UPACARA SIRAMAN GONG KYAI PRADAH DAN PENGARUHNYA
BAGI MASYARAKAT BLITAR
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Durotun Nafi’ah
NIM. 11150321000007
PROGRAM STUDI STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H / 2020 M
i
UPACARA SIRAMAN GONG KYAI PRADAH DAN PENGARUHNYA
BAGI MASYARAKAT BLITAR
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Durotun Nafi’ah
NIM. 11150321000007
PROGRAM STUDI STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H / 2020 M
v
ABSTRAK
Durotun Nafiah, “Upacara Siraman Gong Kyai Pradah dan Pengaruhnya Bagi
Masyarakat Blitar. Skripsi. Jakarta: Program Studi Studi Agama-Agama
Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Upacara siraman Gong Kyai Pradah merupakan salah satu tradisi lokal yang
masih dilakukan hingga sekarang. Upacara ini dilakukan di Kecamatan Sutojayan,
Kabupaten Blitar, Jawa Timur yang dilaksanakan setiap tanggal 1 Syawal dan 12
Rabi’ul Awwal dengan cara dan perlengkapan yang sama di setiap pelaksanaannya.
Upacara ini diikuti oleh masyarakat yang berasal dari berbagai kalangan dan agama.
Banyaknya masyarakat yang mempercayai dan mengikuti setiap prosesi membuat
penulis ingin meneliti mengenai pengaruh upacara siraman bagi kehidupan
masyarakat. Hal ini menarik untuk dikaji, mengingat bahwa di era modern ini
seharusnya semua hal dinilai secara rasio dan mulai berkurang jumlah orang yang
sepenuhnya percaya kepada hal-hal mistis. Akan tetapi, masyarakat yang
menghadiri tradisi ini semakin tahun justru semakin bertambah.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian lapangan (field
research) dengan menggunakan pendekatan antropologi. Pengumpulan data
dilakukan dengan cara observasi, wawancara, dan pengumpulan dokumentasi. Data
yang telah didapatkan kemudian dikumpulkan, diverifikasi kebenarannya,
kemudian dilakukan penarikan kesimpulan.
Hasil dari penelitian adalah adanya pengaruh upacara siraman bagi kehidupan
masyarakat, yakni dalam keyakinan, pemikiran, dan sosial-ekonomi. Dengan
diadakannya ritual, masyarakat akan merasa lebih aman dan tenteram. Bagi
masyarakat yang mengonsumsi air bekas siraman menyatakan bahwa ia merasa
lebih bugar dari sebelumnya. Selain itu, keadaan sosial-ekonomi masyarakat juga
mengalami peningkatan menjadi lebih baik. Sikap kekeluargaan dan perekonomian
masyarakat dinilai semakin meningkat ketika upacara siraman dilakukan.
Kata Kunci: Tradisi Lokal, Upacara Siraman, Gong Kyai Pradah
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamiin. Segala puji dan syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT. tidak ada kekuatan apapun dalam diri ini selain karunia dan
ridho-Nya. Dan karena anugerahnya-Nya, penulis mampu menyelesaikan skripsi
ini dengan judul: Upacara Siraman Gong Kyai Pradah dan Pengaruhnya Bagi
Masyarakat Blitar. Shalawat beserta salam senantiasa selalu tercurahkan kepada
Nabi Muhammad SAW. yang selalu menjadi tauladan bagi seluruh umatnya hingga
akhir zaman.
Penulis menyadari bahwa perjalanan dalam upaya menyelesaikan kuliah dan
skripsi ini dibuat banyak bantuan dari berbagai pihak. Karenanya, penulis tidak lupa
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ayah dan Ibu tercinta, Kaelani dan Nurul Mahmudah, atas semua pengorbanan,
kesabaran, dukungan, dan kasih sayang yang tiada pamrih. Baik berupa moril
maupun materiil, serta doa yang tidak pernah putus untuk keberhasilan dan
kesuksesan penulis. Terima kasih untuk segalanya, karena kalian aku ada. Dan
aku bangga.
2. Mbak Zuhrotul Mabruroh beserta suami, mas M. Habibul Huda yang selalu
memberikan motivasi belajar dan membimbing dengan sabar. Ayah Turmudzi,
ibu Nafsiati, terima kasih atas dukungan dan doanya. Bantuan materi maupun
non-materi dari kalian sangatlah berarti. Adik Ilyas Amirul Labib dan M. Daffa
Rafiqul Huda, kelucuan kalian adalah hiburan dan semangat bagi penulis.
Terima kasih untuk kalian semua, keluargaku tercinta.
vii
3. Dra. Hj. Hermawati, selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah
memberikan arahan dalam proses penulisan proposal skripsi.
4. Dr. Hamid Nasuki, M. Ag., terima kasih atas kesabaran bapak karena telah
bersedia meluangkan waktu untuk mengoreksi dan memberikan saran dalam
penulisan skripsi ini. Tanpa arahan dan kritikan yang bapak berikan, skripsi ini
tidak akan pernah selesai.
5. Prof. Dr. Amany Burhanudin Umar Lubis, Lc, MA., selaku Rektor Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Dr. Yusuf Rahman, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta staf dan jajarannya.
7. Bapak Syaiful Azmi, MA., selaku Ketua Program Studi Studi Agama-Agama
dan Ibu Lisfa Sentosa Aisyah, MA., selaku sekretaris Program Studi Studi
Agama-Agama.
8. Seluruh dosen dan staf Fakultas Ushuluddin yang telah memberikan ilmu
kepada penulis, baik secara langsung maupun tidak langsung.
9. Pimpinan dan staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Perpustakaan Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Perpustakaan Proklamator Bung Karno, dan Perpustakaan Nasional RI, yang
telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi kepustakaan, sehingga
dapat mempermudah penulis dalam menyelesaikan tugas perkuliahan.
10. Bapak Supalil, Bapak Muhammad As’adi, Bapak Drs. Hartono, MM, Bapak
Mujiono, Bapak Iskandar, Ibu Karti, Bapak Bambang, Bapak Slamet, Ibu
Samiatun, terima kasih atas kerelaan waktu, tenaga, dan pikirannya. Juga atas
viii
kesediaannya menjadi narasumber inti dari penulisan skripsi penulis dengan
penuh kesabaran. Semoga kebaikan bapak dan ibu sekalian dibalas dengan
semestinya oleh Allah SWT., semoga keberkahan serta kesehatan selalu
menyertai kalian.
11. Teman-teman terbaikku, Umi Lailatul Baroroh, Siti Subadriah, Intan Pertiwi,
Ranty Aprillia, Munawwaroh, Guruh Purnama, Ahmad Syarif al-Azizi, dan
Syarif Hidayat, yang walaupun sering mengeluh tapi masih setia menemani dan
rela direpotkan. Terima kasih telah menjadi pendengar yang baik untuk segala
keluh kesah penulis, memberikan motivasi, dan semangat. Guys, you’re the
best. Kesuksesan menunggu kita. Semangat!!
12. Kakak-kakakku sekalian, Luftah, Iis Fatimah, Siti Kurniawati, Liza Mazida,
Novi, dan Muhammad Sairi, yang senantiasa memberikan semangat dan
dukungan.
13. Teman-teman seperjuangan di kelas Studi Agama-Agama angkatan 2015.
Kalian luar biasa.
14. Dra. Hj. Mastanah, M. Si., selaku pembimbing KKN di Desa Argapura,
Cigudeg, Bogor. Banyak ilmu dan pengalaman yang ibu berikan kepada penulis
dan teman-teman KKN RELEVANT. Semoga Allah SWT. membalasnya.
15. Teman-teman KKN RELEVANT, Yully, Nurhasanah, Khusnul, Keziah,
Farhanah, Audy, Annisa, Rif’atul, dan yang lainnya. Kalian luar biasa. Terima
kasih juga untuk masyarakat Kampung Tipar, Argapura, Cigudeg, Bogor.
Pengalaman bersama kalian selalu menyadarkan penulis tentang arti
ix
persahabatan, kekeluargaan, dan keberagaman sifat dan sikap manusia. Semoga
kebersamaan kita dapat terus terjaga.
16. Teman-teman al-Ayyubi, terima kasih atas doa, semangat, dan motivasi yang
selalu kalian berikan.
17. Keluarga besar IKAPPMAM, terima kasih atas doa dan ilmu yang diberikan.
18. Keluarga besar SALMADA, terima kasih atas doa dan ilmu yang diberikan.
19. Sahabat-sahabati PMII KOMFUSPERTUM, terima kasih atas ilmu,
pengalaman, saran, bantuan, dan doanya. Kalian luar biasa.
20. Semua orang yang pernah bertanya, “Kapan lulus? Kapan wisuda? Kapan
kerja? Kapan nikah?” Terima kasih telah menyadarkan penulis bahwa
kehidupan masih berlanjut. Karena kalian penulis termotivasi untuk secepatnya
menyelesaikan skripsi ini.
21. Semua pihak yang telah membantu, yang belum disebutkan satu-persatu.
Terima kasih atas segala kebaikan kalian.
Penulis menyadari akan keterbatasan pengetahuan, pengalaman, dan
kemampuan bahwa hasil skripsi masih jauh dari kata kesempurnaan. Untuk semua
pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini, penulis ucapkan terima
kasih. Penulis hanya dapat memohon kepada Allah SWT., semoga berkenan
menerima segala kebaikan dan ketulusan mereka. Semoga skripsi ini dapat
menambah khazanah keilmuan kita semua. Aamiin.
Jakarta, 13 Januari 2020
Penulis
Durotun Nafi’ah
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i
LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ iv
ABSTRAK ............................................................................................................ v
KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi
DAFTAR ISI ......................................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................. 1
B. Batasan dan Rumusan Masalah .................................................................. 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................. 4
D. Tinjauan Pustaka ........................................................................................ 5
E. Kerangka Teori ........................................................................................... 6
F. Metodologi Penelitian ............................................................................... 12
G. Teknik Penulisan ...................................................................................... 18
H. Sistematika Penulisan .............................................................................. 18
BAB II SEJARAH UPACARA SIRAMAN GONG KYAI PRADAH .......... 20
A. Profil Lokasi Penelitian ............................................................................ 20
B. Sejarah Gong Kyai Pradah ....................................................................... 23
C. Upacara Siraman Gong Kyai Pradah ....................................................... 26
xi
BAB III PROSESI UPACARA SIRAMAN GONG KYAI PRADAH .......... 30
A. Tempat Penyimpanan dan Pelaksanaan Upacara Siraman ....................... 30
B. Perlengkapan Upacara Siraman ............................................................... 35
C. Proses Pelaksanaan Upacara Siraman ...................................................... 37
BAB IV PENGARUH UPACARA SIRAMAN SIRAMAN GONG KYAI
PRADAH ............................................................................................................. 52
A. Motivasi Mengikuti Upacara Siraman ..................................................... 52
B. Pengaruh Upacara Siraman ...................................................................... 61
BAB V PENUTUP .............................................................................................. 66
A. Kesimpulan .............................................................................................. 66
B. Saran ......................................................................................................... 68
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 69
LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................ 77
A. Lampiran 1: Surat Penelitian .................................................................... 78
B. Lampiran 2: Pedoman dan Hasil Wawancara .......................................... 80
C. Lampiran 3: Upacara Siraman Gong Kyai Pradah ................................. 115
D. Lampiran 4: Wawancara ........................................................................ 122
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 : Peta Wilayah Kabupaten Blitar ...................................................... 20
Gambar 2.2 : Peta Wilayah Kecamatan Sutojayan, Kabupaten Blitar ................. 21
Gambar 2.3 : Gong Kyai Pradah .......................................................................... 23
Gambar 3.1 : Sanggar Pusaka Gong Kyai Pradah ................................................ 30
Gambar 3.2 : Panggung Siraman ......................................................................... 35
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berbagai macam ritual atau tradisi telah ada dan dilaksanakan secara
turun-temurun sehingga tak jarang dijumpai adanya sesembahan yang
kemudian setiap kali masyarakat memiliki hajat, seperti pernikahan, kelahiran,
dan kematian selalu mengadakan ritual.1 Tujuan diadakannya tradisi pun
bermacam-macam. Akan tetapi kebanyakan masyarakat meyakini bahwa
dengan mengadakan ritual, keselamatan serta hal baik akan mendatanginya.
Masyarakat Jawa hingga saat ini masih memegang teguh tradisi-tradisi
peninggalan leluhur mereka. Meskipun mayoritas masyarakat Jawa beragama
Islam, tidak serta merta membuat mereka meninggalkan tradisi Jawa Kuno
bahkan tradisi yang sebelumnya adalah tradisi Hindu-Buddha.2 Masyarakat
Jawa memiliki berbagai macam kebudayaan yang berbeda di setiap daerah,
salah satunya Blitar. Blitar merupakan salah satu daerah yang memiliki budaya
khas yang tercermin dalam kesenian maupun produk budaya lainnya, seperti
makanan khas dan upacara adat.
Upacara Siraman Gong Kyai Pradah merupakan salah satunya. Gong
adalah canang besar (kadang-kadang dipukul sebagai tanda pembukaan upacara
dan sebagainya).3 Sedangkan Kyai Pradah merupakan sebutan untuk sebuah
1 Clifford Geertz, Agama Jawa, Abangan, Santri, Priyai dalam Kebudayaan Jawa, (Depok:
Komunitas Bambu, 2014), h. 89. 2 Muhaimin AG, Islam dalam Bingkai Budaya Lokal, Protret dari Cerebon, (Ciputat: Logos
Wacana Ilmu, 2001), h. 2. 3 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), (Jakarta: Balai
Pustaka, 2007), h. 368.
2
gong yang merupakan salah satu instrumen gamelan Jawa berdiameter 60 cm
yang tebuat dari besi perunggu dan dibungkus kain mori (kain putih) yang
dikeramatkan masyarakat Lodoyo sebagai benda pusaka.4 Jadi, yang dimaksud
dengan upacara siraman Gong Kyai Pradah adalah kegiatan memandikan benda
pusaka berupa sebuah gong dengan menggunakan air kembang setaman.
Upacara ini merupakan produk budaya lokal yang hingga saat ini masih
diadakan agar tidak hilang terkikis oleh budaya Barat. Upacara siraman
dilakukan di Kelurahan Kalipang, Kecamatan Sutojayan, Kabupaten Blitar, atau
yang lebih dikenal oleh masyarakat Blitar sebagai Lodoyo.
Gong ini dipuja dan diyakini oleh sebagian besar masyarakat Blitar dan
sekitarnya. Upacara siraman dilakukan sebanyak dua kali dalam setahun, yaitu
pada 1 Syawal yang bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri dan 12 Rabi’ul Awal
yang bertepatan dengan Maulid Nabi Muhammad SAW. Upacara ini dilakukan
dalam rangka melestarikan budaya yang telah diwariskan oleh leluhur dan telah
ada sejak zaman Mataram Kuno.
Mayoritas masyarakat percaya bahwa dengan melakukan upacara
tersebut, maka akan terhindar dari bencana, baik bagi diri sendiri, maupun untuk
wilayah tempat tinggal mereka. Di hari pelaksanaan upacara, masyarakat dari
berbagai latar belakang berbondong-bondong datang dengan berbagai tujuan.
Baik yang asli Blitar, maupun dari luar Blitar, dari berbagai usia, dan juga
agama. Ada yang datang dengan tujuan untuk menyaksikan upacara siraman
4 Sugianto, “Ritual Adat Siraman Pusaka Gong Kyai Pradah”, Universitas Terbuka, h. 6-7,
diakses dari http://pk ut.ac.id/j si/1 31.sugianto.html, pada tanggal 18 September 2019, pukul 20.58
WIB.
3
sebagai sebuah tontonan atau warisan budaya yang harus dilestarikan, ada pula
yang datang dengan tujuan mengharapkan berkah, dan tak sedikit pula
masyarakat yang datang untuk mengambil (memperebutkan) air bekas siraman
yang dipercaya dapat memberikan berbagai manfaat. Sebagian besar
masyarakat percaya bahwa air bekas siraman gong tersebut dapat
menyembuhkan berbagai macam penyakit, mendatangkan jodoh, menjadikan
awet muda, dan dapat melancarkan rezeki.
Upacara ini telah dikenal dan dipercayai oleh masyarakat Blitar dan
sekitarnya, sehingga yang mengikuti prosesi upacara semakin bertambah di
setiap tahunnya. Upacara ini diikuti oleh masyarakat yang berasal dari berbagai
kalangan dan agama. Banyaknya masyarakat yang mempercayai dan mengikuti
setiap prosesi membuat penulis ingin meneliti mengenai upacara siraman dan
hal-hal yang berkaitan dengannya, serta apa saja pengaruhnya bagi kehidupan
masyarakat. Hal ini sangat menarik untuk dikaji, mengingat bahwa di era
modern ini seharusnya semua hal dinilai secara rasio dan mulai berkurang
jumlah orang yang sepenuhnya percaya pada hal-hal mistis. Akan tetapi,
masyarakat yang menghadiri tradisi ini semakin tahun justru semakin
bertambah.
Berdasarkan gambaran realitas dan berangkat dari keunikan yang ada,
penulis ingin melakukan penelitian dengan memilih judul, “Upacara Siraman
Gong Kyai Pradah dan Pengaruhnya Bagi Masyarakat Blitar”.
4
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Adapun batasan dan rumusan masalah dalam penelitian ini, antara lain:
1. Batasan Masalah
Penulis membatasi permasalahan yang akan diteliti dengan hal-hal
yang berkaitan dengan kepercayaan dan budaya yang terdapat dalam
upacara siraman Gong Kyai Pradah.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, rumusan masalah dalam
penulisan ini adalah:
1. Bagaimana pengaruh Upacara Siraman Gong Kyai Pradah bagi
masyarakat Blitar?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dilaksanakannya penelitian adalah untuk memenuhi
persyaratan akhir perkuliahan untuk mendapatkan gelar Strata Satu (S1)
Sarjana Agama (S.Ag) dalam Program Studi Studi Agama-Agama Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah
dapat memberikan kontribusi berupa karya ilmiah bagi pengembangan
penelitian lanjutan, sehingga dapat menambah wawasan dan ilmu
pengetahuan bagi penulis dan pembaca mengenai tradisi lokal yang ada di
5
Kabupaten Blitar, Jawa Timur yang hingga kini masih eksis di kalangan
masyarakat.
Dengan diadakannya penelitian ini diharapkan dapat memberikan
gambaran mengenai Upacara Siraman Gong Kyai Pradah dan apa saja
pengaruh diadakannya upacara tersebut bagi masyarakat, sehingga upacara
siraman masih diadakan hingga saat ini.
D. Tinjauan Pustaka
Penelitian mengenai Upacara Siraman Gong Kyai Pradah telah beberapa
kali dilakukan karena tradisi ini dikenal dan dilakukan oleh masyarakat Blitar
selama bertahun-tahun. Berdasarkan penelusuran yang dilakukan penulis,
ditemukan beberapa tulisan yang berkaitan dengan tema penulisan, antara lain:
Jurnal yang ditulis oleh Ruddat Ilaina R.A., dkk, Vol. 12. No. 01 (2018)
yang berjudul Makna dan Relevansi Simbolik Mantra Siraman Gong Kyai
Pradah Lodaya dengan Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. di Desa
Lodaya Blitar. Karya ini membahas mengenai mantra yang diucapkan dalam
upacara siraman Gong Kyai Pradah dan kisah-kisah mengenai adanya pengaruh
mantra tersebut terhadap perayaan maulid Nabi Muhammad SAW.
Skripsi yang ditulis oleh Mohamad Nadzif (2001) yang berjudul
Upacara Siraman Gong Kyai Pradah Di Sutojayan Kabupaten Blitar (Studi
Akulturasi Islam dan Budaya Lokal). Karya ini membahas mengenai akulturasi
atau perpaduan Islam dengan budaya lokal yang terdapat dalam upacara siraman
yang dilakukan di daerah Sutojayan, Blitar. Akulturasi yang terjadi dapat kita
6
ketahui dari waktu pelaksanaan ritual serta serangkaian acara yang
menggunakan unsur-unsur Islam di dalamnya.
E. Kerangka Teori
Kebudayaan dan manusia merupakan dua entitas yang sama sekali tidak
dapat dipisahkan. Manusia hidup dengan budaya yang telah ada dan diwarisi
secara turun-temurun. Demikian dengan agama yang dianut oleh masyarakat
tertentu, sedikit banyak akan mempengaruhi berbagai aspek yang ada dalam
kehidupan manusia, salah satunya budaya yang dimiliki. Dalam konteks
hubungan kebudayaan dan agama, agama dipandang sebagai realitas dan fakta
sosial sekaligus sebagai sumber nilai dalam tindakan-tindakan sosial maupun
budaya. Hubungan yang erat antara agama dengan masyarakat dan budayanya
tidak berarti bahwa agama harus menyesuaikan diri dengan segala yang ada
dalam masyarakat. Akan tetapi sebaliknya, agama diharapkan memberi
pengarahan dan bantuan untuk memainkan peran terhadap masyarakat. Dengan
demikian, baik dalam konteks budaya maupun dinamika kehidupan masyarakat,
peran agama sangat menonjol.5
Makna dari agama sendiri dari pandangan para ahli mencakup sistem
kepercayaan, cara hidup, kerohanian, dan sebagainya. Dalam hal ini Clifford
Geertz melihat agama sebagai satu sistem kebudayaan yang ditandai dengan
simbol-simbol yang menonjolkan citra keagamaan sebuah masyarakat
beragama. Kebudayaan di dalamnya memiliki makna-makna historis yang
5 Adeng Muchtar Ghazali, Antropologi Agama: Upaya Memahami Keragaman Kepercayaan,
Keyakinan, dan Agama, (Bandung: Alfabeta, 2011), h. 31-32.
7
terwujud dalam simbol-simbol, suatu sistem konsep yang diwariskan dalam
bentuk simbolis dan dengan konsep inilah manusia berinteraksi, melestarikan,
dan mengembangkan pengetahuan mereka mengenai kehidupan.6 Clifford
Geertz merupakan orang pertama yang mengungkapkan pandangan tentang
agama sebagai sebuah sistem budaya. Dalam karyanya yang berjudul “Religion
as a Cultural System”, memberikan arah baru bagi kajian agama. Geertz
mengungkapkan bahwa agama harus dilihat sebagai suatu sistem yang mampu
mengubah suatu tatanan masyarakat. Ia yakin bahwa agama adalah sistem
budaya sendiri yang dapat membentuk karakter masyarakat.7
Agama adalah sebuah sistem simbol, yakni segala sesuatu yang
memberikan penganutnya ide-ide. Sebagaimana kebudayaan yang bersifat
publik, simbol-simbol dalam agama juga bersifat publik dan bukan murni
bersifat privasi. Seperti yang dinyatakan Geertz bahwa agama adalah suatu
sistem simbol yang bertindak untuk menetapkan perasaan dan motivasi secara
kuat, menyeluruh, dan bertahan lama pada diri manusia dengan cara
memformulasikan konsep mengenai hukum dan menyelimuti dengan suatu
aturan yang mencerminkan kenyataan, sehingga perasaan-perasaan dan
motivasi-motivasi tersebut tampak nyata ada yang kemudian membuat
penganutnya melakukan sesuatu seperti ritual.8 Penggunaan simbol dalam adat
istiadat orang Jawa sangat menonjol. Dalam pandangan masyarakat Jawa,
simbol memiliki daya magis melalui kekuatan abstraknya untuk membentuk
6 Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1992), h. 3. 7 Adeng Muchtar, Antropologi Agama, h. 36. 8 Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1992), h. 90.
8
dunia melalui pancaran makna. Daya magis simbol tidak hanya terletak pada
kemampuannya untuk merepresentasikan kenyatan, namun realitas pun di
representasikan melalui penggunaan logika simbol.9
Suwardi Endraswara menjelaskan dalam bukunya, “Agama Jawa:
Ajaran, Amalan, dan Asal-Usul Kejawen” bahwa fenomena religius Jawa dapat
dibagi menjadi dua kategori, yaitu kepercayaan dan ritus. Yang pertama
merupakan pendapat-pendapat (states of opinion) dan terdiri dari representasi-
representasi. Sedangkan yang kedua merupakan bentuk-bentuk tindakan
(action) yang khusus.10 Keduanya tidak dapat dipisahkan karena orang Jawa
banyak membangun ritus-ritus untuk mengekspresikan seluruh keyakinannya.
Semua kepercayaan religius memperlihatkan satu ciri umum yang
mensyaratkan pengklasifikasian segala sesuatu menjadi dua kelas, yaitu profane
(biasa) dan sacred (keramat).11 Dalam agama Jawa juga demikian, terdapat
kondisi sakral yang biasanya lebih personal, subjektif, dan hanya diketahui oleh
pihak tertentu saja. Ada pula yang profan, yang biasanya lebih awam, boleh
diketahui orang lain, dan tanpa pengecualian. Hal-hal yang sakral cenderung
dianggap memiliki martabat dan kekuatan yang lebih superior daripada hal-hal
yang profan. Hal-hal yang sakral ini biasanya berkaitan dengan dunia magi.
Magi Jawa berkaitan dengan persoalan yang rumit dan wingit (suci; keramat;
9 Fauzi Fashri, Penyingkapan Kuasa Simbol, Apropriasi Reflektif Pemikiran Pierre Bourdieu,
(Yogyakarta: Juxtapos, 2007), h. 1. 10 Suwardi Endraswara, Agama Jawa: Ajaran, Amalan, dan Asal-Usul Kejawen, (Yogyakarta:
Penerbit Narasi-Lembu Jawa, 2018), h. 19. 11 Suwardi Endraswara, Agama Jawa, h. 20.
9
angker). Magis juga berisi kepercayaan dan ritus yang harus dilaksanakan oleh
masyarakat Jawa.
1. Pengertian Upacara
Kata upacara berakar dari dua suku kata, yaitu upa dan cara. Upa
artinya mendekat, sedangkan kata cara berakar dari urutan car yang
memiliki arti harmonis; seimbang; selaras. Upacara artinya keseimbangan,
keharmonisan, dan keselarasan dalam hidup akan mendekatkan ke hadapan
Tuhan Yang Maha Esa.12 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, upacara
diartikan sebagai rangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat kepada
aturan-aturan tertentu menurut adat atau agama.13 Dapat dikatakan bahwa
upacara merupakan suatu permohonan dalam pemujaan atau pengabdian
yang ditujukan kepada kekuasaan-kekuasaan leluhur. Upacara berfungsi
sebagai alat komunikasi dengan roh leluhur menurut keyakinan yang harus
ditaati.
Dalam upacara selalu menghadirkan sesajen sebagai perlengkapan
ritual. Menurut Robertson Smith, fungsi upacara bersaji adalah di mana
manusia menyajikan sebagian dari seekor binatang, terutama darahnya
kepada dewa, kemudian memakan sendiri sisa daging dan darahnya, juga
dianggap sebagai suatu aktivitas mendorong rasa solidaritas dengan dewa
atau para dewa.14 Upacara biasanya dipimpin oleh kepala suku atau syaman
12 Ida Pandita Mpu Jaya Wijayananda, Makna Filosofi Upacara dan Upakara, (Surabaya:
Paramita, 2004), h. 46. 13 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 994. 14 Koentjaraningrat, Pengantar Teori Antropologi I, (Jakarta: UI-Press, 1987), h. 68.
10
(dukun), dengan makan-makan dan minum bersama, diiringi dengan
sesembahan puja dan sesaji terhadap para arwah nyanyian-nyanyian, tari-
tarian, dan bunyi-bunyian. Keberhasilan upacara ditentukan oleh jampi-
jampi dan mantra-mantra yang diucapkan oleh syaman.15 Upacara yang
menyangkut kehidupan seseorang sangat banyak macamnya. Salah satunya
adalah upacara siraman Gong Kyai Pradah yang ada di Kabupaten Blitar,
Jawa Timur.
2. Pengertian Siraman
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata siraman berasal dari asal
kata siram yang berarti mandi. Dalam bahasa Indonesia, kata siraman
diartikan sebagai hasil menyiram; guyuran; curahan. Sedangkan dalam
bahasa Jawa, makna kata siraman adalah upacara membersihkan pusaka
pada setiap bulan Sura pada hari Jumat Kliwon di mana pusaka-pusaka
keraton dibersihkan dalam sebuah upacara. Kata siraman dapat juga
diartikan sebagai air bekas yang dianggap bertuah.16 Siraman merupakan
salah satu ritual kejawen yang masih banyak dilakukan oleh masyarakat
Jawa di mana setiap prosesinya memiliki makna dan maksud tertentu.17
Dalam bahasa Jawa, siraman diartikan sebagai mengguyur atau
mandi. Dalam hal ini, siraman dimaknai sebagai proses penyucian dan
pembersihan diri secara lahir dan batin, membuang segala kejelekan yang
15 Zakiah Darajat, Perbandingan Agama, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h. 38. 16 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus, h. 846. 17 Kuswa Endah, Petung, Prosesi, dan Sesaji dalam Ritual Manten Masyarakat Jawa, Vol. 1,
No. 2, (Agustus: 2006), h. 147.
11
ada pada diri.18 Siraman dilakukan pada saat hendak melangsungkan
pernikahan dan sebelum melakukan ritual-ritual tertentu. Dalam sistem
penanggalan Jawa dipercaya bahwa setiap hari dan pasaran19 memiliki
kebaikan serta makna tertentu. Banyak masyarakat menjadikan hari Jumat
Legi sebagai hari yang sakral. Menurut masyarakat Jawa, hari Jumat Legi
merupakan hari wiwitan atau hari permulaan, jadi hari tersebut sangat baik
digunakan untuk ritual, ziarah, mengirim tahlil, dan lain-lain.20
3. Pengertian Gong Kyai Pradah
Gong adalah canang besar (kadang-kadang dipukul sebagai tanda
pembukaan upacara dan sebagainya).21 Adapun Kyai Pradah adalah sebutan
untuk sebuah gong yang merupakan salah satu instrumen gamelan Jawa
berdiameter 60 cm yang tebuat dari besi perunggu dan dibungkus kain mori
(kain putih) yang dikeramatkan masyarakat Lodoyo sebagai benda pusaka.22
Gong Kyai Pradah merupakan salah satu benda pusaka yang ada di
Kabupaten Blitar. Jadi, yang dimaksud dengan upacara siraman Gong Kyai
Pradah adalah suatu upacara penyucian benda pusaka berupa gong yang
dinamakan Kyai Pradah dengan menggunakan air kembang setaman.
18 Sumarsono, Budaya Masyarakat Perbatasan, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1999), h. 73. 19 Pasaran adalah nama pada 5 hari dalam 1 siklus. Ada 5 pasaran yaitu Legi, Pahing, Pon,
Wage, Kliwon. Lihat di Primbon Jawa Lengkap, Neptu dan Pasaran Jawa, diakses dari
https://www.primbon.net/2014/05/neptu-dan-pasaran-jawa.html, pada tanggal 28 September 2019,
pukul 18.34 WIB. 20 Wawancara pribadi dengan Muhammad As’adi, Juru Kunci ke-6 Gong Kyai Pradah, Blitar,
16 September 2019. 21 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), h. 368. 22 Wawancara pribadi dengan Muhammad As’adi, Blitar, 16 September 2019.
12
F. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research), yakni
dengan mengadakan penelitian lapangan di Lodoyo, Blitar, Jawa Timur
dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah
pendekatan yang berdasarkan data-data dari sumber tertulis mengenai
pokok-pokok permasalahan yang dikaji. Menurut Bodgan dan Taylor,
seperti dikutip Prof. Dr. Syamsir Salam dalam buku Metode Penelitian
Sosial, menyatakan bahwa penelitian kualitatif merupakan prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati.23
Tujuan dari penelitian kualitatif adalah untuk mengetahui secara
mendetail mengenai ritual upacara siraman yang dilaksanakan di Lodoyo,
Blitar. Penelitian ini berfokus pada mendeskripsikan bagaimana sejarah
dilaksanakannya ritual Upacara Siraman Gong Kyai Pradah serta
pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat. Dengan demikian, penelitian ini
bersifat deskriptif analisis, karena hasil dari penelitian ini berupa data
deskriptif dalam bentuk kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang
diamati.
23 Syamsir Salam dan Zaenal Arifin, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: UIN Jakarta Press,
2006), h. 30.
13
Penelitian dilakukan selama tiga bulan, terhitung dari bulan
September hingga November 2019. Adapun observasi lapangan yang
dilaksanakan oleh peneliti adalah sebagai berikut:
a. Penelitian Pertama
Tanggal: 16 September 2019.
Tempat : Kelurahan Kalipang, Kecamatan Sutojayan, Kabupaten Blitar.
b. Penelitian Kedua
Tanggal: 18 September 2019.
Tempat : Kelurahan Kalipang, Kecamatan Sutojayan, Kabupaten Blitar.
c. Penelitian Ketiga
Tanggal: 10 November 2019.
Tempat : Kelurahan Kalipang, Kecamatan Sutojayan, Kabupaten Blitar.
d. Penelitian Keempat
Tanggal: 11 November 2019.
Tempat : Kelurahan Kalipang, Kecamatan Sutojayan, Kabupaten Blitar.
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan
Antropologi. Pendekatan ini digunakan karena objek penelitian ini adalah
upacara tradisional (ritual) yang dipengaruhi agama. Pendekatan
antropologi berupaya memahami kebudayaan-kebudayaan produk manusia
yang berhubungan dengan agama.24 Dalam pendekatan ini, penulis
24 Media Zainul Bahri, Wajah Studi Agama-Agama: Dari Era Teosofi Indonesia (1901-1940)
Hingga Masa Reformasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h. 47-48.
14
menggunakan kerangka Clifford Geertz dengan merujuk pandangannya
mengenai dimensi kebudayaan agama. Geertz menjelaskan bahwa agama
dan kebudayaan adalah sutu sistem simbol yang bertujuan untuk
menciptakan perasaan dan motivasi yang kuat, mudah menyebar, dan tidak
mudah hilang. Dengan cara membentuk konsepsi mengenai sebuah tatanan
umum eksistensi dan melekatkan konsepsi ini. Berkenaan dengan objek
penulis dalam penelitian ini bersentuhan langsung dengan keberagamaan
aliran dalam masyarakat Jawa, yang berkaitan dengan aktivitas ritual yang
dipandang masih berbau animisme-dinamisme.
3. Sumber Data
Penelitian bersumber pada sumber primer dan sekunder. Sumber data
primer adalah sumber data yang diperoleh langsung dari subjek penelitian
dengan menggunakan alat pengukuran atau alat pengambilan data lngsung
pada subjek sebagai sumber informasi yang dicari.25 Sumber data primer
didapatkan dari data yang diperoleh dari juru kunci Gong Kyai Pradah dan
pelaku ritual.
Sedangkan sumber data sekunder adalah sumber yang biasanya telah
tersusun dalam bentuk dokumen-dokumen. Biasanya data yang diperoleh
dari buku-buku dan dokumentasi yang relevan dengan penelitian. Data ini
digunakan untuk melengkapi data primer.26 Sumber data sekunder diperoleh
dari buku, jurnal, artikel, dan sebagainya.
25 Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), h. 91. 26 Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, h. 91.
15
4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan data yang valid, maka langkah yang digunakan
dalam penelitian ini adalah:
a. Observasi
Observasi merupakan kegiatan pengamatan serta pencatatan
secara sistematik terhadap gejala-gejala yang tampak pada objek
penelitian.27 Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan observasi
partisipasi aktif, yakni memantau gejala pada objek penelitian, namun
tidak andil di dalamnya. Observasi ini berfokus mengenai lokasi dan
prosesi ritual, serta nilai yang terkandung di dalamya.
b. Wawancara
Wawancara merupakan metode pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian untuk mendapatkan keterangan melalui
proses tanya jawab secara lisan, di mana dua orang atau lebih saling
berhadap-hadapan secara fisik dan mendengarkan secara langsung.28
Narasumber dalam penelitian ini adalah juru kunci Gong Kyai Pradah,
kepala bidang kebudayaan Kabupaten Blitar, dan masyarakat setempat.
Dalam penelitian ini, penulis mewawancarai beberapa
narasumber yang merupakan pelaku, pelaksana, dan penjaga tradisi ini,
yaitu:
Bapak Supalil, selaku juru kunci ke-5 Gong Kyai Pradah
27 Hadari Nawai dan M. Martini, Instrumen Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gadjah
Mada Press, 2006), h. 98. 28 Sutrisno Hadi, Metode Research II, (Yogyakarta: Adi Offset, 1989), h. 192.
16
Bapak Muhammad As’adi, selaku juru kunci ke-6 Gong Kyai
Pradah.
Bapak Drs. Hartono, M.M., selaku kepala bidang kebudayaan Dinas
Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga
(DISPARBUDPORA) Kabupaten Blitar.
Bapak Mujiono, selaku pengikut Upacara Siraman Gong Kyai
Pradah.
Bapak Iskandar, selaku pengikut Upacara Siraman Gong Kyai
Pradah.
Ibu Karti, selaku pengikut Upacara Siraman Gong Kyai Pradah.
Bapak Bambang, selaku pengikut Upacara Siraman Gong Kyai
Pradah.
Bapak Slamet, selaku pengikut Upacara Siraman Gong Kyai Pradah.
Ibu Samiatun, selaku pengikut Upacara Siraman Gong Kyai Pradah.
c. Dokumentasi
Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan
mengumpulkan dokumen-dokumen yang sesuai dan terkait dengan
permasalahan yang diteliti. Dalam penelitian ini, penulis mengkaji
bahan tertulis dan tidak tertulis dengan tujuan untuk mendapatkan data
pelengkap dari dua metode sebelumnya.29 Sumber tersebut berupa arsip
dan foto-foto yang dimiliki juru kunci Gong Kyai Pradah serta yang
29 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1996), h. 169.
17
terdapat di instansi terkait, yakni bidang kebudayaan Dinas Pariwisata,
Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga (DISPARBUDPORA) Kabupaten
Blitar.
5. Analisis Data
Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini
meliputi heuristik (pengumpulan sumber), verifikasi (kritik sumber),
interpretasi (penafsiran), dan penulisan hasil penelitian.30 Berikut adalah
langkah-langkah penelitian yang dilakukan:
a. Heuristik
Tahap awal yang dilakukan adalah mengumpulkan sumber.
Beberapa cara yang dilakukan dalam memperoleh sumber adalah:
Wawancara. Wawancara dilakukan secara langsung kepada pihak-
pihak yang mengerti mengenai Upacara Siraman Gong Kyai Pradah
dengan mewawancarai juru kunci dan masyarakat yang ada di
Kecamatan Lodoyo, sehingga informasi yang didapatkan akurat.
Dokumentasi. Dokumen yang diperoleh berupa arsip serta foto-foto
yang berhubungan dengan Upacara Siraman Gong Kyai Pradah.
b. Verifikasi
Tahap selanjutnya adalah membuktikan kebenaran sumber
sekunder yang telah didapatkan. Dengan metode ini, kebenaran dan
keaslian data tidak akan diragukan sehingga data yang diperoleh dapat
digunakan.
30 Louis Gottzchalk, Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusanto, (Jakarta: UI Press, 1983),
h. 32.
18
c. Interpretasi
Dalam tahap ini peneliti melakukan penafsiran terhadap fakta-
fakta mengenai pelaksanaan Upacara Siraman Gong Kyai Pradah serta
pengaruhnya terhadap masyarakat. Penulis diharuskan menguraikan
sumber-sumber yang didapat, kemudian menganalisa dan
menyesuaikan dengan tema penulisan.
d. Penulisan hasil penelitian
Tahap akhir dari proses ini adalah penulisan hasil penelitian. Pada
tahap ini, penulis membuat kesimpulan berdasarkan sumber-sumber
yang telah didapatkan menjadi sebuah karya tulis yang dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya.
G. Teknik Penulisan
Penulisan hasil penelitian mengenai Upacara Siraman Gong Kyai Pradah
dan Pengaruhnya Bagi Masyarakat Blitar berdasarkan buku Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (skripsi, tesis, dan disertasi) UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality Development and
Assurance) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2013.
H. Sistematika Penulisan
Penyajian penelitian dalam bentuk tulisan ini dikelompokkan dalam tiga
bagian, yaitu: pengantar, hasil penelitian, dan kesimpulan. Setiap bab
dideskripsikan atau dijabarkan dalam beberapa sub-bab yang saling
berhubungan. Keterkaitan setiap bab menunjukkan adanya korelasi yang
menunjukkan fakta tertulis dari data yang terangkum.
19
Fakta-fakta yang telah ditemukan menjadi sumber acuan untuk
menuliskan mengenai Upacara Siraman Gong Kyai Pradah dan pengaruhnya
bagi masyarakat yang tertuang dalam penulisan ini. Pembagian permasalahan
ini dijabarkan dalam lima bab, dengan tujuan untuk mengetahui kronologi
penelitian dan memfokuskan penelitian yang dibahas. Adapun sistematika
penulisan karya ilmiahnya, yaitu:
BAB I, merupakan pendahuluan yang di dalamnya terdiri dari beberapa
sub-bab, yaitu: Latar Belakang Masalah, Batasan dan Rumusan Masalah,
Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Kerangka Konseptual,
Metodologi Penelitian, Teknik Penulisan, dan Sistematika Penulisan.
BAB II, membahas Sejarah Upacara Siraman Gong Kyai Pradah. Di
dalamnya terdiri dari beberapa sub-bab, yaitu: Profil Lokasi Penelitian, Sejarah
Gong Kyai Pradah, dan Upacara Siraman Gong Kyai Pradah.
BAB III, membahas mengenai Prosesi Upacara Siraman Gong Kyai
Pradah. Di dalamnya terdiri dari: Tempat Penyimpanan dan Pelaksanaan
Upacara Siraman, Perlengkapan Upacara Siraman, dan Proses Pelaksanaan
Upacara Siraman.
BAB IV, berisikan data dan hasil temuan penelitian mengenai Pengaruh
Upacara Siraman Gong Kyai Pradah. Pada bab ini menjelaskan mengenai
Motivasi Mengikuti Upacara Siraman dan Pengaruh Upacara Siraman.
BAB V, merupakan penutup yang berisikan Kesimpulan dan Saran dari
penulisan skripsi.
20
BAB II
SEJARAH UPACARA SIRAMAN GONG KYAI PRADAH
A. Profil Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Kelurahan Kalipang, Kecamatan Sutojayan yang
merupakan bagian dari Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur, Indonesia.
Kabupaten Blitar sendiri terbagi oleh sungai Brantas menjadi dua bagian, yakni
utara dan selatan. Kecamatan Sutojayan terletak di bagian selatan sungai
Brantas. Secara geografis, Kecamatan Sutojayan merupakan salah satu dari dua
puluh dua kecamatan yang membagi wilayah administrasi Kabupaten Blitar.1
Gambar 2.1 Peta Wilayah Kabupaten Blitar2
1Angga Pratama, “Kecamatan Sutojayan, Kab. Blitar", diakses dari
https://singoutnow.wordpress.com/2016/12/01/kecamatan-sutojayan-kab-blitar/ pada tanggal 19
September 2019, pukul 14.28 WIB. 2Kabupaten Blitar, diakses dari https://www.eastjava.com/east-
java/tourism/blitar/map/blitar_map-high.png , pada tanggal 19 September 2019, pukul 14.49 WIB.
21
Gambar 2.2 Peta Wilayah Kecamatan Sutojayan, Kabupaten Blitar3
Wilayah Kecamatan Sutojayan yang memiliki luas 44.20 km tersebut
berada pada ketinggian 150 m dari permukaan laut. Seluruh wilayahnya adalah
daratan yang terdiri dari 11 desa/ kelurahan4, yaitu:
Kelurahan Jegu
Kelurahan Jengglong
Kelurahan Kalipang
Kelurahan Kedungbunder
Kelurahan Kembangarum
Kelurahan Sutojayan
Kelurahan Sukorejo
Desa Kaulon
Desa Sumberjo
Desa Bacem
Desa Pandanarum
3 Angga Pratama, “Kecamatan Sutojayan, Kab. Blitar", 19 September 2019, 14.28 WIB. 4 Angga Pratama, “Kecamatan Sutojayan, Kab. Blitar", 19 September 2019, 14.28 WIB.
22
Adapun batas-batas Kecamatan Sutojayan adalah sebagai berikut:
Timur : Kecamatan Panggungrejo dan Kecamatan Binangun.
Selatan : Kecamatan Wonotirto.
Barat : Kecamatan Kademangan.
Utara : Kecamatan Kanigoro dan Kecamatan Talun.
Di Kabupaten Blitar, Kecamatan Sutojayan dikenal dengan Lodoyo.
Nama Lodoyo sudah cukup dikenal dikalangan masyarakat Blitar karena nama
tersebut masih biasa digunakan untuk menyebut daerah di selatan sungai
Brantas. Menurut sejarah yang ada, pada zaman dahulu sebagian besar wilayah
Lodoyo adalah hutan belantara yang banyak dihuni binatang buas. Pada waktu
itu Lodoyo termasuk daerah yang rawan dan berbahaya dengan ungkapan kata
“jalmo moro, jalmo mati” yang artinya “siapa yang datang, berarti mencari
kematian”.5 Karena hukuman dari Sri Paku Buwono I, seorang raja dari
Kartasura, maka datanglah Pangeran Prabu ke Lodoyo. Pangeran Prabu adalah
saudara tiri sang raja yang memiliki niat buruk pada raja. Ketika Pangeran Prabu
datang, Lodoyo tak hanya berupa hutan lebat, tapi juga masih wingit (angker).
Ia membawa pusaka kerajaan berupa gong atau bendhe, yang dinamakan Gong
Kyai Pradah. Dengan memukul gong sebanyak tujuh kali, maka binatang buas
yang ada di hutan Lodoyo menjadi jinak dan keangkeran Lodoyo ditaklukkan.6
5Agus MS, “Sekelumit Sejarah Benda Pusaka Gong Kyai Pradah dan Sejarah Terjadinya
Daerah Lodoyo”, diakses dari http://lodoyodadikutho.blogspot.com/ , pada tanggal 21 September
2019, pukul 10.17 WIB. 6Wawancara pribadi dengan Drs. Hartono, M.M., Kepala Bidang Kebudayaan Dinas
Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga (DISPARBUDPORA) Kabupaten Blitar, Blitar, 25
September 2019.
23
Mitos mengenai Gong Kyai Pradah sebagai warisan dari nenek moyang harus
dilestarikan karena dipercaya sebagai lambang kesuburan bagi masyarakat
Kalipang. Apabila dijalankan secara rutin serta sungguh-sungguh akan membawa
berkah ketenteraman hidup dan kebahagiaan lahir batin. Mitos tersebut merupakan
dasar dalam menjalankan ritual.
B. Sejarah Gong Kyai Pradah
Gambar 2.1 Gong Kyai Pradah7
Sebagian besar masyarakat Blitar adalah beragama Islam. Ada yang
menjalankan ajarannya dengan sungguh-sungguh, ada pula yang yang hanya
setengah-setengah dalam menjalankannya atau yang dikenal dengan istilah
Islam abangan. Disebut Islam abangan karena mereka masih menjalankan adat
Jawa yang telah diwariskan nenek moyang. Adapun tradisi yang masih
dijalankan salah satunya adalah upacara siraman Gong Kyai Pradah.
7 Website Resmi Pemerintah Kabupaten Blitar, Siraman Gong Kyai Pradah Warisan Budaya
Untuk Generasi Bangsa, diakses dari https://www.blitarkab.go.id/2016/12/14/siraman-gong-kyai-
pradah-warisan-budaya-untuk-generasi-bangsa/ pada tanggal 20 Desember 2019, pukul 22.03 WIB.
24
Setelah penulis mengadakan penelitian langsung, sebagaimana yang
dikisahkan Bapak Adi selaku juru kunci Gong Kyai Pradah, ritual siraman Gong
Kyai Pradah merupakan upacara tradisional yang masih dilestarikan oleh
masyarakat Lodoyo. Berdasarkan kisah babad8 Pusaka Kyai Pradah di Lodoyo
yang disahkan oleh panitia siraman Kyai Pradah, Gong Kyai Pradah sudah ada
pada masa Mataram Kuno, tahun 1704-1719 M. Asal-mula diadakannya tradisi
siraman (jamasan) Gong Kyai Pradah berkaitan dengan berdirinya Desa
Lodoyo. Semua berawal dari seorang pangeran dari kesultanan Kartasura,
Pangeran Prabu. Ia merupakan saudara dari Sri Susuhun Paku Buwono I. Ia
lahir dari istri ampeyan (selir), karenanya ia tidak dapat menjadi raja untuk
menggantikan ayahnya. Setelah Sri Susuhan Paku Buwono I dinobatkan
menjadi raja, timbul rasa kecewa dalam hati pangeran Prabu. Rasa kecewa
tersebut membuat ia berencana membunuh adik tirinya, Sri Susuhan Paku
Buwono I. Namun rencananya gagal karena ia ketahuan oleh Sri Susuhan Paku
Buwono I. Sebagai hukuman, pangeran Prabu diusir dari kerajaan. Ia diutus
pergi ke Timur, tepatnya di hutan Lodoyo yang masih angker yang masih
banyak binatang buasnya. Sri Susuhan Paku Buwono I berharap pangeran Prabu
meninggal dimangsa binatang buas.9
Pangeran Prabu pun pergi ke hutan Lodoyo bersama istrinya, Putri
Wandansari dan pengikutnya, Ki Amat Tariman. Ia juga membawa seperangkat
wayang, prajurit, para penari, tenda-tenda, serta pusaka berwujud bandhe
8 Babad adalah sejarah. Lihat di Badudu dan Sutan Mohammad Zain, Kamus Umum Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), h. 100. 9Cariyos Babad “Pusoko Kyai Pradhah” ing Lodoyo: Miturut Serat Babad Tanah Jawi,
(Lodoyo, 2000), h. 1.
25
(gong) yang dinamakan Kyai Bicak, sebagai tumbal untuk hutan Lodoyo yang
dikenal angker.10
Setibanya di Lodoyo, Pangeran Prabu beserta istri dan pengikutnya
singgah di Desa Ngekul, di rumah Nyi Mbok Randha Potrosuto untuk
beristirahat. Suatu ketika Pangeran Prabu ingin melakukan semedi di Wono
Pakel (Lodoyo Barat). Sebelum pergi, Pangeran Prabu menitipkan pusaka Kyai
Bicak kepada Nyi Mbok Randha Potrosuto dan memberikan pesan:
- Saben dhawah tanggal, 1 Syawal lan 12 Mulud supados dipun suceni
nganggo toyo lan sekar (kembang setaman). Yang artinya: setiap jatuh
tanggal 1 Syawal dan 12 Maulud disucikan dengan air dan bunga setaman.
- Toyanipun sesucen kenging kangge tetiyang engkangsami nandhang sesakit
lan supados gesangipun sami seneng. Yang artinya: Air bekas penyucian
dapat menyembuhkan orang yang sedang sakit dan yang sedang susah
menjadi senang.
Karena tak kunjung kembali, Ki Amat Tariman (pengikut Pangeran
Prabu) khawatir terjadi sesuatu kepada Pangeran Prabu. Ia pun memukul Kyai
Bicak tujuh kali dengan harapan Pangeran Prabu akan segera kembali dengan
mengikuti arah suara gong. Akan tetapi, yang datang bukan Pangeran Prabu,
melainkan harimau besar dan sangat banyak. Anehnya, bukannya memangsa Ki
Amat Tariman, tetapi harimau tersebut menjaganya. Karenanya, Kyai Bicak
disebut Kyai Macan atau Kyai Pradah.
10 Wawancara pribadi dengan Muhammad As’adi, Blitar, 16 September 2019.
26
Setelah kepergian Pangeran Prabu, Nyi Potrosuto lah yang menyimpan
Gong Kyai Pradah. Setelah beliau wafat, pusaka Gong Kyai Pradah disimpan
oleh Ki Rediboyo di Dusun Ngekul, kemudian Ki Dhalang Rediguno di Dusun
Kepek, kemudian Kyai Imam Sampurno. Ketika Kyai Imam Sampurno
dipanggil ke kerajaan Surakarta, pusaka Gong Kyai Pradah dibawa dan
disimpan oleh adiknya, Kyai Imam Seco yang menjabat sebagai wakil Penghulu
Blitar, di Dusun Sukoanyar sekarang Sukorejo. Pada tahun 1798 Kyai Imam
Seco wafat, dan pusaka Gong Kyai Pradah dipercayakan kepada Raden Ronggo
Kertorejo. Sejak tahun inilah, gong disimpan di sanggar Gong Kyai Pradah yang
didirikan di Dusun Kalipang, Kecamatan Sutojayan hingga saat ini.11
C. Upacara Siraman Gong Kyai Pradah
Gong Kyai Pradah merupakan salah satu benda pusaka yang ada di Kabupaten
Blitar. Gong adalah canang besar (kadang-kadang dipukul sebagai tanda
pembukaan upacara dan sebagainya).12 Adapun Kyai Pradah adalah sebutan
untuk sebuah gong yang merupakan salah satu instrumen gamelan Jawa
berdiameter 60 cm yang tebuat dari besi perunggu dan dibungkus kain mori
(kain putih) yang dikeramatkan masyarakat Lodoyo sebagai benda pusaka.13
Gong tersebut disakralkan dan dipercaya mendatangkan keberkahan bagi siapa
saja yang mempercayainya. Pada dasarnya, benda-benda yang sakral
sebenarnya secara lahiriah tidak berbeda dengan benda-benda biasa yang ada
11 Cariyos Babad “Pusoko Kyai Pradhah” ing Lodoyo, h. 3-4. 12 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), (Jakarta: Balai
Pustaka, 2007), h. 368. 13 Wawancara pribadi dengan Muhammad As’adi, Blitar, 16 September 2019.
27
dalam kehidupan sehari-hari. Jadi, yang sakral dapat diartikan sebagai sesuatu
yang disisihkan dari sikap hormat terhadap hal-hal yang berguna bagi
kehidupan sehari-hari. Artinya, bahwa yang sakral itu tidak difahami dengan
akal sehat yang bersifat empiris (berdasarkan pengalaman) untuk memenuhi
kebutuhan praktis.14 Sebagaimana benda yang disakralkan lainnya, Gong Kyai
Pradah juga tidak boleh disentuh kecuali pada saat-saat tertentu oleh orang-
orang tertentu atau yang telah diberikan otoritas secara khusus.
Kepercayaan kepada kesakralan sesuatu menuntut ia diperlakukan secara
khusus. Terdapat tata cara perlakuan terhadap sesuatu yang disakralkan dengan
diadakannya upacara. Upacara dan perlakuan khusus ini tidak dapat dipahami
secara rasional, akan tetapi dilakukan dari dahulu, sekarang, dan di masa yang
akan datang.15 Dengan melakukan upacara, masyarakat percaya dapat
mengadakan hubungan langsung untuk meminta bantuan atau untuk menguasai
roh-roh gaib bagi kepentingan duniawi dan rohani mereka. Hubungan dengan
roh dan daya gaib dilakukan dengan berbagai ritual yang berupa sesaji,
pembacaan mantra-mantra, dan melibatkan juru kunci.16
Juru kunci atau penjaga sekaligus yang merawat pusaka Gong Kyai
Pradah sendiri telah mengalami enam kali pergantian. Pergantian juru kunci
dilakukan dengan pemilihan langsung oleh ‘Kyai Pradah’ melalui juru kunci
sebelumnya dengan mengadakan beberapa tes. Tidak ada syarat khusus dalam
14 Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat: Suatu Pengantar Sosiologi Agama, terj.
Abdul Muis Naharong, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1997), h. 11. 15 Bustanuddin Agus, Agama dalam Kehidupan Manusia, (Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2007), h. 95-96. 16 Simuh, Islam dan Pergumulan Jawa, (Jakarta: Teraju, 2003), h. 43.
28
pemilihan juru kunci, siapapun, dari agama apapun, dan bebas dari daerah
mana, semua yang berminat dapat mengikuti tes ini. Menurut Bapak As’adi,
dari keenam juru kunci hanya empat yang diketahui identitasnya karena
memang tidak ada penulisan sejarahnya. Beliau adalah Zainal Mustofa (juru
kunci ketiga), Imam Bukhori (juru kunci keempat), Supalil (juru kunci kelima),
dan sejak tahun 2016 orang yang dipercaya menjadi juru kunci keenam pusaka
Gong Kyai Pradah adalah dirinya yang merupakan cucu menantu dari juru kunci
sebelumnya, yaitu Bapak Supalil.17
Upacara siraman Gong Kyai Pradah yang dilakukan setiap tanggal 1
Syawal bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri, dilaksanakan secara sederhana
oleh petugas yang berkepentingan saja. Sedangkan setiap tanggal 12 Rabi’ul
Awwal bertepatan dengan Maulid Nabi Muhammad SAW., dilaksanakan secara
besar-besaran yang didukung dan dikoordinasi oleh pemerintah daerah dan
dihadiri oleh seluruh pejabat daerah dan tamu undangan dari berbagai daerah.
upacara siraman tidak boleh dilakukan di semua Wage. Apabila tanggal 12
Maulud dan 1 Syawal bertepatan di hari Wage, maka ritual akan diundur di hari
berikutnya.18 Adapun yang bertugas melakukan siraman (menyucikan) gong
adalah Bupati Kabupaten Blitar. Namun, apabila di hari tersebut Bupati tidak
dapat hadir, maka yang bertugas menyucikan gong adalah juru kunci atau orang
yang dipilih oleh juru kunci.19
17 Wawancara pribadi dengan Muhammad As’adi, Blitar, 16 September 2019. 18 Wawancara pribadi dengan Muhammad As’adi, Blitar, 16 September 2019. 19 Wawancara pribadi dengan Drs. Hartono, M.M., Blitar, 25 September 2019.
29
Pada dasarnya masyarakat tidak mempermasalahkan diselenggarakannya
ritual tersebut karena keyakinan masyarakat akan dampak baik yang akan
mereka dapatkan. Mayoritas umat Islam juga tidak keberatan dengan
pelaksanaannya karena ritual bersamaan dengan peringatan Maulid Nabi
Muhammad SAW. dan Hari Raya Idul Fitri. Pelaksanaannya dikemas
sedemikian rupa sehingga terdapat nuansa Islami dalam susunan acaranya.
Menurut juru kunci, upacara siraman yang dilakukan pada 1 Syawal bertujuan
sebagai permohonan kepada Allah SWT. dan merupakan upaya pembersihan
diri. Gong dibunyikan untuk mengumpulkan masyarakat agar saling bertemu
dan saling memaafkan. Sedangkan upacara siraman pada 12 Maulud dilakukan
untuk memperingati lahirnya Rasulullah SAW. atau yang akrab disebut
muludan. Dengan diadakannya siraman, diharapkan masyarakat akan
berbondong-bondong berkumpul dan memperingati lahirnya Rasulullah SAW.
30
BAB III
PROSESI UPACARA SIRAMAN GONG KYAI PRADAH
A. Tempat Penyimpanan dan Pelaksanaan Upacara Siraman
Gambar 3.1 Sanggar Pusaka Gong Kyai Pradah1
Upacara siraman Gong Kyai Pradah dilaksanakan di Kelurahan
Kalipang, tepatnya di alun-alun Kecamatan Sutojayan. Di tepi sebelah barat
alun-alun berdiri sebuah bangunan kecil yang disebut sanggar. Sanggar tersebut
merupakan tempat menyimpan Gong Kyai Pradah sebelum dan setelah
pelaksanaan upacara siraman. Sanggar tersebut telah berdiri sejak zaman
penjajahan Belanda. Pada tahun 1978 saat Wedana (Pembantu Bupati) dijabat
oleh Budi Susetyo, sanggar tersebut direnovasi sehingga menjadi seperti saat
ini.2 Bagian utama sanggar berbentuk rumah panggung selebar dua setengah
meter dan panjang empat meter dengan dinding dan lantai dari papan kayu serta
1 Observasi Lapangan tanggal 16 September 2019. 2 Sugianto, “Ritual Adat Siraman Pusaka Gong Kyai Pradah”, Universitas Terbuka, h. 4,
diakses dari http://pk ut.ac.id/j si/1 31.sugianto.html, pada tanggal 18 September 2019, pukul 20.58
WIB.
31
beratap sirap3. Lantainya setinggi satu meter dari tanah dan untuk menaikinya
terdapat tangga dari semen selebar satu setengah meter dengan enam anak
tangga yang dilapisi ubin berwarna putih. Dinding sanggar bercat dasar putih
dan sebagian berwarna hijau, jendela dan pintunya pun berwarna hijau.4
Menurut juru kunci, warna hijau merupakan simbol kerajaan Mataram Kuno.5
Rumah panggung tersebut merupakan tempat menyimpan Gong Kyai Pradah,
kenong, keris, tombak, dan wayang kayu.6
Bagian di sekeliling rumah panggung tempat penyimpanan gong disebut
serambi. Serambi adalah selasar, langkan rumah atau balai, biasanya lebih
rendah letaknya daripada bagian tengah rumah, berada di samping, depan,
belakang rumah.7 Di serambi berdiri pilar-pilar dari beton cetak berukir dan
berlantai ubin berwarna hijau dan beratap anyaman bambu yang dicat warna
putih. Di atap bagian depan, sejajar dengan tangga rumah panggung, terdapat
tempat menggantung gong yang hanya digunakan ketika pelaksanaan siraman
pada 1 Syawal. Untuk menggantung gong, terdapat alat bantu berupa meja kayu
bermotif setinggi satu meter. Bagian atas meja diberi kayu seperti pagar dan
dicat merah putih. Untuk menaikinya, disediakan tangga yang dibuat dari kayu.8
Bangunan serambi digunakan sebagai tempat berkumpul untuk memohon
berkah setiap malam Jumat Legi sambil mengadakan selamatan. Bagi yang
3 Sirap. atap sirap adalah atap yang terbuat dari bilah-bilah kayu besi tipis-tipis. Lihat di
Badudu dan Sutan Mohammad Zain, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 1994), h. 1334. 4 Observasi Lapangan tanggal 16 September 2019. 5 Wawancara pribadi dengan Muhammad As’adi, Blitar, 16 September 2019. 6 Wawancara pribadi dengan Supalil, Juru Kunci ke-5 Gong Kyai Pradah, Blitar, 16 September
2019. 7 Badudu dan Sutan Mohammad Zain, Kamus, h. 1293. 8 Observasi Lapangan tanggal 16 September 2019.
32
beragama Islam dapat melakukan tahlil di musala. Musala hanya digunakan
ketika malam Jumat Legi setelah magrib hingga pagi hari dan ketika malam
siraman. Sedangkan yang beragama selain Islam dapat bersemedi atau berdoa
sesuai kepercayaannya di ruangan khusus dan di serambi sanggar.9
Sejak dahulu masyarakat Jawa telah memiliki perhitungan mengenai
pasaran, hari, bulan, dan sebagainya yang digunakan untuk menentukan baik
buruknya hari atau bulan tersebut. Dalam menentukan baik buruknya hari,
masyarakat Jawa memiliki hitungan pasaran yang berjumlah lima yang sejalan
dengan ajaran “sedulur papat, kalima pancer” yang artinya empat saudara
sekelahiran, kelimanya pusat.10 Ajaran ini berarti badan manusia yang berupa
jasad lahir bersama empat unsur atau roh yang berasal dari tanah, air, api, dan
udara yang mana keempat unsur ini memiliki tempat di empat kiblat dan yang
terakhir merupakan unsur yang bertempat di tengah. Pasaran Legi bertempat di
timur, satu tempat dengan unsur udara yang memancarkan sinar putih, pasaran
Pahing bertempat di selatan satu tempat dengan unsur api yang memancarkan
sinar merah, pasaran Pon bertempat di barat satu tempat dengan unsur air yang
memancarkan sinar kuning, pasaran Wage bertempat di utara satu tempat
dengan unsur tanah yang memancarkan sinar hitam, dan yang terakhir Kliwon
tempatnya di tengah (pusat) yang merupakan tempat sukma atau jiwa yang
memancarkan sinar manca warna (bermacam-macam).11 Dengan adanya ilmu
9 Wawancara pribadi dengan Mujiono, Pengikut Upacara Siraman Gong Kyai Pradah, Blitar,
11 November 2019. 10 Purwadi, Petungan Jawa, (Yogyakarta: Pinus, 2006), h. 9. 11 Uung Abdurrahman, Sinopsis Peneliian Keagamaan, (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN
Sunan Kalijaga, 2006), h. 87.
33
inilah masyarakat Jawa menandai beberapa hari dengan pasaran yang dianggap
sebagai hari terbaik untuk melaksanakan ritual dengan harapan keinginannya
segera terpenuhi.
Ruangan khusus tersebut kurang lebih selebar tiga meter dengan panjang
delapan meter membujur ke samping, mempunyai pintu di tengah, lurus dengan
rumah panggung, di samping kanan dan kirinya terdapat jendela. Dindingnya
berwarna putih dan bagian bawahnya diberi ubin warna hijau, jendela dan
pintunya juga berwarna hijau.12 Di atas pintu dan jendelanya terdapat lukisan
harimau putih, yang diartikan sebagai simbol Kyai Pradah.13
Seluruh bangunan dipagari tembok bermotif botol bercat putih dan
memiliki dua pintu masuk, yaitu pintu masuk utama yang menghadap ke alun-
alun dan sebuah pintu kecil yang berada di samping kanan, yang berfungsi
sebagai pintu darurat. Gerbang utama berpintu jeruji besi dengan dua daun pintu
berwarna hijau. Di bagian depan sanggar, terdapat dua patung harimau setinggi
satu setengah meter, di bagian kanan terdapat harimau putih dan sebelah kiri
patung harimau kuning. Harimau merupakan simbol Kyai Pradah. Selain itu,
dua buah patung harimau tersebut merupakan simbol untuk menjaga dan
melindungi masyarakat yang percaya pada pusaka tersebut.14 Hal tersebut
dikaitkan dengan mitos bahwa pada zaman dahulu Gong Kyai Pradah pernah
12 Observasi Lapangan tanggal 18 September 2019. 13 Wawancara pribadi dengan Muhammad As’adi, Blitar, 16 September 2019. 14 Ruddat Ilaina R.A., dkk., Makna dan Relevansi Simbolik Mantra Siraman Gong Kyai
Pradah Lodaya dengan Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. di Desa Lodaya Blitar, Jurnal
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa, Universitas Muhammadiyah Purworejo, Vol.
12. No. 01, Juni 2018, h. 12.
34
menjelma menjadi harimau dan menyelamatkan Nyi Mbok Randha Dadapan
dari para perampok.15 Di atas pintu gerbang utama bagian depan terdapat tulisan
yang berbunyi “Sanggar
Pusaka Gong Kyai Pradhah Lodoyo”.
Selain berfungsi sebagai tempat penyimpanan gong setelah dimandikan,
sanggar juga digunakan sebagai tempat kegiatan rutin para peziarah setiap
malam Jumat Legi, baik untuk kegiatan selamatan maupun untuk tirakatan,
yaitu menahan diri tidak tidur semalaman suntuk dalam rangka mencari berkah
yang diinginkan, misalnya keselamatan.16
Selain itu, ada juga bangunan yang fungsinya tidak dapat dipisahkan dari
bangunan sanggar, yaitu panggung yang berada di tengah alun-alun. Panggung
tersebut dibangun bersamaan dengan renovasi sanggar pada tahun 1978.17
Bangunan tersebut terbuat dari beton berbentuk panggung terbuka segi delapan
setinggi tiga meter. Di bagian bawahnya terdapat fondasi beton sebagai
penyangga utama, dan terdapat empat pilar lagi sebagai penyangga tambahan.
Lantai panggung tersebut berpagar besi dan beratap sirap. Untuk menaikinya
terdapat tujuh belas anak tangga dari beton yang juga berpagar besi. Panggung
tersebut berfungsi sebagai tempat pelaksanaan ritual utama, yaitu penyucian
Gong Kyai Pradah setiap tanggal 12 Rabi’ul Awwal, bertepatan dengan
perayaan Maulid Nabi Muhammad SAW.
15 Wawancara pribadi dengan Muhammad As’adi, Blitar, 16 September 2019. 16 Wawancara pribadi dengan Drs. Hartono, M.M., Blitar, 25 September 2019. 17 Sugianto, Ritual Adat, h. 4, pada 18 September 2019, 20.58 WIB.
35
Gambar 3.2 Panggung Siraman18
B. Perlengkapan Upacara Siraman
Peralatan atau perlengkapan upacara dan upacara siraman merupakan
unsur yang tidak dapat dipisahkan. Peralatan atau perlengkapan upacara
menjadi salah satu komponen penting yang harus ada. Pada sistem religi
masyarakat, suatu upacara tidak dapat dilaksanakan dan bahkan dipandang
tidak sah apabila peralatan atau perlengkapan yang menyertai upacara tidak
lengkap. Secara umum, benda-benda atau peralatan yang digunakan, disajikan,
atau dipersembahkan dalam upacara memiliki makna religi apabila digunakan
dalam peristiwa religi. Apabila tidak, bisa jadi benda atau peralatan tersebut
hanyalah benda-benda yang dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari dan
tidak memiliki makna khusus.19
18 Observasi Lapangan tanggal 16 September 2019. 19 Sugeng Pujileksono, Pengantar Antropologi: Memahami Realitas Sosial Budaya, (Malang:
Intrans Publising, 2015), h. 95.
36
Adapun perlengkapan (ubarampe) dan peralatan yang digunakan untuk
pelaksanaan upacara siraman Gong Kyai Pradah adalah sebagai berikut20:
1. Sesajen yang terdiri dari berbagai jenis makanan.
2. Satu kepala kambing.
3. Boreh, yaitu bedak yang terbuat dari kunyit dicampur dengan beras dan
minyak kelapa, lalu digiling halus-halus, biasanya digunakan untuk
membedaki tubuh mempelai wanita atau pemain wayang orang.21
4. Kembang setaman. Dinamakan kembang setaman karena terdiri dari
berbagai jenis bunga diantaranya bunga kantil, melati, kenanga, mawar
merah, dan mawar putih. Secara simbolik, kembang setaman
melambangkan keharuman sehingga digunakan sebagai wewangian ketika
proses jamasan (siraman).
5. Panji-panji berwarna hijau satu buah. Warna hijau merupakan simbol
Kerajaan Mataram Kuno, karenanya semua yang berkaitan dengan Gong
Kyai Pradah cenderung menggunakan warna hijau.
6. Kemenyan.
7. Sebuah payung berwarna hijau untuk memayungi sesajen.
8. Tujuh buah gentong, sebagai tempat menyimpan air yang akan digunakan
untuk menyiram atau menyucikan Gong Kyai Pradah.
9. Kain mori, yaitu sejenis kain putih yang digunakan bahan batik.22 Kain
mori biasa dikenal dengan kain kafan.
20 Wawancara pribadi dengan Muhammad As’adi, Blitar, 16 September 2019. 21 Badudu dan Sutan Mohammad Zain, Kamus, h. 202. 22 Badudu dan Sutan Mohammad Zain, Kamus, h. 909.
37
10. Air dari sanggar untuk menyucikan gong ketika proses siraman (jamasan).
11. Handuk untuk membersihkan gong setelah disucikan.
Selain ubarampe, terdapat hal lain yang harus ada23, yaitu:
a. Juru kunci
b. Ajudan juru kunci
c. Tiga wanita sebagai pengiring
d. Genjringan/ shalawat jowo/ shalawat kuno
e. Pengiring shalawat
f. Jaranan
g. Pejabat pemerintahan, yakni: lurah, camat, kepala dinas pemerintah, dan
pejabat-pejabat pemerintah tertentu.
h. Panitia acara dan beberapa orang yang ditugaskan untuk membawa
perlengkapan upacara siraman.
Ketika pelaksanaan upacara siraman, juru kunci, para ajudan, panitia,
para undangan, dan yang ditugaskan membawa perlengkapan upacara siraman
diwajibkan menggunakan pakaian kejawen. Hal ini dilakukan untuk
menghormati warisan leluhur.
C. Proses Pelaksanaan Upacara Siraman
Secara keseluruhan, acara dalam upacara siraman Gong Kyai Pradah
dapat diklasifikasin menjadi tiga tahap24, yaitu:
23 Wawancara pribadi dengan Muhammad As’adi, Blitar, 16 September 2019 24 Wawancara pribadi dengan Drs. Hartono, M.M., Blitar, 25 September 2019.
38
1. Tahap Persiapan
Sehari sebelum pelaksanaan siraman, sanggar penyimpanan,
panggung siraman, serta tempat penyembelihan kambing sesajen dihias
dengan janur. Setelah menghias selesai, dilanjutkan dengan pemotongan
kambing sesajen. Kambing yang digunakan hanya satu ekor, yang
digunakan hanya kepala dan jeroannya saja, yang kemudian dibungkus
dengan kain mori untuk dijadikan sesajen ketika ziarah. Selesai pemotongan
kambing, dilanjutkan pembuatan sesajen yang dilakukan oleh para ibu
dengan dikoordinasi oleh juru kunci. Sesajen yang dipersiapkan adalah
sesaji untuk sanggar penyimpanan, sesaji keselamatan, sesaji ziarah, dan
sesaji siraman.
Sesaji atau bersaji meliputi perbuatan-perbuatan upacara yang
biasanya dilakukan untuk menyajikan makanan, benda-benda, dan
sebagainya kepada dewa-dewa, ruh-ruh nenek moyang, atau makhluk halus
yang lain, tetapi yang di dalam praktik jauh lebih kompleks dari pada itu.
Pada banyak upacara bersaji, orang memberi makanan yang oleh manusia
dianggap lezat, seolah-olah dewa-dewa atau ruh-ruh itu mempunyai
kegemaran yang sama dengan manusia.25
Robertson mengajukan teorinya mengenai fungsi upacara bersaji.
Menurutnya, bersaji merupakan aktivitas untuk mendorong rasa solidaritas
dengan dewa atau para dewa. Robertson menggambarkan upacara sesaji
sebagai suatu upacara yang khidmat. Pemberian sesajen di tempat-tempat
25 Sugianto, Ritual Adat, h. 6-7, pada 18 September 2019, 20.58 WIB.
39
keramat bertujuan untuk mendukung kepercayaan mereka terhadap adanya
kekuatan makhluk halus agar jangan mengganggu. Selain itu, manusia
mengharapkan berkah dan terhindar dari gangguan makhluk hidup lain.26
Sajen yang disiapkan untuk perlengkapan dalam pelaksanaan upacara
siraman Gong Kyai Pradah adalah berupa nasi tumpeng lengkap dengan
lauk pauk dan ayam panggang yang lazim disebut ingkung, kemudian
pisang raja tiga tangkep (6 sisir), serta kembang setaman, yang kemudian
disimbolkan berupa seperangkat bunga yang terdiri dari tunas pohon pisang
raja yang dilengkapi dengan berbagai bunga, seperti mawar, kenanga,
kerantil, daun bunga andong, serta daun puring, yang dilengkapi dengan
bedak basah yang disebut boreh dan juga kemenyan. Boreh digunakan di
akhir, yakni digunakan untuk melumuri gong yang telah selesai dicuci
ketika upacara inti. Sesajen dalam wujud makanan antara lain adalah sego
golong, yaitu nasi putih yang dibungkus kecil-kecil dengan daun pisang
yang bermakna keteguhan hati (gumolong), serta bubur sengkolo, yaitu
bubur putih dan bubur merah.27
Sesaji yang lain yaitu kepala kambing dan organ dalam perut
kambing (jeroan) yang pada pagi harinya, sebelum upacara siraman
dilaksanakan ditanam di sebuah rumah kecil yang lazim disebut cungkup28
dan terkenal dengan sebutan petilasan Mbok Randha Dadapan. Petilasan ini
26 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi Jilid I, (Jakarta: UI Press, 1987), h. 67-68. 27 Wawancara pribadi dengan Iskandar, Pengikut Upacara Siraman Gong Kyai Pradah, Blitar,
11 November 2019. 28 Cungkup adalah atap penutup kubur atau makam seperti makam orang-orang Cina. Lihat di
Badudu dan Sutan Mohammad Zain, Kamus, h. 294.
40
merupakan tempat peristirahatan Nyi Potrosuto yang rumahnya menjadi
rumah singgah Pangeran Prabu ketika di Lodoyo.29 Di petilasan inilah
masyarakat datang untuk ziarah. Ritual tersebut memberikan kesempatan
kepada masyarakat untuk mengambil bagian dalam dimensi adi kodrati
yang dihadirkan dalam kesatuan mistik. Umumnya, masyarakat akan
mengunjungi makam untuk memohon berkah, meminta kejelasan sebelum
membuat keputusan penting, memohon kenaikan pangkat, dan
sebagainya.30 Dalam tradisi masyarakat Jawa, berdoa selain dilakukan
untuk menghormati para leluhur yang sudah meninggal, juga untuk
mendapatkan suatu keberkahan.
Semua sesajen disiapkan oleh juru kunci dan para pengurus sanggar
yang lain dan diletakkan di sanggar, tepatnya di atas meja di samping Gong
Kyai Pradah. Buceng beserta ingkung ayam dibiarkan sampai ritual siraman
selesai dilaksanakan. Setelah itu baru diambil dan dimakan oleh juru kunci
dan beberapa anggota sanggar sebagai berkah dari Kyai Pradah, termasuk
pisang setangkep (2 sisir), sego golong, dan bubur sengkolo. Pisang raja
yang dua tangkep (4 sisir) lagi, dua sisirnya dibawa ke petilasan Mbok
Randha Dadapan dan sisanya dibawa ke panggung acara upacara siraman
bersama kembang setaman, boreh, serta kemenyan.
Penyiapan sesajen tidak dapat dipisahkan dengan kegiatan lain yang
berkaitan dengan penyiapan perlengkapan ritual siraman di panggung.
29 Wawancara pribadi dengan Karti, Pengikut Upacara Siraman Gong Kyai Pradah, Blitar, 11
November 2019. 30 Frans Magnis Suseno, Etika Jawa: Sebuah Analisa Filsafat tentang Kebijaksanaan Hidup
Jawa, (Jakarta: Gramedia, 2003), h. 87.
41
Perlengkapan ritual siraman antara lain, penyiapan tujuh tempayan berisi
air, pemasangan janur kuning untuk dipasang di sanggar maupun panggung,
pembersihan lantai serambi sanggar, pengaturan tempat kesenian tradisional
jedor, sound system, dan tikar untuk tempat tirakatan malam harinya.
2. Tahap Pelaksanaan
a. Malam Tirakatan (Melekan)
Upacara siraman Gong Kyai Pradah dimulai dengan melakukan
tirakat dengan menyediakan sesajen dan penataan alat. Tirakat adalah
usaha manusia sebagai bentuk permohonan kepada Tuhan Yang Maha
Esa agar serangkaian pelaksanaan sebuah tradisi dapat berjalan dengan
lancar sebagaimana mestinya.31 Satu malam sebelum pelaksanaan
siraman, dilaksanakan tahlil. Hal ini menggambarkan adanya usaha
yang dilakukan oleh masyarakat sebelum upacara siraman dimulai.
Malam tirakatan yang dikenal dengan melekan merupakan
sebuah ritual yang dilakukan secara menahan diri semalam suntuk
dengan tidak tidur dengan maksud memohon berkah dari Tuhan melalui
Gong Kyai Pradah. Malam tirakatan dimulai pukul 01.00 WIB. Malam
tirakatan diawali dengan kegiatan selamatan atau kenduri. Dalam
kehidupan masyarakat Jawa tak lepas dari ritual selamatan yang yang
telah tercampur dengan adat-istiadat Jawa. Selamatan dipandang
sebagai sebuah representasi harapan yang penuh pengorbanan secara
31 N. Rahayu, dkk, Model Pewarisan Nilai-Nilai Budaya Jawa Melalui Pemanfaatan Upacara
Ritual, (Jurnal Ilmu Komunikasi Vol. 12. No. 1, 2014), h. 65.
42
ikhlas lahir batin.32 Selamatan adalah suatu upacara makan bersama
makanan yang telah diberi doa sebelum dibagi-bagikan. Selamatan itu
tidak terpisahkan dari kepercayaan kepada unsur-unsur kekuatan sakti
maupun makhluk-makhluk halus.33 Hampir semua selamatan ditujukan
untuk memperoleh keselamatan hidup dengan tidak ada gangguan-
gangguan apapun. Tujuannya adalah mencapai keadaan slamet, yang
pernah dideskripsikan Koentjaraningrat sebagai “sebuah keadaan di
mana peristiwa-peristiwa mengikuti alur yang telah ditetapkan dengan
mulus dan tak satu pun kemalangan yang menimpa siapa saja”.34
Selamatan merupakan ritus religius orang Jawa. Selamatan
memiliki makna sosial bagi masyarakat Jawa tradisional yang sangat
diyakini dan memegang peranan yang sangat penting dalam
menciptakan kondisi untuk mempertebal rasa aman serta memberi
pegangan dalam menentukan sikap dan tingkah laku bagi segenap warga
masyarakat yang bersangkutan.35
Upacara selamatan dapat digolongkan ke dalam enam macam
sesuai dengan peristiwa atau kejadian dalam kehidupan manusia sehari-
hari36, yakni:
32 Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen: Sinkretisme, Simbolisme, dan Sufisme dalam Budaya
Spiritual Jawa, (Yogyakarta: Narasi, 2018), h. 73. 33 Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1999), h.
347. 34 Niels Mulder, Mistisisme Jawa: Ideologi di Indonesia, terj. Noor Cholis, (Yogyakarta: PT.
LKiS Printing Cemerlang, 2011), h. 136. 35 Andri Yanto, dkk., “Simbol-Simbol Lingual dalam Tuturan ‘Ujub Genduren’ Siklus Hidup
Masyarakat Desa Seneporejo”, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, FKIP, Universitas Jember
(UNEJ), 2015, h. 2. 36 Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan, h. 348.
43
Selamatan dalam rangka lingkaran hidup seseorang, seperti hamil
tujuh bulan, kelahiran, upacara potong rambut pertama, upacara
menyentuh tanah pertama kali, sunat, dan setelah kematian.
Selamatan yang bertahan dengan bersih desa, penggarapan tanah
pertanian, dan setelah panen padi.
Selamatan berhubung dengan hari-hari serta bulan-bulan besar Islam.
Selamatan pada saat-saat tertentu, berkenan dengan kejadian-
kejadian, seperti membuat perjalanan jauh, menempati rumah
kediaman baru, menolak bahaya (ngruwat), janji kalau sembuh dari
sakit (kaul), dan lain-lain.
Selamatan atau kenduri merupakan acara inti sebelum ritual
siraman yang dilakukan di pagi harinya. Selamatan selalu dilakukan
pada pukul 23.00 WIB, dan tidak seorangpun berani mengubahnya.
Kegiatan tersebut dihadiri oleh para pejabat daerah setempat yang lazim
disebut Muspika (Musyawarah Pimpinan Kecamatan). Juru kunci dan
para pejabat naik ke sanggar untuk berdoa di depan Gong Kyai Pradah,
setelah itu turun, dan duduk bersila di tikar membaur dengan para
pengunjung yang lain dengan formasi melingkar atau yang lebih dikenal
dengan meditasi atau semedi.37
Meditasi adalah membiasakan diri kita agar senantiasa
mempunyai sikap yang positif, realistis, dan konstruktif. Dalam agama
Buddha, istilah meditasi sebenarnya dapat disamakan dengan istilah
37 Wawancara pribadi dengan Iskandar, Blitar, 11 November 2019.
44
bhavana yang arti harfiahnya pengembangan batin, yakni usaha untuk
menumbuhkan batin terpusat, tenang, mampu dengan jelas melihat sifat
batin sesungguhnya dan gejala apapun yang dapat merealisir suatu
keadaan batin ideal dari batin yang sehat.38
b. Ziarah
Di hari pelaksanaan upacara siraman, semua gentong diisi air
yang bersumber dari sumur yang berada di sanggar pusaka Gong Kyai
Pradah dan bunga tujuh rupa yang telah di ronce (diuntai). Air inilah
yang nantinya digunakan untuk menyucikan Gong Kyai Pradah. Air
dipercaya sebagai sumber kehidupan, bahkan dalam tubuh kita terdiri
dari air hingga 80%.39 Air sangat penting bagi kehidupan dari pertama
kali ada dalam rahim ibu kita sudah diliputi air. Sejak manusia pertama
lahir hingga meninggal pun harus dibersihkan dengan air. Dalam mistik
Jawa, air yang mengalir merupakan simbol dari kehidupan, sebab air
akan menjadikan tanah menjadi subur, sehingga masyarakat menjadi
sejahtera.40 Dalam hal ini air memiliki makna tersendiri sehingga
digunakan sebagai sarana penyucian secara simbolis baik lahir maupun
batin.
Setelah semua persiapan selesai, ritual dimulai dengan mengiring
gong dari sanggar ke petilasan Nyi Mbok Randha Dadapan pada pukul
38 Piyadassi Thera, Meditasi Budhis Jalan Menuju Ketenangan dan Kebersihan Batin,
(Surabaya: Paramita, 2005), Hlm. 27. 39 Mahir Hasan Mahmud, Terapi Air, Keampuhan Air dalam Mengatasi Aneka Penyakit
berdasarkan Wahyu dan Sains, terj. Ahmad Taufiq, (Jakarta: Qultum Media, 2008), h. 79 40 Waryunah Irmawati, Makna Simbolik Upacara Siraman Pengantin Adat Jawa, Vol. 21, No.
2, November 2013, h. 323.
45
06.00 WIB. Semua perlengkapan dan pengiring ikut serta. Di petilasan
tersebut terdapat sebuah tradisi, yakni mengubur kepala kambing
dengan tujuan ngalap berkah. Setelah prosesi selesai, rombongan
kembali lagi ke sanggar. Setibanya di alun-alun, sebagai hiburan
diadakan pementasan jaranan di bawah panggung tempat upacara
siraman selama beberapa menit.41
c. Upacara Siraman
Acara inti dilaksanakan pukul 09.00 WIB. Acara dimulai dengan
pembacaan sejarah Gong Kyai Pradah oleh tokoh budaya setempat.
Kemudian juru kunci akan mengambil Gong Kyai Pradah dari sanggar
yang kemudian diserahkan kepada Bapak Lurah Kalipang. Selain gong,
di dalam sanggar juga terdapat kenong atau tabuh, tombak, keris, dan
wayang kayu yang juga di bawa ke panggung untuk disucikan. Yang
ditugaskan membawa kenong adalah Bapak Camat Sutojayan dan yang
membawa wayang adalah anggota yang lain. Yang ditugaskan
membawa kembang setaman satu orang, membawa boreh satu orang,
membawa handuk satu orang, membawa panji-panji dan payung
masing-masing satu orang. Semuanya dibawa naik ke atas panggung
siraman, termasuk juru kunci beserta ajudan. Di tempat siraman sudah
ada Bupati, kepala dinas, dan pejabat pemerintahan yang lain.
Prosesi siraman inilah yang dianggap sakral. Menurut Eliade,
sakral merupakan memanifestasikan diri sebagai sebuah realitas yang
41 Observasi Prosesi Upacara Siraman tanggal 11 November 2019.
46
secara keseluruhan berbeda tingkatannya dengan realitas-realitas
alami.42
Selama pelaksanaan upacara siraman, mulai dari pagi ketika ke
petilasan hingga selesainya siraman Gong Kyai Pradah tidak ada yang
boleh melanggar peraturan yang ada, dimana sesajen yang digunakan
harus lengkap, tidak boleh berkata kasar mengenai gong, dan upacara
siraman tidak boleh dilakukan di semua Wage. Apabila tanggal 12
Maulud dan 1 Syawal bertepatan di hari Wage, maka ritual akan diundur
di hari berikutnya.43
Dijelaskan oleh juru kunci, selama prosesi tidak ada sambutan,
yang ada hanyalah instruksi dari panitia dan juru kunci. Ketika prosesi
siraman dilangsungkan, yang bertugas menyucikan gong adalah Bupati
Kabupaten Blitar yang diawali dengan pembacaan basmalah, syahadat,
shalawat. Setelah itu kain penutup gong dibuka, kemudian gong
dibersihkan menggunakan kembang setaman. Setelah bersih, gong
dihanduki dan disiram menggunakan air yang ada di gentong, setelah itu
gong dipukul sebanyak tujuh kali. Setiap pukulan berakhir selalu
ditanyakan kepada pengunjung dengan menggunakan bahasa Jawa
sebagai berikut: “Suwantenipun sae nopo awon?”, yang artinya,
“Suaranya bagus atau jelek”. Kemudian dijawab serentak oleh
pengunjung, “sae” yang artinya “bagus”. Masyarakat percaya, apabila
42 Daniel L. Pals, Dekontruksi Kebenaran: Kritik Tujuh Teori Agama, (Yogyakarta: IRCiSoD,
2001), h. 270. 43 Wawancara pribadi dengan Muhammad As’adi, Blitar, 16 September 2019.
47
gong tersebut bersuara bagus atau nyaring, maka setelah acara selesai
hal baik akan terjadi, dan sebaliknya.
Setelah itu gong diberi boreh dan dibungkus kain mori sebanyak
tiga lapis. Pada saat inilah air bekas siraman dicampur dengan air yang
ada di gentong dan yang ada di mobil pemadam kebakaran. Air inilah
yang dipercaya mendatangkan banyak manfaat bagi yang meminumnya.
Setelah prosesi selesai, Gong Kyai Pradah dan semua rombongan turun
dari panggung siraman dan kembali ke sanggar.44
Masyarakat Jawa memiliki berbagai cara untuk menolak
keburukan yang berasal dari pengaruh setan, jin, dan roh jahat karena
memiliki doa atau mantra yang dipercaya mampu memberikan
pertolongan menghadapi pengaruh-pengaruh buruk yang akan terjadi.45
Pengaruh buruk yang ditimbulkan dapat berupa kemiskinan,
kekeringan, bahkan perpecahan antar sesama masyarakat. Untuk
mencegahnya, maka dilaksanakan selamatan dengan tujuan agar Yang
Maha Kuasa senantiasa memberikan keselamatan.
Doa atau mantra yang digunakan ketika pelaksanaan upacara
siraman Gong Kyai Pradah dikhususkan kepada Mbah Pradah dan
mantra permohonan kesejahteraan kepada Allah SWT. bagi masyarakat.
Mantra tersebut berbunyi46:
44 Wawancara pribadi dengan Muhammad As’adi, Blitar, 16 September 2019. 45 R.P. Suyono, Dunia Mistik Orang Jawa: Roh, Ritual, Benda Magis, (Yogyakarta: PT. LKiS
Printing Cemerlang, 2009), h. 163. 46 Ruddat Ilaina R.A., dkk., Makna dan Relevansi Simbolik, h. 8-9.
48
Mantra Khusus Mbah Pradah (Gong Kyai Pradah)
Kagem Mbah Pradhah
Mugi-mugi Mbah Pradhah saget njagi Desa Lodoyo soko macem-
macemipun blai ingkang dugi barang alus lan dedemit ingkang
ngancem masyarakat Desa Lodoyo
Artinya:
Untuk Mbah Pradah
Semoga Mbah Pradah bisa menjaga Desa Lodoyo dari macam-
macam malapetaka yang datang dari roh-roh jahat yang mengancam
masyarakat Desa Lodoyo
Mantra tersebut memiliki makna bahwa mantra ditujukan
kepada Mbah Pradah yang menjelma menjadi sebuah gong agar
tetap menjaga dan melindungi masyarakat dari malapetaka dan roh
jahat. Kepercayaan masyarakat kepada roh Mbah Pradah terjadi
karena masyarakat Jawa masih menganut ajaran nenek moyang,
yaitu kepercayaan animisme. Roh-roh tersebut dipercaya memiliki
pengaruh yang sangat signifikan terhadap kehidupan masyarakat.47
Mantra Permohonan Kesejahteraan kepada Allah SWT.
Damel nyucihaken pusaka
Mugi-mugi Allah maringi kerukunan lan diparingi keselametan
agem masyarakat Blitar, khususipun Desa Lodoyo
47 Simuh, Sufisme Jawa, (Jakarta: Narasi, 2016), h. 134.
49
Artinya:
Untuk menyucikan pusaka
Semoga Allah SWT. memberikan kerukunan dan memberikan
keselamatan untuk masyarakat Blitar, khususnya Desa Lodoyo
Mantra tersebut memiliki makna bahwa doa yang diucapkan
semata-mata meminta kepada Allah SWT. agar memberikan
keselamatan dan kesejahteraan bagi masyarakat Blitar, khususnya
Desa Lodoyo. Masyarakat percaya bahwa doa-doa yang dipanjatkan
ketika pelaksanaan upacara siraman pusaka Gong Kyai Pradah
mampu mendatangkan kebaikan dalam bentuk keselamatan,
kesejahteraan, kemakmuran, dan kerukunan antar sesama. Mantra
yang diucapkan ketika upacara dilakukan merupakan usaha
masyarakat dan bukti kepercayaan atas kehendak Tuhan yang Maha
Penentu segalanya.48
3. Tahap Penutupan
Setelah selesai semua rangkaian acara penyucian pusaka Gong Kyai
Pradah, acara dilanjutkan dengan pementasan berbagai penampilan, seperti
jaranan dan tari-tarian sebagai hiburan bagi pengunjung. Pertunjukan ini
mengandung arti bahwa kesenian daerah yang tersebut dapat memberikan
kepuasan dan diselenggarakan sebagai pelengkap dalam suatu pesta,
perayaan hari besar atau acara-acara tertentu. Seni yang terdapat dalam
48 Welly Setiawan, Bentuk, Makna, dan Fungsi Mantra di Padepokan Rogo Sutro Desa
Gondangwinangun Kecamatan Ngadirejo Kabupaten Temanggung, (Jurnal Program Studi
Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa, Vol. 4, No. 2, 2014), h. 39.
50
pelaksanaan upacara mengandung arti bahwa kesenian khususnya seni tari
tradisional yang ditampilkan di hari pelaksanaan upacara siraman
mempunyai peranan penting, yaitu untuk menambah suasana magis dan
sakral yang tentunya tidak dapat dilepaskan dari mitos dan ritual.
Sebagai penutup, acara dilanjutkan dengan tasyakuran atau selamatan
berupa kenduri dan makan bersama. Acara setelah prosesi upacara siraman
masih ada, yakni selamatan sepasaran dan selapanan. Selamatan ini
merupakan acara penutup upacara siraman Gong Kyai Pradah yang
dilakukan setelah acara inti, tepatnya di hari kelima dan di hari ke-35 setelah
prosesi jamasan pusaka Gong Kyai Pradah dengan tujuan mengharapkan
keselamatan dari Sang Pencipta.
Sepasaran adalah perhitungan waktu Jawa yang lamanya lima hari.
Selamatan sepasaran adalah selamatan yang diadakan ketika bayi berumur
lima hari.49 Akan tetapi, berdasarkan tradisi ini yang dimaksud dengan
selametan sepasaran adalah selamatan yang dilakukan lima hari setelah
prosesi penyucian pusaka Gong Kyai Pradah. Sedangkan yang dimaksud
dengan selamatan selapanan adalah selamatan yang diadakan 35 hari
setelah kelahiran bayi.50 Berdasarkan tradisi, maka selamatan selapanan ini
dapat diartikan sebagai upacara selamatan yang dilakukan 35 hari setelah
49 Rachman Halim, Pusaka Jawatimuran “Sepasaran (Puputan), Tradisi Budaya
Jawatimuran”, diakses dari https://jawatimuran.wordpress.com/2012/10/23/sepasaran-puputan-
tradisi-budaya-jawatimuran/ pada tanggal 29 Desember 2019, pukul 15.00 WIB. 50 Bagus Adi Kuncoro, Sinar Arjuna “Selametan Kelahiran Bayi”, diakses dari
https://bagusadikuncoro.wordpress.com/2015/01/10/selametan-kelahiran-bayi/ , pada tanggal 29
Desember 2019, pukul 15.10 WIB.
51
penyucian pusaka Gong Kyai Pradah. Selamatan dilakukan setelah magrib,
di sanggar pusaka Gong Kyai Pradah.51
Ketika diadakan selamatan, seluruh partisipan menikmati status ritual
yang sama, masing-masing orang memberikan sumbangan yang sama bagi
kekuatan spiritual dari kejadian tersebut. Oleh karenanya, selamatan
berfungsi untuk menunjukkan komunitas harmonis yang dikenal dengan
nama rukun, yang menjadi prasyarat efektif mendatangkan berkah dari
Allah SWT. Selamatan biasanya dipimpin oleh juru kunci atau seseorang
yang ditugaskan oleh juru kunci.
51 Wawancara pribadi dengan Drs. Hartono, M.M., Blitar, 25 September 2019.
52
BAB IV
PENGARUH UPACARA SIRAMAN GONG KYAI PRADAH
A. Motivasi Mengikuti Upacara Siraman
Masyarakat dan kebudayaan merupakan dua hal yang tidak dapat
dipisahkan. Masyarakat adalah kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja
bersama cukup lama, sehingga mereka dapat mengatur hidup mereka dan
menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang
telah ditentukan.1 Sebuah tradisi maupun kepercayaan umumnya memiliki
ritual tertentu dalam kehidupan sehingga tradisi tersebut selalu dilakukan. Hal
ini telah dilakukan masyarakat untuk mengikuti tradisi yang ada pada
pendahulu dan nenek moyang mereka. Tradisi diartikan sebagai segala sesuatu
(seperti adat, kepercayaan, kebiasaan, ajaran, dan sebagainya) yang turun-
temurun dari nenek moyang.2 Tradisi merupakan suatu hal yang sulit berubah,
karena telah menyatu dalam kehidupan masyarakat pendukungnya.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, tradisi adalah adat kebiasaan
yang dilakukan turun temurun dan masih dilakukan masyarakat di suatu tempat
atau suku yang berbeda.3 Tradisi sebagai sistem budaya mengandung makna
adanya sistem gagasan berdasarkan pengetahuan, keyakinan, norma, serta nilai-
nilai sosial budaya.4 Karena telah diakui dan disepakati bersama, tradisi tersebut
dapat menjadi adat istiadat yang berlaku di masyarakat dalam suatu daerah.
1Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), h. 22. 2Arqom Kuswanjoyo, Ketuhanan dalam Telaah Filsafat Perennial, (Yogyakarta: Arindo Nusa
Media, 2006), h. 61. 3Anisatun Mutiah, dkk, Harmonisasi Agama dan Budaya di Indonesia, Vol. 1, (Jakarta: Balai
Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta, 2009), h. 15. 4Abdullah Ali, Sosiologi Islam, (Bogor: IPB Press, 2005), h. 195.
53
Tradisi yang ada dalam setiap masyarakat adalah tatanan sosial yang mapan,
baik yang berhubungan dengan unsur-unsur kehidupan maupun sebagai aturan
sosial yang memberikan pedoman tingkah laku bagi anggota atau masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut, tradisi merupakan sosial budaya yang selalu ingin
dipertahankan oleh masyarakat sebagai identitas penting bagi kehidupan
mereka.5
Menurut Prof. Dr. Kasmiran Wuryo, tradisi masyarakat merupakan
bentuk norma yang terbentuk dari bawah, sehingga sulit untuk diketahui sumber
asalnya. Oleh karena itu, tampaknya tradisi sudah terbentuk sebagai norma yang
dibakukan dalam kehidupan masyarakat.6 Sebagai kebiasaan dan kesadaran
kolektif, tradisi merupakan mekanisme yang dapat membantu memperlancar
pertumbuhan pribadi anggota masyarakat. Sangat penting pula kedudukan
tradisi sebagai pembimbing pergaulan bersama di dalam masyarakat. Fitrah
hidup tersebut tumbuh dan berkembang. Tradisi yang tidak mampu berkembang
adalah tradisi yang menyalahi fitrah hidup.7
Setiap tradisi selalu dipercaya membawa pengaruh dan akibat yang
beraneka ragam bagi masyarakat. Sejak masyarakat Jawa belum mengenal
peradaban, sebenarnya mereka telah mengakui adanya kekuatan lain di luar
dirinya. Masyarakat Jawa percaya bahwa apa yang telah mereka bangun adalah
hasil dari adaptasi pergulatan dengan alam.8 Kekuatan tersebut tak lain berupa
5 Abdullah Ali, Muludan Tradisi Bermakna. (Cirebon: Percetakan Lestari, 2001), h. 30. 6 Jalaluddin, Psikologi Agama: Memahami Perilaku dengan Mengaplikasikan Prinsip-Prinsip
Psikologi, (Jakarta: Rajawali, 2016), h. 193. 7 Rendra, Mempertimbangkan Tradisi, (Jakarta: Gramedia, 1984), h. 3. 8 M. Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, (Yogyakarta: Gama Media, 2000), h. 9.
54
kegaiban alam semesta. Mereka menganggap apabila mampu menegoisasi
kekuatan lain itu, hidupnya akan terbantu oleh alam semesta. Sebaliknya, jika
tak mampu menegoisasi dengan alam semesta, hidupnya akan celaka.9 Ketika
melakukan negoisasi inilah masyarakat Jawa percaya adanya kekuatan terhadap
kayu, batu, keris, dan sebagainya yang disebut dinamisme. Dinamisme berasal
dari kata yang terdapat dalam bahasa Yunani, yaitu dunamos dan diingriskan
menjadi dynamic yang umumnya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
dengan kekuatan, kekuatan, atau khasiat, dan dapat juga diterjemahkan dengan
daya. Dinamisme disebut juga pra-animisme yang mengajarkan tiap-tiap benda
atau makhluk mempunyai mana.10 Menurut Codrinston dalam bukunya The
Melainesains yang diterbitkan pada tahun 1981, mana adalah suatu
kepercayaan terhadap adanya suatu kekuatan yang sama sekali berbeda dengan
kekuatan fisik. Mana merupakan suatu kekuatan menonjol, menyimpang dari
kebiasaan.
Pemujaan terhadap kekuatan benda keramat atau benda sakti seringkali
dilakukan melalui kutukan dan siraman pusaka. Kutukan biasanya dilakukan
setiap malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon. Caranya dengan membakar
kemenyan pada sebuah dupa, lalu benda sakti tadi dilambai-lambaikan di
atasnya. Hal ini dipercaya sebagai tindakan ‘memberi makan’ kepada benda
tersebut, sedangkan pembersihan benda tersebut dilakukan di waktu-waktu
tertentu dengan cara dijamasi (dicuci).11 Begitu pula yang terjadi di Kabupaten
9 Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen: Sinkretisme, Simbolisme, dan Sufisme dalam Budaya
Spiritual Jawa, (Yogyakarta: Narasi, 2018), h. 63. 10 Ensiklopedia Umum, (Yogyakarta: Kanisius, 1973), h. 318. 11 Suwardi Endraswara, Mistik Kejawen, h. 77.
55
Blitar. Walaupun masyarakat Blitar umumnya beragama Islam, namun dalam
pelaksanaannya, tradisi upacara siraman Gong Kyai Pradah masih dipengaruhi
oleh praktik-praktik Hinduisme, yakni adanya nilai-nilai kepercayaan animisme
dan dinamisme. Seperti halnya membakar kemenyan sebelum ritual dimulai dan
membawa sesajen (baik berupa kembang sesajen maupun makanan yang khusus
dipersiapkan).
Upacara siraman Gong Kyai Pradah memberikan pengaruh yang besar
bagi masyarakat setempat, khususnya dalam kehidupan sosial dan ekonomi.
Tradisi ini menjadi magnet yang mampu menarik masyarakat dari berbagai
daerah, baik secara nasional maupun internasional. Untuk itu, dalam
pelaksanaannya selalu dipenuhi oleh masyarakat yang datang dengan berbagai
tujuan, bukan hanya bertujuan mencari berkah dari Gong Kyai Pradah dan air
bekas siraman saja, akan tetapi dengan motif yang lain, seperti wisata, ekonomi,
dan sebagainya. Dalam perkembangannya, pelaksanaan upacara tersebut
memberikan dampak yang sangat luas kepada masyarakat. Masyarakat percaya
bahwa pusaka Gong Kyai Pradah ini bertuah dan memiliki kesaktian. Oleh
karena itu, melalui upacara siraman Gong Kyai Pradah masyarakat
mengharapkan keselamatan dan ketentraman hidup serta terhindar dari mala
petaka dan bencana alam.
Diadakannya ritual upacara siraman Gong Kyai Pradah memberikan
pengaruh terhadap kepercayaan masyarakat. Ada sebagian masyarakat yang
percaya, ada juga yang hanya menganggapnya sebagai ritual kebudayaan biasa.
Pelaksanaan ritual ini selalu dihubungkan dengan hal-hal yang bersifat mistis
56
dan memberikan keberkahan bagi yang mengikutinya. Upacara ini dilakukan
sebagai sarana memohon berkah kepada kekuatan gaib atau roh leluhur yang
ada di dalam Gong Kyai Pradah. Tak sedikit masyarakat yang percaya bahwa
air bekas siraman Gong Kyai Pradah apabila diminum akan mendatangkan
jodoh, menjadikan awet muda, menyembuhkan berbagai penyakit, memberikan
kelancaran dalam mencari rezeki, bahkan hari pelaksanaan upacara siraman
dipercaya sebagai waktu yang paling baik untuk membeli peralatan pertanian
karena dengan menggunakan alat yang dibeli ketika upacara akan
mendatangkan kesuburan dan tanaman akan terbebas dari hama. Pada musim
kemarau, siraman ini juga dipercaya sebagai sarana memohon diturunkan
hujan.12
Menurut kesaksian bapak Slamet, ia telah mengikuti tradisi tersebut lebih
dari 50 tahun. “Aku wes kat enom melu acara iki. Manfaat banyu bekas siraman
iki akeh nduk. Iso nggae awet enom, sehat, tur ma sio wes tuwek iseh etes.”
Yang artinya, “Saya sudah sejak muda mengikuti acara ini. Manfaat air bekas
siraman ini banyak nak. Bisa membuat awet muda, sehat, dan walaupun sudah
tua masih cekatan.”13 Ia selalu datang dan ikut berebut air bekas siraman
meskipun ia tahu bahwa air yang disiramkan ke para penonton bukanlah air
murni bekas siraman. Walaupun begitu beliau tetap yakin bahwa air tersebut
tetap memberikan berkah dan manfaat bagi siapapun yang meminumnya.
12 Wawancara pribadi dengan Mujiono, Blitar, 11 November 2019. 13 Wawancara pribadi dengan Slamet, Pengikut Upacara Siraman Gong Kyai Pradah, Blitar,
11 November 2019.
57
Sedangkan menurut Bapak Supalil, tradisi siraman ini telah dilakukan
secara turun-temurun oleh masyarakat Lodoyo. Tradisi tersebut dilakukan
untuk mendapatkan kesejahteraan bagi masyarakat Lodoyo agar senantiasa
mendapatkan perlindungan dari Allah SWT. dan terbebas dari berbagai macam
malapetaka seperti terhindar dari kemiskinan, kekeringan, dan terhindar dari
pertikaian antarmasyarakat.14
Hakikat keberagamaan manusia terletak pada ikhtiar manusia dalam
ragam keyakinan dan peribadatannya. Dalam menuju keyakinan tersebut,
manusia akan melakukan beragam ritual dan upacara keagamaan sebagai
bentuk pengabdian atau ketaatannya kepada Tuhan yang diyakininya tersebut.
Ritual merupakan tata cara peribadatan sebagai manifestasi keyakinan yang
dianut manusia terhadap Tuhannya. Hampir semua agama memiliki beragam
tata cara penyembahan terhadap Tuhannya. Semuanya dimaksudkan sebagai
bentuk penghormatan dan ketundukkan. Selain itu, juga sebagai upaya mencari
perlindungan dan pertolongan atas kehidupan yang dialami manusia di dunia
dan keyakinan atas kehidupan setelah kematian.15
Penggunaan adat atau ritual selaras dengan ketentuan yang menurut
Ahmad Azhar Basyir meliputi16:
14 Wawancara pribadi dengan Supalil, Blitar, 16 September 2019. 15 Rusmin Tumanggor dan Kholis Ridho, Antropologi Agama, (Jakarta: UIN Press, 2015), h.
48-49. 16 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Adat Bagi Umat Islam, (Yogyakarta: Fakultas UII, 1993), h.
30.
58
a. Dapat diterima dengan kemantapan oleh masyarakat berdasarkan pada
pertimbangan akal sehat dan sejalan dengan tuntuan watak pembaruan
manusia.
b. Menjadi kemantapan umum dalam masyarakat dan dijalankan secara terus-
menerus.
c. Tidak bertentangan dengan al-Quran dan sunah.
d. Dirasakan oleh masyarakat karena mempunyai ketentuan yang mengikat,
mengharuskan untuk ditaati, dan mempunyai akibat apabila tidak
dilakukan.
Aktivitas ritual mengacu kepada salah satu komponen agama yang
dinyatakan dalam tindakan-tindakan nyata. Tindakan-tindakan tersebut pada
dasarnya merupakan bentuk intervensi untuk mempengaruhi kekuatan-
kekuatan adikodrati agar sesuai dengan keinginannya. Bentuk-bentuk aktivitas
ritual itu sendiri dapat dilakukan pada tingkat individual maupun tingkat
komunitas atau masyarakat yang lebih luas.17 Pengamalan terhadap suatu
kepercayaan menunjukkan bahwa hubungan antara individu dengan yang sakral
dalam beberapa hal erat kaitannya dengan nilai-nilai moral individu tersebut.18
Upacara siraman Gong Kyai Pradah merupakan suatu bentuk tingkah
laku masyarakat dalam menanggapi adanya kekuatan dari luar, yang merupakan
perwujudan dari keterbatasan manusia dalam menghadapi tantangan hidup, baik
yang berasal dari diri sendiri maupun alam sekitar. Para pelaku dan pendukung
17 Supratikno Rahardjo, Peradaban Jawa Dari Mataram Kuno Sampai Majapahit Akhir.
(Jakarta: Komunitas Bambu, 2011), h. 197. 18 Elizabeth K. Nottingham, Agama dan Masyarakat, h. 19.
59
upacara akan mendapat perasaan aman apabila telah melakukannya. Di sisi lain,
upacara tersebut merupakan suatu sarana pembentukan norma kemasyarakatan.
Ritual tersebut memberikan pengaruh yang sangat besar bagi masyarakat
setempat. Masyarakat percaya setelah mengadakan upacara siraman maka
kehidupan akan tenteram, jauh dari mara bahaya, dan segala gangguan penyakit
yang kemungkinan dapat terjadi.19 Karenanya, masyarakat menganggap
upacara siraman tersebut wajib dilaksanakan.
Upacara siraman Gong Kyai Pradah akan tetap dilaksanakan hingga
kapan pun. Selama bertahun-tahun pelaksanaanya selalu didukung pemerintah
daerah karena tradisi tersebut berhubungan dengan upacara adat dan budaya.
Pada tahun 2017, upacara siraman atau yang lebih dikenal dengan Jamasan
Pusaka Gong Kyai Pradah telah diakui dan diresmikan sebagai Warisan Budaya
Tak Benda (BPTB) Indonesia dan masuk ke dalam calendar of event (agenda
kegiatan) wisata budaya Kabupaten Blitar.20 Dengan ini, pelaksanaan upacara
siraman Gong Kyai Pradah tidak hanya sekedar tradisi yang harus dilakukan
secara turun-temurun, namun juga memberikan manfaat untuk menarik
kehadiran wisatawan yang datang dari Blitar dan sekitarnya.
Upacara religi yang digelar dalam pesta rakyat, menjadi suatu hal yang
menarik bagi wisatawan. Para wisatawan berusaha memotret dan merekam
dalam video berbagai bentuk upacara serta prosesi yang berlangsung dalam
upacara. Upacara adat kini telah menjadi objek seni, bahkan komoditas yang
19 Wawancara pribadi dengan Drs. Hartono, M.M., Blitar, 25 September 2019. 20 Wawancara pribadi dengan Drs. Hartono, M.M., Blitar, 25 September 2019.
60
dikonsumsi secara massal. Hall (1994:75) menjelaskan karakter Indonesia
sebagai tempat tujuan wisata sudah berkembang karena permintaan pasar yang
terus berubah. Calendar of event yang dikeluarkan oleh masing-masing
pemerintah daerah melalui dinas pariwisata, informasi yang ditampilkan
meliputi tanggal, waktu, tempat, nama acara, penjelasan acara, sarana
transportasi, akomodasi, tiket masuk. Calendar of event yang dibuat pemerintah
pusat maupun pemerintah kabupaten atau kota dicetak dalam brosur, poster,
baliho, dan dapat diakses melalui internet. Hal ini menunjukkan betapa besar
semangat pemerintah dalam mengenalkan upacara religi atau adat kepada
masyarakat luas.21
Sayangnya, ketika upacara adat diposisikan sebagai komoditas
pariwisata, maka perlahan tapi pasti perubahan budaya pada religi tersebut akan
terjadi. Karenanya, upacara adat tidak lagi mencerminkan semangat religiusitas,
akan tetapi semata-mata menjadi tontonan yang unik dan menarik, bahkan bisa
jadi terjadi pergeseran makna dan tujuan awal diadakannya. Oleh karena itu,
dalam beberapa hal kekhidmatan atau kekhusyukannya cenderung berkurang.
Hal ini disebabkan orang-orang yang hadir dalam upacara tersebut tidak
seluruhnya terlibat dalam ritual. Sebagian di antaranya hanya sebagai penonton
yang mengharapkan ‘berkah’ dari air bekas siraman Gong Kyai Pradah.
21 Sugeng Pujileksono, Pengantar Antropologi, h. 113-114.
61
B. Pengaruh Upacara Siraman
Menurut juru kunci Gong Kyai Pradah dan masyarakat sekitar, ritual
tersebut dari dulu hingga sekarang masih dilaksanakan pada waktu dan dengan
cara yang sama. Upacara ini semata-mata dilakukan dalam rangka
memperingati maulid Nabi Muhammad SAW. dan hari raya Idul Fitri. Gong
Kyai Pradah bukanlah sesembahan dan tidak seharusnya masyarakat memuja
gong ini. Upacara siraman pada 1 Syawal dilakukan sebagai wujud permohonan
kepada Allah SWT. dan upaya pembersihan diri. Gong dibunyikan untuk
mengumpulkan masyarakat agar saling bertemu dan saling memaafkan.
Sedangkan upacara siraman pada 12 Maulud dilakukan untuk memperingati
lahirnya Rasulullah atau yang akrab disebut muludan. Dengan diadakannya
siraman, diharapkan masyarakat akan berbondong-bondong berkumpul dan
memperingati lahirnya Rasullah SAW.
Makna air bekas siraman tergantung pada keyakinan setiap individu.
Banyak yang percaya bahwa air bekas siraman dipercaya dapat membuat awet
muda, memberikan kesehatan, bahkan mendatangkan jodoh. Akan tetapi semua
manfaat tersebut akan didapatkan selama ada keyakinan dalam diri. Apabila
seorang individu percaya Tuhan akan mengabulkan keinginannya, makaTuhan
akan mengabulkannya, begitu pula sebaliknya. Semuanya tergantung
kepercayaan setiap individu, karena semuanya dikembalikan kepada Tuhan.
Dalam Islam pun diajarkan hal yang serupa22, sebagaimana firman Allah SWT.:
22 Wawancara pribadi dengan Muhammad As’adi, Blitar, 16 September 2019.
62
:، قال -صلى الله عليه وسلم -: أن رسول الله -رضي الله عنه -وعن أبي هريرة
، فإن ذكرني في نفسه، يقول الله تعالى : أنا عند ظن عبدي بي ، وأنا معه إذا ذكرني
ي نفسي، وإن ذكرني في مل ذكرته في مل خير منهم. متفق عليه ف ذكرته
Artinya:
Dari Abu Hurairah ra., ia berkata bahwa Nabi SAW. bersabda, “Allah
Ta’ala berfirman: “Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Aku bersamanya ketika
ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku saat bersendirian, Aku akan
mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di suatu kumpulan, Aku
akan mengingatnya di kumpulan yang lebih baik daripada pada itu (kumpulan
malaikat)” (Mutafaqqun ‘alaih). [HR. Bukhari, No. 6970 dan Muslim, No.
2675]23
Dengan adanya keyakinan tersebut, masyarakat yang tetap mengikuti
ritual siraman namun tanpa didasari iman yang kuat sesuai dengan ajaran agama
yang telah diyakininya, maka dapat menjadikan mereka kehilangan
keseimbangan. Mereka akan kesulitan dalam membedakan antara nilai tradisi
dengan nilai keagamaan. Karena hal inilah, bisa jadi mereka meminta sesuatu
atau percaya kepada air bekas siraman Gong Kyai Pradah tanpa sadar bahwa
semua ini milik yang Kuasa dan tanpa disadari mereka telah menyekutukan
Tuhannya.
23 Muhammad Abduh Tuasikal, Rumaysho.com “Aku Sesuai Persangkaan Hamba-Ku Hingga
Balasan Mengingat Allah” diakses dari https://rumaysho.com/17041-aku-sesuai-persangkaan-
hamba-ku-hingga-balasan-mengingat-allah.html , pada tanggal 11 Desember 2019, pukul 16.47
WIB.
63
Perilaku masyarakat yang mencerminkan nilai-nilai kepercayaan yang
terkandung dalam upacara siraman Gong Kyai Pradah terlihat ketika
masyarakat melakukan ziarah, ketika masyarakat mengikuti serangkaian acara
upacara siraman, dan juga ketika masyarakat memperebutkan air bekas siraman.
Dengan adanya kepercayaan terhadap Gong Kyai Pradah, masyarakat memiliki
dorongan untuk melakukan tahlil dan tirakatan di sanggar Gong Kyai Pradah
setiap malam Jumat Legi dan malam sebelum prosesi siraman dilangsungkan.24
Kepercayaan masyarakat terhadap kekuatan magis Gong Kyai Pradah
merupakan makna sakral yang berkaitan dengan Sang Pencipta. Dapat
dikatakan bahwa sebuah ritual mempunyai makna sangat luhur sebagaimana
doktrin ataupun ajaran yang telah menjadi tradisi atau kebiasaan sejak zaman
nenek moyang. Dengan dilaksanakannya upacara siraman, masyarakat percaya
bahwa keberkahan akan senantiasa menyertai kehidupan mereka. Keberkahan
tersebut dapat berwujud dalam berbagai macam hal, dapat berupa kesehatan,
lancar rezeki, segera bertemu jodoh, bahkan awet muda. Pun dengan
masyarakat yang percaya bahwa keberkahan akan didapatkan ketika mereka
meminum air bekas siraman Gong Kyai Pradah.25
Secara sosial, sebagaimana yang terdapat dalam beberapa tradisi yang
ada di Indonesia seperti yasinan atau pun selamatan, dapat dipahami bahwa
sebuah ritual memiliki dampak yang positif bagi masyarakat yang
melakukannya, baik secara langsung maupun tidak, tanpa menilai besar atau
24 Wawancara pribadi dengan Samiatun, Pengikut Upacara Siraman Gong Kyai Pradah Blitar,
11 November 2019. 25 Wawancara pribadi dengan Bambang, Pengikut Upacara Siraman Gong Kyai Pradah, Blitar,
11 November 2019.
64
kecilnya dampak yang ditimbulkan. Dengan diadakannya upacara siraman
Gong Kyai Pradah, masyarakat akan melakukan gotong-royong dan saling
tolong-menolong. Hubungan yang baik antara pihak pemerintah dan
masyarakat setempat pun akan terjalin dengan baik. Sikap kekeluargaan,
gotong-royong, dan persatuan yang tinggi dalam masyarakat ini terlihat sejak
tahap persiapan upacara siraman hingga tahap penutupan, yakni ketika
menyiapkan sesajen, menghias sanggar dan panggung siraman, dan ketika
diadakannya selamatan. Pelaksanaan selamatan yang dilakukan sebelum dan
sesudah acara siraman juga memberikan pengaruh positif bagi masyarakat.
Selamatan dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan perbedaan antara
satu dengan yang lain. Dengan selamatan, diharapkan manusia dapat terhindar
dari roh-roh jahat yang mengganggu dan membahayakan manusia.26
Hubungan sosial antar masyarakat yang semakin hari semakin terjalin
dengan baik merupakan hal besar yang dapat diterima oleh masyarakat dan
lingkungan. Bagi masyarakat, pelaksanaan ritual upacara siraman Gong Kyai
Pradah menanamkan sikap baik ke dalam kesadaran diri yang tinggi. Dengan
demikian, melakukan suatu tradisi merupakan tindakan sosial atau tindakan
berjamaah di mana kelompok menetapkan kembali hubungannya dengan objek-
objek suci dan melalui hubungan ini akan memperkuat solidaritas dan
mengukuhkan nilai-nilai sendiri.27
26 Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dan Masyarakat Jawa, terj. Aswab Makasin,
(Jakarta: Pustaka Jaya, 1983), h. 18. 27 Thomas F O’dea, Sosiologi Agama Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Pustaka Sinar Harapan,
2001), h. 76.
65
Secara ekonomi, agenda kegiatan tersebut disamping sebagai sarana
pelestarian warisan budaya, juga sebagai salah satu cara mempromosikan
wisata budaya Kabupaten Blitar, dan yang terpenting adalah untuk peningkatan
pendapatan atau perekonomian masyarakat, baik dari pelaku seni, pelaku usaha,
maupun penjual jasa. Beberapa hari sebelum pelaksanaan ritual siraman, di
alun-alun Kecamatan Sutojayan dan jalanan di sekitarnya dipenuhi para
pedagang. Pedagang yang berjualan di pasar malam ini umumnya berasal dari
luar wilayah Sutojayan, bahkan ada juga yang berasal dari luar Jawa Timur.
Barang yang dijual berupa makanan, minuman, pakaian, peralatan rumah
tangga, kerajinan, mainan anak-anak, peralatan pertukangan dan pertanian,
kaset berbagai jenis musik, ada juga yang menjual bunga dan kemenyan untuk
keperluan ziarah. Pengunjung pasar malam pun beragam. Para pedagang yang
datang mayoritas berasal dari luar Lodoyo. Mereka datang untuk ngalap
berkah. Mereka percaya meskipun pada saat upacara dagangan tidak banyak
yang terjual, tetapi setelah upacara berakhir dagangan akan mudah terjual.28
Selain meningkatkan perekonomian masyarakat, khususnya yang ada di
wilayah Kecamatan Sutojayan, dengan dilaksanakannya acara ini, Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB)29 Kabupaten Blitar pun ikut meningkat.30
28 Observasi Lapangan tanggal 10 November 2019. 29 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah jumlah nilai tambah bruto yang timbul
dari seluruh sektor perekonomian di suatu wilayah. Lihat lebih lanjut di Badan Pusat Statistik,
diakses dari https://www.bps.go.id/subject/52/produk-domestik-regional-bruto--lapangan-usaha-
.html , pada tanggal 27 November 2019, pukul 23.02. 30 Wawancara pribadi dengan Drs. Hartono, M.M., Blitar, 25 September 2019.
66
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, penulis berkesimpulan bahwa salah satu
kepatuhan yang dilakukan masyarakat Lodoyo terhadap kepercayaan dan adat
nenek moyang adalah dengan melakukan Upacara Siraman Gong Kyai Pradah,
atau yang lebih dikenal oleh masyarakat setempat sebagai Jamasan Gong Kyai
Pradah. Upacara ini merupakan warisan kebudayaan yang dilakukan di
Kelurahan Kalipang, Kecamatan Sutojayan, Kabupaten Blitar, Jawa Timur.
Gong Kyai Pradah merupakan sebuah gong yang dibawa oleh Pangeran Prabu.
Ia adalah seorang pangeran dari kerajaan Kartasura yang diusir karena memiliki
niat jahat pada adiknya yang menjadi raja. Ketika ia hendak melanjutkan
perjalanan, ia menitipkan Gong Kyai Pradah kepada seorang janda tua, yakni
Nyi Mbok Randha Potrosuto yang rumahnya ia singgahi selama berada di Desa
Lodoyo karena hukuman yang diterimanya.
Secara keseluruhan, rangkaian acara dalam upacara siraman Gong Kyai
Pradah dapat diklasifikasin menjadi tiga tahap, yaitu:
- Tahap persiapan, meliputi pemotongan kambing sesaji, pembuatan sesaji,
dan menghias tempat pelaksanaan upacara, yakni sanggar dan panggung
siraman.
- Tahap pelaksanaan, meliputi acara tirakatan (melekan), selamatan, ziarah,
dan siraman.
67
- Tahap penutupan, meliputi acara hiburan dan selamatan setelah prosesi
jamasan, selamatan sepasaran, dan selamatan selapanan.
Dengan diadakannya upacara siraman, terdapat berbagai pengaruh yang
terjadi dalam masyarakat, khususnya terhadap keyakinan atau cara berfikir
mereka yang kemudian terlihat dari sikap mereka ketika mengikuti upacara
siraman. Keyakinan merupakan pengaruh paling utama yang ada dalam diri
masyarakat. Berbagai cara pandang dan pola berfikir pun menentukan motivasi
mereka dalam mengikuti upacara siraman. Tak sedikit diantara para pengunjung
yang sepenuhnya percaya bahwa dengan dilaksanakannya upacara siraman
maka keberkahan dalam berbagai hal akan didapatkan, baik untuk masyarakat
yang mengikuti dan meminum air bekas siraman, yang ziarah di sanggar Gong
Kyai Pradah, ziarah di petilasan Nyi Mbok Randha Potrosuto, maupun bagi
daerah tempat tinggal mereka. Bagi yang percaya akan kesaktian Gong Kyai
Pradah, mereka akan datang dengan tujuan ingin mendapatkan berkah, baik
hanya dengan menghadiri ritual atau bahkan ikut memperebutkan dan
mengonsumsi air bekas siraman. Ada juga yang datang karena ingin terlibat
dalam pelestarian budaya, bahkan ada pula yang datang hanya untuk berbelanja.
Berdasarkan kesaksian masyarakat yang percaya akan berkah Gong Kyai
Pradah menyatakan bahwa setelah mengikuti ritual, jiwa terasa semakin tenang
dan lebih bugar daripada sebelumnya.
Perubahan dalam hal sosial dan ekonomi masyarakat juga nampak jelas
sejak pra-acara. Pengaruh dalam hal sosial masyarakat yang terjadi antara lain,
adanya sikap saling tolong-menolong dan gotong-royong yang kemudian
68
menumbuhkan sikap kekeluargaan yang semakin erat dari sebelumnya.
Sedangkan dalam hal ekonomi dapat dilihat sejak beberapa hari sebelum
pelaksanaan upacara inti, yaitu sejak dimulainya pasar malam yang diadakan di
alun-alun Lodoyo dan sekitarnya. Banyak pedagang maupun penjual jasa
seperti tukang parkir yang mendapatkan manfaat dari diadakannya tradisi ini,
yakni peningkatan perekonomian mereka.
B. Saran
Upacara Siraman Gong Kyai Pradah merupakan salah satu tradisi unik
yang masih dilakukan di zaman modern ini. Kemunculannya telah terjadi pada
abad ke-18. Sesuai dengan informasi yang ada, masa tersebut merupakan masa
di mana pemahaman masyarakat Sutojayan mengenai Islam tidak lepas dengan
adat istiadat yang ada.
Berdasarkan hasil penelitian, penulis memberikan beberapa saran untuk
mengurangi kepercayaan terhadap hal-hal yang bersifat mitos, yakni dengan
menanamkan pengetahuan pada generasi muda bahwa tradisi yang ada
merupakan aset budaya yang harus dilestarikan, bukan untuk dipercayai sebagai
sesuatu yang memiliki kekuatan gaib, apalagi disembah.
69
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Uung. Sinopsis Peneliian Keagamaan. Yogyakarta: Lembaga
Penelitian UIN Sunan Kalijaga. 2006.
Agus, Bustanuddin. Agama dalam Kehidupan Manusia. Jakarta: RajaGrafindo
Persada. 2007.
Ali, Abdullah. Muludan Tradisi Bermakna. Cirebon: Percetakan Lestari. 2001.
Ali, Abdullah. Sosiologi Islam. Bogor: IPB Press. 2005.
Amin, M. Darori. Islam dan Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Gama Media. 2000.
Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
Rineka Cipta. 1996.
Azwar, Saifuddin. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 1998.
Badudu dan Sutan Mohammad Zain. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan. 1994.
Bahri, Media Zainul. Wajah Studi Agama-Agama: Dari Era Teosofi Indonesia
(1901-1940) Hingga Masa Reformasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2015.
Basyir, Ahmad Azhar. Hukum Adat Bagi Umat Islam. Yogyakarta: Fakultas UII.
1993.
Cariyos Babad “Pusoko Kyai Pradhah” ing Lodoyo: Miturut Serat Babad Tanah
Jawi. Lodoyo. 2000.
Darajat, Zakiah. Perbandingan Agama. Jakarta: Bumi Aksara. 1996.
Endraswara, Suwardi. Agama Jawa: Ajaran, Amalan, dan Asal-Usul Kejawen.
Yogyakarta: Penerbit Narasi-Lembu Jawa. 2018.
70
Endraswara, Suwardi. Mistik Kejawen: Sinkretisme, Simbolisme, dan Sufisme
dalam Budaya Spiritual Jawa. Yogyakarta: Narasi. 2018.
Ensiklopedia Umum. Yogyakarta: Kanisius. 1973.
Fashri, Fauzi. Penyingkapan Kuasa Simbol, Apropriasi Reflektif Pemikiran Pierre
Bourdieu. Yogyakarta: Juxtapos. 2007.
G., Muhaimin A. Islam dalam Bingkai Budaya Lokal, Protret dari Cerebon.
Ciputat: Logos Wacana Ilmu. 2001.
Geertz, Clifford. Abangan, Santri, Priyayi dan Masyarakat Jawa, terj. Aswab
Makasin. Jakarta: Pustaka Jaya. 1983.
Geertz, Clifford. Agama Jawa, Abangan, Santri, Priyai dalam Kebudayaan Jawa.
Depok: Komunitas Bambu. 2014.
Geertz, Clifford. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 1992.
Geertz, Clifford. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 1992.
Ghazali, Adeng Muchtar. Antropologi Agama: Upaya Memahami Keragaman
Kepercayaan, Keyakinan, dan Agama. Bandung: Alfabeta. 2011.
Gottzchalk, Louis. Mengerti Sejarah, terj. Nugroho Notosusanto. Jakarta: UI Press.
1983.
Hadi, Sutrisno. Metode Research II. Yogyakarta: Adi Offset. 1989.
Jalaluddin. Psikologi Agama: Memahami Perilaku dengan Mengaplikasikan
Prinsip-Prinsip Psikologi. Jakarta: Rajawali. 2016.
Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
1999.
Koentjaraningrat. Pengantar Teori Antropologi I. Jakarta: UI-Press. 1987.
71
Koentjaraningrat. Sejarah Teori Antropologi Jilid I. Jakarta: UI Press. 1987.
Kuswanjoyo, Arqom. Ketuhanan dalam Telaah Filsafat Perennial. Yogyakarta:
Arindo Nusa Media. 2006.
Mahmud, Mahir Hasan. Terapi Air, Keampuhan Air dalam Mengatasi Aneka
Penyakit berdasarkan Wahyu dan Sains, terj. Ahmad Taufiq. Jakarta: Qultum
Media. 2008.
Mulder, Niels. Mistisisme Jawa: Ideologi di Indonesia, terj. Noor Cholis.
Yogyakarta: PT. LKiS Printing Cemerlang. 2011.
Nawai, Hadari dan M. Martini. Instrumen Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta:
Gadjah Mada Press. 2006.
Nottingham, Elizabeth K. Agama dan Masyarakat: Suatu Pengantar Sosiologi
Agama, terj. Abdul Muis Naharong. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. 1997.
O’dea, Thomas F. Sosiologi Agama Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Pustaka Sinar
Harapan. 2001.
Pals, Daniel L. Dekontruksi Kebenaran: Kritik Tujuh Teori Agama. Yogyakarta:
IRCiSoD. 2001.
Pujileksono, Sugeng. Pengantar Antropologi: Memahami Realitas Sosial Budaya.
Malang: Intrans Publising. 2015.
Purwadi. Petungan Jawa. Yogyakarta: Pinus. 2006.
Rahardjo, Supratikno. Peradaban Jawa Dari Mataram Kuno Sampai Majapahit
Akhir. Jakarta: Komunitas Bambu. 2011.
Rendra. Mempertimbangkan Tradisi. Jakarta: Gramedia. 1984.
72
Salam, Syamsir dan Zaenal Arifin. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: UIN
Jakarta Press. 2006.
Simuh. Islam dan Pergumulan Jawa. Jakarta: Teraju. 2003.
Simuh. Sufisme Jawa. Jakarta: Narasi. 2016.
Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
2006.
Sumarsono. Budaya Masyarakat Perbatasan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. 1999.
Suseno, Frans Magnis. Etika Jawa: Sebuah Analisa Filsafat tentang Kebijaksanaan
Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia. 2003.
Suyono, R.P. Dunia Mistik Orang Jawa: Roh, Ritual, Benda Magis. Yogyakarta:
PT. LKiS Printing Cemerlang. 2009.
Thera, Piyadassi. Meditasi Budhis Jalan Menuju Ketenangan dan Kebersihan
Batin. Surabaya: Paramita. 2005.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
Jakarta: Balai Pustaka. 2007.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 1988.
Tumanggor, Rusmin dan Kholis Ridho. Antropologi Agama. Jakarta: UIN Press.
2015.
Wijayananda, Ida Pandita Mpu Jaya. Makna Filosofi Upacara dan Upakara.
Surabaya: Paramita. 2004.
73
Jurnal:
A., Ruddat Ilaina R, dkk. Makna dan Relevansi Simbolik Mantra Siraman Gong
Kyai Pradah Lodaya dengan Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. di
Desa Lodaya Blitar. Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra
Jawa. Universitas Muhammadiyah Purworejo. Vol. 12. No. 01. Juni 2018.
Endah, Kuswa. Petung, Prosesi, dan Sesaji dalam Ritual Manten Masyarakat Jawa.
Vol. 1. No. 2.Agustus: 2006.
Irmawati, Waryunah. Makna Simbolik Upacara Siraman Pengantin Adat Jawa.
Vol. 21. No. 2. November 2013.
Mutiah, Anisatun, dkk. Harmonisasi Agama dan Budaya di Indonesia. Vol. 1.
Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta. 2009.
Rahayu, N. dkk. Model Pewarisan Nilai-Nilai Budaya Jawa Melalui Pemanfaatan
Upacara Ritual. Jurnal Ilmu Komunikasi. Vol. 12. No. 1. 2014.
Setiawan, Welly. Bentuk, Makna, dan Fungsi Mantra di Padepokan Rogo Sutro
Desa Gondangwinangun Kecamatan Ngadirejo Kabupaten Temanggung.
Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa. Vol. 4. No. 2. 2014.
Artikel:
Yanto, Andri, dkk. “Simbol-Simbol Lingual dalam Tuturan ‘Ujub Genduren’ Siklus
Hidup Masyarakat Desa Seneporejo”. Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni.
FKIP. Universitas Jember (UNEJ). 2015.
74
Internet:
Badan Pusat Statistik diakses pada 27 November 2019 dari
https://www.bps.go.id/subject/52/produk-domestik-regional-bruto--
lapangan-usaha-.html.
Halim, Rachman. Pusaka Jawatimuran “Sepasaran (Puputan), Tradisi Budaya
Jawatimuran” diakses pada 29 Desember 2019 dari
https://jawatimuran.wordpress.com/2012/10/23/sepasaran-puputan-tradisi-
budaya-jawatimuran/.
Kabupaten Blitar diakses pada 19 September 2019 dari
https://www.eastjava.com/east-java/tourism/blitar/map/blitar_map-high.png.
Kuncoro, Bagus Adi. Sinar Arjuna “Selametan Kelahiran Bayi” diakses pada 29
Desember 2019 dari
https://bagusadikuncoro.wordpress.com/2015/01/10/selametan-kelahiran-
bayi/.
Pratama, Angga. “Kecamatan Sutojayan, Kab. Blitar" diakses pada 19 September
2019 dari https://singoutnow.wordpress.com/2016/12/01/kecamatan-
sutojayan-kab-blitar/.
Primbon Jawa Lengkap. Neptu dan Pasaran Jawa diakses pada 28 September 2019
dari https://www.primbon.net/2014/05/neptu-dan-pasaran-jawa.html.
S., Agus M. “Sekelumit Sejarah Benda Pusaka Gong Kyai Pradah dan Sejarah
Terjadinya Daerah Lodoyo” diakses pada 21 September 2019 dari
http://lodoyodadikutho.blogspot.com/.
75
Sugianto. “Ritual Adat Siraman Pusaka Gong Kyai Pradah”. Universitas Terbuka
diakses pada 18 September 2019 dari http://pkut.ac.id/jsi/131.sugianto.html.
Tuasikal, Muhammad Abduh. Rumaysho.com “Aku Sesuai Persangkaan Hamba-
Ku Hingga Balasan Mengingat Allah” diakses pada 11 Desember 2019 dari
https://rumaysho.com/17041-aku-sesuai-persangkaan-hamba-ku-hingga-
balasan-mengingat-allah.html.
Website Resmi Pemerintah Kabupaten Blitar. Siraman Gong Kyai Pradah Warisan
Budaya Untuk Generasi Bangsa diakses pada 20 Desember 2019 dari
https://www.blitarkab.go.id/2016/12/14/siraman-gong-kyai-pradah-warisan-
budaya-untuk-generasi-bangsa/.
Observasi dan Wawancara:
Observasi Lapangan tanggal 16 September 2019.
Observasi Lapangan tanggal 18 September 2019.
Observasi Lapangan tanggal 10 November 2019.
Observasi Prosesi Upacara Siraman tanggal 11 November 2019.
Wawancara pribadi dengan Juru Kunci ke-5 Gong Kyai Pradah. Supalil. Blitar, 16
September 2019.
Wawancara pribadi dengan Juru Kunci ke-6 Gong Kyai Pradah Muhammad As’adi.
Blitar, 16 September 2019.
Wawancara pribadi dengan Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata,
Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga (DISPARBUDPORA) Kabupaten Blitar.
Drs. Hartono, M.M. Blitar, 25 September 2019.
76
Wawancara pribadi dengan Pengikut Upacara Siraman Gong Kyai Pradah.
Mujiono. Blitar, 11 November 2019.
Wawancara pribadi dengan Pengikut Upacara Siraman Gong Kyai Pradah.
Iskandar. Blitar, 11 November 2019.
Wawancara pribadi dengan Pengikut Upacara Siraman Gong Kyai Pradah. Karti.
Blitar, 11 November 2019.
Wawancara pribadi dengan Pengikut Upacara Siraman Gong Kyai Pradah.
Bambang. Blitar, 11 November 2019.
Wawancara pribadi dengan Pengikut Upacara Siraman Gong Kyai Pradah. Slamet.
Blitar, 11 November 2019.
Wawancara pribadi dengan Pengikut Upacara Siraman Gong Kyai Pradah.
Samiatun. Blitar, 11 November 2019.
77
LAMPIRAN-LAMPIRAN
78
A. Lampiran 1: Surat Penelitian
79
80
B. Lampiran 2: Pedoman dan Hasil Wawancara
PEDOMAN WAWANCARA
A. Latar Belakang Informan
Nama :
Umur :
Agama :
Pendidikan terakhir :
Pekerjaan :
Hari/ tanggal :
Tempat :
B. Berita Wawancara
Asal-Usul Upacara Siraman Gong Kyai Pradah
1. Bagaimana asal-usul diadakannya Upacara Siraman Gong Kyai
Pradah?
2. Sejak kapan upacara ini ada?
3. Siapa yang pertama kali melaksanakan upacara?
4. Kapan saja upacara ini dilaksanakan?
5. Kenapa dinamakan upacara siraman?
6. Kenapa gong tersebut dinamakan Kyai Pradah?
7. Apa tujuan dilaksanakannya upacara?
8. Adakah perbedaan cara pelaksanaan dulu dan sekarang?
9. Siapa saja yang dipercaya merawat Gong Kyai Pradah?
10. Di mana saja Gong Kyai Pradah pernah disimpan?
11. Apa dampak yang terjadi apabila upacara siraman tidak dilakukan?
Pelaksanaan Upacara Siraman Gong Kyai Pradah
1. Bagaimana prosesi upacara siraman?
2. Siapa saja yang dilibatkan dalam rangkaian upacara?
81
3. Siapa saja yang mengikuti rangkaian upacara?
4. Adakah larangan atau pantangan dalam upacara?
5. Apa saja perlengkapan yang diperlukan dalam upacara siraman? Dan
apa maknanya?
6. Apakah sama perlengkapan yang digunakan pada zaman dulu dan
sekarang?
7. Di mana saja upacara dilaksanakan?
Pengaruh Upacara Siraman Gong Kyai Pradah
1. Mengapa mengikuti upacara siraman ini?
2. Apa yang bapak/ ibu percaya ketika mengikuti upacara ini?
3. Sejak kapan mengikuti upacara siraman?
4. Bagaimana pengaruh upacara siraman terhadap kehidupan sehari-hari?
5. Apakah keyakinan bapak/ ibu ketika mengikuti upacara siraman
terjadi?
82
SURAT KETERANGAN
Sesuai surat permohonan dari dekan Fakultas Ushuluddin Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta No. B-2417/F3/KM.01.3/8/2019.
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa:
Nama : Durotun Nafi’ah
NIM : 11150321000007
Alamat : Dusun Balong RT 05 RW 01, Desa Butun, Kecamatan
Gandusari, Kabupaten Blitar, (66187)
Program Studi : Studi Agama-Agama
Program : S1
Telah melaksanakan wawancara untuk bahan penulisan skripsi yang berjudul
Upacara Siraman Gong Kyai Pradah dan Pengaruhnya Bagi Masyarakat
Blitar.
Demikian surat keterangan ini dibuat untuk digunakan sebagaimana
mestinya.
Blitar, ………………………….
( )
83
HASIL WAWANCARA
A. Latar Belakang Informan
Nama : Muhammad As’adi
Umur : 38 tahun
Agama : Islam
Pendidikan terakhir : S1
Pekerjaan : Swasta
Juru Kunci Ke-6 Gong Kyai Pradah
Hari/ tanggal : Senin, 16 September 2019
Tempat : Rumah Bapak Muhammad As’adi
B. Hasil Wawancara
Asal-Usul Upacara Siraman Gong Kyai Pradah
1. Bagaimana asal-usul diadakannya Upacara Siraman Gong Kyai
Pradah?
Narasumber: Gong Kyai Pradah ada pada masa Mataram Kuno. Pada
saat itu ada seorang raja yang mempunyai satu istri dan satu selir. Dari
selirnya, ia mempunyai anak laki-laki, namanya Pangeran Prabu
(kakinya bejok atau cacat). Menjelang dewasa ia menikah, tapi tidak
bisa menggantikan ayahnya karena hanya anak selir. Semenjak itu,
anak dari istri yang sah yang menjadi raja. Kemudian Pangeran Prabu
di usir dari kerajaan. Ketika pergi, ia membawa seperangkat wayang
dan membawa prajurit, para penari, dan tenda-tenda. Berjalan dari
Mataram, hingga Ponorogo selama empat bulan, tiba di Kademangan
satu bulan, dan di Lodoyo yang masih berbentuk hutan. Di sinilah ia
berhenti dan mendirikan tenda-tenda dan rumah dari bambu.
Kemudian ia membabat alas hingga akhirnya prajurit berpencar dan
mencari makan sendiri-sendiri dengan membawa peralatan yang ada.
84
Sampai akhirnya tinggal Pangeran Prabu, istrinya, yaitu Mbok Randha
Dadapan, dan dua putra. Suatu waktu salah satu putra sakit. Akhirnya
di suruh mencari bunga oleh istrinya. satu versi ia mendapatkan bunga
tersebut dan akhirnya dapat menyembuhkan putranya. Versi lain,
mengatakan bahwa ia tidak mendapatkan bunga yang dicari, dan
putranya yang sakit akhirnya meninggal dan yang satu lagi ikut ibunya.
Kemudian ia berkelana dengan meninggalkan sebuah bendhe, Gong
Kyai Pradah. Diserahkan ke istrinya dengan meninggalkan pesan:
“Mbok, iki ono gong. Tak tinggali Gong. Engko lek ono opo-opo
gong iki tabuhen ping pitu. Terus jalukku gong iki siramen tiap
tanggal 1 Syawal karo 12 Maulud. Wes, iki pesenku. Engko lek ono
opo-opo gong iki tabuhen.” Yang artinya, “Mbok, ini ada gong. Saya
tinggalkan gong. Nanti kalau ada apa-apa tabuh gong ini tujuh kali.
Kemudian, aku minta mandikan gong ini setiap tanggal 1 Syawal dan
12 Maulud. Sudah, itu saja pesanku. Nanti kalau ada apa-apa tabuh
saja gong ini.”
Pangeran Prabu berkelana ke arah Barat. Kemudian nama gong
di ganti dengan nama Kyai Bicak. Alasannya, apabila gong tersebut
tetap dinamakan Kyai Pradah dengan kesaktiannya, gong itu akan
diambil oleh Belanda. Karenanya, Mbok Randha mengganti namanya
dengan Kyai Bicak, yang berarti bejok atau cacat. Ketika mencari kayu
bakar ada perampok meminta uang Mbok Randha. Kemudian Mbok
Randha memukul gong tujuh kali dan keluar harimau putih dan
kuning. Sejak kepergian Pangeran Prabu, upacara siraman Gong Kyai
Pradah dilakukan hingga sekarang.
2. Sejak kapan upacara ini ada?
Narasumber: Sejak zaman Mataram Kuno, tepatnya ketika Pangeran
Prabu meninggalkan Lodoyo dan menitipkan Gong Kyai Pradah ke
Mbok Randha Dadapan.
3. Siapa yang pertama kali melaksanakan upacara?
Narasumber: Mbok Randha Dadapan.
85
4. Kapan saja upacara ini dilaksanakan?
Narasumber: Upacara Siraman Gong Kyai Pradah resmi diadakan
setiap tanggal 1 Syawal dan 12 Rabi’ul Awwal. Akan tetapi, apabila
pada tanggal tersebut jatuh di hari yang pasarannya Wage, maka
upacara akan diundur satu atau dua hari setelahnya.
5. Kenapa dinamakan upacara siraman?
Narasumber: Karena gong disucikan dengan cara disiram atau
dimandikan.
6. Kenapa gong tersebut dinamakan Kyai Pradah?
Narasumber: Pradah berarti macan atau harimau. Pradah artinya
dermawan. Gong ini dibuat oleh Sunan Kalijaga dan setiap alat diberi
nama.
7. Apa tujuan dilaksanakannya upacara?
Narasumber: Upacara siraman ini dilakukan sepenuhnya dalam
rangka nguri-nguri budaya (melestarikan budaya). Gong ini bukan
sesembahan. Gong dibunyikan pada 1 Syawal yang bertepatan dengan
Idul Fitri dimaksudkan untuk mengumpulkan masyarakat agar saling
memaafkan (membersihkan diri). Ketika tanggal 12 Maulud gong
dibunyikan untuk mengumpulkan masyarakat untuk memperingati
lahirnya Rasulullah.
8. Adakah perbedaan cara pelaksanaan dulu dan sekarang?
Narasumber: Tidak ada. Semua yang berkaitan dengan upacara
siraman dari dulu hingga sekarang sama. Mulai dari perlengkapan
yang digunakan hingga keseluruhan prosesinya. Hanya saja sejak
tahun 2016, ada tambahan tahlil di malam sebelum acara inti
(siraman).
9. Siapa saja yang dipercaya merawat Gong Kyai Pradah?
Narasumber: Juru kunci lah yang bertugas menyimpan dan
merawatnya.
86
10. Di mana saja Gong Kyai Pradah pernah disimpan?
Narasumber: Gong ini disimpan di Sanggar Pusaka Gong Kyai
Pradah Lodoyo. Hanya di sanggar ini dan tidak ada yang berani
memindahkannya.
11. Apa dampak yang terjadi apabila upacara siraman tidak
dilakukan?
Narasumber: Tidak tahu. Upacara siraman selalu dilakukan karena
tidak ada yang berani melanggar adat yang ada.
Pelaksanaan Upacara Siraman Gong Kyai Pradah
1. Bagaimana prosesi upacara siraman?
Narasumber: Jam 06.00 dari sanggar ke petilasan Mbok Randha
Dadapan, mengubur kepala kambing, lalu kembali ke sanggar. Jam
09.00 prosesi siraman. Yang mengambil gong juru kunci diserahkan
kepada Pak Lurah Kalipang. Yang membawa kenong atau tabuh Pak
Camat Sutojayan. Yang membawa wayang anggota. Yang membawa
kembang setaman satu orang, boreh satu orang, handuk satu orang,
juru kunci, pengawal juru kunci, panji-panji, dan payung. Naik ke
tempat siraman. Di tempat siraman sudah ada Bupati, kepala dinas,
dari pemerintahan, dan yang lainnya.
Mulai jam 6 pagi adalah masa bakti, masa tenang, masa
menghormati leluhur. Sambutan dilaksanakan setelah upacara siraman
berlangsung, setelah gong turun. Sambutan dari Bupati, kepala dinas,
dll. Selama ritual juru kunci yang mempersilahkan Bupati untuk
memandikan gong, dll. Selama ritual tidak ada sambutan, yang ada
hanya instruksi dari juru kunci dan panitia. Gong keluar hanya ketika
Syawal dan Maulud. Gong diletakkan di atas tempat siraman,
digantungkan, gong dibersihkan, di siram air dari sanggar, di pukul 7x,
setelah di pukul tanya ke masyarakat sae nopo awon (baik atau buruk),
pukul lagi, sampai 7x, kemudian dibungkus kain mori tiga lapis.
Setelah itu gong dibawa kembali ke sanggar.
87
2. Siapa saja yang dilibatkan dalam rangkaian upacara?
Narasumber: Yang pasti juru kunci, lurah, camat, bupati, kepala dinas
pemerintah, dan pejabat-pejabat pemerintah tertentu. Pelaksananya 20
orang: dari pemerintah 12 orang.
3. Siapa saja yang mengikuti rangkaian upacara?
Narasumber: Semua yang ada di lokasi. Khususnya pasti juru kunci,
lurah, camat, bupati, kepala dinas pemerintah, dan pejabat-pejabat
pemerintah tertentu. Tradisi ini diikuti lebih dari seribu orang dari
daerah manapun dan agama apapun, nasional maupun internasional.
4. Adakah larangan atau pantangan dalam upacara?
Narasumber: Larangan atau pantangan selama pelaksanaan upacara
siraman sesajen harus lengkap. Dilarang berkata kasar mengenai gong.
Tidak boleh disiram di semua Wage. Apabila bertepatan di hari Wage,
maka ritual diundur di hari berikutnya.
5. Apa saja perlengkapan yang diperlukan dalam upacara siraman?
Dan apa maknanya?
Narasumber: Perlengkapan (ubarampe) dan peralatan yang
digunakan untuk pelaksanaan upacara siraman Gong Kyai Pradah
adalah:
- Sesajen yang terdiri dari berbagai jenis makanan.
- Satu kepala kambing.
- Boreh.
- Kembang setaman.
- Panji-panji berwarna hijau satu buah. Warna hijau merupakan
simbol Kerajaan Mataram Kuno, karenanya semua yang berkaitan
dengan Gong Kyai Pradah cenderung menggunakan warna hijau.
- Kemenyan.
- Sebuah payung berwarna hijau untuk memayungi sesajen.
- Tujuh buah gentong, sebagai tempat menyimpan air yang akan
digunakan untuk menyiram atau menyucikan Gong Kyai Pradah.
88
- Kain mori, yaitu sejenis kain putih yang digunakan bahan batik.
Kain mori biasa dikenal dengan kain kafan.
- Air dari sanggar untuk menyucikan gong ketika proses siraman
(jamasan).
- Handuk untuk membersihkan gong setelah disucikan.
Selain perlengkapan tersebut, terdapat hal lain yang harus ada,
yaitu:
a. Juru kunci
b. Ajudan juru kunci
c. Tiga wanita sebagai pengiring
d. Genjringan/ shalawat jowo/ shalawat kuno
e. Pengiring shalawat
f. Jaranan
g. Pejabat pemerintahan, yakni: lurah, camat, kepala dinas pemerintah,
dan pejabat-pejabat pemerintah tertentu.
h. Panitia acara dan beberapa orang yang ditugaskan untuk membawa
perlengkapan upacara siraman.
Ketika pelaksanaan upacara siraman, juru kunci, para ajudan,
panitia, para undangan, dan yang ditugaskan membawa perlengkapan
upacara siraman diwajibkan menggunakan pakaian kejawen. Hal ini
dilakukan untuk menghormati warisan leluhur.
6. Apakah sama perlengkapan yang digunakan pada zaman dulu
dan sekarang?
Narasumber: Selalu sama dan tidak ada yang berani menambah atau
mengurangi.
7. Di mana saja upacara dilaksanakan?
Narasumber: Setiap tanggal 1 Syawal tradisi dilakukan di sanggar
Pusaka Gong Kyai Pradah. Sedangkan ketika tanggal 12 Maulus,
siraman dilakukan di panggung siraman yang letaknya di tengah alun-
alun Kecamatan Sutojayan.
89
Pengaruh Upacara Siraman Gong Kyai Pradah
1. Mengapa mengikuti upacara siraman ini?
Narasumber: Karena saya juru kunci dan wajib ada ketika prosesi.
Selain itu, saya mengikuti tradisi ini dalam rangka nguri-nguri budaya.
Saya ingin melestarikan budaya agar tidak terkikis oleh budaya barat.
2. Apa yang bapak/ ibu percaya ketika mengikuti upacara ini?
Narasumber: Upacara ini hanya sebuah tradisi. Tradisi ini bukan
sesembahan. Jadi, tradisi ini dilakukan semata-mata untuk
melestarikan budaya.
3. Sejak kapan mengikuti upacara siraman?
Narasumber: Sudah lama. Saya lupa kapan tepatnya.
4. Bagaimana pengaruh upacara siraman terhadap kehidupan
sehari-hari?
Narasumber: Tidak ada pengaruh khususnya. Cenderung sama saja,
apalagi tradisi ini kan hanya dilakukan dua kali dalam setahun, jadi
kalau dalam kehidupan sehari-hari tidak terlihat pengaruhnya.
90
91
HASIL WAWANCARA
A. Latar Belakang Informan
Nama : Supalil
Umur : 93 tahun
Agama : Islam
Pendidikan Terakhir : -
Pekerjaan : Juru Kunci Ke-5 Gong Kyai Pradah
Hari/ tanggal : Senin, 16 September 2019
Tempat : Rumah Bapak Supalil
B. Hasil Wawancara
Asal-Usul Upacara Siraman Gong Kyai Pradah
1. Bagaimana asal-usul diadakannya Upacara Siraman Gong Kyai
Pradah?
Narasumber: Zaman dulu ada seorang pangeran. Namanya Pangeran
Prabu. Ia diusir dari kerajaan karena memiliki niat buruk kepada raja.
Ia diasingkan untuk membabat hutan Lodoyo yang masih angker dan
banyak binatang buasnya. Setibanya ia di Lodoyo, ia singgah di rumah
Mbok Randha Dadapan selama beberapa hari. Kemudian sebelum ia
melanjutkan pengembaraan, ia menitipkan Gong Kyai Pradah kepada
Mbok Randha dan meningalkan pesan agar gong disucikan setiap
tanggal 1 Syawal dan 12 Maulud.
2. Sejak kapan upacara ini ada?
Narasumber: Sejak zaman Mataram Kuno. Sejak Pangeran Prabu
menitipkan bendhe Kyai Pradah kepada Mbok Randha Dadapan.
3. Siapa yang pertama kali melaksanakan upacara?
Narasumber: Mbok Randha Dadapan.
92
4. Kapan saja upacara ini dilaksanakan?
Narasumber: 1 Syawal dan 12 Maulud
5. Kenapa dinamakan upacara siraman?
Narasumber: Karena gong disucikan dengan cara dimandikan.
6. Kenapa gong tersebut dinamakan Kyai Pradah?
Narasumber: Pradah artinya harimau. Ada suatu kisah, dimana pada
zaman dahulu Mbok Randha pernah didatangi perampok, kemudian ia
memukul gong 7x dan keluar harimau yang menolongnya.
7. Apa tujuan dilaksanakannya upacara?
Narasumber: Dalam rangka melestarikan adat.
8. Adakah perbedaan cara pelaksanaan dulu dan sekarang?
Narasumber: Tidak ada.
9. Siapa saja yang dipercaya merawat Gong Kyai Pradah?
Narasumber: Juru kunci.
10. Di mana saja Gong Kyai Pradah pernah disimpan?
Narasumber: Di sanggar pusaka Gong Kyai Pradah, Lodoyo, Blitar.
11. Apa dampak yang terjadi apabila upacara siraman tidak
dilakukan?
Narasumber: Tidak tahu. Karena selama ini upacara siraman selalu
dilakukan.
Pelaksanaan Upacara Siraman Gong Kyai Pradah
1. Bagaimana prosesi upacara siraman?
Narasumber: Gong diletakkan di atas tempat siraman, digantungkan,
gong dibersihkan, di siram air dari sanggar, di pukul 7x, setelah di
pukul tanya ke masyarakat sae nopo awon (baik atau buruk), pukul
lagi, sampai 7x, kemudian dibungkus kain mori tiga lapis. Setelah itu
gong dibawa kembali ke sanggar.
2. Siapa saja yang dilibatkan dalam rangkaian upacara?
Narasumber: Juru kunci, ajudan, beberapa orang dari pemerintahan.
3. Siapa saja yang mengikuti rangkaian upacara?
Narasumber: Masyarakat setempat dan dari luar Blitar.
93
4. Adakah larangan atau pantangan dalam upacara?
Narasumber: Tidak boleh berbicara buruk mengenai gong. Semua
perlengkapan harus ada.
5. Apa saja perlengkapan yang diperlukan dalam upacara siraman?
Dan apa maknanya?
Narasumber: Sesajen yang terdiri dari berbagai jenis makanan Satu
kepala kambing. Boreh. Kembang setaman. Panji-panji berwarna hijau
satu buah. Kemenyan. Payung berwarna hijau satu. Tujuh buah
gentong. Kain mori. Air dari sanggar. Handuk. Genjringan/ shalawat
jowo. Pengiring shalawat. Jaranan.
6. Apakah sama perlengkapan yang digunakan pada zaman dulu
dan sekarang?
Narasumber: Iya, sama.
7. Di mana saja upacara dilaksanakan?
Narasumber: Di sanggar dan di panggung siraman yang ada di tengah
alun-alun Lodoyo.
Pengaruh Upacara Siraman Gong Kyai Pradah
1. Mengapa mengikuti upacara siraman ini?
Narasumber: Karena ini tradisi yang harus dilakukan.
2. Apa yang bapak/ ibu percaya ketika mengikuti upacara ini?
Narasumber: Tradisi dilakukan untuk mendapatkan kesejahteraan
bagi masyarakat Lodoyo agar senantiasa mendapatkan perlindungan
dari Allah SWT. dan terbebas dari berbagai macam malapetaka seperti
terhindar dari kemiskinan, kekeringan, dan terhindar dari pertikaian
antarmasyarakat.
3. Sejak kapan mengikuti upacara siraman?
Narasumber: Sudah sangat lama.
4. Bagaimana pengaruh upacara siraman terhadap kehidupan
sehari-hari?
Narasumber: Hidup menjadi lebih tentram dan damai.
94
95
HASIL WAWANCARA
A. Latar Belakang Informan
Nama : Drs. Hartono, MM
Umur : 53 tahun
Agama : Islam
Pendidikan terakhir : S2
Pekerjaan : ASN
Hari/ tanggal : Rabu, 25 September 2019
Tempat : Kantor DISPARBUDPORA Kabupaten Blitar
B. Hasil Wawancara
Asal-Usul Upacara Siraman Gong Kyai Pradah
1. Bagaimana asal-usul diadakannya Upacara Siraman Gong Kyai
Pradah?
Narasumber: Pada zaman Mataram Kuno, sekitar abad 18 di Kerajaan
Kartasura ada seorang pangeran dari istri ampeyan (selir) raja,
namanya Pangeran Prabu. Karena saudara tiri Pangeran Prabu
dinobatkan menjadi raja ia iri karena merasa ia yang pantas. Akhirnya
ia dihukum ke Lodoyo. Membawa pusaka bendhe atau gong. Ia
bersama istri dan pengikutnya. Setibanya di Lodoyo, ia singgah di
Dusun Dadapan, di rumah Nyi Potrosuto. Disinilah gong dititipkan dan
memberi pesan untuk menyucikan gong pada 12 Maulud dan 1 Syawal
dengan menggunakan air kembang setaman dan boreh yang airnya
dipercaya untuk menyembuhkan orang sakit, untuk melancarkan
usaha, juga untuk membuat awet muda. Ia berkeliling untuk
melakukan semedi. Setelah lama tidak kembali, pengikutnya pun
membunyikan gong 7x, muncul harimau, tapi tidak memangsanya.
Setelah peristiwa ini, pangeran dan pengikutnya melanjutkan
96
perjalanan dan menitipkan pesan agar gong disucikan setiap tanggal 1
Syawal dan 12 Maulud.
2. Sejak kapan upacara ini ada?
Narasumber: Sejak Pangeran Prabu menitipkan gong kepada Nyi
Potrosuto.
3. Siapa yang pertama kali melaksanakan upacara?
Narasumber: Nyi Potrosuto.
4. Kapan saja upacara ini dilaksanakan?
Narasumber: Masyarakat Jawa berpedoman dengan hitungan
kalender Jawa aboge. Ketika kalender 12 Maulud atau 1 Syawal jatuh
pada tanggal Wage, maka upacara mundur sehari atau dua hari.
Dilestarikan hingga sekarang. Pada tahun 2017, Jamasan Pusaka Gong
Kyai Pradah diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda (BPTB)
Indonesia dan masuk dalam kalender event wisata budaya Kabupaten
Blitar untuk mendukung kehadiran wisatawan yang datang dari Blitar
dan sekitarnya.
5. Kenapa dinamakan upacara siraman?
Narasumber: Karena disucikan dengan cara disiram.
6. Kenapa gong tersebut dinamakan Kyai Pradah?
Narasumber: Kurang tau. Yang jelas nama tersebut sudah ada sejak
dibawa Pangeran Prabu ke Lodoyo, sebelum gong dititipkan kepada
Nyi Potrosuto.
7. Apa tujuan dilaksanakannya upacara?
Narasumber: Tujuan awal bagi yang percaya untuk ngalap berkah dan
pelestarian budaya, juga perlindungan adat tradisi (ritus), untuk
promosi pariwisata, serta peningkatan ekonomi masyarakat.
8. Adakah perbedaan cara pelaksanaan dulu dan sekarang?
Narasumber: Tidak ada.
9. Siapa saja yang dipercaya merawat Gong Kyai Pradah?
Narasumber: Juru kunci.
97
10. Di mana saja Gong Kyai Pradah pernah disimpan?
Narasumber: Di sanggar Gong Kyai Pradah.
11. Apa dampak yang terjadi apabila upacara siraman tidak
dilakukan?
Narasumber: Kurang tahu, karena setahu saya upacara siraman ini
selalu dilakukan.
Pelaksanaan Upacara Siraman Gong Kyai Pradah
1. Bagaimana prosesi upacara siraman?
Narasumber: Pada acara inti, yang ada di panggung siraman adalah
juru kunci, pemerintah, panitia yang berasal dari rombongan juru
kunci. Pemerintah daerah melalui bidang kebudayaan memfasilitasi
kehadiran bupati. Penyiapan akomodasi, hiburan, untuk biaya acara
berasal dari panitia lokal dan kabupaten. Rangkaian siraman banyak.
Sebelumnya ada jedoran dan kesenian lain. Ada tahlilan. Setelah acara
ada wayang, 5 hari setelah acara ada sepasaran. Pagi hari sebelum
siraman di desa Dadapan diadakan acara penguburan kepala kambing.
Di acara siraman, seminggu atau dua minggu sebelum hari H telah ada
pasar malam. Malam ada pagelaran wayang, 5 hari setelahnya ada
sepasaran atau selametan. Rangkaian acara setelah menanam kepala
kambing, ada rangkaian kesenian daerah diiringi jaranan jur (khusus
daerah Lodoyo).
Hari H pra acara, menunggu bupati datang hiburan tari-tarian
(tari beksan), pembukaan. Kedatangan bupati disambut ajudan dan
mengiringinya. Tari beksan (tari selamat datang), sambutan bupati,
bupati dan FORKOMPIMDA (Forum Komunikasi Pimpinan Daerah)
naik ke panggung, pembacaan sejarah oleh panitia, gong keluar dari
sanggar dibawa naik panggung, prosesi siraman (jamasi, boreh, air
bekas siraman dicampur air dan dicampur dengan air dari pemadam
kebakaran, disiramkan ke warga), bupati turun, kesenian tayub, ujub
doa dari panitia, tumpeng lanang wedok (tumpeng besar) diberikan ke
98
warga dimakan dengan berebutan. Doa dari kemenag. Bupati dan
rombongan makan tumpeng bersama. Malamnya pagelaran wayang.
Pasar malam sudah mulai sepi. Lima hari kemudian diadakan
selamatan.
2. Siapa saja yang dilibatkan dalam rangkaian upacara?
Narasumber: Rangkaian kegiatan sudah turun-temurun. Panitia lokal
ada, panitia khusus dari pemerintah ada, untuk pelaksana dinas
pariwisata, keterlibatan bagian perlengkapan atau penyiapan tempat
duduk, pengamanan dari satpol PP, polres, koramil, pengaturan lalu
lintas dari dishub, komunitas radio. Kerjasama panitia lokal,
kecamatan, koramil, polsek, dinas instansi terkait, humas protokol
(ketika acara). Upacara adat, undangan, panitia, dan tokoh masyarakat
setempat menggunakan pakaian kejawen ketika prosesi acara.
3. Siapa saja yang mengikuti rangkaian upacara?
Narasumber: Semua yang memiliki tugas dan wewenang, diantaranya
juru kunci, panitia, dan pejabat pemerintah tertentu yang telah dipilih.
4. Adakah larangan atau pantangan dalam upacara?
Narasumber: Upacara harus dilakukan di hari yang ditentukan.
Apabila hari tersebut jatuh pada hari Wage (kalender Jawa), maka
upacara mundur sehari atau dua hari.
5. Apa saja perlengkapan yang diperlukan dalam upacara siraman?
Dan apa maknanya?
Narasumber: Sesajen yang terdiri dari berbagai jenis makanan Satu
kepala kambing. Boreh. Kembang setaman. Panji-panji berwarna hijau
satu buah. Kemenyan. Payung berwarna hijau satu. Tujuh buah
gentong. Kain mori. Air dari sanggar. Handuk. Genjringan/ shalawat
jowo. Pengiring shalawat. Jaranan. Untuk lebih jelas dan lengkapnya
langsung ke juru kunci saja.
6. Apakah sama perlengkapan yang digunakan pada zaman dulu
dan sekarang?
Narasumber: Iya, sama.
99
7. Di mana saja upacara dilaksanakan?
Narasumber: Setiap tanggal 1 Syawal dilakukan di sanggar, kalau
tanggal 12 Maulud upacara dilakukan di panggung siraman yang ada
di depan sanggar, tepatnya di tengah alun-alun Sutojayan.
Pengaruh Upacara Siraman Gong Kyai Pradah
1. Mengapa mengikuti upacara siraman ini?
Narasumber: Untuk melestarikan budaya.
2. Apa yang bapak/ ibu percaya ketika mengikuti upacara ini?
Narasumber: Dengan mengikutinya, maka saya turut serta dalam
melestarikan budaya.
3. Sejak kapan mengikuti upacara siraman?
Narasumber: Sudah beberapa tahun. Saya lupa kapan tepatnya.
4. Bagaimana pengaruh upacara siraman terhadap kehidupan
sehari-hari?
Narasumber: Meningkatkan perekonomian masyarakat setempat.
Selain itu, dengan diadakannya upacara siraman tersebut Produk
Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Blitar pun ikut
meningkat.
100
101
HASIL WAWANCARA
A. Latar Belakang Informan
Nama : Iskandar
Umur : 89 tahun
Agama : Islam
Pendidikan terakhir : -
Pekerjaan : Petani
Pengikut Upacara Siraman Gong Kyai Pradah
Hari/ tanggal : Senin, 11 November 2019
Tempat : Alun-Alun Kecamatan Sutojayan
B. Hasil Wawancara
Upacara ini telah dilakukan sejak bertahun-tahun yang lalu. Sudah lama
sekali. Upacara siraman ini selalu dilakukan dengan cara yang sama.
Perlengkapan yang digunakan juga sama. Gong disimpan di sanggar dan
hanya dikeluarkan ketika hendak disucikan. Penyucian pusaka dilakukan
setiap tanggal 1 Syawal dan 12 Rabi’ul Awwal. Saya sudah mengikuti siraman
ini sejak masih muda hingga sekarang. Di malam sebelum siraman, saya akan
diantarkan anak saya ke sanggar agar dapat ziarah dan baru dijemput setelah
siraman selesai dilakukan. Di malam sebelum siraman diadakan kenduri.
Kenduri selalu dilakukan pada pukul 23.00 WIB, dan tidak seorangpun berani
mengubahnya. Kegiatan tersebut dihadiri oleh para pejabat daerah setempat
yang lazim disebut Muspika (Musyawarah Pimpinan Kecamatan). Juru kunci
dan para pejabat naik ke sanggar untuk berdoa di depan Gong Kyai Pradah,
setelah itu turun, dan duduk bersila di tikar membaur dengan para pengunjung
yang lain dengan formasi melingkar atau yang lebih dikenal dengan meditasi
atau semedi.
102
Saya mengikuti acara ini karena air bekas siraman gong dipercaya dapat
menyembuhkan penyakit dan membuat awet muda. Alhamdulillah, saya bisa
berumur panjang dan semoga tahun depan saya masih bisa mengikuti acara
ini. Ketika mengikuti acara ini hati saya menjadi tenang dan damai. Saya juga
merasa lebih sehat setelah meminum airnya. Apabila tidak mengikuti acara ini
tidak ada dampak khusus. Semuanya tetap sama, baik-baik saja.
103
104
HASIL WAWANCARA
A. Latar Belakang Informan
Nama : Bambang
Umur : 50 tahun
Agama : Islam
Pendidikan Terakhir : SD
Pekerjaan : Pedagang
Hari/ tanggal : Senin, 11 November 2019
Tempat : Alun-Alun Kecamatan Sutojayan
B. Hasil Wawancara
Dengan dilaksanakannya siraman, masyarakat percaya bahwa hal ini
dilakukan agar keberkahan senantiasa menyertai kehidupan. Keberkahan
tersebut dapat berwujud dalam berbagai macam hal, dapat berupa kesehatan,
lancar rezeki, segera bertemu jodoh, bahkan awet muda. Pun dengan
masyarakat yang percaya bahwa keberkahan akan didapatkan ketika mereka
meminum air bekas siraman Gong Kyai Pradah.
Saya sendiri mengikuti siraman ini sudah lama. Sejak saya masih berusia
20an. Kalau ada biaya saya akan datang, tapi kalau tidak ada ya tidak.
Walaupun tidak ikut tidak ada efeknya. Saya ikut acara ini untuk mencari
berkah dari Mbah Pradah. Kadang ikut berebut air, kadang juga tidak. Yang
jelas saya kesini dengan harapan Allah akan memberikan kelancaran rezeki,
umur panjang, serta kesehatan untuk saya dan keluarga melalui berkah Mbah
Pradah.
105
106
HASIL WAWANCARA
A. Latar Belakang Informan
Nama : Mujiono
Umur : 60 tahun
Agama : Islam
Pendidikan Terakhir : SMA
Pekerjaan : Swasta
Hari/ tanggal : Senin, 11 November 2019
Tempat : Alun-Alun Kecamatan Sutojayan
B. Hasil Wawancara
Upacara siraman Gong Kyai Pradah sudah ada sejak lama. Saya tidak
tahu bagaimana sejarahnya. Yang jelas siraman ini selalu dilakukan di tanggal
12 Maulud dan 1 Syawal, kecuali di semua Wage. Apabila tanggal tersebut
jatuhnya di hari Wage, siraman dilakukan sehari atau dua hari setelahnya.
Cara dan perlengkapan yang digunakan pun selalu sama. Pemerintah juga
terlibat di acara ini. Gong disimpan di sanggar dan hanya dikeluarkan ketika
siraman. Di malam hari sebelum siraman, di serambi sanggar diadakan tahlil
dan melekan. Bangunan serambi digunakan sebagai tempat berkumpul untuk
memohon berkah setiap malam Jumat Legi sambil mengadakan selamatan.
Bagi yang beragama Islam melakukan tahlil di musala. Musala hanya
digunakan ketika malam Jumat Legi setelah magrib hingga pagi hari dan
ketika malam siraman. Sedangkan yang beragama selain Islam dapat
bersemedi atau berdoa sesuai kepercayaannya di ruangan khusus dan di
serambi sanggar.
Upacara siraman dilakukan sebagai sarana memohon berkah kepada
kekuatan gaib atau roh leluhur yang ada di dalam Gong Kyai Pradah. selain
itu, masyarakat percaya air bekas siraman Kyai Pradah dapat membuat awet
muda dan menyembuhkan berbagai penyakit. Ketika upacara juga dipercaya
107
sebagai waktu yang paling baik untuk membeli peralatan pertanian karena
dengan menggunakan alat yang dibeli ketika upacara akan mendatangkan
kesuburan dan tanaman akan terbebas dari hama. Pada musim kemarau,
siraman ini juga dipercaya sebagai sarana memohon tujun hujan.
108
109
HASIL WAWANCARA
A. Latar Belakang Informan
Nama : Karti
Umur : 50 tahun
Agama : Islam
Pendidikan Terakhir : SD
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Hari/ tanggal : Senin, 11 November 2019
Tempat : Alun-Alun Kecamatan Sutojayan
B. Hasil Wawancara
Upacara ini selalu ada dari lama. Sebelum pelaksanaan, ada sesaji yang
harus ada, yaitu kepala kambing dan jeroannya yang pada pagi hari sebelum
upacara siraman dilaksanakan ditanam di sebuah rumah kecil yang disebut
cungkup, yaitu sebutan untuk petilasan Mbok Randha Dadapan. Petilasan ini
merupakan tempat peristirahatan Nyi Potrosuto yang dahulu dititipi gong oleh
Pangeran Prabu. Saya selalu mengikuti acara ini dari usia remaja untuk ziarah
dan mendapatkan air bekas siramannya. Airnya dipercaya dapat membuat
awet muda, mengobati penyakit, dan melancarkan rezeki. Intinya, saya
mengikuti acara ini karena berharap mendapatkan berkah Mbah Pradah.
110
111
HASIL WAWANCARA
A. Latar Belakang Informan
Nama : Slamet
Umur : 86 tahun
Agama : Islam
Pendidikan Terakhir : -
Pekerjaan : Petani
Hari/ tanggal : Senin, 11 November 2019
Tempat : Alun-Alun Kecamatan Sutojayan
B. Hasil Wawancara
Saya telah mengikuti tradisi ini lebih dari 50 tahun. Saya sudah sejak
muda mengikuti acara ini. Di pagi harinya, gong dibawa ke petilasan Mbok
Randha Dadapan. Di sana dilakukan penguburan kepala kambing dan
jeroannya, lalu gong dibawa kembali ke sanggar. Gong keluar lagi dari
sanggar ketika acara inti, yaitu acara siraman yang dimulai sekitar pukul 09.00
WIB.
Saya selalu datang untuk mendapatkan air bekas siraman. Manfaat air
bekas siraman ini banyak. Bisa membuat awet muda, sehat, dan walaupun
sudah tua masih cekatan. Bisa juga untuk menghilangkan pegel linu. Caranya,
air bekas siraman diusap-usapkan di bagian yang sakit. Saya sudah mengikuti
siraman ini selama bertahun-tahun. Sudah beberapa kali pergantian juru kunci.
112
113
HASIL WAWANCARA
A. Latar Belakang Informan
Nama : Samiatun
Umur : 45 tahun
Agama : Islam
Pendidikan Terakhir : SMA
Pekerjaan : Pedagang
Hari/ tanggal : Senin, 11 November 2019
Tempat : Alun-Alun Kecamatan Sutojayan
B. Hasil Wawancara
Setiap tahunnya selalu banyak masyarakat yang datang ke acara ini. Di
acara ini, saya dan yang lain datang untuk memperebutkan air bekas siraman.
Airnya dipercaya memiliki banyak manfaat apabila diminum. Di sanggar
diadakan tahlil dan tirakatan setiap malam Jumat Legi dan malam sebelum
prosesi siraman dilangsungkan. Saya tidak selalu mengikuti acara ini, hanya
ketika ada rezeki saja. Kalaupun tidak mengikuti acara tidak ada dampak yang
ditimbulkan karena gong ini bukan sesembahan, tapi hanya sebagai perantara
dari Tuhan.
Dengan adanya siraman, ekonomi masyarakat pasti meningkat, apalagi
tukang parkir dan para pedagang. Gotong-royong dan kebersamaan
masyarakat juga terjalin dengan baik. Banyak manfaatnya, banyak pengaruh
yang ditimbulkan dari diadakannya upacara siraman. Tapi ya itu, kebanyakan
masyarakat datang ingin mendapatkan berkah Mbah Pradah melalui air bekas
siramannya.
114
115
C. Lampiran 3: Upacara Siraman Gong Kyai Pradah
Gambar 3.1: Sertifikat Peresmian Jamasan Gong Kyai Pradah sebagai Warisan Budaya Tak
Benda (WBTB) Kab. Blitar, Indonesia
Gambar 3.2: Sanggar Pusaka Gong Kyai Pradah, Lodoyo, Kab. Blitar
Gambar 3.3: Panggung Siraman
116
Gambar 3.4: Rumah Panggung (Tempat Penyimpanan Gong Kyai Pradah dan Benda Pusaka
Lain)
Gambar 3.5: Ruang Serbaguna dan Serambi Sanggar
Gambar 3.6: Musala
117
Gambar 3.7: Meja sebagai Pijakan ketika Siraman 1 Syawal
Gambar 3.8: Anak Tangga untuk Menaiki Meja
Gambar 3.9: Proses Menghias Panggung Siraman
118
Gambar 3.10: Sanggar Pusaka Gong Kyai Pradah Setelah Dihias
Gambar 3.11: Panggung Siraman Setelah Dihias
Gambar 3.12: Gong Kyai Pradah sebelum Disucikan
119
Gambar 3.13: Proses Siraman
Gambar 3.14: Penyiraman Air Bekas Siraman kepada Masyarakat
Gambar 3.15: Penyiraman Air Bekas Siraman kepada Masyarakat
120
Gambar 3.16: Tempat Menggantung Gong Gambar 3.17: Cungkup atau Petilasan Nyi
ketika Siraman 1 Syawal Potrosuto (Mbok Randha Dadapan)
Gambar 3.18: Salah Satu Wayang yang Disimpan di Sanggar Gong Kyai Pradah
121
Gambar 3.19: Sebelum ke Petilasan Nyi Potrosuto
Gambar 3.20: Perjalanan ke Petilasan Nyi Potrosuto
Gambar 3.21: Makan Bersama setelah Upacara Siraman
122
D. Lampiran 4: Wawancara
Gambar 4.1: Foto Bersama Bapak Gambar 4.2: Foto Bersama Bapak Supalil
Muhammad As’adi
Gambar 4.3: Foto Bersama Bapak Hartono Gambar 4.4: Foto Bersama Bapak Iskandar
123
Gambar 4.5: Foto Bersama Bapak Bambang Gambar 4.6: Foto Bersama Bapak Mujiono
Gambar 4.7: Foto Bersama Ibu Karti dan Bapak Slamet Gambar 4.8: Foto Bersama Ibu
Samiatun
Top Related