1
Upaya Pencegahan Dini Penyalahgunaan Narkoba:
Suatu Tinjauan Sosiologi Hukum
Oleh : Muhammad Mustofa
Abstrak
Pencegahan dini penyalahgunaan narkoba harus ditempatkan dari bagian dari
usaha penanggulangan penyimpangan perilaku. Dalam hal ini, maka program
pembinaan generasi muda yang dirancang secara konseptual dan komprehensif
menjadi penting. Usaha tersebut, secara internal merupakan usaha membangun
moralitas dan etika individu untuk menjadi orang dewasa yang matang
kepribadiannya dan matang secara sosial. Secara eksternal merupakan usaha
membangun struktur masyarakat yang kondusif bagi usaha penghindaran
generasi muda dari godaan dan pengaruh narkoba atau perilaku menyimpang
lainnya.
Pendahuluan
Penyalahgunaan narkoba telah dipandang sebagai suatu perilaku menyimpang
yang serius di tanah air ini. Hal ini diwujudkan dengan diterbitkannya dua undang-
undang yang berhubungan dengan larangan penyalahgunaan narkoba dan diberikannya
sanksi yang berat bagi pelaku pelanggarannya. Undang-undang yang dimaksud adalah
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, dan Undang-undang Nomor
22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Menurut Jenderal Polisi Dai Bachtiar, ketika ia
menjabat sebagai Kepala Pelaksana Harian Badan Koordinasi Narkotika Nasional, data
penyalahguna narkoba sampai dengan tahun 2000 yang tercatat dirawat di Rumah Sakit
Ketergantungan Obat (RSKO) Fatmawati Jakarta menunjukkan peningkatan dari tahun
ke tahun. Tahun 1996 tercatat 1.779 orang, tahun 1997 sebanyak 3.653 orang, tahun 1998
sebanyak 5.008 orang, tahun 1999 sebanyak 8.823 orang, dan tahun 2000 hingga bulan
Juni sudah tercatat 3.185 orang. Sementara itu dalam data RSKO tersebut tercatat bahwa
kelompok usia muda (antara 15 tahun hingga 29 tahun) yang tercatat sebagai pengguna
merupakan 94 % dari keseluruhan pengguna narkoba (Dai Bachtiar, 2001). Menurut
perkiraan Dr.dr Salamun, SpM, salah seorang aktivis rehabilitasi pengguna narkoba,
jumlah pengguna narkoba di Indonesia sebanyak 1,6 juta orang (Salamun, 2001).
Terdapat politik hukum yang menarik dan baru dalam kedua undang-undang yang
mengatur tentang narkoba tersebut di atas. Pertama untuk memastikan bahwa sanksi
2
hukuman sesuai dengan perasaan keadilan masyarakat dirumuskan adanya hukuman
mininal atau denda minimal sebagai pembatas minimal hukuman yang dapat dijatuhkan
hakim. Kedua, bagi pengguna narkotika dan psikotropika, hakim yang mengadili selain
menjatuhkan hukuman kepada pelaku pelanggaran ia juga dapat memerintahkan yang
bersangkutan untuk menjalani pengobatan (Lihat pasal 47, UU No. 22/1977, dan pasal 41
UU No. 5/1977). Ketiga, kepada masyarakat diberi kesempatan untuk berperan serta
dalam penanggulangan penyalahgunaan narkoba.
Dilihat dari aspek perlindungan masyarakat dan pencegahan dini penyalahgunaan
narkoba, ketentuan perintah pengobatan kepada pengguna menjadi penting untuk
didiskusikan. Kalau perintah pengobatan tersebut merupakan keputusan pengadilan,
maka segala sarana dan prasarana pengobatan haruslah diselenggarakan oleh negara.
Seharusnya pengobatan sudah harus dilakukan sejak seorang tersangka pelanggaran
narkoba ditahan polisi. Kalau hanya bertumpu kepada rumusan undang-undang tersebut,
maka pengobatan terhadap pengguna narkoba baru dimulai setelah hal itu diputuskan
oleh pengadilan. Usaha pengobatan yang tidak mudah dan tidak murah yang akan
menjadi konsentrasi dari keputusan hakim, sesungguhnya akan dapat menjadi kontra-
produktif. Biaya yang diperlukan untuk rehabilitasi terhadap 1,6 juta pengguna narkoba
(yang diperkirakan oleh Salamun) dalam jangka waktu dua tahun akan membutuhkan
dana sebesar Rp 38 trilyun, dengan perhitungan setiap pengguna membutuhkan dana Rp
1 juta per bulan (1.600.000 orang X 24 bulan X Rp 1 juta). Apabila penguna narkoba
tersebut tidak dirawat, mereka membutuhkan konsumsi narkoba sebesar Rp 50.000/hari,
dan akan mencapai jumlah Rp 80 milyar/hari hanya untuk kebutuhan narkoba. Sementara
itu masih terdapat kontroversi terhadap efektifitas pengobatan terhadap pencandu
narkoba. Apalagi sebanyak 30% pengguna narkoba dalam mengkonsumsi narkoba
mempergunakan jarum suntik yang rentan terhadap penularan HIV/AIDS, dan 80 % dari
pengguna jarum suntik tersebut tertular HIV/AIDS yang memerlukan pemeriksaan
laboratorium paling sedikit dua kali setahun dengan biaya Rp 2 juta/orang. Biaya
pengobatan HIV/AIDS yang diperlukan perorang dengan obat generik adalah Rp 10
juta/tahun (Salamun, 2001). Betapa dilihat dari segi pembiayaan untuk mengobati atau
memasok kebutuhan pengguna narkoba memerlukan biaya yang luar biasa besar. Dan ini
jelas suatu pengeluaran untuk aktivitas yang sesungguhnya mubazir.
3
Ada pendapat yang sangat pesimis yang mengatakan bahwa tingkat pengulangan
penggunaan narkoba (relapse) pasca penyembuhan mencapai angka 99,99 %, namun
adapula yang memberikan angka sekitar 70 %. Berapapun angka relapse penggunaan
narkoba menunjukkan bahwa usaha pengobatan terhadap pecandu narkoba dapat
dikatakan sebagai usaha yang mubazir. Kalaupun perintah pengobatan kepada pecandu
narkoba tersebut akan dipertahankan, seharusnya perintah itu tidak menjadi beban negara
tetapi beban dari terhukum atau pengguna sendiri. Alangkah lebih baik biaya yang besar
untuk usaha pengobatan tersebut dipergunakan untuk keperluan lain yang lebih penting
bagi hajat hidup masyarakat banyak. Dan kalau kita telaah secara lebih obyektif, ketika
seseorang mengkonsumsi narkoba, tiada orang lain yang dirugikan kecuali dirinya
sendiri. Oleh karena itu tidaklah pantas kalau kemudian beban penanggulangan
penyalahgunaan narkoba menjadi beban rakyat melalui anggaran belanja negara.
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka dalam rangka menanggulangi
penyalahgunaan narkoba kita perlu membuat prioritas-prioritas yang realistis.
Pencegahan dini adalah pilihan yang tepat. Dalam hal ini pengertian pencegahan dini
diartikan sebagai memberikan perhatian kepada generasi muda sejak dini agar tidak
terjebak dalam penyalahgunaan narkoba. Kalau pengguna sudah dewasa secara hukum,
kita dapat mengabaikan perhatian dan meletakkan tanggungjawab pengobatan kepada
yang bersangkutan. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana kita mewujudkan
pencegahan dini tersebut. Makalah ini akan menyoroti usaha pencegahan dini
penyalahgunaan narkoba ditinjau secara sosiologi hukum.
Pencegahan dini penyalahgunaan narkoba.
Penyalahgunaan narkoba sesungguhnya merupakan bentuk perilaku menyimpang
karena tidak sesuai dengan perasaan moralitas masyarakat. Dalam kaitan ini
sesungguhnya penyalahgunaan narkoba hanyalah merupakan salah satu dari isu
penyimpangan perilaku. Oleh karena itu usaha membangun ketangguhan masyarakat
untuk mempertahankan diri dari gangguan penyalahgunaan narkoba harus ditempatkan
sebagai bagian integral dari usaha masyarakat dalam menghadapi berbagai bentuk
penyimpangan perilaku. Sebagai pencegahan dini maka usaha membuat masyarakat
mempunyai ketangguhan menghadapi gangguan penyimpangan perilaku adalah usaha
4
untuk membuat generasi muda tidak terpengaruh untuk melakukan penyimpangan
perilaku.
Membuat masyarakat aman dari gangguan penyimpangan perilaku seharusnya
sudah merupakan mekanisme yang melekat dalam masyarakat itu sendiri dalam bentuk
pengendalian sosial. Pengendalian sosial terhadap penyimpangan perilaku yang efektif
harus merupakan perwujudan sejumlah asas pengendalian sosial secara sinergis yang
meliputi:
a. Adanya regulasi yang jelas.
b. Adanya sosialisasi regulasi yang terencana.
c. Adanya fasilitasi untuk mengikuti regulasi.
d. Penerapan sanksi merupakan upaya akhir.
Aspek regulasi.
Memang benar bahwa UU No.5/1997 dan UU NO.22/1997 merupakan regulasi
yang cukup jelas tentang apa yang tidak boleh dilakukan dan sanksi apa yang akan
dikenakan bagi pelanggarnya. Namun demikian kalau kedua undang-undang ini secara
konsekuen dilaksanakan, yang terjadi adalah adanya pemborosan dana dan tenaga untuk
melakukan pengobatan bagi pengguna yang dihukum. Padahal tingkat relapse
penggunaannya tinggi. Dengan demikian perlu adanya penyempurnaan terhadap kedua
undang-undang tersebut. Misalnya biaya pengobatan bagi pengguna (dewasa) yang
dihukum harus ditanggung oleh terhukum sendiri. Selain itu karena tingkat relapse yang
tinggi pula maka para pengguna yang pernah dihukum akan besar kemungkinannya
menjadi residivis. Oleh karena itu barangkali perlu dipertimbangkan apakah tidak lebih
baik menyediakan “rumah madat” saja bagi pengguna yang sudah dewasa dengan
menerapkan pengawasan yang ketat terhadap rumah madat tersebut. Terdapat pandangan
kritis bahwa pada dasarnya klinik atau rumah sakit rehabilitasi ketergantungan narkoba
yang semakin banyak didirikan belakang ini lebih banyak bertindak sebagai penyedia
narkoba karena tidak menunjukkan tingkat pengurangan pengguna. Tingkat relapse yang
tinggi dari pengguna yang pernah mengalami rehabilitasi, antara lain yang menghasilkan
kritik yang pedas ini. Berkaitan dengan ini pencegahan dini penyalahgunaan narkoba
5
dapat difokuskan kepada generasi muda agar tidak terpengaruh untuk menyalahgunakan
narkoba.
Pencegahan dini penyalahgunaan narkoba yang difokuskan kepada generasi muda
tidak cukup hanya dalam bentuk larangan-larangan, tetapi yang lebih penting adalah
merancang aktivitas penghindaran. Aktivitas penghindaran yang dimaksud di sini adalah
suatu program sosial bagi generasi muda sesuai dengan status usianya. Dalam kaitan ini
kita perlu memiliki undang-undang pembinaan generasi muda yang terencana yang
mengatur hak dan kewajiban mereka sesuai dengan kelompok usianya. Misalnya pada
usia 0 hingga 5 tahun, merupakan masa awal pertumbuhan seorang insan sebagai mahluk
hidup dan mahluk sosial yang belum dapat menentukan kehendak terbaik bagi dirinya.
Kelompok usia ini secara sosial dan hukum perlu diberi status di bawah perlindungan
orang tua. Artinya harus ada peraturan perundangan yang memastikan bahwa anak dalam
usia 0 – 5 tahun berkembang di bawah naungan orang-tuanya, sedapat mungkin orang tua
kandungnya. Demi perlindungan anak ini maka apabila kita menemukan bahwa orang tua
anak tersebut ternyata tidak mampu melaksanakan peran orang tua secara sosial, maupun
secara psikologis, dapat diciptakan hukum untuk mencabut hak perlindungan dari orang
tua tersebut dan negara menyerahkan perlindungan anak kepada “orang tua” lain yang
cakap.
Setelah anak melampaui usia 5 tahun hingga mencapai usia dewasa (muda),
misalnya 18 tahun (sesuai dengan Undang-undang Pengadilan Anak Nomor 3 Tahun
1997), generasi ini diberi status berada di bawah pengawasan orang dewasa. Kepada
kelompok usia ini perlu dirancang program-program sosial untuk menghindarkan
keterlibatan mereka dalam perilaku menyimpang, termasuk menyalahgunakan narkoba.
Sebab pada usia ini mereka sudah mulai bersosialisasi dengan masyarakat, namun mereka
belum sepenuhnya dapat mandiri. Oleh karena itu mereka harus selalu berada di bawah
pengawasan orang dewasa. Dalam hal ini lembaga pendidikan formal dan non formal
akan memegang peranan penting.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal menjalankan fungsi pengawasan
dalam rangka melaksanakan fungsi utamanya menyelenggarakan pendidikan. Untuk
memastikan bahwa sebagian besar waktu anak selalu berada dalam pengawasan orang
dewasa, maka lembaga pendidikan formal harus diselenggarakan sejak pagi hingga sore.
6
Sebab kalau sekolah hanya diselenggarakan sampai siang hari saja atau setengah hari
saja (seperti sekarang ini), akan terdapat waktu luang yang cukup banyak yang
menempatkan anak tidak berada di bawah pengawasan siapapun. Keadaan ini tentu saja
akan merupakan keadaan rawan terhadap pengaruh penyimpangan perilaku. Berdasarkan
pengamatan, penyalahgunaan narkoba dan penyimpangan sosial yang lain terjadi karena
kurangnya pengawasan terhadap kelompok usia ini ketika berada di luar pengawasan
orang tua (keluarga) maupun berada di luar lingkup sekolah.
Dalam usia hingga 18 tahun ini perlu diberlakukan undang-undang tentang
perilaku anak (semacam “Juvenile Act” yang diberlakukan di Amerika Serikat) yang
mengatur apa yang harus dilakukan anak (yaitu belajar dan menjalani proses sosialisasi
nilai dan norma sosial serta nilai dan norma keagamaan) dan apa yang tidak boleh
dilakukan (misalnya membolos sekolah, merokok, mengkonsumsi narkoba, alkohol,
pornografi, berada di tempat-tempat hiburan malam dsb). Agar ketentuan tersebut dapat
lebih efektif dilaksanakan, maka regulasi tersebut harus secara tegas pula menyebutkan
agar orang dewasa dilarang menyuruh membeli rokok, menjual rokok dsb. kepada
mereka yang berusia anak, lengkap dengan sanksinya.
Setelah usia 18 tahun dilampaui masih perlu pula adanya pengaturan tentang
kapan seseorang akan dibiarkan kalau yang bersangkutan memilih untuk melakukan
kemaksiatan seperti merokok, minum minuman keras termasuk mengkonsumsi narkoba
dan pornografi. Terkait dengan itu perlu pula diatur di tempat-tempat mana saja
kemaksiatan tersebut boleh dilakukan. Negara seperti Amerika Serikat saja yang sering
dijadikan acuan modernisasi memiliki perangkat hukum yang ketat terhadap generasi
muda. Sebagai contoh konkrit beberapa waktu yang lalu putri Presiden Amerika Serikat
ditangkap dan dihukum karena membeli minuman beralkohol sebelum mencapai usia
yang dibolehkan oleh hukum. Bahkan ketentuan yang berlaku di Amerika Serikat
menyebutkan bahwa untuk dapat memasuki tempat-tempat hiburan malam, seperti
nightclub, discotheque, casino seseorang harus sudah berusia 21 tahun. Hal itu dilakukan
karena tempat-tempat hiburan seperti yang tersebut tadi pada umumnya adalah tempat
maksiat. Kita sendiri, sebagai bangsa yang mengagungkan filosofi Pancasila tidak
mempunyai peraturan perundangan seperti itu. Dengan demikian, apabila kita
mengahadapi tingkat penyimpangan perilaku yang tinggi di kalangan generasi muda, hal
7
itu antara lain karena kita tidak mempunyai peraturan perundangan yang baik yang
mengatur proses sosialisasi dan pengendalian sosial generasi muda untuk mempersiapkan
mereka menjadi orang dewasa yang mandiri dan bertanggung jawab. Yang terjadi
sesungguhnya adalah proses pembiaran terhadap masa depan generasi muda tersebut.
Aspek sosialisasi dari regulasi
Membuat undang-undang relatif mudah, tetapi membuat undang-undang yang
dapat terlaksana secara efektif tidaklah mudah. Aspek penting bagi efektivitas regulasi
antara lain adalah apabila ada upaya sosialisasi yang terencana tentang adanya regulasi.
Sosialisasi ini harus dilaksanakan sesuai kemampuan intelektualitas sasaran sosialisasi.
Apabila lembaga pendidikan formal diberi peran menjadi pengawas utama dari anak usia
5–18 tahun sebagaimana diusulkan di atas, maka lembaga pendidikan juga harus
merupakan lembaga yang efektif untuk melakukan sosialisasi atas regulasi. Namun
demikian sosialisasi regulasi tidak berarti harus ada mata pelajaran tertentu yang
membahas regulasi tersebut. Dalam hal ini melalui pelaksanaan “hidden curriculum”
sosialisasi regulasi akan lebih efektif.
Sosialisasi tentang dampak negatif penyalahgunaan narkoba dapat juga diberikan
dalam bentuk bahan bacaan untuk pelajaran Bahasa Indonesia. Dulu, pernah terdapat
suatu bahan bacaan di sekolah yang menceritakan tentang bagaimana negatifnya
penggunaan candu. Dalam bahan bacaan tersebut diceritakan ada seorang petani yang
menjual ternaknya ke kota karena memerlukan uang untuk membeli bibit tanaman.
Sepulang dari pasar menjual ternak, petani tersebut melewati suatu “rumah madat”. Ada
seorang pegawai rumah madat yang bertugas mencari konsumen seperti seorang sales
promotion. Petugas sales promotion membujuk petani yang habis menjual ternaknya
tersebut dengan mengatakan bahwa kalau ingin menikmati keindahan surga maka rumah
madat tersebut tempatnya. Akhirnya si petani terbujuk dan terperangkap menjadi pecandu
madat. Bibit tanaman yang akan dibeli tidak terbeli, rumah tangganya berantakan. Bahan
bacaan seperti itu yang tidak secara indoktrinatif menggambarkan pengaruh negatif
madat, akan lebih mudah dicerna oleh akal sehat anak usia sekolah daripada
menyebarluaskan poster dan slogan-slogan anti narkoba.
8
Aspek fasilitasi untuk mengikuti regulasi.
Aspek fasilitasi ini merupakan berbagai usaha yang dilakukan untuk membuat
agar generasi muda usia sekolah betul-betul terhindar dari kemungkinan
menyalahgunakan narkoba. Penyelenggaraan wajib belajar dengan pengertian bahwa
sampai dengan usia tertentu (18 tahun) negara wajib menyelenggarakan pendidikan
secara cuma-cuma dengan kualitas yang sama di mana saja di tanah air ini merupakan
salah satu bentuk konkrit dari fasilitasi tersebut. Dengan demikian peraturan perundangan
yang menjamin penyelenggaraan wajib belajar tersebut juga merupakan bentuk fasilitasi,
padahal sampai sekarang ini kita belum mempunyai undang-undang wajib belajar.
Demikian pula alokasi anggaran pendidikan pada APBN dan APBD juga harus secara
proporsional mencukupi bagi penyelenggaraan wajib belajar.
Fasilitasi yang tidak kalah pentingnya dari penyelenggaraan wajib belajar adalah
perwujudan dari konstitusi, misalnya: bahwa setiap orang berhak atas pekerjaan yang
layak bagi kemanusiaan; dan bahwa fakir miskin dan orang terlantar dipelihara oleh
negara. Kalau janji-janji konstitusi tersebut tidak terselenggara, akan sulit rasanya
menyelenggarakan program penghindaran generasi muda dari kemungkinan terlibat
penyalahgunaan narkoba. Di Indonesia ini masih terdapat anggapan bahwa anak
merupakan aset keluarga, sehingga apabila orang tuanya miskin maka anak harus
membantu keluarganya untuk mencari nafkah. Dengan demikian menyelenggarakan
wajib belajar saja tanpa diikuti dengan menyejahterakan orang tuanya akan merupakan
usaha yang tidak efektif.
Aspek fasilitasi ini akan lebih mudah dicerna melalui analogi di bawah ini. Dalam
rangka menerapkan nilai-nilai kebersihan dibuat peraturan (regulasi) “dilarang
membuang sampah sembarangan”. Kemudian untuk membuat agar peraturan tersebut
diketahui oleh orang banyak dibuat berbagai poster dan himbauan “buanglah sampah
ditempatnya”, atau “bersih pangkal sehat’, “kebersihan pangkal dari keimanan” dst.
Pembuatan poster adanya larangan dan himbauan tersebut adalah bentuk sosialisasi dari
nilai dan aturan tentang kebersihan. Namun demikian regulasi dan sosialisasi tersebut
belum menjamin bahwa nilai-nilai kebersihan akan terwujud. Dalam hal ini perlu adanya
fasilitasi dalam bentuk menyediakan tempat sampah dan tempat pembuangan sampah
yang memadai. Kalau fasilitasi tempat sampah dan tempat pembuangan sampah tidak
9
tersedia, maka menerapkan sanksi bagi seseorang yang membuang sampah sembarangan
bukanlah merupakan tindakan bijaksana.
Penerapan sanksi sebagai upaya akhir
Apabila kita sudah mempunyai program-program regulasi, sosialisasi dan
fasilitasi dalam pembinaan generasi muda yang merupakan perwujudan pencegahan dini
penyalahgunaan narkoba, maka sudah pada tempatnya kita berpikir dan bertindak
terhadap pelaku pelanggaran. Meskipun demikian penghukuman terhadap pelaku
pelanggaran harus merupakan upaya yang paling akhir untuk dilaksanakan. Sementara itu
apabila penerapan sanksi ini terpaksa harus dilaksanakan, maka penerapannya harus
selektif. Artinya apabila pelaku pelanggaran adalah mereka yang masih tergolong usia
muda, maka segala daya harus diupayakan untuk membuat pelaku yang berusia muda ini
dapat betul-betul terintegrasi kembali ke masyarakat.
Penyembuhan secara fisik dan psikologis terhadap pecandu narkoba tidak akan
ada gunanya, apabila tidak disertai dengan usaha terapi dan rehabilitasi sosial. Menyebut
mereka yang berusia muda yang melakukan penyalahgunaan narkoba sebagai korban
penyalahgunaan narkoba merupakan langkah awal yang simpatik. Dengan cara seperti itu
kita mengisyaratkan bahwa mereka mempunyai kesempatan untuk diterima kembali
sebagai bagian dari warga masyarakat seperti semula.
Dalam cara kerja pengedar narkoba, mereka berusaha keras menjaga
“konsumennya”. Korban dari pengedar narkoba ini akan selalu dimonitor keberadaannya.
Apabila “konsumen” mereka menghilang, para pengedar tersebut akan berusaha keras
mencarinya. Dan biasanya, apabila seorang pecandu narkoba yang sudah dinyatakan
sembuh dari ketergantungan narkoba bertemu dengan pengedar atau kembali ke
lingkungan tempat ia biasa mengkonsumsi narkoba, kemungkinan terjadinya relapse
penggunaan menjadi besar. Oleh karena itu, ketahanan sosial lingkungan untuk
mengidentifikasi pengedar yang berusaha menghubungi bekas konsumennya menjadi
penting. Lingkungan sosial tempat tinggal bekas pecandu narkoba dapat didayagunakan
untuk membentengi korban penyalahgunaan narkoba tersebut agar tidak kembali menjadi
pengguna. Seringkali, karena kewalahan terhadap gangguan dan godaan pengedar
narkoba, ada keluarga yang anggotanya baru saja disembuhkan dari ketergantungan
10
narkoba terpaksa pindah tempat tinggal yang cukup jauh dari tempat tinggal semula.
Namun tidak semua keluarga korban penyalahgunaan narkoba mempunyai kemampuan
mobilitas seperti itu.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa dalam rangka melakukan
pencegahan dini agar supaya generasi muda tidak terjebak dalam penyalahgunaan
narkoba, maka perlu adanya usaha untuk membangun benteng eksternal individu yang
kondusif bagi usaha penghindaran dari pengaruh narkoba. Serentak dengan itu dilakukan
penguatan internal individu agar tumbuh sikap rasional anti narkoba, melalui pemahaman
konkrit atas dampak yang merugikan dari narkoba.
Secara teoritis, uraian di atas dapat dijelaskan dengan mempergunakan kerangka
teori yang dikemukakan oleh Walter Reckless “A Non-causal Explanation: Containment
Theeory” (1962). Reckless berasumsi bahwa dalam struktur sosial terdapat benteng yang
dapat melindungi orang dari tindakan yang menyimpang dan melanggar hukum.
Sedangkan dalam diri individu terdapat juga benteng yang selaras dengan benteng
eksternal tersebut. Kedua benteng tersebut berfungsi sebagai penghalang agar seseorang
tidak melakukan penyimpangan norma dan penyimpangan hukum, mengisolasi individu
dari pengaruh dan rangsangan demoralisasi (Reckless, 1962: 131-134). Namun demikian
agar supaya kedua benteng tersebut berfungsi secara efektif, menurut Reckless
diperlukan sejumlah kondisi, yaitu:
a. Pada tingkat struktur sosial harus terdapat komponen:
1. Struktur peran yang jelas dari setiap individu.
2. Adanya batas tanggung jawab yang rasional bagi setiap individu.
3. Adanya kesempatan bagi setiap individu untuk meraih suatu status.
4. Adanya keakraban masyarakat, termasuk aktivitas bersama dan
kebersamaan.
5. Adanya perasaan kebersamaan (identifikasi diri terhadap kelompok).
6. Identifikasi terhadap beberapa orang dalam kelompok.
7. Tersedia alternatif bagi cara-cara pencarian kepuasan (bila karena
suatu hal terhambat).
11
b. Pada tingkat individu harus dapat dihasilkan:
1. Citra diri yang baik ketika berhubungan dengan orang lain, kelompok
dan lembaga kemasyarakatan.
2. Kesadaran dalam diri sebagai orang yang mempunyai tujuan.
3. Toleransi yang tinggi terhadap keadaan frustasi.
4. Moral dan etika yang mendarah daging.
5. Ego dan superego yang matang (Reckless, 1962:131-134).
Secara skematis, usaha untuk membangun benteng struktur sosial dalam rangka
pembinaan generasi muda dapat digambarkan sebagai berikut:
USIA STATUS SOSIAL TG JAWAB HUKUM PROGRAM PEMBINAAN
0-5 Th Di bawah lindungan
orang tua
Tidak dapat dimintai
tanggung jawab
Perlindungan & kesejahteraan anak
Kesehatan ibu dan anak
6-18 Th Di bawah pengawasan
orang dewasa
Tanggung jawab pidana
sebagian
Partisipasi sosial seba-
gian
Wajib belajar
Sosialisasi nilai norma sosial dan
agama
19-21Th Di bawah pembinaan
masyarakat, dengan pe-
ngawasan sebagian
Tanggung jawab pidana
penuh
Partisipasi sosial seba-
gian
Persiapan kerja
Pembentukan citra diri
21 Th dst Orang dewasa penuh Tanggung jawab pidana
dan partisipasi sosial
secara penuh
Fasilitasi kerja dan pembinaan
karir
Perlu diakui bahwa secara partial sudah terdapat beberapa peraturan perundangan
yang dapat dikaitkan dengan program pembinaan generasi muda yang diusulkan. Namun
peraturan-peraturan perundangan tadi tidak secara komprehensif merupakan bagian
integral yang secara konseptual dirancang untuk mempersiakan generasi muda untuk
menjadi orang dewasa yang mempunyai kematangan kepribadian dan kematangan sosial.
Oleh karena itu program pembinaan generasi muda sebagai upaya dini penanggulangan
penyimpangan perilaku (termasuk penyalahgunaan narkoba) menjadi tidak dapat
diabaikan.
12
Bacaan
Bachtiar, Dai
2001 “Kebijakan Pemerintah Tentang Narkoba”, Makalah, Lokakarya Nasional
Peran Lembaga Pendidikan dan Masyarakat Dalam Upaya Pencegahan Dini
Penyalahgunaan Narkoba, LPM UI- Yayasan Panca Sejahtera, 29-30 Oktober.
Reckless, Walter C.
1962 “Non-Causal Explanation: Containtment Theory”, Excerpta
Crimiologica, March/April.
Salamun
2001 “Dampak Penyalahgunaan Narkoba Dari Perspektif Ekonomi Mikro”,
Makalah, Lokakarya Nasional Peran Lembaga Pendidikan dan
Masyarakat Dalam Upaya Pencegahan Dini Penyalahgunaan Narkoba,
LPM UI- Yayasan Panca Sejahtera, 29-30 Oktober.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika.
Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 Tentang Narkotika.
Top Related