KAJIAN ORGANOLOGIS GENDANG RAPA I BUATAN BAPAK … · Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji...

102
i KAJIAN ORGANOLOGIS GENDANG RAPAI BUATAN BAPAK FAJAR SHIDDIQ YANG DIGUNAKAN DALAM PERTUNJUKAN RAPAI MUSIK DI DESA KAYE LEUE, ACEH BESAR SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN O L E H RIZKY RIANTORY SYAHREZA NIM : 070707018 DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2013

Transcript of KAJIAN ORGANOLOGIS GENDANG RAPA I BUATAN BAPAK … · Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji...

i

KAJIAN ORGANOLOGIS GENDANG RAPA’I BUATAN BAPAK

FAJAR SHIDDIQ YANG DIGUNAKAN DALAM PERTUNJUKAN

RAPA’I MUSIK DI DESA KAYE LEUE, ACEH BESAR

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN

O

L

E

H

RIZKY RIANTORY SYAHREZA

NIM : 070707018

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2013

ii

KAJIAN ORGANOLOGIS GENDANG RAPA’I BUATAN BAPAK

FAJAR SHIDDIQ YANG DIGUNAKAN DALAM PERTUNJUKAN

RAPA’I MUSIK DI DESA KAYE LEUE, ACEH BESAR

SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN

O

L

E

H

RIZKY RIANTORY SYAHREZA

NIM : 070707018

Pembimbing I, Pembimbing II,

DRS. FADLIN, M.A. ARIFNI NETRIROSA, SST, M.A.

NIP. 196102201989031003 NIP. 196502191994032002

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya USU Medan, untuk memenuhi

salah satu syarat Ujian Sarjana Seni dalam bidang ilmu Etnomusikologi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI

MEDAN

2013

iii

Abstrak

Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji organologis gendang Rapa’i buatan Bapak Fajar Shiddiq di

desa Kaye Leue, Aceh Besar. Penelitian dilakukan dengan metode penelitian kualitatif, pengamatan

terlibat, wawancara dan fotografi. Teori yang digunakan adalah teori fungsional dan struktural Susumu

Kashima. Hasil yang diperoleh adalah sebagai berikut. Gendang Rapa’i adalah Instrumen Musik

Membranofon yang memiliki single head (satu sisi). Gendang Rapa’i termasuk kepada klasifikasi Frame

Drums yang berbentuk bulat, terbuat dari kayu Ceuradieh dan dipukul langsung menggunakan tangan

(drums struck directly). Rapa’i pada umumnya dimainkan secara berkelompok dengan anggota minimal

4 orang. Tulisan ini merupakan penelitian secara mendalam mengenai proses pembuatan dan teknik

memainkan dari Instrumen Rapa’i khususnya yang digunakan dalam pertunjukan Rapa’i Musik juga

eksistensi Instrumen tersebut serta deskripsi Instrumen dengan pendekatan struktural dan fungsional.

iv

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,

Segala puji dan syukuar penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena tanpa limpahan

Kasih dan RahmatNya lah penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini. Tak lupa Sholawat dan salam

kepada junjungan Nabi Muhammad SAW yang berkat kasih sayang beliau kita dapat merasakan

indahnya dunia ini.

Skripsi ini berjudul “Kajian Organologis Gendang Rapa’i Buatan Bapak Fajar Shiddiq

Yang Digunakan Dalam Rapa’i Musik di Desa Kaye Leue, Aceh Besar”. Skripsi ini diajukan

sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Seni pada Departemen Etnomusikologi Fakultas

Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini banyak hambatan yang penulis

rasakan. Begitu juga dengan kejenuhan yang membuat penulis bosan dalam menyelesaikan

skripsi ini. Namun, berkat orang-orang yang ada di sekitar penulis, membuat penulis kembali

semangat untuk menyelesaikan skripsi ini.

Pada kesempatan ini penulis ingin mempersembahkan skripsi ini dan mengucapkan

terimakasih kepada orang tua yang sangat saya cintai, My ”GodMother” ibunda Zaitun dan

Ayahanda Restu Sentosa. Terimakasih buat segala cinta kasih serta ketulusan kalian sehingga

saya bisa seperti sekarang, terimakasih buat perhatian yang tak pernah putus-putus khususnya

selama pengerjaan skripsi ini, terimakasih buat motivasi-motivasi yang kalian berikan sehingga

saya tetap semangat dalam menyelesaikan skripsi ini, terimakasih buat doa-doa yang kalian

persembahkan sehingga saya selau emndapat kelancaran dalam pengerjaan Skripsi ini. Penulis

juga mengucapkan rasa terimakasih kepada saudara tercintaku Aldino Akbary Syahreza dan

Arief Ramadhan Syahreza dan Semua keluarga Besar NOERJALI. Terimakasih buat doa dan

semangat yang telah kalian berikan kepada saya.

v

Penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada yang terhormat Bapak Dr. Syahron Lubis,

M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya USU Medan.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat Bapak Drs. M. Takari,

M.Hum, Ph.D, sebagai Ketua Jurusan Etnomusikologi. Kepada yang terhormat Ibu Drs.

Heristina Dewi, M.Pd selaku sekretaris Jurusan Etnomusikologi.

Kepada yang terhormat Bapak Drs. Fadlin M.A dosen pembimbing I yang telah

membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih untuk

nasehat-nasehat, ilmu serta pengalaman yang telah bapak berikan selama saya berkuliah.

Kiranya Allah SWT selalu membalaskan semua kebaikan yang Bapak berikan.

Kepada yang terhomat Ibu Arifni Netrirosa S.St. M. A.. dosen pembimbing II yang telah

membimbing dan memberikan masukan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih

untuk perhatian, ilmu dan semua kebaikan yang ibu berikan. Semoga Allah SWT membalas semua

kebaikan Ibu.

Kepada yang terhormat Bapak Drs. Irwansyah Harahap selaku dosen pembimbing akedemik penulis

selama perkulihan, terimakasih atas bimbingan dan motivasi yang bapak berikan.

Kepada seluruh dosen di departemen Etnomusikologi, Bapak Prof. Mauly Purba, M.A.,Ph.D, Bapak

Drs. Torang Naiborhu, M.Hum, M.A., Ibu Drs. Rithaony Hutajulu, M.A., Bapak Drs. Kumalo Tarigan,

M.A., Bapak Bebas Sembiring M,Sim, Ibu Dra. Frida Deliana, M.Si, Bapak Drs. Perikuten Tarigan,

M.Si., Bapak Drs. Dermawan Purba, M.Si, terimakasih yang sebesar-besarnya kepada bapak-ibu sekalian

yang telah membagikan ilmu dan pengalaman hidup bapak-ibu sekalian. Sungguh ucapan terimakasih

yang sebesar-besarnya saya ucapkan karena telah belajar dari orang-orang hebat seperti bapak-ibu

sekalian. Biarlah kiranya ilmu yang saya dapatkan dari bapak-ibu sekalian bisa saya aplikasikan dalam

kehidupan dan pendidikan selanjutnya. Biarlah Allah SWT membalaskan semua jasa-jasa bapak-ibu

sekalian

Terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Fajar Shiddiq dan keluarga yang banyak memberikan

informasi dalam tulisan skripsi ini serta bersedia menjadi informan kunci, sehingga data yang diperoleh

mendukung penulisan skripsi ini, dan terima kasih penulis uycapkan kepada Gustri putra beserta keluarga

vi

yang telah banyak membantu selama penulis mengadakan penelitian dan kepada Bang Zul ”Kande”,

Bang Bagus, Bang Zul ”Ayah”, Pak Emi Taman Budaya Banda Aceh, bang Rizal Rifa’i, kak Fara

’KODA”, bang Made ”Made in Made”yang telah memberikan banyak informasi dan saran yang

membangun selama penulis melakukan penelitian di Banda Aceh. Kebaikan abang-abangdan kakak-

kakak sekalian tidak akan penulis lupakan.

Kepada teman-teman seangkatan penulis yakni Etno ’07, Adi, Excel, Atman, Fuad, Jaya, Jakob ,

Vendy, Bonggud, Batoan, Kiki, Imes, Arah, Bery dan Winka terimakasih telah menjadi bagian hidup

penulis, kebersamaan yang kita jalin selama ini menjadi memori indah yang tak terlupakan bagi penulis.

Terimakasih teman-teman.

Terima kasih kepada keluarga kecilku : Zube, Riri, Toyib, Goppaz dan Taufik yang selalu

menyemangati penulis. Kalian Adik-adik terbaik. Dan tak lupa terima kasih kepada teman-teman dari

Youth Jazz Comunity dan NYFARA FOUNDATION yang selalu mengisnpirasi penulis.

Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis menyadari masih belum sempurna, oleh karena itu penulis

mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis berharap agar

skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca dan dapat memberikan sumbangan bagi ilmu

pengetahuan dalam bidang Etnomusikologi.

Medan, Juli 2013

Penulis,

Rizky Syahreza

070707018

DAFTAR ISI

vii

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI v

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR TABEL x

BAB I PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang Permasalahan…....................................... 1

1. 2 Pokok Permasalahan....................................................... 5

1. 3 Tujuan dan Manfaat Penelitian........................................ 6

1. 4 Konsep dan Teori........................................................... 7

1. 4. 1 Konsep........................................................... 7

1. 4. 2 Teori.............................................................. 9

1. 5 Metode Penelitian........................................................... 11

1. 5. 1 Studi Kepustakaan............................................ 12

1. 5. 2 Kerja Lapangan................................................ 12

1. 5. 2. 1 Wawancara........................................... 13

1. 5. 3 Kerja Laboratorium.......................................... 14

1. 5. 4 Lokasi Penelitian.............................................. 14

BAB II GAMBARAN UMUM DESA KAYE LEUE

2. 1 Letak Geografis Lokasi Penelitian.................................... 15

2. 2 Penduduk dan Bahasa..................................................... 19

2. 3 Mata Pencaharian........................................................... 23

2. 4 Sistem Kekerabatan........................................................ 25 2. 5 Kepercayaan dan Adat Istiadat......................................... 25

BAB III EKSISTENSI DAN FUNGSI RAPA’I 3. 1 Eksistensi Rapa’i pada

Masyarakat Aceh di Desa Kaye Leue.................................. 29

3. 2 Rapa’i Musik.................................................................. 40

3. 2. 1 Biografi Bapak Fajar Shiddiq................................ 43

3. 3 Penggunaan dan Fungsi Rapa’i......................................... 47

3. 3. 1 Penggunaan......................................................... 47

3. 3. 1. 1 Kebudayaan Material............................. 48

3. 3. 1. 2 Bahasa.................................................. 48

3. 3. 2 Fungsi................................................................. 49

3. 3. 2.1 Fungsi Komunikasi................................. 49

3. 3. 2.2 Fungsi Hiburan …………………….…..…50

3. 3. 2.3 Fungsi Upacara Keagamaan …….….….…50

3. 3. 2.4 Fungsi Pengintegrasian Masyarakat …...…51

BAB IV KAJIAN STRUKTURAL DAN FUNGSIONAL GENDANG RAPA’I BUATAN

BAPAK FAJAR SHIDDIQ YANG DIGUNAKAN DALAM RAPA’I MUSIK

4. 1 Klasifikasi Rapa’i…………………………………………... 52 4. 2 Konstruksi Bagian-Bagian Rapa’i………………………….. 53

4. 2. 1 Baloh……………………………………………………... 53 4. 2. 2 Babah/Paleung…………………………………...… 54

4. 2. 3 Bingke/Geup………………………………………... 55

4. 2. 4 Bohgrik ……………………………………………. 56

4. 2. 5 Kulit……………………………………..…………. 57 4. 2. 6 Cidak……………………………………………….. 60

viii

4. 3 Ukuran Bagian-Bagian Rapa’i………………………….…. 62

4. 3.1 Ukuran Bagian Baloh………...……………………… 62

4. 3. 2 Ukuran Bagian Babah/Paleung………………...… 64

4.3.3 Ukuran Bagian Kulit………………………………… 66 4.3.4 Ukuran Bagian Geup/bingke………………………… 67

4.3.5 Ukuran Bagian Bohgrik/Kerincing………………….. 67

4. 4 Bahan-Bahan Untuk Membuat Rapa’i…………………….. 68 4. 4. 1 Kayu Ceuradieh…………………………………….. 68

4. 4. 2 Kulit Kambing……………………...………………. 70

4. 4. 3 Kuningan atau Logam yang ditipiskan……………... 70 4. 4 4 Kawat……………………………………………….. 71

4. 4. 5 Besi batangan…………………………………….…. 72

4. 4 6 Rotan (Sidak)………………………………………. 73

4. 4. 7 Kain (Untuk Pasak)………………………………… 73 4. 5 Alat-Alat yang Digunakan dalam Proses Pembuatan Rapa’i. 73

4. 5. 1 Mesin Bubut…………………………………….….. 73

4. 5. 2 Gergaji Mesin………………………………………. 74 4. 5. 3 Mesin Grenda………………………………………. 74

4. 5. 4 Bor…………………………………………………. 75

4. 5. 5 Gunting Pelat………………………………………. 76 4. 5. 6 Obeng…………………………………………,…… 76

4. 5. 7 Alat Pemasangan Kulit Rapa’i……,……………….. 76

4. 5. 8 Obeng Besar (Untuk Mendorong kulit)……………. 77

4. 5. 9 Palu……………………………………………...… 77 4. 5. 10 Kunci Pas 19 dan Kunci Ring 19…………………. 77

4. 5. 11 Mata Pisau Bubut (Merapikan Pinggiran

dan Melubangi Baloh) .…………………………… 78 4. 5. 12 Meter (Alat ukur) …………………….………..… 78

4. 5. 13 Kertas amplas ………………………………….…. 78

4. 5. 14 Travo las ………………………………..………… 78

4. 6 Proses Pembuatan Rapa’i ………………………….……… 78 4. 6.1 Pembuatan Baloh…………………………………... 79

4.6.1.1 Memotong pohon ………………………… 80

4. 6.1.2 Membubut Baloh………………………..… 82 4. 6. 1.3 Menghaluskan Baloh ………………..…… 83

4. 6.2 Membentuk Babah …………………………...…… 83

4.6.2.1 Melubangi Baloh ……………………..…… 83 4.6.2.2 Menghaluskan Babah ……………………… 84

4.6.3 Membuat Bingke/geup ………………….……… 84

4.6.3.1 Membengkokan besi untuk geup…………… 85

4.6.3.2 Menghaluskan geup/bingke………………… 86 4.6.4 Membuat Bohgrik…………………………………. 87

4.6.5 Membuat Bagian Kulit……..………………………… 88

4.6.5.1 Pemasangan Kulit………………………….. 89 4. 7 Tahap Penyempurnaan …………….……………………… 91

4. 8 Kajian Fungsional…………………………………………. 92

4. 8 . 1 Teknik Memainkan Rapai ……………………… 92

4. 8. 2 Teknik Memproduksi Bunyi …………….……… 94 4. 8. 2. 1 Dum ……………………………..……… 94

4. 8. 2. 2 Preng ………………………………….… 94 4. 8. 2. 3 Breuk ……………………………….…… 95

4. 8. 2. 4 crik ……………………………………… 95

4. 9 Contoh Pola Ritem pada Pertunjukan Rapa’i Musik………. 96

ix

BAB V PENUTUP

5. 1 Kesimpulan……………………………………………..…….. 87

5. 2 Saran………………………………………………………….. 88

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Gendang Rapa’i………………………………………....8

Gambar 2. Rumoh Aceuh……………………………………….…. 18

Gambar 3 dan 4. Gambar baloh……………………………………. 54

Gambar 5. Bagian babah yang dihaluskan…………………………. 55

Gambar 6. Besi batangan yang digunakan untuk bingke................ 56

Gambar 7. Kerincing/ Bohgrik…………………………………….. 57

Gambar 8. Kulit kambing yang telah dijemur…………………...… 58

Gambar 9. Kulit kambing yang dihaluskan dengan grenda…….…. 58 Gambar 10. Kulit kambing setelah digrenda(dihaluskan)…………. 59

Gambar 11. kulit kambing yang telah kering dan bersih dari bulu… 59 Gambar 12. Kulit yang direndam di air kapur…………………...… 60

Gambar 13. Bagian-bagian Rapa’i………………………….……… 61

Gambar 14. Bagian Baloh memiliki diameter 40 cm.................... 62 Gambar 15. Bagian Baloh memiliki tinggi 8,5 cm………………… 63

Gambar 16. Bagian Baloh memiliki tebal 3 cm............................. 63

Gambar 17. Bagian Babah memiliki kedalaman 9 cm…..………… 64 Gambar 18. Bagian Babah memilik diameter 37 cm………………. 65

Gambar 19. Bagian Babah memiliki tebal 3 cm…………………… 65

Gambar 20. Bagian Kulit memiliki diameter 46 cm………………. 66

Gambar 21. Bagian Babah memiliki tebal 3 cm…………………… 67 Gambar 22. Pohon Ceuradieh/Keranji……………...……………… 69

Gambar 23. Kulit kambing jantan………………………………..… 70

Gambar 24. bahan dasar untuk membuat bohgrik…………………. 71 Gambar 25. kawat…………….……………………………………. 71

Gambar 26. Besi batangan yang dibengkokkan menggunakan palu. 72

Gambar 27. Mesin bubut………………………………………….. 74

Gambar 28. Mesin grenda……….………………………………… 75 Gambar 29. Bor……………………………………………………. 75

Gambar 30. Alat pemasangan Kulit……………………………….. 76

Gambar 31. Palu…………………………………………………... 77 Gambar 32 dan 33. mengukur pohon dan memotong pohon….….. 81

Gambar 34 dan 35. membuat bakal baloh………………………… 81

Gambar 36. membentuk lekukan baloh…….……………………… 82 Gambar 37 dan 38 : membentuk garis pada baloh…………………. 83

Gambar 39. membentuk babah…………………………………….. 84

Gambar 40. Proses menghaluskan bagian babah………………….. 85

Gambar 41,42 dan 43. proses pembuatabn geup/bingke…..………. 86 Gambar 46 dan 47. proses pembuatan kulit………………………... 88

Gambar 48. proses pembuatan kulit………………………………... 89

Gambar 49. proses pemasangan kulit………………………...…… 89 Gambar 50,51,52,53,54,55,56 dan 57 : proses pemasangan kulit…. 90

Gambar 58. proses tuning………………….………………………. 91

Gambar 59. .proses membuat ukiran………………………………. 92 Gambar 60. Posisi biasa………………………….………………... 92

Gambar 61. Posisi geleng……………………………….…………. 93

Gambar 62.Posisi sembah…………….……………………………. 93

Gambar 63. Bunyi Dum……………….…………………………… 94 Gambar 64. Bunyi Preng………….……………………………….. 94

Gambar 65. Bunyi Breuk………………………………………….. 95

x

Gambar 66. Bunyi Crik……………………….……………………. 95

Gambar 67. Penulis bersama Bapak Fajar Shiddiq saat mencari

kayu di daerah Lampaku………………………………. 101

Gambar 68. Penulis bersama Bapak Fajar Shiddiq………………… 101

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Jumlah Penduduk Berdasarkan Pembagian Lingkungan…. 21

Tabel 2. Jumlah Penduduk Berdasarkan Pekerjaan sehari-hari….… 24

Tabel 3. Klasifikasi Instrumen Gendang Rapa’i…………………… 52 Tabel 4. Tahapan pengerjaan Rapa’i………………….…………… 78

DAFTAR INFORMAN 102

DAFTAR PUSTAKA ` 103

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masyarakat Aceh dikenal sebagai masyarakat yang memiliki beragam kesenian tari dan

musik. Kesenian – kesenian tersebut baik kesenian tari maupun musik menggunakan beberapa alat

musik tradisional, salah satunya adalah Rapa’i. Gendang yang namanya berasal dari nama tasawuf

Ahmad Rifa’i1. Rapa’i dapat juga diartikan sebagai salah satu nama untuk instrumen pukul (sejenis

gendang) yang terbuat dari pohon ceuradi (asal kata ceuradieh (bahasa Aceh) yang berarti pohon

keranji yaitu pohon yang sangat tinggi dan buahnya berwarna hitam) yang sudah tua. Badan pohon

yang telah dibelah dijadikan badan Rapa’i. Kayu yang telah dibelah akan dibentuk menjadi bulatan

dan dilubangi bagian tengahnya. Badan rapa’i yang telah dilubangi ini disebut baloh (Baloh (bahasa

Aceh) atau Paloh yaitu kerangka kayu yang merupakan badan rapai). Bagian depan baloh ditutup

dengan kulit kambing sedangkan bagian belakang baloh dibiarkan terbuka. Kulit kambing diikat

dengan dengan bingke/bingkai yang terbuat dari bambu. Namun sebelum diikat, pada bagian dalamnya

dipasang sidak (rotan yang berfungsi untuk mengencangkan kulit membran gendang). Setelah

pemasangan kulit, Rapa’i juga dipasangi Anegrik/bohgrik (menyerupai kerincing) yaitu logam berupa

pelat yang dipasang pada badan Rapa’i.

Oleh masyarakat Aceh, Rapa’i sebagai salah satu alat musik tradisional juga digunakan

sebagai alat untuk menyampaikan dakwah Islamiyah yang mana di dalam permainannya terdapat syair

dan lagu yang menyerukan ajaran Islam yang media utamanya adalah unsur musik. Selain berupa

ajaran agama Islam, dalam permainan Rapa’i juga disampaikan syair-syair berupa nasehat. Rapa’i juga

dilaksanakan dalam upacara-upacara yang bersifat kegembiraan seperti: perayaan adat istiadat,

1 Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Jul di sanggarnya pada tanggal 14 maret 2013. Menurut Bapak

Zul, Ahmad Rifa’i adalah seorang tasawuf (orang yang mnyebarkan agama islam) dari arab yang membuat

Rapa’i untuk pertama kali. Nama Rapa’i sendiri diadopsi dari nama Ahmad Rifa’i oleh Syeikh Abdul Kadir

Jailani saat membawa dan memperkenalkan Rapa’I ke Aceh untuk pertama kalinya.

2

menyambut kedatangan Raja, pemberi semangat orang yang akan pergi berperang, pesta menyambut

panen, upacara perkawinan dan lain sebagainya.

Wilayah Aceh yang terletak di bagian ujung paling Barat gugusan Kepulauan Indonesia,

merupakan daerah strategis sebagai pintu gerbang lalu lintas pelayaran dan persinggahan para

pedagang dari Timur dan Barat sejak berabad-abad lampau, yang menjadikan Aceh sebagai daerah

pertama yang menerima pengaruh kebudayaan dan agama dari luar Nusantara, secara khusus agama

dan kebudayaan Islam. Menurut sejarahnya, Rapa’i dibawa oleh Syeikh Abdul Kadir Jailani dari

Baghdad (Irak) yang kemudian disebarkan oleh pengikut-pengikutnya ke daerah Aceh sekitar tahun

900 Masehi.. Karena di dalamnya terdapat unsur-unsur ajaran Islam, maka kesenian ini dapat dengan

mudah diterima di masyarakat Aceh. Pada waktu itu Para pengikut Syeikh Abdul Kadir Jailani

menarik perhatian orang-orang dengan cara menabuh Rapa’i diiringi dengan syair-syair yang berisi

tentang ajakan untuk menjalankan ajaran Islam. Tanpa bersusah payah memanggil, orang-orang

datang dengan sendirinya untuk menyaksikan pertunjukan Rapa’i tersebut. Hal tersebut merupakan

keberhasilan yang besar yang pernah dicapai oleh para pengikut Syeikh Abdul Kadir Jailani pada

awal masuknya ajaran Islam sehingga Islam dengan cepat berkembang di negeri Aceh. 2

Sejalan dengan perkembangan dan kemajuan teknologi dewasa ini, kesenian Rapa’i ikut

mengalami perkembangan dan kemajuan dalam setiap pertunjukkannya. Hal ini ditandai dengan

mulai dimainkannya Rapa’i bersama alat musik modern, seperti : gitar, bass, drum, dan sebagainya

(biasa dimainkan dalam format band), dimana pada akhir tahun 1999 hal ini mulai dikenal dengan

istilah Rapa’i Musik. Rapa’i musik adalah istilah yang digunakan masyarakat Aceh khususnya Aceh

Besar dan Banda Aceh untuk menyebutkan permainan musik oleh band yang diirigi oleh sekelompok

pemain Rapa’i. Istilah Rapa’i Musik itu sendiri digunakan karena telah ada istilah-istilah sebelumnya

seperti Rapa’i Daboih, Rapa’i pasee, Rapa’i geleng, Rapa’i Geurimpheng, dsb yang berarti bentuk dan

jenis permainan yang menggunakan Rapa’i yang mana tujuannya adalah berdakwah melalui syair-

syair ajaran agama Islam. Jadi, Rapa’i musik disini berarti sebuah kelompok band yang membawakan

lagu-lagu syiar Islam yang diiringi oleh sekelompok pemain Rapa’i.

2 Hasil wawancara dengan Bapak Zul tanggal 5 Oktober 2011 di rumah informan terletak di Banda Aceh.

3

Meskipun Rapa’i sudah mulai berkembang dalam musik modern, namun minat generasi muda

Aceh terhadap pembuatan Rapa’i sudah mulai berkurang, data otentik tentang teknik pembuatan

Rapa’i pun sangat sulit ditemukan karena tidak ada yang menulis tentang proses dan tekhnik

pembuatannya. Sampai saat ini untuk mengetahui bagaimana proses pembuatan Rapa’i hanya

diterangkan secara lisan. Disamping itu, pembuat Rapa’i sudah mulai berkurang yang disebabkan oleh

faktor usia, kematian, dan ada juga yang menjadi korban bencana Tsunami yang melanda Aceh pada

tahun 2004. Bahkan hingga saat ini pembuat Rapa’i hanya tersisa beberapa orang saja. Salah seorang

pembuat Rapa’i yang juga melestarikan kesenian Rapa’i dan masih ada sampai saat ini adalah Bapak

Fajar Shiddiq, seorang masyarakat Desa Kaye Leue Kecamatan Ingin Jaya, Lambaro, Aceh Besar,

yang telah 13 tahun membuat Rapa’i. Beliau merupakan satu-satunya pembuat Rapai di wilayah Aceh

Besar dan Banda Aceh3 dan melalui beliau pulalah istilah Rapa’i Musik itu muncul dan dikenal

sampai saat ini.4

Disamping itu Rapa’i buatan beliau memiliki sedikit perbedaan dengan Rapa’i yang dibuat

oleh pengrajin Rapa’i didaerah lain yaitu pada sistem pemasangan kulit. Beliau tidak menggunakan

paku pada pinggiran Rapa’i. Menurut beliau dengan tidak memakai paku pada pinggiran Rapa’i, maka

Rapa’i akan lebih awet karena apabila Rapa’i ingin diketatkan atau dilonggarkan tidak perlu membuka

paku pada pingiran cukup dengan menarik kembali pakai/pasak (istilah yang dipakai untuk

menyebutkan kain pada pinggiran Rapa’i yang berfungsi untuk mengencangkan kulit Rapa’i) pada

pinggiran Rapa’i. Hal ini belum pernah ditemukan pada Rapa’i sebelum nya dan dalam pengerjaannya,

Bapak Fajar masih menggunakan alat-alat yang cukup sederhana.5 Selain itu Rapa’i buatan bapak

Fajar memiliki corak ukiran tersendiri yang membedakan Rapa’i buatan Bapak Fajar dengan Rapa’i

yang lainnya.

Ada beberapa alasan mendasar mengapa penulis ingin meneliti alat musik Rapa’i, salah

satunya adalah karena berkurangnya minat generasi muda Aceh terhadap pembuatan Rapa’i dan data

otentik tentang tekhnik pembuatan Rapa’i pun sangat sulit ditemukan. Sampai saat ini pembuatan

3 Menurut keterangan Bapak Zul, Bapak Fajar, Rijal Rifa’i dan Bapak Bagus(Informan)

4 Hasil wawancara dengan Bapak Fajar Shiddiq Tanggal 9 Oktober 2011 di Kediaman Beliau di Komplek

Perumahan Kuwait, Aceh Besar 5 Hasil wawancara dengan Bapak Fajar Shiddiq Tanggal 9 Oktober 2011

4

Rapa’i hanya dilakukan secara tradisi lisan, petunjuk tentang proses dan teknik pembuatannya sangat

terbatas. Disamping itu pembuat Rapa’i sudah semakin sedikit. Untuk dapat melestarikan dan

mewariskan alat musik tersebut kepada generasi berikutnya, salah satunya kita harus mengetahui

bagaimana cara memproduksinya, maka dari itu sebagai seorang Etnomusikolog, peneliti ingin

membuat sebuah tulisan Ilmiah tentang kajian Organologi Rapa’i.

Menurut penulis belum ada yang menulis secara lengkap bagaimana Rapa’i Musik.

Dari beberapa alasan yang telah penulis ungkapkan pada uraian singkat latar belakang

permasalahan, penulis akan menyusun sebuah skripsi/karya ilmiah dengan judul: “Kajian

Organologis Gendang Rapa’i buatan Bapak Fajar Shiddiq yang digunakan dalam Pertunjukan

Rapai Musik di Desa Kaye Leue, Aceh Besar”

1.2 Pokok permasalahan

Melihat luasnya ruang lingkup yang dapat dijadikan subjek dalam penelitian Rapai, maka

untuk penelitian ini peneliti mengkaji dua pokok masalah saja, yaitu :

(1) Bagaimana tekhnik pembuatan dan tekhnik memainkan dari alat musik Rapa’i yang dibuat

oleh Bapak Fajar Shiddiq. Dalam konstruksi ini akan dibahas bahan-bahan yang digunakan,

teknik pembuatan, bentuk dan ukuran, teknik menghasilkan bunyi dan teknik memainkan

Rapa’i.

(2) Bagaimana keberadaan Rapa’i pada masyarakat Aceh di Kabupaten Aceh Besar?

1.3 Tujuan dan Manfaat

Peneliti mengadakan penelitian langsung ke lapangan dengan tujuan sebagai berikut :

(1) Untuk mengetahui teknik pembuatan Rapa’i mulai dari pemilihan bahan mentah sampai pada

bentuk dan ukuran Rapa’i yang siap dimainkan juga untuk mengetahui teknik memainkan

kesenian Rapa’i tersebut.

(1) Untuk mengetahui bagaimana Bagaimana keberadaan Rapa’i buatan bapak Fajar Shiddiq pada

masyarakat Aceh di desa Kayee Leue.

Didalam penelitian ini ada beberapa manfaat khususnya buat peneliti dan buat para pembaca

pada umumnya, yaitu:

5

1. Sebagai dokumentasi dalam bentuk skripsi di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu

Budaya, Universitas Sumatera Utara di Medan.

2. Sebagai bahan masukan dan perbandingan bagi penelitian yang berkaitan selanjutnya.

3. Sebagai suatu proses pengaplikasian ilmu yang diperoleh penulis selama perkuliahan di

Departemen Etnomusikologi.

4. Sebagai bahan literatur agar lebih mengenal alat musik Rapa’i Aceh yang digunakan sebagai

pengiring kesenian tradisional Aceh.

5. Sebagai suatu upaya untuk memeliharakesenian tradisional daerah sebagai bagian dari budaya

Nasional.

6. Untuk memenuhi syarat ujian agar mendapatkan gelar Sarjana di Departemen Etnomusikologi

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

1.4 Konsep dan Teori

1.4.1 Konsep

Konsep merupakan rancangan ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa kongkrit

(Kamus besar bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1991 : 431)

Kajian berasal dari kata ”kaji” yang mendapat akhiran -an yang berarti mengkaji, mempelajari,

memeriksa, mempertimbangkan secara matang, dan mendalami. Dari keterangan di atas dapat

diketahui bahwa pengertian kata ”kajian” dalam hal ini adalah suatu penelitian atas pemeriksaan yang

dilakukan dengan teliti.

Sedangkan Organologi merupakan ilmu tentang instrumen musik (alat musik) yang

seharusnya tidak hanya mencakup sejarah dan deskripsi instrumen saja, tetapi juga sama pentingnya,

walaupun sebagai aspek yang terabaikan dalam ”ilmu” instrumen musik, seperti teknik-teknik tertentu

dalam memainkan, fungsi secara musik, hiasan (yang dibedakan dari konstruksi) dan berbagai

pendekatan tentang sosial budaya. (Hood, 1982 : 124)

Dari kedua konsep di atas, dapat disimpulkan bahwa kajian organologis Gendang Rapa’i

buatan Bapak Fajar Shiddiq yang digunakan dalam Pertunjukan Rapa’i Musik di Desa Kaye Leue,

Aceh Besar adalah penelitian secara mendalam mengenai sejarah dan deskripsi instrumen, juga

6

mengenai teknik-teknik pembuatan, cara memainkan, dan fungsi dari instrumen Rapa’i buatan Bapak

Fajar Shiddiq tersebut.

Rapa’i merupakan instrumen pukul yang berasal dari Aceh yang terbuat dari Kayu Ceuradi

yang merupakan pengiring dalam kesenian tradisional Aceh. Rapa’i berperan sebagai pembawa Ritem

dalam beberapa kesenian seperti: Rapa’i Daboh, Rapa’i Pasee, Rapa’i Pulot, Rapa’i Geleng, dan

sebagainya.

Gambar 1 : Gendang Rapa’i

Bapak Fajar Shiddiq merupakan satu-satunya pembuat Rapai di Banda Aceh dan Aceh Besar,

beliau sangat tekun dalam menjalani profesinya sebagai pembuat alat musik, khususnya alat musik

Rapai, selain membuat alat musik Rapai beliau juga mahir dalam bermain musik khususnya

memainkan instrumen musik Aceh.6 Rapai buatan beliau memiliki sedikit perbedaan pada Rapa’i yang

dibuat oleh pengrajin Rapa’i didaerah lain yaitu pada sistem pemasangan kulit. Beliau tidak

menggunakan paku pada pinggiran Rapa’i. Menurut beliau dengan tidak memakai paku pada

pinggiran Rapa’i, maka Rapa’i lebih awet karena apabila Rapa’i ingin diketatkan atau dilonggarkan

tidak perlu membuka paku pada pingiran cukup dengan menarik kembali pakai/pasak pada pinggiran

Rapa’i. Membuat Rapa’i tersebut praktis dalam perbaikannya. Disamping itu beliau juga

menambahkan corak khas Aceh pada pinggiran Rapa’i agar Rapa’i buatan beliau lebih mudah dikenal

oleh masyarakat dan tetap menjaga nilai-nilai kesenian Aceh. Hal ini belum pernah ditemukan pada

6 Hasil Wawancara dengan Bapak Zul anggal 5 Oktober 2011 di rumah informan terletak di Banda Aceh.

7

Rapa’i sebelumnya dan dalam pengerjaannya, Bapak Fajar masih menggunakan alat-alat yang cukup

sederhana.7

Berdasarkan konsep-konsep di atas, maka dalam tulisan ini penulis mengkaji mengenai proses

pembuatan instrumen Rapa’i Aceh, termasuk juga teknik pembuatan, proses pembuatannya, oleh

Bapak Fajar Shiddiq, di Desa Kaye Leue Kecamatan Ingin Jaya, Lambaro, Aceh Besar, juga mengenai

sejarah masuknya ke daerah Aceh, teknik-teknik dalam memainkan, fungsi musik, serta

perkembangannya masa sekarang ini

1.4.2 Teori

Teori merupakan landasan pendapat yang dikemukakan mengenai suatu peristiwa. (Kamus

besar bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 1991 : 1041). Sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas

dalam skripsi ini, maka penulis menggunakan beberapa landasan teori yang berkaitan (relevan) dengan

tulisan ini.

Dalam tulisan ini, penulis juga membahas tentang pendeskripsian alat musik, dan penulis

mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Susumu Khasima (1990 : 174) terjemahan Rizaldy

Siagian, yaitu

Untuk membahas sebuah alat kita dapat mempergunakan 2 pendekatan, yakni pendekatan

struktural dan fungsional. Secara struktural yaitu; aspek fisik instrumen musik, pengamatan,

mengukur, merekam, serta menggambar bentuk instrumen, ukurannya, konstruksinya, dan bahan yang

dipakai. Dan secara fungsional, yaitu ; fungsi instrumen sebagai alat untuk memproduksi suara,

meneliti, melakukan pengukuran dan mencatat metode, memainkan instrumen, penggunaan bunyi

yang diproduksi, (dalam kaitannya dengan komposisi musik) dan kekuatan suara.

Untuk mengetahui sistem permainan atau teknik permainan Rapa’i oleh Fajar Shiddiq maka

penulis menggunakan dua pendekatan yang dikemukakan oleh Nettl (1964 : 98) yaitu:

Yang pertama, kita dapat menganalisis dan mentranskripsikan musik dari apa yang kita

dengar. Yang kedua kita dapat menuliskan musik tersebut di atas kertas dan mendeskripsikan apa yang

kita lihat.

7 Hasil wawancara dengan Bapak Fajar Shiddiq Tanggal 9 Oktober 2011

8

Menurut teori yang dikemukakan oleh Curt Sach dan Hornbostel (1961) yaitu:

Sistem pengklasifikasian alat musik berdasarkan sumber penggetar utama bunyinya. Sistem

klasifikasi ini terbagi menjadi empat bagian yaitu:

- Idiofon, penggetar utama bunyinya adalah badan dari alat musin itu sendiri,

- Aerofon, penggetar utma bunyinya adalah udara,

- Membranofon, penggetar utama bunyinya adalah kulit atau membran,

- Chordofon, penggetar utama bunyinya adalah senar atau dawai.

Mengacu pada teori tersebut, maka Gendang Rapa’i adalah instrumen musik yang

dikategorikan kedalam membranofon karena sumber bunyinya berasal dari kulit/membran. Dan lebih

spesifik lagi Gendang Rapa’i termasuk kedalam tipe Frame Drum.

Dalam tulisan ini juga dibahas mengenai Rapa’i Musik yang merupakan proses perkembangan

permainan Rapai yang pada saat sekarang ini dimainkan bersama beberapa Instrumen modern, maka

penulis mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1986 : 247), yaitu :

Akulturasi adalah proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu

kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa,

sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan

sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.

Proses penyebaran manusia yang membawa unsur kebudayaan, dalam hal ini berkaitan

dengan pengaruh ajaran Islam yang disampaikan melaui permainan Rapai adalah merupakan proses

difusi. Penulis mengacu pada teori difusi yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1986:244), yaitu:

Difusi adalah penyebaran dan migrasi kelompok manusia di muka Bumi, turut pula tersebar

unsur-unsur kebudayaan ke seluruh penjuru dunia.

1.5 Metode Penelitian

Metode adalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang

bersangkutan. (Koentjaraningrat 1986 : 16). Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode

penelitian kualitatif untuk memahami permasalahan yang terdapat dalam pembuatan Rapa’i buatan

Bapak Fajar Shiddiq..

9

Penulis juga menerapkan penelitian kualitatif, yaitu : tahap sebelum kelapangan (pra

lapangan), tahap kerja lapangan, analisis data, penulisan laporan. (Maleong, 1988 : 109)

Untuk mendukung metode penelitian yang dikemukakan oleh Maleong, penulis juga

menggunakan metode penelitian lainnya, yaitu: kerja lapangan (field) dan kerja laboratorium

(laboratory discipline). Hasil dari kedua disiplin ini kemudian digabungkan menjadi satu hasil akhir (a

final study), (Meriam, 1964 : 37).

Untuk memperoleh data dan keterangan yang dibutuhkan dalam penulisan ini, penulis

menggunakan metode pengumpulan data, umumnya ada dua macam, yakni: menggunakan daftar

pertanyaan (tertulis), dan wawancara (interview).

Untuk melengkapi pengumpulan data dengan daftar pertanyaan maupun wawancara tersebut

dapat pula digunakan pengamatan (Observation) dan penggunaan catatan harian, ( Djarwanto, 1984 :

25 ).

1.5.1 Studi Kepustakaan

Pada tahap sebelum kelapangan (pra-lapangan), dan sebelum mengerjakan penelitian, penulis

terlebih dahulu mencari dan membaca serta mempelajari buku-buku, tulisan-tulisan ilmiah, literatur,

majalah, situs internet dan catatan-catatan yang berkaitan dengan objek penelitian.

Studi pustaka ini diperlukan untuk mendapatkan konsep-konsep dan teori juga informasi yang

dapat digunakan sebagai pendukung penelitian pada saat melakukan penelitian dan penulisan skripsi

ini.

1.5.2 Kerja Lapangan

Dalam hal ini, penulis juga langsung melakukan observasi langsung ke lokasi penelitian yang

telah diketahui sebelumnya, dan langsung melakukan wawancara bebas dan juga wawancara

mendalam antara penulis dengan informan8, yaitu dengan mengajukan pertanyaan yang telah

dipersiapkan sebelumnya, walaupun saat melakukan penelitian terdapat juga hal-hal baru, yang

menjadi bahan pertanyaan yang dirasa mendukung dalam proses penelitian ini, semua ini dilakukan

8 Informan : Pihak pemberi informasi

10

untuk tetap memperoleh keterangan-keterangan dan data-data yang dibutuhkan dan data yang benar,

untuk mendukung proses penelitian.

1.5.2.1 Wawancara

Dalam proses melakukan wawancara penulis beracuan pada metode wawancara yang

dikemukakan oleh Koenjaraningrat (1986 : 139), yaitu: Wawancara berfokus (Focused interview),

Wawancara bebas (Free interview), Wawancara sambil lalu (Casual interview). Dalam hal ini penulis

terlebih dahulu menyiapkan daftar pertanyaan yang akan ditanyakan saat wawancara, pertanyaan yang

penulis ajukan bisa beralih dari satu topik ke topik lain secara bebas. Sedangkan data yang terkumpul

dalam suatu wawancara bebas sangat beraneka ragam, tetapi tetap materinya berkaitan dengan topik

penelitian.

Wawancara dimaksudkan untuk mencatat keterangan-keterangan yang dibutuhkan dengan

maksud agar data atau keterangan tersebut tidak ada yang hilang.

Untuk pemotretan dan perekaman wawancara penulis menggunakan kamera dan tape recorder

untuk mempermudah perekaman dan penyimpanan data, disamping tulisan atas setiap keterangan yang

diberikan oleh informan.

1.5.3 Kerja Laboratorium

Keseluruhan data yang telah terkumpul dari lapangan, selanjutnya diproses dalam kerja

laboratorium. Data-data yang bersifat analisis disusun dengan sistematika penulisan ilmiah. Data-data

berupa gambar dan rekaman diteliti kembali sesuai ukuran yang telah ditentukan kemudian dianalisis

seperlunya. Semua hasil pengolahan data tersebut disusun dalam satu laporan hasil penelitian

berbentuk skripsi. (Meriam di dalam tulisan J.W Simbolon : 2010)

1.5.4 Lokasi Penelitian

Adapun lokasi yang penulis pilih adalah di lokasi yang merupakan tempat kediaman

narasumber yaitu Bapak Fajar Shiddiq, yang bertempat tinggal di Desa Kaye Leue Kecamatan Ingin

Jaya, Aceh Besar, yang juga merupakan lokasi bengkel instrumen beliau. Selain itu, untuk

11

menguatkan kebenaran dari narasumber penulis juga mengumpulkan data-data dari para pemusik yang

berdomisili di Banda Aceh.

12

BAB II

GAMBARAN UMUM MASYARAKAT DESA KAYE LEUE

Bab ini menjelaskan tentang gambaran umum Desa Kaye Leue yang meliputi : letak geografis,

penduduk, dan bahasa, mata pencaharian, sistem kekerabatan serta agama, kepercayaan dan adat-

istiadat.

2.1 Letak Geografis

Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Kabupaten

Aceh Besar memiliki luas wilayah mencapai 2.974,12 Km2 atau kabupaten paling luas di provinsi

Nanggroe Aceh Darussalam. Sebagian besar wilayahnya berada di daratan dan sebagian kecil berada

di kepulauan. Kabupaten Aceh Besar beribu kota di Jantho. Sekitar 80 persen daerah Aceh Besar

merupakan dataran rendah dengan lahan persawahan. Berdasarkan data yang dimiliki oleh daerah

tersebut, kabupaten ini terdiri dari 23 Kecamatan dan 604 Desa.

Kabupaten Aceh Besar adalah salah satu dari 10 kabupaten dan kotamadya yang

terdapat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Menurut Data dari Kantor Kabupaten Aceh

Besar daerah ini terdiri dari 23 kecamatan, yaitu: (1) Kota Jantho, (2) Kecamatan Lhok Nga

(3) Kecamatan Peukan Bada, (4) Kecamatan Baitussalam, (5) Kecamatan Blang Bintang, (6)

Kecamatan Darul Imarah, (7) Kecamatan Darussalam, (8) Kecamatan Indrapuri, (9)

Kecamatan Ingin Jaya, (10) Kecamatan Krueng Barona Jaya, (11) Kecamatan Kuta Baro,

(12) Kecamatan Kuta Cot Glie, (13) Kecamatan Kuta malaka, (14) Kecamatan Lembah

Seulawah, (15) Kecamatan Leupung, (16) Kecamatan Lhoong (17) Kecamatan Mesjid Raya,

(18) Kecamatan Montasik, (19) Kecamatan Pulo Aceh, (20) Kecamatan Seulimeum, (21)

Kecamatan Simpang Tiga, (22) Darul Kamal, dan (23) Kecamatan Suka Makmur

13

Kecamatan Ingin Jaya terdiri dari 26 desa, yang salah satunya adalah Desa Kaye Leue

yang menjadi lokasi penelitian. Luas Kecamatan Ingin Jaya atau luas keseluruhan dari 26 desa

tersebut adalah 3175ha.

Desa Kaye Leue merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Ingin Jaya Kabupaten

Aceh Besar, Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Desa yang daerahnya didominasi oleh lahan

persawahan ini berada pada ketinggian rata-rata 6m dari permukaan air laut, dengan suhu udara rata-

rata 34°C-38°C.

Secara geografis Desa Kaye Leue mempunyai batasan-batasan wilayah sebagai berikut:

- Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Lambaro

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Ateuk Blang Asan

- Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Lamteungah

- Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Ateuk Mon Panah

Luas Desa Kaye Leue kira-kira 600ha. Daerah desa Kaye Leue dikelingi oleh banyak

lahan sawah.. Untuk membedakan tia-tiap pemukiman, maka daerah Desa Kaye Leue secara

administratif dibagi menjadi tiga lingkungan, yaitu : Lingkungan I, Lingkungan II dan

Lingkungan III. Letak daerah penelitian penulis yaitu di Lingkungan II Desa Kaye Leue

Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar.

Setelah bencana Tsunami 2004 yang melanda beberapa kawasan Aceh, Pihak luar

negeri memberikan rumah bantuan bagi masyarakat Aceh yang kehilangan tempat tinggal

karena musibah. Desa Kaye Leue menjadi salah satu daerah tempat didirikannya rumah

bantuan. Kawasan Desa Kaye Leue didominasi oleh areal persawahan yang mengelilingi

pemukiman warga. Pemukiman warga terdiri dari 2 Perumahan Bantuan dan 1 permukiman

biasa layaknya rumah-rumah di daerah pedesaan. Perumahan yang terdapat di Desa Kaye

Leue adalah rumah bantuan dari Negara Kuwait. Pada 2 komplek peumahan bantuan tersebut

didirikan rumah semi permanen dengan design minimalis. Masing-masing perumahan tersebut

terdiri dari kurang lebih 60 rumah Terdapat beberapa blok yang membagi 1 deretan

14

perumahan yang membuat letak rumah-rumah beraturan layaknya sebuah komplek.

Disamping 2 komplek perumahan bantuan tersebut di Desa Kaye Leue masih terdapat 1

pemukiman lagi yang didominasi oleh rumah tradisional Aceh (Rumoh Aceh). Rumoh Aceh

yaitu Rumah panggung dengan tinggi kira-kira 2,5 – 3 meter di atas tanah, berbentuk empat

persegi panjang atau bujur sangkar dan memanjang dari timur ke barat. Rumah ini biasanya

terdiri dari 3 ruangan, yaitu ruangan depan yang disebut Serambi depan (Seuramoe rinyeun),

kemudian Serambi tengah (Seuramoe teungoh, dan yang paling belakang disebut Serambi

belakang (Seuramoe likot). Rumah ini didirikan tinggi dimaksudkan agar terhindar dari

serangan binatang buas dan bahaya banjir sehingga penghuni rumah merasa aman. Dan

maksud arah rumah seperti yang disebutkan, agar pendatang atau tamu langsung tahu arah

kiblat tanpa harus bertanya. Letak rumah juga dipengaruhi setelah kedatangan agama Islam9.

Gambar 2

(Dok. Rizky 2013)

9Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh, 2004, Keanekaragaman Suku dan Budaya di Aceh, hal

11

15

Kabupaten Aceh Besar yang biasa juga disebut Aceh Rayeuk (Aceh Besar) yang

merupakan lokasi penelitian penulis adalah kawasan yang terletak di ujung utara pulau

Sumatera. Daerah ini sebagai salah satu wilayah yang termasuk dalam wilayah industri di

daerah Nanggroe Aceh Darussalam selain Aceh Timur, Aceh Utara, Pidie, dan Sabang, oleh

karena itu Aceh Besar ikut mengalami banyak kemajuan dan perubahan pada kehidupan

masyarakat ditinjau dari segi ekonomi, social, politik, budaya, dan pendidikan. Begitu juga

dengan kehidupan masyarakat di Desa Kaye Leue yang juga ikut mengalami kemajuan di

bidang tersebut.

Dilihat dari segi komunikasi transportasi, keberadaan Desa Kaye Leue sudah dapat

dikatakan strategis, disamping tidak begitu jauh dari ibukota Provinsi yaitu Banda Aceh, juga

pada desa ini sudah terdapat banyak jalan beraspal, yang dapat memperlancar jalannya sarana

angkutan umum. Jarak antara Desa Kaye Leue dengan ibukota Kabupaten Aceh Besar

berkisar 35 kilometer, dengan ibukota Provinisi Nangroe Aceh Darussalam yaitu Banda Aceh

berkisar 15 kilometer.

2.2 Penduduk dan Bahasa

Daerah Aceh adalah salah satu wilayah provinsi yang terletak di bagian barat

Indonesia, dan utara pulau Sumatera. Aceh dikenal sejak zaman dahulu, hal ini ditandai

dengan munculnya kerajaan Islam yang pertama di Indonesia pada abad XI, yakni kerajaan

Samudra Pasai dan Kerajaan Perlak. Dari daerah ini berlangsung penyebaran agama Islam

keseluruh wilayah nusantara.

Secara umum masyarakat Aceh (biasa disebut rakyat Aceh) terdiri dari 6 sub-suku

bangsa, yaitu : (1) ureung Aceh (orang Aceh), (2) ureung Gayo (orang Gayo), (3) ureung

Alaih (orang Alas), (4) ureung Teumieng (orang Tamiang), (5) ureung Singke (orang Singkil

16

Hulu), (6) ureung Kluet (orang Kluet), (7) ureung Polu (orang Pulau), dan (8) aneuk Jamee

(Tamu). Kedelapan sub suku bangsa tersebut masing-masing mendiami daerah yang mereka

anggap sebagai tanah leluhurnya.10

Berdasarkan pembagian sub suku tersebut mereka mendiami daerah Aceh sebagai

berikut: ureung Aceh (orang Aceh) mendiami di sebagian besar Kabupaten Aceh seperti:

Banda Aceh, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Pidie,Kabupaten Bireun, Kota

Lhokseumawe, dsb, ureung Gayo (orang Gayo) mendiami Kabupaten Aceh Tengah, Aceh

Tenggara, dan Aceh Timur pedalaman, ureung Alaih (orang Alas) mendiami Kabupaten Aceh

Tenggara (lembah Alas), ureung Teumieng (orang Tamiang) berdiam di pesisir Kabupaten

Aceh Timur berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara, ureung Singke (Singkil Hulu)

berdiam di hulu sungai Singkel Kabupaten Aceh Selatan, ureung Kluet (orang Kluet)

mendiami daerah Hulu Kecamatan Kluet Kabupaten Aceh Selatan, ureung Pulo (orang Pulau)

mendiami pulau Simeulu (Kabupaten Aceh Barat) dan di pulau-pulau Banyak (Kabupaten

Aceh Selatan), dan aneuk Jamee (Tamu) mendiami sebahagian besar Aceh Selatan dan sedikit

di Kabupaten Aceh Barat (Depdikbud 1980:5).

Pada umumnya masyarakat yang mendiami Desa Kaye Leue adalah Ureung Aceh

yaitu salah satu suku bangsa yang banyak mendiami kawasan di Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam. Dalam kitab Sejarah Melayu, disebut Lam Muri (Lambri). Suku bangsa ini

merupakan hasil pembauran beberapa suku bangsa asli di Sumatera, yaitu dari Arab, India,

Parsi, Turki, Melayu, Minangkabau, Batak, Nias Jawa dan lain-lain. Asimilasi11

suku bangsa

Aceh dengan suku bangsa lain melahirkan suku bangsa baru, yaitu suku bangsa aneuk Jame

dan Singkil.

10 Peradaban Aceh, 2006, hal 69-72, CV. Boebon Jaya, Banda Aceh 11

Asimilasi adalah pembauran dua kebudayaan yang disertai dengan hilangnya ciri khas kebudayaan asli

sehingga membentuk kebudayaan baru. Suatu asimilasi ditandai oleh usaha-usaha mengurangi perbedaan antara

orang atau kelompok.

17

Menurut data dari Kantor Kepala Desa Kaye Leue, jumlah penduduk yang mendiami

Desa Kaye Leue adalah 1626 orang, yang dibagi kedalam 3 lingkungan, yang dapat dilihat

pada tabel 1 berikut ini:

Tabel 1

Jumlah Penduduk berdasarkan pembagian Lingkungan

Lingkungan Laki-laki Perempuan

Lingkungan I

Lingkungan II

Lingkungan III

289 orang

316 orang

277 orang

307 orang

226 orang

211 orang

Jumlah Total 882 orang 744 orang

(Sumber : Kantor Kepala Desa Kaye Leue Tahun 2011/2012)

Menurut keterangan Kepala desa Kaye Leue yaitu Bapak Muchtar, hampir 60% dari

penduduk desa Kaye Leue adalah masyarakat Aceh pendatang Masyarakat Aceh pendatang

disini maksudnya ureung Aceh yang berasal dari berbagai daerah dan tidak lahir di Desa

tersebut. Beliau menuturkan bahwa sejak bencana tsunami 2004 yang melanda Aceh, banyak

masyarakat dari Banda Aceh yang terkena musibah berpindah tempat tinggal di Desa Kaye

Leue. Hal tersebut dikarenakan oleh dibangunnya perumahan baru yang didanai pihak luar

negeri bagi korban bencana. Jadi, dapat disimpulkan bahwa hanya sekitar 40% saja warga asli

Desa Kaye Leue.12

Bahasa yang dipergunakan oleh masyarakat Aceh pada umumnya adalah bahasa Aceh

dan merupakan bahasa pengantar yang dipergunakan sehari-hari antar masyarakat Aceh.

Begitu juga dengan bahasa yang dipakai pada masyarakat Aceh yang berada di Desa Kaye

Leue yaitu bahasa Aceh yng lebih spesifik disebut dengan bahasa Aceh Besar. Namun

12 Hasil Wawancara dengan Bapak Mukhtar di kantor Kepala Desa Kaye Leue pada tanggal 21 Maret 2013

18

disamping itu masyarakat desa Kaye leue juga menggunakan bahasa Indonesia sebagai

pengantar baik dalam keluarga atau dalam kehidupan sosial meskipun bahasa Aceh yang

mendominasi. Antara warga yang satu dengan yang lainnya bahasa Aceh menjadikan mereka

terasa lebih akrab karena bahasa Aceh merupakan bahasa ibu.13

Bahasa yang dipergunakan masyarakat Aceh di setiap daerah, memiliki dialek yang

berbeda-beda seperti : di Gayo, Alas, Singkil Hulu dan Kluet mereka menggunakan bahasa

Aceh yang mendapat pengaruh dari bahasa Batak Karo. Di Tamiang, mereka mempergunakan

bahasa Tamiang yang memiliki kemiripan dengan dialek bahasa Melayu. Bahasa Pulau yang

dipergunakan oleh orang di Kepulauan Simeulu dan pulau-pulau Banyak termasuk dialek

bahasa Nias dan Mentawai. Aneuk Jamee yang merupakan penduduk mayoritas di Aceh

Selatan dan sedikit di Aceh Barat, mempergunakan bahasa Pesisir Barat Andalas (bahasa

Pesisir) yang memiliki kesamaan dengan dialek bahasa Minangkabau.

Bahasa Aceh sebagai alat perantara komunikasi antar masyarakat Aceh banyak

dipengaruhi oleh kelompok etnik yang ada di sekitarnya sehingga menyebabkan bahasa Aceh

sendiri memiliki ragam dialek seperti ysng telah dijelaskan di atas.

Di ibukota kerajaan Aceh dahulu dipergunakan dialek bahasa Aceh yang biasa disebut

dialek Banda. Dialek Banda inilah yang akhirnya digunakan sebagai standar bahasa Aceh

yang diikuti umum dalam pemakaian bahasa Aceh yang baik.

Begitu juga dalam interaksi sehari-hari masyarakat di Desa Kaye Leue yang

menggunakan bahasa Aceh, termasuk dalam aktivitas kesenian yang melibatkan alat musik

Rapa’i.

Sedangkan dalam sistem bahasa tulisan tidak ditemui sistem huruf khas bahasa Aceh

asli. Namun Masyarakat Aceh telah lama menggunakan tulisan yang ditulis dalam huruf Arab

– Melayu yang disebut bahasa Jawi atau Jawo yaitu bahasa yang ditulis dengan huruf Arab

13

Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Banda Aceh, 2004, Keanekaragaman Suku dan Budaya di Aceh, hal

7-9

19

ejaan Melayu. Hal ini dibuktikan dengan banyak ditemukannya kitab ilmu agama, pendidikan,

kesusasteraan bahkan tulisan yang menunjukkan identitas dari beberapa gedung perkantoran

ditulis dengan bahasa Jawi.

2.3 Mata Pencaharian

Sesuai dengan letak geografis Desa Kaye Leue yang berada di dataran rendah, maka

mayoritas penduduknya hidup sebagai petani. Selain PNS dan Polisi, sebagian masyarakat

Desa Kaye Leue ada juga yang hidup dari berwiraswasta (berdagang). Diantara 1626 orang

penduduk yang terdapat di desa Kaye Leue, hanya satu orang yang mempunyai keahlian

dalam membuat alat musik tradisional Aceh seperti: Rapa’i, Geundrang, Serunekale, dsb.

Menurut Bapak Zul hanya tersisa satu orang pembuat Rapa’i di Banda Aceh dan Aceh Besar

yaitu Bapak Fajar Shiddiq. Sebelumnya terdapat 2 orang selain Bapak Fajar, namun keduanya

telah meninggal dunia pada tahun 2004 dan 2007. Setelah keduanya meninggal dunia, tak ada

yang meneruskan usaha sebagai pengrajin Rapa’i di daerah tersebut kecuali Bapak Fajar

Shiddiq. Disamping itu, Rapa’i buatan Bapak Fajar banyak diminati dikarenakan beliau

menyertakan ukiran-ukiran sederhana khas aceh yang membuat Rapa’i beliau dianggap

melestarikan kebudayaan tradisional Aceh.14

Rapa’i hasil karya Bapak Fajar Shiddiq berkisar antara Rp 800 ribu – Rp 2 juta per

unit. Bapak Fajar biasanya mengerjakan sekitar 1 atau 2 set pesanan sanggar yang ada di

Banda Aceh dan Aceh Besar tiap bulannya. Pekerjaan ini merupakan sumber mata

pencaharian pokok bagi keluarga Bapak Fajar. Dari tabel berikut ini, jenis pekerjaan Bapak

Fajar Shiddiq tergolong wiraswasta / pedagang.

14 Hasil wawancara dengan Bapak Zul tanggal 17 April 2013 di Kediaman beliau di Banda Aceh

20

Tabel 2

Jumlah Penduduk Menurut Pekerjaan Sehari-hari

Jenis Pekerjaan Jumlah

Pegawai Negeri Sipil

Pemilik Lahan Pertanian dan Peternakan

Polisi

Bidan

Guru

Buruh Tani dan Ternak

Wiraswasta/Pedagang

(Termasuk didalamnya Bapak Fajar

Shiddiq)

Pensiunan

Tidak Bekerja (pengangguran dan anak

anak

123 orang

92 orang

16 orang

7 orang

82 orang

238 orang

224 orang

330 orang

514 orang

JUMLAH 1626 orang

(Sumber : Kantor Kepala Desa Kaye Leue Tahun 2010/2011)

2.4 Sistem Kekerabatan

Sistem kelompok keluarga pada masyarakat Aceh di Desa Kaye Leue umumnya

menganut sistem keluarga batih, yaitu rumah tangga yang terdiri atas keluarga kecil yaitu

ayah, ibu dan anak-anak yang belum menikah. Apabila seorang anak telah menikah, ia akan

mendirikan rumah tangga sendiri sebagai keluarga batih pula. Seorang anak yang baru

menikah pada awalnya diperbolehkan menetap bersama-sama dalam keluarga batih orang tua

atau mertuanya. Jika telah dianggap mampu, maka anak tersebut disarankan untuk pindah ke

rumahnya sendiri. Seorang anak yang yang telah memisahkan diri dari keluarga batih orang

tua atau mertua biasa disebut peumeukleh. Namun jika orang tua merasa anaknya lebih baik

21

tinggal bersama dengan mereka maka si anak tetap tinggal (hal ini biasanya berlaku pada anak

tunggal atau anak bungsu perempuan).

2.5 Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat

Aceh termasuk salah satu daerah yang paling awal menerima agama Islam. Oleh sebab itu

provinsi ini dikenal dengan sebutan "Serambi Mekah", maksudnya "pintu gerbang" yang paling dekat

antara Indonesia dengan tempat dari mana agama tersebut berasal. Meskipun demikian kebudayaan

asli Aceh tidak hilang begitu saja, sebaliknya beberapa unsur kebudayaan setempat mendapat

pengaruh dan berbaur dengan kebudayaan Islam. Dengan demikian kebudayaan hasil akulturasi

tersebut melahirkan corak kebudayaan Islam-Aceh yang khas. Didalam kebudayaan tersebut masih

terdapat sisa-sisa kepercayaan animisme dan dinamisme. Namun dalam kehidupan sehari-hari

masyarakat lebih berpegang kepada Alqur’an dan Hadits.

Bagi masyarakat Aceh, ajaran Islam dijadikan dasar dalam menjalankan pemerintahan.

Begitu juga dengan dasar hukumnya yang diambil dari Al-Qur’an dan Hadits)15

. Orang-orang

Aceh sebagai umat Islam Sangat kuat memegang kepribadian Aqidah Islam dalam kehidupan,

Sebagai asas pokok dalam bermasyarakat Hal tersebut sejalan ddengan watak etnik masrakat

Aceh yang menggabungkan antar adat dan agama Islam. Dimana satu sama lain susah untuk

dipisahkan Karena itu adat istiadat yang berkembang pada masyarakat Aceh tidak boleh

bertentengan dengan ajaran-ajaran agama Islam16

. Dalam hal ini lahirlah istilah :

“Adat bak po teumeurehom

Hukom bak Syiah Kuala

Kanun bak Putroe Phang

Reusam bak lokseumana”

Kata-kata diatas yang biasa disebut Hadih maja digunakan sebagai simbol dalam

menentukan cara berfikir untuk menegakkan hukum dalam masyarakat Aceh. Hadih maja

15 .Seksi Seminar Ilmu Budaya Nusantara Bunga Rampai Temu Budaya Nusantara, Banda Aceh 1989:324 16 Mesjid dan Adat Meunasah Sebagai Sumber Energi Budaya Aceh2002:387

22

tersebut dibuat untuk menyatukan visi dan pandangan dalam kehidupan sehari-hari agar

masyarakat Aceh tetap berpegang teguh terhadap ajaran agama Islam.17

Hal tersebut dapat dilihat di setiap event kehidupan masyarakat di Desa Kaye Leue

yang masi menjunjung tinggi ajaran agama Islam, yang sampai saat ini masih dipertahankan

oleh masyarakat sekitar. Mereka beranggapan dengan diadakannya event tersebut maka desa

mereka akan selalu mendapat perlindungan dari Yang Maha Kuasa seperti :

1. Upacara menjelang turun ke sawah ( Upacara tron blang ) yaitu, merupakan event

rutin yang dilakukan masyarakat desa Kaye Leue sebelum memulai kegiatan

bersawah. Pada event ini masyarakat berkumpul dan memanjatkan do’a kepada

Allah Swt dan memohon agar kegiatan bersawah mereka dapat lancar dan

mendapatkan hasil yang baik pada masa panen. Pada akhir event ini, tabuhan alat

musik Rapa’i dan tiupan Serunekale dimainkan mengiringi nyanyian berupa do’a.

Upacara ini berlangsung selama 3 hari di Desa Kaye Leue. Pada awalnya upacara

ini berlangsung selama 7 hari, tapi hal tersebut berubah seiring perkembangan

zaman. Masyarakat beranggapan, cukup dengan memohon do’a kepada Allah Swt

dan bersyukur ketika rezeki habis panen maka semuanya dilancarkan oleh Allah

Swt.

2. Upacara Syukuran Panen ( Ale Pade ) adalah Upacara yang dilaksanakan seteleah

panen. Upacara ini dilaksanakan bersama-sama oleh warga Gamphong (kampong)

sebagai bentuk rasa syukur kepada sang Pencipta atas nikmat rezeki yang

diberikanNya. Pada event ini do’a dan Shalawat dipanjatkan dalam bentuk

nyanyian diiringi alat musik Rapa’i, Serunakalee dan Geundrang.

3. Upacara Antar Mengaji (euntat beut) adalah upacara tradisional yang masih

dipertahankan oleh masyarakat desa Kaye Leue. Upacara dilaksanakn ketika

17 Muhammad Umar, 2002, Darah dan Jiwa Aceh hal.17

23

seorang anak yang berusia enam atau tujuh tahun diserahkan kepada teungku

menasah ( Imam Menasah) atau teungku balee (pimpinan balai pengajian). Pada

hari euntat beut, orang tua yang bersangkutan mengadakan kenduri dengan

mengundang sanak keluarga dan tetangga, selesai upacara di rumah besoknya anak

diantar ketempat pengajian dengan terlebih dahulu ditepung tawari, dan dibekali

dengan bawaan yang akan diberikan kepada teungku. Pada sekarang ini upacara

euntat beut dilaksanakan bersama-sama bagi siapa orang tua yang anaknya akan

diantar mengaji. Ini merupakan bentuk kekeluargaan yang erat di desa tersebut. 18

Penduduk Desa Kaye Leue secara keseluruhan memeluk agama Islam, tidak ada yang

memeluk agama diluar agama Islam (Protestan, Khatolik, Hindu, dan Budha). Tempat Ibadah yang

ada di Desa Kaye Leue yaitu 2 buah meunasah (mesjid). Selain itu terdapat sebuah pesantren (tempat

pendidikan khusus Islam).

18 Hasil wawancara denga Geuchik (kepala Desa Kaye Leue yaitu Pak Muchtar) di Kantor Kepala Desa pada

tanggal 21 Maret 2013

24

BAB III

EKSISTENSI DAN FUNGSI RAPA’I

Pada Bab III ini penulis akan membahas tentang Alat musik Rapa’i dimulai dari awal sejarah

dan perkembangan Rapa’i, bentuk penyajiannya serta beberapa contoh permainannya di dalam

kelompok Rapa’i Musik.

3. 1 Eksistensi Rapa’i pada Masyarakat Aceh di Desa Kaye Leue

Menurut asal-usul nama Rapa’i pada awalnya diambil dari nama belakang seorang ahli tasauf

(ilmu tentang ajaran-ajaran agama Islam) Ahmad Rifa’i. Beliau diyakini sebagai pencipta alat musik

rapa’i. Pada awalnya oleh Ahmad Rifa’i gendang Rapai tersebut diberi nama dufun, kemudian oleh

Syeikh Abdul Kadir jailani sebagai orang pertama yang memperkenalkan gendang Rapa’i ini pada

masyarakat Aceh memberinya nama Rapa’i sebagai upaya untuk mengenang dan mengingat

penciptanya yaitu Syeikh Ahmad Rifa’iyah. Artinya, istilah Rapa’i yang pada saat sekarang ini kita

kenal diambil dari nama belakang Ahmad Rifa’i.19

Balai Kajian Sejarah dan Budaya Aceh mengungkapkan dalam tulisannya Terminologi

Budaya Aceh bahwa Rapa’i dibawa oleh Syeikh Abdul Kadir Jailani dari Baghdad (Arab) pada abad

ke X (sekitar 900 M) bersamaan dengan masuknya Islam ke Aceh. Pada kenyataannya, Rapa’i

digunakan para penyiar Islam sebagai alat untuk menyampaikan dakwah. Dalam arti, Rapa’i ini

dpergunakan sebagai alat untuk menarik perhatian masyarakat melalui suaranya yang cukup kuat,

sehingga orang yang mendengarkan bunyinya merasa tertarik untuk melihat untuk dating ketempat

bunyi tersebut berasal. Ketika orang-orang telah berkumpul, disinilah kesempatan yang dimanfaatkan

oleh penyiar Islam untuk menyampaikan dan menyebarkan ajaran agama Islam berupa aqidah

(kepercayaan) dan tauhid (ilmu). Proses penyebaran agama Islam yang dibawa oleh Syeikh Abdul

Kadir Jailani tersebut merupakan proses difusi yaitu penyebaran manusia di muka bumi, turut pula

tersebar unsur-unsur kebudayaan ke seluruh penjuru dunia.

19 Dalam Skripsi Sarjana Rita Dewi yang berjudul “Rapa’i Pasee Pada Masyarakat Aceh Di Desa Awe Kecamatan

Syamtalira Aron : Analisis Musik Dalam Konteks Pertunjukkan”, 1995

25

Hal tersebut diatas menunjukkan bahwa dalam menyampaikan dakwah agama Islam para

Khalifah menggunaka Rapa’i sebagai daya tarik bagi masyarakat setempat dan hal tersebut

memberikan hasil yang memuaskan bagi para mubaliq (orang menyampaikan dakwah Islam).

Kesuksesan tersebut dibuktikan dengan diterimanya agama Islam di tanah Aceh (terbukti pada saat itu

masyarakat Aceh 100% menganut agama Islam.

Dalam kamus bahasa Aceh-Indonesia (1985:779), Rapa’i diartikan sebagai sebuah gendang

yang namanya diambil dari nama seorang ahli tasauf yaitu Ahmad Rifa’i. Dalam kamusnya Bakar

menuliskan bahwa Rapa’i digunakan ketika diadakan pertunjukan daboih.

Sementara Rita Dewi dalam skripsi Sarjananya menuliskan bahwa Hasjmy dalam bukunya

yang berjudul Pencerminan Aceh Yang Budaya (1983:245) memberikan pengertian terhadap Rapa’i

sebagai berikut :

1. Rapa’i diartikan sebagai alat musik pukul yang dubuat dari kayu nangka yang sudah tua atau

kayu merbau, sedangkan kulitnya dari kulit kambing yang sudah diolah.

2. Rapa’i diartikan sebagai permainan yang terdiri dari 8-12 orang, yang mana 8-12 orang

tersebut disebut awak Rapa’i dalam bahasa Aceh.

3. Rapa’i diartikan sebagai bentuk permainan kesenian itu sendiri.

Sedangkan menurut Bapak Zul, Rapa'i adalah sejenis alat musik pukul yang menyerupai

Rebana (dipukul pada 1 sisi) namun memiliki warna suara yang berbeda dari rebana karena Rapa’i

memiliki anegrik (lempengan menyerupai kerincing). Rapa’i merupakan alat musik tradisi yang

dimainkan 1 teman ( pada umumnya) memiliki karakter suara yang keras dan kasar dan memberikan

efek mistis (berupa semangat) kepada para pemain dan pendengarnya.20

Dari ketiga pendapat tersebut maka dengan demikian penulis memberikan pengertian sebagai

berikut :

20 Wawancara pada tanggal 17 April 2013 di Kediaman beliau di Banda Aceh

26

1. Rapa’i diartikan sebagai nama alat musik pukul tradisional Aceh yang terbuiat dari pohon

keranji (cueradieh/tualang) dan kulitnya terbuat dari kulit kambing dan memiliki kerincing

(anegrik) pada badannya.

2. Rapa’i diartikan sebagai nama ensambel yang dimainkan oleh 8-12 orang bahkan ada pula

yang sampai 30 orang dengan ketentuan setiap orang memainkan 1 buah Rapa’i dengan kata

lain banyaknya Rapa’i yang digunakan dalam satu pertunjukan sebanyak itu pulalah jumlah

pemainnya ( baca skripsi Rita Dewi, 1995 )

3. Rapa’i diartikan sebagai nama upacara / pertunjukan yang didalamnya terdapat unsur

permainan Rapa’i (menggunakan alat musik Rapa’i) dan untuk membedakan setiap jenis

permainan, ditambahkan kata setelah kata Rapa’i yang menjelaskan jenis

permainan/pertunjukan tersebut. Jadi apabila sebuah pertunjukan terdapat unsur-unsur

permainan Rapa’i maka nama Rapa’i ditambahkan didepan jenis pertunjukannya.

Misalanya: Rapa’i geuleung, Rapa’i Daboih, Rapa’i, Rapa’i Ngadat dan Rapa’i Hajat

Contoh: Rapa’i Daboih yang dalam penyajiannya mempertunjukan permainan Debus dan

permainan debus tersebut merupakan bagian terpenting dalam pertunjukan Rapa’i debus

(daboih). Apabila dalam pertunjukan debus tersebut tidak terdapat permainan Rapa’i

didalmnya maka tidak ditambahkan kata Rapa’i didepan kata debus begitu juga sebaliknya.

Agar tidak membingungkan para pembaca, maka penulis membatasi pengertian Rapa’i dalam

tulissan in yaitu,alat musik sejenis gendang yang terdapat dalam kesenian masyarakat Aceh..

Pada kenyataannya Rapa’i digunakan sebagai alat untuk menyampaikan ajaran-ajaran Islam

baik secara langsung maupun secara tidak langsung melalui syair-syair lagu. Hal ini masih

berlangsung hingga masa sekarang. Disamping itu Rapa’i juga dimainkan untuk menunjukkan suka

cita masyarakat seperti saat panen, pesta perkawinan, penyambutan Raja serta untuk pemberi

semangat bagi prajurit ketika akan berangkat ke medan perang.

Setelah agama Islam masuk ke tanah Aceh sekitar abad X, selanjutnya agama Islam

disebarkan ke berbagai daerah Aceh dan menghasilkan berbagai macam bentuk permainan Rapa’i.

27

Dari proses difusi21

(proses persebaran manusia dengan membawa kebudayaannya) tersebut lahirlah

beberapa bentuk permainan Rapa’i yang lazim dikenal masyarakat Aceh adalah :

1. Rapa’i Pasee, yaitu salah satu jenis permainan rakyat khas masyarakat Pasee (Pasai, Aceh

Utara). Disebut Pasee karena dari daerah tersebutlah Rapa’i Pasee lahir bersamaan dengan

masuknya Islam pertama kali ke daerah Pasai. Rapa’i Pasee dimainkan oleh 8-12 orang awak

Rapa’i yang membunyikan Rapa’i yang digantungkan kepada sebuah tiang. Dalam

penyajiannya Rapa’i pasee selalu dipimpin oleh seorang khalifah yang juga bertindak sebagai

penyanyi yang melantunkan syair-syair ke-Islaman. Disamping memiliki kemampuan

bernyanyi, seorang khalifah juga dituntut memiliki kemampuan syiar yang baik agar dalam

pelaksanaanya tercapai tujuan utama yaitu syiar Islam. Rapa’i yang digunakan pada

pertunjukkan Rapa’i Pasee yaitu Rapai yang memiliki diameter 30 inch.

2. Rapai Pulot yaitu, permainan Rapa’i yang dimainkan oleh 10-12 orang memakai Rapa’i 16

inch yang dipimpin oleh seorang Syeikh. Pertunjukan ini biasanya diiringi dengan atraksi

anak-anak yang disebut Salikih. Salikih adalah susunan dari beberapa orang anak-anak yang

melakukan atraksi dengan membuat tumpukan (tingkatan). 3 orang dibawah berdiri seperti

tungku, dipundak duduk tiga orang dengan posisi seperti tungku juga. Lalu yang paling atas

dengan posisi kaki diatas dan kepala dibawah.

3. Rapa’i Saman yaitu permainan yang menggabungkan unsur permainan Rapa’i dengan tarian

Saman. Rapa’i Saman menggunakan Rapa’i dengan diameter 15inch. Gerakan pada Rapa’i

Saman menggunakan gerakan dasar tarian Saman. Rapa’i Saman dimainkan oleh 12 orang

perempuan yang melambangkan keseragaman dan kekompakan. Sama seperti jenis Rapa’i

21

Proses penyebaran manusia yang membawa unsur kebudayaan, dalam hal ini berkaitan dengan

pengaruh ajaran Islam yang disampaikan melaui permainan Rapai adalah merupakan proses difusi. Penulis

mengacu pada teori difusi yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1986:244), yaitu: Difusi adalah penyebaran

dan migrasi kelompok manusia di muka Bumi, turut pula tersebar unsur-unsur kebudayaan ke seluruh penjuru

dunia.

28

yang lainnya, pada permainan Rapa’i Saman dilantunkan pujian kepada Allah Swt dan Nabi

Muhammad Saw. 22

4. Rapa’i Geleng (Geuleung) yaitu sebuah permainan tradisional yang menggabungkan antara

tarian meuseukat dan permainan Rapa’i. Rapa’i Geleng berasal dari wilayah Aceh Selatan.

Rapa'i Geleng merupakan perpaduan antara gerakan tarian dengan permainan Rapa’i.

Permainan Rapa'i Geleng juga disertakan gerakan tarian yang melambangkan sikap

keseragaman dalam hal kerjasama, kebersamaan, dan penuh kekompakan dalam lingkungan

masyarakat. Permainan ini mengekspresikan dinamisasi masyarakat dalam syair yang

dinyanyikan, kostum dan gerak dasar dari unsur Tari Meuseukat. Rapa’i geleng lazimnya

dimainkan oleh 12 orang laki-laki yang sudah terlatih. Syair yang dibawakan adalah puiian-

pujian yang mengagungkan sang Pencipta yaitu Allah Swt dan RasulNya Nabi Muhammad

Saw. Selain itu dalam Rapa’i Geleng juga disampaikan sosialisasi kepada masyarakat tentang

bagaimana hidup bermasyarakat, beragama dan solidaritas yang dijunjung tinggi. Kostum

yang dipakai berwarna hitam kuning berpadu manik-manik merah. Fungsi dari Rapa’i Geleng

ini adalah syiar agama, menanamkan nilai moral kepada masyarakat, dan juga menjelaskan

tentang bagaimana hidup dalam masyarakat sosial. Rapa'i Geleng pertama kali dikembangkan

pada tahun 1965 di Aceh Selatan. Saat itu permainan ini dibawakan pada saat mengisi

kekosongan waktu santri yang jenuh usai belajar. Lalu, permainan ini dijadikan sarana dakwah

karena dapat membuat daya tarik penonton yang sangat banyak. Rapai Geleng memiliki 3

babak yaitu: Saleuem (salam), Kisah (baik kisah rasul, nabi, raja, dan ajaran agama) dan Lani

(penutup). Gerakan tarian ini diikuti tabuhan rapa'i yang berirama satu-satu, lambat, lama

kemudian berubah cepat diiringi dengan gerak tubuh yang masih berposisi duduk bersimpuh,

meliuk ke kiri dan ke kanan. Gerakan cepat kian lama kian bertambah cepat. Pada dasarnya,

ritme gerak pada tarian rapai geleng hanya terdiri dalam empat tingkatan; lambat, cepat,

sangat cepat dan diam. Keempat tingkatan gerak tersebut merupakan miniatur karakteristik

masyarakat yang mendiami posisi paling ujung pulau Sumatera, berisikan pesan-pesan pola

22

Wawancara dengan Rijal Rifa’i tanggal 16 April 2013 di Kediamannya Banda Aceh

29

perlawanan terhadap segala bentuk penyerangan pada eksistensi23

kehidupan agama, politik,

sosial dan budaya mereka. Pada gerakan lambat, ritme gerakan rapa'i geleng tersebut memberi

pesan dan makna bahwa semua tindakan yang diambil mesti diawali dengan proses pemikiran

yang matang, apapun yang akan timbul di depan merupakan hasil dari keputusan yang

diambil maka dari itu segala sesuatu harus dipertimbangkan dengan seksama.

(www.wikipedia.com)

5. Rapa’i Daboih yaitu sebuah pertunjukkan seni masyarakat Aceh yang menampilkan

permainan debus yang diiringi permainan Rapa’i. Adapaun yang disebut dengan debus yaitu

menikam diri dengan rencong tajam, dengan besi panas serta alat atau senjata tajam lainnya.

Biasanya dilakukan di bagian tangan, paha, perut dan bagian-bagian tubuh lainnya yang

ditikam, tetapi tidak mengakibatkan luka. Kalaupun ada bagian tubuh yang terluka karena

ditikam, cukup diobati oleh syeikh dengan mengusap tangannya pada bagian tubuh yang

terluka, lalu sembuh kembali. Rapa’i Daboih terdiri dari seorang syeikh yang bergelar

khalifah, yaitu seorang pemimpin dalam permainan Rapa’i Daboih. Anggota (awak) yang

memainkan Rapa’i terdiri dari 8-12 orang dan beberapa lagi yang terdiri dari pemain debus.

Saat Rapa’i dimainkan, seorang syeikh menyanyikan lagu maka pemain Rapa’i (awak

menabuh Rapa’i nya kemudian diikuti dengan pertunjukkan oleh pemain debus. Segala bagian

dari pertunjukan ini dibawah pimpinan dan pengawasan khalifah (syeikh). Hasil dari

wawancara Bapak Zul (April 2013) : setiap pemain debus harus memiliki keyakinan kepada

Allah Swt. Dan percaya bahwa segala yang terjadi adalah kehendak yang Kuasa, sedangkan

manusia hanya bisa berusaha dan yakin dengan apapun yang mereka harapkan Seperti pada

saat awak menabuh Rapa’i sekuat-kuatnya, maka pemain debus harus memusatkan pikirannya

pada sebuag keyakinan dalam arti meminta pertolongan kepada Tuhan dengan do’a – do’a

tertentu. Selama masih dalam memusatkan pikiran, para pemain debus tidak boleh goyah,

apabila pikiran pemain debus itu tidak fokus pada keyakinan diatas maka senjata tajam yang

23 Kata eksistensi berasal dari kata Latin Existere, dari ex keluar sitere = membuat berdiri. Artinya apa yang ada,

apa yang memiliki aktualitas, apa yang dialami. Konsep ini menekankan bahwa sesuatu itu ada.

(http://edukasi.kompasiana.com/2012/03/22/eksistensi-manusia-444068.html)

30

digunakan akan melukai tubuh pemain debus tersebut. Adapula permainan Rapa’i Daboih

yang dipertandingan. Biasanya diikuti oleh 2-5 tim yang terdiri dari 15 orang tiap tim.

Masing-masing tim yang bertanding membentuk sebuah lingkaran dan dibuat batas untuk

masing-masing tim. Ditengah lingkaran berdiri seorang khalifah yang membuka pertandingn

dengan sebuah zikir dan diikuti dengan tabuhan Rapa’i. Maisng-masing tim beradu

ketangkasan Debus. Apabila ada sebuah tim yang melakukan sebuah atraksi maka tim lain

harus bisa meniru atraksi tersebut. Dan pada akhirnya khalifah yang menentukan tim mana

yang berhak menjadi pemenang. Apabila dalam pertunjukannya terdapat pemain debus yang

terluka (biasanya dikarenakan tidak fokusnya si pemain, atau kesalahan awak dalam

memainkan Rapa’i) maka khalifah akan turun tangan untuk menyembuhkan luka pemain

tersebut. Permainan Rapa’i Daboih biasanya dilaksanakan pada malam hari dan sampai

menjelang subuh.

6. Rapa’i Ngadat yaitu permainan Rapa’i yang didalamnya menyajikan permainan ritmis Rapa’i

yang mengiringi nyanyian yang berbentuk Ratab/radat. Berbeda dengan Rapai Daboih yang

menggunakan Rapai dengan diameter 18 dan 19 inch, pada permainan Rapa’i Ngadat

digunakan ukuran Rapa’i yang lebih kecil yakni 16-17 inch. Dalam permainannya, Rapa’i

Ngadat mengandung kekuatan supranatural sehingga penyajiannya hanya dilakukan pada

malam jum’at. Rapa’i Ngadat biasanya dimainkan oleh 10-15 orang yang dipimpin oleh

seorang syeikh (khalifah). (skripsi Rita Dewi, 1995)

7. Rapa’i Urouh adalah salah satu bentuk kesenian Rapa’i yang dipertandingkan antara satu

kampung dengan kampung lainnya. Rapa’i Urouh biasa dimainkan oleh 30 orang dengan 15

orang masing-masing grup. Sama halnya dengan Rapa’i Pasee, pada Rapa’i Urouh juga

terdapat tiang untuk menggantungkan Rapa’i yang dalam bahasa Aceh biasa disebut Seung

(Arena tempat permainan). Pada Rapa’i Urouh, masing-masing grup yang bertanding berbaris

sejajar saling berhadapan satu sama lain. Rapa’i Urouh juga dipimpin oleh seorang Khalifah

yang berdiri ditengah-tengah diantara 2 grup yang bertanding.Yang menjadi criteria penilaian

adalah irama lagu dan kerasnya bunyi pukulan. Team juri yang penilai biasanya berada jauh

31

dari tempat pertandingan agar dapat mendengar grup mana yang lebih kuat pukulannya.

Menurut kebiasaanya pertandingan dilakukan pada malam hari sampai menjelang subuh.

Rapa’i yang digunakan sama ukurannya dengan Rapa’i yang digunakan pada pertunjukkan

Rapa’i Pasee yaitu 30 inch.

8. Rapa’i Geurimpheng adalah salah satu bentuk kesenian yang diiringi permainan Rapa’i.

Kesenian ini ditampilkan dengan urutan-urutan penampilan seperti Saleum dan selanjutnya

dengan Likok/Lapih (gerakan mengayunkan badan kedepan dan kebelakang dengan posisi

duduk berlutut). Pada dasarnya penabuh membentuk posisi berbanjar yang terdiri dari 12

orang yang dibagi menjadi 2 kelompok (No. 1-6 disebut grup Apeut, No. 7-12 disebut grup

Syeikh). Selain posisi berbanjar pada Rapa’i Geurimpheng juga terdapat posisi pha rangkang

atau meuteu’ot yaitu posisi bersaf dua dimana penabuh nomor genap agak mundur

kebelekang. Pada Saleum semua penabuh memegang Rapa’i dan membunyikannya dengan

beberapa variasi pukulan. Geurimpheng dalam penampilannya adakalanya dipertandingkan

antara satu grup dengan grup lainnya.. Masing-masing grup berusaha memperlihatkan

berbagai macam ragam gerak dengan syair yang kadang-kadang berisi teka-teki yang harus

dijawab oleh puhak lawan.

9. Rapa’i lagee yaitu permainan Rapa’i yang diiringi dengan nyanyian-nyanyian. Disamping itu

pada Rapa’i lagee dituntut keahlian melagukan Rebana sambil membuat gerakan yang

variatif. Lagu-lagu dan syair-syair yang dibawakan biasanya hampir sama dengan seudati

sehingga orang mengatakan bahwa Rapa’i lagee merupakan seudati yang disuarakan lewat

rebana. Fungsi rapa’i lagee adalah sebagai hiburan dalam upacara-upacara adat seperti: pesta

perkawinan, khitanan, syukuran dsb..

10. Rapa’i Hajat yaitu, Upacara adat ketika ada masyarakat yang bernazar. Rapa’i Nazar biasanya

dipmpin oleh seorang Imam Pesantren. Rapai dimainkan oleh 8-12 awak Rapa’i Hajat

menggunakan Rapa’i berukuran 16inch. Awalnya do’a – do’a di bacakan oleh oleh pimpinan

awak selanjutnya setelah selesai satu do’a para awak memainkan Rapa’i dalam 1 ritem yang

32

sama dengan variasi pukulan yang berbeda. Dan dilanjutkan lagi hingga beberapa bagian

do’a.24

11. Rapa’i Ka’oi yaitu hampir mirip dengan Rapa’i hajat namun pada rapa’i kao’oi tak hanya

digunakan Rapa’i tetapi juga terdapat seruneekale,, dan geundrang. Bedanya pada Rapa’i

ka’oi sebuah do’a yang dinazarkan (diminta) dilantunkan (didendangkan) seperti sebuah

nyanyian dan diiringi oleh alat musik tersebut di atas,.25

12. Rapa’i Canang/Anak yaitu Permainan Rapa’i yang menggunakan Rapa’i dengan ukuran yang

lebih kecil dari biasanya. Rapa’i yang lazim digunakan adalah Rapa’i dengan diameter 14

inchi. Pada Rapa’i Canang juga dinyanyikan lagu-lagu yang bersifat pujian kepada Allah Swt

dan RasulNya26

3. 2 Rapa’i Musik

Seni akan selalu mengalami perubahan dan perkembangan seiring perubahan dan

perkembangan tata pola hidup masyarakat. Dari beberapa jenis permainan Rapa’i diatas, terdapat

sebuah jenis perkembangan permainan Rapa’i yaitu Rapa’i Musik. Belum ada sumber yang

menyebutkan kapan pastinya Rapa’i Musik pertama kali muncul. Menurut bapak Fajar, Rapa’i Musik

adalah sebuah perkembangan permainan Rapa’i yang muncul sekitar tahun 1999. Menurut beliau,

Rapa’i Musik merupakan sebuah jenis permainan Rapa’i yang menggabungkan antara Rapa’i, Seudati

dan Hikayat. Dalam permainannya, Dalam karyanya Rapa’i Musik tidak lepas dari pujian-pujian

terhadap Allah Swt dan RasulNya. Disamping itu, dalam lagunya Rapa’i Musik juga mengandung

unsur-unsur syair seperti: mengajak manusia melaksanakan kebaikan, bersyukur atas nikmat yang

diberikan Allah Swt, dan syair-syair yang bersifat menghibur orang lain tanpa melenceng dari ajaran

agama Islam.27

Bapak Zul pun sependapat dengan menyatakan bahwa Rapa’i Musik merupakan hasil

perkembangan dari permainan Rapa’i tanpa meninggalkan tujuan awal dimana Rapa’i dimainkan

24 Wawancara dengan Rijal Rifa’i tanggal 16 April 2013 di Kediamannya Banda Aceh 25 Wawancara dengan Rijal Rifa’i tanggal 16 April 2013 di Kediamannya Banda Aceh 26 Ibid 27 Wawancara dengan Bapak Fajar pada tanggal 12 April 2013 di Kediamannya.

33

pertama kali yaitu untuk tujuan syiar agama Islam. Seperti ajakan menunaikan sholat, melakukan

kebaikan serta meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh Allah Swt.28

Menurut keterangan Bapak Fajar (wawancara tanggal 12 April 2013) Istilah Rapa’i Musik

juga digunakan untuk menyebutkan jenis alat musik Rapa’i yang digunakan dalam permainan Rapa’i

Musik. Rapa’i yang digunakan dalam permainan Rapa’i Musik biasanya Rapa’i yang memiliki

diameter 17-19inch. Istilah tersebut terus bertahan hingga sekarang. Apabila ada seseorang yang ingin

memesan sebuah Rapa’i yang digunakan untuk permainan Rapa’i Musik, dia cukup menyebutkan

kalau dia ingin memesan Rapa’i Musik.

Dari keterangan informan diatas maka penulis mengambil kesimpulan bahwa Rapa’i Musik

adalah :

- Genre sebuah kelompok musik (biasa dikatakan band) yang didalamnya terdapat unsur

musik tradisi salah satunya adalah permainan Rapa’i.

- Sebutan untuk alat musik Rapa’i yang memiliki ukuran 17-19inch yang digunakan dalam

permainan Rapa’i Musik.

Agar tidak membingungkan pembaca, maka dalam skripsi ini penulis gunakan istilah Rapa’i

untuk menyebutkan Rapa’i yang digunakan dalam Rapa’i Musik. Sedangkan Rapa’i Musik adalah

permainan musik sekelompok orang (sebuah band) yang memadukan unsur tradisional Aceh dengan

musik modern. Yang didalamnya terdapat sekitar 4-8 orang pemain Rapa’i.

Dalam permainannya Rapa’i biasa dimainkan bersama alat musik tradisional Aceh lainnya

seperti geundrang dan Serune Kalee. Dalam penyajian Rapa’i Musik 2 alat musik ini ikut meramaikan

lagu. Serune Kalee berasal dari 2 kata yaitu: serune (serunai) dan Kalee (nama desa di Laweung,

Kabupaten Pidie). Jadi Serune Kalee diartikan serunai yang berasal dari Kalee. Sarune Kalee

diklasifikasikan sebagai alat tiup jenis Aerophone, karena memakai lidah dan mempunyai rit. Bentuk

alat musik ini adalah memanjang bulat dan lurus. Pada bagian atas kecil dan ditengahnya (badan)

terdapat lubang-lubang udara dan pada bagian bawah memiliki bentuk yang besar menyerupai kelopak

bunga teratai. Sedangkan Geundrang merupakan alat musik pukul 2 sisi . Geundrang dipukul dengan

28 Wawancara dengan Bapak Zul pada tanggal 17 April 2013 di Kediaman beliau di Banda Aceh

34

sebuah stik pada bagian kirinya dan menggunakan tangan pada bagian kanannya. Alat musik ini

berfungsi untuk menjaga tempo permainan dengan sedikit tingkahan agar membuat suasana hidup

dalam permainanya. Disamping 2 alat musik diatas, dalam Rapa’i Musik terdapat beberapa alat musik

seperti gitar, bass, drum, dsb.

Rapa’i Musik yang merupakan proses perkembangan permainan Rapai yang pada saat

sekarang ini dimainkan bersama beberapa Instrumen modern, penulis mengacu pada teori yang

dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1986 : 247), yaitu :

Akulturasi adalah proses sosial yang timbul bila suatu kelompok manusia dengan suatu

kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing dengan sedemikian rupa,

sehingga unsur-unsur kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaan

sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian kebudayaan itu sendiri.

Rapa’i Musik merupakan salah satu hasil akulturasi kebudayaan. Musik modern yang masuk

ke daerah Aceh secara tidak langsung dapat diterima dan perlahan digabungkan dengan identitas

kebudayaan Aceh yaitu Rapa’i tanpa menghilangkan identitas tersebut.29

3. 2. 1 Biografi Bapak Fajar Shiddiq

Beliau lahir di Meulaboh pada tanggal 5 Mei 1974. Bapak Fajar merupakan anak

pertama dari dua bersaudara. Fajar kecil merupakan seorang anak yang rasa ingin tahunya

sangatlah besar. Beliau mulai tertarik dengan musik pada usia 6 tahun. Menurut beliau, pada

umur 6 tahun beliau sudah tertarik untuk memainkan alat musik. Beliau kemudian diajarkan

bermain keyboard oleh tetangganya. Alat musik pertama yang bisa dimainkannya adalah

keyboard. Fajar Shiddiq menamatkan Sekolah Dasar di Meulabouh pada tahun 1987, lalu

melanjutkan Sekolah Menengah Pertama di MIN (Madrasah Ibtidaiyah Negeri) 1 Kuala Tuha,

Meulaboh. Beliau menamatkan pendidikan SMPnya pada tahun 1990. Kemudian melanjutkan

sekolahnya ke jenjang SMA. Selama menjalani pendidikan di Sekolah Menengah Atas beliau

sempat berpindah-pindah sekolah dikarenakan ikut orang tua.Awalnya beliau bersekolah di

29 Wawancara dengan Bapak Zul pada tanggal 17 April 2013 di Kediaman beliau di Banda Aceh

35

SMA Negeri 1 Banda Aceh, namun karena pada saat itu orang tua beliau pindah tugas maka

Bapak Fajar pun ikut pindah sekolah ke SMA I Meulaboh pada tahun 1992. Selang setahun

kemudian beliau pindah lagi ke ibukota Bnada Aceh dan masuk ke SMA Muhammadiyah I

Banda Aceh. Selama bersekolah di Banda Aceh beliau mulai fokus memainkan berbagai

macam alat musik tradisi seperti Rapa’i, SeruneKalee, Geundrang dan Seruling. Pada tahun

yang sama pula beliau mendaftar ke sanggar Cut Nyak Dhien dan menjadi pemain musik bagi

sanggar tersebut. Beliau menamatkan SMA nya pada tahun 1993.

Bapak Fajar mulai membuat Rapa’i pada tahun 1994. Kemahirannya membuat Rapa’i

didasari oleh sulitnya mendapatkan alat musik tersebut pada saat itu. Pada awalnya beliau

melihat pembuatan Rapa’i di bengkel Ayah Musa (almarhum), kemudian beliau mencoba-

coba sendiri hingga pada akhirnya terbiasa membuat alat musik Rapa’i. Akhirnya pada tahun

1994 beliau mendirikan sebuah bengkel instrumen di desa peuyeurat, Banda Aceh. Mesin

untuk pembuatan alat musik didesign sendiri oleh Bapak Fajar kemudian dikerjakan oleh

mekanik bengkel dengan upah sekitar 8 juta rupiah. Alat pertama yang dihasilkan beliau

adalah sebuah Rapa’i yang dibeli oleh teman sesama pemusik di Banda Aceh seharga 1 juta

rupiah. Meskipun beliau disibukan dengan pekerjaan sebagai pengrajin alat musik, beliau

tetap menjaga jiwa seninya dengan berkarya melalui grup Rapa’i Musik. Untuk pertama kali

pada tahun 1999 beliau membentuk grup Nyawong. Nyawong beranggotakan Mukhlis (vocal),

Fajar (Serunekalee), Momo (keyboard), (Jamal rapa’i), Dek Gam (Rapa’i), Dek tek (Rapa’i),

Alex (gambus dan gitar) dan Pak Yan (Geundrang) Nyawong menciptakan beberapa karya

seperti Dododaidi, Untong Kamonyoe dan Ya Allah Biha. Pada awalnya Nyawong dibentuk

agar kreatifitas musisi Aceh memiliki media untuk disalurkan. Namun pada akhirnya

Nyawong tidak hanya sekedar berkarya namun juga tetap menjaga nilai-nilai Islam yang

disampaikan melalui permainan Rapa’i. Grup Nyawong cukup mengambil hati masyarakat

Aceh pada saat itu. Terbukti dengan banyaknya masyarakat yang menyaksikan konser

36

Nyawong di setiap pertunjukannya. Menurut Bapak Zul, Nyawong merupakan salah satu

pelopor permainan Rapa’i Musik yang mendorong para musisi terus berkarya dan secara tak

langsung menjaga kesenian tradisional Aceh.30

Disamping itu beliau juga pernah bergabung

dengan grup Kande pada tahun 2000. Kande dibentuk dengan visi mengangkat harkat dan

martabat musik Aceh ke tingkat dunia dan dapat berarti perkembangan dan kemajuan

masyarakat dunia menuju perdamaian dan kedamaian sepenuhnya. Sebelum akhirnya beliau

mengundurkan diri pada tahun 2004, bersama Kande beliau merilis album Kande dengan tittle

“The Fighting Spirit”. 2003 Desember Kande tampil pada acara pesta Agustus-an Rakyat

Aceh di Blang Padang yang disiarkan di salah satu stasiun Swasta (TV7). 2002-2004 Kande

mensosialisasikan karya-karyanya melalui panggung-panggung hiburan pada masyarakat

Aceh yang ternyata mendapat tanggapan positif dari masyarakat.31

Disamping memiliki jiwa seni, beliau juga memiliki rasa cinta yang besar terhadap

kesenian Aceh. Hal tersebut tercermin dari Rapa’i buatan beliau. Bapak Fajar memasukkan

ukiran khas Aceh. Menurut beliau dengan memasukkan ukiran ke badan Rapa’i maka beliau

termasuk menjaga warisan budaya agar masyarakat tetap mengenal kekayaan budaya Aceh

Sebuah kebarhasilan yang ingin dicapai tidaklah semudah membalikkan telapak

tangan. Selalu ada cobaan dalam mencapai kesuksesan. Hal tersebut juga dialami oleh Bapak

Fajar. Ditengah kesuksesannya dalam bermusik dan menjalankan bisnis alat musik, beliu ikut

terkena bencana tsunami pada tahun 2004 silam. Semua harta benda habis diterjang

gelombang tsunami. Namun berkat kerja keras dan do’a beliau berhasil membangun kembali

usahanya yang masih berjalan hingga sekarang. Bapak Fajar merupakan seorang pengrajin

alat musik. Disamping membuat alat musik Rapa’i, beliau juga mengerjakan pesanan alat

musik seperti: Geundrang, Sarunekalee dan Seruling. Pada tahun 2006 beliau membentuk

kembali membentuk grup Rapa’i Musik yang diberi nama Rakit. Menurut Bapak Fajar, Rakit

30 Wawancara dengan Bapak Zul pada tanggal 17 April 2013 di Kediaman beliau di Banda Aceh 31 Ensiklopedi Aceh (Musik, Tari dan Seni Rupa) Perpustakaan Nasional RI, Percetakan Tati Group, 2009

37

merupakan grup yang dibentuk agar kreatifitas pemusik tradisi Aceh dapat disalurkan melalui

karya-karya yang merupakan identitas masyarakat Aceh. Rakit mengusung 3 jenis kesenian

sekaligus yaitu Rapa’i, Seudati, dan Hikayat. Namun Bapak Fajar mengakui bahwa Rakit

terinspirasi dari grup-grup pendahulunya seperti Nyawong, Kande, Cuppa dan Kapalo.

Rapa’i buatan Bapak fajar memiliki perbedaan dari Rapa’i lainnya. Yaitu pada

pemasangan kulit. Beliau menggunakan besi untuk bahan bingke (bingkai)nya (sebelumnya

menggunakan bambu). Dengan menggunakan besi sebagai bingkai maka dalam pemasangan

kulit lebih praktis dan lebih awet. Hal tersebut juga membuat tampilan Rapa’i lebih rapi

3. 3 Penggunaan dan Fungsi Rapa’i

Dalam kehidupan masyarakat Aceh musik memiliki peran yang sangat penting,

demikian juga dengan Rapa’i. Adapun penggunaan dan fungsi seperti dikemukakan oleh

Merriam (1964 : 210) yaitu:

“Use then, refers to the situation on in which music is employed in human action;

“Function” concern the reason for it employment and particularly the broader

purpose which it serves.

Dapar diterjemahkan sebagai berikut:

Penggunaan, berkenaan terhadap suatu keadaan bagaimana musik tersebut dipakai

dalam kegiatan manusia; Fungsi, meliputi alasan pemakaian dan terutama dalam

lingkup yang luas, sejauh mana musik itu dapat memenuhi kebutuhan manusia

tersebut.

Penggunaan dan fungsi di dalam musik merupakan suatu pembahasan yang sangat

penting. Hal tersebut dikarenakan musik mempengaruhi aspek-aspek di dalam kehidupan

manusia dan efeknya terhadap suatu masyarakat. Dengan kata lain, penggunaan menyangkut

38

konteks pemakaian musik, sementara fungsi menyangkut kepada bagaimana dan untuk apa

musik tersebut disajikan.

3. 3. 1. Penggunaan

Menurut Heskovits (1964 : 217-218) dalam Merriam, penggunan musik dapat dibagi

menjadi lima kategori unsur-unsur budaya yaitu: Kebudayaan Material, Kelembagaan Sosial,

Hubungan Manusia dengan Alam, Estetika, dan Bahasa. Berdasarkan kelima kategori tersebut

diatas, penggunaan Rapa’i dalam konteks unsur-unsur budaya dapat diuraikan dalam 3

kategori di atas yaitu, Kebudayaan material, Estetika dan Bahasa.

3. 3. 1. 1 Kebudayaan Material

Dalam unsur kebudayaan material, penggunaan musik dibagi menjadi dua bagian

yaitu, unsur teknologi dan unsur ekonomi. Dalam hal unsur teknologi, musik digunakan untuk

mengiringi pekerjaan yang dilakukan misalnya pekerjaan pada waktu panen, ataupun

pekerjaan yang ada dirumah. Sementara sebagai unsur ekonomi, musik digunakan untuk

mendapatkan keuntungan dari permainan musik tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka

Rapa’i dapat dikategorikan keduanya. Disamping Rapa’i digunakan pada saat waktu panen

yang termasuk sebagai unsur teknologi, Rapa’i juga termasuk sebagai unsur ekonomi, sebab

pmain Rapa’i yang dipanggil untuk mengiringi suatu upacara mendapatkan profit atau

keuntungan dari bermain musik tersebut.

3. 3. 1. 2 Bahasa

Bahasa merupakan salah satu media berkomunikasi. Dalam penggunaannya, Rapa’i

digunakan sebagai media dakwah yang dapat menyampaikan pesan-pesan Islamiyah. Maka

39

dapat disimpulkan, Rapa’i digunakan sebagai Bahasa bagi pemainnya untuk menyampaikan

dakwah Islamiyah.

3. 3. 2 Fungsi

Menurut Alan P. Merriam (1964 :219-226) fungsi musik dapat dibagi dalam 10

kategori yaitu:

1. Fungsi pengungkapan emosional

2. Fungsi penghayatan estetis

3. fungsi hiburan

4. Fungsi komunikasi

5. Fungsi perlambangan

6. Fungsi reaksi jasmani

7. Fungsi yang berkaitan dengan norma sosial

8. Fungsi pengesahan lembaga social dan upacara keagamaan

9. Fungsi kesinambungan budaya

10. Fungsi pengintegrasian masyarakat

Dalam penyajiannya penulis melihat ada 4 fungsi utama pada Rapa’i yaitu, Fungsi

Komunikasi, Fungsi Hiburan, Fungsi Upacara Keagamaan dan Fungsi pengintegrasian

masyarakat.

3. 3. 2.1. Fungsi Komunikasi

Rapa’i merupakan salah satu media untuk berkomunikasi bagi rakyat Aceh. Seperti

yang telah dibahas pada bagian terdahulu, masayarakat Aceh menggunakan Rapa’i sebagai

40

salah satu alat untuk menyampaikan dakwah Islamiyah. Syeikh Kadir Abdul Djailani beserta

pengikutnya menggunakan Rapa’i sebagai salah satu alat untuk mengkomunikasikan ajaran-

ajaran Islam kepada masyarakat Aceh. Tak hanya dengan memainkan Rapa’i, tapi diikuti

dengan syair-syair yang berisikan tentang ajaran agama Islam. Selain itu Rapa’i juga

digunakan sebagai alat untuk mengkomunikasikan kepada masyarakat bahwa di tempat asal

bunyi Rapa’i tersebut dimainkan sedang berlangsung sebuah upacara. Sehingga dengan

deemikian masyarakat Aceh di sekitarnya akan dapat mengetahui bahwa telah berlangsung

sebuah upacara tertentu. Dari beberapa hal tersebut di atas bahwa Rapa’i memiliki fungsi

Komunikasi bagi masyarakat Aceh.

3. 3. 2.2 Fungsi Hiburan

Disamping sebagai media penyampaian dakwah Islamiyah dalam kehidupan

masyarakat Aceh, Rapa’i juga berfungsi sebagai hiburan. Meskipun misi utama Rapa’i pada

awalnya sebagai media penyampaian dakwah Islam, namun permainan Rapa’i memiliki cirri

khas permainan yang bersifat menghibur bagi masyarakat. Hal tersebut yang membuat

masyarakat Aceh berbondong-bondong untuk menyaksikan pertunjukkan Rapa’i. Disamping

itu, pada saat ini Rapa’i sering dipertunjukan sebagai hiburan pada acara-acara tertentu. Dan

masyarakat merasa terhibur dengan permaian Rapa’i.Dari hal tersebut jelas bahwa Rapa’i

memiliki fungsi sebagai hiburan.

3. 3. 2.3 Fungsi Upacara Keagamaan

Rapa’i berfungsi sebagai upacara keagamaan bagi masyarakat Aceh. Hal tersebut jelas

terlihat disetiap pertunjukkannya, Rapa’iselalu berkaitan dengan ajaran agama Islam. Dalam

penyajiannya, Rapa’i tidak hanya berfungsi sebagai hiburan belaka namun selalu memiliki

unsur-unsur ke-Islaman baik dalam beberapa hal seperti teks nyanyian dan lagu yang

41

dimainkan bahkan dalam cara berpakaian para awak Rapa’i menunjukkan bahwa Rapa’i

memiliki unsur-unsur ke-Islaman. Hal ini dikarenakan disetiap aspek kehidupan masyarakat

Aceh selalu berorientasi pada Agama Islam.

3. 3. 2.4 Fungsi Pengintegrasian Masyarakat

Rapa’i berfungsi sebagai alat pengintegrasian bagi masyarakat Aceh. Artinya melalui

bunyi Rapa’i masyarakat Aceh akan bersatu dalam satu tujuan baik dalam mendengar dakwah

Islam maupun secara bersama-sama menyaksikan hiburan melalui penyajian Rapa’i. Selain

itu, dengan adanya Rapa’i para pendengar akan tergerak untuk berkumpul guna menyaksikan

pertunjukan tersebut dalam satu rasa dan satu tujuan. Dengan demikian jelas bahwa Rapa’i

juga berfungsi sebagai alat pengintegrasi (mengumpulkan dan mempersatukan ) masyarakat

Aceh.

42

BAB IV

KAJIAN STRUKTURAL DAN FUNGSIONAL GENDANG RAPA’I BUATAN

BAPAK FAJAR SHIDDIQ YANG DIGUNAKAN DALAM RAPA’I MUSIK

4.1 Klasifikasi Rapa’i

Dalam mengklasifikasikan alat musik, Curt Sachs dan Hornbostel membaginya ke dalam

empat klasifikasi yaitui : (1) Idiophone (penghasil bunyi adalah badan alat musik itu sendiri) ; (2)

Membranophone (penghasil bunyi disebabkan oleh getaran kulit yang direnggangkan) ; (3)

Kordophone (penghasil bunyi adalah dari getaran senar dawainya) ; (4) Aerophone (penghasil

bunyi karena adanya sentuhan udara) (terjemahan Rizaldi Siagian).

Sesuai dengan kriteria di atas, maka alat musik Rapa’i adalah termasuk kedalam klasifikasi

membranophone. Berdasarkan jumlah dari membrannya membranophone dibagi lagi kedalam dua

jenis yaitu single head dan double head (Sachs, 1914). Dalam klasifikasi ini Rapa’i merupakan

membranophone single head karena hanya mempunyai satu membrane.

Tabel 3

Klasifikasi Instrumen Gendang Rapa’i

2 Membranophone

21 Struck drums

211 Drums struck directly

211.3 Frame drums

211.31 Frame drums without handle

211.311 Single skin frame drums without

handle

43

4.2 Konstruksi Bagian-Bagian Rapa’i

4.2.1 Baloh

Baloh merupakan bagian dari badan Rapa’i yang terbuat dari kayu keranji (ceuradieh)

Selain itu digunakan juga juga kayu tualang (untuk Rapa’i Pasee) dan kayu nangka (Rapa’i anak).

Berbeda dengan Rapa’i Pasee (baca skripsi Sarjana Rita Dewi), pada Rapa’i yang digunakan untuk

Rapa’i musik ini bagian yang digunakan untuk membuat sebuah baloh adalah bagian badan kayu

ceuradieh. Biasanya badan pohon yang diambil yaitu pohon keranji yang sudah tua hingga beratus-

ratus tahun. Disebabkan karena umur dari pohon kayu keranji yang sudah tua ini memiliki ketahanan

yang lebih baik daripada pohon yang muda.

Baloh merupakan bagian Rapa’i yang pertama kali dikerjakan pada proses pembuatan alat

musik Rapa’i. Apabila sebuah balok telah dibentuk barulah bagian-bagian badan Rapa’i yang lain

dapat dikierjakan.

Baloh dibentuk sedemikian rupa sehingga terdapat beberapa lekukan dan garis yang membuat

Rapa’i tampak indah pada tampilannya. Lekukan pada badan baloh tidak berpengaruh kepada suara

yang dihasilkannya.

Gbr. 3 dan 4 : Gambar Baloh

(dok. Rizky 2013)

44

4. 2.2 Babah/Paleung

Pada Rapa’i musik, babah atau paleung merupakan bagian belakang baloh. Atau bisa

dikatakan bagian Rapa’i yang tidak ditutupi kulit. Pada pembuatan Rapa’i ysng digunakan untuk

Rapa’i Musik, bagian babahnya dikerjakan setelah bagian baloh dibentuk.Ukuran dari babah

tergantung dari besarnya sebuah Rapa’i dalam artian sebuah tidak lebih besar dari ukuran permukaan

balohnya.

Gambar 5 : Bagian Babah yang dihaluskan/dirapikan

(dok. Rizky 2013)

4. 2.3 Bingke/Geup

Bingke/Geup adalah bambu yang digunakan untuk mengikat kulit kambing ke badan Rapa’i.

Pada Rapa’i buatan Bapak Fajar tidak lagi menggunakan bambu sebagai bahan bingkenya. Bapak

Fajar menggantinya dengan besi batangan dikarenakan besi ini dapat bertahan lebih lama daripada

45

bahan bambu. Menuirut beliau besi yang menggantikan bambu juga memperkecil resiko kerusakan

bingke pada saat pemasangan kulit. Pada bagian bingke juga terdapat paka (pasak) yang berfungsi

sebagai pengetat kulit. Paka (pasak) biasanya terbuat dari kain atau benang yang diputar kemudian

dimasukkan diantar baloh dan bingke.

Gambar 6 ; Besi Batangan yang digunakan untuk Bingke/Geup

(dok. Rizky 2013)

4.2.4 Bohgrik

Bohgrik terdiri dari 2 buah lempengan logam yang telah dihaluskan permukaannya dan kedua

logam tersebut terdapat pada bagian badan baloh. Suara khas yang dimiliki oleh alat musik Rapa’i

tidak lepas dari peran suara yang dihasilkan bohgrik.

46

2 lempengan logam

bohgrik

Gambar 7 : Kerincing/Bohgrik (dok. Rizky 2013)

4. 2.5 Kulit

Gendang Rapa’i merupakan alat musik yang digolongkan kedalam jenis membranofon dimana

bunyi utama yang dihasilkan berasal dari getaran kulit yang dipukul menggunakan tangan. Pada

Rapa’i yang digunakan dalam Rapa’i Musik, kulit yang digunakan adalah kulit kambing. Biasanya

kulit kambing yang digubnakan adalah kulit yang diambil dari bagian punggung kambing.

Dalam proses pengolahan kulit kambing menjadi membrane gendang Rapa’i kita harus

melewati beberapa tahapan.Tahap awal, kulit kambing dicuci hingga bersih sehingga sisa daging yang

menempel benar-benar bersih. Kemudian kulit kambing tersebut dijemur Setelah kering kulit tersebut

dibersihkan dari bulu –bulu yang menempel (menggunakan pisau dan grenda). Setelah bersih dari

bulu-bulu kulit kambing tersebut disale (diasapi) agar kulit tersebut terjaga ketahanannya. Setelah

disale (diasapi) barulah kulit tersebut direndam di air kapur agak lentur dan mudah saat direkatkan ke

baloh.

47

Gambar 8 : Kulit kambing yang telah dijemur (dok. Rizky 2013)

Gambar 9: Kulit kambing yang dihaluskan dengan grenda (dok. Rizky 2013)

48

Gambar 10: Kulit kambing setelah digrenda(dihaluskan)

(dok. Rizky 2013)

Gambar 11: kulit kambing yang telah kering dan bersih dari bulu

(dok. Rizky 2013)

49

Gambar 12 : Kulit yang direndam di air kapur

(dok. Rizky 2013)

4.2.6 Cidak

Cidak merupakan sebuah rotan yang digunakan untuk memperoleh bunyi yang dibutuhkan

oleh pemain Rapa’i. Rotan ini dimasukkan kedalam celah antara kulit bagian daklam (pada bagian

babah) dengan permukaan baloh. Cidak ini berfungsi untuk meregangkan kulit agar dapat diperoleh

bunyi yang diinginkan ketika memainkan Rapa’i.

Pada Rapa’i yang digunakan untuk Rapa’i musik, cidak dapat dimasukkan menggunakan

tangan dengan cara ditekan hingga 1 putaran.

50

4

3

1 5 2

Gambar 13 : Bagian-bagian Rapa’i (dok. Rizky 2013)

Keterangan:

1. Kulit (Membran)

2. Baloh

3. Paleung/Babah

4. Bohgrik/Kerincing

5. Geup/Bingke

4.3 Ukuran Bagian-Bagian Rapa’i

Ukuran dan bagian-bagian Rapa’i yang penulis paparkan berikut ini adalah sesuai dengan

ukuran Rapa’i yang digunakan dalam Rapa’i Musik yang dibuat oleh Bapak Fajar Shiddiq. Dapat

dilihat pada gambar berikut ini.

51

4.3.1 Ukuran Bagian Baloh

Baloh adalah bagian badan Rapa’i yang berbentuk bulat. Pada baloh dibuat lekukan untuk

memperindah bentuknya.

Berikut ini adalah ukuran dari bagian baloh yang terdapat pada Instrumen gendang Rapa’i

buatan Bapak Fajar Shiddiq, antara lain :

Diameter baloh : 40 cm

Tinggi baloh : 8,5 cm

Tebal baloh : 3 cm

Diameter

Baloh 40 cm

Gambar 14 : Bagian Baloh memiliki diameter 40 cm (dok. Rizky 2013)

52

Tinggi baloh 8,5 cm

Gambar 15 : Bagian Baloh memiliki tinggi 8,5 cm (Dok. Rizky 2013)

Tebal Baloh 3 cm

Gambar 16: Bagian Baloh memiliki tebal 3 cm (Dok. Rizky 2013)

53

4.3.2 Ukuran Bagian Babah/Paleung

Babah adalah bagian belakang baloh yang memiliki diameter lebih kecil daripada baloh.

Berikut ini adalah ukuran bagian Babah yang terdapat pada Instrumen gendang Rapa’i buatan Bapak

Fajar Shiddiq, antara lain :

Kedalaman babah : 9 cm

Diameter babah :37 cm

Tebal babah : 3 cm

Kedalaman Babah 9 cm

Gambar 17 : Bagian Babah memiliki kedalaman 9 cm (Dok. Rizky 2013)

54

Diameter Babah

37 cm

Gambar 18: Bagian Babah memilik diameter 37 cm (dok. Rizky 2013)

Tebal Babah 3 cm

Gambar 19: Bagian Babah memiliki tebal 3 cm (dok. Rizky 2013)

55

4.3.3 Ukuran Bagian Kulit

Kulit merupakan penutup baloh yang berfungsi sebagai sumber getaran gendang Rapa’i. Kulit

yang digunakan adalah kulit kambing jantan yang berukuran diameter 50 cm. Kulit kambing lebih

besar 10 cm dari diameter baloh . Hal tersebut dikarenakan tebal baloh 3cm dan pada saat

pemasangan kulit, 2 cm kulit yang lebih dilipat kedalam geup/bingke.

Diameter kulit 46

Gambar 20 : Bagian Kulit memiliki diameter 46 cm

(Dok. Rizky 2013)

4.3.4 Ukuran Bagian Geup/bingke

Bingke /Geup berfungsi sebagai pengikat kulit kambing agar dapat melekat ke baloh. Geup

awalnya terbuat dari bambu namun Bapak Fajar Shiddiq melakukan modifikasi pada bingke dengan

merubah bahan dasarnya yang awalnya bambu menjadi besi. Hal tersebut dilakukan agar bingke/ geup

lebih awet dan tidak mudah putus/rusak.

56

Ukuran bingke yang dipakai adalah dengan diameter 48 cm dengan ketebalan 1 cm.

Diameter Geup 48 cm

Gambar 21: Bagian Babah memiliki tebal 3 cm

(Dok. Rizky 2013)

4.3.5 Ukuran Bagian Bohgrik/Kerincing

Bohgrik merupakan sepasang logam yang menempel pada badan Rapa’i. Bohgrik

menghasilkan suarang gemerincing yang merupakan cirri khas dari alat musik Rapa’i. Adapun ukuran

dari bohgrik yang terdapat pada Instrumen gendang Rapa’i buatan Bapak Fajar Shiddiq adalah

ssebagai berikut :

Diameter bohgrik : 6 cm

Diameter lubang bohgrik : 0,5 cm

4. 4 Bahan-Bahan Untuk Membuat Rapa’i

Bahan bahan yang digunakan pada pembuatan gendang Rapa’i cukup sederhana. Karena tidak

banyak bahan yang dipakai dalam pembuatannya. Selain itu bahan-bahan untuk membuatnya mudah

untuk didapatkan.

Berikut ini penulis akan menjelaskan mengenai bahan-bahan dalam pembuatan gendang Rapa’i, serta

fungsinya masing-masing.

57

4.4.1 Kayu Ceuradieh (Keranji)

Untuk membuat sebuah baloh dibutuhkan bahan utama yang diproses menjadi hasil akhir

berupa sebuah baloh Rapa’i. Bahan utama dalam pembuatan baloh Rapa’i adalah kayu Ceuradieh,

selain kuat kayu juga memiliki ketahanan yang cukup lama. Pohon ini banyak tumbuh di hutan dekat

pemukiman desa Kaye Leue.

Alasan pemilihan batang kayu Ceuradieh sebagai bahan utama pembuatan baloh Rapa’i Bapak

Fajar hiddiq mengatakan :

Kayu Ceuradieh memiliki daya tahan yang kuat, tidak mudah pecah dan warna kayunya bagus. Jadi Rapa’i tetap bagus meskipun tidak dicat. Dan kayu Ceuradieh baik

dalam akustikanya. Suara yang dihasilkan cukup nyaring. Itulah sebabnya kenapa

Rapa’i yang terbuat dari kayu Ceuradieh harganya lebih mahal dari Rapa’i yang terbuat dari kayu nagka.

Menurut Bapak Fajar Shiddiq32

, kayu yang digunakan harus berasal dari pohon yang sudah

berumur tua, berkisaran 10-15 tahun, karena kayu dari pohon yang tua tersebut akan menjadi lebih

kuat, dan juga memiliki kualitas yang baik sehingga hasil dari baloh yang dibentuk nanti akan

menghasilkan suara yang kuat.

Pemilihan pohon tua biasanya dilakukan di daerah hutan yang terdapat di sebelah barat desa

Kaye Leue (kediaman Bapak Fajar Shiddiq). Pohon yang sudah berumur tua dan berdiameter tidak

kurang dari 80cm adalah pohon yang kayunya layak untuk dijadikan bahan dasar dalam pembuatan

Rapa’i.

32 Wawancara pada tanggal 12 April 2013 di Kediaman beliau di Banda Aceh

58

Gambar 22 : Pohon Ceuradieh/Keranji

(Dok. Rizky 2013)

4.4.2 Kulit Kambing

Kulit Kambing adalah salah satu bahan baku yang digunakan untuk membuat gendang

Rapa’i., dari penjelasan Bapak Fajar Shiddiq kulit kambing ini diambil sendiri olehnya dari kambing

ternak beliau. Kulit kambing yang baik adalah kulit kambing dewasa yang jantan. Kulit kambing

jantan pada umumnya memiliki ketahanan yang lebih baik daripada kuling kambing betina.

59

Gambar 23 : Kulit kambing jantan

(Dok. Rizky 2013)

4.4.3 Kuningan (logam yang ditipiskan)

Kuningan merupakan bahan dasar untuk membuat bohgrik/kerincing pada gendang Rapa’i.

Bapak Fajar memperoleh besi plat tersebut dari pengumpul barang bekas yang di dekat kediaman

beliau.

60

Gambar 24 : bahan dasar untuk membuat bohgrik (Dok. Rizky 2013)

4.4.4 Kawat

Kawat digunakan untuk menahan kulit yang akan dipasangkan ke baloh. Kawat diletakkan

antara baloh dengana bingke/geup. Kawat biasa diperoleh dari pengumpul barang bekas atau Bapak

Fajar membelinya di toko bangunan apabila pengumpul barang bekas kehabisan barang.

Gambar 25: kawat sebagai penahan kulit yang dipasangkan ke baloh

Dok. Rizky 2013)

61

4. 4. 5 Besi Batangan

Besi batangan digunakan untuk membuat bingke/geup. Bapak Fajar menggunakan besi

batangan sebagai geup untuk menggantikan bambu yang seringkali pecah disaat pemasangan kulit.

Besi batangan tersebut dapat diperoleh dari toko bangunan.

Gambar 26: Besi batangan yang dibengkokkan menggunakan palu

(Dok. Rizky 2013)

62

4. 4 6 Rotan (cidak)

Rotan digunakan untuk meregangkan kulit Rapa’i sesuai dengan keinginan si pemain Rapa’i.

Rotan yang digunakan adalah rotan yang memiliki ketebalan 0,25 inch.

4. 4. 7 Kain

Kain digunakan sebagai paka yaitu untuk mengetatkan kulit agar tetap dapat menempel pada

baloh. Paka juga juga dapat berfungsi sebagai peregang kulit. Kain tersebut dimasukkan diantara baloh

dengan bingke.

4. 5 Alat-Alat yang Digunakan dalam Proses Pembuatan Rapa’i

Dalam proses pembuatannya Rapa’i tidak lepas dari peran serta peralatan yang digunakan.

Peralatan yang digunakan untuk pembuatan Rapa’i memiliki jenis yang beragam dan untuk fungsi

yang beragam pula. Beberapa peralatan adalah rancangan dari Bapak Fajar sendiri.

4. 5. 1 Mesin Bubut

Mesin ini merupakan hasil desain dari Bapak Fajar sendiri. Mesin ini digunakan untuk

membuat baloh dan melubangi babah. Alat tidak terlalu sulit dalam penggunannya.

Gambar 27 : Mesin bubut

(Dok. Rizky 2013)

63

4. 5. 2 Gergaji Mesin

Gergaji mesin digunakan untuk memotong kayu Ceuradieh menjadi bakal baloh yang

berbentuk kubus kemudian untuk merapikan bakal baloh menjadi bentuk bulat.

4. 5. 3 Mesin Grenda

Mesin grenda digunakan untuk menghaluskan permukan babah, baloh, kulit, bingke, serta

bohgrik

Gambar 28 : Mesin grenda

(Dok. Rizky 2013)

64

4. 5. 4 Bor

Bor digunakan untuk melubangi bohgrik dan untuk melubangi baloh sebagai tempat bohgrik.

Gambar 29 : Bor

(Dok. Rizky 2013)

4. 5. 5 Gunting Pelat

Digunakan untuk memotong logam atau pelat yang akan dijadikan bohgrik. Gunting yang

digunakan adalah gunting pelat atau gunting besi.

4. 5. 6 Obeng

Obeng pipih digunakan untuk memasang paka pada Rapa’i. Paka terlebih dahulu dililitkan

pada obeng lalu dipukul memakai palu.

4. 5. 7 Alat Pemasangan Kulit Rapa’i

Alat juga merupakan hasil rancangan Bapak Fajar yang dikerjakan oleeh mekanik . Beliau

mengupahkan kepada tukang bubut untuk mengerjakan mesin hasil idenya.

65

Gambar 30 : Alat pemasangan Kulit

(Dok. Rizky 2013)

4. 5. 8 Obeng Besar(untuk Mendorong kulit ,

Pada saat memasang kulit kita tidak membutuhkan sebuah obeng untuk mendorong kulit

kambing diantara bingke dan baloh. Obeng yang digunakan adalah obeng yang beukuran besar.

4. 5. 9 Palu

Palu atau martil digunakan untuk memukul obeng pada saat memasang paka, memasang

bohgrik pada baloh.

66

Gambar 31 : Palu

(Dok. Rizky 2013)

4. 5. 10 Kunci pas 19 dan kunci ring 19,

Kunci pas dan kunci rind 19 digunakan untuk mengunci mesin bubut dan alat pemasangan

kulit.

4. 5. 11 Mata Pisau Bubut

Mata pisau bubut digunakan untuk merapikan pinggiran balohdan melubangi baloh

(membbuat babah).

4. 5. 12 Meter (Alat ukur)

Digunakan untuk mengukur pohon yang akan dijadikan baloh dan mengukur seyiap bagian

dari Rapa’i.

4. 5. 13 Kertas amplas,

Kertas amplas digunakan untuk menghaluskan permukaan baloh. Selain itu kertas amplas juga

digunakan untuk menghaluskan bulu –bulu yang tersisa pada kulit kambing.

4. 5. 14 Travo las

67

Travo las digunakan untuk menyambung besi batangan agak dapat membentuk

bulatan. Setelah kedua sisinya tersambung barulah besi tersebut bisa digunakan menjadi bingke.

4.6 Proses Pembuatan Rapa’i

Tabel 4

Tahapan pengerjaan Rapa’i

NO TAHAPAN PENGERJAAN BAGIAN PENGERJAAN

1 Baloh Memotong batang pohon

Membubut baloh

Menghaluskan baloh

2 Babah Membuat ( melubangi babah

Menghaluskan bentuk babah

3 Geup Membengkokan besi untuk

geup

Menghaluskan geup/bingke

4 Bohgrik Membuat bohgrik

Menghaluskan bohgrik

5 Kulit Menjemur kulit

Memotong bulu pada kulit

Mengasapi kulit

Menghaluskan kulit

Merendam kulit dengan air

kapur

Pemasangan kulit

Keterangan : tahapan yang tertera pada tabel di atas merupakan tahapan pembuatan Rapa’i yang

dilakukan oleh Bapak Fajar Shiddiq.

68

4. 6. 1 Pembuatan baloh

Pada tahapan ini, hal pertama yang dilakukan adalah pemuilihan batang pohon. Batang pohon

yang digunakan untuk membuat Rapa’i minimal berumur 100 tahun. Karna pada umur tersebut batang

pohon ceuradieh memiliki kualitas yang baik.

4.6.1.1 Memotong pohon

Dalam pemotongan batang pohon bapak Fajar Shiddiq tidak melakukan ritual-ritual, seperti

memilih bulan, hari dan tanggal. Untuk pemilihan dan pengambilan batang tersebut harus dilakukan

dari pagi hari sampai siang hari dan cuacanya harus cerah, karena apabila dilakukan pada sore maka di

hutan biasanya gelap sehingga pemilihan kayu yang baik akan terganggu

Apabila pohon yang akan dijadikan baloh sudah ditemukan maka Bapak Fajar mengukurnya

terlebih dahulu dan menggambar pola di atas kayu yang akan dipotong (lihat gambar). Sebelum

menjadi baloh biasanya kayu yang dipotong berbentuk kubus dengan ukiuran 50x50 cm dengan tinggi

10 cm.

Setelah dipotong dengan bentuk kubus lalu bakal baloh tersebut dipotong lagi sehingga

membentuk lingkaran dengan diameter 48 cm. Dan bakal baloh tersebutlah yang dibawa pulang ke

bengkel instrument beliau untuk dijadikan baloh.

69

Gambar 32 dan 33 : mengukur pohon dan memotong pohon

(Dok. Rizky 2013)

Gambar 34 dan 35 : membuat bakal baloh

(Dok. Rizky 2013)

4. 6.1.2 Membubut baloh

Setelah kayu dipotong berbentuk bulatan selanjutnya kayu dinaikkan ke mesin bubut. Hal

pertama yang dilakukan adalah membentuk baloh menggunakan pisau bubut.. Bagiaan bawah baloh

70

dikerjakan terlebih dahulu. Pisau bubut ditempelkan ke baloh secara bertahap hingga mendapatkan

bentuk berlekuk seperti pada gambar. Setelah mendapatkan bentuk dari baloh, selanjutnya membentuk

garis pada bagian bawah baloh. Seperti pada gambar

\

Gambar 36 : membentuk lekukan baloh (Dok. Rizky 2013)

71

Gambar 37 dan 38 : membentuk garis pada baloh

(Dok. Rizky 2013)

4.6.1.3 Menghaluskan Baloh

Setelah baloh dibentuk memakai pisau bubut, selanjutnya baloh digosok permukaannya

menggunakan kertas pasir (amplas). Hal ini dilakukan agar permukaan baloh menjadi halus.

4.6.2 Membentuk Babah

4.6.2.1 Melubangi Baloh

Setelah selesai mengerjakan bagian baloh selanjutnya bagian babah dibentuk dengan cara

melubangi bagian tengah baloh seperti pada gambar.Untuk membuat lubang pada baloh juga

digunakan mata pisau bubut. Untuk membuat lubang pada baloh, mata pisau ditekan pada satu titik

dan baloh dibiarkan berputar hingga kembali pada titik tersebut sehingga tampak bentuk babah seperti

pada gambar.

72

Gambar 39: membentuk babah

(Dok. Rizky 2013)

4.6.2.2 Menghaluskan Babah

Setelah babah dibentuk maka selanjutnya bagian babah dihaluskan permukaannya

menggunakan grenda. Hal ini dilakukan agar serat-serat kayu yang terdapat pada bagian babah dapat

benar-benar halus.

73

Gambar 40 : Proses menghaluskan bagian babah

(Dok. Rizky 2013)

4.6.4 Membuat Bingke/geup

Setelah proses pembuatan babah maka selanjutnya proses yang dikerjakan adalah membuat

bingke Rapa’i. Bingke Rapa’i buatan Bapak Fajar Shiddiq tidak lagi menggunakan bambu pada

bahannya, melainkan menggunakan besi batangan yang dibentuk menjadi sebuah bulatan dan kedua

ujungnya disambung dengan cara di las

4.6.4.1 Membengkokan besi untuk geup

Sebuah geup dibuat dengan cara memukul sebuah besi dengan palu hingga membentuk

sebuah bulatan Besi tersebut dipukul dengan diatas sebuah landasan kayu. Tiap bagian dipukul hingga

bengkok kemudian membentuk sebuah lingkaran.

74

Gambar 41,42 dan 43 : proses pembuatabn geup/bingke

(Dok. Rizky 2013)

4.6.4.2 Menghaluskan geup/bingke

Setelah membentuk sebuah bulatan maka geup tersebut disambungkan kedua ujungnya

menggunakan alat las. Setelah ujung geup tersambung maka bekas las tersebut dihaluskan memakai

grenda seperti pada gambar berikut:

75

Gambar 44 : Proses pembuatan geup

(Dok. Rizky 2013)

Gambar 45 : Proses pembuatan geup

(Dok. Rizky 2013)

4.6.4 Membuat bohgrik

Bohgrik dibuat dari lempengan besi atau kuningan. Sebuah lempengan besi dibentuk menjadi

sebuah bulatan dengan sebuah gubting kemudian dihaluskan menggunakan grenda.

76

4.6.5 Membuat Bagian Kulit

Kulit kambing terlebih dahulu dijemur satu hari dibawah sinar matahari sore (tidak terlalu

panas). Kemudian kulit tersebut dicukur bulunya hingga benar-benar bersih dari bulu kambing. Kulit

yang telah dicukur kemudian dibentangkan didekat asap. Hal ini dilakukan untuk menjaga kualitas

kulit agar tetap baik. Setelah diasapi kulit dihaluskan lagi menggunakan kertas pasir atau kikir. Hal ini

dilakukan untuk membuang kotoran yang menempel pada kulit kambing.

Setelah dihaluskan kembali, kulit kambing tersebut direndam semalaman. Kulit kambing

direndam di air kjapur hal ini agar mejaga kelenturan kulit saat pemasangan. Setelah selesai direndam

kulit dipasang menggunakan alat pemasangan kulit. Saat pemasangan kulit kambing tetap dalam

keadaan basah agar tidak terjadi kerusakan kulit seperti robek pada saat dipasang ke baloh.

Gambar 46 dan 47 : proses pembuatan kulit ( dok. Rizky 2013 )

Gambar 48 : proses pembuatan kulit ( dok. Rizky 2013 )

77

4.6.5.1 Pemasangan Kulit

Kulit dipasang memakai alat pemasangan kulit. Kulit diletakkan diatas baloh kemudian bingke

diletakkan diatas kulit. Setelah itu pada pinggiran kulit dimasukan kawat diantara kulit dan bingke.

Kemudian kulit dilipat kedalam bingke menutupi bingke dan kawat. Bagian kulit yang dimasukkan

tersebut ditekan menggunakan obeng.

Gambar 49 : proses pemasangan kulit ( dok. Rizky 2013 )

78

Gambar 50,51,52,53,54,55,56 dan 57 : proses pemasangan kulit

( dok. Rizky 2013 )

Setelah pinggiran kulit dimasukkan kedalam selanjutnya tiap baut pada alat pemasangan kulit

diketatkan hingga bingke benar-benar menjepit baloh.

4.7 Tahap Penyempurnaan

Pada tahap ini tinggal penyelesaian akhir saja seperti pengecatan dan membuat ukiran pada

baloh. Dalam tahapan ini Rapa’i dituning yaitu dengan cara memasukan paka (kain pasak). Paka

dimasukkan kebagian bingke dengan cara dipalu secara perlahan. Rapa’i dituning hingga mendapatkan

suara yang diinginkan. Apabila ingin mendapatkan suara yang high maka kain yang dimgunakan lebih

banyak daripada Rapa’i yang memiliki suara low.

79

Gambar 58 : proses tuning ( dok. Rizky 2013 )

Gambar 59 : proses membuat ukiran ( dok. Rizky 2013 )

4. 8 Kajian Fungsional

4.8.1 Teknik Memainkan Rapai

Dalam memainkan Rapai dikenal 3 posisi memainkan Rapa’I diantaranya adalah sebagi

berikut :

Posisi biasa : awak (orang yang memainkan Rapa’i) Rapa’i duduk bersila dan Rapa’i

diletakkan di tapak kaki kemudian memainkannya dengan 2 tangan.

80

Gambar 60 : Posisi biasa

( dok. Rizky 2013 )

Posisi geleng : Posisi ini memainkan Rapa’i dengan 1 tangan sedangkan tangan kiri untuk

memegang Rapa’i

Gambar 61 : Posisi geleng

( dok. Rizky 2013 )

Posisi Sembah : Pada Zaman dahulu posisi ini menunjukkan bahwa Rapa’I sebagai media

penyebar agama Islam begitu dijaga kesuciannya. Pada posisi ini Rapa’i diangkat dengan

tangan kiri dari bawah.

81

Gambar 62: Posisi sembah

( dok. Rizky 2013 )

4.8.2 Teknik Memproduksi Bunyi

4. 8. 2. 1 Dum

Dum dihasilkan dengan cara memukul dengan 4 jari pada bagian tengah Rapa’i. Bunyi

menyerupai bunyi beat (bass).

Gambar 63: Bunyi Dum

( dok. Rizky 2013 )

4. 8. 2. 2 Preng

Bunyi preng dihasilkan dengan cara memukul kulit pada bagian pinggir Rapa’i. Untuk

menghasilkan bunyi preng digunakan 4 jari saat memukulnya.

82

Gambar 64: Bunyi Preng

( dok. Rizky 2013 )

4. 8. 2. 3 Breuk

Suara breuk dihasilkan dengan cara memukul tengah Rapa’i. Tapi untuk menghasilkan bunyi

breuk tangan harus ditempelkan agar suara breuk kita dapatkan.

Gambar 65: Bunyi Breuk

( dok. Rizky 2013 )

4. 8. 2. 4 crik

Suara crik dihasilkan dengan cara memukul bagian bingke tanpa mengenai kulit Rapa’i.

83

Gambar 66: Bunyi Crik

( dok. Rizky 2013 )

4.9 Contoh Pola Ritem pada Pertunjukan Rapa’i Musik

Dalam hal ini penulis menentukan beberapa contoh pola ritem yang lazim digunakan dalam

pertunjukan Rapa’i Musik.

84

Transkripsi Oleh :

Rizky Riantory Syahreza

1

2

3

4

5

85

Keterangan :

1 2 3 4

1. Bunyi Dum

2. Bunyi Preng

3. Bunyi Breuk

4. Bunyi Crik

86

BAB V

PENUTUP

5.1 Rangkuman

Dari uraian pada bab-bab sebelumnya, penulis akan merangkumkan tentang pembuatan Rapa’i

buatan bapak Fajar Shiddiq dan keberadaannya di desa Kayee Leue. Rapa’i adalah satu alat musik

yang terdapat pada kebudayaan masyarakat Aceh.

Rapa’i yang dibawa oleh Syeikh Kadir Abdul Jailani pertama dimanfaatkan sebagai media

penyiaran Islam hingga masa kini cara tersebut masih dilakukan oleh masyarakat Aceh. Dalam

permainannya, Rapa’i tak terlepas dari menyampaikan syiar Islam.

Rapa’i Musik merupakan salah satu jenis perkembangan permainan Rapa’i yang pada masa

kini digemari masyarakat. Hal tersebut semakin banyaknya grup Rapa’i Musik yang bermunculan.

Seperti : Nyawong, Kande, Cuppa, Kapalo, Raket Paleh dsb.

Rapa’i adalah instrument musik pukul yang terbuatr dari kayu Ceuradieh, berbentuk bulat dan

memiliki buah sisi yang merupakan penghasil suaranya. Rapa’i memiliki sebuah kerincing pada

badannya yang memberikan warna suara yang berbeda dari alat pukul yang lainnya. Rapa’i dapat

dmainkan dengan satu atau dua tangan.

Fajar Shiddiq merupakan seorang seniman musik tradisional Aceh yang tinggal di desa Kaye

Leue, meskipun tak lahir dikeluarga seniman tapi berkat keingintahuan beliau yang tinggi beliau

menjadi salah satu seniman tradisional di Aceh Besar.

Selain sebagai seorang pemain musik tradisional Aceh, beliau juga dikenal sebagai seorang

pembuat Instrumen musik tradisional Aceh yang dikenal di Aceh besar dan Banda Aceh. Beliau

pertama kali membuat Instrumen pada tahun 1994. Selain dapat memainkan Rapa’i beliau juga dapat

memainkan beberapa alat musik tradisi Aceh seperti Serunekalee dan guendrang. Beliau juga bias

membuat serunekalee dan geundrang.

Fajar Shiddiq mematok harga Rp 1.000.000,00 untuk sebuah Rapa’i yang digunakan untuk

Rapa’i Musik. Selain membuat alat musik, Bapak Fajar memiliki pekerjaan yang lain yaitu sebagai

pengajar sanggar Tari dan musik.

87

Sebagian besar upacara masyarakat Aceh di desa Kaye Leue tidak terlepas dari peranan agam

Islam sebagai agama mayoritas masyarakat Aceh. Seperti pada sebuah upacara turun ke sawah,

masyarakat melaksanakan do’a bersama untuk memohon keselamatan. Begitu juga dalam upacara

mengantar anak mengaji. Sebagian besar upacara dilaksanakan dengan melakukan do’a memohon

keselamatan kepada Allah Swt terlebih dahulu.

Secara konstruktif, gendang Rapa’i buatan bapak Fajar Shiddiq terdiri dari: Baloh, Babah,

Bingke, bohgrik dan kulit (membran). Kayu yang baik digunakan untuk membuat baloh adalah kayu

Ceuradieh. Dalam pengerjaanya Bapak Fajar Melakukan pembuatan Rapa’i seorang diri dengan alat-

alat sendiri.

Dalam permainannya Rapa’i menghasilkan 4 jenis suara yaitu : Dum, Preng, Breuk dan crik.

Pada permainan Rapa’i Musik jenis ritem yang dipakai oleh Rapa’i adalah segala jenis ritem modern.

Namun beberapa permainan Rapa’i dalam Rapa’i Musik juga menggunakan Ritem Tradisi yang biasa

dipakai dalam Rapa’i Daboih, Rapa’i pasee dsb.

5.2 Kesimpulan

Beerdasarkan hasil penelitian dari kajian organologis Rapa’i buatan Bapak Fajar Shiddiq,

maka dapat diambil beberapa kesimpulan, antara lain :

Rapa’i merupakan alat musik membranofon yang termasuk golongan Frame Drums. Rapa’i

dipukul langsung menggunakan tangan maka dari itu Rapa’i termasuk kelas membranofon struck

directly dengan single head.

Keberadaan (eksistensi) instrument Rapa’i pada saat ini masih tetap bertahan dan banyak

terdapat pada masyarakat Aceh hal ini didukung oleh semakin banyaknya grup Rapa’i Musik di Banda

Aceh dan Aceh Besar. Hal tersebut dapat dilihat pada saat upacara-upacara peringatan baik hari besar

Islam maupun hari besar nasional, grup Rapa’i Musik ikut memeiahkan acara.

Dalam penggunaannya grup Rapa’i Musik tidak lepas dari peranan agama Islam sebagai

agama mayoritas di Aceh. Rapa’i Musik sebagai wadah atau media berdakwah bagi agama Islam. Baik

melalui syair ataupun permainan musik.

88

Rapa’i Musik merupakan salah satu hasil akulturasi kebudayaan. Musik modern yang masuk

ke daerah Aceh secara tidak langsung dapat diterima dan perlahan digabungkan dengan identitas

kebudayaan Aceh yaitu Rapa’i tanpa menghilangkan identitas tersebut

Dalam proses pembuatan Rapa’i bapak Fajar Shiddiq tidak lagi menggunakan Ritual yang

berbau mistis atau sebagainya. Tapi beliau mengikuti beberapa tahapan untuk mendapatkan hasil yang

baik pada Rapa’i buatannya.

Dalam permainan Rapa’i musik dikenal tiga style atau posisi bermain. Yang pertama posisi

duduk biasa, yang kedua posisi geleng, dan posisi sembah. Ketiga gaya tersebut dipakai oleh setiap

pemain Rapa’i dalam grup Rapa;i Musik.

Lampiran 1

Gambar 67: Penulis bersama Bapak Fajar Shiddiq saat mencari kayu di daerah Lampaku (dok.

Rizky 2013)

89

Gambar 68 : Penulis bersama Bapak Fajar Shiddiq

(dok. Rizky 2013)

90

Daftar Informan

1. Nama : Fajar Shiddiq

Alamat : Jl. Asrama Reder Komplek Kuwait No. 6 Aceh Besar

Usia : 39 Tahun

Pekerjaan : Pembuat Alat Musik, Pemusik dan Pelatih Sangggar

2. Nama : Rijal Rifa’i

Alamat : Jalan Peunayoung no 67 Banda Aceh

Usia : 26 Tahun

Pekerjaan : Penari dan Pegawai Swasta

3. Nama : Gustri Yuhariansyah Putra

Alamat : Jl. Panglima Panglateh No 16 Banda Aceh

Usia : 25 Tahun

Pekerjaan : Pemusik dan Pegawai Swasta

4. Nama : Zulkifli

Alamat : Jl. Prada Utama no 60 Banda Aceh

Usia : 43 Tahun

Pekerjaan : Pelatih Sanggar dan Pemusik

5. Nama : Bagus

Alamat : Jl. Teuku Iskandar Muda no 52 Banda Aceh

Usia : 27 Tahun

Pekerjaan : Mahasiswa dan pelatih sanggar

91

DAFTAR PUSTAKA

Alunan Nada Pulau Perca. 2006. Alat Musik Tradisional Sumatera,

Dinas Kebudayaan, UPTD Museum

Ara, L.K. 2009. Ensiklopedi Aceh “Musik, Tari, Teater dan Seni Rupa”. Banda Aceh Yayasan Mata

Air Jernih. CV. Tati Group

Brosur PKA ke II, 1972. Sekretariat Panitia Pusat Pekan Kebudayaan Aceh

Burhan, Firdaus. ZZ, Idris, 1986. Ensiklopedi Musik dan Tari Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh,

Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Proyek Inventaris dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah

1986

Dewi, Rita. 1995. “Rapa-i Pasee Pada Masyarakat Aceh di Desa Awe Kecamatan Syamtalira Aron

:Analisis Musik Dalam Konteks Pertunjukan.” Skripsi Sarjana Etnomusikologi. FS. USU.

Tidak Diterbitkan

Djarwanto, P.S, S.E. 1984. Pokok-pokok Metode Riset dan Bimbingan Teknik Penulisan Skripsi,

Yogyakarta : Liberty.

Emar, Muhammad. 2000. Darah dan Jiwa Aceh : Mengungkap Falsafah Hidup Masyarakat Aceh.

Banda Aceh: CV. Boebon Jaya

2006. Peradaban Aceh. Banda Aceh : CV. Boebon

Hasjmy, Ali, 1974 Dustur Dakwah Menurut Al-Quran. Jakarta: Pustaka Antara

1983. Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, Jakarta : Beuna

1980. Sastra dan Agama. Badan Harta Agama Daerah Istimewa Aceh

1989. Sejarah Masuknya dan Berkembangnya Islam di Indonesia. Banda Aceh: PT. Almalarif

1995. 50 Tahun Aceh Membangun. Provinsi Daerah Istimewa Aceh : Bali Medan

Hornbostel, Erich M. Von and Curt Sach, 1961.Clasification of Musical Instrument. Translate from

original jerman by Antoni Bainen and Klause P. Wachman Berlin 1961

Hood, Mantle, 1982. The Etnhomusicologist, New Edition Kent : The Kent State University Press

92

Kamus bahasa Aceh-Indonesia PT Balai Pustaka, 2001

Oleh Abu Bakar,Pusat Bahasa (Indonesia),Balai Pustaka (Persero), PT.

Kashima, Susumu. 1990. Ilustrasi dan Pengukuran Instrumen Musikal. Terjemahan

Rizaldi Siagian. Voices of Asia. pp. 174-175.

Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta,

PT Rineka Cipta.

Meriam, Alan P. 1964. Antropology of music. Bloomington, Indiana: University Press, 1964

Maleong, Lexi j, 1988. Metodologi penelitian kualitatif. Bandung Remaja Poskakarya, 1988

Muly, Cut Rosmiati. 1998. “Seurune Kalee Dalam Kebudayaan Masyarakat Aceh di Desa Gurah,

Kecamatan Peukan Bada, Kabupaten Aceh Besar: Kajian Terhadap Difusi, Organologis, dan

Akustika.” Skripsi Sarjana Etnomusikologi. FS. USU. Tidak Diterbitkan.

Nettl, Bruno, 1964. Theory and Method in Ethnomusicology. New York : The Free Press a Rivision of

Macmillan Publshing.Co. Inc

Pusat Pembinaan Bahasa, 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta, Penerbt Balai Pustaka

Sinaga, Saridin Tua. 2007. “Kajian Organologis Arbab Simalungun buatan Bapak Arisden Purba di

Desa Maniksaribu Kecamatan Pematang Sidamanik Kabupaten Simalungun.” Skripsi Sarjana

Etnomusikologi. FS. USU. Tidak Diterbitkan.

Simbolon, Welly. 2010. “Kajian Organologis Garantung Buatan Bapak Junihar Sitohang di Kelurahan

Helvetia Timur, Kecamatan Helvetia Kota Medan.” Skripsi Sarjana Etnomusikologi. FS.

USU. Tidak Diterbitkan.

Sufi, Rusdi. Wahyuni, Sri. 2004. Keanekaragaman Suku dan Budaya di Aceh. Balai Kajian Sejarah

dan Nilai Tradisional Banda Aceh

Umar, Muhammad. 2002. Darah dan Jiwa Aceh, Peradaban Aceh.

2002. Adat Mesjid dan Meunasah Sebagai Sumber Energi Budaya Aceh. Banda Aceh. CV.

Boebon Jaya