TULI MENDADAK
I. PENDAHULUAN
Tuli mendadak (sudden deafness) ialah tuli yang terjadi secara tiba-tiba. Jenis
ketuliannya dapat berupa sesorineural atau konduktif, penyebabnya tidak dapat
langsung diketahui, biasanya terjadi pada satu telinga.1,2 Tuli mendadak dapat terjadi
tanpa adanya gejala lain, tetapi biasanya pasien merasakan telinga seperti tertutup atau
merasakan seperti ‘letupan’ pada telinga sebelum terjadi hilangannya pendengaran.
Tinnitus dan vertigo dapat menyertai hilangnya pendengaran.2
Tuli mendadak dapat disebabkan oleh berbagai hal permanen, antara lain oleh
iskemia koklea, infeksi virus, trauma kepala, trauma bising yang keras, perubahan
tekanan atmosfir, autoimun, obat ototoksik, penyakit meniere dan neuroma akustik.1
Diagnosis tuli mendadak sendiri ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan THT, audiologi labolatorium serta pemeriksaan penunjang
lain.1 Tuli mendadak adalah keadaan darurat medis relatif dan hasil pemeriksaan
diagnostik dan manajemen harus dimulai tanpa penundaan.3 Pendekatan terapeutik
melibatkan penggunaan kortikosteroid, vasodilator, hemodilusi normovolemik, terapi
oksigen hiperbarik dan obat-obat antivirus.4
II. DEFINISI
Tuli mendadak atau sudden hearing loss (SHL) dapat diartikan sebagai tuli
yang terjadi tiba-tiba (contohnya tuli mendadak sensorineural atau tuli mendadak
konduktif).1,2,5 Menurut O’Malley dkk, terlepas dari hal tersebut pada kebanyakan
literatur yang ada, tuli mendadak lebih mengarah pada tuli mendadak sensorineural.
Tuli mendadak sensorineural (sudden sensorineural hearing loss) dan kadang dikenal
juga sebagai tuli mendadak (sudden deafness).5
Menurut Levie dkk, SSHL (sudden sensorineural hearing loss) atau tuli
mendadak sensorineural didefinisikan sebagai tuli mendadak sensorineural yang
menetap dalam waktu kurang dari 3 hari dan minimal 30 dB dalam tiga frekuensi
berturut-turut berkisar antara 125 Hz sampai 8000 Hz jika dibandingkan dengan sisi
kontralateralnya. 1-4
Kehilangan pendengaran biasanya dapat terjadi secara total dan biasanya
hanya terjadi pada satu telinga. Hal ini dapat terjadi tanpa adanya gejala lain, tetapi
1
pasien biasanya merasakan telinga seperti tertutup atau merasakan seperti ‘letupan’
pada telinga sebelum terjadi hilangannya pendengaran. Tinnitus dan
ketidakseimbangan atau vertigo dapat menyertai hilangnya pendengaran.1,2
Sedangkan menurut Haberkamp dkk, tuli mendadak juga dikenal dengan
SSNHLV (sudden sensorineural hearing loss and vertigo) yang didefinisikan dengan
defisiensi pendengaran dengan onset yang terjadi secara tiba-tiba yang berkembang
secara cepat dalam waktu maksimal 72 jam. Intensitas defisiensi pendengaran dapat
terjadi bervariasi mulai dari ringan sampai berat.4
III. INSIDENS DAN EPIDEMIOLOGI
Insidens SSHL terjadi antara 5-20 kasus tiap 100.000 orang per tahunnya.3-5
Banyak kasus serupa tidak dilaporkan, oleh karena itu insidens terjadinya dapat
menjadi lebih tinggi. Tuli mendadak dapat sembuh sebelum pasien di evaluasi secara
medis, sehingga menjadikan pasien tidak pergi untuk mencari pengobatan.6
Beberapa kasus berseri sebanyak kurang lebih 7500 kasus di Amerika serikat
dan Eropa dan Jepang mengindikasikan bahwa SSHL umumnya terjadi pada umur 43-
53 tahun dengan distribusi sama pada laki-laki dan perempuan.4-7 Gejala-gejala
vestibular biasanya ada pada pasien SSHL pada sekitar 28-57% pasien.7
IV. ANATOMI TELINGA
4.1 Telinga Luar
4.1.1 Auricula (Daun Telinga)
Telinga luar atau pinna (aurikula = daun telinga) merupakan gabungan
dari rawan yang diliputi kulit. Kulit dapat terlepas dari rawan di bawahnya
oleh hematoma atau pus, dan rawan yang nekrosis dapat menimbulkan
deformitas kosmetik pada pinna (telinga kembang kol).2,7-9
2
Gambar 1. Aurikula
Dikutip dari kepustakaan no.8
4.1.2 Meatus Austicus Eksternus (Liang Telinga)
Liang telinga memiliki tulang rawan (pars cartilago) pada bagian
lateral namun bertulang keras (pars osseus) di sebelah medial. Seringkali
ada penyempitan liang telinga pada perbatasan tulang rawan dan tulang
keras ini. 2,7
3
Gambar 2. Sistem auditori periferal dapat dibagi menjadi 3 bagian: telinga
luar (biru); telinga tengah (hijau); telinga dalam (merah). Dan nervus
vestibulaokoklearis diwarnai dengan warna kuning.
Dikutip dari kepustakaan no.9
4.2 Telinga Tengah
Telinga tengah yang terisi udara dapat dibayangkan sebagai suatu kotak
dengan enam sisi. Dinding posteriornya lebih luas daripada dinding anterior
sehingga kotak tersebut berbentuk baji. Promontorium pada dinding medial
meluas ke lateral ke arah umbo dari membran timpani sehingga kotak tersebut
lebih sempit pada bagian tengah. 2,7-9
IV.2.1 Membran Timpani
Membran timpani atau gendang telinga adalah suatu bangunan
berbentuk kerucut dengan puncaknya, umbo, mengarah ke medial. Membran
timpani umumnya bulat. Pada rongga telinga tengah yaitu epitimpanum
yang terdapat korpus maleus dan inkus, meluas melampaui batas atas
membrane timpani, dan bahwa ada bagian hipotimpanum yang meluas
melalui batas bawah membrane timpani. 2,7-9
Membran tympani berbentuk oval dan tipis, tingginya sekitar 2 mm
dari apex sampai ke bawah, luas permukaannya sekitar 85 mm. Membran
timpani tersusun oleh suatu lapisan epidermis di bagian luar, lapisan fibrosa
di bagian tengah dimana tangkai maleus dilekatkan, dan lapisan mukosa
bagian dalam. Lapisan fibrosa tidak terdapat di atas prosessus lateralis
maleus dan ini menyebabkan bagian membrane timpani yang disebut
membrane Shrapnell menjadi lemas (flaksid). 2, 7-10.
4
Gambar 3. Membran Tympani
Dikutip dari kepustakaan no.2
IV.2.2 Tuba Eustasius
Tuba eustakius menghubungkan rongga telinga tengah dengan
nasofaring. Bagian lateral tuba eustakius adalah yang bertulang, sementara
duapertiga bagian medial bersifat kartilaginosa. Origo otot tensor timpani
terletak di sebelah atas bagian bertulang sementara kanalis karotikus terletak
di bagian bawahnya. Bagian bertulang rawan berjalan melintasi dasar
tengkorak untuk masuk ke faring di atas otot konstriktor superior. Bagian ini
biasanya tertutup tapi dapat dibuka melalui kontraksi otot levator palatinum
dan tensor palatinum yang masing-masing disarafi pleksus faringealis dan
saraf mandibularis. Tuba eustacius berfungsi untuk menyeimbangkan
tekanan udara pada kedua sisi membran timpani. 2,7-10.
4.3 Telinga Dalam
Bentuk telinga dalam sedemikian kompleksnya sehingga disebut sebagai
labirin. Terdiri dari labirin membrane dan labirin tulang, labirin membrane yang
terisi endolimfe, satu-satunya cairan ekstraseluler dalam tubuh yang tinggi kalium
dan rendah natrium. Labirin membrane dikelilingi oleh cairan perilimfe (tinggi
natrium, rendah kalium) yang terdapat dalam kapsula otika bertulang. Labirin
tulang dan membrane memiliki bagian vestibular dan bagian koklear. Bagian
5
vestibular (pars superior) berhubungan dengan keseimbangan, sementara bagian
koklearis (pars inferior) merupakan organ pendengaran.2, 7-10
Koklea melingkar seperti rumah siput dengan dua dan satu-setengah putaran.
Aksis dari spiral tersebut dikenal sebagai modiolus, berisi berkas saraf dan suplai
arteri dari arteri vertebralis. Serabut saraf kemudian berjalan menerobos suatu
lamina tulang yaitu lamina spiralis oseus untuk mencapai sel-sel sensorik organ
Corti. Rongga koklea bertulang dibagi menjadi tiga bagian oleh duktus koklearis
yang panjangnya 35 mm dan berisi endolimfe. Bagian atas adalah skala vestibule,
berisi perilimfe dan dipisahkan dari duktus koklearis oleh mebran Reissner yang
tipis. Bagian bawah adalah skala timpani juga mengandung perilimfe dan
dipisahkan dari duktus koklearis oleh lamina spiralis oseus dan membrane
basilaris. Perilimfe pada kedua skala berhubungan apeks koklea spiralis tepat
setelah ujung buntu duktus koklearis melalui suatu celah yang dikenal sebagai
helikotrema. Membrane basilaris sempit pada basisnya (nada tinggi) dan melebar
pada apeks (nada rendah). 2,7-10
Gambar 4. Potongan axial dari koklea
Dikutip dari kepustakaan no. 9
(a) (b)
6
Gambar 5. Gambaran skematik dari (a) Sel rambut koklea; (b) Organ korti
Dikutip dari kepustakaan no.9
V. FISIOLOGI TELINGA
Sampai tingkat tertentu pinna adalah suatu “pengumpul” suara, sementara
liang telinga karena bentuk dan dimensinya, dapat memperbesar suara dalam rentang
2 sampai 4 kHz; pembesaran pada frekuensi ini adalah sampai 10 sampai 15 dB.
Maka suara dalam rentang frekuensi ini adalah yang paling berbahaya jika ditinjau
dari sudut trauma akustik. 2,7-10
Getaran suara dihantarkan lewat liang telinga dan telinga tengah ke telinga
dalam melalui stapes, menimbulkan suatu gelombang berjalan di sepanjang membrana
7
basilaris dan organ Cortinya. Puncak gelombang berjalan di sepanjang membrana
basilaris yang panjangnya 35 mm tersebut, ditentukan oleh frekuensi gelombang
suara. Hal ini berakibat membengkoknya stereosilia oleh kerja pemberat membrana
tektoria, dengan demikian menimbulkan depolarisasi sel rambut dan menciptakan
potensial aksi pada serabut-serabut saraf pendengaran yang melekat padanya. Di
sinilah gelombang suara mekanis diubah menjadi energy elektrokimia agar dapat
ditransmisikan melalui saraf kranialis ke-8. Paling tidak sebagian analisis frekuensi
telah terjadi pada tingkat organ Corti. Peristiwa listrik pada organ Corti dapat diukur
dan dikenal sebagai mikrofotik koklearis. Peristiwa listrik dalam neuron juga dapat
diukur dan disebut sebagai potensial aksi. 2,7-10
Suara sebagai gelombang getaran akan diterima oleh membrana tympani dan
getaran ini akan diteruskan oleh tulang-tulang pendengaran (maleus, incus, dan
stapes) di rongga telinga tengah. Selanjutnya akan diterima oleh "oval window" dan
diteruskan ke rongga cochlea serta dikeluarkan lagi melalui "round window". Rongga
cochlea merubah hantaran suara menjadi sinyal eletrik terbagi oleh dua sera menjadi
tiga ruangan, yaitu scala vestibuli, scala tympani dan scala perilimfe dan endolimfe.
Antara scala tympani dan scala medial terdapat membran basilaris, sel-sel rambut dan
serabut afferen dan efferen nervus cochlearis. Getaran suara tadi akan menggerakkan
membrana basilaris, dimana nada tinggi diterima di bagian basal dan nada rendah
diterima di bagian apeks. Akibat gerakan membrana basilaris maka akan
menggerakkan sel-sel rambut dan terjadi perubahan dari energi mekanik ke
chemoelectrical potensial dan akan dibawa oleh serabut afferen nervus cochlearis ke
inti dorsal dan ventral. 7,8
8
Gambar 6. Jalur auditorik.
Dikutip dari kepustakaan 10
Tetapi ada juga yang langsung ke nukleus lemniskus lateral. Dari kompleks
olivari superior serabutnya berjalan ke nukleus lemniskus lateralis dan sebagian
langsung ke colliculus inferior. Serabut-seravut ini membentuk lemniskus lateralis.
Dari colliculus inferior serabutnya berlanjut lagi ke corpus genikulatum mediale
sebagai brachium colliculus inferior. Dari CGM ini serabutnya berjalan ke korteks
serebri di area acustikus (area Broadmann, 41,42) dan disadari sebagai rangsang
pendengaran.7,8
5.1 Jaras Auditory Sentrifugal
Merupakan jaras eferen ke sensori sel-sel rambut di cochlea dan otot-otot
pendengaran di rongga telinga tengah. Jaras ini berasal dari group neuron yang berada
di bagian medial kompleks olivary superior (retro olivary group). Serabut eferen ini
mengakibatkan hiperpolarisasi sel-sel rambut cochlea dan kontraksi otot-otot di
rongga telinga sehingga transmisi dari vibrasi suara pada membrana tympani
9
turun/berkurang. Serabut yang mempersarafi otot-otot di rongga telinga tengah
berasal dari nukleus motoris trigminal dan nukleus facialis (muskulus tensor tympani
dan muskulus stapedius). Dengan kontraksi otot-otot tersebut menurunkan transmisi
dari vibrasi suara dari gendang telinga ke oval window. Dengan demikian mekanisme
ini membantu melindungi organ pendengaran apabila ada stimulasi yang terlalu tinggi
dan dapat mengakibatkan kerusakan reseptor cochlea. Hubungan centrifugal didalam
susunan saraf pusat berperan terhadap supresi suara yang terlalu keras. Konsentrasi
terhadap salah satu suara tertentu mungkin merupakan salah satu efek dari centrifugal
auditory pathway ini. 7,8
5.2 Reseptor Vestibularis
Reseptor Vestibular mendeteksi pergerakan kepala secara linier dan akselerasi
angular.Informasi ini penting untuk mengontrol pergerakan mata sehingga retina
dapat menangkap gambaran visual yang stabil dan juga penting untuk mengontrol
postur. 7,8
Gambar 7. Labrynth membranosa
Dikutip dari kepustakaan 10
Labrynth membranosa yang terletak dalam pars petrosa os temporalis berisi
endolymfe yang kaya akan kalium. Labyrinth membranosa terdiri dari lima buah
struktur vestibuler yaitu utrikulus, sacculus ynang mengandung macula dan
bertanggung jawab terhadap respop accelerasi linier seperti gaya tarik bumi dan 3
buah canalis semisirkularis yang mengandung ampula yang berespon terhadap
deteksi accelerasi angular dari cristae. 7,8
10
Gambar 8. Crista dan macula.
Dikutip dari kepustakaan 10
Di dalam macula dan ampula terdapat sel-sel rambut yang mempunyai
stereocilia dan kinocilia. Pergerakan stereocilia terhadap kinocilia menyebabkan
depolarisasi dan hyperpolarisasi dari sel rambut. Impuls keseimbangan ini
kemudian diterima oleh serabut afferen yang badan selnya tedapat dalam ganglion
vestibuler. 7,8
Gambar 9. Struktur dan inervasi dari sel-sel rambut
Dikutip dari kepustakaan 10
5.3 Traktus Vestibulospinalis
11
Serabut aferen yang berasal dari canalis semicircularis berjalan sebagai nervus
vestibularis, masuk ke inti nervus vestibularis, selanjutnya ada yang berjalan ke
serebelum (floculus, nodulus dan nucleus fastigial). Di dalam ini nervus
vestibularis akan berganti sinaps, serabutnya akan berjalan ke medulla spinalis ada
dua macam yaitu tractus vestibulospinalis lateralis (sifatnya inhibisi atau eksitasi)
terhadap otot-otot pergerakan dan penting dalam menjaga keseimbangan
postural.7,8
Sensori input dari vestibuler fungsinya adalah untuk mempertahankan
stabilitas kepala, keseimbangan serta postur. Axon fungsinya sebagai informasi
vestibuler kepada nucleus vestibuler di pons, kemudian axon sekunder
mendistribusikan informasi di 5 area; korda spinalis ( mengontrol otot),
cerebellum (vermis), formasi retikular ( pusat muntah), otot ekstraokuler, dan
korteks ( persepsi kesadaran).7,8
VI. ETIOLOGI
Tuli medadak dapat disebabkan oleh berbagai hal, antara lain oleh iskemia
koklea, infeksi virus, trauma kepala, trauma bising yang keras, perubahan tekanan
atmosfer, autoimun, obat ototoksik, penyakit meniere dan neuroma akustik.1
Etiologi dari SSHL dapat di klasifikasikan kedalam beberapa katergori,
beberapa diantaranya, yakni:
1) Virus dan penyakit yang bersifat menular
Beberapa jenis virus seperti virus parotis, campak, virus influenza B dan
mononukleosis menyebabkan kerusakan pada organ corti, membran tektoria dan
selubung myelin saraf akustik. Ketulian yang terjadi biasanya berat, terutama pada
frekuensi sedang atau tinggi.1
Virus dan penyakit menular lainnya yang dilaporkan dapat menjadi penyebab
tuli mendadak sensorineural adalah virus herpes (simplex, herpes zoster),
cytomegalovirus, HIV, mikoplasma, tokxoplasmosis, sifilis, rubeolla, penyakit
lyme.3,5,11
Virus rubella merupakan penyebab kasus tuli kongenital pada ribuan kasus
yang terjadi pada tahun 1964-1965; yang kebanyakan disertai dengan sindrom
12
yang melibatkan kelainan mata, jantung dan otak. Sejak diperkenalkannya vaksin
MMR (measles-rubella) kejadian sindrom rubella kongenitas di Amerika Serikat
menghilang secara nyata.12 Saat ini penyebab utama dari tuli kongenital ialah
CMV (cytomegalovirus), famili virus herpes.12,13 Sindrom CMV kongenital
meliputi ketulian yang disertai lesi pada mata, otak, hati, dan limpa. Belum ada
vaksin yang dapat mengurangi atau mengeliminasi terjadinya kehilangan
pendengaran pada CMV.11
Virus varicella-zoster (VZV) merupakan penyebab terjadinya cacar air pada
anak-anak dan pada orang dewasa. Ketika infeksi primer telah dieliminasi, VZV
tetap dorman pada ganglia cabang dorsal. Reaktifasi dari virus ini, biasanya terjadi
pada periode dimana terjadi sepresi imunitas seluler, sehingga menyebabkan
terjadinya shingle atau erupsi vesikular dermatomal. Reaktifasi dari VZV pada
gangglion genikulata akan mengakibatkan nyeri erupsi vesikular pada telinga luar,
yang dikenal dengan herpes zoster otikus. Ketika juga terdapat paralisis fasialis,
hal ini disebut sebagai sindrom Ramsay Hunt.11,12 Sekitar 6% kasus HZO
menunjukkan adanya tuli sensorineural.11
HIV (human immunodeficiency virus) dapat langsung menyebabkan
hilangnya pendengaran tetap lebih sering umumnya membuat host menjadi lebih
mudah untuk terpapar virus lain, seperti CMV, HSV, adenovirus yang terdapat
pada hasil kultur telinga tengah pasa pasien yang terinfeksi HIV.11,12
Sifilis dapat menyebabkan tuli mendadak sensorineural dalam bentuk
kongenital atau didapat. Penyakit ini disebabkan oleh spirocherte, Treponema
pallidum. Infeksi dapat terjadi melalui transmisi seksual atau dapat pula
didapatkan pada saat dalam kandungan. Sifilis kongenital dini, manifestasinya
muncul pada dua tahun pertama kehidupan dan biasanya berakibat fata. Gejalanya
meliputi malformasi skeletal, organomegali, ruam, penyakit sistem nervus sentral.
Sedangkan sifilis kongenital lanjut muncul setelah umur dua tahun dan merupakan
hasil dari infeksi sebelumnya; dimana terdapat gejala hilangnya pendengaran pada
masa anak-anak tetapi juga pada akhir dekade tiga dan empat. Sifilis ‘didapat’,
pada hampir semua kasus berasal dari transmisi secara seksual. Spirochete mem-
penetrasi membran mukosa yang intak dan menyebar secara sistemik jauh
sebelum lesi primer muncul. Hilangnya pendengaran dapat terjadi pada sifilis
13
‘didapat’ dini dan lanjut. Tuli sensorineural timbul pada saat fase sekunder dari
sifilis yang merupakan akibat dari meningitis basiler yang mempengaruhi nervus
koklea.12
Tuli sensorineural juga dapat disertai dengan infeksi yang berasal dari
sprirochete lain, Borrelia burgdorferi, yang merupakan organisme kausatif dari
penyakit Lyme. Organisme tersebut berhubungan dengan kulit melaui gigitan dari
kutu yang terinfeksi genus Ixodes. Belum begitu jelas mengenai gejala dari
penyakit ini yang merupakan akibat dari infeksi diseminata dan merupakan hasil
dari respon inflamasi sistemik.12
2) Autoimun
Kejadian tuli mendadak yang dimediasi oleh imun masih belum jelas, tetapi
aktivitas imunologi yang ditemukan pada koklea semakin mendukung bukti akan
kejadian tersebut.6,12 Adanya antibodi terhadap koklea antigen, seperti antigen 68
kD pada telinga dalam, juga respons imresif terhadap medikasi immunosupresi,
menyebabkan autoimunitas menjadi suatu proses patologik yang mendasari
terjadinya tuli sensorineural idiopatik pada beberapa pasien.12
Penyakit autoimun yang dilaporkan dapat menjadi penyebab terjadinya tuli
mendadak sensorineural ialah lupus eritematous, poliartritis nodosa, sindrom
Cogan, granulomatosis Wegener, polikondritis relaps, sindrom Behcet, penyakit
Kawasaki, arteritis temporal (penyakit Horton).3,5
3) Traumatik
Penyakit traumatik yang dilaporkan dapat menjadi peyebab terjadinya DHL ialah
fistula perilimfatik, fraktur tulang (tulang temporal), cedera akibat ledakan.1
Fistula paralimfe merupakan perforasi kecil yang terjadi pada sekitar koklear
window. Fistula tersebut menyebabkan paralimfe dari koklea mengalami
kebocoran dan menyebabkan hilangnya pendengaran dan gejala vestibular.12
Banyak ahli juga percaya bahwa fistula paralimfe yang terjadi erat kaitannya
dengan riwayat barotrauma; setelah scuba diving, violent nose blowing, atau
menahan napas secara ekstrim.12,13
4) Vaskular
Sama halnya dengan konsep mengenai infeksi virus yang dapat menyebabkan tuli
mendadak, konsep tentang adanya gangguan vaskular juga dianggap sebagai
14
penyebab terhadap terjadinya tuli mendadak. Terjadinya iskemik pada jalur
auditori terlihat pada pasien yang mengalami tuli mendadak.2
Iskemik yang terjadi pada koklea dapat disebabkan oleh karena spasme,
trombosis atau perdarahan auditiva interna.1 Pembuluh darah ini merupakan arteri
ujung (end artery), sehingga bila terjadi gangguan pembuluh darah ini koklea
sangar mudah mengalami kerusakan.1,6 Iskemia mengakibatkan degenerasi luas
pada sel-sel ganglion stria vaskularis dan ligamen spiralis. Kemudian diikuti oleh
pembentukan jaringan ikat dan penulangan. Kerusakan sel-sel rambut tidak luas
dan membran basal jarang terkena.1
Selain itu penyebab lain yang dilaporkan dapat menyebabkan tuli mendadak
sensorineural adalah serangan vaskular vertebrobasiler, stroke, penyakit sickle
cell, dekompresi.3
5) Neurologik
Kasus penyakit neurologik yang dilaporkan dapat menjadi penyebab terjadinya
SNHL ialah multiple sklerosis, migrain dan neurosarkoidosis.3,5
Pada multipel sklerosis, inflamasi terjadi pada area substansia alba, dan pada
daerah tersebut terdapat area yang relatif tampak normal yang berselang-seling
dengan fokus inflamasi dan demielinidasi yang disebut juga plak, yang seringkali
terletak dekat venula. Demielinisasi inflamasi jalur SSP menyebabkan penurunan
dan gangguan kecepatan hantar saraf dan akhirnya hilangnya penghantaran
informasi oleh jaras tertentu. Setelah proses inflamasi mereda, sistem saraf mulai
memulai perbaikan, sehingga menghasilkan siklus perkembangan dan remisi.
Gangguan pendengaran dikaitkan dengan di lesi batang otak dan nervus kranialis
VIII karena nervus tersebut memasuki batang otak atau di lokasi lainnya di
sepanjang jalur pendengaran.13
6) Tumoral
Penyebab yang dilaporkan dapat menyebabkan tuli mendadak sensorineural
adalah vestibular schwannoma (neuroma akustik). 3,6
Neuroma akustik tumbuh dari sel selubung saraf pada kompleks nervus VIII
pada regio meatus auditorius internus. Manifestasi awal yang khas ialah gangguan
pendengaran sensorineural unilateral, yang disebabkan oleh kerusakan nervus
15
dalam meatus (lesi intrakanalikular). Ekspansi tumor lebih lanjut ke sudut
serebelopontin melibatkan nervus kranialis yang berdekatan (nervus V dan VII).14
Tumor lain yang dapat mengenai sudut serebelopontin sehingga menjadi salah
satu penyebab tuli mendadak sensorineural ialah menigioma, metastasis ke kanalis
auditori interna, meningeal karsinomatosis.3,6,13
7) Ototoksik
Penggunaan obat-obatan yang bersifat ototoksik seperti aminoglikosida dan
sisplastin dilaporkan dapat menyebabkan terjadinya tuli mendadak
sensorineural.3,6,13
Efek ototoksik dari sisplastin ialah hilangnya pendengaranm sedangkan
aminoglikosida dapat menuebabkan gangguan auditori atau vestibular. Gentamisin
dan streptomisin lebih menimbulkan efek gangguan vestibular, khususnya
ketidakseimbangan. Sebaliknya, amikasin, kanamisin dan dihidrostreptomisin
lebih bersifat toksik terhadap koklea. Tobramisin mempunyai efek toksik yang
hampir sama terhadap koklea dan labirin vestibular.14
VII. DIAGNOSIS
Diagnosis tuli mendadak ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan THT, audiologi, laboratorium serta pemeriksaan penunjang lain.1,3,5-7,14
1) Anamnesis
Elemen penting dari anamnesis meliputi onset, perkembangan fluktuasi sejak
timbulnya onset dan ada atau tidaknya defisit neurologi yang disadari.5,6
Adanya gejala-gejala yang menyertai hilangnya pendengaran seperti tinitus,
vertigo atau pusing, rasa penuh ditelinga (aural fullness), dan otalgia harus
ditanyakan secara spesifik, juga adanya infeksi virus yang terjadi bersamaan,
riwayat operasi otologi sebelumnya atau penggunaan obat-obat ototoksik. Karena
aural fullness tidak spesifik dan biasanya memiliki penyebab nonotologi yang
mendasari (contohnya disfungsi sendi temporomandibular atau kongesti jalan
napas atas), langkah pertama dalam mendiagnosis ialah dengan menentukan
apakah gejala yang timbul dikarenakan oleh hilangnya pendengaran atau
bukan.3,5,14 Riwayat trauma, menyelam, terbang dan terpapar suara bising juga
harus diperhatikan.3,5 Riwayat penyakit sebelumnya yang berhubungan dengan
16
kehilangan pendengaran juga dapat ditanyakan, seperti diabetes, penyakit
autoimun, penyakit keganasan, kondisi neurologik dan status hiperkoagulasi.3
Pedoman dari AAO-HNSF (The American of Otolaryngology-Head and Neck
Surgery) merekomendasikan para dokter untuk dapat membedakan tuli
sensorineural (SNHL) dengan tuli konduktif (SHL) pada pasien yang datang
dengan keluhan tuli mendadak. Pasien juga harus dinilai adanya tuli mendadak
bilateral, tuli mendadak dengan episode yang berulang, atau gangguan neurologis
fokal untuk menentukan apakah pendengaran yang hilang tersebut disertai dengan
adanya penyakit yang mendasari.6
2) Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan fisis pada pasien dengan tuli mendadak harus meliputi
pemeriksaan oltolaringologi standar, dengan tujuan untuk mencari penyebab dari
tuli mendadak. Pemeriksaan neurootologi dengan pemeriksaan otoskopik
dilakukan untuk mengevaluasi efusi, infeksi dan neoplasma tertentu, hal ini
sangatlah penting, begitu juga dengan evaluasi nervus kranialis dan fungsi
serebral.5 Namun, biasanya pada pemeriksaan otoskopik menunjukkan hasil yang
normal.1,3 Septum nasi juga harus diperiksa untuk mencari bukti adanya proses
autoimun.5 Pemeriksaan fisis termasuk tekanan darah.1
3) Pemeriksaan Penunjang
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis, evaluasi audiometri sebaiknya
dilakukan. Dengan tujuan untuk perbandingan, pemeriksaan audiometri harus
meliputi PTA atau pure tone audiometry (0.25 kHz, 0.5 kHz, 1 kHz, 2 kHz, 4 kHz
dan 8 kHz) dan SDS (speech discrimination score) untuk mengevaluasi derajat
beratnya kehilangan pendengaran dan derajat kesembuhannya.5
Pemeriksaan audiogram lengkap, termasuk pemeriksaan ambang batas nada
murni konduksi tulang – udara dan audiometri percakapan, diperlukan dalam
diagnosis definitif dengan pasien yang dicurigai mengalami kehilangan
pendengaran atau pendegaran asimetris.14
Pada pemeriksaan fisik dengan otoskop, tidak ditemukan kelainan pada telinga
yang sakit. Sementara dengan pemeriksaan pendengaran didapatkan hasil sebagai
berikut: 1,3,5
Audiometri nada murni :
17
Tuli sensorineural ringan sampai berat.
Audiometri khusus
Tes SISI (Short Increment Sensitivity Index) dengan skor : 100% atau kurang
dari 70%
Tes Tone decay atau reflek kelelahan negatif.
Kesan : Bukan tuli retrokoklea
Audiometri tutur (speech audiometry)
SDS: kurang dari 100%
Kesan : Tuli sensorineural
Audiometri impedans :
Timpanogram tipe A (normal) reflek stapedius ipsilateral negatif atau positif
sedangkan kolateral positif.
Kesan : Tuli sensorineural Koklea
Tes penala :
Rinne positif, Weber lateralisasi ke telinga yang sehat, Schwabach memendek.
Kesan : Tuli sensorieural
18
Gambar 7. Tes Weber dan Tes Rinne. Tes Weber dikonduksikan dengan
menggunakan garpu tala 512 Hz, ditempatkan pada pertengahan dahi dan
kemudian kita menanyakan kepada pasien kearah mana suara yang didengar
lebih keras: kiri, kanan, atau tengah. Jika pendengaran pasien simetris, suara
yang didengar akan sama. Tes Rinne dilakukan dengan membandingkan
konsuksi udara dengan konduksi tulang dikedua sisi. (Dikutip dari
kepustakaan no.14)
BERA (Brainstem Evoked Responce Audiometry)
BERA sebaiknya dilakukan, tetapi sebaiknya jangan dilakukan terlalu cepat,
dengan tujuan untuk menghindari cedera pada hidung. Apabila pemeriksaan
BERA tidak bisa dilakukan karena beratnya kehilangan pendengaran, atau
karena pemeriksaan BERA menunjukkan hasil patologis, MRI (magnetic
resonance imaging) scan direkomendasikan untuk dilakukan minimal satu
bulan setelah onset terjadi dengan tujuan untuk mencari adanya tumor pada
sudut serebelopontin atau adanya multiple sclerosis.3,11,14
MRI (magnetic resonance imaging) dengan injeksi kontras gadolinium
pada tulang temporal dan otak dapat dilakukan dalam kasus-kasus tuli
mendadak sensorineural akut untuk menyingkirkan abnormalitas retrokoklear
(contohnya akibat neoplasma, stroke atau demielinisasi).11,14
5. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah harus didasarkan pada riwayat dan diagnosis banding yang
dicurigai. Pemeriksaan secara menyeleruh sebaiknya tidak dilakukan mengingat
harga dan kurangnya spesifitas dari hasil pemeriksaan tersebut. Berikut adalah
pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan.3 antara lain: Hemoglobin, red
blood cell, white blood cell, Platelet, C-reactive protein.
6. ENG ( Electronistagmografi)
Pada kasus tuli mendadak , apabila pasien datang ditambah dengan keluhan
vertigo, maka ENG atau VNG (videonystagmography) dapat juga dilakukan.3
VIII. PENATALAKSANAAN
19
1. Tirah baring sempurna (total bed rest) istirahat fisik dan mental selama 2 minggu
untuk menghilangkan atau mengurangi stress yang besar pengaruhnya pada
keadaan kegagalan neovaskular. 1,3,5
2. Vasodilator yang cukup kuat misalnya dengan pemberian Complamin injeksi. 1,3,5
a. 3x 1200 mg (4 ampul) selama 3 hari
b. 3x 900 mg (3 ampul) selama 3 hari
c. 3x 600 mg (2 ampul) selama 3 hari
d. 3x 300 mg (1 ampul) selama 3 hari
Disertai dengan pemberian tablet vasodilator oral tiap hari.
3. Prednison 4x 10 mg (2 tablet), tappering off tiap 3 hari (hati– hati pada penderita
DM). Injeksi steroid keadaan pasien memberat.
4. Vitamin C 500 mg 1x1 tablet/hari.
5. Neurobion 3x1 tablet /hari.
6. Diit rendah garam dan rendah kolesterol.
7. Inhalasi oksigen 4x15 menit (2 liter/menit), obat antivirus sesuai dengan virus
penyebab.
8. Hiperbarik oksigen terapi. 1,3,5
IX. PROGNOSIS
Pada penelitian prospektif, sebanyak 65% pasien dengan SSHL sembuh secara
spontan dan tanpa bantuan terapi medis.3
Prognosis juga tergantung pada keparahan hilanganya pendengaran, pola
hilangnya pendengaran, dan gejala yang tidak berhenti setelah terjadinya onset, dan
adanya gejala penyerta seperti vertigo.15
Pasien yang tidak memperoleh kembali pendengarannya yang simetrik secara
menetap akan kehilangan kemampuan untuk melokalisasi arah suara berasal. Pasien
juga dapat mengalami kerugian dalam mendengarakan (contohnya situasi dengan
suara yang bising, suara yang kecil, pembicara yang banyak, atau pembicara yang
menggunakan aksen asing). Meskipun alat bantu dengar yang digunakan dan di-
implan mampu menerima suara dari telinga yang bermasalah dan meneruskannya ke
telinga yang baik, penggunaannya tersebut terbatas jika telinga kontralateralnya
20
normal; namun, penggunaanya pada satu atau kedua telinga dapat berguna jika telinga
kontralateralnya tidak normal.14
Faktor-faktor yang mempengaruhi prognosis dari SSHL ialah:3
1. Keparahan hilangnya pendengaran;
Banyak penulis yang setuju bahwa semakin ‘besar’ hilangnya pendengaran maka
akan semakin buruk prognosisnya
2. Terapi onset yang tertunda (terlambat);
Banyak penulis yang setuju bahwa semakin singkat penundaan terapi makan akan
semakin besar kesempatan pasien untuk sembuh. Terapi idealnya dilakukan
sebelum 7 hari dan perkembangan pendengaran dapat terjadi dalam 30 hari dari
onset hilangnya pendengaran. Tetapi, karena kebanyakan kesembuhan secara
spontan terjadi pada beberapa hari pertama, maka terapi awal sulit dilakukan.
3. Lesi mikrovaskular;
Pasien dengan diabetes, hiperkolesterolemia dan tekanan darah tinggi mempunyai
prognosis yang buruk.
4. Usia;
Prognosis akan bertambah buruk jika usia pasien diatas 60 tahun. Penelitian
tertentu mengatakan bahwa pengaruh usia berhubungan dengan jumlah pasien
dengan lesi mikrovaskular pada usia diatas 60 tahun. Namun, penelitian lain tidak
menemukan hubungan antara usia dengan prognosis pasien.
5. Adanya keluhan vertigo;
Pada penelitian tertentu menemukan bawa keluhan hilangnya pendengaran yang
disertai dengan vertigo memiliki prognosis yang buruk.
21
DAFTAR PUSTAKA
1. Bashiruddin J, Soetirto I. Tuli mendadak. In: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J,
Restuti RD. Telinga Hidung Tenggorokan Kepala dan Leher. 6th Ed. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2010. p 46-8.
2. Moller AR. Hearing Impairment. Hearing: Anatomy, Physiology, and Disorders of The
Auditory System. 2nd Ed. Texas: Elsevier; 2000. p 234-5
3. Levie P, Desgain, Burbure C, Germonpre P, Monnoye JP, Thill MP, et al. Sudden hearing
loss. B-ENT. 2007; 3(6): 33-43.
4. Castro NP, Almeida CIR, Campos CAH. Sudden sensorineural hearing loss and vertigo
associated with arterial occlusive disease: three case reports and literature review. Sao
Paulo Medical Journal. 2007; 125(3): 191-5.
5. O’Malley MR. Haynes DS. Sudden hearing loss. Otolaryngologic Clinic of North
America. 2008; 41: 633-49.
6. Mathur N, Meyers AD. Sudden hearing loss. [online]. 2012 March 13. [cited on 2012
July 18]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/856313-overview#a0104
7. Liston, Stephen L, Duvall, Arndt J. 1997. Embriologi, Anatomi, dan Fisiologi Telinga,
Chapter 2 pada Adams, George L., MD., Boies, Lawrence R., Jr., MD., Higler, Peter A.,
MD.; alih bahasa, Caroline Wijaya; editor, Harjanto Efendi; Buku Ajar Penyakit THT
(Boies Fundamentals of Otolaryngology), Edisi 6. Jakarta : EGC. Pp 30-38.
8. Kahle W, Frotscher M. Nervous System and Sensory Organs, Volume 3. In: Color Atlas
and Textbook of Human Anatomy. 5th revised edition. New York: Thieme; 2003. pp 361-
382.
9. Probst R. Ear: Anatomy and physiology of the ear, Anatomy and function of the cochlea.
In: Probs R, Grevers G, Iro H, editors. Basic Otorhino-laryngology. New York: Thieme;
2006. p 153, 160-1
10. Netter H.F , Craig A.J, Perkins J. Atlas of Neuroanatomy and Neurophysiology. USA: Icon
Custom Communications. 2002.
11. Dobbie RA. Idiopathic sudden sensorineural hearing loss. In: Snow JB. Mannual of
Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. 1st Ed. London: BC Decker; 2002. pp 128-
33.
22
12. Guss J, Ruckenstein MJ. Sensorineural hearing loss. In: Harris JP, Weisman MH, editors.
Head and Neck Manifestations of Systemic Disease. New York: Informa Healthcare;
2007. pp 385-94.
13. Ginsberg L. Bedah saraf: cedera kepala dan tumor otak; Multipel sklerosis. Lecture Note:
Neurologi. 8th Ed. Jakarta: Erlangga Medical Series; 2005. pp. 118-9; 143-4.
14. D Steven, Rauch. Idiopathic sudden sensorieural hearing loss. The New England Journal
of Medicine. 2008; 359: 833-40.
15. Haberkamp TJ, Tanyeri HM. Management of idiopathic sudden sensorineural hearing
loss. The American Journal of Otology. 1999; 20: 587-95.
23
Top Related