WAYANG POTEHI TIONGKOK DI KOTA TEBING TINGGI SUMATERA UTARA: ANALISIS PERTUNJUKAN DAN TEKS
印尼丁宜布袋戏研究 (Yìnní dīng yí bùdàixì yánjiū )
SKRIPSI SARJANA
Oleh:
ADE IMA MELATI HARAHAP
100710032
PROGRAM STUDI SASTRA CINA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2014
i
WAYANG POTEHI TIONGKOK DI KOTA TEBING TINGGI SUMATERA UTARA: ANALISIS PERTUNJUKAN DAN TEKS
印尼丁宜布袋戏研究 (Yìnní dīng yí bùdàixì yánjiū )
SKRIPSI
Skripsi ini ditujukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana dalam bidang ilmu Sastra Cina
Oleh:
ADE IMA MELATI HARAHAP
100710032
PROGRAM STUDI SASTRA CINA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2014
ii
WAYANG POTEHI TIONGKOK DI KOTA TEBING TINGGI SUMATERA UTARA: ANALISIS PERTUNJUKAN DAN TEKS
印尼丁宜布袋戏研究 (Yìnní dīng yí bùdàixì yánjiū )
SKRIPSI
Skripsi ini ditujukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Sarjana dalam bidang ilmu Sastra Cina.
Oleh:
ADE IMA MELATI HARAHAP100710032
Pembimbing I,
Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D.
NIP 196512211991031001
Pembimbing II,
Peng Pai, M.A
PROGRAM STUDI SASTRA CINA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
iii
ABTRACT
Chinese Puppet Theatre in Tebing Tinggi City: Performance and Text of Presenting Analysis.This research reviews two aspect in Chinese Puppet Performance.There are is perfomance and text. To analyze, the writer used Performance and Linguistik Systemic Functional (LSF) theory. The background of this paper is because the glove puppet know is wayang potehi, originated from Fujian, was originally in Hokkian dialect and performed Chinese legend. In is journay, Potehi used Low Malay language which become Indonesian language. However, it is not a standard. Potehi puppet have become parts of our culture where in Tebing Tinggi city is every year always performe. Potehi deserve more attention from goverment and public.
Keywords: Chinese Culture, Chinese Puppet Theatre, Perfomance, Text
i
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah atas kehadirat Allah Subhana Wataala atas hadirat serta
rahmat yang telah diberikan-Nya kepada penulis mulai dari masa perkuliahan
perkuliahan sampai dengan tahap penyelesaian tugas akhir. Adapun tugas akhir yang
diberi judul “Wayang Potehi Tiongkok: Analisis Pertunjukan dan Teks di Kota Tebing
Tinggi, Sumatera Utara” ini disusun sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar
Sarjana Ilmu Budaya, Program Studi Sastra Cina, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Sumatera Utara. Dalam skripsi ini penulis menganalisis serta mendeskripsikan
bagaimana struktur pertunjukan wayang potehi yang berlangsung dari awal dimulai
hingga akhir pertunjukan. Sungguh suatu hal yang luar biasa dimana akhirnya tugas
akhir ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktu yang diharapkan
Dalam menyusun Skripsi ini, tidak terlepas bantuan dari berbagai pihak yang
telah memberikan dukungan, semangat, waktu, bimbingan dan doa kepada penulis. Oleh
karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu,
D.T.M.&H.,M.Sc.(C.T.M), Sp.A.(K.). atas kesempatan yang diberikan kepada
penulis sehingga penulis berstatus mahasiswi Program Studi Sastra Cina,
Universitas Sumatera Utara serta kesempatan untuk menyelesaikan Studi S-I di
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara dengan baik.
2. Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara , Bapak Dr. Syahron
Lubis, M.A. atas kesempatan dan waktu yang telah diberikan kepada penulis
sehingga dapat menyelesaikan Studi S-I di Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Sumatera Utara dengan baik.
ii
3. Ketua Departemen Program Studi Sastra China Ibu Dr. T.Thyrhaya Zein, M.A.
yang dengan sabar selalu memberikan petunjuk dan pengarahan kepada penulis
semasa perkuliahan.
4. Sekretaris Departemen Program Studi Sastra China Ibu Dra. Nur Cahaya
Bangun, M.Si. atas pengarahan yang diberikan untuk penulis mulai dari masa
perkuliahan sampai saat ini.
5. Dosen pembimbing I Bapak Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D. yang telah
dengan sabar membimbing, menasehati serta memberikan bimbingan yang baik
kepada penulis selama mengerjakan tugas akhir ini sehingga terselesaikan
dengan baik.
6. Dosen pembimbing II Cao Xia, M.A Laoshi serta Peng Pai, M.A Laoshi yang
telah sabar membimbing dan susah payah membantu mengerjakan tugas akhir
dalam bahasa mandarin. Tak lupa juga kepada Shen Mi, M.A Laoshi yang sudah
memberikan semangat dan dukungan dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
7. Kedua Orangtua tersayang, kak Rini Elvida Harahap, bang Yoandi Putra
Harahap, dan adikku tercinta Ivan Sanjaya Harahap serta seluruh keluarga,
Bulek, Palek, adik kembar kesayangan (Alika dan Alya), yang telah memberikan
dukungan, semangat dan doa sehingga tugas ini selesai dengan baik dan tepat
waktu.
8. Adik-adik angkatku tercinta dan tersayang Grace Wandahana Napitu dan
Sarvina Putri Naiharop Hasibuan yang telah membantu, menemani,
memberikan saran, semangat yang luar biasa serta kenangan yang istimewa.
Love you... want you... need you...
iii
9. Seluruh dosen dan staf pengajar Program Studi Sastra China, Kak Endang
tersayang yang setia membantu mengurus segala urusan akademik dan selalu
memberi pengarahan yang baik. Kakak senior, kak Sheyla dan bang Kassa yang
bersedia membantu dan memberikan pengarahan saat mengerjakan skripsi.
10. Seluruh teman-teman seperjuangan Stambuk 2010 Program Studi Sastra China
yang telah memberikan dukungan serta senantiasa menemani selama 4 tahun
masa perkuliahan suka dan duka serta memberi semangat, terkhusus buat abang
Jameisso yang sudah bersedia menemani menjelajah. Sindy, Jesica, para badboy
(ketua Giring dan Daniel), Rommel, Ivo, Bhaiya Jhoy, Yati, Zura, Danu, Mbak
Monik, Angel, Acen, Bernad, Donna, Gucci, Pricil, teman-teman BPH Huashan
(Rudi Camaru, iban Hendri, Feby) dan semua teman-teman yang tidak bisa
disebutkan satu persatu, terimakasih atas dukungannya. Ada kabar gembira
untuk kita semua.
11. Khalida Ayu adiknya Pucan dan Bang Lala yang telah bersabar menemani
melakukan penelitian dan telah memberi dukungan semangat.
12. Sobat Girly Power, Cahaya, Kiki, Mami Rapi, Daddy Andre, Jaka, bang Billy
Harahap, seluruh teman-teman SD, SMP sampai SMA yang tidak bisa di
sebutkan satu persatu atas dukungan semanagt.
13. Seluruh kakak senior 2007, 2008, 2009 dan adik-adik stambuk 2011, 2012, dan
2013 yang memberi dukungan semangat.
14. Teman-teman etnomusikologi, emak Debi, Friska, Blesta, Gok, Lisken, dll.
15. Teman-teman dan kakak-kakak satu kos yang sudah senantiasa menemani dan
menjadi penyemangat, kak Dedek, kak Dian, kak Vika, kak Ayu, kak Sabet, Ine,
dan Nova.
iv
16. Informan yang telah memberikan waktu dan kesempatan serta memberikan ilmu
kepada penulis, yaitu Bapak Budhi Dharma, Bapak Ismail Budiman, Bapak Toni
Harsono sebagai dalang Wayang Potehi , dan beberapa masyarakat yang telah
berkenan diwawancari Akong, Bapak Kiki, dll.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Penulis
berharap agar tulisan ini bermanfaat bagi para pembaca. Selain itu dapat menjadi
sumbangan untuk ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang Sastra Cina.
Oleh sebab itu, kepada semua pihak penulis sangat mengharapkan saran dan
kritik yang bersifat membangun, demi perbaikan skripsi ini.
Medan, 16 Juli 2014
Penulis
ADE IMA MELATI HARAHAPNIM. 100710032
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Contoh Wayang Potehi ....................................................................... 12 Gambar 2 Lakon Sie Djin Kwie dan Liu Kim Hwa ............................................. 30Gambar 3 Panggung Pertunjukan Wayang Potehi ............................................... 31Gambar 4 Alat Musik Pertunjukan Wayang Potehi ............................................. 32
vi
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin di Kota Tebing Tinggi Tahun 2012............................................................. 30
Tabel 2 Sensus Penduduk Menurut Agama di Kota Tebing Tinggi............. 31
vii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ................................................................................................................. iKATA PENGANTAR ............................................................................................... iiDAFTAR GAMBAR ................................................................................................. viiDAFTAR TABEL...................................................................................................... viiiDAFTAR ISI .............................................................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................... 11.1 Latar Belakang ...................................................................................................... 11.2 Rumusan Masalah ................................................................................................. 61.3 Tujuan Masalah ..................................................................................................... 61.4 Manfaat Penelitian ................................................................................................ 6
1.4.1 Manfaat Teoritis ..................................................................................... 61.4.2 Manfaat Praktis ...................................................................................... 7
1.5 Batasan Masalah .................................................................................................... 7
BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA ............. 92.1 Konsep ................................................................................................................... 9
2.1.1 Kebudayaan ............................................................................................ 92.1.2 Masyarakat Tionghoa ............................................................................. 92.1.3 Kota Tebing Tinggi ................................................................................ 102.1.4 Wayang Potehi ....................................................................................... 112.1.5 Pertunjukan ............................................................................................. 122.1.6 Teks ........................................................................................................ 12
2.2 Landasan Teori ...................................................................................................... 132.2.1 Teori Semiotik Pertunjukan ................................................................... 142.2.2 Teori Linguistik Sistemik Fungsional .................................................... 18
2.3 Tinjauan Pustaka ................................................................................................... 22
BAB III METODE PENELITIAN.......................................................................... 243.1 Metode Penelitian................................................................................................. 243.2 Teknik Pengumpulan Data.................................................................................... 25
3.2.1 Dokumentasi........................................................................................... 253.2.2 Observasi Lapangan................................................................................ 253.2.3 Wawancara.............................................................................................. 26
3.3 Teknik Analisis Data............................................................................................. 26
BAB IV ETNOGRAFI KOTA TEBING TINGGI................................................ 28
4.1 Letak dan Geografis Kota Tebing Tinggi............................................................ 284.2 Demografi Masyarakat Kota Tebing Tinggi........................................................ 294.3 Sumber Daya Budaya.......................................................................................... 31
BAB V ANALISIS PERTUNJUKAN....................................................................
5.1 Properti.................................................................................................................. 33
viii
5.1.1 Dalang.................................................................................................... 345.1.2 Wayang Potehi....................................................................................... 365.1.3 Panggung................................................................................................ 395.1.4 Alat Musik.............................................................................................. 41
5.2 Tema Cerita........................................................................................................... 435.3 Konteks Sosial....................................................................................................... 455.4 Penonton................................................................................................................ 46
BAB VI ANALISIS TEKS........................................................................................ 48
6.1 Diksi...................................................................................................................... 486.2 Prolog.................................................................................................................... 506.3 Dialog.................................................................................................................... 516.4 Epilog.................................................................................................................... 556.5 Struktur Teks......................................................................................................... 576.6 Makna Teks dalam Konteks Sosial....................................................................... 61
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN........................................................................ 647.1 Simpulan................................................................................................................ 647.2 Saran...................................................................................................................... 66
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 68
LAMPIRAN............................................................................................................... 70Daftar Informan........................................................................................................ 70Daftar Pertanyaan..................................................................................................... 71Naskah Teks Pertunjukan........................................................................................ 72
ix
BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki bermacam-macam suku bangsa,
tidak hanya suku yang berasal dari nusantara saja, tetapi juga suku yang berasal dari
luar nusantara. Di Indonesia, selain ditemukan kebudayaan suku-suku pribumi,
dapat ditemukan juga kebudayaan dari suku Arab, Tionghoa, dan suku lainnya
(Hoed, 2011:198). Dengan keanekaragaman suku yang ada di Indonesia, maka
semakin banyak pula ragam kebudayaannya. Indonesia sendiri memiliki banyak
jenis kebudayaan baik dari segi adat istiadat, makanan, kesenian, pakaian, dan lain-
lain.
Manusia dan kebudayaan merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan, dan
makhluk manusia merupakan pendukung kebudayaan. Sekalipun makhluk manusia
akan mati, tetapi kebudayaan yang dimilikinya akan diwariskan untuk
keturunannya, demikian seterusnya. Pewarisan kebudayaan makhluk manusia, tidak
hanya terjadi secara vertikal atau kepada anak cucu mereka, melainkan dapat pula
dilakukan secara horizontal, yaitu manusia yang satu dapat belajar kebudayaan dari
manusia lainnya. Berbagai pengalaman makhluk manusia dalam rangka
kebudayaannya, akan diteruskan kepada generasi berikutnya atau dapat
dikomunikasikan dengan individu lainnya, karena ia mampu mengembangkan
gagasan-gagasannya dalam bentuk lambang-lambang vokal berupa bahasa, serta
dikomunikasikan dengan orang lain melalui kepandaiannya berbicara dan menulis
(Poerwanto, 2005:88).
1
Salah satu contoh seni budaya di Indonesia yang masih melekat dan masih
digemari adalah wayang. Wayang dalam kebudayaan etnik natif di Indonesia
terdapat di dalam kebudayaan Jawa, Sunda, Bali, Melayu, dan lainnya. Wayang ini
juga memiliki berbagai varian seperti: wayang kulit (purwa), wayang wong,
wayang golek, wayang kritik, wayang krucil, wayang Melayu, dan lain-lainnya. Di
dalam pertunjukan wayang ini terdapat unsur cerita (berupa prolog, dialog, epilog,
baik yang dilakukan oleh dalang atau para pelakon). Adapula ensambel pengiring
dan penyanyi vokal, dan juga tata panggung, rias, cahaya, kostum, dan lain-lainnya.
Sebagai hasil kebudayaan, wayang mempunyai nilai hiburan yang
mengandung cerita baku baik untuk tontonan maupun tuntunan. Aneka jenis
wayang di Indonesia, tidak hanya berasal atau ciptaan dari masyarakat pribumi saja,
tetapi ada juga jenis wayang yang berasal dari kaum non pribumi.
Warga keturunan Tionghoa misalnya yang sudah banyak tersebar di
Nusantara. Masuknya mereka ke Indonesia dengan membawa budaya yang telah
melekat dalam diri ataupun hasil pewarisan. Bahasa Tionghoa juga salah satu dari
budaya tua dan kompleks di dunia. Budaya Tionghoa yang telah dikenal di
Indonesia mencakup kuliner, kesenian, musik, perayaan, bahasa, pakaian, dan lain-
lainnya. Seni menjadi salah satu pembentuk kebudayaan. Seni pertunjukan seperti
barongsai, liongsai, wayang potehi, kaligrafi Tiongkok, dan ukiran adalah kesenian
yang masih lestari hingga kini.
Secara historis, kesenian wayang potehi ini sudah berumur sekitar 3.000
tahun. Seni wayang ini pertama kali diciptakan oleh lima narapidana terhukum mati
pada zaman dinasti Jin, 265-420 Masehi pada masa pemerintahan Raja Tioe Ong.
Menjelang eksekusi, seorang dari mereka berupaya menghibur diri dengan cara
2
memanfaatkan barang-barang yang ada di balik sel mereka. Ajakan ini direspon
baik oleh empat narapidana yang lain. Dari balik bui itulah mereka merancang satu
pertunjukan san menyiapkan segala perlengkapannya, termasuk “alat musik”
seadanya, yaitu, tangkai sapu bambu bekas (alat untuk mengatur aba-aba musik),
pecahan kaca, tutup panci bekas, baskom (sebagai gembreng/ alat musik pukul),
serta sapu tangan bekas/ perca dan sobekan kain (untuk baju tokoh wayangnya).
Akhirnya mereka menyelenggarakan pementasan kecil-kecilan yang ternyata
hal ini sampai ke telinga sang raja. Kemudian mereka ditantang untuk tampil di
hadapan raja dan akan mendapat imbalan terbebas dari hukuman bila sang raja
merasa senang. Mendengar kesempatan ini, mereka merasa harus memanfaatkan
kemampuan dan situasi tersebut dengan baik. Lantas, mereka memutuskan untuk
mengangkat lakon yang bertemakan Raja Tioe Ong itu sendiri, dengan cara
meriwayatkan kebaikan dan citra positif pada diri sang raja. Karena hal ini, maka
merekapun akhirnya terbebas dari hukuman (Ananda dan Anastasia, 2013:190).
Terbebasnya mereka dari hukuman dengan syarat bahwa mereka harus
menyebarkan pertunjukan boneka yang mereka ciptakan sebagai suatu kesenian
tradisional. Mulailah mereka berkeliling dari satu tempat ke tempat yang lain
memainkan pertunjukan boneka. Cerita yang dimainkan selain tentang diri mereka,
juga mengambil cerita-cerita tentang kerajaan, sejarah dan dewa-dewa (Dinanike,
1997:20)
Masuknya wayang potehi ke Nusantara diperkirakan terjadi pada abad ke-20
yang dibawa oleh masyarakat Tionghoa perantauan ke kawasan ini. Wayang potehi
yang masuk ke Indonesia berasal dari Provinsi Fujian bagian Selatan. Pertunjukan
wayang potehi ini sempat berkembang dan berjaya sebelum lahirnya Orde Baru.
3
Namun di masa Orde Baru yang anti komunis, termasuk budaya Tionghoa yang
dipandang sebagai ekspresi komunisme, maka terjadi pelarangan atas berbagai
bentuk ekspresi berkesenian. Pada saat itu pertunjukan ini ditiadakan.
Namun demikian, seiring berjalannya waktu pada masa reformasi, larangan
tersebut dicabut dan pertunjukan wayang potehi ini kembali berkembang dan
dipertontonkan di Nusantara. Pertunjukan wayang potehi bisa ditemui di berbagai
perayaan seperti ulang tahun Dewa, Tahun Baru Tiongkok, Cap Go Meh dan lain
sebagainya.
Wayang potehi pada awalnya tidak mengalami perubahan yang berarti,
hanya penyebutannya saja yang berubah dari budaixi menjadi wayang potehi.
Istilah potehi berasal dari dialek Hokkian. Orang jawa menyebut wayang potehi
dengan istilah wayang Piti. Hal ini karena mereka melihat bentuk boneka yang
digunakan dalam pertunjukan wayang potehi berukuran kecil (Dinanike, 1997:38).
Pada awalnya pertunjukan ini di gunakan sebagai fungsi sosial dan ritual karena
dimainkan di klenteng, tetapi seiring perkembangan zaman ada juga difungsikan
sebagai salah satu pertunjukan hiburan. Pada awalnya wayang potehi, menurut
keterangan dari para informan, menggunakan bahasa Hokkian, karena hanya
dinikmati etnik Tionghoa. Membaurnya etnis Tionghoa dan pribumi yang membuat
etnis Tionghoa mulai memahami bahasa Indonesia disamping bahasa Hokkian
maka kemudian memakai bahasa Indonesia. Walaupun bukan kebudayaan asli
Indonesia, wayang potehi telah memberikan warna-warni dalam pelangi seni
Nusantara. Pertunjukan wayang potehi ini pun tidak hanya diminati dan ditunggu-
tunggu masyarakat Tionghoa saja tetapi antusias masyarakat pribumi juga sangat
tinggi.
4
Menurut informan masuknya wayang potehi di Sumatera Utara pertama kali
terdapat di Kota Tebing Tinggi yang dipertunjukan di Vihara Avalokistesvara.
Vihara Avalokitesvara ini mulai dibangun pada tahun 2002. Penulis memilih daerah
Tebing Tinggi karena masyarakat Tionghoa di Kota Tebing Tinggi terhadap
kebudayaan mereka masih sangat lekat dan mereka masih memahami kebudayaan
itu dengan baik, terutama di kalangan generasi tua. Sehingga sejak saat itu hingga
kini pertunjukan wayang potehi secara berturut-turut setiap tahun pada saat
perayaan Ulang Tahun Dewa dan pada saat perayaan hari jadi Vihara selalu
dipertujukan.
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengetahui lebih dalam
dan berniat untuk melakukan suatu penelitian yang memfokuskan pada analisis
pertunjukan wayang potehi di kota Tebing Tinggi. Dengan demikian penulis
membuat judul penelitian ini yaitu: Wayang Potehi Tiongkok di Kota Tebing
Tinggi Sumatera Utara: Analisis Pertunjukan dan Teks.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun masalah yang ingin dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana struktur dan konteks pertunjukan kesenian wayang potehi yang
ditampilkan di Kota Tebing Tinggi?
2. Bagaimana struktur teks yang digunakan selama pertunjukan wayang potehi
berlangsung?
5
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Untuk mendeskripsikan bagaimana struktur konteks pertunjukan kesenian
wayang potehi di Kota Tebing Tinggi.
2. Untuk mendeskripsikan bagaimana struktur teks yang digunakan selama
pertunjukan wayang potehi berlangsung.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis, adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini
adalah dapat menambah pengetahuan dan masukan untuk penelitian selanjutnya
dalam studi kebudayaan antarbudaya khususnya budaya Tionghoa. Penelitian ini
juga dapat dijadikan bahan perbandingan penelitian-penelitian yang akan datang.
Penulis juga berharap penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk memperkaya konsep
atau teori yang menyokong perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya yang
terkait dengan budaya etnik Tionghoa yang menjadi salah satu suku di Nusantara.
2.4.2 Manfaat Praktis
Secara praktis, adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini
adalah menambah pengetahuan penulis, serta masyarakat Indonesia, tentang
bagaimana pertunjukan wayang potehi Tiongkok di Kota Tebing Tinggi serta
keberadaannya di Indonesia sehingga mampu menarik perhatian masyarakat luas
untuk lebih tertarik mengenal kebudayaan-kebudayaan yang ada di Indonesia, baik
kebudayaan asli dari Indonesia maupun kebudayaan etnis Tionghoa. Selain itu juga,
6
penulis berharap penelitian dapat dijadikan rujukan untuk penelitian-penelitian
yang akan datang ataupun sebagai bahan pelajaran muatan lokal. Penelitian ini juga
diharapkan dapat membantu masyarakat untuk menerapkan kembali (revitalisasi)
kesenian wayang potehi dalam masyarakat sehingga kelestariannya tetap terjaga.
2.5 Batasan Masalah
Masyarakat Tionghoa memiliki banyak kebudayaan seni yang sudah
berakulturasi dengan Indonesia, termasuk dalam jenis-jenis wayang Tionghoa yang
ada di Indonesia dan asing-masing memiliki sejarah serta cerita tersendiri di
dalamnya. Begitu juga dengan jenis dari bentuk wayang potehi yang
beranekaragam sesuai dengan tokoh-tokohnya. Oleh karena sudah adanya
percampuran, maka banyak pula perubahan-perubahan dalam melakukan
pertunjukan wayang potehi di Negara Tiongkok dan di Indonesia. Maka untuk
menghindari batasan yang terlalu luas, peneliti mencoba membatasi ruang lingkup
penelitian hanya pada kajian deskripsi seni pertunjukan wayang potehi di Kota
Tebing Tinggi, Provinsi Sumatera Utara, Indonesia, serta struktur teks (prolog,
dialog, dan epilog) yang diucapkan oleh dalang, yang digunakan selama
pertunjukan wayang potehi berlangsung. Peneliti juga membatasi hanya
memaparkan bagaimana perubahan yang telah terjadi dalam menampilkan
pertujukan wayang potehi di Kota Tebing Tinggi.
7
BAB IIKONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep
Pengertian konsep dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003:588)
adalah gambaran mental dari suatu objek, proses, atau apapun yang ada di luar
bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain. Peneliti akan
menggambarkan objek yang diteliti yaitu gambaran berupa pengertian-pengertian
yang berkaitan dengan penelitian.
2.1.1 Kebudayaan
Kebudayaan merupakan kebiasaan yang dipelajari. Menurut Veegar dalam
buku Ilmu Budaya Dasar, kebudayaan adalah hasil pengungkapan diri manusia ke
dalam materi sejauh diterima dan dimiliki oleh suatu masyarakat dan menjadi
warisannya. Manusia harus menciptakan suatu kebudayaan, sebab tanpa
kebudayaan ia makhluk yang tidak berdaya, yang menjadi korban dari keadaannya
yang tidak lengkap dan naluri-nalurinya yang tidak terpadu. Jadi menurutnya
kebudayaan adalah faktor kekuatan manusia dalam rangka merespons alam
sekitarnya.
2.1.2 Masyarakat Tionghoa
Masyarakat Tionghoa mulai masuk ke negara Indonesia pada abad ke-7.
Pada abad ke-11, mereka mulai tinggal di wilayah Indonesia, terutama di pesisir
timur Sumatra dan Kalimantan Barat. Kemudian pada abad ke-14, ada warga
Tionghoa yang mulai bermigrasi ke Pulau Jawa, terutama di sepanjang pantai utara
8
Jawa. Perpindahan ini merupakan akibat dari aktivitas perdagangan antara India
dan Tiongkok melalui jalur laut. Istilah Tionghoa dibuat sendiri oleh keturunan
Cina, berasal dari kata zhonghua. Zhonghua dalam bahasa Mandarin dilafalkan
sebagai Tionghoa.
Kehidupan masyarakat Tionghoa mulai mewarnai lembaran ritual di
Indonesia. Masyarakat Tionghoa juga memiliki berbagai jenis adat istiadat budaya
yang kita kenal dengan perayaan-perayaan ataupun festival-festival tradisional.
2.1.3 Kota Tebing Tinggi
Kota Tebing Tinggi berada diantara 30°9'3" sampai 30°4'50" Lintang Utara
dan 99°4'1" sampai 99°0'0" Bujur Timur. Terletak sekitar 80 km dari Kota Medan,
Sumatera Utara Indonesia. Kota Tebing Tinggi merupakan salah satu pemerintahan
kota dari 34 kabupaten/kota di Sumatera Utara. Luas kota ini berkisar 38,438 km2.
Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, rerata kepadatan penduduk Kota Tebing
Tinggi adalah 3,777 orang per kilometer persegi. Kota Tebing Tinggi terletak pada
lintas utama Sumatera, yaitu menghubungkan Lintas Timur dan Lintas Tengah
Sumatera melalui lintas diagonal pada ruas Jalan Tebing Tinggi, Pematang Siantar,
Parapat, Balige, dan Siborong-borong.
2.1.4 Wayang Potehi
Wayang merupakan salah satu kebudayaan seni pertunjukkan rakyat yang
masih banyak penggemarnya hingga saat ini. Pertunjukkan wayang dimainkan oleh
seorang dalang dengan menggerakkan tokoh-tokoh pewayangan yang dipilih sesuai
dengan cerita yang dibawakan. Dalam setiap pagelaran sang dalang dibantu para
9
swarawati atau sindhen dan para penabuh gamelan atau niyaga, sehingga
pertunjukkan wayang melibatkan banyak orang (Gunarjo, 2011:9). Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (2003:538), wayang adalah boneka tiruan orang yang
terbuat dari pahatan kulit atau kayu dsb yang dapat dimanfaatkan untuk
memerankan tokoh dalam pertunjukan drama tradisional (Bali, Jawa, Sunda, dsb),
biasanya dimainkan oleh seseorang yang disebut dalang.
Wayang potehi merupakan salah satu jenis kesenian masyarakat Tionghoa
yang ada di Indonesia. Wayang khas Tionghoa ini berasal dari negeri Tirai Bambu
bagian selatan. Wayang potehi berasal dari kata poo (artinya kain), tay (artinya
kantong) dan hie (artinya wayang). Wayang potehi adalah wayang boneka yang
terbuat dari kain. Wayang potehi lebih dikenal sebagai wayang boneka, yang cara
permainannya bukan dengan menggerakan tongkat kayu, namun melalui jari-jari
tangan dalang yang dimasukkan ke dalam wayang tersebut dan menggerakannya
sesuai dengan jalannya cerita. Jumlah orang yang memainkan boneka ini ada dua
orang dan masing-masing memegang dua boneka. Dari kedua orang tersebut, satu
orang dalang inti dan satu orang sebagai asisten dalang. Pertunjukan wayang potehi
ini menceritakan tentang sejarah atau tokoh-tokoh penting di Cina dan biasanya
dibawakan secara serial.
10
Gambar 1: Contoh Wayang Potehi
2.1.5 Pertunjukan
Pertunjukan adalah sesuatu yang dipertunjukan atau ditontonkan.
Pertunjukan adalah sebuah komunikasi yang dilakukan satu orang atau lebih,
pengirim pesan merasa bertanggung jawab pada seseorang atau lebih penerima
pesan dan kepada sebuah tradisi yang mereka pahami bersama melalui seperangkat
tingkah laku yang khas (Murgianto, 1996:156). Dalam sebuah pertunjukan harus
ada pemain, penonton, pesan yang dikirim dan cara penyampaian yang khas.
Berhasilnya sebuah pertunjukan, jika terjadi komunikasi dua arah antara pelaku
seni pertunjukan dengan para penontonnya. Dalam sebuah seni pertunjukan atau
yang lazim juga disebut dengan seni budaya dan budaya pertunjukan, biasanya
dilakukan pada masa tertentu dan ruang tertentu (seperti pentas, lapangan, dan
sejenisnya.
Istilah seni pertunjukan atau sering juga disebut seni pertunjukan serta
pertunjukan budaya dalam bahasa Indonesia dan Melayu Malaysia adalah sebagai
padanan istilah perfoming art atau cultural perfomance dalam bahasa Inggris.
11
Menurut Murgiyanto (1995) kajian-kajian keilmuan mengenai seni terbagi ke
dalam rumpun-rumpun seni: (a) seni pertunjukan, yang di dalamnya terdiri lagi dari
percabangan seni musik, tari, dan teater. Bidang kajian disiplin ini meluaskan diri
sampai kepada sirkus, kabaret, olah raga, ritual, upacara, prosesi pemakaman dan
lain-lainnya. (b) Seni visual atau seni rupa yang terdiri dari seni mumi, seni patung,
kerajinan atau kriya, lukis, disain grafis, disain interior, disain eksterior, reklame
dan lain-lainnya. (c) Seni media rekam, yang terdiri dari: televisi, radio, komputer,
intemet dan lain-lainnya. Seni sastra umumnya menjadi bahagian kajian dari ilmu
sastra atau linguistik, seni arsitektur atau seni bina menjadi bahagian kajian ilmu
teknik. Namun kesemua bidang ini saling memiliki hubungan teoretis, metodologis
dan sejarah dalam ilmu pengetahuan manusia.
Ilmu seni pertunjukan telah menjadi sebuah disiplin ilmu yang mencoba
menerapkan berbagai kajian dan metodologi, yang sifatnya integratif dan
interdisiplin. Dalam disiplin seni pertunjukan ini, para ilmuwannya selalu
menggunakan pendekatan perbandingan. Bahwa seni pertunjukan dilakukan oleh
manusia dalam perayaan, upacara yang sifatnya sosial. Begitu pula pelbagai
aktivitas yang sifatnya lebih menekankan kepada aspek estetika seperti dalam seni
musik, tari, dan teater.
Seni pertunjukan sebagai sebuah disiplin ilmu coba dikembangkan pelbagai
metode dan teorinya oleh para ilmuwannya. Para ilmuwan seni pertunjukan ini
mencoba mengembangkan sekumpulan konsep dan pendekatan keilmuan yang
bersifat saintifik, menjelajahi pelbagai teori dan metodologi merangkum disiplin-
disiplin antropologi, sosiologi, sejarah, teori sastra, semiotika, analisis struktural,
analisis fungsional, teori feminimisme, etnologi, analisis gerak tari dan teater,
12
psikologi perseptual, estetika dan teori seni pertunjukan itu sendiri. Dalam rangka
memberikan perspektif pertunjukan yang terintegrasi, tari, musik, dan teater tidak
hanya dipelajari sebagai pertunjukan yang berdiri sendiri tetapi merupakan
bahagian dari teater, upacara dan kehidupan sosiobudaya manusia. Seni
pertunjukan yang didukung oleh musik, tari, dan teater menjadi satu bahagian dari
konsep estetika. Musik sendiri adalah sebuah aktivitas yang material dasamya
adalah bunyi-bunyian yang mengandung nada dan ritem tertentu. Sementara seni
tari menggunakan medium utamanya yaitu gerak-geri tubuh manusia, dan teater
melibatkan pelbagai medium baik bunyi-bunyian, gerak-gerik, alam sekitar maupun
bahasa dan sastera. Dengan demikian dalam seni pertunjukan pendekatan struktural
atau teks dan fungsional atau konteks menjadi bahagian yang saling berintegrasi
dan saling mendukung. Dalam seni pertunjukan biasanya satu genre tertentu telah
mengandung musik atau tari dan teater sekaligus. Namun ada yang mengandung
satu bidang saja (Sal Murgiyanto 1995).
2.1.6 Teks
Teks adalah naskah yang berupa kata-kata asli dari seorang pengarang;
kutipan dari kitab suci untuk pangkal ajaran atau ulasan; bahan tertulis untuk dasar
memberikan pelajaran, pidato, dan sebagainya. Menurut Luxemburg, et.al.
(1992:86, dalam jurnal) mendefinisikan teks sebagai ungkapan bahasa yang
menurut isi, sintaksis, pragmatik merupakan suatu kesatuan. Teks yang baik harus
mengungkapkan gagasan-gagasan atau gambaran-gambaran yang ada dalam
kehidupan. Gagasan-gasasan atau gambaran-gambaran tersebut dituangkan dalam
13
bentuk bahasa yang berupa penceritaan, lazimnya dalam bentuk drama dan prosa
maupun untaian kata-kata, lazimnya dalam bentuk puisi.
2.2 Landasan Teori
Teori merupakan alat yang terpenting dari suatu pengetahuan. Menurut
Koenjaraningrat (dalam jurnal, 2008) bahwa tanpa teori hanya ada pengetahuan
tentang serangkaian fakta saja, tetapi tidak akan ada ilmu pengetahuan. Sebagai
pedoman dalam menyelesaikan tulisan ini penulis menggunakan beberapa teori
yang berhubungan dengan pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam
tulisan ini.
Dalam menyelesaikan penelitian ini, penulis menggunakan teori Edy
Sedyawati (1981:48-66) yang mengemukakan bahwa suatu analisis pertunjukan
selalu dikaitkan dengan kondisi lingkungan dimana seni pertunjukan tersebut
dilaksanakan atau didukung masyarakatnya.
Bagi Umar Kayam (2000:21) mengajukan sebuah teori bahwa seni
pertunjukkan Indonesia memiliki ciri yang istimewa. Ia adalah sosok seni
pertunjukkan yang sangat lentur dan “cair” sifatnya. Ia memiliki sifat yang
demikian karena lingkungan masyarakatnya selalu barada dalam kondisi yang terus
berubah-ubah. Kondisi tersebut berada, pada suatu kurun waktu tertentu, mapan
dan mengembangkan suatu sosok yang tumbuh sebagai suatu “tradisi.”
Untuk melihat apa-apa saja komponen dalam sebuah pertunjukan, penulis
memakai teori Milton Singer (dalam jurnal, 1996: 164-165) yang mengungkapkan
bahwa pertunjukan selalu memiliki, waktu pertunjukan yang terbatas, awal dan
14
akhir, acara kegiatan yang terorganisir, sekelompok pemain, sekelompok penonton,
tempat pertujukan dan kesempatan untuk mempertunjukannya.
2.2.1 Teori Semiotik Pertunjukan
Untuk mengkaji pertunjukan wayang potehi di Kota Tebing Tinggi
Sumatera Utara ini, penulis menggunakan teori semiotik pertunjukan yang
ditawarkan oleh dua pakar seni pertunjukan yaitu Pavis dan Kowzan. Keduanya
mendasarkan analisis semiotik yang bersumber dari Saussure dan Peirce, namun
diterapkan pada seni pertunjukan, bukan bahasa seperti yang diurai oleh saussure
dan Peirce.
Pendekatan untuk mengkaji seni, salah satunya mengambil teori semiotik
dalam rangka usaha untuk memahami bagaimana makna diciptakan dan
dikomunikasikan melalui sistem simbol yang membangun sebuah peristiwa seni.
Dua tokoh perintis semiotika adalah Ferdinand de Saussure seorang ahli bahasa dari
Swiss dan Charles Sanders Peirce, seorang filosof dari Amerika Serikat. Saussure
melihat bahasa sebagai sistem yang membuat lambang bahasa itu terdiri dari
sebuah imaji bunyi (sound image) atau signifier yang berhubungan dengan konsep
(signified). Setiap bahasa mempunyai lambang bunyi tersendiri.
Peirce juga menginterpretasikan bahasa sebagai sistem lambang, tetapi terdiri
dari tiga bagian yang saling berkaitan: (1) representatum, (2) pengamat
(interpretant), dan (3) objek. Dalam kajian kesenian berarti kita harus
memperhitungkan peranan seniman pelaku dan penonton sebagai pengamat dari
lambang-lambang dan usaha kita untuk memahami proses pertunjukan atau proses
penciptaan. Peirce membedakan lambang-lambang ke dalam tiga kategori: ikon,
15
indeks, dan simbol. Apabila lambang itu menyerupai yang dilambangkan seperti
foto, maka disebut ikon. Jika larnbang itu menunjukkan akan adanya sesuatu seperti
timbulnya asap akan diikuti api, disebut indeks. Jika lambang tidak menyerupai
yang dilambangkan, seperti burung garuda melambangkan negara Republik
Indonesia, maka disebut dengan simbol.
Dengan mengikuti pendekatan semiotika, maka dua pakar pertunjukan budaya,
Tadeuz Kowzan dan Patrice Pavis (dalam Turner, 1983) dari Perancis,
mengaplikasikannya dalam pertunjukan. Kowzan dan Pavis menawarkan 13 sistem
lambang dari sebuah pertunjukan teater--8 berkaitan langsung dengan pemain dan 5
berada di luarnya. Ketiga belas lambang itu adalah: kata-kata, nada bicara, mirnik,
gestur, gerak, make-up, gaya rarnbut, kosturn, properti, setting, lighting, musik, dan
efek suara.
Kowzan dan Pavis menyusun daftar pertanyaan yang lebih lugas dan detil
untuk mengkaji sebuah pertunjukan. Pertanyaan-pertanyaannya menekankan
perlunya dijelaskan bagaimana makna dibangun dan mengapa demikian.
Pertanyaan ini menekankan pentingnya sebuah proses pertunjukan. Adapun
pertanyaan-pertanyaan itu adalah yang mencakup:
(1) diskusi umum tentang pertunjukan, yang meliputi:
(a) unsur-unsur apa yang mendukung pertunjukan,
(b) hubungan antara sistem-sistem pertunjukan,
(c) koherensi dan inkoherensi,
(d) prinsip-prinsip estetis produksi,
(e) kendala-kendala apa yang dijumpai tentang produksi seni, apakah
momennya kuat, lemah, atau membosankan.
16
(2) skenografi, yang meliputi:
(a) bentuk ruang pertunjukan--mencakup: arsitektur, gestural, keindahan,
imitasi tata ruang,
(b) hubungan. antara tempat penonton dengan panggung pertunjukan,
(c) sistem pewarnaan dan konotasinya,
(d) prinsip-prinsip organisasi ruang yang meliputi hubungan antara on-stage
dan off-stage dan keterkaitan antara ruang yang diperlukan dengan
gambaran panggung pada teks drama.
(3) sistem tata cahaya
(4) properti panggung: tipe, fungsi, hubungan antara ruang dan para pemain
(5) kostum: bagaimana mereka mengadakannya serta bagaimana hubungan kostum
antar pemain
(6) pertunjukan:
(a) gaya, individu atau konvensional,
(b) hubungan antara pemain dan kelompok,
(c) hubungan antara. teks yang tertulis dengan yang dilakukan, antara
pemain dan peran,
(d) kualitas gestur dan mimik,
(e) bagaimana dialog dikembangkan.
(7) fungsi musik dan efek suara
(8) tahapan pertunjukan:
(a) tahap keseluruhan,
(b) tahap-tahap tertentu sebagai sistem tanda seperti tata cahaya, kostum,
gestur, dan lain-lain, tahap pertunjukan yang tetap atau berubah tiba-tiba.
17
(9) interpretasi cerita dalam pertunjukan:
(a) cerita apa yang akan dipentaskan,
(b) jenis dramaturgi apa yang dipilih,
(c) apa yang menjadi ambiguitas dalam pertunjukan dan poin-poin apa yang
dijelaskan,
(d) bagaimana struktur plot,
(e) bagaimana cerita dikonstruksikan oleh para pemain dan bagaimana
pementasannya,
(f) termasuk genre apakah teks dramanya.
(10) teks dalam pertunjukan:
(a) terjemahan skenario,
(b) peran yang diberikan, teks drama dalam produksi
(c) hubungan antara teks dan imaji
(11) penonton:
(a) di mana pertunjukan dilaksanakan,
(b) prakiraan penonton tentang apa yang akan terjadi dalam pertunjukan,
(c) bagaimana reaksi penonton, dan
(d) peran penonton dalam konteks menginterpretasikan makna-makna.
(12) bagaimana mencatat produksi pertunjukan secara teknis:
(a) imaji apa yang menjadi fokus.
(13) apa yang tidak dapat diuraikan dari tanda-tanda pertunjukan:
(a) apa yang tidak dapat diinterpretasikan dari sebuah pertunjukan,
(b) apa yang tidak dapat direduksi tentang tanda dan makna pertunjukan
(dan mengapa).
18
(14) apakah ada masalah-masalah khusus yang perlu dijelaskan, serta berbagai
komentar dan saran lebih lanjut untuk melengkapi sejumlah pertanyaan dan
memperbaiki produksi pertunjukan.
2.2.2 Teori Linguistik Sistemik Fungsional
Penelitian ini mengunakan pendekatan Linguistik Systemic Functional
(LSF). Dalam pendekatan ini Halliday (1994), mengatakan bahwa bahasa adalah
sistem arti dan sistem. Konsep sistem dan arti yang digagas Halliday dirangkum
dalam linguistik. Dalam penelitian konsep yang mendasari yaitu:
(a) Bahasa adalah suatu sistem semiotik,
(b) Bahasa merupakan teks berkonstrual (saling menentukan dan merujuk)
dengan konteks sosial,
(c) penggunaan bahasa adalah fungsional,
(d) Fungsi bahasa membuat makna,
(e) bahasa adalah sistem,
(f) hubungan bahasa dan teks direalisasikan melalui konteks sosial.
Bahasa lisan dan tulisan adalah bahasa yang difungsikan sesuai dengan
fungsi – fungsi bahasa yang disebut metafungsi yang memiliki sistem – sistem yaitu
sistem ideasional. interpesona dan tekstual. Tiga sistem di atas dikenal dengan tiga
konsep fungsional yaitu konsep pertama bahwa bahasa teruktur berdasarkan fungsi
bahasa dalam kehidupan manusia. Ketiga fungsi bahasa dalam kehidupan manusia
terdiri atas tiga hal yaitu (1) fungsi memaparkam atau menggambarkan, (2)
mempertukarkan, dan (3) merangkaikan pengalaman manusia. Kedua konsep
19
bahwa setiap unit bahasa adalah fungsional berlaku terhadap unit yang lebih besar,
yang di dalamnya unit itu menjadi unsur. Dengan pengertian seperti ini grup
nomina, verba, preposisi klausa sisipan, atau unit lain berfungsi dalam tugas masing
masing untuk membangun klausa. Konsep keempat menetapkan teks atau wacana
dalam kontek sosial. Teks sebagai unit bahasa yang fungsional dalam kontek sosial
adalah unit bahasa yang fungsional memberi arti atau unit semantik bukan unit tata
bahasa (grammatical unit).
Selanjutnya untuk menganalisis teks berupa prolog, dialog, dan epilog yang
diucapkan atau dituturkan oleh dalang, maka penulis juga menggunakan teori
Linguistik Systemic Functional (LSF) dari Martin. Menurutnya, secara global dan
umum, bahwa bahasa merupakan bahagian dari kebudayaan. Menurut Martin
peranan bahasa dalam konteks sosial adalah:
(1) bahasa tidak hidup dan berkembang secara sendirian, bahasa merupakan
bahagian dari lingkungan atau konteks sosial,
(2) untuk mengetahui bahasa tersebut, maka para pengkaji bahasa mestilah
melihat kenapa dan mengapa bahasa tersebut mencerminkan makna-makana
dalam konteks sosial,
(3) untuk mengetahui bahasa dan hubungannya dengan konteks sosial di
mana hasa itu hidup,
(4) untuk mengetahui para penutur bahasa tersebut menggunakan bahasa
untuk berbicara sesama mereka;
(5) hubungan antara bahasa dan konteks sosial adalah terekspresi dari
konstruksi keduanya;
20
(6) hubungan itu adalah: bahasa sebagai sistem semiotik mengekspresikan
konteks sosial sebagai sistem. Hubungan bahasa dengan konteks sosial
tersebut dapat dilihat dalam bagan berikut ini.
Bagan Hubungan antara Bahasa dan Konteks Sosial
(Martin, 1993:142)
Dalam konteks penelitian ini, bahasa yang dituturkan oleh dalang wayang
potehi, yang penulis sebut sebagai teks pertunjukan, akan dianalisis berdasarkan
konteks sosialnya. Teks itu sendiri sebagai bahasa memiliki struktur internalnya
seperti diksi, susunan atau sintaksis, serta lebih jauh makna-makna semantiknya.
Untuk itu, penulis nantinya di dalam skripsi sarjana ini akan mengkaji teks
pertunjukan wayang potehi berdasarkan konteks sosialnya, yaitu dalam kebudayaan
masyarakat Tionghoa di Kota Tebing Tinggi yang heterogen secara budaya.
21
2.3 Tinjauan Pustaka
Tinjauan adalah hasil meninjau, pandangan, pendapat sesudah ,menyelidiki
atau mempelajari (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003:1198). Pustaka adalah
kitab-kitab; buku; buku primbon (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2003:912).
Penulis menemukan beberapa buku, skripsi yang isinya relevan dengan judul
penelitian ini. Adapun buku dan jurnal yaitu :
Dinanike (1997), dalam skripsi yang berjudul “Pertunjukan Wayang Potehi
di Tempat Ibadat Tri Dharma Hok Tek Bio, Gombong.” Dalam skripsi ini ,
penulisnya menjelaskan sejarah munculnya wayang potehi di Cina, sejarah
masuknya wayang potehi di Indonesia serta menjelaskan tentang bagaimana struktur
konteks pertunjukan wayang potehi di Gombong, Jawa Tengah. Dengan membaca
skripsi ini penulis dapat mengetahui bahwa wayang potehi telah ada di Indonesia
sejak tahun 1930. Dinanike juga menuliskan unsur-unsur pendukung dalam
pertunjukan wayang potehi sehingga penulis mengetahui apa-apa saja instrumen
yang digunakan selama pertunjukan wayang potehi berlangsung di Gombong.
Dwi (2004), dalam makalahnya yang berjudul “Wayang Cina di Jawa
Sebagai Wujud Akulturasi Budaya dan Perekat Negara Kesatuan Republik
Indonesia.” Dalam makalah ini, pembicara menjelaskan sejarah masuknya wayang
Tiongkok-Jawa serta wayang potehi ke Indonesia. Ia juga mengungkapkan adanya
asimilasi antara budaya Tionghoa dengan budaya Indonesia sehingga adanya
perpaduan wayang Tionghoa dan wayang Jawa sehingga memunculkan wayang
Tiongkok-Jawa. Dengan membaca makalah ini penulis dapat mengetahui adanya
22
perubahan-perubahan yang terjadi setelah adanya akulturasi budaya Tiongkok
dengan budaya Indonesia dan mengetahui apa-apa saja perubahan yang telah terjadi
dari wujud asalnya.
Veronica (2011), dalam artikel berjudul Kebudayaan Tionghoa. Dalam
tulisan ini Veronica mengungkapkan cerita-cerita yang sering dilakonkan dalam
pementasan wayang potehi berupa legenda Tiongkok, seperti Sampek Engthay, Sih
Djienkoei, Capsha Thaypoo, Sungokong, dan lain-lain. Dengan membaca jurnal ini
penulis lebih mengetahui lakon-lakon apa saja yang lebih sering dimainkan dalam
pertunjukan wayang potehi dan bagaimana cara melakonkannya.
Ananda dan Anastasi (2013), dalam bukunya berjudul Pecinan Semarang.
Dalam bukunya ini, penulis menjelaskan sekilas tentang sejarah munculnya wayang
potehi. Penulis juga menceritakan biografi dari seorang Tiong Gie sebagai salah
satu ikon pecinan yang cukup terkenal dan bisa dibilang sebagai dalang wayang
potehi yang paling senior di pulau Jawa. Adapun manfaat buku ini bagi penulis
yaitu dapat membantu penulis memaparkan sejarah awal munculnya wayang potehi
di Negeri Tiongkok dan persebarannya di Indonesia terutama di Semarang, Jawa
Tengah.
23
BAB IIIMETODE PENELITIAN
3.1 Metode Penelitian
Menurut Soetriono (2007:163), metode penelitian adalah langkah-langkah
pengumpulan dan mengolah data yang dikembangkan untuk memperoleh pengetahuan
atau jawaban terhadap permasalahan melalui prosedur yang handal dan dapat dipercaya.
Metode penelitian diartikan sebagai cara mencari kebenaran dan azas-azas alam,
masyarakat atau kemanusiaan yang bersangkutan.
Dalam rangka penelitianm wayang potehi di Tebing Tinggi ini, langkah pertama
yang penulis lakukan adalah dengan melakukan studi pustaka. Studi pustaka ini
bertujuan untuk memperolah pengetahuan dasar tentang objek yang diteliti dan mencari
tulisan-tulisan yang berhubungan dengan objek bahasan. Adapun sumber-sumber
pustaka itu adalah berupa buku, majalah, surat kabar, artikel, dan sejenisnya sebagai
bahan keilmuan yang tertulis. Selain itu penulis juga memanfaatkan sumber-sumber
jejaring dunia maya (internet), baik berupa laman web, blog, audiovisual dalam situs
youtube, dan lain-lainnya. Ini dilakukan untuk menambah wawasan kelimuan dan
pemahaman penulis terhadap keberadaan teater wayang potehi ini, sedalam-dalamnya
dan seluas-luasnya, baik itu yang ada di Negeri Tiongkok maupun persebarannya ke
seluruh dunia, sebagai bahagian dari diaspora orang-orang Tionghoa ke seluruh dunia,
dengan berbagai dinamika di temapt barunya tersebut.
Metode penelitian yang penulis gunakan dalam mengkaji dua aspek dari wayang
potehi ini, yang mencakup pertunjukan dan teks yang digunakan dalam teater tersebut,
24
adalah metode deskriptif dan kualitatif. Tujuannya adalah untuk memahami secara rinci
bagaimana pertunjukan teater wayang ini dalam konteks sosial sesungguhnya, yang
terjadi di tebing Tinggi, Sumatera Utara.
3.2 Metode Deskriptif dan Kualitatif
Metode adalah cara atau jalan menyangkut masalah kerja yang dapat memahami
objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1985).
Sedangkan penelitian adalah penyelidikan yang hati-hati dan kritis dalam mencari fakta
dan prinsip-prinsip suatu penyelidikan yang amat cerdik untuk menetapkan sesuatu.
Metode deskriptif adalah suatu cara mendapatkan suatu informasi dengan
mengumpulkan data yang berhubungan dengan sikap dan pendapat dari suatu kelompok
orang, melalui pengamatan langsung. Metode ini selalu disertai dengan menggunakan
alat-alat atau instrumen yang berkaitan dengan objek penelitian.
Selanjutnya dalam melakukan penelitian, penulis menggunakan metode
pendekatan kualitatif dengan banyak data yang diperoleh dari narasumber. Pendekatan
kualitatif adalah metode penelitian dengan menggambarkan data-data dengan kata-kata
atau kalimat secara detail dan data yang diperoleh berasal dari ungkapan, catatan dan
tingkah laku yang diteliti. Metode kualitatif dapat membantu kita untuk memahami
orang atau masyarakat yang kita teliti.
Objek pendekatan kualitatif penelitiannya adalah bentuk pertunjukan kesenian
wayang potehi. Strategi penelitian ini dipandang lebih mampu menangkap berbagai
informasi kualitatif dengan kejelasan deskripsi yang diteliti dan penuh makna. Dengan
demikian, sifat kualitatif penelitian ini mengarah pada mutu dan kedalaman uraian,
yaitu pembahasan tentang bentuk pertunjukan kesenian wayang potehi.
25
3.3 Teknik Pengumpulan Data
3.2.1 Dokumentasi
Penulis menghimpun data-data yang terkumpul berupa dokumen-dokumen
terdahulu, foto-foto, dan audiovisual yang diambil langsung selama pertunjukan
berlangsung di Kota Tebing Tinggi, buku-buku, catatan formal, jurnal, internet dan
sebagainya yang berkaitan dengan penelitian sebagai bahan penunjang penelitian yang
dikumpulkan lalu dijabarkan dengan memberikan analisis-analisis untuk kemudian
diambil kesimpulan akhir.
Dalam konteks merekam jalannya pertunjukan wayang potehi ini, penulis
menggunakan dua jenis rekaman yaitu yang berbentuk visual (foto) dan yang berbentuk
audiovisual (videografi). Untuk foto, penulis menggunakan camera canon. Selanjutnya
yang berbentuk audiovisual, penulis menggunakan video legria.
3.2.2 Observasi Lapangan
Pengamatan adalah teknik pengumpulan data dengan cara mengamati langsung
atau observasi ke tempat atau ke objek yang berhubungan dengan penelitian.
Pengamatan dalam istilah sederhana adalah proses dimana peneliti melihat situasi
penelitian. Metode ini sangat sesuai digunakan peneliti karena pengamatan ini
dilakukan secara bebas atau terstruktur. Dengan pengamatan langsung, lebih
memudahkan peneliti untuk mendeskripsikan situasi penelitian. Dengan observasi,
maka peneliti dapat melihat secara fenomena-fenomena atau momen-momen yang
tumbuh dan berkembang.
26
Adapun lokasi observasi dilaksanakan di Vihara Avalokitesvara ( Hong San See
Temple), tepatnya di Jalan Saudara No. 39 Kompleks Citra Permai Indah Bandar Sono,
Kota Tebing Tinggi. Di tempat inilah biasanya dilakukan pertunjukan wayang potehi di
Tebing Tinggi.
3.2.3 Wawancara
Wawancara yaitu suatu kegiatan dilakukan untuk mendapatkan informasi secara
langsung dengan mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan pada para informan kunci.
Wawancara bermakna berhadapan langsung dengan narasumber dan kgiatan dilakukan
secara lisan.
Adapun informan yang diwawancarai ialah:
1. Bapak Dharma Surya (selaku Shuhu atau biksu di Vihara Avalokitesvara di Kota
Tebing Tinggi). Lahir di Kota Tebing Tinggi, 5 Februari 1968. Bapak Dharma
Surya adalah pendiri bangunan Vihara Avalokitesvara tersebut.
2. Bapak Ismail Budiman (Staf Ahli Walikota Tebing Tinggi). Lahir di Kota
Tebing Tinggi, 29 September 1955. Bapak Ismail Budiman adalah penasehat di
Vihara Avalokitesvara Kota Tebing Tinggi.
3. Sebagai dalang 辛勇旺 (xīnyǒngwàng). Umur 36 tahun.
4. Beberapa informan tambahan yang menyaksikan pertunjukan wayang potehi
dan beberapa orang di kalangan masyarakat Tionghoa Tebing Tinggi yang
mengetahui sedikit banyaknya tentang wayang potehi.
27
3.3 Teknik Analisis Data
Adapun teknik yang dipakai peneliti adalah analisis kualitatif. Data analisis
berupa kata-kata, penyataan-pernyataan ide, penjelasan-penjelasan ide atau kejadian dan
bukan dalam kerangka angka lalu dikumpulkan yang kemudian disusun dalam teks yang
diperluas dan dianalisis. Langkah – langkah yang dilakukan penulis adalah :
1. Melakukan observasi ke Vihara Avalokitesvara, kota Tebing Tinggi tempat
diadakannya pertunjukan wayang potehi.
2. Melakukan wawancara kepada dalang, shuhu atau biksu vihara dan ke
beberapa masyarakat yang menyaksikan pertunjukan dan beberapa
masyarakat yang mengetahui tentang wayang potehi.
3. Mengumpulkan data dari buku – buku, majalah, jurnal, internet, surat kabar
dan sejenisnya.
4. Membahas dan menyusun serta mengolah data tersebut secara sistematis
menjadi kesimpulan sehingga pembaca dapat mengerti maksud yang ingin
disampaikan oleh penulis.
28
BAB IVETNOGRAFI KOTA TEBING TNGGI
4.1 Letak dan Geografis Tebing Tinggi
Kota Tebing Tinggi berada di Provinsi Sumatera Utara, Negara Republik
Indonesia. Merupakan salah satu pemerintahan kota dari 33 Kabupaten/Kota di
Sumatera Utara. Berjarak sekitar 78 km dari Kota Medan (Ibu kota Provinsi Sumatera
Utara, 50 km dari Lubuk Pakam, 47 km dari Pematang Siantar dan 97 km dari Parapat.
Kota Tebing Tinggi terletak pada lintas utama Sumatera, yaitu menghubungkan Lintas
Timur dan Lintas Tengah Sumatera melalui lintas diagonal pada ruas Jalan Tebing
Tinggi, Pematang Siantar, Parapat, Balige dan Siborong-borong.
Kota Tebing Tinggi dikelilingi oleh beberapa perkebunan baik milik
pemerintah maupun swasta yang semuanya secara administrasi masih wilayah
kecamatan Tebing Tinggi Kabupaten Serdang Bedagai. Wilayah kota Tebing Tinggi
berbatasan dengan :
Sebelah Utara dengan PTPN-III Kebun Rambutan Kabupaten Serdang Bedagai
Sebelah Selatan dengan PTPN-IV Kebun Pabatu dan Perkebunan Paya Pinang
Sebelah Timur dengan PT. Socfindo Tanah Besih/PT. Paya Pinang
Sebelah Barat dengan PTP-III Kebun Gunung Pamela Kabupaten Serdang
Bedagai.
Topografi kota ini umumnya mendatar dan bergelombang dengan ketinggian
18-34 meter diatas permukaan laut. Dengan luas wilayah 38,438 km2 yang terdiri dari
5 Kecamatan dan 35 Kelurahan. Daerah ini juga dilintasi oleh 4 buah aliran sungai besar
dan kecil, yaitu sungai Padang, sungai Bahilang, sungai Kelembah dan sungai Sibarau.
29
Sungai yang paling besar melintasi daerah ini adalah sungai Padang dengan panjang
lebih kurang 2.150 meter dan lebar 65 metermembujur dari arah Barat menuju ke arah
Timur yang terletak pada bagian sebelah Utara dari bahagian pusat kota. Tebing Tinggi
beriklim tropis dataran rendah. Ketinggian 26 – 24 meter di atas permukaan laut dengan
topografi mendatar dan bergelombang. Temperatur udara di kota ini cukup panas yaitu
berkisar 25° - 27 °C. Sebagaimana kota di Sumatera Utara, curah hujan per tahun rata-
rata 1.776 mm/tahun dengan kelembaban udara 80%-90%.
4.2 Demografi Masyarakat Kota Tebing Tinggi
Masyarakat kota Tebing Tinggi merupakan masyarakat majemuk dengan
berbagai agama, suku bangsa, adat istiadat serta latar belakang pendidikan dan status
ekonomi yang berbeda. Namun dalam kehidupan sehari-hari seluruh etnik tersebut
dapat hidup secara damai. Hal ini dapat dibuktikan dengan tidak pernahnya terjadi
konflik antara suku bangsa maupun agama. Penduduk kota Tebing Tinggi mayoritas
memeluk agama Islam.
Tabel 1. Jumlah Penduduk Menurut Kecamatan dan Jenis Kelamin di Kota
Tebing Tinggi Tahun 2012
30
Kecamatan
District
Penduduk (orang) / Population Rasio Jenis
KelaminLaki-laki Perempuan Jumlah
(1) (2) (3) (4) (5)
1. Padang Hulu 13 423 13 779 27 202 97,42
2.Tebing Tinggi
Kota11 786 12 419 24 205 94,90
3. Rambutan 15 782 16 321 32 103 96,70
4. Bajenis 16 749 16 943 33 692 98,85
5. Padang Hilir 15 296 15 273 30 569 100,15
Tebing Tinggi 73 036 74 735 147 771 97,73
Catatan: Notes
Sumber/
Source :
e) Penduduk Pertengahan Tahun DAU 2012/ Mild Year Population
DAU 2012 BPS Provinsi Sumatera Utara / BPS
- Statistic of Sumatera Utara Province
31
Tabel 2. Sensus Penduduk Menurut Agama di Kota Tebing Tinggi tahun 2010
Agama Jumlah
1. Islam 113 344
2. Kristen 18 689
3. Katolik 1 327
4. Hindu 217
5. Budha 10 313
6. Khong Hu Chu 70
7. Lainnya 5
8. Tidak menjawab 4
9. Tidak ditanyakan 1 279
Jumlah Penduduk 145 248
Catatan: Notes
Sumber/
Source :
e) Penduduk Pertengahan Tahun DAU 2010/ Mild Year Population
DAU 2010 BPS Provinsi Sumatera Utara / BPS
- Statistic of Sumatera Utara Province
4.3 Sumber Daya Budaya
Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak
ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa kali muncul
dalam sejarah Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan
terbentuk. Catatan-catatan dari Cina menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno di
32
Nusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Tiongkok.
Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun
manusia dari Cina ke Nusantara dan sebaliknya. Saat lahirnya Reformasi Indonesia pada
Mei 1998, Kota Tebing Tinggi juga tak luput dari kerusuhan terhadap etnis Tionghoa.
Masyarakat yang saat itu tercekik ekonominya karena harga yang membubung tinggi,
beramai-ramai melakukan penjarahan toko-toko milik etnis Tionghoa. Pertokoan Jalan
Suprapto dan KH Dahlan tak luput dari penjarahan. Beberapa kilang padi milik etnis
Tionghoa juga dijarah. Dampaknya seluruh pertokoan di seluruh kota tutup, bahkan
selama tiga tahun sejak penjarahan, kota Tebing Tinggi seperti lumpuh pada malam hari
karena tidak adanya toko yang berani buka pada malam hari.
Seiring berjalannya waktu pada masa reformasi dan setelah masyarakat
Tionghoa mulai diakui di Indonesia, kebudayaan dan kesenian masyarakat mulai
bermunculan. Mereka selalu rutin mengadakan perayaan-perayaan atau festival-festival
kebudayaan. Di kota Tebing Tinggi, masyarakat Tionghoa terhadap kebudayaan masih
sangat lekat. Setiap perayaan akan di sambut dengan suka cita dan dimeriahkan dengan
beberapa kesenian masyarakat Tionghoa, seperti adanya barongsai, opera beijing,
liongsai, wayang potehi, dll. Bukan hanya perayaannnya saja, di kota Tebing Tinggi
juga banyak kesenian Tiongkok yang juga terlihat dari bangunan-bangunan, seperti
vihara, klenteng, dan bangunan-bangunan Tiongkok yang dihiasi dengan ukiran-ukiran
berkhas negara Tiongkok. Kebudayaan dan kesenian di kota Tebing Tinggu ini masih
melekat dan terlihat jelas hingga saat ini.
33
BAB VANALISIS PERTUNJUKAN
5.1 Properti
Vihara Avalokitesvara berdiri pada tahun 2002. Pengurus vihara adalah bapak
Dharma Shurya yang tak lain juga sebagai shuhu atau biksu di vihara tersebut. Untuk
menyambut ulang tahun Dewa Vihara tersebut, shuhu mengadakan acara selama tiga
hari berturut-turut pada hari Senin, 23 September 2013 sampai Rabu, 25 September
2013 mulai pukul 09.00 wib sampai pukul 22.00 wib. Selama tiga hari itu, banyak
kegiatan-kegiatan yang ikut menyemarakkan acara, seperti berdoa bersama, barongsai,
acara arak-arak dewa keliling kota Tebing Tinggi, pertunjukan opera beijing, sepeda
ontel tour dan tak ketinggalan pertunjukan wayang potehi. Berdasarkan hasil
wawancara dengan bapak Dharma, ia mengatakan bahwasanya pertunjukan wayang
potehi ini tidak rutin diadakan setiap perayaan ulang tahun-Nya tergantung dari
permintaan sang Dewa sendiri. Jika saat perayaan Dewa Vihara meminta diadakannya
pertunjukan wayang potehi, maka pertunjukan itu akan diadakan dan jika tidak maka
ditiadakan.
Pertunjukan wayang potehi ini diadakan pada hari kedua pukul 15.00 wib.
Layaknya sebuah pertunjukan ada beberapa properti yang harus dan wajib digunakan.
Properti adalah harta berupa tanah dan bangunan serta sarana dan prasarana yang tak
terpisahkan dari suatu bangunan. Properti dalam pertunjukan wayang potehi adalah
semua unsur-unsur yang mendukung berjalannya pertunjukan wayang potehi dari awal
hingga akhir pertunjukan. Adapun beberapa properti pertunjukan wayang potehi yang
digunakan untuk mendukung acara pertunjukan agar terlihat sempurna untuk
34
ditampilkan, antara lain : harus ada seorang dalang yang memainkan lakon, wayang
potehi, panggung, dan alat musik yang digunakan.
5.1.1 Dalang
Dalam pertunjukan wayang potehi, orang yang menggerakkan lakon wayang
potehi dan menyusun jalannya cerita disebut dalang. Dalang dalam dunia pewayangan
diartikan sebagai seseorang yang mempunyai keahlian khusus memainkan boneka
wayang (dalang). Keahlian ini biasanya diperoleh dari bakat turun - temurun dari
leluhurnya. Dalang adalah seorang sutradara, penulis lakon, seorang narator, seorang
pemain karakter, penyusun iringan, seorang "penyanyi", penata pentas, penari dan lain
sebagainya. Kesimpulannya dalang adalah seseorang yang mempunyai kemampuan
ganda,dan juga seorang manager, paling tidak seorang pemimpin dalam pertunjukan
bagi para anggotanya (pesinden dan pengrawit). Dalang merupakan faktor utama yang
harus ada dalam setiap pertunjukan karena dalang yang mengontrol semuanya. Pada
awalnya dalang potehi ini disebut sehu, namun adanya pembauran dan kebanyakan
ditemui saat ini dalang potehi merupakan asli orang pribumi maka kemudian
sebutannya menjadi dalang.
Memainkan pertunjukan wayang potehi biasanya maksimal hanya
membutuhkan lima orang saja. Satu orang sebagai dalang dan satu orang sebagai asisten
dalang dan tiga orang adalah pemain musik. Pertunjukan wayang potehi yang
dipertunjukan di Kota Tebing Tinggi ini dipimpin oleh seorang dalang yang bernama
Toni Harsono (44 tahun). Dalam perannya asisten dalang hanya berperan sebagai orang
yang membantu dalang menggerakkan boneka saat dipentaskan dan tidak ikut
35
berdialog. Dialog pertunjukan dari awal hingga akhir sepenuhnya adalah hak dalang
yang mengucapkannya, dan tiga orang pemain musiklah yang mempunyai peran sebagai
pengiring pertunjukan dengan bunyi-bunyian yang dihasilkan dari alat musik yang
dimainkan mereka. Grup yang mempertunjukan wayang potehi ini asalnya bukan dari
kota tebing tinggi, tetapi didatangkan langsung dari Jombang, Jawa Timur. Menurut
informan dari biksu vihara, beberapa tahun terakhir ini, Vihara mengundang pemain
dari luar kota dan bukannya dari kota Tebing Tinggi sendiri karena para pemain
pertunjukan wayang potehi yang ada di kota Tebing Tinggi sudah mulai tua dan pikun
dan memang sudah semakin langkanya orang-orang yang mempunyai keahlian untuk
memainkan pertunjukan wayang potehi ini.
Dalang ini yang menggerakan serta mengatur lakon boneka potehi sesuai dengan
alur cerita yang berjudul Sie Djin Kwie. Ia menggerakan wayang potehi sambil
menuturkan dialog yang seolah - olah diucapkan oleh wayang boneka tersebut. Selama
pertunjukan berlangsung, dalang menyajikan pementasan dengan sangat rapi dan
teratur. Dari awal pertunjukan berlangsung hingga akhir dalang memainkannya sesuai
alur cerita dan melakonkannya tanpa membaca sebuah teks. Artinya setiap kata yang
diucapkan selama pertunjukan berlangsung sudah melekat dalam ingatan si dalang. Ini
lah yang membedakan pertunjukan di Indonesia dengan di Tiongkok. Kalau di negara
Tiongkok, dalang masih memakai teks di setiap pertunjukannya.
Dapat terlihat jelas bahwa dalang potehi ini sudah mahir dalam menggerakkan
dan melakonkan boneka tersebut. Dalang sudah mengetahui dengan tepat urutan
pertunjukan yaitu kapan saat harus mengeluarkan wayang, kapan harus berdialog, kapan
musik akan dimulai sampai musik beerhenti. Hubungan antara dialog yang diucapkan
dalang atau saat menggerakkan boneka dengan iringan musik terlihat sangat serasi,
36
begitu juga hubungan dalang dengan asistennya yang saling mendukung satu sama lain.
Ketika boneka yang dimunculkan lebih dari 2 boneka maka disinilah letak peran sang
asisten yang membantu dalang menggerakkan boneka yang lainnya ketika berdialog.
Selain mengontrol jalannya pertunjukan, sang dalang juga harus menggunakan sendi-
sendi tulang jemari tangannya secara langsung untuk menghasilkan gerakan setiap
tokoh sesuai dengan dialog yang diucapkan. Keserasian antara gerakan dan dialog inilah
yang membuat dalang memiliki peran yang tidaklah begitu mudah untuk dilakukan.
Pengucapan dialog oleh dalang pertunjukan wayang potehi ini menggunakan dialek
jawa seperti lazimnya membawakan pertunjukan wayang kulit jawa. Penghayatan
emosional serta improvisasi yang dilakukan dalang saat berdialog terlihat sangat baik. Ia
juga mampu mengubah-ubah nada suara sesuai dengan lakon yang ada.
5.1.2 Wayang potehi
Wayang potehi adalah wayang boneka yang berbentuk sarung tangan yang
memiliki tubuh baju yang berlubang dan lentur sehingga dapat menyesuaikan tangan si
dalang dan jari-jarinya pas kekepala dan lengan untuk bergerak. Kepala boneka terbuat
dari kayu kamper atau sejenisnya, demikian pula tangan dan kaki boneka (Hirwan,
2011:9).
Setiap pertunjukan yang dimainkan ada beberapa wayang potehi yang menjadi
lakon atau pemain dalam cerita. Lakon utama dalam pertunjukan wayang potehi yang
dimainkan oleh dalang di kota Tebing Tinggi ini yaitu wayang potehi lakon Sie Djin
Kwie dalam bahasa mandarin 薛仁貴( xuērénguì. Sie Djin Kwie atau 薛仁貴
(xuērénguì)adalah lahir pada tahun 614 Hejin di propinsi Shanxi seorang Jenderal
37
Tiongkok yang terkenal pada masa Dinasti Tang. Di dalam pertunjukan ditampilkan
juga beberapa wayang potehi lainnya sebagai pendukung cerita seperti Liu Kim Hwa
(istri Sie Djin Kwie), Jin Li dan Ong Kau Sin.
Gambar 2: Wayang Lakon Sie Djin Kwie
Dokumentasi: Sde Ima Melati Harahap, 2014.
38
Gambar 3: Wayang Lakon Sie Djin dan istrinya Liu Kim Hwa
Dokumentasi: Sde Ima Melati Harahap, 2014.
Gambar 4: Wayang Lakon Jin Li
Dokumentasi: Sde Ima Melati Harahap, 2014.
39
Gambar 5 Lakon Sie Djin Kwie dan Ong Kau Sin
Dokumentasi: Sde Ima Melati Harahap, 2014.
5.1.3 Panggung
Panggung adalah wadah atau tempat dimana para wayang potehi dimainkan.
Panggung pertunjukan wayang potehi sangat sederhana dan ukurannya tidak terlau
besar sehingga tidak memerlukan halaman yang besar. Wayang ini dipentaskan dalam
sebuah Panggung wayang potehi ini menyerupai box boneka yang tidak begitu besar.
Sang dalang dan asisten berada di balik (dalam) panggung / kotak layar panggung
boneka. Mereka tampil apa adanya, tanpa riasan dan kostum khusus. Panggung ini di
kelilingi dengan hiasan-hiasan Tiongkok. Panggung ini dihiasi dengan arsitektur atau
ukiran-ukiran yang berkaitan dengan negara Tiongkok dan masyarakat Tionghoa untuk
mendukung cerita yang dimainkan.
40
Gambar 6 Panggung Wayang Potehi
Dokumentasi: Sde Ima Melati Harahap, 2014.
Dekorasi panggung biasanya disesuaikan dengan tema cerita yang dibawakan.
Panggung wayang potehi kali ini bernuansa warna khas masyarakat Tionghoa, merah
dan emas. Warna merah merupakan warna kebanggaan masyarakat Tionghoa. Warna
merah kegembiraan, kebahagiaan dan keberhasilan. Sedangkan warna keemasan disebut
sebagai uang, melambangkan sebuah harapan agar di tahun berikutnya dilimpahi
banyak rejeki. Beranekaragam ukiran-ukiran Tiongkok yang terdapat disekitar
panggung. Seperti adanya ukiran naga di bawah dan tiang samping kanan kiri
panggung. Menurut informan naga merupakan simbol masyarakat Tionghoa dan
dianggap sebagai binatang paling agung. Di samping kiri panggung terdapat tulisan
mandarin 百萬雄兵五六人 (Bǎi wàn xióngbīng wǔliù rén) dan disamping sebelah
kanan panggung dengan tulisan 千里路途三五步 (qiānlǐ lùtú sānwǔ bù ). 百萬雄兵五
六人 (Bǎi wàn xióngbīng wǔliù rén) artinya lima atau enam orang tentara yang sangat
kuat, kalimat ini bermakna walaupun hanya lima atau enam tentara tetapi kekuatan yang
dimiliki bagaikan ada sejuta tentara. 千里路途三五步 (qiānlǐ lùtú sānwǔ bù ) artinya
perjalanan yang berjarak seribu mil ditempuh dengan tiga sampai lima langkah, kalimat
ini bermakna walaupun jalan sangat panjang tetapi jika cepat melangkah maka
perjalanan akan terasa sangat dekat.
41
5.1.4 Alat Musik
Musik merupakan nada atau suara yang disusun sedemikian rupa sehingga
menghasilkan irama, lagu, dan keharmonisan. Musik biasanya tercipta karena adanya
alat-alat yang dapat menghasilkan bunyi-bunyian. Untuk menghasilkan musik pengiring
pertunjukan wayang potehi agar terlihat meriah dan semarak, ada tujuh alat macam alat
musik yang digunakan dan dimainkan oleh tiga orang yang masing-masing bertanggung
jawab memegang dua macam alat musik tersebut. Adapaun alat musik yang digunakan
yaitu, gembreng besar (Toa Loo), gembreng kecil (Siauw Loo), rebab (Hian Na), kayu
(Piak Ko), suling (Bien Siauw), gendang (Tong Ko), slompret (Thua Jwee).
Gambar 7 Roa Lo
Dokumentasi: Sde Ima Melati Harahap, 2014.
42
Gambar 6 Roa Lo
Gambar 8 Tong Ko
Dokumentasi: Sde Ima Melati Harahap, 2014.
43
Gambar 9 Seperangkat Alat musik pengiring pertunjukan wayang potehi
Dokumentasi: Sde Ima Melati Harahap, 2014.
5.2 Tema Cerita
Setiap pertunjukan wayang potehi yang dimainkan memiliki cerita yang sangat
menarik. Setiap ceritanya pasti berkaitan dengan sejarah di negara Tiongkok yang
meninggalkan kesan baik terhadap masyarakat Tionghoa. Tema cerita pertunjukan
wayang potehi yang berlangsung selama tiga hari di Kota Tebing Tinggi diangkat dari
kisah salah seorang jenderal yang terkenal di Tiongkok mulai ia masih menjadi seorang
yang biasa yang di jodohkan Liu Kim Hwa anak dari majikan tempat ia bekerja sampai
diangkat menjadi jenderal pertama yang dipercaya untuk mengawal kaisar raja hingga
menjadi akhirnya menjadi raja. Selama karirnya, Sie Djin Kwie meraih keberhasilan
dalam berbagai ekspedisi perang seperti melawan sisa-sisa Tujue Barat dan melawan
Goguryeo (kerajaan kuno yang menduduki wilayah Manchuria dan sebelah utara
Semenanjung Korea). Dalam sejarah, Sie Djin Kwie dianggap sebagai manusia setengah
dewa karena kearifan dan kesederhanaannya.
Awal pertunjukan dimulai dengan munculnya lakon Sie Djin Kwie diiringi
dengan alunan musik. Lakon Sie Djin Kwie muncul dengan gerakan-gerakan kecil lalu
kemudian ia duduk. Sebelum memulai dialog dengan lawan mainnya, lakon Sie Djin
Kwie terlebih dahulu memperkenalkan diri. Disini Sie Djin Kwie berbicara kepada
penonton tentang awal kejadian yang menimpanya saat bekerja di rumah majikannya.
44
Tanpa sengaja ia memakai jubah pusaka milik leluhur majikannya sehingga harus
melarikan diri dari rumah majikannya menuju rumah saudaranya Ong Kau Sin di
lembah gunung Taishan. Tetapi belum sampai ditujuan, hari sudah mulai gelap dan
terpaksa ia singgah di klenteng terdekat.
Tidak disangka penyinggahan ini mengubah nasibnya. Pada malam ia singgah di
klenteng yang juga bertepatan pada malam tahun baru imlek, mempertemukannya
kembali dengan anak dari majikannya Liu Kim Hwa. Melalui perjodohan yang
dilakukan oleh Jin Li, orang kepercayaan ayah Liu Kim Hwa mereka akhirnya menikah.
Dengan segala kekurangan dan kesederhanaan yang di katakan oleh Sie Djin Kwie
tentang kehidupannya tak mengurungkan pernikahan. Sikap jujur dan keberanian dari
Sie Djin Kwie lah yang dinilai oleh Liu Kim Hwa sehingga mereka pada akhirnya
menikah.
Setelah saling menerima perjodohan, Sie Djin Kwie tanpa ragu langsung
mengajak Liu Kim Hwa rumah saudara angkatnya, Ong Kau Sin. Awal mereka tiba di
lereng gunung Taishan, Ong Kau Sin sungguh tidak mengetahui dan tidak menyangka
bagaimana anak dari majikannya bisa dibawa ke rumahnya. Ong Kau Sin dengan penuh
kecurigaan bertanya kepada Sie Djin Kwie apa yang sebenarnya terjadi. Ia takut kalau
Sie Djin Kwie telah melakukan hal-hal yang buruk kepada Liu Kim Hwa. Ia tidak ingin
saudara angkatnya Sie Djin Kwie akan tertimpa masalah. Penjelasan yang
didengarkannya langsung dari Sie Djin Kwie akhirnya membuatnya semakin percaya
bahwa saudaranya Sie Djin Kwie adalah orang yang berbudi luhur baik. Sebagai
saudara angkat sekaligus wali Sie Dhin Kwie, Ong Kau Sin membantu melakukan ritual
pernikahan kepada mereka berdua.
45
Tema cerita dari pertunjukan wayang potehi ini memberi pelajaran sekaligus
nasehat yang baik bagi para penonton. Pemilihan judul yang dibawakan oleh dalang
mengandung cerita yang mudah diingat oleh masyarakat yang menyaksikan. Pemilihan
judul ini sengaja dilakukan karena acara tersebut, yaitu acara ulang tahun Dewa di
Vihara tersebut. Dan menurut sejarah, Sie Djin Kwie ini sesosok yang terkenal dan
dianggap sebagai manusia setengah dewa.
5.3 Konteks Sosial
Pertunjukan wayang potehi ini membawa pengaruh besar terhadap masyarakat
pribumi maupun masyarakat Tionghoa yang ada di kota Tebing Tinggi khususnya bagi
masyarakat yang menyaksikan secara langsung pertunjukan wayang potehi ini. Menurut
informan, pertunjukan wayang potehi memiliki fungsi yang beragam baik dari fungsi
ritual, fungsi pendidikan dan juga fungsi hiburan. Pertunjukan wayang potehi yang
dilakukan di kota Tebing Tinggi difungsikan sebagai hiburan. Penyampaian dialog
dengan menggunakan bahasa Indonesia sangat berpengaruh terhadap masyarakat yang
menyaksikan. Dengan menggunakan bahasa pribumi, penonton bisa dengan sigap
langsung mengetahui inti tema cerita yang dibawakan. Berdasarkan hasil penelitian,
penulis melihat adanya hubungan sang dalang saat mengucapkan dialog dengan
penonton. Hubungan ini dapat dilihat dari bahasa di dalam dialog yang disesuaikan
dengan bahasa yang biasa dipakai sehari-hari.
Walaupun difungsikan untuk hiburan bagi masyarakat, tetapi cerita yang ingin
disampaikan oleh dalang semata-mata bukan hanya sebagai hiburan semata saja, tetapi
jika diperhatikan dengan seksama ada hal-hal baik yang terkandung di dalam cerita
46
yang ingin disampaikan oleh dalang kepada penonton melalui dialog demi dialog,
sehingga setelah menyaksikan pertunjukan ini masyarakat mengerti akan sejarah dan
mengamalkan moral baik yang terkandung dalam cerita. Sie Djin Kwie diceritakan
sebagai seorang yang tidak pernah menyerah, suka menolong, seorang pekerja keras,
selalu sabar dalam menghadapi cobaan, serta selalu yakin akan adanya Tuhan. Cerita ini
mengajarkan untuk selalu berjuang, jujur kepada siapapun dan menjadi seorang
pemimpin yang baik bagi rakyatnya.
5.4 Penonton
Adanya penonton yang menyaksikan pertunjukan wayang potehi menambah
suasana di sekitar vihara semakin ramai dan meriah. Antusias masyarakat sekitar vihara
sangat tinggi. Penonton yang menyaksikan pertunjukan wayang potehi ini pun
beranekaragam mulai dari anak-anak hingga orangtua bahkan yang sudah lanjut usia.
Bukan hanya masyarakat Tionghoa saja tetapi masyarakat pribumi juga ikut bergembira
menyaksikan pertunjukan wayang potehi ini. Bukan hanya masyarakat dari sekitar
vihara dan kota Tebing Tinggi saja tetapi juga masyarakat dari luar kota seperti, Medan,
Pematangsiantar, Binjai, dan lain sebagainya juga datang untuk menyemarakkan acara
sekaligus menyaksikan pertunjukan wayang potehi ini.
Antusias itu dapat dilihat dari banyaknya pengunjung yang datang pada saat
akan diselenggarakannya pertunjukan wayang potehi. Selain karena pertunjukannya
menggunakan bahasa Indonesia, antusias masyarakat yang sangat tinggi itu juga karena
judul yang akan dimainkan. Kisah Sin Djin Kwie merupakan cerita populer dan sangat
diminati oleh penonton terutama anak-anak. Selama menyaksikan pertunjukan,
47
masyarakat terlihat sangat menghayati cerita yang dimainkan. Sesekali mereka tertawa
dan kagum saat dalang mulai memberikan adegan yang menarik seperti saat perang
dimulai.
Tempat untuk menyaksikan pertunjukan wayang potehi ini sudah dipersiapkan
tepat di depan panggung pertunjukan. Tempat yang disediakan itu berupa, beberapa
kursi plastik yang menghadap ke arah panggung. Banyaknya penonton yang datang
pada saat acara itu, membuat kursi yang telah tersedia tidak mencukupi sehingga
sebahagian dari penonton menyaksikan dengan duduk di sekitar vihara bahkan ada juga
yang rela duduk di bawah tepat di depan dekat panggung pertunjukan yang kebanyakan
dari kalangan anak-anak. Penonton yang menyaksikan pertunjukan wayang potehi
selama pertunjukan itu berlangsung, ada yang memilih untuk mendokumentasikannya
gambar sebagai kenangan, ada yang hanya sekedar menyaksikan saja, dan ada pula yang
selain hanya mengambil gambar, ia juga mengabadikan dengan merekam beberapa
adegan yang paling seru dalam pertunjukan. Sampai setelah pertunjukan selesai,
beberapa penonton berlomba-lomba menyentuh lakon wayang dan sekaligus diabadikan
melalui foto.
14 unsur pertunjukan
48
49
BAB VIANALISIS TEKS
6.1 Diksi
Diksi dalam arti aslinya dan pertama, merujuk pada pemilihan kata dan gaya
ekspresi oleh penulis atau pembicara. Arti kedua “diksi” yang lebih umum digambarkan
dengan enunsiasi kata seni berbicara jelas sehingga setiap kata dapat didengar dan
dipahami hingga kompleksitas dan ekstrimitas terjauhnya. Arti kedua ini membicarakan
pengucapan dan intonasi daripada pemilihan kata dan gaya. Diksi bukan hanya berarti
pilih memilih kata melainkan digunakan untuk menyatakan gagasan atau menceritakan
peristiwa tetapi juga meliputi persoalan gaya bahasa, ungkapan-ungkapan dan
sebagainya.
Fungsi dari diksi antara lain :
Membuat pembaca atau pendengar mengerti secara benar dan tidak salah paham
terhadap apa yang disampaikan oleh pembicara atau penulis.
Untuk mencapai target komunikasi yang efektif.
Melambangkan gagasan yang di ekspresikan secara verbal.
Membentuk gaya ekspresi gagasan yang tepat (sangat resmi, resmi, tidak resmi)
sehingga menyenangkan pendengar atau pembaca.
Dalam hal ini, teks yang penulis dapat dari bentuk lisan atau bahasa yang
diucapkan oleh dalang lalu penulis susun menjadi sebuah tulisan yang kemudian penulis
analisis. Dalam hal ini penulis memilih teks yang dipakai pada hari pertama dimana
50
cerita yang dimainkan adalah kisah awal kehidupan Sie Djin Kwie saat masih bekerja di
istana raja hingga akhirnya bisa menikah dengan anak raja, Liu Kim Hwa. Secara umum
struktur bahasa yang digunakan dalang mulai dari awal hingga akhir pertunjukan,
merupakan bahasa yang tidak terlalu baku, artinya ada dialog yang menggunakan kata
yang tidak baku dan ada juga dialog yang menggunakan kata baku. Pemilihan kata yang
diucapkan oleh dalang sangat sederhana dan biasa dipakai sehari-hari. Hal ini bertujuan
agar gagasan yang ingin disampaikan oleh dalang kepada penonton dapat dimengerti
dengan jelas sehingga bukan hanya fungsi hiburan saja yang didapat tetapi juga makna
yang terkandung dalam cerita juga dapat tersalurkan dengan baik. Beberapa pilihan kata
baku dan tidak baku tersebut dalam diamati di dalam teks berikut ini.
(1) Gara-gara ini jubah yang telah kupake aku tidak mengerti. Jubah yang
telah kupake itu adalah jubah pusaka milik dari majikanku yang
bernama Liu Hong.
(2) Aku mau bertanya denganmu. Kau sudah punya istri apa belom?
(3) Kamu ajak datang ditempatku, kalo papamu nati mencari, bagaimana?
Dapat diamati bahwa dialog diatas memiliki kata yang tidak baku seperti contoh
pertama kata “kupake” yang kata bakunya “kupakai”, kata “belom” yang kata bakunya
“belum”, dan kata “kalo” yang kata bakunya “kalau”. Perubahan pengucapan kata diatas
dilakukan dengan sengaja oleh dalang agar pertunjukan terlihat bukanlah seperti
pementasan yang monoton. Pemilihan kata oleh dalang ini dilakukan agar pementasan
ini menyatu dengan para penonton. Dalang berpikir bahwa penggunaan kata-kata yang
lebih sering didengar akan memudahkan dalang berkomunikasi dengan penonton. Pada
saat pertunjukan dimulai dan dialog demi dialog dibawakan secara rapi oleh dalang
mulai dari awal dimulai hingga akhir cerita dengan plot cerita alur maju. Dalam
51
pertunjukan ini, sang dalang potehi membawakan dialog dengan menggunakan dua
bahasa yaitu, bahasa Indonesia dan bahasa Hokkian. Adanya pencampuran dua bahasa
di dalam dialog agar tidak menghilangkan unsur bahasa dan budaya yang berkaitan
dengan masyarakat Tionghoa. Namun dalam penyajiannya, dalang lebih dominan
menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Hokkian dipakai sebagai kata-kata yang
mengiringi penghormatan untuk mendukung cerita.
6.2 Prolog
Prolog adalah kata pendahuluan dalam lakon sebuah pertunjukan. Prolog
memainkan peran yang besar dalam menyiapkan pikiran penonton agar dapat mengikuti
lakon (cerita) yang akan disajikan. Itulah sebabnya, prolog sering berisi sinopsis lakon,
perkenalan tokoh-tokoh dan pemerannya, serta konflik-konflik yang akan terjadi di
panggung.
Prolog pertunjukan wayang potehi yang berjudul “Sie Djin Kwie” di kota
Tebing Tinggi diawali dengan iringan musik yang kemudian dilanjutkan dengan adanya
prolog dari sang dalang. Prolog yang diucapkan oleh dalang yaitu,
Tiba di Dao Li Yonggan. Liu Kim Hwa, Tai Zong, Liu Hong Long, Feng Siau
Sin berkenalan Sin Djin Kwie.
Prolog pada pertunjukan wayang potehi tidak seperti prolog biasanya yang memiliki
narasi yang panjang. Pada pertunjukan wayang potehi kali ini, dalang hanya
menggunakan satu prolog saja diawal pertunjukan dimulai.
52
6.3 Dialog
Dialog adalah percakapan para pemain. Dialog memainkan peran yang amat
penting karena menjadi pengarah lakon drama. Artinya, jalannya cerita drama itu
diketahui oleh penonton lewat dialog para pemainnya. Agar dialog itu tidak hambar,
pengucapannya harus disertai penjiwaan emosional. Selain itu, pelafalannya harus jelas
dan cukup keras sehingga dapat didengar semua penonton. Seorang pemain yang
berbisik, misalnya, harus diupayakan agar bisikannya tetap dapat didengarkan para
penonton. Setiap dialog yang diucapkan oleh dalang saling berkaitan dan berhubungan.
Dialog yang dipakai pada pertunjukan wayang potehi menggunakan dialog
kontemporer. Artinya naskah dialog yang dipakai bebas dan tidak terikat aturan atau
kelaziman. Penggambaran semua unsur seperti watak tokoh, kepribadian tokoh dan
pikiran tokoh diungkapkan dalang melalui dialog. Dialog dalam pertunjukan ini
berfungsi menghubungkan tokoh satu dengan tokoh yang lainnya.
Untuk melihat dialog yang digunakan pada pertunjukan wayang potehi di
Tebing Tinggi ini, penulis akan memberikan beberapa penggalan dialog yang dipakai
saat awal dimulai pertunjukan. Pertunjukan dimulai dengan iringan musik sekaligus
mengantarkan lakon Sie Djin Kwie dimunculkan di panggung, kemudian ia berkata,
“Aku Sie Djin Kwie. Sejak kejadian dirumah majikanku yang bernama Liu Hong, Gara-gara ini jubah yang telah kupake aku tidak mengerti. Jubah yang telah kupake itu adalah jubah pusaka milik dari majikanku yang bernama Liu Hong. Akupun juga tidak menyangka. Untung saja In Thong kerjaku memberitahu kepadaku dan atas perintah cepat-cepat untuk meninggalkan keluar dari majikanku sebelum terlambat majikanku menangkap diriku. Aku ingin pergi meninggalkan rumah ini ke lereng gunung Taishan. Tetapi sampai diperjalanan matahari hampir terbenam, terpaksa aku menginap di ini klenteng”. (bergumam) “Ehm... Ehm...Ehm...Ehm...”.
53
Setelah itu musik dimainkan, mengantarkan lakon Sie Djin Kwie keluar panggung ia
seolah-olah sedang melakukan perjalanan. Kemudian mucul lakon Jin Li dan berkata,
“Aku Jin Li menga, mengajak nona yang bernama Liu Kim Hwa. Nona Liu Kim Hwa ini adalah anak dari majikanku yang bernama Liu Hong. Gara-gara ini soal jubah peninggalan dari leluhur majikanku tanpa disengaja karyawan dari majikanku yang bernama Sie Djin Kwie tertidur pulas di ini klenteng tepat pada malam tahun baru imlek. Coba nona, Liu Kim Hwa datanglah kemari nona”.
nona Liu Kim Hwa menjawab,
“Jin panggil kami, Liu Kim Hwa belum tau ajak apa. Terimalah hormat
Jin rahmat”.
Jin Li kemudian berkata,
“Ehm... Liu Kim Hwa hari ini kamu tidak perlu untuk menangis terus . Ibarat nasi sudah menjadi bubur. Semuanya itu sudah terlanjur. Senang hatiku mendengar apa yang telah kau katakan Liu Kim Hwa. Aku di dalam ini klenteng sepertinya ini ada Sie Djin Kwie. Kebetulan Sie Djin Kwie kok ada disini. Coba aku mau panggil padamu. Sie Djin Kwie... Sie Djin Kwie... kau boleh datang kemari yok...”.
Lakon Sie Djin Kwie memasuki panggung dan berkata,
“Jin panggil tuan Sie Djin Kwie belum tau ini ada urusan. Terimalah hormat Jin rahmat”.
Adanya pencampuran kebudayaan wayang potehi ini juga di tunjukan dalam
dialog. Ada juga sedikit dialog yang diselingi dengan bahasa Jawa dan bahasa Hokkian.
Dialog yang diselingi dengan bahasa Jawa yaitu dialog yang diucapkan oleh lakon Ong
Kau Sin, sebagai berikut,
“Sie Djin Kwie, nona Liu Kim Hwa gara-gara soal jubah milik dari papanya Hong, Liu Kim Hwa sampai nona Liu Kim Hwa diperintah untuk mati dengan cara bunuh diri itu penjelasan mu, atau gara-gara lain, ojo-ojo pas kau berbuat yang tidak masuk akal. Jangan-jangan kamu mencuri”.
54
Ojo-ojo dalam bahasa Indonesia berarti jangan-jangan. Dialog yang menggunakan
bahasa Hokkian yaitu digunakan pada saat pemberian penghormatan upacara
pernikahan. Berikut dialog yang diucapkan yang menggunakan bahasa Hokkian oleh
lakon Ong Kau Sin. Ia berkata,
“Jadi dengan adanya hal seperti ini, kita memang tidak mengerti.
Kejadian seperti ini membuat aku juga merasa bangga. Kamu sudah
setuju untuk berumah tangga dengan seperti itu. Kim Hwa adik
angkatku, silahkan masuk. Bahwa hari ini dek ku Sie Djin Kwie maupun
Liu Kim Hwa pada hari ini melangsungkan pernikahan menjadi suami
istri. Mudah-mudahan dalam menempuh hidup baru selalu mendapat
perlindungan dari yang Maha Kuasa, sehat wal’afiat tidak kekurangan
sesuatu, dalam menempuh hidup baru hidup suami istri sampai kakek-
kakek dan nenek-nenek. Ikuti aba-abaku.” Yi ji khang, lenteng. Sin ji
khang, lenteng. San ji khang, ji... (tunduk memberi penghormatan) “Kita
sudah bersujud pada ini yang Maha Kuasa untuk memohon apa yang
selama ini kita inginkan. Sekarang tubuhnya dibalik kebelakang
pertanda kita ini mohon doa restu dari Cao Peng, Cao Meng, Kong Cho
yang sudah mendahului kita. Mohon diberikan doa restu panjang umur
sehat wal’afiat, tidak kekurangan. Mudah-mudahan dalam menempuh
hidup baru ini, bisa sampai kakek-kakek dan nenek-nenek”. (tunduk
penghormatan) “sekarang silahkan kalian berdua untuk memasuki
kamar seadanya. Dikamar penganten sudah disitu sudah disediakan
makanan minuman seadanya, walaupun cuma air putih. Silahkan...
silahkan... masuk silahkan”.
Dialog diatas diucapkan sekaligus dialog terakhir sebagai pertanda bahwa
pertunjukan sudah berakhir. Adanya pencampuran beragam bahasa yang juga
merupakan bahsa yang dipakai di Indonesia ini, menggambarkan bahwanya memang
telah terjadi pencampuran budaya dan adanya perubahan-perubahan penggunaan bahasa
55
dalam dialog yang terjadi pada pertunjukan wayang potehi ini. Penggunaan bahasa
Hokkian menunjukan bahwa asal muasal pertunjukan ini masih belum hilang dan masih
melekat didalamnya. Secara keseluruhannya masih diperlihatkan bahwasanya
kebudayaan ini merupakan kebudayaan yang berasal dari luar yaitu Tiongkok namun
walaupun begitu sudah diakui dan diresmikan menjadi salah satu kebudayaan wayang di
Indonesia.
6.4 Epilog
Epilog adalah kata penutup dari sebuah pementasan atau pertunjukan. Adanya
epilog dalam suatu naskah drama atau pertunjukan wayang potehi ini berfungsi untuk
menyampaikan inti sari dari sebuah cerita yang dibawakan atau menafsirkan maksud
cerita yang dibawakan oleh sang dalang. Epilog biasanya berisi kesimpulan dari sang
pengarang cerita.
Epilog dari cerita pertunjukan wayang potehi yang dibawakan oleh dalang ini,
bukan ditunjukan dengan sebuah narasi kesimpulan tertulis melainkan melalui sebuah
dialog akhir. Sang dalang hanya menutup cerita dengan dialog seorang lakon yang
bernama Ong Kau Sin, dimana isi dari dialog itu mengandung mengandung makna
nasehat-nasehat, pengetahuan dan perkataan yang mempertegas bahwa cerita telah
mencapai akhir. Dialog tersebut dapat diamati sebagai berikut.
“Jadi dengan adanya hal seperti ini, kita memang tidak mengerti. Kejadian seperti ini membuat aku juga merasa bangga. Kamu sudah setuju untuk berumah tangga dengan seperti itu. Kim Hwa adik angkatku, silahkan masuk. Bahwa hari ini dek ku Sie Djin Kwie maupun Liu Kim Hwa pada hari ini melangsungkan pernikahan menjadi suami istri. Mudah-mudahan dalam menempuh hidup baru selalu mendapat perlindungan dari yang Maha Kuasa, sehat wal’afiat tidak kekurangan
56
sesuatu, dalam menempuh hidup baru hidup suami istri sampai kakek-kakek dan nenek-nenek. Ikuti aba-abaku.” Yi ji khang, lenteng. Sin ji khang, lenteng. San ji khang, ji... (tunduk memberi penghormatan) “Kita sudah bersujud pada ini yang Maha Kuasa untuk memohon apa yang selama ini kita inginkan. Sekarang tubuhnya dibalik kebelakang pertanda kita ini mohon doa restu dari Cao Peng, Cao Meng, Kong Cho yang sudah mendahului kita. Mohon diberikan doa restu panjang umur sehat wal’afiat, tidak kekurangan. Mudah-mudahan dalam menempuh hidup baru ini, bisa sampai kakek-kakek dan nenek-nenek”. (tunduk penghormatan) “sekarang silahkan kalian berdua untuk memasuki kamar seadanya. Dikamar penganten sudah disitu sudah disediakan makanan minuman seadanya, walaupun cuma air putih. Silahkan... silahkan... masuk silahkan”.
Kesimpulan yang diberikan sang dalang melalui dialog yaitu pada akhirnya
karena kejujuran yang dilakukan Sie Djin Kwie, maka ia dipercaya untuk
memperistrikan Liu Kim Hwa anak dari majikannya. Kemudian, berkat kesederhanaan
dan kerendahan hatinyalah Liu Kim Hwa mau berumah tangga dengannya. Akhir cerita
juga menunjukan bahwa Sie Djin Kwie dan Liu Kim Hwa telah resmi menjadi suami
istrinya dan hidup di dalam kesederhanaan.
6.5 Struktur Teks
Dalam teks pertunjukan wayang potehi ini penulis melihat adanya susunan teks
yang berstruktur, yang mana struktur teks ini dibagi dalam tiga (3) bagian. Tiga bagian
dari struktur teks ini yaitu di mulai dari teks pembuka, isi, dan diakhiri dengan penutup.
Perbedaan struktur ini dapat dilihat dari teks dialog pertunjukan dimana pada awal
pertunjukan dimulai, diawali dengan prolog dan kemudian muncul tokoh utama yang
memulai dialog perkenalan diri. Dialog yang dimainkan berupa monolog dimana
adegan sandiwara dengan pelaku tunggal yang membawakan percakapan seorang diri
57
atau pembicaraan yang dilakukan dengan diri sendiri. Dialog pembukaan yang ucapkan
oleh lakon Sin Djin Kwie dapat diamati pada teks berikut ini.
“Aku Sie Djin Kwie. Gara-gara kejadian dirumah majikanku yang bernama
Liu Hong, Gara-gara ini jubah yang telah kupake aku tidak mengerti.
Jubah yang telah kupake itu adalah jubah pusaka milik dari majikanku
yang bernama Liu Hong. Akupun juga tidak menyangka. Untung saja In
Thong kerjaku memberitahu kepadaku dan atas perintah cepat-cepat untuk
meninggalkan keluar dari majikanku sebelum terlambat majikanku
menangkap diriku. Aku ingin meninggalkan rumah ini ke lereng gunung
Taishan. Tetapi sampai diperjalanan matahari hampir terbenam, terpaksa
aku menginap di ini klenteng”. (bergumam) “Ehm...Ehm...Ehm...”.
Teks pembukaan ini diawali dengan perkenalan lakon wayang potehi sebagai tokoh
utama di dalam cerita. Tujuan dari perkenalan ini agar penonton mengetahui cerita apa
yang akan di bawakan dalam pementasan oleh sang dalang. Pembukaan yang diawali
dengan perkenalan tokoh ini menjadi pengantar sebelum konflik permasalahan muncul.
Pada bagian isi, penulis memfokuskan pada bagian teks dialog yang menjadi inti
dari cerita yang di pentaskan. Pada bagian isi ini menggambarkan tentang tema dari
cerita yang dibawakan. Pada bagian ini terkandung beberapa materi seperti nasehat,
humor, cerita, pelajaran dan konflik permasalahan. Bagian isi dari cerita dapat diamati
dari beberapa penggalan teks dialog berikut ini.
“Gara-gara ini soal jubah peninggalan dari leluhur majikanku tanpa disengaja karyawan dari majikanku yang bernama Sie Djin Kwie tertidur pulas di ini klenteng tepat pada malam tahun baru imlek”.“Sie Djin Kwie, aku mendengar apa yang kau katakan jadi senang. Kalo begitu aku ingin bicara denganmu. Bagaimana kalo nona Liu Kim Hwa ini kuserahkan padamu. Mungkin saja semuanya ini sudah diatur oleh Jin yang Maha Kuasa”.“Lagi aku pikir teman. Nona adalah anak orang kaya. Dia hidup serba kecukupan. Hidup bersamaku, hidup yang tidak menentu, penghasilan juga
58
tidak bisa dipastikan. Jin aku tidak mau menyengsarakan nona Liu Kim Hwa. Ini yang harus dipikirkan”.“Jin mana menyerahkan Liu Kim Hwa kepadaku untuk menjadi istriku dan aku sedah berterus terang pada Kim Hwa bagaimana keadaanku, mengenai keadaan kehidupanku disini. Dia mau untuk hidup berumah tangga denganku, mau menerima kenyataan yang ada”.
Pada bagian isi di gambarkan bahwa adanya suatu permasalahan yang membuat
Sie Djin Kwie harus melarikan diri dari istana majikannya, Liu Hong. Namun karena
hari sudah mulai malam maka ia singgah di sebuah klenteng dan bertepatan pada
malam tahun baru imlek. Singgahnya Sie Djin Kwie di klenteng tersebut ternyata
menjadikannya suami dari anak majikannya, Liu Kim Hwa. Disini lah inti cerita yang
dibawakan mulai muncul.
Bagian penutupan dari teks dialog pertunjukan wayang potehi yang dibawakan
dapat dilihat dari dialog-dialog yang menunjukan bahwa cerita akan berakhir. Dialog-
dialog itu di akhiri dengan nasehat-nasehat, doa-doa dan harapan. Dapat dilihat bahwa
penutup dari cerita ini menunjukan bahwa cerita berakhir dengan bahagia. Bagian
penutupan dari pertunjukan wayang potehi cerita Sie Djin Kwie adalah sebagai berikut.
“Bahwa hari ini dek ku Sie Djin Kwie maupun Liu Kim Hwa pada hari ini melangsungkan pernikahan menjadi suami istri. Mudah-mudahan dalam menempuh hidup baru selalu mendapat perlindungan dari yang Maha Kuasa, sehat wal’afiat tidak kekurangan sesuatu, dalam menempuh hidup baru hidup suami istri sampai kakek-kakek dan nenek-nenek. Ikuti aba-abaku.” Yi ji khang, lenteng. Sin ji khang, lenteng. San ji khang, ji... (tunduk memberi penghormatan) “Kita sudah bersujud pada ini yang Maha Kuasa untuk memohon apa yang selama ini kita inginkan. Sekarang tubuhnya dibalik kebelakang pertanda kita ini mohon doa restu dari Cao Peng, Cao Meng, Kong Cho yang sudah mendahului kita. Mohon diberikan doa restu panjang umur sehat wal’afiat, tidak kekurangan. Mudah-mudahan dalam menempuh hidup baru ini, bisa sampai kakek-kakek dan nenek-nenek”. (tunduk penghormatan) “sekarang silahkan kalian berdua untuk memasuki kamar seadanya. Dikamar penganten sudah disitu sudah disediakan makanan minuman seadanya, walaupun cuma air putih. Silahkan... silahkan... masuk silahkan”.
59
Pemilihan dialog di akhir ini dijadikan sebagai bagian penutupan yang
menegaskan cerita akan berakhir. Bagian ini bertujuan agar penonton mengetahui
bahwa ini merupakan puncak selesainya pertunjukan. Berdasarkan dialog diatas bisa
digambarkan bahwa sang dalang ingin menyampaikan bahwa cerita berakhir dengan
bahagia.
6.6 Makna Teks dalam Konteks Sosial
Unsur drama yang sangat penting adalah bahasa. Bahasa juga menggerakkan
plot dan alur cerita. Bahasa juga menjelaskan latar belakang dan suasana cerita. Melalui
bahasa yang diucapkan oleh para tokoh cerita, penonton dapat mengetahui tentang
tempat, waktu atau zaman dan keadaan di mana cerita itu terjadi. Bahasa juga berperan
menciptakan suasana terpenting dalam cerita. Bahasa pun sangat penting hubungannya
dengan tokoh. Di samping oleh perbuatannya, watak tokoh cerita dilukiskan melalui apa
yang dikatakannya atau apa yang dikatakan oleh tokoh lain tentang dia sehingga bahasa
berperan besar dalam mengungkapkan buah pikiran pengarang cerita. Kalaupun tokoh-
tokoh tidak mengungkapkan buah pikiran pengarang secara langsung, pembaca atau
penonton akan menyimpulkan buah pikiran itu terutama melalui bahasa di samping
perbuatan tokoh-tokoh cerita.
Dalam setiap pertunjukan ataupun drama, setiap dialog yang digunakan pasti
memiliki makna tersendiri yang terkait dengan kehidupan sehari-hari. Dalam teks
pertunjukan wayang potehi ini ada beberapa dialog yang terkandung makna
didalamnya. Dimana makna dalam dialog itu sesuatu ingin disampaikan oleh sang
60
dalang kepada masyarakat yang menyaksikan pertunjukan. Makna yang terkandung bisa
berupa pengalaman, pengetahuan, saran ataupun nasehat yang baik, tergantung dari
masing-masing penonton menafsirkannya.
Contoh dialog dari pertunjukan wayang potehi yang mengandung makna sebagai
nasehat bisa diamati dari teks berikut ini.
“Ehm... sejak kejadian di gedung Kwan In, aku jadi takut akhirnya aku melarikan diri. Aku ingin pulang ke gunung Taishan untuk bertemu ahok Ong”
Teks diatas adalah dialog dari Sie Djin Kwie kepada Jin Li. Dialog itu menjelaskan
bahwa Sie Djin Kwie mengakui kesalahan yang telah dilakukannya. Berdasarkan
dialog tersebut, sang dalang ingin menyampaikan kepada masyarakat bahwa kita harus
hidup jujur sekalipun berbuat kesalahan, karena kejujuran akan membawa kita pada
kehidupan yang lebih baik.
Contoh lain dalam dialog yang bermakna menasehati adalah sebagai berikut.
“Namaku Ong Kau Sin. Hidup bersama istri tinggal di ini gebuk derita dilereng gunung, gunung Taishan. Namanya jadi orang nggak punya ya begini, hidup susah. Tapi walaupun kita tidak mempunyai kekayaan harta benda, tapi aku bisa merasakan hidup berbahagia. Dengan istri, saudara angkatku, udah Sie Djin Kwie”.
Jika dimaknai secara cermat, dialog tersebut memiliki makna nasehat. Melalui dialog
yang diucapkan, sang dalang ingin memberitahukan bahwa walaupun hidup serba
kekurangan, tetapi kita harus tetap bersabar dan tabah. Kebahagian di dapat bukan
hanya dari harta benda yang melimpah, tetapi berkumpul bersama orang-orang yang
disayang juga dapat membuat hidup bahagia.
61
Contoh dialog dari pertunjukan wayang potehi yang mengandung makna
pengetahuan, bisa diamati dari teks berikut ini.
“Kita sudah bersujud pada ini yang Maha Kuasa untuk memohon apa yang selama ini kita inginkan. Sekarang tubuhnya dibalik kebelakang pertanda kita ini mohon doa restu dari Cao Peng, Cao Meng, Kong Cho yang sudah mendahului kita. Mohon diberikan doa restu panjang umur sehat wal’afiat, tidak kekurangan. Mudah-mudahan dalam menempuh hidup baru ini, bisa sampai kakek-kakek dan nenek-nenek”.
Berdasarkan teks diatas sudah jelas dilihat bahwa dialog tersebut mengajarkan kepada
kita tentang adat penghormatan yang dilakukan ketika melaksanakan pernikahan.
Penghormatan ditujukan kepada Yang Maha Kuasa dan juga kepada para leluhur yang
sudah wafat terlebih dahulu. Penghormatan ini berarti pihak yang menikah memohon
restu agar di berikan doa restu serta diberikan kehidupan yang baik dan bertahan
menjadi suami istri sampai ajal tiba.
62
BAB VISIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Indonesia terkenal sebagai negara yang memiliki beranekaragam budaya.
Bukan hanya kebudayaan asli Indonesia tetapi terdapat juga kebudayaan dari negara
lain. Pergaulan melalui perdangan dengan bangsa lain seperti, Arab, Eropa dan
Tiongkokmerupakan salah satu faktor terbentuknya kebudayaan di Indonesia. Adanya
asimilasi yang mempengaruhi serta menambah wana-warni pelangi seni nusantara di
Indonesia.
Pertunjukan wayang potehi yang berasal dari negara Tiongkok sudah melekat
dan sudah menjadi salah satu kebudayaan pribumi. Pertunjukan wayang potehi ini selalu
diadakan setiap tahunnya dan sudah hampir menyebar di seluruh kota di Indonesia.
Salah satu kota yang tidak pernah ketinggalan untuk mempertunjukan kesenian ini
adalah kota Tebing Tinggi, Sumatera Utara. Di kota Tebing Tinggi ini pertunjukan
wayang potehi diadakan setiap tahunnya pada perayaan ulang tahun Dewa, ulang tahun
Vihara dan juga peringatan tahun baru imlek.
Berdasarkan hasil dari penelitian yang penulis dapatkan saat mengunjungi
Vihara dengan melakukan wawancara dan observasi dapat diketahui bahwa pertunjukan
wayang potehi yang diadakan pada saat itu dalam rangka memperingati hari ulang tahun
Dewa. Pertunjukan yang berlangsung selama tiga hari berturut-turut ini menceritakan
satu tema yang dibawakan secara berkelanjutan. Pertunjukan ini menceritakan kisah
seorang tokoh yang terkenal di negara Tiongkok. Hari pertama dikisahkan awal
kehidupan saat masih menjadi orang biasa. Hari kedua dikisahkan saat ia berhasil dalam
berbagai ekspedisi perang seperti melawan sisa-sisa Tujue Barat dan melawan
63
Goguryeo (kerajaan kuno yang menduduki wilayah Manchuria dan sebelah utara
Semenanjung Korea), dan hari ketiga dikisahkan saat ia bersama istrinya berhasil
menjalani lika-liku hidup sampai datangnya fitnahan kepadanya yang lalu kemudian
diangkat menjadi seorang raja.
Setelah mengamati dan menganalisis pertunjukan wayang potehi di kota Tebing
Tinggi penulis dapat menyimpulkan bahwa pertunjukan wayang potehi sama seperti
pertunjukan lainnya yang sempurna bila menggunakan beberapa unsur pertunjukan
seperti unsur-unsur apa yang mendukung pertunjukan, adanya hubungan antara
sistem-sistem pertunjukan, adanya hubungan antara tempat penonton dengan panggung
pertunjukan, sistem tata cahaya, musik pengiring serta cerita apa yang dipentaskan.
Unsur-unsur pendukung pertunjukan wayang potehi selalu berkaitan dengan hal-hal
yang berkaitan dengan kebudayaan Tionghoa seperti arsitektur dan dekorasi panggung,
musik pengiring, cerita yang dibawakan, serta kostum wayang yang menggambarkan
pakaian tradisional Tiongkok.
Pertunjukan wayang potehi di kota Tebing Tinggi di lakonkan oleh sang dalang
dengan menggunakan bahasa Indonesia. Pengucapan dialog berbahasa Indonesia
dimaksudkan agar maksud dan tujuan dari apa yang ingin disampaikan dalang melalui
cerita dapat dimengerti dengan baik. Penulis melihat adanya hubungan bahasa dan teks
yang berhasil direalisasikan kepada penonton. Bahasa tidak hidup dan berkembang
secara sendirian, sehingga dialog yang disampaikan oleh dalang merupakan dialog yang
saling berhubungan dan saling mendukung dari satu teks dialog ke teks dialog
selanjutnya. Melihat dari plot alur maju yang digunakan, maka dapat terlihat dengan
jelas bahwa struktur teks dari pertun jukan terdiri dari tiga bagian yaitu adanya bagian
pembuka, isi cerita dan penutup cerita.
64
Berdasarkan hasil yang telah penulis analisis dari teks pertunjukan yang dipakai
bahwa bahasa tersebut mencerminkan makna-makna dalam konteks sosial. Penulis juga
melihat bahwa sang dalang menggunakan pilihan kata dan bahasa yang sederhana
sehingga dapat direalisasikan dengan baik penyampaian tema cerita, isi cerita, fungsi,
makna serta pelajaran yang terkandung dalam cerita oleh masyarakat yang menyaksikan
pertunjukan.
7.2 Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis lakukan dan melihat langsung
bagaimana suatu kebudayaan direalisasikan dengan baik di lingkungan masyarakat
Indonesia, penulis menyadari bahwa ternyata Indonesia sangat kaya akan budaya.
Kebudayaan yang ada di Indonesia merupakan harta berlimpah yang harus tetap dijaga
keamanan serta keutuhannya.
Pertunjukan wayang potehi ini merupakan slah satu contoh kebudayaan yang
harus tetap dilestarikan walaupun bukan asli dari kebudayaan Indonesia. Pertunjukan
wayang potehi yang sudah menjadi kebudayaan kita ini patutnya lebih sering lagi
ditampilkan dan dipertontonkan dikalangan masyarakat. Penulis juga melihat
bahwasanya kebanyakan dalang yang membawakan pertunjukan wayang potehi ini
hanya dari kalangan yang orang yang bisa dibilang sudah cukup tua. Oleh karena itu
penulis mengharapkan sebagai generasi muda, bisa dilihat bahwa negara maju seperti
Tiongkok dan Jepang walaupun sudah menjadi negara yang maju tetapi kebudayaan
tetap dinomor satukan. Bercermin dari mereka kita sebagai generasi muda haruslah
lebih aktif untuk mempelajari ataupun selalu mengasah pengetahuan tentang
65
kebudayaan-kebudayaan yang sudah menjadi ikon di negara Indonesia agar tetap terjaga
kelestariannya.
66
DAFTAR PUSTAKA
a. Buku, Majalah, Jurnal, Surat Kabar, dan Sejenisnya
Astrid Adrianne, Ananda dan Dwirahmi, Anastasia. 2013. Pecinan Semarang. Jakarta: KPG ( Kepustakaan Populer Gramedia ).
Gunarjo, Nursodik. 2011. Wayang Sebagai Media Komunikasi Tradisional Dalam Diseminasi Informasi. Diterbitkan oleh : Kementerian Komunikasi dan Informatika RI Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik
Hoed, Benny H. 2011. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok : Komunitas Bambu.
Kayam, Umar. 2000. “Seni Pertunjukkan Kita” dalam jurnal Seni Pertunjukkan Indonesia Tahun X-2000. Jakarta: Masyarakat Seni Pertunjukkan.
Martin, J.R., 1993. “A Contextual Theory of language.” dalam Cope dan B. Kalantzis (eds.). The Powers of Literacy: A Genre Approach to Teaching Writing. London: The Falmer Press.
Murgianto, Sal. 1996. Cakrawala Pertunjukan Budaya Mengkaji Batas Batas Dan Arti Pertunjukan. MSPI.
Poerwanto, Dr. Hari 2000. Kebudayaan Dan Lingkungan. Yogyakarta: Penerbit Pustaka
Pelajar
Poerwanto, dkk. 2013. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Resti Hadi Muljarini, Dinanike. 1997. Pertunjukan Wayang Potehi Di Tempat Ibadat Tri Dharma Hok Tek Bio, Gombong. Universitas Indonesia : Jakarta (UI-Press)
Sedyawati, Edi. 1981. Pertumbuhan Seni Pertunjukan. Jakarta: Sinar Harapan.
Sevilla, Conseule G, Ochave, Jesus A, Punsalan, Twila G, Regala, Bella P dan Uriarte, Gabriel G. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Universitas Indonesia : Jakarta (UI-Press)
Turner, Victor dan Edward M. Bruner (eds.). 1983. The Anthropology of Performance. Urbana dan Chicago: University Illinois.
Turner, Victor, 1980. From Ritual to Theater: The Human Seriousness of Play. New York: PAJ Publication
Turner, Victor. 1974. Drama, Fields, and Metaphors: Symbolic Action in Human Society. Ithaca and London: Cornell University Press.
Veegar, K.J. MSc.Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.
67
Telaumbanua, Chical Teodali. 2012. Analisis Sinunö pada pertunjukan Fanari Ya’Ahowu dalam Kebudayaan Nias di Gunungsitoli. Skripsi Departemen Etnomusikologi Universitas Sumatera Utara
Internet:
http://www.tionghoa.net/
http://www.facebook.com/notes/tionghoa-indonesia/-orang-tionghoa-di-indonesia-sebuah-catatan-dari-dr-han-hwie-song-alm-/10151304778560238
Pengertian Teks Dalam Sastra, jurnal diakses pada tanggal 4 Oktober 2013, dari http://pusatbahasaalazhar.wordpress.com/pesona-puisi/pengertian-teks-dalam-sastra/
Profil Kota Tebing Tinggi, diakses pada tanggal 4 Oktober 2013 dari http://kotatebingtinggi.wordpress.com/profil-kota/profil-umum-kota-tebing-tinggi/
Dwi Woro R. Mastuti. 2004. Dalam seminar berjudul “Wayang Cina di Jawa Sebagai Wujud Akultarasi Budaya dan Perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Jakarta diakses pada tanggal 18 Oktober 2013 dari staff.blog.ui.ac.id/dwi.woro/files/2008/02/wayang_cina_di_jawa1.pdf
68
LAMPIRAN
Data Informan
Informan 1 :
Nama : Dharma Surya
Alamat : Jl. Saudara No. 39 Kompleks Citra Permai Indah Bandar Sono,
Tebing Tinggi
Tanggal Lahir : Tebing Tinggi, 5 Februari 1968
Pekerjaan : Shuhu atau Biksu Vihara
Informan 2 :
Nama : Ismail Budiman
Tanggal Lahir : Tebing Tinggi, 29 September 1955
Pekerjaan : Staf Ahli Walikota Tebing Tinggi
Informan 3 :
Nama : Toni Harsono
Tanggal Lahir : Jombang, 6 Juli 1969
Pekerjaan : Dalang Wayang Potehi
Informan 4 :
Nama : 辛勇旺(xīnyǒngwàng)(36 tahun) sebagai asisten dalang.
69
Daftar Pertanyaan
1. Bagaimana sejarah yang anda ketahui tentang wayang potehi?
2. Bagaimana sejarah munculnya wayang potehi di Indonesia?
3. Kapan vihara avalokistesvara di bangun dan sudah sejak kapan pertunjukan
wayang potehi sudah mulai dipertunjukan di vihara avalokitesvara?
4. Sudah berapa lama anda menjadi dalang wayang potehi?
5. Bagaimana anda bisa menjadi dalang wayang potehi?
6. Berapa orangkah yang dibutuhkan untuk mempertunjukan wayang potehi
ini?
7. Apa judul dan tema cerita yang dibawakan pada pertunjukan kali ini?
8. Apa-apa sajakah properti yang digunakan?
9. Apa saja kegunaan dari setiap properti yang dipakai?
10. Apakah saat pementasan dalang menggunakan teks atau naskah cerita?
11. Mengapa saat dalang mempertunjukan wayang potehi menggunakan bahasa
yang sering dipakai sehari-hari?
12. Apa saja makna dan fungsi dari pertunjukan?
13. Bagaimana reaksi penonton pada saat menyaksikan pertunjukan?
14. Apa yang anda dapatkan setelah menyaksikan pertunjukan wayang potehi
ini?
Naskah Pertunjukan Wayang Potehi
70
Prolog : Tiba di Dao Li Yonggan., Jin Li, Liu Hong Long, Ong Kau
Sin, Liu Kim Hwa, Feng Siau Sin berkenalan Sin Djin Kwie.
Sie Djin Kwie : “Aku Sie Djin Kwie. Sejak kejadian dirumah majikanku yang
bernama Liu Hong, Gara-gara ini jubah yang telah kupake aku
tidak mengerti. Jubah yang telah kupake itu adalah jubah pusaka
milik dari majikanku yang bernama Liu Hong. Akupun juga
tidak menyangka. Untung saja In Thong kerjaku memberitahu
kepadaku dan atas perintah cepat-cepat untuk meninggalkan
keluar dari majikanku sebelum terlambat majikanku menangkap
diriku. Aku ingin pergi meninggalkan rumah ini ke lereng
gunung Taishan. Tetapi sampai diperjalanan matahari hampir
terbenam, terpaksa aku menginap di ini klenteng”. (bergumam)
“Ehm... Ehm...Ehm...Ehm...”.
(Musik)
Jin Li : “Aku Jin Li menga, mengajak nona yang bernama Liu Kim
Hwa. Nona Liu Kim Hwa ini adalah anak dari majikanku yang
bernama Liu Hong. Gara-gara ini soal jubah peninggalan dari
leluhur majikanku tanpa disengaja karyawan dari majikanku
yang bernama Sie Djin Kwie tertidur pulas di ini klenteng tepat
pada malam tahun baru imlek. Coba nona, Liu Kim Hwa
datanglah kemari nona”.
Liu Kim Hwa : “Jin panggil kami, Liu Kim Hwa belum tau ajak apa.
Terimalah hormat Jin rahmat”.
Jin Li : “Ehm... Liu Kim Hwa hari ini kamu tidak perlu untuk
menangis terus . Ibarat nasi sudah menjadi bubur. Semuanya itu
sudah terlanjur. Senang hatiku mendengar apa yang telah kau
katakan Liu Kim Hwa. Aku di dalam ini klenteng sepertinya ini
ada Sie Djin Kwie. Kebetulan Sie Djin Kwie kok ada disini.
71
Coba aku mau panggil padamu. Sie Djin Kwie... Sie Djin
Kwie... kau boleh datang kemari yok...”.
Sie Djin Kwie : “Jin panggil tuan Sie Djin Kwie belum tau ini ada urusan.
Terimalah hormat”.
Liu Kim Hwa : “Sie Djin Kwie kita bisa ketemu di dalam ini klenteng, kau
mau kemana Sie Djin Kwie?”
Sie Djin Kwie : “Ehm... sejak kejadian di gedung Kwan In, aku jadi takut
akhirnya aku melarikan diri. Aku ingin pulang ke gunung
Taishan untuk bertemu ahok Ong”.
Jin Li : “Oi... Djin Kwie... Djin Kwie. Mungkin ini semua sudah
menjadi suratan, suratan takdir. Aku mau bertanya denganmu.
Kau sudah punya istri apa belom?”
Sie Djin Kwie : “Belum”.
Jin Li : “Belum mempunyai istri? Bagus... bagus... bagus... bagus...
loh. Sie Djin Kwie, aku mendengar apa yang kau katakan jadi
senang. Kalo begitu aku ingin bicara denganmu. Bagaimana
kalo nona Liu Kim Hwa ini kuserahkan padamu. Mungkin saja
semuanya ini sudah diatur oleh Jin yang Maha Kuasa”.
Sie Djin Kwie : “Lagi aku pikirkan. Nona adalah anak orang kaya. Dia hidup
serba kecukupan. Hidup bersamaku, hidup yang tidak menentu,
penghasilan juga tidak bisa dipastikan. Jin aku tidak mau
menyengsarakan nona Liu Kim Hwa. Ini yang harus
dipikirkan”.
Jin Li : “Yo...yo... nona Liu Kim Hwa, bagaimana kau yang sudah
mendengarkan apa yang kukatakan dengan Sie Djin Kwie,
semua itu transparan, terbuka tidak ada yang tertutup. Kalau kau
menikah dengan Sie Djin Kwie, kau akan mendapat
perlindungan dari ini Sie Djin Kwie. Tidak ada tujuan yang pasti
72
kau harus bisa menerima kenyataan ini. Mungkin ini adalah
jalan pertemuanmu dan ini ada suatu perjodohan yang
dipertemukan di ini dalam klenteng”.
Sie Djin Kwie : “Maaf sebelumnya. Semua ini gara-gara aku. Mari ikut aku
untuk pergi ke ini tempat saudara angkatku nona”.
Liu Kim Hwa : “Sie Djin Kwie, jiwa ragaku, mati dan hidupku, kuserahkan
kepadamu loh”.
Sie Djin Kwie : “Bagus kamu mau. Ya Djin. beruntung mendapatkan ini istri
yang begitu cantik. Kuajak pulang ke Gunung Taishan bertemu
saudara yao...”.
Ong Kau Sin : “Namaku Ong Kau Sin. Hidup bersama istri tinggal di ini
gebuk derita dilereng gunung, gunung Taishan. Namanya jadi
orang nggak punya ya begini, hidup susah. Tapi walaupun kita
tidak mempunyai kekayaan harta benda, tapi aku bisa merasakan
hidup berbahagia. Dengan istri, saudara angkatku, udah Sie
Djin Kwie”.
(Musik)
Ong Kau Sin : “Sie Djin Kwie, kamu tidak pulang dengan begitu lama dan
membawa ini dia wanita. Aku tidak salah ya, nona Liu Kim
Hwa itu kan anak majikan bernama Liu Hong. Kamu ajak
datang ditempatku, kalo papamu nati mencari, bagaimana?”
Sie Djin Kwie : “Ong Kau, kujelaskan samamu agar mau bersamaku Ong”.
Ong Kau Sin : “Sie Djin Kwie, nona Liu Kim Hwa gara-gara soal jubah milik
dari papanya Hong, Liu Kim Hwa sampai nona Liu Kim Hwa
diperintah untuk mati dengan cara bunuh diri itu penjelasan mu,
atau gara-gara lain, ojo-ojo pas kau berbuat yang tidak masuk
akal. Jangan-jangan kamu mencuri”.
73
Sie Djin Kwie : “Tidak. Aku tidak melakukan kesalahan. Lalu aku sendiripun
soal jubah itu pun tidak mengerti asal darimana. Aku tidak
mengerti kalau jubah itu adalah jubah peninggalan leluhur
orangtua nona Liu Kim Hwa. Akhirnya aku bertemu di klenteng.
Jin mana menyerahkan Liu Kim Hwa kepadaku untuk menjadi
istriku dan aku sedah berterus terang pada Kim Hwa bagaimana
keadaanku, mengenai keadaan kehidupanku disini. Dia mau
untuk hidup berumah tangga denganku, mau menerima
kenyataan yang ada”.
Ong Kau Sin : “Jadi dengan adanya hal seperti ini, kita memang tidak
mengerti. Kejadian seperti ini membuat aku juga merasa
bangga. Kamu sudah setuju untuk berumah tangga dengan
seperti itu. Kim Hwa adik angkatku, silahkan masuk. Bahwa
hari ini dek ku Sie Djin Kwie maupun Liu Kim Hwa pada hari
ini melangsungkan pernikahan menjadi suami istri. Mudah-
mudahan dalam menempuh hidup baru selalu mendapat
perlindungan dari yang Maha Kuasa, sehat wal’afiat tidak
kekurangan sesuatu, dalam menempuh hidup baru hidup suami
istri sampai kakek-kakek dan nenek-nenek. Ikuti aba-abaku.” Yi
ji khang, lenteng. Sin ji khang, lenteng. San ji khang, ji...
(tunduk memberi penghormatan) “Kita sudah bersujud pada ini
yang Maha Kuasa untuk memohon apa yang selama ini kita
inginkan. Sekarang tubuhnya dibalik kebelakang pertanda kita
ini mohon doa restu dari Cao Peng, Cao Meng, Kong Cho yang
sudah mendahului kita. Mohon diberikan doa restu panjang
umur sehat wal’afiat, tidak kekurangan. Mudah-mudahan dalam
menempuh hidup baru ini, bisa sampai kakek-kakek dan nenek-
nenek”. (tunduk penghormatan) “sekarang silahkan kalian
berdua untuk memasuki kamar seadanya. Dikamar penganten
sudah disitu sudah disediakan makanan minuman seadanya,
walaupun cuma air putih. Silahkan... silahkan... masuk
silahkan”.
74
目录
摘 要 ............................................................................................................................ i
目 录 ............................................................................................................................ ii
第一章 绪 论 ............................................................................................................... 1
1.1 研 究 背 景 .................................................................................................. 1
1.2 研究目的 ................................................................................................... 2
1.3 研 究 现 状 .................................................................................................. 2
1.4 研 究 方 法 .................................................................................................. 4
第二章 布袋戏的历史以及传承 ...................................................................................... 5
2.1 布袋戏起源 ................................................................................................. 5
2.2布袋戏在中国的发展历史 .............................................................................. 6
2.3 布袋戏的舞词 ........................................................................................... 7
2.4 乐 器 .......................................................................................................... 8
2.5 表演场合 .................................................................................................... 9
第三章 印尼丁宜布袋戏................................................................................................... 11
i
3.1布袋戏的历史及发展....................................................................................... 11
3.2 舞 词 ............................................................................................................ 12
3.3 乐 器 ............................................................................................................ 13
3.4 表 演 场 合 .................................................................................................. 14
第四章 印尼丁宜 布袋戏与中国布袋戏的对比 ............................................................ 16
4.1 相同 点 ................................................................................................... 16
4.2 不 同 点 .................................................................................................. 19
第 五 章 结 论 .......................................................................................................... 20
参 考 文 献 ................................................................................................................ 22
致谢...................................................................................................................
ii
第一章 绪论
1.1 研究背景印尼是一个共和国国家,印尼由成千上万个岛屿组成,是全世界最大的群岛
屿国家,疆域橫跨亚洲及大洋洲。随着时间过去,印尼是算是在东南亚的比较丰富
的国家,拥有各种各样的民族,例如马达族、卡罗族、巴东族、马来族、印度族及
华人等等。每个民族都有丰富多彩的文化,瓦扬是印尼的一个文化代表,已经有了
很长的历史,不只是艺术作品,也反映了印尼人民的生活与社会层面,除了受到印
度文化的影响,有部分是受到了中国文化的影响,是由华人带入印尼的。1908
年,在荷兰殖民,有一位最著名的中国人来棉兰,印尼语叫钟阿飞带一些中国人来
丁宜,帮着荷兰人开放烟草地区。过了几十年,为了继续工作,有一些中国人留住
丁宜。由中国东南沿海移民带入印尼的布袋戏在印尼也归类为瓦扬的一种,而为
了与其他瓦扬分別,就称为布袋戏。现在布袋戏算是是印尼最古老的文化之一。布
“ ”袋戏在印尼也归类为木偶的一种,是从福建话 布袋戏 所拟音的。在作者的家乡丁
宜,也常有布袋戏的表演,所以本文作者有兴趣对丁宜布袋戏作深入的了解和研。
1.2 研究目的作为进入某个国家的外国文化之一,肯定会在有所变化。本文的目的是通过了
解布袋戏在丁宜的历史、发展和变化,以及布袋戏的表演者、表演内容、表演道
具、配乐等,让更多的人知道布袋戏。
3
1.3 研究现状 Astrid. 2013 <Pecinan Semarang> 《中国人在三宝垄》本文论述布袋戏早期出现
在印尼。
Dwi. 2004 <Wayang Cina di Jawa Sebagai Wujud Akultarasi Budaya dan Perekat
Negara Kesatuan Republik Indonesia>《爪哇岛中国木偶中作为中印文化粘合剂》本
文阐述印尼东爪哇布袋戏发展历史及其作为中印文化粘合剂的作用。
黃仁健. 1999《台湾布袋戏上场诗研究》本文希望粗略展示台湾布袋戏上场诗
的面貌和特点,从文学和语言两个方面对其进行理论研讨,从上场诗的演变过程中
总结规律和传统,为布袋戏上场诗研究提供一份有益的參参考资料,也为布袋戏上
场诗的创作研拟一份参考建议。本文力求将传统的布袋戏、金光布袋戏、霹雳布袋
戏的上场诗作一比较、研究。
黄鹤. 2007 《台湾布袋戏的艺术构成与文化底蕴》本文阐述台湾布袋戏的艺术
构成和文化底蕴都有了不同程度的变化着重表现在戏文内容、戏偶的角色、戏剧的
表现手法上。
洪世键. 2007 ——《南国奇葩掌中戏 南派布袋戏的历史渊源、基本特征与艺术
价值》. 本文除了解释泉州地区的布袋戏属南派,漳州地区的布袋戏属北派,还有
历史和环境因素的作用形成了南派与北派两个不同艺术特色的流派之分。
林银焕. 2011《台湾霹雳布袋戏与两岸文化创意产业》本文论述台湾霹雳布袋
戏的源流、发展、现代转型、革新及对两岸文化创意产业的启示。
张孟辰. 2012《浅谈布袋戏偶的造型艺术特色》本文通过对传统民间艺术布袋
戏偶的造型来阐述其独有的艺术特色. 布袋戏偶的造型随着时代的变迁打破了传统
4
的限制并在其基础上不断发扬。展示了崭新的气象,一代代传承下去,对新时代的
开启有着重要的开扩意义。
从这些阐述能看出,就是在中国而比较大饿,只有一个在印尼爪哇曾研究过。
所以本文要在印尼丁宜研究布袋戏发展、角色、歌词及使用乐器,本文希望通过这
个研究,能深入了解印尼丁宜布袋戏。
1.4 研究方法(包括文献法及访问法)在这项研究中,作者使用的分析描述方法与定性方法。这种方法的目的是描述
和 收 集 的 信 息 发 生 在 现 在。本 文 笔 者 采 用 的 理 论 和 理 论 Linguistik Systemic
Functional (LSF)。该理论认为,作者可以分析正在进行布袋戏的表现。根据我使用的理论,在这方面的工作论文作者采用定性描述的方法。这种方法旨在就本描述和分析,并收集信息。1.文献法
在前人研究的文献基础上进行研究。基于书籍,布袋戏相关的期刊。阅读全部内
容然后总结成一个结论,将由读者很容易理解。
2.访问法
通过访问华人,了解印尼丁宜布袋戏的发展历史、舞词及使用乐器,获得关于布
袋戏的相关资料。有些人,我采访的是木偶,一些华人和一些观众谁在看演出布袋
戏。从笔者得到的资料来看,笔者做过的第一个的分析技术是进行实地审查的地点
演出,这是在丁宜布袋戏。然后进行面谈主谋和一些观众。
5
第二章 布袋戏的历史以及传承
2.1 布袋戏起源 布袋戏是木偶戏的一种。传统布袋戏偶是由木雕头、袋形布身、木雕
手、实心布腿、木雕鞋加上服饰、盔帽组成。由于操作木偶是以手掌插入袋搬弄舞
姿,所以布袋戏又称为「掌中戏」。布袋戏是木偶戏的一种。传统布袋戏偶是由木
雕头、袋形布身、木雕手、实心布腿、木雕鞋加上服饰、盔帽组成。由于操作木偶
是以手掌插入袋搬弄舞姿,所以布袋戏又称为「掌中戏」。木偶戏是由演员在幕后
操纵木制玩偶进行表演的戏剧形式。在中国古代又称傀儡戏。中国木偶戏历史悠
久,三国时已有偶人可进行杂技表演,隋代则开始用偶人表演故事。
布袋戏木偶娃娃是布做的。布袋戏更好地称为木偶,这意味着游戏是不
是移动的木棍,而是通过手工木偶谁放的傀儡,并根据故事的过程中移动的手指。
谁的人玩这个娃娃,各持两个娃娃两个人的人数。两个男人,一个男人和一个男人
主脑核心担任助理木偶。布袋戏演出是关于历史还是在中国的重要人物,通常是进
行连载。早在商周之时,俑偶人、桐人就已普遍被用为殉葬之用;西汉时魁儡作为
丧家之乐;东汉时则开始运用在宾婚嘉会等喜庆场合;南北朝之时傀儡已具备歌舞
表演、诙谐滑稽的娱乐型态;唐宋则是魁儡的兴盛期;宋代以降,傀儡戏更是流行
于市井间的庶民娱乐。而傀儡随着时间的推演,也因地域不同而发展出不同的样
式,我国的木偶戏约可划分成两大类: 第一类流行于河北、河南、四川、湖北、湖
南等地,偶身约九吋长,形象粗邝,一般眼嘴不能活动,无手无脚,只有臂,不能
取拿东西。第二类流行于台、闽一带,这一带广称木偶戏为掌中戏或布袋戏,偶身
6
约八吋到三、四台尺都有,制作较精细,形象细致,尤其是头部脸型刻划极为逼
真,有手有脚,能做各种动作。
一般来说,学者都大约认定布袋戏起源为福建泉州,时间则约为 17世纪
左右。而之后发展上,布袋戏流派因发展区域横跨福建与台湾,加上不同时期的各
自发展与交流融合,实在很难区分。若最粗概的以表演型态来论,约可分传统布
袋戏与现代布袋戏。在此分类下,即使在布袋戏仍十分流行的台湾,传统布袋戏的
观众远低于现代布袋戏。而普遍所称的布袋戏流派,实际往往就是指传统布袋戏
的流派。布偶的头是用木头雕刻成中空的人头,除出偶头、戏偶手掌与人偶足部
外,布袋戏偶身之躯干与四肢都是用布料做出的服装;演出时,将手套入戏偶的服
“装中进行操 偶表演。而正因为早期此类型演出的戏偶偶身极像 用布料所做的袋
”子 ,因此有了布袋戏之通称。早期许多的迎神庙会场合里,布袋戏是最常看到的
民间戏曲表演之一。
2.2 布袋戏在中国的发展历史布袋戏内台戏的延伸:电影圣石传说 17世纪中期,布袋戏已于闽南相当受欢
迎,亦出现了类似肩担戏的模式。所谓肩担戏乃是由演出者肩担戏箱与舞台。至一
定地点后,搭好简易舞台后,操纵者躲在布帏下,肩上简易木架舞台即成为人偶演
出戏台。至 18世纪,根据演出场所的不同,布袋戏不但出现职业团体,还视演出
地点,分为室外演出的野台戏与在剧院演出的内台戏。木偶戏艺术创造的五个死刑
犯执行之前,他们试图通过利用现有的项目在他们的监狱里自娱自乐。然后,他们
举行一个小的临时傀儡表明,它传到耳朵里的王者。然后,他们面临的挑战是出现
在王面前会得到回报时不受处罚王很高兴。然后,他们决定提升叙述善良和积极的
自我形象的王者之王的发挥。正因为如此,他们也终于解脱了处罚。
7
2.3 布袋戏的舞词操闽南或台湾地方性语言来做演出的口白师傅可谓布袋戏的灵魂人物。于布
袋戏的演出中,后场的口白师傅包办了戏中所有人物的对白与念白,也常是布袋戏
戏剧中唯一的挂牌主演者。就是因为身系演出成功与否,类似职业说书人的口白主
演者必须具备有仿男女老幼不同人物音质、不同讲话风格甚至不同的地方口音的技
巧。就实例上,深受欢迎的口白师傅者还必须要有深厚的文学造诣和音乐素养,且
必须能做到各种不同性格的角色五音分明,加上情绪表达的八声七情,及其余基本
角色口白等等。就此来看,一位口白师傅最起码要替 28种不同情绪与角色口白配
音的本事。
2.4 乐器若再详细分:武场乐器包括了锣、小锣、小鼓、通鼓、钞、钹、拍板等,而文
场则包括二胡、唢呐、拍板、月琴及笛子。而此配乐型态上可依剧种再细分为生旦
戏、审场戏、武打戏、连台戏、折子戏以及拳打戏。到了 20世纪中期以后,后台配
乐逐渐有了一些变化,例如引进了京剧的后台音乐,使用西方乐器和音乐、以歌手现
场演唱歌曲,或以录音带播放电子音乐等等。
小锣
大钞
8
中国笛子
小鼓
唢呐
中胡 二胡
2.5 表演场合袋戏戏台不管哪种形式表演,布袋戏的演出都需要有戏台,该戏台一方面作
为区隔前后台以及观众与演出者之间的能,一方面提供演出所需要的戏剧布景。布
袋戏发展之初,戏台较为简陋,仅用扁担,布廉架起简易戏台,后来布袋戏逐渐受
欢迎,戏台也变得较为复杂,继而诞生了早期的四角棚。该三至五米宽之戏棚其构
造类似于一座小型土地庙,有四根柱子,中间是大厅,为戏偶活动的舞台,其四面
之中,三面皆空,大厅中有一层交关屏,用来遮掩演艺人之用,早期的四角棚的装
9
饰及雕刻都较为简单,但后期逐渐发展得更为复杂精致,配合木雕技术以及中国传
统建筑的风格来制作戏台。
野台金光布袋戏台
第三章 印尼丁宜布袋戏
3.1 布袋戏的历史及发展
布袋戏本是雅俗共赏,老少咸宜的民间传统戏曲。近来,却因为布袋戏
本身传统技艺的流失,再加上媒体的日趋多元化,使得布袋戏的兴衰面临时代的考
验。但是传统布袋戏的确是一项十分有趣的民俗技艺,只要稍加解说,指导操作技
巧,很快就能享受的乐趣。预计布袋戏到印尼来港,发生在海外中国社会在这些领
域所带来的 20世纪。布袋戏进军印尼来自福建省的南部。执行此布袋戏来得及的
新秩序诞生之前,发展和繁荣。但在新秩序时代反共,包括中国的文化被看作是共
产主义的一种表现,再有就是各种形式的艺术表达的禁止。 当时的演出取消。 然
10
而,随着时间的推移改革期间,禁令被取消,显示的是回布袋戏增长,在群岛中显
示。布袋戏演出可以在各种庆祝活动,如生日福禄寿,中国农历新年,十五暝,等
等被发现。
布袋戏最初在展会作为宗教仪式的功能和使用汉语,但印尼人民的热情
的程度和表现出来充当娱乐。也越来越多的谁中国人知道印尼语,那么这个节目,
然后穿上印尼语。几乎所有城市在印尼有史以来布袋戏展示这么好丁宜。据线人涌
入布袋戏在北苏门答腊首次在谁的靖国神社 Avalokistesvara (鳯山寺)在 2002年
进行丁宜发现。社会中国丁宜对他们的文化仍然是非常棘手的,他们仍然理解文化
非常好。所以,从那时起到现在证明布袋戏总是连续进行,每年在周年庆期间的精
舍神和生日庆祝活动的时间。
3.2 舞词
在这种情况下,作者分析的文本显示,链已经由主谋口语到其中,然后
被分析的文本的音频的作者。一般来说,在展会期间所使用的语言的结构布袋
戏在丁宜的主谋从开始到结束包含的语言,是不是太原始。每通过一个非常简
单的主谋,每节口语词的选择是口语一个非常清晰和专注。字的选择意图是主
意由主谋被正确引导到观众谁正在看,这样的娱乐不仅功能,但也包含在故事
的含义中的一个元素也可以被正确理解来传达。
每场演出布袋戏起到了非常有趣的故事。每一个故事都必须与中国在这
留下了美好的印象对中国社会的国家的历史。布袋戏的故事,在丁宜从著名将
领在中国的故事拆除期间三天举行主题演出开始了,他是一个普通的和被任命
谁被认为是守卫皇帝国王,成为国王的首次股东。在他的职业生涯中,薛仁贵
实现在多种远征作战作为对西方突厥的残余,对高句丽(占领了满洲和朝鲜半
11
岛北部的一个古老王国)的成功。在历史上,薛仁贵认为,因为智慧和简单一
个半神。
表演艺术布袋戏是一个包含爪哇和中国文化之间的文化适应的元素。这
是因为在这个木偶剧呈现有一出戏,剧情和它的内容像一个木偶戏一般,它只
是汇集了中国的音乐的音乐。为了能够理解和被理解,除了使用语言闽南语
(中国)也使用爪哇语或者印尼与。执行此不带息大上印尼人的或现有的华人
丁尤其是对谁亲眼目睹这个布袋戏表演的人宜冲击。这个故事是由木偶不仅是
单纯的娱乐发挥,但也有一些事情要由主脑传达给观众。在本次车展中,木偶
想要传达的表演布袋戏有好多种功能祭祀功能,教育和娱乐功能的功能。所以
观看演出后人们了解历史和实践中所含的故事善良风俗。薛仁贵形容一个人谁
永不放弃,爱帮,一个勤奋的人,始终坚定地面对诱惑,始终相信上帝的存
在。这个故事教导总是吵架,老实的人,并成为一个优秀的领导者为他的人
民。
3.3乐器
音乐是声音的音调或安排,以产生一个节奏,乐曲,和谐。因为这样可
以产生声音的工具音乐通常会创建。 以生产音乐表演布袋戏,以显得喜庆活
泼,有七种乐器的使用,发挥三个人,每人负责持有两种乐器。
使用的仪器,即,大钹,小钹,小提琴,木,笛子,鼓,小号。
12
3.4 表演场合
布袋戏表演,在丁宜进行的是领导的一个名为 Toni Harsono(43岁)主
脑。这主脑也协助下一名助理和三个作为一个音乐播放器。此举背后的主谋,
并根据故事情节布袋戏有权薛仁贵调节播放。他移动布袋戏对话,他说 - 尽管
所说的布袋戏。展会期间,木偶表演呈现一个非常整齐有序。从展会开始到木
偶戏的结尾,根据故事情节和演技了没有阅读的文本。这意味着,每个在展会
期间口语已经嵌入在主脑的记忆。
该阶段是一个地方或如布袋戏发挥的地方。布袋戏很简单的舞台表演,
不只是过于庞大,所以它并不需要一个大院子。这个布袋戏布袋戏演出在这个
阶段就像一个玩偶盒是没有那么大。主谋和助手是幕后 /筛箱木偶舞台。他们
出现,因为它是不化妆和特殊的服装。该阶段是由中国的派头包围。舞台装饰
与建筑的雕刻或与之相关的中国国家和华人,以支持正在播放的故事。
13
观众谁看了布袋戏增加了大气周围寺庙展会的存在被拥挤的节日。寺庙
周围热心社会是非常高的。谁的观众观看了演出布袋戏也是多样的,从孩子到
父母甚至老人。不仅华人不仅但是印尼人也很乐意看到这个表演布袋戏。周围
寺庙不仅是人,在丁宜也从城市如棉兰外面的人,先达,民札,和其他人也来
搞活事件以及观看演出这个布袋戏。
第四章 印尼丁宜 布袋戏与中国布袋戏的对比
4.1 相同点
爪哇文化中融入了太多的中国文化,其中之一即布袋戏,爪哇的布袋戏与中
国传统布袋戏有密切的关系。一般在同一布袋戏演出印尼与用于显示中国布袋戏的
属性中使用的所有财产。布袋戏在印尼或中国表演,是关系到中国的国家既讲故
事,也是著名的国王的故事。同样在中国和印尼,但是也有一些表演布袋戏想成为
主谋的存在,布袋戏,乐器和舞台。
14
方程可以从某种形式的用作布袋戏属性可以看出。我们可以看到,戏布袋戏
薛仁贵出战印尼几乎是一样发挥中国。布袋戏只用衣服在中国看起来更豪华,朝服
被磨损,而在印尼用一种更简单的穿搭与国王的色调。但总体而言就像她的脸几乎
类似。
中国布袋戏 印尼布袋戏
乐器在印尼和乐器在中国一样。在使用中,即使乐器在印度尼西亚根据中国使
用的乐器,使生成的音乐听起来像典型的中国音乐。中国音乐,伴随着展会布
袋戏调整到故事正在播放。
印尼的乐器
15
中国的乐器
布袋戏舞台表演中印尼双方在装饰与中国饰品的色调用在中国的舞台。所有
的舞台表演布袋戏雕着龙与华人文化有关的明亮色调。在印尼几乎所有的舞台表演
布袋戏红色,并配备了汉字书写在舞台的边缘和在舞台上。而在中国现阶段唯一有
不同的颜色大多是明亮的绿色舞台。中国舞台比印尼舞台更大的也更豪华。
印尼的舞台
16
中国的舞台
4.2 不同点
虽然布袋戏带到印尼土生土长的中国文化,但还是有相同点也不同点在每场
演出。在印度尼西亚和中国的表演,主谋方式布袋戏差异舞台表演。主谋印尼提出
不使用脚本演出布袋戏。故事要执行已经想起了木偶。布袋戏主谋曾多次布袋戏舞
台表演,这样的已经嵌入在他心中的脚本。在中国,策划布袋戏仍呈现节目通过阅
读剧本,尽管他一再表演布袋戏不同的事情。
中国布袋戏表演
印尼布袋戏表演
17
第五章 结论表演布袋戏源自中国具有内在的国家,并已成为印尼的文化之一。布袋戏
的表演总是每年举办一次,几乎传遍了整个城市在印度尼西亚。一个城市,从来没
有错过展示这种艺术的是丁宜。在这种丁宜布袋戏每年对神的周年举办展会,寺周
年新年快乐。
观察和分析的表演布袋戏在丁宜作者得出结论利用展会的一些元素,如时
相同的性能,其他表演布袋戏完善的售后服务,是什么支持展会上,系统性能系统
之间的关系,在舞台上观众之间的关系的要素表演,照明系统,背景音乐,以及什
么样的故事正在上演。展会布袋戏总是与有关华人文化的建筑风格和装修阶段,音
乐伴奏,呈现的故事,以及傀儡戏服描绘中国传统服饰事项的支持元素。
表演布袋戏在丁宜使用印尼语。
布袋戏表演在印尼演出布袋戏中国制造执行它们几乎相同的方式。在执行
几乎相同的使用性能。布袋戏表演在印度尼西亚进行通常基于在中国进行的表演。
公式显示布袋戏印尼布袋戏中国可以从使用的乐器几乎是一样的整体布袋戏中国乐
器,用舞台也装饰在中国和故事都汇集在展示布袋戏布袋戏的故事通常是对历史或
故事可以看出在中国很有名。而差异显示布袋戏印尼和中国不仅带来怎样的主谋的
故事。在印尼布袋戏的演出不使用脚本而在中国穿的手稿。
希望有更多人了解中国传统布袋戏在印尼的发展与传承,进而支持中国
传统布袋戏在印尼继续发扬光大及传承下去。
18
参考文献
[1] 黃仁健. 1999《台湾布袋戏上场诗研究》[J]
[2] 黄鹤. 2007《台湾布袋戏的艺术构成与文化底蕴》[J]
[3] 洪世键. 2007 ——《南国奇葩掌中戏 南派布袋戏的历史渊源、基本特征与艺术价值》[J]
[4] 林银焕. 2011《台湾霹雳布袋戏与两岸文化创意产业》[J]
[5] Astrid Adrianne, Ananda dan Dwirahmi, Anastasia. 2013. Pecinan Semarang. Jakarta: KPG ( Kepustakaan Populer Gramedia ).
[6] Dwi Woro R. Mastuti. 2004. Dalam seminar berjudul “Wayang Cina di Jawa Sebagai Wujud Akultarasi Budaya dan Perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Jakarta diakses pada tanggal 18 Oktober 2013 dari staff.blog.ui.ac.id/dwi.woro/files/2008/02/ wayang _ cina_di_jawa 1.pdf
19
Top Related