“TRAUMA MEDULA SPINALIS”Peper ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior SMF Ilmu Bedah Medan
Disusun Oleh:
PUTRI INDAH SARI
1008260026
Pembimbing:
dr. Ilham Budiono, Sp.B
RS. HAJI MEDAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta
karunia-Nya kepada saya sehingga penulis dapat menyelesaikan peper ini, dengan judul “Trauma
Medula Spinalis” sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior
SMF Ilmu Bedah RSU Haji Medan.
Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Dokter Pembimbing
yaitu dr. Ilham Budiono, Sp.B atas bimbingannya dalam arahannya selama ini mengikuti
Kepaniteraan Klinik Senior SMF ilmu Bedah RSU Haji Medan serta dalam penyusunan peper
ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam mengerjakan peper ini penulis masih
memiliki banyak kekurangan dari kelengkapan teori maupun penuturan bahasa, karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki dimasa mendatang.
Harapan penulis semoga peper ini dapat member manfaat bagi kita semua. Amin.
Medan, Oktober 2014
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………...
BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………
2.1. DEFINISI………………………………………………………….
2.2. ANATOMI………………………………………………………...
2.3. ETIOLOGI…….…………………………………….…………..
2.4. KLASIFIKASI.……………………………………………..
2.5. PATOFISIOLOGI………………………………………………
2.6. DIAGNOSA
2.6.1. GambaranKlinis………………….…………………….
2.6.2. Pemeriksaan Fisik
2.6.3. Pemeriksaan Penunjang……………………………….
2.7. PENATALAKSANAAN…………………………………………
2.8. KOMPLIKASI……………………………………………………
BAB III KESIMPULAN………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Tingkat kecelakaan lalu lintas di kota besar terbilang cukup tinggi. Dimana
kecelakaan tersebut dapat menimbulkan kerugian yang cukup tinggi bagi korban kecelakaan
tersebut. Akibat yang ditimbulkan bagi korban atau pelaku kecelakaan itu sendiri dapat berupa
efek fisik dan psikis.
Dari segi fisik, tentunya kecelakaan dapat menyebabkan timbulnya luka pada setiap
jaringan tubuh yang terkena trauma dari kecelakaan. Efek langsung dari trauma tersebut dapat
berupa adanya fraktur, luka terbuka, ataupun kerusakan pada organ dalam tubuh. Fraktur tersebut
dapat mengenai struktur tulang belakang dan juga dapat terkena pada medulla spinalis.
Spinal cord injury adalah suatu disfungsi dari medulla spinalis yang mempengaruhi
fungsi sensoris dan motoris, sehingga menyebabkan kerusakan pada tractus sensori motor dan
percabangan saraf-saraf perifer dari medulla spinalis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Trauma Medula Spinalis
Trauma medulla spinalis adalah trauma yang biasanya berupa fraktur atau cedera lain
pada tulang vertebra, korda spinnalis itu sendiri, yang terletak didalam kolumna vertebralis,
dapat terpotong, tertarik, terpilin, atau tertekan. Kerusakan pada kolumna vertebralis atau korda
dapat terjadi disetiap tingkatan, kerusakan korda spinalis dapat mengenai seluruh korda atau
hanya sebagian.
Efek trauma terhadap medulla spinalis bisa berupa:
1. Fraktur : Pada fraktur yang patah bias lamina, pedikel, prosesus transverses, diskus
intervertebralis bahkan korpus vertebralnya. Bersamaan dengan fraktur medulla spinalis,
ligamentum longitudinal posterior dan dura bias terobek, bahkan kepingan tulang
belakang bias menusuk kedalam kanalis vertebralis. Arteri yang memperdarahi medulla
spinalis serta vena-vena yang mengiringinya bias ikut terputus.
2. Dislokasi : Kanalis vertebralis pada tempat dislokasi menjadi sempit. Pembuluh darah
dan radiks dorsalis bias ikut tertekan dan tertarik.
2.2. Anatomi Medula Spinalis
Bagian susunan saraf pusat yang terkena didalam kanalis vertebralis bersama ganglio
radiks superior yang terdapat pada setiap foramen invetebralis terletak berpasangan kanan dan
kiri. Organ ini mengurus persyarafan tubuh, anggota badan dan bagian belakang. Dimulai dari
bagian bawah medulla oblongata setinggi korpus vertebrata servikalis I, memanjang sampai ke
korpus vetebrata lumbalis I dan II.
Dalam medulla spinalis keluar 31 saraf, terdiri dari:
1. Servikal : 8 pasang
2. Torakal : 12 pasang
3. Lumbal : 5 pasang
4. Sarkal : 1 pasang
Fungsi medulla spinalis:
1. Pusat gerakan dari otot-otot tubuh terbesar dari komu motorik dan komu ventralis
2. Mengurus kegiatan refleks-refleks spinalis serta refleks lutut
3. Menghantarkan rangsangan koordinasi dari dan sendi serebelum
4. Sebagai penghubung antar segmen medulla spinalis
5. Mengadakan komunikasi antar otak dan semua bagian tubuh.
2.3. Etiologi
Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi dua jenis:
Cedera medula spinalis traumatik, terjadi ketika benturan fisik eksternal seperti yang
diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau kekerasan, merusak medula spinalis.
Hagen dkk (2009) mendefinisikan cedera medula spinalis traumatik sebagai lesi traumatik pada
medula spinalis dengan beragam defisit motorik dan sensorik atau paralisis. Sesuai dengan
American Board of Physical Medicine and Rehabilitation Examination Outline for Spinal Cord
Injury Medicine, cedera medula spinalis traumatik mencakup fraktur, dislokasi dan kontusio dari
kolum vertebra.
Cedera medula spinalis non traumatik, terjadi ketika kondisi kesehatan seperti penyakit,
infeksi atau tumor mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis, atau kerusakan yang terjadi
pada medula spinalis yang bukan disebabkan oleh gaya fisik eksternal. Faktor penyebab dari
cedera medula spinalis mencakup penyakit motor neuron, myelopati spondilotik, penyakit
infeksius dan inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit vaskuler, kondisi toksik dan metabolik
dan gangguan kongenital dan perkembangan.
2.4. Klasifikasi
American Spinal Injury Association (ASIA) bekerja sama dengan international
medical society of para legia (IMSOP) telah mengembangkan dan mempublikasi standart
internasional untuk klasifikasi fungsional dan neurologis cedera medulla spinalis. Klasifikasi ini
berdasarkan pada frankel pada tahun 1969.
Skala kerusakan menurut ASIA/IMSOP:
Grade A: Komplit, tidak ada fungsi motorik atau sensorik yang diinervasi oleh segmen sacral 4-5
Grade B: Inkomplit,gangguan fungsi sensorik tetapi bukan motorik dibawah tingkat lesi dan
menjalar sampai segmen sacral (S4-5)
Grade C : Inkomplit, gangguan fungsi motorik dibawah tingkat lesi dan mayoritas otot-otot
penting dibawah tingkat lesi memiliki nilai kurang dari 3
Grade D : Inkomplit, gangguan fungsi motorik dibawah tingkat lesi dan mayoritas otot-otot
penting memiliki nilai lebih dari 3
Grade E : Normal, fungsi sensorik dan motorik normal.
Penilaian neurologis pada cedera medula spinalis meliputi penilaian berikut seperti:
Sensasi pada tusukan (traktus spinotalamikus)
Sensasi pada sentuhan halus dan sensasi posisi sendi (kolum posterior)
Kekuatan kelompok otot (traktus kortikospinal)
Refleks (abdominal, anal dan bulbokavernosus)
Fungsi saraf kranial (bisa dipengaruhi oleh cedera servikal tinggi, seperti disfagia).
Dengan memeriksa dermatom dan miotom dengan cara demikian, level dan
completeness dari cedera medula spinalis dan keberadaan kerusakan neurologis lainnya seperti
cedera pleksus brakialis dapat dinilai. Segmen terakhir dari fungsi saraf spinal yang normal,
seperti yang diketahui dari pemeriksaan klinis, disebut sebagai level neurologis dari lesi tersebut.
Hal ini tidak harus sesuai dengan level fraktur, karena itu diagnosa neurologis dan fraktur harus
dicatat.
Menyusul terjadinya cedera medula spinalis, terdapat beberapa pola cedera yang dikenal,
antara lain:
Sindroma korda anterior
Terjadi akibat gaya fleksi dan rotasi pada vertebra menyebabkan dislokasi ke anterior atau akibat
fraktur kompresi dari corpus vertebra dengan penonjolan tulang ke kanalis vertebra.
Sindroma korda sentralis
Biasanya dijumpai pada orang tua dengan spondilosis servikal. Cedera hiperekstensi
menyebabkan kompresi medula spinalis antara osteofit ireguler dari corpus vertebra di anterior
dengan ligamentum flavum yang menebal di posterior.
Sindroma korda posterior
Sindroma ini umumnya dijumpai pada hiperekstensi dengan fraktur pada elemen posterior dari
vertebra.
Sindroma Brown-sequard
Secara klasik terjadi akibat cedera tusukan tetapi juga sering dijumpai pada fraktur massa lateral
dari vertebra. Tanda dari sindroma ini sesuai dengan hemiseksi dari medula spinalis.
2.5. Patofisiologi
Defisit neurologis yang berkaitan dengan cedera medula spinalis terjadi akibat dari proses
cedera primer dan sekunder. Sejalan dengan kaskade cedera berlanjut, kemungkinan
penyembuhan fungsional semakin menurun. Karena itu, intervensi terapeutik sebaiknya tidak
ditunda, pada kebanyakan kasus, window period untuk intervensi terapeutik dipercaya berkisar
antara 6 sampai 24 jam setelah cedera.
Mekanisme utama yaitu cedera inisial dan mencakup transfer energi ke korda spinal,
deformasi korda spinal dan kompresi korda paska trauma yang persisten. Mekanisme ini, yang
terjadi dalam hitungan detik dan menit setelah cedera, menyebabkan kematian sel yang segera,
disrupsi aksonal dan perubahan metabolik dan vaskuler yang mempunyai efek yang
berkelanjutan.
Proses cedera sekunder yang bermula dalam hitungan menit dari cedera dan berlangsung
selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, melibatkan kaskade yang kompleks dari
interaksi biokimia, reaksi seluler dan gangguan serat traktus yang mana kesemuanya hanya
dimengerti sebagian. Sangat jelas bahwa peningkatan produksi radikal bebas dan opioid
endogen, pelepasan yang berlebihan dari neurotransmitter eksitatori dan reaksi inflamasi sangat
berperan penting. Lebih jauh lagi, profil mRNA (messenger Ribonucleic Acid) menunjukkan
beberapa perubahan ekspresi gen setelah cedera medula spinalis dan perubahan ini ditujukan
sebagai target terapeutik.
Beberapa teori telah diusulkan untuk menjelaskan patofisiologi dari cedera sekunder.
Teori radikal bebas menjelaskan bahwa, akibat dari penurunan kadar anti-oksidan yang cepat,
oksigen radikal bebas berakumulasi di jaringan sistem saraf pusat yang cedera dan menyerang
membrane lipid, protein dan asam nukleat. Hal ini berakibat pada dihasilkannya lipid peroxidase
yang menyebabkan rusaknya membran sel.
Teori kalsium menjelaskan bahwa terjadinya cedera sekunder bergantung pada influks
dari kalsium ekstraseluler ke dalam sel saraf. Ion kalsium mengaktivasi phospholipase, protease,
dan phosphatase. Aktivasi dari enzim-enzim ini mengakibatkan interupsi dari aktivitas
mitokondria dan kerusakan membran sel.
Teori opiate receptor mengusulkan bahwa opioid endogen mungkin terlibat dalam proses
terjadinya cedera medula spinalis dan bahwa antagonis opiate (contohnya naloxone) mungkin
bisa memperbaiki penyembuhan neurologis. Teori inflamasi berdasarkan pada hipotesis bahwa
zat-zat inflamasi (seperti prostaglandin, leukotrien, platelet-activating factor, serotonin)
berakumulasi pada jaringan medula spinalis yang cedera dan merupakan mediator dari kerusakan
jaringan sekunder.
Menyusul cedera medula spinalis, penyebab utama kematian sel adalah nekrosis dan
apoptosis. Walaupun mekanisme kematian sel yang utama segera setelah terjadinya cedera
primer adalah nekrosis, kematian sel apoptosis yang terprogram mempunyai efek yang signifikan
pada cedera sekunder sub akut. Kematian sel oligodendrosit yang diinduksi oleh apoptosis
berakibat demyelinasi dan degenerasi aksonal pada lesi dan sekitarnya. Proses cedera sekunder
berujung pada pembentukan jaringan parut glial, yang diperkirakan sebagai penghalang utama
regenerasi aksonal di dalam sistem saraf pusat. Pembentukan jaringan parut glial merupakan
proses reaktif yang melibatkan peningkatan jumlah astrosit. Menyusul terjadinya nekrosis dari
materi abu-abu dari korda sentral dan degenerasi kistik, jaringan parut berkembang dan meluas
sepanjang traktus aksonal. Pola dari pembentukan jaringan parut dan infiltrasi sel inflamatori
dipengaruhi oleh jenis dari lesi medula spinalis.
2.6. Diagnosa
2.6.1. Manifestasi klinis
Nyeri akut pada belakang leher yang menyebar sepanjang saraf yang terkena.
Paraplegia
Paralisis sensorik motorik total
Kehilangan kontrol kandung kemih (retensi urin, distensi kandung kemih)
Penurunan keringat dan tonus vasomotor
Penurunan fungsi pernafasan
Gagal nafas (Diane C. Baughman, 200:87)
2.6.2. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum
Pada keadaan cedera tulang belakang umumnya tidak mengalami penurunan kesadaran. Adanya
perubahan pada tanda-tanda vital, meliputi bradikardi, dan hipotensi.
B 1 (Breathing)
Pada beberapa keadaan trauma sum-sum tulang belakang pada daerah servikal dan
torakal hasil dari pemeriksaan fisik dari system ini akan di dapatkan hal-hal berikut:
- Inspeksi umum : batuk dengan peningkatan produksi sputum, sesak nafas,
penggunaan otot bantu nafas, dan peningkatan frekuensi pernapasan. Terdapat
retraksi interkostalis, pengembangan paru tidak simetris. Ekspansi dada: menilai
simetris atau tidak simetrisnya,
- Palpasi : fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain akan didapatkan
apabila melibatkan trauma pada rongga thorak
- Perkusi : adanya suara redup sampai pekak pada keadaan yang melibatkan trauma
pada thorak
- Auskultasi : terdengan suara nafas tambahan seperti nafas berbunyi, stridor, ronkhi.
B 2 (Blood)
Pada system kardiovaskuler di dapatkan syok hipovolemik. Pada beberapa keadaan
ditemukan tekanan darah menurun, bradikardi, berdebar-debar, pusing saat melakukan
perubahan posisi, bradikardi ekstremitas dingin dan pucat.
B 3 (Brain)
Pengkajian otak meliputi tingkat kesadaran, pengkajian fungsi serebral, dan
pengkajian syaraf cranial.
- Pengkajian tingkat kesadaran: tingkat keterjagaan klien dan respon terhadap
lingkungan adalah indicator paling sensitive untuk disfungsi system persarafan, pada
keadaan lanjut tingkat kesadaran klien biasanya berkisar pada tingkat letargi, strupor,
semikomatosa sampai koma.
- Pengkajian fungsi serebral: status mental; observasi penampilan, tingkah laku, nilai
gaya bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik.
- Pemeriksaan syaraf cranial:
a. Saraf I : biasanya tidak ada kelainan dan fungsi penciuman tidak ada kelainan
b. Saraf II : tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal
c. Saraf III, IV, dan VI: biasanya tidak mengalami gangguan mengangkat kelopak
mata pupil isokor
d. Saraf V : umumnya tidak terdapat paralisis pada otot wajah dan refleks kornea
biasanya tidak ada kelainan
e. Saraf VII : persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris
f. Saraf VIII: tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
g. Saraf IX dan X : kemampuan menelan baik
h. Saraf XI : tidak ada atropi otot sternokleidomastoideus dan trapezius
i. Saraf XII: lidah simetris indra pengecapan normal
- Pengkajian system motorik: inspeksi umum didapatkan kelumpuhan pada ekstremitas
bawah. Baik bersifat paralisis, paraplegi, maupun quadriplegia.
- Tonus otot : didapatkan menurun sampai menghilang
- Kekuatan otot : pada penilaian dengan menggunakan tingkat kekuatan otot
didapatkan tingkat 0 pada ekstremitas bawah
- Keseimbangan dan koordinasi : didapatkan mengalami gangguan karena kelumpuhan
pada ekstremitas bawah
- Pengkajian refleks : refleks Achilles menghilang, dan refleks patella biasanya
melemah
- Pengkajian system sensorik: gangguan sensabilitas pada trauma medulla spinalis
sesuai dengan segmen yang mengalami gangguan.
B4 (Bladder)
Trauma pada kauda ekuina klien mengalami hilangnya refleks kandung kemih yang
bersifat sementara dank lien kemungkinan inkontinensia urine, ketidakmampuan mengkonsumsi
kebutuhan, ketidakmampuan untuk menggunakan urinal karena kontrol motorik dan postural
selama periode ini, dilakukan kateterisasi intermiten dengan teknik steril.
B5 (Bowel)
Pada pemeriksaan refleks bulbokavernosa di dapatkan positif mendadak adanya syok
sinal.
B6 (Bone)
Memeriksa warna kulit, suhu, kelembapan, dan turgor kulit. Adanya kesulitan untuk
beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensoris, dan mudah lelah menyebabkan masalah
pada pola aktivitas dan istirahat.
2.6.3. Pemeriksaan Penunjang
a. Sinar X
Sinar X tulang menggambarkan kepadatan tulang-tulang, tekstur, erosi, dan perubahan
hubungan tulang pada vertebra lumbal.
b. CT Scan
Pemeriksaan menunjukkan rincian bidang tertentu tulang yang terkena (lumbal) dan
dapat memperlihatkan cedera ligament atau tendon.
c. MRI
Pemeriksaan ini khusus, noninvasive, yang menggunakan medan magnet, gelombang
radio, dan computer untuk memperlihatkan abnormalitas jaringan lunak seperti otot,
tendon, dan tulang rawan.
d. Mielografi
Penyuntikan bahan kontras ke dalam rongga subarachnoidspinalis lumbal. Yang
menunjukkan adanya penyimpangan medulla spinalis atau sakus duralspinal yang
disebabkan oleh tumor, kista, hernia diskus vertebral, atau lesi lain.
2.7. Penatalaksanaan
Mayoritas pasien dengan cedera medula spinalis disertai dengan cedera bersamaan pada
kepala, dada, abdomen, pelvis dan ekstremitas – hanya sekitar 40% cedera medula spinalis yang
terisolasi. Penatalaksanaan awal berlangsung seperti pasien trauma pada umumnya yang meliputi
survei primer, resusitasi dan survei sekunder.
Protokol terapi yang direkomendasikan berdasarkan pada 3 hal yang penting. Yang pertama,
pencegahan cedera sekunder dengan intervensi farmakologis seperti pemberian metilprednisolon
dalam 8 jam setelah kejadian sesuai dengan panduan yang dianjurkan dalam studi NASCIS-III.2
Pasien sebaiknya diberikan metilprednisolon dengan dosis bolus 30mg/kg berat badan diikuti
dengan dosis pemeliharaan 5,4mg/kg berat badan per jam selama 23 jam atau 48 jam secara
infusan.
Kedua, hipoksia dan iskemia di lokasi lesi medula spinalis sebaiknya diminimalisir dengan
mengendalikan status hemodinamik dan oksigenasi. Semua pasien sebaiknya menerima oksigen
tambahan yang cukup untuk mencapai saturasi oksigen mendekati 100%
Ketiga, begitu cedera medula spinalis disangkakan, tulang belakang harus diimobilisasi untuk
mencegah cedera neurologis yang lebih lanjut.
Manajemen farmakologi pada cedera medula spinalis akut masih kontroversi. Optimisme
yang menganggap bahwa pemahaman yang mendalam mengenai patogenesa dari cedera medula
spinalis akut akan mengarah kepada penemuan strategi pengobatan farmakologis untuk
mencegah cedera sekunder telah menemui kekecewaan dalam praktek klinis.
Kemungkinan aplikasi sel punca pada penanganan cedera medula spinalis terus dipelajari
baik dengan menggunakan sel punca eksogen, seperti sel stroma mesenkim dan olfactory
ensheating glial cells, maupun dengan memanipulasi sel punca endogen.
Pembedahan merupakan dan akan tetap menjadi pilihan utama dalam paradigma penanganan
cedera medula spinalis, tetapi waktu yang tepat untuk melakukan operasi dekompresi masih
menuai banyak kontroversi.
Untuk kondisi medis di mana kesembuhan belum tersedia, seperti cedera medula spinalis,
deteksi dari faktor resiko, implementasi program preventif, dan identifikasi dari subjek yang
potensial terkait merupakan relevansi yang penting. Studi epidemiologis dengan follow up jangka
panjang memberikan kontribusi ke dalam hal ini dengan memberikan gambaran perkiraan dari
insidensi dan prevalensi, mengidentifikasi faktor resiko, memberikan gambaran kecenderungan,
dan memprediksi keperluan di masa yang akan datang.
2.8. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pasca cedera medula spinalis antara lain yaitu
instabilitas dan deformitas tulang vertebra, fraktur patologis, syringomyelia pasca trauma, nyeri
dan gangguan fungsi seksual.
BAB III
KESIMPULAN
Trauma medulla spinalis adalah trauma yang biasanya berupa fraktur atau cedera lain
pada tulang vertebra, korda spinnalis itu sendiri, yang terletak didalam kolumna vertebralis,
dapat terpotong, tertarik, terpilin, atau tertekan. Kerusakan pada kolumna vertebralis atau korda
dapat terjadi disetiap tingkatan, kerusakan korda spinalis dapat mengenai seluruh korda atau
hanya sebagian.
Cedera medula spinalis traumatik, terjadi ketika benturan fisik eksternal seperti yang
diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau kekerasan, merusak medula spinalis.
Cedera medula spinalis non traumatik, terjadi ketika kondisi kesehatan seperti penyakit, infeksi
atau tumor mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis, atau kerusakan yang terjadi pada
medula spinalis yang bukan disebabkan oleh gaya fisik eksternal.
DAFTAR PUSTAKA
Mardjono, M. Sidharta, P. 1989. Neuri Klinis Dasar. Penerbit PT. Dian Rakyat Jakarta.
Sylvia, P., LM, Wilson.2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume 2.
Jakarta: EGC.
Sjamsuhidajat, R., Wim, D.L. 2011. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.