MAKALAH
SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)
Oleh :
Putri Kartika Sari 0910714048
LABORATORIUM ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT DR SAIFUL ANWAR MALANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014
SYSTEMIC LUPUS ERYTHEMATOSUS (SLE)
A. Definisi
Lupus eritematosus sistemik (systemic lupus erythematosus) (SLE) merupakan
penyakit in lamasi autoimun kronis dengan etiologi yang belum diketahui serta manifestasi
klinis, perjalanan penyakit dan prognosis yang sangat beragam (Tutuncu ZN, Kalunian KC,
2007). Sedangkan menurut Branch dan Porter (2000), lupus eritematosus sistemik (LES)
adalah penyakit radang multi sistem akibat pengendapan kompleks imun yang tidak spesifik
pada berbagai organ yang penyebabnya belum diketahui secara jelas. Ditemukan lebih
banyak pada wanita daripada pria.
B. Epidemiologi
Insiden tahunan SLE di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk,
sementara prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk, dengan
rasio jender wanita dan laki-laki antara 9-14:1 (Danchenko N, Satia JA, Anthony MS, 2006 ;
Bertoli AM, Alarcon GS, 2007).
Lebih dari 5.000.000 orang dalam usia produktif di seluruh dunia terdiagnosis
menyandang lupus (Syamsi, 2011). Angka kejadian rata-rata Lupus di seluruh Asia adalah
sekitar 1-25 ke-sakitan per 100.000 penduduk (Pons-Estel GJ, Alarcon GS, & Scofield L,
2010). Belum ada angka yang pasti untuk jumlah Orang dengan Lupus (Odapus) di seluruh
Indonesia, namun perkiraannya adalah lebih dari 300.000 orang (Gunadi, 2011). Lebih dari
90% penyandang Lupus adalah wanita yang berusia 15 sampai 45 tahun. Dengan ka-ta lain,
mayoritas dari Odapus berada pada rentang usia dewasa muda (Departement of Health and
Human Services of US, 2011)
C. Patogenesis
Menurut Kasper (2006) patogenesis SLE diawali dari interaksi antara faktor gen
predisposisi dan lingkungan yang akan menghasilkan respon imun yang abnormal. Respon
ini termasuk :
1. Aktivasi dari imunitas oleh CpG DNA, DNA pada kompleks imun, dan RNA dalam
RNA/protein self-antigen
2. Ambang aktivasi sel imun adaptif yang menurun (Limfosit antigen-specific T dan
Limfosit B).
3. Regularitas dan inhibisi Sel T CD4+ dan CD8+
4. Berkurangnya klirens sel apoptotic dan kompleks imun. Self-antigen (protein/DNA
nukleosomal, RNA/protein, fosfolipid) dapat ditemukan oleh sistem imun pada
gelembung permukaan sel apoptotik, sehingga antigen-autoantibody, dan kompleks
imun tersebut dapat bertahan untuk beberapa jangka waktu yang panjang,
menyebabkan inflamasi dan penyakit berkembang.
Aktivasi imun dari sel yang bersirkulasi atau yang terikat jaringan diikuti dengan
peningkatan sekresi proinflammatorik tumor necrosis factor (TNF) dan interferon tipe 1 dan 2
(IFNs), dan sitokin pengendali sel B, B lymphocyte stimulator (BLyS) serta Interleukin (IL)
10. Peningkatan regulasi gen yang dipicu oleh interferon merupakan suatu petanda genetik
SLE. Namun, sel lupus T dan natural killer (NK) gagal menghasilkan IL-2 dan transforming
growth factor (TGF) yang cukup untuk memicu CD4+ dan inhibisi CD8+. Akibatnya adalah
produksi autoantibody yang terus menerus dan terbentuknya kompleks imun, dimana akan
berikatan dengan jaringan target, disertai dengan aktivasi komplemen dan sel fagositik yang
menemukan sel darah yang berikatan dengan Ig. Aktivasi dari komplemen dan sel imun
mengakibatkan pelepasan kemotaksin, sitokin, chemokin, peptide vasoaktif, dan enzim
perusak. Pada keadaan inflamasi kronis, akumulasi growth factors dan sel imun akan
memicu pelepasan keomtaxin, sitokin, chemokin, peptide vasoaktif, dan enzim perusak.
Pada peradangan yang kronis, akumulasi dari growth factor dan produk oksidase kronis
berperan terhadap kerusakan jaringan ireversibel pada glomerulus, arteri, paru-paru, dan
jaringan lainnya.
D. Etiologi
Etiologi dari penyakit ini belum seluruhnya diketahui namun diduga :
Faktor genetik : Keluarga dari penderita penyakit SLE mempunyai insidens yang tinggi
untuk penyakit pada jaringan ikat.
Faktor obat : terutama hydrallazine yang digunakan secara luas untuk terapi pada
hipertensi.1,3,4 Sindrom ini terjadi pada 6-7% penderita hipertensi, setelah terapi
selama 3 tahun dengan hydrallazine,dengan dosis 100 mg/hari (5,4%) dan 200 mg/hari
(10,4%). Tetapi tidak terjadi pada pemberian dengan dosis 50 mg/hari.
Jenis kelamin : lebih tinggi pada wanita (11,6%) dibanding pria (2,8%).
Radiasi sinar ultraviolet : dapat juga sebagai faktor pencetus pada onset SLE atau
penyebab kekambuhan pada perjalanan penyakit ini di mana dapat ditemukan antibodi
terhadap radiasi ultraviolet.
Faktor lain yang dapat sebagai pencetus adalah infeksi bakteri, dan stress baik fisik
maupun mental (Saraswati, 2006).
E. Manifestasi Klinis
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitivitas 85% dan
spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka
sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA
negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinis
lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan
(perhimpunan reumatologi indonesia, 2011).
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang minimal lain yang diperlukan untuk diagnosis dan
monitoring, yaitu :
1. Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED) setiap 3-6 bulan bila
stabil
2. Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan kreatinin urin.
3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid) setiap 3-6 bulan bila stabil
4. PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid
5. Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen (C3,C4) pemeriksaan hanya untuk awal
diagnosis, tidak diperlukan untuk monitoring dan setiap 3-6 bulan pada penyakit ginjal aktif
6. Foto polos thorax
G. Tata Laksana
Baik untuk SLE ringan atau sedang dan berat, diperlukan gabungan strategi
pengobatan atau disebut pilar pengobatan. Pilar pengobatan SLE ini seyogyanya dilakukan
secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan pengobatan tercapai.
Edukasi
Program Rehabilitasi
Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien dengan SLE
tergantung maksud dan tujuan dari program ini. Salah satu hal penting adalah
pemahaman akan turunnya masa otot hingga 30% apabila pasien dengan SLE dibiarkan
dalam kondisi immobilitas selama lebih dari 2 minggu. Disamping itu penurunan kekuatan
otot akan terjadi sekitar 1-5% per hari dalam kondisi imobilitas. Berbagai latihan
diperlukan untuk mempertahankan kestabilan sendi.
Secara garis besar, maka tujuan, indikasi dan tekhnis pelaksanaan program
rehabilitasi yang meliputi beberapa maksud di bawah ini, yaitu:
a. Istirahat
b. Terapi fisik
c. Terapi dengan modalitas
d. Ortotik
e. Lain-lain.
Terapi Medikamentosa
Berikut ini adalah jenis, dosis obat yang dipakai pada SLE serta pemantauannya
Beberapa obat lain yang dapat digunakan pada keadaan khusus SLE mencakup :
- Intra vena imunoglobulin terutama IgG, dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5 hari, terutama
pada pasien SLE dengan trombositopenia, anemia hemilitik, nefritis, neuropsikiatrik SLE,
manifestasi mukokutaneus, atau demam yang refrakter dengan terapi konvensional.
- Plasmaferesis pada pasien SLE dengan sitopeni, krioglobulinemia dan lupus serberitis.
- Thalidomide 25-50 mg/hari pada lupus diskoid.
- Danazol pada trombositopenia refrakter.
- Dehydroepiandrosterone (DHEA) dikatakan memiliki steroid-sparring effect pada SLE
ringan
- Dapson dan derivat retinoid pada SLE dengan manifestasi kulit yang refrakter dengan obat
lainnya.
- Rituximab suatu monoklonal antibodi kimerik dapat diberikan pada SLE yang berat.
- Belimumab suatu monoklonal antibodi yang menghambat aktivitas stimulator limfosit sel B
telah dilaporkan efektif dalam terapi SLE42 (saat ini belum tersedia di Indonesia)
- Terapi eksperimental diantaranya antibodi monoklonal terhadap ligan CD40 (CD40LmAb)
- Dialisis, transplantasi autologus stem-cell.
DAFTAR PUSTAKA
Branch DW, Porter TF. Autoimmune disease In: james dK, steer PJ, Weiner CP. High risk pregnancy. Philadelphia: WB Sauders 2000;853-64
Departement of Health and Human Services of U. S. Lupus. Online [WWW]. 2011. http://www.womenshealth.gov/publications/our-publications/factsheet/lupus.pdf. diakses tanggal 4 Februari 2014
Gunadi R. Siaran pers Care for Lupus SDF Awards 2011. Penghargaan untuk dorong penelitian terapi Lupus. Online [WWW]. 2011. http://www.syamsidhuhafoundation.org/detailarticle-siaran-pers-care-for-lupus-sdf-awards-2011-article. Diakses 4 Februari 2014
Kasper DL, Braunwald E, Fauci AS et all. Systemic Lupus Erythematosus (SLE). In : Harrison’s Manual of Medicine. 16th ed. New York : McGraw-Hill Medical Publishing Division. 2006. 779-85.
Ntali S, Tzabakakis M, Bertsias G, Boumpas DT. What’s new in clinical trials in lupus. Int J Clin Rheum. 2009;4(4):473- 485.
Perhimpunan Reumatologi Indonesia. 2011. http://reumatologi.or.id/reurek/download/Diagnosis dan Penatalaksanaan Lupus Sistemik Eritromatosus.pdf. diakses tanggal 4 Februari 2014.
Pons-Estel GJ, Alarcon GS, & Scofield L. Understanding the epidemiology and progression of systemic lupus erythematosus. Semin Arthritis Rheum 2010; 39: 257
Saraswati PDA, Soekrawati E. Systemic Lupus Erythematosus. In : Dexa Media Jurnal Kedokteran dan Faramsi Vol. 19. Denpasar : SMF Kulit dan Kelamin RSUD Wangaya. 2006 : 26
Syamsi Dhuha Foundation (SDF). Lupus dan Penatalaksanaannya. Online [WWW]. 2011. http://www.research.ui.ac.id/v1/images/stories/lupus/Lupus%20dan%20penatalaksanaannya.pdf. Diakses tanggal 4 Februari 2014.
Tutuncu ZN, Kalunian KC. The De �inition and clasi �ication of systemic lupus erythematosus. In: Wallace DJ, Hahn BH, editors. Duboi’s lupus erythematosus. 7th ed. Philadelphia. Lippincott William & Wilkins; 2007:16-19
Top Related