KAJIAN PELESTARIAN DAN PENGELOLAAN KAWASAN …
Transcript of KAJIAN PELESTARIAN DAN PENGELOLAAN KAWASAN …
TECHNOPEX-2020 Institut Teknologi Indonesia ISSN: 2654-489X
114
KAJIAN PELESTARIAN DAN PENGELOLAAN
KAWASAN CAGAR BUDAYA DI KOTA LAMA TANGERANG
Milana Angelika Marnala 1), Medtry2), Forina Lestari 3) 1), 2), 3) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Institut Teknologi Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Kawasan Kota Lama Tangerang memiliki potensi dalam mewujudkan Kota Pusaka Tangerang. Potensi
tersebut yaitu adanya 3 dari 9 cagar budaya, permukiman masyarakat yang mempertahankan arsitektur
Tionghoa dan seni budaya Tionghoa yang masih aktif dilakukan di Sungai Cisadane. Tujuan dalam
penelitian ini adalah mengkaji pelestarian dan pengelolaan kawasan cagar budaya di Kota Lama
Tangerang agar mendukung penerapan Rencana Kota Pusaka. Metode penelitian yang digunakan
adalah metode analisis deskriptif kuantitatif, dengan penentuan delinasi kawasan difokuskan pada blok
pecinan. Analisis yang digunakan yaitu analisis kebijakan, dinamika kawasan sekitar, analisis potensi
kawasan dan analisis SWOT. Hasil penelitian menunjukkan kebijakan daerah pada tingkat provinsi
dan kota secara umum memiliki tujuan pada upaya konservasi. Terdapat 3 indikator penting dari
kriteria pengelolaan dan pelestarian kawasan cagar budaya di Kota Lama Tangerang yang belum
terimplentasikan dengan baik yaitu: 1) pembinaan kawasan yang dilindungi; 2) sosialisasi upaya
perlindungan kawasan kepada masyarakat; 3) tindak pidana dalam pelanggaran pemanfaatan
kawasan. Kegiatan komersial yang mempengaruhi kawasan secara fisik, sosial dan ekonomi adalah
kegiatan perdagangan dan jasa modern, kawasan wisata kuliner dan budidaya sarang burung walet.
Skoring penilaian kawasan bersejarah menunjukkan hasil yaitu kawasan Kota Lama Tangerang
termasuk dalam klasifikasi potensi pelestarian kawasan bersejarah yang tinggi. Kata kunci: Cagar Budaya, Pelestarian, Pengelolaan, Kota Lama.
Pendahuluan Kawasan cagar budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua situs Cagar Budaya atau
lebih yang letaknya berdekatan dan/atau memperlihatkan ciri tata ruang yang khas (Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya). Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam bangunan maupun kawasan
cagar budaya menjadikannya aset yang harus dijaga dan dipertahankan, sehingga cagar budaya harus dikelola
dengan tepat. Kementerian Pariwisata berupaya mempertahankan kawasan cagar budaya melalui Program
Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP). Pengelolaan yang dilakukan tidak hanya terpusat pada
purbakala itu sendiri, tetapi juga unsur lingkungan fisik yaitu kawasan cagar budaya tersebut seperti yang ada
di Kawasan Kota Lama Tangerang, Provinsi Banten. Kawasan Kota Lama Tangerang memiliki potensi dalam
mewujudkan Kota Pusaka Indonesia di Kota Tangerang [1]. Seiring dengan perkembangan zaman serta
banyaknya pembangunan di Kota Tangerang, dikhawatirkan bangunan sejarah yang ada mengalami perubahan
bentuk baik fasade, gaya arsitektur maupun perubahan fungsi kawasan itu sendiri. Pengendalian pemanfaatan
ruang penting untuk dilakukan guna mencegah semakin banyaknya konversi lahan dan bangunan yang terjadi
di kawasan. Jika tidak dilakukan pengendalian, maka akan berdampak pada terganggunya eksistensi dari
kawasan itu sendiri [2].
Pelestarian dan pengelolaan kawasan yang dikaji berfokus terhadap tinjauan kebijakan yang terdiri
dari kebijakan penataan ruang terkait pengelolaan dan pelestarian bangunan dan kawasan cagar budaya. Selain
kebijakan, dilakukan juga tinjauan non-kebijakan yaitu Materi Teknis RDTR Kota Tangerang dan Rencana
Induk Pembangunan Pariwisata Kota Tangerang. Adapun dinamika kawasan sekitar yang ditinjau dari
identifikasi kegiatan perdagangan dan jasa di kawasan. Pengaruh tersebut kemudian disandingkan dengan
kebijakan untuk mengetahui pengaruh implementasi kebijakan yang ada. Selain itu ditinjau juga potensi
kawasan yang dinilai dari bangunan bersejarah dan kawasan bersejarah. Kawasan Kota Lama Tangerang
memiliki potensi dalam mewujudkan Kota Pusaka Indonesia di Kota Tangerang. Potensi tersebut yaitu adanya
3 dari 9 cagar budaya, permukiman masyarakat yang mempertahankan arsitektur Tionghoa dan seni budaya
Tionghoa yang masih aktif dilakukan di Sungai Cisadane. Seiring dengan perkembangan zaman serta
banyaknya pembangunan di Kota Tangerang, dikhawatirkan bangunan sejarah yang ada mengalami perubahan
bentuk baik fasade, gaya arsitektur maupun perubahan fungsi kawasan itu sendiri. Dengan demikian dirasa
penting untuk dilakukan kajian mengenai pelestarian dan pengelolaan kawasan cagar budaya di Kota Lama
Tangerang.
Studi Pustaka Cagar Budaya
Cagar budaya adalah daerah yang kelestarian hidup masyarakat dan perikehidupannya dilindungi oleh
undang-undang dari bahaya kepunahan (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Cagar budaya merupakan bagian
yang tidak terpisahkan dari perjalanan panjang suatu kawasan. Keberasaan cagar budaya hingga saat ini
menjadi bukti sejarah peradaban yang terjadi di masa lalu dan menjadi identitas daerah tersebut. Cagar budaya
adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur
Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan
keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau
TECHNOPEX-2020 Institut Teknologi Indonesia ISSN: 2654-489X
115
kebudayaan melalui proses penetapan (Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya). Adapun
pengertian mengenai kawasan cagar budaya adalah satuan ruang geografis yang memiliki dua situs cagar
budaya atau lebih yang letaknya berdekatan dan memperlihatkan ciri tata ruang yang khas.
Pelestarian Cagar Budaya
Upaya melestarikan kawasan cagar budaya dibutuhkan adanya penanggulangan serta pemeliharaan
agar dapat memperpanjang usia warisan budaya tersebut. Bangunan cagar budaya kerapkali berupa bangunan
tua tidak terawat dan tidak jarang dilakukan perombakan ulang menjadi bangunan modern, berikut dengan
lingkungan fisik di sekitarnya [3]. Dalam bagian ketentuan umum UU No. 11 Tahun 2010 tentang Cagar
Budaya, pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan cagar budaya dan nilainya
dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya. Adapun derajat intervensi dalam kegiatan
pelestarian [4] adalah sebagai berikut:
a. Preservasi: melalui stabilisasi, perawatan, atau perbaikan. Preservasi merupakan pelestarian tempat
dengan intervensi sesedikit mungkin, untuk memastikan kelangsungan hidup jangka panjang dan
kelanjutan dari nilai warisan budaya yang terkandung di dalamnya. Proses pelestarian dipandang
seharusnya tidak mengaburkan atau menghapus patina usia, terutama di mana kontribusi keaslian dan
integritas tempat, atau dimana ia memberikan kontribusi untuk stabilitas struktural bahan.
b. Restorasi: melalui pemulihan dan pemindahan. Restorasi merupakan proses pemulihan dan mungkin
melibatkan penghapusan pada penambahan yang berpotensi mengurangi nilai warisan budaya dari suatu
tempat. Restorasi didasarkan pada penghormatan terhadap material/bahan yang ada, dan pada semua bukti
hasil identifikasi dan analisis, sehingga nilai warisan budaya dari tempat pulih atau terungkap.
c. Konservasi adalah segenap proses pengelolaan suatu tempat agar makna kultural yang dikandungnya
terpelihara dengan baik. Konservasi dapat meliputi seluruh kegiatan pemeliharaan dan sesuai dengan
situasi dan kondisi setempat, dapat pula mencakup preservasi, restorasi, rekonstruksi, adaptasi/revitalisasi
dan demolisi.
d. Rekonstruksi: dibedakan dari restorasi oleh pengenalan materi baru untuk menggantikan bahan yang telah
hilang. Rekonstruksi adalah tindakan yang tepat jika yang menjadi sasaran adalah menjaga nilai penting
untuk fungsi, integritas, nilai tidak berwujud, atau pemahaman tempat, jika bukti fisik dan dokumen yang
ada cukup untuk meminimalkan dugaan, dan jika nilai warisan budaya yang dilestarikan terselamatkan.
e. Adaptasi: Proposal untuk adaptasi dari suatu tempat bisa timbul dari keinginan mempertahankan
penggunaannya atau dari mengusulkan perubahan penggunaan. Perubahan dan penambahan mungkin
dapat diterima di dalam adaptasi dimana mereka diperlukan untuk penggunaan yang kompatibel dari
tempat. Setiap perubahan harus seminimal mungkin dan memiliki sedikit atau tidak ada efek buruk pada
nilai warisan budaya dari tempat.
Kota Pusaka
Kota pusaka adalah kota atau kabupaten yang memiliki aset pusaka yang unggul berupa rajutan pusaka
alam dan pusaka budaya yang lestari yang mencakup unsur ragawi (artefak, bangunan dan kawasan dengan
ruang terbukanya) dan unsur kehidupan, ekonomi, sosial budaya [5]. Adapun hal-hal yang menjadi
pertimbangan pelestarian kota pusaka yaitu memiliki nilai-nilai penting, antara lain: nilai jati diri/identitas
bangsa, kesejarahan, lingkungan, sosial, politik, ideologi, ekonomi dan budaya yang jika dikelola secara
optimal dalam rangka pembangunan berkelanjutan akan dapat memberikan manfaat bagi peningkatan kualitas
lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Kota pusaka memiliki peran yang sangat penting dalam
pembangunan nasional dan pembangunan daerah. Kota pusaka dengan nilai yang dimilikinya baik nilai
lingkungan, sosial dan ekonomi merupakan kesatuan ruang dengan masyarakat yang hidup didalamnya dengan
segala perilakunya yang dapat mempengaruhi keberlanjutan kota pusaka. Dalam Piagam Pelestarian Kota
Pusaka Indonesia [5], disebutkan beberapa instrumen penataan dan pelestarian kota pusaka, antara lain: 1)
kelembagaan dan tata kelola kota pusaka; 2) inventarisasi dan dokumentasi pusaka; 3) informasi, edukasi dan
promosi kota pusaka; 4) ekonomi kota pusaka; 5) pengelolaan risiko bencana untuk kota pusaka; 6)
pengembangan kehidupan budaya masyarakat; 7) perencanaan ruang kota pusaka dan sarana prasarana; 8) olah
desain bentuk kota pusaka. Instrumen-instrumen tersebut perlu untuk dikembangkan dalam menata/mengelola
kota pusaka Indonesia agar berkelanjutan. Instrumen tersebut perlu untuk terus dikembangkan dalam rangka
mewujudkan kota pusaka berkelanjutan.
Insentif dan Disinsentif
Insentif dan disinsentif pemanfaatan ruang merupakan perangkat yang digunakan untuk mewujudkan
perencanaan kota sebagaimana tertuang dalam Rencana Tata Ruang. Insentif dan disinsentif pemanfaatan
ruang mengandung unsur pengaturan dan pengendalian (development control) yang bersifat akomodatif
terhadap berbagai perubahan aktual yang terjadi di perkotaan. Pemerintah dalam rangka pengendalian
pemanfaatan ruang pihak swasta dapat memberikan insentif dan disinsentif pemanfaatan ruang. Insentif dan
disinsentif tersebut diberikan guna mempengaruhi perilaku pihak swasta agar mau memanfaatkan ruang sesuai
keinginan pemerintah (Indraka, 2012). Menurut Sjofjan Bakar [6], terdapat 3 (tiga) kelompok mekanisme
insentif dan disinsentif, yaitu: (1) pengaturan/regulasi/ kebijakan, (2) ekonomi/keuangan sebagai penerapan
dari pengenaan pajak dan retribusi, dan (3) pemilikan/pengadaan langsung oleh pemerintah atau swasta.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, pada pasal 35 dijelaskan bahwa
pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif
dan disinsentif, serta pengenaan sanksi. Dalam pengendalian pemanfaatan ruang dikembangkan perangkat
yang bersifat insentif dan disinsentif dengan menghormati hak-hak penduduk sebagai warga negara.
TECHNOPEX-2020 Institut Teknologi Indonesia ISSN: 2654-489X
116
Metodologi Penelitian Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis kuantitatif. Metode penelitian kuantitatif
sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi
atau sampel tertentu, pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian dengan analisis data bersifat
kuantitatif/statistik. Adapun dalam pengumpulan data identifikasi pelestarian dan pengelolaan kawasan
menggunakan teknik data primer dan sekunder. Teknik data primer dilakukan dengan melakukan survei,
observasi, kuesioner dan wawancara di lokasi blok pecinan Kota Lama. Blok ini dipilih menjadi sampel lokasi
karena merupakan salah satu pusat kegiatan ekonomi, budaya, sejarah dan agama oleh masyarakat sekitar dan
dari luar Kota Tangerang, serta adanya rencana penetapak kawasan prioritas Kota Pusaka Tangerang. Sampling
yang dilakukan peneliti yaitu dengan mengambil sampel atau responden dari jumlah kunjungan ke Kota
Tangerang dan jumlah penduduk yang berada di zona inti Kota Lama Tangerang. Populasi berjumlah 1.080
jiwa dan jumlah ini merupakan penduduk yang berada di zona inti Kota Lama Tangerang berdasarkan data dari
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Tangerang. Pengambilan sampel dilakukan secara
accidental sampling terhadap responden yang sedang berada di kawasan tanpa memperhitungkan jenis kelamin,
jenis pekerjaan, dan usia responden. Sampling kemudian dilakukan dengan menggunakan rumus Solvin dengan
batas toleransi yang ditentukan yaitu 15%. Selanjutnya untuk analisis yang dilakukan pada penelitian ini,
peneliti melakukan analisis kebijakan, analisis dinamika kawasan sekitar, analisis potensi kawasan dengan
skala Likert, dan analisis SWOT sebagai tools untuk merumuskan strategi pelestarian dan pengelolaan
Kawasan Kota Lama Tangerang.
Hasil dan Pembahasan Bangunan di Kawasan Kota Lama Tangerang
Etnis Tionghoa di Kota Tangerang umumnya menempati tepi pinggiran Sungai Cisadane [7]. Hal ini
dipengaruhi oleh penjajahan kolonial Belanda di mana mereka menempatkan etnis Tionghoa sebagai pekerja
pertanian di sekitar sungai. Permukiman di Blok Kota Lama membentuk pola grid yang kompak dan rapat.
Bangunan di Kawasan Pecinan Blok Kota Lama berjumlah 524 unit dengan fungsi yang beragam. Fungsi
bangunan di gang ini antara lain rumah toko (ruko), rumah tinggal, rumah usaha budidaya sarang walet, sarana
perkantoran, sarana pendidikan, fasilitas sosial, dan sarana peribadatan yang juga merupakan bangunan cagar
budaya. Sarana peribadatan tersebut yaitu Masjid Jami’Kalipasir yang berada di Gang Kalipasir Indah dan
Kelenteng Boen Tek Bio yang berada di Gang Cilame. Bangunan yang mendominasi di kawasan ini adalah
bangunan rumah tinggal modern, disusul dengan bangunan ruko, rumah tinggal dengan arsitektur Tionghoa,
dan rumah dengan usaha budidaya sarang walet.
Gambar 1. Peta sebaran bangunan di Blok Kota Lama
Kebijakan Pelestarian dan Pengelolaan Kawasan Kota Lama
Identifikasi kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan dan pelestarian kawasan cagar budaya dapat
diidentifikasi dari produk hukum yang sudah diterbitkan dari undang-undang, peraturan daerah tingkat
provinsi, peraturan daerah tingkat kota dan materi teknis RDTR. Beberapa kebijakan yang teridentifikasi yaitu
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Peraturan Daerah Provinsi
Banten Nomor 2 Tahun 2011 tentang RTRW Provinsi Banten Tahun 2010-2030, Peraturan Daerah Kota
Tangerang Nomor 6 Tahun 2012 tentang RTRW Kota Tangerang 2012-2032, Peraturan Daerah Kota
Tangerang Nomor 3 Tahun 2018 tentang Cagar Budaya dan Materi Teknis RDTR Kota Tangerang.
Tabel 1. Matriks Kebijakan dan Non-Kebijakan
Kebijakan Terkait
Indikator
Kriteria Perlindungan Kriteria Pemanfaatan
1 2 3 4 5 6 7 1 2 3 4 5 6
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya
Δ Δ Δ Δ Δ Δ Δ √ √ √ √
Peraturan Daerah Provinsi Banten Nomor 2 Tahun 2011 tentang RTRW Provinsi Banten Tahun 2010-2030
Δ Δ Δ Δ √
Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 6 Tahun 2012 tentang RTRW Kota Tangerang 2012-2032
Δ Δ Δ Δ Δ √ √ √
TECHNOPEX-2020 Institut Teknologi Indonesia ISSN: 2654-489X
117
Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan
Δ
Peraturan Daerah Kota Tangerang Nomor 3 Tahun 2019 Tentang RPJMD Kota Tangerang Tahun 2019-2023
Δ √ √ √ √
Rencana Induk Pembangunan Pariwisata Kota Tangerang
Δ Δ √ √
Draft Materi Teknis RDTR Kota Tangerang Δ √ √ √ √
b. Kebijakan Dinas Terkait
Selain daripada kebijakan regional daerah, pengelolaan kawasan Kota Lama Tangerang juga tidak
terlepas dari peranan dinas terkait di Kota Tangerang. Masing-masing dinas tersebut mempunyai peran dan
kepentingan yang berbeda-beda terkait pengelolaan kawasan Kota Lama Tangerang. Peranan dan kepentingan
dinas tergantung pada sasaran, rencana strategis, dan indikasi program yang telah direncanakan oleh masing-
masing SKPD.
Tabel 2. Strategi dan Kebijakan Umum Dinas Terkait
Dinas Kota
Tangerang
Kebijakan Pencapaian
Sasaran
Pelayanan SKPD
Program
Pembangunan
Daerah dalam
Pelayanan SKPD
Analisis
Dinas
Kebudayaan dan
Pariwisata Kota
Tangerang
Meningkatkan sarana dan
prasarana objek-objek
wisata, dengan penataan
Kawasan Wisata Pasar
Lama dan Wisata Air
Kali Cisadane
Program
Pengembangan
Destinasi Pariwisata
Efektif.
Penyelenggaraan budaya tidak dapat
terlepas dari fasilitas sebagai tool
pendukung kegiatan. DISBUDPAR
sebagai dinas yang mengelola secara
langsung dapat menginventarisasi
kebutuhan sarana dan prasarana kawasan
sesuai dengan Piagam Pelestarian Kota
Pusaka Indonesia, seperti yang dilakukan
di Kota Lama Semarang.
Mengembangkan nilai
atau ajaran atau spirit
yang terkandung dalam
setiap ragam budaya yang
dimiliki Kota Tangerang
Program
Pengembangan
Objek Budaya
Efektif.
Pengembangan objek budaya dapat
dilakukan melalui benda ragawi dan non-
ragawi yang dimiliki kawasan Kota Lama
Tangerang. Namun DISBUDPAR
mengalami kendala karena belum adanya
satu sumber informasi, yang bisa
dijadikan rujukan sebagai informasi
resmi dari DISBUDPAR. Persoalan
lainnya adalah program yang
dicanangkan dinilai masih belum
melibatkan partisipasi masyarakat.
Dinas
Perhubungan
Kota Tangerang
Meningkatkan
pengelolaan dan
pengawasan terhadap
kelaikan sarana
transportasi
Program
Pembangunan
Prasarana dan
Fasilitas
Perhubungan
Efektif.
Pemerintah memang sudah
mencanangkan kebijakan dan program
dengan baik, namun terdapat gap dengan
kondisi eksisting. Di kawasan sendiri
belum ada pengadaan prasarana dan
fasilitas guna meminimalisir masalah,
karena pada kondisi eksisting terjadi
kemacetan pada traffic hour dan malam
hari.
Program Peningkatan
Pelayanan Angkutan
Efektif.
Program ini diterjemahkan oleh RDTR
Kota Tangerang dengan mengembangkan
pelayananan angkutan massal yang akan
melewati Jalan Kisamaun. Namun
terdapat hambatan karena belum
dilengkapi fasilitas perhubungan seperti,
batas ruang untuk parkir kendaraan,
rambu lalu lintas, halte hingga tempat
pemberhentian.
Dinas Pekerjaan
Umum dan Tata
Ruang Kota
Tangerang
`
Melaksanakan sosialisasi
pengelolaan air bersih
serta pemantauan dan
pengawasan air tanah di
13 kecamatan.
Program
pengembangan dan
pengelolaan jaringan
irigasi, rawa dan
jaringan pengairan
lainnya
Efektif.
Pengelolaan jaringan air bersih di
kawasan sudah memadai. Hal ini
dikarenakan masyarakat dengan mudah
mengakses kebutuhan air bersih melalui
Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM)
setempat.
TECHNOPEX-2020 Institut Teknologi Indonesia ISSN: 2654-489X
118
Melaksanakan
pemantauan dan
pengawasan pemanfaatan
ruang dan secara berkala
Program
Pengendalian
Pemanfaatan Ruang
Tidak Efektif.
Program yang dicanangkan belum
memperhatikan pemanfaatan ruang di
kawasan cagar budaya. Dinas PUPR
hingga saat ini masih lalai terhadap
terjadinya perubahan bangunan di
kawasan Petak Sembilan dan koridor
Jalan Kisamaun.
Badan
Perencanaan dan
Pembangunan
Daerah Kota
Tangerang
Melaksanakan
penyusunan RTBL
dengan prioritas pada
kawasan pertumbuhan
ekonomi, pelestarian
lingkungan.
Program
Perencanaan Tata
Ruang
Efektif.
RBTL akan menjadi pedoman pelestarian
kawasan sebagai pendukung rencana
Kota Pusaka. Namun RDTR hingga saat
ini masih belum diperdakan, sehingga
kemungkinan legalitas RTBL kawasan
dinilai akan memakan waktu yang lama.
Dinamika Kawasan Sekitar
Kegiatan komersial di kawasan Kota Lama Tangerang semakin berkembang dengan melihat beberapa
faktor penentu tingkat pelayanan dari segi akses [8]. Kegiatan komersial berada di sekitar jalan utama kolektor
sekunder sehingga memudahkan arus pergerakan konsumen. Berdasarkan segi kondisi fisik, kegiatan
komersial di Kota Lama Tangerang berada pada tipe lahan yang ideal yaitu kondisi datar dengan fasilitas
penunjang kebutuhan parkir yaitu parkir on the street. Kondisi ini kemudian diarahkan dalam RTRW Kota
Tangerang Tahun 2012-2032 pasal 45 yang berbunyi: “Kawasan peruntukan ruang bagi sektor informal
ditetapkan pada: c. Jalan Kisamaun dan Jalan Kiasnawi pada kawasan kota lama”, dan pasal 52 yang berbunyi
“Arahan pengembangan di kawasan Kota Lama meliputi: b. pengembangan kegiatan dengan fungsi campuran
hunian, perdagangan dan fasilitas publik skala kota.” Pasal tersebut lalu diturunkan pada kebijakan skala
mikro yaitu materi teknis RDTR Kota Tangerang. Berdasarkan materi teknis tersebut, Rencana Zona
Perdagangan dan Jasa diarahkan “di jalan Kiasnawi dan sebagian jalan Kisamaun pada kawasan pusat kota
lama”; dan “PKL diarahkan lokasinya dengan ketentuan menyatu dengan pasar tradisional”. Kegiatan
komersial secara langsung dirasakan oleh masyarakat. Berikut hasil kuesioner terhadap perubahan yang
dirasakan masyarakat.
Gambar 2. Persentase Perubahan yang Terjadi Menurut Masyarakat
Sektor perdagangan dan jasa saat ini didominasi oleh komersial modern seperti café, salon, bank
hingga minimarket, serta aktivitas sarang burung walet di kawasan Petak Sembilan. Pembangunan komersial
modern tersebut memiliki standar khusus dalam mendirikan atau menggunakan bangunan sebagai tempat
usahanya tanpa memperhatikan tipe bangunan yang ada di kawasan Kota Lama Tangerang. Hal ini diperparah
dengan penetapan kawasan kuliner yang tidak dibarengi kajian atau dengan perda/perwal terkait. Pemerintah
sudah berupaya mengurangi kesemerawutan dengan memindahkan PKL dari sisi kiri jalan menjadi sisi kanan
jalan. Namun perpindahan tersebut tidak berdampak besar pada penataan PKL.
Potensi Kawasan
1. Potensi Bangunan Bersejarah
Kriteria potensi bangunan sejarah yang digunakan adalah umur, peranan sejarah, estetika,
keistimewaan, fungsi dan kegunaan, citra kawasan setempat. Metode skoring dilakukan dengan menetapkan
beberapa kriteria yaitu potensi objek tinggi, sedang dan rendah. Dalam mengisi tabel skoring dibutuhkan
justifikasi ilmiah untuk menguatkan hasil analisis dari penilaian pakar, akademisi hingga ahli. Kategori
bangunan yang dianggap potensial yaitu potensi rendah dengan skor ≤3, potensi sedang dengan skor 4–5, dan
potensi tinggi dengan skor >5. Bangunan cagar budaya dan non-cagar budaya memiliki karakteristik yang
bervariasi. Hasil skoring tiap indikator menghasilkan nilai, dimana semakin tinggi nilai bangunan maka
semakin banyak kriteria yang terpenuhi pada suatu bangunan cagar budaya. Berdasarkan Tabel 3, hasil skoring
menunjukkan bahwa bangunan yang tergolong potensial tinggi adalah Kelenteng Boen Tek Bio, Masjid dan
Makam Jami’Kalipasir dan Museum Benteng Heritage sebagai bangunan cagar budaya di kawasan Kota Lama
Tangerang. Adapun arahan pelestarian bangunan bersejarah dapat dilihat pada Tabel 3.
TECHNOPEX-2020 Institut Teknologi Indonesia ISSN: 2654-489X
119
Tabel 3. Arahan Pelestarian Bangunan
Bangunan Total Skor Potensial Pelestarian Arahan Pelestarian
Kelenteng Boen Tek Bio 5,7 potensial tinggi Preservasi
Masjid dan Makam Jami’Kalipasir
5,7 potensial tinggi Preservasi
Museum Benteng Heritage 5,3 potensial tinggi Preservasi
Rumah Boerong dan Tangga Ronggeng
4,2 potensial sedang Konservasi, Rehabilitasi
Pabrik Kecap Teng Giok Seng 4,8 potensial sedang Konservasi, Rehabilitasi
Pabrik Kecap Siong Hin 4,8 potensial sedang Konservasi, Rehabilitasi
Rumah Tinggal di Kawasan Petak Sembilan
4,7 potensial sedang Konservasi, Rehabilitasi
Bangunan Pecinan di Koridor Jalan Kisamaun
4,5 potensial sedang Konservasi, Rehabilitasi
2. Potensi Kawasan Bersejarah
Pemeliharaan kawasan heritage tidak hanya berfokus pada bangunan, tetapi juga pada kawasan
sekitarnya. Kawasan Kota Lama Tangerang merupakan saksi bisu perkembangan Kota Tangerang yang sudah
berusia ratusan tahun, sehingga dibutuhkan penanganan yang tepat dan menyesuaikan dengan perkembangan
zaman. Pelestarian kawasan juga bertujuan untuk mengatasi penurunan kualitas akibat kegiatan ekonomi
masyarakat. Kriteria tolok ukur pelestarian meliputi tolok ukur bersifat fisik (kelangkaan, kesejarahan, estetika,
superlativitas, kejamakan, kualitas pengaruh) dan non fisik (nilai sosial, nilai komersial, dan nilai ilmiah) [8].
Klasifikasi interval potensial pelestarian dihitung dengan menggunakan skala Likert, dimana potensial sangat
tinggi adalah 8,5–10, potensial tinggi adalah 6,9–8,4, potensial sedang adalah 5,3–6,8, potensial rendah adalah
3,7–5,2, dan potensial sangat rendah adalah 2–3,6.
Tabel 4. Skoring Penilaian Kawasan Bersejarah
Kriteria Hasil Penilaian Total
(Σn) 1 n 2 n 3 n 4 n 5 n
Kelangkaan 1 4 1 5 9
Kesejarahan 2 10 10
Estetika 1 4 1 5 9
Superlativitas 1 4 1 5 9
Kejamakan 1 3 1 4 7
Kualitas
Pengaruh
1 4 1 5 9
Nilai Sosial 1 3 1 5 8
Nilai
Komersial
1 3 1 5 8
Nilai Ilmiah 1 4 1 5 9
Total - - - - 3 9 6 24 9 45 78
Rata-Rata 8,6
SWOT
Kegiatan perdagangan dan jasa di kawasan Kota Lama Tangerang telah berdampak langsung maupun
tidak langsung kepada nilai sejarah dan budaya yang ada. Dampak tersebut dapat berupa potensi dan masalah
kawasan. Analisis SWOT dilakukan untuk memetakan berbagai faktor yang mendukung maupun merugikan
melalui strategi pengembangan kawasan. Strategi ini dilakukan dengan mengidentifikasi ancaman kekuatan
(strengths), kelemahan (weakness), peluang (opportunity), dan ancaman (threats) yang dihadapi dalam
pengembangan kawasan cagar budaya di Kota Lama Tangerang.
Tabel 5. Matriks SWOT INTERNAL
Kekuatan (Strengths) 1. Sudah memiliki dasar hukum
penetapan kawasan yaitu RTRW Kota Tangerang Tahun 2012-2032 S1
2. Terdapat 3 bangunan cagar budaya yang statusnya sudah dilegalkan oleh Pemerintah Kota Tangerang, sehingga dapat dikembangkan sebagai wisata budaya dan sejarah S2
Kelemahan (Weaknesses) 1. RDTR dan RTBL belum
diperdakan W1 2. Belum terdapat perda atau
perwal dalam mengatur pelestarian dan pemanfaatan benda cagar budaya W2
3. Anggaran pemeliharaan bangunan cagar budaya belum maksimal direalisasikan W3
TECHNOPEX-2020 Institut Teknologi Indonesia ISSN: 2654-489X
120
EKSTERNAL
3. Kawasan Kota Lama Tangerang memiliki bangunan-bangunan yang mempunyai ciri tersendiri sebagai kawasan heritage Kota Tangerang S3
4. Kawasan Kota Lama Tangerang memiliki potensi bangunan dan budaya yang memenuhi kriteria pelestarian. S4
4. Pengendalian kawasan masih belum maksimal, sehingga banyak bangunan bersejarah dan bangunan pecinan yang mengalami perubahan bentuk oleh pemilik bangunan W4
5. Adanya alih fungsi bangunan dari perumahan menjadi fungsi lain W5
6. Ciri khas kawasan sebagai kota tua sudah mulai memudar W6
7. PKL yang berjualan di sepanjang sekitar bangunan cagar budaya menimbulkan kesan kumuh.W8
Peluang (Opportunities) 1. Pemanfaatan bangunan cagar budaya
dapat dikembangkan menjadi pariwisata daerah O1
2. Adanya rencana pengembangan kawasan Kota Lama sebagai kawasan prioritas Kota Pusaka Tangerang O2
3. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal O3
4. Kota Lama Tangerang dikelilingi 18 atraksi wisata yang umumnya berada di pinggiran Sungai Cisadane O4
Strategi SO 1. Konsistensi terhadap penerapan
RTRW Kota Tangerang untuk mengoptimalkan pengembangan kawasan S1, S2, O2
2. Menggali potensi budaya dan sejarah untuk meningkatkan daya tarik wisata S2,S3, O1, O3
3. Pengembangan pusat budaya, pendidikan dan penelitian S4, O3
4. Pengembangan wisata unggulan dengan mengintegrasikan wisata Sungai Cisadane dan Kota Lama Tangerang S2, S3, O4
Strategi WO 1. Pengaturan insentif dan
disinsentif mengenai pemeliharaan dan pelanggaran di kawasan cagar budaya W1, W2, W3,
W4, W5, O1, O2 2. Melaksanakan sosialisasi sadar
cagar budaya, bisa juga melibatkan stakeholder terkait W6, W7, O1, O3
Kesimpulan Adapun hasil dari penelitian yang telah dilakukan mengenai pelestarian dan pengelolaan kawasan cagar budaya
di Kota Lama Tangerang yaitu:
a. Hasil data serta analisis kebijakan pemerintah mengenai kawasan Kota Lama Tangerang dapat ditarik
kesimpulan yaitu kebijakan daerah pada tingkat provinsi dan kota secara umum memiliki tujuan pada
upaya konservasi. Hierarki antara RTRW dan draft RDTR juga tidak menunjukkan kekonsistensian,
karena RTRW melarang adanya kegiatan yang mengubah fungsi bangunan, sedangkan draft RDTR
mengarahkan adanya kegiatan informal tanpa adanya kajian dampak kegiatan PKL terhadap bangunan
kuno/bersejarah.
b. Hasil data serta analisis dinamika kawasan sekitar dapat ditarik kesimpulan bahwa kegiatan komersial
yang mempengaruhi kawasan secara fisik dan ekonomi adalah kegiatan perdagangan dan jasa modern,
kawasan wisata kuliner dan budi daya sarang burung walet.
c. Hasil data serta analisis potensi kawasan dapat ditarik kesimpulan bahwa bangunan yang tergolong
potensial tinggi adalah Kelenteng Boen Tek Bio dan Masjid, Makam Jami’Kalipasir dan Museum Benteng
Heritage. Adapun skoring penilaian kawasan bersejarah menunjukkan hasil yaitu kawasan Kota Lama
Tangerang termasuk dalam klasifikasi potensi pelestarian kawasan bersejarah tinggi.
Daftar Pustaka [1] Prasetyo, A.S., Fatimah, T. and Padawangi, R. “Perkembangan Kota Lama Tangerang dan Potensinya
sebagai Destinasi Wisata Pusaka”. Vitruvian, 7(1), hlm. 265321, 2017.
[2] Kautsary, J. “Memahami Makna dan Konsep Ruang Kawasan dalam Pengembangan Wisata Budaya
Studi Kasus Pengembangan Wisata Budaya di Pecinan Semarang”. 2016.
[3] Sonoda, S. “History of Raising Self-Awareness and Historiography for Strengthening Connectedness:
The Vancouver Chinese in Multicultural Canada”. Senri Ethnological Studies, 93, hlm.15-48, 2016.
[4] International Council on Monuments and Sites (ICOMOS). “Managing Disaster Risk for World
Heritage”. The World Heritage Centre. Paris. 2010.
[5] Piagam Pelestarian Kota Pusaka. 2013.
[6] Bakar, M.Sc Drs. Sjofjan. “Kelembagaan Pengendalian Pemanfaatan Ruang di Daerah”.
[7] Sulistyo, B. and Anisa, M.F. “Pengembangan Sejarah dan Budaya Kawasan Cina Benteng Kota Lama,
Tangerang”. Planesa, 3(02), hlm. 212920, 2012.
[8] Mandasari J, Latief I. “Revitalisasi Kawasan Kota Lama sebagai Kawasan Wisata di Kota Makassar”.
Temu Ilmiah IPLBI 2013, hlm. 31-4, 2013.