Dampak Pandemi Covid-19: Perspektif Adaptasi dan Resiliensi Sosial Ekonomi Pertanian 657
TRANSFORMASI MANAJEMEN
PEMBANGUNAN PERTANIAN MASA DAN
PASCAPANDEMI COVID-19
Sumedi1, Rangga D. Yofa1, Sheila Savitri1
Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian
Jln. Tentara Pelajar No. 3B, Bogor 16111
Korespondensi penulis:[email protected]
PENDAHULUAN
Dampak pandemi coronavirus disease 2019 (Covid-19) yang semakin
meluas dan tidak tahu sampai kapan berakhirnya telah mendorong
perubahan mendasar terhadap tata kehidupan manusia. Pembatasan
pergerakan manusia dan barang berdampak luas terhadap semua
sektor ekonomi. Sebagai upaya pencegahan penyebaran Covid-19 lebih
luas, pemerintah memberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial
Berskala Besar (PSBB), sebagaimana tertuang dalam Peraturan
Pemerintah No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala
Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019
(Covid-19). Kebijakan tersebut telah membawa perubahan secara
signifikan dalam kehidupan masyarakat yang mendorong transformasi
berbagai aktivitas bekerja dan tatanan sosial. Hal ini berdampak pula
pada perubahan perilaku konsumsi dan sistem rantai nilai produk,
yang secara umum mendorong pemanfaatan teknologi interaksi jarak
jauh. Di sisi lain, kondisi ini memberikan kesempatan munculnya
inovasi pada bidang distribusi, perdagangan, dan sistem pembayaran
berbasis daring/online. Perkembangan lebih lanjut dari proses
perubahan ini perlu diikuti dengan dukungan infrastruktur dan
kebijakan yang tepat untuk menjamin kelancaran dan keamanan
produk dan transaksi.
Dampak pandemi terhadap sektor pertanian Indonesia relatif kecil,
karena sektor pertanian masih dapat berproduksi, meskipun pada
1 Kontributor utama
658 Transformasi Manajemen Pembangunan Pertanian Masa dan Pascapandemi Covid-19
komoditas tertentu yang mudah rusak (seperti sayuran dan ternak
unggas) dampaknya cukup besar, terutama terhadap harga dan
pemasaran. Data yang dirilis Badan Pusat Statistik menunjukkan
bahwa pertumbuhan sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan pada
triwulan kedua 2020 masih tumbuh positif 2,19% (year on year) pada
saat sektor lainnya mengalami kontraksi dan pertumbuhan ekonomi
nasional -5,32% (BPS 2020). Dinamika harga pangan juga relatif stabil.
Pada bulan September bahkan terjadi deflasi -0,05% yang didorong
oleh deflasi yang terjadi pada komoditas pangan sebesar -0,37% (BPS
2020). Hal ini mengindikasikan ketersediaan pangan yang cukup,
meskipun ada faktor penurunan permintaan akibat turunnya
pendapatan dan daya beli masyarakat. Ini sejalan dengan fonomena
global, pasar produk pertanian masih stabil. Produksi dan harga relatif
stabil dibandingkan dengan kondisi Januari 2020. Risiko utama
terhadap ketahanan pangan adalah bahwa Covid-19 berdampak
terhadap rantai distribusi di dalam negeri, penurunan pendapatan, dan
produksi di banyak negara (World Bank 2020a). Pada awal terjadi
pandemi sempat terjadi pengurangan atau bahkan penghentian
perdagangan dunia untuk beberapa komoditas akibat kebijakan
lockdown di beberapa negara dan kebijakan pembatasan ekspor untuk
menjamin pasokan dalam negeri serta fenomena panic buying.
Meskipun sampai saat ini sektor pertanian merupakan sektor yang
paling tangguh menghadapi pandemi, namun bukan berarti tidak
terdampak. Pada masa depan, perlu strategi dan kebijakan yang tepat
untuk menjamin proses produksi dan distibusi produk pertanian
dapat berjalan. Perubahan pola konsumsi, perilaku belanja,
pembayaran dan distribusi produk memberikan kesempatan
berkembangnya bentuk transaksi dan perdagangan baru, yang juga
berdampak pada semua subsistem agribisnis. Pemerintah juga
dituntut inovatif dalam mengambil kebijakan fasilitasi dan regulasi
untuk menumbuhkembangkan sekaligus memberi perlindungan
kepada pelaku agribisnis dalam model perdagangan dan transaksi ke
arah daring berbasis teknologi informasi. Bentuk dan pengelolaan
program pembangunan pertanian juga dituntut untuk mampu
mengikuti dinamika perubahan perilaku dan kebutuhan masyarakat.
Dampak Pandemi Covid-19: Perspektif Adaptasi dan Resiliensi Sosial Ekonomi Pertanian 659
Banyak analisis telah dilakukan pada pengaruh pandemi dan
respons kebijakan pembatasan sosial terhadap sektor pertanian, mulai
dari produksi, pengolahan, transportasi dan distribusi maupun logistik
pangan, sampai pada konsumsi (Petetin 2020; Cardwell dan Ghazalian
2020; Gray 2020). Dalam setiap rekomendasi dari kajian maupun
analisis tersebut disarankan pentingnya peran pemerintah dalam
menjamin ketersediaan pangan, kelancaran distribusi, stabilitasi harga,
serta menjaga daya beli petani (Petetin 2020; Cardwell 2020). Bank
Dunia maupun FAO mengeluarkan peringatan pentingnya menjamin
sektor pertanian tetap berjalan dengan aman untuk menjamin
kecukupan pangan (FAO 2020). Pemanfaatan teknologi termasuk
artificial intelligence untuk mendorong transformasi sistem pangan dan
pertanian dalam memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat,
serta menjaga kelestarian sumber daya pertanian di tengah tantangan
perubahan iklim dan tekanan termasuk pandemi Covid-19. Pemerintah
Indonesia juga terus berupaya mewujudkan tujuan pembangunan
pertanian, yaitu meningkatkan ketahanan pangan, nilai tambah dan
daya saing komoditas pertanian, dan meningkatkan kualitas sumber
daya manusia dan sarana pertanian.
Esensi tujuan pembangunan pertanian sebenarnya tetap sama,
meskipun rumusan narasinya berbeda antarperiode pemerintahan.
Bila dicermati, pengelolaan pembangunan pertanian juga tidak
banyak berubah sejak Orde Baru. Kebijakan pembangunan pertanian
masih lebih dominan ditentukan oleh pemerintah pusat, meskipun
sejak 2001, telah dilaksanakan otonomi daerah sehingga pemerintah
daerah memiliki kewenangan yang lebih besar dalam penentuan
prioritas pembangunannya. Belajar dari berbagai program
pembangunan pertanian yang dilaksanakan, faktor keterlibatan dan
“kepemilikan” pemerintah daerah sangat menentukan keberhasilan
dan keberlanjutan program (Winoto dan Siregar 2008). Pandemi
Covid-19 dan dampaknya diharapkan menjadi pendorong respons
perubahan manajemen pembangunan pertanian yang lebih cepat dan
adaptif dalam menghindari dampak negatif atau bahkan mampu
memanfaatkan peluang pengembangan yang tercipta.
660 Transformasi Manajemen Pembangunan Pertanian Masa dan Pascapandemi Covid-19
Tulisan ini mencoba menawarkan pemikiran manajemen
pembangunan pertanian dengan mengoptimalkan dan memfungsikan
peran pemerintah pusat dan daerah agar lebih proporsional, sesuai
dengan semangat otonomi dan desentralisasi pembangunan pertanian
untuk mewujudkan pengelolaan pembangunan yang lebih efektif dan
mampu mengoptimalkan potensi masing-masing daerah. Secara rinci
tulisan ini membahas dampak Covid-19 terhadap sistem usaha
agribisnis, tantangan pembangunan pertanian pada masa Covid-19,
dan transformasi manajemen pembangunan pertanian saat ini dan ke
depan dalam perspektif kebijakan pengembangan agribisnis selama
dan pascapandemi Covid-19.
METODE
Tulisan ini merupakan hasil dari berbagai telaahan literatur dari
berbagai studi sebelumnya, serta dilengkapi dengan data dan
informasi berupa tinjauan konsepsi maupun hasil empiris. Data dan
informasi tersebut kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif dan
disintesis. Kerangka analisis dalam pembahasan ini memfokuskan
pada peran pemerintah dalam pembangunan pertanian. Kerangka
logis yang dibangun adalah bahwa secara konstitusi sudah sejak lama
mengamanatkan desentralisasi pembangunan pertanian sebagai
konsekuensi otonomi daerah, meskipun pada implementasinya
masih dominan pemerintah pusat (Kementerian Pertanian) dalam
penetapan program dan pembiayaan pembangunan. Pendekatan
tersebut tidak banyak berbeda dengan manajemen sentralisasi.
Selama lebih 20 tahun pelaksanaan otonomi daerah, koordinasi pusat
dan daerah dalam pembangunan pertanian, termasuk pembagian
kewenangan dan tanggung jawab, belum berjalan optimal.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Manajemen Pembangunan Pertanian dan Pandemi Covid-19
Respons kebijakan pengendalian penyebaran Covid-19 dengan
pembatasan sosial dan aktivitas ekonomi membawa konsekuensi yang
Dampak Pandemi Covid-19: Perspektif Adaptasi dan Resiliensi Sosial Ekonomi Pertanian 661
luas terhadap semua sektor. Menurunnya aktivitas ekonomi, termasuk
distribusi barang, menyebabkan penurunan pendapatan dan
kesempatan kerja pada sektor-sektor ekonomi yang terdampak. Hal ini
menyebabkan penurunan daya beli dan peningkatan pengangguran
(Wibowo 2020; Rudiyanto 2020). Untuk itu, pemerintah melaksanakan
berbagai program untuk mengatasi dampak ekonomi dari pembatasan
akitivitas sosial dan ekonomi tersebut, baik yang bersifat transfer
pendapatan maupun insentif produktif terkait keringanan pajak,
bantuan modal kerja, dan sebagainya. Selain program nasional,
kementerian teknis juga melakukan penyesuaian program yang
bertujuan mendorong kinerja sektor yang menjadi tanggung jawabnya.
Kementerian Pertanian melakuan refocusing anggaran
kementerian yang lebih diarahkan untuk mendorong dan membantu
kegiatan usaha pertanian. Alokasi anggaran Kementerian Pertanian
sebagian dialihkan untuk menambah program yang bersinggungan
langsung dengan masyarakat, seperti bantuan alat dan mesin
pertanian, bantuan benih atau bibit, pengembangan rumah pangan
lestari, dan sarana pertanian seperti irigasi. Program ini sebagian
besar merupakan program regular namun volume dan cakupannya
diperluas. Program spesifik yang dirancang untuk penanganan
dampak Covid-19 adalah program padat karya pertanian dan
program fasilitasi distribusi dan pemasaran produk pertanian.
Di sisi lain, anggaran dalam APBD (termasuk APBD untuk
pertanian) mengalami refocusing agar anggaran lebih banyak
dialokasikan pada aspek kesehatan dan ketersediaan pangan
masyarakat, sehingga alokasi untuk pembangunan pertanian
berkurang signifikan sesuai dengan Permenkeu No. 35/2020. Terkait
dengan program pembangunan pertanian, pelaksana di lapangan
pada akhirnya adalah pemerintah kabupaten/kota yang merupakan
pemerintahan terdekat yang memiliki kewenangan otonomi. Namun,
penentu program dan anggarannya sebagian besar dipegang oleh
pemerintah pusat (Kementan).
Sesuai dengan ketentuan pembagian kewenangan pusat dan daerah
dalam rangka otonomi daerah, urusan pertanian merupakan urusan
konkuren, urusan pilihan, tugas dan tanggung jawab antara
662 Transformasi Manajemen Pembangunan Pertanian Masa dan Pascapandemi Covid-19
pemerintah pusat dan daerah diatur sesuai dengan UU No. 23 tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah. Pembagian tugas dan kewenangan
ini tentunya untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan
program. Pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk
pengembangkan pertanian sesuai dengan potensi wilayahnya agar
tercapai peningkatan kesejahteraan petani. Kehendak konstitusi ini
belum terlihat nyata implementasinya dalam pembangunan pertanian.
Hal ini nampak dari masih dominannya pemerintah pusat dalam
mengendalikan program pembangunan pertaniannya, mulai dari
penetapan program, anggaran, maupun implementasinya.
Proporsionalitas kewenangan pemerintah pusat dan daerah tidak
terlihat. Pada kasus respons kebijakan pembangunan pertanian
terhadap pandemi Covid-19, misalnya, pemerintah daerah sangat
sedikit mengambil peran/inisiatif dalam program pembangunan
pertanian. Padahal, semua orang sepakat bahwa keberlangsungan
sektor pertanian sangat penting untuk menjaga ketersediaan pangan
di tengah kondisi negara-negara eksportir pangan menerapkan
pembatasan ekspor dan mengedepankan kepentingan dalam
negerinya. Di sisi lain, dampak pandemi terhadap sektor pertanian
sangat beragam antardaerah sehingga respons kebijakan yang tepat
mestinya tidak sama, tergantung dampak yang dihadapinya.
Penulis berpendapat bahwa sudah waktunya pemerintah pusat
(Kementan) memberikan kepercayaan dan kewenangan yang lebih
besar kepada pemerintah daerah untuk merencanakan dan
melaksanakan program pembangunan pertanian wilayahnya sesuai
dengan potensi unggulan masing-masing. Pemerintah pusat perlu
memberikan arah dan kebijakan yang berisifat umum, sementara
terkait program spesifik, alsintan, bantuan benih, pupuk, lebih besar
diberikan ke daerah. Momentum pandemi ini dapat mendorong
perubahan paradigma pengelolaan pembangunan pertanian dari
yang masih cenderung sentralistik (meskipun dalam bingkai
desentralisasi) menjadi desentralistik yang sebenarnya sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan. Secara garis besar, kerangka
konsepsi ini disajikan pada Gambar 1.
Dampak Pandemi Covid-19: Perspektif Adaptasi dan Resiliensi Sosial Ekonomi Pertanian 663
Gambar 1. Kerangka pemikiran manajemen pembangunan pertanian
Dampak Covid-19 terhadap Sistem Usaha Agribisnis
Daya sebar virus Covid-19 yang masif dan cepat membutuhkan
respons penanggulangan yang tepat. Salah satu upaya yang dilakukan
pemerintah di banyak negara adalah dengan melakukan pembatasan
sosial berskala besar. Melalui upaya tersebut, diharapkan penyebaran
virus Covid-19 dapat dikendalikan, namun di sisi lain upaya ini juga
menimbulkan dampak negatif bagi perekonomian global. Beberapa
lembaga internasional memproyeksikan bahwa ekonomi global akan
mengalami kontraksi sebesar minus 4,9% (IMF 2020), -5,2% (World
Bank 2020b), dan bahkan -6% (OECD 2020a). Dampak lain dari respons
penanggulangan Covid-19 adalah terjadinya perubahan (sebagai
bentuk adaptasi) pada berbagai sektor kehidupan.
Dampak terhadap Pasar Input Utama Pertanian
Di sektor pertanian, pembatasan sosial berskala besar berdampak
luas terhadap sistem usaha agribisnis. Pada subsistem agribisnis hulu,
produksi pertanian menghadapi kendala dalam penyediaan beberapa
input. Input produksi yang mengalami gangguan paling besar adalah
ketersediaan tenaga kerja. Hasil kajian ILO (2020) menjelaskan bahwa
sektor pertanian Eropa mengalami kekurangan tenaga kerja cukup
664 Transformasi Manajemen Pembangunan Pertanian Masa dan Pascapandemi Covid-19
dramatis akibat ditutupnya perbatasan yang menyebabkan ratusan
ribu pekerja musiman tidak dapat pergi ke lahan pertanian. Analog
dengan kondisi tersebut, hasil kajian OECD (2020b) menjelaskan
bahwa pembatasan pergerakan manusia mengurangi ketersediaan
tenaga kerja musiman untuk aktivitas tanam dan panen terutama
pada subsektor hortikultura di banyak negara.
Kondisi berbeda terjadi di Indonesia. Yusuf et al. (2020) meyakini
bahwa sektor pertanian menjadi social safety net alamiah dengan
menyerap tenaga kerja lebih banyak pada saat pandemi. Secara garis
besar, beberapa hal yang perlu mendapatkan kewaspadaan adalah (1)
faktor kesehatan pelaku usaha pertanian (petani, pedagang, dan pelaku
usaha pertanian) dan tenaga kerjanya; (2) ketersediaan sarana produksi
(produksi dan distribusinya); (3) proses produksi/usaha tani; (4)
distribusi produk pertanian; (5) konsumsi pangan (harga dan daya
beli). Di beberapa sentra produksi muncul beberapa petani baru yang
semula bekerja di kota. Petani-petani baru ini umumnya mengalami
kesulitan melanjutkan aktivitas ekonominya di kota dan memutuskan
kembali ke desa untuk berusaha tani sesaat menjelang diputuskan
kebijakan pembatasan sosial berskala besar. Kasus seperti ini diduga
juga terjadi di daerah-daerah lainnya, namun seberapa besar angkanya
belum diketahui dengan pasti mengingat pada saat tulisan ini diterbit-
kan BPS belum merilis statistik tenaga kerja periode Agustus 2020.
Input produksi lain yang diprediksi juga mengalami gangguan
akibat pembatasan perjalanan adalah ketersediaan benih dan obat
tanaman (pestisida/herbisida). Hasil kajian OECD (2020c)
menyatakan bahwa sebagian besar benih yang dibutuhkan untuk
bulan Maret, April, dan Mei telah tiba di negara tujuan sebelum
pembatasan perjalanan diberlakukan. Namun, diduga benih untuk
musim tanam berikutnya tidak dapat tiba tepat waktu. Sementara itu,
gangguan terhadap ketersediaan obat tanaman terjadi di awal
pandemi karena Tiongkok merupakan pemasok utama. Beberapa
negara terdampak, seperti India (The Hindu 2020) dan Brazil (Reuters
2020). Ketika Tiongkok menghapus kebijakan pembatasan perjalanan,
kekhawatiran terhadap ketersediaan obat tanaman sudah berkurang.
Dampak Pandemi Covid-19: Perspektif Adaptasi dan Resiliensi Sosial Ekonomi Pertanian 665
Input produksi yang relatif tidak mengalami gangguan adalah
ketersediaan pupuk. Lebih dari itu, harga untuk jenis pupuk utama
relatif rendah. Hal ini akibat turunnya harga minyak dunia yang
merupakan salah satu bahan baku utama produksi pupuk (OECD
2020d). Analog dengan kondisi global, distribusi pupuk di Indonesia
juga relatif tidak terganggu. Kementan (2020) mencatat bahwa
realisasi pupuk pada masa pandemi (Maret‒Agustus 2020) bahkan
relatif meningkat dibandingkan pada periode yang sama di tahun
sebelumnya (Gambar 2).
Dampak terhadap Usaha Tani dan Pengembangan Produk
Subsistem agribisnis on farm (usaha tani) juga mengalami dampak
negatif pandemi Covid-19. Guncangan aktivitas usaha tani umumnya
terjadi di awal masa pandemi. Sebagai ilustrasi, Distan TPH Kalbar
(2020) pada April 2020 melakukan pemetaan dampak Covid-19 di
sektor pertanian dan menyatakan bahwa himbauan untuk tetap di
rumah berdampak pada aktivitas usaha tani. Meskipun tetap masih
ada petani yang ke lahan, aktivitasnya tidak maksimal.
Dampak negatif Covid-19 terjadi lebih besar di subsistem hilir.
Pada industri pengolahan, umumnya terjadi penurunan tingkat
tenaga kerja. Alimentaire (2020) mencatat bahwa kehadiran karyawan
industri pengolahan daging di Perancis berkurang 30% karena
mereka harus menjalani masa karantina akibat terinfeksi Covid-19.
Klaster Covid-19 pada industri pengolahan daging terjadi di banyak
negara (Wired 2020). Pada akhirnya terjadi penurunan kapasitas
produksi daging. Sebagai contoh, kapasitas produksi pada rumah
potong sapi dan babi di Amerika berkurang 40% pada April 2020
dibandingkan April 2019 (OECD 2020d).
Dampak terhadap Sistem Distribusi
Dampak negatif Covid-19 paling besar terjadi pada subsistem
distribusi dan pemasaran. Pembatasan sosial berskala besar menjadi
hambatan besar dalam proses distribusi (Kerr 2020; Gray 2020). Di sisi
lain, terjadi penurunan permintaan akibat menurunnya kinerja sektor
666 Transformasi Manajemen Pembangunan Pertanian Masa dan Pascapandemi Covid-19
S
um
ber
: Kem
enta
n (
2020
), d
iola
h
Gam
bar
2.
Per
ban
din
gan
rea
lisa
si p
eny
alu
ran
pu
pu
k d
i In
do
nes
ia p
erio
de
Mar
et‒A
gu
stu
s 20
19 d
an
Mar
et‒A
gu
stu
s 20
20
Dampak Pandemi Covid-19: Perspektif Adaptasi dan Resiliensi Sosial Ekonomi Pertanian 667
pariwisata seperti horeka dan tempat wisata. Resultan dari kedua
permasalahan ini berdampak pada penurunan harga komoditas
pertanian di tingkat produsen, yang pada akhirnya menurunkan
pendapatan dan kesejahteraan petani terutama petani yang hasil
panennya tidak bisa disimpan lama (perishable). Situasi ini juga
mengancam ketahanan pangan. OECD (2020d) menyatakan bahwa
risiko terbesar pada ketahanan pangan di era pandemi adalah bukan
pada aspek ketersediaan pangan, tetapi pada akses terhadap pangan.
Selain memastikan gangguan transportasi pada rantai pasok pangan
harus diminimalkan, penting juga untuk memastikan pangan dapat
menjangkau konsumen rumah tangga (Patunru et al. 2020).
Sebagai bentuk adaptasi terhadap situasi pandemi, terjadi
perubahan pada pola permintaan dan sistem distribusi hasil pertanian.
Perubahan pola permintaan pangan disebabkan oleh (1) menurunnya
daya beli masyarakat akibat melemahnya ekonomi dan meningkatnya
pengangguran; (2) pada kelas pendapatan menengah ke atas terjadi
pergeseran pola konsumsi mengarah ke makanan sehat, sedangkan
pada kelas pendapatan menengah ke bawah mengarah ke konsumsi
karbohidrat, sehingga akan memengaruhi tingkat diversifikasi pangan;
dan (3) terjadi perubahan perilaku belanja dari tunai dan datang ke
penjual menjadi nontunai dan daring.
Perubahan pola permintaan pangan mendorong inovasi sistem
rantai nilai produk pertanian, terutama sistem distribusi dan
pemasaran ritel melalui daring. Permani et al. (2020) mencatat
peningkatan jumlah transaksi produk pertanian melalui sistem e-
commerce. Semakin meningkatnya penggunaan teknologi informasi
dan semakin dominannya penduduk milenial pada struktur
kependudukan menjadi peluang positif bagi pengembangan e-
commerce pangan di Indonesia. Di sisi lain, pertumbuhan bisnis ini
menjadi sinyal disruptif bagi sistem pemasaran dan distribusi pangan
konvensional. Pada titik ini, manajemen pembangunan pertanian di
era new normal perlu melakukan penyesuaian.
668 Transformasi Manajemen Pembangunan Pertanian Masa dan Pascapandemi Covid-19
Tantangan Pembangunan Pertanian Masa Covid-19
Sampai saat ini, pemerintah belum menemukan metode mengatasi
penyebaran Covid-19 yang efektif. Dalam kondisi demikian, potensi
dampak terhadap kesehatan dan rantai pasok pangan tetap ada
sehingga ancaman kondisi kelangkaan pangan tetap ada (Petetin
2020). Kondisi ini menambah tantangan pembangunan pertanian
yang saat ini dihadapi. Tantangan ini terutama terkait dengan makin
terbatasnya jumlah dan kualitas sumber daya pertanian, khususnya
lahan dan air, tuntutan permintaan yang terus meningkat akibat
peningkatan jumlah penduduk, dan perubahan iklim yang
meningkatkan risiko usaha pertanian. Program dan manajemen
pembangunan pertanian ke depan dirancang harus mampu
mengatasi berbagai persoalan tersebut dan mengantisipasi kondisi
krisis yang mungkin akan terjadi setelah kasus pandemi Covid-19 ini.
Inovasi dan Adaptasi Sistem Agribisnis
Salah satu pelajaran yang dapat diambil dari pandemi ini adalah
kesiapan dan kemampuan beradaptasi, menyesuaikan dengan
kondisi, dan menciptakan peluang dari masalah yang dihadapi.
Pembatasan ekspor atau penutupan perdagangan yang sempat
dilakukan beberapa negara dalam upaya pengendalian penyebaran
Covid-19 dan menjamin kebutuhan dalam negeri, menjadi sangat
penting untuk mengembangkan kapasitas produksi dalam negeri
untuk memenuhi kebutuhan dan menjamin ketersediaan pangan.
Menurut Petetin (2020), kurangnya kemampuan beradaptasi dan
berubah berkaitan dengan rantai distribusi pangan merupakan salah
satu permasalahan petani. Di sisi lain, petani merupakan penyedia
utama produk pertanian.
Untuk menjamin sektor pertanian dapat terus berproduksi,
setidaknya ada banyak hal yang harus dipenuhi, yaitu (1) petani dan
sumber daya manusia pertanian tetap sehat untuk dapat beraktivitas,
(2) sarana produksi tetap terjamin, yang berarti bahwa produsen
pupuk, benih, dan input produksi lainnya tetap berproduksi dan
terdistribusi dengan baik, (3) distribusi dan pemasaran produk
Dampak Pandemi Covid-19: Perspektif Adaptasi dan Resiliensi Sosial Ekonomi Pertanian 669
pertanian masih dapat berlangsung dengan baik, dan (4) daya beli
masyarakat tetap terjaga sehingga permintaan terhadap hasil pertanian
tetap terjamin. Mengingat pandemi Covid-19 belum dapat
diperkirakan kapan berakhirnya dan juga mengantisipasi situasi sulit
akibat perubahan iklim (banjir, kekeringan, dan serangan OPT), serta
situasi lainnya pada masa yang akan datang, diperlukan perubahan
dan adaptasi pada semua sistem agribisnis tersebut. Semua pelaku
agribisnis dituntut berinovasi untuk mengatasi kondisi yang dihadapi.
Perubahan disruptif yang telah dirasakan saat ini terutama terjadi
pada pola transaksi dan distribusi produk pertanian. Konsumen yang
lebih banyak di rumah merupakan kesempatan bagi berkembangnya
penjualan dengan layanan antar dan transaksi elektronik. Dengan
dukungan teknologi informasi, maka pola pemasaran daring dan
distribusi langsung ke konsumen mulai tumbuh dan berkembang.
Fenomena ini terjadi bukan hanya di Indonesia, tetapi di banyak
negara dan juga terjadi pada tataran lokal dan global. Gray (2020)
mengatakan bahwa pandemi Covid-19 mengganggu sistem distribusi
dan rantai pasok produk pertanian di Kanada, bukan hanya di dalam
negeri tetapi juga perdagangan global. Dalam perspektif kebijakan,
diperlukan upaya untuk melakukan monitoring terhadap
keberlangsungan rantai pasok, sekaligus secara proaktif
mengembangkan strategi untuk menjamin distribusi tetap terjamin
dengan tetap menjaga kualitas dan keamanan produk.
Menjadi pertanyaan untuk masa depan, apakah inovasi dalam
transaksi, pemasaran, dan distribusi produk pertanian ini akan terus
berkembang pada depan? Dengan kemajuan teknologi komunikasi dan
sistem transaksi keuangan yang terus berkembang, dapat diperkirakan
perubahan ke arah transaksi daring akan terus berkembang bukan
hanya pada penjualan produk pertanian, tetapi juga pada semua sistem
agrbisnis. Pengembangan pemesanan jasa traktor atau combine harvester
atau jasa angkutan produk pertanian bukan tidak mungkin akan dapat
dilakukan secara daring. Sektor pertanian harus mampu
mengantisipasi berbagai perubahan tak terduga pada saat pandemi
dan pasca pandemi ini dengan transformasi dari pertanian tradisional
ke pertanian modern menuju pertanian 4.0.
670 Transformasi Manajemen Pembangunan Pertanian Masa dan Pascapandemi Covid-19
Inovasi dan Adaptasi Program serta Manajemen Pembangunan
Pertanian
Program pemerintah juga dituntut mampu beradaptasi dan
berinovasi untuk merespons kondisi pandemi. Beberapa program
Kementerian Pertanian hasil refocusing yang telah dirancang untuk
merespons pandemi antara lain (1) pengembangan jaring pengaman
sosial (social safety net) kepada RT buruh tani dan petani penggarap
skala kecil; (2) pengembangan program penciptaan lapangan kerja
sektor pertanian, yang dilaksanakan melalui kegiatan padat karya
tunai pertanian; (3) stimulus produksi pertanian dengan bantuan usaha
antara lain alat dan mesin pertanian, bantuan sarana produksi, dan
pengembangan sarana irigasi untuk meningkatkan indeks pertanaman
dan antisipasi musim kemarau; dan (4) program bantuan distribusi dan
pemasaran dengan pemberian bantuan biaya transportasi dan
pengembangan toko tani atau pasar tani untuk pemasaran hasil
pertanian. Program-program tersebut didanai oleh anggaran
Kementerian Pertanian, sebagian besar adalah program regular yang
ditambah cakupan dan pendanaannya. Sementara itu, tidak banyak
informasi program pertanian yang dilakukan oleh pemerintah daerah
untuk merespons kondisi pandemi ini.
Pengelolaan program pembangunan pertanian juga dituntut untuk
adaptif dan inovatif untuk meningkatkan efektivitasnya. Dampak
pandemi yang tidak merata dan beragam antardaerah memerlukan
respons yang tepat, spesifik, dan cepat. Dengan demikian, pengelolaan
program dan anggaran semestinya berubah dari sentralistik menjadi
terdesentralisasi, dengan memberikan kewenangan dan sumber daya
kepada pemerintah daerah yang lebih besar. Meskipun otonomi daerah
dan desentralisasi telah dilaksanakan selama 20 tahun, pengelolaan
pembangunan pertanian belum banyak berubah, masih lebih dominan
ditentukan dan dikendalikan oleh pemerintah pusat. Program prioritas
nasional terutama terkait dengan komoditas strategis dilaksanakan
oleh pemerintah pusat, sementara pemerintah daerah lebih banyak
melaksanakan arahan dan tidak mendapat ruang yang cukup untuk
mengembangkan potensi spesifik daerahnya.
Dampak Pandemi Covid-19: Perspektif Adaptasi dan Resiliensi Sosial Ekonomi Pertanian 671
Pada masa Orde Baru, tonggak keberhasilan pembangunan
pertanian salah satunya adalah tercapainya swasembada beras tahun
1984. Berbagai program peningkatan produksi padi dilakukan secara
masif dan terkoordinasi dari pusat sampai ke daerah. Komando
pemerintah sangat kuat dan diimplementasikan di lapangan dengan
pengawasan yang ketat oleh berbagai tingkatan pemerintahan. Dengan
berlakunya otonomi daerah tahun 2001, pemerintah daerah diberikan
kewenangan lebih luas untuk menentukan arah pembangunan
pertaniannya. Namun, tampaknya Kementerian Pertanian belum
mampu menemukan pola koordinasi dan komunikasi yang ideal
dengan pemerintah daerah dalam penyusunan dan implementasi
program pembangunan pertaniannya. Di satu sisi, penetapan target
dan prioritas program nampaknya masih cenderung ditentukan
pemerintah pusat. Pemerintah daerah tidak memiliki ruang dan
sumber daya yang memadai untuk merancang dan
mengimplementasikan program spesifik lokasi sesuai potensi dan
keunggulan wilayah. Di sisi lain, program pusat seringkali mengalami
kegagalan atau tidak berlanjut karena kurangnya rasa memiliki dan
partisipasi pemerintah daerah. Sementara, pada akhirnya pemerintah
daerahlah sebagai pelaksana utama di lapangan.
Sesuai dengan amanat UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah
Daerah, kewenangan daerah menjadi lebih besar dalam
pengembangan eknomi wilayahnya. Ini sesuai dengan tujuan
desentralisasi pembangunan yaitu untuk meningkatkan efisiensi dan
efektivitas program dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan
kebutuhan daerah, serta besaran pendanaan penyelenggaraan
dekonsentrasi dan tugas pembantuan, sehingga dapat mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan
pelayanan, pemberdayaan, dan peran serta masyarakat (Siagian 2016).
Dalam konteks pembangunan pertanian, pelaksana program di
lapangan adalah pemerintah daerah. Peningkatan keterlibatan dan
tanggung jawab pemerintah daerah dalam pembangunan pertanian
sangat penting (Winoto dan Siregar 2008). Pasal 24 UU No. 23 Tahun
2014 tentang Pemerintah Daerah mengamanahkan bahwa untuk
urusan konkuren, kementerian/lembaga bersama pemda melakukan
672 Transformasi Manajemen Pembangunan Pertanian Masa dan Pascapandemi Covid-19
pemetaan urusan pemerintahan wajib yang tidak berkaitan dengan
pelayanan dasar dan urusan pemerintahan pilihan yang diprioritaskan
oleh setiap daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota (Siagian 2016).
Transformasi Manajemen Pembangunan Pertanian pada Masa
Depan
Belajar dari kondisi pandemi Covid-19 ini, pengelolaan pem-
bangunan harus mampu mengikuti dinamika perubahan agribisnis
yang berkembang dari hulu sampai hilir. Untuk itu, diperlukan inovasi
pada pengelolaan manajemen yang lebih fleksibel dan responsif
terhadap perkembangan lingkungan. Termasuk di dalamnya
mengoptimalkan peran dan kontribusi dari pemerintah daerah.
Dengan pendekatan ini, maka penyeragaman program dan kegiatan
sudah selayaknya dihindari. Arah dan desain besarnya dapat saja
berlaku secara nasional, namun implementasinya dapat berbeda antar-
daerah sesuai dengan kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi.
Orientasi pembangunan pertanian perlu diubah dari peningkatan
pendapatan dan kesejahteraan melalui peningkatan produksi dan
produktivitas menjadi peningkatan produksi dengan meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan. Perbedaan mendasarnya adalah terkait
dengan penentuan komoditas dan pola usaha tani. Pendekatan
pertama cenderung pemerintah yang menetapkan komoditas apa yang
akan dikembangkan, sementara pendekatan kedua pemilihan
komoditas sesuai dengan potensi wilayahnya yang memberikan
pendapatan tertinggi bagi masyarakat. Pendekatan ini akan meng-
hasilkan sentra produksi sesuai dengan potensi wilayahnya (tercipta
perwilayahan komoditas) dan akhirnya juga akan meningkatkan
produksi komoditas strategis sehingga kesejahteraan petani dapat di-
capai dengan tetap mewujudkan ketahanan dan kemandirian pangan.
Model sistem pangan berjenjang pada tingkatan pemerintahan
dengan melibatkan banyak stakeholder menjadi sistem pangan dan
pertanian masa depan. Pada era otonomi daerah dan desentralisasi
pembangunan pertanian, sudah semestinya pemerintah juga
menerapkan konsep perencanaan dan implementasi pembangunan
Dampak Pandemi Covid-19: Perspektif Adaptasi dan Resiliensi Sosial Ekonomi Pertanian 673
pertanian berbasis potensi wilayah dengan mendorong peran serta
dan keterlibatan pemerintah daerah secara aktif. Delineasi tugas
antara pemerintah pusat dan daerah dirumuskan dengan baik
termasuk dukungan anggarannya. Membangun ketahanan pangan
berbasis wilayah, pemerintah daerah didorong mengoptimalkan
sumber daya pangan lokal untuk menjaga stabilitas produksi dan
ketersediaan bahan pangan. Hal ini akan mendorong diversifikasi
pangan dan mengurangi ketergantungan pangan pokok pada beras.
Delineasi atau pemilahan tugas dan tanggung jawab pusat dan
daerah secara jelas perlu dilakukan agar terjadi sinkronisasi program
pusat dan daerah. Pemerintah pusat lebih fokus pada kebijakan yang
sifatnya umum, misalnya terkait dengan subsidi input, standarisasi
distribusi dan keamanan pangan, kebijakan perdagangan
internasional, stabilisasi harga, dan sistem logistik dan distribusi
pangan nasional. Selain itu, kebijakan terkait dengan arah dan prioritas
program nasional, misalnya peningkatan produksi, pengembangan
nilai tambah dengan pengembangan agroindustri, dan sebagainya.
Sementara, kegiatan implementasinya diberikan kewenangan kepada
daerah mulai dari perencanaan sampai pelaksanaannya, misalnya
terkait program bantuan pemerintah untuk mendukung produksi.
Jenis dan spesifikasi bantuan pemerintah ditetapkan oleh daerah
disesuaikan dengan masalah dan kebutuhan spesifik lokasi dan
spesifik sasaran. Pemerintah pusat lebih pada menyusun panduan
pelaksanaan, advokasi, dan melakukan monitoring dan evaluasi
capaian program.
Implementasi konsep ini memang memerlukan kapasitas sumber
daya manusia di daerah yang memadai dalam perencanaan program
pembangunan pertanian dan implementasinya. Untuk itu, diperlukan
asistensi dan upaya peningkatan kapasitas SDM pertanian di provinsi
dan kabupaten/kota. Penyiapan ini perlu dilakukan secara paralel
dengan pemberian kewenangan dan kepercayaan kepada daerah.
Selain sinergi pusat dan daerah, diperlukan juga koordinasi dan sinergi
antarsektor karena pertanian tidak dapat berdiri sendiri. Pembangunan
pada sektor lain seperti industri kecil, perdesaan, juga terkait dengan
sektor pertanian.
674 Transformasi Manajemen Pembangunan Pertanian Masa dan Pascapandemi Covid-19
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Keragaman potensi dan permasalahan pembangunan pertanian di
Indonesia menyebabkan program pembangunan yang seragam (satu
untuk semua) kurang tepat, terlebih pada periode otonomi daerah
seperti sekarang. Demikian juga pada masa pandemi Covid-19 ini,
dampak terhadap sektor pertanian beragam, baik aspek yang
terdampaknya maupun kedalaman dampaknya. Manajemen
program pembangunan pertanian semestinya didesain mampu
mengakomodasi kondisi pandemi Covid-19 dan respons dengan
urusan otonomi daerah.
Penetapan sektor pertanian sebagai urusan konkuren, secara
konstitusi menuntut adanya transformasi manajemen dari sentralistik
ke arah desentralisasi. Hal ini diimplementasikan dengan
memberikan kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah
untuk menentukan arah pembangunan pertanian sesuai dengan
potensi yang dimiliki dengan orientasi pada kesejahteraan petani dan
masyarakat. Dengan demikian, model pengelolaan manajemen
pembangunan pertanian yang lebih sejalan dengan hal tersebut
adalah desentralisasi mulai dari perencanaan sampai implementasi
program. Delineasi tugas dan tanggung jawab antara pemerintah
pusat dan daerah menjadi hal yang krusial, selain aspek koordinasi
antara pusat dan daerah.
Saran
Diperlukan transformasi kerangka berpikir dan manajemen
pembangunan pertanian menuju desentralisasi yang mengedepankan
kepentingan daerah dan masyarakatnya. Perubahan orientasi
pembangunan pertanian dari peningkatan produksi menjadi
peningkatan pendapatan dan kesejahteraan petani. Dengan demikian,
penetapan prioritas komoditas dapat disinkronkan dengan potensi
wilayah, potensi pasar, dan yang memberikan pendapatan tertinggi
bagi petani. Perlu dirumuskan pemilahan kewenangan dan tanggung
Dampak Pandemi Covid-19: Perspektif Adaptasi dan Resiliensi Sosial Ekonomi Pertanian 675
jawab terkait pembangunan pertanian antara Kementerian Pertanian
dengan pemerintah daerah yang dituangkan dalam peraturan
pemerintah. Dalam konteks ini dibutuhkan dukungan pendanaan yang
memadai serta pendampingan untuk meningkatkan kapasitas SDM di
daerah dalam menyusun, merencanakan, dan melaksanakan program
di lapangan. Pemberian kewenangan diikuti dengan pengurangan
secara bertahap dan selektif berdasarkan kesiapan daerah, alokasi dana
dekonsentrasi, dan tugas pembantuan yang kemudian dialokasikan
dalam APBD. Selain itu, koordinasi lintas sektor dan kementerian perlu
ditingkatkan agar efektivitas dan efisiensi program pembangunan
pertanian dan perdesaan dapat lebih ditingkatkan.
DAFTAR PUSTAKA
Alimentaire. 2020. Covid-19 : La filière viande sous tension. [internet]. [cited
2020 Sep 15]. Available from: https://www.processalimentaire.com/vie-
des-iaa/covid-19-la-filiere-viande-sous-tension?sso=1590405164.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2020. Ekonomi Indonesia triwulan II 2020 turun
5,32 persen. [nternet]. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik; [diunduh 2020
Okt 21]. Tersedia dari: https://www.bps.go.id/pressrelease/2020/08/05/
1737/-ekonomi-indonesia-triwulan-ii-2020-turun-5-32-persen.html
Cardwell R, Ghazalian PL. 2020. Covid-19 and international food assistance:
policy proposals to keep food flowing. World Dev [Internet]. [cited 2020
Aug 29]; 135:1-4. Available from: www.elsevier.com/locate/worlddev
[Distan TPH Kalbar] Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura
Provinsi Kalimantan Barat. 2020. Pemetaan dampak wabah Covid-19 bagi
sektor pertanian [Internet]. Pontianak (ID): Dinas Pertanian, Tanaman
Pangan, dan Hortikultura Provinsi Kalimantan Barat; [diunduh 2020 Okt
11]. Tersedia dari: http://distan.kalbarprov.go.id/node/349
[FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations. 2020.
Responding to the impact of the COVID-19 outbreak on food value chains
through efficient logistics [Internet]. Rome (IT): Food and Agriculture
Organization of the United Nations. [updated 2020 Apr 20; cited 2020 Sep
15]. Available from: http://www.fao.org/3/ca8466en/CA8466EN.pdf
Gray RS. 2020. Agriculture, transportation, and the Covid-19 crisis. Can J
Agric Econ [Internet]. [cited 2020 Aug 29]; 68:239-243. Available from:
676 Transformasi Manajemen Pembangunan Pertanian Masa dan Pascapandemi Covid-19
https://onlinelibrary.wiley.com/doi/abs/10.1111/cjag.12235.
https://doi.org/10.1111/cjag.12237
The Hindu. 2020 Mar 11. Pesticide sector hit by input issues [Internet]. [cited
2020 Sep 15]. Available from: https://www.thehindu.com/business/
pesticide-sector-hit-by-input-issues/article31043301.ece
[ILO] International Labour Organization. 2020. Covid-19 dan dampaknya
pada pertanian dan ketahanan pangan [Internet]. Jakarta (ID): ILO-
Jakarta; [diunduh 2020 Sep 15]. Tersedia dari: https://www.ilo.org/
wcmsp5/groups/public/---asia/---ro-bangkok/---ilojakarta/documents/pu
blication/wcms_743247.pdf.
[IMF] International Monetary Fund. 2020. World economic outlook update
June 2020 [Internet]. Washington, DC (US): International Monetary Fund;
[updated 2020 Jun; cited 2020 Sep 15]. Available from:
https://www.imf.org/en/Publications/WEO/Issues/2020/06/24/WEO
[Kementan] Kementerian Pertanian. 2020. Aplikasi database benih dan pupuk
[Internet]. Jakarta (ID): Kementerian Pertanian; [diunduh 2020 Okt 10].
Tersedia dari: http://prasarana.pertanian.go.id/benihpupukmy/.
Kerr WA. 2020. The Covid-19 pandemic and agriculture: short and long-run
implications for international trade relations. Can J Agr Econ. 68:225-229.
[OECD] Organisation for Economic Co-operation and Development. 2020a.
OECD economic outlook June 2020 [Internet]. Paris (FR): Organisation for
Economic Co-operation and Development; [cited 2020 Sep 15]. Available
from: http://www.oecd.org/economic-outlook/june-2020/#
[OECD] Organisation for Economic Co-operation and Development. 2020b.
Evaluation of the impact of the Coronavirus (Covid-19) on fruit and
vegetables trade. Preliminary Report. Paris (FR): Organisation for
Economic Co-operation and Development.
[OECD] Organisation for Economic Co-operation and Development. 2020c.
Policy responses to Covid-19 in the seed sector [Internet]. Paris (FR):
Organisation for Economic Co-operation and Development; [cited 2020
Sep 15]. Available from: https://read.oecd-ilibrary.org/view/?ref=132_
132622-ahipnwhwhw&title=Policy-responses-to-COVID-19-in-the-seed-
sector
[OECD] Organisation for Economic Co-operation and Development. 2020d.
Food supply chains and Covid-19: impacts and policy lessons. Paris (FR):
Organisation for Economic Co-operation and Development; [cited 2020
Dampak Pandemi Covid-19: Perspektif Adaptasi dan Resiliensi Sosial Ekonomi Pertanian 677
Sep 15]. Available from: https://read.oecd-ilibrary.org/view/?ref=134_
134305-ybqvdf0kg9&title=Food-Supply-Chains-and-COVID-19-Impacts-
and-policy-lessons
Patunru A, Octania G, Audrine P. 2020. Penanganan gangguan rantai pasok
pangan di masa pembatasan sosial terkait pandemi Covid-19. Ringkasan
Kebijakan No 3. Jakarta (ID): Center for Indonesian Policy Studies.
Permani R, Sahara, Suprehatin. 2020. Agrifood e-commerce profiles in
Indonesia. Policy Brief. Jakarta (ID): Australia Indonesia Institute.
Petetin L. 2020. The COVID-19 crisis: an opportunity to integrate food
democracy into post-pandemic food systems. Eur J Risk Reg. 11(2):326-
336.
Reuters. 2020. Brazil farm sector frets over possible Tiongkok pesticide supply
disruptions [Internet]. [cited 2020 Sep 15]. Available from:
https://www.reuters.com/article/brazil-Tiongkok-pesticides/brazil-farm-
sector-frets-over-possible-Tiongkok-pesticide-supply-disruptions-
idUSL1N2B42XI.
Rudiyanto A. 2020. Pengaruh Covid-19 terhadap tujuan pembangunan
berkelanjutan. Materi disampaikan pada Webinar Sustainability Talk:
Menjaga Momentum Pencapaian SDGs Pasca Corona; 2020 Mei 8; Jakarta,
Indonesia.
Siagian E. 2016. Perwujudan pelaksanaan urusan pemerintahan bidang
pertanian: peran kementerian/lembaga dan pemerintah daerah. Dalam:
Syahyuti, Susilowati SH, Agustian A, Sayaka B, Ariningsih E, editors.
Prosiding Seminar Nasional Perlindungan dan Pemberdayaan Pertanian
dalam Rangka Pencapaian Kemandirian Pangan Nasional dan
Peningkatan Kesejahteraan Petani; 2015 Nov 10; Bogor, Indonesia. Bogor
(ID): Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. p. 27-32.
Wibowo R. 2020. Pertanian new normal: untuk kesejahteraan petani dan
konsumen. Disampaikan pada Webinar Agri Talk Series #1: Pembangunan
Pertanian Era New Normal: Menjaga Eksistensi Pertanian untuk
Kesejahteraan Petani dan Konsumen; 2020 Mei 20; Jember, Indonesia.
Winoto J, Siregar H. 2008. Agricultural development in Indonesia: current
problems, issues, and policies. Anal Kebijak Pertan. 6(1):11-36.
Wired. 2020 Jul 5. Why meatpacking plants have become Covid-19 hot spots
[Internet]. [cited Sep 27]. Available from: https://www.wired.com/story/
why-meatpacking-plants-have-become-covid-19-hot-spots/.
678 Transformasi Manajemen Pembangunan Pertanian Masa dan Pascapandemi Covid-19
World Bank. 2020a. Food security and Covid-19 [Internet]. Washington, DC
(US): World Bank; [cited 2020 Sep 27]. Available from: https://www.
worldbank.org/en/topic/agriculture/brief/food-security-and-covid-19.
World Bank. 2020b. Global economic prospects June 2020. Washington, DC
(US): World Bank.
Yusuf AA, Suganda T, Hermanto, Mansur F, Hadisoemarto P. 2020. Strategi
ekonomi sektor pertanian di tengah pandemi Covid-19. Perspektif 2030.
SDGs Center Policy Brief 2(2020):1-8.
Top Related