SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum
Volume 3,Nomor 1,JUNI 2021 Hal 271-286
ISSN : 2684-8791 (Online)
271
Robinson Marbun,Ali Imran Nasution,Wahida Apriani : Tinjauan Re-Eksistensi Yuridis Garis-Garis Besar Haluan Negara
Sebagai Pedoman Pembangunan Nasional
TINJAUAN RE-EKSISTENSI YURIDIS GARIS-GARIS BESAR HALUAN
NEGARA SEBAGAI PEDOMAN PEMBANGUNAN NASIONAL
Robinsar Marbun¹
Ali Imran Nasution²
Wahida Apriani³
¹⁾²⁾³⁾Ilmu Hukum Universitas Pembangunan Nasional“Veteran”Jakarta
Abstract After the removal of the State Policy Guidelines (GBHN), has made a National Development
Planning System (SPPN) which is legalized through Law Number 25/2004 on SPPN with the
concept of long-term, medium-term and annual development planning for the central and regional
levels. However, it has not yet fulfilled the criteria as the State Policy but only the Executive Policy,
therefore there is a need to revive the GBHN as a guide to national development. This writing aims
to find out how the legal certainty of the GBHN will be turned on and how urgent the GBHN Re-
Existence itself is. This type of research is normative with literature study data collection techniques,
as well as carrying out a philosophical approach and legislation. Ideally, the Re-Existence of GBHN
through the 1945 Constitution, this is because SPPN as the GBHN model is a legal document for the
organizers of national development based on popular sovereignty. This means that it is the people
through their representatives in the MPR that designs, establishes and monitors it. So ideally, the
existence of GBHN through the 5th amendment to the 1945 Constitution is limited.
Keywords: GBHN, National Development, Limited Amendments.
Abstrak Pasca dihilangkannya Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN),dibuat Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional (SPPN) yang dilegalisasi melalui UU No.25/2004 tentang SPPN dengan
konsep perencanaan pembangunan nasional jangka panjang, menengah, dan tahunan untuk tingkat
pusat dan daerah.Belum memenuhi kriteria sebagai haluan negara melainkan hanya haluan
eksekutif.Perlu ada penghidupan kembali GBHN sebagai pedoman pembangunan nasional. Tujuan
penelitian ini untuk mengetahui bagaimana kepastian hukum dari GBHN yang akan dihidupkan dan
urgensinya Re-Eksistensi GBHN itu sendiri. Jenis penelitian yang digunakan adalah normatif dengan
teknik pengumpulan data studi pustaka,dengan pendekatan filosofis dan perundang-undangan.
Idealnya Re-Eksistensi GBHN melalui UUD 45, hal ini dikarenakan SPPN sebagaimana model
GBHN adalah dokumen hukum bagi penyelenggara pembangunan nasional yang berbasis kedaulatan
rakyat. Rakyat melalui wakil-wakilnya di MPR yang merancang, menetapkan dan mengawasi
sehingga idealnya dari Re-eksistensi GBHN melalui amandemen ke 5 UUD 45 secara terbatas.
Kata kunci: GBHN, Pembangunan Nasional, Amandemen Terbatas.
SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum
Volume 3,Nomor 1,JUNI 2021 Hal 271-286
ISSN : 2684-8791 (Online)
272
Robinson Marbun,Ali Imran Nasution,Wahida Apriani : Tinjauan Re-Eksistensi Yuridis Garis-Garis Besar Haluan Negara
Sebagai Pedoman Pembangunan Nasional
PENDAHULUAN
Latar Belakang Garis-Garis Besar Haluan Negara menjadi salah satu isu sentral perbincangan hangat pada
saat ini, dalam berbagai kesempatan sosialisasi empat pilar bernegara yaitu Pancasila, Undang-
Undang Dasar 1945, NKRI, serta Bhinneka Tunggal Ika yang dilakukan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR). Wacana menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara
sebagai pedoman pertama perencanaan pembangunan nasional menjadi salah satu materinya. Setelah
Presiden ke-lima RI sekaligus Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarno Putri dalam Rapat Kerja
Nasional PDI-P, pada tanggal 10-12 Januari 2016 di Jakarta menyampaikan pidato yang menyindir
model perencanaan pembangunan saat ini yang di ibaratkannya seperti poco-poco
(Prabowo,2019).Serta Pemberlakuan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara merupakan
komitmen bersama bangsa Indonesia dalam membangun dan memperbaiki kualitas bangsa dan
negara.(Sahidin,2017).Sedangkan pihak yang kontra mungkin akan berfikir penghidupan kembali
Garis-Garis Besar Haluan Negara akan menimbulkan ketidakkonsistenan terhadap pilihan sistem
presidensil yang telah difurifikasi melalui amandemen UUD 1945.
Terlepas dari adanya pro dan kontra yang ada di tengah masyarakat, pada dasarnya
perubahan konstitusi merupakan sebuah hal yang lumrah dan laziim dalam paham konstitusional
modern.(Nggilu,2014). Meskipun konstiitusi dapat dirubah, namun harus memiliki prasyarat yang
jelas terkait dengan paradigma perubahan Konstitusi atau di Indonesia disebut dengan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Maka Tinjauan Re-Eksistensi Yuridis Garis-
Garis Besar Haluan Negara diperlukan demi kualitas kepentingan berbangsa dan bernegara,
khususnya dalam pembangunan nasional. Dimana Re-Eksistensi diambil dari kata “Re” artinya
“Pengembalian” dan “Eksistensi” (Artikbbi,2019).yang artinya “Keberadaan” , sedangkan kata
“Yuridis” artinya “Hukum” dengan demikian dapat disimpulkan arti dari Tinjauan Re-Eksistensi
Yuridis Garis-Garis Besar Haluan Negara Sebagai Pedoman Pembangunan Nasional, yang Penulis
maksud adalah tinjauan pengembalian keberadaan hukum Garis-Garis Besar Haluan Negara Sebagai
Pedoman Pembangunan Nasional. Mengingat Undang-Undang Dasar mempunyai fungsi yang khas,
yaitu membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa, sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak
bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian, diharapkan hak-hak warga Negara akan lebih
terlindungi.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka Penulis mengidentifikasiikan
permasalahan yang akan di bahas dalam penulisan ini:
a. Bagaiimana re-eksistensi yuridis Garis-Garis Besar Haluan Negara sebagai
pedoman pembangunan nasional?
b. Apakah penting atau tidaknya penghidupan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara
sebagai pedoman pembangunan nasional?
LANDASAN TEORI
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
Garis-Garis Besar Haluan Negara adalah haluan Negara tentang arah dan tujuan
pembangunan nasional, dalam Garis Besar Haluan Negara mengandung isi sebagai pernyataan
kehendak rakyat yang
SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum
Volume 3,Nomor 1,JUNI 2021 Hal 271-286
ISSN : 2684-8791 (Online)
273
Robinson Marbun,Ali Imran Nasution,Wahida Apriani : Tinjauan Re-Eksistensi Yuridis Garis-Garis Besar Haluan Negara
Sebagai Pedoman Pembangunan Nasional
ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) setiap lima tahun sekali. Maksud
ditetapakan Garis-Garis Besar Haluan Negara adalah untuk memberikan arah bagi perjuangan bangsa
Indonesia dalam mengisi kemerdekaan Republik Indonesia yang saat ini sedang giat-giatnya
membangun dengan tujuan untuk mewujudkan pembangunan yang diinginkan, baik dalam waktu
lima tahun berikutnya maupun dalam jangka panjang, sehingga secara bertahap cita-cita bangsa
Indonesia dapat tercapai sesuai yang termaktup dalam alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 Garis-Garis Besar Haluan Negara merupakan aspirasi politik rakyat melalui jalur: Orgasisasi
sosial/politik, Pemeritah dan Perguruan tinggi, kemudian dibuat dan ditetapkan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) menurut acuan politik yang terkandung dalam Undang-Undang
Dasar 1945.
Jika dilihat dari isi GBHN dan UUD 1945 mempunyai persamaan yaitu:
a. Menganut landasan yang sama yaitu Pancasila sebagai sistem nilai yang melandasi dan
menjadi acuan filosofis.
b. Menganut landasan struktural yang sama yaitu mengandalkan sistem Presidentil.
c. Menganut landasan operasional yang sama berisikan tujuan-tujuan nasional yang terkandung
dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945.
Undang-Undang Dasar sebagai sistem pengelolaan kehidupan nasional hanya menetapkan
ketentuan-ketentuan pokok secara konstitusional tentang pengelolaan kehidupan bangsa, sedangkan
GBHN mengatur lanjutan penjabarannya, atas dasar ini UUD 1945 bersifat sebagai Yuridis
Konstitusional, sedangkan GBHN bersifat Politik Operasional. Kedudukan Garis-Garis Besar Haluan
Negara menjadi referensi dasar atau dasar rujukan pokok dalam membuat perencanaan baik tentang
perumusan kebijakan managerial dalam pelaksanaan pembangunan. Dengan demikian pokok-pokok
kebijakan politis sebagai kebijakan publik dalam GBHN menjadi landasan politis (Political
Foundation) bagi pengelola, pelaksana dan juga sebagai kendali politis bagi perencanaan
pembangunan nasional.Persoalan GBHN dapat di pahami bahwa kemampuan kelembagaan
setidaknya ada empat aspek kenegaraan yang harus diperhatikan jika GBHN ini menjadi kebutuhan
bangsa Indonesia yaitu bentuk organisasi dan manajemen; bentuk sistem politik; dasar legitimasi dan
faktor-faktor budaya dan struktural. Pada aspek pertama memang menempatkan faktor ekonomi dan
pembangunan sebagai bidang ketika diterapkan akan menyentuh sektor swasta dan bidang
administrasi publik sengan sektor masyarakat Indonesia. Sedangkan aspek kedua bentuk sistem
politik berkaitan dengan bentuk kelembagaan pada level negara sebagai suatu keseluruhan
ketimbang agen-agen individu yang membentuknya. Legitimasi sebagai aspek ketiga memegang
peranan kunci sebagi bentuk kelembagaan yang sistemik yang juga sebagai suatu dimensi normatif.
Yakni bahwa lembaga-lembaga negara tidak hanya harus bekerja bersama secara tepat sebagai suatu
keseluruhan dalam pengertian administrasi, namun mereka juga harus dilihat sebagai sesuatu yang
sah oleh masyarakat yang mendasarinya. Dan aspek keempat yaitu aspek budaya dan struktural.
Aspek ini menempatkan relevansi negara dengan kemampuan kelembagaan yang bersifat subpolitik
dan berkaitan dengan norma-norma, nilai-nilai dan budaya.Empat aspek diatas menjadi diskursus
tersendiri dalam kehidupan bangsa Indonesia. Diskursus yang diawali ketika The founding fathers
ketika meletakkan pondasi negara Indonesia dalam Undang- Undang Dasar Tahun 1945 (UUD
1945), penuh dengan kejelian, kecerdasan dan penuh kehati-hatian meskipun dari latar belakang
pendidikan the founding fathers tidak sepenuhnya bergelar Profesor, Doktor atau mereka berasal dari
lulusan perguruan tinggi luar negeri. Suatu rumusan yang sangat visioner ketika bangunan besar
negara Indonesia dengan menempatkan empat aspek pemikiran di atas sebagai dasar menempatkan
kalimat “...kedaulatan rakyat...” bukan “...kedaulatan tuanku atau penguasa...”. menempatkan hukum
SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum
Volume 3,Nomor 1,JUNI 2021 Hal 271-286
ISSN : 2684-8791 (Online)
274
Robinson Marbun,Ali Imran Nasution,Wahida Apriani : Tinjauan Re-Eksistensi Yuridis Garis-Garis Besar Haluan Negara
Sebagai Pedoman Pembangunan Nasional
sebagai sandaran bernegara “Rechtssttaat” bukan berdasarkan pada “Machtsttat”, sistem pemerintahan
yang dibangun atas dasar “konstitusi” bukan berdasar atas “absolutisme”.
GBHN Meskipun baru efektif diberlakukan setelah dekrit Presiden hingga berakhirnya
demokrasi terpimpin Soekarno di tahun 1966, namun Manifesto yang dijadikan GBHN menjadi
rujukan ketika kepemimpinan di negeri ini berganti dari Orde Lama ke Orde Baru.
(Kansil,1980).Dengan pergantian rezim di tahun 1966, GBHN tetap menjadi sebuah landasan
pemerintah Orde Baru hingga terlaksananya Pemilihan Umum Pertama Orde Baru di tahun 1971.
Format yang dibangun pemerintahan Orde Baru GBHN tetap menjadi landasan ideologis yang
kemudian dituangkan dalam Pola Umum Pembangunan Nasional, yang meliputi: pertama, Pola
Dasar Pembangunan Nasional, bahwa pembangunan nasional memiliki tujuan untuk menciptakan
masyarakat Indonesia yang adil dan makmur, baik materiil maupun spiritual atau pembangunan
manusia seutuhnya dengan Pancasila dan UUD 1945 sebagai pegangannya. Kedua, Pola Umum
Pembangunan Jangka Panjang. Waktu yang ditetapkan untuk pembangunan berkelanjutan itu adalah
25 sampai dengan 30 tahun. Ketiga, Pola Umum Pelita, yakni pembangunan lima tahun. Melalui
Sidang Umum, MPR diberi kewenangan untuk meninjau GBHN sebelumnya untuk disesuaikan
dengan perkembangan masyarakat dan bangsa Indonesia. (Kansil,1980).Pada masa Orde Baru,
GBHN memiliki peran yang sangat besar bagi pemerintah dalam membuat rencana dan strategi
pembangunan, namun setelah kejatuhan Presiden Soeharto tahun 1998, susunan ketatanegaraan
Republik Indonesia mengalami perubahan yang sangat drastis, terutama akibat amandemen UUD
1945 yang di masa Orde Baru sangat sulit dilakukan. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR),
sebagai lembaga tertinggi, tidak lagi diberi kewenangan untuk menetapkan GBHN. Bahkan, melalui
UU No. 17 Tahun 2007, GBHN diganti dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
(RPJPN) yang dibahas dan ditetapkan oleh DPR bersama dengan pemerintah. RPJN merupakan
tindak lanjut dari ketentuan UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional (SPPN) untuk jangka waktu 20 tahun (2005-2025).
Dengan perubahan ketatanegaraan akibat amandemen UUD 1945 itu pula, maka program
pemerintah tidak lagi dipatok secara ketat pada Rencana Pembangunan Nasional tersebut, tetapi
kepada visi dan misi serta rencana program kerja dari kandidat presiden-wakil presiden ataupun
kepala daerah, yang dipilih secara langsung oleh rakyat (Pasal 4 dan 6, UU No 17 Tahun 2007).
Adanya ketentuan dalam Pasal 3 UUD 45 yang berbunyi : "MPR menetapkan UUD dan garis-garis
besar daripada haluan negara", mengandung pengertian bahwa perlu produk tersendiri garis-garis
besar daripada haluan negara.
Perencanaan Pembangunan Nasional Tujuan nasional sebagaimana ditegaskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945
diwujudkan melalui pelaksanaan penyelenggaraan negara yang berkedaulatan rakyat dan demokratis
dengan mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar 1945. Penyelenggaraan negara dilaksanakan melalui pembangunan nasional dalam segala
aspek kehidupan bangsa, oleh penyelenggara negara, yaitu lembaga tertinggi dan lembaga tinggi
negara bersama-sama segenap rakyat Indonesia di seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
Menurut UU No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunnan Nasional (SPPN);
a. Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui
urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia
SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum
Volume 3,Nomor 1,JUNI 2021 Hal 271-286
ISSN : 2684-8791 (Online)
275
Robinson Marbun,Ali Imran Nasution,Wahida Apriani : Tinjauan Re-Eksistensi Yuridis Garis-Garis Besar Haluan Negara
Sebagai Pedoman Pembangunan Nasional
b. Pembangunan Nasional adalah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa dalam
rangka mencapai tujuan bernegara. (Ketentuan Umum Pasal 1 Angka 1-2 UU No. 25 Tahun 2004
tentang SPPN)
Sedangkan UU No. 17 Tahun 2007 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
(RPJPN) ( ketentuan umum UU No. 17 Tahun 2007 tentang rencana pembangunan jangka panjang
nasional).Pembangunan nasional adalah rangkaian upaya pembangunan yang berkesinambungan yang
meliputi seluruh aspek kehidupan masyarakat, bangsa dan negara, untuk melaksanakan tugas
mewujudkan tujuan nasional sebagaimana dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Rangkaian upaya pembangunan tersebut memuat kegiatan
pembangunan yang berlangsung tanpa henti, dengan menaikkan tingkat kesejahteraan masyarakat
dari generasi demi generasi. Pelaksanaan upaya tersebut dilakukan dalam konteks memenuhi
kebutuhan masa sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk
memenuhi kebutuhannya. Dapat dikatakan bahwa pembangunan nasional merupakan usaha
peningkatan kualitas manusia, dan masyarakat Indonesia yang dilakukan secara berkelanjutan,
berlandaskan kemampuan nasional, dengan memanfaatkan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta memperhatikan tantangan perkembangan global. Dalam pelaksanaannya mengacu
pada kepribadian bangsa dan nilai luhur yang universal untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang
berdaulat, mandiri, berkeadilan, sejahtera, maju, dan kukuh kekuatan moral dan etikanya.
Pembangunan yang terpusat dan tidak merata yang dilaksanakan selama ini ternyata hanya
mengutamakan pertumbuhan ekonomi serta tidak diimbangi kehidupan sosial, politik, ekonomi yang
demokratis dan berkeadilan.
Fundamental pembangunan ekonomi yang rapuh, penyelenggaraan negara yang sangat
birokratis dan cenderung korup, serta tidak demokratis telah menyebabkan krisis moneter dan
ekonomi, yang nyaris berlanjut dengan krisis moral yang memprihatinkan. Karena itu, reformasi di
segala bidang dilakukan untuk bangkit kembali dan memperteguh kepercayaan diri atas
kemampuannya dan melakukan langkah-langkah penyelamatan, pemulihan, pemantapan, dan
pengembangan pembangunan dengan paradigma baru Indonesia masa depan yang berwawasan
kelautan dalam rangka mewujudkan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dengan
begitu setelah masa orde lama dan orde baru berlalu, penyusunan sistem perencanaan pembangunan
nasional diserahkan kepada Presiden dan wakil Presiden. UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional mengatur bahwa, kepada Presiden dan Wakil Presiden
diberikan tugas menyusun arah dan strategi pembangunan Nasional selama 5 tahun dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). RPJMN merupakan penjabaran dari visi, misi,
dan program Presidensiil yang berpedoman pada cita-cita luhur dalam Pembukaan UUD 1945 dan
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) yang telah ditetapkan dengan UU No. 17
Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025. Namun terdapat permasalahan yang dihadapi adalah tidak
adanya jaminan kepastian bahwa apa yang telah dikonstruksi secara ideal dalam peraturan
perundang-undangan terkait dengan SPPN maupun RPJPN itu dilaksanakan secara konsisten oleh
pemangku kepentingan terkait. Sampai saat ini, tidak ada mekanisme yang jelas untuk menilai
apakah dokumen-dokumen perencanaan yang dibuat sebagai tindak lanjut dari RPJPN, seperti di
level nasional, RPJMN, Renstra Kementerian/Lembaga, Rencana Kerja Pemerintah, Rencana Kerja
Kementerian, dan di level daerah, RPJMD, Renstra SKPD, RKPD, Renja SKPD, memang sudah
merujuk kepada RPJP. Apalagi jika mengingat adanya keterlibatan mekanisme penjabaran visi dan
misi Presiden/Kepala Daerah terpilih, potensi gap dengan RPJP menjadi lebih besar. Pada akhirnya,
banyak pihak yang menilai bahwa proses pembangunan seolah berjalan sendiri-sendiri dan menjadi
tidak berpola. Kondisi ini dapat dikatakan hamper tidak terjadi
SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum
Volume 3,Nomor 1,JUNI 2021 Hal 271-286
ISSN : 2684-8791 (Online)
276
Robinson Marbun,Ali Imran Nasution,Wahida Apriani : Tinjauan Re-Eksistensi Yuridis Garis-Garis Besar Haluan Negara
Sebagai Pedoman Pembangunan Nasional
pada era sebelumnya, ketika GBHN merupakan rujukan utama proses perencanaan pembangunan
baik di level nasional maupun di daerah.
Kedudukan MPR Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Jika dalam UUD 1945 sebelum amandemen, MPR merupakan lembaga tertinggi Negara yang
memiliki kewenangan menetapkan Undang-Undang Dasar dan Garis-Garis Besar Haluan Negara
(GBHN) serta memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden, maka pasca amandemen,
kedudukan MPR bukan lagi menjadi lembaga tertinggi Negara, akan tetapi MPR berkedudukan
sejajar dengan lembaga-lembaga Negara lainnya. Demikian pula dengan aspek fungsi MPR pasca
amandemen fungsinya terbatas pada kewenangan yang bersifat rutinitas yaitu melantik Presiden dan
Wakil Presiden terpilih hasil pemilihan umum, dan juga kewenangan yang bersifat insidental, seperti
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang
Dasar, mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar serta kewenangan insidental lain
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 Perubahan. Amandemen UUD
1945 telah mengakibatkan MPR tidak lagi menjadi lembaga superior seperti pada masa Orde Baru,
akan tetapi justru sebaliknya, amandemen menempatkan MPR menjadi lemabaga Negara yang
sangat lemah dan inferior dibandingkan dengan lembaga-lembaga Negara lainnya yang lebih jelas
kedudukan, fungsi dan perannya sebagaimana diatur dalam UUD 1945 pasca amandemen. Tugas
rutin MPR nyaris hanya sekali dalam lima tahun, yaitu melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih
hasil pemilihan umum. Terkait dengan perubahan kewenangan MPR di atas, maka hal ini juga
berimplikasi terhadap keberadaan GBHN dan GBHN ini ditetapkanlah pedoman penyelenggaraan
pembangunan berupa Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dalam UU No 17
Tahun 2007, sebagai amanat dari Pasal 13 ayat (1) UU No 25 Tahun 2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) ( pasal 13 ayat (1) UU No. 25 Tahun 2004 tentang SPPN,
yang mengamanatkan RPJPN), maka RPJPN menjadi rujukan dari rencana pembangunan lima tahunan
yang disebut dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Berbeda dengan
GBHN, dokumen perencanaan pembangunan tersebut atas ini tidak lagi menjadi kewenangan MPR,
melainkan merupakan kewenangan bersama antara DPR RI dan Presiden RI. MPR sebagai lembaga
pengawal kedaulatan rakyat Indonesia memiliki wewenang yang luar biasa. Wewenang MPR yang
luar biasa tersebut ada dalam Pasal 3 Ayat (1) sampai (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945). (UUD NRI 1945 Pasal 3 ayat (1) hingga (3), Setelah
amandemen).Sehubungan dengan peran strategis MPR dalam rangka pelaksanaan tugas
konstitusionalnya diatas, khususnya kewenangan untuk mengubah dan menetapkan UUD
sebagaimana yang ada dalam Pasal 3 Ayat (1), MPR diberikan mandat oleh Peraturan MPR Nomor 1
Tahun 2014 tentang Tata Tertib MPR, untuk membentuk badan-badan dan lembaga yang memiliki
peran sebagai pendukung kinerja MPR dalam pelaksanaan wewenang dan tugas-tugasnya.
Teori Kelembagaan Negara Negara sebagai suatu organisasi kekuasaan memiliki alat perlengkapan untuk merealisasikan
tujuan dan keinginan-keinginan negara (staatswill).(Le Roy,1981).Konsep lembaga negara secara
terminologis memiliki keberagaman istilah “political institution”, sedangkan dalam kepustakaan
Belanda biasa disebut staatsorgaan. Dalam bahasa Indonesia identik disebut dengan lembaga negara,
badan negara, atau disebut juga dengan organ negara. (Arifin,2005).Dalam Kamus Hukum Belanda-
Indonesia, kata staatsorgaan itu diterjamahkan sebagai alat perlengkapan negara. Dalam Kamus
Hukum Fockema Andreae yang diterjemahkan oleh Saleh Adiwinata, kata organ juga diartikan
sebagai
SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum
Volume 3,Nomor 1,JUNI 2021 Hal 271-286
ISSN : 2684-8791 (Online)
277
Robinson Marbun,Ali Imran Nasution,Wahida Apriani : Tinjauan Re-Eksistensi Yuridis Garis-Garis Besar Haluan Negara
Sebagai Pedoman Pembangunan Nasional
perlengkapan. Karena itu, istilah lembaga negara, organ negara, badan negara, dan alat perlengkapan
negara seringkali dipertukarkan satu sama lain. Konstitusi RIS (Republik Indonesia Serikat) tahun
1949 tidak menggunakan istilah lain kecuali alat perlengkapan negara. Sedangkan Undang-Undang
Dasar 1945 setelah perubahan keempat (tahun 2002), melanjutkan kebiasaan MPR sebelum masa
reformasi dengan tidak konsisten dalam penggunaan istilah lembaga negara, organ negara, dan badan
negara.
Terlepas dari banyaknya varian peristilahan lembaga negara, Kelsen memberi arahan dalam
memahami hal tersebut. Ia menyebutkan bahwa “Whoever fulfills a function determined by the legal
order is an organ.” (siapa saja yang menjalankan suatu fungsi yang ditentukan oleh suatu tata hukum
(legal order) adalah suatu organ. (Kelsen,2015).Hal itu berarti bahwa, organ negara tidak selalu
berbentuk organik, lebih luas lagi, setiap jabatan yang ditentukan oleh hukum dapat pula disebut
organ, asalkan fungsi-fungsinya itu bersifat menciptakan norma (norm creating) dan/atau bersifat
menjalankan norma (norm applaying). Demikian juga, terhadap lembaga yang dibentuk dan diberi
kekuasaan berdasarkan Peraturan Daerah, tentu lebih rendah lagi tingkatannya. Dalam setiap
pembicaraan mengenai organisasi negara, terdapat dua unsur pokok yang saling berkaitan, yaitu
organ dan functie. Secara teoritis, organ adalah bentuk atau wadahnya, sedangkan functie adalah
isinya; organ adalah status bentuknya (Inggris: form, Jerman: vorm), sedangkan functie adalah
gerakkan wadah hal itu sesuai dengan maksud pembentukkannya. (Muttaquin,2011).Dapat
disimpulkan bahwa, lembaga negara yang terkadang disebut dengan istilah lembaga pemerintahan,
lembaga pemerintahan non-departemen, atau lembaga negara. Ada yang dibentuk berdasarkan atau
karena diberi kekuasaan oleh Undang-Undang Dasar 1945, ada pula yang dibentuk dan mendapatkan
kekuasaanya dari UU, dan bahkan ada pula yang hanya dibentuk dengan Keputusan Presiden.
Hierarki kedudukan lembaga negara ditentukan oleh derajat pengaturannya menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Teori Negara Hukum Menurut Aristoteles, sesungguhnya yang memerintah dalam negara bukanlah manusia,
melainkan pikiran yang adil dan kesusilaan berperan guna menentukan baik buruknya suatu hukum.
Manusia harus dididik menjadi warga negara yang baik dan ber-asusila, dengan demikian maka
manusia akan ditempa menjadi warga negara yang bersikap adil. Dari pandangan Aristoteles itu
dapat dipahami bahwa negara hukum memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan keadilan dan
konstitusi.(Kusnardi dan Ibrahim,2005).Oleh sebab itulah, maka berbagai negara, termasuk
Indonesia menempatkan pengaturan konsepsi negara hukum dalam konstitusinya. Adapun Immanuel
Kant (Nukthoh Arfawie Kurde, 2005:17) menggambarkan negara hukum sebagai penjaga malam,
artinya bahwa tugas negara hanya menjaga hak-hak rakyat.
Pada prinsipnya keseluruhan pandangan yang ada selalu berusaha menegaskan bahwa negara
hukum adalah negara yang melandaskan setiap kehidupan kenegaraannya didasarkan pada
mekanisme hukum yang jelas. Dengan demikian, maka upaya menciptakan negara hukum yang
demokratis (democratise rechtsstaat) akan dapat diwujudnyatakan. Oleh sebab itu, maka Indonesia
sebagai negara hukum yang telah ditegaskan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945
sepenuhnya harus menjalankan roda pemerintahan berdasarkan ketentuan hukum yang telah
digariskan dalam konstitusi.
OBYEK PENELITIAN TERHADAP GARIS-GARIS BESAR HALUAN NEGARA DAN RE-
EKSISTENSIS YURIDIS DAN PENTING ATAU TIDAKNYA GARIS-GARIS BESAR HALUAN
NEGARA SEBAGAI PEDOMAN PEMBANGUNAN NASIONAL
SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum
Volume 3,Nomor 1,JUNI 2021 Hal 271-286
ISSN : 2684-8791 (Online)
278
Robinson Marbun,Ali Imran Nasution,Wahida Apriani : Tinjauan Re-Eksistensi Yuridis Garis-Garis Besar Haluan Negara
Sebagai Pedoman Pembangunan Nasional
Re-Eksistensi Yuridis Garis-Garis Besar Haluan Negara Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) adalah produk MPR tempo dulu yang kini sudah
tiada sebagai konsekuensi dari diterapkannya UU Otonomi Daerah (Otda) yakni UU No. 22 tahun
1999 dan kini menjadi UU No. 9 tahun 2015; sebagai konsekuensi dari UU Otda tersebut, lahirlah
UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN); dimana di salah
satu dasar pemikirannya menghapus GBHN sebagai pedoman penyusunan rencana pembangunan
Nasional. GBHN adalah haluan negara tentang penyelenggaraan negara yang dinyatakan secara
garis-garis besar sebagai pernyataan kehendak rakyat secara menyeluruh dan terpadu yang ditetapkan
oleh MPR untuk jangka waktu 5 tahun. Hal-hal yang tertulis dalam GBHN adalah sebuah wacana
tentang haluan pembangunan negara Republik Indonesia yang dibuat oleh MPR untuk dilaksanakan
dengan sebaik- baiknya oleh Presiden dengan memanfaatkan seluruh kewenangan dan sumber daya
di Indonesia bagi mengisi pembangunan nasional. Sistem politik Indonesia yang berlangung pasca-
reformasi telah mengalami banyak perubahan; satu diantaranya adalah perubahan sistem
kelembagaan Negara dari MPR sebagai lembaga tertinggi negara yang dulu berwenang menentukan
arah pembangunan negara melalui GBHN, kini menjadi lembaga yang sejajar dengan lembaga
eksekutif, legislatif dan yudikatif. Meskipun lembaga ini dihuni oleh DPR-RI dan DPD-RI (dulu:
utusan daerah), tetapi kewenangannya diperkecil; yakni dikurangi satu dari tiga kewenangan sebelum
reformasi; sehingga tinggal dua kewenangan; yakni wewenang mengubah dan menetapkan UUD;
dan wewenang melantik dan memberhentikan Presiden hasil pilihan rakyat. Satu wewenang MPR
yang hilang tersebut adalah kewenangan menentukan arah pembangunan nasional yang kini telah
diserahkan kepada Presiden sebagaimana amanat UU No. 25 tahun 2004 pasal 4 ayat 2.
(Abidin,2016).Sebagai lembaga tertinggi negara, MPR juga memiliki kewenangan lain selain
menatapkan GBHN yaitu Menetapkan dan mengubah UUD 1945; Memilih dan memberhentikan
Presiden dan Wakil Presiden; Membuat Putusan yang tidak dapat dibatalkan oleh lembaga negara
lainnya; Memberikan penjelasan/penafsiran terhadap Putusan MPR; dan Meminta
pertanggungjawaban Presiden. Jadi ketetapan MPR yang terkait dengan GBHN merupakan ketetapan
tertinggi di bawah UUD 1945. Kewenangan yang dimiliki MPR sebagai lembaga tertinggi negara
mengalami perubahan ketika tuntutan reformasi mendesak agar UUD 1945 dievaluasi. Setidaknya
terdapat dua alasan utama untuk mengevaluasi MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Pertama,
memang sangat rasional ketika kewenangan MPR dalam UUD 1945 secara struktur ketatanegaraan
yang bertumpu pada kekuasaan tertinggi di tangan MPR untuk melaksanakan sepenuhnya kedaulatan
rakyat. Hal ini berakibat pada mekanisme check and balances institusi-institusi ketatanegaraan.
Kedua, bahkan MPR bisa disebutkan sebagai lembaga yang diberi kekuasaan tak terbatas (super
power) karena MPR dinilai “kekuasaan ada di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh MPR”
dan MPR adalah “penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia” untuk menetapkan UUD, GBHN, dan
mengangkat Presiden dan Wakil Presiden. Kewenangan-kewenangan tersebut dipandang tidak sesuai
dengan tuntutan demokrasi yang menginginkan hak-hak rakyat tidak lagi diberikan pada MPR
sebagai pemegang mandat kedaulatan rakyat. Salah satu poin utama MPR sebelum adanya
perubahan yaitu menetapkan GBHN. Uniknya saat ini GBHN menjadi perbincangan khalayak
umum, setelah 15 tahun kewenangan MPR atas GBHN dihilangkan. Hilangnya GBHN dalam
Konstitusi ternyata melahirkan berbagai persoalan yang melahirkan sebuah wacana tersendiri bagi
tokoh-tokoh politik maupun penyelenggara negara baik kalangan praktisi politik, hukum dan
ekonomi di negeri ini.
Sikap mendukung pemberlakukan kembali GBHN sebelumnya juga disampaikan oleh Ketua
Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri. Menurut mantan Presiden RI ini, GBHN bisa membuat
pembangunan di Indonesia lebih cepat dan tidak terbatas pada lima tahun jabatan
SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum
Volume 3,Nomor 1,JUNI 2021 Hal 271-286
ISSN : 2684-8791 (Online)
279
Robinson Marbun,Ali Imran Nasution,Wahida Apriani : Tinjauan Re-Eksistensi Yuridis Garis-Garis Besar Haluan Negara
Sebagai Pedoman Pembangunan Nasional
presiden.(Tempo.co,2019). Namun, tak sedikit yang menentang gagasan menghidupkan kembali
GBHN. Faisal Basri, ahli ekonomi dari Universitas Indonesia, menyatakan bahwa sejak dekade 1990-
an, banyak kebijakan ekonomi yang tidak lagi didasarkan pada Repelita. Repelita dan GBHN memang
pernah menjadi instrumen perencanaan pembangunan yang efektif. Tetapi, hal tersebut tidak terlepas
dari kondisi politik yang ada saat itu, seperti sistem politik Orde Baru yang monopoli menguasai
wilayah eksekutif, legislatif, dan yudikatif, dwi fungsi ABRI, serta kooptasi pemerintah terhadap
semua organisasi sosial dan profesi.(Basri,2016)
Alternatif Bentuk Hukum Terhadap Re-Eksistensis GBHN Indonesia adalah negara hukum yang konstitusional dan demokratis, dengan demikian segenap
peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, memiliki daya ikat yang sama. Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tersebut juga menegaskan hirarki peraturan perundang-undangan
yaitu bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih bawah tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan di atasnya. Prinsip negara hukum juga menegaskan bahwa segenap
penyelenggara negara dan seluruh rakyat wajib menjalankan segala undang-undang sebagaimana
mestinya, termasuk undang-undang yang menyangkut semacam GBHN Permasalahan terjadi karena
tidak ada peraturan perundang-undangan yang membuat korelasi antara program nasional, program
di daerah dan antar daerah. Untuk itu diperlukan Undang-Undang Pokok tentang garis-garis besar
daripada haluan Negara yang menjadi rujukan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam
melaksanakan pembangunan. Oleh karena itu segala peraturan perundang-undangan, baik yang
berupa regeling maupun beschiking, bahkan aspirasi masyarakat dapat dijadikan bahan bagi
penyusunan garis- garis besar daripada haluan negara. Yang perlu dilakukan adalah penyempurnaan
dan konsolidasi serta sinkronisasi berbagai ketentuan-ketentuan tersebut agar arah, haluan, dan
strategi pembangunan nasional yang berkelanjutan menghasilkan kehidupan berbangsa dan
bernegara yang kokoh.
Konsekuensi Hukum Diberlakukannya Haluan Negara Hukum ditegakkan tentu akan timbul suatu konsekuensi karena pada dasarnya didalam unsur-
unsur ketentuan hukum mengenal adanya suatu akibat hukum. Lalu dalam hal ini, apakah perlu ada
konsekuensi hukum apabila haluan Negara ditetapkan untuk dijadikan pedoman penyelenggaraan
oleh lembaga-lembaga Negara dan pemerintah? Maka jawabannya adalah perlu ada konsekuensi
hukum diberlakukannya haluan Negara. Hukum perlu ditegakkan demi terwujudnya
penyelenggaraan Negara yang tertib, aman, dan terbebas dari suatu kecurangan. Beberapa cara
menegakan hukum adalah: ( Sutianingsih,2017)
a. Jika hukum merupakan perwujudan norma masyarakat yang dikehendaki bersama pasti akan
mudah pelaksanaannya.
b. Jika tersedia sanksi hukum yang tegas maka hukum akan mudah tegak dan dilaksanakan.
c. Jika penegak hukum dan pihak yang terkait mampu dan mau menegakkan hukum sesuai
peraturan perundang-undangan.
Jadi tiga cara ini harus dilakukan agar penegakan pelaksanaan GBHN bisa dilakukan dengan
baik dan penuh tanggung jawab. Konsekuensi hukum apabila suatu haluan negara yang ditetapkan tidak dijadikan pedoman penyelenggaraan negara oleh lembaga-lembaga negara dan pemerintah baik
di tingkat pusat maupun daerah, maka dilihat dari bentuk hukum yang mewadahi haluan negara
tersebut.
SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum
Volume 3,Nomor 1,JUNI 2021 Hal 271-286
ISSN : 2684-8791 (Online)
280
Robinson Marbun,Ali Imran Nasution,Wahida Apriani : Tinjauan Re-Eksistensi Yuridis Garis-Garis Besar Haluan Negara
Sebagai Pedoman Pembangunan Nasional
Penting Atau Tidaknya Re-Eksistensi Garis-Garis Besar Haluan Negara Sebagai sebuah bangsa, Indonesia memiliki cita-cita dan tujuan nasional yang secara jelas
telah tertuang dalam pembukaan konstitusi yakni termaktub dalam alinea ke 2 dan 4 Pembukaan
UUD 1945. Merujuk alinea kedua Pembukaan UUD NRI 1945 tersebut bangsa Indonesia memiliki
cita-cita “.....Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Selanjutnya
merujuk kepada alinea keempat Pembukaan UUD NRI 1945 bangsa Indonesia mempunyai empat
tujuan yang ingin dicapai yaitu pertama, melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia, kedua, mencerdaskan kehidupan bangsa, ketiga, meningkatkan kesejahteraan umum, dan
keempat, ikut serta menciptakan ketertiban dunia berdasakan perdamaian abadi dan keadilan
sosial.Demi tercapainya cita- cita dan tujuan itu pemerintah dan seluruh rakyat harus bekerja cerdas,
berpikir keras, dan tidak segan belajar dari sejarah. Jalan terbaik untuk menata bangsa adalah dengan
merumuskan panduan perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara, yang pada akhir akhir ini
mencuat kembali pentingnya hal itu. Ada yang menyebut panduan itu dengan rencana pembangunan
semesta berencana, ada yang nyaman dengan road map pembangunan dan sebutan lainnya yang
intinya menginginkan kembali adanya garis-garis besar daripada haluan negara atau state guide lines
development policy. Aspirasi yang menginginkan adanya perubahan yang bergulir akhir-akhir ini
tidak lain karena dalam perjalanan berbangsa dan bernegara sejak reformasi digulirkan ditengah
masyarakat dirasakan adanya masalah mendasar bahwa arah pembangunan tidak sejalan dengan cita-
cita dan tujuan nasional yang termasuk dalam Pembukaan UUD, yang terkait dengan: pertama:
sistem perekonomian nasional saat ini yang cenderung larut pada sistem perekonomian liberal,
kedua: sistem demokrasi politik yang juga telah larut ke demokrasi liberal, ketiga: tidak adanya
mekanisme umum dalam mengembangkan budaya nasional, keempat: dalam proses menuju cita-cita
dan tujuan nasional tidak adanya road map yang mengikat, kelima: melemahnya moral dan etika
dalam bermasyarakat dan bernegara, keenam: hasil pembangunan tidak merata dan sangat persial,
dan tidak adanya kesinambungan program pembangunan. Presiden terpilih sama halnya dengan
Gubernur, Bupati, Walikota yang dipilih langsung oleh rakyat hanya berkewajiban untuk
menjalankan janji-janji politiknya yang tertuang dalam dokumen visi dan misi seperti yang
ditawarkan pada saat kampanye.
Pengalaman menunjukkan banyak para Pimpinan tersebut dipilih kembali karena ’kekuatan’
yang dibangunnya selama 5 tahun periode pemerintahannya dan tidak ada relevansi yang mendasar
apakah mereka telah berhasil atau tidak dalam hal merealisasikan visi dan misi tersebut. Mereka
bekerja melaksanakan pembangunan tidak didasari oleh suatu pedoman yang mengikat secara
nasional, karena tidak adanya garis-garis besar dari pada haluan negara. Dengan demikian maka
masing-masing tingkatan pemerintahan yaitu Kabupaten, Kota, Provinsi dan Tingkat Nasional tidak
terkoordinasikan dan tidak ada lagi ikatan untuk saling berkontribusi dalam rangka mendekatkan
kepada cita cita dan tujuan nasional yang tertuanag dalam Pembukaan UUD. Sinergi dan sinkronisasi
program serta anggaran tidak terjadi.Walaupun ada UU No 17 tahun 2003, tentang Keuangan
Negara, UU No 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU No 17
tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025. Daya ikat dan daya
rekat dari UU tersebut lemah karena sistem ketatanegaraan sudah berubah. Merespons betapa
pentingnya road map pembangunan/perencanaan pembangunan semesta berencana(RPSB)/GBHN
atau apapun namanya memang menjadi pekerjaan rumah para elit. GBHN harus menjadi acuan bagi
setiap kabinet untuk merumuskan program pemerintahannya dalam setiap periode, sehingga pada
setiap periode pemerintahan, terjadi kesinambungan untuk melanjutkan hal hal yg baik dari
pemerintah sebelumnya dan mengambil langkah-langkah baru yang lebih baik untuk menggenapkan
upaya meraih capaian masa lalu. Secara filosofis road map/RPSB/GHHN menjadi koridor
SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum
Volume 3,Nomor 1,JUNI 2021 Hal 271-286
ISSN : 2684-8791 (Online)
281
Robinson Marbun,Ali Imran Nasution,Wahida Apriani : Tinjauan Re-Eksistensi Yuridis Garis-Garis Besar Haluan Negara
Sebagai Pedoman Pembangunan Nasional
perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam mewujudkan cita cita dan tujuan nasional.
Perjalanan yang diharapkan dapat berjalan secara tertib, teratur, sinambung, dan efisien. Dengan
demikian garis besar haluan negara berfungsi sebagai lorong atau koridor yang menghubungkan
program program pembangunan jangka pendek, menengah dan jangka panjang berkali kali sampai
tercapainya cita cita bangsa.
Pro Dan Kontra Penghidupan Kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara Pada hakikatnya suatu perencanaan pasti memiliki pro dan kontra didalamnya, terlepas yang
mana benar dan salah tidak terkecuali dengan rencana penghidupan kembali GBHN yang belum
memiliki ketetapan hukum, hal ini jelas sangat menarik untuk diperdebatkan guna menentukan masa
depan bangsa dan negara agar mencakup kepentingan bersama, bukan hanya kepentingan politik atau
golongan tertentu saja. Sebagai berikut Penulis menemukan alasan mengapa pihak yang “Pro”
terhadap penghidupan kembali GBHN, dikarenakan:
a. Negara seluas Indonesia dengan pluralisme yang ada memerlukan haluan negara sebagai
pemandu arah pelaksanaan pembangunan nasional yang berkesinambungan.
b. Diperlukan integrasi sistem perencanaan pembangunan nasional dan daerah. Diperlukan sistem
perencanaan pembangunan yang berbasis kedaulatan rakyat;
c. Keberadaan suatu Garis-Garis Besar Haluan Negara dipandang mendasar dan urgent
mengingat tidak saja proses pembangunan nasional memerlukan panduan arah dan strategi baik
dalam jangka pendek, menengah dan panjang, tetapi juga yang lebih mendasar adalah guna
memastikan bahwa proses pembangunan nasional tersebut merupakan manifestasi dan
implementasi dari ideologi negara dan falsafah bangsa Pancasila.
Sedangkan Penulis menemukan alasan mengapa pihak yang “Kontra” terhadap
penghidupan kembali GBHN, dikarenakan :
a. Memunculkan kembali GBHN merupakan pengingkaran terhadap penegasan sistem presidensial;
b. Perencanaan pembangunan nasional sudah cukup diatur dalam Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), yang kemudian
dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (RPJPN);
c. Kesinambungan pembangunan bukan disebabkan oleh ada atau tidaknya GBHN, tetapi lebih
disebabkan oleh perilaku penyelenggara negara;
d. Pembukaan dan pasal-pasal Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Ketetapan MPRS/MPR yang masih berlaku, dan peraturan perundang-undangan lainnya sudah
merupakan haluan negara bagi seluruh penyelenggaraan negara.
e. Ketetapan MPRS/MPR yang masih berlaku, dan peraturan perundang-undangan lainnya sudah
merupakan haluan negara bagi seluruh penyelenggaraan negara.
f. Namun terdapat permasalahannya UU SPPN dan RPJPN memiliki kekurangan; a)
Hasilnya berupa dokumen perencanaan yang tidak applicable, tidak mudah diakses, dan belum tentu
dijadikan acuan dalam penyusunan RAPBN dan program prioritas; b) Tidak mampu mengikuti
perkembangan dan kebutuhan masyarakat, Selain itu terdapat kekurangan sistem RPJP dan RPJM
yang ada sekarang adalah: a) Cenderung terfokus pada visi misi pemilihan presiden lima tahunan;
b)Cenderung didominasi oleh perspektif pembangunan ekonomi; c) Cenderung adanya kepentingan
pemerintahan eksekutif.Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH. Ketetapan MPR akan hidup kembali
dengan status hierarkis di bawah UUD tetapi diatas UU. Bagaimanapun juga rumusan GBHN tidak mungkin
tidak berkenaan dengan nilai-nilai, norma, dan prinsip-prinsip pembimbing dan pengarah yang bersifat umum,
SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum
Volume 3,Nomor 1,JUNI 2021 Hal 271-286
ISSN : 2684-8791 (Online)
282
Robinson Marbun,Ali Imran Nasution,Wahida Apriani : Tinjauan Re-Eksistensi Yuridis Garis-Garis Besar Haluan Negara
Sebagai Pedoman Pembangunan Nasional
abstrak, dan fundamental, sehingga tidak akan mungkin mengurangi kebebasan Presiden menyusun
programnya sendiri sesuai dengan janji kampanye. Namun, visi dan misi calon presiden, calon gubernur, calon bupati,dan calon walikota bagaimanapun juga harus bersifat terpadu, berkesinambungan dan berkelanjutan
secara nasional berdasarkan Pancasila, UUD 1945, dan haluan- haluan negara dalam garis-garis besarnya yang
tertuang dalam GBHN dan perencanaan nasional jangka panjang dan menengah menurut ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Agenda Perubahan Ke-V UUD 1945 ini perlu disepakati segera, karena waktu yang tersedia sangat terbatas. Jika RPJP berusia 20 tahunan, maka sebaiknya GBHN berusia 25 tahunan.
JPJP yang sekarang berlaku adalah RPJP Nasional 2005-2025 yang jika dilanjutkan dengan JPJP Nasional
berikutnya akan jatuh pada tahun 2025-2045 yang penyusunan dan penetapannya tentu akan dilakukan di masa pemerintahan Presiden berikutnya. Akan tetapi, jika GBHN disepakati untuk 25 tahun, maka GBHN baru
nantinya adalah GBHN 2021-2045 yang dapat dirumuskan dan ditetapkan masih di masa pemerintahan
Presiden Joko Widodo dan Makhruf Amin. Namun, untuk itu, waktu yang tersedia untuk menuntaskannya
hanya 1 tahun, yaitu tahun 2020, dengan syarat bahwa di masa 3 bulan pertama persidangan MPR pada bulan Oktober-Desember 2019, Perubahan Ke-V UUD 1945 sudah harus ditetapkan sebagaimana mestinya sebagai
dasar untuk disusun dan ditetapkannya GBHN 2021-2045 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat pada tahun
2020.
Re-Eksistensi Yuridis Garis-Garis Besar Haluan Negara Sebagai Pedoman Pembangunan Nasional
dan Penting atau tidaknya Re-Eksistensi Garis-Garis Besar Haluan Negara Sebagai Pedoman
Pembangunan Nasional
Secara subtantif GBHN merupakan landasan hukum perencanaan pembangunan bagi presiden
yang disusun secara sentralistis dan bersifat top down serta eksklusif. GBHN paling tidak sudah
diterapkan ketika pada masa pemerintahan Orde Lama. MPRS pada waktu itu menetapkan
sedikitnya tiga TAP MPRS yaitu: TAP MPRS No.I/MPRS/1960 tentang manifesto politik RI
sebagai GBHN; TAP MPRS No.II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan
Nasional Semesta Berencana dan TAP MPRS No. IV/MPRS/1960 tentang Pedoman Pelaksanaan
Garis-Garis Besar Haluan Negara dan Haluan Pembangunan. Pola inilah yang kemudian dilanjutkan
oleh Pemerintahan Orde Baru dalam merumuskan perencanaan pembangunan. GBHN kemudian
dirubah ketika MPR mengesahkan TAP MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN 1999-2004.
Dalam TAP ini MPR menugaskan Presiden dan DPR untuk secara bersama-sama
menjabarkannya dalam bentuk Program Pembangunan Nasional (Propenas) dan Rencana
Pembangunan Tahunan (Repeta) yang memuat APBN. Sebagai realisasi ketetapan tersebut Presiden
dan DPR membentuk UU No.25 Tahun 2000 yang kemudian disempurnakan di akhir masa
pemerintahan Megawati dengan UU No.25 Tahun 2004. Dengan adanya pendapat salah satu pakar
hukum yang menyatakan bahwa UUD 1945 lama menganut paham pembagian kekuasaan yang
bersifat vertikal, bukan pemisahan kekuasaan yang bersifat horizontal. Kedaulatan rakyat dianggap
terwujud penuh dalam wadah MPR yang dapat ditafsirkan sebagai lembaga tertinggi ataupun
sebagai forum tertinggi. Dari sini, fungsi-fungsi tertentu dibagikan sebagai tugas dan kewenangan
lembaga-lembaga tinggi negara yang ada dibawahnya, yaitu Presiden, DPR, MA, dan seterusnya.
Dalam perpspektif pembagian kekuasaan yang bersifat vertikal itu, prinsip kesederajatan dan
perimbangan kekuasaan itu tidaklah bersifat primer. Karena itu, dalam UUD 1945 lama tidak diatur
pemisahan yang tegas dari fungsi legislatif dan eksekutif.
Pada intinya tidak ada produk buatan manusia yang tidak bisa diubah. Namun demikian juga
tidak boleh ada perubahan jika substansi dan proses yang sudah ada lebih baik dari yang nantinya
akan digantikan. Sesungguhnya dibanding GBHN yang lalu, secara substansi dan proses, pengganti
GBHN yakni RPJP, RPJM dan lain-lain sudah cukup baik. Namun bila akan dikembalikan kepada
GBHN, maka tentu harus lebih baik dari GBHN yang lalu yang sentralistis. Wacana pengembalian
SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum
Volume 3,Nomor 1,JUNI 2021 Hal 271-286
ISSN : 2684-8791 (Online)
283
Robinson Marbun,Ali Imran Nasution,Wahida Apriani : Tinjauan Re-Eksistensi Yuridis Garis-Garis Besar Haluan Negara
Sebagai Pedoman Pembangunan Nasional
GBHN menjadi sistem perencanaan pembangunan nasional harus tetap berdasarkan konsep
reformulais yangf lebih baik. Hal ini menjelaskan bahwa reformulasi bahkan harus disterilkan dari
hal-hal yang bersifat politis seperti pengembalian fungsi dan kewenangan MPR semata. Secara
yuridis, pengembalian GBHN yang ikut menyertakan pengembalian kekuasaan MPR seperti sedia
kala berimbas pada diamandemennya kembali UUD NRI 1945. Hal tersebut walau dimungkinkan
jelas riskan bagi peneguhan sistem konstitusi terutama bila hal tersebut hanya dijalankan sebagai
nafsu dan ambisi kekuasaan bukan karena kebutuhan ketatanegaraan. Ketiadaan konsep yang jelas
dan terukur dalam mengamandemen konstitusi bisa menyebabkan ketidakstabilan bahkan kekacauan
pondasi hukum nasional terlebih lagi bila pada prosesnya terjadi penyimpangan pembahasan dari
segelintir kelompok. Pengembalian GBHN sebagai jalan reformulasi sistem perencanaan
pembangunan kalaupun ingin dilakukan bisa diawali pada hal-hal yang sederhana dengan
memfungsikan secara maksimal mekanisme yang selama ini berjalan dimana perumusan bersama
MPR (DPR dan DPD) serta Presiden tanpa perlu masuk pada isu-isu yang berat seperti amandemen
konstitusi. Kemudian apabila MPR menetapkan UUD dan GBHN. Hal itu ditegaskan UUD 1945
pasal-3 yang disahkan pada 18 Agustus 1945 oleh para Founding Fathers negara tercinta ini. Pasal 3
UUD tersebut menyatakan, “Majelis Permusyawaratan Ralyat menetapkan Undang-Undang Dasar
dan garis-garis besar daripada haluan negara”. Tentu saja, penegasan tersebut bukan tanpa makna.
Karena itu, segala upaya mengubah ketentuan tentang hal tersebut harus dipertimbangkan sebaik-
baiknya dengan seksama demi kepentingan, kelangsungan dan kemajuan Negara Republik Indonesia
(NRI) yang diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Pancasila sebagaimana termuat dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut merupakan Dasar
Negara, Falsafah Bangsa dan Ideologi Nasional, yang melandasi Cita-cita dan Tujuan Nasional.
Pancasila bukanlah haluan negara. Demikian pula Pembukaan UUD 1945 bukanlah haluan negara
melainkan pembimbing kearah mana negara harus bergerak. Juga Batang Tubuh UUD 1945
bukanlah haluan negara, melainkan aturan-aturan dasar yang harus ditaati dan dilaksanakan dalam
berbangsa dan bernegara. Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 serta Bab-Bab dan Pasal-Pasal pada
Batang Tubuh UUD 1945 menjadi pembimbing arah bagi Bangsa dan Negara ini, yang harus termuat
secara khusus dalam garis-garis besar daripada haluan negara, baik GBHN huruf kecil maupun
GBHN huruf besar. GBHN itu berlaku konsisten, disiplin dan berkala atau berjangka waktu yang
mencakup semua aspek Wawasan Nusantara. Generali dan Special yang disepakati para Founding
Fathers negara ini pada tahun 1945 tatkala meletakkan segala prinsip kenegaraan Republik Indonesia
itu semata-mata sesuai dengan cara dan semangat Indonesia sendiri, dus… berupa model tersendiri
Indonesia. Jika pandangan itu dibenarkan, maka GBHN yang dimaksud adalah yang bersifat umum,
karena ketetapan-ketetapan MPR selain khusus tentang GBHN pada hakikatnya mengatur hal-hal
yang bersifat umum.
Berarti, sesuai UUD 1945 yang asli, GBHN itu ada yang bersifat umum (generali) dan ada
pula yang bersifat khusus (speciali). Yang bersifat umum adalah yang memuat segala ketentuan dan
kebijakan umum bagi penyelenggaraan negara, sedangkan yang bersifat khusus menyangkut masalah
pembangunan bangsa dan negara. Yang terakhir ini, GBHN huruf besar. GBHN terakhir inilah yang
ditetapkan secara khusus oleh MPRS maupun MPR baik pada era Presiden Soekarno maupun pada era
Presiden Soeharto. Yang bersifat umum, antara lain Ketetapan MPR tentang pengangkatan
Presiden/Wakil Presiden, sedangkan yang bersifat khusus yaitu tentang pembangunan nasional.
GBHN yang terakhir inilah, yang seharusnya ditetapkan MPR, yang lenyap akibat amandemen UUD
1945 pada tahun 1999-2002. Argumentasi atas tidak perlu adanya GBHN sebagaimana ditetapkan
pada era Bung Karno dan Pak Harto terutama karena dibuat pihak pemerintah yang kemudian hanya
ditetapkan (disahkan) oleh MPR. Dalam posisi demikian, MPR hanya melaksanakan kemauan
SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum
Volume 3,Nomor 1,JUNI 2021 Hal 271-286
ISSN : 2684-8791 (Online)
284
Robinson Marbun,Ali Imran Nasution,Wahida Apriani : Tinjauan Re-Eksistensi Yuridis Garis-Garis Besar Haluan Negara
Sebagai Pedoman Pembangunan Nasional
Presiden, yang sebenarnya adalah Mandataris MPR. Hal itu menunjukkan betapa kuasanya Presiden
atas MPR, karena itu posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara harus dikoreksi dan direduksi,
sehingga MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara dan tidak diberi kuasa menetapkan GBHN.
Argumentasi lain, karena dengan adanya GBHN yang dibuat Pemerintah terbukti Presiden baik Bung
Karno maupun Pak Harto tidak berhasil menyelamatkan pemerintahan negara dan melaksanakan
pembangunan nasional dengan terjadinya krisis yang mengakhiri masa kekuasaan mereka. Kedua
argumentasi yang melenyapkan posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara dan tidak berwenang
menetapkan GBHN tersebut sungguh tidak memperhatikan terjadinya praktek penyelenggaraan
negara yang tidak sesuai dengan apa yang disebut dalam Penjelasan UUD 1945 tentang pentingnya
“semangat penyelenggaraan negara”. Krisis yang terjadi pada akhir masa kekuasaan kedua Presiden
Bung Karno dan Pak Harto juga akibat kondisi di luar perkiraan GBHN. Akhir kekuasaan Bung
Karno karena krisis G.30.S/PKI tahun 1965, sedangkan jatuhnya Pak Harto karena salah menanggapi
krisis moneter internasional.
Alasan Mengapa Diperlukannya GBHN
GBHN merupakan pernyataan keinginan rakyat yang menjadi acuan utama atas segala
kiprah penyelenggara negara dalam mewujudkan cita-cita bangsa bernegara, yang secara explisit ada
didalam pembukaan UUD 1945. Upaya mewujudkan cita-cita bangsa secara sederhana diartikan
sebagai upaya pembangunan bangsa. Karena pembangunan dapat diartikan
sebagai peningkatan kualitas dan derajat kehidupan seutuhnya dari seluruh rakyat Indonesia. Oleh
karenanya bentuk operasional dari GBHN ini selama beberapa dekade diwujudkan dalam bentuk
Rencana Pembangunan Nasional.Dengan adanya rencana pembangunan para penyelenggara negara
mempunyai pegangan dansasaran serta target yang harus dicapainya dalam kurun waktu tertentu.
Repelita misalnya adalah rencana pembangunan yang memiliki rentang waktu selama lima tahun.
Repelita dipergunakan sebagai penjabaran dari GBHN pada masa awal pemerintahan Soeharto
sampai dengan tahun 1998. Dengan demikian harapan rakyat dan kenyataan yang didapatkan bisa
dengan mudah diukur dengan referensi dokumen tersebut. Bahkan pengukuran kinerja pemerintahan,
dalam hal ini presiden selaku mandataris MPR, didasarkan atas kesungguhan dan keberhasilan
presiden dalam menerjemahkan dan melaksanakan GBHN tersebut.
Pada penyusunan GBHN nyata sekali adanya partisipasi rakyat, lembaga-lembaga
kemasyarakatan, lembaga-lembaga pendidikan dan, kelompok atau orang-orang profesional. Mereka
ada yang diminta dan atas kemauan sendiri menyampaikan sumbangan pokok-pokok pikirannya.
Peranan pers juga nampak. Dengan demikian nyata bahwa GBHN memang berasal dari rakyat sebagai
perwujudan dari asas demokrasi. Terkait peranan GBHN tersebut, Pancasila sebagaimana termuat
dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut merupakan Dasar Negara, Falsafah Bangsa dan Ideologi
Nasional, yang melandasi Cita-cita dan Tujuan Nasional. Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 serta
Bab dan Pasal pada Batang Tubuh UUD 1945 menjadi pembimbing arah bagi Bangsa dan Negara ini,
yang harus termuat secara khusus dalam garis-garis besar daripada haluan negara, baik GBHN huruf
kecil maupun GBHN huruf besar. GBHN itu berlaku konsisten, disiplin dan berkala atau berjangka
waktu yang mencakup semua aspek Wawasan Nusantara. Generali dan Speciali Yang disepakati para
Founding Fathers negara ini pada tahun 1945 tatkala meletakkan segala prinsip kenegaraan Republik
Indonesia itu semata-mata sesuai dengan cara dan semangat Indonesia sendiri.
Karena itu tidak akan ditemui padanannya dalam sistem kenegaraan lainnya di dunia. Ada
pandangan pasca Amandemen UUD 1945 tahun 1999-2002 yang menyatakan segala ketetapan MPR
adalah garis-garis besar daripada haluan negara, sehingga tidak perlu dibuat GBHN khusus
sebagaimana terjadi pada era Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto. Jika pandangan itu
SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum
Volume 3,Nomor 1,JUNI 2021 Hal 271-286
ISSN : 2684-8791 (Online)
285
Robinson Marbun,Ali Imran Nasution,Wahida Apriani : Tinjauan Re-Eksistensi Yuridis Garis-Garis Besar Haluan Negara
Sebagai Pedoman Pembangunan Nasional
dibenarkan, maka GBHN yang dimaksud adalah yang bersifat umum, karena ketetapan-ketetapan
MPR selain khusus tentang GBHN pada hakikatnya mengatur hal-hal yang bersifat umum. Berarti,
sesuai UUD 1945 yang asli, GBHN itu ada yang bersifat umum (generali) dan ada pula yang bersifat
khusus (speciali). Yang bersifat umum adalah yang memuat segala ketentuan dan kebijakan umum
bagi penyelenggaraan negara, sedangkan yang bersifat khusus menyangkut masalah pembangunan
bangsa dan negara. Yang terakhir ini, GBHN huruf besar. GBHN terakhir inilah yang ditetapkan
secara khusus oleh MPRS maupun MPR baik pada era Presiden Soekarno maupun pada era Presiden
Soeharto. Yang bersifat umum, antara lain Ketetapan MPR tentang pengangkatan Presiden/Wakil
Presiden, sedangkan yang bersifat khusus yaitu tentang pembangunan nasional. GBHN yang terakhir
inilah, yang seharusnya ditetapkan MPR, yang lenyap akibat amandemen UUD 1945 pada tahun
1999-2002. Bagaimanapun juga rumusan GBHN tidak mungkin tidak berkenaan dengan nilai-nilai,
norma, dan prinsip-prinsip pembimbing dan pengarah yang bersifat umum, abstrak, dan fundamental,
sehingga tidak akan mungkin mengurangi kebebasan Presiden menyusun programnya sendiri sesuai
dengan janji kampanye. Namun, visi dan misi calon presiden, calon gubernur, calon bupati, dan calon
walikota bagaimanapun juga harus bersifat terpadu, berkesinambungan dan berkelanjutan secara
nasional berdasarkan Pancasila, UUD 1945, dan haluan-haluan negara dalam garis-garis besarnya
yang tertuang dalam GBHN dan perencanaan nasional jangka panjang dan menengah menurut
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
PENUTUP
Kesimpulan Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) adalah produk MPR tempo dulu kini sudah tidak
ada sebagai konsekuensi penerapan UU Otonomi Daerah No. 22 tahun 1999 dan kini menjadi UU No.
9 tahun 2015; dan sebagai konsekuensi dari UU Otda tersebut, lahirlah UU No. 25 tahun 2004 tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN); dimana di salah satu dasar pemikirannya
menghapus GBHN sebagai pedoman penyusunan rencana pembangunan Nasional. Hal-hal yang
tertulis dalam GBHN adalah sebuah wacana tentang haluan pembangunan negara Republik Indonesia
yang dibuat oleh MPR untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh Presiden dengan
memanfaatkan seluruh kewenangan dan sumber daya di Indonesia bagi mengisi pembangunan
nasional. Dalam re- eksistensi GBHN idealnya dilakukan melalui amandemen terbatas UUD 45.MPR
menetapkan UUD dan GBHN, ditegaskan UUD 1945 Pasal 3 yang disahkan pada 18 Agustus 1945
oleh para Founding Fathers negara tercinta ini. Pasal 3 UUD tersebut menyatakan, “Majelis
Permusyawaratan Ralyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan
negara”. Tentu saja, penegasan tersebut bukan tanpa makna. Karena itu, segala upaya mengubah
ketentuan tentang hal tersebut harus dipertimbangkan sebaik-baiknya dengan seksama demi
kepentingan, kelangsungan dan kemajuan Negara Republik Indonesia NRI yang diproklamirkan pada
tanggal 17 Agustus 1945. Pancasila bukanlah haluan negara. Demikian pula Pembukaan UUD 1945
bukanlah haluan negara melainkan pembimbing kearah mana negara harus bergerak. Batang Tubuh
UUD 1945 bukanlah haluan negara, melainkan aturan-aturan dasar yang harus ditaati dan
dilaksanakan dalam berbangsa dan bernegara. Semua itu Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 serta
Bab-Bab dan Pasal-Pasal pada Batang Tubuh UUD 1945 menjadi pembimbing arah bagi Bangsa dan
Negara ini, yang harus termuat secara khusus dalam garis-garis besar daripada haluan negara, baik
GBHN huruf kecil maupun GBHN huruf besar. GBHN itu berlaku konsisten, disiplin dan berkala atau
berjangka waktu yang mencakup semua aspek Wawasan Nusantara.
SOLJUSTISIO : Jurnal Penelitian Hukum
Volume 3,Nomor 1,JUNI 2021 Hal 271-286
ISSN : 2684-8791 (Online)
286
Robinson Marbun,Ali Imran Nasution,Wahida Apriani : Tinjauan Re-Eksistensi Yuridis Garis-Garis Besar Haluan Negara
Sebagai Pedoman Pembangunan Nasional
REFERENSI
Artikbbi. (2019).“Eksistensi” (https://artikbbi.com/eksistensi/) Diakses 10 November 2019,
Pukul 9.15WIB
Arifin,F., et. al. (2005).Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara,
KRHN- MKRI-The Asia Foundation dan USAID Jakarta.
Basri,F. (2016).Perlukah Menghidupkan Kembali GBH
https://faisalbasri01.wordpress.com/2016/01/12/perlukah-menghidupkan-kembali-
gbhn/). Diakses 5 Februari 2016.
Idtesis.(2019).“Normatif” <https://idtesis.com/pengertian-penelitian-hukum-normatif-adalah/>
diakses pada tanggal 10 November 2019, Pukul 8.20 WIB.
Kansil, (1980)Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Jakarta: Pradnya Paramita. Kelsen,H.(1961).General Theory of Law and State, New York: Russel & Russel,diterjemahkan
oleh Raisul Muttaqien, Teori Umum tentang Hukum dan Negara,Bandung, Cetakan
I, Nusamedia dan Nuansa,2011.
Ketentuan umum Pasal 1 Angka 1-2 UU No. 25 Tahun 2004 tentang SPPN.
Ketentuan umum UU No. 17 Tahun 2007 tentang rencana pembangunan jangka panjang nasional
Kusnardi,M., dan Harmaily,I.(1980). Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,Jakarta,PT Sastra
Hudaya. Le Roy,C.(1981).Kekuasaan Ke-empat Pengenalan Ulang, diterjemahkan oleh Soehardjo,Semarang,.
Nggilu,N,M.(2014).Hukum Dan Teori Konstitusi; Perubahan Yang Partisipatif Dan
Populis, Yogyakarta,UII Press.
Prabowo,D.(2019).“Kritik Demokrasi Indonesia, Megawati Sebut Seperti Poco-poco”
(http://nasional.kompas.com/read/2016/01/10/16053561/Kritik.Demokrasi.Indonesia.Megawati.
Sebut.seperti.pocopoco), diakses 29 Oktober 2019, Pukul 9.20 WIB.
Pasal 13 ayat (1) UU No. 25 Tahun 2004 tentang SPPN, yang mengamanatkan RPJPN.
Sahidin.(2017). Makalah; Hidup Kembalinya GBHN dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia.
Sutianingsih,H.(2017). Makalah;Respon Akademik atas Reformulasi Sistem Perencanaan
embangunan Nasional Model GBHN.
Tempo.co, Rakernas PDIP: Megawati akan hidupkan kembali Fungsi MPR Atur GBHN.
Obrolin Hukum, dengan tema “Pendekatan Dalam Penelitian Hukum” yang diambil pada
(https://ngobrolinhukum.wordpress.com/2013/12/16/pendekatan-dalam-penelitian
hukum/), Diakses tanggal 5 November 2019, Pukul 9.10 WIB.
UUD NRI 1945 Pasal 3 ayat (1) hingga (3), Setelah
amandemen. UUD 1945 Bab II sebelum perubahan
Amandemen.
Top Related