BAB 2
LAPORAN KASUS
2.1. Anamnesis
2.1.1. Identitas Pribadi
Nama : Warianto
Jenis Kelamin : laki-laki
Usia : 19 th 9 bln
Suku Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Huta I Pardamoan Nagori Kec Bandar Musil
Status : Belum Kawin
Pekerjaan : Wiraswasta
Tanggal Masuk : 14 Juni 2012
Tanggal Keluar :
2.1.2. Anamnesa
Keluhan Utama : Penurunan kesadaran
Telaah : Hal ini dialami Os setelah Os mengalami kecelakaan lalu
lintas 2 minggu yang lalu. Posisi jatuh tidak jelas.
Riwayat kejang dan muntah tidak di jumpai. Sebelumnya
Os telah dirawat di RS Siantar selama 10hari
Riwayat Hipertensi, Diabetes Mellitus, penyakit jantung
tidak dijumpai
Riwayat Penyakit Terdahulu : -
Riwayat penggunaan obat : Tidak jelas
2.1.3. Anamnesa Traktus
Traktus Sirkulatorius : TD 110/80mmhg
Traktus Respiratorius : dalam batas normal
Traktus Digestivus : dalam batas normal
Traktus Urogenitalis : dalam batas normal
Penyakit Terdahulu dan Kecelakaan : kecelakaan lalu lintas ½ bulan lalu
Intoksikasi dan Obat-obatan : tidak jelas
2.1.4. Anamnesa Keluarga
Faktor Herediter : Tidak ada riwayat keluarga
Faktor Familier : Tidak ada riwayat keluarga
Lain-lain : (-)
2.1.5. Anamnesa Sosial
Kelahiran dan Pertumbuhan : Lahir spontan.
pertumbuhan dalam batas normal
Imunisasi : tidak jelas
Pendidikan : SMA
Pekerjaan : wiraswasta
Perkawinan dan Anak :belum menikah
2.2. Pemeriksaan Jasmani
2.2.1. Pemeriksaan Umum
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Nadi : 80x/menit
Frekuensi Nafas : 24 x/menit
Temperatur : 36,5 0C
Kulit dan Selaput Lendir : dalam batas normal
Kelenjar dan Getah Bening : dalam batas normal
Persendian : dalam batas normal
2.2.2. Kepala dan Leher
Bentuk dan Posisi : bulat dan medial
Pergerakan : tidak dapat dinilai
Kelainan Panca Indera : tidak dapat dinilai
Rongga Mulut dan Gigi : dalam batas normal
Kelenjar Parotis : dalam batas normal
Desah : (-)
Dan Lain-lain : (-)
2.2.3. Rongga Dada dan Abdomen Rongga Dada Rongga Abdomen
Inspeksi : simetris fusiformis simetris
Perkusi : sonor timpani
Palpasi : sulit di nilai soepel
Auskultasi : vesikuler peristaltik(+)N
2.2.4. Genitalia
Toucher :Tidak dilakukan pemeriksaan
2.3. Status Neurologis
2.3.1. Sensorium : Somnolen
2.3.2. Kranium
Bentuk : bulat
Fontanella : tertutup
Palpasi : pulsasi a.carotis dan a.temporalis (+)
Perkusi : Cracked pot sign (-)
Auskultasi : desah (-)
Transilumnasi : tidak dilakukan pemeriksaan
2.3.3. Perangsangan Meningeal
Kaku Kuduk : (-)
Tanda Kernig : (-)
Tanda Brudzinski I : (-)
Tanda Brudzinski II : (-)
2.3.4. Peningkatan Tekanan Intrakranial
Muntah : (-)
Sakit Kepala : (-)
Kejang : (-)
2.3.5. Saraf Otak/Nervus Kranialis
Nervus I Meatus Nasi Dextra Meatus Nasi Sinistra
Normosmia : Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
Anosmia : Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
Parosmia : Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
Hiposmia : Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
Nervus II Oculi Dextra (OD) Oculi Sinistra (OS)
Visus : Tidak dapat dinilai Sulit dinilai
Lapangan Pandang
Normal : Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
Menyempit : Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
Hemianopsia : Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
Scotoma : Tidak dapat dinilai Tidak dapat dinilai
Refleks Ancaman : (-) (-)
Fundus Okuli
Warna : tidak dilakukan pemeriksaan tidak dilakukan pemeriksaan
Batas : tidak dilakukan pemeriksaan tidak dilakukan pemeriksaan
Ekskavasio : tidak dilakukan pemeriksaan tidak dilakukan pemeriksaan
Arteri : tidak dilakukan pemeriksaan tidak dilakukan pemeriksaan
Vena : tidak dilakukan pemeriksaan tidak dilakukan pemeriksaan
Nervus III, IV, VI Oculi Dextra (OD) Oculi Sinistra (OS)
Gerakan Bola Mata :tidak dapa dinilai tidak dapat dinilai
Nistagmus : (-) (-)
Pupil
Lebar : 3 mm 3 mm
Bentuk : bulat bulat
Refleks Cahaya Langsung : (+) (+)
Refleks Cahaya tidak Langsung : (+) (+)
Rima Palpebra : Ø 7 mm Ø 7 mm
Deviasi Konjugate : tidak dapat dinilai tidak dapat dinilai
Fenomena Doll’s Eye : (+) (+)
Strabismus : (-) (-)
Nervus V Kanan Kiri
Motorik
Membuka dan Menutup Mulut : tidak dapat dinilai tidak dapat dinilai
Palpasi Otot Masseter & Temporali : tidak dapat dinilai tidak dapat dinilai
Kekuatan Gigitan : tidak dapat dinilai tidak dapat dinilai
Sensorik
Kulit : tidak dapat dinilai tidak dapat dinilai
Selaput Lendir : tidak dapat dinilai tidak dapat dinilai
Refleks Kornea
Langsung : (+) (+)
Tidak Langsung : (+) (+)
Refleks Masseter : tidak dapat dinilai tidak dapat dinilai
Refleks Bersin : tidak dapat dinilai tidak dapat dinilai
Nervus VII Kanan Kiri
Motorik
Mimik : sudut mulut simetris sudut mulut simetris
Kerut Kening : tidak dapat dinilai tidak dapat dinilai
Menutup Mata : tidak dapat dinilai tidak dapat dinilai
Meniup Sekuatnya : tidak dapat dinilai tidak dapat dinilai
Memperlihatkan Gigi : tidak dapat dinilai tidak dapat dinilai
Tertawa : tidak dapat dinilai tidak dapat dinilai
Sensorik
Pengecapan 2/3 Depan Lidah : tidak dapat dinilai
Produksi Kelenjar Ludah : tidak bisa dinilai
Hiperakusis : tidak dapat dinilai
Refleks Stapedial : tidak dapat dinilai
Nervus VIII Kanan Kiri
Auditorius
Pendengaran : tidak dapat dinilai tidak dapat dinilai
Test Rinne : tidak dapat dinilai tidak dapat dinilai
Test Weber : tidak dapat dinilai tidak dapat dinilai
Test Schwabach : tidak dapat dinilai tidak dapat dinilai
Vestibularis
Nistagmus : (-) (-)
Reaksi Kalori : tidak dilakukan pemeriksaan tidak dilakukan pemeriksaan
Vertigo : tidak dapat dinilai tidak dapat dinilai
Tinnitus : tidak dapat dinilai tidak dapat dinilai
Nervus IX, X
Pallatum Mole : simetris
Uvula : medial
Disfagia : tidak dapat dinilai
Disartria : tidak dapat dinilai
Disfonia : tidak dapat dinilai
Refleks Muntah : (+)
Pengecapan 1/3 Belakang Lidah : tidak dapat dinilai
Nervus XI Kanan Kiri
Mengangkat Bahu : tidak dapat dinilai tidak dapat dinilai
Fungsi Otot Sternocleidomastoideus : tidak dapat dinilai tidak dapat dinilai
Nervus XII
Lidah
Tremor : (-)
Atrofi : (-)
Fasikulasi : (-)
Ujung Lidah Sewaktu Istirahat : medial
Ujung Lidah Sewaktu Dijulurkan : tidak dapat dinilai
2.3.6. Sistem Motorik
Trofi : eutrofi
Tonus Otot : normotonus
Kekuatan Otot : sulit dinilai, kesan lateralisasi kek kiri
Sikap (Duduk-Berdiri-Berbaring) : Sikap duduk (-)/berbaring (+)/berdiri (-)
2.3.7. Gerakan Spontan Abnormal
Tremor : (-)
Khorea : (-)
Ballismus : (-)
Mioklonus : (-)
Atetotis : (-)
Distonia : (-)
Spasme : (-)
Tic : (-)
Dan Lain-lain : (-)
2.3.8. Tes Sensibilitas
Eksteroseptif : tidak bisa dinilai
Proprioseptif : tidak dapat dinilai
Fungsi Kortikal Untuk Sensibilitas
Stereognosis : tidak dilakukan pemeriksaan
Pengenalan Dua Titik : tidak dilakukan pemeriksaan
Grafestesia : tidak dilakukan pemeriksaan
2.3.9. Refleks Kanan Kiri
2.3.9.1. Refleks Fisiologis
Biceps : (+) (+)
Triceps : (+) (+)
Radioperiost : (+) (+)
APR : (+) (+)
KPR : (+) (+)
Strumple : (+) (+)
2.3.9.2. Refleks Patologis
Babinski : (-) (-)
Oppenheim : (-) (-)
Chaddock : (-) (-)
Gordon : (-) (-)
Schaefer : (-) (-)
Hoffman-Tromner : (-) (-)
Klonus Lutut : (-) (-)
Klonus Kaki : (-) (-)
Refleks Primitif : (-) (-)
2.3.10. Koordinasi
Lenggang : tidak dapat dinilai
Bicara : tidak dapat dinilai
Menulis : tidak dapat dinilai
Percobaan Apraksia : tidak dapat dinilai
Mimik : wajah simetris
Test Telunjuk-Telunjuk : tidak dapat dinilai
Test Telunjuk-Hidung : tidak dapat dinilai
Diadokhokinesia : tidak dapat dinilai
Test Tumit-Lutut : tidak dapat dinilai
Test Romberg : tidak dapat dinilai
2.3.11. Vegetatif
Vasomotorik : (+)
Sudomotorik : tidak dilakukan pemeriksaan
Pilo-Erektor : tidak dapat dinilai
Miksi : dalam batas normal
Defekasi : dalam batas normal
Potens dan Libido : tidak dilakukan pemeriksaan
2.3.12. Vertebra
Bentuk
Normal : (+)
Scoliosis : (-)
Hiperlordosis : (-)
Pergerakan
Leher : dalam batas normal
Pinggang : sulit dilakukan penilaian
2.3.13. Tanda Perangsangan Radikuler
Laseque : tidak dapat dinilai
Cross Laseque : tidak dapat dinilai
Test Lhermitte : tidak dapat dinilai
Test Naffziger : tidak dapat dinilai
2.3.14. Gejala-Gejala Serebelar
Ataksia : tidak dapat dinilai
Disartria : tidak dapat dinilai
Tremor : tidak dapat dinilai
Nistagmus : tidak dapat dinilai
Fenomena Rebound : tidak dapat dinilai
Vertigo : tidak dapat dinilai
Dan Lain-lain : (-)
2.3.15. Gejala-Gejala Ekstrapiramidal
Tremor : (-)
Rigiditas : (-)
Bradikinesia : (-)
Dan Lain-lain : (-)
2.3.16. Fungsi Luhur
Kesadaran Kualitatif : Somnolen
Ingatan Baru : tidak dapat dinilai
Ingatan Lama : tidak dapat dinilai
Orientasi
Diri : tidak dapat dinilai
Tempat : tidak dapat dinilai
Waktu : tidak dapat dinilai
Situasi : tidak dapat dinilai
Intelegensia : tidak dapat dinilai
Daya Pertimbangan : tidak dapat dinilai
Reaksi Emosi : tidak dapat dinilai
Afasia
Ekspresif : tidak dapat dinilai
Represif : tidak dapat dinilai
Apraksia : tidak dapat dinilai
Agnosia
Agnosia visual : tidak dapat dinilai
Agnosia Jari-jari : tidak dapat dinilai
Akalkulia : tidak dapat dinilai
Disorientasi Kanan-Kiri : tidak dapat dinilai
2.4. Pemeriksaan Penunjang
Hasil pemeriksaan laboratorium tanggal 14 juni 2012Jenis
PemeriksaanSatuan Hasil Nilai Normal
HematologiHemoglobin g/dl 15,6 13,2-17,3 Eritrosit 103/mm3 5,57 4,2-4,87LeukositTrombosit
103/mm3
103/mm316,27593
4,5-11150.000-450.000
Kimia KlinikFaal Hati
AST/SGOT U/L 30 < 38ALT/SGPT U/L 22 < 41
Karbohidrat
Glukosa darah (puasa)
mg/dL 105 <200
GinjalUreum mg/dL 45,7 <50Kreatinin mg/dL 0,59 0,7-1,2Urea Acid mg/dL 2,9 <5,7
Elektrolit
Natrium (Na) mEq/l 130 135-155Kalium(K) mEq/l 3,8 3,6-5,5
Klorida (Cl)Analisa Gas Darah pH PCO2
PO2
Bicarbonat (HCO3) Total Co2
Kelebihan basa (BE) Saturasi O2
mEq/l
mmHgmmHg
mmol/m
mmol/mmmol/m
%
100
7,43424,393,115,6
17,8-6,4
97,1
96-106
7,35-7,4538-4285-10022-26
19-25(-2)-(+2)
95-100
2.5 Kesimpulan Pemeriksaan
Keluhan Utama : Penurunan kesadaran
Telaah : . Hal ini dialami Os setelah Os mengalami kecelakaan lalu lintas ½
bulan yang lalu. Posisi jatuh tidak jelas. Riwayat kejang dan
muntah tidak di jumpai. Sebelumnya Os telah dirawat di RS
Siantar selama 10hari. Riwayat Hipertensi, Diabetes Mellitus,
penyakit jantung tidak dijumpai
Status Presens
Sens : Somnolen
Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Frekuensi Nafas : 24 x/menit
Temperatur : 36,5 0C
Nervus Kranialis
N. I : Sulit di nilai
N. II,III : RC +/+; pupil isokor Ø=3mm
N. III,IV,VI : Doll’s eye phenomenon (+)
N. V : refleks kornea (+)
N. VII : Sudut mulut simetris
N. VIII : Sulit di nilai
N. IX, X : Gag reflex (+)
N. XI : Sulit di nilai
N. XII : Lidah istirahat medial
STATUS NEUROLOGIS
Sensorium : Somnolen
Peningkatan TIK : Sakit kepala (-), Muntah (-), Kejang (-)
Rangsang Meningeal : (-)
Refleks Fisiologis Kanan Kiri
B/T : +/+ +/+
KPR/APR : +/+ +/+
Refleks Patologis Kanan Kiri
H/T : -/- -/-
Babinski : - -
Kekuatan Motorik : Sulit di nilai, kesan lateralisasi kekiri
DIAGNOSA
DIAGNOSA FUNGSIONA : Somnolen + Hemiparese Sinistra ec Trauma kapitis
berat
DIAGNOSA ETIOLOGIK :
DIAGNOSA ANATOMIK :
DIAGNOSA KERJA : Somnolen + Hemiparese Sinistra ec Trauma kapitis
berat
PENATALAKSANAAN
- Bed rest
- NGT & Catheter terpasang
- O2 5-6 L/i face mask
- IVFD Ringer Solution 20 gtt/i
- Inj Cithicolin 1 amp / 12 jam iv
RENCANA PEMERIKSAAN
Darah Lengkap
Elektrolit
KGD n / 2 jam pp
Lipid profile
EKG
Foto Thoraks AP
Head CT Scan
Follow Up
15 Juni 2012 16 Juni 2012 17 Juni 2012
Keluhan
Utama
Penurunan
Kesadaran
Lemah lengan dan
tungkai kiri
Lemah lengan dan
tungkai kiri
Keluhan
Tambahan
- - -
Status Presens Sens: Sopor
TD: 130/70 mmHg
HR: 84 x/ menit
RR: 20 x/ menit
T: 38,3 ºC
Sens: sopor
TD: 130/700 mmHg
HR: 84 x/ menit
RR: 22 x/ menit
T: 38,3 ºC
Sens: sopor
TD: 160/110 mmHg
HR: 72 x/ menit
RR: 20 x/ menit
T: 36,2 ºC
Peningkatan
Tekanan
Intrakranial
(-) (-) (-)
Perangsangan
meningeal
(-) (-) (-)
Nervus
Kranialis
N I : Tidak bisa
dinilai
N II, III : refleks
cahaya +/+, pupil
isokor Ø=3mm
N III, IV, VI : doll’s
N I : tidak bisa dinilai
N II, III : refleks
cahaya +/+, pupil
isokor Ø=3mm
N III, IV, VI : gerak
bola mata (+)
N I : tidak bisa dinilai
N II, III : refleks
cahaya +/+, pupil
isokor Ø=3mm
N III, IV, VI : gerak
bola mata (+)
eye phenomenon (+)
N V : refleks kornea
(+)
N VII : Sudut mulut
simetris
N VIII : tidak bisa
dinilai
N IX, X : gag reflex
(+)
N XI : tidak bisa
dinilai
N XII : lidah
istirahat medial
N V : membuka-tutup
mulut (+)
N VII : Sudut mulut
simetris
N VIII : tidak bisa
dinilai
N IX, X : uvula
medial
N XI : tidak bisa
dinilai
N XII : lidah istirahat
medial
N V : membuka-tutup
mulut (+)
N VII : Sudut mulut
simetris
N VIII : tidak bisa
dinilai
N IX, X : uvula medial
N XI : tidak bisa
dinilai
N XII : lidah istirahat
medial
Refleks
Fisiologis
Biceps/Triceps
APR/KPR
Kanan Kiri
+/+ +/+
+/+ +/+
Kanan Kiri
+/+ +/+
+/+ +/+
Kanan Kiri
+/+ +/+
+/+ +/+
Refleks
Patologis
H/T
Babinski
Kanan Kiri
-/- -/-
- -
Kanan Kiri
-/- -/-
- -
Kanan Kiri
-/- -/-
- -
Kekuatan
Motorik
Sulit di nilai; kesan
lateralisasi ke kiri
Sulit di nilai; kesan
lateralisasi ke kiri
Sulit di nilai; kesan
lateralisasi ke kiri
Diagnosa Sopor + Hemiparese
Sinistra ec Trauma
Kapitis Berat
Sopor + Hemiparese
Sinistra ec Trauma
Kapitis Berat
Sopor + Hemiparese
Sinistra ec Trauma
Kapitis Berat
Terapi - Bed rest
- NGT & Catheter
terpasang
- O2 5-6 L/i face
mask
- IVFD Ringer
Solution 20 gtt/i
- Bed rest
- NGT & Catheter
terpasang
- O2 5-6 L/i face
mask
- IVFD Ringer
Solution 20 gtt/i
- Bed rest
- NGT & Catheter
terpasang
- O2 5-6 L/i face
mask
- IVFD Ringer
Solution 20 gtt/i
- Inj Cithicolin 1
amp / 12 jam iv
- Inj ceftriaxone
1g/12jam
- PCT tab 500mg
3x1
- Vit B comp tab
3x1
- Inj Cithicolin 1
amp / 12 jam iv
- Inj ceftriaxone
1g/12jam
- PCT tab 500mg
3x1
- Vit B comp tab
3x1
- Inj Cithicolin 1
amp / 12 jam iv
- Inj ceftriaxone
1g/12jam
18 Juni 2012 19 Juni 2012 20 Juni 2012
Keluhan
Utama
Penurunan
Kesadaran
Lemah lengan dan
tungkai kiri
Lemah lengan dan
tungkai kiri
Keluhan
Tambahan
- - -
Status Presens Sens: Sopor
TD: 130/70 mmHg
HR: 82 x/ menit
RR: 22 x/ menit
T: 38,7 ºC
Sens: apatis
TD: 130/700 mmHg
HR: 84 x/ menit
RR: 22 x/ menit
T: 38,3 ºC
Sens: sopor
TD: 160/110 mmHg
HR: 72 x/ menit
RR: 20 x/ menit
T: 36,2 ºC
Peningkatan
Tekanan
Intrakranial
(-) (-) (-)
Perangsangan
meningeal
(-) (-) (-)
Nervus
Kranialis
N I : Tidak bisa
dinilai
N II, III : refleks
cahaya +/+, pupil
isokor Ø=3mm
N III, IV, VI : doll’s
eye phenomenon (+)
N V : refleks kornea
N I : tidak bisa dinilai
N II, III : refleks
cahaya +/+, pupil
isokor Ø=3mm
N III, IV, VI : gerak
bola mata (+)
N V : membuka-tutup
mulut (+)
N I : tidak bisa dinilai
N II, III : refleks
cahaya +/+, pupil
isokor Ø=3mm
N III, IV, VI : gerak
bola mata (+)
N V : membuka-tutup
mulut (+)
(+)
N VII : Sudut mulut
simetris
N VIII : tidak bisa
dinilai
N IX, X : gag reflex
(+)
N XI : tidak bisa
dinilai
N XII : lidah
istirahat medial
N VII : Sudut mulut
simetris
N VIII : tidak bisa
dinilai
N IX, X : uvula
medial
N XI : tidak bisa
dinilai
N XII : lidah istirahat
medial
N VII : Sudut mulut
simetris
N VIII : tidak bisa
dinilai
N IX, X : uvula medial
N XI : tidak bisa
dinilai
N XII : lidah istirahat
medial
Refleks
Fisiologis
Biceps/Triceps
APR/KPR
Kanan Kiri
+/+ +/+
+/+ +/+
Kanan Kiri
+/+ +/+
+/+ +/+
Kanan Kiri
+/+ +/+
+/+ +/+
Refleks
Patologis
H/T
Babinski
Kanan Kiri
-/- -/-
- -
Kanan Kiri
-/- -/-
- -
Kanan Kiri
-/- -/-
- -
Kekuatan
Motorik
Sulit di nilai; kesan
lateralisasi ke kiri
Sulit di nilai; kesan
lateralisasi ke kiri
Sulit di nilai; kesan
lateralisasi ke kiri
Laboratorium,
Foto, dan
konsul
Hasil Foto Toraks
Tidak tampak
kelainan pada cord
an pulmo
Hasil Foto Cervical
AP/ L
Tidak tampak fraktur
maupun
spondillolistesis
Vertebra Cervicalis
Hasil CT-Scan
Tampak infark di
bangsal ganglia kiri
Jawaban konsul
paru:
Dd:
Pneumonia aspirasi
Pneumonia
nosokomial,
Tx: inj ceftriaxone 1
amp/12 jam
Diagnosa Sopor + Hemiparese
Sinistra ec Trauma
Kapitis Berat
Apatis + Hemiparese
Sinistra ec Trauma
Kapitis Berat
Sopor + Hemiparese
Sinistra ec Trauma
Kapitis Berat
Terapi - Bed rest
- NGT & Catheter
terpasang
- O2 5-6 L/i face
mask
- IVFD NaCl
0,9% 20 gtt/i
- Inj Cithicolin 1
amp / 12 jam iv
- Inj ceftriaxone
1g/12jam
- PCT tab 500mg
3x1
- Vit B comp tab
3x1
- Bed rest
- NGT & Catheter
terpasang
- O2 5-6 L/i face
mask
- IVFD Ringer
Solution 20 gtt/i
- Inj Cithicolin 1
amp / 12 jam iv
- Inj ceftriaxone
1g/12jam
- PCT tab 500mg
3x1
- Vit B comp tab
3x1
- Bed rest
- NGT & Catheter
terpasang
- O2 5-6 L/i face
mask
- IVFD Ringer
Solution 20 gtt/i
- Inj Cithicolin 1
amp / 12 jam iv
- Inj ceftriaxone
1g/12jam
21 Juni 2012 22 Juni 2012 23 Juni 2012
Keluhan
Utama
Penurunan Kesadaran Lemah lengan dan
tungkai kiri
Lemah lengan dan
tungkai kiri
Keluhan
Tambahan
- - -
Status Presens Sens: Sopor
TD: 120/80 mmHg
HR: 82 x/ menit
RR: 22 x/ menit
T: 36,7 ºC
Sens: sopor
TD: 120/800 mmHg
HR: 82 x/ menit
RR: 22 x/ menit
T: 36,7 ºC
Sens: sopor
TD: 160/110 mmHg
HR: 72 x/ menit
RR: 20 x/ menit
T: 36,2 ºC
Peningkatan
Tekanan
Intrakranial
(-) (-) (-)
Perangsangan
meningeal
(-) (-) (-)
Nervus
Kranialis
N I : Sulit dinilai
N II, III : refleks
cahaya +/+, pupil
isokor Ø=3mm
N III, IV, VI : doll’s
eye phenomenon (+)
N V : membuka-tutup
mulut (+),refleks
kornea (+)
N VII : Sudut mulut
simetris
N VIII : pendengaran
normal
N IX, X : uvula
medial, gag reflex(+)
N XI : angkat bahu
N I : sulit dinilai
N II, III : refleks
cahaya +/+, pupil
isokor Ø=3mm
N III, IV, VI : doll’s
eye phenomenon (+) N
V : membuka-tutup
mulut (+),refleks
kornea (+)
N VII : Sudut mulut
simetris
N VIII : pendengaran
normal
N IX, X : uvula medial,
gag reflex (+)
N XI : sulit dinilai
N I : sulit dinilai
N II, III : refleks
cahaya +/+, pupil
isokor Ø=3mm
N III, IV, VI : doll’s
eye phenomenon (+)
N V : membuka-tutup
mulut (+),refleks
kornea (+)
N VII : Sudut mulut
simetris
N VIII : pendengaran
normal
N IX, X : uvula medial,
gag reflex (+)
N XI : sulit dinilai
normal
N XII : lidah istirahat
medial
N XII : lidah istirahat
medial
N XII : lidah istirahat
medial
Refleks
Fisiologis
Biceps/Triceps
APR/KPR
Kanan Kiri
+/+ +/+
+/+ +/+
Kanan Kiri
+/+ +/+
+/+ +/+
Kanan Kiri
+/+ +/+
+/+ +/+
Refleks
Patologis
H/T
Babinski
Kanan Kiri
-/- -/-
- -
Kanan Kiri
-/- -/-
- -
Kanan Kiri
-/- -/-
- -
Kekuatan
Motorik
Sulit di nilai; kesan
lateralisasi ke kiri
Sulit di nilai; kesan
lateralisasi ke kiri
Sulit di nilai; kesan
lateralisasi ke kiri
Diagnosa apatis+ Hemiparese
Sinistra ec Trauma
Kapitis Berat
apatis + Hemiparese
Sinistra ec Trauma
Kapitis Berat
apatis + Hemiparese
Sinistra ec Trauma
Kapitis Berat
Terapi - Bed rest
- NGT & Catheter
terpasang
- IVFD Ringer
Solution 20 gtt/i
- Inj Cithicolin 1
amp / 12 jam iv
- Inj ceftriaxone
1g/12jam
- PCT tab 500mg
3x1
- Vit B comp tab
3x1
- Bed rest
- NGT & Catheter
terpasang
- IVFD Ringer
Solution 20 gtt/i
- Inj Cithicolin 1
amp / 12 jam iv
- Inj ceftriaxone
1g/12jam
- PCT tab 500mg
3x1
- Vit B comp tab
3x1
- Bed rest
- NGT & Catheter
terpasang
- IVFD Ringer
Solution 20 gtt/i
- Inj Cithicolin 1
amp / 12 jam iv
- Inj ceftriaxone
1g/12jam
- PCT tab 500mg
3x1
- Vit B comp tab
3x1
BAB I
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Trauma kapitis adalah suatu trauma mekanik yang secara langsung atau tidak langsung
mengenai kepala dan mengakibatkan gangguan fungsi neurologis.1
Di Amerika Serikat pada tahun 1990 dilaporkan kejadian cedera kepala 200/100.000
penduduk pertahun. Pada penderita dengan cedera kepala ringan dan sedang hanya 3% -5%
yang memerlukan tindakan operasi kurang lebih 40% dan sisanya dirawat secara
konservatif.2
Di negara berkembang seperti Indonesia, seiring dengan kemajuan teknologi dan
pembangunan, frekuensi trauma kapitis cenderung makin meningkat. Trauma kapitis
berperan pada kematian akibat trauma, mengingat kepala merupakan bagian yang rentan
dan sering terlibat dalam kecelakaan. Insiden trauma kapitis delapan kali dibandingkan
kanker payudara dan 34 kali dibandingkan infeksi HIV/AIDS. Laki-laki 2 – 3 kali lebih
sering dibandingkan wanita, terutama pada kelompok usia resiko tinggi (usia 15 – 24 tahun
dan >75 tahun). 3
Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian utama dikalangan usia produktif
khususnya di negara berkembang. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di
kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih
rendah disamping penanganan pertama yang belum benar danrujukan yang terlambat.2,4
Berdasarkan studi epidemiologi, kecelakaan sepeda motor dan violence-related injuries
merupakan penyebab trauma kapitis yang paling sering. Prognosa pasien cedera kepala
akan lebih baik bila penatalaksanaan dilakukan secara tepat dan cepat.2,3
1. 2 Tujuan Penulisan
Tujuan dari pembuatan laporan kasus ini adalah untuk lebih mengerti dan memahami
tentang trauma kapitis dan untuk memenuhi persyaratan dalam mengikuti kegiatan
Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) Rumah Sakit Pusat Haji Adam Malik Medan,
Departemen Neurologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
1. 3 Manfaat Penelitian
Laporan kasus ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis dan pembaca
khususnya yang terlibat dalam bidang medis dan masyarakat secara umum agar dapat lebih
mengetahui dan memahami lebih dalam mengenai trauma kapitis.
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Trauma kapitis adalah suatu trauma mekanik yang secara langsung atau tidak langsung
mengenai kepala dan mengakibatkan gangguan fungsi neurologis.1
3.2 Epidemiologi
Di Amerika Serikat, 1,5 juta orang per tahun mengalami trauma kapitis. Dari cedera ini,
75% diklasifikasikan sebagai trauma kapitis ringan. Antara 1998 dan 2000, kejadian
cedera otak traumatis ringan adalah 503 kasus per 100.000 orang, dengan dua kali lipat
dari kejadian ini penduduk asli Amerika dan anak-anak.5
Pada tahun 1995, rawat inap untuk cedera otak menurun 50% dibandingkan dengan 1980
hal ini terutama karena peningkatan pemanfaatan layanan rawat jalan untuk pasien dengan
cedera kepala ringan.5
Di Eropa rawat inap untuk cedera kepala berkisar dari 91 kasus per 100.000 orang per
tahun, di Spanyol pada 1988, 313 kasus per 100.000 orang per tahun di Skotlandia 1974-
1976. Di Selandia Baru., 782 kasus per 100.000 kepala ringan cedera terlihat di rumah
sakit atau ruang gawat darurat pada tahun 1986. 5
3.3 Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan
cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari
suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung kepala dengan suatu benda keras
maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan kepala.
Berat ringannya daerah otak yang mengalami cedera akibat trauma kapitis bergantung
pada1
1. Besar dan kekuatan benturan
2. Arah dan tempat benturan
3. Sifat dan keadaan kepala sewaktu menerima benturan
Sehubungan dengan berbagai aspek benturan tersebut maka dapat mengakibatkan lesi otak
berupa :
- Lesi bentur (Coup)
- Lesi antara (akibat pergeseran tulang, dasar tengkorak yang menonjol/falx dengan
otak, peregangan dan robeknya pembuluh darah dan lain-lain = lesi media)
- Lesi kontra (counter coup)
Kepala tidak selalu mengalami akselerasi linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh
kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya terjadi lesi pada
akselerasi rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa
akibat akselerasi linear dan rotatorik terdapat lesi kontusio coup, countercoup dan
intermediate. Yang disebut lesi kontusio intermediate adalah lesi yang berada di antara lesi
kontusio coup dan countercoup.6
Lesi benturan otak menimbulkan beberapa kejadian berupa :1
1. Gangguan neurotransmitter sehingga terjadi blok depolarisasi pada sistem ARAS
(Ascending Reticular Activating System yang bermula dari brain stem)
2. .Retensi cairan dan elektrolit pada hari pertama kejadian
3. Peninggian tekanan intra kranial ( + edema serebri)
4. Perdarahan petechiae parenchym ataupun perdarahan besar5. Kerusakan otak primer berupa cedera pada akson yang bisa merupakan peregangan
ataupun sampai robeknya akson di substansia alba yang bisa meluas secara difus ke
hemisfer sampai ke batang otak6. Kerusakan otak sekunder akibat proses desak ruang yang meninggi dan komplikasi
sistemik hipotensi, hipoksemia dan asidosis.
Setelah cedera otak traumatis, otak dipenuhi dengan zat kimia saraf yang berbahaya.
Terjadi peningkatan katekolamin dalam plasma (kadar katekolamin yang lebih tinggi
berkorelasi dengan hasil klinis lebih buruk) dan dalam cairan serebrospinal (CSF) pasien
dengan cedera kepala (lebih tinggi CSF 5-hydroxyindole asam asetat (HIAA), metabolit
serotonin, berkorelasi dengan outcome yang buruk). Cedera kepala menyebabkan
pelepasan radikal bebas dan kerusakan lipid membran. Fragmen lipid ini menjadi mediator
peradangan. Asam-asam amino eksitotoksik (yaitu, glutamat, aspartat) memulai proses
kaskade yang berpuncak pada peningkatan kalsium intraneuronal dan kematian sel. Para
peneliti menggunakan teknik microdialysis telah membuktikan adanya korelasi tingkat
asam amino eksitotoksik CSF yang tinggi dengan hasil yang buruk pada cedera kepala.5
Prostaglandin, mediator inflamasi yang diproduksi oleh kerusakan membran lipid, juga
meningkat secara dramatis dalam plasma pasien dengan trauma kepala moderat sampai
berat selama 2 minggu pertama setelah cedera. Pasien dengan kadar prostaglandin yang
lebih tinggi secara signifikan memiliki hasil lebih buruk dibandingkan dengan peningkatan
yang lebih sederhana. Proses semacam itu mungkin mendasari vasospasme pasca trauma.5
Akibat adanya cedera otak maka pembuluh darah otak akan melepaskan serotonin bebas
yang berperan akan melonggarkan hubungan antara endotel dinding pembuluh darah
sehingga lebih perniabel, maka Blood Brain Barrier pun akan terganggu, dan terjadilah
oedema otak regional atau diffus (vasogenik oedem serebri).1
Oedem serebri adalah meningkatnya massa jaringan otak yang disebabkan peningkatan
kadar cairan intraseluler maupun ekstraseluler otak sebagai reaksi daripada proses
patologik lokal atau pengaruh umum yang merusak. Oedem serebri dibagi menjadi:1
1. Vasogenik oedema serebri
2. sitotoksik oedema serebri
3. osmotik oedema serebri
4. hidrostatik oedema serebri
Pada oedema serebri tahap permulaan, tekanan intra kranial, tekanan perfusi otak masih
dapat dikompensasi dengan mengatur otoregulasi cerebral blood flow, dan volume likuor
serebro spinal. Untuk setiap penambahan 1 cc volume intra kranial tekanan intra kranial
akan meningkat 10-15 mmHg.1
1. Vasogenik oedema serebri1
Lesi terutama pada sistem Blood Brain Barrier yang dibentuk dari ikatan fusi sel membran
endotel kapiler pembuluh darah otak pada keadaan tertentu secara langsung dapat merusak
dinding kapiler dan secara tidak langsung dapat menyebabkan pelepasan serotonin, yang
mengakibatkan gangguan dan pengurangan eratnya ikatan fusi membran sel. Dengan
endotel kapiler cairan plasma dapat mengalir ke jaringan otak dan mengakibatkan terjadi
oedema serebri. Vasogenik oedema serebri dapat terjadi pada kasus-kasus :
- trauma kapitis
- stroke
- ischemia
- radang : meningitis, ensefalitiss
- space occupying lesion : tumor otak
- malignant hipertensi
- konvulsi
2. Sitotoksik oedema serebri1
Ini bisa terjadi bila ada gangguan sodium pump membran sel otak, akibatnya permeabilitas
membran terganggu dan akan masuk cairan ke intraseluler otak. Sitotoksik oedema serebri
dapat terjadi pada kasus-kasus :
- neonatal asphyxia
- cardiac arrest
- zat-zat toksik hexachlorophene, golongan alkyl metal
3. Osmotik oedema serebri1
Bila osmolaritas plasma dikurangi 12 % atau lebih, maka cairan akan meloloskan diri dari
sistem vaskuler dan menyebabkan pembengkakan otak. Ini bisa terjadi apabila membran
sel masih intak. Osmotik oedema serebri ini terdapat pada kasus-kasus :
- water intoksikasi
- hemodialisis yang terlalu cepat
4. Hidrostatik oedema serebri1
Ini terjadi bila jumlah cairan ekstraseluler berlebihan (cairan likuor serebrospinal).
Contohnya pada hidrosefalus
Oedema serebri lokal akan terbentuk 30 menit sesudah mendapat trauma dan kemudian
oedema akan menyebar membesar. Oedema otak lebih banyak melibatkan sel-sel glia,
terutama pada sel astrosit (intraseluler) dan ekstraseluler di substansia alba. Dan ternyata
oedema serebri itu meluas berturut-turut akan mengakibatkan tekanan intra kranial
meninggi, kemudian terjadi kompresi dan hypoxic iskhemik hemisfer dan batang otak dan
akibat selanjutnya bisa menimbulkan herniasi transtetorial ataupun serebellar yang
berakibat fatal.1
Ada sekitar 60-80 % pasien yang meninggal dikarenakan menderita trantetorial herniasi
dan kelainan batang otak tanpa adanya lesi primer akibat trauma langsung pada batang
otak. Kerusakan yang hebat yang disertai dengan kerusakan batang otak akibata proses
diatas mengakibatkan kelainan patologis nekroskortikal, demyelinisasi diffus, banyak
neuron yang rusak dan proses gliosis, sehingga jika penderita tidal meninggal maka bisa
terjadi suatu keadaan vegetatif dimana penderita hanya dapat membuka matanya tanpa ada
daya apapun (akinetic-mutism/coma vigil, apallic state, locked in syndrome).
Akinetic mutism coma vigil lesi terutama terjadi pada daerah basal frontal yang bilateral
dan/atau daerah mesensefalon posterior. Locked in syndrome kerusakan terutama pada
eferen motor pathway dan daerah depan pons. Apallic states kerusakan luas pada daerah
korteks serebri.1
Sistem peredaran darah otak mempunyai sistem autoregulasi untuk mempertahankan
Cerebral Blood Flow (CBF) yang optimal sehingga Tekanan Perfusi Otak (TPO) juga
adekuat (TPO minimal adalah sekitar 40-50 mmHg untuk mensuplai seluruh daerah otak).
Jika Tekanan Intra Kranial (TIK) meninggi maka menekan kapiler serebral sehingga
terjadi serebral hipoksia diffus mengakibatkan kesadaran akan menurun.
Peninggian TIK mengakibatkan CBF dan TPO menurun, maka akan terjadi kompensasi
(Cushing respons), penekanan pada daerah medulla oblongata, hipoksia pusat vasomotor,
sehingga mengakibatkan kompensasi vasokonstriksi perifer (peninggian tekanan darah
sistemik) bradikardi,, pernafasan yang melambat dan muntah-muntah.
TIK yang meninggi mengakibatkan hypoxemia dan respiratori alkalosis (PO2 menurun
dan PCO2 meninggi) akibatnya terjadi vasodilatasi kapiler serebral. Selama pembuluh
darah tersebut masih sensitif terhadap tekanan CO2), maka CBF dan TPO akan tercukupi.
Jika kenaikan TIK terlalu cepat maka Cushing respons tidaklah bisa selalu terjadi.
Demikian pula jika penurunan tekanan darah sistemik terlalu cepat dan terlalu rendah maka
sistem autoregulasi tidak dapat berfungsi dan CBF pun akan menurun sehingga fungsi
serebral terganggu.1
Selain yang tersebut diatas peninggian TIK juga dapat menyebabkan gangguan konduksi
pada pusat respirasi dan pusat kardiovaskuler di batang otak. Akibatnya pols berubah cepat
dan lemah serta tekanan darah sistemik akan drops menurun secara drastis. Respirasi akan
berubah irreguler, melambat dan steatorous. Pada cedera otak berat terjadi gangguan
koordinasi di antara pusat pernafasan volunter di korteks dengan pusat pernafasan
automatik di batang otak. Ternyata bahwa herniasi serebellar tonsil ke bawah yang
melewati foramen magnum hanya mempunyai efek yang minimal terhadap sistem
kecepatan dan ritme pernafasan, kecuali jika herniasinya memang sudah terlalu besar maka
tiba-tiba saja bisa terjadi respiratory arrest.1
3.4 klasifikasi
Ada beberapa jenis klasifikasi trauma kapitis, tetapi dengan pelbagai pertimbangan dari
berbagai aspek, maka bagian neurologi menganut pembagian sebagai berikut :1
a. Trauma kapitis yang tidak membutuhkan tindakan operatif (95%) terdiri atas :
1. Komosio serebri
2. Kontusio serebri
3. impressi fraktur tanpa gejala neurologis (< 1 cm)
4. Fraktur basis kranii
5. Fraktur kranii tertutup
b. Trauma kapitis yang memerlukan tindakan operatif (1-5%)
1. Hematoma intra kranial yang lebih besar dari 75 cc Epidural, Subdural,
Intraserebral
2. Fraktur kranii terbuka ( + laserasio serebri)
3. Impressi fraktur dengan gejala neurologis ( > 1 cm)
4. Likuorrhoe yang tidak berhenti dengan pengobatan konservatif
Menurut Brain Injury Association of Michigan (2005), klasifikasi keparahan dari Traumatic
Brain Injury yaitu :5,6
1. Ringan: kehilangan kesadaran < 20 menit, amnesia post traumatic < 24 jam dan GCS
13-15
2. Sedang: kehilangan kesadaran > 20 menit, ≤ 36 jam, amnesia post traumatic > 24 jam,
≤ 7 hari dan GCS 9-12
3. Berat: kehilangan kesadaran >36 jam, amnesia post traumatic > 7 hari dan GCS 3-8
Komosio Serebri 1,7
Komosio serebri yaitu disfungsi neuron otak sementara yang disebabkan oleh trauma
kapitis tanpa menunjukkan kelainan mikroskopis jaringan otak. Patologi dan
Simptomatologi Benturan pada kepala menimbulkan gelombang tekanan di dalam rongga
tengkorak yang kemudian disalurkan ke arah lobang foramen magnum ke arah bawah
canalis spinalis dengan demikian batang otak teregang dan menyebabkan lesi
iritatif/blokade sistem reversible terhadap sistem ARAS.
Pada komosio serebri secara fungsional batang otak lebih menderita daripada fungsi
hemisfer. Keadaan ini bisa juga terjadi oleh karena tauma tidak langsung yaitu jatuh
terduduk sehingga energi linier pada kolumna vertebralis diteruskan ke atas sehingga juga
meregangkan batang otak. Akibat daripada proses patologi di atas maka terjadi gangguan
kesadaran (tidak sadar kurang dari 20 menit) bisa diikuti sedikit penurunan tekanan darah,
pols dan suhu tubuh. Muntah dapat juga terjadi bila pusat muntah dan keseimbangan di
medula oblongata terangsang. Gejala : - pening/nyeri kepala - tidak sadar/pingsan kurang
dari 20 menit - amnesia retrograde : hilangnya ingatan pada peristiwa beberapa lama
sebelum kejadian kecelakaan (beberapa jam sampai beberapa hari).
Hal ini menunjukkan keterlibatan/gangguan pusat-pusat di korteks lobus temporalis. - Post
trumatic amnesia : (anterograde amnesia) lupa peristiwa beberapa saat sesudah trauma.
Derajat keparahan trauma yang dialaminya mempunyai korelasi dengan lamanya waktu
daripada retrograde amnesia, post traumatic amnesia dan masa-masa confusionnya.
Amnesia ringan disebabkan oleh lesi di hipokampus, akan tetapi jika amnesianya berat dan
menetap maka lesi bisa meluas dari sirkuit hipokampus ke garis tengah diensefalon dan
kemudian ke korteks singulate untuk bergabung dengan lesi diamigdale atau proyeksinya
ke arah garis tengah talamus dan dari situ ke korteks orbitofrontal.
Amnesia retrograde dan anterograde terjadi secara bersamaan pada sebagian besar pasien
(pada kontusio serebri 76 % dan komosio serebri 51 %). Amnesia retrograde lebih sering
terjadi daripada amnesia retrograde. Amnesia retrograde lebih cepat pulih dibandingkan
dengan amnesia anterograde. Gejala tambahan : bradikardi dan tekanan darah naik
sebentar, muntah-muntah, mual, vertigo. (vertigo dirasakan berat bila disertai komosio
labirin). Bila terjadi keterlibatan komosio medullae akan terasa ada transient parestesia ke
empat ekstremitas.
Gejala-gejala penyerta lainnya (sindrom post trauma kapitis), adalah nyeri kepala, nausea,
dizziness, sensitif terhadap cahaya dan suara, iritability, kesukaran konsentrasi pikiran, dan
gangguan memori. Sesudah beberapa hari atau beberapa minggu ; bisa di dapat gangguan
fungsi kognitif (konsentrasi, memori), lamban, sering capek-capek, depresi, iritability. Jika
benturan mengenai daerah temporal nampak gangguan kognitif dan tingkah laku lebih
menonjol.
Prosedur Diagnostik :
1. X foto tengkorak2. LP, jernih, tidak ada kelaina
3. EEG normal
Terapi untuk komosio serebri yaitu : istirahat, pengobatan simptomatis dan mobilisasi
bertahap. Setiap penderita komosio serebri harus dirawat dan diobservasi selama minimal
72 jam. Awasi kesadarannya, pupil dan gejala neurologik fokal, untuk mengantisipasi
adanya lusid interval hematom.
Kontusio Serebri 1,7
Kontusio serebri yaitu suatu keadaan yang disebabkan trauma kapitis yang menimbulkan
lesi perdarahan intersitiil nyata pada jaringan otak tanpa terganggunya kontinuitas jaringan
dan dapat mengakibatkan gangguan neurologis yang menetap. Jika lesi otak menyebabkan
terputusnya kontinuitas jaringan, maka ini disebut laserasio serebri. Patofisiologi dan
Gejala : Pasien tidak sadar > 20 menit.
Fase I = fase shock
Keadaan ini terjadi pada awal 2 x 24 jam disebabkan :
- kolaps vasomotorik dan kekacauan regulasi sentral vegetative
- temperatur tubuh menurun, kulit dingin, ekstremitas dan muka sianotik
- respirasi dangkal dan cepat
- nadi lambatsebentar kemudian berubah jadi cepat, lemah dan irregular
- tekanan darah menurun
- refleks tendon dan kulit menghilang
- babinsky refleks positif
- pupil dilatasi dan refleks cahaya lemah
Fase II = fase hiperaktif central vegetative
- temperatur tubuh meninggi
- pernafasan dalam dan cepat
- takikardi
- sekret bronkhial meningkat berlebihan
- tekanan darah menaik lagi dan bisa lebih dari normal
- refleks-refleks serebral muncul kembali
Fase III = cerebral oedema
Fase ini sama bahayanya dengan fase shock dan dapat mendatangkan kematian jika tidak
ditanggulangi secepatnya.
Fase IV = fase regenerasi/rekonvalesens
Temperatur tubuh kembali normal, gejala fokal serebral intensitas berkurang atau
menghilang kecuali lesinya luas.
Gejala lain :
Fokal neurologik :
- Hemiplegia, tetraplegia, decerebrate rigidity
- Babinsky reflex
- Afasia, hemianopsia, kortikal blindness
- Komplikasi saraf otak :
fraktur os criribroformis : gangguan N. I (olfaktorius)
fraktur os orbitae : gangguan N. III, IV dan VI
herniasi uncus, gangguan N. III
farktur os petrosum (hematotympani) : gangguan N. VII dan N. VIII
perdarahan tegmentum : batang otak ; opthalmoplegia total
fraktur basis kranii post : gangguan N. X, XI, XII
- Tanda rangsang meningeal : akibat iritasi daerah yang mengalir ke arachnoid
- Gangguan organik brain sindroma : delirium
Kontusio serebri pada anak-anak dibawah 6 tahun kadang-kadang gejalanya berbeda
dengan dewasa antara lain :
1. adanya fase latent, dimana anak tersebut tak menunjukkan kelainan kesadaran dan
tingkah laku. Fase latent ini dapat berlangsung dampai 16 jam.
2. sesudah fase latent, diikuti serangan akut gejala fokal serebral serta kehilangan
kesadaran dan kejang-kejang.
3. jika kondisi kontusionya tidak berat maka sesudah 4 hari sang anak pulih normal
bermain-main seakan tidak ada apa-apa lagi.
Hal ini disebabkan anak-anak tidak melalui fase I shock, tapi langsung ke fase II. Di duga
hal tersebut dikarenakan tulang kranium anak masih elastis sehingga berfungsi sebagai
shock absorber yang baik terhadap trauma.
Diagnostik bantu :
1. X foto tengkorak polos, Brain CT-Scan, MRI
2. 2. LP bercampur darah
3. 3. EEG abnormal
Epidural Hematom 1,7
Hematoma terjadi karena perdarahan antara tabula interna kranii dengan duramater.
Insiden terjadinya 1-3 %.
Hematoma ini disebabkan oleh :
1. pecahnya arteri dan atau vena meningea media
2. perdarahan sinus venosus : misalnya sinus sphenoparietalis, sinus sagitalis
posterior.
3. Perdarahn sinus ini bisa bersifat progresif.
Berhubung perdarahannya kebanyakan massif atau arteriil maka lucid interval cepat antara
beberapa menit, beberapa jam sampai 1-2 hari. Volume darah biasanya setelah mencapai
75 cc dan melepaskan duramater dari ikatannya pada periost baru tampak ada gejala nyata
penurunan kesadaran. Lucid interval adalah waktu sadar antara terjadinya trauma sampai
timbulnya penurunan kesadaran ulang.
Jadi biasanya epidural hematoma sering bersamaan dengan komosio serebri atau kontusio
serebri. Jika bersamaan dengan kontusio serebri berat, lusid interval tidak tampak karena
gejalanya berhubungan antara superposisi dengan kontusionya. Pada anak-anak jarang
terjadi epidural hematom sebab duramaternya masih melekat erat pada dinding periosteum
kranium. Pada dewasa perlekatan duramater paling lemah di daerah temporal. Tanda-tanda
yang paling dapat dipercaya suatu epidural hematom apabila ada gejala-gejala seperti
dibawah :
1. adanya lucid interval
2. kesadarn yang makin menurun
3. hemiparese yang terlambat kontralateral lesi
4. pupil anisokor. Unilateral midriasis terjadi karena lesi N. III pada sisi akibat
penekanan daripada herniasi uncus gyrus hipokampus lobus temporalis sehingga N.
III terjerat
5. babinsky unilateral kontralateral lesi (bisa juga bilateral)
6. fraktur kranii yang menyilang pada sisi (sering di temporal)
7. kejang
8. bradikardi
Jika epidural hematom terletak pada fossa kranii posterior gejalanya tidak sama dengan
yang di atas, tapi sebagai berikut :
1. lusid interval tidak jelas2. fraktur kranii daerah oksipital3. kehilangan kesadarannya terjadi cepat
4. terjadi gangguan pernafasan dan serebellum
5. pupil isokor biasanya disebabkan oleh karena sinus transversus atau confluence
sinuum pecah maka prognosanya jelek.
Diagnosa bantu
1. X foto tengkorak : ada fraktur yang menyilang2. Brain CT-Scan
3. Arteriografi karotis
4. EEG abnormal
5. LP tekana meninggi jernih
Subdural Hematom 1,7
Hematoma yang terbentuk karena adanya perdarahn di antara duramater dan arakhnoid.
Hygroma subdural yaitu subdural hematom yang diikuti perobekan arakhnoid dan darah
bergabung dengan likuor serebrospinal. Penyebabnya adalah robeknya bridging vein
(vena-vena yang menyebrang dari korteks ke sinus-sinus sagitalis superior) antara lain :
1. trauma kapitis
2. kaheksia
3. gangguan diskrasia darah
lokasi : sering di daerah frontal, parietal dan temporal.
Subdural hematom sering bersamaan dengan kontusio serebral. Lusid interval pada
subdural hematoma lebih lama daripada epidural hematom karena yang mengalami
perdarahan adalah pembuluh darah venous kecil akibatnya perdarahannya tidak masif
bahkan hematomanya itu sendiri bisa sebagai tampon bagi vena-vena yang robek dimana
perdarahan dapat berhenti sendir.
Klasifikasi:
a. Akut Subdural Hematoma (SDH) : lusid interval 0-5 hari
Akut SDH biasanya bersamaan dengan kontusio berat akibatnya lusid interval dan
gejala subdural tidak terdeteksi. Biasanya diketahui pada diagnosa postmortem atau
pada saat otopsi. Penderita akut SDH langsung jatuh koma, pupil anisokor dan
hemiplegia kontralateral. Prognosisnya fatal.
Diagnosis bantu :
- CT-Scan
- LP berdarah
- Arteriografi karotis
- EEG abnormal
b. Subakut Subdural Hematoma : lusid interval 5-15 hari
Gejala nyeri kepala, kesadaran makin lama makin menurun, pelan-pelan visus
makin kabur disebabkan papil oedema. Jarang bersamaan dengan kontusio serebri.
Kemudian timbul hemiplegia secara perlahan.
Diagnosa bantu : sama dengan akut SDH
Prognosis sangat baik jika operatif pada subdural yang besar cepat dilakukan 75 %
kembali sembuh sempurna.
c. Kronik Subdural Hematoma : lusid interval 15 hari sampai bertahun-tahun
Pecahnya bridging vein makin lama makin besar dan hematomanya sendiri
berfungsi sebagai tampon bagi vena-vena yang pecah akibatnya perdarahn berhenti,
hematoma kemudian membeku dan dinding hematoma membentuk jaringan ikat
kapsula sebagai pembatas di sekitar hematoma.
Gumpalan darah kemudian lisis dengan osmolaritas lebih tinggi dari cairan
intersitiil di sekitarnya yang bisa menarik cairan sekitarnya atas dasar beda
osmolaritas. Lama kelamaan cairan jumlahnya bertambah sehingga mengakibatkan
proses desak ruang dan tekanan intrakranial meninggi.
Gejala awal :1. sefalgia terus menerus intermiten, sebab tertariknya duramater dan kompresi
jaringan otak di daerah sekitar hematoma2. kesadaran makin lama makin menurun samapi koma3. terjadi perubahan mental dan fungsi intelelek4. papil oedem, pandangan makin kabur dan diplopia parese N. VI5. hemiparesis yang pelan-pelan6. pupil bisa anisokor7. tekanan LP meninggi 1,2,3,9
Intraserebral Hematoma 1,7
Perdarahan dalam jaringan otak karena pecahnya arteri yang besar di dalam jaringan otak,
sebagai akibat trauma kapitis berat, kontusio berat. Hematoma dapat hanya satu saja
ataupun multiple.
Jika hematoma tunggal dan letaknya di permukaan korteks, tindakan operatif dapat
dilakukan. Pada semua kasus intra kranial hematoma, bila hematomanya kecil, pengobatan
konservatif dapat dipertimbangkan tanpa memerlukan tindakan operatif.
Fraktur Basis Kranii
Fraktur basis kranii dapat dilakukan tanpa diikuti kehilangan kesadaran, kecuali memang
diserta adanya komosio ataupun kontusio serebri. Gejala tergantung letak frakturnya.
1. Fraktur basis kranii media biasanya fraktur terjadi pada os petrosum
- keluar darah dari telinga dan likuorrhoe
- parese N. VII dan VIII sering dijumpai
2. Fraktur basis kranii posterior
- unilateral/bilateral orbital hematom (Brill’s hematom)
- gangguan N. II jika fraktur melalui foramen optikum
- perdarahan melalui hidung dan likuorrhoe dan diikuti : Anosmia, anosmia
akibat trauma bisa persistent, jarang bisa sembuh sempurna.
3. Fraktur basis kranii posterior
- gejala lebih berat, kesadaran menurun
- tampak belakang telinga berwarna biru (Battle sign)
Diagnosa bantu : 50 % fraktur basis tidak dapat dilihat pada X foto polos basis.
3.5 Diagnosis
Laboratorium
1. Natrium
Perubahan dalam kadar natrium serum terjadi sekitar 50% dari pasien cedera kepala yang
koma. Hiponatremia mungkin terjadi karena sindrom inappropriate antidiuretik hormon
(SIADH) atau cerebral salt wasting. Kedua sindrom ini melibatkan tingkat natrium serum
menurun.
Kadar natrium meningkat pada cedera kepala menunjukkan dehidrasi ringan atau diabetes
insipidus.
2. Magnesium
Magnesium bisa turun pada fase akut cedera kepala ringan dan berat. Hal ini karena kation
ini menghambat respon eksitotoksik dan berfungsi sebagai antioksidan, pemantauan yang
cermat dari magnesium dapat memperbaiki outcome pasien.
Pemeriksaan Radiologis
1. X –Ray Tengkorak
Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari dasar tengkorak atau
rongga tengkorak. CT scan lebih dipilih bila dicurigai terjadi fraktur karena CT scan bisa
mengidentifikasi fraktur dan adanya kontusio atau perdarahan. X-Ray tengkorak dapat
digunakan bila CT scan tidak ada.6
Fraktur tengkorak pada trauma kapitis hanya 3-15 % saja dan kasus-kasus yang ada
fraktur tidak ada selalu ada kelainan intra kranial yang berarti. Namun demikian X foto
polos rutin dilakukan untuk setiap kasus trauma kapitis. Ini penting sebab :
a. Dari semua kematian akibat trauma kepala 80 % didapati fraktur tengkorak
b. Pembuatan X foto tengkorak diperlukan untuk kepentingan medikolegal
c. Tindakan atau pengawasan klinik ditentukan dengan melihat jenis dan lokasi fraktur
Jenis foto :
1. Foto antero-posterior2. Foto lateral
3. Foto Towne : foto ini dibuat seperti foto AP tetapi dengan tabung rontgen
diarahkan 30 derajat kraniokaudal. Foto ini penting untuk melihat fraktur di daerah
oksipital yang sulit di lihat dengan foto AP
4. Foto Waters : dibuat bila curiga ada fraktur tulang muka
5. Foto basis kranii : dibuat bila curiga ada fraktur basis
6. Foto tangensial : dibuat bila ada fraktur impresi, untuk melihat kedudukan pas
fragmen tulang yang melesak masuk
Jenis-jenis fraktur tengkorak :
1. Fraktur linier : garis fraktur terlihat lebih radiolusen dibandingkan dengan
gambaran pembuluh darah dan sutura, dan biasanya melebar pada bagian tengah
dan menyempit pada ujung-ujungnya. Perhatikan juga lokasi pembuluh darah dan
sutura mempunyai lokasi anatomis tertentu.
2. Fraktur impressi : jika impressi melebihi 1 cm dapat merobek duramater dan atau
jaringan otak dibawahnya. Fraktur impressi terlihat sebagai garis atau daerah yang
radiopaque dari tulang sekitarnya disebabkan bertumpuknya tulang.
3. Fraktur diastasis sutura : tampak sebagai pelebaran sutura (dalam keadaan normal
sutura tidak melebihi 2 mm)
2. CT-Scan Otak
Tidak semua penderita trauma kepala dilakukan CT-Scan otak, penguasaan klinis
mengenai trauma kapitis yang kuat dapat secara seleksi menentukan kapan penderita
secara tepat dilakukan CT-Scan. Dari CT-Scan dapat dilihat kelainan-kelainan berupa :
oedema serebri, kontusio jaringan otak, hemaroma intraserebral, epidural, subdural,
fraktur dan lain-lain.1
3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam menilai prognosa. MRI
mampu menunjukkan lesi di substantia alba dan batang otak yang sering luput pada
pemeriksaan CT Scan. Ditemukan bahwa penderita dengan lesi yang luas pada hemisfer, atau
terdapat lesi batang otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai prognosa yang buruk untuk
pemulihan kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT Scan awal normal dan tekanan
intrakranial terkontrol baik.6
Pemeriksaan Proton Magnetic Resonance Spectroscopy (MRS) menambah dimensi baru
pada MRI dan telah terbukti merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi Cedera
Akson Difus (CAD). Mayoritas penderita dengan cedera kepala ringan sebagaimana halnya
dengan penderita cedera kepala yang lebih berat, pada pemeriksaan MRS ditemukan
adanya CAD di korpus kalosum dan substantia alba. Kepentingan yang nyata dari MRS di
dalam menjajaki prognosa cedera kepala berat masih harus ditentukan, tetapi hasilnya
sampai saat ini dapat menolong menjelaskan berlangsungnya defisit neurologik dan
gangguan kognitif pada penderita cedera kepala ringan.6
3.6 Penatalaksanaan
Prioritas Penanggulangan Cidera Kepala 1
a. Perbaiki kardiovaskular (atasi shock)b. Perbaiki keseimbangan respirasi, ventilasi atau jalan nafas yang baik
c. Evaluasi tingkat kesadaran
d. Amati jejas di kepala, apakah ada impressi fraktur, tanda-tanda fraktur basis kranii,
likuorhoe, hati-hati terhadap adanya fraktur servikalis (stabilisasi leher)
e. Amati jejas di bagian tubuh lainnya
f. Pemeriksaan neurologik lengkap dan X fot kepala, leher, CT-Scan
g. Perhatikan pupil
h. Atasi oedema serebri
i. Perbaiki keseimbangan cairan, elektrolit dan kalori
j. Monitor tekanan intra cranial
k. Pengobatan simptomatis atau konservatif
l. Jika ada pemburukan kesadaran disertai perdarahan intra kranial yang lebih dari 75 cc,
perlukaan tembus kranioserebral terbuka, impressi fraktur lebih dari 1 cm secepatnya
dilakukan tindakan operatif
Penatalaksaan Edema Serebri 1
1. Hipertonic Solution Therapy
Pengobatan cairan hipertonis bertujuan untuk mengurangi oedema serebri dengan cara
perbedaan osmolaritas cairan jaringan otak dengan plasma.
Contoh cairan hipertonik :
a. Manitol
b. Glyserol
Pemberian cairan hipertonis yang berlebihan dapat menimbulkan bahaya berupa :
- Dehidrasi berat
- Pengeluaran Na+ dan Cl- mengakibatkan neuron rusak
- Timbul rebound phenomen sehingga tekanan intrakranial meninggi
- Hati-hati pada perdarahan intrakranial sebab :
dengan mengeriputnya jaringan otak akibat cairan hipertonis itu, maka
darah akan menempati daerah yang kosong dan dengan demikian akan
mengaburkan gejala perdarahan yang sebenarnya
cairan hipertonis bisa mempercepat proses perdarahan itu sendiri
cairan hipertonis bisa mencetuskan proses perdarahan baru
Kontraindikasi :
- Renal Failure
- Hepatic Failure
- Congestive Heart Failure
Manitol
Mempunyai efek :
- meninggikan cerebral blood flow
- meninggikan eksresi Na+ urine
- menurunkan tekanan likuor serebro spinal
- diuresis secara ekstrem
Jika berlebihan dapat menyebabkan :
- dehidrasi berat
- hipotensi
- takikardi
- hemokonsentrasi
- overshoot obat masuk intraseluler padahal kadang di plasma sudah menurun maka
bisa terjadi rebound phenomen
Dosis
Manitol 20 % dengan dosis 0,25-1 gr/KgBB diberikan cepat dalam 30-60 menit. Efek
samping jika diberikan dalam dosis besar : sering nyeri kepala, chest pain. Jarang : kejang,
renal failure
Gliserol
mempunyai efek:
- meninggikan osmolaritas plasma yang lebih berperanan untuk menarik cairan di
otak dibandingkan dengan efek diuresisnya
- dimetabolisir oleh tubuh sebagai bahan substrat energy
- tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap kadar gula darah dan keton bodies
darah
- tidak mempunyai efek rebound phenomen
Dosis
- per oral : 0,5-1 gr/Kg diberikan setiap 4 jam dalam larutan 50 % gliserol untuk
mempertahankan kadar dalam darah. Dalam 30 menit sesudah pemberian akan
terlihat efek penurunan tekanan intra cranial
- per infus : 1 gr/Kg BB/hari dalam 10 % gliserol diberikan jangan melebihi 5
cc/menit. Efeknya akan kelihatan setelah 1 jam sesudah pemberian dan akan
menetap bertahan selama 12 jam. Jika infus diberikan dengan dosis melebihi 2,5
cc/menit maka akan terjadi efek diuresis.
Jika gliserol diberikan dalam dosis besar akan mempunyai komplikasi :
- hemolisis intravaskuler
- hemoglobinuria
- gastric iritasi
- nonketotic hiperosmolar hiperglikemia
2. Kortikosteroid
Sifat dan kegunaannya memperbaiki membran sel yang rusak dengan cara :
- membentuk ikatan dengan fatty acid atau phospolipid membrane
- melindungi sel otak dari anoksia
- memperbaiki sistem sodium pump
- memperbaiki capillary tissue junction dan intercelluler junction sehingga permeabilitas
membran sel menjadi normal kembali dan akibatnya BBB pun membaik dan edema
sel-sel otak berkurang
Dosis
- dexamethason : initial 10 mg IV kemudian diikuti dengan pengurangan 4 mg/4
jam/hari dan pengurangan dosis secara tappering off. (diberikan dalam waktu singkat
7-10 hari)
- methyl prednisolon sodium succinat : initial 60 mg kemudian diikuti 20 mg/6 jam
kemudian taffering off, hati-hati pada perdarahan lambung.
Akhir-akhir ini penggunaan kortikosteroid pada oedema serebri mulai dipertanyakan.
Banyak kontroversi diperdebatkan dalam penggunaannya pada kasus trauma kapitis.
3. Barbiturat
Berguna untuk melindungi otak dari kerusakan lebih parah dengan cara :
- menurunkan metabolisme otak
- menstabilkan membran sel
- menurunkan aktivitas lysozim
- menurunkan tekanan intra cranial
- menurunkan pembentukan oedema otak
- melindungi sel otak terhadap ischemia
Dosis
Tiopental atau pentotal : 3-5 mg/KgBB/hari yang bisa dinaikkan sampai 30-50 mg/KgBB
kemudian di monitor terus kadarnya dalam plasma untuk mencapai kadar optimal 2-2,5 mg
%. Pemberian barbiturat terapi adalah pilihan terakhir sesudah gagal dalam penggunaan
hiperventilasi artifisiil, cairan hiperosmolar dan deksametason.
4. Hipothermi
30 derajat celcius bertujuan mengurangi metabolisme otak dan mengurangi tekanan darah.
Penyulit yang timbul adalah timbulnya aritmia cordia dan asidosis biasanya ini dilakukan
hanya dalam 5 hari saja.
5. Hiperventilasi Artifisial
Memakai alat bantu ventilator melakukan induksi hipokapnia dimana PaCO2 arteri
diturunkan dan dipertahankan pada 26-28 mmHg (3,5-3,7 kPa) sehingga cerebral blood
flow berkurang dan akibatnya akan menurunkan tekanan intra kranial.
3.7 komplikasi
a. Kerusakan nervus kranialis
1. anosmia
Kerusakan nervus olfactorius menyebabkan gangguan sensasi pembauan yang jika total
disebut dengan anosmia dan bila parsial disebut hiposmia. Tidak ada pengobatan
khusus bagi penderita anosmia.7
2. Gangguan penglihatan
Gangguan pada nervus opticus timbul segera setelah mengalami
cedera (trauma). Biasanya disertai hematoma di sekitar mata,
proptosis akibat adanya perdarahan, dan edema di dalam orbita.
Gejala klinik berupa penurunan visus, skotoma, dilatasi pupil dengan
reaksi cahaya negative, atau hemianopia bitemporal. Dalam waktu 3-
6 minggu setelah cedera yang mengakibatkan kebutaan, tarjadi
atrofi papil yang difus, menunjukkan bahwa kebutaan pada mata
tersebut bersifat irreversible.7
3. Oftalmoplegia
Oftalmoplegi adalah kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata,
umumnya disertai proptosis dan pupil yang midriatik. Tidak ada
pengobatan khusus untuk oftalmoplegi, tetapi bisa diusahakan
dengan latihan ortoptik dini.7
4. Paresis fasialis
Umumnya gejala klinik muncul saat cedera berupa gangguan
pengecapan pada lidah, hilangnya kerutan dahi, kesulitan menutup
mata, mulut moncong, semuanya pada sisi yang mengalami
kerusakan.7
5. Gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran sensori-neural yang berat biasanya disertai
vertigo dan nistagmus karena ada hubungan yang erat antara
koklea, vestibula dan saraf. Dengan demikian adanya cedera yang
berat pada salah satu organ tersebut umumnya juga menimbulkan
kerusakan pada organ lain.7
b. disfasia
Secara ringkas , disfasia dapat diartikan sebagai kesulitan
untukmemahami atau memproduksi bahasa disebabkan oleh
penyakit system saraf pusat. Penderita disfasia membutuhkan
perawatan yang lebih lama, rehabilitasinya juga lebih sulit karena
masalah komunikasi. Tidak ada pengobatan yang spesifik untuk
disfasia kecuali speech therapy.7
c. Hemiparese
Hemiparesis atau kelumpuhan anggota gerak satu sisi (kiri atau
kanan) merupakan manifestasi klinik dari kerusakan jaras pyramidal
di korteks, subkorteks, atau di batang otak. Penyebabnya berkaitan
dengan cedera kepala adalah perdarahan otak, empiema subdural,
dan herniasi transtentorial7,8
d. Sindroma pascatrauma kepala
Sindrom pascatrauma kepala (postconcussional syndrome)
merupakan kumpulan gejala yang kompleks yang sering dijumpai
pada penderita cedera kepala. Gejala klinisnya meliputi nyeri kepala,
vertigo gugup, mudah tersinggung, gangguan konsentrasi,
penurunan daya ingat, mudah terasa lelah, sulit tidur, dan gangguan
fungsi seksual.7
e. Sindroma karotiko-kavernosus
Fistula karotiko-kavernosus adalah hubungan tidak normal antara
arteri karotis interna dengan sinus kavernosus, umumnya disebabkan
oleh cedera pada dasar tengkorak. Gejala klinik berupa bising
pembuluh darah (bruit) yang dapat didengar penderita atau
pemeriksa dengan menggunakan stetoskop, proptosis disertai
hyperemia dan pembengkakan konjungtiva, diplopia dan penurunan
visus, nyeri kepala dan nyeri pada orbita, dan kelumpuhan otot-otot
penggerak bola mata.7
f. Epilepsy
Epilepsi pascatrauma kepala adalah epilepsi yang muncul dalam
minggu pertama pascatrauma (early posttrauma epilepsy) dan
epilepsy yang muncul lebih dari satu minggu pascatrauma (late
posttraumatic epilepsy) yang pada umumnya muncul dalam tahun
pertama meskipun ada beberapa kasus yang mengalami epilepsi
setelah 4 tahun kemudian.7,8
3.8 Prognosis
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh MRC CRASH Trial Collaborators (2008), Umur
yang tua, Glasgow Coma Scale yang rendah, pupil tidak reaktif, dan terdapatnya cedera
ekstrakranial mayor merupakan prediksi buruknya prognosis. Skor Glasgow Coma Scale
menunjukkan suatu hubungan linier yang jelas terhadap mortalitas pasien
.
BAB 4
DISKUSI KASUS
Pada kasus ini, pasien didiagnosa mengalami trauma kapitis berat. Hal ini ditegakkan pada
pasien ini dari hasil anamnesa dan pemeriksaan fisik dimana ditemukan:
1. Riwayat kecelakaan lalu lintas
2. Penurunan kesadaran selama lebih dari 7 hari
3. GCS waktu masuk rumat sakit 6
TEORI KASUS
KLASIFIKASI DAN DIAGNOSIS
Menurut teori, berdasarkan klasifikasi keparahannya dibagi menjadi trauma kapitis ringan, sedang dan berat
Pada pasien ini digolongkan menderita trauma kapitis berat karena penurunan kesadaran > 7 hari dan GCS waktu masuk rumah sakit 6
PEMERIKSAAN PENUNJANGPemeriksaan penunjang, yang diperlukan adalah pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan X-ray kepala, Computed Tomography-Scan(CT Scan) dan MRI.
Pada kasus, telah dilakukan pemeriksaandarah rutin dan beberapa pemeriksaan darah lainnya yang dibutuhkan dan dijumpai adanya peningkatan jumlah leukosit. Dari hasil CT-Scan yang dilakukan pada pasien ini dijumpai adanya infark di bangsal ganglia.
PENATALAKSANAAN
penatalaksanaan pada pasien trauma kapitis Dalam kasus ini pasien system kardiovaskuler
pada prinsipnya adalah perbaiki
kardiovaskular, perbaiki keseimbangan
respirasi, ventilasi atau jalan nafas yang baik,
Evaluasi tingkat kesadaran, amati jejas di
kepala, apakah ada impressi fraktur, tanda-
tanda fraktur basis kranii, likuorhoe, hati-hati
terhadap adanya fraktur servikalis (stabilisasi
leher), amati jejas di bagian tubuh lainnya,
Perhatikan pupil, atasi oedema serebri, perbaiki
keseimbangan cairan, elektrolit dan kalori,
monitor tekanan intra cranial, pengobatan
simptomatis atau konservatif, Jika ada
pemburukan kesadaran disertai perdarahan
intra kranial yang lebih dari 75 cc, perlukaan
tembus kranioserebral terbuka, impressi fraktur
lebih dari 1 cm secepatnya dilakukan tindakan
operatif.
dan respirasi stabil, untuk terapi lainnya pasien ini diberikan IVFD R Sol 20 tetes per menit, injeksi citicholin 1 ampul per 12 jam, injeksi ceftriaxone 1ampul per 12 jam, vitamin B komplek 3x1 tablet.
BAB 5
KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan neurologi serta pemeriksaan
penunjang, os didiagnosa dengan kapitis berat dan diberikan terapi O2 2-5 liter per menit,
IVFD R Sol 20 tetes per menit, injeksi ceftriaxone 1 ampul per 12 jam, injeksi citicholin 1
ampul per 12 jam dan vitamin B komplek 3 kali 1 tablet.
Saat ini os masih di rawat di ruang rawat inap neuraologi dan kondisi os sudah
mulai membaik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjahrir, Hasan. Ilmu Penyakit Syaraf Neurologi Khusus. 1994; 1-28
2. Japardi, Iskandar. Penatalaksanaan Cidera Kepala Secara operatif. USU Digital
Library. 2004: 1-4
3. Rambe AS, Zuraini. Profil Penderita Trauma Kapitis Pada Bangsal Neurologi RSUP H.
Neurona. Majalah Kedokteran Nusantara. 2008: 235-238
4. Mesiano, Taufik, Soertidewi, Lina, Jannis, Jofizal, Rasyid, Al. Perdarahan
Subarachnoid Traumatik. Neurona. 2008: 25; 33-39
5. Holson, DA. Head Injury. 2012. Diambil dari :
http://emedicine.medscape.com/article/1159385-overview [Diakses tanggal 20 juni
2012].
6. Anindra. Trauma kapitis. 2011. Diambil dari: http://www.google.co.id/url?
sa=t&rct=j&q=trauma+kapitis&source=web&cd=2&ved=0CFIQFjAB&url=http%3A
%2F%2Frepository.usu.ac.id%2Fbitstream
%2F123456789%2F21501%2F4%2FChapter
%2520II.pdf&ei=m8ToT8z1K47prQeO9sX6CA&usg=AFQjCNFj-
H1EDoua0jxfwXrW1GYoglgOGQ&cad=rja. [Diakses tanggal 20 juni 2012].
7. Ilyas, KK. Karakteristik Penderita Cidera Kepala Akibat Kecelakaan Lalu Lintas yang
dirawat inap di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan. 2010.
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=trauma+kapitis
%2C+tinjauan+pustaka&source=web&cd=1&ved=0CEsQFjAA&url=http%3A%2F
%2Frepository.usu.ac.id%2Fbitstream%2F123456789%2F21501%2F4%2FChapter
%2520II.pdf&ei=rMXoT7ieMomJrAe73P30CA&usg=AFQjCNFj-
H1EDoua0jxfwXrW1GYoglgOGQ&cad=rja. [Diakses tanggal 20 juni 2012].
8. Pangilinan, PH. Clasification and Complication Traumatic Brain Injury. 2012. Diambil
dari: http://emedicine.medscape.com/article/794789-overview#showall [Diakses
tanggal 20 Juni 2012]
9. MRC CRASH Trial Collaborators. Predicting Outcome After Traumatic Brain Injury:
Practical Prognostic Models Based on Large Cohort of International Patients. BMJ.
2008: 336;425.