TITER ANTIBODI HASIL VAKSINASI RABIES PADA ANJING
DENGAN BERBAGAI UMUR DI KECAMATAN CISOLOK,
KABUPATEN SUKABUMI
RISQIKA AKLA VELAYATI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini Saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Titer Antibodi Hasil
Vaksinasi Rabies pada Anjing dengan Berbagai Umur di Kecamatan Cisolok,
Kabupaten Sukabumi adalah benar karya Saya dengan arahan dari Komisi
Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada Perguruan Tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari Penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini Saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis Saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2018
Risqika Akla Velayati
NIM B04140036
ABSTRAK
RISQIKA AKLA VELAYATI. Titer Antibodi Hasil Vaksinasi Rabies pada Anjing
dengan Berbagai Umur di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Dibimbing
oleh SRI MURTINI dan SUPRATIKNO.
Rabies merupakan penyakit infeksi akut yang menyerang sistem saraf pusat
hewan berdarah panas, termasuk manusia. Kecamatan Cisolok, Kabupaten
Sukabumi merupakan salah satu daerah endemis rabies di Indonesia. Program
vaksinasi pada anjing telah dilaksanakan untuk mencegah dan mengendalikan
rabies di daerah ini. Penelitian ini bertujuan mengetahui titer antibodi
pascavaksinasi rabies pada anjing dengan berbagai umur dan melihat pengaruh
umur terhadap titer antibodi pascavaksinasi rabies pada anjing di Kecamatan
Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Sebanyak 69 sampel serum dari anjing yang telah
divaksinasi rabies empat minggu sebelum pengambilan sampel diambil dari
sembilan desa di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Sampel tersebut
kemudian diuji dengan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) untuk
menghitung titer antibodi. Analisis data dilakukan menggunakan program
Microsoft Excel 2013 dan Minitab versi 14. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
persentase antibodi protektif (titer antibodi ≥ 0.5 EU/mL) pascavaksinasi rabies di
Kecamatan Cisolok tergolong tinggi, yaitu sebesar 92.75%. Sampel dikelompokkan
menjadi dua kelompok umur, yaitu kelompok umur kurang dari satu tahun dan lebih
dari atau sama dengan satu tahun untuk mengetahui pengaruh umur terhadap titer
antibodi pascavaksinasi rabies. Hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase
antibodi protektif dan rataan titer antibodi pada anjing kelompok umur lebih dari
atau sama dengan satu tahun sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan anjing
pada kelompok umur kurang dari satu tahun. Berdasarkan uji chi-square dan odd-
ratio (OR), diketahui bahwa faktor umur tidak berpengaruh terhadap titer antibodi
pascavaksinasi rabies pada anjing di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi (p
= 0.189; OR = 0.3).
Kata kunci: rabies, vaksinasi, ELISA, titer antibodi
ABSTRACT
RISQIKA AKLA VELAYATI. Antibody Titers of Rabies Vaccinated Dogs at Various
Ages in Cisolok Sub-district, Sukabumi District. Supervised by SRI MURTINI and
SUPRATIKNO.
Rabies is an acute infectious disease that affects the central nervous system
of warm-blooded animals, including humans. Cisolok Sub-district of Sukabumi
District is one of the rabies endemic area in Indonesia. Dog vaccination program
have been conducted to prevent and control rabies in this area. The aims of this
study were to determine the antibody titer following rabies vaccination at various
ages of dogs and the effect of age to the rabies post-vaccination antibody titers in
Cisolok Sub-district, Sukabumi District. A total of 69 samples of dog sera that had
been vaccinated four weeks earlier were collected from nine villages in Cisolok
Sub-district, Sukabumi District. The samples were tested with enzyme-linked
immunosorbent assay (ELISA) to determine the rabies antibody titers. Data
analysis has been done using Microsoft Excel 2013 and Minitab version 14. The
results showed that the percentage of rabies post-vaccination protective antibodies
(antibody titer ≥ 0.5 EU/mL) in Cisolok Sub-district were high (92.75%). The
samples were divided into two age groups, less than one year old and more than or
equal to one year old, to find out the effect of age to the rabies post-vaccination
antibody titers. The percentage of protective antibody and the mean of antibody
titers in dogs of more than or equal to one year old group were slightly higher
compared to dogs of less than one year old group. Based on chi-square and odd-
ratio test, it was found that age had no significant effect to rabies post-vaccination
antibody titers of dogs in Cisolok Sub-district, Sukabumi District (p = 0.189, OR =
0.3).
Keywords: rabies, vaccination, ELISA, antibody titer
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
TITER ANTIBODI HASIL VAKSINASI RABIES PADA ANJING
DENGAN BERBAGAI UMUR DI KECAMATAN
CISOLOK, KABUPATEN SUKABUMI
RISQIKA AKLA VELAYATI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
PRAKATA
Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas
segala karunia-Nya sehingga tugas akhir ini berhasil diselesaikan. Judul yang
dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Agustus 2017 hingga April
2018 ini adalah Titer Antibodi Hasil Vaksinasi Rabies pada Anjing dengan
Berbagai Umur di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi. Dalam penyelesaian
tugas akhir ini, Penulis mendapatkan bantuan dari banyak pihak baik secara
langsung maupun tidak langsung. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr
med vet Drh Denny Widaya Lukman, MSi dan Tim Penelitian Terapan Unggulan
Perguruan Tinggi (PUPT) berjudul Pengembangan Model Pengendalian Rabies
Terpadu Berbasis Kelembagaan dan Partisipasi Masyarakat yang telah
menyediakan biaya kegiatan penelitian tugas akhir ini. Terima kasih kepada Dr
Drh Hj Sri Murtini, MSi selaku Dosen Pembimbing Skripsi I yang telah
memberikan bimbingan dan juga ilmu yang sangat bermanfaat bagi Penulis; Drh
Supratikno, MSi, PAVet selaku dosen Pembimbing Skripsi II dan Pembimbing
Akademik yang telah sepenuh hati memberikan bimbingannya kepada Penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini; Drh Dordia Anindita Rotinsulu, MSi yang telah
memberikan banyak masukan dan arahan kepada Penulis; seluruh Dosen di
Fakultas Kedokteran Hewan IPB yang telah memberikan ilmu dan bimbingan
kepada Penulis; keluarga tercinta: Ibu Ni Nyoman Sari, Bapak Sudarmono, dan
adik-adik tercinta Made Bima Anggaraksa Adiwijaya dan Arabella Bina Pratista
atas doa, dukungan, dan kasih sayang yang luar biasa kepada Penulis; teman-teman
seperjuangan penelitian Atika, Asah, dan Ulfatin; serta seluruh pihak yang telah
memberikan bantuan dalam penyelesaian skripsi ini. Penulis menyadari bahwa
masih banyak kekurangan di dalam penulisan karya ilmiah ini. Namun demikian,
Penulis tetap berharap semoga karya ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
membutuhkan.
Bogor, Agustus 2018
Risqika Akla Velayati
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vi
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Penelitian 2
Manfaat Penelitian 2
TINJAUAN PUSTAKA 2
Rabies 2
Vaksinasi Rabies pada Anjing 3
Pengaruh Umur terhadap Vaksinasi 4
METODE 4
Waktu dan Tempat Penelitian 4
Bahan dan Alat 4
Prosedur Penelitian 5
HASIL DAN PEMBAHASAN 6
SIMPULAN DAN SARAN 11
Simpulan 11
Saran 11
DAFTAR PUSTAKA 11
RIWAYAT HIDUP 14
7
8
10
DAFTAR TABEL
1 Hasil evaluasi titer antibodi pascavaksinasi rabies pada anjing di
Kecamatan Cisolok
2 Hasil evaluasi titer antibodi pascavaksinasi rabies pada anjing
berdasarkan kelompok umur di Kecamatan Cisolok
3 Rataan titer antibodi tiap kategori umur dan hasil analisis pengaruh
faktor umur terhadap titer antibodi pascavaksinasi rabies di
Kecamatan Cisolok
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Anjing (Canis familiaris) merupakan mamalia karnivora yang telah
mengalami domestikasi dari serigala sejak 10 000 hingga 15 000 tahun yang lalu.
Anjing awalnya dijinakkan dan dipelihara untuk membantu manusia dalam
kegiatan perburuan hewan liar sebagai sumber pangan. Anjing memiliki
kemampuan berlari yang cepat dan daya penciuman yang tajam sehingga cocok
untuk aktivitas berburu. Hewan ini dalam perkembangan selanjutnya mulai
dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan hidup manusia, seperti sebagai anjing
pelacak, penjaga rumah, penjaga ternak, dan sebagainya (Clutton-Brock 2014).
Anjing di beberapa wilayah di Indonesia banyak dimanfaatkan sebagai hewan
pemburu. Tingginya permintaan anjing pemburu mengundang minat masyarakat
untuk mengembangbiakkan anjing untuk keperluan ini. Kecamatan Cisolok
merupakan salah satu wilayah di Kabupaten Sukabumi yang masyarakatnya banyak
mengembangbiakkan anjing untuk berburu. Anjing yang dibawa untuk berburu di
hutan sering melakukan kontak dengan anjing liar. Kontak antara anjing pemburu
dengan anjing liar ini dapat menyebabkan efek negatif, seperti penularan penyakit.
Anjing pemburu yang telah terinfeksi penyakit kemudian dapat menularkan
penyakit tersebut kepada manusia. Salah satu penyakit yang dapat ditularkan dari
anjing kepada manusia yaitu rabies.
Rabies merupakan penyakit infeksi akut pada sistem saraf pusat yang
disebabkan oleh Lyssavirus dari famili Rhabdoviridae. Penyakit ini termasuk
kelompok penyakit zoonosis dan ditularkan melalui gigitan hewan penular rabies
(HPR) yaitu anjing, kucing, kera, musang, dan kelelawar. Sebagian besar (98%)
sumber penularan rabies ke manusia di Indonesia disebabkan oleh gigitan anjing
yang terinfeksi rabies (Kemenkes 2014). Sebanyak 25 provinsi dari 34 provinsi
yang ada di Indonesia dinyatakan endemis rabies (Barantan 2016). Berdasarkan
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 3600/Kpts/PD.640/10/2009, Kabupaten
Sukabumi merupakan salah satu daerah yang dinyatakan sebagai daerah tertular
rabies (Kementan 2009). Kondisi tersebut mendorong dilaksanakannya upaya-
upaya pengendalian penyakit rabies di wilayah Kabupaten Sukabumi. Salah satu
upaya pengendalian yang dapat dilakukan yaitu program vaksinasi anjing massal.
Siklus penularan rabies dari anjing kepada manusia dapat diputus apabila dilakukan
vaksinasi rabies pada setidaknya 70% populasi anjing di daerah tersebut (Ditjen
PKH 2014).
Program vaksinasi rabies di Kabupaten Sukabumi salah satunya dilaksanakan
di Kecamatan Cisolok. Kecamatan ini merupakan salah satu dari sepuluh
kecamatan di Kabupaten Sukabumi yang dinilai masih rawan penyebaran rabies
karena di daerah ini banyak ditemukan populasi HPR, seperti anjing (Iman 2017).
Vaksinasi yang dilakukan di Kecamatan Cisolok dilakukan pada anjing dengan
tingkatan umur yang bervariasi. Menurut penelitian Kennedy et al. (2007) dan
Berndtsson et al. (2011), umur vaksinasi merupakan salah satu faktor yang dapat
memengaruhi tingkat kekebalan anjing setelah vaksinasi. Penelitian tersebut
masing-masing dilaksanakan di Inggris dan Swedia. Penelitian serupa belum
banyak dilakukan di Indonesia, khususnya di Kabupaten Sukabumi, oleh sebab itu,
2
perlu dilakukan penelitian yang mempelajari pengaruh umur terhadap titer antibodi
pascavaksinasi rabies pada anjing di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mempelajari titer antibodi pascavaksinasi rabies
pada berbagai umur anjing dan melihat pengaruh umur terhadap titer antibodi
pascavaksinasi rabies pada anjing di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai titer
antibodi pascavaksinasi rabies pada berbagai umur anjing dan pengaruh umur
terhadap titer antibodi pascavaksinasi rabies pada anjing di Kecamatan Cisolok,
Kabupaten Sukabumi. Informasi ini diharapkan dapat membantu pemilik anjing
untuk menentukan umur vaksinasi rabies yang paling baik bagi anjing berdasarkan
titer antibodi pascavaksinasi yang terbentuk.
TINJAUAN PUSTAKA
Rabies
Rabies merupakan penyakit infeksi akut pada susunan saraf pusat yang dapat
menyerang semua jenis hewan berdarah panas dan manusia. Rabies disebabkan
oleh virus dari genus Lyssavirus yang bersifat neurotropik. Famili Canidae
khususnya anjing merupakan HPR utama di Indonesia, disusul kucing dan kera
dengan persentase rendah. Hewan lain yang juga dapat menjadi sumber penularan
rabies adalah kelelawar, rakun, sigung, dan rubah. Virus rabies sebagian besar
ditularkan dari hewan ke manusia melalui gigitan hewan yang terinfeksi rabies.
Penularan tanpa melalui gigitan pernah dilaporkan terjadi akibat inhalasi udara
yang tercemar virus rabies, cakaran hewan, penjilatan pada luka, dan tranplantasi
kornea dari donor yang terinfeksi (Besung et al. 2009).
Penyakit rabies di Indonesia merupakan penyakit hewan yang penting dan
termasuk ke dalam penyakit hewan menular strategis (PHMS) prioritas. Saat ini
terdapat sembilan provinsi di Indonesia yang dinyatakan sebagai daerah bebas
rabies, sedangkan sebanyak 25 provinsi lainnya masih endemis. Sebanyak sembilan
provinsi bebas tersebut terdiri dari lima provinsi bebas historis (Bangka Belitung,
Kepulauan Riau, Nusa Tenggara Barat, Papua Barat, dan Papua) dan empat provinsi
lainnya dibebaskan (Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, dan DKI Jakarta)
(Barantan 2016). Penetapan suatu daerah tertular rabies berdasarkan ditemukannya
hasil positif dari pemeriksaan laboratorium terhadap hewan pada daerah tersebut.
Berdasarkan Pasal 46 Ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun
2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, kewenangan penetapan status
daerah ini dimiliki oleh Menteri Pertanian (Pemerintah Republik Indonesia 2009).
3
Menurut OIE (2013), strategi pengendalian rabies dapat dilakukan melalui
dua aspek, yaitu aspek sosial-budaya dan teknis. Strategi terkait aspek sosial-
budaya meliputi public awareness, yang dapat dilakukan dengan penyuluhan terkait
penyakit rabies kepada masyarakat. Aspek teknis meliputi pelaksanaan program
vaksinasi pada hewan domestik dan hewan liar, peningkatan sistem pelaporan dan
surveilans penyakit, penyediaan metode diagnostik yang memadai, manajemen
populasi anjing, dan pengawasan terhadap lalu lintas HPR (OIE 2013). Upaya
pengendalian rabies telah dilaksanakan secara terintegrasi di Indonesia oleh dua
kementerian yang bertanggungjawab, yaitu Kementerian Pertanian (Direktorat
Kesehatan Hewan) dan Kementerian Kesehatan. Upaya pengendalian yang
dilakukan Kementerian Pertanian meliputi penanganan dan pengawasan lalu lintas
HPR, sedangkan Kementerian Kesehatan melakukan penanganan terhadap kasus
gigitan HPR dan kasus rabies pada manusia (Kemenkes 2016).
Vaksinasi Rabies pada Anjing
Vaksinasi merupakan proses stimulasi respons kekebalan tubuh terhadap
mikroba dengan paparan komponen atau bentuk nonpatogenik dari mikroba (Tizard
2013). Program vaksinasi merupakan salah satu langkah penting dalam
pengendalian penyebaran virus rabies. Tujuan vaksinasi rabies pada anjing adalah
membentuk imunitas pre-exposure dan melindungi anjing dari penularan virus
rabies sehingga dapat mencegah penyebaran virus lebih jauh kepada manusia dan
hewan domestik lain (Berndtsson et al. 2011). Menurut Direktorat Jenderal
Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) (2014), siklus penularan rabies dari
anjing kepada manusia dapat diputus apabila dilakukan vaksinasi rabies pada
setidaknya 70% populasi anjing di daerah tersebut.
Vaksinasi rabies yang dilakukan pada anjing akan merangsang terbentuknya
respons kekebalan dengan mengaktivasi limfosit. Antigen akan menginduksi sel T
sitotoksik dan sel T pembantu untuk meningkatkan kerja sel B dalam menghasilkan
antibodi netralisasi terhadap virus. Antibodi yang teraktivasi dengan adanya virus
di dalam vaksin adalah imunoglobulin M (IgM) dan imunoglobulin G (IgG)
(Cahyono 2009). Titer antibodi anjing akan meningkat setelah dilakukan vaksinasi,
namun berbeda pada masing-masing individu. Kenaikan titer antibodi ini menjadi
indikator keberhasilan atau kegagalan vaksinasi. Menurut Berndtsson et al. (2011),
faktor yang memengaruhi keberhasilan vaksinasi rabies pada anjing antara lain tipe
vaksin yang digunakan, ukuran breed anjing, umur saat vaksinasi, dan jarak antara
waktu vaksinasi dengan pengujian titer antibodi. Kennedy et al. (2007) menyatakan
bahwa beberapa faktor seperti tipe vaksin, interval pengambilan sampel
pascavaksinasi, umur, dan asal anjing dapat memengaruhi perbedaan respons
kekebalan setiap individu anjing setelah vaksinasi rabies.
Salah satu metode pengukuran titer antibodi dalam serum dapat dilakukan
dengan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Hewan yang telah
divaksinasi dengan vaksin rabies harus mempunyai titer antibodi minimal 0.5
IU/mL atau setara untuk dapat terhindar dari infeksi virus rabies (OIE 2014).
ELISA sudah banyak digunakan untuk deteksi antibodi rabies pada program
vaksinasi. Kelebihan uji ELISA adalah dapat dilakukan dalam waktu singkat, tidak
menggunakan virus hidup, dan tidak memerlukan laboratorium dengan fasilitas
4
biosafety yang tinggi (Cliquet et al. 2004). Pemeriksaan dengan metode ELISA
tidak membutuhkan waktu yang lama, sehingga sangat tepat digunakan dalam
investigasi epidemiologi (OIE 2013).
Pengaruh Umur terhadap Vaksinasi Rabies
Umur memiliki efek yang besar dalam perkembangan dan penurunan fungsi
sistem kekebalan. Hal inilah yang menyebabkan umur hewan merupakan faktor
penting yang harus diperhatikan sebelum hewan divaksinasi (Schultz et al. 2010).
Antibodi maternal yang didapatkan hewan muda dari induknya melalui plasenta
dan kolostrum akan menghambat sintesis imunoglobulin neonatal. Penghambatan
ini akan berlangsung selama beberapa waktu tergantung banyaknya antibodi
maternal yang didapat hewan muda. Oleh karena itu, vaksinasi hanya akan efektif
dilakukan setelah antibodi maternal telah mengalami penurunan. Antibodi
maternal yang diserap dari usus anak anjing mencapai level maksimal di serum 12–
24 jam setelah kelahiran. Level ini kemudian akan menurun perlahan melalui proses
katabolisme protein normal (Tizard 2013).
Menurut Kennedy et al. (2007) dan Berndtsson et al. (2011), hubungan antara
respons antibodi dan umur merupakan pertimbangan yang penting dalam vaksinasi
rabies. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa anjing muda (berumur
kurang dari satu tahun) memiliki respons antibodi yang lebih rendah terhadap
vaksinasi rabies daripada anjing dewasa. Menurut Ford et al. (2017), vaksinasi
rabies akan memperoleh tingkat kesuksesan yang cukup tinggi ketika dilakukan
saat seekor anak anjing berumur minimal 12 minggu. Sementara itu, Tizard (2013)
merekomendasikan vaksinasi rabies dilakukan saat anak anjing mencapai umur 14–
16 minggu.
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Agustus 2017 sampai April 2018.
Pengambilan sampel dilakukan pada anjing peliharaan masyarakat di sembilan desa
di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Pengujian sampel
dilakukan di Laboratorium Terpadu, Divisi Mikrobiologi Medik, Departemen Ilmu
Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran
Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sampel serum anjing,
akuabides, dan bahan yang tersedia dalam kit Demeditec Rabies Virus IgG Ab
(Dog) ELISA DE2486™ (Demitec Diagnostics GmbH), yaitu mikroplat 96
sumuran yang sudah dilapisi dengan antigen rabies, kontrol positif serum anjing,
kontrol negatif serum anjing, konjugat (anti dog) horse radish peroxidase (HRPO),
5
ELISA buffer, larutan pencuci (wash solution), substrat tetramethyl benzidine
(TMB) A dan B, larutan penghenti reaksi (stop solution), dan plastik adsorben.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu syringe, tabung vakum, pipet
mikro multichannel, tabung mikro, lemari pendingin dengan suhu 4 °C, freezer
dengan suhu -20 °C, penangas air, vortex, inkubator dengan suhu 37 °C, ELISA
plate reader (Bio-Rad™), dan coolbox.
Prosedur Penelitian
Pengambilan dan Penanganan Sampel
Penelitian ini menggunakan sampel serum yang diperoleh dari anjing
peliharaan masyarakat di sembilan desa di Kecamatan Cisolok, Kabupaten
Sukabumi yang telah divaksin rabies empat minggu sebelum pengambilan sampel.
Vaksin yang digunakan yaitu vaksin Rabisin™ (Romindo Primavetcom) dan
diberikan melalui rute intramuskular. Anjing yang diambil sampelnya
dikelompokkan berdasarkan umur, yaitu kelompok umur kurang dari satu tahun dan
kelompok umur lebih dari atau sama dengan satu tahun. Data umur anjing ini
didapatkan melalui wawancara dengan pemilik anjing.
Sebanyak 1–2 mL darah anjing diambil dari vena cephalica menggunakan
syringe berukuran 3 mL. Darah dari syringe lalu dimasukkan ke dalam tabung
vakum dan dibiarkan pada suhu ruang (25–27 °C) hingga terjadi pembekuan darah.
Tabung vakum lalu disimpan di dalam lemari pendingin pada suhu 4 °C. Serum
yang telah terbentuk dipindahkan ke dalam tabung mikro dan ditransportasikan ke
laboratorium melalui sistem rantai dingin (4–8 °C) di dalam coolbox. Sampel yang
sampai di laboratorium dimasukkan ke dalam freezer bersuhu -20 °C hingga
dilakukan pengujian titer antibodi. Cairan serum diinaktivasi terlebih dahulu
sebelum pengujian dengan cara menempatkan sampel pada penangas air bersuhu
56 °C selama 30 menit (OIE 2013).
Prosedur Pengujian Titer Antibodi
Prosedur pengujian titer antibodi dilakukan sesuai petunjuk kerja yang
tersedia di dalam kit Demeditec Rabies Virus IgG Ab (Dog) ELISA DE2486™.
Sebelum memulai pengujian, perlu disiapkan record sheet untuk mencatat sampel
yang dimasukkan dan hasil pembacaan optical density (OD) dari ELISA plate
reader. Sebanyak 0.5 mL serum kontrol positif direkonstitusi dalam 0.5 mL
akuabides, sedangkan sebanyak 0.5 mL serum kontrol negatif direkonstitusi dalam
1 mL akuabides. Serum kontrol positif diencerkan melalui tiga tahap, dimulai dari
pengenceran 1:50, 1:150, 1:450, dan 1:1350 sehingga diperoleh konsentrasi 1.6
equivalent unit (EU), 0.8 EU, 0.4 EU, dan 0.2 EU. Serum sampel diencerkan 1:100
dalam pengencer sampel. Serum kontrol positif, kontrol negatif, dan sampel lalu
dimasukkan ke dalam sumuran mikroplat sebanyak 100 µL sesuai urutan dalam
record sheet.
Sebanyak 100 µL ELISA buffer ditambahkan ke dalam sumuran sebagai
kontrol substrat. Mikroplat ditutup dengan plastik adsorben dan diinkubasi pada
suhu 37 °C selama 60 menit. Plastik adsorben kemudian dibuka setelah 60 menit
dan cairan di dalam mikroplat dibuang. Prosedur pencucian selanjutnya dilakukan
menggunakan larutan pencuci yang telah diencerkan dengan akuades dengan
6
volume minimal 300 µL pada setiap sumuran sebanyak empat kali dan dilakukan
tapping pada tisu hingga tidak ada gelembung udara di dalam sumuran. Konjugat
HRPO sebanyak 100 µL ditambahkan pada semua sumuran. Mikroplat ditutup
dengan plastik adsorben dan diinkubasi pada suhu 37 °C selama 60 menit. Cairan
pada mikroplat dibuang, lalu dilakukan prosedur pencucian kembali. Sebanyak 100
µL larutan substrat ditambahkan di setiap sumuran dalam kondisi gelap lalu
diinkubasi selama 20 menit pada suhu ruang. Sebanyak 50 µL stop solution
kemudian ditambahkan pada setiap sumuran dan dipastikan agar tercampur dengan
baik. Nilai absorbansi dibaca dengan segera menggunakan ELISA plate reader
pada panjang gelombang 450 nm dan 620 nm.
Analisis Data
Penghitungan hasil titer antibodi terhadap rabies dilakukan menggunakan
Microsoft Excel 2013. Hasil akhir pada pengujian ELISA dinyatakan dalam
kesetaraan equivalent unit per mililiter (EU/mL). Interpretasi data titer antibodi
sampel dilakukan sesuai acuan WHO, yaitu titer antibodi ≥ 0.5 EU/mL
menunjukkan titer antibodi rabies protektif (hasil positif), sedangkan titer antibodi
< 0.5 EU/mL menunjukkan nilai titer antibodi rabies tidak cukup untuk proteksi
terhadap virus rabies (hasil negatif) (OIE 2014). Analisis pengaruh umur anjing
terhadap tingkat kekebalan dilakukan dengan menggunakan program Minitab versi
14 dengan uji chi-square dan odds-ratio.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Program vaksinasi rabies di Kecamatan Cisolok, Kabupaten Sukabumi
dilakukan terhadap 169 ekor anjing dari populasi total 653 ekor. Jumlah anjing yang
divaksinasi belum mencapai 70% populasi seperti yang direkomendasikan oleh
Ditjen PKH (2014). Hal ini terjadi karena tidak semua pemilik anjing setuju untuk
dilakukan vaksinasi pada anjingnya akibat keterbatasan informasi tentang manfaat
vaksinasi rabies pada anjing. Beberapa anjing yang telah divaksinasi tidak dapat
diambil sampelnya untuk evaluasi vaksinasi karena pada saat pengambilan sampel
anjing atau pemilik tidak berada di tempat, anjing hilang, pindah kepemilikan
(diadopsi oleh orang lain), atau telah mati. Total serum sampel yang berhasil
diambil untuk evaluasi titer antibodi pascavaksinasi dari Kecamatan Cisolok yaitu
sebanyak 69 sampel.
Tabel 1 menunjukkan hasil evaluasi titer antibodi pascavaksinasi rabies pada
anjing di Kecamatan Cisolok. Sebanyak 64 dari 69 sampel (92.75%) memiliki titer
≥ 0.5 EU/mL sehingga menunjukkan hasil positif memiliki titer antibodi yang
protektif terhadap rabies. Sementara itu, hanya lima sampel (7.25%) memiliki titer
< 0.5 EU/mL sehingga menunjukkan hasil negatif atau belum memiliki titer
antibodi yang protektif terhadap rabies. Hasil ini menunjukkan bahwa program
vaksinasi rabies yang telah dilaksanakan di Kecamatan Cisolok secara umum
berhasil membentuk titer antibodi yang protektif. Menurut Tizard (2013), vaksinasi
merupakan pendekatan yang paling efektif dalam pengendalian penyakit infeksius
seperti rabies, baik pada hewan maupun manusia. Penelitian yang dilakukan Dibia
et al. (2015) mendapatkan hasil bahwa status vaksinasi berasosiasi sangat kuat
7
dengan kejadian rabies pada anjing di Bali. Anjing yang tidak divaksinasi rabies
berisiko terinfeksi rabies 19.13 kali lebih besar dibandingkan dengan anjing yang
telah divaksinasi. Kamil et al. (2004) dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa
anjing yang tidak divaksinasi rabies memiliki kemungkinan 121.00 kali lebih besar
terjangkit rabies dibandingkan dengan anjing yang telah divaksinasi. Hal tersebut
menunjukkan bahwa vaksinasi merupakan langkah yang penting dilakukan di suatu
negara atau daerah dengan status endemis rabies.
Tabel 1 Hasil evaluasi titer antibodi pascavaksinasi rabies pada anjing di
Kecamatan Cisolok
Nama desa Jumlah sampel Titer antibodi
Positif a Negatif b
Cicadas 12 12 0
Cikahuripan 3 3 0
Cikelat 6 6 0
Cisolok 10 9 1
Gunung Keramat 8 6 2
Karang Papak 8 8 0
Pasir Baru 5 6 0
Sinar Resmi 16 15 1
Wanajaya 1 0 1
Jumlah 69 64 (92.75 %) 5 (7.25 %) aJumlah sampel dengan titer antibodi ≥ 0.5 EU/mL; bJumlah sampel dengan titer antibodi
< 0.5 EU/mL.
Sebanyak 69 sampel yang didapat dari anjing berpemilik di sembilan desa di
Kecamatan Cisolok tersebut memiliki rentang umur antara tiga bulan hingga tujuh
tahun. Data umur anjing ini didapatkan melalui wawancara dengan pemilik anjing.
Data sampel tersebut dikategorikan berdasarkan umur, yaitu kelompok umur
kurang dari satu tahun dan kelompok umur lebih dari atau sama dengan satu tahun.
Kelompok umur kurang dari satu tahun terdiri dari anjing dengan rentang umur tiga
hingga sebelas bulan, sedangkan kelompok umur lebih dari atau sama dengan satu
tahun terdiri dari anjing dengan rentang umur satu hingga tujuh tahun. Tujuan
pengelompokan ini yaitu untuk mengetahui pengaruh umur anjing terhadap titer
antibodi pascavaksinasi rabies.
8
Tabel 2 Hasil evaluasi titer antibodi pascavaksinasi rabies pada anjing
berdasarkan kelompok umur di Kecamatan Cisolok
Nama desa
Jumlah sampel Titer antibodi
positif a
Titer antibodi
negatif b
< 1
tahun
≥ 1
tahun
< 1
tahun
≥ 1
tahun
< 1
tahun
≥ 1
tahun
Cicadas 2 10 2 10 0 0
Cikahuripan 2 1 2 1 0 0
Cikelat 3 3 3 3 0 0
Cisolok 1 9 1 8 0 1
Gunung Keramat 3 5 1 5 2 0
Karang Papak 1 7 1 7 0 0
Pasir Baru 2 3 2 3 0 0
Sinar Resmi 8 8 8 7 0 1
Wanajaya 1 0 0 0 1 0
Jumlah 23 46 20
(86.96%)
44
(95.65%)
3
(13.04%)
2
(4.35%)
aJumlah sampel dengan titer antibodi ≥ 0.5 EU/mL; bJumlah sampel dengan titer antibodi
< 0.5 EU/mL.
Uji evaluasi titer antibodi pascavaksinasi rabies yang dilakukan pada sampel
kelompok umur kurang dari satu tahun menunjukkan hasil positif pada 20 dari 23
sampel (86.96%) dan hasil negatif pada tiga dari 23 sampel (13.04%). Sebanyak
tiga sampel yang menunjukkan titer negatif berasal dari anjing berumur tiga bulan
saat dilakukan vaksinasi. Hal ini dapat dikaitkan dengan sistem kekebalan anjing
yang belum dewasa dan keberadaan antibodi maternal (Berndtsson et al. 2011).
Menurut Russel et al. (2006), sistem kekebalan anjing akan berkembang sempurna
pada umur empat sampai enam bulan. Sementara itu menurut Day (2007), onset
tercapainya imunokompetensi tidak dapat diprediksi secara pasti untuk setiap
individu anjing karena hal ini ditentukan oleh banyaknya konsentrasi antibodi
maternal yang diperoleh anjing dari plasenta maupun kolostrum yang diingesti
sesaat setelah kelahiran. Antibodi maternal dapat menghambat perkembangan
sistem kekebalan endogenus anjing. Penghambatan ini akan terus berlangsung
hingga konsentrasi antibodi maternal menurun dan akhirnya dapat dieliminasi dari
tubuh.
Faktor umur diduga bukan merupakan satu-satunya faktor yang berpengaruh
pada hasil uji, karena dalam kelompok umur kurang dari satu tahun terdapat tujuh
ekor anjing lain yang berumur tiga bulan tetapi memiliki titer antibodi positif.
Menurut Kennedy et al. (2007), respons kekebalan merupakan hal yang kompleks
dan berkaitan dengan banyak faktor, seperti faktor genetik dan lingkungan sehingga
akan berbeda pada tiap individu. Moore dan Hanlon (2010) juga menyatakan bahwa
pembentukan antibodi pascavaksinasi dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan faktor
ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi status kesehatan dan perbedaan genetik,
sedangkan faktor ektrinsik meliputi tipe dan banyaknya antigen serta rute vaksinasi
yang diberikan.
9
Pengujian titer antibodi pada anjing kelompok umur lebih dari atau sama
dengan satu tahun menunjukkan hasil positif pada 44 dari 46 sampel (95.65%) dan
hasil negatif pada dua dari 46 sampel (4.35%). Hasil tersebut menunjukkan bahwa
persentase keberhasilan vaksinasi pada kelompok umur lebih dari atau sama dengan
satu tahun sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok umur kurang
dari satu tahun. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Kennedy et al. (2007), yaitu
anjing dewasa (berumur satu hingga tujuh tahun) menunjukkan keberhasilan
vaksinasi rabies lebih tinggi daripada anjing muda (berumur kurang dari satu
tahun). Mansfield et al. (2004) menyatakan bahwa hewan berumur kurang dari satu
tahun memiliki risiko kegagalan vaksinasi rabies yang sedikit lebih tinggi daripada
hewan berumur satu tahun. Selain itu, Rota Nodari et al. (2017) dalam penelitiannya
mendapatkan hasil bahwa anjing berumur kurang dari satu tahun menunjukkan
kemungkinan terkecil untuk mencapai titer antibodi protektif (persentase
seropositif terendah) jika dibandingkan dengan anjing berumur lebih dari atau sama
dengan satu tahun. Hal ini dapat disebabkan oleh sistem kekebalan anjing pada
kelompok umur kurang dari satu tahun yang belum matang jika dibandingkan
dengan anjing pada kelompok umur lebih dari atau sama dengan satu tahun
(Kennedy et al. 2007).
Titer antibodi negatif pada kelompok umur lebih dari atau sama dengan satu
tahun ditemukan pada anjing berumur satu tahun di Desa Sinar Resmi dan anjing
berumur tiga tahun di Desa Cisolok. Anjing yang berumur satu tahun dan tiga tahun
seharusnya telah mampu memberikan respons vaksinasi dengan baik karena sistem
kekebalan tubuhnya sudah sempurna secara fisiologis (Utami dan Sumiarto 2012).
Menurut Tizard (2013), kegagalan vaksinasi dapat disebabkan oleh dua faktor,
yaitu kesalahan pada proses vaksinasi dan ketidakmampuan hewan untuk
merespons vaksinasi. Kesalahan pada proses vaksinasi dapat terjadi akibat
pemilihan vaksin, metode handling vaksin atau rute vaksinasi yang tidak sesuai.
Ketidakmampuan hewan dalam merespons vaksinasi dapat disebabkan oleh
beberapa hal, seperti adanya antibodi maternal (pada hewan muda) atau hewan
mengalami imunosupresi. Kondisi hewan yang sakit dan menerima pengobatan
(khususnya glukokortikoid dan agen sitotoksik) dapat menurunkan kemampuan
hewan untuk merespons vaksinasi secara normal. Malnutrisi juga dapat
menyebabkan supresi respons kekebalan dengan menurunkan ketersediaan nutrien
untuk pembelahan sel dan sintesis protein (seperti antibodi dan sitokin) (Rashid et
al. 2009). Respons kekebalan merupakan proses biologis yang dipengaruhi oleh
banyak faktor sehingga tidak dapat memberikan proteksi yang sama pada setiap
individu pada populasi yang telah divaksinasi (Tizard 2013).
Tabel 3 menunjukkan hasil penghitungan rataan titer antibodi pada kelompok
umur kurang dari satu tahun sebesar 1.12 EU/mL, sedangkan pada kelompok umur
lebih dari atau sama dengan satu tahun sebesar 1.14 EU/mL. Hasil ini menunjukkan
bahwa rataan titer antibodi pada kelompok umur lebih dari atau sama dengan satu
tahun sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok umur kurang dari satu
tahun. Hal ini sesuai dengan Tizard (2013) yang menyatakan bahwa hewan muda
(berumur kurang dari satu tahun) memiliki level titer antibodi yang lebih rendah
daripada hewan dewasa. Analisis pengaruh umur anjing terhadap tingkat kekebalan
dilakukan dengan menggunakan program Minitab versi 14. Uji chi-square
digunakan untuk menganalisis signifikansi asosiasi antara umur anjing dan titer
antibodi pascavaksinasi rabies (Murti 1996). Sementara itu, kekuatan atau keeratan
10
hubungan umur anjing terhadap titer antibodi pascavaksinasi rabies dianalisis
dengan penghitungan odds-ratio (OR) (Martin et al. 1987).
Tabel 3 Rataan titer antibodi tiap kategori umur dan hasil analisis pengaruh faktor
umur terhadap titer antibodi pascavaksinasi rabies di Kecamatan Cisolok
Kelompok
umur
Jumlah
sampel
Titer antibodi Rataan titer
antibodi
(EU/mL)
Nilai p
chi-square test
Odds-
ratio Positifa Negatifb
< 1 Tahun 23 20 3 1.12 0.189 0.3
≥ 1 Tahun 46 44 2 1.14 aJumlah sampel dengan titer antibodi ≥ 0.5 EU/mL; bJumlah sampel dengan titer antibodi < 0.5
EU/mL.
Berdasarkan penghitungan chi-square, diperoleh nilai p sebesar 0.189. Hal
ini menunjukkan bahwa faktor umur tidak berpengaruh terhadap titer antibodi
pascavaksinasi rabies pada anjing di Kecamatan Cisolok (p > 0.05). Penghitungan
odd-ratio mendapatkan hasil 0.3, yang dapat diartikan bahwa anjing pada kelompok
umur kurang dari satu tahun berisiko memiliki titer antibodi pascavaksinasi rabies
0.3 kali lebih rendah dibandingkan anjing pada kelompok umur lebih dari atau sama
dengan satu tahun. Hasil penelitian ini menunjukkan persamaan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Delgado dan Cármenes (1997) dan Savaliya et al. (2015)
dengan metode ELISA, yaitu faktor umur tidak menunjukkan efek yang signifikan
terhadap level antibodi pascavaksinasi rabies.
Penelitian dengan metode fluorescent antibody virus neutralization (FAVN)
yang dilakukan oleh Berndtsson et al. (2011) dan Kennedy et al. (2007)
mendapatkan hasil bahwa umur anjing memiliki efek signifikan pada titer antibodi
rabies (p < 0.05). Ketidaksesuaian hasil penelitian ini dapat terjadi karena
perbedaan dalam metode pengujian titer antibodi. FAVN merupakan metode gold
standard dalam pengujian titer antibodi rabies (OIE 2013). Sebuah penelitian yang
dilakukan oleh Cliquet et al. (2004) mendapatkan hasil bahwa metode ELISA
memiliki sensitivitas yang lebih rendah jika dibandingkan dengan FAVN. Namun,
metode ELISA memiliki beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan FAVN,
yaitu pengujian dapat dilakukan dengan cepat, tidak menggunakan virus hidup, dan
tidak memerlukan laboratorium dengan fasilitas biosafety yang tinggi (Cliquet et
al. 2004). Menurut OIE (2013), meskipun FAVN merupakan metode pengujian
yang paling direkomendasikan, namun metode ELISA juga dapat digunakan untuk
mendeteksi titer antibodi pascavaksinasi, terutama pada studi epidemiologi dalam
skala besar. Ketidaksesuaian hasil ini dapat juga terjadi karena perbedaan kondisi
dan perlakuan anjing yang digunakan sebagai sampel pada masing-masing
penelitian. Hal tersebut menyebabkan variasi pada titer antibodi pascavaksinasi
anjing (Rashid et al. 2009) sehingga secara langsung maupun tidak langsung dapat
mempengaruhi hasil penelitian.
11
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa anjing di Kecamatan Cisolok,
Kabupaten Sukabumi memiliki tingkat antibodi protektif pascavaksinasi rabies
yang tergolong tinggi. Anjing pada kelompok umur lebih dari atau sama dengan
satu tahun memiliki tingkat antibodi protektif dan rataan titer antibodi
pascavaksinasi rabies yang sedikit lebih tinggi jika dibandingkan dengan anjing
pada kelompok umur kurang dari satu tahun. Faktor umur tidak berpengaruh
terhadap titer antibodi pascavaksinasi rabies pada anjing di Kecamatan Cisolok,
Kabupaten Sukabumi.
Saran
Vaksinasi rabies terhadap anjing pada semua umur perlu dilakukan untuk
mencegah dan mengendalikan kejadian rabies di Kecamatan Cisolok, Kabupaten
Sukabumi.
DAFTAR PUSTAKA
[Barantan] Badan Karantina Pertanian. 2016. Keputusan Kepala Badan Karantina
Pertanian Nomor 87/Kpts/KR.120/L/1/2016 tentang Petunjuk Teknis Tindakan
Karantina Hewan terhadap Hewan Penular Rabies. Jakarta (ID): Barantan.
Berndtsson LT, Nyman AJ, Rivera E, Klingeborn B. 2011. Factors associated with
the success of rabies vaccination of dogs in Sweden. Acta Vet Scan. 53(22):1-
7.doi:10.1186/1751-0147-53-22.
Besung INKK, Suwiti NK, Suatha IK, Suastika P, Piraksa IW, Setiasih NLE. 2011.
Vaksinasi, edukasi, dan eliminasi anjing liar sebagai usaha percepatan
penanggulangan penyakit rabies di Bali. J Udayana Mengabdi. 10(2):57-
60.ISSN:1412-0925.
Cahyono MA. 2009. Efektifitas vaksinasi rabies pada anjing yang
diimpor melalui Bandara Soekarno-Hatta [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian
Bogor.
Cliquet F, McElhinney LM, Servat A, Boucher JM, Lowings JP, Goddard T,
Mansfield KL, Fooks AR. 2004. Development of a qualitative indirect ELISA
for the measurement of rabies virus-specific antibodies from vaccinated dogs
and cats. J Virol Methods. 117:1-8.doi:10.1016/j.jviromet.2003.12.001.
Clutton-Brock J. 2014. Eyewitness Dog. London (GB): Dorling Kindersley Ltd.
Day MJ. 2007. Immune system development in the dog and cat. J Comp Path.
137:10-15.doi:10.1016/j.jcpa.2007.04.005.
Delgado S, Cármenes P. 1997. Immune response following a vaccination campaign
against rabies in dogs from northwestern Spain. Prev Vet Med. 31:257-261.
Dibia IN, Sumiarto B, Susetya H, Putra AAG, Scott-Orr H. 2015. Faktor-faktor
risiko rabies pada anjing di Bali. J Vet. 16(3):389-398.ISSN:1411-8327.
12
[Ditjen PKH] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2014. Manual
Penyakit Hewan Mamalia. Jakarta (ID): Kementan.
Ford RB, Larson LJ, Schultz RD, Welborn LV. 2017. AAHA canine vaccination
guidelines [internet]. [diunduh 2018 Mar 30]. Tersedia pada:
www.aaha.org/public_documents/guidelines/vaccination_recommendation_for
_general_practice_table.pdf.
Iman RN. 2017. Sepuluh kecamatan di Sukabumi masih rawan wabah rabies
[internet]. [diunduh 2018 Mar 27]. Tersedia pada: www.republika.co.id.
Kamil M, Sumiarto B, Budhiarta S. 2004. Kajian kasus kontrol rabies pada anjing
di Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Agrosains. 17(3): 313-320.
[Kemenkes] Kementerian Kesehatan. 2014. Infodatin: Situasi dan analisis rabies
[internet]. [diunduh 2018 Jan 19]. Tersedia pada: www.depkes.go.id/
article/view/15021800004/situasi-dan-analisis-rabies.html.
[Kemenkes] Kementerian Kesehatan. 2016. Infodatin: Jangan ada lagi kematian
akibat rabies [internet]. [diunduh 2018 Jan 19]. Tersedia pada:
www.pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/Infodatin-
Rabies-2016.pdf.
[Kementan] Kementerian Pertanian. 2009. Keputusan Menteri Pertanian Nomor
3600/Kpts/PD.640/10/2009 tentang Pernyataan Berjangkitnya Penyakit Anjing
Gila (Rabies) di Kabupaten Garut, Tasikmalaya, Sukabumi, Cianjur, dan Kota
Sukabumi Provinsi Jawa Barat serta Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Jakarta
(ID): Kementan.
Kennedy LJ, Lunt M, Barnes A, McElhinney L, Fooks AR, Baxter DN, Ollier
WER. 2007. Factors influencing the antibody response of dogs vaccinated
against rabies. J Vaccine. 25:8500-8507.doi:10.1016/j.vaccine.2007.10. 015.
Mansfield KL, Burr RD, Snodgrass DR, Sayers R, Fooks AR. 2004. Factors
affecting the serological response of dogs and cats to rabies vaccination. Vet Rec.
154:423-426.
Martin SW, Meek A, Willeberg P. 1987. Veterinary Epidemiology. Iowa (US):
Iowa State Univ Pr.
Moore SM, Hanlon CA. 2010. Rabies-specific antibodies: measuring surrogates of
protection against a fatal disease. PLoS Negl Trop Dis. 4(3):1-6.
doi:10.1371/journal.pntd.0000595.
Murti B. 1996. Penerapan Metode Statistik Non-Parametrik dalam Ilmu-Ilmu
Kesehatan. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama.
[OIE] Office International des Epizooties. 2013. OIE Terrestrial Manual 2013
[internet]. [diunduh 2018 Jan 20]. Tersedia pada: www.oie.intl/standard-
setting/terrestrial-manual/access-online.
[OIE] Office International des Epizooties. 2014. ELISA test for rabies [internet].
[diunduh 2018 Mar 29]. Tersedia pada: http://rr-asia.oie.int/JTF_One_Health.
Pemerintah Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Jakarta (ID):
Sekretariat Negara.
Rashid A, Rasheed K, Akhtar M. 2009. Factors influencing vaccine efficacy. J
Anim Plant Sci. 19(1):22-25. ISSN: 1018-7081.
Rota Nodari E, Alonso S, Mancin M, De Nardi M, Hudson-Cooke S, Veggiato C,
Cattoli G, De Benedictis P. 2017. Rabies vaccination: higher failure rates in
13
imported dogs than in those vaccinated in Italy. Zoonoses Public Health. 64:146-
155. doi: 10.1111/zph.12268.
Russel CA, Real LA, Smith DL. 2006. Spatial control of rabies on heterogeneous
landscapes. PLoS One. 1(1):1-7.doi:10.1371/journal.pone.0000027.
Savaliya BF, Mathakiya RA, Bhanderi BB, Jhala MK. 2015. Evaluation of
phenotypic factors for anti-rabies antibody in vaccinated pet dogs. Virus Dis.
26(4):282–287.doi:10.1007/s13337-015-0284-6.
Schultz RD, Thiel B, Mukhtar E, Sharp P, Larson LJ. 2010. Age and long-term
protective immunity in dogs and cats. J Comp Path. 142:102-108.
doi:10.1016/j.jcpa.2009.10.009.
Tizard IR. 2013. Veterinary Immunology. 9th ed. Philadelphia (US): Saunders.
Utami S, Sumiarto B. 2012. Tingkat dan faktor risiko kekebalan protektif terhadap
rabies pada anjing di Kota Makassar. J Vet. 13(1):77-85. ISSN:1411-8327.
14
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bojonegoro, 1 Desember 1996. Penulis merupakan anak
pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Sudarmono dan Ibu Ni Nyoman
Sari. Penulis memulai pendidikan di TK Dharma Wanita (2000–2002), kemudian
dilanjutkan dengan pendidikan dasar di SDN Tembeling 1 (2002–2008). Penulis
melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMPN 1 Padangan (2008–2011) dan
pendidikan menengah atas di SMAN 1 Bojonegoro (2011–2014). Setelah
menyelesaikan pendidikan menengah atas, Penulis diterima sebagai mahasiswa
pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur
Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi (SNMPTN) pada tahun 2014.
Selama mengikuti pendidikan di IPB, Penulis aktif dalam organisasi
mahasiswa daerah Paguyuban Angling Dharma Bojonegoro sebagai anggota
(2014–2018), organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Profesi Hewan
Kesayangan dan Satwa Akuatik Eksotik sebagai anggota (2015–2016), Badan
Eksekutif Mahasiswa FKH IPB 2016 sebagai Sekretaris Departemen Komunikasi
dan Informasi (2015–2016), dan Badan Mahasiswa FKH IPB 2017 sebagai Kepala
Departemen Komunikasi dan Informasi (2016–2017). Selain aktif dalam
organisasi, Penulis juga berpartisipasi dalam berbagai kepanitiaan kampus, seperti
Masa Perkenalan Mahasiswa Baru (MBKMB) 52 (2015), Introduction to
Veterinary Medicine (Intravena) 52 (2016), International Scholarship & Education
Expo (2016), National Veterinary Competition (2016), dan lain-lain. Penulis juga
pernah terlibat dalam kegiatan magang kerja liburan di PT Greenfields Indonesia
Malang (2016), Klinik Hewan Kayu Manis Yogyakarta (2016), Klinik Hewan
Gustav Vet Jakarta (2017), dan Arthayasa Stable Depok (2017).
Top Related