainnya sehingga cocok untuk lokasi usaha. Selain itu
harus dihitung besarnya ongkos transportasi untuk input dan output perusahaan,
kemudahan memperoleh tenaga kerja yang sesuai, kemudahan memperoleh
fasilitas pendukung lainnya, kenyamanan para pekerja dan lain-lain. Dalam
menganalisis masing-masing faktor diatas, tidak cukup hanya berdasarkan
keadaan masa kini. Artinya, harus dapat diramalkan perubahan yang bakal terjadi
di masa yang akan datang.
AGLOMERASI
Terdapat beberapa teori yang berusaha mengupas tentang masalah
aglomerasi.Namun sebelum kita membahas lebih jauh mengenai teori-teori
tersebut, perlu dipahami lebih dahulu konsep aglomerasi. Istilah aglomerasi
muncul pada dasarnya berawal dari ide Marshall tentang penghematan aglomerasi
(agglomeration economies) atau dalam istilah Marshall disebut sebagai industri
yang terlokalisir (localized industries). Agglomeration economies atau localized
industries menurut Marshallmuncul ketika sebuah industri memilih lokasi untuk
kegiatan produksinya yang memungkinkan dapat berlangsung dalam jangka
panjang sehingga masyarakat akan banyak memperoleh keuntungan apabila
mengikuti tindakan mendirikan usaha disekitar lokasi tersebut (Mc Donald, 1997:
37). Konsep aglomerasi menurut Montgomery tidak jauh berbeda dengan konsep
yang dikemukakan oleh Marshall.Montgomery mendefinisikan penghematan
aglomerasi sebagai penghematan akibat adanya lokasi yang berdekatan
(economies of proximity) yang diasosiasikan dengan pengelompokan perusahaan,
tenaga kerja, dan konsumen secara spasial untuk meminimisasi biaya-biaya
seperti biaya transportasi, informasi dan komunikasi (Montgomery, 1988: 693).
Sementara Markusen menyatakan bahwa aglomerasi merupakan suatu
lokasi yang “tidak mudah berubah” akibat adanya penghematan eksternal yang
terbuka bagi semua perusahaan yang letaknya berdekatan dengan perusahaan lain
dan penyedia jasa- jasa, dan bukan akibat kalkulasi perusahaan atau para pekerja
secara individual (Kuncoro, 2002: 24). Selanjutnya dengan mengacu pada
beberapa definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa aglomerasi merupakan
konsentrasi dari aktifitas ekonomi dan penduduk secara spasial yang muncul
karena adanya penghematan yang diperoleh akibat lokasi yang berdekatan.
Aglomerasi Versi Weber Aglomerasi adalah pengelompokkan beberapa
perusahaan dalam suatu daerah atau wilayah sehingga membentuk daerah khusus
industri. Aglomerasi juga bisa dibagi mencadi dua macam, yaitu aglomerasi
primer di mana perusahaan yang baru muncul tidak ada hubungannya dengan
perusahaan lama, dan aglomerasi sekunder jika perusahaan yang baru beroperasi
adalah perusahaan yang memiliki tujuan untuk memberi pelayanan pada
perusahaan yang lama. Beberapa sebab yang dapat memicu terjadinya aglomerasi:
1. Tenaga kerja tersedia banyak dan banyak yang memiliki kemampuan dan
keahlian yang lebih baik dibanding di luar daerah tersebut.
2. Suatu perusahaan menjadi daya tarik bagi perusahaan lain.
3. Berkembangnya suatu perusahaan dari kecil menjadi besar, sehingga
menimbulkan perusahaan lain untuk menunjang perusahaan yang
membesar tersebut.
4. Perpindahan suatu kegiatan produksi dari satu tempat ke beberapa tempat
lain.
5. Perusahaan lain mendekati sumber bahan untuk aktifitas produksi yang
dihasilkan oleh perusahaan yang sudah ada untuk saling menunjang satu
sama lain.
Terdapat 2 macam Aglomerasi, yaitu:
1. Aglomerasi produksi, aglomerasi produksi bilamana tiap perusahaan yang
mengelompok/kluster atau beraglomerasi mengalami eksternalitas positif
di bidang produksi, artinya biaya produksi perusahaan berkurang pada
waktu produksi perusahaan lain bertambah
2. Aglomerasi pemasaran, Aglomerasi pemasaran adalah perusahaan-
perusahaan dagang atau banyak toko mengelompok dalam satu lokasi. Ada
eksternalitas belanja (shopping externality) yang dapat dinikmati yaitu
penjualan suatu toko dipengaruhi oleh toko lain disekitarnya. Ada dua
produk yang menimbulkan eksternalitas belanja, yaitu barang subtitusi
tidak sempurna dan barang komplementer
Aglomerasi yang terjadi dapat membawa dampak untuk menarik industri
dari lokasi biaya angkutan minimum, karena membawa berbagai bentuk
penghematan ekstern yang disebut aglomeration economies, sehingga
perpindahan ini dapat mengakibatkan kenaikan biaya angkutan.
DAFTAR PUSTAKA
Tarigan, Robinson. 2009. Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Jakarta:
PTBumi Aksara.
http://shaylife.blogspot.com/2012/04/wilayah-nodal-wilayah-administrasi.html
(diakses pada tanggal 9 Februari 2014)
http://singgiheducation.blogspot.com/2009/03/mengenal-beberapa-teori
lokasi.html (diakses pada tanggal 9 Februari 2014)
http://bisnis.liputan6.com (diakses pada tanggal 9 Februari 2014)
Top Related