i
TRADISI MASA IDDAH CERAI MATI NYIRAM MAKAM
(Analisis Hukum Islam Terhadap Tradisi Iddah Masyarakat
Kebon Randu II, Kecamatan Anjatan Baru,
Kabupaten Indramayu)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh:
TISNA
NIM: 21111042
JURUSAN AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2015
ii
iii
TRADISI MASA IDDAH CERAI MATI NYIRAM MAKAM
(Analisis Hukum Islam Terhadap Tradisi Iddah Masyarakat
Kebon Randu II, Kecamatan Anjatan Baru,
Kabupaten Indramayu)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh:
TISNA
NIM: 21111042
JURUSAN AL-AHWAL ASY-SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA
2015
iv
v
vi
vii
MOTO
“Sebesar apa sukses anda diukur dari seberapa kuat keinginan anda, seberapa besar mimpi-mimpi
anda, bagaimana pula anda mampu mengatasi kekecewaan dalam hidup anda.”
[Robert T Kiyosaki, motivator dan penulis asal Amerika Serikat]
Seperti dalam kaidah fikih bahwasanya keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan.
Maka niat adalah ukuran dalam menilai benarnya suatu
perbuatan, oleh karenanya, ketika niatnya benar, maka perbuatan itu benar, dan jika niatnya buruk, maka perbuatan
itu buruk.
viii
PERSEMBAHAN
Penulis mempersembahkan skripsi ini kepada:
1. Skripsi ini kupersembahkan kepada Sang Maha Cinta, Allah Swt, dan panutan
hidup, Nabi Muhammad Saw.
2. Kepada Bapak Sukron Ma‟mun, S.HI., M.Si yang telah sabar dan tak pernah
lelah membimbing, sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini
3. Kepada Keluarga besar pp. al-Islah, terutama Bapak K. Selamet Idris, K.H.
Jainal Abidin, K. Rofiq yang takhenti-hentinya memberikan dukungan serta
Do‟anya.
4. Kepada Ayah anda Warnadi alm dan Ibu Ratimpen yang selalu mendukung
dan mendoakanku.
5. Kepada Keluarga besar Kess De Joung dan Tuti yang selalu mendukung,
memotivasi dan mendoakanku.
6. Kepada Mr. Hans Biermans dan Mr. Wim yang selalu mendukung dan
mendoakanku.
7. Kepada teman-teman organisasi PMII Komisariat Joko Tingkir Salatiga,
Wushu IAIN Salatiga, GEMAK Syariah, Teater Lintang Songo, teman-teman
kampus satu dan kampus dua, yang selelu memotivasi dan mendoakanku.
Terimakasih atas dukungan kalian semua, saya mampu menyelesaikan
perjuanganku menuju gelar sarjana Hukum Islam dan menjadi orang yang
besar seperti sekarang ini, Semoga amal-amal kalian dicatat sebagai amal yang
memenuhi timbangan kelak di akhirat dan mendapatkan ridha-Nya, Amiin
ix
KATA PENGANTAR Al-Hamdulillah, puji beserta syukur kehadirat Ilahi Robbi yang telah
memberikan hidayah dan kekuatan, sholawat beriring salam atas junjungan besar
Nabi Muhammad SAW, semoga kita mendapatkan safaatnya, amin.
Setelah merintas waktu yang cukup panjang dan melelahkan, sebuah karya
yang sangat sederhana ini, pada akhirnya terselesaikan juga, tentunya setelah
melewati berbagai macam tantangan dan rintanagan yang penulis rasakan,
terutama perang pikiran antara idealisme dan realisme. Namun berkat ketabahan,
kesabaran dan kekuatan, serta besarnya dorongan moril dari keluarga dan teman-
teman, maupun doa yang senantiasa penulis panjatkan kepada Ilahi Robbi, pada
akhirnya proses penulisan skripsi ini terselesaikan juga.
Karya ini, penulis sadari sangat jauh dari kesempurnaan, banyak
kekurangan di dalamnya. Namun ini semua tentunya merupakan proses
pembelajaaran yang penulis sadari “bahwa tak ada yang sempurna di dunia ini”.
Semoga akan menjadi pegangan yang berarti bagi penulis untuk dapat berkarya
dikemudian hari, serta dapat memberikan manfat bagi kita semua.
Kemudian, karya ini akan sangat sulit terselesaikan tanpa bantuan dan
dorongan dari semua pihak, maka ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya
penulis sampaikan kepada :
1. Kepada Bapak Dr. Rachmat Hariyadi, M. Pd selaku Rektor IAIN Salatiga.
2. Kepada Ibu Dra. Siti Zumrotun, M. Ag selaku Dekan Fakultas Syari‟ah
IAIN Salatiga.
3. Kepada Bapak Sukron Ma‟mun, M. Si selaku Kajur Ahwal Al-
Syakhshiyyah IAIN Salatiga.
4. Kepada Ibu Heni Satar N, S.H., M.Si. selaku Dosen Pembimbing
Akademik.
5. Bapak Sukron Ma‟mun, M. Si selaku Dosen Pembimbing Skripsi.
6. Kepada seluruh dosen IAIN Salatiga dan karyawan akademik yang tidak
dapat saya sebut satu persatu.
x
xi
ABSTRAK
Tisna : Tradisi Masa Iddah Cerai Mati Nyiram Makam Analisis Hukum Islam
terhadap Tradisi Iddah Masyarakat Kebon Randu II, Kecamatan Anjatan
Baru, Kabupaten Indramayu. Skripsi Fakultas Syari‟ah, Jurusan Ahwal
AL-Syakhshiyyah, Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing Sukron Ma‟mun, M.Si
Kata Kunci: Tradisi Masa Iddah Cerai Mati
Iddah pada umumnya bahwasanya seseorang wanita tidak boleh keluar dari
rumah ketika sedang menjalankan masa iddah akan tetapi pada kenyataanya ada
tradisi yang dilakukan di masyarakat Kebon Randu ketika suaminya meninggal,
mereka melakukan ritual dengan memberi makan kepada suaminya dengan cara
menyuguhkan sesajen di dalam rumah dan diletakan di pedaringan. Disamping
meraka menjalankan syariat Islam mereka juga melakukan ritual sesajen bahkan
tidak hanya itu saja ada ritual lain yang dipercayai masyarakat Kebon Randu
seperti menyalakan damar di dalam kurungan ayam, bahkan ada kebiasaan keluar
malam hari untuk memberikan air yang sudah di do‟akan yang berisi bunga tujuh
rupa kemudian diantarkan ke makam suaminya bersama orang lain, dari situlah
muncul pertanyaan bahwasanya bagaimana tradisi iddah cerai mati di Desa Kebon
Randu? Apa makna tradisi cerai mati di Desa Kebon Randu? Terus bagaimana
presepektif hukum Islam mengenai masa iddah cerai mati di Desa Kebon Randu?
Dari pemaparan diatas maka saya mengangkat judul TRADISI MASA IDDAH
CERAI MATI NYIRAM MAKAM (Analisis Hukum Islam terhadap Tradisi
Iddah Masyarakat Kebon Randu II, Kecamatan Anjatan Baru, Kabupaten
Indramayu) sebagagai SKRIPSI.
Metode penilitian yang digunakan adalah jenis penelitian lapangan (field
research) dalam pelaksanaanya menggunakan metode pendekatan kualitatif
diskripsi analisis yang umumnya menggunakan strategi multi media yaitu
wawancara, pengamatan, serta penelaahan dokumen/studi dokumenter, dengan
pendekatan normatif dan sosiologis, normatif digunakan untuk mengetahui hukum
iddah tersebut sedangkan sosiologis digunakan untuk mengetahui kondisi atau
pelaksanaan tradisi masa iddah di masyarakat Kebon Randu II. Hasil dari
penelitian tradisi cerai mati nyiram makam di desa Kebon Randu yaitu iddahnya
dengan memberikan makan kepada suaminya yang telah meninggal, seperti
sesajen dan keluar dimalam hari bersama laki-laki lain selama 7 hari. Hukumnya
haram, apabila berniat mendekatkan diri kepada jin, ini seperti dijelaskan dalam
surat an-Nisaa‟ayat 48 perbuatan syirik (menyekutukan-Nya). Hukumnya boleh,
jika diniatkan dengan sedekah dan medekatkan diri pada allah. Ini berdasarkan
dalam kaidah fikih ada yang namanya kaidah Al-„Adah Al-Muhakkamah yang
mana memiliki arti bahwa adah (adat) itu bisa dijadikan patokan hukum. Menurut
Abdurrahman wanita yang sedang dalam masa iddah juga dilarang keluar rumah
baik siang hari maupun malam hari. Ulama Hanafi mengatakan, perempuan yang
menjalani masa iddah karena ditalak satu, dua, tiga tidak boleh keluar rumah
siang hari maupun malam hari.
xii
DAFTAR ISI
SAMPUL ......................................................................................................... i
LEMBAR BERLOGO ..................................................................................... ii
JUDUL ............................................................................................................. iii
NOTA PEMBIMBING .................................................................................... iv
PENGESAHAN ............................................................................................... v
PERNYATAAN KEASLIAN .......................................................................... vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN .................................................................. viii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... x
ABSTRAK ....................................................................................................... xi
DAFTAR ISI .................................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................................ 3
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................ 3
D. Penegasan Istilah ................................................................................. 4
E. Kerangka Teori ..................................................................................... 6
F. Telaah Pustaka ...................................................................................... 10
G. Matode Penelitian ................................................................................. 16
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian..................................................... 16
2. Pendekatan Penelitian .................................................................... 20
3. Waktu Penelitian dan Kehadiran Penelitian ................................... 20
4. Lokasi Penelitian ............................................................................ 21
5. Sumber Data ................................................................................... 21
6. Metode Analisis Data ..................................................................... 23
7. Pengecekan Keabsahan Data.......................................................... 23
xiii
8. Tahap Penelitian ............................................................................. 24
H. Sistematika Pembahasan ...................................................................... 25
BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG MASA IDDAH CERAI MATI
A. Penegertian Iddah…………………………………………………… 27
1. Iddah Menurut Fiqih ........................................................................ 27
2. Iddah Menurut KHI ......................................................................... 30
B. Hukum Iddah dalam Al-Qur‟an dan Hadis .......................................... 31
1. Dasar Hukum dari Firman Allah ...................................................... 31
2. Dasar Hukum dari Hadist ................................................................. 32
3. Ketentuan Masa Iddah dalam UU KHI ............................................ 34
C. Macam-Macam Iddah ......................................................................... 34
1. Iddah Bagi Perempuan Karena Cerai Mati ...................................... 34
2. Iddah Bagi Perempuan Hamil .......................................................... 35
3. Iddah Bagi Cerai Mati dalam Kondisi Haid ..................................... 36
4. Iddah Cerai Bagi Perempuan yang Tidak Haidl (Monopause) ........ 37
5. Iddah Cerai Belum Bercampur dengan Suaminya ........................... 37
D. Pendapat Ulama Tentang Iddah ........................................................... 38
1. Iddah Perempuan Kematian Suami .................................................. 38
2. Iddah Bagi Wanita yang Berhias ..................................................... 39
E. Manfat dan Hikmah Iddah .................................................................. 40
1. Manfaat Iddah .................................................................................. 40
2. Hikmah Iddah ................................................................................... 40
BAB III ISI GAMBARAN UMUM TRADISI ADAT INDRAMAYU
A. Sejarah Indramayu ............................................................................... 41
1. Sejarah Indramayu ............................................................................ 41
2. Nilai-nilai Budaya Tradisi Indramayu ............................................. 45
B. Iddah dalam Tradisi Indaramayu ......................................................... 54
C. Makna Iddah dalam Tradisi Indaramayu ............................................. 58
D. Pengaruh Tokoh Adat dalam Tradisi Iddah di Indramayu ................... 62
xiv
E. Pandangan Masyarakat Indramayu terhadap Iddah ............................. 66
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TRADISI IDDAH
MASYARAKAT KEBON RANDU II, KECAMATAN ANJATAN
BARU, KABUPATEN INDRAMAYU
A. Tradisi Iddah Cerai Mati di Desa Kebon Randu .................................. 68
B. Makna Tradisi Masa Iddah Cerai Mati di Desa Kebon Randu ............ 75
C. Presepektif Hukum Islam Tradisi Iddah Cerai Mati ............................ 80
BAB V KESIMPULAN DAN PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................... 88
B. Saran ..................................................................................................... 90
1. Untuk Desa Kebon Randu ............................................................... 90
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1. Hasil Wawancara Tradisi Indramayu
2. Hasil Wawancara Iddah dalam Tradisi Indaramayu
3. Hasil Wawancara Makna Iddah dalam Adat Jawa
4. Hasil Wawancara Pengaruh Tokoh Adat dalam Tradisi Iddah
5. Hasil Wawancara Pandangan Masyarakat Jawa Terhadap Iddah
dan Latar Belakang Tradisi Masa Iddah Cerai Mati
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam hukum Islam terdapat hukum syara‟ yang mengatur ibadah
seseorang, dimana hukum syara‟ tersebut adalah salah satu dari beberapa objek
kajian ushul fiqh. Dalam hal ini istilah hukum syara‟ bermakna hukum-hukum
yang digali dari syari‟at Islam. Oleh karena itu, begitu penting kedudukan
hukum syara‟ dalam kehidupan sehari-hari, seperti hanya dalam masalah iddah
bagi seorang perempuan. Dalam masa iddah terdapat hukum yang menjelaskan
bahwa semua wanita yang berpisah dari suaminya dengan sebab talak khulu‟
(gugat cerai), faskh (penggagalan akad pernikahan) atau ditinggal mati, dengan
syarat sang suami telah melakukan hubungan suami isteri dengannya atau telah
diberikan kesempatan dan kemampuan yang cukup untuk melakukannya,
dalam hal ini seorang isteri wajib menjalankan masa iddah tersebut.
Dalam kitab fikih disebutkan, iddah wanita berarti hari-hari kesucian
wanita dan pengkabungannya terhadap suami. Dalam istilah fuqaha‟ iddah
adalah masa menunggu wanita sehingga halal bagi suami lain (Hawwas &
Azzam, 2011: 318). Iddah dimaksudkan untuk menjaga wanita tersebut dari
tercampurnya laki-laki lain yang akan menikahinya dan untuk menjaga
kebersihan rahimnya atau masa tenggang waktu dimana janda bersangkutan
tidak boleh kawin, dan dilarang pula menerima pinangan atau lamaran.
Bahakan dijelaskan dalam Al-Qur‟an surat Al-Baqar‟ah ayat 234, bahwasanya
2
“Orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan
isteri-isteri, maka hendaklah para isteri itu menangguhkan dirinya (ber‟iddah)
selama empat bulan sepuluh hari” Kemudian diperkuat dengan surat Ath-
Thalaq ayat 1, bahwasanya: “Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah
mereka dan janganlah mereka diizinkan keluar kecuali kalau mereka
mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan
barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia
telah berbuat dzalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui
barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru”
Dalam hukum Islam dijelaskan iddah pada umumnya yaitu seseorang
wanita tidak boleh keluar dari rumah ketika sedang menjalankan masa iddah
akan tetapi pada kenyataanya ada tradisi yang dilakukan di masyarakat Kebon
Randu, ketika suaminya meninggal, mereka melakukan ritual dengan memberi
makan kepada suaminya dengan cara menyuguhkan sesajen di dalam rumah
dan diletakan di pedaringan (tempat penyimpanan beras). Disamping meraka
menjalankan syariat Islam mereka juga melakukan ritual sesajen bahkan tidak
hanya itu saja ada ritual lain yang dipercayai masyarakat Kebon Randu seperti
menyalakan damar (lampu penerangan) di dalam kurungan ayam, bahkan ada
kebiasaan keluar malam hari untuk memberikan air yang sudah di do‟akan
yang berisi bunga tujuh rupa kemudian diantarkan ke makam suaminya
bersama orang lain atau tetangganya. Dari situlah muncul pertanyaan
bahwasanya bagaiman tradisi iddah cerai mati di Desa Kebon Randu? Apa
3
makna tradisi cerai mati di Desa Kebon Randu? Terus bagaimana presepektif
hukum Islam mengenai masa iddah cerai mati di desa Kebon Randu?.
Dari pemaparan di atas maka penelitian ini mengangkat judul TRADISI
MASA IDDAH CERAI MATI NYIRAM MAKAM (Analisis Hukum Islam
terhadap Tradisi Iddah Masyarakat Kebon Randu II, Kecamatan Anjatan Baru,
Kabupaten Indramayu).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan gambaran dan uraian di atas penyusun dapat merumuskan
pokok-pokok masalah yang akan dibahas dalam karya tulis ini meliputi:
1. Bagaimana tradisi iddah cerai mati di Desa Kebon Randu II?
2. Apa makna tradisi masa iddah cerai mati di Desa Kebon Randu II?
3. Bagaimana presepektif hukum Islam mengenai masa iddah cerai mati di
Desa Kebon Randu II?
C. Tujuan dan manfaat Penelitian
1. Tujuan
a. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan adat Jawa terhadap tradisi
masa iddah cerai mati dalam masyarakat Kebon Randu.
b. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan makna tradisi masa iddah
cerai mati dalam masyarakat Kebon Randu.
c. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan presepektif hukum Islam
mengenai masa iddah cerai mati di Desa Kebon Randu.
4
2. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan sebagai
berikut:
a. Memeperluas wawasan dalam ranah keilmuan fiqih mengenai masa
iddah.
b. Sebagai bahan referensi pembelajaran ilmu fiqih munakahat
khususnya mengenai tradisi masa iddah cerai mati.
c. Sebagai kajian ilmu fiqih dalam syariat Islam.
d. Sebagai penambah wawasan dalam keilmuan khususnya dalam bidang
fiqih munakahat mengenai masa iddah dan bisa bermanfaat bagi
semuanya.
e. Menetahui pandangan hukum Islam tentang masa iddah cerai mati di
Desa Kebon Randu.
f. Mengetahui makna tradisi masa iddah cerai mati di Desa Kebon
Randu.
D. Penegasan Istilah
Agar di dalam penelitian ini tidak terjadi penafsiran yang berbeda dengan
maksud peneliti, maka penulisan akan menjelaskan istilah dalam judul ini.
Istilah yang perlu dijelaskan penulisan adalah:
1. Adat atau Tradisi adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang
yang bernilai sepiritual yang di dalamnya terkandung kepercayaan atau
5
keyakinan yang harus dilakukan dan memiliki sangsi yang mengikat bagi
yang melakukan dan dilakukan turun temurun (Djoko, 2012).
2. Iddah adalah menurut bahasa dari kata “al-udd” dan “al-ihsha” yang berati
bilangan atau hitungan, maksudnya menghitung hari kesucian wanita dan
pengkabungannya terhadap suami. Dalam istilah fuqaha‟ iddah adalah
masa menunggu wanita sehingga halal bagi suami lain (Hawwas & Azzam,
2011: 318).
3. Cerai adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami isteri dengan
keputusan pengadilan (UU Perkawinan No 1 tahun 1974, Pasal 38).
4. Mati adalah akhir dari kehidupan, ketiadaan nyawa dalam organisme
biologis atau terpisahnya antara roh dan tubuh (Artikel, 2015).
Jadi tradisi masa iddah cerai mati adalah sustu kegiatan menunggu untuk
kebersiahan rahimnya seseorang yang bernilai sepiritual dan di dalamnya
terkandung kepercayaan atau keyakinan yang harus dilakukan dan memiliki
sangsi yang mengikat bagi yang melakukan.
Sesajen berasal dari kata sesajian atau yang biasa disingkat dengan ‟sajen‟
ini adalah istilah atau ungkapan untuk segala sesuatu yang disajikan dan
dipersembahkan untuk sesuatu yang tidak tampak bahkan ditakuti atau
dipercayai sebagai leluhur, seperti roh-roh halus, para penunggu atau penguasa
tempat yang dianggap keramat atau angker, atau para roh orang yang sudah
mati. Sesajian ini bisa berupa makanan, minuman, bunga, atau benda-benda
lainnya. Bahkan termasuk di antaranya adalah sesuatu yang bernyawa.
6
Adapun kemungkinan istlah yang belum diketahui oleh penulis, maka dari
itu penulis melakukan observasi lapangan di Desa Kebon Randu, guna
memperjelas istilah dalam penulisan skripsi.
E. Kerangka Teori
Menurut hukum Islam seseorang wanita cerai mati ketika ditinggal wafat
oleh suaminya diwajibkan menjalankan masa iddah. Dan masa iddahnya
adalah empat bulan 10 hari. Hal itu memang sudah menjadi ketetapan Allah
SWT dan diabadikan di dalam Al-Qur‟an Al-Karim.
Artinya: Orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan
meninggalkan isteri-isteri, maka hendaklah para isteri itu
menangguhkan dirinya (ber‟iddah) selama empat bulan sepuluh hari
(QS. Al-Baqarah: 234) (Jateng: 2004 hlm71-72).
1. Iddah bagi wanita yang berhias
Wanita yang berhiasa bermaksud perempuan yang diceraikan sebelum
disetubuhi. Hal ini, berbeda pandangan ulama mengenai kewajiban
beriddah bagi perempuan dalam keadaan suci. Bahkan ulama mazhab
berdebat mengenai perselisihan iddah bagi wanita yang berhias yaitu:
a. Syafi‟i tiadak wajib iddah sekiranya tiada percampuran diantara mereka
sekalipun juga pasangan tersebut berkhalwat.
b. Jumhur Ulama‟ tiadak wajib sekiranya belum berlaku percampuran dan
juga tidak berkhalwat tetapi wajib iddah sekiranya pernah berkhalwat.
7
2. Iddah Perempuan Karena Mati
Iddah perempuan karena mati yaitu perempuan yang diceraikan dalam
keadaan mati suaminya, iddahnya adalah 4 bulan 10 hari sekalipun
perempuan tersebut di dalam keadaan belum pernah mengalami haid,
mengandung, telah mengalami haid, telah putus masa haid, telah dicampuri
atau belum dicampuri. Tetapi ulama berbeda pendapat dalam keadaan
seperti dibawah ini.
Keadaan semasa perceraian dan pendapat mazhab.
a. Jumhur Ulama‟ mengatakan bahwasanya iddah seseorang yang ditinggal
mati suaminya, ketika dalam kondisi hamil maka iddahnya sepertimana
orang hamil atau sampai anak itu lahir. Ini untuk memastikan apakah
wanita tersebut sedang dalam keadaan hamil atau tidak, karena dalam
syariat Islam telah mensyariatkan masa 'iddah untuk menghindari
ketidakjelasan garis keturunan.
b. Jumhur Ulama mengatakan bahwasanya iddah seseorang yang ditinggal
mati suaminya, ketika dalam kondisi haid maka memperbaruhi iddahnya
sampai 3 kali suci. Iddah ini untuk perempuan yang sedang dalam
kondisi haid, ketika ditinggal mati suaminya, maka iddahnya perbaharui
dengan masa iddah 3 kali suci.
c. Jumhur Ulama‟ mengatakan bahwasanya iddah seseorang yang ditinggal
mati suaminya, ketika dalam kondisi telah putus masa haid maka
meneruskan dengan 3 kali suci (Bain). Iddah ini untuk perempuan yang
8
sedang dalam kondisi telah putus masa haid, maka masa iddah
perempuan menjadi 3 kali suci (Bain).
d. Syafie & Maliki seseorang isteri yang ditinggal mati suaminya, ketika
dalam kondisi telah dicampuri maka iddahnya Lanjut tempoh iddah
supaya cukup tempoh iddah mati. Karena dalam masa iddah seseorang
wanita dilarang untuk menikah sebelum masa iddah itu selesai. Ini
digunakan untuk mengetahui kebersihan rahim seseorang wanita.
e. Hanafi & Hambali seseorang isteri yang ditinggal mati suaminya, ketika
dalam kondisi belum dicampuri maka iddahnya di ubah menjadi iddah
mati. Iddah ini untuk perempuan yang belum dicampuri. Sedangkan,
ketika dalam kondisi haid dan sudah di talak sebelum meninggal maka
iddahnya seperti iddahnya mati suaminya atau 3 kali suci Bain (Hayazi,
2009).
Sedangkan dalil dari sunah banyak sekali, di antaranya:
عت كاج أسهى قال نها سب ايشأة ي ه وسهى أ عه صه للا ت صوس انب أو سه ع
كحه ح بعكك فأبج أ ابم ب حبه فخطبها أبى انس ها وه ع ححج صوصها حىف
عشش نال كزج قشبا ي ف كحه حخ حعخذ آخش الصه ح يا صهح أ فقال وللا
كح ه وسهى فقال ا عه صه للا رى صاءث انب
Artinya: Dari Ummi Salamah isteri Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam
bahwasanya seorang wanita dari Aslam bernama Subai‟ah
ditinggal mati oleh suaminya dalam keadaan hamil. Lalu Abu
Sanâbil bin Ba‟kak melamarnya, namun ia menolak menikah
dengannya. Ada yang berkata, "Demi Allâh, dia tidak boleh
menikah dengannya hingga menjalani masa iddah yang paling
panjang dari dua masa iddah. Setelah sepuluh malam berlalu, ia
9
mendatangi Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam dan Nabi
Shallallahu „alaihi wa sallam bersabda, "Menikahlah!" [HR al-
Bukhâri no. 4906] (Syamhudi, 2013).
Sedangkan dalil dalam As Sunnah cukup banyak, di antaranya hadits
Furai'ah binti Malik bin Sinan, saudari perempuan Abu Said Al-Khudhri
radhiyallahuanha. Ketika suaminya wafat, Rasulullah SAW memerintahkan
untuk menetap di dalam rumah suaminya, hingga selesai masa iddahnya.
سسىل للا ه وآنه وسهى -أ عه عذحها- صه للا خها حخ حخه كذ ف ب ح أيشها أ
Artinya: Rasulullah SAW memerintahkannya untuk menetap di dalam
rumahnya hingga selesai masa iddahnya. (HR. Malik, As-Syafi'i,
Ahmad, Abu Daud, An-Nasa'i, At-Tirmizy dan Ibnu Majah).
Al-Hakim dan Ibnu Hibban menshahihkan hadits ini. Dan oleh karena
itulah maka umumnya para ulama sepakat mengharamkan wanita keluar
rumah selama masa iddahnya. Dan pendapat inilah yang lebih rajih dan lebih
banyak diterima oleh para ulama.
Sedangkan para ulama yang berbeda pendapat, di antaranya mazhab Al-
Malikiyah, Asy-Syafi‟iyah dan Al-Hanabilah, serta Ats-Tsuari, Al-Auza‟i,
Allaits dan yang lainya, mengatakan bahwa bagi wanita yang ditalak bain,
yaitu talak yang tidak memungkinkan lagi untuk dirujuk atau kembali, seperti
ditalak untuk yang ketiga kalinya, maka mereka diperbolehkan untuk keluar
rumah, setidak-tidaknya pada siang hari. Alasannya karena wanita yang telah
ditalak seperti itu sudah tidak berhak lagi mendapatkan nafkah dari mantan
suaminya. Dan dalam keadaan itu, dia wajib mencari nafkah sendiri dengan
kedua tangannya. Maka tidak masuk akal bila wanita itu tidak boleh keluar
10
rumah, sementara tidak ada orang yang berkewajiban untuk menafkahi
(Sarwat, 2013).
F. Telaah Pustaka
Setelah penulis melaksanakan penelusuran literatur yang membahas
mengenai iddah, penulis telah menemukan beberapa refrensi khususnya dari
skripsi dan beberapa buku. Diantaranya yang dapat dijadikan sumber Telaah
Pustaka adalah sebagai berikut:
Pertama: skripsi Muria Ulfa (2013) fakultas syari‟ah dan hukum jurusan
Al-Ahwal Asy-Syakhshiyyah. yang menulis dengan judul “Tinjauan Hukum
Islam Terhadap Penggunaan Taspack Sebagai Pengganti Masa ‟iddah”. Yang
melatar belakangi skripsi ini yaitu kewajiban iddah bagi perempuan yang
bercerai dengan suaminya, baik cerai hidup maupun cerai mati. Iddah di
syaratkan bagi perempuan tersebut karena dalam hukum iddah mengandung
banyak kemasalahatan yang kembali kepada suami, isteri keluarga dan
masyarakat. Kemasalahatan iddah untuk melindungi dan memelihara
keturunan dari ketercampuran dengan laki-laki lain yang akan dinikahi. Sebab
kesucian permpuan selama masa iddah tanpa menikah dapat diketahui dari
kebebasan dan kekosongan rahimnya dari adanya janin yang ada di dalam
rahimnya.
Di zaman kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi yang canggih, hasil-
hasil yang dicapai ilmu pengetahuan dan tekhnologi (IPTEK) ini luar bisa.
Berkaitan kemajuan tekhnologi dalam bidang kedokteran dan juga rekayasa
11
manusia yang sangat mengagumkan, kebersihan rahim seseorang perempuan
dapat diketahui melalui alat tes kelamin Tespack (Home Pregnancy Test).
Tespack ini adalah salah satu dari sekian banyak alat tes kelamin yang praktis
dan lebih pribadi. Tespack bekerja dengan cara mendeteksi hormon HCG
(Human Chorionic Goandortopin) yang terdapat pada urin dan hanya dengan
menunggu beberapa menit saja rahim seorang wanita dapat diketehui apakah
didalamnya terdapat janin atau tidak ada tanda positif atau negatif. Dengan
adanya alat pendeteksi kehamilan dalam waktu singkat dan hasil yang akurat
tersebut tentu saja telah menimbulkan implikasi hukum terhadap iddah.
Mungkin dengan adanya tespack dapat menggugurkan kewajiban beriddah.
Penelitian ini merupakan peneliti pustaka library research yaitu penelitian
dilakukan dengan jalan menelaah bahan-bahan pustaka baik berupa buku, kitab,
jurnal, maupun sumber lainya. Tekhnik dalam penelitian ini adalah studi
keperpustakan, sedangkan pengumpulan datanya adalah menggunakan data
primer dan data sekunder. Pendekatan penelitian ini di gunakan dengan
normatif dan serta filosofis, yaitu pendekatan dengan melihat persoalan dikaji
dengan berlandaskan pada teks-teks Al-Quran dan Al Hadist, Kitab Usul Fiqih
serta pendapat ulama yang berkaitan dengan masa iddah.
Pendekatan filosofis dengan memahami masalah tersebut dengan hikmah-
hikama dan tujuan yang terkandung dalam suatu penetapan hukum. Analisis
dalam penelitian ini adalah berpola metode dedukatif, yaitu metode berfikir
yang bertitik tolak dari data yang bersifat umum untuk diambil kesimpulan
yang bersifat khusus. Hasil penelitian ini ialah, adanya alat uji kelamin tespeck
12
tidak bisa mengubah ketentuan hukum iddah, karena kebersihan rahim bukan
satu-satunya faktor yang dapat menghilangkan ketentuan iddah melainkan ada
faktor lain yang tidak bisa dipisahkan yaitu, ta‟abudi yang merupakan hak
allah yang harus dilaksanakan, selain itu juga rasa bela sungkawa bagi seorang
isteri atas kepergian suaminya, dengan adanya kemasalahatan ini maka iddah
tidak boleh ditiadakan (Muria: 2013).
Kedua: Skripsi Jundhi, Faris, Ahmad. (2013) Fakultas Syari‟ah Al-Ahwal
Asy-Syakhshiyyah. yang menulis dengan judul “Pemberian Nafkah Iddah pada
Cerai Gugat, (Studi Pemberian Nafkah Iddah Pada Cerai Gugat. No
1925/Pdt.G/2010/PA.pt)” Dalam tulisan ini menjelaskan tentang pemberian
nafkah iddah pada cerai gugat. Yang melatarbelakangi penelitian ini yaitu
dalam putusan perkara cerai talak hakim di Pengadilan Agama mewajibkan
seorang suami membayar nafkah iddah kepada mantan istrinya. Sedangkan
untuk putusan cerai gugat dalam hukum fiqh tidak memberikan nafkah iddah
bagi mantan isteri karena isteri dianggap nuzyuz. Isteri yang menuntut cerai
dari suaminya dapat menggugurkan hak-haknya di masa mendatang, seperti
hak nafkah selama iddah, nafkah mut‟ah (nafkah untuk istri yang dicerai
tanpa alasan setelah masa iddah) dan mahar yang belum sempat terbayar.
Namun dalam putusan cerai gugat di Pengadilan Agama Pati mengenai kasus
cerai gugat hakim memberikan putusan dengan mengabulkan gugatan cerai
gugat tersebut dengan membebankan biaya nafkah iddah pada suami. Adapun
tujuan yang hendak dicapai setelah penelitian ini selesai adalah mengetahui
bagaimana hak nafkah iddah isteri setelah mengajukan cerai gugat kepada
13
suaminya dalam fiqh, menurut perundang-undangan dan landasan hukum
hakim dalam putusannya.
Penelitian ini merupakan hasil dari penelitian lapangan (field research).
Jenis Penelitian yang dipakai dalam penelitian ini adalah studi kasus
dengan menggunakan metode pendekatan kualitatif deskriptif analisis. Hasil
penelitian yang diperoleh adalah pertama, hakim mempertimbangan
pemberian nafkah iddah dan mut‟ah pada talak ba‟in ini didasarkan pada
pendapat Imam Hanafi, kedua, dalam putusan PA Pati No.
1925/Pdt.G/2010/PA.Pt ini pemberian nafkah iddah oleh majelis hakim juga
didasarkan dengan putusan Mahkamah Agung RI Nomor 137/K/AG/2007
tanggal 19 September 2007, Ketiga, Adanya 5 dasar pertimbangan hakim yaitu
keadilan, ketertiban hukum, menempatkan harkat perempuan pada porsinya,
adanya kelayakan suami memberi nafkah iddah, adanya kelayakan bekas istri
menerima nafkah iddah (Jundhi: 2013).
Ketiga: Muhammad Fahmi Rois (2013) Fakultas Syari‟ah Al-Ahwal Asy-
Syakhshiyyah. yang menulis dengan judul “Penentuan Awal Masa Iddah
Menurut Fiqih Munakahat dan KHI”. (Studi terhadap pendapat hakim
Pengadilan Agama Salatiga dan kepala KUA Argomulyo).” Yang
melatarbelakangi pengambilan judul skripsi ini yaitu adanya penentuan, awal,
„iddah. Dalam penelitian ini berusaha meneliti perbedaan konsep masa„iddah
antara Fiqh dan KHI. Penelitian ini mengkhususkan pada penentuan awal
dimulainya masa„iddah. Permasalahan utama yang akan dibahas melalui
penelitian ini adalah bagaimana penentuan awal masa „iddah menurut fiqh,
14
bagaimana penentuan awal masa„iddah menurut KHI, bagaimana pelaksanaan
penentuan awal masa „iddah? Dalam pembahasan permasalahan tersebut
penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan landasan berfikir
yuridis empiris. pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan
mencari literatur yang membahas tentang masalah „iddah dan wawancara
kepada hakim-hakim Pengadilan Agama Salatiga dan kepala KUA Kecamatan
Argomulyo.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa awal masa „iddah dalam fiqh
penentuan awal masa„iddah tergantung pada kondisi wanita saat perceraian
terjadi dalam keadaan suci sedang haid, sudah dikumpuli dalam masa suci atau
tidak berhaid. Pada wanita berhaid yang bercerai dalam keadaan suci dan
belum berkumpul pada masa suci „iddahnya dumulai sejak masa suci saat
terjadinya perceraian. Pada wanita berhaid yang bercerai dalam keadaan haid
atau telah berkumpul pada masa suci saat bercerai „iddahnya mulai dihitung
pada masa suci setelahnya. Dan pada wanita yang tidak berhaid, „iddahnya
dihitung sejak hari jatuhnya. Dalam KHI „iddah dihitung sejak penetapan
perceraian yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Penetapan berkekuatan
hukum tetap apabila tidak ada upaya hukum dari tergugat selama batas waktu
pengajuan upaya hukum. Apabila ada upaya hukum, maka „iddah dihitung
sejak penetapan upaya hukum telah berkekuatan hukum tetap. Pelaksanaan
penentuan awal masa„iddah dilakukan oleh KUA berdasarkan tanggal
atas/induk kalimat yang terdapat pada isi dari akta cerai. Tanggal atas pada
15
akta cerai adalah tanggal dimana pembacaan akta talak pada cerai talak atau
tanggal putusan bekekuatan hukum tetap pada cerai gugat (Muhamad: 2013).
Setelah membaca dari berbagai sumber referensi yang ada, peneliti tidak
menemukan masa iddah dalam tradisi Jawa seperti nyiram makam, kebanyakan
pembahasan mengenai hukum iddah tersebut, seperti tinjauan hukum Islam
terhadap penggunaan taspack sebagai pengganti masa ‟iddah, pemberian
nafkah iddah pada cerai gugat, penentuan awal masa iddah menurut fiqih
munakahat dan KHI. Dalam hal ini peneliti terletak pada tradisi masa iddah
cerai mati adat Jawa, dalam masyarakat Indramayu desa Kebon Randu II,
mengapa peneliti memilih judul ini karena setiap manusia itu mempunyai sifat
yang berbeda dan karekter yang berbeda sehingga mempunyai pandangan yang
berbeda, sehingga menimbulkan kepercayaan atau keyakinan dan pemahaman
yang berbeda pula, begitu juga dengan masyarakat Kebon Randu II,
bahwasanya ketika suaminya telah meninggal dunia ia melaksanakan masa
iddah-nya sesuai dengan syari‟at Islam disamping itu mereka memiliki
kepercayaan bahwasanya ada tradisi seperti memberi makan kepada suaminya,
dengan mengirimkan sesejen di dalam rumah seperti tempat pedaringan
(tempat penyimpanan beras), tempat kurungan yang kemudian di dalamnya ada
damar (lampu), dan masih ada lagi hal-hal yang lain yang belum peneliti
ketahui tentang masa iddah tradisi masyarakat Kebon Randu. Kemudian penliti
timbul pertanyaan, bahwasanya Bagaimana tradisi iddah cerai mati di desa
Kebon Randu, Apa makna tradisi masa iddah cerai mati di desa Kebon Randu,
16
Bagaimana presepektif hukum Islam mengenai masa iddah cerai mati di desa
Kebon Randu, maka dari itu peneliti mengangkat judul ini.
F. Metode Penelitian
1. Pendekatan dan Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian lapangan (field research)
dalam pelaksanaanya menggunakan metode pendekatan kualitatif diskripsi
analisis yang umumnya menggunakan strategi dengan metode pengolahan
data seperti wawancara, pengamatan, serta penelaahan dokumen/studi
documenter yang antara satu dengan yang lain saling melengkapi,
memperkuat dan menyempurnakan (Sukmadinata, 2005:108). Dalam
laporan penelitian ini data memungkinkan berasal dari naskah wawancara,
catatan lapangan, foto.
a. Metode Wawancara Mendalam (Depth Interview)
Wawancara (Interview) adalah tanya-jawab atau pertemuan dengan
seseorang untuk suatu pembicaraan. Metode wawancara dalam konteks
ini berarti proses memeperoleh suatu fakta atau data dengan melakukan
komunikasi langsung (tanya-jawab secara lisan) dengan responden
penelitian, baik secara temu wicara atau menggunakan tekhnologi
komunikasi (jarak jauh). Dalam wawancara ini ada dua belah pihak yang
berinteraksi yaitu yang bertanya disebut dengan Interviewer
(pewawancara) dan Interviewee (yang diwawancarai atau dalam
penelitian disebut dengan responden) (Supardi, 2005: 121).
17
Dalam penelitian wawancara ini dilakukan secara mendalam
mengetahui informasi data dari tokoh adat seperti Bapak Kebon, Bapak
Dasuki, Bapak Tarma dari narasumber ini untuk mengetahui pengaruh
tokoh adat dan mengenai latar belakang tradisi cerai mati di desa Kebon
Randu. Sedangkan untuk masyarakat yang melaksanskan adat atau trdisi
cerai mati adat Jawa desa Kebon Randu seperti Ibu Naritem, Ibu
Casitem, Ibu Tani, Ibu Item narasumber ini digunakan untuk mengetahui
proses pelaksanaan tradisi masa iddah cerai mati seperti Nyiram Makam
dan untuk mengetahui apa saja yang di perlukan dalam tradisi tersebut.
Sedangkan untuk tokoh agama di masyarakat Kebon Randu seperti
Bapak Muhaimin, Bapak Tarma, Bapak Rosid, narasumber ini digunakan
untuk mengetahui persepektif hukum Islam dan pendapat mereka
mengenai tradisi masa iddah adat Jawa dan masyarakat setempat yang
dianggap mengerti tentang adat di desa Kebon Randu seperti Ibu Sayu,
Ibu Bonung, Ibu Ecih, Ibu Dadang, Ibu Rum, Ibu Cuat, Ibu Suritem,
Bapak Jiin, Bapak Sarwah Bapak Dasuki, Bapak Arda dari narasumber
tersebut peneliti menggali informasi yang mendalam mengenai tradisi
masa iddah cerai mati di desa Kebon Randu. Mengapa peneliti memilih
judul ini karena peneliti ingin menggali pemahaman masyarakat yang
memiliki kepercayan adat yang masih kuat sehingga peneliti bisa
mengarahkan permasalah yang ada dan mencari kebenaran dari
narasumber yang sudah dipilih tersebut dan masyarakat sekitar untuk
mendapatkan data yang diperlukan. Teknik wawancara yang digunakan
18
peneliti ini dilakukan secara tidak setruktur, dimana peneliti tidak
melakukan wawancara dengan struktur yang ketat kepada informan agar
informasi yang diperoleh memiliki kapasitas yang cukup tentang
berbagai aspek dalam penelitian ini.
b. Metode Observasi atau Pengamatan
Metode observasi adalah tekhnik pengumpulan data dengan
pengamatan langsung kepada objek penelitian (Surakhmad, 1994:164).
Metode ini digunakan untuk mengetahui situasi dan kondisi lingkukngan
Desa Kebon Randu II Kencamatan Anjatan Baru, Kebupaten Indramayu.
Pengamatan disini termasuk juga di dalamnya peneliti mencatat peristiwa
dalam situasi yang berkaitan dengan pengetahuan proporsional maupun
langsung diperoleh dari data (Moleong, 2007:174).
Observasi ini dilakukan dengan alat perekam seperti HP dengan
menggunakan alat perekam berupa video di dalam HP, ini digunakan
untuk memudahkan peneliti dalam pengecekan data dari informan satu
dengan informan yang lain dan memudahkan penulisan dalam
meneganalisis data ini karena banyak berbagai narasumber yang harus
peneliti wawancara, sehingga HP bisa sebagai alat menyimpan data dan
informasi. Disamping itu peneliti melakukan serangkaian pengamatan
dengan menggunakan alat indra penglihatan dan pendengaran secara
langsung terhadap objek yang diteliti, ini digunakan peneliti mengecek
langsung kondisi di lapangan dengan narasumber melalui, peneliti terjun
langsung kelapangan dan mengikuti tradisi di masyarakat Kebon Randu
19
dan peneliti ikut membantu-bantu dalam pelaksanan tradisi tersebut
seperti mengundang bapak-bapak untuk tahlian menyiapkan sesajian.
c. Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi adalah metode pengumpulan data dengan
cara membaca dan mengutip dokumen-dokumen yang ada dan
dipandang relevan. Dalam melaksanakan metode dokumentasi, peneliti
menyelidiki benda tertulis seperti buku-buku, peraturan aparat, catatan
harian dan sebagainya (Arikunto, 1989:131). Metode ini digunakan
untuk memperoleh data sejarah Desa Kebon Randu II kecamatan
Anjatan Baru Kebupaten Indramayu data dan informasi lain yang
menunjang.
Gambar 1 (Desa Kebon Randu)
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan peneliti yaitu normatif dan sosiologis yaitu
pendekatan normatif dilakukan untuk mengetahui hukum iddah dari segi
20
hukum Islam sedangkan pendekatan sosiologis dilakukan untuk mengetahui
tradisi masa iddah masyarakat Kebon Randu.
3. Waktu Penelitian / Kehadiran Penelitian
Penelitian dan pengumpulan data di desa Kebon Randu II Kecamatan
Anjatan Baru Kabupaten Indramayu ini dengan cara peneliti terjun
kelapangan. Penelitian ini dimulai pada bulan Desember sampai dengan
bulan Maret 2015 sampai dengan selesai penelitian yang disertai dengan
kegiatan akhir berupa penyusunan skripsi. Namun peneliti sudah melakukan
wawancara terlebih dahulu terhadap masyarakt Kebon Randu, wawancara
tersebut sebagai narasumber pangkal seperti Bapak Arda Bapak Uki Bapak
Sutandi. Narasumber pangkal ini digunakan untuk mengetahui kemana
peneliti harus mencari data dan kesiapa peneliti harus menemuin tokoh adat,
yang kemudian narasumber pakanal yang bisa mengarahkan kepada peneliti
agar menemui tokoh adat, isteri yang dicerai mati dalam tradisi masyarakat
Kebon Randu yang kemudian memberikan informasi yang dikaksudkan
peneliti sehingga kebenaran datanya kuat. kehadiran peneliti dalam tradisi
cerai mati adat Jawa di Desa Kebon Randu ini peniliti ikut serta dalam
pelaksanaan seperti menyiapkan bahan sesajen, mengundang orang untk
tahlilan, bahkan peneliti bergaul dengan orang-orang yang sudah sepuh
untuk mencari data yang mendalam. Disamping itu ada kendala yang
dihadapi penelitih ketika mewawancarai masyarakat seperti lokasi yang
jauh, alat perekam tidak berfungsi/ batu HPnya habis, terkadang informan
juga sulit ditemui karena kesibukan dengan pekerjaanya disawah, bahkan
21
ada yang tidak mau di dokumentasi dengan foto sehingga data hanya di
ambil dengan catatan kecil dibuku. Untuk informan kunci peneliti
mewawancarai Bapak Kebon, Ibu Ratingkem, Ibu Casitem, Bapak Das, Ibu
Bonung, Bapak tarma untuk menghasilakan data tradisi masa iddah ceri
mati adat Jawa dan latar belakang munculnya tradisi tersebut.
4. Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Desa Kobon Randu II Kecamatan
Anjatan Baru Kabupaten Indramayu. Adapun alasan pemilihan tempat
adalah penelitian di Desa Kebon Randu II Kecamatan Anjatan Baru
Kabupaten Indramayu ini berkaitan dengan upaya peningkatan dan
pemahaman pengetahuan mengenai hukum Islam khususnya dalam fiqih
munakahat yang membahas mengenai masa iddah dalam tradisi adat Jawa di
desa Kebon Randu II. Disamping itu lokasi yang dijangkau lebih mudah
karena tempat tinggal peneliti berdekatan, peneliti lebih tau kondisi
masyarakat karena peneliti pernah tinggal disitu selama 9 tahun, bahkan
peneliti juga dianggap bagian dari masyarakat Kebon Randu sehingga bisa
memeksimalakan dalam memperoleh data.
5. Sumber Data
Data merupakan suatu fakta atau keterangan dari obyek yang diteliti.
Menurut Lofaland (1984:47) dalam Melong, (2007:157) sumber data utama
dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata, tindakan, selebihnya adalah
data tambahan seperti dokumen lain (sumber data tertulis, foto, dan
statistic).
22
a. Data Primer
Sumber dan jenis data primer penelitian ini adalah kata-kata dan tindakan
subjek serta gambaran ekspresi, sikap dan pemahaman dari subjek yang
diteliti sebagai dasar utama melakukan interpretasi data. Data atau
informasi tersebut diperoleh secara langsung dari orang-orang yang
dipandang mengetahui masalah yang akan dikaji dan bersedia memberi
data atau informasi yang diperlukan. Sedangkan pengambilan data
dilakukan dengan bantuan rekaman suara handphone. Sementara itu
observasi dilakukan dengan melakukan pengamatan secara langsung
segala aktivitas di desa Kebon Randu II Kecamatan Anjatan Baru,
Kabupaten Indramayu.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data atau informasi yang diperoleh dari sumber lain
dari data primer. Diantaranya buku-buku literature, internet, majalah,
atau journal, arsip, dokumen pribadi, dan tidak menutup kemungkina ada
data dari lembaga-lembaga yang terkait dengan penelitianini. Data
tersebut diantaranya buku buku referensi. Menurut Mestika Zed
(2004:10) buku referensi ialah koleksi buku yang memuat informasi yang
sepesifik, paling umun serta paling banyak dirujuk untuk keperluan
cepat. Yang termasuk buku-buku refernsi diantaranya undang-undang
KHI, buku fiqih munakahat yang membahas tentang iddah, kitab
terjemahan, jaournal, artikel, skkripsi selebihnya hasil wawancara
lapangan di desa kebon randu II.
23
6. Metode Analisis Data
Metode analisis adalah suatu penanganan terhadap objek ilmiah tertentu
dengan jalan memilah, memilih antara pengertian yang satu dengan yang
lain untuk mendapatkan pengertian yang baru. Data yang berhasil dihimpun
akan dianalisis secara kualitatif, yaitu dengan menerapkan metode berfikir
yang bertolak dari fenomena yang khususnya dan kemudian menarik
kesimpulan yang bersifat umum (Daimon, 2008:369).
7. Pengecekan Keabsahan Data
Dalam pengcekan keabsahan data penelitian terhadap beberapa criteria
keabsahan data yang nantinya akan dirumuskan secara tepat, tehnik
pemeriksaannya yaitu dalam penelitian ini harus terdapat adanya kredibilitas
yang dibuktikan dengan perpanjangan.
Untuk mengetahui apakah data yang telah dikumpulkan dalam penelitian
memiliki tingkat kebenaran atau tidak, maka dilakukan pengecekan data
yang disebut dengan validitas data. Untuk menjamin validitas data akan
dilakukan terianggulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang
memanfatakan sesuatu yang lain diluar data ini untuk keperluan pengecekan
atau sebagai pembanding terhadap data itu (Moleong, 2006:330). Metode
terianggulasi ini digunakan untuk mengumpulkan data hasil dari wawancar
yang beragam dan sumber yang berbeda dengan menggunakan suatu metode
yang sama. Maka digunakan pengecekan antara informan yang satu dengan
informan yang lain dengan aktivitas yang sama atau dengan obyek yang
sama, waktu dan tempat yang berbeda. Maka, jika datanya konsiten akan
24
menghasilkan variable yang sama berarti informan yang telah di
wawancarai mengatakan yang sejujurnya, jika datanya tidak konsisten maka
informan itu berbohong. sehingga validitas data akan membuktikan apakah
data yang diperoleh sesuai dengan apa yang ada dilapangan atau tidak,
dengan demikian data yang diperolah dari suatu sumber akan dikontrol oleh
data yang sama dari sumber yang berbeda.
8. Tahapan-tahapan penelitian
a. Penelitian Pendahuluan
Penulis yang mengkaji buku-buku yang berkaitan dengan masa iddah
perempuan dan buku lain yang berkaitan dengan adat Jawa.
b. Pengembangan Pustaka
Setelah penulis mengetahui banyak hal tentang hukum iddah dalam
berbagai sumber, kemudian penulis melakukan observasi ke objek
penelitian untuk melihat secara langsung ketika seorang isteri ditinggal
mati suaminya kemudian menjalankan masa iddahnya yang beradat
tradisi Jawa di desa Kebon Randu II, Kecamatan Anjatan Baru,
Kabupaten Indramayu.
c. Penelitian lapangan
Penulisan melakukan penelitian dengan cara terjun langsung ke lokasi
penelitian untuk meneliti secara lebih mendalam tentang kasus yang
sebenarnya terjadi mengenai masa iddah tradisi adat Jawa di masyarakat
Kebon Randu II, Kecamatan Anjatan Baru, Kabupaten Indramayu
25
dengan mengikuti tradisi tersebut dan membantu proses pelaksanaan
tradisi tersebut.
d. Penyusunan
Setelah mengkaji berbagai sumber, yang kemudian penliti melakukan
wawancara di desa Kebon Randu dengan berbagai informan waktu dan
tempat yang berbeda, kemudian peneliti akhirnya menyusun dan
menerjemakan bahasa untuk dimengarti kemudian dituangkan dalam
karya tulis ini.
G. Sistematika Pembahasan
Sistemimatis pembahasan merupakam suatu hal yang sangat urgan dalam
pembahsan karya tulis ini agar dapat memberikan gambaran yang teratur
tentang isi dan krangka penyusunan karya tulis ini. Sebagai bahan untuk
pemahaman dan kemudahan bagi penyusun dan pembaca dalam memahami
tulisan ini.
Sebagai upaya untuk menjaga keutuhan dalam pembahsan karya tulis ini
penyusun menggunakan sistematis pembahsan sebagai berikut:
Bab pertama adalah berisikan pendahuluan yang memuat latar belakang,
pokok masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, penegasan istilah,
telaah pustaka, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.
Bab dua yaitu membahas tentang gambaran umum hukum Islam tentang
masa iddah, dalam bab ini akan mejelaskan tentang pengertian iddah, tujuan
iddah, hukum iddah dalam al-Qur‟an dan Hadis, Macam-macam iddah,
pendapat ulama tentang iddah, manfaat dan hikmah iddah.
26
Bab tiga ini membahas tentang adat Jawa seperti sejarah adat Jawa, iddah
dalam Jawa, makna iddah dalam adat Jawa, pengaruh tokoh adat, pandangan
masyarakat Jawa terhadap hukum Islam dan adat Jawa terhadap tradisi
(Kebiasaan masa iddah cerai mati di Desa Kebon Randu II, Kecamatan
Anjatan Baru, Kabupaten Indramayu).
Bab empat ini membahas mengenai analisa dari bab-bab dimana akan
menganalisis terhadap hukum Islam dan adat Jawa terhadap tradisi/kebiasaan
masa iddah cerai mati di Desa Kebon Randu II, Kecamatan Anjatan Baru,
Kabupaten Indramayu yaitu berisi tentang makna masa iddah cerai mati tradisi
masyarakat Kebon Randu, pandangan iddah dalam tradisi masyarakat Kebon
Randu, pengaruh tokoh adat dalam masa iddah cerai mati tradisi masyarakat
Kebon Randu.
Bab lima berisi tentang penutup yaitu kesimpulan, saran-saran dan
lampiran. Disni penyusun akan memberikan jawaban dari pokok masalah dan
solusi penyelesaian masalah.
27
BAB II
Gambaran Umum Tentang Masa Iddah Cerai Mati
F. Penegertian Iddah
1. Iddah Menurut Fiqih
Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya dari suaminya, berlaku
baginya waktu tunggu atau masa iddah kecuali apabila seorang isteri dicerai
suaminya sebelum berhubungan (qabla dukhul). Baik karena kematian,
perceraian, atau atas keputusan pengadilan (Rofiq, 1998: 301). Maka iddah
merupakan perintah Allah yang harus dijalankan kepada bekas isteri ketika
dicerai atau ditinggal mati suaminya.
a. Secara Etimologi
„Iddah menurut bahasa Arab berasal dari akar kata “al-„udd” dan
“al-ihsha” yang berarti bilangan atau hitungan (Hawwas, 2011: 318).
Kata “hitungan” ini digunakan untuk maksud „iddah karena dalam masa
iddah, wanita haram dinikahi, sehingga perempuan menghitung hari-hari
kesucian wanita dan masa bersihnya setelah diceraikan suaminya.
Wahbah Zuhaili mengemukakan Seperti dalam buku Sabiq
memeparkan bahwa:
انها عه عذد االقشاء أو االشهش غانبا: وهى نغت انعذد االسخ االحصاء يأخىرة ي
Artinya :“Iddah secara bahasa adalah menahan, terambil dari kata
Adad (Bilangan) karena mencakup atas bilangan dari
beberapa quru‟ dan beberapa bulan menurut kebiasaan.”
28
Sayyid Sabiq memaparkan dalam fiqih saunah:
شأة : اانعذ ىحعذ هان واالقشاء االا ي اا ه انعذد يخىدةيا االحصاء ححص
Artinya:“Iddah terampilan dari kata „Adad, artinya menghitung,
maksudnya perempuan yang menghitung hari-harinya dan masa
bersihnya” (Sabbiq, 1987: 150).
Dari dua pendapat yang dikemukakan oleh para ahli fiqh tersebut
dapat dipahami bahwa pengertian iddah dari segi bahasa berasal dari kata
„adda yang berarti bilangan, menghitung, dan menahan. Maksudnya
perempuan menghitung hari-harinya dan masa bersihnya setelah
diceraikan suaminya.
b. Secara Terminologi
Mengenai definisi „iddah menurut terminologi terdapat beberapa
redaksi yang berbeda dari para fuqaha‟ sesuai dengan sudut pandang
masing-masing. Di antaranya ada yang mengemukakan defenisi „iddah
dengan menekankan kepada macam-macam „iddah, ada yang
mengutamakan tujuan dan ada yang mengedepankan sebab. Sekalipun
redaksinya berbeda tapi semuanya bermuara pada tujuan yang sama.
Abi Yahya Zakaria al Anshari mengemukakan pengertian „iddah Seperti
dalam buku Wahyudi menurut istilah yaitu:
. سصهااونهخعبذ او نخفضعها عه صوس وه يذة حخشبص فهاانشاة نعشفت بشاة
Artinya : “Iddah adalah masa menunggu seorang perempuan untuk
mengetahui kebersihan rahimnya atau untuk melaksanakan
ibadah atau untuk menghilangkan rasa duka karena
kematian suami.” .
29
Definisi iddah yang dikemukakan oleh Abi Yahya al Zakaria
tersebut lebih mengutamakan tujuan iddah. Adapun tujuan iddah ini
adalah untuk mengetahui kebersihan rahim seorang perempuan,
untuk melaksanakan ibadah, dan untuk menghilangkan rasa duka
bagi seorang perempuan yang kematian suaminya (Wahyudi,2009: 10).
Dalam kitab fiqh ditemukan definisi iddah itu yang pendek dan
sederhana diantaranya adalah: يذة حخشبص فها انشاة atau masa tunggu yang
dilalui oleh seorang perempuan. Karena sederhananya definisi ini, maka
ia masih memerlukan penjelasan mengenai apa yang ditunggunya,
kenapa dia menunggu, dan untuk apa ia menunggu.
Untuk menjawab apa yang di tunggu dan mengapa ia harus menuggu,
al-Shan‟any mengemukakan definisi yang lebih lengkap sebagai berikut:
اسى نذة حخشبص بها انشٲة ع انخضوش بعذ وفاة صوصها وفشاقه نها
Artinya: Nama bagi suatu masa yang seorang perempuan menunggu
dalam masa itu kesempatan untuk kawin lagi karena wafatnya
suaminya atau bercerai dengan suaminya (Amir, 2006: 303).
Untuk menjawab pertanyaan untuk apa dia menunggu, ditemukan
jawabannya dalam ta‟rif lain yang bunyinya:
يذة حخشبص فها انشٲة نخعشف بشائت سحها او نخعبذ
Artinya: Masa tunggu yang harus dilalui oleh seorang perempuan untuk
mengetahui bersihnya perempuan itu atau untuk beribadah.
Dari beberapa definisi yang dikemukakan di atas dapat disusun
hakikat dari iddah tersebut sebagai berikut: “masa yang harus ditunggu
oleh seorang perempuan yang telah bercerai dari suaminya agar dapat
30
menikah lagi untuk mengetahui bersihnya rahimnya atau untuk
melaksanakan perintah Allah”.
Para ulama sepakat bahwa iddah hukumnya adalah wajib. Dilihat dari
firman Allah SWT 228.
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru'. (Al-Baqarah:228.).
2. Iddah Menurut KHI
Dalam KHI „iddah disebut dengan waktu tunggu. Konsep-konsep
mengenai waktu tunggu yang terdapat pada KHI diambil dari kitab fiqh.
Berikut akan diterangkan tentang dasar hukum dan macam-macam serta
perhitungan waktu tunggu menurut KHI.
a. Dasar Hukum „iddah
Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya dari suaminya,
berlaku baginya waktu tunggu (masa„iddah), kecuali apabila seorang istri
dicerai suaminya sebelum berhubungan (qabla al-dukhul), baik karena
kematian, perceraian atau atas keputusan pengadilan. Dalam Kompilasi
Hukum Islam dijelaskan pada Pasal 153, 154 dan 155.
Pasal 153 ayat (1) Kompilasi menyatakan:
Bagi seorang isteri yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu
atau„iddah kecuali qabla al-dukhul dan perkawinannya putus bukan
karena kematian suami (Rofiq, 1998: 310). Ini didasarkan pada firman
allah dalam surat al-Ahzab 33: 49 yang menjelaskan “Hai orang-orang
31
yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang
beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu
mencampurinya, maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka „iddah
bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka
mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya”.
Bahkan dalam pasal 39 ayat 1 huruf a .PP.No.9/1975 menjelaskan
“apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan
130 hari (seratus tiga puluh) hari”. Ketentuan ini diatur dalam pasal 153
ayat 2 huruf a. ini didasarkan pada (QS.al-Baqarah 2:234) (Rofiq, 1998:
311).
G. Hukum Iddah dalam Al-Qur’an dan Hadis
Aturan yang ditunjukan dalam hukum Islam baik kitab suci Al-Qur‟an
maupun Al- Hadist bagai seorang isteri ketika sudah bercerai dari suaminya,
baik dicerai suami dalam kondisi apapun, cerai mati atau hidup, sedang hamil
atau tidak, masih berhaid atau tidak, maka seorang isteri wajib menjalani masa
iddah. Seluruh imam mazhab sepakat atas wajibnya iddah, landasan dasarnya
terdapat dalam Al-Qur‟an dan Hadist.
1. Dasar Hukum Dari Firman Allah
a. Surat Al-Baqar‟ah ayat: 228
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru
32
b. Surat Al-Baqar‟ah ayat: 234
Artinya: Orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian
dengan meninggalkan isteri-isteri, maka hendaklah para
isteri itu menangguhkan diri nya (ber‟iddah) selama
empat bulan sepuluh hari
c. Surat Ath-Thalaq ayat: 1
Artinya: Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka
dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau
mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah
hukum-hukum Allah dan barang siapa yang melanggar
hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah
berbuat lalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak
mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu
suatu hal yang baru Ath-Thalaq: 1
2. Dasar Hukum dari Hadist
a) Bukhari dan Muslim, dalam Nailul 6:329
قال انب ت ا او سه : ع باهلل و انىو اخش ا ت حؤي ال حم اليشأة يسه
انبخاسي و يسهى، فىم . ححذ فىق رالرت ااو اال عه صوصها اسبعت اشهش و عششا
6:329االوطاس
33
Artinya: Dari Ummu Salamah bahwasanya Nabi SAW bersabda,
“Tidak halal bagi seorang wanita muslimah yang beriman
kepada Allah dan hari akhir berkabung lebih dari tiga hari
kecuali terhadap suaminya, yaitu empat bulan sepuluh hari”.
b) Bukhari dan Muslim
او عطت قانج حذ عه يج فىق رالد اال عه صوس اسبعت : ع ه ا كا
. و ال كخحم و ال خط و ال هب رىبا يصبىغا اال رى عص . اشهش و عششا
كسج ضها ف بزة ي يح ذ انطهش ارا اغخسهج احذاا ي و قذ سخص نا ع
6:332انبخاسي و يسهى، ف م االوطاس . ا فاس
Artinya: Dari Ummu „Athiyah, ia berkata, “Kami dilarang berkabung
terhadap orang mati lebih dari tiga hari kecuali terhadap
suami, yaitu empat bulan sepuluh hari, dimana tidak boleh
bercelak, tidak boleh berwangi-wangian dan tidak boleh
memakai pakaian yang dicelup, kecuali kain genggang
(pakaian yang tidak mencolok), dan kami diberi keringanan
pada waktu suci yaitu apabila salah seorang diantara kami
mandi dari haidlnya (menggunakan) sedikit qust adhfar
(sejenis kayu yang berbau harum.
c) Ahmad, Bukhari dan Muslim
: و ف سوات قانج باهلل و انىو اخش : قال انب ال حم اليشأة حؤي
ححذ فىق رالد اال عه صوس فاها ال حكخحم و ال حهب رىبا يصبىغا اال رى
قسظ او ا فاس با اال ارا طهشث بزة ي ط احذ و انبخاسي . عص ، و ال ح
6:332و يسهى، ف م االوطاس
Artinya: Dan dalam riwayat lain (dikatakan), Ummu „Athiyah
berkata: Nabi SAW bersabda, “Tidak halal bagi seorang
wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir berkabung
lebih dari tiga hari kecuali terhadap suami, maka istri tidak
boleh bercelak, tidak boleh memakai pakaian yang dicelup
kecuali kain genggang dan tidak boleh memakai wangi-
wangian kecuali apabila bersuci (dengan menggunakan)
sedikit qust atau adhfar (sejenis kayu yang berbau harum).
34
3. Ketentuan Masa Iddah dalam UU KHI
a. Bagi isteri yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-
kurangnya 90 (sebilan puluh hari)
b. Bagi isteri yang tidak haid ditetapkan 90 hari
c. Bagi isteri yang sedang hamil, masa iddahnya ditetapkan samapai
melahirkan
d. Adapun terhadap isteri yang diceraikan sedangkan antara janda tersebut
dengan bekas suaminya qablad dukhul/belum coitus, maka tidak ada
masa iddah bagai janda tersebut.
Selanjutnya pasal 150 dan 163 KHI menegaskan bahwa bekas suami
hanya berhak melakukan ru‟ju kepada bekas isterinya yang masih dalam
masa iddah. Dengan demikian, dari ketentuan tersebut telah jelas bahwa
setelah habis masa iddah isteri yang diceraikan, maka bekas suami itu
tidak dapat lagi (haram) rujuk kepada bekas isterinya
C. Macam-Macam Iddah
1. Iddah Bagi Perempuan Karena Cerai Mati
Isteri yang ditinggal suaminya karena wafat, maka iddahnya adalah
selama empat bulan sepuluh hari selama ia tidak hamil:
Artinya: “Orang-orang yang meninggal dunia diantaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para istri itu) menangguhkan
dirinya (beriddah) empat bulan sepuluh hari.” QS. Al-Baqarah;
234.
35
Iddah perempuan atas kematian suaminya yaitu 4 bulan 10 hari asal ia
tidak hamil. Jika seorang perempuan dithalaq raj‟i suaminya, lalu suaminya
meninggal selama masih dalam masa iddah perempuan itu beriddah seperti
iddahnya perempuan atas kematian suaminya.
2. Iddah Bagi Perempuan Hamil
a. Iddah bagi wanita yang sedang hamil
Iddahnya sampai melahirkan wanita ini maka masa menunggunya
('iddah) berakhir setelah ia melahirkan bayinya, berdasarkan firman
Allâh:
Artinya: Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka
itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. (ath-
Thalaq/65:4)
b. Iddah perempuan jika tidak hamil
Jika tidak hamil, maka masa 'iddahnya adalah empat bulan sepuluh
hari. Allâh Subhanahu wa Ta‟ala berfirman:
Artinya:“Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri hendaklah Para isteri itu
menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari”.
(al-Baqarah/2: 234).
36
Keumuman ayat ini di kuatkan dengan hadits Al-Miswar bin
Makhramah Radhiyallahu anhu yang berbunyi:
ه وسهى عه صه للا ت فسج بعذ وفاة صوصها بهال فضاءث انب عت السه سب أ
نها فكحج كح فأر ح فاسخأرخه أ
Artinya: Subai‟ah al-Aslamiyah Radhiyallahu anhuma melahirkan dan
bernifas setelah kematian suaminya. Lalu ia, mendatangi Nabi
Shallallahu „alaihi wa salam lantas meminta idzin kepada
beliau untuk menikah (lagi). Kemudian beliau mengizinkannya,
lalu ia segera menikah (lagi).
3. Iddah bagi Cerai Mati dalam kondisi Haid
Iddah cerai dalam keadaan suci/haid tidak hamil maka seorang wanita
wajib beriddah selama 3 Quru‟ yakni 3 kali suci atau 3 kali haid,
sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al- Baqoroh ayat 228.
Artinya: Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu)
tiga kali quru'
Para Mufassirin dan Ulama ahli fiqih bersepakat dalam makna Quru'
dapat diartikan suci atau haidh. Jadi apabila seorang wanita diceraikan oleh
suaminya dalam keadaan suci, maka wanita tersebut dapat menikah lagi
dengan orang lain apabila telah menyempurnakan 3 kali suci dan
menemukan haid ke tiga, demikian pula sebaliknya apabila seorang wanita
diceraikan suaminya dalam keadaan haid maka dia dapat menikah apabila
telah menyempurnakan 3 kali suci dan menemukan haid ke empat.
37
4. Iddah Cerai bagi perempuan yang tidak haidl (Monopause)
a. Iddah Bagi perempuan yang tidak haidl
Maka iddahnya selama tiga bulan. Hal itu dibenarkan untuk
perepmpuan kecil yang belum baligh dan perempuan tua yang tidak
haidl, baik haidl masih berlangsung ataupun terputus haidlnya.
Berdasarkan Firman Allah SWT :
Artinya : Dan perempuan-perempuan yang tidak haidl lagi (monopause)
diantara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu
(tentang masa iddah), Maka masa iddah mereka adalah tida
bulan, dan begitu (pula) perempuan-perempuan tidak haidl.
Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka
adalah sampai mereka melahirkan kandungannya.” (Qs. At-
Thalaq(65):4).
5. Iddah Cerai Belum Bercampur dengan Suaminya
a. Sebelum dicampuri, maka tidak punya iddah
Artinya: “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin:"Hendaklah
mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka".
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal,
karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS: Al-Ahzab Ayat: 59).
38
b. Dalam keadaan sesudah dicampuri dan masih haid maka iddahnya tiga
quru‟ allah SWT berfirman:
Artinya: Wanita-wanita yang dicerai, hendaklah menahan diri
(menunggu) tiga kali quru‟ (QS. Al-Baqarah: 228).
Menurut Mazhab Syafi‟i dan Maliki dalam ayat di atas adalah kata
quru‟ berati suci. Sementara itu Mazhab Hambali dan Hanafi berati haid.
Sedangkan menurtut PP. Nomor 9/1975 PS.39 (1) b adalah 90 hari.
Dalam keadaan sudah dicampuri, jika belum pernah haid atau sudah tidak
haid lagi kurang lebih umur 50 sampai dengan 62 tahun maka iddahnya 3
bulan, dalam firaman allah di jelaskan bahwa:
Artinya: “dan perempuan-perempuan yang sudah berhentih haid, jika
ragu (tentang masa iddahnya), maka iddah mereka adalah tiga
bulan. Begitu pula perempuan-perempuan yang belum haid”
(QS.At-Thalaq ayat 4) (Jateng, 2004: 71-72).
D. Pendapat Ulama Tentang Iddah
1. Iddah Perempuan Kematian Suami.
Iddah perempuan kematian suami adalah 4 bulan 10 hari sekalipun
perempuan tersebut di dalam keadaan belum pernah mengalami haid,
mengandung, telah mengalami haid, telah putus masa haid, telah dicampuri
39
atau belum dicampuri. Tetapi berbeda pendapat pada keadaan seperti di
bawah. Keadaan semasa perceraian dan pendapat mazhab empat.
a) Menurut Jumhur Ulama seorang isteri yang ditinggal mati suaminya,
ketika dalam kondisi hamil maka iddahnya sepertimana orang hamil atau
sampai anak itu lahir.
b) Menurut jumhur ulama seorang isteri yang ditinggal mati suaminya,
ketika dalam kondisi haid maka memperbaruhi iddahnya samapai 3 kali
suci.
c) Menurut Jumhur Ulama seorang isteri yang ditinggal mati suaminya,
ketika dalam kondisi telah putus masa haid maka meneruskan dengan 3
kali suci.
d) Menurut mazhab Imam Syafi‟i & Maliki seorang isteri yang ditinggal
mati suaminya, ketika dalam kondisi telah dicampuri maka iddahnya
Lanjut tempoh iddah supaya cukup tempoh iddah mati.
e) Menurut mazhab Imam Hanafi & Hambali seorang isteri yang ditinggal
mati suaminya, ketika dalam kondisi belum dicampuri maka iddahnya
ubah iddahnya menjadi iddah mati.
2. Iddah Bagi Wanita yang Berhias
Iddah bagi wanita yang berhiasa bermaksudkan perempuan yang
diceraikan sebelum disetubuhi. Hal ini, berbeda pandangan ulama mengenai
kewajipan beriddah bagi perempuan dalam keadaan demikian. Pendapat
ulama dibawah menjelaskan perselisihan di antara mazhab empat
berpendapat yaitu:
40
a) Menurut mazhab Imam Syafi‟i tidak wajib iddah sekiranya tiada
percampuran diantara mereka sekalipun juga pasangan tersebut
berkhalwat.
b) Jumhur ulama‟ tidak wajib sekiranya belum berlaku percampuran dan
juga tidak berkhalwat tetapi wajib iddah sekiranya pernah berkhalwat
(Hayazi, 2009).
E. Manfat dan Hikmah Iddah
1. Manfaat Iddah
Agar terjaga nama baik dari keluarga yang ditinggalkan atau tidak
menimbulkan fitnah
2. Hikmah Iddah
Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa semua iddah tidak lepas dari sebagian
masalahat yang dicapai, yaitu sebagai berikut:
a) Mengetahui kebebasan rahim dari percampuran nasab.
b) Memberikan kesempatan suami agar dapat introspeksi diri dan kembali
kepada isteri yang tercerai.
c) Berkabungnya wanita yang ditinggal meninggal suami untuk memenuhi
dan menghormati perasaan keluarganya.
d) Mengagungkan urusan nikah, karena ia tidak sempurna kecuali dengan
terkumpulnya kaum laki-laki dan tidak melepas kecuali dengan penantian
yang lama (Hawwas, 2011:320).
41
BAB III
GAMBARAN UMUM TRADISI ADAT INDRAMAYU
A. Sejarah Indaramayu
1. Sejarah Indramayu
Menurut tim panitia peneliti sejarah kabupaten Indramayu bahwa hari
jadi Indramayu jatuh pada tanggal 7 Oktober 1527 M yang telah disahkan
pada sidang Pleno DPRD kabupaten daerah tingkat II Indramayu pada
tanggal 24 Juni 1977 dan ditetapkan dalam peraturan daerah, kabupaten
daerah tingkat II Indramayu Nomor 02 Tahun 1977 tentang penetapan hari
jadi Indramayu, dimana dalam peraturan daerah tersebut disebutkan bahwa
hari jadi Indramayu ditetapkan jatuh pada tanggal 7 (tujuh) Oktober 1527 M
hari Jumat Kliwon tanggal 1 Muharam 934 H. Dalam menentukan hari jadi
tersebut tim panitia peneliti sejarah Indramayu berpegang pada sebuah
patokan peninggalan jaman dulu dan atas dasar beberapa fakta sejarah yang
ada, yaitu prasasti, penulisan-penulisan masa lalu, benda-benda purbakala
atau benda pusaka, legenda rakyat serta tradisi yang hidup ditengah-tengah
masyarakat. Proses sejarah Indramayu Menurut Babad Dermayu penghuni
partama daerah Indramayu adalah Raden Aria Wiralodra yang berasal dari
Bagelen Jawa Tengah putra Tumenggung Gagak Singalodra yang gemar
melatih diri olah kanuragan, tirakat dan bertapa.
Suatu saat Raden Wiralodra tapa brata dan semedi di perbukitan melaya
di kaki gunung sumbing, setelah melampau masa tiga tahun ia mendapat
42
wangsit “Hai Wiralodra apabila engkau ingin berbahagia berketurunan di
kemudian hari carilah lembah sungai Cimanuk. Manakala telah tiba disana
berhentilah dan tebanglah belukar secukupnya untuk mendirikan pedukuhan
dan menetaplah disana, kelak tempat itu akan menjadi subur makmur serta
tujuh turunanmu akan memerintan disana”. Dengan di dampingi Ki Tinggil
dan berbekal senjata Cakra Undaksana berangkatlah mereka ke arah barat
untuk mencari sungai Cimanuk. Suatu senja sampailah mereka di sebuah
sungai, Wiralodra mengira sungai itu adalah Cimanuk maka bermalamlah
disitu dan ketika pagi hari bangun mereka melihat ada orang tua yang
menegur dan menanyakan tujuan mereka. Wiralodra menjelaskan apa
maksud dan tujuan perjalanan mereka, namun orang tua itu berkata bahwa
sungai tersebut bukan Cimanuk karena Cimanuk telah terlewat dan mereka
harus balik lagi ke arah timur laut. Setelah barkata demikian orang tarsebut
lenyap dan orang tua itu menurut riwayat adalah Ki Buyut Sidum, Kidang
Penanjung dari Pajajaran. Ki Sidum adalah seorang panakawan tumenggung
Sri Baduga yang hidup antara tahun 1474-1513.
Kemudian Raden Wiralodra dan Ki Tinggil melanjutkan perjalanan
menuju timur laut dan setelah berhari-hari berjalan mereka melihat sungai
besar, Wiralodra berharap sungai tersebut adalah Cimanuk, tiba-tiba dia
melihat kebun yang indah namun pemilik kebun tersebut sangat congkak
hingga Wiralodra tak kuasa mengendalikan emosinya ketika ia hendak
membanting pemilik kebun itu, orang itu lenyap hanya ada suara “Hai
cucuku Wiralodra ketahuilah bahwa hamba adalah Ki Sidum dan sungai ini
43
adalah sungai Cipunegara, sekarang teruskanlah perjalanan kearah timur,
manakala menjumpai seekor Kijang bermata berlian ikutilah dimana Kijang
itu lenyap maka itulah sungai Cimanuk yang tuan cari.”.
Saat mereka melanjutkan perjalanan bertemulah dengan seorang wanita
bernama Dewi Larawana yang memaksa untuk di persunting Wiralodra
namun Wiralodra menolaknya hingga membuat gadis itu marah dan
menyerangnya. Wiralodra mengelurkan Cakranya kearah Larawana, gadis
itupun lenyap barsamaan dengan munculnya seekor Kijang. Wiralodra
segera mengejar Kijang itu yang lari kearah timur, ketika Kijang itu lenyap
tampaklah sebuah sungai besar. Karena kelelahan Wiralidra tertidur dan
bermimpi bertemu Ki Sidum, dalam mimpinya itu Ki Sidum berkata bahwa
inilah hutan Cimanuk yang kelak akan menjadi tempat bermukim.
Setelah ada kepastian lewat mimpinya Wiralodra dan Ki
Tinggil membuat gubug dan membuka ladang, mereka menetap di sebelah
barat ujung sungai Cimanuk. Pedukuhan Cimanuk makin hari makin
banyak penghuninya. diantaranya seorang wanita cantik paripurna bernama
Nyi Endang Darma. Karena kemahiran Nyi Endang dalam ilmu
kanuragan telah mengundang Pangeran Guru dari Palembang yang datang
ke lembah Cimanuk bersama 24 muridnya untuk menantang Nyi Endang
Darma namun semua tewas dan dikuburkan di suatu tempat yang sekarang
terkenal dengan “Makam Selawe”.
Untuk menyaksikan langsung kehebatan Nyi Endang Darma, Raden
Wiralodra mengajak adu kesaktian dengan Nyi Endang Darma namun Nyi
44
Endang Darma kewalahan menghadapi serangan Wiralodra maka dia
meloncat terjun ke dalam sungai Cimanuk dan mengakui kekalahannya.
Wiralodra mengajak pulang Nyi Endang Darma untuk bersama-sama
melanjutkan pembangunan pedukuhan namun Nyi Endang Darma tidak mau
dan hanya berpesan, “Jika kelak tuan hendak memberi nama pedukuhan ini
maka namakanlah dengan nama hamba, kiranya permohonan hamba ini
tidak berlebihan karena hamba ikut andil dalam usaha membangun daerah
ini”.
Untuk mengenang jasa orang yang telah ikut membangun
pedukuhannya maka pedukuhan itu dinamakan “DARMA AYU” yang di
kemudian hari menjadi “INDRAMAYU”. Berdirinya pedukuhan Darma
Ayu memang tidak jelas tanggal dan tahunnya namun berdasarkan fakta
sejarah Tim Peneliti menyimpulkan bahwa peristiwa tersebut terjadi pada
jum‟at kliwon, 1 sura 1449 atau 1 Muharam 934 H yang bertepatan dengan
tanggal 7 Oktober 1527 M.
Cerita pedukuhan Darma Ayu adalah salah satu catatan sejarah daerah
Indramayu namun ada beberapa catatan lainnya yang juga berkaitan dengan
proses pertumbuhan daerah Indramayu antara lain:
1. Berita yang bersumber pada Babad Cirebon bahwa seorang saudagar
China beragama Islam bernama Ki Dampu Awang datang ke Cirebon
pada tahun 1415. Ki Dampu Awang sampai di desa Junti dan hendak
melamar Nyi Gedeng Junti namun ditolak oleh Ki Gedeng Junti, disini
dapat disimpulkan bahwa Desa Junti sudah ada sejak tahun 1415 M.
45
2. Catatan dalam buku Purwaka Caruban Nagari mengenai adanya Desa
Babadan, dimana pada tahun 1417 M Sunan Gunung Jati pernah datang
ke Desa Babadan untuk mengislamkan Ki Gede Babadan bahkan
menikah dengan puteri Ki Gede Babadan.
3. Di tengah Kota Indramayu ada sebuah desa yang bernama Lemah Abang,
Nama itu ada kaitannya dengan nama salah seorang Wali Songo Syeikh
Siti Jenar yang dikenal dengan nama Syeikh Lemah Abang, mungkin
dimasa hidupnya (1450 - 1406) Syeikh Lemah Abang pernah tinggal di
desa tersebut atau setidak-tidaknya dikunjungi olehnya untuk
mengajarkan agama Islam.
Setelah bangsa Portugis pada tahun 1511 menguasai Malaka antara
1513-1515 pemerintah Portugis mengirimkan Tom Pires ke Jawa. Dalam
catatan harian Tom Pires terdapat data- data bahwa:
a. Tahun 1513-1515 pedukuhan Cimanuk sudah ada bahkan sudah
mempunyai pelabuhan
b. Pedukuhan Cimanuk ada dalam wilayah kerajaan sunda (Pajajaran).
Melihat bukti-bukti atau sumber di atas diperkirakan pada akhir abad
XVI M daerah Indramayu sekarang atau sebagian dari padanya sudah
dihuni manusia (Kemendagri, 2013).
2. Nilai-Nilai Budaya Tradisi Indramayu
Masyarakat kabupaten Indramayu memiliki beraneka ragam suku, ada
suku Jawa dan ada pula suku Sunda dari keduanya tumbuh dan berkembang
di masyarakat Indramayu. Suku jawa dan suku Sunda yang merupakan
46
bentuk implementasi atau ekspresi masyarakat setempat yang dipengaruhi
oleh kebudayaan Jawa dan Sunda sehingga bentuk kebudayaannya
merupakan akulturasi dari kedua kebudayaan tersebut. Adapun bentuk
kebudayaan Indramayu antara lain sebagai berikut:
a. Tradisi Nadran
Nadran adalah merupakan upacara adat para nelayan di pesisir
pantai, Nadran sebenarnya merupakan suatu tradisi hasil akulturasi
antara budaya Islam dan Hindu yang diwariskan sejak ratusan tahun
secara turun-temurun. Kata Nadran sendiri sebenarnya berasal dari kata
Nadzar-Nadzaran-Nadran yang berarti kaul atau sukuran. Nadran disini
maksudnya sukuran para nelayan Indramayu, ini merupakan cerminan
dari sebuah hubungan manusia dengan sang pencipta dengan berupa
ungkapan rasa sukur akan hasil tangkapan ikan, dan mengharapkan akan
meningkatnya hasil di masa mendatang, serta dijauhkan dari bencana dan
mara bahaya dalam mencari nafkah dilaut.
Adapun inti upacara Nadran adalah mempersembahkan sesajen
(yang merupakan ritual dalam agama Hindu untuk menghormati roh
leluhurnya) kepada penguasa laut agar diberi limpahan hasil laut,
sekaligus merupakan ritual tolak bala (keselamatan). Sesajen nadran
biasanya disebut ancak, yang berupa anjungan berbentuk replika perahu
yang berisi kepala kerbau, kembang tujuh rupa, buah-buahan, makanan
khas, tumpeng, dan lain sebagainya. Tradisi nadran sebelum dilepaskan
ke laut, ancak diarak terlebih dahulu mengelilingi tempat-tempat yang
47
telah ditentukan sambil diiringi dengan berbagai suguhan seni tradisional
seperti umbul, genjring, reog, jangkungan, musik gamelan dan musik
tradisonal lainya (Sarwah, sayu, supendi, Ratingkem, Murni, 12/9/2014).
b. Tradisi Ngarot
Ngarot adalah merupakan upacara tradisional masyarakat Desa Lelea
yang dilakukan pada saat tibanya musim menggarap sawah, upacara ini
sudah ada sejak abad 16 dan sampai sekarang masih di selenggarakan,
terutama oleh masyarakat desa di Kecamatan Lelea setiap menjelang
penggarapan sawah. Ngarot ini berasal dari kata”Nga-rot” (basa Sunda)
yaitu istilah minum atau ngaleueut, adat ini melibatkan muda-mudi untuk
turut serta dalam upacara tesebut. Uniknya hanya pemuda dan pemudi
yang masih menjaga kesuciannya yang boleh ikut dalam acara ini karena
jika pemuda atau pemudi sudah tidak suci akan terlihat sangat buruk di
mata para peserta ngarot, dalam upacara ini para gadis desa dihias
dengan mahkota bunga di kepalanya sebagai lambang kesucian. Tradisi
itu dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas hasil
bercocok tanam dan sebagai penyemangat para petani untuk memulai
bercocok tanam kembali serta sebagai pembelajaran dan regenerasi
petani dari generasi tua terhadap generasi muda (Ratingkem, dadang,
jumedi, Naritem, Tani, 15-17/9/2014).
c. Tradisi Jaringan
Jaringan adalah upacara kaum remaja yang bertujuan untuk mencari
pasangan hidup yang dilaksanakn pada malam bulan purnama. kegiatan
48
ini bertempat di desa parean Kecamatan kandang haur Jaringan berasal
dari kata jaring, adalah alat menangkap ikan. Bagi warga Parean,
khususnya Desa Parean Girang, istilah jaringan ini diartikan sebagai
ajang mencari jodoh diwaktu terang bulan, saat dimana para nelayan
sedang tidak melaut dan berkumpul di desa, karena menurut masyarakat
setempat, waktu terang bulan biasanya ikan-ikan di laut berdiam di dasar
laut sehingga sulit ditangkap. Karena ikan-ikan tersebut sulit ditangkap,
sehingga para nelayan, yang mayoritas notabene adalah para pemuda,
beralih „menjaring‟ para gadis desa di waktu terang bulan tersebut.
Tradisi jaringan yang biasanya berlangsung di alun-alun desa, tepatnya di
depan Masjid Besar At-Taqwa ini bertujuan untuk menjembatani
pertemuan pemuda dan pemudi desa. Namun sebenarnya tradisi ini tidak
hanya terbatas bagi pemuda pemudi yang belum menikah saja, tetapi juga
bagi para duda maupun janda yang ingin kembali membina rumah
tangga. Tradisi jaringan ini tidak diketahui secara pasti sejak kapan
dimulai.
Adat jaringan mempunyai aturan-aturan tertentu. Pemudanya harus
memakai baju kampret berwarna hitam atau putih, dengan celana
komprang sampai lutut, dan berselempang kain sarung. Bagi para gadis
diharuskan mengenakan baju kurung berwarna hijau dengan selembar
selendang di pundaknya sedangkan bagi para janda diharuskan
mengenakan kebaya yang juga mengenakan selembar selendang di
pundaknya. Biasanya, selepas kegiatan menjaring selesai, para pemuda
49
mengantarkan gadis hasil jaringannya pulang ke rumah masing-masing.
Di rumah, sang pemuda hanya ditemani oleh orang tua si gadis tanpa
gadis tersebut untuk berbincang-bincang. Setelah diyakini bahwa si
pemuda serius dengan sang gadis, maka sejak malam itu dimulailah
penjajakan-penjajakan yang dilakukan oleh kedua belah pihak agar lebih
saling mengenal masing-masing calon pasangan beserta keluarganya.
Setelah masa penjajakan berjalan dan musim jaringan telah usai,
akhirnya tibalah saatnya untuk melakukan lamaran. Dalam proses
lamaran biasanya orang tua dari pihak laki-laki membayar sejumlah uang
dan membagi-bagikan sirih kepada tetangga sebagai isyarat bahwa si
gadis sudah „diikat‟. Menurut tradisi saat itu, setelah melakukan lamaran,
sang pemuda harus mengabdi kepada calon mertua. Kebiasaan ini
dinamakan sambatan. Sambatan bisa dilakukan misalnya dengan cara
menggarap sawah milik calon mertua hingga panen. Selama masa
sambatan ini sang pemuda boleh mengajak teman-temannya untuk
membantu ataupun mengerjakannya sendiri.
Dahulunya tradisi jaringan ini agak berbau sakral, namun dalam
perkembangannya, tradisi jaringan ini mengalami perubahan fungsional.
Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk pengaruh globalisasi
yang mendorong bebasnya arus informasi sehingga bisa diakses oleh
penduduk desa melalui berbagai media, seperti tayangan televisi dan
internet. Tradisi jaringan kini cenderung mengalami pergeseran makna
50
karena para pelaku kebiasaan jaringan ini telah dipengaruhi oleh berbagai
nilai dan norma (Sarwah, Ecih, Tarma 16-18/10/2014).
d. Tradisi Ngunjung
Ngunjung adalah merupakan upacara sukuran yang dilaksanakan di
kuburan atau makam yang dianggap keramat biasanya dilaksanakan pada
bulan Syuro Mulud. Tradisi ngunjung ini diadakan setiap 1 tahun sekali
setelah selesai masa panen. Pada acara tradisi ngunjung ini, semua warga
desa datang ke makam anggota keluarga mereka disalah satu pemakaman
yang sedang diadakan acara ngunjung ini sambil membawa nasi
tumpeng, ayam panggang atau ayam goreng, ketupat dan lain lain dan
kemudian mendo'akan keluarga mereka yang sudah meninggal tersebut.
Pada tradisi ngunjung ini ada hiburan untuk meramaikannya, bisa
berupa sandiwara, wayang kulit ataupun yang lainnya. Untuk hiburannya
ini tergantung dana yang didapat dari hasil sumbangan sukarela
masyarakat setempat, biasanya acara ngunjung yang diselenggarakan
dimulai sekitar jam 11:00 WIB dan malamnya jam 21:00 WIB.
Yang unik dari tradisi ngunjung ini adalah adanya suatu hiburan
yang diselenggarakan di tengah-tengah pemakaman. Bayangkan kalau
malam. Orang yang belum tahu mungkin menganggapnya serem dan
pasti hiburan dan pedagangnya akan sepi penonton dan pembeli karena
diadakan di tengah-tengah pemakaman. Anggapan ini tentu saja tidak
benar, karena pada saat malam pun akan tetap ramai penonton. Mereka
menonton hiburan tersebut sambil duduk duduk diatas pusara makam
51
sambil senderan dibatu nisan. Begitupun dengan pedagang. Mayoritas
pedagang, barang dagangannya akan habis terbeli bahkan tidak sampai
malam, para pedagang ini sudah kehabisan barang dagangannya. Upacara
Ngunjung ini, dilakukan sebagai ungkapan rasa menghormati kepada
arwah leluhur, tradisi ini dianggap oleh masyarakt akan membawa
keselamatan dan keberkahan (Petok, Dadang, Jumedi 25-27/9/2014).
e. Tradisi Mapag Tamba
Yaitu upacara yang dilaksanakan dengan tujuan agar desa terhindar
dari bencana seperti banjir yang sering melanda lahan pertanian, kegiatan
ini dilakukan dengan cara membawa air tambak ke dalam bungbung
bambu yang berasal dari kasepuhan atau sumber mata air untuk
dituangkan ke dalam sawah. Sebelum itu, air yang di bawa dari mata air
tersebut terlebih dahulu diarak keliling desa kemudian disiramkan ke air
yang mengalir di sawah. Upacara Mapag Tamba yang dimaksudkan
sebagai ritual untuk meminta keberkahan dalam usaha pertanian mereka
juga memohon keselamatan atas kehidupan warga, dan penghormatan
atas leluhur (Sarwah, Ecih, Tarma 22/10/2014).
f. Tradisi Mapa Sri
Mapag Sri adalah salah satu adat atau budaya masyarakat Indonesia
khususnya Jawa dan Sunda yang dilaksanakan untuk menyambut
datangnya panen, sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan yang Maha
Esa. Mapag Sri apabila dilihat dari bahasa Jawa halus mengandung arti
menjemput padi. Dalam bahasa Jawa halus, mapag berarti menjemput,
52
sedangkan Sri dimaksudkan sebagai padi. Maksud dari menjemput padi
adalah panen.
Mapag Sri adalah ritual yang terhubung dengan mitos Dewi Sri atau
Nyi Pohaci Sanghyang Sri yang dianggap sebagai Dewa Padi. Bagi
masyarakat tradisional khususnya wilayah pesisir pantura Indramayu,
Dewi Sri adalah dewi pemberi kehidupan dan menuntun orang pada
berbagai tatacara menghormati arti kehidupan. Oleh karena itu, jikalau
orang hendak menuai padi yang telah menguning, sebelumnya beberapa
bulir padi dipungut dan dibentuk seperti dua orang (lambang sepasang
pengantin) yang dipertemukan dan diarak pulang, dengan harapan bahwa
padi mendatangkan hidup yang bermanfaat bagi yang memilikinya.
Sanghyang Sri adalah hidayah, lambang Dunia Atas yang sengaja
diundang turun ke bumi untuk memberikan berkatnya. Padi, mulai dari
tanam sampai panen di upacarakan dengan bermacam-macam cara.
Sebutannya juga bermacam-macam: Ngampihkeun, Ngaseuk, dan
sebagainya. Demikian pula pelaksanaannya, masing-masing mempunyai
tatacaranya sendiri. Waktu dan tempat pelaksanaannya tidak bisa
sembarangan, biasanya dihitung berdasarkan hari wuku dan hari pasaran.
Di dalam upacara tersebut, biasanya disediakan sesaji dan kesenian.
Sesaji adalah bagian penting dalam upacara itu. Tanpa sesaji, upacara itu
menjadi tak lengkap. Jenis sesaji yang harus disediakan, di masing-
masing tempat berbeda. Demikian pula kesenian yang dihadirkannya. Di
Cirebon dan Indramayu, disertai dengan tari topeng dan wayang kulit.
53
Dikebanyakan wilayah Indramayu, mapagsri selalu mementaskan
tanggapan wayang kulit (Dasuki, Sarwah, Ecih, Tarma 21/10/2014).
g. Tradisi Sedekah Bumi
Adalah upacara yang dilaksanakan oleh petani pada saat akan turun
menggarap sawahnya. Tradisi sedekah bumi ini, merupakan salah satu
bentuk ritual tradisional. Pada upacara tradisi sedekah bumi tersebut
umumnya, tidak banyak peristiwa dan kegiatan yang dilakukan
didalamnya. Hanya saja, pada waktu acara tersebut biasanya seluruh
masyarakat sekitar yang merayakan tradisi sedekah bumi membuat
tumpeng dan berkumpul menjadi satu di tempat sesepuh kampong, di
balai desa atau tempat yang telah disepakati masyarakat setempat untuk
menggelar acara ritual sedekah bumi tersebut.
Setelah itu, kemudian masyarakat membawa tumpeng tersebut ke
balai desa atau tempat untuk di doakan oleh sesepuh adat, setelah selesai
di doakan kemudian diserahkan kepada masyarakat setempat yang
membuatnya sendiri. Nasi tumpeng yang sudah di doakan oleh sesepuh
adat kemudian di makan secara ramai-ramai oleh masyarakat yang
mengikuti tradisi sedekah bumi, pembuatan nasi tumpeng ini merupakan
salah satu syarat yang harus dilaksanakan pada saat upacara tradisonal
itu. Makanan pokok yang harus ada dalam tradisi sedekah bumi adalah
nasi tumpeng dan ayam pangggang, sedangkan yang lainnya seperti
buah-buahan, minuman, dan lauk pauknya hanya bersifat tambahan saja,
tidak menjadi prioritas yang utama,. Pada acara akhir para petani
54
biasanya menyisakan sebagian makanan itu dan diletakan disudut petak
sawahnya masing-masing itu sebagai bentuk rasa syukur (Dasuki, Item,
Jin 23/10/2014).
h. Tradisi Baritan
Baritan adalah suatu tradisi masyarakat yang dilaksanakan ketika ada
marabahaya seperti angin besar, gempa bumi (lindu), dan penyakit,
upacara ini dilakukan di desa Kebon Randu, tradisi baritan ini diyakini
sebagai ritual tolak bala (keselamatan). Biasanya upacara ini digelar di
perempatan jalan atau jembatan, sesajen yang disuguhkan biasanya
berupa nasi tumpeng yang diatasnya berisi telur, kembang tujuh rupa,
buah-buahan, makanan khas, kopi manis, kopi pait, teh manis, teh pahit
dan lain sebagainya ditempat perempatan jalan atau di jembatan,
kemudian berdoa bersama agar di hindarkan dari marabahaya (Sarwah,
Ecih, Tarma 23/10/2014).
B. Iddah dalam Tradisi Indaramayu
Dalam ilmu fikih bagi seorang isteri yang telah putus hubungan
perkawinan dengan suaminya, apabila ditalak atau karena ditinggal mati oleh
suaminya, maka mereka mempunyai akibat hukum yaitu „iddah (masa
menunggu). Sedangkan dalam konsep fikih dalam iddah bahwasanya seorang
wanita yang diceraikan suami atau berpisah akibat kematian suami, maka
hendaklah para isteri itu menangguhkan dirinya beriddah empat bulan sepuluh
hari. Bahkan dalam surat At-Thalaq menegaskan bahwa “apabila kamu
menceraikan isteri-isterimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu
55
mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah
itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan
mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali
kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum
Allah dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka
sesungguhnya dia telah berbuat lalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak
mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru”.
Dari itulah bahwasanya seorang wanita wajib menjalankan masa iddahnya.
Iddah pada umumnya bahwasanya seseorang wanita tidak boleh keluar
dari rumah ketika sedang menjalankan masa iddahnya. Sedangkan iddah di
desa Kebon Randu ketika suaminya meninggal dengan melakukan ritual seperti
nyiram makam bersama laki-laki lain yang bukan mukhrimnya, mengapa
dengan laki-laki lain karena ada yang berpendapat bahwa laki-laki tersebut
yang akan menggantikan suami yang telah meninggal sebagai calon suaminya
kelak nati atau bisa dijadikan saudara dan memberi makan yang berupa sesajen.
Adapun proses dari tradisi cerai mati adat Jawa dengan menyiram makam, hal
pertama yang dilakukan seorang isteri ketika proses pemakaman telah selsai
kemudian sang isteri pulang kerumah mertuanya untuk melakukan tradisi
memberi makan dengan menyuguhkan sesajen di letakan dipedaringan, sesajen
itu seperti tumpeng diatasnya dengan telur putih, sega asahan, sega wuduk,
ingkung ayam, kembang rasulan, bubur merah dan bubur putih, sega punar atau
nasi kuning, apem, keten, air putih, air kopi. Setelah disiapkan kemudian sang
isteri meletakan sesajen itu di dalam rumah berdekatan dengan tempat
56
pedaringan (tempat penyimpanan beras jaman dahulu), mengapa diletakan
pedaringan, karena tempat itu yang biasanya para roh leluhur datang yang
untuk meninta makan, terkadang kalu sesajenya tidak lengkap roh tersebut
merasuki tubuh orang yang di sekitar rumah dan berasama kemenyan sebagai
tanada pemanggilan leluhur yang telah meninggal.
Gambar 2 (sesajen dalam tradisi cerai mati)
Setelah sang isteri selsai melakukan sesajen kemudian isteri berdiam diri
di dalam kamar sampai menjelang magrib. Setelah itu kemudian kemenyan pun
ditaburkan diatas wangwa (bara api) oleh sesepuh yang dianggap mengerti
tentang ruh halus dan bisa mendatangkan para leluhur yang telah tiada, setelah
itu dibacakan do‟a oleh buyut untuk memanggil arwah (kegiatan pemanggilan
arwah ini dilakukan ketika menjelang terbenamnya matahari atau yang
57
dinamakan sendakala atau banganerep), setelah itu mereka melakukan tahlilan
seperti biasanya yang diajarkan oleh agama Islam, akan tetapi sebelum
dilakukan tahlilan seperti biasanya seorang isteri terlebih dahulu menyalakan
damar di latar (halaman rumah) di tempat bekas pemandian suami yang
meningal, mengapa diletakan disitu karena selama tujuh hari arawah masih
disitu, dan damar adalah sebagai lambang penerangan di alam bakah,
kemudian sesajen kecil dipersiapkan oleh sang isteri seperti tumpeng kecil,
bawang lawe, damar (cluplak berisi minyak), pisang raja, telor, beras,
kurungan ayam, yang kemudian diletakan di dalam kurungan ayam, lalu di
sajikan ditempat bekas pemandian suaminya, selain itu biasanya sebelum
tahlilan sang isteri menyiapkan bunga tujurupa yang kemudian dimasukan
kedalam toples yang berisi air, dan uang receh kemudian disajikan ditengah-
tengah kumpulan orang tahlilan.
Gambar 3 (foto tahlilan dan sesajen)
58
Setelah selsai tahlilan kemudian toples yang berisi bunga tujuh rupa dan
uang receh itu kemudian dibawa ke makam suaminya bersama dengan laki-laki
lain untuk menyiramkan air yang berisi bunga tujuh rupa kemudian ditaburkan
ke makam suaminya, tradisi ini dilakukan samapai mitungdina, setelah teradisi
ini selsai biasanya hari berikut seorang isteri hanya meyuguhkan sesajen di
triktikan selama sepuluh hari. Kemudian isteri juga boleh bercelaan ketika
belum empat puluh hari, ini terhitung saat suaminya meningal bahkan belum
boleh dilamar oleh orang lain sebelum mertuanya membolehkan. Mengapa
keluar malam dengan laki-laki lain, ada yang berpendapat bahwa laki-laki
tersebut yang akan mengantikan sang suami yang telah meninggal, ada juga
yang berpendapat bahwa laki-laki tersebut akan menjadi saudaranya
(Ratingkem, Ecih, 16/10/2014).
C. Makna Iddah dalam Tradisi Indaramayu
Pada upacara tradisi adat Jawa desa Kebon Randu dinamakan selamatan
ini selain diadakan sesajen berupa: Sega asahan atau ambengan, sega wuduk
dan lauk pauk segar/bumbu lembaran, ingkung ayam, kembang rasulan atau
kembang telon, bubur merah dan bubur putih, sega punar atau nasi kuning,
apem, ketan, air putih, air kopi. Semua itu disajikan di tempat pelaksanaan
seperti tempat berdoda untuk orang meninggal bisa di pedaringan (tempat
menyimpan beras) atau bisa juga ditempat makam. Adapun makana yang
terkandung dalam sesajen tersebut yaitu:
59
1. Sega asahan atau ambengan; melambangkan suatu maksud agar arwah si
mati maupun keluarga yang masih hidup kelak akan berada pada
“pembenganing Pangeran”, artinya selalu mendapatkan ampun atas segala
dosa-dosanya dan diterima di sisiNya (Dasuki 10/10/2014).
2. Sega wuduk dan lauk pauk segar/bumbu lembaran maksudnya untuk
menjamu roh para leluhur (Dasuki 10/10/2014).
3. Ingkung ayam melambangkan kelakuan pasrah atau menyerah kepada
kekuasaan Tuhan. Istilah ingkung atau diingkung mempunyai makna
“dibanda” atau dibelenggu (Naritem, 11/10/2014).
4. Kembang rasulan atau kembang telon melambangkan keharuman doa yang
dilontarkan dari hati yang tulus ikhlas lahir batin. Di samping itu bau harus
mempunyai makna kemuliaan ( Ratingkem, 12/10/2014).
5. Bubur merah dan bubur putih melambangkan keberanian dan kesucian dan
ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Allah. Makanan khas yang mejadi
symbol do‟a, harapan, persatuan dan semnangat masyarakat orang jawa. Di
samping itu bubur merah untuk memule atau tanda bakti kepada roh dari
bapak atau roh laki-laki dan bubur putih sebagai tanda bakti kepada roh dari
ibu atau roh perempuan. Secara komplitnya adalah sebagai tanda bakti
kepada bapa angkasa ibu pertiwi atau penguasa langit dan bumi, semua
dibekteni dengan harapan akan memberikan berkah, baik kepada si mati
maupun kepada yang masih hidup (Ratingkem, Naritem, 11/10/2014).
60
6. Sega punar atau nasi kuning melambangkan kemulian, sebab warna atau
cahaya kuning melambangkan sifat kemuliaan. Juga dimaksudkan sebagai
jamuan mulia kepada yang dipujinya (Dasuki, Tani, 11/10/2014).
7. Apem melambangkan payung dan tameng, dan dimaksudkan agar perjalanan
roh si mati maupun yang masih hidup selalu dapat menghadapi
tantangannya dan segala rintangan, bahkan mendapatkan perlindungan dari
yang maha kuasa dan para leluhurnya. Dan ada juga yang mengatakan
sebagai symbol permintaan maaf atau ngapuro (Ratingkem, 12/10/2014).
8. Ketan adalah salah satu makanan dari beras yang mempunyai sifat”pliket‟
atau lekat. Dari kata pliket atau ketan, keraket melambangkan suatu keadaan
atau tujuan yang tidak luntur atau layu, artinya tidak kenal putus asa
(Ratingkem,12/10/2014).
9. Air putih adalah salah satu minuman yang mempunyai sifat murni atau
bersish melambangkan suatu keadaan suci (Ratingkem, 12/10/2014).
10. Air kopi sebagai suatu sajian minuman terhadap orang terdahulu sebagai
bentuk rasa hormat kepada leluhur (Ratingkem,12/10/2014).
Dari makanan sajian lain seperti: Benang lawe, Damar dan sentir,
Kurungan ayam, Clupak berisi minyak dan sumbu, Pisang raja, Beras, gula
kelapa, Telor, dan lain sebagainya yang mana hal ini biasanya pada selamatan
tiga hari adalah sebagai lambang dari segala perlengkapan hidup manusia
sehari-hari, dan semua itu dimaksudkan sebagai bekal roh si mati dalam
menjalani kehidupan di alam baka.
61
Adapun lambang atau makna dari semua itu antara lain:
1. Benang lawe adalah beang putih sebagai lambang tali suci sebagai pengikat
atau tali hubugan antara keluarga yang ditinggalkan dengan yang sudah
pergi jauh itu.
2. Damar dan sentir adalah lambang penerang, maksudnya agar roh si mati tadi
selalu mendapatkan terang.
3. Kurungan ayam melambangan peneduh ketika di alam kubur.
4. Clupak berisi minyak dan sumbu melambangkan obor di perjalanan dan
semangat yang tinggi.
5. Pisang raja sebagai lambang persembahan kepada yang maha kuasa di
samping itu juga sebagai buah segar.
6. Beras, gula kelapa melambangkan makanan beserta lauk dan bumbunya,
sebagai bekal hidup di alam kelanggengan.
7. Telor melambangkan kebulatan atau kemanunggalan berbagai sifat dan
tujuan sebab telor itu sendiri terdiri dari berbagai lapisan, dan masing-
masing lapisan mempunyai makna sendiri-sendiri (Ecih, Tarma 15-
16/10/2014).
Mengapa masyarakat mengikuti tradisi seperti ini kareana mereka
berkeyakinan bahwa pemberian sesaji merupakan hal biasa bahkan dianggap
sebagai bagian daripada kegiatan keagamaan. Sehingga diyakini pula apabila
suatu tempat atau benda keramat yang biasa diberi sesaji lalu pada suatu pada
saat tidak diberi sesaji maka orang yang tidak memberikan sesaji akan kualat
(celaka, terkena kutukan). Inilah pemahaman yang diikuti oelah para leluhur
62
jaman dahulu sehingga sekarang masih mempercayai seperti hanya orang yang
meninggal jika tidak diadakan selamatan 1 hari, 3 hari, 7 hari, 40 hari. Maka
rohnya akan gentayangan sehingga mereka takut jika tidak melakukan tradisi
tersebu dan mereka juga berpemahaman bahwa tradisi tersebut adalah sebagai
bentuk soial anatara masyarakat yang satu dengan yang lain sehingga
terciptanya masyarakat yang bergotong royong misalkan selametan 7 hari,
biasanya tetangga membantu dalam memasak atau menyiapkan buat tahlilan.
Sebenarnya tradisi tersebut adalah pengaruh dari ajaran Animisme dan
Dinamisme serta dari agama Hindu dan Budha ini masih marak dilakukan oleh
orang-orang pada jaman modernisasi yang serba canggih ini. Hal ini
membuktikan pada kita bahwa sebenarnya manusianya secara naluri/fitrah
meyakini adanya penguasa yang maha besar, yang pantas dijadikan tempat
meminta, mengadu, mengeluh, berlindung, berharap dan lain-lain. Sedangkan
maksud dari tradisi tersebut adalah sebagai tanda penghormatan atau rasa
syukur terhadap semua yang terjadi dimasyarakat dan sebagai bentuk sosial
terhadap masyarakat.
D. Pengaruh Tokoh Adat dalam Tradisi Iddah di Indramayu
Kalau dilihat dari tumbuhnya ritual tersebut memang bukan berasal dari
desa Kebon Randu, munculnya ritual dan sesajen ini melainkan adalah dari
leluhur yang sudah ada sejak dahulu sehingga agama atau kepercayaan sangat
kuat, hal ini memang berangkat dari kebiasaan dari nenek moyang yang
percaya akan adanya roh. Dan kepercayaan pada roh tersebut mempunyai
beberapa sebutan, seperti animisme, dinamisme dan atheisme.
63
Kebiasaan dalam melakukan ritual ini banyak berkembang dalam kawasan
Jawa, karena hal tersebut juga merupakan pengaruh dari kercayaan yang ada
dan kemudian dengan adanya pengaruh agama Islam. Agama yang dibawa oleh
para wali juga memberikan pengaruh penting bagi tumbuh dan berkembangnya
ritual dan sesajen ini. Para wali yang melihat fenomena tersebut bukan lantas
memberantas kebiasaan atau kebudayaan yang telah ada dan tumbuh subur
dimasyarakat. Akan tetapi kebiasaan yang menghambur-hamburkan sesuatu
(katakan saja makanan, karena dalam hal ini mengupas tentang sesajen)
selanjutnya diarahkan untuk tidak dibuang dengan percuma. Para wali akhirnya
mengarahkan masyarakat untuk memberikan makanan yang biasanya selalu
hadir dalam bentuk kemasan yang berupa sesajen, kemudian makanan tersebut
dibagikan kepada tetangga atau orang disekitarnya. Sehingga mengubah
eksistensi dari sesajen tersebut, dari yang awalnya dibuang kemudian
diberikasan atau disedekahkan.
hasil dari wawancara dengan masyarakat Kebon Randu bahwasanya,
tradisi masa iddah adat Jawa seperti memberikan makan terhadap orang yang
telah meninggal dunia dengan sesajen yaitu berasal dari leluhur yang disebut
dengan embah buyut, nyai buyut, dalam ajaranya ternyata mengarahkan kepada
kebaikan seperti menolong, bersedekah dengan melalui seperti hasil
wawancara bahwasanya mengapa mereka melakukan kegiatan seperti ini,
ternyata setelah saya mewawancarai beberapa orang yang terkait dengan tradisi
tersebut yaitu pada jaman dahulu ketika ada seseorang pengemis yang meinta-
minta kepada seseorang warga yang punya rumah, kemudian kata si nenek tua
64
itu bilang “nak minta airnya saya kehausan” akan tetapi si pemilik rumah
berkata: “ini airnya asin nek”, kemudian nenek itu berkata: “air ini selamanya
akan menjadi air yang asin”, kemudian seketika nenek itu pergi, ternyata
terbukti bahwasanya kemudian air sumur, air bornya menjadi asin, itu hanya
satu desa yang terkena kejadian seperti itu ketika nenek itu menghampiri desa
tersebut, setelah mewawancarai secara mendalam ternyata si pemilik rumah
berbohong yang sehyarusnya air itu rasanya tawar, kemudian dia bilang ke
nenek itu airnya asin, dan nenek tua itu ternyata mahluk halus yang ingin
memberi cobaan kepada desa itu dengan kejadian seperti, ternyata nenek itu
adalah jelmaan dari buyut sumur adem yang menunggu desa itu berpuluh-
puluh tahun yang ingin menguji masayarakat sumur adem, sehingga sumber air
yang di desa tersebut menjadi asin (Ratingkem, Naritem, Bonung, 14/10/2014).
Kejadian yang ke dua bahwa dulu desa tetangga ketika ada orang tua atau
pengemis yang usianya lebih tua, beliau dengan membawa tongkat kecil, ketika
itu nenek tua itu bilang kepada pemilik rumah “bu minta airnya, dengan nada
pelan gemetar, kemudian si pemilik rumah tidak mau memberikan air minum
kepada nenek tua itu, kemudian malah mengusir nenek “nek gak punya air”
kemudian nenek itu berkata: entar juga ada musibah besar nok” kemudian
seketika nenek itu pergi dari si pemilik rumah, terjadilah mala petaka datang ke
desa itu dengan angin yang kencang Desa Karang Dawa itu banyak rumah
yang rusak, kemudian rumah dari yang di datangi nenek tua tadi ternyata rusak
tertimpah pepohonan, setelah saya wawancara mendalam ternyata beberapa
orang mengatakan hal yang sama, nenek tua tersebut ternyata jelmaan dari
65
buyut penunggu Desa Karang Dawa yang ingin menguji masyarakat Desa
Karang Dawa (Ratingkem, Casitem, 15-18/10/2014).
Dari peristiwa tersebut mengajarkan bahwa menolong sesama itu lebih
penting, apa lagi memberi makan kepada orang yang telah meninggal,
meskipun tidak ada wujudnya orang yang di berimakan akan tetapi ruhnya
masih hidup, sehingga dari kejadian itu masyarakat Kebon Randu terpengaruh
dan menjadi tradisi pemberian makan kepada orang yang telah meninggal,
apalagi susminya yang meninggal mereka lebih menghormati dengan
melakukan tradisi tersebut bahkan dalam masa iddahnya janda ketika suaminya
meninggal maka tradisi tersebut tetap berjalan karena mereka tidak mau
ditimpah mala peteka, atau sebagai rasa cinta terhadap suaminya bahkan
kejadian yang berkaitan dengan tradisi masa iddah seperti kejadian yang
pernah dialami oleh ibu Ratingkem, bahwasanya ketika anaknya meninggal,
dia membuktikan kata orang tua jaman dahulu atau disebut buyut mereka
berkata bahwa taruh lah abu letekan di kurungan ayanm yang diberi
sentir/dama jika ingin melihat orang yang sudah meninggal tapi tapi masih ada
di sekitar rumah, lalu selama masa-masa tujuh hari anaknya meninggal dia
membuktikan dengan meneburkan abu di dalam kurungan ayam yang telah
diberi dammar, selama tiga hari ternyata terbukti ada bekas kaki dari orang
yang telah meninggal dunia, sehingga tradisi tersebut di yakini oleh masyarakt
sebagai kebaikan.
66
Dapat saya simpulkan bahwasanya ternyata orang yang sudah meninggal
itu ruh nya ternyata mendampingi mahluk yang masih hidup, dan mereka minta
untuk di kirimin makanan seperti mahluk hidup lainnya tetapi mereka berbeda
alam.
E. Pandangan Masyarakat Indramayu terhadap Iddah
Adapun menurut pandangan masyarakat Islam tentang tradisi masa iddah
cerai mati di desa Kebon Randu, bahwasanya tradisi tersebut adalah suatu
kesunahan boleh dilakukan dan boleh juga tidak dilakukan (Rosyid, Muhaimin,
16/10/2014). Mengapa demikian, karena mereka menganggap sunah kalau di
ibaratkan antara wajib dan sunah karena dalam Islam tidak mengajarkan, akan
tetepi ada nilai-nilai sosial yang tumbuh dalam masyarakat yaitu sebagai
bentuk penghormatan terhadap orang yang telah meninggal namun ketika
orang itu sudah meninggal dia tidak bisa menerima makanan dari sang isteri,
dan putus hubunganya dengan yang masih hidup, akan tetapi rasa hormat dari
sang isteri kepada suaminya begitu besar dengan di wujudkan dalam tradisi
tersebut.
Sehingga masyarakat Kebon Randu berbeda keyakinan, mengenai tradisi
tersebut ada yang menganggap bahwa tradisi itu harus dilakukan, ada juga
masyarakat moderen memendang bahwasanya tradisi tersebut tidak harus
dilakukan. Mereka yang berkeyakinan menganggap bahwa tradisi itu harus
dilakukan, karena mereka berpedoman kepada leluhur yang sudah-sudah, serta
tradisi itu sudah bertahun-tahun, mengapa seperti itu karena mereka takut akan
67
keburukan datang jika tidak melakukanya. Mereka masyarakat moderen
memendang bahwasanya tradisi tersebut tidak harus dilakukan karena mereka
berpikirnya secara rasional sehingga apapun yang hal mengenai ritual mereka
tidak mempercayainya.
68
BAB IV
ANALISIS TRADISI CERAI MATI
A. Tradisi Iddah Cerai Mati di Desa Kebon Randu
Dalam ilmu fiqih bagi seorang istri yang telah putus hubungan perkawinan
dengan suaminya, apabila ditalak atau karena ditinggal mati oleh suaminya,
maka mereka mempunyai akibat hukum yaitu „iddah (masa menunggu).
Bahkan dalam Al Qur‟an surat Al-Baqarah ayat 234 dijelaskan bahwasanya
orang yang meninggal dunia yang meninggalkan isteri-isteri, maka hendaklah
para isteri itu menangguhkan dirinya (ber‟iddah) selama empat bulan sepuluh
hari. Kemudian dipertegas dalam surat Ath-Thalaq ayat 1 bagi isteri yang
sedang menjalankan iddah janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah
mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka
mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan
barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia
telah berbuat lalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali
Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru. Sedangkan Menurut
Mazhab Imam Syafi‟i & Maliki seorang isteri yang ditinggal mati suaminya,
ketika dalam kondisi telah dicampuri maka iddahnya lanjut tempoh iddah
supaya cukup tempoh iddah mati. Menurut Mazhab Imam Hanafi & Hambali
seorang isteri yang ditinggal mati suaminya, ketika dalam kondisi belum
dicampuri maka iddahnya ubah menjadi iddah mati. Bahkan dalam undang-
undang Kompilasi Hukum Islam diterangkan juga bahwasanya bagi seorang
69
isteri yang putus perkawinannya dari suaminya, berlaku baginya waktu tunggu
(masa„iddah), kecuali apabila seorang istri dicerai suaminya sebelum
berhubungan (qabla al-dukhul), karena kematian, perceraian atau atas
keputusan pengadilan. Dari itulah hukum iddah wajib bagi seorang isteri yang
ditinggal mati suaminya bahkan dilarang keluar sebelum 4 bulan sepuluh hari.
Iddah pada umumnya bahwasanya seseorang wanita tidak boleh keluar
dari rumah ketika sedang menjalankan masa iddahnya. Sedangkan iddah di
desa Kebon Randu ketika suaminya meninggal dengan melakukan ritual seperti
nyiram makam bersama laki-laki lain yang bukan mukhrimnya, mengapa
dengan laki-laki lain karena ada yang berpendapat bahwa laki-laki tersebut
yang akan menggantikan suami yang telah meninggal sebagai calon suaminya
kelak nati atau bisa dijadikan saudara dan memberi makan yang berupa sesajen.
Adapun proses dari tradisi cerai mati adat Jawa dengan menyiram makam, hal
pertama yang dilakukan seorang isteri ketika proses pemakaman telah selsai
kemudian sang istri pulang kerumah mertuanya untuk melakukan tradisi
memberi makan dengan menyuguhkan sesajen di letakan dipedaringan, sesajen
itu seperti tumpeng diatasnya dengan telur putih, sega asahan, sega wuduk,
ingkung ayam, kembang rasulan, bubur merah dan bubur putih, sega punar atau
nasi kuning, apem, keten, air putih, air kopi. Setelah disiapkan kemudian sang
isteri meletakan sesajen itu di dalam rumah berdekatan dengan tempat
pedaringan (tempat penyimpanan beras jaman dahulu), mengapa diletakan
pedaringan, karena tempat itu yang biasanya para roh leluhur datang yang
untuk meninta makan, terkadang kalu sesajenya tidak lengkap roh tersebut
70
merasuki tubuh orang yang di sekitar rumah dan berasama kemenyan sebagai
tanada pemanggilan leluhur yang telah meninggal.
Setelah sang isteri selsai melakukan sesajen kemudian istri berdiam diri di
dalam kamar sampai menjelang magrib. Setelah itu kemudian kemenyan pun
ditaburkan diatas wangwa (bara api) oleh sesepuh yang dianggap mengerti
tentang ruh halus dan bisa mendatangkan para leluhur yang telah tiada, setelah
itu dibacakan do‟a oleh buyut untuk memanggil arwah (kegiatan pemanggilan
arwah ini dilakukan ketika menjelang terbenamnya matahari atau yang
dinamakan sendakala atau banganerep), setelah itu mereka melakukan tahlilan
seperti biasanya yang diajarkan oleh agama Islam, akan tetapi sebelum
dilakukan tahlilan seperti biasanya seorang isteri terlebih dahulu menyalakan
damar di latar (halaman rumah) di tempat bekas pemandian suami yang
meningal, mengapa diletakan disitu karena selama tujuh hari arawah masih
disitu, dan damar adalah sebagai lambang penerangan di alam bakah,
kemudian sesajen kecil dipersiapkan oleh sang isteri seperti tumpeng kecil,
bawang lawe, damar (cluplak berisi minyak), pisang raja, telor, beras,
kurungan ayam, yang kemudian diletakan di dalam kurungan ayam, lalu di
sajikan ditempat bekas pemandian suaminya, selain itu biasanya sebelum
tahlilan sang isteri menyiapkan bunga tujurupa yang kemudian dimasukan
kedalam toples yang berisi air, dan uang receh kemudian disajikan ditengah-
tengah kumpulan orang tahlilan.
Setelah selsai tahlilan kemudian toples yang berisi bunga tujuh rupa dan
uang receh itu kemudian dibawa ke makam suaminya bersama dengan laki-laki
71
lain untuk menyiramkan air yang berisi bunga tujurupa kemudian ditaburkan
ke makam suaminya, tradisi ini dilakukan samapai mitungdina, setelah teradisi
ini selsai biasanya hari berikut seorang isteri hanya meyuguhkan sesajen di
triktikan selama sepuluh hari. Kemudian isteri juga boleh bercelaan ketika
belum empat puluh hari, ini terhitung saat suaminya meningal bahkan belum
boleh dilamar oleh orang lain sebelum mertuanya membolehkan. Mengapa
keluar malam dengan laki-laki lain, ada yang berpendapat bahwa laki-laki
tersebut yang akan mengantikan sang suami yang telah meninggal, ada juga
yang berpendapat bahwa laki-laki tersebut akan menjadi saudaranya
Analisis tradisi adat Jawa di desa Kebon Randu
1. Mengenai tradisi sesajen yang berlangsung dimasyarakat ada dua hukum
yaitu:
a. Hukumnya haram, apabila berniat mendekatkan diri kepada Jin, ini
seperti dijelaskan dalam surat an-Nisaa‟ayat 48 bahwasanya
“Sesungguhnya, Allah tidak akan mengampuni (dosa) perbuatan syirik
(menyekutukan-Nya), dan Dia mengampuni segala dosa yang selain
dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang
mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang
sangat besar”. Bahkan dalam surat Al-Baqarah ayat 168 bahwsanya
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang
terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah
syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata
bagimu”.
72
b. Hukumnya boleh, jika diniatkan dengan sedekah dan medekatkan diri
pada allah. Dalam kaidah fikih ada yang namanya kaidah Al-„Adah Al-
Muhakkamah yang mana memiliki arti bahwa Adah (adat) itu bisa
dijadikan patokan hukum. Yang dimaksud dengan kaidah ini bahwa di
suatu keadaan, adat bisa dijadikan pijakan untuk mencetuskan hukum
ketika tidak ada dalil dari syari‟. Namun, tidak semua adat bisa
dijadikan pijakan hukum. Pada dasarnya kaidah ini ada, diambil dari
realita sosial kemasyarakatan bahwa semua cara hidup dan kehidupan
itu dibentuk oleh nilai-nilai yang diyakini sebagai norma yang sudah
berjalan sejak lama sehingga mereka memiliki pola hidup dan
kehidupan sendiri secara khusus berdasarkan nilai-nilai yang sudah
dihayati bersama. Jika ditemukan suatu masyarakat meninggalkan suatu
amaliyah yang selama ini sudah biasa dilakukan, maka mereka sudah
dianggap telah mengalami pergeseran nilai. Nilai-nilai seperti inilah
yang dikenal dengan sebutan „adah (adat atau kebiasaan), budaya,
tradisi dan sebagainya.
Kalau dilihat dari latar belakang muncul terjadinya tradisi tersebut
seperti dalam metode ushul fiqih antara Urf dan Adat. Ufr mempunyai
makna bahwa suatu amaliyah atau perkataan dimana jiwa merasakan
suatu ketenangan dalam mengerjakanya karena sudah sejalan dengan
logika dan dapat diterima oleh watak kemanusiaanya. Sedangkan adat
sendiri bermakan suatu amaliah atau perkataan yang terus menerus
dilakukan oleh manusia lantaran dapat diterima akal dan secara
73
kontinyu manusia mau mengulanginya. Dari definisi tersebut dapat
diambil pengertian bahwa urf dan adat adalah dua perkataan yang
memiliki arti yang sama dan tidak ada perbedaan diantara keduangaya,
oleh sebab itu hukum adat adalah keseluruhan tingkah laku yang positif
yang disatu pihak mempunyai sangsi karena itu lah sebagai hukum.
Maka diqiyaskan dalam tradisi cerai mati di desa Kebon Randu,
ada namanya tradisi nyiram makam, pekerjaan ini yang dilakukan
masyarakat Kebon Randu dinamakan amaliyah (perbuatan) dalam
metode usul fiqih, sedangkan perkataan adalah pendapat yang di bawa
dari sesepu kemudian berpengaruh terhadap masyarakat yang kemudian
dilakukan oleh masyarakat terus menerus sehingga dipercayai. Maka
dalam usul fiqih ada yang namanya taqlid yaitu beramal dengan
mengikuti ucapan atau pendapat orang lain tanpa ada dasar yang kuat.
2. Mengnai tradisi iddah cerai mati dengan keluar malam dengan laki-laki
lain hukumnya haram, karena sudah di jelaskan secara ksplisit oleh dalil
nass al-Qur‟an maupun Sunnah, seperti dalam surat Al-Baqarah 234
bahwasanya "Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan
meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan
dirinya (ber'iddah) empat bulan sepuluh hari. Kemudian apabila telah
habis iddahnya, maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka
berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa
yang kamu perbuat." Al-Baqarah: 234 kemudian dipertegas dengan surat
surat Ath-Thalaq: 1 bahwa “Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah
74
mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka
mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan
barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya
dia telah berbuat lalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui
barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru”.
Ayat ini menjelaskan secara rinci tentang iddah, bahwasanya ketika
wanita masih dalam masa iddah tidak boleh keluar rumah sedangkan
dalam tradisi cerai mati adat Jawa di desa kebon randu ketika wanita
ditinggal mati suaminya melakukan tradisi nyiram makam bersama orang
lain. Sehingga seorang wanita ditinggal mati suaminya wajib menjalankan
masa iddahnya, ini didasarkan pada dalil Al-Qur‟an dan sunah. Bahkan di
pertegas dengan undang-undang kompilasi hukum Isalam, undang-undang
no 1 tahun 1974 dalam pasal 11 dan pendapat para ulama, bahwa wanita
wajib menjalankan iddahnya sebagaimana tertera dalam Al-Qur‟an.
Ini ketika di analisis dari metode usul fiqih dengan mengunakan
Metode Ta‟arudh Al-Adillah. Pertama dilihat dari pengertian Ta‟arudh
beratri pertentangan antara satu dengan yang lain. Sedangkan Al-Adillah
adalah suatu ungkapan yang dipakai untuk meniadakan dua dalil atau
beberapa dalil yang menunjukan pertentangan yang sulit dikomporomikan
antara keduanya misalkan antara dua dalil yang satu menunjukan wajib
sementara yang lain menunjukan hukum nya haram. Ini di qiyaskan
dengan dalil surat At-Thalaq yang melarang wanita keluar malam hari
sedangkan dalil yang menjadikan patokan tradisi adalah Al-„Adah Al-
75
Muhakkamah yang mana memiliki arti bahwa adah (adat) itu bisa
dijadikan patokan hukum. Maka dari situlah bertentangan antara dalil yang
satu dengan dalil yang lain. Sehingga cara penyelsaianya dengan
mengunakan naskh yaitu menghapus salah satu hukum dari dua dali atau
pemindahan dengan mengkaji, untuk menghapus salah satu dalil maka
dilihat dari kualitas dalinya dan dilihat dari sejarah turunya dalil
tersebut/siapa yang meriwayatkanya. Jadi hukum tradisi keluar malam
ketika dalam masa iddah adalah hukumnya haram, karena dalil yang satu
diriwayatkan oleh Allah, sedangkan dalil yang satunya hasil ijtihad
manusia. Maka yang digunakan dalil Al-Qur‟an surat At-Thalaq ayat 1.
B. Makna Tradisi Masa Iddah Cerai Mati di Desa Kebon Randu
Kalau dilihat dari tumbuhnya ritual tersebut memang bukan berasal dari
Kebon Randu, munculnya ritual dan sesajen ini adalah dari penganut orang
terdahulu yang mepercayaan pada sang widi (Hindu). Hal ini memang
berangkat dari kebiasaan dari nenek moyang yang percaya akan adanya roh.
Tradisi ini sangat penting dalam masyarakat Kebon Randu karena teradisi
tersebut sudah berjalan lama sehingga dianggap sakral jika tidak dilakukan,
biasanya akan terkena musibah, acara sesajen ini biasanya diadakan ketika ada
hajat dalam keluarga seperti pernikahan, orang meninggal dan acar slametan
biasanya menggunakan sesajen, rokat (ruwetan), sesajen selalu hadir ditengah-
tengah acara tersebut. Dari tradisi tersebut, semua komponen harus lengkap
dan tidak boleh kurang satupun dari beberapa hal yang telah ada. Karena
76
semua komponen tersebut mempunyai simbol dan pemaknaan yang berbeda
dan keberadaanya pun akan melengkapi dari acara yang akan berlangsung.
Karena keberadaan ritual dan sesajen ini bukan hanya semata-mata bentuk
ritual saja akan tetapi ada nilai yang harus ada dalam pelaksanaan tersebut
seperti Tumpeng urubung, damar, sinar lampu, ini bermakna sebaik-baiknya
orang itu yang bermanfaat bagi orang lain dan berwibawa. Ini melambangkan
bahwa dalam menjalani kehidupan, orang tidak boleh egois, mementingkan diri
sendiri, saling menolong dan welas asih, haruslah diutamakan
Dalam tradisi Kebon Randu Slametan pada masyarakat Islam tradisional
Jawa, tumpeng disajikan dengan makanan tujuh rupa seperti tumpeng
diatasnya dengan telur putih, sega asahan, sega wuduk, ingkung ayam,
kembang rasulan, bubur merah dan bubur putih, sega punar atau nasi kuning,
apem, keten, air putih, air kopi. Menurut tradisi Islam Jawa, "Tumpeng"
merupakan akronim dalam bahasa Jawa: yen metu kudu sing mempeng (bila
keluar harus dengan sungguh-sungguh). Lengkapnya, ada satu unit makanan
lagi namanya "Buceng", dibuat dari ketan; akronim dari: yen mlebu kudu sing
kenceng (bila masuk harus dengan sungguh-sungguh). Dua kalimat akronim
itu, berasal dari sebuah do‟a dalam surah al Isra' ayat 80: "Ya Tuhan,
masukanlah aku dengan sebenar-benarnya masuk dan keluarkanlah aku
dengan sebenar-benarnya keluar serta jadikanlah dari-Mu kekuasaan bagiku
yang memberikan pertolongan". Menurut ustadz (Muhaimin 16/10/2014).
do‟a ini dibaca Nabi Muhammad SAW waktu akan hijrah keluar dari kota
Mekah menuju kota Madinah. Maka bila seseorang berhajatan dengan
77
menyajikan Tumpeng, maksudnya adalah memohon pertolongan kepada
Yang Maha Pencipta agar kita dapat memperoleh kebaikan dan terhindar dari
keburukan, serta memperoleh kemuliaan yang memberikan pertolongan.
Adapun makna dari makanan teradisi tersebut seperti:
1. Sega asahan atau ambengan; melambangkan suatu maksud agar arwah si
mati maupun keluarga yang masih hidup kelak akan berada pada
“pembenganing Pangeran”, artinya selalu mendapatkan ampun atas
segala dosa-dosanya dan diterima di sisiNya.
2. Sega wuduk dan lauk pauk segar/bumbu lembaran maksudnya untuk
menjamu roh para leluhur.
3. Ingkung ayam melambangkan kelakuan pasrah atau menyerah kepada
kekuasaan Tuhan. Istilah ingkung atau diingkung mempunyai makna
“dibanda” atau dibelenggu.
4. Kembang rasulan atau kembang telon melambangkan keharuman doa
yang dilontarkan dari hati yang tulus ikhlas lahir batin. Di samping itu
bau harus mempunyai makna kemuliaan.
5. Bubur merah dan bubur putih melambangkan keberanian dan kesucian
dan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Allah. Maknan khas yang
mejadi simbol do‟a, harapan, persatuan dan semangat masyarakat orang
jawa. Di samping itu bubur merah juga tanda bakti kepada roh dari bapak
atau roh laki-laki dan bubur putih sebagai tanda bakti kepada roh dari ibu
atau roh perempuan. Secara komplitnya adalah sebagai tanda bakti dari
anak orang tua atau kepada bapak dan ibu pertiwi atau penguasa langit
78
dan bumi, semua di baktikan dengan harapan akan memberikan berkah,
baik kepada si mati maupun kepada yang masih hidup.
6. Sega punar atau nasi kuning melambangkan kemulian, sebab warna atau
cahaya kuning melambangkan sifat kemuliaan. Juga dimaksudkan
sebagai jamuan mulia kepada yang dipujinya.
7. Apem melambangkan payung dan tameng, dan dimaksudkan agar
perjalanan roh si mati maupun yang masih hidup selalu dapat
menghadapi tantangannya dan segala rintangan, bahkan mendapatkan
perlindungan dari yang maha kuasa dan para leluhurnya. Dan ada juga
yang mengatakan sebagai symbol permintaan maaf atau ngapuro.
8. Ketan adalah salah satu makanan dari beras yang mempunyai
sifat”pliket‟ atau lekat. Dari kata pliket atau ketan, ke-raket
melambangkan suatu keadaan atau tujuan yang tidak luntur atau layu,
artinya tidak kenal putus asa.
9. Air putih adalah salah satu minuman yang mempunyai sifat murni atau
bersish melambangkan suatu keadaan suci.
10. Air kopi sebagai suatu sajian minuman terhadap orang terdahulu sebagai
bentuk rasa hormat kepada leluhur.
Adapun lambang atau makna dari semua itu antara lain:
1. Benang lawe adalah benag putih sebagai lambang tali suci sebagai
pengikat atau tali hubugan antara keluarga yang ditinggalkan
dengan yang sudah pergi jauh itu.
79
2. Damar dan sentir adalah lambang penerang, maksudnya agar roh si
mati tadi selalu mendapatkan terang.
3. Kurungan ayam melambangan peneduh
4. Clupak berisi minyak dan sumbu melambangkan obor di perjalanan
dan semangat yang tinggi.
5. Pisang raja sebagai lambang persembahan kepada yang maha kuasa
di samping itu juga sebagai buah segar.
6. Beras, gula kelapa melambangkan makanan beserta lauk dan
bumbunya, sebagai bekal hidup di alam kelanggengan.
7. Telor melambangkan kebulatan atau kemanunggalan berbagai sifat
dan tujuan sebab telor itu sendiri terdiri dari berbagai lapisan, dan
masing-masing lapisan mempunyai makna sendiri-sendiri.
Dari semua makna yang ada dalam tradisi tersebut menggambarkan
wujud syukur kepada sang pencipta. Disemping itu wujud sosial mayarakat
terhadap orang lain atau sedekah dari harta yang ditinggalkan orang yang
telah meninggal. Hukumnya haram, apabila berniat mendekatkan diri kepada
jin, ini seperti dijelaskan dalam surat an-Nisaa‟ayat 48 bahwasanya
“Sesungguhnya, Allah tidak akan mengampuni (dosa) perbuatan syirik
(menyekutukan-Nya), dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari
(syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang
mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang sangat
besar”. Bahkan dalam surat Al-Baqarah ayat 168 bahwsanya “Hai sekalian
manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan
80
janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya
syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”.
Hukumnya boleh, jika diniatkan dengan sedekah dan medekatkan diri
pada allah. Dalam kaidah fikih ada yang namanya kaidah Al-„Adah Al-
Muhakkamah yang mana memiliki arti bahwa Adah (adat) itu bisa dijadikan
patokan hukum. Yang dimaksud dengan kaidah ini bahwa di suatu keadaan,
adat bisa dijadikan pijakan untuk mencetuskan hukum ketika tidak ada dalil
dari syari‟. Namun, tidak semua adat bisa dijadikan pijakan hukum. Pada
dasarnya kaidah ini ada, diambil dari realita sosial kemasyarakatan bahwa
semua cara hidup dan kehidupan itu dibentuk oleh nilai-nilai yang diyakini
sebagai norma yang sudah berjalan sejak lama sehingga mereka memiliki
pola hidup dan kehidupan sendiri secara khusus berdasarkan nilai-nilai yang
sudah dihayati bersama. Jika ditemukan suatu masyarakat meninggalkan
suatu amaliyah yang selama ini sudah biasa dilakukan, maka mereka sudah
dianggap telah mengalami pergeseran nilai. Nilai-nilai seperti inilah yang
dikenal dengan sebutan „adah (adat atau kebiasaan), budaya, tradisi dan
sebagainya.
C. Presepektif Hukum Islam Tradisi Iddah Cerai Mati
Iddah di desa Kebon Randu ketika suaminya meninggal dengan
melakukan ritual seperti nyiram makam bersama laki-laki lain yang bukan
mukhrimnya, mengapa dengan laki-laki lain karena ada yang berpendapat
bahwa laki-laki tersebut yang akan menggantikan suami yang telah meninggal
81
sebagai calon suaminya kelak nati atau bisa dijadikan saudara dan memberi
makan yang berupa sesajen. Adapun proses dari tradisi cerai mati adat Jawa
dengan menyiram makam, hal pertama yang dilakukan seorang isteri ketika
proses pemakaman telah selsai kemudian sang isteri pulang kerumah
mertuanya untuk melakukan tradisi memberi makan dengan menyuguhkan
sesajen di letakan dipedaringan, sesajen itu seperti tumpeng diatasnya dengan
telur putih, sega asahan, sega wuduk, ingkung ayam, kembang rasulan, bubur
merah dan bubur putih, sega punar atau nasi kuning, apem, keten, air putih, air
kopi. Setelah disiapkan kemudian sang isteri meletakan sesajen itu di dalam
rumah berdekatan dengan tempat pedaringan (tempat penyimpanan beras
jaman dahulu), mengapa diletakan pedaringan, karena tempat itu yang
biasanya para roh leluhur datang yang untuk meninta makan, terkadang kalu
sesajenya tidak lengkap roh tersebut merasuki tubuh orang yang di sekitar
rumah dan berasama kemenyan sebagai tanada pemanggilan leluhur yang telah
meninggal.
Setelah sang isteri selsai melakukan sesajen kemudian isteri berdiam diri
di dalam kamar sampai menjelang magrib. Setelah itu kemudian kemenyan pun
ditaburkan diatas wangwa (bara api) oleh sesepuh yang dianggap mengerti
tentang ruh halus dan bisa mendatangkan para leluhur yang telah tiada, setelah
itu dibacakan do‟a oleh buyut untuk memanggil arwah (kegiatan pemanggilan
arwah ini dilakukan ketika menjelang terbenamnya matahari atau yang
dinamakan sendakala atau banganerep), setelah itu mereka melakukan tahlilan
seperti biasanya yang diajarkan oleh agama Islam, akan tetapi sebelum
82
dilakukan tahlilan seperti biasanya seorang isteri terlebih dahulu menyalakan
damar di latar (halaman rumah) di tempat bekas pemandian suami yang
meninggal, mengapa diletakan disitu karena selama tujuh hari arawah masih
disitu, dan damar adalah sebagai lambang penerangan di alam bakah,
kemudian sesajen kecil dipersiapkan oleh sang isteri seperti tumpeng kecil,
bawang lawe, damar (cluplak berisi minyak), pisang raja, telor, beras,
kurungan ayam, yang kemudian diletakan di dalam kurungan ayam, lalu di
sajikan ditempat bekas pemandian suaminya, selain itu biasanya sebelum
tahlilan sang isteri menyiapkan bunga tujurupa yang kemudian dimasukan
kedalam toples yang berisi air, dan uang receh kemudian disajikan ditengah-
tengah kumpulan orang tahlilan.
Setelah selsai tahlilan kemudian toples yang berisi bunga tujuh rupa dan
uang receh itu kemudian dibawa ke makam suaminya bersama dengan laki-laki
lain untuk menyiramkan air yang berisi bunga tujurupa kemudian ditaburkan
ke makam suaminya, tradisi ini dilakukan samapai mitungdina, setelah teradisi
ini selsai biasanya hari berikut seorang isteri hanya meyuguhkan sesajen di
triktikan selama sepuluh hari. Kemudian isteri juga boleh bercelaan ketika
belum empat puluh hari, ini terhitung saat suaminya meningal bahkan belum
boleh dilamar oleh orang lain sebelum mertuanya membolehkan. Mengapa
keluar malam dengan laki-laki lain, ada yang berpendapat bahwa laki-laki
tersebut yang akan mengantikan sang suami yang telah meninggal, ada juga
yang berpendapat bahwa laki-laki tersebut akan menjadi saudaranya.
83
Analisis tradisi cerai mati adat Jawa nyiram makam di masyarakat Kebon
Randu:
1. Mengenai tradisi sesajen yang berlangsung dimasyarakat ada dua hukum
yaitu:
a. Hukumnya haram, apabila berniat mendekatkan diri kepada jin, ini
seperti dijelaskan dalam surat an-Nisaa‟ayat 48 bahwasanya
“Sesungguhnya, Allah tidak akan mengampuni (dosa) perbuatan syirik
(menyekutukan-Nya), dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari
(syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang
mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang
sangat besar”. Bahkan dalam surat Al-Baqarah ayat 168 bahwsanya “Hai
sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di
bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena
sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu”.
b. Hukumnya boleh, jika diniatkan dengan sedekah dan medekatkan diri
pada allah. Dalam kaidah fikih ada yang namanya kaidah al-„adah al-
muhakkamah yang mana memiliki arti bahwa Adah (adat) itu bisa
dijadikan patokan hukum. Yang dimaksud dengan kaidah ini bahwa di
suatu keadaan, adat bisa dijadikan pijakan untuk mencetuskan hukum
ketika tidak ada dalil dari syari‟. Namun, tidak semua adat bisa dijadikan
pijakan hukum. Pada dasarnya kaidah ini ada, diambil dari realita sosial
kemasyarakatan bahwa semua cara hidup dan kehidupan itu dibentuk
oleh nilai-nilai yang diyakini sebagai norma yang sudah berjalan sejak
84
lama sehingga mereka memiliki pola hidup dan kehidupan sendiri secara
khusus berdasarkan nilai-nilai yang sudah dihayati bersama. Jika
ditemukan suatu masyarakat meninggalkan suatu amaliyah yang selama
ini sudah biasa dilakukan, maka mereka sudah dianggap telah mengalami
pergeseran nilai. Nilai-nilai seperti inilah yang dikenal dengan sebutan
„adah (adat atau kebiasaan), budaya, tradisi dan sebagainya.
Imam Ibnu Katsir berkata, bahwasanya Allah ta‟ala memerintahkan
kepada hamba-hambaNya yang beriman untuk saling menolong dalam
melakukan perbuatan-perbuatan baik, yang ini adalah Al-Birr
(kebajikan), dan meninggalkan perbuatan-perbuatan mungkar, yang ini
adalah ketakwaan, serta melarang mereka dari saling membantu dalam
kebatilan dan tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan maksiat.
Seperti dalam surat Al-Ma‟idah ayat 2 bahwasanya “Dan tolong-
menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan
janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan
bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat
siksaNya.” Bahkan dijelaskan dalam surat An Nisaa‟: 48 bahwsanya
“Sesungguhnya, Allah tidak akan mengampuni (dosa) perbuatan syirik
(menyekutukan-Nya), dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari
(syirik) itu, bagi siapa yang dikehendakinya. Barangsiapa yang
mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang
sangat besar.”
85
2. Mengnai tradisi iddah cerai mati dengan keluar malam dengan laki-laki
Menurut ustadz (Muhaimin16/10/2014) dalam Islam ada aturan yang
ditunjukan terhadap semua umat muslism yang berupa hukum-hukum
Islam baik kitab suci Al-Qur‟an maupun Al- Hadist namun dalam hal ini
seorang isteri ketika sudah bercerai dari suaminya, baik dicerai suami
dalam kondisi apapun, cerai mati atau hidup, sedang hamil atau tidak,
masih berhaid atau tidak, maka seorang isteri wajib menjalani masa
iddah. Bahakan dalam imam mazhab sepakat atas wajibnya iddah atas
wanita yang ditinggal mati suaminya, mengapa seperti itu karena mereka
berlandasan kepada kitab suci Al-Qur‟an dan Hadist seperti dalam Surat
Al-Baqar‟ah ayat: 234 yang menjelaskan bahwa“Orang-orang yang
meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan isteri-isteri, maka
hendaklah para isteri itu menangguhkan diri nya (ber‟iddah) selama
empat bulan sepuluh hari”. Bahakn dalam Surat Ath-Thalaq: 1
menjelaskan bahwa “Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah
mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka
mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan
barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya
dia telah berbuat lalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui
barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru”.
Menurut para ulama mazhab ketika Iddah perempuan kematian
suami adalah 4 bulan 10 hari sekalipun perempuan tersebut di dalam
keadaan belum pernah mengalami haid, mengandung, telah mengalami
86
haid, telah putus masa haid, telah dicampuri atau belum dicampuri.
Tetapi berbeda pendapat pada keadaan seperti di bawah. Keadaan semasa
perceraian dan pendapat mazhab empat.
a. Jumhur Ulama‟ mengatakan bahwasanya iddah seseorang yang
ditinggal mati suaminya, ketika dalam kondisi hamil maka iddahnya
sepertimana orang hamil atau sampai anak itu lahir. Ini untuk
memastikan apakah wanita tersebut sedang dalam keadaan hamil atau
tidak, karena dalam syariat Islam telah mensyariatkan masa 'iddah
untuk menghindari ketidakjelasan garis keturunan.
b. Jumhur Ulama mengatakan bahwasanya iddah seseorang yang
ditinggal mati suaminya, ketika dalam kondisi haid maka
memperbaruhi iddahnya sampai 3 kali suci. Iddah ini untuk
perempuan yang sedang dalam kondisi haid, ketika ditinggal mati
suaminya, maka iddahnya perbaharui dengan masa iddah 3 kali suci.
c. Jumhur Ulama‟ mengatakan bahwasanya iddah seseorang yang
ditinggal mati suaminya, ketika dalam kondisi telah putus masa haid
maka meneruskan dengan 3 kali suci (Bain). Iddah ini untuk
perempuan yang sedang dalam kondisi telah putus masa haid, maka
masa iddah perempuan menjadi 3 kali suci (Bain).
d. Syafie & Maliki seseorang isteri yang ditinggal mati suaminya, ketika
dalam kondisi telah dicampuri maka iddahnya Lanjut tempoh iddah
supaya cukup tempoh iddah mati. Karena dalam masa iddah
seseorang wanita dilarang untuk menikah sebelum masa iddah itu
87
selesai. Ini digunakan untuk mengetahui kebersihan rahim seseorang
wanita.
e. Hanafi & Hambali seseorang istri yang ditinggal mati suaminya,
ketika dalam kondisi belum dicampuri maka iddahnya di ubah
menjadi iddah mati. Iddah ini untuk perempuan yang belum
dicampuri. Sedangkan, ketika dalam kondisi haid dan sudah di talak
sebelum meninggal maka iddahnya seperti iddahnya mati suaminya
atau 3 kali suci Bain.
Menurut Abdurrahman wanita yang sedang dalam masa iddah juga
dilarang keluar rumah baik siang hari maupun malam hari. Ulama hanafi
mengatakan, perempuan yang menjalani masa iddah karena ditalak satu,
dua, tiga tidak boleh keluar rumah siang hari maupun malam hari. Tentu
saja berbeda dengan janda yang telah resmi bercerai. Sedangkan menurut
Ulama Hambali membolehkan wanita keluar rumah pada siang hari, baik
dia dalam iddah karena cerai ataupun ditinggal mati suaminya. maka
semuanya diberlakukan tidak saja untuk keselamatan wanita tersebut
untuk menghindari fitnah.
88
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
1. Iddah di desa Kebon Randu ketika suaminya meninggal dengan melakukan
ritual seperti nyiram makam bersama laki-laki lain yang bukan mukhrimnya,
mengapa dengan laki-laki lain karena ada yang berpendapat bahwa laki-laki
tersebut yang akan menggantikan suami yang telah meninggal sebagai calon
suaminya kelak nati atau bisa dijadikan saudara dan memberi makan yang
berupa sesajen. Adapun proses dari tradisi cerai mati adat Jawa dengan
menyiram makam, hal pertama yang dilakukan seorang isteri ketika proses
pemakaman telah selsai kemudian sang istri pulang kerumah mertuanya
untuk melakukan tradisi memberi makan dengan menyuguhkan sesajen di
letakan dipedaringan, sesajen itu seperti tumpeng diatasnya dengan telur
putih, sega asahan, sega wuduk, ingkung ayam, kembang rasulan, bubur
merah dan bubur putih, sega punar atau nasi kuning, apem, keten, air putih,
air kopi. Setelah disiapkan kemudian sang istri meletakan sesajen itu di
dalam rumah berdekatan dengan tempat pedaringan (tempat penyimpanan
beras jaman dahulu), mengapa diletakan pedaringan, karena tempat itu yang
biasanya para roh leluhur datang yang untuk meninta makan, terkadang kalu
sesajenya tidak lengkap roh tersebut merasuki tubuh orang yang di sekitar
rumah dan berasama kemenyan sebagai tanada pemanggilan leluhur yang
telah meninggal.
89
Setelah sang isteri selsai melakukan sesajen kemudian istri berdiam diri
di dalam kamar sampai menjelang magrib. Setelah itu kemudian kemenyan
pun ditaburkan diatas wangwa (bara api) oleh sesepuh yang dianggap
mengerti tentang ruh halus dan bisa mendatangkan para leluhur yang telah
tiada, setelah itu dibacakan do‟a oleh buyut untuk memanggil arwah
(kegiatan pemanggilan arwah ini dilakukan ketika menjelang terbenamnya
matahari atau yang dinamakan sendakala atau banganerep), setelah itu
mereka melakukan tahlilan seperti biasanya yang diajarkan oleh agama
Islam, akan tetapi sebelum dilakukan tahlilan seperti biasanya seorang isteri
terlebih dahulu menyalakan damar di latar (halaman rumah) di tempat bekas
pemandian suami yang meningal, mengapa diletakan disitu karena selama
tujuh hari arawah masih disitu, dan damar adalah sebagai lambang
penerangan di alam bakah, kemudian sesajen kecil dipersiapkan oleh sang
isteri seperti tumpeng kecil, bawang lawe, damar (cluplak berisi minyak),
pisang raja, telor, beras, kurungan ayam, yang kemudian diletakan di dalam
kurungan ayam, lalu di sajikan ditempat bekas pemandian suaminya, selain
itu biasanya sebelum tahlilan sang isteri menyiapkan bunga tujurupa yang
kemudian dimasukan kedalam toples yang berisi air, dan uang receh
kemudian disajikan ditengah-tengah kumpulan orang tahlilan.
Setelah selsai tahlilan kemudian toples yang berisi bunga tujuh rupa dan
uang receh itu kemudian dibawa ke makam suaminya bersama dengan laki-
laki lain untuk menyiramkan air yang berisi bunga tujurupa kemudian
ditaburkan ke makam suaminya, tradisi ini dilakukan samapai mitungdina,
90
setelah teradisi ini selsai biasanya hari berikut seorang isteri hanya
meyuguhkan sesajen di triktikan selama sepuluh hari. Kemudian isteri juga
boleh bercelaan ketika belum empat puluh hari, ini terhitung saat suaminya
meningal bahkan belum boleh dilamar oleh orang lain sebelum mertuanya
membolehkan. Mengapa keluar malam dengan laki-laki lain, ada yang
berpendapat bahwa laki-laki tersebut yang akan mengantikan sang suami
yang telah meninggal, ada juga yang berpendapat bahwa laki-laki tersebut
akan menjadi saudaranya.
2. Hukumnya haram, apabila berniat mendekatkan diri kepada Jin, ini seperti
dijelaskan dalam surat an-Nisaa‟ayat 48 perbuatan syirik (menyekutukan-
Nya). Hukumnya boleh, jika diniatkan dengan sedekah dan medekatkan diri
pada allah. Ini berdasarkan dalam kaidah fikih ada yang namanya Kaidah
Al-„Adah Al-Muhakkamah yang mana memiliki arti bahwa adah (adat) itu
bisa dijadikan patokan hukum.
3. Menurut Abdurrahman wanita yang sedang dalam masa iddah juga dilarang
keluar rumah baik siang hari maupun malam hari. Ulama hanafi mengatakan,
perempuan yang menjalani masa iddah karena ditalak satu, dua, tiga tidak
boleh keluar rumah siang hari maupun malam hari.
B. Saran
1. Dalam tradisi masyarakat kebon randu, ada yang namanya tradisi nyiram
makam yaitu ketika wanita sedang menjalani masa iddah cerai matinya,
wanita itu diperbolehkan keluar malam hari untuk melakukan tradisi
nyiram makam bersama orang lain yang bukan mukhrimnya, sebaiknya
91
wanita yang sedang menjalani masa iddahnya jangan di perbolehkan
keluar malam hari karena dalam ajaran Islam juga wanita yang sedang
menjalani masa iddah dilarang keluar malam hari bahkan dalam al-Qur‟an
tidak diperbolehkan seperti dalam surat Ath-Thalaq: 1
DAFTAR PUSTAKA
Hawwas & Azzam. 2011. Fiqih Munakahat Khitbah, Nikah dan Talak,
Jakarta :Penerbit Amzah
Djoko, D. (2012). Faham Keselamatan dalam Budaya Jawa. In D. Djoko, Faham
Keselamatan Dalam Budaya Jawa (P. 67). Yogyakarta: Ampera Utama.
Prsiden RI, 1974 Uundang-Uundang Perkawinan No 1 Tahun 1974 (Pasal 38)
Jakarta,
Artikel. (2015, Maret sabtu). wikipedia.org/wiki/Kematian. Retrieved Maret kamis,
2015,fromwikipedia.org/wiki/Kematian:http://id.wikipedia.org/wiki/Kemati
an.
Hayazi, I. (2009, November Senin). Iddah Sorotan Pendapat Mazhab Empat.
Retrieved Oktober Kamis, 2014, From Http://Ikhwanulislam.Blogspot.Com:
Http://Ikhwanulislam.Blogspot.Com
Syamhudi, K. (2013, Juli Jumat). Masa Iddah dalam Islam . Retrieved Oktober
Senin, 2014, From Http://Almanhaj.Or.Id: Http://Almanhaj.Or.Id
Sarwat, A. (2013, Agustus Minggu). Janda Berangkat Haji dalam Masa Iddah
Haramkah.RetrievedOktoberJumat,2014,FromHttp://Www.Rumahfiqih.Co
m: Http://Www.Rumahfiqih.Com
Ulfa, Muria 2013. Tinjauan Hukum Islam Terhadap Penggunaan Taspack
Sebagai Pengganti Masa ‟iddah. Skripsi tidak diterbitkan. Yogyakarta:
fakultas syari‟ah UIN Sunan Kalijaga.
Jundhi, Faris, Ahmad. 2013 Pemberian Nafkah Iddah pada Cerai Gugat (Studi
Pemberian Nafkah Iddah Pada Cerai Gugat. No 1925/Pdt.G/2010/PA.pt).
Skripsi tidak diterbitkan. Jurusan Syari‟ah STAIN Salatiga.
Rois , Muhammad Fahmi. 2013 Penentuan Awal Masa Iddah Menurut Fiqih
Munakahat dan KHI (Studi terhadap pendapat hakim Pengadilan Agama
Salatiga dan kepala KUA Argomulyo). Skripsi tidak diterbitkan. Jurusan
Syari‟ah STAIN Salatiga.
Supardi, 2005. Metodologi penelitian ekonomi bisnis. Yogyakarta penerbit UII
Press Yogyakarta (anggota IKAPI)
Sukmadinata, Saudih. 2008. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja
Rosadakarya
Moleong, Jlexy, 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif . Bandung: PT Remaja
Rosadakarya
Mestika, Zed.2004. Metode Penelitian Pustaka. Jakarta:Yayasan Obor Indonesia
Koentjaraningrat, 1986: Pengantar Ilmu Antropologi Cet.VI Jakarta: Aksara Baru
Daimon, Kristina. 2008: Metode-Metode Riset Kualitatif dalam Public Relation
dan Marketing Communication :Yogyakarta Ptbentang Pustaka.
Rofiq, Ahmad. (1998). hukum islam di indonesia . jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada.
Hawwas, sayyed, wahhab, Abdul. (2011). fikih munakahat, khitbah, nikah dan
talak. jakarta: AMZAH.
Sabbiq, Sayyid. 1987. Fiqh Sunnah, jilid 7, diterjemahkan Muhammad Thalib,
“Fikih Sunnah. Bandung: Al Ma‟arif.
Wahyudi, Muhammad Isna. 2009. Fiqih Iddah; Klasik dan
Kontemporer.Yogyakarta:Pustaka Pesantren.
Syaifuddi, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam diIndonesia (Antara Fikih
Munakahat dan UU Perkawinan). Jakarta: Kencana.
Jateng, K. D. 2004. Fikih Maderasah Aliyah Jateng: C.V. Gani & Son
Sulaiman Rasid 1988, Fiqih Islam Jakarta: C.V.Sinar Baru Bandung
Kemendagri. (2013, juli jumat). Profil Kabupaten Indramayu . Retrieved Maret
Kamis, 2014, from http://www.kemendagri.go.id :
http://www.kemendagri.go.id
Hayazi, I. (2009, November senin). iddah sorotan pendapat mazhab empat.
Retrieved oktober kamis, 2014, from http://ikhwanulislam.blogspot.com:
http://ikhwanulislam.blogspot.com
LAMPIRAN 1
INFORMAN 1
Nama : Sarwah, Murni,
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal : 12/9/2014
Umur : 56 Tahun
Alamat : Dusun Kebon Randu II, Kec. Anjatan Baru, Kab.Indramayu
Daftar Pertanyaan Wawancara Di Desa Kebon Randu
A. Pertanyaan : Ada berpakah tradisi di masyarakat Indramayu?
B. Jawab : Kalau tradisi di masyarakat Indramayu sendiri ada banyak mas,
tapi setauhu saya ada empat
A. Pertanyaan : apa saja pak sarwah?
B. Jawab : Seperti tradisi Nadran, Ngarot, Jaringan, dan Ngunjung.
A. Pertanyaan : Apakah tradisi Nadran itu pak sarwah?
B. Jawab : Sebenarnya tradisi Nadran artinya kaul atau sukurannya, ini
biasanya untuk para nelayan mas, itu wujud ungkapan rasa
sukur akan hasil tangkapan ikan di laut.
A. Pertanyaan : Seperti apakah tradisi Nadran itu pak sarwah?
B. Jawab : Tradisi nadran itu wujud ungkapan rasa sukur akan hasil
tangkapan ikan di laut oleh para nelayan di pesisir pantai.
Upacara Nadran yaitu mempersembahkan sesajen (yang
merupakan ritual dalam agama Hindu untuk menghormati roh
leluhurnya) kepada penguasa laut agar diberi limpahan hasil
laut, sekaligus merupakan ritual tolak bala (keselamatan).
A. Pertanyaan : Seperti apa sesajen yang di gunakan upacara Nadran itu?
B. Jawab : Sesajen yang di gunakan upacara Nadran biasanya
disebut ancak, yang berupa anjungan berbentuk replika perahu
yang berisi kepala kerbau, kembang tujuh rupa, buah-buahan,
makanan khas, tumpeng, dan lain sebagainya.
A. Pertanyaan : Dimana dilaksanakannya upacara Nadran itu?
B. Jawab : Tradisi nadran sebelum dilepaskan ke laut, ancak diarak
terlebih dahulu mengelilingi tempat-tempat yang telah
ditentukan sambil diiringi dengan berbagai suguhan seni
tradisional seperti umbul, genjring, reog, jangkungan, musik
gamelan dan musik tradisonal lainya
A. Pertanyaan : tradisi Nadran itu berasal darimana?
B. Jawab : Ritual dalam agama Hindu untuk menghormati roh leluhurnya)
kepada penguasa laut agar diberi limpahan hasil laut, sekaligus
merupakan ritual tolak bala (keselamatan)
INFORMAN 2
Nama : Ratingkem, Naritem, Tani,
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal : (15-17/9/2014).
Umur : 56 Tahun
Alamat : Dusun Kebon Randu II, Kec. Anjatan Baru, Kab.Indramayu
Daftar Pertanyaan Wawancara Di Desa Kebon Randu II
A. Pertanyaan : Ada berpakah tradisi di masyarakat Indramayu?
B. Jawab : Kalau tradisi di masyarakat Indramayu sendiri ada banyak mas,
tapi setauhu saya ada empat.
A. Pertanyaan : apa saja pak sarwah?
B. Jawab : Seperti tradisi Nadran, Ngarot, Jaringan, dan Ngunjung.
A. Pertanyaan : Apakah tradisi ngarot itu?
B. Jawab : Sebenarnya Ngarot itu berasal dari kata”Nga-rot” (basa Sunda)
yaitu istilah minum atau ngaleueut, adat ini hanya melibatkan
muda-mudi untuk turut serta dalam upacara tesebut.
A. Pertanyaan : Mengapa tradisi ngarot yang bisa mengikuti upacara hanya
pemuda-pemudi?
B. Jawab : Karena jika pemuda atau pemudi sudah tidak suci akan terlihat
sangat buruk di mata para peserta ngarot, dalam upacara ini para
gadis desa dihias dengan mahkota bunga di kepalanya sebagai
lambang kesucian.
A. Pertanyaan : Untuk apakah tradisi ngarot itu?
B. Jawab : Tradisi itu dilakukan sebagai ungkapan rasa syukur kepada
Tuhan atas hasil bercocok tanam dan sebagai penyemangat para
petani untuk memulai bercocok tanam kembali serta sebagai
pembelajaran dan regenerasi petani dari generasi tua terhadap
generasi muda.
INFORMAN 3
Nama : Ecih, Tarma, Naritem, Tani,
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal : (16-18/10/2014)
Umur : 56 Tahun
Alamat : Dusun Kebon Randu II, Kec. Anjatan Baru, Kab.Indramayu
Daftar Pertanyaan Wawancara Di Desa Kebon Randu II
A. Pertanyaan : Apakah tradisi Jaringan itu?
B. Jawab : Upacara kaum remaja yang bertujuan untuk mencari pasangan
hidup yang dilaksanakn pada malam bulan purnama
A. Pertanyaan : Bagaimana tradisi Jaringan itu?
B. Jawab : Sebenernya tradisi jaringan itu berasal dari kata jaring, adalah
alat menangkap ikan, akan tetapi Bagi warga Parean, khususnya
Desa Parean Girang, istilah jaringan ini diartikan sebagai ajang
mencari jodoh diwaktu terang bulan, saat dimana para nelayan
sedang tidak melaut dan berkumpul di desa, karena menurut
masyarakat setempat, waktu terang bulan biasanya ikan-ikan di
laut berdiam di dasar laut sehingga sulit ditangkap.
A. Pertanyaan : Dimana tradisi jaringan itu dilakukan?
B. Jawab : Tradisi jaringan yang biasanya berlangsung di alun-alun desa,
tepatnya di depan Masjid Besar At-Taqwa ini bertujuan untuk
menjembatani pertemuan pemuda dan pemudi desa.
A. Pertanyaan : Bagaimana proses tradisi jaringan di lakukan?
B. Jawab : Proses adat jaringan mempunyai aturan-aturan tertentu. Yaitu
Pemudanya harus memakai baju kampret berwarna hitam atau
putih, dengan celana komprang sampai lutut, dan berselempang
kain sarung. Bagi para gadis diharuskan mengenakan baju
kurung berwarna hijau dengan selembar selendang di pundaknya
sedangkan bagi para janda diharuskan mengenakan kebaya yang
juga mengenakan selembar selendang di pundaknya. Biasanya,
selepas kegiatan menjaring selesai, para pemuda mengantarkan
gadis hasil jaringannya pulang ke rumah masing-masing. Di
rumah, sang pemuda hanya ditemani oleh orang tua si gadis
tanpa gadis tersebut untuk berbincang-bincang. Setelah diyakini
bahwa si pemuda serius dengan sang gadis, maka sejak malam
itu dimulailah penjajakan-penjajakan yang dilakukan oleh kedua
belah pihak agar lebih saling mengenal masing-masing calon
pasangan beserta keluarganya. Setelah masa penjajakan berjalan
dan musim jaringan telah usai, akhirnya tibalah saatnya untuk
melakukan lamaran. Dalam proses lamaran biasanya orang tua
dari pihak laki-laki membayar sejumlah uang dan membagi-
bagikan sirih kepada tetangga sebagai isyarat bahwa si gadis
sudah „diikat‟. Menurut tradisi saat itu, setelah melakukan
lamaran, sang pemuda harus mengabdi kepada calon mertua.
Kebiasaan ini dinamakan sambatan.
INFORMAN 4
Nama : Petok, Dadang, Jumedi,
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal : (25-27/9/2014).
Umur : 56 Tahun
Alamat : Dusun Kebon Randu II, Kec. Anjatan Baru, Kab.Indramayu
Daftar Pertanyaan Wawancara Di Desa Kebon Randu II
A. Pertanyaan : Apakah tradisi ngunjung itu?
B. Jawab : upacara sukuran yang dilaksanakan di kuburan atau makam
yang dianggap keramat biasanya dilaksanakan pada bulan Syuro
Mulud.
A. Pertanyaan : Kapan tradisi ngunjung itu dilakukan?
B. Jawab : Tradisi ngunjung ini diadakan setiap 1 tahun sekali setelah selesai
masa panen. Pada acara tradisi ngunjung ini, semua warga desa
datang ke makam anggota keluarga mereka disalah satu
pemakaman yang sedang diadakan acara ngunjung ini sambil
membawa nasi tumpeng, ayam panggang atau ayam goreng,
ketupat dan lain lain dan kemudian mendo'akan keluarga
mereka yang sudah meninggal tersebut.
A. Pertanyaan : Untuk apakah tradisi ngunjung itu?
B. Jawab : Upacara Ngunjung ini, dilakukan sebagai ungkapan rasa
menghormati kepada arwah leluhur, tradisi ini dianggap oleh
masyarakt akan membawa keselamatan dan keberkahan.
A. Pertanyaan : Seperti apakah tradisi ngunjung itu?
B. Jawab : Tradisi ngunjung dilaksanakan di kuburan atau makam yang mana
tradisi ngunjung ini adalah adanya suatu hiburan yang
diselenggarakan di tengah-tengah pemakaman seperti berupa
sandiwara, wayang kulit.
INFORMAN 5
Nama : Sarwah, Ecih, Tarma
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal : (22/10/2014).
Umur : 56 Tahun
Alamat : Dusun Kebon Randu II, Kec. Anjatan Baru, Kab.Indramayu
Daftar Pertanyaan Wawancara Di Desa Kebon Randu II
A. Pertanyaan : Apa yang anda ketahui tentang tradisi di kabupaten indramayu?
B. Jawab : Mapag Tambak, Mapa Sri, Sedekah Bumi, Baritan.
A. Pertanyaan : Seperti apakah tradisi Mapag Tamba itu?
B. Jawab : Mapag Tambak upacara yang dilaksanakan dengan tujuan untuk
mengusir penyakit, dengan cara membawa air tambak ke dalam
bungbung bambu yang berasal dari kasepuhan atau sumber
untuk disiramkasan ke air yang mengalir ke sawah pada sawah
yang berada di batas desa.
A. Pertanyaan : Setelah disiramkasan ke air yang mengalir ke sawah lalu
bagaimana?
B. Jawab : iya seblumnya itu, air yang di bawa dari mata air tersebut
terlebih dahulu diarak keliling desa kemudian disiramkan ke air
yang mengalir di sawah.
A. Pertanyaan : untuk apakah upacara tersebut?
B. Jawab : sebagai ritual untuk meminta keberkahan dalam usaha pertanian
mereka juga memohon keselamatan atas kehidupan warga, dan
penghormatan atas leluhur.
INFORMAN 6
Nama : Dasuki, Sarwah, Ecih, Tarma
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal : (21/10/2014).
Umur : 56 Tahun
Alamat : Dusun Kebon Randu II, Kec. Anjatan Baru, Kab.Indramayu
Daftar Pertanyaan Wawancara Di Desa Kebon Randu II
A. Pertanyaan : Apakah tradisi Mapa Sri?
B. Jawab : Sebenarnya tradisi Mapag Sri dilaksanakan untuk menyambut
datangnya panen, sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan yang
Maha Esa. Mapag Sri apabila dilihat dari bahasa Jawa halus
mengandung arti menjemput padi. Dalam bahasa Jawa halus,
Mapag berarti menjemput, sedangkan Sri dimaksudkan sebagai
padi. Maksud dari menjemput padi adalah panen.
A. Pertanyaan : ko bisa dinamakan tradisi Mapa Sri?
B. Jawab : Mapag Sri adalah ritual yang terhubung dengan mitos Dewi Sri
atau Nyi Pohaci Sanghyang Sri yang dianggap sebagai Dewa
Padi. Bagi masyarakat tradisional khususnya wilayah pesisir
pantura Indramayu, Dewi Sri adalah dewi pemberi kehidupan
dan menuntun orang pada berbagai tatacara menghormati arti
kehidupan. Oleh karena itu, jikalau orang hendak menuai padi
yang telah menguning, sebelumnya beberapa bulir padi dipungut
dan dibentuk seperti dua orang (lambang sepasang pengantin)
yang di pertemukan dan diarak pulang, dengan harapan bahwa
padi mendatangkan hidup yang bermanfaat bagi yang
memilikinya.
A. Pertanyaan : Sanghyang Sri siapa?
B. Jawab : Sanghyang Sri adalah hidayah, lambang Dunia Atas yang
sengaja diundang turun ke bumi untuk memberikan berkatnya.
Padi, mulai dari tanam sampai panen di upacarakan dengan
bermacam-macam cara. Sebutannya juga bermacam-macam:
Ngampihkeun, Ngaseuk, dan sebagainya.
INFORMAN 7
Nama : Dasuki, Item, Jin
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal : (23/10/2014).
Umur : 56 Tahun
Alamat : Dusun Kebon Randu II, Kec. Anjatan Baru, Kab.Indramayu
Daftar Pertanyaan Wawancara di Desa Kebon Randu II
A. Pertanyaan : apa yang anda ketahui tradisi di Indramayau?
B. Jawab : Mapag Tambak, Mapa Sri, Sedekah Bumi, Baritan.
A. Pertanyaan : bagaiamankah tradisi sedekah bumi itu?
B. Jawab : Adalah upacara yang dilaksanakan oleh petani pada saat akan
turun menggarap sawahnya. biasanya dilakukan pada awal
musim hujan yaitu sekitar bulan oktober sampai desember.
Prosesi upacara ini biasanya dimulai dari berkumpulnya
masyarakat disuatu tempat dilakukan doa bersama dan setalah
itu dilaksanakan upacara adat. Sedekah Bumi adalah
permohonan para petani agar hasil tani pada periode yang akan
datang berhasil dengan baik.
A. Pertanyaan : seperti apakah tradisi baritan itu?
B. Jawab : Suatu tradisi masyarakat yang dilaksanakan ketika ada
marabahaya seperti angin besar, gempa bumi (lindu), dan
penyakit, upacara ini dilakukan di desa Kebon Randu.
A. Pertanyaan : kapan dilakukan tradisi baritan itu?
B. Jawab : Biasanya upacara ini digelar di perempatan jalan atau jembatan,
sesajen yang disuguhkan biasanya berupa nasi tumpeng yang
diatasnya berisi telur, kembang tujuh rupa, buah-buahan,
makanan khas, kopi manis, kopi pait, teh manis, teh pahit dan
lain sebagainya ditempat perempatan jalan atau di jembatan,
kemudian berdoa bersama agar dihinadrkan dari marabahaya
INFORMAN 8
Nama : Dasuki, Item, Jin
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal : (23/10/2014).
Umur : 56 Tahun
Alamat : Dusun Kebon Randu II, Kec. Anjatan Baru, Kab.Indramayu
Daftar Pertanyaan Wawancara di Desa Kebon Randu II
A. Pertanyaan : apa yang anda ketahui tradisi di Indramayau?
B. Jawab : Mapag Tambak, Mapa Sri, Sedekah Bumi, Baritan.
A. Pertanyaan : bagaiamankah dan untuk apa tradisi baritan itu?
B. Jawab : Baritan adalah suatu tradisi masyarakat yang dilaksanakan
ketika ada marabahaya seperti angin besar, gempa bumi (lindu),
dan penyakit, upacara ini dilakukan di desa Kebon Randu, tradisi
baritan ini diyakini sebagai ritual tolak bala (keselamatan).
A. Pertanyaan : kapan tradisi baritan itu dilakukan?
B. Jawab : Biasanya upacara ini digelar di perempatan jalan atau jembatan,
sesajen yang disuguhkan biasanya berupa nasi tumpeng yang
diatasnya berisi telur, kembang tujuh rupa, buah-buahan,
makanan khas, kopi manis, kopi pait, teh manis, teh pahit dan
lain sebagainya di tempat perempatan jalan atau di jembatan,
kemudian berdoa bersama agar dihinadrkan dari marabahaya.
LAMPIRAN 2
Nama : Ratingkem, Ecih,
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal : 16/10/2014
Umur : 56 Tahun
Alamat : Dusun Kebonrandu II, Kec. Anjatan Baru, Kab.Indramayu
Daftar Pertanyaan Wawancara Di Desa Kebon Randu
A. Pertanyaan: bagamana tradisi masa Iddah dalam adat Jawa kebonrandu
B. jawaban: di Masyarakat Kebon Randu ketika suaminya meninggal, sang isteri
keluar malam bersama orang lain yang bukan mukhrimnya untuk
melakukan tradisi nyiram makam. Adapun tradisi yang berjalan saat
ini yang masih di percayai oleh masyarakat Kebon Randu seperti
memberi makan kepada suaminya dengan cara menyuguhkan sesajen,
lalu hal pertama yang dilakukan oleh seorang istri ketika
menjalankan masa iddahnya dengan melakukan tradisi seperti
memepersiapkan sesajen seperti tumpeng diatasnya dengan telur
putih, sega asahan, sega wuduk, ingkung ayam, kembang rasulan,
bubur merah dan bubur putih, sega punar atau nasi kuning, apem,
keten, air putih, air kopi, setelah disiapkan kemudian sang istri
meletakan sesajen itu di dalam rumah berdekatan dengan tempat
pedaringan (tempat penyimpanan beras jaman dahulu) dan berasama
kemenyan sebagai tanada pemanggilan leluhur yang telah meninggal,
setelah sang isteri selsai melakukan sesajen kemudian istri berdiam
diri di dalam kamar sampai menjelang maghrib. Setelah itu
kemudian kemenyan pun ditaburkan diatas wangwa (bara api) oleh
sesepuh yang dianggap mengerti tentang ruh halus dan bisa
mendatangkan para leluhur yang telah tiada, setelah itu dibacakan
do‟a oleh buyut untuk memanggil arwah (kegiatan pemanggilan
arwah ini dilakukan ketika menjelang terbenamnya matahari atau
yang dinamakan sendakala atau banganerep), setelah itu mereka
melakuakan tahlilan seperti biasanya yang diajarkan oleh agama
Islam, akan tetapi sebelum dilakukan tahlilan seperti biasanya
seorang isteri terlebih dahulu menyalakan damar dilatar kemudian
sesajen kecil dipersiapkan oleh sang isteri seperti tumpeng kecil,
bawang lawe, dammar (cluplak berisi minyak), pisang raja, telor,
beras, kurungan ayam, yang kemudian diletakan di dalam kurungan
ayam, lalu di sajikan ditempat bekas pemandian suaminya, selain itu
biasanya sebelum tahlilan sang isteri menyiapkan bunga tujurupa
yang kemudian dimasukan kedalam toples yang berisi air, dan uang
receh kemudian disajikan ditengah-tengah kumpulan orang tahlilan,
setelah selsai tahlilan kemudian toples yang berisi bunga tujuh rupa
dan uang receh itu kemudian dibawa ke makam suaminya bersama
dengan laki-laki lain untuk menyiramkan air yang berisi bunga
tujurupa kemudian ditaburkan ke makam suaminya, tradisi ini
dilakukan samapai mitungdina, setelah teradisi ini selsai biasanya
hari berikut seorang istri hanya meyuguhkan sesajen di triktikan
selama sepuluh hari.
LAMPIRAN 3
Nama :Ratingkem, Tani, Naritem, Dasuki
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal : 10-12/102014
Umur : 56 Tahun
Alamat : Dusun Kebonrandu II, Kec. Anjatan Baru, Kab.Indramayu
Daftar Pertanyaan Wawancara Di Desa Kebon Randu
No Pertanyan Untuk
Narasumber Jawaban dari informan
1 Apa yang anda ketahui
makna Sega asahan atau
ambengan dalam tradisi
iddah cerai mati di desa
Kebon Randu?
Sega asahan atau ambengan;
melambangkan suatu maksud agar arwah si
mati maupun keluarga yang masih hidup
kelak akan berada pada “pembenganing
Pangeran”, artinya selalu mendapatkan
ampun atas segala dosa-dosanya dan
diterima di sisiNya
2 Apa yang anda ketahui
makna Sega wuduk dan
lauk pauk segar/bumbu
lembaran dalam tradisi
iddah cerai mati di desa
Kebon Randu?
Sega wuduk dan lauk pauk segar/bumbu
lembaran maksudnya untuk menjamu roh
para leluhur
3 Apa yang anda ketahui
makna Ingkung ayam
dalam tradisi iddah cerai
mati di desa Kebon
Randu?
Ingkung ayam melambangkan kelakuan
pasrah atau menyerah kepada kekuasaan
Tuhan. Istilah ingkung atau diingkung
mempunyai makna “dibanda” atau
dibelenggu
4 Apa yang anda ketahui
makna Kembang rasulan
atau kembang telon dalam
tradisi iddah cerai mati di
desa Kebon Randu?
Kembang rasulan atau kembang telon
melambangkan keharuman doa yang
dilontarkan dari hati yang tulus ikhlas lahir
batin. Di samping itu bau harus mempunyai
makna kemuliaan
5 Apa yang anda ketahui
makna Bubur merah dan
bubur putih dalam tradisi
iddah cerai mati di desa
Kebon Randu?
Bubur merah dan bubur putih
melambangkan keberanian dan kesucian dan
ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Allah.
Makanan khas yang mejadi symbol do‟a,
harapan, persatuan dan semnangat
masyarakat orang jawa. Di samping itu
bubur merah untuk memule atau tanda bakti
kepada roh dari bapak atau roh laki-laki dan
bubur putih sebagai tanda bakti kepada roh
dari ibu atau roh perempuan. Secara
komplitnya adalah sebagai tanda bakti
kepada bapa angkasa ibu pertiwi atau
penguasa langit dan bumi, semua dibekteni
dengan harapan akan memberikan berkah,
baik kepada si mati maupun kepada yang
masih hidup
6 Apa yang anda ketahui
makna Sega punar atau
nasi kuning dalam tradisi
iddah cerai mati di desa
Kebon Randu?
Sega punar atau nasi kuning melambangkan
kemulian, sebab warna atau cahaya kuning
melambangkan sifat kemuliaan. Juga
dimaksudkan sebagai jamuan mulia kepada
yang dipujinya
7 Apa yang anda ketahui
makna Apem dalam tradisi
iddah cerai mati di desa
Kebon Randu?
Apem melambangkan payung dan tameng,
dan dimaksudkan agar perjalanan roh si mati
maupun yang masih hidup selalu dapat
menghadapi tantangannya dan segala
rintangan, bahkan mendapatkan
perlindungan dari yang maha kuasa dan para
leluhurnya. Dan ada juga yang mengatakan
sebagai symbol permintaan maaf atau
ngapuro
8 Apa yang anda ketahui
makna Ketan dalam
tradisi iddah cerai mati di
desa Kebon Randu?
Ketan adalah salah satu makanan dari beras
yang mempunyai sifat”pliket‟ atau lekat.
Dari kata pliket atau ketan, keraket
melambangkan suatu keadaan atau tujuan
yang tidak luntur atau layu, artinya tidak
kenal putus asa
9 Apa yang anda ketahui
makna Air putih dalam
tradisi iddah cerai mati di
desa Kebon Randu?
Air putih adalah salah satu minuman yang
mempunyai sifat murni atau bersish
melambangkan suatu keadaan suci
10 Apa yang anda ketahui
makna Air kopi dalam
tradisi iddah cerai mati di
desa Kebon Randu?
Air kopi sebagai suatu sajian minuman
terhadap orang terdahulu sebagai bentuk rasa
hormat kepada leluhur
Nama : Ecih, Tarma
Pekerjaan : Petani
Tanggal : 15-16/10/2014
Umur : 56 Tahun
Alamat : Dusun Kebonrandu II, Kec. Anjatan Baru, Kab.Indramayu
Daftar Pertanyaan Wawancara Di Desa Kebon Randu
No Pertanyaan Jawaban
1 Apa yang anda ketahui makna
Benang lawe dalam tradisi
iddah cerai mati di desa Kebon
Randu?
Benang Lawe adalah benag putih
sebagai lambang tali suci sebagai
pengikat atau tali hubugan antara
keluarga yang ditinggalkan dengan
yang sudah pergi jauh itu
2 Apa yang anda ketahui makna
Damar dan sentir dalam tradisi
iddah cerai mati di desa kebon
randu?
Damar dan Sentir adalah lambang
penerang, maksudnya agar roh si mati
tadi selalu mendapatkan terang
3 Apa yang anda ketahui makna
Kurungan ayam dalam tradisi
iddah cerai mati di desa kebon
randu?
Kurungan Ayam melambangan
peneduh ketika di alam kubur
4 Apa yang anda ketahui makna
Clupak berisi minyak dan
sumbu dalam tradisi iddah cerai
mati di desa kebon randu?
Clupak Berisi Minyak dan Sumbu
melambangkan obor di perjalanan dan
semangat yang tinggi
5 Apa yang anda ketahui makna
Pisang raja dalam tradisi iddah
cerai mati di desa kebon randu?
Pisang Raja sebagai lambang
persembahan kepada yang maha kuasa
di samping itu juga sebagai buah segar
6 Apa yang anda ketahui makna
Beras, gula kelapa dalam tradisi
iddah cerai mati di desa kebon
randu?
Beras, Gula Kelapa melambangkan
makanan beserta lauk dan bumbunya,
sebagai bekal hidup di alam
kelanggengan
7 Apa yang anda ketahui makna
Telor dalam tradisi iddah cerai
mati di desa kebon randu?
Telor melambangkan kebulatan atau
kemanunggalan berbagai sifat dan
tujuan sebab telor itu sendiri terdiri
dari berbagai lapisan, dan masing-
masing lapisan mempunyai makna
sendiri-sendiri
LMPIRAN 4
Nama : Rosyid, Muhaimin
Pekerjaan : Petani, Suwasta
Tanggal : 16/10/2014
Umur : 56 Tahun
Alamat : Dusun Kebonrandu II, Kec. Anjatan Baru, Kab.Indramayu
Daftar Pertanyaan Wawancara Di Desa Kebon Randu
A. Pertanyaan : Bagaimana bisa terjadinya muncul tradisi seperti itu di Desa
Kebon Randu?
B. Jawaban : Adapun menurut pandangan masyarakat Islam tentang tradisi masa
iddah cerai mati di desa Kebon Randu, bahwasanya tradisi tersebut
adalah suatu kesunahan boleh dilakukan dan boleh juga tidak
dilakukan.
Nama : Ratingkem, Naritem, Bonung,
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal : 14/10/2014
Umur : 56 Tahun
Alamat : Dusun Kebonrandu II, Kec. Anjatan Baru, Kab.Indramayu
Daftar Pertanyaan Wawancara Di Desa Kebon Randu
A. Pertanyaan : Bagaimana bisa terjadinya muncul tradisi seperti itu di Desa
Kebon Randu?
B. Jawaban : pada jaman dahulu ketika ada seseorang pengemis yang meinta-
minta kepada seseorang warga yang punya rumah, kemudian kata
si nenek tua itu bilang “nak minta airnya saya kehausan” akan
tetapi si pemilik rumah berkata: “ini airnya asin nek”, kemudian
nenek itu berkata: “air ini selamanya akan menjadi air yang asin”,
kemudian seketika nenek itu pergi, ternyata terbukti bahwasanya
kemudian air sumur, air bornya menjadi asin, itu hanya satu desa
yang terkena kejadian seperti itu ketika nenek itu menghampiri
desa tersebut, setelah mewawancarai secara mendalam ternyata si
pemilik rumah berbohong yang sehyarusnya air itu rasanya tawar,
kemudian dia bilang ke nenek itu airnya asin, dan nenek tua itu
ternyata mahluk halus yang ingin memberi cobaan kepada desa
itu dengan kejadian seperti, ternyata nenek itu adalah jelmaan dari
buyut sumur adem yang menunggu desa itu berpuluh-puluh tahun
yang ingin menguji masayarakat sumur adem, sehingga sumber
air yang di desa tersebut menjadi asin.
Nama : Ratingkem, Casitem,
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal : 15-18/10/2014
Umur : 56 Tahun
Alamat : Dusun Kebonrandu II, Kec. Anjatan Baru, Kab.Indramayu
Daftar Pertanyaan Wawancara Di Desa Kebon Randu
A. Pertanyaan : Bagaimana bisa terjadinya muncul tradisi seperti itu di Desa
Kebon Randu?
B. Jawaban :Kejadian yang ke dua bahwa dulu desa tetangga ketika ada orang
tua atau pengemis yang usianya lebih tua, beliau dengan
membawa tongkat kecil, ketika itu nenek tua itu bilang kepada
pemilik rumah “bu minta airnya, dengan nada pelan gemetar,
kemudian si pemilik rumah tidak mau memberikan air minum
kepada nenek tua itu, kemudian malah mengusir nenek “nek gak
punya air” kemudian nenek itu berkata: entar juga ada musibah
besar nok” kemudian seketika nenek itu pergi dari si pemilik
rumah, terjadilah mala petaka datang ke desa itu dengan angin
yang kencang Desa Karang Dawa itu banyak rumah yang rusak,
kemudian rumah dari yang di datangi nenek tua tadi ternyata
rusak terjatuhan pepohonan, setelah saya wawancara mendalam
ternyata beberapa orang mengatakan hal yang sama, nenek tua
tersebut ternyata jelmaan dari buyut penunggu Desa Karang
Dawa yang ingin menguji masyarakat Desa Karang
Tradisi Iddah Cerai Mati
Ceritane kuh ana wong jejaluk, wong ngemis nyjaluk nginum barang sing
ngupai nginume, kaya kitane seindane pengen ngupai wong kuene kuh ngemis
“laka banyu jeh wa ana gah jeh asin jare kita sing ngupaie kuh” jare wong tuane
kuh “engko gah nok seteruse asin,” wong tua kuwenekuh ora dipaing ingnung,
terus miang wong tua kuwenekuh, lewat seminggu banyu semana ademe terus
pada asin, sumure asin, bore asin, supatanine wong tua nini-nini kuwesih dadi asin,
wong tua kuwekuh udu wong biasa nang, anu jelmaane wong sumur ademe, buyut
kunuh nang, nyoba wong kono kaya priwe amal baike.
Bengen lagi musibah ning kono, lagi sira urung ana, mas iwan bae gah
masih cilik, umah dan sekolahan pada ambrek kah bengen, ana wong nini-nini
nggawa tetekan terus nyjaluke ning emboke mang bongsang yang tukang beca kah,
njaluk nginum ora dipaih ehemm “engko gah jeh ana musibah nok”, kuh ilange
wong kuwe angin gebes-gebes terus umae pada amberk kuh nang, barang mayak
mah ning kene kuh aja maning nyjaluk nginum, nyjaluk sega gah tak paih, lagi
ning dermaga gah ana wong ngemis “nok nyjaluk sega urung mangan, tak paih
ana wong ngemis nyjaluk mangan kuh. Besuk senang mana-mana ana wong
ngemis nyjaluk-nyjaluk dipaih melasaken ning wong kuh, tula-tula sodakoh beh
indagah sodakoh dunya langka, meninding beh ana sega, ana banyu sodakohe
karo kuwe, mulanegah aja bae ana wong ngemis kuh permisi atau ora ngupaih kuh,
embuh ana sewu ana mangewu gah ngupaih, sema mah laka-laka gah terus ngojoli
ning warung enggo ngupaih wong ngemis kuh, kaya konon wong bengen kuh ana
pituture bae mulane gah aja bae nolak kah, mayak mah ning kene ora keserang,
wong ngemiseku entas ning karang dawa terus mengkok ning Kebon Randu, kita
amah ning kene pada ngupaih kabeh indahgah ora weruh wong kuwe setan kuh.,
atau nyoba apaika terus kuh angin sing kana kuh mulek-mulek terus umah karang
dawa kuh nang brek-brek pada rusak, masa iya wiwitan sing ning kulon bisa
nerajang ning umaeh mang bongsang, sing kulon dermaga wiwitan ngrubuhi
umahe mang bongsang wiwitan kersem kaya di bopong kuwen kuh sing dijaluki
banyu ora olihkuh sih, mulane gah mayak mah ngupaih bae ana wong ngemis kuh,
dadi sekienekuh ana bae rezeki kuh
Sajen go wong mati kuh ya jabur werna pitu bae kunuh nang kaya dene
jaburan pasung, kupat, lepet, apem, ana artine kabeh kunuh nang, baka pasung
sing dipangan dingin kunuh ning kananekuh, bantal karo ketan tumpeng, tradisi
dari mana sih, dari bapa tua buyut jabur werna pitu,
Baka ana wong mati amberan padang di kurungane melambangkan payung amber
adem, lamonanu mah kurungan kuh ayom-ayaome sakie gah masih melaku kuh
lamon anumah udan di payungi ning kanane kuh, embuh bengen mah kayakonon
bae si damare
Wong bengen bae gah anake mayak, adine mas iwan matikuh ana tepake
nang ning pinggiran kurungan ayam, ceritane kuh di paih „awu kurungan ayame
kuh, terus jare bapa tua kidemekuh, jage nok di tawuri awu ning esore pinggiran
kurungan ayame kuh, aria nu kuh ana tepeke sikile nang ning pinggiran kurungan
ayame kuh, berati kan masih ana ning kono wonge matie kuh, urung melaku-
melaku adoh, dadi ari masih rong dina mah ana tepak sikile kuh, baka wis mitung
dina mah laka tepake kuh ning pinggire bkurungan kuh nang, tapi kan padang
melaku-melaku kuh ning kanane ari di paih dammar mah indagah ning kananekuh
peteng, makane peniting ana wong mati dipaih damarekuh kamberan padang.
Makna duwit receh dalam tradisi adat bokat ning kanane nggo sangu, ari
perjalanan kan muduh ana sangune nang, mulane gah baka ana wong mati kuh
diomongaken ning kuping sangune kuh semene, semindanekah sira kuh laka,
bapane kuh nyugui terus sangueku diomongaken ning kupinge terus ditaroh ning
sore bantal.
Top Related