161
VIII MODEL DINAMIK PENGELOLAAN KAWASAN PERMUKIMAN
DI DAS CILIWUNG HULU
8.1. Pendahuluan
Daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung hulu merupakan bagian dari
kawasan wisata Puncak-Cianjur, mempunyai daya tarik bagi masyarakat sekitar
Bogor dan luar Bogor untuk mendirikan rumah peristirahatan (villa, bungalow),
hotel, restoran dan tempat rekreasi. Saat ini perkembangan permukiman di DAS
Ciliwung hulu pesat dan cenderung kurang terkendali. Perkembangan permukiman
merambah ke kawasan yang tidak sesuai untuk permukiman, sehingga menjadi
penyebab terjadinya degradasi lingkungan DAS Ciliwung hulu.
Permasalahan permukiman di DAS Ciliwung hulu merupakan suatu
rangkaian persoalan yang kompleks. Persoalan timbul karena koordinasi antar
instansi dan penegakan hukum yang lemah (Karyana 2005) serta tingkat persepsi
masyarakat terhadap fungsi ekologi DAS Ciliwung hulu yang rendah sampai
sedang (Sabri 2004). Ketiga faktor tersebut menyebabkan perkembangan
permukiman di DAS Ciliwung hulu tidak terkendali dan menyimpang dari rencana
tata ruang.
Sistem dinamik adalah suatu cara berpikir menyeluruh dan terpadu, mampu
menyederhanakan persoalan yang rumit tanpa kehilangan hal penting yang
menjadi perhatian (Muhammadi et al. 2001). Sistem dinamik dapat menganalisis
struktur dan pola perilaku sistem yang rumit, berubah cepat dan mengandung
ketidakpastian (Muhammadi et al. 2001), demikian pula perubahan struktural yang
terjadi pada salah satu bagian dari sistem yang akan berdampak pada perilaku
sistem secara keseluruhan dapat dianalisis dengan cepat (Martin 1997). Proses
analisis kebijakan menggunakan sistem dinamik dilakukan melalui simulasi
model, sehingga lebih cepat, menyeluruh dan dapat dipertanggungjawabkan
(Forester 1976; Muhammadi et al. 2001; Meadows et al. 2004).
Dalam rangka menyelesaikan persoalan kebutuhan permukiman yang terus
meningkat, koordinasi yang kurang lancar, dan fungsi ekologi DAS yang terus
162
menurun, digunakan model dinamik melalui berbagai skenario untuk melakukan
perubahan yang sistemik kearah yang diinginkan melalui berbagai percobaan
menggunakan simulasi model.
Berdasarkan hal tersebut, maka tujuan penelitian adalah :
a. Merancang model dinamik
b. Menyusun alternatif kebijakan pengelolaan permukiman menggunakan
simulasi model.
8.2 Data Sistem Dinamis
8.2.1 Jenis dan Sumber Data
Data yang dipakai dalam penelitian adalah data primer dan sekunder Sumber
data primer adalah pejabat Pemda Kabupaten Bogor dan lokasi studi. Sumber data
sekunder adalah: Bapeda Kabupaten Bogor, Kantor statistik Kabupaten Bogor,
Dinas Kependudukan dan KB kabupaten Bogor, Dinas Cipta Karya Bagian Tata
Bangunan dan Permukiman Kabupaten Bogor, UPT BP Sumberdaya Air Wilayah
Sungai Ciliwung-Cisadane, BP DAS Citarum-Ciliwung, Dinas Tata Ruang dan
Pertanahan Kabupaten Bogor, Perpustakaan, dan media elektronik.
8.2.2. Teknik Pengumpulan Data
Data primer diperoleh melalui diskusi dengan pejabat dari Bapeda kabupaten
Bogor, Dinas Tata Ruang dan Pertanahan, Bagian Tata Bangunan dan
Permukiman. Data sekunder diperoleh melalui telaah dokumen, literatur,
mengunduh dari media elektronik dan hasil analisis bab V dan VII (Tabel 45).
Tabel 45 Data Model Dinamik, Sumber dan Kegunaan
Data Model Dinamik Sumber Kegunaan
Jumlah Penduduk1997-2007
Kantor Statistik Kab. Bogor Perkiraan jumlah danperkembangan penduduk
Curah hujan . UPT B P Sumberdaya Air WilayahSungai Ciliwung-Cisadane.
perkiraan air limpasan
IMB Cisarua, Ciawi,Megamendung.
Dinas Cipta Karya Kab. Bogor analisis kelembagaan
KDB Rumah, sarana- Peraturan Bupati Kab. Bogor No perkiraan kebutuhan lahan
163
Data Model Dinamik Sumber Kegunaan
prasarana. 2/2006 permukiman
Kebutuhan Ruang Sarana-prasarana, rumah, jalan
Kep Men PU No 20/KPTS/1986 perkiraan kebutuhan lahanpermukiman
Koefisien Run off(permukiman, lahan basah,ladang, hutan perkebunan)
Dokumen hasil penelitian KadarTahun 2003
perkiraan volume airlimpasan
Sampah Kep Men PU No 20/KPTS/1986;Bapeda kab Bogor
perkiraan timbulan sampahkawasan permukiman
Kepadatan penduduk Dokumen dari media elektronik . jmlh penduduk yg dptdidukung kws permukiman
Koordinasi Dokumen hasil penelitian KaryanaTahun 2005; analisis sub 7.3
analisis kelembagaan
Indeks PembangunanManusia (IPM)
Media elektronik Portal KabupatenBogor[ http://www.bogor_kab.go.id
analisis kelembagaan
Konsistensi Hasil analisis sub 5.3; 7.3 analisis kelembagaanTutupan Lahan Hasil analisis sub 5.3. alokasi permukiman
8.3. Metode Analisis
8.3.1. Parameter dan Indikator Kinerja Model
Model dinamik pengelolaan kawasan permukiman menggunakan 4 sub-
model, yaitu: sub-model penduduk, sub-model kebutuhan lahan permukiman, sub-
model pengendalian dan kelembagaan, serta sub-model fisik lingkungan. Masing-
masing sub-model mempunyai parameter dan indikator. Parameter dapat diwakili
oleh flow atau auxiliary sedangkan indikator kinerja diwakili oleh level (Tabel 46).
Tabel 46 Sub-model, Parameter dan Indikator Kinerja Model
Sub-model Parameter Indikator Kinerja Model
1. Penduduk Laju kelahiran & migrasi masuk; lajukematian & migrasi keluar.
Jumlah Penduduk
2. Kebutuhan Ruang permukiman
Pertambahan luas rumah; pertambahanluas sarpras; daya tarik permukiman
Kebutuhan Ruang Permukiman
3.Pengendaliandankelembagaan
Tambahan permukiman kepermukiman; tambahan permukiman keBudidaya non permukiman; tambahanpermukiman ke lindung; partisipasimasyarakat; koordinasi; konsistensi.
Luas permukiman di kws sesuaipermukiman; luas permukiman dikws tidak sesuai permukiman( zona budidaya non permukiman dan zona lindung); pengaturan tata ruang
4. Fisiklingkungan
Laju limpasan dari zona budidaya nonpermukiman ; laju limpasan zona
Volume air limpasan kws permukiman; volume air limpasan kws
164
Sub-model Parameter Indikator Kinerja Model
lindung; laju limpasan permukiman;permukiman, laju sampah, kualitaslingkungan.
non permukiman (zona budidayanon permukiman dan zonalindung); volume sampah
8.3.2. Metode dan Tahap Analisis
Metode analisis yang digunakan adalah analisis sistem menggunakan model
dinamik (Forester 1976; Muhammadi et al. 2001). Tahap permodelan sistem
dinamik (Eriyatno 1999; Muhammadi et al. 2001) adalah:
(1) Analisis Kebutuhan
Secara umum stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan kawasan
permukiman di DAS Ciliwung hulu terdiri atas berbagai instansi pemerintah pusat
maupun daerah (Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Bogor), pengusaha
(pengembang perumahan, perkebunan, perdagangan, hotel, restoran) serta
masyarakat (pendatang dan penduduk lokal). Berdasarkan hasil pengumpulan data
primer maupun sekunder, kebutuhan yang berkaitan dengan pengelolaan
permukiman adalah : kualitas lingkungan meningkat, koordinasi antar instansi
yang terkait pengelolaan permukiman; konsistensi dalam penerapan peraturan;
rencana tata ruang yang operasional; sistem informasi berkaitan dengan
permukiman; pedoman teknis pembangunan permukiman; peraturan insentif dan
disinsentif yang berkaitan dengan pembangunan permukiman; informasi
mekanisme dan prosedur perizinan pembangunan perumahan/permukiman; lokasi
kawasan yang diperbolehkan untuk pembangunan perumahan/permukiman;
Koefisien dasar bangunan (KDB) yang diizinkan; dan ketentuan teknis
pembangunan perumahan/permukiman di DAS Ciliwung hulu.
(2) Perumusan Permasalahan
Untuk meningkatkan fungsi ekologi DAS Ciliwung hulu, pengendalian
perkembangan permukiman membutuhkan konsistensi dalam menerapkan
peraturan dan koordinasi antar instansi sehingga permukiman hanya berlokasi di
kawasan yang sesuai/diperbolehkan untuk permukiman. Pengendalian perkembang
an permukiman membutuhkan partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat akan
165
meningkat apabila masyarakat mengetahui prosedur dan mekanisme perizinan
pembangunan permukiman, lokasi kawasan yang diperbolehkan untuk
membangun permukiman, KDB yang diizinkan serta ketentuan teknis
pembangunan permukiman.
Selain masalah koordinasi, konsistensi dan partisipasi masyarakat,
pengendalian permukiman juga memerlukan pengendalian jumlah penduduk,
karena laju pertumbuhan penduduk yang meningkat pesat akan semakin
meningkatkan kebutuhan lahan permukiman. Oleh karena luas kawasan yang
sesuai untuk digunakan permukiman terbatas, maka kebutuhan lahan permukiman
yang besar dan meningkat pesat tidak tertampung. Akibatnya kawasan yang tidak
sesuai untuk permukiman (kawasan lindung dan budidaya non permukiman)
dirambah oleh kawasan permukiman.
Berdasarkan hal tersebut maka perumusan masalahnya adalah seberapa besar
dampak dari pengendalian penduduk terhadap kinerja DAS Ciliwung hulu;
seberapa besar dampak dari pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan
partisipasi dapat meningkatkan kinerja DAS Ciliwung hulu; seberapa besar
dampak dari penguatan kelembagaan pemerintah melalui peningkatan koordinasi
dan konsistensi terhadap kinerja DAS Ciliwung hulu; dan seberapa besar dampak
dari pengendalian penduduk, pemberdayaan masyarakat dan penguatan
kelembagaan pemerintah apabila dilakukan secara bersama-sama, terhadap kinerja
DAS Ciliwung hulu.
(3) Diagram Input-Output
Sistem pengelolaan kawasan permukiman berkelanjutan di DAS Ciliwung
hulu tersebut, digambarkan dalam diagram input-output, yang terdiri dari input
terkontrol, input tidak terkontrol, output dikehendaki dan output tidak dikehendaki.
Melalui mekanisme pengelolaan kawasan permukiman output yang tidak
dikehendaki dirubah menjadi input terkontrol yang masuk ke dalam Sistem
Pengelolaan Kawasan Permukiman Berkelanjutan (Gambar 43).
166
INPUT LINGKUNGAN
Letak geografis, iklim
Gambar 43 Diagram Input-Output Pengelolaan Kawasan Permukiman DAS Ciliwung Hulu
(4) Identifikasi Sistem
Pertambahan jumlah penduduk terjadi karena kelahiran dan migrasi masuk
serta kematian dan migrasi keluar. Pertambahan jumlah penduduk menyebabkan
kebutuhan lahan permukiman meningkat. Komitmen pemerintah dan partisipasi
masyarakat yang lemah menyebabkan perkembangan kawasan permukiman tidak
terkendali sehingga merambah kawasan yang tidak sesuai untuk permukiman
(kawasan lindung dan pertanian). Hasil analisis menunjukkan permukiman
eksisting yang berada di kawasan yang tidak sesuai permukiman seluas 1.737,33
ha, tersebar di zona budidaya non permukiman 41,21% dan zona lindung 16,70%.
Peningkatan kebutuhan lahan permukiman menambah luas lahan yang tidak
kedap air (Weng 2002; Mustafa et al. 2005), sehingga air limpasan dari kawasan
permukiman semakin besar. Disisi lain semakin besar jumlah penduduk, maka
167
kepadatan penduduk, kepadatan permukiman dan jumlah sampah semakin besar
pula. Akibat dari kepadatan penduduk dan kebutuhan ruang permukiman yang
semakin besar, serta volume air limpasan dan sampah yang semakin besar, terjadi
penurunan kualitas lingkungan DAS, yang berdampak pada laju kelahiran dan
kematian penduduk.
Untuk mengatasi masalah tersebut dibutuhkan komitmen pemerintah dalam
bentuk koordinasi antar-lembaga dan konsistensi dalam melaksanakan undang-
undang, serta partisipasi masyarakat untuk meningkatkan kualitas lingkungan
hidup. Komitmen pemerintah dan partisipasi masyarakat diharapkan berpengaruh
terhadap perubahan lahan dari kawasan lindung dan kawasan budidaya menjadi
kawasan pemukiman, demikian pula permukiman yang berlokasi di kawasan yang
tidak sesuai dapat dikurangi, diatur dan dibatasi perkembangannya. Berdasarkan
hal tersebut, pengelolaan kawasan permukiman berkelanjutan di DAS Ciliwung
hulu diharapkan dapat mengendalikan jumlah penduduk dan kebutuhan lahan
untuk permukiman, menurunkan luas permukiman di kawasan yang tidak sesuai,
menurunkan volume air limpasan dan sampah permukiman. Hubungan keterkaitan
antar elemen dalam sistem diperlihatkan Gambar 44.
Gambar 44 Diagram Sebab Akibat Pengelolaan Permukiman DAS Ciliwung Hulu
168
(5) Penyusunan Model:
Model dinamik dibuat dengan menggunakan perangkat lunak powersim 2.5d
constructor. Penyusunan model dinamik pengelolaan kawasan permukiman
menggunakan asumsi yaitu :
(a) Kawasan permukiman dibatasi sesuai alokasinya (2.958,93ha).
(b) Kawasan kawasan budidaya non permukiman dibatasi sesuai alokasinya
(3.369,82 ha).
(c) Kawasan lindung dibatasi sesuai alokasinya (8.547,62ha).
(d) Nilai lahan di lokasi tidak sesuai permukiman dan dilokasi sesuai dan agak
sesuai permukiman dianggap sama, sehingga relokasi permukiman dari
kawasan tidak sesuai permukiman ke kawasan sesuai dan agak sesuai
permukiman dapat dilakukan.
(e) Pertambahan penduduk dihitung berdasarkan lahir dan migrasi masuk per
tahun dan serta kematian dan migrasi keluar per tahun.
(f) Laju pengurangan penduduk karena kematian dan migrasi keluar diperkirakan
sebesar 0,7% per tahun. Laju migrasi masuk diperkirakan 60% dari laju
pertumbuhan penduduk. Laju pertumbuhan penduduk DAS Ciliwung hulu
selama 1997-2006 sebesar 3,14%/tahun, maka laju migrasi masuk diperkirakan
1,88%/tahun. Dengan menggunakan rumus pertambahan penduduk (r) =
Kelahiran – Kematian + Migrasi masuk – Migrasi keluar, maka laju kelahiran
diperkirakan sebesar 1.96%/tahun. Dengan demikian laju Kelahiran ditambah
migrasi masuk adalah 3.84%/tahun.
(g) Pertumbuhan permukiman disebabkan oleh pertambahan penduduk dan daya
tarik kawasan DAS Ciliwung hulu( Kawasan Puncak) sebagai kawasan
peristirahatan dan wisata.
(h) Komitmen pemerintah diperhitungkan berdasarkan konsistensi terhadap
penerapan peraturan yang berkaitan dengan penataan ruang (RTRW) dan
koordinasi antara instansi yang terlibat dalam pengelolaan DAS Ciliwung.
(i) Partisipasi masyarakat diwakili oleh Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Kabupaten Bogor.
169
(j) Asumsi lain berkaitan dengan penyusunan model dinamik dapat diperiksa pada
Lampiran 11.
(6) Validasi Model
Uji validitas model dilakukan dengan cara membandingkan output model
dengan data empiris, menggunakan teknik statistik (Muhammadi et al. 2001) :
(a) Absolute Means Error (AME): menjelaskan seberapa besar penyimpangan
nilai rata-rata simulasi terhadap aktual. Batas penyimpangan yang dapat
ditolerir adalah 10 % (0,1).
(b) Absolute Variation Error (AVE): menjelaskan seberapa besar
penyimpangan nilai variasi simulasi terhadap aktual. Batas penyimpangan
yang dapat ditolerir adalah 10% (0,1)
(c) Kalman Filter (KF): menjelaskan kesesuaian (fitting) antara simulasi
dengan aktual. Batas kesesuaian antara 47,5 -52% (0,475 -0,525)
(d) Durbin Watson (DW): menjelaskan pola fluktuasi (tajam atau landai)
antara hasil simulasi dengan aktual. Batas fluktuasi yang dapat diterima
adalah 2 (Tabel 47).
Tabel 47 Rumus Perhitungan Uji Statistik Validitas Kinerja.
Uji Statistik Rumus KeteranganAbsolute
Means Error
(AME)
AME = (Si – Ai)/ Ai
Si = Si N ; Ai = Ai N
A = nilai aktual;N = interval waktu pengamatanS = nilai simulasiBatas penyimpangan 5-10%
Absolute
Variation
Error(AVE)
AVE = (Ss – Sa)/ Sa Ss = deviasi nilai simulasiSa = deviasi nilai aktualBatas penyimpangan 5-10%
Kalman Filter KF= Vs/(Vs-Va) Va= variansi nilai aktualVs= variansi nilai simulasiTingkat kecocokan (fitting) 4,75-52,50%
Durbin–Watson
DW= {Ai- Si}t –{Ai-Si}t-1}2
/{{Ai – Si}t}2
t= waktu sekarangt-1= waktu lampauPola fluktuasi hasil simulasi terhadapaktual yg dapat diterima adalah0<DW<2 Bila DW>2 tajam sekali,DW<2 kurang tajam.
170
(7) Verifikasi Struktur Model
Struktur model diverifikasi melalui uji validitas konstruksi menggunakan
teori Limit to growth (Meadows et al. 2004). Selanjutnya untuk menguji kestabilan
struktur model dilakukan simulasi dengan menggunakan skenario untuk jangka
jangka waktu 20 tahun sesuai dengan ketentuan jangka waktu perencanaan dalam
UU PR No 26/2007.
(8) Uji Sensitivitas Model
Uji sensitivitas model dilakukan dengan memberi perlakuan (stimulus) pada
beberapa parameter model yaitu laju kelahiran dan migrasi masuk, koordinasi,
konsistensi dan partisipasi masyarakat (Tabel 48). Parameter-parameter model
tersebut diintervensi dengan pertimbangan:
(a) Parameter partisipasi masyarakat, koordinasi dan konsistensi diintervensi
karena berdasarkan hasil analisis kelembagaan, merupakan elemen kunci yang
menjadi penggerak perubahan dalam pengelolaan permukiman di DAS
Ciliwung hulu.
(b) Parameter laju kelahiran dan migrasi masuk diintervensi karena pertambahan
lahan permukiman dipengaruhi oleh kelahiran dan migrasi masuk.
Tabel 48 Nilai Intervensi pada Uji Sensitivitas Model
No Parameter Tanpaintervensi (%)
SetelahIntervensi(%)
1 Laju kelahiran dan migrasi masuk 3,84 2
2 Koordinasi 86,90 100
3 Konsistensi 46,86 100
4 Partisipasi masyarakat 67,90 80
Efek pemberian perlakuan diamati melalui perubahan nilai rujukan,
(reference mode). Nilai rujukan diwakili oleh level (Muhammadi et al. 2001).
Dalam penelitian ini perlakuan berupa intervensi yang diberikan terhadap
parameter model, bersifat fungsional. Menggunakan fungsi step yang terdapat
dalam perangkat lunak Powersim 2.5 d. Penggunaan fungsi step didasarkan pada
antisipasi perubahan parameter yang mungkin terjadi dalam kondisi nyata.
171
(9) Simulasi Model
Simulasi model digunakan untuk membuat skenario pengelolaan kawasan
permukiman di DAS Ciliwung hulu. Simulasi dilakukan untuk jangka waktu 20
tahun ke depan yaitu dari tahun 2010 sampai tahun 2030. Simulasi dilakukan
melalui model tetap, dan nilai parameter yang telah diuji sensitivitasnya
diintervensi. Selanjutnya hasil simulasi terhadap kombinasi parameter ditafsirkan
dalam kebijakan nyata.
8.4. Hasil dan Pembahasan
8.4.1. Hasil
Model dinamik Pengelolaan Permukiman di DAS Ciliwung Hulu dibagi
menjadi 4 submodel yaitu : Submodel Penduduk, Submodel Kebutuhan Ruang
Permukiman, Submodel Pengendalian dan Kelembagaan, serta Submodel Fisik
Lingkungan.
8.4.1.1. Model Dinamik Pengelolaan Kawasan Permukiman
1) Submodel Penduduk
Jumlah Penduduk dipengaruhi oleh kelahiran, kematian, migrasi keluar dan
migrasi masuk, sehingga pertambahan penduduk merupakan selisih antara
kelahiran ditambah migrasi masuk dengan kematian ditambah migrasi keluar.
Hubungan antara laju pertambahan penduduk dengan jumlah penduduk
membentuk loop positif (reinforcing) saling menguatkan karena semakin tinggi
laju pertambahan penduduk maka jumlah penduduk akan semakin bertambah.
Sebaliknya hubungan antara laju pengurangan penduduk dengan jumlah penduduk
membentuk loop negatif (balancing), karena semakin tinggi laju pengurangan
penduduk maka jumlah penduduk akan menurun. Kualitas lingkungan akan
berpengaruh terhadap tingkat fertilitas penduduk dan dan tingkat mortalitas
sehingga kualitas lingkungan yang meningkat akan meningkatkan laju kelahiran
dan menurunkan laju kematian (Gambar 45, dan 46 ).
172
Gambar 45 Diagram Sebab Akibat Sub-model Penduduk
Gambar 46 Model DinamikPenduduk
2) Sub-model Kebutuhan Ruang Permukiman:
Bertambahnya jumlah penduduk akan meningkatkan perumahan, fasilitas
sosial-ekonomi dan sarana prasarana permukiman. Hubungan antara pertambahan
jumlah penduduk dengan pertambahan perumahan berikut fasilitas dan sarana
prasarana adalah positif artinya semakin besar pertambahan penduduk maka
pertambahan perumahan berikut fasilitas sosial-ekonomi dan sarana prasarana
akan meningkat pula. Sebagai kawasan tempat peristirahatan dan pariwisata,
meningkatnya rumah berikut fasilitas sosial-ekonomi dan sarana prasarana akan
semakin meningkatkan daya tarik kawasan tersebut. Daya tarik kawasan dan
pertambahan perumahan beserta fasilitas sosial ekonomi dan sarana prasarana
akan meningkatkan kebutuhan ruang permukiman. Di lain pihak meningkatnya
komitmen pemerintah dan partisipasi masyarakat dalam mengendalikan
pertambahan permukiman di kawasan yang tidak sesuai permukiman akan
mengurangi daya tarik kawasan. Berdasarkan hal itu untuk mengendalikan
pertumbuhan ruang permukiman, maka komitmen pemerintah dan partisipasi
masyarakat harus semakin ditingkatkan agar masyarakat tidak tertarik untuk
membangun permukiman di kawasan yang tidak sesuai untuk permukiman
(Gambar 47 dan 48).
173
Gambar 47 Diagram Sebab Akibat Sub-model Kebutuhan Ruang Permukiman
Gambar 48 Model Dinamik Kebutuhan Ruang Permukiman
3) Sub-model Kelembagaan dan Pengendalian Permukiman:
Komitmen pemerintah dalam mempertahankan daya dukung lingkungan
diharapkan akan mengendalikan pembangunan permukiman di DAS Ciliwung
hulu. Komitmen pemerintah dicerminkan oleh koordinasi antar instansi terkait
dan konsistensi dalam hal pelaksanaan Hubungan tersebut mempunyai makna
bahwa komitmen pemerintah yang tinggi akan meningkatkan koordinasi antar
instansi dan koordinasi yang tinggi akan meningkatkan konsistensi pemerintah
terhadap peraturan, sebaliknya semakin tinggi konsistensi pemerintah terhadap
peraturan yang dibuatnya akan makin menunjukkan komitmen pemerintah yang
174
tinggi pula, hal ini akan makin memperkokoh koordinasi antar instansi. Hubungan
antara ketiga variabel tersebut membentuk loop positif yang berarti hubungan
antar variabel adalah saling memperkuat (reinforcing). Komitmen pemerintah
harus disertai partisipasi masyarakat, agar pengelolaan permukiman berhasil.
Komitmen pemerintah dan partisipasi masyarakat yang meningkat, diharapkan
akan mengurangi pertumbuhan luas lahan permukiman, dengan cara permukiman
yang berada di kawasan yang tidak sesuai dibatasi dan diatur, sedangkan yang
berada dikawasan lindung direlokasi dan dilarang (Gambar 49 dan 50).
Gambar 49 Diagram Sebab Akibat Sub-model Kelembagaandan Pengendalian Permukiman
Gambar 50 Model Dinamik Kelembagaan dan Pengendalian Permukiman
175
4) Sub-model Fisik Lingkungan
Jumlah penduduk yang terus bertambah akan berdampak pada peningkatan
kebutuhan ruang permukiman, peningkatan kepadatan penduduk di kawasan
permukiman dan peningkatan volume sampah. Kepadatan penduduk yang terus
meningkat akan berdampak pada penurunan kualitas lingkungan hidup. Volume
sampah yang semakin besar disertai terbatasnya kemampuan Pemda dalam
mengelola sampah dan partisipasi masyarakat yang rendah akan berdampak pada
menurunnya kualitas lingkungan. Kebutuhan ruang permukiman yang meningkat
disertai komitmen pemerintah yang tidak konsisten dalam menerapkan peraturan
berdampak pada pembangunan permukiman yang kurang terkendali sehingga tidak
hanya dibangun di kawasan yang sesuai permukiman tetapi juga dikawasan yang
tidak sesuai untuk permukiman. Semakin luas kawasan permukiman yang
dibangun, akan meningkatkan volume air limpasan, karena pembangunan
permukiman menyebabkan kawasan kedap air semakin luas. Kebutuhan ruang
permukiman yang meningkat tidak sebanding dengan luas lahan yang sesuai untuk
permukiman, sehingga kepadatan permukiman meningkat dan berpengaruh
terhadap kualitas lingkungan hidup. Selanjutnya dampak dari kualitas lingkungan
hidup yang menurun berpengaruh terhadap peningkatan jumlah penduduk, karena
kualitas lingkungan yang buruk akan menurunkan fertilitas penduduk dan
meningkatkan mortalitas (Gambar 51 dan 52 ).
Gambar 51 Diagram Sebab Akibat Sub-model Fisik Lingkungan
176
Gambar 52 Model Dinamik Fisik Lingkungan
8.4.1.2.Validasi Model
Uji validitas kinerja menggunakan metoda statistik AME, AVE, KF dan
Durbin Watson dilakukan terhadap elemen jumlah penduduk. Hasil pengujian
terhadap validitas kinerja untuk elemen jumlah penduduk menunjukkan bahwa
antara model dengan data empirik terdapat kesesuaian dalam ambang batas yang
diperbolehkan. Nilai rata-rata (AME) dan nilai variasi (AVE) adalah
0,0051(sesuai) artinya model dapat diterima demikian pula untuk nilai KF yaitu
0,501 (sesuai) dan nilai DW= 1,51(pola fluktuasi kurang tajam)(Gambar 53).
177
Gambar 53 Uji Validitas Elemen Jumlah Penduduk dengan MetodaAME,AVE, Kalman Filter dan Durbin Watson
8.4.1.3.Verifikasi Model
Struktur model diverifikasi melalui uji validitas konstruksi menggunakan
Konsep Limit to growth (Meadows et al. 2004). Verifikasi model pengelolaan
permukiman DAS Ciliwung Hulu, dilakukan melalui model disagregat yaitu: sub-
model penduduk. Hal tersebut dilakukan karena model agregat maupun disagregat
apabila disimulasikan pola perilakunya pasti serupa (Muhammadi et al. 2001).
Hasil simulasi menunjukkan elemen jumlah penduduk mempunyai bentuk kurva
asimtotik pada tahap akhir. Elemen jumlah penduduk pada awalnya menunjukkan
pertumbuhan akibat proses reinforcing oleh struktur loop positif, akan tetapi
dengan semakin bertambahnya waktu, terjadi proses balancing oleh struktur loop
negatif sehingga diperoleh keseimbangan. Pola perkembangan jumlah penduduk
tersebut mengikuti konsep Limit to Growth (Meadows et al. 2004) dengan faktor
pembatas daya tampung permukiman yang semakin terbatas.
Hasil verifikasi terhadap sub-model penduduk, menunjukkan bahwa
perlakuan dengan cara menurunkan laju kelahiran dan migrasi masuk, tidak
mengubah pola perilaku model yang tetap membentuk kurva S dengan asimtot di
tahap akhir (Gambar 54). Berdasarkan bentuk dan strukturnya, model dinamik
178
pengelolaan permukiman di DAS Ciliwung hulu menunjukkan pola dasar
(archetype) batas kesuksesan (Limit to Success) seperti yang dikemukakan oleh
Kim dan Anderson (1998) dan Tasrif (2006). Pola perilaku limit to success ini
pun terjadi pula pada sub-model Kebutuhan ruang permukiman, Kelembagaan dan
pengendalian serta Fisik lingkungan (Gambar 55 ,56 dan 57).
Gambar 54 Jumlah Penduduk pada Submodel Penduduk
Gambar 55 Kebutuhan Ruang Permukiman pada Submodel
Kebutuhan Ruang Permukiman
Gambar 56 Luas Permukiman di Kawasan Permukiman pada Submodel
Kelembagaan dan Pengendalian
Gambar 57 Volume sampah padaSubmodel Fisik Lingkungan
8.4.1.4. Sensitivitas Model
Hasil simulasi dengan cara mengintervensi beberapa parameter model
menunjukkan respon sebagai berikut :
(a) Parameter laju kelahiran dan migrasi masuk diturunkan dari kondisi awal
3,8%/tahun menjadi 2%/tahun, maka pada tahun 2030 terjadi penurunan
kebutuhan ruang permukiman sebesar 18,53%, penurunan kawasan
permukiman di kawasan tidak sesuai permukiman sebesar 18,54% dan
179
penurunan volume air limpasan dari permukiman 5,19 % dari kondisi tanpa
intervensi (Tabel 49).
(b) Parameter partisipasi masyarakat ditingkatkan dari 67,90% menjadi 80%,
maka pada tahun 2030 terjadi penurunan kebutuhan ruang permukiman
6,62 %, penurunan luas permukiman di kawasan tidak sesuai untuk
permukiman 7,63 %, dan penurunan volume air limpasan dari permukiman
34,11% dari kondisi tanpa intervensi (Tabel 49).
(c) Parameter konsistensi ditingkatkan dari 46,86% menjadi 100% maka pada
tahun 2030 terjadi penurunan kebutuhan ruang permukiman 17,67%,
penurunan luas permukiman di kawasan tidak sesuai untuk permukiman
sebesar 36,83%, dan penurunan volume air limpasan dari permukiman
32,23% dari kondisi tanpa intervensi (Tabel 49).
(d) Parameter koordinasi ditingkatkan dari 86,197% menjadi 100% maka pada
tahun 2030 terjadi penurunan kebutuhan ruang permukiman 17,67%,
penurunan permukiman di kawasan tidak sesuai permukiman 36,83% dan
penurunan volume air limpasan dari permukiman 32,21% dari kondisi tanpa
intervensi (Tabel 49).
Berdasarkan uji sensitivitas, dapat disimpulkan bahwa parameter koordinasi,
dan konsistensi, merupakan parameter dengan sensitivitas tinggi terhadap elemen
luas permukiman di kawasan tidak sesuai untuk permukiman, elemen volume air
limpasan dari permukiman dan elemen kebutuhan ruang permukiman. Parameter
laju kelahiran dan migrasi masuk mempunyai sensitivitas tinggi terhadap elemen
jumlah penduduk dan elemen kebutuhan ruang permukiman, sedangkan parameter
partisipasi masyarakat mempunyai sensitivitas tinggi terhadap elemen volume air
limpasan dari permukiman (Tabel 49). Dengan demikian, maka pada pengelolaan
kawasan permukiman, keempat parameter tersebut perlu disinergikan untuk
meningkatkan kinerja DAS Ciliwung hulu.
180
Tabel 49 Uji Sensitivitas Parameter Model Pengelolaan Permukiman Di DAS Ciliwung Hulu
Sensitivity (%)Parameter
A B C Da. Laju Kelahiran dan migrasi masuk(2%) 16,64 18,53 18,54 5,19b. Partisipasi Masyarakat (80 %) 5,43 6,62 7,63 34,11c. Konsistensi (100%) 5,81 17,67 36,83 32,23d. Koordinasi (100%) 5,81 17,67 36,83 32,21
Sumber: Hasil analisis sensitivitas.Keterangan : A = Elemen jumlah penduduk; B = elemen kebutuhan ruang permukiman; C= Elemenpermukiman di kawasan tidak sesuai permukiman; D = elemen volume air limpasan
8.4.1.5. Simulasi Skenario Model Pengelolaan Kawasan Permukiman
Pengembangan alternatif kebijakan dilakukan secara fungsional yaitu model
tetap, parameter dari fungsi-fungsi dalam model dirubah, dengan asumsi
lingkungan sistem relatif tetap. Menggunakan hasil uji sensitivitas secara garis
besar dibuat 2 macam skenario model, yaitu: skenario tanpa intervensi (TI) dan
skenario menggunakan intervensi. Skenario dengan intervensi terdiri atas :a)
Skenario pengendalian Penduduk (PP); Skenario pemberdayaan masyarakat (PM);
Skenario penguatan kelembagaan pemerintah (PK); dan e) Skenario kolaborasi
pemerintah dan masyarakat (KPM). Pengembangan skenario PP, PK, dan PM
sejalan dengan hasil analisis status keberlanjutan kawasan permukiman di DAS
Ciliwung hulu, yang menunjukkan indeks status keberlanjutan untuk dimensi
sosial dan kelembagaan saat ini termasuk kategori kurang berkelanjutan.
1) Skenario Tanpa Intervensi (TI)
Pada skenario tanpa intervensi, perkembangan permukiman dibiarkan
seperti kondisi saat ini (tahun 2006). Hasil simulasi sampai tahun 2030
menunjukkan hal berikut:
(a) Perkiraan jumlah penduduk tahun 2030 sebesar 523.356 orang, terjadi
peningkatan 110,02% dari kondisi tahun 2006. Kebutuhan lahan
permukiman tahun 2030 sebesar 7.198,72 ha atau 243,29% dari alokasi
lahan untuk permukiman (Tabel 50; Gambar 58 dan 59).
(b) Alokasi kawasan permukiman di DAS Ciliwung hulu akan habis terisi
permukiman pada tahun 2024 dan terjadi peningkatan permukiman di
181
kawasan tidak sesuai permukiman sebesar 133,59% pada tahun 2030
(Tabel 50; Gambar 60 dan 61 ).
(c) Kinerja DAS Ciliwung hulu tahun 2030 diperlihatkan oleh volume air
limpasan permukiman meningkat sebesar 66,64%, dan volume sampah
permukiman meningkat 124,66 % dari tahun 2006 (Tabel 50; Gambar 62
dan 63).
Menggunakan skenario TI, pada tahun 2030 kualitas lingkungan hidup DAS
Ciliwung hulu diperkirakan semakin menurun. Hal tersebut tentu tidak diharapkan
karena tidak sesuai dengan tujuan pengelolaan kawasan permukiman yaitu
menyesuaikan pembangunan permukiman dengan daya dukung kawasan
permukiman di DAS Ciliwung hulu.
2) Skenario Pengendalian Penduduk (PP)
Pada skenario PP dilakukan intervensi terhadap parameter laju kelahiran dan
migrasi masuk, hasil simulasi sampai tahun 2030 menunjukkan hal berikut:
(a) Jumlah penduduk tahun 2030 diperkirakan 436.275 orang, terjadi
peningkatan sebesar 75,07% dari kondisi tahun 2006. Kebutuhan ruang
permukiman sebesar tahun 2030 sebesar 198,21 % dari alokasi lahan untuk
permukiman. (Tabel 50; Gambar 58 dan 59).
(b) Walaupun pengurangan jumlah penduduk karena diintervensi menyebabkan
kebutuhan lahan permukiman berkurang, akan tetapi pada tahun 2030
diperkirakan terjadi peningkatan permukiman di zona tidak sesuai permukim
an sebesar 94,96% dari kondisi tahun 2006 (Tabel 50; Gambar 61).
(c) Kinerja DAS Ciliwung hulu mengalami perbaikan, diperlihatkan oleh
peningkatan volume air limpasan permukiman dan volume sampah
permukiman yang relatif lebih kecil dibandingkan skenario tanpa intervensi
(Gambar 62 dan 63).
3) Sekenario Pemberdayaan Masyarakat (PM)
Pada skenario PM dilakukan intervensi terhadap parameter partisipasi
masyarakat, hasil simulasi menunjukkan hal sebagai berikut :
182
(a) Perkiraan jumlah penduduk tahun 2030 adalah 494.935 orang, terjadi
peningkatan 98,61% dari kondisi tahun 2006. Kebutuhan ruang permukiman
sebesar 227,17% dari alokasi lahan untuk permukiman (Tabel 50; Gambar 58
dan 59).
(b) Pada tahun 2030, walaupun kawasan sesuai untuk permukiman belum terisi
penuh, akan tetapi diperkirakan perkembangan permukiman di kawasan yang
tidak sesuai untuk permukiman masih tetap terjadi (Gambar 60 dan 61)
(c) Partisipasi masyarakat diharapkan dapat memperbaiki kinerja DAS
Ciliwung hulu. Perbaikan kinerja diperlihatkan oleh peningkatan volume air
limpasan dari permukiman dan sampah yang dihasilkan permukiman, yang
relatif lebih kecil dibandingkan skenario PP (Gambar 62 dan 63).
4) Skenario Penguatan Kelembagaan Pemerintah (PK)
Pada skenario PK dilakukan intervensi terhadap parameter koordinasi dan
konsistensi, simulasi dilakukan sampai tahun 2030. Hasil simulasi menunjukkan
hal sebagai berikut :
(a) Perkiraan jumlah penduduk tahun 2030 adalah 492.974 orang, terjadi
peningkatan sebesar 97,82% dari kondisi tahun 2006. Kebutuhan ruang
permukiman sebesar 200,29% dari alokasi lahan untuk permukiman (Tabel
50; Gambar 58 dan 59).
(b) Koordinasi dan konsistensi terhadap peraturan diharapkan dapat
memperlambat pertumbuhan permukiman di zona tidak sesuai permukiman
pada tahun 2030. Kenaikan luas permukiman di kawasan tidak sesuai
permukiman relatif lebih kecil dibandingkan pada skenario PP dan PM
(Gambar 61)
(c) Kinerja DAS Ciliwung hulu mengalami perbaikan seperti diperlihatkan oleh
peningkatan volume air limpasan dari permukiman dan sampah yang
dihasilkan permukiman, yang relatif lebih kecil dibandingkan skenario PP
(Gambar 62, dan 63).
183
5) Skenario Kolaborasi Pemerintah-Masyarakat (KPM)
Pada skenario KPM dilakukan intervensi terhadap parameter laju
pertambahan penduduk, koordinasi, konsistensi dan partisipasi masyarakat.
Skenario KPM merupakan gabungan dari skenario PP, PM dan PK. Hasil simulasi
sampai tahun 2030 menunjukkan hal berikut:
(a) Perkiraan jumlah penduduk tahun 2030 adalah 387.436 orang terjadi
peningkatan 55,47% dari kondisi tahun 2006. Kebutuhan lahan permukiman
sebesar 156,59% dari alokasi lahan untuk permukiman (Tabel 50 ; Gambar
58 dan 59).
(b) Pada tahun 2030, walaupun kawasan sesuai permukiman belum terisi penuh,
akan tetapi masih ada permukiman di kawasan tidak sesuai untuk
permukiman yaitu di zona lindung dan dan zona budaya non permukiman
sebesar 11,09%. (Tabel 50; Gambar 60 dan 61).
(c) Kinerja DAS Ciliwung hulu mengalami perbaikan yang lebih besar seperti
diperlihatkan oleh peningkatan volume air limpasan dan volume sampah
dari permukiman yang relatif lebih kecil dibandingkan skenario PM dan PK
(Gambar 62 dan 63).
Tabel 50 Skenario Model Pengelolaan Kawasan Permukiman DAS Ciliwung Hulu Tahun 2030
Skenario Tahun 2030N
o
Indikator
Pengelolaan
Permukiman
Tahun
2006TI PP PM PK KPM
1 Jml penduduk (org) 249.199 523.356 436.275 494.935 492.974 387.435
2 Keb Ruang Pmk (ha) 2.999,88 7.198,72 5.865,03 6.721,85 5.926,47 4.633,28
3 Pmk di Kws tdksesuai Pmk (ha)
1.737,33 4.158,25 3.387,14 3.840,90 2.626,32 1.930,02
4 Pmk di Pmk (ha) 1. 262,54 3040,46 2477,88 2.880,57 3.299,86 2.703,26
5 Vol. air limpasan Pmk(m3/dt)
286,06 476,70 451,94 314,11 323,08 304,80
6 Vol. sampah Pmk(m3/thn)
109.149 245.209,69 201.992,56 148.265,47 203.609,56 130.023,29
Sumber: Hasil analisis model dinamik Keterangan : Pmk= permukiman. Alokasi kawasan untuk permukiman2.958,93 ha; I = tanpa intervensi; PP = pengendalian penduduk; PM = partisipasi masyarakat; PK =Penguatan kelembagaan pemerintah; KPM = Kolaborasi pemerintah-masyarakat.
184
Gambar 58 Perkembangan JumlahPenduduk
Gambar 59 Perkembangan LuasKebutuhan RuangPermukiman
Gambar 60 Perkembangan Permukiman di kawasan Sesuai untuk
Permukiman
Gambar 61 Perkembangan Permukimandi Kawasan Tidak SesuaiPermukiman
Gambar 62 Perkembangan Volume SampahPermukiman
Gambar 63 Perkembangan Volume AirLimpasan KawasanPermukiman
8.4.2 Pembahasan
Faktor pembatas pengembangan permukiman di DAS Ciliwung hulu adalah
luas lahan yang dapat digunakan untuk permukiman. Faktor pembatas tersebut
185
membentuk pola perilaku dasar limit to succes ( Kim dan Anderson 1998; Tasrif
2006). Pada awalnya pertumbuhan permukiman di DAS Ciliwung hulu meningkat
pesat, akan tetapi karena luas lahan yang dapat dikembangkan sebagai
permukiman terbatas , maka pada suatu saat pertumbuhan mengalami perlambatan
Parameter koordinasi mempunyai sensitivitas yang tinggi, sehingga
parameter tersebut merupakan faktor pengungkit (leverage factor) yang paling
berperan terhadap kinerja model. Simulasi dengan mengintervensi parameter
tersebut, menghasilkan perbaikan kinerja DAS Ciliwung hulu. Hal tersebut
memperkuat hasil analisis kelembagaan (Bab VII) yang menyimpulkan bahwa
koordinasi merupakan elemen kunci yang menjadi penggerak keberhasilan
pengelolaan permukiman di DAS Ciliwung hulu. Demikian pula halnya hasil
penelitian Karyana (2005) yang pernah di lakukan di DAS Ciliwung hulu,
menyimpulkan masalah kelembagaan di DAS Ciliwung adalah koordinasi. Selain
parameter koordinasi, parameter konsistensi dan partisipasi masyarakat juga
merupakan dua parameter dengan tingkat sensitivitas yang tinggi, dan berpengaruh
terhadap perbaikan kinerja DAS Ciliwung hulu.
Koordinasi, konsistensi dan partisipasi masyarakat merupakan faktor
kelembagaan yang berkaitan dengan penataan ruang, simulasi dengan
menginervensi ke tiga parameter tersebut, besar pengaruhnya terhadap perbaikan
fungsi ekologi DAS Ciliwung hulu yang ditunjukkan oleh terjadinya pengurangan
air limpasan permukiman dan volume sampah dari permukiman. Penguatan faktor
kelembagaan yang berkaitan dengan penataan ruang, akan menjadikan penataan
ruang sebagai alat koordinasi (Wirojanagud et al. 2005) dan alat untuk
mempromosikan pembangunan berkelanjutan (Brackhahn dan Kärkkäinen. 2001).
Hasil analisis terhadap empat skenario model pengelolaan kawasan
permukiman di DAS Ciliwung hulu yaitu pengendalian penduduk (PP);
pemberdayaan masyarakat (PM); penguatan kelembagaan pemerintah (PK); dan
kolaborasi pemerintah–masyarakat (KPM), menunjukkan dampak pengelolaan
kawasan permukiman terhadap indikator pengelolaan kawasan permukiman di
186
DAS Ciliwung hulu yang paling besar adalah berkurangnya luas lahan
permukiman di kawasan yang tidak sesuai yaitu antara 7,63-53,59% (Tabel 51).
Tabel 51 Dampak Pengelolaan Kawasan Permukiman Berdasarkan Skenario Model Pengelolaan Kawasan Permukiman
Skenario Model Pengelolaan KawasanPermukiman
No Indikator Pengelolaan KawasanPermukiman
(PP)(%) (PM) (%) (PK) ( %) (KPM (%)
1 Jumlah Pddk 16,64 5,43 5,81 25,97
2 Keb. Ruang Permukiman 18,53 6,62 17,67 35,643 Permukiman di Kws Tidak sesuai 18,54 7,63 36,83 53,594 Vol Air limpasan permukiman 5,19 34,11 32,23 36,065 Vol sampah permukiman 17,62 39,54 16,97 46,97
6 Urutan skenario dampak terbesar 4 3 2 1Sumber: Hasil analisis model dinamikKeterangan :KPM = Kolaborasi pemerintah-masyarakat; PK= penguatan kelembagaan pemerintah;PM= pemberdayaan masyarakat; PP= pengendalian penduduk.
8.4.2.1 Skenario Pengendalian Penduduk (PP)
Pertambahan jumlah penduduk DAS Ciliwung hulu disebabkan oleh dua hal
yaitu pertambahan alamiah (kelahiran), dan migrasi masuk. Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kabupaten Bogor 2005-2025
menyebutkan pertumbuhan penduduk kabupaten Bogor tahun 2000-2007 cukup
besar antara 2-4% per tahun. Di DAS Ciliwung hulu, laju pertumbuhan penduduk
tahun 1997-2006 adalah 3,14%/tahun.
Permasalahan pertumbuhan penduduk karena kelahiran yang terjadi di
Kabupaten Bogor adalah : a) Rata-rata usia menikah wanita pada tahun 2007
adalah 17,8 tahun b) Pasangan usia subur yang menikah dibawah usia 20 tahun
mencapai 5,8% dari kelompok usia tersebut; c) Angka total fertility rate (TFR)
adalah 2,51 artinya rata-rata wanita punya anak 2,51.
Pertumbuhan penduduk di Kabupaten Bogor selain disebabkan oleh
kelahiran, juga oleh migrasi masuk. Laju migrasi masuk ke kabupaten Bogor
diperkirakan 60% dari laju pertumbuhan penduduk. Sebagai bagian dari kawasan
pariwisata Puncak dengan aksesibilitas tinggi menuju kota besar seperti Jakarta
dan Bandung, migrasi masuk ke DAS Ciliwung hulu diperkirakan sebesar + 60 %
pula. Hal tersebut, secara tidak langsung, terlihat dari data pemohon IMB selama
187
kurun waktu 1998-2007 yang berasal dari luar DAS Ciliwung hulu meningkat dari
23,53% menjadi 51,43%. atau meningkat 2 kali lipat. Berdasarkan hal tersebut
untuk mengurangi migrasi masuk ke DAS Ciliwung hulu, diperlukan alternatif
pengembangan kawasan wisata lain untuk mengimbangi kegiatan wisata di DAS
Ciliwung hulu tersebut.
Skenario PP tidak hanya ditujukan untuk mengurangi jumlah penduduk, akan
tetapi juga untuk mengurangi luas lahan permukiman, dan dampak yang
ditimbulkan oleh peningkatan luas lahan permukiman yaitu masalah volume air
limpasan dan volume sampah dari permukiman yang semakin besar. Dari segi
model, skenario PP dapat dilakukan dengan cara mengintervensi parameter laju
kelahiran dan migrasi masuk melalui fungsi step. Hasil simulasi dengan cara
menurunkan parameter laju kelahiran dan migrasi masuk menjadi 2 % berdampak
terhadap jumlah penduduk, kebutuhan lahan permukiman, volume air limpasan
permukiman dan volume sampah dari permukiman. Dalam implementasinya
skenario PP dapat dilakukan melalui kebijakan sebagai berikut:
1) Kebijakan Keluarga Berencana (KB) :
Kebijakan KB merupakan satu solusi untuk mengendalikan pertumbuhan
alamiah penduduk setempat. Kebijakan KB mengacu pada UU No 10/1992
tentang Kependudukan dan Keluarga Sejahtera diperbaharui UU No 52/2009
tentang Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Sasaran makro program KB
di Kabupaten Bogor adalah mewujudkan Penduduk Tumbuh Seimbang (PTS) dan
Penduduk Tanpa Pertumbuhan (PTP). Berdasarkan hal tersebut, kebijakan KB
diharapkan dapat mengurangi pertambahan alamiah penduduk (kelahiran),
sehingga laju pertumbuhan jumlah penduduk mengecil dan pertambahan
kebutuhan ruang permukiman juga mengecil (Tabel 52).
Kebijakan KB dapat dilakukan melalui beberapa program yaitu: a)
Kegiatan advokasi KB dengan pendekatan sosio-kultural dan keagamaan; b)
Kegiatan peningkatan peran Pos KB yang sudah ada di masyarakat; c)
Peningkatan akses dan kualitas pelayanan KB; d) pendewasaan usia perkawinan
(PUP) dengan sasaran meningkatkan rata-rata usia perkawinan wanita dari 17,97
188
tahun (2007) menjadi 20 tahun (2030). Kebijakan KB tersebut layak untuk
dilakukan mengingat perbandingan antara target dengan realisasi untuk peserta
KB aktif tahun 2008 lebih dari 100% yaitu Kecamatan Ciawi 115,95%;
Kecamatan Cisarua 119,96% dan Kecamatan Megamendung 103,24%, artinya
sasaran program KB dapat tercapai. Pencapaian tersebut diperlihatkan pula oleh
nilai total fertility rate (TFR) Kabupaten Bogor terus menurun selama kurun waktu
1970-2007 yaitu dari 6,74 (1970) menjadi 2,51 (2007). Pada tahun 2008
pendewasaan usia perkawinan (PUP) Kabupaten Bogor adalah 18,05 atau
meningkat 0,08 dari tahun 2007, dengan asumsi pertumbuhan PUP konstan, maka
pada tahun 2030 pendewasaan usia menikah menjadi 20 tahun akan dapat tercapai.
Berdasarkan hal tersebut, maka kebijakan KB selain diinginkan juga layak untuk
dilakukan.
2) Kebijakan pengembangan kawasan wisata alam di luar kawasanPuncak.
DAS Ciliwung hulu merupakan bagian dari kawasan wisata alam Puncak
yang menarik migrasi masuk cukup besar. Perkiraan migrasi masuk ke Kabupaten
Bogor dalam Rencana Strategi (Renstra) Kabupaten Bogor tahun 2005-2025
adalah 60 % dari laju pertumbuhan penduduknya. Kabupaten Bogor mempunyai
beragam kawasan wisata alam potensial yang tersebar di beberapa kecamatan,
demikian pula halnya dengan wilayah sekitar Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-
Bekasi (Jabodetabek) yang mempunyai beragam kawasan wisata alam.
Berdasarkan RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025, terdapat beberapa
kawasan wisata alam di luar kawasan Puncak yang dapat dikembangkan yaitu di
Kecamatan Taman Sari (air terjun, bumi perkemahan dan panorama alam);
Kecamatan Pamijahan( air terjun, situ, kawah, air panas, panorama alam, dan bumi
perkemahan); Kecamatan Jasinga(air panas, situ, air terjun, dan panorama alam),
dan Kecamatan Leuwiliang (arung jeram dan panorama alam). Pengembangan
kawasan wisata di luar kawasan Puncak diharapkan dapat mengurangi migrasi
masuk ke DAS Ciliwung hulu, sehingga memperkecil pertambahan kebutuhan
ruang permukiman, volume air limpasan dan sampah permukiman (Tabel 52).
189
Beberapa kendala yang dihadapi dalam pengembangan kawasan wisata lain
di luar kawasan Puncak adalah sebagai berikut :
a) Kawasan wisata puncak akan tetap dikembangkan karena dalam PP No
26/2008 tentang RTRWN, kawasan Puncak merupakan salah satu kawasan
andalan di Provinsi Jawa Barat dengan sektor pengembangan pariwisata,
demikian pula indikasi program pembangunan dalam RTRW Kabupaten Bogor
2005-2025, pengembangan kawasan wisata Puncak direncanakan pada tahun
2016-2025.
b) Kebijakan ini membutuhkan waktu cukup lama karena memerlukan studi
tentang potensi dan kelayakan kawasan wisata dalam lingkup Jabodetabek
yang dapat dijadikan pedoman dalam mengembangkan kawasan wisata di luar
kawasan Puncak.
c) Kebijakan ini membutuhkan waktu cukup lama karena memerlukan kerjasama
dengan wilayah (kabupaten/kota) lain, dan penyediaan infrastruktur, serta
perizinan.
Berdasarkan hal tersebut, kebijakan pengembangan kawasan wisata di luar
kawasan Puncak merupakan kebijakan yang diinginkan, akan tetapi waktu yang
diperlukan diperkirakan lebih dari 20 tahun.
Tabel 52 Simulasi Skenario Pengendalian Penduduk (PP)
Indikator Pengelolaan KawasanPermukiman DAS Ciliwung hulu
Tanpaintervensi
SkenarioPP
PengaruhSkenario PP (%)
Jumlah penduduk (orang) 523.356 436.275 16,64
Kebutuhan ruang permukiman (ha) 7.198,72 5.865,03 18,53Vol.air limpasan permukiman (m3/dtk) 476,70 451,94 5,19Vol. sampah permukiman (m3/thn) 245.209,89 201.992,56 17,62Sumber: Hasil analisis model dinamik
8.4.2.2 Skenario Pemberdayaan Masyarakat (PM)
Pengelolaan kawasan permukiman di DAS Ciliwung hulu memerlukan
pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan masyarakat dalam bentuk pelibatan
publik merupakan salah satu instrumen kebijakan pengelolaan sumberdaya alam
(Sterner 2003), yang dapat dipakai untuk mengendalikan pembangunan
190
permukiman di DAS Ciliwung hulu. Hasil analisis ISM menunjukkan partisipasi
masyarakat merupakan salah satu dari tiga elemen kunci perubahan yang
diharapkan dari pengelolaan kawasan permukiman di DAS Ciliwung hulu. selain
koordinasi dan konsistensi. Berdasarkan hal tersebut, maka kebijakan
pemberdayaan masyarakat melalui pelibatan publik harus merupakan kebijakan
yang berkaitan dengan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan permukiman.
Dari segi model, intervensi yang dapat dilakukan pada skenario PM adalah
meningkatkan parameter partisipasi masyarakat melalui fungsi step. Hasil simulasi
dengan cara meningkatkan parameter partisipasi masyarakat dari 67,9 % menjadi
80%, berdampak terhadap luas permukiman di kawasan tidak sesuai untuk
permukiman, volume air limpasan dan volume sampah permukiman.
Dari segi praktis, penerapan skenario PM dapat dilakukan dengan berbagai
kebijakan yang berkaitan dengan perbaikan fungsi ekologi DAS Ciliwung hulu.
Degradasi DAS Ciliwung hulu diperlihatkan oleh i) indikator kondisi hidrologis
yaitu nisbah debit sungai maksimum terhadap debit sungai minimum, air limpasan
(direct run off), laju erosi dan sedimentasi; ii) kualitas air permukaan; iii) tanah
longsor; iv) lahan kritis; dan volume sampah. Berdasarkan hal itu ada 3 kebijakan
yang dapat dilakukan yaitu:
(1) Kebijakan peningkatan kualitas masyarakat :
Kebijakan ini ditujukan agar masyarakat mampu memahami fungsi dan
manfaat DAS Ciliwung hulu sebagai kawasan resapan air, serta daya dukung dan
daya tampung DAS Ciliwung hulu sebagai kawasan permukiman. Hal tersebut
sesuai dengan pendapat Etzioni(1961), bahwa peningkatan kualitas masyarakat
akan meningkatkan partisipasi masyarakat. Pemahaman masyarakat terhadap
fungsi dan manfaat DAS Ciliwung hulu tersebut tergantung pada kondisi sosial-
ekonomi masyarakat. Sebagai gambaran tahun 2006, rata-rata jumlah penduduk
miskin 24,76%. Tahun 2007 tingkat pendidikan penduduk didominasi oleh
tamatan SD (57, 21 %), dan mata pencaharian penduduk didominasi oleh kegiatan
perdagangan dan jasa.
191
Berdasarkan hal tersebut maka kebijakan peningkatan kualitas masyarakat
harus dilakukan melalui beberapa program yaitu: a) peningkatan pendidikan
masyarakat baik secara formal melalui jenjang pendidikan (SD sampai perguruan
tinggi) maupun non formal di lingkungan tempat tinggal warga (RT/RW,
Posyandu, Pos KB, masjid/pengajian) dan organisasi kemasyarakatan; b)
peningkatan akses masyarakat terhadap fasilitas sosial yang menjadi kebutuhan
dasar seperti fasilitas kesehatan, pendidikan, dan agama; c) peningkatan ekonomi
masyarakat melalui upaya penumbuhan dan pengembangan minat serta
peningkatan keterampilan di bidang usaha; promosi dan pemasaran hasil usaha
masyarakat; serta kemitraan dan permodalan. Kebijakan peningkatan kualitas
masyarakat ini layak untuk dilakukan mengingat Pemda Kabupaten Bogor telah
melakukan berbagai program di bidang pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan
ekonomi masyarakat. Selain itu secara khusus telah dilakukan pula program
peningkatan kualitas lingkungan hidup. Pada tahun 2007 program peningkatan
kualitas lingkungan hidup dalam kaitannya dengan peningkatan kualitas
masyarakat antara lain: a) Program peningkatan peran serta masyarakat dalam
pengendalian lingkungan hidup; b) Program peningkatan peran serta masyarakat
dalam perlindungan dan konservasi SDA; c) Program peningkatan edukasi dan
komunikasi masyarakat di bidang lingkungan; d) Program pembinaan penerapan
Amdal dan UKL/UPL. Keberhasilan kebijakan peningkatan kualitas masyarakat
akan mencegah pembangunan permukiman di kawasan tidak sesuai untuk
permukiman di zona lindung (Tabel 53).
(2) Kebijakan pelibatan masyarakat pada kegiatan rehabilitasi danrevitalisasi fungsi ekologi DAS Ciliwung hulu.
Undang-undang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (UUPPLH)
No 32/2009 telah menjadikan partisipasi masyarakat sebagai salah satu azasnya.
Partisipasi masyarakat dalam bentuk pelibatan masyarakat pada kegiatan
perbaikan lingkungan akan efektif apabila mempertimbangkan motivasi moral dan
keuntungan ekonomi (Etzioni 1961; Parsons 2005). Oleh karena itu pelibatan
masyarakat pada rehabilitasi dan revitalisasi fungsi ekologi DAS harus
192
memberikan keuntungan bagi masyarakat secara ekonomi. Berdasarkan hal
tersebut, maka pelibatan masyarakat dilakukan dengan cara:
a. Mendorong dan memfasilitasi berbagai kegiatan penghijauan pada sempadan
sungai/lahan rusak dan perbaikan tebing-tebing yang berpotensi longsor
disekitar permukiman. Untuk memberdayakan masyarakat, pemerintah dapat
menyediakan bibit pohon berkualitas yang bernilai konservasi dan ekonomi
tinggi dan penyuluhan tentang tata cara menanam pohon di lereng curam serta
pemeliharaan pohon yang ditanam agar tetap hidup dan dapat bermanfaat
secara ekologi dan ekonomi bagi masyarakat. Kegiatan ini layak untuk
dilakukan karena pada tahun 2007 telah difasilitasi oleh KLH kebun bibit desa
berbasis masyarakat di Kecamatan Cisarua seluas 0,5 ha.
b. Memfasilitasi kegiatan masyarakat dalam hal usaha penyerapan air hujan
melalui pembuatan sumur resapan, lubang biopori, dan dam parit dalam rangka
meresapkan sebanyak mungkin air hujan yang jatuh di DAS Ciliwung hulu.
Berdasarkan hal tersebut, kegiatan yang dapat dilakukan pemerintah adalah:
menyelenggarakan pelatihan teknis pembuatan sumur resapan atau biopori
agar air yang masuk ke dalam tanah terjaga kuantitas dan kualitasnya; kredit
usaha jasa pembuatan sumur resapan untuk meningkatkan pendapatan
masyarakat lokal, serta membantu penyediaan bahan dan peralatan sumur
resapan atau biopori yang berkualitas. Kegiatan ini layak untuk dilakukan oleh
masyarakat mengingat di DAS Ciliwung hulu dibutuhkan 7.247 buah sumur
resapan yang tersebar di Kecamatan Ciawi 378 sumur, Kecamatan Cisarua
4.201 sumur dan Kecamatan Megamendung 2.668 sumur (BP DAS, 2008).
Selain itu data indeks konservasi alami menunjukkan DAS Ciliwung hulu
sebagian besar mempunyai kemampuan meresapkan air tinggi dan sangat
tinggi. Kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi volume air limpasan dari
permukiman (Tabel 53).
c. Memfasilitasi pengendalian dan pemanfaatan sampah oleh masyarakat melalui
reduce, reuse, recycle dan recovery (4R). Pemberdayaan masyarakat dilakukan
pemerintah melalui fasilitasi pelatihan pembuatan kompos dari sampah
193
permukiman; mengurangi volume sampah dengan cara membuat berbagai
macam barang kerajinan berbahan baku sampah; bantuan pemasaran produksi
kompos dan kerajinan berbahan sampah; fasilitas kredit usaha untuk produksi
kompos dan barang kerajinan berbahan sampah; penyuluhan tentang
pengelolaan TPS yang sehat. Kebijakan ini layak untuk dilakukan karena saat
ini sudah ada kegiatan pembuatan kompos dari sampah di Kecamatan Cisarua
yang dilakukan oleh masyarakat dengan bantuan dari Danamon Peduli.
Kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi volume sampah dari permukiman
(Tabel 53).
(3) Kebijakan pelibatan (partisipasi) masyarakat pada perencanaan,pelaksanaan dan pengendalian rencana rinci tata ruang dan peraturanzonasi:
Selain pemerintah, masayarakat adalah salah satu aktor penting dalam
penciptaan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance)(Argo 2004).
Salah satu kelemahan dalam pelaksanaan penataan ruang (termasuk permukiman)
adalah belum ditempatkannya masyarakat pada posisi yang kuat dan partispatif
dalam menciptakan penataan ruang (termasuk permukiman) yang adil dan setara
(Argo 2004).
Partisipasi masyarakat dalam penataan ruang (termasuk permukiman)
menurut UUPR No 26/2007 pasal 65 dilakukan melalui :a) partisipasi dalam
penyusunan rencana tata ruang; b) partisipasi dalam pemanfaatan ruang; c)
partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang. UUPR No 26/2007 tersebut
ditindaklanjuti oleh Perpres No 58/2008. Perpres No 58/2008 pada pasal 65
menyebutkan partisipasi masyarakat dilakukan sesuai dengan kondisi masyarakat
setempat dan ketentuan perundang-undangan. Perpres No 58/2008 tersebut
ditindaklanjuti oleh Perda Kabupaten Bogor No 19/2008. Perda No 19/2008 pasal
102–105 menyebutkan partisipasi masyarakat dalam berbagai bentuk yaitu :a)
memberi bantuan pemikiran dan pertimbangan berkenaan dengan penertiban
pemanfaatan ruang; b) menyelenggarakan kegiatan pembangunan sesuai RTRW
dan peraturan perundangan yang berlaku; c) memberi informasi atau laporan
mengenai pelaksanaan pemanfaatan ruang; d) kegiatan menjaga, memelihara, serta
194
meningkatkan kelestarian fungsi lingkungan hidup. Partisipasi masyarakat tersebut
dikoordinasikan oleh pemerintah daerah.
Berdasarkan hal tersebut, kebijakan pelibatan (partisipasi) masyarakat pada
perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian rencana rinci tata ruang dan peraturan
zonasi, layak untuk dilakukan karena sudah diatur baik di tingkat pusat maupun
daerah. Kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi luas permukiman di kawasan
yang tidak sesuai untuk permukiman (Tabel 53).
Tabel 53 Simulasi Skenario Pemberdayaan Masyarakat (PM)
Indikator Pengelolaan KawasanPermukiman DAS Ciliwung hulu
TanpaIntervensi
SkenarioPM
PengaruhSkenario PM(%)
Permukiman di kws tidak sesuai (ha) 4.158,25 3.840,90 7,63Vol. air limpasan permukiman (m3/dtk) 476,70 314,11 34,11Vol total air limpasan (m3/dtk) 925,65 707,86 23,53Vol. sampah permukiman( m3) 245.209,89 148.265,47 39,54 Sumber: Hasil analisis model dinamik
8.4.2.3. Skenario Penguatan Kelembagaan Pemerintah (PK) :
Skenario PK merupakan kombinasi dari peningkatan koordinasi dan
konsistensi dalam pengelolaan kawasan permukiman di DAS Ciliwung hulu. Dari
segi model, intervensi pada skenario PK dapat dilakukan melalui fungsi step
terhadap parameter koordinasi dan konsistensi. Hasil uji sensitivitas terhadap
parameter koordinasi dan konsistensi menunjukkan bahwa peningkatan koordinasi
dan konsistensi sampai 100%, berperan menurunkan jumlah penduduk, kebutuhan
lahan permukiman dan penurunan luas permukiman di kawasan tidak sesuai
permukiman.
Pelaksanaan intervensi dapat dilakukan melalui berbagai alternatif kebijakan.
Berbagai alternatif kebijakan tersebut, didasarkan pada hasil analisis bab V dan
bab VII sebagai berikut: a) permukiman eksisting yang berlokasi di kawasan tidak
sesuai untuk permukiman sebesar 36,69% di zona budidaya non permukiman dan
5,86% di zona lindung; b) ketidakselarasan lokasi antara permukiman eksisting
dengan RTRW Kabupaten Bogor tahun 2000-2010 sebesar 0,25% di zona lindung
dan 20,22% di zona budidaya non permukiman; c) elemen kunci dari kendala
195
yang dihadapi dalam pengelolaan permukiman di DAS Ciliwung hulu adalah
koordinasi, dan konsistensi terhadap peraturan. Berdasarkan hal tersebut, ada 4
kebijakan untuk meningkatkan koordinasi dan konsistensi dalam rangka
memperkuat kelembagaan pemerintah yaitu:
(1) Kebijakan operasionalisasi RTRW :
RTRW perlu dioperasionalisasikan menjadi rencana rinci tata ruang dan
peraturan zonasi, agar RTRW dapat diimplementasi sebagai alat koordinasi dalam
perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian tata ruang (Wirojanagud et al. 2006).
Kegiatan opersionalisasi RTRW terdiri dari penyusunan rencana rinci tata ruang
dan peraturan zonasi. Rencana rinci dan peraturan zonasi akan menjadi dasar
dalam memberikan izin pembangunan permukiman. Kebijakan ini diharapkan
dapat: a) mencegah pembangunan permukiman di kawasan tidak sesuai
permukiman b) mengendalikan izin pembangunan permukiman sesuai ketentuan
zonasi. Kebijakan ini layak dilakukan karena : a) sesuai UUPR No 26/2007 pasal
14 ayat 3 dan 6 dan pasal 78 ayat 4(c) diperlukan penjabaran RTRW dalam
rencana rinci/rencana detail tata ruang dan peraturan zonasi; b) amanat UUPR No
26/2007 tersebut telah ditindaklanjuti melalui Perpres No 58/2008, RPJPD
Kabupaten Bogor 2005-2025 dan Perda Kabupaten Bogor No 19/2008, yang
memperioritaskan pembuatan rencana rinci tata ruang dan peraturan zonasi secara
bertahap; c) saat ini Perda Kabupaten Bogor No 75 tahun 2008 tentang pedoman
operasional pemanfaatan ruang yang dimaksudkan untuk pengendalian dan
pengawasan pembangunan di Kabupaten Bogor belum mencantumkan ketentuan
tentang peraturan amplop ruang( KDB, KLB, KDH, GSB) secara lengkap seperti
tertuang dalan UUPR No 26/2007. Berdasarkan hal tersebut, maka kebijakan
operasionalisasi RTRW selain diinginkan juga layak untuk dilakukan karena sudah
merupakan kebijakan dari tingkat pusat sampai daerah.
(2) Kebijakan audit tata ruang :
Audit tata ruang adalah evaluasi yang dilakukan untuk menilai ketaatan
penanggung jawab (instansi pemberi izin) yang berkaitan dengan tata ruang
terhadap persyaratan hukum dan kebijakan tata ruang yang ditetapkan oleh
196
pemerintah. Audit tata ruang, khususnya pada kawasan permukiman di DAS
Ciliwung hulu dimaksudkan untuk mengevaluasi : a) perencanaan tata ruang
apakah sudah sesuai standar dan pedoman serta peraturan yang berlaku; b)
pelaksanaan tata ruang berkaitan dengan perizinan yang diberikan seperti izin
lokasi, izin peruntukan penggunaan tanah (IPPT) dan IMB; c) pengendalian tata
ruang berkaitan dengan prosedur dan mekanisme pengawasan pembangunan.
Audit tata ruang ini sudah menjadi wacana ditingkat pusat, khususnya di
Ditjen Penataan Ruang Dep PU2, akan tetapi belum tersedia pedoman baku
tentang audit tata ruang dan belum diatur secara jelas oleh pemerintah pusat.
Dengan demikian kebijakan audit tata ruang merupakan kebijakan yang
diinginkan, karena dapat mencegah dan mengurangi pembangunan permukiman di
kawasan tidak sesuai permukiman terutama di zona lindung yang berfungsi
sebagai hutan konservasi dan hutan lindung (Tabel 54). Namun kebijakan ini
belum layak karena peraturan pemerintah tentang hal tersebut belum ada
(3) Kebijakan disinsentif bagi permukiman di zona tidak sesuai untukpermukiman.
Kebijakan ini dimaksudkan untuk melengkapi kebijakan operasionalisasi
RTRW melalui rencana rinci dan peraturan zonasi. Disinsentif dikenakan pada
permukiman di kawasan tidak sesuai untuk permukiman, dalam bentuk:
a) Pengenaan nilai pajak bangunan yang tinggi disesuaikan dengan besarnya
biaya yang dibutuhkan untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat
pembangunan permukiman;
b) Pembatasan penyediaan infrastruktur terutama jaringan jalan dan utilitas dan
tidak diterbitkannya izin pembangunan ( IPPT/izin lokasi dan IMB).
Kebijakan ini diharapkan akan mengurangi keinginan masyarakat dari luar DAS
Ciliwung hulu untuk membangun permukiman di DAS Ciliwung hulu sehingga
perkembangan kebutuhan ruang untuk permukiman berkurang. Selain itu
2 Direktorat Jenderal Penataan Ruang Dep. PU. 2008. Audit Tata Ruang Dalam Rangka Mitigasi Bencana di Indonesia. Disampaikan pada
Temu Wartawan. Jakarta 17 Januari 2008. www. dep pu.go.id. [ 6 Okt 2008]
197
kebijakan ini diharapkan dapat mencegah dan mengurangi perkembangan
permukiman dikawasan tidak sesuai untuk permukiman (Tabel 54).
Kebijakan disinsentif walaupun sudah diamanatkan dalam UUPR No
26/2007 pasal 38, maupun dalam Perda Kabupaten Bogor No 19/2008, akan tetapi
belum diatur dalam bentuk peraturan pemerintah maupun perda Kabupaten Bogor.
Selain itu untuk menghadapi penolakan dari masyarakat, kebijakan disinsentif ini
memerlukan sosialisasi tentang ketentuan disinsentif bagi permukiman di zona
tidak sesuai permukiman. Dengan demikian kebijakan disinsentif merupakan
kebijakan yang diinginkan, akan tetapi belum layak karena belum diatur secara
jelas oleh pemerintah pusat maupun daerah.
(4) Kebijakan peningkatan kualitas aparatur pemerintah daerah dalammelaksanakan RTRW :
Kebijakan ini merupakan kebijakan non teknis yang perlu dilakukan
dilingkungan pemda Kabupaten Bogor dalam rangka memperkuat posisi rencana
tata ruang (RTRW) melalui pembentukan tata kelola pemerintahan yang baik
(good governance). Pemerintah merupakan salah satu aktor utama, selain
masyarakat dalam pelaksanaan good governance (Argo 2004). Dari 10 aspek
pelaksanaan good governance (CUI-ITB 2004) paling tidak terdapat 4 aspek
penting berkaitan dengan kualitas aparatur pemerintah daerah, yaitu daya tanggap
(responsiveness), wawasan ke depan (strategic vision), profesionalisme, dan
berorientasi pada konsensus (concensus orientation).
Kebijakan peningkatan kualitas aparatur pemerintah berupa peningkatan
daya tanggap, wawasan ke depan, profesionalisme dan beroentasi pada konsensus
dapat dilakukan melalui berbagai kegiatan antara lain pendidikan lanjutan, kursus,
pelatihan, lokakarya, dan seminar maupun studi banding, dengan tujuan untuk
meningkatkan kinerja aparat khususnya berkaitan dengan perencanaan,
pelaksanaan dan pengendalian tata ruang dan permukiman. Kebijakan ini
diharapkan menjadi modal bagi aparatur pemerintah daerah dalam pelaksanaan
RTRW dan audit tata ruang.
198
Kebijakan ini selain diharapkan dapat mencegah pembangunan permukiman
di kawasan tidak sesuai untuk permukiman, juga layak dilakukan karena dalam
RPJPD Kabupaten Bogor 2005-2025 peningkatan kualitas aparatur pemda
merupakan salah satu prioritas yang akan dilakukan pemerintah daerah.
Tabel 54 Simulasi Skenario Penguatan Kelembagaan Pemerintah(PK)
Indikator Pengelolaan KawasanPermukiman DAS Ciliwung hulu
TanpaIntervensi
SkenarioPK
PengaruhSkenario PK(%)
Kebutuhan ruang permukiman (ha) 7.198,72 5.926,47 17,67Luas permukiman di kws tdk sesuai (ha) 4.158,25 2.626,60 36,83Vol. air limpasan permukiman(m3/dtk) 476,70 323,08 32,23Vol. sampah permukiman ( m3) 245.209,89 203.609,56 16,97
Sumber: hasil analisis model dinamik
8.4.2.4. Skenario Kolaborasi Pemerintah-Masyarakat (KPM):
Skenario KPM merupakan skenario yang berkaitan dengan koordinasi,
konsistensi, partisipasi masyarakat, dan pengendalian penduduk, sehingga dari
segi model intervensi yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan nilai
parameter koordinasi konsistensi dan partisipasi masyarakat, dan menurunkan
nilai laju pertumbuhan penduduk karena kelahiran dan migrasi masuk. Intervensi
dilakukan melalui fungsi step. Hasil uji sensitivitas menunjukkan intervensi yang
dilakukan berdampak terhadap penurunan lahan permukiman di kawasan tidak
sesuai untuk permukiman, penurunan kebutuhan lahan permukiman, penurunan
jumlah penduduk, penurunan volume sampah dari permukiman dan penurunan
volume air limpasan.
Skenario KPM dalam prakteknya dilakukan melalui berbagai kebijakan
yaitu:
(1) Kebijakan pengendalian permukiman di zona lindung.
Kebijakan ini dilakukan untuk melengkapi kebijakan operasionalisasi
RTRW, kebijakan audit tata ruang, kebijakan disinsentif, kebijakan pelibatan
masyarakat dalam pelaksanaan rencana rinci dan peraturan zonasi serta kebijakan
pelibatan masyarakat dalam rehabilitasi dan revitalisasi fungsi ekologi DAS
199
Ciliwung hulu. Permukiman yang berada di zona lindung disarankan untuk
dikendalikan karena :
(a) Berdasarkan analisis lokasi permukiman eksisting terhadap kemungkinan
longsor, permukiman eksisting di zona lindung sebesar 48,90% berada pada
zona longsor dengan klasifikasi bahaya.
(b) Berdasarkan analisis lokasi permukiman eksisting terhadap kemampuan ideal
kawasan untuk konservasi air (IKa), sebagian besar kawasan permukiman
eksisting di zona lindung (78,75%) dan Zona budidaya non permukiman
(85,03%) berada di lokasi dengan klasifikasi IKa tinggi, artinya kawasan
permukiman eksisting tersebut berada pada kawasan yang mempunyai
kemampuan meresapkan air tinggi (Tabel 55).
Tabel 55 Tutupan Lahan Permukiman Eksisting (2006) di Zona Tidak Sesuai Permukiman Berdasarkan Indeks konservasi Alami (IKa)
Permukiman Eksisting di Zona Tidak Sesuai PermukimanZona Budidaya Non Permukiman Zona Lindung
Indeks KonservasiAlami (IKa)
ha % ha %1. Sedang 92,38 7,47 70,12 13,99
2. Tinggi 1.051,13 85,03 394,55 78,75
3. Sangat Tinggi 30,30 2,46 27,99 5,574. Tidak ada data 62,33 5,04 8,47 1,69
Jumlah 1.236,21 100 501,12 100Sumber : hasil analisis peta tutupan lahan eksisting(2006), dengan peta kesesuaian kawasan untuk permukiman dan peta
indeks konservasi alami (IKa).
Kebijakan pengendalian permukiman perlu dilakukan secara bertahap,
melibatkan masyarakat dan diprioritaskan terlebih dahulu pada zona lindung
dengan status lahan negara, zona lindung yang rentan mengalami longsor, serta
zona lindung dengan kemampuan meresapkan air tinggi dan sangat tinggi.
Kebijakan ini diharapkan mengurangi luas kawasan permukiman di kawasan tidak
sesuai untuk permukiman terutama di zona lindung, dan mengurangi volume total
air limpasan (Tabel 56).
Dalam implementasinya kebijakan ini membutuhkan: a) tata batas hutan
yang jelas dan pengukuhan kawasan yang ditetapkan sebagai hutan lindung dan
hutan konservasi; b)partisipasi masyarakat dalam mengawasi penerbitan izin
200
pembangunan permukiman dan pembangunan tanpa izin atau tidak sesuai izin di
kawasan hutan lindung dan hutan konservasi; c) inventarisasi dan evaluasi
perizinan permukiman di zona lindung; d)persiapan menghadapi gugatan
masyarakat; e) relokasi permukiman dari zona lindung dan alternatif lokasi
permukiman hasil relokasi.
Kebijakan pengendalian permukiman pada tataran praktek bukanlah
kegiatan yang mudah dilakukan. Kebijakan ini akan menghadapi kendala berupa:
penolakan dari masyarakat, status kepemilikan lahan (hak milik), kemampuan
masyarakat membangun kembali, kemampuan pemerintah mensubsidi
pembangunan, dan biaya lain yang berkaitan dengan teknis lapangan. Berdasarkan
hal itu, kebijakan pengendalian permukiman di zona lindung belum layak
dilakukan karena memerlukan waktu cukup panjang dan persiapan yang lengkap.
(2) Kebijakan kerjasama antar daerah (Kabupaten dan Kota)
Kerjasama antar daerah dimaksudkan untuk memperkuat koordinasi dan
konsistensi dalam implementasi tata ruang. Kerjasama dilakukan antar kabupaten
Bogor dengan kabupaten/kota yang berbatasan seperti dengan Kota Bogor,
Provinsi DKI Jakarta, Kota Depok dan Kabupaten Cianjur. Kerjasama antar daerah
dilakukan dibidang penataan ruang, pembangunan permukiman, kependudukan
dan jasa lingkungan. Kebijakan ini akan melengkapi kebijakan pengendalian
permukiman di zona lindung, kebijakan audit tata ruang dan kebijakan
pengembangan kawasan wisata alam di luar kawasan puncak. Melalui kebijakan
ini diharapkan pertumbuhan permukiman di kawasan tidak sesuai permukiman,
volume air limpasan dan volume sampah mengecil (Tabel 56).
Kebijakan kerjasama antar daerah sudah diamanatkan dalam UU Pemda No
34/2004; UU PR NO 26/2007 dan UUPPLH No 34/2009, ditindaklanjuti PP No 50
/2007 tentang kerjasama antar daerah dan Perpres No 58/2007 demikian pula
dalam Perda No 19/2008. Dalam implementasinya kebijakan ini memerlukan :
a)koordinasi dengan Pemda yang akan diajak bekerjasama; b) studi kelayakan; c)
penyusunan dan penandatanganan Mou antar Pemda; d) penyusunan action plan
dan pembentukan badan kerjasama.
201
Kebijakan kerjasama antar daerah pada tataran praktek memerlukan kesiapan
pemda yang akan bekerjasama serta dukungan pemerintah pusat, terutama dalam
hal perencanaan dan implementasinya. Kesiapan Pemda kabupaten Bogor dapat
dilihat dari indikasi program RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025. Dalam indikasi
program RTRW Kabupaten Bogor 2005-2025, kerjasama antar daerah hanya
dalam bentuk rapat koordinasi dengan wilayah yang berbatasan. Beradasarkan hal
tersebut kebijakan ini walaupun layak untuk dilakukan tetapi belum diinginkan.
(3) Kebijakan berkaitan dengan pengendalian penduduk, pemberdayaanmasyarakat dan penguatan kelembagaan pemerintah
a. Kebijakan yang berkaitan dengan pengendalian penduduk yaitu: KB, dan
pengembangan kawasan wisata di luar kawasan Puncak.
b. Kebijakan yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat yaitu :
peningkatan kualitas masyarakat; pelibatan masyarakat dalam pelaksanaan
rencana rinci dan peraturan zonasi; dan pelibatan masyarakat dalam
rehabilitasi dan revitalisasi fungsi ekologi DAS Ciliwung hulu.
c. Kebijakan yang berkaitan dengan penguatan kelembagaan pemerintah yaitu:
operasionalisasi RTRW, audit tata ruang, disinsentif bagi permukiman di
zona tidak sesuai untuk permukiman, dan peningkatan kualitas aparatur
Pemda.
Menggunakan skenario KPM, diharapkan jumlah penduduk, kebutuhan
ruang permukiman, luas permukiman di kawasan tidak sesuai permukiman,
volume air limpasan, dan volume sampah menurun (Tabel 56).
Tabel 56 Simulasi Skenario Kolaborasi Pemerintah-Masyarakat/(KPM)Indikator Pengelolaan Kawasan
PermukimanTanpa
intervensiSkenario
KPMPengaruhSkenarioKPM(%)
Jumlah penduduk (orang) 523.356 387.435 25,97Kebutuhan ruang permukiman (ha) 7.198,72 4.633,28 35,64Permukiman di kws tidak sesuai (ha) 4.158,25 1.930,02 53,59Vol.air limpasan permukiman (m3/dtk) 476,70 304,80 36,06Vol total air limpasan (m3/dtk) 925,65 696,20 24,79Vol. sampah permukiman( m3) 245.209,89 130.023,29 46,97
Sumber: hasil analisis model dinamik
202
8.5. Kesimpulan
Pengelolaan kawasan permukiman di DAS Ciliwung hulu menggunakan
model dinamik menghasilkan lima skenario yaitu: tanpa intervensi (TI),
pengendalian permukiman (PP), pemberdayaan masyarakat (PM), penguatan
kelembagaan pemerintah (PK), dan kolaborasi pemerintah-masyarakat (KPM).
Untuk mempertahankan fungsi DAS Ciliwung hulu sebagai kawasan pemasok air
tanah dan air permukaan serta pengendali banjir, maka skenario yang tepat untuk
digunakan dalam pengelolaan kawasan permukiman di DAS Ciliwung hulu adalah
Skenario KPM. Pada skenario KPM dari 11 kebijakan yang tersebut, 6 kebijakan
diinginkan dan layak untuk diimplementasikan. Keenam kebijakan itu adalah:
Keluarga berencana; Peningkatan kualitas masyarakat; Pelibatan masyarakat
dalam kegiatan rehabilitasi dan revitalisasi fungsi ekologi DAS Ciliwung hulu;
Pelibatan masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian rencana
rinci tata ruang dan peraturan zonasi: Operasionalisasi RTRW; dan Peningkatan
kualitas aparatur Pemda.
Top Related