123
VI. DESAIN PROSES PENGOLAHAN KOPI ROBUSTA
DENGAN MODIFIKASI TEKNOLOGI OLAH BASAH
6.1. Pendahuluan
Peningkatan kualitas produksi merupakan salah satu atribut kunci
keberlanjutan agroindustri kopi rakyat. Menurut Herman dan Susila (2003),
perbaikan kualitas dibutuhkan tidak hanya untuk memperbaiki citra kopi
Indonesia, tetapi diharapkan dapat membantu perbaikan harga kopi tingkat petani
sekaligus membangkitkan peran kopi bagi perekonomian Indonesia. Musebe et
al. (2007), mutu kopi ditentukan terutama oleh perlakuan di kebun (40%),
perlakuan pasca panen (40%), dan pengolahan sekunder (20%). Hal ini
menunjukkan bahwa perlakuan pasca panen (pengolahan primer) yang baik dapat
membantu meningkatkan kualitas atau mutu biji kopi.
Metode pengolahan menentukan mutu produk akhir serta memiliki potensi
pencemaran yang berbeda. Penerapan metode olah basah pada proses pengolahan
kopi merupakan salah satu upaya meningkatkan mutu produk akhir, meskipun
memiliki potensi pencemaran cukup besar. Pendekatan produksi bersih pada
proses pengolahan kopi mencakup 3 hal yang saling berhubungan yaitu; (1) lebih
sedikit menggunakan sumber daya alam, (2) lebih sedikit limbah yang
ditimbulkan, dan (3) lebih sedikit pencemar yang dibuang ke lingkungan alamiah.
Upaya untuk mengurangi volume limbah cair atau minimisasi input air proses
pada titik-titik dimana limbah dihasilkan merupakan salah satu tahapan
pencegahan polusi (Theodore dan Mc.Guinn 1992). Pendekatan produksi bersih
juga dilakukan dengan upaya mengurangi emisi yang dihasilkan dari penggunaan
bahan bakar fosil. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan volume air
optimum pada proses pengolahan basah kopi Robusta dengan tetap
mempertahankan mutu kopi. Untuk meminimalkan emisi yang terbuang ke
lingkungan, dievaluasi alternatif penggunaan bahan bakar nabati terhadap tingkat
emisi yang dihasilkan ke lingkungan.
124
6.2. Metode Penelitian
6.2.1. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan adalah data primer dan sekunder. Data primer
berasal dari hasil pengamatan dan perhitungan di lokasi penelitian. Data sekunder
berasal dari literatur dan hasil-hasil penelitian terkait pengolahan kopi.
6.2.2. Variabel yang diamati
Variabel yang diamati meliputi; volume input dan output per perlakuan
dalam tahapan proses pengolahan kopi (neraca massa), mutu fisik, dan cita rasa
(cup test) biji kopi yang dihasilkan per perlakuan dan emisi proses pengolahan
kopi dan kebutuhan peralatan pendukung.
6.2.3. Metode Analisis Data
Modifikasi teknologi pada proses pengolahan kopi basah dilakukan
berdasarkan proses pengolahan basah yang telah dilakukan oleh Mulato et al.
(2006). Adapun tahapan analisis data adalah sebagai berikut;
1. Melakukan identifikasi tahapan proses pengolahan kopi modifikasi olah
basah yang berpotensi menyumbangkan limbah/emisi.
2. Menentukan desain perlakuan minimisasi air (volume air) pada proses
pengolahan kopi berdasarkan hirarki pencegahan pencemaran (Theodore dan
Mc Guinn 1992). Volume air ditentukan berdasarkan Mulato et al. (2006)
yaitu volume air pengupasan dan pencucian tidak lebih dari 3 m3 dan 6 m
3 per
ton buah kopi. Ulangan perlakuan dilakukan sebanyak 3 kali (triplicate).
3. Melakukan analisis nerasa massa pengolahan kopi dengan minimisasi air
(Himmelblau 1982).
4. Mengukur emisi yang dihasilkan dari mesin pengupasan (pulper) dan
pencucian (washer) yang menggunakan bahan bakar solar dan biodiesel.
5. Melakukan analisis mutu fisik biji kopi dan cita rasa seduhan (cup test).
Mutu fisik biji kopi berdasarkan persyaratan mutu dalam SNI 01-2907-2008.
Uji cita rasa seduhan (cup test) dilakukan oleh panelis ahli dan terlatih dari
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia.
Secara umum rangkaian rancangan penelitian desain proses pengolahan
kopi dengan modifikasi teknologi disajikan pada Gambar 35.
125
Sortasi
rambang
Buah kopi petik
merah
Buah merah terpilih
Pengupasan
buah Pulp+Limbah cair
Biji kopi berkulit tanduk
Fermentasi
kering
Pencucian
Biji kopi berkulit tanduk
Pengeringan
Kopi HS
Pengupasan
kulit tanduk
Kopi HS
Kopi beras
(green coffee)
Penanganan limbah
cair (anaerobik,
koagulasi dan filtrasi)
Penggunaan air ulang
Analisis:
1. Mutu fisik
2. Cita rasa seduhan
Analisis limbah cair
Alternatif bahan bakar :
1. Solar,
2. Biodiesel
Emisi
Pulp+Limbah cair
Emisi
Input air pengupasan
dengan perlakuan
volume
Air pencucian
dengan perlakuan
volume
Alternatif
bahan bakar
Analisis emisi
Analisis emisi
Deskripsi:
Rancangan volume air pengupasan (m3.ton
-1 buah kopi):
K1 : 1,44–1,48 (50%) K2 : 0,73–0,78 (74%) K3 : 0,23–0,28 (90%)
Rancangan volume air pencucian (m3.ton
-1 buah kopi):
1. C1 : 2,25–2,27 (57%) C2: 1,54–1,81 (70%) C3: 1,09–1,13 (81%)
2. C4 : 4,81–5,93 (0%) C5: 3,67–3,85 (35%) C1 (57%) C2 (70%)
Kulit tanduk+kulit ari
Gambar 35 Rancangan penelitian modifikasi teknologi olah basah pada proses
pengolahan kopi Robusta
6.3. Hasil dan Pembahasan
6.3.1. Minimisasi Air Pada Proses Pengolahan Kopi Modifikasi Olah Basah
Pengolahan basah merupakan perbaikan proses pengolahan kering.
Penggunaan air pada proses pengolahan dengan modifikasi olah basah adalah; (1)
sebagai media untuk mengklasifikasi kualitas buah kopi melalui sortasi rambang,
(2) media pengaliran buah kopi untuk memudahkan proses pengupasan buah
(pulping), dan (3) untuk membersihkan biji kopi dari lendir yang terdegradasi
(washing) setelah proses fermentasi sekaligus mencegah proses fementasi berlebih
(over fermentation). Upaya minimisasi input air merupakan bagian dari upaya
penerapan produksi bersih pada proses kopi olah basah. Upaya meminimalkan air
proses diharapkan dapat mengurangi pencemaran lingkungan akibat limbah cair
sekaligus meningkatkan mutu kopi rakyat. Penerapan teknologi bersih mengacu
pada konsep 3R (reduce, reuse, and recycle) pada keseluruhan aliran proses
pengolahan. Untuk memperkirakan titik-titik dimana limbah dihasilkan serta
besaran polutan pada perlakuan minimisasi air proses pengolahan kopi digunakan
126
diagram alir neraca massa. Neraca massa juga dapat digunakan untuk
mengevaluasi konsumsi sumberdaya dan pembangkitan limbah produk ataupun
proses.
Tahapan proses pengolahan kopi olah basah dengan modifikasi meliputi
proses sortasi rambang untuk buah kopi merah, proses pengupasan kulit buah
(pulping), fermentasi kering, pencucian biji kopi (washing), pengeringan biji kopi
secara mekanis, dan pengupasan kulit tanduk dan kulit ari pada kopi HS. Potensi
limbah cair terutama dihasilkan dari tahapan proses sortasi rambang, pengupasan
buah (pulping) dan pencucian biji kopi (washing). Potensi limbah padat
dihasilkan dari tahapan proses pengupasan buah, pencucian biji kopi, dan
pengupasan kulit kopi HS (hulling).
a. Sortasi
Proses sortasi pada pengolahan kopi dapat dilakukan melalui 3 tahapan,
yaitu (1) sortasi sejak di kebun yang dikenal dengan pemetikan selektif untuk
memilih buah kopi yang telah masak, (2) sortasi ukuran menggunakan grader
apabila diinginkan buah kopi dengan ukuran tertentu yang seragam, (3) sortasi
rambang untuk memisahkan buah kopi merah kualitas baik dari buah kopi kualitas
rendah dan kotoran yang terikut. Sortasi warna sangat ditentukan oleh cara
pemanenan (Gambar 36). Sortasi kelas membantu pengaturan ukuran celah
mesin pada proses pengupasan. Sortasi rambang bertujuan untuk memisahkan
buah kopi superior (baik) dengan kopi rambang yang inferior (jelek).
Bercampurnya kopi inferior dengan buah kopi superior akan menurunkan mutu
fisik dan cita rasa. Pemilihan kopi merah merupakan syarat awal untuk
mendapatkan kopi superior pada pengolahan basah. Buah kopi superior adalah
buah kopi yang masak, bernas dengan ukuran cenderung seragam. Buah kopi
inferior adalah buah kopi yang cacat, hitam, pecah, berlubang, atau tercampur
daun, ranting, atau tanah.
Pada tahap sortasi, limbah yang dihasilkan berupa kotoran dan buah
campuran kuning-hijau yang masih memiliki nilai produk melalui pengolahan
kering. Buah kopi setelah dipanen sebaiknya langsung dibawa ke sentra
pengolahan dan diproses agar tidak terjadi kerusakan buah yang dapat
127
mempengaruhi mutu biji. Air yang digunakan untuk sortasi rambang dapat
digunakan kembali pada proses pulping sehingga limbah cair dapat dihindari.
Kuning Hijau MerahMerah
Kehitaman
Gambar 36 Buah kopi petik
Minimisasi air pada proses pengolahan kopi dengan modifikasi olah basah
dilakukan berdasarkan volume air per ton buah kopi yang dapat diolah. Adapun
volume air dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan pengaturan kran air
pengaliran. Penelitian perlakuan minimisasi air dibatasi pada tahap proses
pengupasan buah (pulping) dan pencucian biji kopi (washing).
b. Minimisasi Air Proses Pengupasan (Pulping)
Pulping meliputi pengupasan bagian kulit luar berwarna merah (exocarp)
dan lapisan pulp putih (mesocarp) serta pemisahan antara pulp dan biji. Buah
kopi yang belum matang berwarna hijau dan keras akan sangat sulit dikupas.
Prinsip pengupasan daging buah secara mekanik menggunakan mesin (pulper)
adalah dengan cara menekan buah di antara permukaan yang diam dan bergerak.
Daging dan kulit buah akan terpisah ke satu sisi, sedangkan biji yang masih
terselubung lapisan berlendir dan kulit tanduk (parchment) menuju ke sisi lain.
Pengaturan jarak diperlukan untuk mencegah biji pecah dan hasil kupasan lebih
bersih. Penyemprotan air ke dalam silinder bersama buah kopi merah diusahakan
tidak lebih dari 3 m3 per ton buah kopi. Penggunaan air dibutuhkan untuk
membantu pengaliran buah kopi ke dalam silinder pulper sekaligus membersihkan
lapisan lendir (Mulato et al. 2006).
Rancangan perlakuan minimisasi air input pada proses pengupasan buah
kopi (K) dilakukan antara 0,237 – 1,480 m3/ton buah kopi atau 50-90% penurunan
dari volume standar dengan pengaliran berikut:
a. 0,237 m3 – 0,287 m
3/ton buah kopi (90%) perlakuan K3 (debit 0,0618 l/det),
b. 0,731 m3 – 0,784 m
3/ton buah kopi (74%) perlakuan K2 (debit 0,2232 l/det),
c. 1,441 m3 – 1,480 m
3/ton buah kopi (50%) perlakuan K1 (debit 0,2843 l/det).
128
Perlakuan K1 menjadi kontrol sebagai pengaliran air yang umum diterapkan di
Puslitkoka dalam upaya meminimalkan air proses pengupasan.
1 – drum berputar
2 – piringan pemeras
3 – piringan pemisah
4 – bak penampung
5 – buah kopi
6 – biji kopi
7 – pulp kopi Gambar 37 Mesin pengupas buah kopi (Pulper)
Sumber: Schumacher Centre for Technology & Development, UK, Tanpa Tahun
Proses pengupasan buah dengan perlakuan meminimalkan air menghasilkan
biji kopi berkulit tanduk dengan kadar air 65-72%. Limbah yang dihasilkan
berupa limbah cair dan daging buah (pulp). Pulp kopi yang dihasilkan pada
tahapan ini cukup besar hingga 50% dari total berat buah kopi yang dikupas. Biji
kopi yang dihasilkan dari proses pengupasan ini memiliki kadar air rata-rata
77,4%. Volume limbah cair yang dihasilkan lebih kecil dibandingkan volume air
yang masuk ke dalam proses karena terdapat air yang terikut bersama pulp dan
biji kopi. Untuk mengetahui pengaruh minimisasi air terhadap proses pengupasan
dilakukan analisis varian dan uji lanjut Duncan.
Buah merah terpilih
(1 ton)
Pengupasan
buah (pulping)
Air 0,23 – 1,48 m3/ton Limbah cair (0,04 – 1,14) m
3/ton
Pulp (0,33 – 0,57 ton)
Kadar air 59 – 70%
Biji kopi HS basah (0,70 – 0,81) ton
Kadar air 65 – 72%
Gambar 38 Neraca massa proses pengupasan
Berdasarkan hasil analisis varian dan uji lanjut Duncan, perlakuan
minimisasi air pada proses pengupasan memiliki pengaruh signifikan terhadap
volume limbah cair yang dihasilkan. Perlakuan minimisasi air tidak berpengaruh
secara nyata terhadap pulp dan biji HS yang dihasilkan. Akan tetapi, volume air
minimum (90%) menghambat pemisahan antara biji dan pulp, sehingga masih
129
terdapat buah kopi yang tidak terkupas setelah proses. Selain itu dalam
pelaksanaan penelitian, volume air minimum ternyata mempengaruhi kinerja
mesin pengupasan (pulper) yang membutuhkan kajian lebih lanjut. Berdasarkan
hasil uji lanjut Duncan, penggunaan air input minimal dapat dilakukan pada debit
0,223 l/det atau setara dengan rata-rata volume air 0,784 m3/ton buah (minimisasi
air 74%).
Tabel 13 Hasil uji lanjut Duncan pada proses pengupasan
Perlakuan Pengupasan (per 50 kg buah kopi)
(% penurunan) Limbah cair (kg) Pulp (kg) Biji HS (kg)
K1 (50%) 57,00b 28
ab 39
ab
K2 (74%) 20,70a 28,25
ab 38,75
ab
K3 (90%) 10,84a 16,5
a 37,00
a
K1 (50%) 56,15b 27,00
ab 40,75
ab
K2 (74%) 20,35a 27,00
ab 39,75
ab
K3 (90%) 6,59a 20,25
a 35,00
a
K1 (50%) 53,8b 27,75
ab 40,5
ab
K2 (74%) 20,06a 26,5
ab 40,0
ab
K3 (90%) 2,05a 23,75
a 37,50
a
Pengupasan mekanik masih meninggalkan residu di permukaan kulit tanduk.
Residu ini harus dibuang seluruhnya untuk mencegah kontaminasi biji kopi oleh
bahan yang akan dihasilkan dari proses degradasi lendir. Proses fermentasi
dilakukan untuk menghilangkan lapisan lendir tersebut.
c. Fermentasi
Menurut Ciptadi dan Nasution (1985); Siswoputranto (1992), fermentasi
bertujuan untuk menghilangkan lapisan lendir yang tersisa di permukaan kulit
tanduk biji kopi melalui penguraian senyawa-senyawa dalam lendir oleh bakteri.
Proses fermentasi juga dimaksudkan untuk membentuk unsur-unsur citarasa khas
dari kopi. Fermentasi dapat dilakukan selama 12 hingga 24 jam. Menurut Mulato
et al. (2006), fermentasi kering dilakukan pada modifikasi proses olah basah
untuk menghemat air dengan cara menumpuk biji kopi HS basah dalam suatu bak
yang kemudian ditutup karung goni. Suhu awal fermentasi adalah 29 oC dan akan
meningkat di akhir fermentasi mencapai 31oC. Fermentasi berakhir saat lendir
sudah tidak menempel pada biji yaitu setelah 13-15 jam. Pada proses fermentasi
ini, tidak ada perubahan aliran massa yang signifikan. Perubahan yang terjadi
adalah pada karakteristik biji kopi HS.
130
Menurut Clarke dan Macrae (1985), perubahan yang terjadi selama proses
fermentasi biji kopi adalah sebagai berikut;
1. Pemecahan komponen mucilage (lendir). Bagian yang terpenting dari lapisan
berlendir ini adalah komponen protopektin yang merupakan kompleks tak
larut. Material inilah yang pecah pada saat proses fermentasi akibat
bekerjanya suatu enzim sejenis katalase yang akan memecah protopektin
dalam buah kopi.
2. Pemecahan gula. Kadar gula akan meningkat dengan cepat selama proses
pematangan buah dengan meningkatnya rasa manis. Oleh karena itu kadar
gula dalam daging biji akan mempengaruhi konsentrasi gula dalam lendir
beberapa jam setelah fermentasi. Hasil dari proses pemecahan gula adalah
asam laktat dan asam asetat, dengan kadar asam laktat yang lebih besar.
Asam-asam lain yang dihasilkan dari proses fermentasi adalah etanol, asam
butirat dan propionat.
3. Perubahan warna kulit. Biji kopi yang telah terpisahkan dari pulp akan
menyebabkan kulit ari berwarna coklat. Jaringan daging biji akan berwarna
sedikit kecoklatan, yang semula berwarna abu-abu atau abu-abu kebiruan.
Proses pencoklatan ini terjadi akibat oksidasi polifenol yang dapat dicegah
dengan menggunakan pemakaian air pencucian yang bersifat alkalis.
Biji kopi HS basah (0,70 – 0,81 ton)
Fermentasi
kering
Biji kopi HS basah (0,70 – 0,81 ton)
Kadar air 65 – 72%
Kadar air 64 – 72%
Gambar 39 Neraca massa proses fermentasi
Akhir dari proses fermentasi ditetapkan secara visual, dimana biji kopi
kehilangan tekstur halusnya dan terasa lebih kasar. Menurut Chanakya dan de
Alwis (2004), lapisan lendir (mucilage) yang licin pada biji kopi memiliki
ketebalan lebih kurang 1,5 mm, dan tembus pandang. Metode fermentasi dan
pencucian dengan pengausan (washing) merupakan kombinasi metode yang
131
paling populer untuk menghilangkan lapisan lendir. Adapun biji kopi yang
dihasilkan disebut kopi kulit (HS).
d. Minimisasi Air Proses Pencucian (Washing)
Perlakuan minimisasi air pada proses pencucian dilakukan melalui 2
tahapan pada masa panen yang berbeda yaitu di tahun 2009 (tahap 1) dan tahun
2010 (tahap 2). Minimisasi air pada tahap 1 terutama ditujukan untuk mengetahui
kebutuhan air minimum, pengaruhnya terhadap neraca massa proses dan mutu
hasil pengolahan. Uji mutu yang dilakukan pada tahap ini hanyalah uji mutu
fisik. Signifikansi pengaruh diukur berdasarkan uji statistik (analisis varian dan
uji lanjut Duncan). Berdasarkan perlakuan tahap 1 dapat dilakukan minimisasi air
tahap 2. Minimisasi air tahap 2 terutama dilakukan untuk mengetahui perbedaan
mutu biji dari hasil perlakuan minimum dan perlakuan air pencucian yang biasa
diterapkan pada proses pengolahan kopi. Pada perlakuan minimisasi air tahap 2
juga dilakukan perbandingan dengan biji kopi hasil olah kering yang berasal dari
tempat berbeda. Signifikansi pengaruh minimisasi tahap 2 diukur berdasarkan uji
mutu fisik dan cita rasa biji kopi.
21
3
5 6
4
1 – aliran air
2 – biji kopi HS
3 – sirip pencuci berputar
4 – silinder berlubang horisontal
5 – lendir + kotoran bersama air
6 – biji kopi HS yang sudah bersih
Gambar 40 Mesin pencuci biji kopi (washer)
Pencucian (washing) dilakukan setelah fermentasi untuk menghilangkan
sisa lendir yang masih menempel di kulit tanduk dengan bantuan mesin pencuci
(washer). Biji kopi HS dimasukkan ke dalam corong silinder secara kontinyu
yang disertai semprotan aliran air ke dalam silinder. Sirip pencuci yang berputar
mengangkat massa biji kopi ke permukaan silinder. Sisa-sisa lendir pada
permukaan kulit tanduk akan terlepas dan tercuci oleh aliran air. Kotoran akan
132
menerobos lewat lubang-lubang pada dinding silinder dan massa biji yang sudah
bersih terdorong oleh sirip pencuci ke arah ujung pengeluaran silinder (Gambar
40).
d.1. Minimisasi Air Pencucian Tahap 1.
Proses pengaliran air pada mesin pencuci tipe kontinyu menggunakan 2
aliran air dari atas bersamaan dengan pemasukan biji kopi HS dan aliran dari
lubang bawah yang membantu sirip pencuci. Sebagaimana proses pengupasan,
minimisasi air proses juga dilakukan pada tahap pencucian dengan kisaran air
pencucian tahap 1 antara 1,093 – 2,561 m3/ton buah kopi. Volume air rata-rata
perlakuan minimisasi proses pencucian (C) adalah sebagai berikut;
a. 1,093 m3 – 1,131 m
3/ ton buah kopi (81%) perlakuan C3 (debit air 0,1491 l/det)
b. 1,542 m3 – 1,806 m
3/ton buah kopi (70%) perlakuan C2 (debit air 0,2344 l/det )
c. 2,256 m3 – 2,561 m
3/ton buah kopi (57%) perlakuan C1 (debit air 0,3042 l/det).
Berdasarkan minimisasi air pencucian tahap 1 ini dilakukan analisis neraca
massa dan analisis varian untuk mengetahui volume dan pengaruh perlakuan
terhadap limbah dan biji kopi HS yang dihasilkan.
Pencucian
Biji kopi HS
Air 1,09 – 2,56 m3/ton
Limbah cair + lendir (1,34 – 2,57) m3/ton
Pulp (0,01 – 0,03) ton
Biji Kopi HS (0,47 – 0,51) ton
Kadar air 50 – 60%
Kadar air 64 – 72%
Gambar 41 Neraca massa proses pencucian
Kadar air biji kopi HS setelah proses pencucian sebesar 50 – 60%. Hal ini
diperkirakan karena biji kopi telah bersih dari lendir yang terdegradasi selama
fermentasi. Lendir yang semula menempel pada permukaan biji kopi HS
dialirkan bersama-sama limbah cair dan pulp yang masih terikut sejak proses
pengupasan. Pulp yang dihasilkan pada tahap ini sangat sedikit (1,92%). Limbah
cair yang dihasilkan dari proses pencucian cenderung lebih kental dibandingkan
limbah cair proses pengupasan karena kandungan lendir dalam jumlah dominan.
133
Biji kopi HS pada tahap pencucian telah berkurang hingga rata-rata 50% dari total
buah kopi yang digunakan.
Berdasarkan hasil analisis varian dan uji lanjut Duncan, perlakuan
minimisasi air proses pencucian menunjukkan perbedaan signifikan pada volume
limbah cair yang dihasilkan. Volume limbah cair yang dihasilkan akan menurun
seiring minimisasi air proses. Tahap pencucian merupakan salah satu titik
terjadinya pencemaran karena adanya limbah cair bercampur lendir (mucilage)
dan pulp (sisa kulit kopi) yang dihasilkan. Meskipun volume limbah cair
menurun seiring perlakuan minimisasi air, tetapi diperkirakan terjadi peningkatan
konsentrasi polutan. Perlakuan minimisasi air menunjukkan bahwa volume
limbah cair tidak berbeda secara signifikan antara perlakuan C2 dan C3.
Meskipun demikian penentuan kelayakan minimisasi air akan ditentukan oleh
mutu biji kopi. Interaksi perlakuan pengupasan dan pencucian akan menentukan
mutu biji kopi akhir.
Tabel 14. Hasil uji lanjut Duncan proses pencucian
Perlakuan
(% penurunan) Pencucian
Limbah cair (kg) Pulp (kg) Biji HS (kg)
K1C1(57%) 134,05b
0,6a
23,50a
K2C1(57%) 132,78b
1,23a
24,25a
K3C1(57%) 133,125b
0,925a
24,00a
K1C2(70%) 107,70a
1,05a
25,50a
K2C2(70%) 104,125a
0,875a
25,50a
K3C2(70%) 114,975ab
1,225a
23,50a
K1C3(81%) 80,5a
1a
26,25a
K2C3(81%) 91,725a
0,975a
25,50a
K3C3(81%) 87,775a
0,775a
25,50a
d.2. Minimisasi Air Pencucian Tahap 2
Perlakuan minimisasi air tahap 2 dilakukan setelah diketahui hasil mutu
fisik biji kopi dari perlakuan tahap 1. Tujuan minimisasi air pencucian tahap 2
adalah untuk mengetahui pengaruh minimisasi air lanjutan terhadap mutu fisik
dan cita rasa biji kopi. Pada perlakuan pencucian, volume air proses pengupasan
buah kopi diupayakan konstan antara 0,731 – 0,784 m3/ton (K2=74%) dengan
volume air pencucian rata-rata sebagai berikut;
a. 4,809 – 5,933 m3/ton buah kopi untuk perlakuan C4 (0%).
b. 3,678 – 3,853 m3/ton buah kopi untuk perlakuan C5 (35%).
134
c. 2,256 – 2,561 m3/ton buah kopi yang sama dengan perlakuan C1 (57%).
d. 1,542 – 1,806 m3/ton buah kopi yang sama dengan perlakuan C2 (70%)
Pada tahap perlakuan ini juga dilakukan análisis terhadap buah kopi yang
berasal dari periode panen rampasan dan biji kopi hasil pengolahan kering. Biji
kopi hasil perlakuan olah basah dan olah kering dari Kebun Kaliwining milik
Puslitkoka juga dibandingkan dengan biji kopi hasil olah basah dan olah kering
yang berasal dari perkebunan kopi rakyat KUPK Desa Sidomulyo. Menurut
Ciptadi dan Nasution (1985); Mulato et al.(2006), perlakuan saat panen dapat
mempengaruhi mutu kopi, dimana buah kopi yang dipanen saat panen rampasan
diperkirakan memiliki karakteristik mutu berbeda dengan buah kopi yang dipanen
saat panen raya. Adapun kopi olah basah Sidomulyo dicuci dengan volume air ±
7 m3/ton dan proses fermentasi yang tidak sepenuhnya fermentasi kering,
terkadang direndam dalam bak semen dengan volume air tertentu. Kopi olah
basah Sidomulyo mengalami pengeringan alami dengan sinar matahari,
sebaliknya kopi olah basah Kaliwining menggunakan pengering mekanis.
Biji kopi HS yang dihasilkan dari proses pencucian merupakan biji kopi
olah basah yang masih berkadar air rata-rata 60%. Hal ini sesuai pernyataan
Chanakya dan De Alwis (2004), bahwa setelah proses pencucian biji kopi harus
mendapat perlakuan pengeringan karena berkadar air antara 55-60%.
e. Pengeringan
Pengeringan dapat dilakukan melalui penjemuran dengan sinar matahari
ataupun menggunakan pengering mekanis hingga kadar air mencapai maksimal
12% (SNI 01-2907-2008). Apabila menggunakan pengering mekanis berbahan
bakar kayu pada suhu 50o - 60
o C, lama pengeringan rata-rata sekitar 3 - 4 hari (50
jam secara teoritis dengan suhu di awal proses suhu 60 – 70o). Pengeringan
cenderung lebih lama berlangsung pada biji kopi yang berasal dari perlakuan air
proses minimum. Biji kopi HS yang dihasilkan dari proses pengeringan telah
menurun hingga 24% dari total buah kopi gelondong yang diproses. Penguapan
air dihitung berdasarkan neraca massa mencapai 31% dari volume biji kopi HS
sebelum pengeringan.
135
Pengeringan
Biji kopi HS (0,47 – 0,51) ton
Biji kopi HS (0,21 – 0,24) ton
Uap air (0,25 – 0,31) ton
Kadar air 50 – 60%
Kadar air 12 – 12,5%
Gambar 42 Neraca massa proses pengeringan
Penjemuran sinar matahari umumnya dilakukan selama 8 hingga 10 hari,
tergantung temperatur udara dan kelembaban. Pengeringan dengan sinar matahari
dapat dilakukan di atas semen datar. Biji dihamparkan setebal 2 sampai 10 cm,
dan dibalik secara berkala untuk menjamin biji menjadi kering sempurna. Pada
saat puncak periode pemanenan, penggunaan pengering mekanis sangat
membantu. Meskipun demikian, proses ini harus dikontrol dengan hati-hati untuk
mendapatkan kekeringan yang memuaskan dan murah secara ekonomis tanpa
merusak kualitas.
Secara visual, biji kopi kering hasil olah basah memiliki penampilan lebih
baik daripada biji kopi kering hasil olah kering. Biji kopi olah basah cenderung
berwarna lebih terang dan bersih. Biji kopi hasil olah basah setelah disangrai juga
akan memiliki warna agak putih pada alur di tengah keping bijinya.
Biji WP Kebun Kaliwining Biji DP Kebun Kaliwining
Gambar 43 Perbandingan visual biji kopi HS hasil olah basah dan olah kering Keterangan: WP : wet process (olah basah)
DP ; dry process (olah kering)
f. Pengupasan Kulit Tanduk (Hulling)
Setelah pengeringan, proses pengupasan kulit tanduk (hulling) dapat
dilanjutkan atau kopi HS disimpan hingga saatnya diekspor. Output proses
hulling berupa biji kopi beras (green bean), kulit tanduk, dan kulit ari. Untuk
mencapai keseragaman dan meningkatkan efisiensi pengupasan, sebaiknya
dilakukan sortasi ukuran terlebih dahulu sebelum proses hulling. Pada tahap
136
pengupasan dimungkinkan terjadinya kehilangan massa karena kulit ari biji kopi
yang keluar dari sistem dalam jumlah minimum. Persentase kulit tanduk dan kulit
ari yang dihasilkan dari proses pengupasan ini dapat mencapai 5% dari total buah
kopi gelondong yang diproses. Kulit tanduk dan kulit ari masih memiliki nilai
tambah ekonomis jika dimanfaatkan. Rata-rata persentase biji kopi beras yang
dihasilkan pada proses pengolahan modifikasi olah basah ini adalah 18-19%.
Pengupasan kering
kulit kopi HSKulit tanduk & kulit ari (0,03 – 0,05) ton
Biji Kopi HS (0,21 – 0,24) ton
Kopi beras (0,18 – 0,19) ton
Kadar air 12 – 12,5%
Gambar 44 Neraca massa proses hulling
Berdasarkan perhitungan neraca massa rata-rata dapat diketahui rata-rata
volume air, limbah cair, dan limbah padat yang dihasilkan melalui perlakuan
minimisasi air proses pengolahan kopi (Tabel 15). Perlakuan minimisasi air
terbukti mampu mengurangi volume limbah cair yang dihasilkan pada proses
pengolahan kopi. Secara umum, neraca massa total hasil perlakuan minimisasi air
tahap pengupasan (pulping) dan pencucian (washing) pada proses pengolahan
kopi dengan modifikasi teknologi disajikan pada Gambar 45.
Tabel 15 Volume air, limbah cair dan limbah padat rata-rata pengolahan kopi
No Perlakuan
(%
minimisasi)
Pengupasan
(satuan/ton buah) Pencucian
(satuan/ton buah) Total air
(m3/ton)
Total pulp
(kg/ton)
Air (m3) Pulp (kg) Air (m
3) Pulp (kg) In Out Out
1 K1C1(58%) 1,480 560,0 2,271 12,0 3,751 3,709 572,0
2 K2C1(67%) 0,754 565,0 2,258 24,6 3,012 2,937 589,6
3 K3C1(72%) 0,287 330,0 2,256 18,5 2,543 2,514 348,5
4 K1C2(67%) 1,478 540,0 1,542 21,0 3,020 2,949 561,0
5 K2C2(73%) 0,742 540,0 1,710 17,5 2,452 2,383 557,5
6 K3C2(77%) 0,237 405,0 1,806 24,5 2,043 2,043 429,5
7 K1C3(72%) 1,441 555,0 1,093 20,0 2,534 2,434 575,0
8 K2C3(79%) 0,731 530,0 1,131 19,5 1,862 1,803 549,5
9 K3C3(85%) 0,266 475,0 1,110 15,5 1,376 1,376 490,5
Sumber limbah padat terbesar dihasilkan pada tahap pengupasan buah kopi
berupa pulp buah kopi yang dapat mencapai 50-60% dari total produksi. Limbah
padat ini juga berpotensi menjadi sumber pencemaran lingkungan, sehingga
137
memerlukan penanganan khusus. Potensi limbah cair terbesar terutama dihasilkan
dari proses pencucian biji kopi setelah fermentasi. Melalui pengurangan air input
pada proses pengolahan kopi diharapkan dapat mengurangi beban pencemaran
dari agroindustri kopi. Beberapa perbandingan penggunaan air untuk proses
pengolahan kopi di berbagai negara disajikan pada Tabel 16.
Buah merah terpilih
(1 ton)
Pengupasan
buah
Air 0,23 – 1,48 m3/ton Limbah cair (0,04 – 1,14) m
3/ton
Pulp (0,33 – 0,57 ton)
Biji kopi HS basah (0,70 – 0,81) ton
Fermentasi
kering
Pencucian
Biji kopi HS basah
Air 1,09 – 2,56 m3/ton
Limbah cair + lendir (1,34 – 2,57) m3/ton
Pulp (0,01 – 0,03) ton
Pengeringan
Biji kopi HS basah (0,47 – 0,51) ton
Pengupasan kering kulit
kopi HSKulit tanduk & kulit ari (0,03 – 0,05) ton
Biji kopi HS (0,21 – 0,24) ton
Biji kopi beras (0,18 – 0,19) ton
Uap air (0,25 – 0,31) ton
Kadar air 50 – 60%
Kadar air 59 – 70%
Kadar air 65 – 72%
Kadar air 64 – 72%
Kadar air 12 – 12,5%
Gambar 45 Neraca massa proses pengolahan kopi perlakuan minimisasi air
0
100
200
300
400
500
600
0,0
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
3,0
3,5
4,0
58 66 67 72 72 73 77 79 85
Pu
lp (k
g)
Vo
lum
e ai
r (m
3/t
on
)
Persentase minimisasi
Pengupasan Pencucian Pulp Kupas Pulp Cuci
Gambar 46 Volume air dan pulp yang dihasilkan pada perlakuan minimisasi
138
Tabel 16 Perbandingan penggunaan air pengolahan kopi di berbagai negara
Pengolahan Kopi Negara Penggunaan air
(m3/ton buah)
Sumber
Semi basah, olah basah India 3 Murthy et al.,(2004)
Olah basah, reuse air proses Kenya 4 – 6 Von Enden &
Calvert, (2002)
Olah basah dan pengolahan
lingkungan (Becolsub)
Colombia 1 – 6 Von Enden &
Calvert, (2002)
Olah basah, reuse dan
recycling air
Papua New
Guinea
4 – 8 Von Enden &
Calvert, (2002)
Semi basah dan olah basah Vietnam 4 – 15 Von Enden &
Calvert, (2002)
Olah basah tradisional Vietnam 20 Von Enden &
Calvert (2002)
Olah basah tradisional Vietnam 14 -17 Deepa et al. (2000)
Semi basah, pengupasan
mekanis (demucilager)
Brazil 4 De Matos et al
(2001)
Semi basah, pengupasan
mekanis (demucilager)
Mexico 3 - 4 Mendoza & Rivera
(1998)
Olah basah tradisional Nicaragua 16 Biomat (1992)
Olah basah, reuse air Nicaragua 11 Grendelman (2006)
Olah basah tradisional Indonesia 16 - 18 Yahmadi (1972)
Limbah padat (pulp) yang dihasilkan dari perlakuan minimisasi air pada
proses pengupasan menunjukkan tren sama dengan volume air proses (Gambar
46). Semakin sedikit air yang digunakan, semakin sedikit pulp yang keluar ke
penampungan. Pulp tidak terkupas sempurna dan terbawa ke penampungan biji
kopi. Sebaliknya perlakuan minimisasi air proses pencucian tidak mempengaruhi
volume limbah padat, karena pulp yang dihasilkan adalah sisa proses pengupasan
yang terbawa oleh air dan lendir. Hasil ini mendukung analisis varian dan uji
lanjut Duncan pada masing-masing proses.
Berdasarkan hasil analisis varian dan uji lanjut Duncan volume air minimum
yang dapat diterapkan pada proses pengolahan kopi adalah perlakuan K2 untuk
proses pengupasan dan C2 untuk proses pencucian. Kombinasi perlakuan K2C2
membutuhkan total volume air proses rata-rata adalah 2,452 m3/ton buah kopi
atau persentase minimisasi air total sebesar 73%. Dengan demikian nilai ini
masih lebih rendah dibandingkan total volume air yang dibutuhkan pada proses
pengolahan basah di Vietnam, India, Kenya, Papua New Guinea, dan Nicaragua.
Meskipun demikian analisis mutu fisik biji kopi hasil perlakuan dibutuhkan untuk
mengetahui pengaruh lebih lanjut perlakuan minimisasi air.
139
6.3.2. Analisis Mutu Biji Kopi
Karakteristik bahan baku biji kopi yang diamati pada penelitian ini meliputi
kadar air, ukuran biji, mutu fisik dan cita rasa. Analisis mutu fisik biji kopi
dilakukan pada 2 tahapan perlakuan penelitian, yaitu: (a) analisis mutu fisik hasil
perlakuan tahap pertama yaitu minimisasi air proses pengupasan dan pencucian,
(b) analisis mutu fisik dan cita rasa (cup test) hasil perlakuan tahap kedua yaitu
minimisasi air proses pencucian dibandingkan dengan biji kopi olah kering dan
biji kopi hasil pengolahan rakyat. Pengujian mutu fisik biji kopi mengacu pada
SNI No.01-2907-2008 yang dikeluarkan oleh Badan Standarisasi Nasional untuk
menetapkan penggolongan dan persyaratan mutu fisik biji kopi Robusta. Uji cita
rasa kopi (cup test) dilakukan oleh panelis ahli dan terlatih yang telah
berpengalaman dan bersertifikasi dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia.
Biji kopi olah kering dan biji kopi olah basah dari Kebun Sidomulyo
dianalisis sebagai kontrol perlakuan pengolahan yang dilakukan rakyat. Masing-
masing sampel biji kopi HS dan gelondong kering diambil sebanyak ± 1,5 - 2 kg
untuk pengujian mutu fisik dan uji cita rasa (cup test). Biji kopi HS dan
gelondong kering yang telah melalui proses penjemuran dikupas menggunakan
huller, kemudian masing-masing perlakuan diambil sampel sebanyak 300 kg
untuk pengujian mutu fisik. Setelah dilakukan pemisahan biji cacat pada uji mutu
fisik, biji kopi disangrai untuk seterusnya dilakukan uji cita rasa (cup test).
Berdasarkan hasil pengukuran, biji kopi yang berasal dari Kebun Kaliwining
dan Kebun Rakyat Sidomulyo termasuk kategori kecil. Kadar air biji kopi hasil
perlakuan minimisasi dan biji kopi olah basah yang berasal dari Kebun Sidomulyo
diusahakan berada pada kisaran 12%. Kadar air merupakan salah satu sifat fisik
yang akan mempengaruhi mutu kopi, berkaitan dengan daya simpan untuk
mencegah perubahan warna, tumbuhnya jamur, dan mikroorganisme lainnya.
Perlakuan minimisasi air tidak menunjukkan perbedaan kadar air secara
signifikan.
Menurut Wibowo (1985), kadar air 12% dengan toleransi 1% merupakan
batasan yang dapat menjamin keamanan selama penyimpanan karena pada kondisi
tersebut pertumbuhan jamur minimal. Kadar air aman untuk penyimpanan adalah
11,62% pada suhu 30oC atau 11,24% pada suhu 35
oC (Atmawinata 1995).
140
Sebaliknya biji dengan kadar air lebih rendah daripada 9% (terlalu kering) akan
menyebabkan kerusakan cita rasa dan warna (Sivetz dan Desrosier 1979).
Dengan demikian, untuk menjamin kemantapan penyimpanan biji kopi, akan lebih
baik apabila pengeringan dilakukan hingga kadar air biji kopi maksimum sebesar
11%.
Berdasarkan SNI 01-2907-2008 (BSN 2008), cacat kopi adalah; (a) adanya
benda asing yang bukan berasal dari kopi, (b) adanya benda asing yang bukan biji
kopi, seperti potongan kulit kopi, (c) bentuk biji yang tidak normal dari segi
kesatuannya (integritasnya), (d) biji yang tidak normal dari visualisasinya seperti
biji hitam, dan (e) biji yang tidak normal yang menyebabkan cacat rasa setelah
disangrai dan diseduh. Wibowo (1985) membagi jenis cacat atau kerusakan biji
kopi menjadi (1) kerusakan sejak dari kebun, (2) kerusakan selama pengolahan,
dan (3) adanya benda asing yang bukan biji kopi. Adapun hasil penelitian ini
disajikan pada uraian berikut.
a. Analisis Mutu Fisik Biji Kopi Minimisasi Tahap 1.
Minimisasi air proses pengupasan dan pencucian berpengaruh signifikan
terhadap volume limbah cair yang dihasilkan. Volume air proses pengupasan
sebaiknya dilakukan antara 0,731–0,784 m3/ton buah kopi (74%) karena
berpengaruh terhadap jumlah biji dan proses pengupasan. Perlakuan minimisasi
pencucian tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah biji dan limbah padat yang
dihasilkan. Akan tetapi diperkirakan berpengaruh terhadap mutu biji kopi.
Minimnya air pada proses pengupasan diperkirakan mempengaruhi kinerja
pulper untuk memisahkan pulp dan biji kopi sehingga jumlah biji cacat
meningkat. Demikian pula pada proses pencucian dimana air sangat dibutuhkan
untuk menghilangkan lendir yang menempel pada biji kopi. Apabila air yang
digunakan sangat sedikit, lendir tidak sepenuhnya tercuci sehingga mempengaruhi
kebersihan biji kopi. Dengan demikian apabila total air pengupasan dan
pencucian semakin sedikit, akan memperbesar nilai cacat.
Mutu fisik biji kopi hasil perlakuan minimisasi air pada proses pengupasan
dan pencucian berada pada kelas mutu 4 dan 5 (SNI 01-2907-2008). Kelas mutu
4A memiliki jumlah nilai cacat maksimum 45 – 60. Kelas mutu 4B memiliki
jumlah nilai cacat maksimum 61 – 80. Kelas mutu 5 memiliki jumlah nilai cacat
141
maksimum 81 – 150. Perlakuan minimisasi air pada proses pengupasan dan
pencucian menunjukkan terjadinya penurunan mutu pada persentase minimisasi
air sebesar 77, 79, dan 85% (Gambar 47).
Tabel 17 Mutu fisik biji kopi perlakuan proses pengupasan dan pencucian
No Jenis Cacat Jumlah Nilai Cacat
Persentase Minimisasi Air 58% 67% 72% 66% 73% 77% 72% 79% 85%
1 1 biji hitam 4 9 10 12 7 9 5 9 8
2 1 biji hitam sebagian 6,5 5 7,5 3 5 4 4 5 4,5
3 1 biji hitam pecah 0 4 8,5 1 5 6,5 6 7,5 9
4 1 kopi gelondong 10 10 20 8 11 27 11 16 28
5 1 biji coklat 1,75 1,25 1,75 3 3,5 5 5,5 5 8,75
6 1 kulit kopi ukuran besar 2 0 1 0 0 3 4 3 4
7 1 kulit kopi ukuran sedang 3 4 6 2,5 4 9 4 7,5 4
8 1 kulit kopi ukuran kecil 2,4 2,6 4 2,4 5,6 7 7,4 9 18
9 1 biji berkulit tanduk 5 5,5 6,5 4,5 7.5 12,5 12 12,5 17,5
10 1 kulit tanduk ukuran besar 0 0 0 0 0 0,5 0,5 0,5 4,5
11 1 kulit tanduk ukuran sedang 0 0 0 0 0,4 0,4 0,2 0,2 2,6
12 1 kulit tanduk ukuran kecil 0 0 0,1 0,4 0,2 0,5 0,2 0,6 1
13 1 biji pecah 6,8 7,4 7,6 10 11 14 13,6 15,6 21
14 1 biji muda 2 1,6 1,8 4 2 2 1,8 2 3,2
15 1 biji berlubang satu 0,2 0,1 0,1 0 0 0,1 0,3 0,2 0,1
16 1 biji berlubang lebih dari satu
0,2 0 0,4 0,2 0 0,4 0 0,2 0,2
17 1 biji bertutul-tutul 0 0,5 0,7 0 0,5 1,5 0 0,5 1,6
18 1 ranting, tanah atau batu berukuran besar
0 0 0 0 0 0 0 0 0
19 1 ranting, tanah atau batu berukuran sedang
0 0 0 4 0 2 2 2 0
20 1 ranting, tanah atau batu berukuran kecil
1 1 2 1 2 1 1 1 2
Total Nilai 44,85 51,95 77,95 56,00 64,70 105,40 78,50 97,30 137,95
Kategori Mutu 4A 4A 4B 4A 4B 5 4B 5 5
Hasil análisis mutu fisik biji kopi menunjukkan kesimpulan yang tidak jauh
berbeda dengan hasil análisis uji lanjut Duncan. Minimisasi air pada tahap
pengupasan dan pencucian masih dapat dilakukan pada perlakuan K2 dan C2.
Meskipun nilai mutu yang dihasilkan lebih rendah dibandingkan biji kopi dengan
air maksimum, tetapi mutu biji kopi berada dalam kategori mutu sedang (4B).
142
0,0
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
3,0
3,5
4,0
0
20
40
60
80
100
120
140
160
58 66 67 72 72 73 77 79 85
Tota
l Air
Pro
ses
(m3/t
on
)
Tota
l Nila
i Cac
at
Persentase Minimisasi (%)
Nilai Cacat Total Air
4A
4B
4B4B
4A4A
5 5
5
Gambar 47 Hubungan minimisasi air dan nilai mutu
Perlakuan minimisasi air mempengaruhi persentase cacat biji kopi karena
pengolahan (Gambar 48). Berdasarkan kategori Wibowo (1985), kerusakan
selama pengolahan yang dapat menimbulkan cacat biji kopi adalah biji pecah, biji
bertutul-tutul, biji berkulit tanduk dan biji coklat. Biji pecah dikategorikan
sebagai biji cacat, karena jika disangrai bersama dengan biji utuh kemungkinan
akan memberikan rasa terbakar pada kopi seduhan. Nilai cacat biji pecah
menempati persentase terbesar yang hampir terjadi di setiap perlakuan (Gambar
49). Cacat biji pecah dapat terjadi pada saat proses pengupasan kulit buah kopi
(pulping) karena karakteristik fisik buah kopi yang beragam dalam bentuk dan
ukuran (Wahyudi et al. 1999). Proses sortasi ukuran awal pada buah kopi sebelum
pulping dapat membantu mengurangi cacat biji karena pengolahan.
0%
20%
40%
60%
80%
100%
58 66 67 72 72 73 77 79 85
Pers
enta
se C
acat
Persentase Minimisasi Air
Cacat dari kebun Cacat karena pengolahan Benda asing
4B 4B4B 55 54A 4A4A
Gambar 48 Persentase cacat biji kopi perlakuan minimisasi air tahap 1
143
58 66 67 72 72 73 77 79 85
Biji bertutul-tutul 0,00 0,00 0,96 0,90 0,00 0,77 1,42 0,51 1,16
Biji pecah 15,16 17,86 14,24 9,75 17,32 17,00 13,28 16,03 15,22
Biji berkulit tanduk 11,15 8,04 10,59 8,34 15,29 11,59 11,86 12,85 12,69
Biji coklat 3,90 5,36 2,41 2,25 7,01 5,41 4,74 5,14 6,34
Kopi gelondong 22,30 14,29 19,25 25,66 14,01 17,00 25,62 16,44 20,30
0
10
20
30
40
50
60
Pe
rse
nta
se c
acat
(%
)
Persentase Minimisasi Air (%)
Gambar 49 Persentase cacat biji kopi karena pengolahan dengan minimisasi air
tahap 1
Cacat biji pecah juga dapat terjadi selama pengupasan kulit majemuk,
sebagaimana cacat biji berkulit tanduk. Cacat ini dapat terjadi jika kerja huller
tidak sempurna, karena kadar air biji kopi HS yang lebih dari 12%. Menurut
Mulato et al. (2006), mesin pengupas biji kopi HS terutama dirancang untuk
mengupas biji kopi HS dengan kadar air mendekati 12%. Jika kadar air makin
tinggi, kapasitas pengupasan akan turun, dan jumlah biji pecah akan sedikit
meningkat. Kadar air berpengaruh pada ukuran biji kopi. Makin tinggi kadar air
biji kopi, ukuran bijinya semakin besar. Oleh karena itu, lebar celah, dan ukuran
saringan perlu dimodifikasi jika mesin pengupas tersebut akan dipakai untuk
mengupas biji kopi dengan kadar air yang masih tinggi. Hal lain yang perlu
diperhatikan adalah pengupasan sebaiknya dilakukan pada biji kopi yang telah
dingin karena sifat fisiknya telah stabil. Biji kopi hasil pengeringan sebaiknya
dianginkan [tempering] dahulu selama 24 jam.
Cacat biji coklat umumnya terjadi karena pengeringan yang tidak benar,
buah terlalu masak atau fermentasi yang berlebihan (over fermented) terutama
ditemui pada biji kopi dengan perlakuan air pencucian paling minimum (C3). Hal
ini diperkirakan terjadi karena lapisan lendir pada biji kopi perlakuan C3 tidak
sepenuhnya hilang pada saat proses pencucian. Lendir terutama mengandung
senyawa gula yang memiliki sifat higroskopis (menyerap air). Oleh karena itu
144
apabila biji kopi masih mengandung lendir yang tidak sepenuhnya hilang pada
saat proses pencucian, biji kopi cenderung lembab yang dapat menghambat proses
pengeringan. Gula juga menjadi media tumbuh bakteri yang sangat baik sehingga
dapat merusak mutu biji kopi. Lendir juga dapat menyebabkan kotoran non kopi
mudah lengket sehingga menghalangi proses pengeringan dan menyebabkan
kontaminasi.
Menurut Von Enden dan Calvert (2002), konsep dasar pengolahan basah
pada kopi adalah menghilangkan lapisan lendir buah kopi untuk meningkatkan
mutu biji. Oleh karena itu, semakin minim air pencucian yang digunakan, akan
mempengaruhi mutu biji kopi. Akan tetapi semakin besar air pencucian yang
digunakan akan meningkatkan volume pencemaran. Berdasarkan kondisi
tersebut, penelitian ini berusaha mendapatkan volume air proses yang optimum
dalam perlakuan minimisasi air.
Menurut Yusianto dan Mulato (2002), kadar air awal biji yang beragam juga
akan menyebabkan proses pengeringan tidak sempurna, sehingga terjadi cacat biji
coklat. Oleh karena itu untuk menghindari terjadinya biji coklat, sebaiknya kadar
air biji kopi diseragamkan terlebih dahulu misalnya dengan melakukan
pengeringan awal (pre-drying) sebelum dimasukkan ke pengering mekanis.
Pengeringan dengan suhu tinggi yang terlalu lama sebaiknya dihindari, agar tidak
menimbulkan warna permukaan biji kopi kecoklatan.
Cacat kopi gelondong cukup dominan terjadi yang diakibatkan proses
pengupasan buah (pulping) yang tidak sempurna. Cacat kopi gelondong sangat
tidak disukai konsumen, karena rasa pulp yang dominan dapat menimbulkan rasa
serat terbakar pada kopi seduhan.
b. Analisis Mutu Fisik Biji Kopi Minimisasi Air Tahap 2.
Perlakuan minimisasi air tahap pertama pada proses pengolahan kopi
menunjukkan pengaruh terhadap mutu fisik biji kopi. Batas minimisasi air pada
tahap pengupasan buah kopi dari hasil penelitian berkisar antara 0,73 - 0,78
m3/ton buah kopi (74%). Adapun perlakuan minimisasi air pada proses pencucian
menunjukkan perbedaan mutu fisik untuk volume air di bawah 1,54 – 1,81 m3/ton
biji kopi (70%).
145
Tabel 18 Mutu fisik biji kopi perlakuan minimisasi air proses pencucian
No Jenis Cacat Jumlah Nilai Cacat
Persentase
Minimisasi Air 38a 50a 67a 73a 27b 50b 64b 73b
WPSmo
DPKwg
DPSmo
1 1 biji hitam 4 11 7 10 9 16 23 14 8 21 32
2 1 biji hitam sebagian 15 9 16 11 17 19,5 25,5 16 9 3 33
3 1 biji hitam pecah 0 2,5 0,5 8,5 4 4,5 3,5 6 8,5 3 9
4 1 kopi gelondong 12 12 11 10 30 26 21 14 0 44 0
5 1 biji coklat 5,75 6 5 1,75 3 5,25 4 8,5 3,5 0,5 7,5
6 1 kulit kopi ukuran besar
0 4 0 6 0 0 0 7 1 0 0
7 1 kulit kopi ukuran sedang
6,5 7 7 6 4 7,5 2,5 9,5 0 2 0,5
8 1 kulit kopi ukuran kecil 6,2 7,6 7,6 4,6 22,4 16,8 11 7,2 0,6 15,2 0,4
9 1 biji berkulit tanduk 7,5 6 4,5 6,5 6 1,5 8,5 4 9 0,5 0
10 1 kulit tanduk ukuran besar
0 0,5 0 0 0 0,5 0 0 5 0 0
11 1 kulit tanduk ukuran sedang
0 0,2 0 0 0 0,2 0 0 2,4 0 0
12 1 kulit tanduk ukuran kecil
0 0,1 0,2 0,2 0 0,2 0 0 0,9 3,6 0
13 1 biji pecah 6,4 5 10,6 9 7,4 9 8 10 6,6 74,6 21,8
14 1 biji muda 7,2 5,8 7 5,8 6 7,2 12,2 7,4 1 8,2 4,6
15 1 biji berlubang satu 0,2 0 0 0 0,1 0,2 0,1 0 0 1,5 6,4
16 1 biji berlubang lebih dari satu
0,2 0 0,4 0,6 0 0,4 0,4 0 0,2 5 12,6
17 1 biji bertutul-tutul 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
18 1 ranting, tanah atau batu berukuran besar
0 0 0 0 0 0 0 0 0 5 20
19 1 ranting, tanah atau batu berukuran sedang
0 2 0 0 2 0 0 0 0 10 0
20 1 ranting, tanah atau batu berukuran kecil
0 1 2 0 0 1 0 1 0 2 4
Total Nilai 70,95 79,7 78,8 79,95 110,9 115,8 119,7 104,6 55,7 199,1 151,8
Kategori Mutu 4B 4B 4B 4B 5 5 5 5 4A 6 6
Keterangan:
DP: Kopi olah kering WP : Kopi olah basah Kwg: Kebun Kaliwining (Puslitkoka)
Smo: KUPK Sidomulyo WPSmo: penurunan air 26%
a: periode panen puncak b: periode panen rampasan
Untuk mengetahui lebih lanjut pengaruh minimisasi air proses pencucian
terhadap mutu biji kopi dilakukan analisis mutu fisik dan cita rasa biji kopi hasil
perlakuan proses pencucian pada tahap minimisasi air kedua. Volume air proses
pengupasan diupayakan konstan dengan persentase penurunan 74%. Volume air
proses pencucian dengan persentase penurunan 57, 70, 0, dan 35 %. Penurunan
57 dan 70% diulang kembali pada minimisasi air tahap kedua.
146
Pada tahap perlakuan ini juga dilakukan perlakuan minimisasi air untuk
buah kopi yang berasal dari periode panen rampasan. Buah kopi panen rampasan
adalah buah kopi yang dipanen pada saat akhir panen, dimana buah tersisa di
pohon dipanen seluruhnya untuk memutus siklus hama buah kopi. Menurut
Ciptadi dan Nasution (1985) ; (Mulato et al. 2006), perlakuan saat panen dapat
mempengaruhi mutu kopi, dimana buah kopi yang dipanen saat panen rampasan
diperkirakan memiliki karakteristik mutu yang lebih rendah dibandingkan dengan
buah kopi yang dipanen saat panen raya. Kopi olah kering dan olah basah dari
KUPK Sidomulyo merupakan kontrol terhadap perlakuan.
Pada biji kopi hasil pengolahan basah di Kebun Sidomulyo (WP Smo)
jumlah cacat yang ditemui lebih sedikit dibandingkan biji kopi dari Kebun
Kaliwining (Gambar 50). Biji kopi yang berasal dari masa panen rampasan
memiliki jumlah cacat lebih besar dibandingkan biji kopi yang berasal dari masa
panen puncak. Hal ini karena mutu buah kopi dari Kebun Sidomulyo maupun
Kebun Kaliwining pada masa panen puncak lebih baik dibandingkan mutu buah
kopi masa panen rampasan.
0,0
1,0
2,0
3,0
4,0
5,0
6,0
7,0
8,0
0
50
100
150
200
250
38 50 67 73 27 50 64 73 DKwg Dsmo Wsmo
Tota
l Air
Pro
ses
(m3/t
on
)
Tota
l Nila
i Cac
at
Persentase Minimisasi Air (%) Total Nilai Cacat Total Air Proses
4B 4B 4B 4B
55
55
6
4A
Kontrol
6
Panen Puncak Panen Rampasan (Akhir)
Gambar 50 Mutu biji kopi antar perlakuan, jenis proses dan periode panen
Perlakuan air yang lebih besar tidak sepenuhnya dapat meningkatkan mutu
biji kopi apabila bahan baku yang diolah memiliki mutu rendah. Mutu biji kopi
dipengaruhi oleh mutu buah kopi sejak di kebun. Buah kopi pada perlakuan tahap
kedua memiliki persentase cacat yang timbul dari kebun lebih besar dibandingkan
147
buah kopi pada perlakuan tahap pertama (Gambar 51). Mutu biji kopi perlakuan
olah basah tahap kedua lebih rendah (4B) dibandingkan mutu biji kopi perlakuan
olah basah pada perlakuan tahap pertama (4A). Meskipun demikian perlakuan
modifikasi olah basah menghasilkan mutu biji kopi yang lebih tinggi
dibandingkan perlakuan olah kering (Gambar 51). Hal ini diperkirakan terjadi
karena adanya sortasi buah merah yang selektif, proses fermentasi dan tahapan
proses yang tepat menjamin keseragaman mutu biji dan cita rasa kopi dari
perlakuan olah basah.
0
20
40
60
80
100
38 50 67 73 27 50 64 73 DKwg Dsmo Wsmo
Pe
rse
nta
se C
aca
t (
%)
Persentase Minimisasi Air (%)
Cacat dari kebun Cacat karena pengolahan Benda asing
4B 4B4B 4B55 55
6 6 4A
Panen Puncak Panen Rampasan (Akhir) Kontrol
Gambar 51 Persentase cacat biji kopi perlakuan minimisasi air pencucian
Biji kopi yang mendapat perlakuan olah basah memiliki pola cacat
cenderung seragam dibandingkan biji kopi yang berasal dari proses pengolahan
kering, meskipun berasal dari kebun kopi berbeda (Gambar 51). Sebaliknya pada
kopi yang diolah menggunakan proses pengolahan kering, cacat biji kopi dapat
memiliki pola berbeda. Hal ini dimungkinkan karena buah kopi yang diolah
dengan proses olah basah melalui tahap sortasi awal untuk memilih buah kopi
merah yang layak untuk diolah. Selanjutnya buah kopi yang tidak memenuhi
syarat untuk diolah dengan proses basah, diolah dengan proses kering pada biji.
148
38 50 67 73 27 50 64 73DKw
gDsm
oWsm
o
Biji bertutul-tutul 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00
Biji pecah 9,02 6,27 13,45 11,26 6,67 7,78 6,68 9,56 37,47 14,36 11,85
Biji berkulit tanduk 10,57 7,53 5,71 8,13 5,41 1,30 7,10 3,82 0,25 0,00 16,16
Biji coklat 8,10 7,53 6,35 2,19 2,71 4,54 3,34 8,13 0,25 4,94 6,28
Kopi gelondong 16,91 15,06 13,96 12,51 27,05 22,46 17,54 13,38 22,10 0,00 0,00
0
10
20
30
40
50
60
70
Pe
rse
nta
se C
acat
(%)
Persentase Minimisasi Air (%)
Panen Puncak Panen Akhir (Rampasan) Kontrol
Gambar 52 Persentase cacat biji kopi karena pengolahan dengan minimisasi air
tahap kedua
Cacat kopi gelondong, biji pecah, dan biji berkulit tanduk adalah cacat
dominan yang ditemui pada buah kopi dengan perlakuan olah basah (Gambar
52). Mutu buah kopi dari Kebun Kaliwining yang dianalisis pada perlakuan
ulangan kedua diperkirakan mengalami penurunan sejak dari kebun dibandingkan
buah kopi pada perlakuan tahap pertama, sehingga nilai mutunya menurun. Buah
kopi hasil pengolahan kering umumnya hanya didominasi oleh 2 jenis cacat yaitu
cacat biji pecah dan kopi gelondong. Buah kopi olah kering dari Kebun
Kaliwining sebagian besar merupakan buah kopi yang tidak lolos tahap sortasi
awal untuk proses olah basah. Oleh karena itu mutu buah kopi ini jauh berbeda
dengan mutu buah kopi olah basah. Adapun buah kopi olah kering KUPK
Sidomulyo merupakan buah kopi hasil panen yang langsung diolah tanpa proses
sortasi.
Karakteristik cacat biji kopi hasil olah kering dari Kebun Sidomulyo dan
Kebun Kaliwining memiliki pola yang sedikit berbeda. Pada biji kopi Kebun
Kaliwining, buah kopi yang tidak layak diolah secara basah, diolah kering.
Pengeringan terutama dilakukan di atas lantai jemur semen yang diberi alas
plastik/terpal. Apabila cuaca tidak memungkinkan untuk melakukan penjemuran,
proses pengeringan dilanjutkan menggunakan pengering mekanis, sehingga kadar
air biji kopi terkontrol.
149
Buah kopi dari Kebun Sidomulyo yang diolah dengan proses kering
umumnya mengalami tahap pemecahan buah terlebih dahulu sebelum dijemur
(buah pecah kulit). Proses pemecahan buah kopi menggunakan alat pemecah
sederhana (kneuzer). Setelah dipecah, buah kopi dijemur di atas alas plastik/terpal
atau lantai jemur semen. Lama penjemuran kopi pecah kulit ini biasanya antara 8
– 10 hari ter gantung cuaca. Pada tahap pengeringan, buah kopi yang dijemur di
lantai jemur harus dibolak-balik atau digaruk agar kering merata.
Menurut Ismayadi dan Zaenudin (2003), proses pengolahan dengan
pemecahan buah (kopi pecah kulit) lebih higienis dan cepat dibandingkan cara
pengolahan biasa tanpa pemecahan buah. Akan tetapi pada daerah yang relatif
basah atau sering terjadi hujan, proses pengeringan dengan pemecahan buah
rawan terhadap kerusakan biji karena serangan jamur. Buah kopi yang telah
dipecah tidak dapat dijemur di atas permukaan tanah karena akan menjadi kotor
dan kusam. Selain itu kopi tidak dapat disimpan dalam bentuk masih berkulit.
Oleh karena itu kopi hasil penjemuran biasanya langsung dikupas dengan mesin
huller portabel atau yang dipasang pada rangka mobil.
Menurut Yusianto dan Mulato (2002), penilaian biji kopi berdasarkan sifat
fisik tidak sepenuhnya dapat menjamin mutu seduhan, tetapi dapat mengantisipasi
sebagian besar cacat citarasa seduhan kopi. Kesalahan-kesalahan prakiraan
citarasa seduhan kopi berdasarkan sifat fisik dapat diperkecil dengan uji seduhan
(cup test). Bagaimanapun, hasil olahan akhir kopi adalah berupa seduhan,
sehingga uji seduhan merupakan pelengkap yang sangat penting dari semua cara
uji yang telah ada meskipun masih belum dapat distandardisasi.
c. Analisis Cita Rasa (Cup Test) Kopi Perlakuan Minimisasi Tahap Kedua.
Biji kopi hasil pengolahan merupakan bahan dasar utama seduhan kopi. Uji
seduhan atau cita rasa (cup test) kopi Robusta meliputi pengujian fragrance,
aroma, flavor, body, bitterness, astringency, aftertaste, clean cup, balance, dan
preference. Uji cita rasa terutama dilakukan oleh panelis ahli dan panelis terlatih.
Uji cita rasa cenderung subyektif, tergantung pada keahlian panelis dan pelatihan
yang telah dilakukan. Uji cita rasa terutama dilakukan untuk mengevaluasi profil
aroma dan flavor dari kopi. Meskipun demikian uji cita rasa juga dapat digunakan
untuk mengevaluasi adanya cacat pada kopi atau untuk membuat campuran kopi.
150
0
2
4
6
8
10
38 50 67 73 27 50 64 73 DKwg Dsmo Wsmo
Nila
i Uji
Persentase Minimisasi Air (%)
Q.Fragrance Q.Aroma I. Fragrance I.Aroma
Panen Puncak Panen Akhir (Rampasan) Kontrol
Gambar 53 Uji cita rasa untuk fragrance dan aroma kopi Keterangan: Q = kualitas, I = intensitas
Hasil uji cita rasa untuk masing-masing perlakuan minimisasi air tahap 2
disajikan pada Gambar 53, Gambar 54, Gambar 55, dan Gambar 56.
Fragrance adalah aroma kopi sangrai. Adapun aroma dinilai setelah kopi
sangrai ditambahkan air panas ke dalam cangkir seduhan. Aroma kopi
mempengaruhi semua atribut flavor kopi kecuali rasa di mulut, rasa manis, asin,
pahit, dan asam yang dapat dirasakan langsung oleh lidah. Aroma kopi terutama
muncul karena kandungan senyawa-senyawa volatil aromatik yang dapat
dirasakan hidung (Moreno et al. 1995). Intensitas menunjukkan banyaknya rasa
yang ada dalam cangkir kopi, yang berkisar sangat kuat hingga sangat ringan.
Intensitas juga menunjukkan kuat lemahnya penginderaan terhadap rasa yang ada
dalam cangkir kopi. Adapun kualitas menunjukkan perbedaan kualitas, keserasian
ataupun keharmonisan rasa.
Fragrance dan aroma kopi Robusta dari musim panen raya cenderung
meningkat karena perlakuan olah basah dibandingkan kopi yang berasal dari olah
kering. Meskipun tidak menunjukkan perbedaan signifikan antar perlakuan.
Perlakuan minimisasi air menunjukkan terjadinya peningkatan kualitas dan
intensitas fragrance maupun aroma kopi sangrai kecuali pada buah kopi yang
berasal dari panen rampasan. Perbedaan mutu fisik biji kopi ternyata
mempengaruhi cita rasa kopi bubuk.
151
0
2
4
6
8
10
38 50 67 73 27 50 64 73 DKwg Dsmo Wsmo
Nil
ai U
ji
Persentase Minimisasi Air (%)
Q.Flavor Body I.Flavor Bitterness
Panen Puncak Panen Rampasan Kontrol
Gambar 54 Uji cita rasa untuk flavor, body dan bitterness kopi Keterangan: Q = kualitas, I = intensitas
Hasil uji seduhan untuk flavor dan body (Gambar 54) menunjukkan pola
yang tidak jauh berbeda dengan uji fragrance dan aroma. Flavor menggambarkan
rasa kopi. Flavor merupakan gabungan dari seluruh penilaian kualitas kopi
mencakup body, asiditas, dan aroma. Body merupakan rasa atau persepsi yang
menggambarkan tekstur kopi secara fisik di mulut. Sensasi kekayaan tekstur dan
rasa menunjukkan nilai body dari kopi. Bitterness adalah rasa pahit yang menjadi
ciri khas kopi. Pada tingkat rendah, rasa pahit membantu mengurangi keasaman
kopi dan menambah dimensi rasa minuman. Namun pada tingkat tinggi, senyawa
yang menimbulkan rasa pahit kopi dapat mengalahkan komponen rasa yang lain
dan menghasilkan efek tidak menyenangkan. Kepahitan berkorelasi dengan total
padatan terlarut pada kopi.
Kualitas dan intensitas flavor serta nilai body cenderung meningkat pada
perlakuan dengan air yang minimum, meskipun perbedaannya tidak signifikan.
Menurut Sulistyowati (2001), kopi Robusta memiliki body yang lebih tinggi
meskipun aroma dan perisanya lebih rendah dibandingkan kopi Arabika. Nilai
bitterness pada Kopi Sidomulyo lebih tinggi daripada Kopi Kaliwining. Menurut
Sivetz dan Foote (1973); Ciptadi dan Nasution (1985), bitter adalah rasa pahit
yang tidak enak seperti kina. Bitter merupakan ciri khas kopi Robusta karena
kandungan kafein yang tinggi dan aromanya yang tidak sekuat Arabika.
152
Terdapat perbedaan pola biji kopi hasil perlakuan olah basah (dari Kebun
Kaliwining) dan biji kopi dari Kebun Sidomulyo (Wsmo). Biji kopi Kaliwining
hasil pengolahan basah memiliki pola bitterness yang menurun dan peningkatan
body kecuali pada kopi yang berasal dari panen rampasan, meskipun
perubahannya tidak signifikan. Sebaliknya, biji kopi Sidomulyo pengolahan
basah menunjukkan peningkatan bitterness dan body dengan perubahan cukup
signifikan. Akan tetapi, body yang merupakan ciri khas kopi Robusta, rata-rata
menunjukkan peningkatan karena pengolahan basah. Clifford dan Wilson (1985)
menyatakan bahwa proses pengolahan kopi secara basah atau kering tidak
mempengaruhi bitterness dari kopi. Namun demikian hasil yang diperoleh
menunjukkan perbedaan nyata. Hal ini diperkirakan karena bitterness terutama
dipengaruhi oleh kandungan padatan terlarut pada kopi, kafein, dan asam
klorogenat (chlorogenic acid) yang juga mempengaruhi astringency kopi.
0
2
4
6
8
10
38 50 67 73 27 50 64 73 DKwg Dsmo Wsmo
Nil
ai U
ji
Persentase Minimisasi Air
Astringency Q.Aftertaste I.Aftertaste Clean cup
Panen Puncak Panen Rampasan Kontrol
Gambar 55 Uji cita rasa untuk astringency, aftertaste, dan clean cup kopi Keterangan: Q = kualitas, I = intensitas
Uji cita rasa juga dilakukan pada parameter astringency, aftertaste, dan
clean cup (Gambar 55.). Menurut Ciptadi dan Nasution (1985), astringent
adalah flavor yang menyebabkan wajah mengkerut karena sepat. Astringency,
merupakan sebuah rasa yang kering, asam, asin dan umumnya menimbulkan
sensasi tidak menyenangkan yang terdeteksi sebagian besar sisi lidah. Konsumen
dapat mengartikan astringency sebagai atribut asin ataupun atribut pahit.
Aftertaste adalah suatu rasa yang tertinggal dimulai lebih lama dari biasanya
153
setelah meminum kopi. Clean cup menurut Sweet Maria’s Coffee Glossary
(2011) mengacu pada flavor kopi yang bebas dari cacat dan tercemar. Misalnya
bebas dari flavor buah terfermentasi, bebas dari aroma tanah, dan aroma kuat yang
timbul dari cacat biji kopi.
Sebagaimana bitterness, pola astringency kopi hasil pengolahan basah
cenderung menurun. Meskipun komponen yang terutama mempengaruhi
astringency adalah kafein dan chlorogenic acid, tetapi kepastian perubahan kedua
komponen ini karena faktor pengolahan membutuhkan penelitian lebih lanjut.
Selain itu, komponen kimia kopi lainnya meskipun dalam skala kecil turut
mempengaruhi bitterness dan astringency. Pengolahan basah tidak merubah
kualitas dan intensitas aftertaste pada kopi Kaliwining. Intensitas aftertaste kopi
Sidomulyo juga tidak menunjukkan perubahan, akan tetapi kualitas aftertaste
cenderung meningkat karena pengolahan basah. Nilai clean cup pada Kopi
Sidomulyo menunjukkan kenaikan cukup signifikan dibandingkan Kopi
Kaliwining.
0
2
4
6
8
10
38 50 67 73 27 50 64 73 DKwg Dsmo Wsmo
Nil
ai U
ji
Persentase Minimisasi Air (%)
Preference Balance
Panen Puncak Panen Rampasan Kontrol
Gambar 56 Uji cita rasa untuk balance dan preference kopi
Parameter cita rasa kopi Robusta berikutnya adalah balance dan preference
(Gambar 56). Balance pada cup test menunjukkan adanya keharmonisan
ataupun keseimbangan terminologi rasa yang jelas dan sulit untuk diungkapkan.
Keharmonisan juga menunjukkan adanya proporsionalitas dalam kualitas dan
karakter yang mild/ringan tanpa adanya dominasi (Sweet Maria’s Coffee
Glossary, 2011). Keseimbangan merupakan kombinasi antara flavor dan sensasi
154
tekstural atau antara aftertaste dan flavor pada kopi seduhan. Preference
menunjukkan kesukaan ataupun kecenderungan terhadap kopi seduhan. Nilai
preference dapat digunakan untuk menggambarkan keinginan atau pemilihan
konsumen secara umum terhadap mutu kopi seduhan.
Penilaian atribut balance dan preference menunjukkan pola seragam.
Terdapat kecenderungan dari panelis ahli untuk memilih kopi hasil pengolahan
basah. Perlakuan minimisasi air pada proses pencucian biji kopi yang
menurunkan kesan clean cup pada kopi Kaliwining tidak mempengaruhi
preference panelis. Bahkan terdapat kecenderungan panelis memilih kopi
seduhan dari biji kopi dengan perlakuan air pencucian minimal (67%) yang
ditunjukkan dengan nilai tinggi pada preference.
Berdasarkan hasil uji mutu fisik, perlakuan minimisasi air 67% dan 73%
merupakan pilihan untuk menerapkan modifikasi olah basah berbasis minimisasi
air pada pengolahan kopi. Hasil uji cita rasa secara keseluruhan menunjukkan
bahwa perlakuan minimisasi air tidak secara signifikan mempengaruhi mutu kopi
seduhan. Panelis tetap memilih kopi yang berasal dari hasil pengolahan basah
meskipun diolah dengan air minimal. Untuk mengetahui lebih jauh pengaruh
pengolahan basah terhadap seduhan kopi digambarkan dalam bentuk diagram
sarang (nest diagram).
75
80
85
90
95
38 50 67 73 27 50 64 73 DKwg Dsmo Wsmo
Nil
ai U
ji C
ita
Ra
sa
Persentase Minimisasi Air (%) Total Nilai
Ch
oco
,v.b
itte
r, m
ild
Ch
o, d
irty
, ast
r,a
.ta
ste
, fl
at
cho
co,v
.bit
ter,
ast
rin
ge
nt
dir
ty, a
ga
k f
lat
go
og
, bit
t, a
.ta
ste
,h
ig
h b
od
y,
bu
tte
ry
ag
ak
fla
t, c
lea
n
ast
ra
.ta
ste
, fl
at,
mil
d
cho
co, n
uty
, a
ga
kfl
at
flo
ral,
he
rba
l
me
dic
ina
l, e
art
hy
cho
co,a
ga
k f
lat
KontrolPanen puncak Panen rampasan
Gambar 57 Total penilaian uji cita rasa kopi
155
0
2
4
6
8Q.Aroma
Q.Flavor
Preference
Bitterness
Body
Clean
Astringency
Balance
67% DKwg 73%
Gambar 58 Diagram sarang cita rasa kopi olah kering dan olah basah terpilih
Perlakuan minimisasi air 67% pada buah kopi yang diperoleh saat panen
puncak menunjukkan nilai atribut flavor, balance dan aroma yang lebih baik
dibandingkan kopi olah kering (DP Kwg) dan perlakuan minimisasi air 73% dari
buah kopi saat panen puncak. Meskipun untuk atribut clean, ternyata kopi olah
kering memiliki nilai lebih tinggi. Akan tetapi karena preference konsumen dan
secara keseluruhan atribut perlakuan 67% lebih disukai dibandingkan sampel yang
lain, maka perlakuan 67% menjadi pilihan untuk penerapan perlakuan olah basah
dengan minimisasi air.
0
2
4
6
8Q.Aroma
Q.Flavor
Preference
Bitterness
Body
Clean
Astringency
Balance
67%
73%
38%
Gambar 59 Diagram sarang cita rasa kopi perlakuan minimisasi air terpilih
156
0
2
4
6
8Q.Aroma
Q.Flavor
Preference
BitternessBody
Clean
Balance
DSmo
WSmo
Gambar 60 Diagram sarang cita rasa kopi olah kering dan olah basah Sidomulyo
Perbandingan antara perlakuan minimisasi air dalam bentuk diagram sarang
(Gambar 59) menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam aplikasi
pengolahan basah yang menggunakan prinsip hemat air (67%, 73%) dan air yang
lebih banyak (38%). Minimisasi air dapat dilakukan dengan batasan penggunaan
air proses yang tidak menyebabkan kerusakan atau cacat biji pada saat
pengolahan.
Analisis cita rasa kopi Sidomulyo menunjukkan perbedaan yang signifikan
penerapan pengolahan basah terhadap mutu kopi rakyat (Gambar 60). Secara
keseluruhan, atribut cita rasa kopi olah basah (WP Smo) menunjukkan
peningkatan cita rasa yang signifikan dibandingkan kopi olah kering (DP Smo).
Pengolahan basah dapat meningkatkan cita rasa clean dan bright
(Sulistyowati 2001). Akan tetapi jika pengolahan kurang baik, akan menimbulkan
cacat cita rasa seperti sour dan fermented. Kopi hasil olah kering umumnya
menghasilkan biji kopi dengan mutu tidak konsisten. Cita rasanya akan lebih baik
bila sebelum pengeringan buah dipecah terlebih dahulu (Illy dan Viani 1995 diacu
dalam Sulistyowati 2001), seperti yang dilakukan kebanyakan petani di Jawa
Timur. Pengolahan kering yang kurang baik dapat menimbulkan cacat cita rasa,
seperti earthy, mouldy, dan musty. Akan tetapi bila pengolahan cara kering
dilakukan dengan baik, dapat menghasilkan body lebih tinggi (Sivetz dan
Desrosier 1979).
157
6.3.3. Analisis Emisi Proses Pengolahan Kopi Modifikasi Olah Basah
Analisis dilakukan untuk mengetahui perbedaan emisi bahan bakar yang
dibuang ke lingkungan jika menggunakan 2 jenis bahan bakar yang berbeda yaitu
solar dan biodiesel. Biodiesel merupakan campuran antara bahan bakar solar dan
biofuel yang berasal dari residu pengolahan Crude Palm Oil (CPO) dengan
perbandingan 80% : 20%.
Pemilihan bahan bakar yang ramah lingkungan dapat meningkatkan
keberlanjutan proses pengolahan terutama dari dimensi ekologi. Berdasarkan
indikator keberlanjutan dimensi lingkungan, terdapat 3 indikator yang akan
terpengaruh melalui penggunaan bahan bakar yang ramah lingkungan, yaitu (1)
indikator manajemen energi, (2) indikator pengurangan polusi, dan (3) indikator
penyimpanan karbon. Penggunaan bahan bakar biodiesel merupakan salah satu
upaya mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar solar, yang akan
meningkatkan nilai keberlanjutan indikator manajemen energi.
Pengukuran emisi yang dihasilkan dari mesin pengupasan (pulper) dan
pencucian (washer) dengan menggunakan 2 jenis bahan bakar yaitu solar dan
biodiesel. Tingkat emisi yang rendah dari bahan bakar biodiesel dapat
mengurangi dampak pencemaran udara dan efek rumah kaca. Penggunaan
biodiesel pada proses pengupasan buah dan pencucian biji kopi mampu
mengurangi tingkat emisi hingga 40% (Gambar 61.).
0,0
1,0
2,0
3,0
4,0
5,0
50 74 90 57 70 81
Emis
i CO
2(g
r/to
n)
Persentase Minimisasi Air (%)
Emisi Solar Emisi Biodiesel
WASHERPULPER
Gambar 61 Perbandingan penggunaan bahan bakar dan emisi CO2
158
0
20
40
60
80
Solar Biodiesel Solar Biodiesel
Pulper Washer
Emis
i CO
2(%
)
Putaran mesin awal Putaran mesin konstan
Gambar 62 Perbandingan emisi CO2 pada putaran mesin
Putaran mesin yang tinggi pada awal proses dapat meningkatkan emisi CO2
ke lingkungan hingga 50% terutama pada mesin pencucian (washer).
Pemanfaatan biodiesel berpengaruh menurunkan tingkat emisi karena putaran
mesin awal hingga 30% (Gambar 62).
Penurunan emisi ke lingkungan berarti mengurangi polusi yang dapat
meningkatkan nilai keberlanjutan. Upaya mengurangi emisi ke lingkungan dari
proses pengolahan yang menggunakan pembakaran juga berarti upaya
mengurangi terbuangnya gas karbondioksida ke udara yang merupakan bagian
penilaian terhadap indikator penyimpanan karbon. Mengingat aspek penggunaan
biodiesel pada desain proses pengolahan kopi yang berbasis produksi bersih ini
masih merupakan studi awal, sehingga perlu dilakukan kajian lanjut mengenai
pemanfaatan alternatif bahan bakar nabati ataupun energi ramah lingkungan lain
yang dapat digunakan pada proses pengolahan kopi rakyat untuk meningkatkan
status keberlanjutannya.
6.4. Kesimpulan
Teknologi olah basah secara umum mampu meningkatkan cita rasa kopi
seduhan apabila dibandingkan dengan pengolahan kering. Berdasarkan uji mutu
fisik dan uji citarasa pada seduhan kopi, modifikasi teknologi olah basah dengan
meminimalkan air proses dapat mempertahankan mutu kopi Robusta rakyat jika
dibandingkan pengolahan basah konvensional. Perlakuan minimisasi air pada
proses pengupasan maupun pencucian hingga taraf tertentu dapat dilakukan tanpa
mempengaruhi mutu biji kopi. Perlakuan minimisasi air proses pengupasan
159
hingga 74% dari volume air awal 3 m3 atau sebesar 0,784 m
3/ton buah kopi dan
minimisasi air proses pencucian hingga 57% atau kombinasi perlakuan
menghasilkan penurunan minimisasi air total sebesar 67% (volume air 2,987 -
3,345 m3/ton buah kopi) merupakan batasan minimal air dalam pengolahan basah
kopi. Pada kombinasi perlakuan tersebut, cita rasa seduhan lebih disukai
dibandingkan kopi yang berasal dari perlakuan dengan volume air proses lebih
banyak.
Upaya pemanfaatan bahan bakar yang terbarukan atau biodiesel dalam
pengolahan kopi basah terbukti mampu mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK)
yang dibuang ke lingkungan. Pemanfaatan biodiesel ataupun bahan bakar nabati
yang lebih ramah lingkungan selanjutnya diharapkan mampu meningkatkan status
keberlanjutan terutama pada dimensi lingkungan.
Top Related