BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Selama beberapa dekade terakhir terdapat minat yang terus meningkat terhadap
desentralisasi di berbagai pemerintahan dunia ketiga. Bahkan banyak negara yang telah
melakukan perubahan struktur organisasi pemerintahan ke arah desentralisasi.
Kini desentralisasi telah tampil universal dan diakomodasi dalam berbagai pandangan
yang berbeda. Pandangan beragam tersebut muncul dari beberapa pakar pemerintahan antara
lain: Harold F. Alderfer dari Amerika Serikat, Diana Conyers dari Inggris, Dennis Rondinelli
beserta McCullough & Johnson, Cohen & Peterson, dan David Slater. Dari berbagai
pandangan tersebut, Muluk (2007:12) menyimpulkan cakupan istilah desentralisasi dengan
menunjukkan bahwa desentralisasi dapat dipahami dalam arti luas dan sempit. Dalam arti
luas, desentralisasi mencakup konsep devolusi (desentralisasi dalam arti sempit),
dekonsentrasi, delegasi, dan privatisasi, serta deregulasi.
Devolution (desentralisasi dalam arti sempit) menurut Rondinelli dalam Muluk
(2007:6) merupakan pembentukan dan penguatan unit-unit pemerintahan subnasional dengan
aktivitas yang secara substansial berada di luar kontrol pemerintah pusat. Sedangkan
deconcentration merupakan penyerahan sejumlah kewenangan atau tanggung jawab
administrasi kepada tingkatan yang lebih rendah dalam kementrian atau badan pemerintah.
Kemudian delegation merupakan perpindahan tanggung jawab fungsi-fungsi tertentu kepada
organisasi di luar struktur birokrasi reguler dan hanya dikontrol oleh pemerintah pusat secara
tidak langsung. Privatization adalah memberikan semua tanggung jawab atas fungsi-fungsi
kepada organisasi nonpemerintah atau perusahaan swasta yang independen dari pemerintah.
Dan pengertian deregulation lebih mengarah kepada ketentuan-ketentuan layanan privat.
Hakekat desentralisasi, sebagaimana yang dipaparkan oleh Hoessien (2002:3)
merupakan otonomisasi suatu masyarakat yang berada dalam teritoir tertentu. Suatu
masyarakat yang semula tidak berstatus otonomi melalui desentralisasi menjadi berstatus
otonomi dengan jalan menjelmakannya sebagai daerah otonom. Sebagai pancaran kedaulatan
rakyat, tentu otonomi diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat dan sama sekali bukan
1
kepada daerah ataupun Pemerintah Daerah. Ketegasan pernyataan otonomi milik masyarakat
dan masyarakat sebagai subjek dan bukan objek otonomi semestinya dicanangkan dalam
kerangka hukum sehingga penyelenggaraan otonomi daerah menjadi lebih mulus.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 OTONOMI DAERAH
Menurut Encyclopedia of Social Science, dalam pengertiannya yang orisinal, otonomi adalah
the legal self sufficiency of social body and its actual independence. Sedangkan menurut
Black’s Law Dictionary mendefinisikan Autonomy sebagai “The political independence of a
nation; the right (and condition) of power of self government. The negotiation of state of
political influence from without or from foreign powers.” (Yani, 2002:5).
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 memberikan batasan yang jelas tentang pengertian
Otonomi Daerah. Dalam Pasal 1 Ketentuan Umum menyebutkan bahwa Otonomi daerah
adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Sedangkan Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam konsep otonomi terkandung kebebasan untuk berprakarsa dalam mengambil
keputusan atas dasar aspirasi masyarakat yang memiliki status demikian tanpa kontrol
langsung oleh pemerintah pusat. Oleh karena itu kaitannya dengan demokrasi sangat erat.
Dalam konteks yang masih berkaitan, bahkan Muthalib dalam Sudantoko (2003:21)
menyamakan otonomi daerah dengan demokrasi:
“Secara konseptual, otonomi daerah cenderung menjadi sebuah sinonim dari kebebasan
daerah untuk menentukan nasib sendiri atau demokrasi lokal. Tak ada lembaga tunggal tetapi
masyarakat daerah dan para wakil rakyat yang memegang kekuasaan tertinggi dalam
hubungan dengan lingkup kekuatan daerah. Intervensi pemerintah pusat dapat dibenarkan
saat terdapat kepentingan atau urusan lebih besar yang merupakan kewenangannya. Oleh
karena itu, masyarakat umum dan para wakilnya secara mandiri dapat menyatakan keberatan
atau menolak terhadap masyarakat daerah dan para wakilnya tersebut.”
3
Dari titik pandang yang sama, Hoessein (2002:6) juga berpendapat bahwa otonomisasi tidak
saja berarti melaksanakan demokrasi, tetapi mendorong berkembangnya prakarsa sendiri
untuk mengambil keputusan mengenai kepentingan masyarakat setempat. Dengan
berkembangnya prakarsa sendiri, maka tercapailah apa yang dimaksud demokrasi, yaitu
pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Rakyat tidak saja menentukan nasibnya sendiri,
tapi yang paling utama mampu memperbaiki nasibnya sendiri
Baswir dalam Tangkilisan (2007:2) mengemukakan bahwa tujuan pemberian otonomi kepada
daerah adalah sebagai berikut:
1) Peningkatan ekonomi masyarakat masing-masing daerah, termasuk dalam hal ini
adalah kesesuaian pertumbuhan ekonomi itu dengan kebutuhan, kondisi dan
kemampuan masing-masing daerah
2) Meningkatkan jumlah dan mutu pelayanan kepada masyarakat di masing-masing
daerah
3) Meningkatkan kondisi sosial budaya masyarakat di masing-masing daerah dan
4) Untuk meningkatkan demokratisasi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Lebih lanjut dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, mengemukakan bahwa tujuan
pemberian otonomi daerah, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat
yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan serta
pemeliharaan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka
menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Memberikan otonomi kepada
daerah, khususnya kabupaten/kota, ditempuh dalam rangka mengembalikan harkat dan
martabat masyarakat di daerah, memberikan peluang pendidikan politik dalam rangka
peningkatan kualitas demokrasi di daerah, peningkatan efisiensi pelayanan publik di daerah,
dan pada akhirnya diharapkan pula penciptaan cara berpemerintahan yang baik (good
government). Sedangkan hakikat otonomi daerah adalah:
1) Secara nyata mampu mengurus rumah tangganya sendiri;
2) Lebih menitik beratkan tanggung jawab melaksanakan pembangunan dan pelayanan
masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan fisik, ketentraman, dan
ketertiban umum (prosperity and security).
4
Pemberian otonomi pada daerah bukanlah semata-mata persoalan sistem melainkan suatu
realisasi dari pengakuan bahwa kepentingan dan kehendak rakyat adalah satu-satunya sumber
untuk menentukan sistem yang lain, dimana otonomi daerah merupakan satu bagian untuk
mewujudkan kedaulatan rakyat dan pemerintahan. Perwujudan dari penyelenggaraan asas
desentralisasi tersebut antara lain juga tercermin dari semakin besarnya pendelegasian
penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan yang diserahkan kepada daerah dan semakin
besarnya kewajiban dan tanggung jawab untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Tolak
ukur dan indikator pemberian otonomi daerah tersebut menurut Widjaja (2002:7) meliputi
beberapa variabel, yaitu:
1) Variabel pokok yang terdiri dari:
a) Kemampuan PAD atau keuangan;
b) Kemampuan aparatur;
c) Kemampuan partisipasi masyarakat;
d) Kemampuan ekonomi;
e) Kemampuan demografi; dan
f) Kemampuan organisasi dan organisasi.
2) Variabel penunjang yang terdiri dari:
a) Faktor demografi; dan
b) Faktor sosial budaya.
3) Variabel khusus yang terdiri dari:
a) Sosial politik;
b) Pertahanan dan keamanan; dan
c) Penghayatan keagamaan.
Melalui indikator ini maka tiap-tiap daerah dapat melihat, mengukur sekaligus
mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan variabel-variabel yang menentukan
keberhasilan dari pelaksanaan otonomi daerah.
Pemberian otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan
akuntabilitas sektor publik di Indonesia. Dengan otonomi, daerah dituntut untuk mencari
5
alternatif sumber pembiayaan pembangunan tanpa mengurangi harapan masih adanya
bantuan dan bagian (sharing) dari pemerintah pusat dan menggunakan dana publik sesuai
dengan prioritas dan aspirasi masyarakat (Mardiasmo, 2002b). Oleh sebab itu peran
pemerintah daerah dalam era otonomi sangat besar, karena pemerintah daerah dituntut
kemandiriannya dalam menjalankan fungsinya dan melakukan pembiayaan seluruh kegiatan
daerahnya (Adi, 2005:3).
2.2 KONSEP KEUANGAN DAERAH DI INDONESIA
Menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005, keuangan daerah adalah
“Semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu,
baik uang maupun barang yang dijadikan milik daerah berhubungan dengan pelaksanaan hak
dan kewajiban daerah tersebut”.
Dari uraian di atas, dapat diambil kata kunci dari keuangan daerah adalah hak dan kewajiban.
Hak merupakan hak daerah untuk mencari sumber pendapatan daerah berupa pungutan pajak
daerah, retribusi daerah atau sumber penerimaan lain-lain yang sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan kewajiban adalah kewajiban daerah untuk
mengeluarkan uang dalam rangka melaksanakan semua urusan pemerintah di daerah
(Mamesah, 1995:5).
Salah satu faktor penting untuk melaksanakan urusan rumah tangga daerah adalah
kemampuan keuangan daerah. Dengan kata lain faktor keuangan merupakan faktor yang
mempengaruhi tingkat kemampuan daerah dalam melaksanakan otonomi. Sehubungan
dengan pentingnya posisi keuangan daerah ini Pamudji dalam Kaho (2007:138-139)
menegaskan:
“Pemerintah daerah tidak akan dapat melaksanakan fungsinya dengan efektif dan efisien
tanpa biaya yang cukup untuk memberikan pelayanan dan pembangunan ……… Dan
keuangan inilah merupakan dalam satu dasar kriteria untuk mengetahui secara nyata
kemampuan daerah dalam mengurus rumah tangganya sendiri”.
Sementara itu, untuk dapat memiliki keuangan yang memadai dengan sendirinya daerah
membutuhkan sumber keuangan yang cukup pula. Lains dalam Kaho (2007:139-140) merinci
6
ada beberapa cara yang bisa dilakukan oleh daerah untuk memperoleh keuangannya, antara
lain:
a) Daerah dapat mengumpulkan dana dari pajak daerah yang sudah direstui oleh
Pemerintah Pusat;
b) Pemerintah daerah dapat melakukan pinjaman dari pihak ketiga, pasar uang atau
Bank atau melalui pemerintah pusat;
c) Daerah dapat ikut ambil bagian dalam pendapatan pajak sentral yang dipungut
daerah, misalnya sekian persen dari pendapatan sentral tersebut (melalui bagi hasil);
d) Pemerintah daerah dapat menambah tarif pajak setral tertentu; dan
Pemerintah daerah dapat menerima bantuan atau subsidi dari Pemerintah Pusat.
Dalam melaksanakan keuangan daerah perlu dibuatkan suatu perencanaan agar seluruh
kegiatan yang akan dilaksanakan dapat dikelola dengan baik. Bentuk perencanaan keuangan
daerah inilah yang dikenal dengan istilah Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD),
sebagaimana telah digariskan dalam Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. APBD adalah
suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah.
Seperti halnya dalam kebijakan APBN, jika Pemerintah daerah menetapkan bahwa kebijakan
anggarannya bersifat ekspansif, artinya APBD akan diprioritaskan untuk menstimulasi
perekonomian daerah melalui pengeluaran pembangunan (development budget). Sebaliknya,
jika pemerintah daerah menetapkan kebijakan APBD bersifat kontraksi, maka APBD kurang
dapat diharapkan untuk menggerakkan perekonomian daerah, karena anggaran pembangunan
jumlahnya relatif kecil dibandingkan dengan belanja rutin daerah (Saragih, 2003:82).
Menurut Mamesah (1995:16) APBD sebagai sarana atau alat utama dalam menjalankan
otonomi daerah yang nyata dan bertanggung jawab, karena fungsi APBD adalah sebagai
berikut:
a) Menentukan jumlah pajak yang dibebankan kepada rakyat dari daerah yang
bersangkutan;
b) Merupakan suatu sarana untuk mewujudkan otonomi;
7
c) Memberikan isi dan arti tanggung jawab pemerintah daerah umumnya dan kepala
daerah khususnya, karena APBD itu menggambarkan seluruh kebijaksanaan
pemerintah daerah;
d) Merupakan suatu sarana untuk melaksanakan pengawasan terhadap daerah dengan
cara yang lebih mudah dan berhasil guna; dan
e) Merupakan suatu pemberian kuasa kepada kepala daerah dalam batas-batas tertentu.
Pengelolaan keuangan daerah yang berkaitan dengan pelaksanaan desentralisasi diatur secara
mendetail dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 (yang kemudian
dilengkapi dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007) menyatakan
bahwa dalam pelaksanaan desentralisasi daerah, pemerintah daerah berhak
menyelenggarakan pengelolaan keuangan daerah, yang komponen-komponennya
sebagaimana tertuang dalam struktur APBD antara lain terdiri dari:
A. Pendapatan Daerah
Pendapatan Daerah adalah hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai penambah
nilai kekayaan bersih dalam periode tahun bersangkutan. Pendapatan Daerah bersumber dari:
1. Pendapatan Asli Daerah;
Pendapatan Asli Daerah merupakan modal dasar Pemerintah Daerah dalam
mendapatkan dana pembangunan dan memenuhi belanja daerah (Widjaja, 1998:42). Definisi
lain seperti dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2004, Pendapatan Asli Daerah merupakan
penerimaan yang diperoleh dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut
berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dan tentunya pendapatan tersebut diperoleh dari hasil yang berada dalam wilayahnya sendiri.
Menurut Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004, Sumber PAD antara lain terdiri dari:
1. Hasil pajak daerah, yaitu pungutan yang dilakukan oleh pemerintah Daerah kepada
semua obyek pajak, seperti orang/badan, benda bergerak/tidak bergerak;
2. Hasil retribusi daerah, yaitu pungutan yang dilakukan sehubungan dengan suatu
jasa/fasilitas yang berlaku oleh Pemerintah Daerah secara langsung dan nyata;
3. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, antara lain:
a) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD;
8
b) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik
pemerintah/BUMN;
c) Bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau
kelompok usaha masyarakat;
4. Lain-lain PAD yang sah, antara lain:
a) Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan;
b) Jasa giro;
c) Pendapatan bunga;
d) Penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah;
e) Penerimaan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari
penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah;
f) Penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang
asing;
g) Pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan;
h) Pendapatan denda pajak;
i) Pendapatan denda retribusi;
j) Pendapatan hasil eksekusi atas jaminan;
k) Pendapatan dari pengembalian;
l) Fasilitas sosial dan fasilitas umum;
m) Pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan; dan
n) Pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan.
Pemberian sumber PAD bagi daerah ini bertujuan untuk memberikan kewenangan
kepada Pemerintah Daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan
potensi Daerah sebagai perwujudan desentralisasi.
Menurut Mahi (2000:58), pendapatan asli daerah belum bisa diandalkan sebagai
sumber pembiayaan utama otonomi daerah kabupaten/kota disebabkan oleh beberapa hal
berikut.
1.Relatif rendahnya basis pajak/retribusi daerah.
2.Perannya yang tergolong kecil dalam total penerimaan daerah.
3.Kemampuan administrasi pemungutan di daerah masih rendah.
4.Kemampuan perencanaan dan pengawasan keuangan yang lemah.
9
2. Dana Perimbangan;
Dana Perimbangan dikeluarkan bertujuan untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara
Pemerintah dan Pemerintahan Daerah dan antar-Pemerintah Daerah. Pasal 10, UU No. 33
Tahun 2004 mengatur tentang Dana Perimbangan yang setiap tahun ditetapkan untuk menjadi
hak Pemerintah Provinsi dan Daerah Kabupaten/Kota terdiri dari:
1. Dana Bagi Hasil, bagian Daerah bersumber dari penerimaan pajak dan penerimaan
dari sumber daya alam;
a. Dana Bagi Hasil Pajak yang bersumber dari:
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB);
Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi
Dalam Negeri dan PPh Pasal 21.
b. Dana Bagi Hasil Bukan Pajak yang bersumber dari sumber daya alam, berasal
dari:
kehutanan;
pertambangan umum;
perikanan;
pertambangan minyak bumi;
pertambangan gas bumi; dan
pertambangan panas bumi.
Pembagian Dana Bagi Hasil dibagi menurut persentase yang berbeda-beda pada setiap
sumber Dana Bagi Hasil yang diatur dalam pasal 12 sampai dengan pasal 21.
2. Dana Alokasi Umum;
Besarnya Persentasi Dana Alokasi Umum (DAU) ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari
Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam APBN. DAU tersebut dibagi atas
dasar celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan
kapasitas fiskal Daerah. Alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil
Daerah.
10
3. Dana Alokasi Khusus.
Besaran Dana Alokasi Khusus (DAK) ditetapkan setiap tahun dalam APBN. DAK
dialokasikan kepada Daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan
urusan Daerah. Pemerintah menetapkan kriteria DAK yang meliputi kriteria umum, kriteria
khusus, dan kriteria teknis. Kriteria umum ditetapkan dengan mempertimbangkan
kemampuan Keuangan Daerah dalam APBD. Kriteria khusus ditetapkan dengan
memperhatikan peraturan perundang-undangan dan karakteristik Daerah. Kriteria teknis
ditetapkan oleh kementerian negara/departemen teknis.
3. Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah
Kelompok lain-lain pendapatan daerah yang sah bertujuan memberi peluang kepada Daerah
untuk memperoleh pendapatan selain Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan dan
Pinjaman Daerah. Lain-lain pendapatan daerah yang sah ini terdiri atas:
1.Hibah, adalah penerimaan daerah yang berasal dari pemerintah negara asing,
badan/lembaga asing, badan/lembaga internasional, badan/lembaga dalam
negeri/perorangan, baik dalam bentuk devisa, rupiah, maupun barang dan/atau jasa
termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang tidak perlu dibayar kembali dan bersifat tidak
mengikat.
2.Dana darurat dari pemerintah dalam rangka penanggulangan korban/kerusakan akibat
bencana alam.
3.Dana bagi hasil pajak dari provinsi kepada kabupaten/kota.
4.Dana penyesuaian dan dana otonomi khusus yang ditetapkan oleh pemerintah.
5.Bantuan keuangan dari provinsi atau dari pemerintah daerah lainnya.
B. Belanja
Belanja daerah meliputi semua pengeluaran dari rekening kas umum daerah yang mengurangi
ekuitas dana, dan merupakan kewajiban daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak akan
diperoleh pembayarannya kembali oleh daerah.
11
Klasifikasi belanja menurut urusan pemerintahan terdiri atas belanja urusan wajib dan belanja
urusan pilihan. Klasifikasi belanja menurut urusan wajib mencakup:
1. Pendidikan;
2. Kesehatan;
3. Pekerjaan umum;
4. Perumahan rakyat;
5. Penataan ruang;
6. Perencanaan pembangunan;
7. Perhubungan;
8. Lingkungan hidup;
9. Pertanahan;
10. Kependudukan dan catatan sipil;
11. Pemberdayaan perempuan;
12. Keluarga berencana dan keluarga sejahtera;
13. Sosial;
14. Tenaga kerja;
15. Koperasi dan usaha kecil menengah;
16. Penanaman modal;
17. Kebudayaan;
18. Pemuda dan oleh raga;
19. Kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;
20. Pemerintahan umum;
21. Kepegawaian;
22. Pemberdayaan masyarakat dan desa;
23. Statistik;
24. Arsip; dan
25. Komunikasi dan informatika.
12
Klasifikasi belanja menurut urusan pilihan mencakup:
1. Pertanian;
2. Kehutanan;
3. Energi dan sumber daya mineral;
4. Pariwisata;
5. Kelautan dan perikanan;
6. Perdagangan;
i. Perindustrian; dan
7. Transmigrasi.
Klasifikasi belanja menurut organisasi disesuaikan dengan susunan organisasi pada masing-
masing pemerintah daerah dan klasifikasi belanja menurut program dan kegiatan disesuaikan
dengan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah. Sedangkan belanja menurut
kelompok belanja, terdiri dari:
1. Belanja tidak langsung. Kelompok belanja tidak langsung ini tidak terkait langsung
dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja tidak langsung terbagi
menurut jenis belanja yang terdiri dari:
a) Belanja pegawai;
b) Bunga;
c) Subsidi;
d) Hibah;
e) Bantuan sosial;
f) Belanja bagi hasil;
g) Bantuan keuangan; dan
h) Belanja tidak terduga.
13
2. Belanja langsung. Kelompok belanja langsung merupakan belanja yang terkait
secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan. Kelompok belanja
langsung dari suatu kegiatan dibagi menurut jenis belanja yang terdiri atas:
a) Belanja pegawai;
b) Belanja barang dan jasa; dan
c) Belanja modal.
C. Pembiayaan
Pembiayaan daerah adalah semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau
pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan
maupun tahun-tahun anggaran berikutnya. Pembiayaan daerah meliputi semua transaksi
keuangan untuk menutup defisit atau untuk memanfaatkan surplus.
Apabila APBD diperkirakan surplus diutamakan untuk membayar pokok utang, penyertaan
modal (investasi) daerah, pemberian pinjaman kepada pemerintah pusat/pemerintah daerah
lain, dan/atau pendanaan belanja peningkatan jaminan sosial. Sementara itu, jika APBD
diperkirakan defisit maka ditetapkan pembiayaan untuk menutup defisit tersebut yang
diantaranya dapat bersumber dari sisa lebih perhitungan anggaran tahun anggaran
sebelumnya, pencairan dana cadangan, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan,
penerimaan pinjaman, dan penerimaan kembali pemberian pinjaman atau penerimaan
piutang.
Pembiayaan daerah terdiri dari penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan.
Penerimaan pembiayaan mencakup:
1) Sisa lebih perhitungan anggaran Daerah;
2) Penerimaan pinjaman Daerah;
14
Pinjaman Daerah bertujuan memperoleh sumber pembiayaan dalam rangka penyelenggaraan
urusan Pemerintahan Daerah. Pinjaman Daerah bersumber dari:
a) Pemerintah;
b) Pemerintah Daerah lain;
c) Lembaga keuangan bank;
d) Lembaga keuangan bukan bank; dan
e) Masyarakat berupa Obligasi Daerah.
3) Penerimaan kembali pemberian pinjaman;
4) Pencairan dana cadangan daerah;
5) Penerimaan piutang; dan
6) Hasil penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan.
Sedangkan pengeluaran pembiayaan mencakup:
1) Pembentukan dana cadangan;
2) Penanaman modal (investasi) pemerintah daerah;
3) Pembayaran pokok utang; dan
4) Pemberian pinjaman daerah.
Menurut Saragih (2003:82), apapun komposisi dari APBD suatu daerah tentu harus
disesuaikan dengan perkembangan keuangan pemerintah daerah yang bersangkutan. Setiap
daerah tidak harus memaksakan diri untuk menggenjot pengeluaran tanpa diimbangi dengan
kemampuan pendapatannya, khususnya kapasitas PAD. Dikhawatirkan jika pemerintah
daerah menetapkan kebijakan defisit pada APBD-nya, maka sumber pembiayaan untuk
menutupi sebagian atau seluruh defisit anggaran berasal dari pinjaman atau utang.
15
Oleh sebab itu, masih menurut Saragih (2003:82), yang lebih aman adalah tidak mendesain
anggaran daerah yang ekspansif tanpa diimbangi dengan kemampuan pendapatannya. Bisa-
bisa keuangan pemerintah daerah bangkrut hanya karena mengikuti ambisi untuk menggenjot
pengeluaran, baik rutin maupun pembangunan. Upaya yang dapat dilakukan untuk
menciptakan struktur APBD yang baik adalah dengan memperkecil (didasari efisiensi dan
efektivitas) belanja rutin daerah pada pos-pos yang tidak perlu dan mendesak. Hal inilah yang
mendorong perubahan paradigma penganggaran dari yang berbasis line item (tradisional) ke
arah penganggaran berbasis kinerja. Artinya, penganggaran berbais kinerja ini melihat
penilaian kinerja lembaga berdasarkan besarnya dana yang terserap dari suatu program atau
kegiatan. Setiap rupiah yang dikeluarkan harus dapat menghasilkan (yield) nilai tambah bagi
perekonomian daerah atau kemakmuran masyarakat yang diindikasikan melalui target yang
bersifat kuantitatif. Selanjutnya dalam proses penganggarannya, sistem ini juga menghendaki
dipertimbangkannya beberapa fungsi, yakni fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi.
16