TESIS
LARUTAN PENCUCI HIDUNG SALIN ISOTONIS
TIDAK TERBUKTI MEMPERCEPAT WAKTU
TRANSPOR MUKOSILIA PADA
RINOSINUSITIS AKUT
NI PUTU OKTAVIANI RINIKA PRANITASARI
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
TESIS
LARUTAN PENCUCI HIDUNG SALIN ISOTONIS
TIDAK TERBUKTI MEMPERCEPAT WAKTU
TRANSPOR MUKOSILIA PADA
RINOSINUSITIS AKUT
NI PUTU OKTAVIANI RINIKA PRANITASARI
NIM 0914078202
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
LARUTAN PENCUCI HIDUNG SALIN ISOTONIS
TIDAK TERBUKTI MEMPERCEPAT WAKTU
TRANSPOR MUKOSILIA PADA
RINOSINUSITIS AKUT
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik,
Program Pascasarjana Universitas Udayana
NI PUTU OKTAVIANI RINIKA PRANITASARI
NIM 0914078202
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2015
Tesis Ini Telah Diuji pada
Tanggal 27 Maret 2015
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan
SK Rektor Universitas Udayana No: 797/UN14.4/HK/2015
Tanggal 12 Maret 2015
Ketua : dr. Luh Made Ratnawati, Sp.THT-KL
Anggota :
1. Prof. Dr. dr. N. Adiputra, PFK, MOH, Sp.Erg 2. Dr.dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK, M.Kes 3. Prof.dr. I. N. Tigeh Suryadhi, MPH, Ph.D 4. Dr.dr. I Wayan Putu Sutirta Yasa, M.Si
UCAPAN TERIMA KASIH
Om swastiastu,
Atas karunia Tuhan Yang Maha Esa akhirnya tersusunlah sebuah karya tulis
untuk memperoleh gelar keahlian di bidang THT-KL. Karya tulis ini selain
merupakan suatu karya akhir juga dilatarbelakangi suatu keinginan dan harapan
bagi perkembangan keilmuan di bidang THT-KL. Karya tulis ini dapat
diselesaikan berkat bantuan, motivasi, bimbingan dan peran serta berbagai pihak.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang
tidak terhingga dengan segala ketulusan hati kepada yang terhormat:
1. Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. I Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD
dan Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Putu
Astawa, Sp.OT(K) yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk
mengikuti dan menyelesaikan Program Pascasarjana Kekhususan Kedokteran
Klinik (combined degree) dan PPDS-1 Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok-Bedah Kepala Leher.
2. dr. Anak Ayu Sri Saraswati, M.Kes, Direktur Utama RSUP Sanglah
Denpasar, atas segala fasilitas yang disediakan dan diberikan selama penulis
mengikuti pendidikan spesialis.
3. Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. Raka
Sudewi, Sp.S(K), atas kesempatan yang telah diberikan pada penulis untuk
menjadi mahasiswa program pascasarjana, program studi kekhususan
kedokteran klinik (combined degree).
4. dr. Eka Putra Setiawan, Sp.THT-KL(K), sebagai Kepala Bagian Ilmu
Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok-Bedah Kepala Leher Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar, atas segala
dorongan dan bimbingan selama penulis mengikuti pendidikan spesialis.
5. dr. Dewa Gede Arta Eka Putra, Sp.THT-KL sebagai Ketua Program Studi
PPDS-1 Ilmu Kesehatan THT-KL, atas segala kesempatan, bimbingan dan
motivasinya.
6. dr. I Gede Ardika Nuaba, Sp.THT-KL(K) sebagai Sekretaris Program Studi
PPDS-1 Ilmu Kesehatan THT-KL, atas segala kesempatan, bimbingan, dan
motivasinya.
7. Ketua Program Pascasarjana Kekhususan Kedokteran Klinik (combined
degree), Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp.And,FAACS yang telah mem-
berikan kesempatan penulis untuk menjadi mahasiswa Program Pascasarjana
Kekhususan Kedokteran Klinik (combined degree).
8. dr. Luh Made Ratnawati, Sp.THT-KL sebagai pembimbing I atas segala
dorongan, motivasi dan bimbingan yang diberikan sejak awal sampai akhir
pendidikan.
9. Prof. Dr. dr. N. Adiputra, PFK, MOH, Sp.Erg sebagai pembimbing II atas
segala waktu dan bimbingannya selama ini.
10. dr. Made Sudipta, Sp.THT-KL atas motivasi, bimbingan dan pengertiannya
selama penulis menempuh pendidikan spesialis.
11. Prof. Dr. dr. I Gede Raka Widiana, Sp.PD-KGH atas bimbingan dan arahan
statistika mulai dari penyusunan proposal penelitian kepada penulis.
12. dr. I Wayan Gede Artawan Eka Putra, M.Epid atas bimbingan dan arahan
statistika yang diberikan kepada penulis.
13. Kepala-kepala sub bagian dan para konsultan di Bagian/SMF THT-KL FK
UNUD/RSUP Sanglah yang telah banyak memberikan kesempatan dan
bimbingan selama saya mengikuti pendidikan.
14. Para senior, rekan residen, dokter muda atas bantuan dan kerjasamanya
selama mengikuti pendidikan dan selama penelitian berlangsung.
15. Paramedis di poliklinik THT atas bantuan dan kerjasamanya selama penulis
menempuh pendidikan spesialis dan penelitian.
16. Ayahanda, Ir. I Wayan Kariadi dan Ir. Nym Ginastra serta ibunda tercinta, Ni
Putu Lasni dan Ni Wayan Sriadi, kakak dan adik terkasih maupun keluarga
besar saya atas segala pengorbanan, dukungan material, doa dan motivasinya
selama penulis menempuh pendidikan spesialis.
17. Suami tercinta, dr. Kadek Bayu Dwi Putra dan anak-anakku tersayang, Gde
Arjuna Prabasutha dan Kadek Anindya Pramesti atas pengertian dan
pengorbanan dalam mendampingi penulis selama menjalani masa pendidikan.
18. Semua pihak yang telah membantu karya akhir ini yang tidak bisa disebutkan
satu per satu.
Semoga Tuhan yang Maha Esa senantiasa melimpahkan karunia dan rahmat-
Nya atas kebaikan yang telah dilakukan.
Denpasar, Februari 2015
Ni Putu Oktaviani Rinika P.
ABSTRAK
LARUTAN PENCUCI HIDUNG SALIN ISOTONIS TIDAK TERBUKTI
MEMPERCEPAT WAKTU TRANSPOR MUKOSILIA PADA
RINOSINUSITIS AKUT
Transpor mukosilia merupakan salah satu mekanisme pertahanan saluran
pernapasan. Adanya gangguan pada sistem tersebut menjadi predisposisi
terjadinya infeksi sinonasal. Larutan pencuci hidung dengan salin isotonis
dipercaya dapat mengurangi gejala akibat rinosinusitis dengan cara membersihkan
sekret, mengurangi odema dan mengeluarkan bahan-bahan berbahaya yang masuk
bersama udara pernapasan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai efektivitas
waktu transpor mukosilia larutan pencuci hidung salin isotonis pada pasien
rinosinusitis akut.
Desain penelitian: eksperimental, pre-post test with control group design.
Waktu transpor mukosilia diukur menggunakan uji sakarin terhadap 20 pasien
rinosinusitis akut sebelum dan 7 hari sesudah pemberian larutan pencuci hidung
salin isotonis dan terapi standar (ciprofloxacine, pseudoephedrine/triprolidine,
ambroxol) pada Kelompok Perlakuan dan terapi standar pada Kelompok Kontrol.
Hasil: Rerata waktu transpor mukosilia sebelum perlakuan pada Kelompok
Perlakuan adalah 35,5 10,7 menit dan 29,2 7,7 menit pada Kelompok Kontrol.
Rerata waktu transpor mukosilia sesudah terapi adalah 22,9 8,7 menit dan 18,0
5,6 menit berturut-turut pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol.
Median selisih waktu transpor mukosilia sebelum dan sesudah terapi adalah 11,0
7,5 menit pada Kelompok Perlakuan dan 9,4 5,3 menit pada Kelompok
Kontrol (p=0,499).
Kesimpulan: Penambahan larutan cuci hidung salin isotonis pada
rinosinusitis akut memiliki efek waktu transpor mukosilia yang sama dengan
pemberian antibiotika, dekongestan dan mukolitik tanpa larutan cuci hidung salin
isotonis.
Kata kunci: Salin isotonis, rinosinusitis akut, transpor mukosilia.
ABSTRACT
ISOTONIC SALINE NASAL SOLUTIONS WAS NOT PROVEN
IN INCREASING MUCOCILIARY TRANSPORT TIME IN ACUTE
RHINOSINUSITIS
Mucociliary clearance is a major element of the defense system of the entire
respiratory tract. Impairment of the mucociliary clearance serves as a medium for
sinonasal infections. Saline nasal irrigation is believed to alleviated rhinosinusitis
symptoms by clearing excess mucus, reducing congestion and remove infectious
materials from the inspired air. The aim of this study was to determine the
efficacy of mucociliary transport time of isotonic saline nasal solutions in patients
with acute rhinosinusitis.
This was an experimental study, pre-post test with control group design.
Mucociliary transport time was measured by the saccharine test on 20 acute
rhinosinusitis patients before and after 7 days treatment with intranasal isotonic saline solutions and standard therapy (ciprofloxacine, pseudoephedrine/
triprolidine, ambroxol) for the case group and standard therapy for the control
group.
Result: The average mucociliary transport time before therapy were 35,5
10,7 minutes and 29,2 7,7 minutes for case group and control group,
respectively. The average mucociliary transport time after therapy were 22,9 8,7
minutes and 18,0 5,6 minutes for case group and control group, respectively.
The mean difference mucociliary transport time before and after therapy were
11,0 7,5 minutes and 9,4 5,3 minutes for the case and control group,
respectively (p=0,499).
Conclusions: The addition of intranasal isotonic saline solutions in acute
rhinosinusitis patients has the same effect of mucociliary transport time with oral
medication with antibiotic, decongestan and mucolitic without intranasal isotonis
saline solutions.
Keyword: Isotonic saline, acute rhinosinusitis, mucociliary clearance.
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ............................................................................................ i
PRASYARAT GELAR ...................................................................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................... iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI .................................................................. iv
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ................................................................. v
UCAPAN TERIMA KASIH .............................................................................. vi
ABSTRAK ......................................................................................................... ix
ABSTRACT ....................................................................................................... x
DAFTAR ISI .................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xv
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xviii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................ 3
1.4 Manfaat Penelitian ...................................................................... 4
BAB II KAJIAN PUSTAKA .............................................................................. 5
2.1 Hidung dan Sinus Paranasal ........................................................ 5
2.1.1 Anatomi dan fisiologi hidung............................................. 5
2.1.2 Anatomi dan fisiologi sinus paranasal ............................... 7
2.2 Sistem mukosilia hidung .............................................................. 10
2.2.1 Palut lendir ......................................................................... 11
2.2.2 Silia ..................................................................................... 12
2.2.3 Sel goblet ............................................................................ 13
2.2.4 Transpor mukosilia ............................................................. 14
2.2.5 Pemeriksaan fungsi mukosilia............................................. 15
2.3 Rinosinusitis akut ......................................................................... 16
2.3.1 Definisi ................................................................................ 16
2.3.2 Insiden ................................................................................. 17
2.3.3 Patofisiologi ........................................................................ 18
2.3.4 Gejala klinis dan diagnosis ................................................. 20
2.3.5 Komplikasi .......................................................................... 22
2.3.6 Penatalaksanaan .................................................................. 22
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KERANGKA KONSEP DAN
HIPOTESIS PENELITIAN ................................................................ 27
3.1 Kerangka berpikir ........................................................................ 27
3.2 Kerangka konsep .......................................................................... 28
3.3 Hipotesis penelitian ...................................................................... 28
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan penelitian ................................................................... 29
4.2 Lokasi dan waktu penelitian ........................................................ 29
4.3 Subjek dan sampel penelitian ....................................................... 29
4.3.1 Populasi penelitian .......................................................... 29
4.3.2 Teknik pemilihan sampel ................................................ 30
4.3.3 Kriteria sampel ................................................................ 30
4.3.4 Besar sampel ................................................................... 32
4.4 Variabel penelitian ....................................................................... 32
4.4.1 Identifikasi dan klasifikasi variabel ................................ 32
4.5 Definisi operasional variabel......................................................... 32
4.6 Bahan dan alat penelitian .............................................................. 35
4.7 Prosedur kerja ............................................................................... 36
4.8 Alur penelitian ............................................................................... 39
4.9 Analisis data ................................................................................. 40
BAB V HASIL PENELITIAN ........................................................................... 41
5.1 Karakteristik subjek berdasarkan kelompok perlakuan ................. 41
5.2 Gejala klinis subjek berdasarkan kelompok perlakuan .................. 42
5.3 Keadaan septum nasi subjek berdasarkan kelompok perlakuan .... 44
5.4 Perbedaan rerata waktu transpor mukosilia sebelum dan sesudah
perlakuan pada masing-masing kelompok perlakuan .................... 45
5.5 Perbandingan selisih waktu transpor mukosilia sebelum dan
sesudah perlakuan berdasarkan kelompok perlakuan ................... 47
BAB VI PEMBAHASAN .................................................................................. 49
6.1 Karakteristik subjek berdasarkan kelompok perlakuan ................. 49
6.2 Gejala klinis subjek berdasarkan kelompok perlakuan .................. 50
6.3 Keadaan septum nasi subjek berdasarkan kelompok perlakuan .... 50
6.4 Perbedaan rerata waktu transpor mukosilia sebelum dan sesudah
perlakuan pada masing-masing kelompok perlakuan ................... 51
6.5 Perbandingan selisih waktu transpor mukosilia sebelum dan
sesudah perlakuan berdasarkan kelompok perlakuan ................... 52
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 52
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 57
LAMPIRAN ....................................................................................................... 62
DAFTAR TABEL
Halaman
5.1 Karakteristik subjek berdasarkan kelompok perlakuan ............................ 41
5.2 Gejala klinis subjek berdasarkan kelompok perlakuan ............................. 43
5.3 Keadaan septum nasi subjek berdasarkan kelompok perlakuan ............... 44
5.4 Hasil analisis perbedaan rerata waktu transpor mukosilia sebelum dan
sesudah perlakuan pada masing-masing kelompok perlakuan.................. 45
5.4 Perbandingan selisih waktu transpor mukosilia sebelum dan sesudah
perlakuan berdasarkan kelompok perlakuan ............................................. 47
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1 Dinding lateral hidung............................................................................. 6
2.2 Kompleks ostiomeatal ............................................................................. 10
2.3 Lapisan mukus dan cairan perisilia ......................................................... 11
2.4 Struktur ultrasilia tubulus ........................................................................ 13
2.5a Forsep aligator dan tablet sakarin ........................................................... 15
2.5b Tablet sakarin diletakkan di ujung anterior konka inferior ..................... 15
2.6 Pencucian hidung dengan teknik irigasi menggunakan neti pot ............. 25
3.1 Bagan kerangka konsep penelitian .......................................................... 28
4.1 Bagan rancangan penelitian .................................................................... 29
4.2 Bagan alur penelitian............................................................................... 39
5.1a Grafik boxplot waktu transpor mukosilia sebelum perlakuan pada
masing-masing kelompok perlakuan....................................................... 46
5.1b Grafik boxplot waktu transpor mukosilia sesudah perlakuan pada
masing-masing kelompok perlakuan....................................................... 46
5.2 Grafik garis selisih waktu transpor mukosilia sebelum dan sesudah
perlakuan pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol ............... 48
6.1 Forsep alligator dan pinset bayonet......................................................... 71
6.2 Stopwatch dan tablet sakarin merk Equal ............................................... 71
6.3 Tablet sakarin diletakkan 1 cm di belakang ujung anterior konka inferior
kavum nasi (tampak depan) .................................................................... 72
6.3 Tablet sakarin diletakkan 1 cm di belakang ujung anterior konka inferior
kavum nasi (tampak samping) ................................................................ 72
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Ethical clearance ........................................................................... 62
Lampiran 2 Informasi tertulis kepada responden ............................................... 63
Lampiran 3 Surat pernyataan persetujuan .......................................................... 65
Lampiran 4 Lembar penelitian ........................................................................... 66
Lampiran 5 Randomisasi blok ........................................................................... 70
Lampiran 6 Foto dokumentasi ........................................................................... 71
Lampiran 7 Data statistik ................................................................................... 73
Lampiran 8 Data responden ............................................................................... 83
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Saluran pernapasan merupakan bagian tubuh pertama yang berhubungan
langsung dengan lingkungan luar. Secara fisiologis hidung merupakan salah satu
organ pernapasan yang berfungsi sebagai penyaring dan pertahanan lini pertama
terhadap partikel inspirasi. Silia epitel respiratorius, kelenjar penghasil mukus dan
palut lendir membentuk mekanisme pertahanan dalam sistem pernapasan yang
dikenal sebagai sistem mukosilia.
Fungsi mukosilia yang efektif tergantung pada tiga komponen yaitu palut
lendir, gerakan silia dan sel goblet. Gangguan pada jumlah dan pergerakan silia
serta produksi palut lendir akan menyebabkan gangguan transpor mukosilia
hidung (Ramon dkk., 1999). Penilaian fungsi transpor mukosilia dapat dilakukan
dengan uji sakarin yang sederhana, non invasif, mudah, murah dan merupakan
pemeriksaan baku emas untuk uji perbandingan (Ramon dkk., 1999; Naxakis
dkk., 2009). Transpor mukosilia akan memanjang pada infeksi saluran napas atas,
rinitis alergi dan rinosinusitis (Inanli dkk., 2002). Pada rinosinusitis fungsi muko-
silia terganggu karena perubahan kualitas dan kuantitas rheologi mukus
(Georgitis, 1994) atau kerusakan pada epitel bersilia hidung dan sinus paranasal
(Naclerio dan Gungor, 2001).
Rinosinusitis akut adalah inflamasi pada mukosa kavum nasi dan sinus
paranasal dalam waktu 4 minggu atau kurang dengan gejala hidung buntu, nyeri
pada wajah, ingus kental dan post nasal drip purulen. Rinosinusitis akut
membawa dampak ekonomi berupa tingginya biaya pengobatan dan menurunnya
produktivitas kerja akibat banyaknya pekerja yang absen (Busquets dan Hwang,
2006). Sinus paranasal merupakan kelanjutan saluran pernapasan bagian atas
(Metson, 2005) dan sebanyak 0,5%-2% infeksi saluran napas atas berkembang
menjadi rinosinusitis (Levine, 2005). Di Indonesia, infeksi saluran napas atas
merupakan penyakit yang sering ditemukan, demikian pula dengan rinosinusitis
akut yang banyak dijumpai meskipun belum terdiagnosis, sehingga angka
kejadiannya belum jelas dan belum banyak dilaporkan (Mulyarjo, 2004).
Diagnosis rinosinusitis akut didapatkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan radiologi (Thaler, 2001). Penatalaksanaan rinosinusitis akut
berupa pemberian obat-obatan meliputi: antibiotika, dekongestan oral/topikal,
mukolitik maupun tindakan pembedahan (Thaler, 2001; Conrad, 2006). Pencucian
hidung dengan menggunakan larutan salin telah lama dikenal sebagai terapi
tambahan pada rinosinusitis, rinitis alergi maupun pascapembedahan sinus
(Garavello dkk., 2003). Pencucian hidung dengan larutan salin dapat memperbaiki
drainase sinus dan fungsi mukosilia hidung, mengurangi mediator inflamasi,
mempercepat penyembuhan mukosa dan mencegah perlengketan mukosa
pascapembedahan (Papsin dan McTavish, 2003; Rabago dan Zgierska, 2009).
Penggunaan larutan salin sebagai pencuci hidung juga dapat mengurangi waktu
penggunaan antibiotika sehingga dapat meningkatkan kepatuhan pasien dan
mengurangi biaya pengobatan (Papsin dan McTavish, 2003).
Manfaat cuci hidung dengan larutan salin pada rinosinusitis kronis telah
banyak dipublikasikan sedangkan penggunaan larutan cuci hidung salin pada
kasus rinosinusitis akut masih kontroversial (Achiles dan Mosges, 2013). Inanli
dkk. (2002) menyatakan tidak ada perbedaan waktu transpor mukosilia yang
signifikan pada rinosinusitis akut yang mendapat terapi amoxicillin/clavulanic
acid dibandingkan dengan amoxicillin/clavulanic acid dan larutan cuci hidung
salin isotonis. Sementara itu penelitian Ural dkk. (2009) menunjukkan perbedaan
yang signifikan terhadap waktu transpor mukosilia sebelum dan sesudah
pemberian larutan cuci hidung salin isotonis pada rinosinusitis akut. Penelitian
mengenai manfaat penggunaan larutan cuci hidung salin isotonis pada
rinosinusitis akut masih sangat sedikit (Kassel, 2010), karena itu penulis tertarik
untuk meneliti mengenai efektivitas larutan salin isotonis sebagai terapi tambahan
pada rinosinusitis akut.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah larutan pencuci hidung menggunakan salin isotonis dapat
mempercepat waktu transpor mukosilia pada pasien rinosinusitis akut ?
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui efektivitas waktu transpor mukosilia larutan pencuci
hidung salin isotonis sebagai terapi tambahan pada pasien rinosinusitis akut.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil penelitian dapat memberikan informasi dan pengetahuan mengenai
penggunaan larutan pencuci hidung salin isotonis pada pasien rinosinusitis akut.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Hidung dan Sinus Paranasal
2.1.1 Anatomi dan fisiologi hidung
Struktur luar hidung dibentuk oleh sepasang tulang hidung pada bagian atas
lateral dan kartilago pada bagian inferior di sisi lateral. Struktur tersebut
membentuk piramid hidung sehingga memungkinkan terjadinya aliran udara di
dalam kavum nasi (Krouse dan Stachler, 2006). Septum nasi merupakan struktur
tengah hidung yang tersusun atas lamina perpendikularis os etmoid, kartilago
septum, premaksila dan kolumela membranosa (Ballenger, 2003; Krouse dan
Stachler, 2006). Deviasi septum yang signifikan dapat menyebabkan obstruksi
hidung dan menekan konka media yang menyebabkan obstruksi kompleks
ostiomeatal dan hambatan aliran sinus (Welch dan Goldberg, 2008).
Dinding lateral kavum nasi tersusun atas konka inferior, media, superior dan
meatus (Gambar 2.1). Meatus superior merupakan celah sempit di atas konka
media dan terletak di antara septum nasi dan os etmoid (Ballenger, 2003). Meatus
media terletak di antara konka media dan inferior. Meatus media merupakan
struktur penting dalam patofisiologi rinosinusitis karena melalui meatus ini
kelompok sinus anterior (sinus frontal, sinus maksila dan sinus etmoid anterior)
berhubungan dengan hidung (Ballenger, 2003; Krouse dan Stachler, 2006).
Meatus inferior berada di antara konka inferior dan dasar rongga hidung. Pada
permukaan lateral meatus lateral terdapat muara duktus nasolakrimalis (Ballenger,
2003).
Gambar 2.1
Dinding lateral hidung (Levine, 2005)
Perdarahan hidung bagian dalam berasal dari a.etmoid anterior, a.etmoid
posterior cabang dari a.oftalmika dan a.sfenopalatina. Bagian anterior dan
superior septum dan dinding lateral hidung mendapatkan aliran darah dari
a.etmoid anterior, sedangkan cabang a.etmoid posterior yang lebih kecil hanya
mensuplai area olfaktorius. Terdapat anastomosis antara arteri-arteri hidung di
lateral dan arteri etmoid di daerah antero-inferior septum yang disebut pleksus
Kiesselbach. Sistem vena di hidung tidak memiliki katup dan hal ini menjadi
predisposisi penyebaran infeksi menuju sinus kavernosus. Sedangkan persarafan
hidung terutama berasal dari cabang oftalmikus dan cabang maksila nervus
trigeminus (Ballenger, 2003).
Fungsi fisiologi hidung adalah filtrasi, proteksi, humidifikasi, penghangat
udara, penghidu dan renonansi suara. Sistem vaskuler dan sekresi hidung berperan
penting dalam mempersiapkan udara inspirasi sebelum masuk ke saluran napas
atas dan sistem trakeobronkial (Metson, 2005; Krouse dan Stachler, 2006; Walsh
dan Kern, 2006). Saat inspirasi aliran udara masuk ke vestibulum dengan arah
vertikal oblik dan mengalami aliran laminar. Ketika udara mencapai nasal valve
terjadi aliran turbulen sehingga udara inspirasi langsung mengadakan kontak
dengan permukaan mukosa hidung yang luas (Dhillon dan East, 1999; Probst
dkk., 2006). Aliran turbulen tersebut tidak hanya meningkatkan fungsi penghangat
dan humidifikasi tetapi juga fungsi proteksi (Krouse dan Stachler, 2006; Walsh
dan Kern, 2006).
Vibrise yang terletak di orifisium bertugas menyaring partikel besar yang
masuk melalui hidung. Partikel yang kecil akan mengenai mukosa dan menempel
pada sekret hidung, sedangkan partikel yang berukuran kurang dari 0,5 m akan
melewati sistem penyaringan di hidung dan masuk ke saluran napas bawah
(Dhillon dan East, 1999).
Udara inspirasi yang normal memiliki suhu sekitar 30C dan kelembaban
relatif sekitar 80%. Udara yang terlalu kering dan suhu yang terlalu ekstrim dapat
menghambat kerja silia (Dhillon dan East, 1999). Humidifikasi dipertahankan
oleh adanya sekresi dan transudasi dari kelenjar hidung, epitel sel goblet dan
pembuluh darah di lamina propria, sedangkan pengaturan suhu dikerjakan oleh
sistem vaskuler intranasal, terutama jaringan venous erektil yang banyak terdapat
pada konka inferior (Probst dkk., 2006).
2.1.2 Anatomi dan fisiologi sinus paranasal
Sinus paranasal terdiri atas sinus maksila, etmoid, sfenoid dan frontal.
Mukosa sinus dilapisi oleh epitel respiratorius pseudostratified yang terdiri atas
sel kolumnar bersilia, sel kolumnar tidak bersilia, sel mukus tipe goblet dan sel
basal. Membran mukosa bersilia bertugas menghalau mukus menuju ostium sinus
dan bergabung dengan sekret dari hidung. Ostium adalah celah alamiah tempat
sinus mengalirkan drainasenya ke jalan napas (Sargi, 2007). Jumlah silia makin
bertambah saat mendekati ostium (Ballenger, 2003).
Secara klinis berdasarkan lokasi perlekatan konka media dengan dinding
lateral hidung maka sinus dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok sinus
anterior dan posterior. Kelompok sinus anterior terdiri dari sinus frontal, maksila
dan etmoid anterior yang bermuara ke dalam atau dekat infundibulum. Kelompok
sinus posterior terdiri dari sinus sfenoid dan etmoid posterior yang bermuara di
atas konka media (Ballenger, 2003).
Sinus maksila disebut juga antrum Highmore merupakan sinus paranasal
terbesar. Dasar sinus dibentuk oleh prosesus alveolaris os maksila dan palatum
durum. Dinding anteriornya berhadapan dengan fosa kanina. Gigi premolar kedua,
gigi molar pertama dan kedua tumbuh dekat dengan dasar sinus dan hanya
dipisahkan oleh membran mukosa sehingga proses supuratif di sekitar gigi
tersebut dapat menjalar ke mukosa sinus (Ballenger, 2003; Welch dan Goldberg,
2008). Silia sinus maksila membawa mukus dan debris langsung ke ostium
alamiah di meatus media (Ballenger, 2003; Welch dan Goldberg, 2008).
Perdarahan sinus maksila dilayani oleh cabang a.maksila interna yaitu
a.infraorbita, a.sfenopalatina cabang nasal lateral, a.palatina descendens,
a.alveolar superior anterior dan posterior. Inervasi mukosa sinus maksila dilayani
oleh cabang nasal lateroposterior dan cabang alveolar superior n.infraorbital
(Ballenger, 2003).
Sinus frontal merupakan pneumatisasi superior os frontal oleh sel etmoid
anterior. Sinus ini mengalirkan drainasenya melalui resesus frontal (Welch dan
Goldberg, 2008). Suplai darah sinus frontal dilayani oleh cabang supratrokhlear
dan suborbita a.oftalmika, sedangkan drainase vena dialirkan ke sinus kavernosus.
Inervasi mukosanya dilayani oleh cabang supratrokhlear dan supraorbital n. V1
(Ballenger, 2003).
Sinus etmoid terdiri atas dua kelompok sel, yaitu sel etmoid anterior yang
bermuara ke infundibulum di meatus media dan sel etmoid posterior yang
bermuara ke meatus superior (Ballenger, 2003; Krouse dan Stachler, 2006).
Cabang nasal a.sfenopalatina dan a.etmoid anterior dan posterior, cabang
a.oftalmika dari sistem karotis interna melayani sinus etmoid dan aliran venanya
menuju sinus kavernosus. Inervasi dilayani oleh cabang nasal posterior nervus V2
dan cabang etmoid anterior dan posterior nervus V1 (Ballenger, 2003).
Sinus sfenoid merupakan sinus terakhir yang mengalami perkembangan yaitu
pada usia dewasa awal. Struktur penting yang terletak dekat dengan sinus ini yaitu
n.optikus dan kelenjar hipofisis yang terletak di atas sinus, pons serebri di
posterior, di lateral sinus sfenoid terdapat sinus kavernosus, fisura orbitalis
superior, a. karotis dan beberapa serabut nervus kranialis (Ballenger, 2003; Welch
dan Goldberg, 2008). Perdarahan sinus dilayani oleh cabang a.sfenopalatina dan
a.etmoid posterior. Inervasinya dipersarafi oleh cabang etmoid posterior nervus V1
dan cabang sfenopalatina nervus V2 (Ballenger, 2003).
Fungsi utama sinus paranasal adalah mengeliminasi benda asing dan sebagai
pertahanan tubuh terhadap infeksi melalui tiga mekanisme, yaitu: terbukanya
kompleks ostiomeatal, transpor mukosilia dan produksi mukus yang normal
(Jackman dan Kennedy, 2006).
Kompleks ostiomeatal adalah pertemuan jalur drainase kelompok sinus
anterior yang terdiri dari meatus media, prosesus unsinatus, hiatus semilunaris,
infundibulum etmoid, bula etmoid, ostium sinus maksila dan resesus frontal
(Gambar 2.2). Jika terjadi obstruksi pada kompleks ostiomeatal oleh mukosa yang
inflamasi atau massa, akan menyebabkan terjadinya obstruksi ostium sinus, stasis
silia dan infeksi sinus (Ballenger, 2003; Probst dkk., 2006; Welch dan Goldberg,
2008).
Gambar 2.2
Kompleks ostiomeatal (Levine, 2005)
2.2 Sistem Mukosilia Hidung
Sistem mukosilia terdiri dari palut lendir, silia epitel respiratorius dan sel
goblet (Passali dkk., 2005; Probst dkk., 2006). Komponen mukosilia memiliki
peran penting dalam memelihara integritas hidung dan sinus paranasal (Quraishi
dkk., 1998). Gangguan pada sistem mukosilia oleh karena infeksi dapat menye-
babkan perubahan pada mukosa dan terjadi rinosinusitis (Krouse dan Stachler,
2006). Rheologi dan komponen viskoelastisitas palut lendir ditentukan oleh
struktur polimerik dan derajat hidrasi. Perubahan pada rheologi palut lendir dapat
mempengaruhi mekanisme kerja silia.
2.2.1 Palut lendir
Palut lendir adalah lapisan mukus yang melapisi permukaan epitel hidung
berkonsistensi lengket dan liat, berukuran 12-15 m, dihasilkan oleh kelenjar
seromusinosa lamina propria dan sel-sel goblet pada mukosa hidung dengan
sebanyak 0,5-1 ml/cm3 dalam 24 jam (Quraishi dkk., 1998). Palut lendir terdiri
dari dua lapisan yaitu: a) lapisan sol disebut juga cairan perisilia, memiliki
kedalaman 0,5-2,0 m, terletak di lapisan dalam menyelimuti batang silia, bersifat
kurang viskus, merupakan komponen Newtonian yang memungkinkan terjadi
pergerakan silia, b) lapisan gel disebut juga lapisan mukus, memiliki kedalaman
7-10 m, terletak di superfisial ditembus oleh batang silia bila sedang tegak
sepenuhnya, bersifat lebih viskus merupakan komponen non Newtonian dan
bekerja membawa partikel asing (Gambar 2.3) (Quraishi dkk., 1998; Ballenger,
2003; Krouse dan Stachler, 2006; Probst dkk., 2006).
Gambar 2.3
Lapisan mukus dan cairan perisilia (Quraishi dkk., 1998)
Palut lendir mempunyai pH = 7 atau sedikit asam, mengandung 95% air,
2,5-3% protein dan glikoprotein, 1% lemak, 1% mineral serta 0,02% DNA
(Quraishi dkk., 1998). Komposisi ini tergantung pada aktivitas sel goblet, kelenjar
seromukus, kelenjar lakrimalis dan penguapan udara inspirasi (Passali dkk.,
2005). Fungsi palut lendir ini adalah sebagai pelicin, menangkap dan
mentransporasikan partikel maupun gas yang larut (Ballenger, 2003). Cairan
perisilia kaya akan albumin, Ig G, Ig M dan faktor komplemen (Stierna, 2001).
Sifat biorheologik palut lendir terdiri dari: kohesi dan kemampuan
mengangkut partikel, kemampuan meregang, elastotiksotrofi, kemampuan
merayap dan adhesif (Quraishi dkk., 1998). Palut lendir dibersihkan ke arah
nasofaring setiap 10-15 menit oleh gerakan silia dan digantikan oleh mukus segar
yang disekresikan kavum nasi dan mukosa sinus (Walsh dan Kern, 2006).
2.2.2 Silia
Silia memiliki ukuran panjang 6 m dan lebar 0,3 m. Tiap sel bersilia
memiliki sekitar 150-200 silia yang tersusun atas mikrotubulus dan dihubungkan
oleh lengan dynein (Probst dkk., 2006). Di dalam silia terdapat sebuah
mikrotubulus yang tersusun longitudinal yang disebut aksonema. Mikrotubulus ini
tersusun berpasangan yaitu sembilan pasang di bagian luar dan dua mikrotubulus
tunggal berada di tengah aksonema membentuk karakteristik pola 9 plus 2
(Gambar 2.4) (Ballenger, 2003).
Palut lendir selalu bergerak dan gerakan ini karena adanya silia. Silia
bergerak untuk menghalau mukus dan debris yang terperangkap melalui ostium
dan ke hidung. Silia juga dapat tertarik ke bawah searah gravitasi. Ostium sinus
maksila berada di superior dinding medial sinus sehingga tanpa gerakan silia yang
menyapu mukus ke atas maka sinus maksila tidak akan pernah mengalami
drainase (Metson, 2005).
.
Gambar 2.4
Struktur ultrasilia tubulus (Ballenger, 2003)
Pergerakan silia dikenal dengan ciliary beat. Makin ke depan pergerakannya,
maka pukulannya makin kuat di mana silia dalam keadaan ekstensi penuh. Ciliary
beat memiliki dua komponen yaitu effective stroke dan recovery stroke. Effective
stroke terjadi ketika silia berada dalam keadaan tegak lurus terhadap permukaan
sel dan ujung puncaknya menyentuh palut lendir (Quraishi dkk., 1998). Recovery
stroke merupakan pukulan yang bersifat kurang kuat dan lebih lambat, gerakannya
melengkung ke belakang ke arah dirinya sendiri sehingga tidak mencapai
gumpalan mukus di atasnya (Stierna, 2001). Pergerakan silia terjadi secara
metachronus dan berlangsung 3-25 mm/menit dengan frekuensi 12 Hz (Stierna,
2001) atau 1000 kali atau lebih per menit (Ballenger, 2003).
2.2.3 Sel goblet
Sel goblet epitel dan kelenjar seromukus pada mukosa hidung menghasilkan
palut lendir (Ballenger, 2003; Krouse dan Stachler, 2006; Probst dkk., 2006). Sel
goblet lebih banyak ditemui pada sinus maksila dibandingkan sinus lainnya,
sedangkan kelenjar lebih banyak ditemui pada hidung dibandingkan pada sinus
paranasal. Hal ini fisiologis karena pada ruang tertutup seperti pada sinus
paranasal, sel goblet cukup efektif dalam menghasilkan mukus untuk mencegah
terjadinya kekeringan mukosa dan untuk menunjang transpor mukosilia (Passali
dkk., 2005). Suatu penelitian eksperimental menggunakan kelinci ditemukan
penurunan jumlah sel goblet disertai involusi dan berkurangnya jumlah kelenjar
secara signifikan pada sinusitis dengan derajat inflamasi yang berat (Stierna,
2001).
2.2.4 Transpor mukosilia
Transpor mukosilia adalah mekanisme pergerakan silia untuk mengalirkan
sekret dari kavum nasi ke nasofaring. Durasi yang dibutuhkan bahan partikel
untuk berjalan di sepanjang permukaan kavum nasi menuju nasofaring disebut
dengan waktu transpor mukosilia (Probst dkk., 2006). Adanya infeksi dapat
menghambat siklus metachronous silia dan sistem transpor mukosilia yang
efisien. Beberapa virus, misalnya: virus influenza, rhinovirus, adenovirus, virus
herpes simpleks dan RSV dapat mengubah ultrastruktur aksonema dan bahan
viskoelastik palut lendir sehingga mengganggu fungsi transpor mukosilia
(Ballenger, 2003).
Transpor mukosilia dipengaruhi oleh a) faktor eksternal yaitu struktur kimia
partikel yang diangkut, b) faktor lingkungan yaitu suhu, humiditas, kontak dengan
larutan hipertonik atau hipotonik, bahan asam atau basa, bahan polusi, dan c)
faktor internal yaitu aktivitas silia dan bahan rheologik mukus (Ballenger, 2003;
Passali dkk., 2005).
2.2.5 Pemeriksaan fungsi mukosilia
Aktivitas silia pada mukosa nasal dapat dievaluasi dengan metode langsung
maupun metode tidak langsung. Metode langsung menggunakan stroboscopy,
roentgenography serta teknik photoelectron membutuhkan tehnologi yang
canggih sehingga tidak selalu tersedia pada masing-masing pelayanan kesehatan.
Metode tidak langsung misalnya uji sakarin dan penggunaan 99m
Tc-MAA. Uji
sakarin merupakan pemeriksaan yang aman, mudah, cepat dan dapat dipercaya
untuk menilai transpor mukosilia hidung (Ramon dkk., 1999; Naxakis dkk.,
2009). Sedangkan aktivitas transpor mukosilia pada sinus paranasal dilakukan
dengan menyuntikkan bahan pada kavum paranasal dan menunggu waktu
bersihannya, namun metode tersebut bersifat invasif (Passali dkk., 2005).
Gambar 2.5
(A). Forsep aligator dan tablet sakarin; (B). Tablet sakarin diletakkan di ujung
anterior konka inferior (Scadding dan Lund, 2004)
Pada uji sakarin, tablet sakarin berdiameter 1 mm diletakkan sekitar 1 cm di
belakang ujung anterior konka inferior untuk menghindari daerah metaplasia
skuamosa dengan menggunakan forsep kecil (Gambar 2.5). Pasien diminta tetap
bernapas biasa melalui hidung, tanpa bersin, mengendus, makan maupun minum.
Kemudian pasien diminta untuk menelan satu kali setiap satu menit dan
melaporkan jika merasakan rasa manis di tenggoroknya. Variasi lain adalah
dengan memberikan pewarna pada sakarin dengan menggunakan Evans blue,
sehingga pewarna dapat terlihat di nasofaring (Ballenger, 2003; Scadding dan
Lund, 2004).
Individu normal memiliki waktu transpor mukosilia kurang dari 20 menit.
Nilai rerata waktu transpor mukosilia hidung pada orang sehat dilaporkan
bervariasi. Inanli dkk. (2002) menyatakan rerata waktu transpor mukosilia sebesar
9,05 3,46 menit sedangkan Ural dkk. (2009) menyatakan 17,53 menit. Waktu
transpor mukosilia akan memanjang pada rinosinusitis, diskinesia silia primer dan
kistik fibrosis (Scadding dan Lund, 2004). Penelitian Inanli dkk. (2002)
melaporkan rerata waktu transpor mukosilia pada rinosinusitis akut sebesar 24,72
6,16 menit dan penelitian Ural dkk. (2009) sebesar 30,08 menit.
2.3 Rinosinusitis Akut
2.3.1 Definisi
Pada tahun 1997 The American Academy of Otolaryngology Head and Neck
Surgery Paranasal Sinus Committee mengusulkan untuk mengganti terminologi
sinusitis dengan rinosinusitis. Membran mukosa hidung dan sinus secara
embriologis saling berhubungan dan merupakan satu kesatuan serta menunjukkan
proses penyakit yang sama yaitu obstruksi hidung dan adanya sekret. Sinusitis
tidak akan terjadi tanpa adanya rinitis dan rinitis tidak terjadi tanpa sinusitis,
sehingga istilah rinosinusitis lebih tepat digunakan (Devaiah, 2004).
Rinosinusitis adalah kelainan yang ditandai oleh inflamasi mukosa kavum
nasi dan sinus paranasal atau keterlibatan tulang di bawahnya. Osteitis dapat
terjadi sebagai akibat langsung infeksi atau operasi sinus disertai kurangnya
preservasi mukosa. Osteitis merupakan salah satu penyebab utama kekambuhan
penyakit meskipun sudah dilakukan operasi atau pemberian antibiotik (Thaler,
2001; Devaiah, 2004; Benninger dan Gottschall, 2006).
Task Force on Rhinosinusitis pada tahun 1996 membuat klasifikasi
rinosinusitis sebagai berikut: a) Rinosinusitis akut, jika gejala berakhir dalam 4
minggu atau kurang; b) Rinosinusitis subakut, jika gejala menetap 4-12 minggu;
c) Rinosinusitis kronis, jika gejala menetap selama lebih dari 12 minggu; d)
Rinosinusitis akut rekuren, jika pasien dengan 4 episode serangan atau lebih per
tahun dengan interval bebas gejala di antaranya dan e) Rinosinusitis kronis
eksaserbasi akut, didefinisikan sebagai perburukan gejala tiba-tiba pada pasien
yang telah terdiagnosis rinosinusitis kronis setelah mendapat pengobatan, berupa
berulangnya gejala seperti awal (Thaler, 2001).
2.3.2 Insiden
Infeksi saluran napas adalah jenis infeksi paling sering yang ditemui dalam
praktek sehari-hari (File, 2006). Sinus paranasal merupakan kelanjutan saluran
pernapasan bagian atas sehingga sering terlibat infeksi (Metson, 2005). Sebanyak
0,5%-2% infeksi saluran napas atas berkembang menjadi rinosinusitis (Levine,
2005). Centers for Disease Control and Prevention melaporkan lebih dari 35 juta
(17,4%) orang Amerika dewasa terkena sinusitis pada tahun 2001 (Metson, 2005).
Sementara itu di Indonesia di mana penyakit infeksi saluran napas akut masih
merupakan penyakit utama di masyarakat, kiranya rinosinusitis juga banyak
dijumpai meskipun belum terdiagnosis, sehingga angka kejadiannya belum jelas
dan belum banyak dilaporkan (Mulyarjo, 2004).
2.3.3 Patofisiologi
Patofisiologi rinosinusitis digambarkan sebagai lingkaran tertutup dimulai
dengan inflamasi mukosa hidung khususnya kompleks ostiomeatal. Inflamasi akut
pada mukosa sinus berupa hipersekresi mukosa dan odema yang dapat
menyebabkan obstruksi aliran ke luar sinus (Busquets dan Hwang, 2006). Ketika
terjadi obstruksi kompleks ostiomeatal, mukus tidak dapat mengalir ke luar
ostium, silia berhenti bergerak secara efektif sehingga drainase sinus terhenti
(Metson, 2005). Perlambatan gerakan silia dan peningkatan sintesis mukus
menyebabkan terjadinya retensi sekret di sinus (Stierna, 2001). Lingkungan yang
hangat dan lembap akan menjadi media yang sangat baik bagi bakteri dan adanya
stasis sekret akan mempercepat multiplikasi bakteri (Metson, 2005; Benninger
dan Gottschall, 2006).
Adanya interleukin dan leukotrien serta infeksi bakteri menyebabkan mukus
menjadi lebih kental, berwarna kuning atau hijau disebut pus atau mukopurulen.
Beberapa pus di sinus dikeluarkan dari ostium melalui kompleks ostiomeatal dan
ke nasofaring menjadi post nasal drip (Metson, 2005).
Terjadinya rinosinusitis dipengaruhi oleh faktor host yaitu genetik dan struktur
anatomi, faktor agen dan lingkungan (Metson, 2005; Busquets dan Hwang, 2006;
Jackman dan Kennedy, 2006). Kistik fibrosis dan sindrom Kartagener merupakan
penyakit genetik berupa gangguan gerakan silia. Bahan polusi seperti asap rokok,
debu, bahan kimia, faktor alergi maupun infeksi dapat menginduksi peradangan
mukosa sinus (Naclerio dan Gungor, 2001). Rinitis alergi telah diketahui sejak
lama sebagai salah satu faktor predisposisi rinosinusitis (File, 2006).
Pada rinosinusitis akut mikroba yang berperan adalah virus, bakteri dan
jamur. Selain menimbulkan obstruksi pada kompleks ostiomeatal akibat inflamasi
dan odema virus respiratorius juga memiliki efek sitotoksik langsung pada epitel
dan silia nasal yang menyebabkan terganggunya bersihan mukosilia pada fase
resolusi pasca infeksi virus akut (Benninger dan Gottschall, 2006). Hal ini dapat
menjadi faktor predisposisi terjadinya infeksi bakterial sekunder (Busquets dan
Hwang, 2006). Rhinovirus juga dapat meningkatkan kemampuan adheren bakteri
patogen seperti Streptococcus pneumoniae dan Hemophilus influenzae di
nasofaring (Benninger dan Gottschall, 2006). Pasien dengan penurunan sistem
kekebalan tubuh akan mudah terinfeksi oleh jamur (Thaler, 2001). Pada kasus
rinosinusitis berulang maupun menetap setelah diberi pengobatan antibiotika yang
adekuat perlu dicurigai adanya imunodefisiensi sebagai faktor yang memperberat
(Busquets dan Hwang, 2006).
Obstruksi ostium sinus dapat disebabkan oleh polip hidung, deviasi septum,
konka bulosa dan konka media paradoksal. Jaringan parut akibat pembedahan
sebelumnya atau akibat trauma juga dapat mengganggu drainase sinus. Infeksi
gigi dapat menyebar ke kavum sinus dan menjadi sinusitis maksila persisten.
Kelainan anatomi kraniofasial di mana terjadi perubahan anatomi sinus juga dapat
menjadi predisposisi terjadinya sinusitis (Busquets dan Hwang, 2006).
2.3.4 Gejala klinis dan diagnosis
Diagnosis rinosinusitis didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang (Thaler, 2001; Benninger dan Gottschall, 2006). Anamne-
sis meliputi gejala, onset dan durasi gejala serta penyakit penyerta yang ber-
hubungan misalnya riwayat asma, kistik fibrosis, penyakit imunodefisiensi, alergi,
perokok, polip hidung, massa pada hidung, riwayat trauma maksilofasial atau
infeksi gigi (Benninger dan Gottschall, 2006; Probst dkk., 2006).
Pasien dicurigai kuat menderita rinosinusitis jika memenuhi dua kriteria
gejala mayor atau satu gejala mayor dan dua minor atau jika ada sekret purulen
pada pemeriksaan endoskopi nasal. Pasien yang hanya memenuhi satu kriteria
gejala mayor atau dua kriteria minor dicurigai menderita rinosinusitis (Levine,
2005; Benninger dan Gottschall, 2006; Busquets dan Hwang, 2006). Kriteria
gejala mayor rinosinusitis meliputi nyeri/rasa tebal pada wajah, hidung tersumbat,
ingus kental, post nasal drip purulen, gangguan penghidu, demam, adanya sekret
purulen pada pemeriksaan endoskopi nasal. Kriteria gejala minor meliputi sakit
kepala, napas berbau, batuk, nyeri telinga, rasa penuh di telinga (Busquets dan
Hwang, 2006).
Pemeriksaan intranasal untuk menegakkan diagnosis rinosinusitis dilakukan
dengan rinoskopi anterior menggunakan spekulum hidung atau endoskopi hidung.
Pemeriksaan dengan endoskopi terutama bermanfaat dalam mengevaluasi
kompleks ostiomeatal (Probst dkk., 2006). Pada pemeriksaan intranasal didapat-
kan mukosa hidung hiperemi, konka kongesti atau hipertrofi, adanya sekret
hidung mukoid/purulen, dapat ditemukan polip hidung, deviasi septum, konka
bulosa atau konka media paradoksal (Thaler, 2001; Benninger dan Gottschall,
2006; Fokkens dkk., 2007). Pemeriksaan rongga mulut dilakukan untuk melihat
abses gigi. Dasar sinus maksila berdekatan dengan akar gigi rahang atas sehingga
infeksi pada gigi tersebut dapat menyebar ke sinus dan menimbulkan sinusitis.
Drainase sinus berupa sekret purulen ke nasofaring dapat terlihat di posterior
orofaring berupa post nasal drip (Benninger dan Gottschall, 2006).
Pemeriksaan sinus juga dapat dilakukan dengan menggunakan metode
palpasi. Nyeri pada rinosinusitis akut adalah khas berupa nyeri menusuk atau rasa
sakit yang terlokalisir pada sinus yang terkena. Palpasi pada sinusitis maksila akan
menimbulkan nyeri di infraorbital yang meluas ke gigi maksila dan kadang-
kadang ke telinga. Nyeri pada sinusitis etmoid berupa nyeri di kantus medial dan
dorsum hidung. Nyeri pada sinusitis frontal berupa nyeri di supraorbital yang
meluas ke bitemporal atau oksipital, sedangkan nyeri pada sinusitis sfenoid
terutama di verteks tulang tengkorak (Thaler, 2001; Benninger dan Gottschall,
2006).
Radiografi posisi Waters merupakan salah satu pemeriksaan diagnostik
rinosinusitis. Hasil dikatakan positif jika ditemukan perselubungan, penebalan
mukosa atau air fluid level di kavum sinus, namun hasil yang negatif tidak
menyingkirkan kemungkinan rinosinusitis (Thaler, 2001). CT scan menjadi
penunjang diagnostik pilihan dalam menilai kemungkinan terjadinya komplikasi
atau sebagai penunjang sebelum tindakan pembedahan dilakukan (Levine, 2005).
Aspirasi sinus dan pemeriksaan kultur sekret sinus merupakan pemeriksaan
baku emas dalam mendiagnosis rinosinusitis. Pemeriksaan ini diindikasikan pada
rinosinusitis yang gagal dengan pengobatan antibiotika multipel, rinosinusitis
disertai imunodefisiensi atau diabetes melitus yang tidak terkontrol (Benninger
dan Gottschall, 2006).
2.3.5 Komplikasi
Komplikasi rinosinusitis akut dibagi menjadi komplikasi ekstrakranial dan
intrakranial. Komplikasi ekstrakranial terutama mengenai orbita, yaitu berupa:
selulitis preseptal, selulitis orbita, abses subperiosteal, abses orbita. Komplikasi
intrakranial meliputi: meningitis, trombophlebitis sinus kavernosus, abses epi-
dural, abses subdural dan abses otak (Thaler, 2001).
2.3.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan rinosinusitis akut dapat berupa pemberian medikamentosa
atau tindakan pembedahan. Berdasarkan pedoman terapi rinosinusitis PERHATI-
KL Kelompok Studi Rinologi tahun 2007, pengobatan rinosinusitis akut adalah
pemberian antibiotika lini pertama atau antibiotika lini kedua jika tidak ada
perbaikan klinis dalam 2 x 24 jam (Soetjipto, 2007). Terapi tambahan dapat
berupa dekongestan oral/topikal, mukolitik atau pencucian hidung dengan larutan
salin isotonis (Papsin dan McTavish, 2003; Soetjipto, 2007; Yeung, 2011).
Pemakaian antibiotika untuk pengobatan rinosinusitis berdasarkan antibiotika
yang telah terbukti keefektifannya atau berdasarkan hasil kultur dan sensitivitas.
The Bacteriology of Rhinosinusitis di Amerika Serikat seperti dikutip dari Levine
(2005) menyatakan bakteri patogen terbanyak pada rinosinusitis akut adalah
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Staphylococcus aureus,
dan Moraxella catarrhalis. Antibiotik lini pertama yang direkomendasikan untuk
pengobatan rinosinusitis akut adalah: amoxicillin, doxycicllin dan trimethoprim/
sulfamethoxazole. Namun tingginya angka resistensi menyebabkan amoxicillin
tidak lagi dipilih sebagai terapi lini pertama untuk rinosinusitis akut. The Food
and Drug Administration Amerika Serikat seperti dikutip dari Thaler (2001)
menyatakan beberapa antibiotika berikut dapat digunakan sebagai pengobatan
rinosinusitis akut yaitu: amoxycillin clavulanate, cefpodoxime, cefuroxime axetil
dan untuk pasien dewasa dapat digunakan ciprofloxacin, cefditoren, levofloxacin,
moxifloxacin. Jika pasien memiliki riwayat alergi terhadap antibiotik -lactam
atau merupakan kontraindikasi penggunaan fluoroquinolone, maka azithromycin
atau clarithromycin dapat menjadi pilihan alternatif. Pengobatan dengan
antibiotika harus dilanjutkan minimal selama 10-14 hari. Pengobatan yang lebih
singkat dapat menimbulkan kekambuhan infeksi dan kemungkinan terjadinya
resistensi antibiotika (Thaler, 2001).
Pemberian dekongestan memberikan efek vasokonstriksi pada pembuluh
darah hidung, menurunkan aliran darah dan mengurangi odema pada mukosa
hidung. Dekongestan oral golongan adrenergik- agonis misalnya: phenyl-
propanolamine dan pseudoephedrine. Penggunaan dekongestan topikal (oxy-
metazoline) dapat digunakan selama 3-5 hari untuk mengurangi gejala serta untuk
meningkatkan kecepatan drainase sinus. Penggunaan dekongestan topikal yang
lebih lama dapat menyebabkan terjadinya rinitis medikamentosa oleh karena efek
rebound vasodilatation (Thaler, 2001). Pemberian mukolitik (guanifesin,
ambroxol) berfungsi untuk mengencerkan sekret sehingga membantu fungsi
drainase (Thaler, 2001; Levine, 2005).
Penggunaan larutan cuci hidung dengan salin terbukti aman bagi anak-anak,
orang dewasa, kehamilan maupun usia lanjut (Papsin dan McTavish, 2003).
Pencucian hidung dengan larutan salin isotonis dapat diberikan sebagai terapi
tambahan pada rinosinusitis, rinitis alergi, infeksi saluran napas atas dan
pascapembedahan sinus. Kontraindikasi penggunaan terapi ini adalah trauma
wajah yang belum sembuh sempurna, gangguan neurologis dan muskuloskeletal.
Tidak ada peneliti yang melaporkan adanya efek samping yang serius terhadap
penggunaan larutan salin isotonis ini. Keluhan yang sering ditemui adalah rasa
tidak nyaman dan cemas pada saat penggunaan awal larutan tersebut (Rabago dan
Zgierska, 2009).
Pencucian hidung dilakukan dengan mengalirkan larutan salin ke dalam
kavum nasi menggunakan teknik irigasi maupun semprot. Teknik irigasi
dilakukan dengan memanfaatkan gaya gravitasi menggunakan tekanan tangan
dengan syringe atau neti pot (Gambar 2.6), sedangkan teknik pencucian hidung
dengan semprot menggunakan kemasan botol semprot yang bertekanan positif
rendah (Rabago dan Zgierska, 2009).
Gambar 2.6
Pencucian hidung dengan teknik irigasi menggunakan neti pot
(Rabago dkk., 2006)
Mekanisme kerja larutan salin sebagai larutan pencuci hidung belum
diketahui dengan jelas, namun diperkirakan dapat memperbaiki fungsi mukosilia
hidung melalui efek fisiologisnya yaitu: membersihkan mukosa hidung dari sekret
atau krusta, mengurangi odema mukosa, melembabkan kavum nasi, mengurangi
mediator inflamasi dan risiko perlengketan mukosa serta mempercepat
penyembuhan mukosa pascapembedahan sinus (Papsin dan McTavish, 2003;
Hauptman dan Ryan, 2007; Rabago dan Zgierska, 2009; Yeung, 2011).
Penggunaan larutan salin sebagai pencuci hidung juga dapat mengurangi waktu
penggunaan antibiotika sehingga dapat mening-katkan kepatuhan pasien dan
berkurangnya biaya pengobatan (Papsin dan McTavish, 2003).
Sediaan larutan salin berupa larutan salin hipotonis (NaCl 0,45%), isotonis
(NaCl 0,9%) dan hipertonis (NaCl 3%, 5%, 7%). Larutan cuci hidung salin
isotonis dan hipertonis sama-sama dapat memperbaiki waktu transpor mukosilia
hidung (Boek dkk., 1999; Ural dkk, 2009). Kedua larutan tersebut berbeda dalam
hal kekuatan osmotik dan gradien konsentrasinya (Hauptman dan Ryan, 2007).
Larutan salin isotonis adalah larutan yang tidak memiliki gradien osmotik
(Garavello dkk., 2003) dan diyakini sebagai larutan yang paling fisiologis ter-
hadap morfologi seluler epitel hidung (Kim dkk., 2005), sehingga aman dan
nyaman digunakan pada bayi, ibu hamil maupun usia lanjut (Healtley dkk., 2001).
Pada larutan salin hipertonis, kondisi hiperosmolar di saluran pernapasan
menyebabkan pelepasan kalsium dan prostaglandin E2 dari intraseluler,
peningkatan availabilitas adenosine triphosphate pada aksonema silia sehingga
terjadi peningkatan ciliary beat frequency (Daviskas dkk., 1996; Shoseyov dkk.,
1998). Larutan salin hipertonis juga dapat menginduksi respon neural yang akan
menyebabkan perubahan vaskuler pada mukosa hidung dan menimbulkan rasa
tidak nyaman berupa sensasi terbakar dan iritasi pada mukosa hidung sehingga
akan mempengaruhi kepatuhan pasien dalam penggunaannya (Hauptman dan
Ryan, 2007).
Tindakan pembedahan diindikasikan pada rinosinusitis akut yang gagal
dengan terapi konservatif dan rinosinusitis akut dengan komplikasi intrakranial
atau ekstrakranial. Tindakan pembedahan dapat berupa irigasi sinus atau bedah
sinus endoskopi fungsional (Busquets dan Hwang, 2006).
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.2 Kerangka Berpikir
Rinosinusitis akut adalah inflamasi pada mukosa hidung dan sinus paranasal
yang berlangsung selama 4 minggu atau kurang dengan gejala hidung buntu, nyeri
pada wajah, ingus kental kental dan post nasal drip purulen. Rinosinusitis dapat
berkembang dari infeksi saluran napas atas. Rinosinusitis dapat mempengaruhi
kualitas hidup pasien berupa berkurangnya waktu kerja yang efektif dan dampak
ekonomi berupa besarnya pengeluaran untuk mengobati penyakit tersebut.
Ada tiga hal utama yang berperan dalam menjaga fungsi fisiologis sinus,
yaitu: terbukanya kompleks ostiomeatal, transpor mukosilia yang normal, kualitas
dan kuantitas sekret yang normal. Gangguan pada sistem mukosilia menyebabkan
terjadinya rinosinusitis. Obstruksi pada kompleks ostiomeatal saat inflamasi akut
mukosa sinus menyebabkan sekret tidak dapat mengalir ke luar ostium. Odema
pada mukosa menyebabkan mukosa sinus yang berhadapan saling berdempetan,
sehingga pergerakan silia menjadi tidak efektif. Hal tersebut menyebabkan retensi
sekret yang akan menjadi media bagi pertumbuhan bakteri. Adanya bakteri
direspon oleh tubuh berupa perubahan kualitas dan kuantitas sekret sehingga
viskositasnya menjadi lebih kental dan purulen.
Aktivitas silia pada mukosa nasal dapat dievaluasi dengan dua metode yaitu
metode langsung dengan stroboscopy, roentgenography, photoelectron maupun
metode tidak langsung dengan uji sakarin dan 99m
Tc-MAA. Uji sakarin adalah uji
yang sederhana, non invasif, mudah dan murah serta merupakan pemeriksaan
baku emas untuk uji perbandingan.
3.2 Kerangka Konsep
Gambar 3.1
Bagan kerangka konsep penelitian
3.2 Hipotesis Penelitian
Larutan pencuci hidung menggunakan salin isotonis dapat mempercepat
waktu transpor mukosilia pada pasien rinosinusitis akut.
Riwayat operasi hidung dan sinus paranasal
Gangguan pengecap
Dekongestan
Merokok
Rinosinusitis akut
Umur
Jenis kelamin
Indeks massa tubuh
Perubahan viskoelastisitas sekret
Gangguan fungsi silia
Waktu transpor mukosilia hidung
melalui uji sakarin
Terapi standar rinosinusitis:
Antibiotika
Dekongestan oral
Mukolitik
Larutan pencuci hidung salin isotonis
Tumor sinonasal
Polip hidung
Deviasi septum nasi
Hipertensi
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian eksperimental pre-postest
design with control group.
Gambar 4.1
Bagan rancangan penelitian.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Poliklinik THT, RSUP Sanglah, Denpasar pada bulan
Agustus - Desember 2014.
4.3 Subjek dan Sampel Penelitian
4.3.1 Populasi penelitian
Populasi target adalah semua pasien rinosinusitis akut. Populasi terjangkau
adalah semua pasien rinosinusitis akut yang berobat ke Poliklinik THT-KL RSUP
Sanglah, Denpasar.
K. Perlakuan Uji sakarin
sesudah
Uji sakarin
sebelum
K. Kontrol Uji sakarin
sesudah
Uji sakarin
sebelum
R Populasi Sampel
4.3.2 Teknik pemilihan sampel
Pengambilan sampel pada Kelompok Perlakuan maupun Kelompok Kontrol
dilakukan secara berurutan (consecutive sampling), yaitu setiap pasien yang
memenuhi kriteria inklusi penelitian dimasukkan dalam sampel penelitian sampai
kurun waktu tertentu hingga jumlah sampel yang diperlukan telah dipenuhi.
Sampel yang bersedia mengikuti prosedur penelitian kemudian menandatangani
informed concent dan selanjutnya ditetapkan sebagai sampel penelitian. Pemilihan
Kelompok Perlakuan maupun Kelompok Kontrol pada sampel dilakukan secara
random dengan teknik randomisasi blok. Subjek akan mendapat pengobatan A
yaitu terapi standar berupa antibiotika ciprofloxacin 2 x 500 mg, dekongestan
pseudoephedrin 60 mg/triprolidin HCl 2,5 mg 3 x 1 tablet dan mukolitik
ambroxol 3 x 30 mg selama 7 hari atau pengobatan B yaitu terapi standar
ditambah larutan pencuci hidung salin isotonis, sesuai dengan nomor amplop yang
telah ditentukan secara randomisasi blok (Lampiran 5).
4.3.3 Kriteria sampel
Kriteria sampel pada penelitian ini terdiri dari kriteria inklusi dan kriteria
eksklusi.
4.3.3.1 Kriteria inklusi
Sampel pada penelitian harus memenuhi kriteria inklusi meliputi:
a. Usia 15 - 60 tahun dan kooperatif.
b. Pasien terdiagnosis rinosinusitis akut
c. Bersedia mengikuti penelitian dengan menandatangani informed consent.
4.3.3.2 Kriteria eksklusi
Kriteria eksklusi pada penelitian ini meliputi:
a. Menderita polip hidung.
b. Menderita tumor sinonasal.
c. Menderita gangguan pengecap.
d. Menderita hipertensi.
e. Riwayat pengobatan dengan dekongestan dalam 2 hari terakhir.
f. Riwayat operasi hidung dan sinus paranasal dalam 3 bulan terakhir.
4.3.4 Besar sampel
Besar sampel dihitung menggunakan rumus Pocock (2002) sebagai berikut:
n=2 2
(2-
1)2
.f(,)
n1=n2=2 (3,46)
2
(4)2 .10,5 = 15,71 ~ 16
Keterangan:
n : Besar sampel.
: Standar deviasi = 3,46 (Inanli, 2002)
: Tingkat kesalahan tipe I sebesar 0,05
: Tingkat kesalahan tipe II sebesar 0,1
f (,) : Nilai pada tabel = 10,5
2- 1 : Selisih waktu transpor mukosilia minimal antara kelompok
perlakuan dengan kelompok kontrol yang dianggap bermakna = 4 menit.
Besar sampel (n1=n2) = 16
Perkiraan drop out sebesar 10% dari jumlah sampel, sehingga didapatkan:
= n +10
100 x 16
= 17,6 ~ 18
Jadi penelitian ini membutuhkan sampel minimal sebesar 36, yaitu 18 orang
untuk kelompok perlakuan dan 18 orang untuk kelompok kontrol.
4.4 Variabel Penelitian
4.4.1 Identifikasi dan klasifikasi variabel
a. Variabel bebas: larutan pencuci hidung salin isotonis
b. Variabel tergantung: waktu transpor mukosilia
c. Variabel kendali: umur, jenis kelamin, indeks massa tubuh, tumor sinonasal,
polip hidung, operasi hidung dan sinus paranasal, gangguan pengecap,
dekongestan, merokok, hipertensi.
4.5 Definisi Operasional Variabel
a. Umur adalah: lama hidup yang dihitung berdasarkan tanggal lahir yang
tercantum pada tanda pengenal dalam satuan tahun (kartu pelajar, kartu
tanda penduduk).
b. Jenis kelamin adalah: laki-laki atau perempuan yang tercantum dalam tanda
pengenal (kartu pelajar, kartu tanda penduduk).
c. Indeks massa tubuh atau IMT adalah: ukuran antropometri massa tubuh
yang ditentukan dengan membagi berat badan dalam kilogram dengan tinggi
badan dalam meter kuadrat. Kriteria dibagi menjadi underweight bila IMT
h. Operasi hidung dan sinus paranasal adalah: setiap tindakan pembedahan
pada hidung dan sinus paranasal baik dengan bius lokal maupun umum yang
dilakukan dalam 3 bulan terakhir.
i. Gangguan pengecap adalah: gangguan dalam merasakan sensasi rasa di
lidah berdasarkan anamnesis.
j. Pemakaian dekongestan adalah: penggunaan obat yang mempunyai efek
dekongesti secara oral, semprot atau tetes hidung dalam 2 hari terakhir.
k. Merokok adalah kebiasaan menghisap rokok sebanyak paling sedikit satu
batang per hari selama setahun yang diperoleh melalui anamnesis. Kriteria
dibagi menjadi perokok (IB 1) dan bukan perokok (IB=0) berdasarkan
Indeks Brinkman atau IB, yaitu hasil perkalian lama merokok dalam tahun
dengan jumlah batang rokok yang dihisap setiap hari.
l. Hipertensi adalah: penyakit sistemik berupa tekanan darah sistole lebih dari
140 mmHg atau tekanan diastole lebih dari 90 mmHg berdasarkan kriteria
Joint National Comittee (JNC) 7 yang diukur menggunakan tensimeter atau
adanya riwayat konsumsi obat antihipertensi berdasarkan anamnesis.
m. Terapi standar rinosinusitis adalah pemberian terapi pada rinosinusitis
terdiri dari antibiotika: ciprofloxacin dengan dosis 2 x 500 mg per oral,
dekongestan: pseudoephedrine 60 mg/triprolidin 2,5 mg dengan dosis 3 x 1
tablet per oral dan mukolitik: ambroxol 3 x 30 mg per oral selama 7 hari.
n. Larutan pencuci hidung salin isotonis adalah: larutan pencuci hidung yang
mengandung NaCl 0,9% dikemas dalam botol infus 500 ml yang diberikan
dengan cara disemprotkan ke dalam kavum nasi menggunakan syringe 10
ml dengan dosis pemberian 3 x 10 ml selama 7 hari.
o. Kelompok perlakuan adalah: kelompok yang mendapat terapi standar
rinosinusitis dan larutan pencuci hidung salin isotonis.
p. Kelompok kontrol adalah: kelompok yang mendapat terapi standar
rinosinusitis.
q. Uji Sakarin adalah: uji yang dilakukan untuk mengukur waktu transpor
mukosilia menggunakan tablet sakarin merk Equal berukuran diameter 1
mm yang diletakkan 1 cm di belakang ujung anterior konka inferior
menggunakan forsep aligator.
r. Waktu transpor mukosilia adalah: waktu yang dibutuhkan oleh tablet
sakarin mulai saat diletakkan 1 cm di belakang ujung anterior konka inferior
sampai ke nasofaring yang ditandai rasa manis di tenggorok dalam satuan
menit yang diukur menggunakan stopwatch. Waktu transpor mukosilia
dibagi menjadi waktu transpor mukosilia sebelum perlakuan yang diukur
sebelum pemberian terapi dan waktu transpor mukosilia sesudah perlakuan
yang diukur 7 hari setelah pemberian terapi.
s. Selisih waktu transpor mukosilia adalah selisih waktu transpor mukosilia
sebelum dan sesudah perlakuan.
4.6 Bahan dan alat penelitian
Pada penelitian ini digunakan bahan berupa tablet sakarin merk Equal
berukuran diameter 1 mm, sedangkan alat yang digunakan berupa:
a. Formulir kuesioner penelitian.
b. Larutan NaCl 0,9%.
c. Syringe 10 ml.
d. Alat-alat pemeriksaan THT rutin.
e. Forsep aligator.
f. Stopwatch.
4.7 Prosedur kerja
a. Pasien rinosinusitis akut yang berobat ke RSUP Sanglah, Denpasar yang
memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi serta bersedia mengikuti prosedur
penelitian dengan menandatangani formulir informed concent dimasukkan
sebagai sampel penelitian.
b. Kemudian dilakukan pendataan sampel berdasarkan nama, jenis kelamin,
umur, berat badan, tinggi badan, keluhan dan riwayat pengobatan.
c. Selanjutnya sampel dibagi menjadi dua kelompok yaitu Kelompok
Perlakuan yang mendapatkan terapi standar berupa antibiotika, dekongestan,
mukolitik dan larutan pencuci hidung salin isotonis serta Kelompok Kontrol
yang hanya mendapat terapi standar. Penentuan kelompok dilakukan secara
random dengan menggunakan teknik randomisasi blok.
d. Pada Kelompok Perlakuan maupun Kelompok Kontrol dilakukan uji sakarin
sebelum perlakuan. Pasien diminta untuk berkumur dengan air putih
kemudian duduk di kursi periksa dalam posisi badan tegak dan kepala agak
menunduk kurang lebih 10, bernapas melalui hidung dengan mulut
tertutup, tanpa bersin, mengendus, makan maupun minum.
e. Uji sakarin dilakukan dengan meletakkan tablet sakarin berukuran diameter
1 mm pada 1 cm di belakang ujung anterior konka inferior kavum nasi
menggunakan forsep aligator. Selanjutnya pasien diminta untuk menelan
ludah setiap 1 menit sampai terasa manis di tenggorokan. Dengan
menggunakan stopwatch ditentukan lamanya waktu mulai saat sakarin
diletakkan di mukosa hidung sampai dirasakan manis pertama kali di
tenggorok yang disebut waktu transpor mukosilia sebelum perlakuan dan
kemudian waktu dicatat dalam satuan menit.
f. Setelah pengukuran selesai dilakukan pencucian hidung menggunakan
larutan fisiologis dan pasien berkumur dengan air putih untuk
menghilangkan efek tablet sakarin yang tersisa.
g. Selanjutnya pada Kelompok Perlakuan diberikan terapi standar dan larutan
pencuci hidung salin isotonis yang dialirkan ke kavum nasi menggunakan
syringe dengan dosis 10 ml sebanyak 3 kali sehari selama 7 hari sedangkan
pada Kelompok Kontrol diberikan terapi standar yang terdiri dari antibiotika
ciprofloxacin 2 x 500 mg, dekongestan pseudoephedrin 60 mg/triprolidin
HCl 2,5 mg 3 x 1 tablet dan mukolitik ambroxol 3 x 30 mg selama 7 hari.
h. Setelah pengobatan selama 7 hari, dilakukan uji sakarin sesudah perlakuan
pada Kelompok Perlakuan maupun Kelompok Kontrol dan didapatkan
waktu transpor mukosilia sesudah perlakuan dalam satuan menit.
i. Kemudian waktu transpor mukosilia sebelum perlakuan pada ke dua
kelompok dibandingkan dengan waktu transpor mukosilia sesudah
perlakuan dan selanjutnya dilakukan analisis secara statistik.
4.8 Alur Penelitian
Gambar 4.2
Bagan alur penelitian
7 hari terapi 7 hari terapi
Kelompok Perlakuan:
Terapi standar (antibiotika, dekongestan oral, mukolitik)
Larutan pencuci hidung salin isotonis
Kelompok Kontrol:
Terapi standar (antibiotika, dekongestan oral, mukolitik)
Uji sakarin sebelum perlakuan
(waktu transpor mukosilia sebelum)
Uji sakarin sebelum perlakuan
(waktu transpor mukosilia sebelum)
Uji sakarin sesudah perlakuan
(waktu transpor mukosilia sesudah) Uji sakarin sesudah perlakuan
(waktu transpor mukosilia sesudah)
Rinosinusitis akut
Rinosinusitis akut di poliklinik THT
RSUP Sanglah, Denpasar
Kriteria inklusi:
Usia 15-60 tahun
Kooperatif
Kriteria eksklusi:
Tumor sinonasal
Polip hidung
Gangguan pengecap
Dekongestan
Operasi sinonasal
Hipertensi
Sampel penelitian
(consecutive sampling)
Informed concent
Pengambilan data:
Demografi, Keluhan, Riwayat pengobatan
Random (randomisasi blok)
4.9 Analisis Data
Hasil penelitian disajikan secara deskriptif, yaitu dalam bentuk persentase
untuk data umur, jenis kelamin dan indeks massa tubuh. Uji normalitas data waktu
transpor mukosilia sebelum perlakuan pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok
Kontrol dilakukan dengan uji Shaphiro-Wilk.
Data waktu transpor mukosilia sebelum perlakuan pada ke dua kelompok
berdistribusi tidak normal, sehingga dilakukan analisis terhadap nilai selisih waktu
transpor mukosilia sebelum dan sesudah perlakuan pada ke dua kelompok.
Normalitas data selisih waktu transpor mukosilia sebelum dan sesudah perlakuan
pada ke dua kelompok menunjukkan data berdistribusi tidak normal, sehingga
selanjutnya uji perbandingan dilakukan menggunakan uji Mann-Whitney.
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Karakteristik Subjek Berdasarkan Kelompok Perlakuan
Pada penelitian ini terdapat 40 orang sampel yang memenuhi kriteria inklusi
dengan karakteristik seperti yang ditampilkan pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1
Karakteristik subjek berdasarkan kelompok perlakuan
Karakteristik
Kelompok
nilai p Perlakuan
(n=20)
Kontrol
(n=20)
Umur, rerata SD
15-25 tahun
26-35 tahun
36-45 tahun
46-55 tahun
33,5 11,8
6(30,0)
4(20,0)
6(30,0)
4(20,0)
30,3 8,8
5(25,0)
10(50,0)
4(20,0)
1(5,0)
0,338a
Jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
15(75,0)
5(25,0)
8(40,0)
12(60,0)
0,025b*
Indeks massa tubuh, rerata SD
Underweight
Normal
Overweight
Obese
Obese 2
23,8 3,8
2(10,0)
6(30,0)
5(25,0)
6(30,0)
1(5,0)
23,4 4,3
1(5,0)
9(45,0)
2(10,0)
7(35,0)
1(5,0)
0,748a
Status merokok
Merokok
Tidak merokok
5(25,0)
15(75,0)
2(10,0)
18(90,0)
0,212b
a : Hasil independent T-test
b : Hasil Pearson Chi Square test
* : Bermakna secara statistik
Umur subjek dalam penelitian ini dibagi menjadi empat kategori dengan
frekuensi terbanyak pada Kelompok Perlakuan adalah umur 15-25 tahun dan 36-
0,182b
0,682b
45 tahun yaitu masing-masing sebesar 30%, sedangkan pada Kelompok Kontrol
frekuensi terbanyak adalah umur 26-35 tahun, yaitu sebesar 50%. Terdapat
perbedaan rerata umur antara Kelompok Perlakuan dengan Kelompok Kontrol,
dimana rerata umur pada Kelompok Perlakuan adalah 33,5 11,8 menit dan
rerata umur pada Kelompok Kontrol adalah 30,3 8,8 menit. Perbedaan rerata
umur tersebut tidak bermakna secara statistik dengan nilai p = 0,338.
Sebanyak 75% subjek pada Kelompok Perlakuan berjenis kelamin laki-laki
sedangkan pada Kelompok Kontrol sebanyak 60% subjek berjenis kelamin
perempuan. Terdapat perbedaan distribusi proporsi jenis kelamin yang bermakna
secara statistik dengan nilai p = 0,025.
Indeks massa tubuh subjek penelitian sebagian besar adalah normal yaitu
sebesar 30% pada Kelompok Perlakuan dan 45% pada Kelompok Kontrol. Rerata
indeks massa tubuh pada Kelompok Perlakuan adalah 23,8 3,8 kg/m2 sedangkan
pada Kelompok Kontrol adalah 23,4 4,3 kg/m2. Perbedaan rerata indeks massa
tubuh tersebut tidak bermakna secara statistik dengan nilai p = 0,748.
Subjek yang merokok pada Kelompok Perlakuan sebesar 5% dan pada
Kelompok Kontrol sebanyak 2% dan perbedaan distribusi proporsi status
merokok tersebut tidak bermakna secara statistik dengan nilai p = 0,212.
5.2 Gejala Klinis Subjek Berdasarkan Kelompok Perlakuan
Gejala klinis subjek berdasarkan kelompok perlakuan diuraikan pada Tabel
5.2 di bawah ini.
Tabel 5.2
Gejala klinis subjek berdasarkan kelompok perlakuan
Gejala klinis
Kelompok
nilai p Perlakuan
(n=20)
Kontrol
(n=20)
Hidung tersumbat
Hidung kanan
Hidung kiri
Keduanya
Tidak tersumbat
2(10,0)
3(15,0)
15(75,0)
0(0)
3(15,0)
3(15,0)
14(70,0)
0(0)
0,889a
Pilek
Ya
Tidak
20(100,0)
0(0)
20(100,0)
0(0,0)
*
Nyeri pipi
Ya
Tidak
6(30,0)
14(70,0)
4(20,0)
16(80,0)
0,465a
Sakit kepala
Ya
Tidak
15(75,0)
5(25,0)
15(75,0)
5(25,0)
1,000a
Gangguan penghidu
Ya
Tidak
7(35,0)
13(65,0)
9(45,0)
11(55,0)
0,519a
Demam
Ya
Tidak
5(25,0)
15(75,0)
2(10,0)
18(90,0)
0,212a
Napas berbau
Ya
Tidak
4(20,0)
16(80,0)
3(15,0)
17(85,0)
0,677a
Dahak di tenggorok
Ya
Tidak
17(85,0)
3(15,0)
16(80,0)
4(20,0)
0,677a
Keluhan lain
Batuk
Nyeri telinga
Penuh di telinga
Tidak ada
5(25,0)
1(5,0)
1(5,0)
13(65,0)
3(15,0)
0(0)
2(10,0)
15(75,0)
0,577a
a : Hasil Pearson Chi Square test
* : No statistics are computed because pilek is a constant
Sebagian besar subjek mengeluh ke dua hidung tersumbat yaitu sebanyak
75% pada Kelompok Perlakuan dan 70% pada Kelompok Kontrol. Gejala lain
yang dikeluhkan oleh pasien meliputi: pilek pada semua subjek ke dua kelompok
(100%), nyeri pipi sebanyak 30% pada Kelompok Perlakuan dan 20% pada
Kelompok Kontrol, sakit kepala sebanyak 75% pada ke dua kelompok, gangguan
penghidu sebanyak 35% pada Kelompok Perlakuan dan 45% pada Kelompok
Kontrol, demam sebanyak 25% pada Kelompok Perlakuan dan 10% pada
Kelompok Kontrol, napas berbau sebanyak 20% pada Kelompok Perlakuan dan
15% pada Kelompok Kontrol, dahak di tenggorok sebanyak 85% pada Kelompok
Perlakuan dan 80% pada Kelompok Kontrol.
Keluhan lain yang dirasakan subjek adalah batuk sebanyak 25% pada
Kelompok Perlakuan dan 15% pada Kelompok Kontrol, nyeri telinga sebanyak
5% pada Kelompok Perlakuan, rasa penuh pada telinga sebanyak 5% pada
Kelompok Perlakuan dan 10% pada Kelompok Kontrol.
5.3 Keadaan Septum Nasi Subjek Berdasarkan Kelompok Perlakuan
Sebanyak 60% subjek pada Kelompok Perlakuan dan 70% pada Kelompok
Kontrol tidak mengalami deviasi septum nasi seperti ditampilkan pada Tabel 5.3.
Tabel 5.3
Keadaan septum nasi subjek berdasarkan kelompok perlakuan
Septum nasi Kelompok
nilai p Perlakuan (n=20) Kontrol (n=20)
Deviasi septum
Deviasi ke kiri
Deviasi ke kanan
Bentuk S
Tidak deviasi
3(15,0)
2(10,0)
3(15,0)
12(60,0)
4(20,0)
2(10,0)
0(0)
14(70,0)
0,348a
a : Hasil Pearson Chi Square test
5.4 Perbedaan Rerata Waktu Transpor Mukosilia Sebelum dan Sesudah
Perlakuan Pada Masing-Masing Kelompok Perlakuan
Uji normalitas data waktu transpor mukosilia sebelum perlakuan pada
Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol menunjukkan data berdistribusi
normal sehingga uji perbandingan dilakukan dengan uji t-tidak berpasangan. Pada
Tabel 5.4 di bawah akan diuraikan hasil analisis perbedaan rerata waktu transpor
mukosilia sebelum dan sesudah perlakuan pada masing-masing Kelompok
Perlakuan.
Tabel 5.4
Hasil analisis perbedaan rerata waktu transpor mukosilia sebelum dan sesudah
perlakuan pada masing-masing Kelompok Perlakuan
Variabel
Kelompok Beda
Rerata 95% CI nilai p
Perlakuan
(n=20)
Kontrol
(n=20)
Waktu transpor
mukosilia sebelum
perlakuan
35,5 10,7 29,2 7,7 6,3 0,366-12,290 0,038a
Waktu transpor
mukosilia sesudah
perlakuan
22,9 8,7 18,0 5,6 5,0 0,249-9,703 0,040a
a : Hasil independent T-test
Rerata waktu transpor mukosila sebelum perlakuan pada Kelompok
Perlakuan adalah 35,5 10,7 menit dan pada Kelompok Kontrol adalah 29,2 7,7
menit, seperti ditampilkan pada Gambar 5.1A. Beda rerata waktu transpor
mukosilia sebelum perlakuan pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol
adalah 6,3 menit dengan asumsi 95% confidence interval sebesar 0,366-12,290
adalah berbeda bermakna (nilai p=0,038).
Rerata waktu transpor mukosilar sesudah perlakuan pada Kelompok
Perlakuan adalah 22,9 8,7 menit dan 18,0 5,6 menit pada Kelompok Kontrol,
seperti ditampilkan pada Gambar 5.1B. Beda rerata waktu transpor mukosilia
sesudah perlakuan pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol adalah 5,0
menit dengan asumsi 95% confidence interval sebesar 0,249-9,703 adalah berbeda
bermakna (nilai p=0,040).
Gambar 5.1
Grafik boxplot waktu transpor mukosilia sebelum perlakuan (A)
dan sesudah perlakuan (B) pada masing-masing kelompok perlakuan
Nilai rerata waktu transpor mukosilia sebelum perlakuan pada Kelompok
Perlakuan dan Kelompok Kontrol berbeda secara statistik dengan nilai p=0,038
sehingga uji perbandingan dilakukan terhadap selisih waktu transpor mukosilia
sebelum dan sesudah perlakuan pada masing-masing kelompok perlakuan.
A B
5.5 Perbandingan Selisih Waktu Transpor Mukosilia Sebelum dan Sesudah
Perlakuan Berdasarkan Kelompok Perlakuan
Uji normalitas data selisih waktu transpor mukosilia sebelum dan sesudah
perlakuan pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol tidak berdistribusi
normal, maka selanjutnya dilakukan uji non parametrik Mann-Whitney dengan
hasil seperti yang dipaparkan pada Tabel 5.5.
Tabel 5.5
Perbandingan selisih waktu transpor mukosilia sebelum dan sesudah
perlakuan berdasarkan kelompok perlakuan
Variabel Kelompok
nilai p Perlakuan (n=20) Kontrol (n=20)
Selisih waktu transpor
mukosilia sebelum-sesudah
perlakuan, median (IQR)
11,0(7,5) 9,4(5,3) 0,499a
a : Hasil Mann-Whitney test
Nilai median selisih waktu transpor mukosilia hidung sebelum dan sesudah
perlakuan pada Kelompok Perlakuan adalah 11,0 7,5 menit dan 9,4 5,3 menit
pada Kelompok Kontrol. Perbedaan tersebut secara statistik tidak bermakna
dengan nilai p = 0,499. Hasil tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.2 di bawah ini.
Gambar 5.2
Grafik garis selisih waktu transpor mukosilia sebelum dan sesudah
perlakuan pada Kelompok Perlakuan dan Kelompok Kontrol
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Karakteristik Subjek Berdasarkan Kelompok Perlakuan
Sebanyak empat puluh subjek yang memenuhi kriteria inklusi penelitian ini
memiliki kisaran usia antara 16 sampai 52 tahun dengan rerata 33,5 11,8 tahun
pada Kelompok Perlakuan dan 30,3 8,8 tahun pada Kelompok Kontrol. Pada
penelitian ini rentang usia yang dipilih adalah usia 15 tahun sampai 55 tahun yaitu
usia remaja sampai dewasa muda yang tingkat kooperatifnya baik serta untuk
meminimalisir bias oleh karena umur. Sakakura dkk. (1983) menyatakan tidak
adanya perbedaan waktu transpor mukosilia hidung pada subjek yang berusia < 60
tahun, demikian pula penelitian oleh Homer dkk. (2000) yang menyatakan tidak
ada perbedaan yang bermakna antara usia dengan waktu transpor mukosilia
hidung.
Sebagian besar subjek pada Kelompok Perlakuan berjenis kelamin laki-laki
(75%) sedangkan pada Kelompok Kontrol berjenis kelamin perempuan (60%).
Beberapa peneliti (Homer dkk., 2000; Ho dkk., 2001) menyatakan tidak ada
perbedaan yang signifikan mengenai jenis kela
Top Related