0
STUDI ORGANOLOGIS GENDANG GALANG PADA MASYARAKAT KARO JAHE, BUATAN BAPAK LAPE SITEPU DI DESA RAJA TENGAH, KECAMATAN KUALA, KABUPATEN LANGKAT SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O L E H JAKUB SINULINGGA SINULINGGA NIM: 070707014
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
MEDAN
2013
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Batak Karo adalah salah satu etnis yang terdapat di Sumatera Utara. Etnis
Batak Karo termasuk dalam Sub Etnis Batak, yang diantaranya adalah, Pakpak,
Simalungun, Toba, Mandailing, Angkola, ( Bangun, 1993 : 94 ). Berdasarkan wilayah
administratif pemerintah, masyarakat Karo mendiami daerah kabupaten Karo (meliputi
Tanah Karo dan sekitarnya) dan Kabupaten Langkat. Masyarakat Karo yang mendiami
daerah kabupaten Karo sering disebut sebagai Karo Gugung yang artinya adalah masyarakat
Karo yang mendiami dataran tinggi (pegunungan), dan masyarakat Karo yang menempati
Kabupaten Langkat disebut sebagai Karo Jahe yang artinya adalah sebagian masyarakat
Karo yang mendiami dataran rendah wilayah Langkat dan Deli Serdang ( Darwan Prints,
2004 : 12 )
Etnis Batak Karo memiliki budaya yang diwariskan dari leluhurnya secara
turun-temurun. Salah satu bentuk dari kebudayaan itu adalah kesenian. Kesenian pada Etnis
Batak Karo sangat banyak, diantaranya adalah seni tekstil, seni tari, seni ukir, seni patung
dan juga seni musik. Dalam tulisan ini, penulis lebih berfokus untuk mengkaji aspek musik
dari etnis Batak Karo yang di Kabupaten Langkat saja atau disebut dengan Karo Jahe.
Bagi masyarakat Karo Jahe , musik menjadi sebuah kebutuhan yang banyak
digunakan untuk tujuan hiburan, ritual, upacara adat, dan juga upacara keagamaan, maka
terdapatlah sebuah ensambel musik pada masyarakat Karo Jahe yang mendukung untuk
kebutuhan tersebut, ensambel tersebut antara lain adalah Gendang Binge.
Pada ensambel Gendang Binge terdapat beberapa alat musik yang terdiri dari, sarune,
gendang galang, gendang kitik, penganak, dan gung. Dalam tulisan ini si penulis berfokus
pada alat musik gendang galang. Gendang Galang adalah alat musik yang tergolong dalam
2
klasifikasi membranofon, adalah sebuah alat musik pembawa ritmis yang terbuat dari kayu
nangka. Sebagai penutup rongga atas dan bawah digunakan kulit kancil yang sudah
dikeringkan dan sebagai pengikatnya digunakan kulit lembu. Alat musik ini biasanya
dimainkan oleh pemainnya dengan posisi duduk dengan menggunakan dua buah stick
pemukul dan dipukulkan pada membran gendang tersebut.
Masyarakat Karo Jahe di Desa Nangka Lima mengatakan bahwa gendang galang
adalah alat musik tradisional yang diwarisi dari nenek moyang mereka. Sekarang, sejauh
pengamatan penulis gendang galang di daerah tersebut hanya tinggal beberapa saja. Hal ini
disebabkan karena sudah berkurangnya pengrajin alat musik tersebut, dan juga oleh karena
semakin berkurangnya pemain gendang galang di daerah tersebut. Di desa Nangka Lima
terdapat seorang yang ahli dalam pembuatan gendang galang, yaitu Bapak Lape Sitepu.
Beliau berusia kurang lebih 57 tahun, dan berpengalaman dalam pembuatan alat – alat musik
khususnya alat musik Gendang Binge Karo Jahe, seperti sarune, gendang kitik, penganak,
dan gung. Pengalaman ini diperoleh dari orang tuanya sendiri kurang lebih tiga puluh tahun
yang lalu. Menurut beliau, sudah banyak orang yang menempah / membuat gendang galang
dari beliau, baik dari Kabupaten Langkat sendiri maupun dari luar daerah seperti Medan dan
Deli Serdang.
Dalam proses pembuatannya, Bapak Lape Sitepu masih tetap menggunakan alat-alat
yang masih tergolong sederhana, yakni berupa Palu (martil), gergaji, pahat, ketam, parang,
belati, paku, dan bahan-bahan yang juga sederhana yaitu, papan, kayu, tali, kertas pasir, dan
pensil. Proses pembuatannya tergolong sederhana, karena hanya menggunakan tenaga
manusia, tanpa bantuan mesin.
Dari uraian latar belakang masalah di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti, serta
menuliskannya dalam sebuah tulisan ilmiah dengan judul :
3
“Studi Organologis Gendang Galang Pada Masyarakat Karo Jahe,
Buatan Bapak Lape Sitepu” ; Di Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala,
Kabupaten Langkat.
1.2 Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis kemukakan sebelumnya, maka
pokok permasalahan yang menjadi topik bahasan dalam tulisan ini adalah :
1. Bagaimana struktur gendang galang?
2. Bagaimana proses dan teknik pembuatan gendang galang?
3. Bagaimana teknik memainkan gendang galang?
4. Apa fungsi gendang galang pada Masyarakat Karo Jahe di Kabupaten Langkat?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian terhadap gendang galang Karo Jahe adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana struktur gendang galang
2. Untuk mengetahui proses dan teknik pembuatan gendang galang.
3. Untuk mengetahui teknik memainkan gendang galang.
4. Untuk mengetahui fungsi dari gendang galang pada masyarakat Karo Jahe di
Kabupaten Langkat.
1.3.2 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah :
1. Sebagai bahan dokumentasi untuk menambah referensi mengenai gendang galang di
Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
2. Sebagai bahan masukan dan perbandingan bagi penelitian selanjutnya yang
berkaitan dengan gendang galang.
4
3. Sebagai suatu proses pengaplikasian ilmu yang diperoleh penulis selama
perkuliahan di Departemen Etnomusikologi.
4. Sebagai suatu upaya untuk memelihara dan melestarikan musik tradisional daerah
sebagai bagian dari budaya Nasional.
5. Untuk memenuhi syarat menyelesaikan studi program S-1 di Departemen
Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.
1.4 Konsep dan Teori yang Digunakan
1.4.1 Konsep
Ada beberapa konsep dan teori yang dibutuhkan dalam membicarakan permasalahan
terhadap objek penelitian ini, studi organologi yang dimaksud adalah sesuai dengan konsep
yang dikemukakan oleh Mantle Hood ( 1982 : 124 ), bahwa : organologi yang digunakan
adalah berhubungan dengan alat musik. Istilah tersebut mempunyai tendensi untuk dijadikan
batasan dalam mendeskripsikan penampilan fisik, properti akustik, dan sejarah alat musik.
Selanjutnya menurut beliau organologi adalah ilmu pengetahuan alat musik, yang tidak hanya
meliputi sejarah dan deskripsi alat musik, akan tetapi sama pentingnya dengan “ ilmu
pengetahuan ’’ dari alat musik itu sendiri antara lain : teknik pertunjukan, fungsi musikal,
dekoratif dan variasi dari sosial budaya.
Dari konsep di atas, dapat disimpulkan bahwa studi organologis gendang galang pada
masyarakat Karo Jahe, adalah penelitian secara mendalam mengenai sejarah dan deskripsi
instrumen, juga mengenai teknik-teknik pembuatan, cara memainkan, dan fungsi dari alat
musik gendang galang tersebut.
Selanjutnya, istilah membranophone (membranofon) adalah klasifikasi alat musik
yang ditinjau berdasarkan penggetar utamanya sebagai penghasil bunyi yaitu berasal dari
membran atau kulit (klasifikasi alat musik oleh Curt sach, 1961). Berdasarkan konsep di atas,
maka dalam tulisan ini penulis mengkaji mengenai proses pembuatan instrumen gendang
5
galang pada masyarakat Karo Jahe, termasuk juga teknik pembuatan, proses pembuatannya,
di Desa Nangka Lima, Kecamatan Kuala, Kabupaten Langkat, juga mengenai teknik-teknik
dalam memainkan, fungsi musik, ornamentasi (hiasan yang dibedakan dengan konstruksi),
dan beberapa pendekatan sosial budayanya.
1.4.2 Teori
Teori mempunyai hubungan yang erat dengan penelitian dan dapat meningkatkan arti dari
penemuan penelitian. Tanpa teori, penemuan tersebut akan menjadi keterangan-keterangan
empiris yang berpencar (Moh. Nazir, 1983 : 22-25) .
Dalam tulisan ini, penulis membahas tentang pendeskripsian alat musik gendang
sikambang yang mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Susumu Khasima di dalam
APTA ( Asia Performing Traditional Art 1978 : 74), yaitu: Dua pendekatan yang dapat
dilakukan untuk membahas alat musik, yakni pendekatan struktural dan fungsional. Secara
struktural yaitu; aspek fisik instrumen musik, pengamatan, mengukur, merekam, serta
menggambar bentuk instrumen, ukurannya, konstruksinya, dan bahan yang dipakai. Dan
secara fungsional, yaitu; fungsi instrumen sebagai alat untuk memproduksi suara, meneliti,
melakukan pengukuran dan mencatat metode, memainkan instrumen, penggunaan bunyi yang
diproduksi, ( dalam kaitannya dengan komposisi musik) dan kekuatan suara.”
Untuk mengetahui teknik permainan gendang galang oleh bapak Lape Sitepu, penulis
menggunakan pendekatan yang dikemukakan oleh Nettl (1963 : 98) yaitu:
” Kita dapat menganalisis dan mendeskripsikan musik dari apa yang kita dengar, dan kita dapat menuliskan musik tersebut di atas kertas dan mendeskripsikan apa yang kita lihat.”1
Menurut teori yang dikemukakan oleh Curt Sach dan Hornbostel (1961) yaitu: sistem
pengklasifikasian alat musik berdasarkan sumber penggetar utama bunyinya. Sistem
klasifikasi ini terbagi menjadi empat bagian yaitu:
1 Terjemahan March Perlman 1990
6
- Idiofon, penggetar utama bunyinya adalah badan dari alat musik itu sendiri,
- Aerofon, penggetar utama bunyinya adalah udara,
- Membranofon, penggetar utama bunyinya adalah membran atau kulit,
- Kordofon, penggetar utama bunyinya adalah senar atau dawai.
Mengacu pada teori tersebut, maka gendang galang adalah instrumen musik
membranofon dimana penggetar utama bunyinya melalui membran atau kulit.
1.5 Metode Penelitian
Metode adalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu
yang bersangkutan, (Koentjaraningrat 1997 : 16). Dalam penelitian ini penulis menggunakan
metode penelitian kualitatif ( Kirk dan Miller dalam Moleong dalam Metodologi Penelitian
Kualitatif, 1990 : 3 ) yang mengatakan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu
dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan
manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang dalam bahasanya
dan dalam peristilahannya. Untuk memahami permasalahan yang terdapat dalam pembuatan
gendang galang pada masyarakat Karo Jahe diperlukan tahap-tahap, yaitu tahap sebelum ke
lapangan (pra lapangan), tahap kerja lapangan, Analisis data dan Penulisan laporan.
(Maleong, 2002 : 109). Di samping itu, untuk mendukung metode penelitian yang
dikemukakan oleh Moleong, penulis juga menggunakan metode penelitian lainnya, yaitu:
disiplin lapangan (field) dan disiplin laboratorium (laboratory discipline). Hasil dari kedua
disiplin ini kemudian digabungkan menjadi satu hasil akhir (a final study), (Meriam, 1964 :
37).
Untuk memperoleh data dan keterangan yang dibutuhkan dalam penulisan ini, penulis
menggunakan Metode Pengumpulan Data, umumnya ada dua macam, yakni: Menggunakan
daftar pertanyaan (questionnaires), Menggunakan wawancara (interview). Untuk melengkapi
pengumpulan data dengan daftar pertanyaan maupun wawancara tersebut dapat pula
7
digunakan pengamatan (Observation) dan penggunaan catatan harian, ( Djarwanto, 1984 :
25 ).
Dalam melakukan penelitian, penulis menggunakan tiga tahap yaitu : ( 1 ) studi
kepustakaan ; ( 2 ) kerja lapangan ; ( 3 ) kerja laboratorium.
1.5.1 Studi Kepustakaan
Pada tahap sebelum ke lapangan (pra-lapangan), dan sebelum mengerjakan penelitian,
penulis terlebih dahulu mencari dan membaca serta mempelajari buku-buku, tulisan-tulisan
ilmiah, literatur, majalah, situs internet dan catatan-catatan yang berkaitan dengan objek
penelitian.
Studi pustaka ini diperlukan untuk mendapatkan konsep-konsep dan teori juga
informasi yang dapat digunakan sebagai pendukung penelitian pada saat melakukan
penelitian dan penulisan skripsi ini.
1.5.2 Kerja Lapangan
Dalam hal ini, penulis langsung ke lokasi penelitian untuk melakukan tiga hal yang
telah diketahui sebelumnya yaitu, observasi, wawancara, dan pemotretan ( pengambilan
gambar ) dan langsung melakukan wawancara bebas dan juga wawancara mendalam antara
penulis dengan informan yaitu dengan mengajukan pertanyaan yang telah dipersiapkan
sebelumnya, walaupun saat melakukan penelitian terdapat juga hal-hal baru, yang menjadi
bahan pertanyaan yang dianggap mendukung dalam proses penelitian ini, semua ini
dilakukan untuk tetap memperoleh keterangan-keterangan dan data-data yang dibutuhkan dan
data yang benar, untuk mendukung proses penelitian.
1.5.3 Wawancara
Dalam proses melakukan wawancara penulis beracuan pada metode wawancara yang
dikemukakan oleh Koenjaraningrat (1985 : 139), yaitu: Wawancara berfokus (Focused
interview), Wawancara bebas (Free interview), Wawancara sambil lalu (Casual interview).
8
Dalam hal ini penulis terlebih dahulu menyiapkan daftar pertanyaan yang akan ditanyakan
saat wawancara, pertanyaan yang penulis ajukan bisa beralih dari satu topik ke topik lain
secara bebas. Sedangkan data yang terkumpul dalam suatu wawancara bebas sangat beraneka
ragam, tetapi tetap materinya berkaitan dengan topik penelitian.
Menurut Harja W. Bachtiar (1985 : 155), wawancara adalah untuk mencatat
keterangan-keterangan yang dibutuhkan dengan maksud agar data atau keterangan tidak ada
yang hilang. Untuk pemotretan dan perekaman wawancara penulis menggunakan kamera
dan handphone bermerk nokia sebagai alat rekam Sedangkan untuk pengambilan gambar
(foto) digunakan kamera digital bermerk Canon x-3s , di samping tulisan atas setiap
keterangan yang diberikan oleh informan.
1.5.4 Kerja Laboratorium
Keseluruhan data yang telah terkumpul dari lapangan, selanjutnya diproses dalam
kerja laboratorium. Data-data yang bersifat analisis disusun dengan sistematika penulisan
ilmiah. Data-data berupa gambar dan rekaman diteliti kembali sesuai ukuran yang telah
ditentukan kemudian dianalisis seperlunya. Semua hasil pengolahan data tersebut disusun
dalam satu laporan hasil penelitian berbentuk skripsi. (Meriam 1995 : 85)
1.5.5 Lokasi Penelitian
Adapun lokasi penelitian yang penulis pilih adalah di lokasi yang merupakan tempat
tinggal narasumber yaitu bapak Lape sitepu , yang bertempat tinggal di Jalan Nangka Lima
kecamatan Kuala, Kabupaten Langkat yang juga merupakan lokasi bengkel instrumen beliau.
9
BAB II : GAMBARAN UMUM MASYARAKAT KARO JAHE
DI DESA RAJA TENGAH KABUPATEN LANGKAT, DAN
BIOGRAFI RINGKAS LAPE SITEPU SEBAGAI
SENIMAN MUSIK TRADISIONAL GENDANG GALANG
LANGKAT
2.1 Sejarah Kabupaten Langkat
Kabupaten Langkat yang dikenal sekarang ini mempunyai sejarah yang cukup panjang.
Kabupaten Langkat sebelumnya adalah sebuah kerajaan di mana wilayahnya terbentang
antara aliran Sungai Seruwai atau daerah Tamiang sampai ke daerah aliran anak Sungai
Wampu. Terdapat sebuah sungai lainnya di antara kedua sungai ini yaitu Sungai Batang
Serangan yang merupakan jalur pusat kegiatan nelayan dan perdagangan penduduk setempat
dengan luar negeri terutama ke Penang/Malaysia. Sungai Batang Serangan ketika bertemu
dengan Sungai Wampu, namanya kemudian menjadi Sungai Langkat. Kedua sungai tersebut
masing-masing bermuara di Kuala langkat dan Tapak Kuda.
Adapun kata “Langkat” yang kemudian menjadi nama daerah ini berasal dari nama sejenis
pohon yang dikenal oleh penduduk Melayu setempat dengan sebutan “pohon langkat”.
Dahulu kala pohon langkat banyak tumbuh di sekitar Sungai Langkat tersebut. Jenis pohon
ini sekarang sudah langka dan hanya dijumpai di hutan-hutan pedalaman daerah Langkat.
Pohon ini menyerupai pohon langsat, tetapi rasa buahnya pahit dan kelat. Oleh karena pusat
kerajaan Langkat berada di sekitar Sungai Langkat, maka kerajaan ini akhirnya populer
dengan nama Kerajaan Langkat.
Tentang asal mula Kerajaan Langkat berdasarkan tambo Langkat mengatakan bahwa nama
leluhur dinasti Langkat yang terjauh diketahui ialah Dewa Syahdan yang hidup kira-kira
tahun 1500 sampai 1580.
Dewa syahdan digantikan oleh puteranya, Dewa Sakti yang memerintah kira-kira tahun 1580
10
sampai 1612. Dewa Sakti selanjutnya digantikan oleh Sultan Abdullah yang lebih dikenal
dengan nama Marhum Guri. Selanjutnya tambo Langkat mengatakan bahwa yang
menggantikan Marhum Guri adalah puteranya Raja Kahar (± 1673).
Raja Kahar adalah pendiri Kerajaan Langkat dan berzetel di Kota Dalam, daerah antara
Stabat dengan Kampung Inai kira-kira pertengahan abad ke-18. Berpedoman kepada tradisi
dan kebiasaan masyarakat Melayu Langkat, maka dapatlah ditetapkan kapan Raja Kahar
mendirikan Kota Dalam yang merupakan cikal bakal Kerajaan Langkat kemudian hari.
Setelah menelusuri beberapa sumber dan dilakukan perhitungan, maka Raja Kahar
mendirikan kerajaannya bertepatan tanggal 12 Rabiul Awal 1163 H, atau tanggal 17 Januari
1750. Perkembangan selanjutnya Kota Binjai pernah jadi Ibu kota Kabupaten Langkat hingga
pada saat ini Kabupaten Langkat beribukota Stabat, dan berdasarkan Perda Nomor 11 tahun
1995 telah ditetapkan Hari Jadi Kabupaten Langkat 17 Januari 1750, dengan Motto : ”Bersatu
Sekata Berpadu Berjaya”.
2.2 Gambaran Umum Kabupaten Langkat
Kabupaten Langkat merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di Provinsi Sumatera
Utara. Jarak rata-ratanya dari Kota Medan sekitar 60 km ke arah barat laut, dan berbatasan
langsung dengan Propinsi Nangroe Aceh Darussalam. Kabupaten Langkat beribukota di
Stabat.
Wilayah Kabupaten Langkat terletak pada koordinat 3°14’ - 4°13’ LU dan 97°52’ - 98°45’
BT dengan batas-batas wilayah sebagai berikut:
a. Sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka dan Propinsi Nangro Aceh
Darussalam (NAD)
b. Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Karo
c. Sebelah barat berbatasan dengan Propinsi Nangroe Aceh Darussalam dan Tanah Alas
11
d. Sebeleh timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang dan Kota Binjai.
Luas keseluruhan Kabupaten Langkat adalah 6,263.29 km² atau 626.329 Ha.
Berdasarkan informasi yang penulis peroleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten
Langkat, secara administratif terdapat dua puluh tiga Kecamatan yang ada di Kabupaten
Langkat .
Kecamatan-kecamatan yang terdapat di Kabupaten Langkat :
1. Kecamatan Kuala
2. Kecamatan Sei Bingai
3. Kecamatan Salapian
4. Kecamatan Bahorok
5. Kecamatan Serapit
6. Kecamatan Kutambaru
7. Kecamatan Selesai
8. Kecamatan Binjai :
9. Kecamatan Stabat
10. Kecamatan Wampu
11. Kecamatan Secanggang
12. Kecamatan Hinai
13. Kecamatan Padang Tualang
14. Kecamatan Batang Serangan
15. Kecamatan Sawit Seberang
16. Kecamatan Tanjung Pura :
17. Kecamatan Babalan
18. Kecamatan Gebang
19. Kecamatan Brandan Barat
12
20. Kecamatan Sei Lepan
21. Kecamatan Pangkalan Susu
22. Kecamatan Besitang
23. Kecamatan Pematang Jaya .
Berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2012, penduduk Kabupaten Langkat
mayoritas bersuku bangsa Melayu (70,87 persen), diikuti dengan suku Jawa (9,93 persen),
Karo (7,22 persen), Tapanuli/ Toba (2 persen), Madina (2 persen) dan lainnya (5,94 persen).
Sedangkan agama yang dianut penduduk Kabupaten Langkat mayoritas agama Islam (90,00
persen), Kristen 7,56 persen), Katolik (1,06 persen), Budha (0,95 persen) dan lainnya (0,34
persen).
2.2.1 Letak Lokasi Penelitian
Desa Raja Tengah merupakan tempat tinggal dari bapak Lape Sitepu, di lokasi tersebutlah
beliau membuka bengkel instrumennya dan hidup dengan keluarganya, tepatnya di Dusun
Nangka Lima, Kecamatan Kuala, Kabupaten Langkat. Berikut ini merupakan gambaran
umum mengenai Desa Raja Tengah. Desa Raja tengah memiliki luas wilayah 258 km².
berbatasan dengan:
Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Kampung Baru
Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Menjahong
Sebelah Barat berbatasan dengan Dalan Naman
Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Sei Bingei
2.3 Bahasa
Bahasa karo jahe adalah bahasa yang dipergunakan masyarakat Nangka lima sehari-hari
sebagai bahasa lisan untuk menyampaikan maksud dan tujuan di rumah maupun di luar
rumah dan dalam pergaulan sehari-hari. Bahasa karo yang digunakan sudah dipengaruhi
dengan kebudayaan Melayu, sehingga didaerah tersebut berbahasa Karo tetapi berdialeg
13
Melayu . Peranan bahasa karo jahe menunjukkan keberadaanya di tangah-tengah masyarakat,
di sekolah, upacara adat istiadat dan upacara agama.
2.4 Sistem Kekerabatan
Berikut adalah sistem kekerabatan di masyarakat Karo Jahe atau sering disebut Daliken
Sitelu atau Rakut Sitelu.
Secara etimologis, daliken Sitelu berarti tungku yang tiga (Daliken = batu tungku, Si =
yang, Telu = tiga). Arti ini menunjuk pada kenyataan bahwa untuk menjalankan kehidupan
sehari-hari, masyarakat tidak lepas dari yang namanya tungku untuk menyalakan api
(memasak). Lalu Rakut Sitelu berarti ikatan yang tiga. Artinya bahwa setiap individu Karo
tidak lepas dari tiga kekerabatan ini. Namun ada pula yang mengartikannya sebagai sangkep
nggeluh (kelengkapan hidup).
Unsur Daliken Sitelu ini adalah
1. Kalimbubu
2. Sembuyak/Senina
3. Anak Beru
Setiap anggota masyarakat Karo dapat berlaku baik
sebagai kalimbubu,senina/sembuyak, anakberu, tergantung pada situasi dan kondisi saat itu.
1. Kalimbubu
Kalimbubu adalah kelompok pihak pemberi wanita dan sangat dihormati dalam sistem
kekerabatan masyarakat Karo. Masyarakat Karo menyakini bahwa kalimbubu adalah
pembawa berkat sehingga kalimbubu itu disebut juga dengan Dibata Ni Idah(Tuhan yang
nampak). Sikap menentang dan menyakiti hati kalimbubu sangat dicela.
Kalau dahulu pada acara jamuan makan, pihak kalimbubu selalu mendapat prioritas utama,
para anakberu (kelompok pihak penerima istri) tidak akan berani mendahului makan
sebelum pihak kalimbubu memulainya, demikian juga bila selesai makan,
14
pihak anakberu tidak akan berani menutup piringnya sebelum pihak kalimbubunya selesai
makan, bila ini tidak ditaati dianggap tidak sopan. Dalam hal nasehat, semua nasehat yang
diberikan kalimbubu dalam suatu musyawarah keluarga menjadi masukan yang harus
dihormati, perihal dilaksanakan atau tidak masalah lain.
Oleh Darwan Prints, kalimbubu diumpamakan sebagai legislatif, pembuat undang-undang.
Kalimbubu dapat dibagi atas dua yaitu Kalimbubu berdasarkan tutur dan kalimbubu
berdasarkan kekerabatan (perkawinan).
1.Kalimbubu berdasarkan tutur
o Kalimbubu Bena-Bena disebut juga kalimbubu tua adalah kelompok keluarga
pemberi dara kepada keluarga tertentu yang dianggap sebagai keluarga pemberi
anak dara awal dari keluarga itu. Dikategorikan kalimbubu Bena-Bena, karena
kelompok ini telah berfungsi sebagai pemberi dara sekurang-kurangnya tiga
generasi.
o Kalimbubu Simajek Lulang adalah golongan kalimbubu yang ikut mendirikan
kampung. Status kalimbubu ini selamanya dan diwariskan secara turun temurun.
Penentuan kalimbubu ini dilihat berdasarkan merga. Kalimbubu ini selalu
diundang bila diadakan pesta-pesta adat di desa di Tanah Karo.
2. Kalimbubu berdasarkan kekerabatan (perkawinan)
Kalimbubu Simupus/Simada Dareh adalah pihak pemberi wanita terhadap generasi ayah,
atau pihak clan (semarga) dari ibu kandung ego (paman kandung ego).
(Petra : ego maksudnya orang, objek yang dibicarakan)
o Kalimbubu I Perdemui atau (kalimbubu si erkimbang), adalah pihak
kelompok dari mertua ego. Dalam bahasa yang populer adalah bapak mertua
berserta seluruh senina dan sembuyaknya dengan ketentuan bahwa si pemberi
15
wanita ini tidak tergolong kepada tipe Kalimbubu Bena-Bena dan Kalimbubu
Si Mada Dareh.
o Puang Kalimbubu adalah kalimbubu dari kalimbubu, yaitu pihak subclan
pemberi anak dara terhadap kalimbubu ego. Dalam bahasa sederhana pihak
subclan dari istri saudara laki-laki istri ego.
o Kalimbubu Senina. Golongan kalimbubu ini berhubungan erat dengan jalur
senina darikalimbubu ego. Dalam pesta-pesta adat, kedudukannya berada
pada golongan kalimbubuego, peranannya adalah sebagai juru bicara bagi
kelompok subclan kalimbubu ego.
o Kalimbubu Sendalanen/Sepengalon. Golongankalimbubu ini berhubungan
erat dengan kekerabatan dalam jalur kalimbubu dari senina sendalanen,
sepengalon (akan dijelaskan pada halaman-halaman selanjutnya) pemilik
pesta.
Ada pun hak kalimbubu ini dalam struktur masyarakat Karo :
o Dihormati oleh anakberunya
o Dapat memberikan perintah kepada pihak anakberunya
Tugas dan kewajiban dari kalimbubu :
o Memberikan saran-saran kalau diminta oleh anakberunya
o Memerintahkan pendamaian kepada anakberu yang saling berselisih
o Sebagai lambang supremasi kehormatan keluarga
o Mengosei anak berunya (meminjamkan dan mengenakan pakaian adat) di dalam
acara-acara adat
o Berhak menerima ulu mas, bere-bere (bagian dari mahar) dari sebuah
perkawinan, maneh-maneh (tanda mata atau kenang-kenangan) dari salah seorang
16
anggota anakberunya yang meninggal, yang menerima seperti ini
disebut Kalimbubu Simada Dareh.
Pada dasarnya setiap ego Karo, baik yang belum menikah pun mempunyai kalimbubu,
minimal kalimbubu si mada dareh. Kemudian bila ego (pria) menikah berdasarkan adat
Karo, dia mendapat kalimbubu si erkimbang.
2. Senina/Sembuyak
Hubungan perkerabatan senina disebabkan seclan, atau hubungan lain yang berdasarkan
kekerabatan. Senina ini dapat dibagi dua :
o Senina berdasarkan tutur yaitu senina semerga. Mereka bersaudara karena satu clan
(merga).
o Senina berdasarkan kekerabatan :
o Senina Siparibanen, perkerabatan karena istri saling bersaudara.
o Senina Sepemeren, mereka yang berkerabat karena ibu mereka saling
bersaudara, sehingga mereka mempunyai bebere (beru (clan) ibu) yang sama.
o Senina Sepengalon (Sendalanen) persaudaraan karena pemberi wanita yang
berbeda merga dan berada dalam kaitan wanita yang sama. Atau mereka yang
bersaudara karena satu subclan (beru) istri mereka sama. Tetapi dibedakan
berdasarkan jauh dekatnya hubungan mereka dengan clan istri. Dalam
musyawarah adat, mereka tidak akan memberikan tanggapan atau pendapat
apabila tidak diminta.
o Senina Secimbangen (untuk wanita) mereka yang bersenina karena suami
mereka sesubclan (bersembuyak).
Tugas senina adalah memimpin pembicaraan dalam musyawarah, bila dikondisikan
dengan situasi sebuah organisasi adalah sebagai ketua dewan. Fungsinya adalah sebagai
17
sekaku, sekat dalam pembicaraan adat, agar tidak terjadi friksi-friksi ketika akan
memusyawarahkan pekerjaan yang akan didelegasikan kepada anakberu.
Sembuyak adalah mereka yang satu subclan, atau orang-orang yang seketurunan
(dilahirkan dari satu rahim), tetapi tidak terbatas pada lingkungan keluarga batih, melainkan
mencakup saudara seketurunan di dalam batas sejarah yang masih jelas diketahui. Saudara
perempuan tidak termasuk sembuyak walaupun dilahirkan dari satu rahim, hal ini karena
perempuan mengikuti suaminya.
Peranan sembuyak adalah bertanggungjawab kepada setiap upacara adat sembuyak-
sembuyaknya, baik ke dalam maupun keluar. Bila perlu mengadopsi anak yatim piatu yang
ditinggalkan oleh saudara yang satu clan. Mekanisme ini sesuai dengan konsep sembuyak,
sama dengan seperut, sama dengan saudara kandung. Satu subclan sama dengan saudara
kandung.
Sembuyak dapat dibagi dua bagian :
1. Sembuyak berdasarkan tutur. Mereka bersaudara karena sesubklen
(merga).
2. Sembuyak berdasarkan kekerabatan, ini dapat dibagi atas:
o Sembuyak Kakek adalah kakek yang bersaudara kandung.
o Sembuyak Bapa adalah bapak yang bersaudara kandung.
o Sembuyak Nande adalah ibu yang bersaudara kandung.
3. Anak Beru
Anakberu adalah pihak pengambil anak dara atau penerima anak gadis untuk diperistri.
Oleh Darwan Prints, anakberu ini diumpamakan sebagai yudikatif, kekuasaan peradilan.
18
Hal ini maka anakberu disebut pula hakim moral, karena bila terjadi perselisihan dalam
keluarga kalimbubunya, tugasnyalah mendamaikan perselisihan tersebut.
Anakberu dapat dibagi atas 2:
1. Anakberu berdasarkan tutur :
o Anakberu Tua adalah pihak penerima anak wanita dalam tingkatan nenek
moyang yang secara bertingkat terus menerus
minimal tiga generasi.
o Anakberu Taneh adalah penerima wanita pertama, ketika sebuah kampung
selesai didirikan.
2. Anakberu berdasarkan kekerabatan :
o Anakberu Jabu (Cekoh Baka Tutup, dan Cekoh Baka Buka). Cekoh
Baka artinya orang yang langsung boleh mengambil barang
simpanankalimbubunya. Dipercaya dan diberi kekuasaan seperti ini karena
dia merupakan anak kandung saudara perempuan ayah.
o Anakberu Iangkip, adalah penerima wanita yang menciptakan jalinan
keluarga yang pertama karena di atas generasinya belum pernah mengambil
anak wanita dari pihak kalimbubunya yang sekarang. Anakberu ini disebut
juga anakberu langsung yaitu karena dia langsung mengawini anak wanita
dari keluarga tertentu. Masalah peranannya di dalam tugas-tugas adat, harus
dipilah lagi, kalau masih orang pertama yang menikahi keluarga tersebut, dia
tidak dibenarkan mencampuri urusan warisan adat dari pihak mertuanya.
Yang boleh mencampurinya hanyalah Anakberu Jabu.
o Anakberu Menteri adalah anakberu darianakberu. Fungsinya menjaga
penyimpangan-penyimpangan adat, baik dalam bermusyawarah maupun
19
ketika acara adat sedang berlangsung. Anakberu Menteri ini memberi
dukungan kepadakalimbubunya yaitu anakberu dari pemilik acara adat.
o Anakberu Singikuri adalah anakberu darianakberu menteri, fungsinya
memberi saran, petunjuk di dalam landasan adat dan sekaligus memberi
dukungan tenaga yang diperlukan.
Dalam pelaksanaan acara adat peran anakberu adalah yang paling penting. Anakberulah
yang pertama datang dan juga yang terakhir pada acara adat tersebut. Lebih lanjut tugas-
tugasnya antara lain :
o Mengatur jalannya pembicaraan runggu (musyawarah) adat.
o Menyiapkan hidangan pada pesta.
o Menyiapkan peralatan yang diperlukan pesta.
o Menanggulangi sementara semua biaya pesta.
o Mengawasi semua harta milik kalimbubunya yaitu wajib menjaga dan mengetahui
harta benda kalimbubunya.
o Menjadwal pertemuan keluarga.
o Memberi khabar kepada para kerabat yang lain bila ada pihak kalimbubunya
berduka cita.
o Memberi pesan kepada puang kalimbubunya agar membawa ose (pakaian adat)
bagi kalimbubunya.
o Menjadi juru damai bagi pihak kalimbubunya,
Anakberu berhak untuk :
o Berhak mengawini putri kalimbubunya, dan biasanya para kalimbubu tidak berhak
menolak.
20
o Berhak mendapat warisan kalimbubu yang meninggal dunia. Warisan ini berupa
barang dan disebut morah-morah atau maneh-maneh, seperti parang, pisau, pakaian
almarhum dan lainnya sebagai kenang-kenangan.
Selain itu juga karena pentingnya kedudukan anakberu, biasanya
pihak kalimbubu menunjukkan kemurahan hati dengan :
o Meminjamkan tanah perladangan secara cuma-cuma kepada anakberunya.
o Memberikan hak untuk mengambil hasil hutan (dahulu karena
pihak kalimbubu adalah pendiri kampung, mereka mempunyai hutan sendiri di
sekeliling desanya).
o Merasa bangga dan senang bila anak perempuannya dipinang oleh
pihak anakberunya. Ini akan melanjutkan dan mempererat hubungan
kekerabatan yang sudah terjalin.
o Mengantarkan makanan kepada anaknya pada waktu tertentu misalnya pada waktu
menanti kelahiran bayi atau lanjut usia.
o Membawa pakaian atau ose (seperangkat pakaian kebesaran adat) bagi
anakberunya pada waktu pesta besar di dalam clan anakberunya.
Adapun istilah-istilah yang diberikan kalimbubu, kepadaanakberunya adalah :
o Tumpak Perang, atau Lemba-lemba. Artinya adalah ujung tombak. Maksudnya,
bila kalimbubunya ingin pergi ke satu daerah, maka yang berada di depan sebagai
pengaman jalan dan sebagai perisai dari bahaya adalah pihakanakberu. Dalam
bahasa lain anakberu sebagai tim pengaman jalan.
o Kuda Dalan (Kuda jalan/beban). Dahulu sebelum ada alat transportasi hanya kuda,
untuk membawa barang-barang atau untuk menyampaikan informasi dari satu desa
ke desa lain, dipergunakanlah kuda. Arti Kuda Dalam dalam istilah ini adalah alat
atau kenderaan yang dipakai kemana saja, termasuk untuk berperang, untuk
21
membawa barang-barang yang diperlukan pihak kalimbubunya atau untuk
menyampaikan berita tentang kalimbubunya, dan sekaligus sebagai hiasan bagi
kewibawaan martabatkalimbubunya.
o Piso Entelap (pisau tajam). Dalam pesta adat atau pekerjaan adat pisau tajam
dipergunakan untuk memotong daging atau kayu api atau untuk mendirikan teratak
tempat berkumpul. Setiap anakberu harus memiliki pisau yang yang demikian agar
tangkas dan sempurna mengerjakan pekerjaan yang diberikankalimbubunya.
Menjadi kebiasaan dalam tradisi Karo, pisau dari pihak kalimbubu yang meninggal
dunia diserahkan kepada anakberunya. Pisau ini disebut maneh-maneh,
pemberiannya bertujuan agar pekerjaankalimbubu terus tetap dilanjutkan oleh
penerimanya. Dalam pengertian lain dalam acara-acara adat di dalam
keluarga kalimbubu, anakberulah yang menjadi ujung tombak pelaksanaan tugas
tersebut, mulai dari menyediakan makanan sampai menyusun acaranya. Ketiga
jenis pekerjaan di atas, dikerjakan tanpa mendapat imbalan materi apapun,
maka anakberu yang selalu lupa kepada kalimbubunya dianggap tercela di mata
masyarakat. Bahkan dipercayai bila terjadi sesuatu bencana di dalam lingkungan
keluarga dari anakberuyang melupakan kalimbubunya, ini dianggap sebagai
kutukan dari arwah nenek moyang mereka yang tetap melindungi kalimbubu.
2.5 Mata Pencaharian
Mata pencaharian masyarakat Karo Jahe sangat beragam, disesuaikan dengan
keahlian pribadi yang dimiliki oleh seseorang, dan tidak terbatas pada satu bidang saja.
Banyak warga Karo Jahe yang bekerja sebagai pedagang, petani, PNS (pegawai negeri sipil),
guru, pegawai swasta, dan lain-lain.
Dari hasil wawancara dengan bapak Lape Sitepu, bahwa beliau selain sebagai seorang
seniman juga sebagai seorang pekerja bangunan dan petani. Diakui oleh beliau, penghasilan
22
menjadi seorang pemusik di Kabupaten Langkat tidaklah mencukupi jika dibanding dengan
kebutuhan hidup saat ini, sehingga dengan dibantu penjualan instrumen musik yang
dilakukannya sedikit mampu meringankan beban ekonomi keluarganya.
2.6 Sistem Kesenian
Dalam musik instrumental ada beberapa instrumen yang lazim digunakan dalam
ansambel maupun disajikan dalam permainan tunggal, baik dalam kaitannya dalam upacara
adat, religi maupun sebagai hiburan.
Pada masyarakat Karo Jahe terdapat ensambel musik tradisional, yaitu ansambel
gendang Binge. Selain itu ada juga instrument musik tradisional yang digunakan secara
tunggal.
2.6.1 Ensambel Gendang Binge
Beberapa instrumen yang terdapat dalam ansambel gendang Binge adalah sebagai
berikut:
1. Sarune, kelompok aerophone yang memiliki reed tunggal (single reed)
dimainkan dengan meniup terus menerus.
2. Gendang Galang, kelompok membranofone klasifikasi frame drum
3. Gendang Kitik, kelompok membranofone klasifikasi frame drum
4. Gung, instrumen idiophone sebagai pembawa tempo (ketukan dasar).
2.7 Pengertian Biografi
Dalam disiplin ilmu sejarah biografi dapat didefenisiskan sebagai sebuah riwayat
hidup seseorang. Sebuah tulisan biografi dapat berbentuk beberapa baris kalimat saja, namun
juga dapat berupa tulisan yang lebih dari satu buku. Perbedaannya adalah, biografi singkat
hanya memaparkan tentang fakta-fakta kehidupan seseorang dan peranan pentingnya dalam
masyarakat. Sedangkan biografi yang lengkap biasanya memuat dan mengkaji informasi-
23
informasi penting, yang dipaparkan lebih detail dan tentu saja dituliskan dengan penulisan
yang baik dan jelas.
Sebuah biografi biasanya menganalisia dan menerangkan kejadian-kejadian pada
hidup seorang tokoh yang menjadi objek pembahasannya. Dengan membaca biografi,
pembaca akan menemukan hubungan keterangan dari tindakan yang dilakukan dalam
kehidupan seseorang tersebut, juga mengenai cerita-cerita atau pengalaman-pengalaman
selama hidupnya.
Suatu karya biografi biasanya becerita tentang kehidupan orang terkenal dan orang
tidak terkenal, dan biasanya biografi tentang orang yang tidak terkenal akan menjadikan
orang tersebut dikenal secara luas, jika didalam biografinya terdapat sesuatu yang menarik
untuk disimak oleh pembacanya, namun demikian biasanya biografi hanya berfokus pada
orang-orang atau tokoh-tokoh terkenal saja.
Tulisan biografi biasanya bercerita mengenai seorang tokoh yang sudah meninggal
dunia, namun tidak jarang juga mengenai orang atau tokoh yang masih hidup. Banyak
biografi yang ditulis secara kronologis atau memiliki suatu alur tertentu, misalnya memulai
dengan menceritakan masa anak-anak sampai masa dewasa seseorang, namun ada juga
beberapa biografi yang lebih berfokus pada suatu topik-topik pencapaian tertentu.
Biografi memerlukan bahan-bahan utama dan bahan pendukung. Bahan utama dapat
berupa benda-benda seperti surat-surat, buku harian, atau kliping koran. Sedangkan bahan
pendukung biasanya berupa biografi lain, buku-buku referensi atau sejarah yang memparkan
peranan subjek biografi tersebut.
Beberapa aspek yang perlu dilakukan dalam menulis sebuah biografi antara lain: (a)
Pilih seseorang yang menarik perhatian anda; (b) Temukan fakta-fakta utama mengenai
kehidupan orang tersebut; (c) Mulailah dengan ensiklopedia dan catatan waktu; (d)
24
Pikirkan, hal apa lagi yang perlu anda ketahui mengenai orang tersebut, bagian mana dari
cerita tentang beliau yang ingin lebih banyak anda utarakan dan tuliskan.
Sebelum menuliskan sebuah biografi seseorang, ada beberapa pertanyaan yang dapat
dijadikan pertimbangan, misalnya: (a) Apa yang membuat orang tersebut istimewa atau
menarik untuk dibahas; (b) Dampak apa yang telah beliau lakukan bagi dunia atau dalam
suatu bidang tertentu juga bagi orang lain; (c) Sifat apa yang akan sering penulis gunakan
untuk menggambarkan orang tersebut; (d) Contoh apa yang dapat dilihat dari hidupnya yang
menggambarkan sifat tersebut; (e) Kejadian apa yang membentuk atau mengubah kehidupan
orang tersebut; (f) Apakah beliau memiliki banyak jalan keluar untuk mengatasi masalah
dalam hidupnya; (g) Apakah beliau mengatasi masalahnya dengan mengambil resiko, atau
karena keberuntungan; (h) Apakah dunia atau suatu hal yang terkait dengan beliau akan
menjadi lebih buruk atau lebih baik jika orang tersebut hidup ataupun tidak hidup,
bagaimana, dan mengapa demikian.
Lakukan juga penelitian lebih lanjut dengan bahan-bahan dari studi perpustakaan atau
internet untuk membantu penulis dalam menjawab serta menulis biografi orang tersebut dan
supaya tulisan si peneliti dapat dipertanggungjawabkan, lengkap dan menarik. Terjemahan
Ary (2007) dari situs:
(www.infoplease.com/homework/wsbiography.html).
2.8 Alasan Dipilihnya Lape Sitepu
Dalam tulisan ini, penulis memilih Lape Sitepu sebagai objek penelitian, dikarenakan
beliau mampu memainkan dan membuat alat musik tradisional Karo Jahe diantaranya adalah:
(a) Beliau adalah satu-satunya orang yang dapat membuat gendang galang yang merupakan
alat musik tradisional Karo Jahe; (b) Beliau dapat memainkan alat musik tradisional Karo
Jahe dengan sangat baik; (c) Gendang galang hasil buatan Lape Sitepu banyak dipakai oleh
para masyarakat baik di dusun tempat Lape Sitepu tinggal ataupun di luar dusun tersebut; (d)
25
hasil karya beliau juga dikirim ke daerah-daerah lainnya seperti Bukit Lawang, Langkat,
Batang Serangan, Tanjung Pura, maupun dari tanah Karo sendiri. (e) pengalaman beliau yang
merupakan anak dari pembuat gendang galang pertama sekali yang membuat Lape Sitepu
menjadi orang yang lebih paham mengenai alat musik tradisional Karo Jahe.
Hal-hal tersebut penulis ketahui dari hasil percakapan/wawancara dengan Lape Sitepu
dan juga dari sudara-saudara, dan rekan-rekan. Peranan dan pengalaman beliau yang banyak
ini menjadi alasan ketertarikan penulis menemukan fakta-fakta mengenai kehidupan beliau,
dalam hal ini penulis lebih fokus kepada kehidupan beliau sebagai pembuat alat musik dan
lebih dikhususkan kepada instrumen musik gendang buatan beliau.
Melalui wawancara penulis akan mencatat kehidupannya berdasarkan dimensi waktu,
ide-ide kreatif beliau dalam pembuatan instrumen musik tradisional Karo Jahe, dalam hal ini
gendang galang adalah salah satu instrumen musik tradisional Karo Jahe dan juga akan
membahas bagaimana pengalaman hidup beliau, tanggapan masyarakat khususnya
masyarakat Karo Jahe mengenai bentuk instrumen musik tradisional Karo Jahe yang dibuat
oleh beliau yang sama sekali tidak ada perbedaan dengan yang terdahulu, khususnya pada
instrumen gendang galang, bagaimana pendapat orang mengenai dirinya, dan hal-hal lain.
2.9 Biografi Lape Sitepu
Biografi Lape Sitepu yang akan dideskrpsikan dalam tulisan ini, mencakup aspek-
aspek: latar belakang keluarga, pendidikan beliau, kehidupan sebagai pemusik, kehidupan
sebagai pembuat alat musik dan tanggapan masyarakat khususnya para masyarakat di
Langkat mengenai keberadaan Lape Sitepu, khususnya mengenai gendang galang buatan
beliau tersebut.
2.9.1 Latar Belakang Keluarga
Lape Sitepu lahir di desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, Kabupaten Langkat pada
tanggal 10 Oktober 1955, anak dari ayah bapak T. Sitepu dan ibu T. Ginting. Lape lahir dari
26
keluarga seniman musik tradisional Karo Jahe, dimana ayah beliau bapak T Sitepu adalah
seorang pemusik dan pembuat alat musik tradisional Karo Jahe yang terkenal se Langkat.
Latar belakang keluarga yang sedemikian rupa membuat Lape sudah sangat akrab dengan
musik tradisional Karo Jahe, baik dalam memainkan instrumen dan juga pembuatannya.
Profesi keseharian ayah beliau yang adalah pemain sekaligus pembuat instrumen
musik tradisional Karo Jahe, sering juga membuat Lape sering terlibat membantu ayahnya
dalam membuat alat musik juga dalam bermain musik, hal tersebutlah yang membuat Lape
menjadi sangat akrab dengan musik tradisional Karo Jahe dan menguasai banyak permainan
instrumen musik tradisional juga proses pembuatan nya.
Lape Sitepu merupakan anak pertama dari 4 bersaudara masing-masing adalah
sebagai berikut:
1. Lape Sitepu ( pembuat gendang, laki – laki )
2. Nor Sitepu ( perempuan )
3. Hemat Sitepu ( Laki – Laki )
4. Sedia Sitepu ( Laki – Laki )
2.9.2 Latar Belakang Pendidikan
Lape Sitepu hanya sempat menginjakkan dirinya di bangku SD di desa Raja tengah
pada Tahun 1961 dan itupun hanya kelas 1 SD saja. Setelah itu dia tidak melanjutkan
pendidikan apapun karena terkendala di biaya.
2.9.3 Berumah Tangga
Lape Sitepu menikah pada tanggal 10 Oktober 1984 dengan istrinya Arihta Ginting,
dari pernikahan mereka lahirlah 3 orang anak, 1 orang putra dan 2 orang putri, yaitu:
27
1. Pirak Sitepu (anak sulung, laki-laki)
2. Carina Sitepu (perempuan)
3. Lusiana Sitepu (perempuan)
Setelah menikah beliau memilih untuk berprofesi sebagai tukang bangunan dan
sekaligus sebagai pembuat alat musik tradisional Karo Jahe khususnya gendang galang di
rumah beliau yang beralamat di dusun Nangka Lima desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala,
Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.
2.10 Lape Sitepu Sebagai Pemusik Tradisional Gendang Galang Pada Masyarakat
Karo Jahe
Kemampuan bermusik khususnya musik tradisional Karo Jahe sudah dimiliki beliau
sejak masa kanak-kanaknya, dikarenakan latar belakang keluarga beliau yang merupakan
keluarga seniman musik tradisional Karo Jahe di Kabupaten Langkat, ayah beliau bapak
Terimbang Sitepu adalah seorang pemusik tradisional Karo Jahe yang terkenal di Kabupaten
Langkat, dan juga sebagai pembuat alat musik tradisional Karo Jahe yang juga terkenal di
sana. Kemampuan bermusik beliau sewaktu anak-anak tidak diragukan lagi terbukti dari
beberapa event yang diikuti di daerahnya.
Karir beliau sebagai pemusik tradisional gendang galang dimulai bersama saudaranya
Sedia Sitepu, dan mereka mulai bermain musik di beberapa acara-acara adat maupun acara-
acara seperti peresmian seperti gedung pemerintahan di binjai tahun 1995.
2.11 Lape Sitepu Sebagai Pembuat Alat Musik
Seperti yang telah dibahas di sub bab sebelumnya, bahwa latar belakang keluarga
banyak mempengaruhi dan membuat Lape Sitepu seorang yang piawai dalam bermain musik
tradisional Karo Jahe. Demikian juga halnya sebagai pembuat instrumen musik Karo Jahe.
Kemampuan dalam membuat instrumen musik tradisional masyarakat Karo Jahe
diperoleh bapak Lape Sitepu semenjak dia masih anak-anak, beliau sering membantu
28
ayahnya bapak Terimbang Sitepu dalam membuat instumen musik tradisional masyarakat
Karo Jahe. Berawal dari pengalaman hidup pada masa anak-anak tesebutlah yang terus
dikembangkan dan menjadi bekal bagi beliau untuk memulai karir beliau sebagai pembuat
instrumen musik tradisional pada masyarakat Karo Jahe.
Pada awal karirnya sebagai pembuat alat musik, sebenarnya diakui beliau adalah
didasari kebutuhan pribadi juga beberapa saudara kandungnya yang juga sebagai pemusik
tradisional pada masyarakat Karo Jahe, sehingga beliau membuat instrumen musik tradisional
tersebut seperti apa yang pernah dialami dan dipelajari beliau ketika bersama dengan
ayahnya. Sarune, gendang kitik, dan gung adalah jenis instrumen musik tradisional yang
sering dibuat oleh bapak Lape Sitepu , karena keempat instrumen tersebutlah yang kerap
digunakan oleh bapak Lape Sitepu dan saudaranya dalam setiap pertunjukan yang mereka
adakan maupun yang mengundang mereka untuk bermain musik tradisional. Dengan
seringnya instrumen musik tradisional buatan bapak Lape Sitepu tersebut ditampilkan di
beberapa acara-acara Kabupaten Langkat, maka hal tersebut lambat laun mulai diketahui oleh
pemusik tradisional Karo lainnya, dan merekapun mulai meminta kepada bapak Lape Sitepu
untuk dibuatkan juga instrumen musik serupa. Dari hasil penjualan instrumen tersebut
membuat Junihar tertarik untuk mulai menekuni karirnya sebagai pembuat instrumen musik
tradisional gendang galang pada masyarakat Karo Jahe.
29
BAB III : PERSPEKTIF , STRUKTUR DAN TEKNIK PEMBUATAN GENDANG
GALANG
3.1 Perspektif Masuknya Gendang Galang Ke Langkat
Pada tahun 1949 Indonesia mengesahkan dirinya menjadi Republik Indonesia Serikat
(RIS). Mulailah berdatangan para suku-suku karo gugung ke daerah Langkat dan mulai
bertempat tinggal dan melanjutkan hidup di Langkat. Banyaknya suku Karo yang mendiami
daerah Langkat sehingga menjadikan mereka disebut “karo Jahe”.
Budaya yang sama baik dalam segi bahasa, acara adat, dll, sehingga para suku karo
yang ada saat mengadakan acara-acara tertentu pasti menggunakan setiap nilai-nilai
kebudayaannya baik tata cara maupun alat musik yang digunakan dalam setiap acara tersebut.
Ada beberapa alat musik karo yang digunakan dalam setiap acara adat suku karo
seperti : serune, gong, gendang kitik dan gendang galang. Dan dalam setiap acara adat yang
dilakukan semua alat musik ini harus lengkap. Seperti halnya dibawah akan dibahas
mengenai salah satu alat musik karo yang merupakan objek penelitian bagi peneliti yaitu
gendang galang.
Awal pertama sekali gendang galang itu diperkenalkan kepada warga suku karo yang
yaitu oleh bapak Terimbang Sitepu yang merupakan orang tua dari bapak Lape Sitepu yang
menjadi informan penelitian. Lebih kurang gendang galang ini diperkenalkan oleh bapak
Terimbang Sitepu sejak 100 tahun yang lalu. Namun pada masyarakat di Langkat gendang ini
diperkenalkan oleh bapak Lape Sitepu setahun setelah dia pindah ke Langkat pada tahun
1953.
Gendang galang ini dipergunakan untuk setiap acara-acara yang dilakukan oleh para
suku karo seperti : acara pernikahan, masuk rumah baru, memindahkan tulang-belulang para
leluhur, upacara agama, dll. Gendang galang juga menjadi sesuatu yang dianggap berbau
30
mistik oleh para suku karo dikarenakan mereka mempercayai bahwa saat memainkan alat
musik tersebut yang memainkannya adalah para leluhur mereka dan tidak sembarangan orang
dapat memainkannya. Namun ada juga yang berpendapat seperti yang diutarakan oleh bapak
Kebal Kaban bahwa dalam memainkannya si pemain juga harus merasakan emosi dari lagu
yang dimainkan.
Seiring berjalannya waktu, bapak Lape Sitepu semakin terkenal namanya sebagai
pemain alat musik karo yaitu pada tahun 1958, yang menyebabkan banyak orang yang
mengenal dia hingga akhirnya ada 6 orang yang memesan alat musik karo untuk dia buat
seperti : Gendang galang atau serune. Dan bahkan dia memberikan 3 teman terdekatnya
masing-masing 1 alat musik karo.
Masyarakat sekitar baik yang bersuku karo ataupun tidak (pendatang seperti jawa,
melayu, dll) menerima keberadaan Gendang galang dikarenakan mereka mengerti
bahwasanya itu merupakan bagian dari seni budaya yaitu budaya karo. Dan bahkan diantara
suku-suku yang lain ada yang menyukai salah satu alat musik karo tersebut yaitu Gendang
galang.
31
3.2 Struktur dan Ukuran Gendang Galang
3.2.1 Struktur Gendang Galang
Berikut struktur atau bagian-bagian gendang galang :
Kulit / Membran
Bingke Atas
Baloh
Nali
Palu-palu Bingke bawah
Gambar 1.Struktur Gendang Galang
3.2.1.1 Kulit/Membran
Kulit atau membran terbuat dari kulit napoh / kancil. Biasanya menggunakan kulit
kancil yang berusia sekitar usia 1 – 2 tahun. Tidak hanya usia, dari jenis kelamin kancil, kulit
kancil yang digunakan baiknya kulit kancil betina karena dibandingkan kulit kancil jantan
memiliki kulit yang tebal sehingga dengan menggunakan kulit yang tipis, bunyi yang
dihasilkan lebih nyaring.
32
Gambar 2. Kulit napoh
Kulit napoh yang digunakan bapak Lape sitepu biasanya diperoleh dari masyarakat di
desa Marike yang masih membudidayakan kancil. Satu ekor kancil, kulitnya hanya bisa
menghasilkan satu membran saja.
Sebelum kulit napoh tersebut dijemur, kulit harus dibersihkan, membuang daging maupun
lemak-lemak yang menempel pada kulit bagian dalam kulit napoh agar memudahkan dalam
membului kulit napoh nantinya. Setelah bersih, kulit napoh tersebut di jemur sampai kering
agar tidak menimbulkan bau amis.
3.2.1.2 Baloh
Baloh adalah resonator/badan gendang yang terbuat dari batang nangka atau cempedak.
Bahan yang digunakan bapak Lape Sitepu adalah batang nangka, beliau menggunakan batang
pohon nangka karena menurut beliau batang nangka mempunyai daya tahan yang lebih lama
dan mempunyai suara yang lebih bagus dibandingkan pohon nangka cempedak. Dalam
pemilihan bahan yang digunakan, bapak Lape memilih untuk menggunakan batang nangka
yang sudah tua. Batang nangka yang tua menurut beliau, pohon kelapa yang sudah berusia ±
10 tahun. Satu batang pohon kelapa dapat menghasilkan 5 unit gendang.
33
Gambar 3.Baloh
Beliau memilih batang nangka yang tua karena menurut beliau dapat menghasilkan bunyi
yang lebih bagus. Beliau lebih mementingkan kualitas bunyi dan daya tahan gendang
buatannya sekalipun ia menyadari bahwa batang pohon nangka yang muda dalam proses
pengerjaannya lebih menghemat waktu dibandingkan batang pohon nangka yang tua. Batang
pohon nangka yang muda masih mengandung getah, hal ini dapat merusak membran
gendang.
Dalam pembuatan diameter gendang, bapak Lape sitepu menggunakan jangka yang
beliau buat sendiri dengan paku dan bambu, dimana paku tersebut ditancapkan ditengah kayu
nangka dan bambu tersebut yang dikenal dengan istilah ‘r’ (jari-jari). Setelah lingkaran
gendang dibentuk, batang pohon tersebut mulai dikerjakan melalui tahap kasar dan halus.
34
Gambar 4. Batang Pohon Nangka
Tahap kasar yakni menggunakan gergaji mesin untuk membentuk sisi luar dan dalam
gendang. Pada tahap ini alat yang digunakan berupa gergaji kayu , parang dan martil.
Kemudian tahap halus,mengunakan pahat, ketam dan kertas pasir.
.
(I) (II)
35
(III) (IV)
(V) (VI )
(VII) (VIII)
(IX)
36
(X) (XI)
(XII)
Gambar 5. Proses pembuatan baloh
Keterang .ngan :
(I) Pohon nangka diukur menggunakan meter untuk menentukan ukuran panjang
baloh.
(II) Batang nangka dipotong menggunakan gergaji mesin.
37
(III) Setelah batang nangka dipotong mengunakan gergaji mesin, maka batang nangka
dipotong menggunakan parang untuk mendapatkan bentuk kasar baloh.
(IV) Bentuk kasar baloh setelah dipotong
(V) Membuat ukuran jangka untuk diameter atas dan bagian bawah baloh
mengunakan bambu dan paku. Paku ditancapkan di tengah diameter atas baloh.
(VI) Bambu diputar bersamaan dengan pensil searah jarum jam untuk mendapatkan
ukuran diameter bagian atas baloh.
(VII) Membuat ukuran diameter bawah baloh
(VIII) Bentuk kasar baloh dilubangi menggunakan bor dari bagian atas tepat dimana
paku tadi ditancapkan.
(IX) Bentuk lubang setelah dibor
(X) Setelah dilubangi menggunakan bor maka lubang tersebut diperbesar
menggunakan pahat.
(XI) Sisi luar dihaluskan dengan ketam agar memperoleh bentuk luar yang diinginkan
(XII) Bentuk baloh
3.2.1.3 Bingkei
Bingkei terbuat dari bambu yang berfungsi sebagai pengikat antara membran dan baloh.
Bingkei yang dibuat dalam ini ada dua bingke atas dan bingke bawah. Biasanya bapak Lape
Sitepu menggunakan jenis bambu tua untuk membuat bingkei bagian atas dan bawah
gendang. Menurut beliau bambu yang lebih tua bisa menghasilkan bunyi yang lebih nyaring
dan lebih kuat dibandingkan bambu muda.
Dalam membuat bingke, bambu dibelah menjadi dua dan kemudian diiris atau dihaluskan
sampai lentur hingga membentuk lingkaran. Kemudian bambu tersebut diikat menggunakan
tali agar bambu tersebut kuat.
38
(a) (b)
(c) (d)
(e) (f)
Gambar 6. Proses pembuatan bingke, (a) Bambu dibelah, (b) Bambu dihaluskan, (c)
Membuat ikatan menggunakan tali rafia, (d) mengikat bingke dengan ikatan pertama sebagai
penahan awal bingke, (e) ikatan kedua hingga ikatan seterusnya sampai ikatan ketujuh belas
(f) hasil
39
3.2.1.4 Nali
Nali terbuat dari kulit lembu, kemudian dibentuk seperti tali yang berfungsi sebagai
pengetat bingkei atas dan bawah beserta baloh. Nali pun berfungsi sebagai penyetem
gendang sehingga membuat membran semakin ditarik dan membranpun makin ketat serta
warna suara yang dihasilkan lebih nyaring.
(i) (ii)
(iii) (iv)
40
(v)
Gambar 7. Proses pembuatan nali
Keterangan :
( i) Kulit Lembu
(ii) Mengukur diameter kulit lembu menggunakan baskom
(iii) Kulit lembu berdiamter 33 cm
(iv) Kulit dikikis hingga berbentuk tali
(v) Hasil
3.2.1.5 Palu – palu
Palu – palu terbuat dari kayu nangka, berfungsi sebagai alat pemukul yang digunakan bapak
Lape Sitepu untuk memainkan alat musik gendang galang tersebut.
(A) (B)
(C)
41
Gambar 8. Proses pembuatan palu – palu, (A) batang nangka dipotong 17 cm
berdiameter 1 cm, (B) Dihaluskan dengan amplas / kertas pasir, (C) Hasil
3.3 Ukuran Gendang galang
3.3.1 Ukuran Kulit /Membran
Ukuran kulit atau membran yang dibutuhkan untuk membuat gendang adalah lebih besar
dari diameter badan gendang/resonator gendang. Tujuannya agar kulit yang dilebihkan itu
dapat dipakai untuk menutup bingkei nantinya.
Gambar 9. Kulit Sebagai Membran
3.3.2 Ukuran Baloh
Baloh mempunyai bagian atas yang nantinya dilapisi oleh kulit berdiameter 33 centimeter
dengan ketebalan 0.5 cm dan tinggi 36 cm. Ukuran diameter bagian bawah baloh 10 cm.
42
Gambar 10. (a) Ukuran tinggi baloh Gambar 10. (b) Ukuran diameter atas baloh
Gambar 10 (c) Ukuran tebal dinding baloh Gambar 10 (d) Ukuran diameter bawah baloh 3.3.3 Ukuran Bingkei
3.3.3.1 Bingke Atas
Bingkei atas mempunyai diameter yang lebih besar dibandingkan dengan bingke bagian
bawah. Bingkei atas berukuran lebih besar daripada badan gendang karena bingkei ini
berfungsi sebagai sumber utama penghasil bunyi.
36 cm
33 cm
0.5 cm 10 cm
43
Gambar 11. (a) Ukuran Bingke Atas 3.3.3.2 Bingke Bawah
Bingkei bawah mempunyai diameter yang lebih kecil dibandingkan dengan bingke
bagian atas. Bingkei bawah berukuran lebih kecil daripada badan gendang karena bingkei ini
hanya berfungsi sebagai penjaga agar kulit tidak mudah renggang.
Gambar 11. (b) Ukuran Bingke Bawah . 3.3.4 Ukuran Nali
Kulit lembu dipotong sehingga membentuk lingkaran yang mempunyai diameter
berukuran 38 cm . Kemudian Kulit lembu diiris sehingga menghasilkan panjang 8 m nali.
33,5 cm
10.5 cm
44
Gambar 12. (a) ukuran diameter kulit Gambar 12.(b) ukuran diameter nali
Gambar 12. (c) Panjang nali
3.3.5 Ukuran Palu Palu berukuran sekitar 7 cm.
Gambar 13. Ukuran palu
7 cm
38 cm
0.5cm
8 M
45
3.4 Bahan Baku Yang Dipergunakan
Berikut bahan baku yang digunakan dalam membuat gendang galang yakni :
3.4.1 Kayu Nangka
Kayu nangka digunakan sebagai badan/resonator gendang. Pada umumnya yang
digunakan untuk membuat resonator gendang tersebut adalah bahagian bawah batang pohon
nangka.
Dalam pemilihan bahan untuk membuat resonator gendang, batang pohon yang
digunakan baiknya batang pohon yang sudah tua karena memiliki daya tahan yang kuat dan
menghasilkan ruang akustik yang bagus. Batang pohon nangka yang tua juga memiliki
kelemahan, dalam pengerjaannya yang memakan waktu yang lama dan resonatornya bisa
retak.
3.4.2 Kulit Kancil
Kulit kancil adalah bahan yang digunakan untuk membuat membran gendang. Kulit
kancil sering juga disebut kulit napoh pada masyarakat Karo Jahe. Kulit yang digunakan
baiknya mempunyai ketebalan yang tipis. Kulit napoh yang tipis dapat diperoleh dari kulit
napoh betina, dibandingkan kulit napoh jantang yang lebih tebal.
3.4.3 Kulit Lembu
Kulit Lembu adalah bahan yang digunakan untuk pengikat antara resonator dengan
membran gendang. Kulit lembu biasanya diperoleh dari peternakan yang ada di sekitar desa
Raja Tengah. Bapak Lape Sitepu juga terkadang memanfaatkan acara kurban di sekitar desa
Raja Tengah sehingga beliau tidak perlu mengeluarkan biaya untuk mendapatkan kulit lembu
tersebut.
3.4.4 Bambu
Bambu digunakan oleh bapak Lape Sitepu untuk sebagai bahan pembuat bingke. Bambu
tersebut diperoleh dari hutan kemudian dipotong dan dikikis sehingga bisa dilenturkan dan
46
menjadi bentuk lingkaran. Setelah berbentuk lingkaran, maka bambu tersebut diikat
menggunakan tali rafia agar kuat dan tidak gampang lepas.
3.5 Peralatan yang dipakai
3.5.1 Gergaji mesin Digunakan untuk memotong pohon nangka yang akan digunakan untuk bahan pembuatan gendang galang. Gergaji ini digunakan dalam tahap kasar.
Gambar 14. Gergaji mesin
3.5.2 Kikir
Kikir adalah alat yang digunakan untuk mempertajam suatu benda seperti Gergaji. Kikir ini digunakan bapak Lape sitepu untuk mempertajam mata gergaji untuk pembuatan gendang galang.
Gambar 15. Kikir 3.5.3 Pahat
47
Pahat adalah alat berupa bilah besi yg tajam pada ujungnya untuk melubangi atau
mengukir kayu. Bapak Lape Sitepu menggunakan pahat ini untuk mengikis dan memahat
batang pohon nangka untuk membuat resonator gendang.
Gambar 16v. Pahat 3.5.4 Pisau
Pisau adalah bilah besi tipis dan tajam yg bertangkai sebagai alat pengiris bahan dalam pembuatan gendang. Alat ini digunakan beliau untuk mengikis badan gendang dan membuat jangka yang terbuat dari bambu sebagai alat pengukur diameter baloh.
Gambar 17. Pisau
48
3.5.5 Parang Parang adalah pisau besar (lebih besar daripada pisau biasa, tetapi lebih pendek daripada
pedang), yang digunakan untuk memotong bahan dalam pembuatan gendang. Alat ini
digunakan beliau tahap kasar dalam pembuatan baloh.
\ Gambar 18. Parang 3.5.6 Bor Terbuat dari besi yang digunakan beliau untuk membuat lubang resonator pada batang nangka.
Gambar 19. Bor 3.5.7 Palu kayu Terbuat dari kayu nangka yang digunakan untuk memukul pahat untuk melubangi kayu nangka sebagai lubang resonator pada gendang.
49
Gambar 20. Palu kayu 3.5.8 Ketam Ketam adalah alat yang terbuat dari besi yang digunakan untuk melicinkan kayu. Ketam ini
digunakan bapak Lape Sitepu untuk melicinkan bagian luar dari badan gendang. Alat ini
digunakan pada tahap kasar dalam pembuatan gendang.
Gambar 21. Ketam 3.5.9 Gergaji kayu Gergaji adalah sejenis alat yang digunakan untuk memotong sesuatu. Alat ini digunakan bapak Lape Sitepu untuk memotong batang pohon nangka yang digunakan dalam pembuatan gendang galang.
50
Gambar 22. Gergaji Kayu
3.5.10 Pensil Pensil adalah alat tulis yang ujungnya lunak, dipakai untuk menulis di kertas. Bapak Lape Sitepu menggunakan Pensil Sebagai penanda dalam pembuatan gendang.
Gambar 23. Pensil 3.5.11 Meter
Meter adalah alat yang berfungsi sebagai alat ukur dengan satuan dasar ukuran panjang 39,37 inc. Meteran digunakan ketika pengukurun bahan-bahan yang dibutuhkan oleh bapak Lape Sitepu.
51
Gambar 24. Meter 3.5.12 Amplas
Amplas (disebut juga kertas pasir) adalah sejenis kertas yang digunakan untuk membuat
permukaan benda-benda menjadi lebih halus dengan cara menggosokkan salah satu
permukaan amplas yang telah ditambahkan bahan yang kasar kepada permukaan benda
tersebut. Amplas atau kertas pasir dipakai pada tahap kerja halus pada pembuatan gendang.
Gambar 25. Amplas 3.6 Teknik Pembuatan Gendang
Dalam pembuatan gendang, bapak Lape Sitepu tidak mengunakan tenaga mesin. Beliau
menggunakan kemampuannya dan alat seadanya untuk membuat alat musik ini. Berikut tahap
pembuatan gendang galang oleh bapak Lape Sitepu di Desa Raja Tengah.
52
Prosedur Kerja Pembuatan Gendang galang no 1. Pemilihan bahan a. Kulit napoh betina yang berusia 1-2 tahun dan
sudah pernah melahirkan. b. Batang nangka yang tua yang sudah berumur 5
tahun atau ketinggian pohon kelapa tersebut minimal mencapai 5 meter dari permukaan tanah.
c. Kulit Lembu d. Bambu
2. Membentuk bagian-bagian gendang
a. Membran bulu pada kulit napoh harus dibersikan dan dikikis dengan menggunakan pisau.
b. Membuat ukuran diameter baloh dengan menggunakan jangka yang dibuat dari bambu dan paku. Paku tersebut kemudian ditancapkan ke titik tengah diameter batang nangka dan pensil sebagai pembuat lingkaran gendang.
Tahap selanjutnya pengerjaan kasar dengan menggunakan alat seperti parang, bor, pahat untuk membuat baloh. Tahap terakhir yakni pengerjaan halus dengan menggunakan kertas pasir atau amplas dan kemudian dipernis agar badan gendang kelihatan menarik. c. Bingke, terbuat dari bambu yang dibelah dua
dan dihaluskan dengan pisau dan diikat menggunakan tali rafia.
d. Nali terbuat dari kulit lembu yang diiris hingga benbentuk seperti tali.
e. Palu –palu terbuat dari batang nangka 3 Teknik pembuatan
gendang galang a. Di atas baloh ditaruh membran. b. Kemudian, bingkei atas yang terbuat dari bambu
menjepit sisi baloh sehingga kulit terjepit. c. Memasang nali pada membran dan diikatkan
pada bingke bawah. d. Mengikat secara simetris agar keketatan
membran terjaga. 3.6.1 Membuat Membran
Pada tahap membuat membran atas gendang, bingke akan dilapisi dengan kulit napoh.
Terlebih dahulu kulit direndam, agar kulit lentur dan mudah diatur. Kemudian bingke dilapis
dengan kulit tersebut dan dijemur sekitar satu malam. Setelah dijemur kulit tersebut menyatu
dan mengikat sendirinya dengan bingke. Kemudian tahap selanjutnya pada kulit membran
53
dibuat lubang sebanyak sepuluh lubang untuk tempat nali sebagai pengikat dengan bingke
bawah gendang.
(a) (b)
(c)
Gambar 26. Proses Membuat Membran
Setelah letak dan posisi membran sudah tepat melapisi baloh, maka bingkei yang terbuat
dari bambu digunakan sebagai penjaga kerenggangan kulit. Bingkei tersebut menjepit kulit
dan badan gendang, nali dimasukkan kedalam lubang ditarik dengan tangan agar kulit
semakin ketat. Semakin ketat kulit di tarik maka bunyi gendang akan lebih nyaring nantinya.
Sebelum diikat, silek dimasukkan diantara membran dan baloh agar membran tidak
renggang .
54
Gambar 27. Memasukkan Silek
3.6.2 Mengiket
Setelah keketatan gendang sudah terjaga, maka proses selanjutnya adalah mengiket. Cara
mengiket yakni, lobang, masukkan nali, tarik nali, melilit nali begitulah seterusnya. Cara
melobang yang dimaksud adalah melobangi diantara kulit dan bingkei. Setelah itu dilobangi
kulitnya menggunakan bambu dan nali pun dimasukkan ke lobang tersebut. Setelah nali
masuk, nali ditarik dan dililitkan ke bingkei bawah. Cara melilitnya, simpei dimasukkan dari
sisi pinggir bingke atas, kemudian nali masuk melalui sisi dalam bingkei bawah. Dilanjutkan
dengan menarik ujungnali dan dimasukkan kecelah yang bingke atas dan begitu seterusnya.
( 1 ) ( 2 )
silek
55
( 3 ) ( 4 )
( 5 )
Gambar 28. Proses mengiket Keterangan:
1. Nali masuk dari lobang membran dalam bingke atas, dan keluar dari membran luar.
2. Nali keluar dari membran luar bingke atas, dan masuk dari bagian luar membran
bingke bawah.
3. Nali keluar dari bagian dalam membran bingke bawah masuk ke bagian luar membran
bingke atas. Begitu seterusnya sampai nali masuk ke semua lubang.
4. Setelah semua nali memasuki lubang maka nali satu persatu ditarik agar ketat.
5. Pada lubang terakhir, ujung nali diikatkan pada bingke atas agar tidak renggang lagi.
56
Setelah selesai, gendang dijemur sekitar dua hari pada siang hari agar gendang betul –
betul kering dan dapat menggahsilkan suara yang nyaring.
3.7 Klasifikasi Alat Musik
Dalam mengklasifikasikan instrumen gendang galang, penulis mengacu kepada teori yang
dikemukakan oleh Sachs dan Horn Bostel (1914), yaitu: sistem pengklasifikasian alat musik
berdasarkan sumber penggetar utama bunyi. Sistem klasifikasi ini terbagi menjadi empat bagian yang
terdiri dari: idiofon (alat itu sendiri sebagai sumber penggetar utama bunyi), membranofon (kulit
sebagai sumber penggetar utama bunyi), aerofon (udara sebagai sumber penggetar utama bunyi), dan
kordofon (senar sebagai sumber penggetar utama bunyi).
Berdasarkan teori di atas, gendang galang dapat dimasukkan dalam klasifikasi
membranofon. Di dalam klasifikasi ini, curt sach memperhatikan bentuk dari membrnofon itu
sendiri dan membaginya ke dalam: cylindrycal drums, barrel drums, conical drums,
hourglass drums, footed drums, goblet drums, kettle drums, handle drums, dan frame drum.
Melihat dari bentuknya, gendang galang dapat dimasukkan dalam klasifikasi frame drum.
Frame drum adalah bentuk gendang yang ketebalan badannya relatif lebih kecil dari diameter
membran penghasil bunyi yang diikat di atas badan alat musik tersebut.
Dari ketebalan gendang, Curt Sacs membagi dalam kedua kategori yakni, gendang
berbingkai tebal dan berbingkai tipis. Gendang berbingkai tebal adalah ketebalan badan
gendang melebihi seperempat dari diameter membrannya. Sedangkan gendang berbingkai
tipis adalah gendang yang ketebelan badan gendangnya kurang dari seperempat dari diameter
membaran. Berdasarkan kategori ketebalan badan gendang, gendang galang dapat
dikategorikan gendang berbingkai tipis.
57
BAB IV
TEKNIK MEMAINKAN DAN FUNGSI MUSIK GENDANG GALANG PADA
MASYARAKAT KARO JAHE
Pada bab ini, penulis mendiskusikan kajian dari gendang galang. Penulis akan membahas
mengenai, warna bunyi dari gendang galang, teknik pukulan, posisi memainkan, dan pola
dasar ritem gendang galang.
4.1 Posisi Memainkan
Gambar 29. Posisi Memainkan
Inilah posisi dalam memainkan gendang Galang, menjepitkan gendang dengan kedua
belah paha dalam posisi duduk bersila. Posisi gendang dibuat miring agar memudahkan
dalam memainkan gendang.
58
4.2 Warna Bunyi
Setiap suku bangsa mempunyai persepsi yang berbeda terhadap bunyi yang dianggap
musikal maupun cara menghasilkan bunyi tersebut (Merriam, 1964: 3). kondisi yang
menyebabkan penulis mengalami kesulitan dalam mengukur bunyi mana yang dianggap
benar-benar musikal dan yang dianggap tidak musikal oleh masyarakatnya.
Setelah penulis mengamati persepsi masyarakat Karo Jahe mengenai warna bunyi dari
gendang galang, ternyata persepsi mereka berdasarkan onomatope. Onomatope adalah kata
atau sekelompok kata yang menirukan bunyi-bunyi dari sumber yang digambarkannya
dengan kata lain penamaan berdasarkan peniruan bunyi. Tidak ada satu ketentuan yang baku
dan bisa dipakai sebagai pedoman yang tetap dalam memainkan gendang ini.
Ada berbagai versi mengenai warna bunyi yang dihasilkan oleh gendang galang, menurut
bapak Kebal Kaban menyatakan warna bunyi gendang ini ada dua, yakni warna “tih” dengan
memukul bagian pinggir gendang dan warna bunyi “tang” dengan memukul bagian tengah
gendang.
Penyaji Warna Bunyi
Bpk. Lape Sitepu Tang Tih - -
Selanjutnya dari bapak Lape Sitepu, beliau menyatakan ada 4 warna bunyi yang
dihasilkan oleh gendang galang yakni, “tang”, “tih”, “dum”, “tik”.
Penyaji Warna Bunyi
Bpk. Kebal Kaban dum tang tih tik
Warna bunyi “tang” dihasilkan jika memukul bagian tengah membran gendang dengan
pelan menggunakan stik pemukul gendang. Warna bunyi “tih” dihasilkan jika memukul
bagian pinggir gendang / bingke gendang dengan pelan . warna bunyi “dum” dihasilkan jika
memukul di bagian tengah membran gendang dengan keras. Warna bunyi “tik” dihasilkan
59
jika memukul bagian pinggir gendang / bingke gendang dengan keras. Dinamika memukul
dengan stik pemukul gendang ini yang mempengaruhi perbedaan suara dari alat musik
tersebut.
Gambar 30a Tehnik memukul dengan satu stik
Gambar 30b tehnik memukul dengan dua stik
60
Sekalipun penulis menyadari bahwa mendeskripsikan satu bunyi ke dalam tulisan adalah
tidak mungkin, namun dengan mendeskripsikan letak stik dan permukaan gendang yang
dipukul mampu memberikan gambaran kepada pembaca. Penulis juga menyadari bahwa
sekalipun deskripsi memukul gendang ini dipraktekkan oleh orang yang tidak tahu bermain
gendang, belum tentu dapat mewakili bunyi yang diharapkan kecuali ada alat bantu seperti
kaset rekaman yang bisa dijadikan orientasi bunyi atau belajar langsung dengan bimbingan
seorang guru.berikut letak tangan yang mengahasilkan warna bunyi secara keseluruhan dalam
satu gendang.
bunyi dum
bunyi tih bingkei
bunyi tang
bunyi tik
4.3 Pola Ritem Gendang Galang
Yang dimaksud penulis pola ritem disini ialah pola irama dari gendang galang yang
dimainkan ketika mengiringi baik tari maupun lagu. Dalam menganalisis pola ritem, penulis
melakukan pendekatan yang dikemukakan oleh netll (1964) yakni: dalam menganalisis ritem
maka hal-hal yang perlu diperhatikan adalah pola dasar ritem, repetisi, dan variasi dari pola
dasar ritem.
Untuk menjelaskan hal yang dikemukakan oleh netll penulis menggunakan teknik
transkripsi análisis. Transkripsi adalah proses penotasian bunyi, mengalihkan bunyi menjadi
simbol visual (Nettl, 1964 : 98). Pentranskripsian bunyi musik merupakan suatu usaha untuk
mendeskripsikan musik, yang mana hal ini merupakan bagian penting dalam disiplin
etnomusikologi.
61
Dalam mentranskripsikan pola ritem gendang galang, penulis menggunakan notasi Barat.
Adapun alasan penulis memilih sistem notasi barat karena sistem notasi barat sangat cocok
untuk menunjukkan nilai ritmis dari setiap nada. Lebih dari pada itu simbol-simbol yang
terdapat dalam sistem notasi barat bersifat fleksibel, artinya untuk menyatakan sebuah nada
yang sulit untuk ditranskripsikan dapat dibubuhkan atau ditambahkan simbol lain sesuai
dengan kebutuhan yang penulis inginkan.
Sebagai bahan transkripsi pola dasar ritem penulis mengambil dua lagu, yakni lagu doah
– doah dan jambe gunung tinggi dengan dua orang penyaji yakni bapak Lape Sitepu dan
Kebal Kaban. Alasan penulis mengambil dua lagu tersebut karena memilki pola ritem dasar
yang berbeda dan melihat variasi yang terjadi dari setip lagu pola ritemnya. Dalam
penyajiannya gendang ini dimainkan bersama dengan sarune dan gung. Gendang dimainkan
tidak bersamaan masuknya dengan sarune maupun gung dalam satu komposisi repertoar.
Tidak ada ketentuan kapan dimulainya memainkan gendang dalam komposisi namun sejauh
pengamatan penulis gendang mulai dimainkan setelah sarune main sudah 2 bar pada
komposisi.
Variasi-variasi yang muncul dari siklus pola ritem dasar, baik di lagu doah – doah
maupun lagu jambe gunung tinggi , variasi ini bisa lebih berkembang dari variasi yang
dikemukakan penulis, karena tiap pemain gendang mempunyai suasana hati yang berbeda
antara satu pemain dengan yang lain. Semakin profesioanal seorang musisi itu maka semakin
banyak variasi yang bisa dimainkan. Variasi yang dibuat penulis hanya menunjukkan adanya
variasi yang muncul dari repetisi pola dasar ritem lagu yang disajikan.
62
4.3.1 Pola ritem dasar gendang galang pada lagu lambat :
4.3.2 Pola ritem dasar gendang galang pada lagu cepat :
Keterangan :
Dum tang tih tik
Diolah menggunakan software sibelius
4.4 Fungsi Musik Gendang galang
Dalam menuliskan fungsi gendang galang, maka penulis mengacu pada teori Alan P.
Merriam, yaitu:
...use then refers to the situation in which is employed in human action: function concern the reason for its employment and particulary the brodader purpose which is serves... (1964:210)
63
Dari kalimat di atas, dapat diartikan bahwa use (penggunaan) menitikberatkan pada masalah
situasi atau cara yang bagaimana musik itu digunakan, sedangkan function (fungsi) yang
menitikberatkan pada alasan penggunaan atau menyangkut tujuan pemakain musik itu
mampu memenuhi kebutuhan manusia itu sendiri. Penulis juga menuliskan beberapa fungsi
gendang galang sebagai tujuan dan akibat yang timbul dari penggunaan yang telah disebutkan
di atas, maka dapat ditelusuri melalui fungsi-fungsi antara lain sebagai berikut:
4.3.1 Fungsi Pengungkapan Emosional
Fungsi pengungkapan perasaan dapat dituangkan dengan berbagai cara sebagai
pengungkapan emosional karena dapat dilakukan sebagai hiburan pribadi, dikarenakan
instrumen gendang galang merupakan instumen musik yang khas dari masyarakat Karo Jahe
di Kabupaten Langkat, banyak orang dari perantauan yang mengakui bahwa ketika melihat
instrumen ini dapat meningatkannya akan kampung halamannya, dan bahkan mampu juga
untuk mengobati kerinduannya tersebut, terlebih jika gendang galang tersebut dimainkan atau
diperdengarkan oleh seorang yang mampu memainkannya, yang diakui mampu membawa
kita ke suasana kampung halaman. Dari uraian pengalaman tersebut. Penulis mengamati
bahwa bentuk fisik maupun lantunan musik yang dilahirkan dari permainan gendang galang
bisa menjadi ungkapan perasaan bagi orang yang memiankan gendang galang, demikian juga
dengan orang yang menyaksikan dapat juga terpengaruh oleh permainan gendang galang
tersebut.
4.3.2 Fungsi Hiburan
Gendang galang juga dapat berfungsi sebagai sarana hiburan, dikarenakan gendang galang
juga dapat dimainkan secara bersama sarune, gendang kitik, dan gung. Gendang galang yang
sering difungsikan untuk mengiringi tarian, dan nyanyian yang sering ditampilkan dalam
pertunjukan yang bersifat hiburan pada masyarakat Karo Jahe di kabupaten Langkat.
64
4.3.3 Fungsi Kesinambungan Budaya
Ensambel gendang Binge merupakan kesenian masyarakat Karo Jahe yang sampai saat ini
tetap dipertahankan penggunaannya pada setiap upacara dan terpelihara di tengah-tengah
masyarakat pemiliknya terutama di daerah kabupaten Langkat.
Dengan mengikutsertakan gendang ini dalam setiap upacara, misalnya: upacara perkawinan,
khitanan, memasuki rumah baru, memindahkan tulang-belulang leluhur, dan upacara agama
yang akan menjadikannya tetap terpelihara.
4.3.4 Fungsi Pengintegrasian Masyarakat
Masyarakat Karo Jahe di kabupaten Langkat memiliki perkumpulan masyarakat,
perkumpulan masyarakat ini menggunakan ensambel gendang Binge untuk mengiringi
upacara peresmian suatu lembaga tertentu, ataupun hari besar nasional maupun hari besar
agama. Dan gendang galang menjadi sebuah instrumen musik yang kerap digunakan dalam
ensambelnya untuk mengiringi acara-acara tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa adanya
suatu kesatuan atau komunitas masyarakat Karo Jahe di kabupaten Langkat.
4.3.5 Fungsi Perlambangan
Gendang galang adalah alat musik pukul masyarakat Karo Jahe yang memiliki kateristik
tersendiri. Secara umum gendang galang dengan gendang kitik pada masyarakat Karo Jahe
mempunyai bentuk yang sama yakni frame drum, namun gendang galang memiliki ukuran
yang berbeda dengan gendang kitik. Masyarakat dapat mengenal dan membedakan kedua
gendang ini menjadikan gendang galang sebagai perlambangan.
4.3.6 Fungsi Reaksi Jasmani
Gendang galang dalam ensambel gendang Binge yang digunakan untuk mengiringi tarian
yang sebagian gerakannya adalah gerakan yang dinamis yang kerap membuat para penarinya
bergerak indah.
65
4.3.7 Fungsi Pengesahan Lembaga Sosial dan Upacara Agama
Fungsi pengesahan lembaga sosial dan upacara agama dimana ensambel gendang Binge
digunakan dalam upacara agama, upacara perkawinan, peresmian suatu tempat,
organisasi/lembaga maupun individu.
4.3.8 Fungsi Penghayatan Estetis
Suatu keindahan dapat dituangkan dalam bunyi-bunyian yang dihasilkan dari perpaduan
instrumen-instrumen musik dalam gendang galang , yang tertuang melalui permainan ritem
maupun melodi yang dapat dinikmati oleh pemusik itu sendiri maupun pendengarnya.
66
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Peranan ilmu Etnomusikologi sangat penting mengangkat suatu konsep dalam sistem
musikal disetiap etnis di dunia ini. Seperti pada masyarakat Karo Jahe di Kabupaten Langkat
menggunakan pendekatan onomatope dalam menggambarkan warna bunyi gendang galang.
Pendekatan lainnya dalam pengklasifikasian alat musik gendang galang, gendang ini dapat
diklasifikasikan ke dalam frame drum, tujuan pengklasifikasian ini memudahkan
persmuseuman dalam pengklasifikasian alat musik.
Dalam proses pembuatan gendang galang, bapak Lape Sitepu masih menggunakan tenaga
dan kemampuannya. Mulai dari pemilihan bahan baku yang digunakan dalam pembuatan
gendang ini, beliau sangat telaten dan lebih mementingkan kualitas suara dan ketahanan
gendang sekalipun beliau mengetahui memakan waktu yang cukup lama. Beliau mempunyai
kiat-kiat tersendiri dalam membuat gendang tersebut.
Ritem yang dimainkan dalan setiap lagu pada masyarakat Karo Jahe di Kabupaten
Langkat dan ritem setiap lagu memiliki pola dasar yang dimainkan secara konstan hingga
akhir komposisi lagu, ternyata ritem tersebut ketika penyajiannya menghasilkan ritem yang
mengisi celah ritem yang kosong, ritem saling yang mengisi itu adalah variasi, variasi ini
terjadi secara spontan dan tidak dapat dipelajari, variasi ini muncul dari suasana hati pemusik.
5.2 Saran
Penelitian yang penulis lakukan masih dalam tahap kecil namun bermanfaat bagi
masyarakat pendukung kebudayaan serta pihak departemen pemerintahan yang mengemban
tugas menjaga dan melestarikan budaya nusantara. Kiranya penelitian ini membuka jalan
untuk penelitian berikutnya. Mungin kendala yang akan dialami peneliti berikutnya adalah
67
sulitnya memperoleh informasi dari informan-informan di lapangan. Sejauh pengamatan
penulis, usia dari para narasumber dan tokoh-tokoh adat yang menguasai kesenian dan
budaya dari masyarakat Karo Jahe.
Pemerintah sedang gencar-gencarnya melestarikan budaya nusantara, kiranya bukan
hanya budayanya saja diperhatiakan tetapi, memperhatikan kehidupan para informan dan
penggiat seni tradisonal karena tidak sedikit dari terlupakan. Habis manis sepah dibuang
ibaratnya kata mereka akan diri mereka sendiri. Maksudnya, ada festival atau karnaval
budaya pemerintah sibuk mencari penggiat seni, apapun cara dilakukan pemerintah untuk
memikat hati penggiat seni. Tetapi lewat massa festival/karnaval budaya dan penggiat seni
tesebut dilupakan.
68
DAFTAR PUSTAKA
Bangun, Payung, 1993. “ Kebudayaan Batak” dalam Manusia dan Kebudayaan Indonesia
(koentjaraningrat : ed). Jakarta, Penerbit Jembatan ( hal 94 – 117 ) Prinst, Darwan, 2004. Adat Karo, Medan, Bina Media Perintis Hornbostel, Erich M. Von and Curt Sach, 1961. Clasification of Musical Instrument.
Translate From Original Jerman by Antoni Brims and Klons P. Wachsman 1961
Hood, Mantle, 1982. The Etnhomusicologist, New Edition Kent. The Kent State University
Press
Khasima, Susumu, 1978. Ilustrasi dan Pengukuran Instrumen Musik. Terjemahan Rizaldi
Siagian
Koentjaraningrat, 1997. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta, Aksara Baru
Meriam, Alan P. 1995. Antropology of music. Bloomington, Indiana: University Press
Moleong, L.J, 1990. Penelitian Metodologi Kualitatif, Jakarta, Rosda Karya Pusat Pembinaan Bahasa, 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta, Penerbit Balai
Pustaka
Nettle,Bruno. 1964.Theory and Method in Etnomusicology. The Free Press of Glencoe.
69
DAFTAR INFORMAN
Nama : Lape Sitepu Usia : 57 tahun Pekerjaan : Petani / pembuat gendang galang Alamat : Desa Nangka Lima, Kabupaten Langkat Nama : Carinta Sitepu Usia : 30 tahun Pekerjaan : Petani ( anak dari bapak Lape Sitepu ) Alamat : Desa Nangka Lima, Kabupaten Langkat Nama : Kebal Kaban Usia : 88 tahun Pekerjaan : Pekerja seni musik tradisional Karo Langkat
Alamat : Desa Baguldah
Nama : Massa Ginting Usia : 52 tahun
Pekerjaan : Pemuka adat tradisional Karo Langkat
Alamat : Desa Baguldah
Top Related