STUDI EPIDEMIOLOGI KEJADIAN LEPTOSPIROSIS PADA SAAT
BANJIR DI KECAMATAN CENGKARENG PERIODE
JANUARI-FEBRUARI 2014
SKRIPSI
Diajukan Dalam Rangka Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
OLEH :
ANA ERVIANA
NIM : 1110101000041
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1435 H/2014 M
ii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
PEMINATAN EPIDEMIOLOGI
SKRIPSI, Juli 2014
ANA ERVIANA, NIM 1110101000041
STUDI EPIDEMIOLOGI KEJADIAN LEPTOSPIROSIS PADA SAAT BANJIR
DI KECAMATAN CENGKARENG PERIODE JANUARI-FEBRUARI 2014
(XLiii+ 91 halaman, , 2 gambar, 2 bagan, 3 tabel, 8 lampiran)
ABSTRAK
Leptospirosismemilikidistribusi di seluruh dunia, denganinsiden yang
lebih tinggidi daerah beriklimtropis, terutama setelahhujan derasatau
banjirakibatbadai (CDC, 2013).Pada bulan Januari-Februari 2014 terjadi banjir di
Kecamatan Cengkareng dan pada saatbanjir tersebut dilaporkan terjadi 26 kasus
Leptospirosis di Kecamatan Cengkareng dengan CFR sebesar 15,3%. Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui epidemiologi kejadian Letospirosis pada saat
banjir di Kecamatan Cengkareng periode Januari-Februari 2014.
Penelitian menggunakan desain studi kasus dengan sampel semua
penderita Leptospirosis (18 orang). Hasil penelitian menunjukkan
sebagianbesarpenderita berumur 20-40 tahundan>40 tahunyaitumasing-
masing38,9%, laki-laki (72,2%), memilikipekerjaantidakberisiko(72,2%),
memiliki riwayat luka (72%), pengetahuan rendah(38,9%), semua penderita tidak
mengungsi (100%), danpersonal higienemasih buruk (88,9%). Selain itu
ditemukan bahwa semua rumah penderita terdapat tikus (100%), pada lingkungan
rumah terdapat sampah (66,7%), tatanan rumah sebagian besar rapi (55,6%).
Kondisi selokan/spal sebagian besar baik (72,2%) dan ketersediaan air bersih
sebagian besar terpenuhi (88,9%).
Disarankan agar dilakukan promosi kesehatan tentang Leptospirosis oleh
kader atau petugas kesehatan atau memasang media promosi terkait Leptospirosis
di tempat yang mudah dijangkau masyarakat untuk menambah pengetahuan
masyarakat terkait Leptospirosis. masyarakat harus menjaga sanitasi lingkungan
dan melakukan personal hygiene yang baik.
Kata Kunci: Epidemiologi, Leptospirosis
Daftar Bacaan : 89 literatur (1991-2014)
iii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE
PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM
DEPARTEMEN OF EPIDEMIOLOGY
UNDERGRADUATED THESIS, 2014
ANA ERVIANA, NIM 1110101000041
EPIDEMIOLOGICAL STUDY OF LEPTOSPIROSISINCIDENT
DURINGFLOODINDISTRICTCENGKARENGPERIOD JANUARY-
FEBRUARY 2014
XLIII + 91 pages,, 2 images, 2 charts, 3 tables, 8 appendix
ABSTRACT
Leptospirosis has a worldwide distribution, with a higher incidence in the
tropics, especially after heavy rains or flooding due to storm (CDC, 2013). In
January and February 2014 floods in Cengkareng sub-district and at the time of
the flooding reported 26 cases of leptospirosis in Cengkareng sub-district with a
CFR of 15.3%. This study aimed to determine the epidemiology Letospirosis
during flood events in the District Cengkareng January-February 2014.
The study uses a case study design with a sample of all patients with
leptospirosis (18 people). The results showed the majority of patients aged 20-40
years and> 40 years respectively 38.9%, males (72.2%), having a job is not at risk
(72.2%), had a history of injuries (72 %), low knowledge (38.9%), all patients did
not evacuate (100%), and personal hygiene is poor (88.9%). In addition it was
found that all the patients are rats (100%), the home environment there are
garbage (66.7%), most of the neat order houses (55.6%). Conditions gutter / spal
mostly good (72.2%) and the availability of clean water is largely achieved
(88.9%).
It is recommended that health promotion is done on Leptospirosis by
cadres or health workers or installing promotional media related Leptospirosis in
an easily accessible place to increase public knowledge society related
leptospirosis. society must maintain environmental sanitation and personal
hygiene do well.
Keywords: Epidemiology, Leptospirosis
Reading List: 89 literature (1991-2014)
vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama Lengkap : Ana Erviana
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat, tanggallahir : Jaya Bhakti, 5 Februari 1991
Warganegara : Indonesia
Agama : Islam
Alamat : Jaya Bhakti, Kec. Mesuji, Kab. Ogan Komering Ilir
(OKI) Sumatera Selatan
Telepon : 085664715698
Email : [email protected]
Pendidikan Formal:
1. SDN O4 Jaya Bhakti (1998-2004)
2. MTS Nurul Golam Lempuing (2004-2007)
3. MAN 3 Palembang (2007-2010)
4. Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Program Studi Kesehtaan Masyarakat
Peminatan Epidemiologi (2010-2014)
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur senantiasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena
berkat berkat taufik dan hidayah-Nya skripsi ini dapat terselesaikan dengan judul
“Studi Epidemiologi Kejadian Leptospirosis Pada Saat Banjir Di Kecamatan
Cengkareng Periode Januari-Februari 2014”. Skripsi ini penulis susun dalam
rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Kesehatan
Masyarakat, pada Fakultas Kedokteran Dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa dalam penulisan skripsi ini banyak
kekurangannya. Namun berkat bimbingan ibu Ratri Ciptaningtyas, S. Sn. Kes dan
ibu Minsarnawati, SKM, M.Kes serta dorongan dari berbagai pihak maka
hambatan itu sedikit banyak dapat diatasi.
Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya
dan umumnya bagi siapa saja yang memerlukannya. Akhir kata pada kesempatan
ini penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya dan rasa
terimakasih yang tak terhingga kepada:
1. Bapak, Ibu, dan semua keluarga yang telah memberikan semangat,
motivasi, dan kasih sayang kepada penulis dalam menyelesaikan proposal
penelitian ini.
2. Prof. Dr (hc). dr. M. K. Tajudin, Sp.And, selaku dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
viii
3. Febrianti, SP, M,Si selaku ketua program studi Kesehatan Masyarakat.
4. Ibu Minsarnawati Tahangnacca, SKM, M.kes selaku penanggung jawab
peminatan Epidemiologi.
5. Kepada Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan yang telah memberikan
dukungan dan biaya perkuliahan serta penelitian ini.
6. dr. Indro Murwoko selaku kepala bagian tanggap darutat di Pusat
Penanggulangan Krisis Kesehatan Kementrian Kesehatan, dr. Lies selaku
petugas Surveilans Dinkes Provinsi Jakarta, Bapak Yosi selaku staf
Yankes Sudinkes Jakarta Barat yang telah membantu dalam perizinan dan
pengambilan data Leptospirosis.
7. dr. Maryati selaku kepala Puskesmas Kecamatan Cengkareng yang telah
memberikan izin dan membantu penulis melakukan penelitian di
Kecamatan Cengkareng.
8. Ibu Susi Susilowati selaku petugas surveilans yang telah membantu dalam
pencarian alamat penderita dan membantu dalam mendapatkan informasi
terkait penderita pada saat banjir.
9. Kepada Bapak Maman selaku staf Puskesmas Kedaung Kali Angke yang
telah bersedia meluangkan waktunya untuk mendapingi dan mencari
alamat penderita pada saat pengambilan data.
10. Kepada Al Syahrulah yang telah membantu dalam proses penyusunan
skripsi, memberikan nasehat-nasehat yang berkaitan dengan skipsi.
ix
11. Kepada Fitria Aryani Susanti, Ayu Wulansari, Fitriani Azhari yang banyak
membantu dalam proses pendaftaran sidang dan informasi–informasi
peraturan terkait skripsi.
12. Kepada temam-teman Epemiologi 2010 (Kartika Andriani, Karlina
Sulistiana, Zata Ismah, Siti Malati Ummah, Rizka Rohmaningtyas, Najah
Syamiyah, Fajriati Wahyuningsih, Mayli Faroh Nabila, Nur Lutfiyah,
Harun AL Rasyid, Tri Bayu Purnama, Putri Khairina, Wiwid Handayani,
Sofwatun Nida dan teman-teman kesehatan masyarakat 2010 yang menjadi
teman seperjuangan.
13. Kepada teman-teman angkatan 2010, adik-adik dan kakak-kakak beasiswa
Provinsi Sumatera Selatan yang telah mendoakan dan memberikan
semangat dalam proses penyelaian skripsi.
14. Semua pihak yang telah memberikan bantuannya sehingga skripsi ini
dapat terselesaikan.
Tak ada gading yang tak retak, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih
jauh dari kata sempurna, namun penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat
bagi kita semua dan penulis berharap ada kritik atau saran yang membangun
untuk kesempurnaan skripsi ini.
Ciputat, Juli 2014
Penulis
x
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN....................................................................................i
ABSTRAK..............................................................................................................ii
LEMBAR PERSETUJUAN...................................................................................iv
LEMBAR PENGESAHAN.....................................................................................v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP...............................................................................vi
KATA PENGANTAR...........................................................................................vii
DAFTAR ISI...........................................................................................................x
DAFTAR GAMBAR DAN BAGAN ..................................................................xiii
DAFTAR TABEL.................................................................................................ivx
DAFTAR LAMPIRAN..........................................................................................vx
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................1
1.1 Latar Belakang........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...................................................................................5
1.3 Pertanyaan Penelitian..............................................................................6
1.4 Tujuan Penelitian....................................................................................6
1.4.1 Tujuan Umum.................................................................................6
1.4.2 Tujuan Khusus................................................................................6
1.5 Manfaat Penelitian..................................................................................7
1.5.1 Bagi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan.............................7
1.5.2 Bagi Peneliti....................................................................................7
1.5.3 Bagi Masyarakat.............................................................................7
1.6 Ruang Lingkup.......................................................................................7
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................9
2.1 Banjir......................................................................................................9
2.2 Leptospirosis...........................................................................................9
xi
2.2.1 Definisi dan Patogenesis..............................................................9
2.2.2 Reservoir.....................................................................................11
2.2.3 Cara Penularan............................................................................11
2.2.4 Diagnosis Klinis dan Laboratoris................................................12
2.2.5 Pengobatan..................................................................................12
2.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Leptospirosis.................13
2.3.1 Host.............................................................................................14
2.3.2 Agent...........................................................................................23
2.3.3 Environment................................................................................24
2.4 Kerangka Teori.....................................................................................31
BAB 3 KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL............................34
3.1 Kerangka Konsep..................................................................................34
3.2 Definisi Opersional................................................................................37
BAB 4 METODOLOGI.........................................................................................46
4.1 Desain Penelitian...................................................................................46
4.2 Lokasi dan Waktu.................................................................................46
4.3 Populasi dan Sampel.............................................................................46
4.4 Pengumpulan Data................................................................................47
4.5 Pengolahan Data...................................................................................49
4.6 Analisis Data.........................................................................................49
BAB 5 HASIL........................................................................................................51
5.1 Distribusi Kejadian Leptospirosis Berdasarkan Komponen Host........51
5.2 Kejadian Leptospirosis Berdasarkan Komponen Lingkungan ............52
BAB 6 PEMBAHASAN........................................................................................55
6.1. Keterbatasan Penelitian........................................................................55
xii
6.2 Distribusi Kejadian Leptospirosis Berdasarkan Komponen Host.......55
6.2.1 Umur..........................................................................................56
6.2.2 Jenis Kelamin.............................................................................58
6.2.3 Jenis Pekerjaan...........................................................................59
6.2.4 Riwayat Luka.............................................................................63
6.2.5 Tingkat Pengetahuan.................................................................64
6.2.6 Status Pengungsian....................................................................67
6.2.7 Personal Hygiene......................................................................70
6.3 Distribusi Kejadian Leptospirosis Berdasarkan Komponen
Lingkungan.........................................................................................72
6.3.1 Keberadaan Tikus di Dalam Maupun di Luar Rumah...............72
6.3.2 Ketinggian Genangan Air..........................................................75
6.3.3 Keberadaan Sampah..................................................................79
6.3.4 Tatanan Rumah..........................................................................81
6.3.5 Kondisi selokan/Sarana Pembuangan Air Limbah....................84
6.3.6 Ketersediaan Air Bersih.............................................................87
BAB 7 SIMPULAN dan SARAN........................................................................89
7.1 Simpulan...............................................................................................89
7.2 Saran.....................................................................................................90
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................xvi
LAMPIRAN........................................................................................................xxii
xiii
DAFTAR GAMBAR DAN BAGAN
Gambar 2.2 Segitiga Epidemiologi...................................................................13
Gambar 2.3 Kotoran Tikus................................................................................31
Bagan 2.4 Kerangka Teori..............................................................................33
Bagan 3.1 Kerangka Konsep..........................................................................36
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Kejadian Leptospirosis Berdasarkan Komponen
Host (Penderita) Pada Saat Banjir di Kecamatan Cengkareng Periode
Januari-Februari tahun 2014................................................................51
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Kejadian Leptospirosis Berdasarkan Komponen
Penderita Pada Saat Banjir di Kecamatan Cengkareng Periode Januari-
Februari tahun 2014............................................................................52
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Kejadian Leptospirosis Berdasarkan Komponen
Lingkungan Pada Saat Banjir di Kecamatan Cengkareng Periode
Januari-Februari 2014.........................................................................53
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Kuisioner Penelitian.....................................................................xxii
Lampiran 2 Persetujuan Penelitian.................................................................xxiii
Lampiran 3 Instrumen Penelitian...................................................................xxiv
Lampiran 4 Pedoman Wawancara dan Lembar Observasi..............................xxx
Lampiran 5 Hasil Wawancara Mendalam......................................................xxxi
Lampiran 6 Hasil Observasi.........................................................................xxxiv
Lampiran 7 Hasil Uji Validitas dan Realibilitas........................................xxxviii
Lampiran 8 Surat Parizinan............................................................................xliii
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Leptospirosis merupakan penyakit yang di sebabkan oleh bakteri
berbentuk spiral dari genus Leptospira yang menyerang hewan dan manusia
(CDC, 2014). Ciri-ciri umum penyakit Leptospirosis adalah demam dengan
serangan tiba-tiba, sakit kepala, menggigil, mialgia berat (betis dan kaki), dan
merah pada conjungtiva (Chin, 2009).
Leptospirosis termasuk salah satu Neglected Tropical Diaseases (NTDs)
yang mendapatkan perhatian serius oleh WHO karena memiliki dampak
kesehatan yang cukup signifikan di negara-negara tropis seperti di wilayah
Amerika dan Asia (WHO, 2014). Penyakit ini dapat berdampak pada sistem
keuangan dampak sosial pada keluarga korban (Colleen, dkk, 2010). Kasus
Leptospirosis sering tidak terlaporkan karena memiliki gejala klinis yang tidak
spesifik dan seringkali terjadi differential diagnosis (WHO, 2009). Jika
Leptospirosis tidak ditangani dengan cepat, maka akan menyebakan kematian
pada penderitanya karena bakteri Leptospira akan menyerang hati, ginjal dan otak
(WHO, 2014).
Leptospirosis memiliki distribusi di seluruh dunia, dengan insiden yang
lebih tinggi di daerah beriklim tropis, terutama setelah hujan deras atau banjir
akibat badai (CDC, 2013). Di negara beriklim tropis (hangat), insiden
Leptospirosis biasanya terjadi sebanyak 10-100 per 100.000 penduduk setiap
2
tahunnya, sedangkan di negara beriklim sedang insiden Leptospirosis lebih sedikit
terjadi yaitu 0,1-1 per 100.000 penduduk setiap tahunnya (Pratiwi, 2012).
Penyakit Leptospirosis memiliki insiden tinggi di kawasan Asia Pasifik,
Asia Tenggara dan Oceania (William, 2007). Bulan September tahun 2009 pernah
terjadi wabah Leptospirosis di Metro Manila, Filipina yaitu dengan jumlah kasus
sebanyak 471 kasus dan meninggal sebanyak 51 sehingga Case Fatality Rate
(CFR) sebesar 10,8% (CDC, 2011). Wabah besar penyakit pernah dilaporkan di
Asia Tenggara yaitu di Orrisa, Mumbai dan Indonesia (Victoriano, et.al, 2009).
Internasional Leptospirosis Society menyebutkan bahwa Indonesia
merupakan negara dengan insiden Leptospirosis yang cukup tinggi dan untuk
angka kematiannya Indonesia menempati peringkat ketiga di dunia setelah
Uruguay dan India, yaitu dengan angka kematian sebesar 16,7% (WHO, 2004 ).
Perkembangan Leptospirosis di Indonesia terjadi secara fluktuatif. Pada tahun
2007, CFR Leptospitosis sebesar 8,2%,, tahun 2008 menurun sebesar 6,0%, tahun
2009 naik kembali menjadi 6,87%, tahun 2010 naik menjadi 10,51%, dan tahun
2011 turun kembali menjadi 9,57% (Depkes RI, 2009, Depkes RI, 2011 dan
Depkes RI, 2011).
Daerah persebaran Leptospirosis di Indonesia meliputi Propinsi Jawa
Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan,
Bengkulu, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, Nusa Tenggara Barat,
Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimatan Timur dan Kalimantan Barat
(Depkes, 2008). Daerah dengan jumlah kasus maupun kematian dengan insiden
3
tertinggi adalah daerah beberapa daerah yang sering mengalami banjir terutama di
DKI Jakarta dan Jawa Tengah (Depkes RI, 2009).
Jakarta merupakan provinsi yang sering terkena banjir. Wilayah Jakarta
tidak lepas dari bencana banjir dari sejak awal Jakarta berdiri hingga sekarang
(Depkes RI, 2014). Pada tahun 2002, terjadi outbreak Leptospirosis seiring
dengan terjadinya banjir besar di Jakarta (WHO 2011). Hasil penelitian di Jakarta
selama kurun waktu musim hujan pada bulan Februari sampai bulan April 2002
menyebutkan bahwa CFR Leptospirosis sebesar 19,4% (Armandari, 2005). Pada
bulan februari tahun 2007 juga terjadi banjir besar yang mengakibatkan
meningkatnya kasus Leptospirosis yaitu dengan CFR sebesar 5,71% (Dwiari,
2007).
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) tahun 2014 Jakarta
menyebutkan bahwa selama periode Januari-Februari 2014 telah terjadi banjir di
Jakarta dan wilayah Jakarta yang paling sering banjir adalah Jakarta Barat,
kemudian Jakarta Timur, Jakarta Utara, Jakarta Pusat, dan Jakarta Selatan. Daerah
di Jakarta Barat yang paling sering terkena banjir adalah wilayah kecamatan
Cengkareng. Terjadinya banjir ini ditakutkan akan berpengaruh dengan timbulnya
penyakit Leptospirosis.
Selama periode tersebut Dinas Kesehatan Provinsi Jakarta melaporkan
kejadian Leptospirosis di Jakarta sebanyak 97 kasus dan 18 meninggal (CFR
18,5%). Dari 97 kasus tersebut, kasus terbanyak terdapat di Jakarta Barat (62
kasus dengan CFR16,1%). Dan dari 62 kasus terbanyak di Jakarta Barat, kasus
4
terbanyak di temukan di Kecamatan Cengkareng yaitu sebanyak 26 kasus dengan
CFR 15,3%.
Banjir merupakan salah satu media transmisi Leptospira yang berasal dari
urin tikus. Air banjir akan membawa Leptospira ke daerah yang lebih luas
sehingga bisa dengan mudah masuk ke tubuh manusia melalui kontak dengan air
tersebut, melalui luka atau lecet pada kulit, melalui selaput lendir mulut, hidung
dan mata, darah, cairan ketuban, vagina, jaringan, tanah, vegetasi dan air yang
terkontaminasi dengan urin hewan yang terinfeksi (WHO, 2014 dan Vijayachari,
dkk, 2008).
Selain banjir, banyak faktor yang bisa mempengaruhi kejadian
Leptospirosis. Faktor yang bisa mempengaruhi kejadian Leptospirosis di
antaranya adalah: faktor umur, jenis kelamin, jenis pekerjaan, tingkat
pengetahuan, riwayat luka, dan personal hygiene (WHO, 2014 dan Depkes RI
2013). Keberadaan tikus, ketinggian air, keberadaan sampah, sarana pembuangan
air limbah (SPAL), ketersediaan air bersih, dan status pengungsian juga
berpengaruh dengan kejadian Leptospirosis (Depkes RI, 2008; Rejeki, 2005 dan
Chin, 2009).
Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Maret 2014
ditemukan 18 kasus Leptospirosis di Kecamatan Cengkareng. Dan berdasarkan
studi pendahuluan terhadap fakor risiko terhadap 30 responden menunjukkan
bahwa sebagian besar yaitu 16 responden (53%) memiliki riwayat luka pada saat
banjir, 18 responden (60%) memiliki pengetahuan rendah, 22 rumah responden
5
(73,3%) terdapat tikus, dan 22 responden (73,3%) memiliki personal hygiene
yang baik.
Melihat kejadian banjir pada bulan Januari-Februari 2014, ditemukannya
laporan kasus Leptospirosis, serta berdasarkan hasil studi pendahuluan maka
penulis ingin mempelajari lebih dalam mengenai epidemiologi Leptospirosis di
Kecamatan Cengkareng Periode Januari-Februari 2014.
1.2 Rumusan Masalah
Penyakit Leptospirosis masih menjadi masalah di DKI Jakarta khususnya
di Kecamatan Cengkareng. Pernah terjadi outbreak Leptospirosis di Jakarta pada
tahun 2002 dan 2007 dengan CFR sebesar 19,4% pada tahun 2002 dan 5,7% pada
tahun 2007. Terjadinya outbreak ini disebabkan oleh terjadinya banjir pada saat
itu. Pada saat terjadi outbreak, wilayah yang paling banyak diitemukan
Leptospirosis adalah wilayah Cengkareng.
Pada bulan Januari-Februari 2014 kembali terjadi banjir di Jakarta
Khususnya di Kecamatan Cengkareng. Pada saat terjadi banjir ini dilaporkan
kejadian Leptospirosis terbanyak ditemukan di Kecamatan Cengkareng yaitu dari
97 kasus yang ditemukan di Jakarta 26 kasus ditemukan di Cengkareng dengan
CFR 15,3%. Selain banjir, banyak faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya
Leptospirosis. Oleh sebab itu peneliti ingin mempelajari lebih dalam mengenai
epidemiologi Leptospirosis di Kecamatan Cengkareng pada saat banjir periode
Januari-Februari 2014 tersebut.
6
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana distribusi frekuensi kejadian Leptospirosis berdasarkan komponen
host (umur, jenis kelamin, jenis pekerjaan, tingkat pengetahuan, dan riwayat
luka, personal hygiene, dan status pengungsian) pada saat banjir di Kecamatan
Cengkareng Periode Januari-Februari Tahun 2014?
2. Bagaimana distribusi frekuensi kejadian Leptospirosis berdasarkan komponen
lingkungan (keberadaan tikus, ketinggian genangan air, keberadaan sampah,
tatanan rumah, kondisi selokan/got, dan ketersediaan air bersih) pada saat
banjir di Kecamatan Cengkareng Periode Januari-Februari Tahun 2014?
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan umum
Untuk mengetahui epidemiologi Leptospirosis pada saat banjir di
Kecamatan Cengkareng Tahun 2014.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui distribusi frekuensi kejadian Leptospirosis
berdasarkan komponen host (umur, jenis kelamin, jenis pekerjaan,
tingkat pengetahuan, dan riwayat luka, personal hygiene, dan status
pengungsian) pada saat banjir di Kecamatan Cengkareng periode
Januari-Februari Tahun 2014.
2. Untuk mengetahui distribusi frekuensi kejadian Leptospirosis
berdasarkan komponen lingkungan (keberadaan tikus, ketinggian
genangan air, keberadaan sampah, tatanan rumah, kondisi selokan/got,
7
dan ketersediaan air bersih) pada saat banjir di Kecamatan Cengkareng
periode Januari-Februari Tahun 2014.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Dengan adanya penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan yang
bisa digunakan dalam referensi untuk pelaksanaan perkuliahan khususnya
perkuliahan yang berkaitan dengan penyakit menular.
1.5.2 Bagi Peneliti
Sebagai pengalaman dalam menyusun karya tulis, melaksanakan dan
menulis hasil penelitian dalam bentuk tulisan ilmiah, serta menambah
pengetahuan terkait penerapan studi epidemiologi sebuah penyakit
khususnya penyakit Leptospirosis.
1.5.3 Bagi Masyarakat
Sebagai bahan informasi yang berkaitan dengan epidemiologi
kejadian Leptospirosis pada saat banjir sehingga dapat dimanfaatkan
sebagai bahan untuk upaya pencegahan terhadap kasus Leptospirosis
1.6 Ruang Lingkup
Penelitian ini dilakukan oleh mahasiswa Program Studi Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta. Penelitian bertujuan untuk mengetahui epidemiologi
kejadian Leptospirosis pada saat banjir 2014 di Kecamatan Cengkareng wilayah
Administrasi Jakarta Barat. Penelitian menggunakan data primer dan sekunder.
Data primer berasal dari hasil wawancara kepada masyarakat dan data sekunder
8
berupa laporan warga yang terdiagnosis Leptospirosis yaitu berasal dari data
Puskesmas Cengkareng. Metode yang digunakan adalah epidemiologi deskriptif
dengan desain studi kasus. Sampel adalah semua warga yang terdiagnosis
Leptospirosis dan terlaporkan di Puskesmas Cengkareng yaitu sebanyak 18 kasus.
Penelitian dilaksanakan mulai bulan Maret-Juli 2014 di Kecamatan Cengkareng
Jakarta Barat.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Banjir
Banjir adalah peristiwa terjadinya genangan (limpahan) air di areal tertentu
sebagai akibat meluapnya air sungai/danau/laut yang menimbulkan kerugian baik
materi maupun non-materi terhadap manusia dan lingkungan seperti rusaknya
sanitasi lingkungan yang mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah,
tercemarnya sarana sumber air bersih, meluapnya air dari got-got dan sungai-
sungai, menyebarnya sampah dan limbah serta tidak berfungsinya jamban dan
meluapnya septic tank sehingga dapat menimbulkan berbagai penyakit seperti
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), diare, penyakit kulit, gastritis dan
Leptospirosis (Depkes RI, 2007).
2.2 Leptospirosis
2.2.1 Definisi dan Patogenesis
Menurut Depkes RI (2013), Leptospirosis adalah penyakit zoonosis
yang disebabkan oleh infeksi bakteri yang berbentuk spiral dari genus
Leptospira yang pathogen, menyerang hewan dan manusia. Sedangkan
zoonosis adalah penyakit yang secara alami dapat di pindahkan dari hewan
vertebrata ke manusia atau sebaliknya.
Patogenesis Leptospirosis masih banyak belum diketahui. Penularan
Leptospira pada manusia melalui kontak seperti langsung dengan urin
hewan maupun kontak tidak langsung. Masa inkubasi antara 4-19 hari atau
dengan rata-rata 10 hari. Kemudian bila manusia yang terinfeksi Leptospira,
10
maka Leptospira akan berkembang biak/memperbanyak diri dan menyebar
ke organ dan jaringan tubuh. Dengan dijumpainya Leptospira di dalam
darah disebut sebagai fase Leptospiremia atau fase pertama. Selama fase ini
Leptospira dapat di isolasi dari darah dan cairan cerobropinal
(Cerebrospinal Fluid= CSF).
Leptospira mengakibatkan kerusakan pada endotel kapiler yang
dapat menyebabkan Vasculitis, dimana sangat berperan pada penyakit ini.
Pada Leptospirosis berat, Vasculitis menyebabkan gangguan mikrosirkulasi
dan meningkatkan permeabilitas kapiler, sehingga ini dapat mengakibatkan
keluarnya cairan karena pembuluh darah bocor serta mengakibatkan
penurunan jumlah cairan pembuluh darah. sebagian besar Leptospira akan
menginfeksi ginjal dan hati. Leptospira di dalam ginjal akan menyebar ke
jaringan interstisial dan jaringan tubulus yang berakibat terjadinya nephiritis
interstinal dan nekrosis tubuler (Depkes RI, 2008).
Penurunan jumlah cairan di pembuluh darah yang erat hubungannya
dengan dehidrasi atau perubahan permeabilitas kapiler mendukung
timbulnya gagal ginjal (renal failure). Pada hati terjadi nekrosis
sentrilobuler dan ditemukan proliferase sel kupfer. Pada paru-paru
didapatkan lesi vaskuler karena reaksi immunologi dan perdarahan lokal.
Pada otot rangka dapat di jumpai pembengkakan vakuolasi myobril dan
nekrosis fokal.
Dengan adanya respons imun humoral dan celular, Leptospira akan
menghilang atau menurun jumlahnya yang berakibat timbulnya antibodi
11
disebut fase imun atau fase kedua. Meskipun demikian Leptospira dapat
menetap pada area yang secara immunologis terisolasi, misalnya di dalam
tubulus proksimal ginjal, mata, dan mungkin dalam otak. Pada penderita
Leptospirosis berat terjadi perbaikan fungsi ginjal dan fungsi hati seperti
semula, hal ini terjadi karena tidak didapatkan kerusakan struktur organ
tersebut. Untuk fase penyembuhan atau konvalesen atau fase ketiga terjadi
pada minggu ke dua sampai dengan ke empat.
2.2.2 Reservoir
Hewan-hewan yang menjadi sumber penularan Leptospirosis
adalah Rodent (tikus), babi, sapi, kambing, domb, kuda, anjing, kucing,
serangga, burung, insektivora (landak, kelelawar, tupai), sedangkan rubah
dapat sebagai karier dari Leptospira (Depkes RI, 2008)
2.2.3 Cara Penularan
Manusia terinfeksi Leptospira melalui kontak dengan air, tanah
(lumpur), tanaman yang telah dikotori oleh air seni dari hewan-hewan
penderita Leptospirosis (Depkes RI, 2008). Bakteri Leptospira masuk ke
tubuh manusia dapat melalui luka atau lecet pada kulit, melalui selaput
lendir mulut, hidung dan mata, darah, cairan ketuban, vagina, jaringan,
tanah, vegetasi dan air yang terkontaminasi dengan urin hewan yang
terinfeksi (WHO, 2014). Selain itu bakteri ini bisa ditularkan melalui
makanan yang terinfeksi dengan urin dan kadang-kadang melalui
terhirupnya droplet dari cairan yang terkontaminasi (Chin, 2009).
12
2.2.4 Diagnosis klinis dan Laboratoris
Diagnosa Leptospirosis pada manusia ditegakkan dengan melihat
gejala-gejala dan tanda-tanda klinis dan diperkuat dengan pemeriksaan
laboratorium. Diagnosa berdasarkan gambaran klinis sulit ditegakkan,
karena Leptospirosis anikterik dapat menyerupai penyakit demam lain
(infeksi dengue, hanta virus, typod). Gambaran klinik yang penting untuk
penderita Leptospirosis adalah: sakit mendadak, demam, dan sakit kepala
berat, skin rash, conjunctival, suffusion (mata merah), nyeri otot yang hebat
(juga nyeri tekan) terutama di otot belakang, paha, betis, sehingga kadang –
kadang penderita mengeluh sukar berjalan dan sakit kepala (Depkes RI,
2013).
Widoyono (2008) menyebutkan bahwa selain pemeriksaan
berdasarkan gambaran klinis, Pemeriksaan serologis yang sering digunakan,
yitu dengan menggunakan Microscopic Aglutination Test (MAT), Elisa
(Enzime Linked Immuno Sorbent Assay), dan Immuno Fluorescent
Antibody Test. Pemeriksaan MAT dipergunakan sebagai Gold Standard
dalam pemeriksaan serologis karena mempunyai sensitivitas tinggi.
2.2.5 Pengobatan
Depkes RI (2013) menyebutkan bahwa pengobatan terhadap
penderita Leptospirosis dapat dilakukan dengan memberikan antibiotik
seperti Penicilin, Streptomycin, Tetracyclin, atau Erithromycin. Dari
bermacam-macam antibiotik yang tersebut di atas, pemberian penicilin
atau Tetracyclin dosis tinggi dapat memberikan hasil yang sangat baik.
13
2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Leptospirosis
Bustan (2008) menyebutkan studi epidemiologi adalah sebuah studi yang
mempelajari tentang distribusi penyakit atau masalah kesehatan dan faktor-faktor
yang mempengaruhinya (determinan) yang dimaksud untuk melakukan upaya
pencegahan dan perencanaan kesehatan. Dalam studi Epidemiologi dikenal teori
Segitiga Epidemiologi oleh John Gordon. Segitiga Epidemiologi merupakan
konsep dasar Epidemiologi yang memberikan gambaran tentang hubungan antara
tiga faktor utama yang berperan dalam terjadinya penyakit, khususnya penyakit
menular. Faktor utama tersebut adalah Faktor Host, Agent dan Environment.
Soejoedono (2008) menyebutkan bahwa penyebaran suatu penyakit di
pengaruhi oleh keseimbangan atau interaksi dari tiga faktor dasar Epidemiologi
ini. Jika di gambarkan dengan kejadian Leptospirosis maka ketiga faktor tersebut
membentuk model sebagai berikut:
Gambar. 2.2 Segitiga Epidemiologi
Sumber: Bustan (2006)
Jika dalam keadaan seimbang antara ketiga faktor tersebut maka akan
tercipta kondisi sehat pada seseorang/masyarakat. Perubahan pada satu komponen
14
akan mengubah keseimbangan, sehingga akan mengakibatkan menaikkan atau
menurunkan kejadian penyakit
2.3.1 Host (Penjamu)
Menurut Bustan (2008), Faktor host (tuan rumah, penjamu) adalah
manusia atau mahluk hidup lainnya, termasuk burung, dan antropoda yang
menjadi tempat terjadi proses alamiah perkembangan penyakit. komponen
host dapat berupa genetik, umur, jenis kelamin, suku, keadaan fisiologi
tubuh, keadaan imunologi, tingkah laku, gaya hidup, personal hygiene dan
lain sebagainya.
Adapun komponen host yang berkaitan dengan kejadian
Leptospirosis diantaranya adalah:
a. Umur
Kejadian suatu penyakit sering dikaitkan dengan umur. Aulia
(2012) menyebutkan bahwa kejadian Leptospirosis tidak terjadi pada
spesifik umur tertentu. Leptospirosis diketahui terjadi pada semua umur
berkisar antara balita sampai lansia yaitu 1 tahun sampai lebih dari 65
tahun.
CDC (2012) menyebutkan bahwa manusia dengan segala lapisan
usia rentan terhadap infeksi Leptospirosis. Sedangkan Hadisaputro
(1991) menyebutkan bahwa umur yang paling banyak terkena
Leptospirosis adalah antara 40-60 tahun. Pada usia lebih dari 50 tahun
kematian bisa mencapai 56 % yang disertai selaput mata berwarna
15
kuning (kerusakan jaringan hati), risiko kematian akan lebih tinggi
(Cahyati, 2009).
Poeppl (2013) juga menyebutkan bahwa selain laki-laki usia 18-57
tahun, kasus juga banyak terjadi pada usia dewasa antara usia 20 sampai
50 tahun. Subroto (1981) dalam Armandari (2005) menyebutkan bahwa
Leptospirosis kerap dijumpai pada usia dewasa mungkin karena
pekerjaan mereka banyak terpapar oleh hewan yang terinfeksi dan
lingkungan yang terkontaminasi. Leptospirosis jarang terjadi pada anak-
anak dan balita karena pada kenyataannya anak-anak dan balita sedikit
sekali terpapar infeksi Leptospirosis (Sehgal et.al, 1991).
Penelitian Rejeki (2005) menunjukkan bahwa kasus Leptospirosis
terbanyak ditemukan pada rentang umur 40– 49 tahun. Penelitian
Ketaren (2009) menunjukkan bahwa kejadian Leptospirosis lebih sering
terjadi pada umur 20-30 tahun. Penelitian Armandari (2005)
menunjukkan bahwa sebagian besar penderita Leptospirosis berumur <35
tahun yaitu 49 orang (51,6 %) dan >=35 sebesar 46 orang (48,4%).
Penelitian Haida (2002) menunjukkan bahwa penderita Leptospirosis
yang berumur 1-39 tahun sebanyak 35 orang (52,2%) sedangkan yang
berusia >39 tahun sebanyak 32 orang (4,7,8%).
b. Jenis Kelamin
Seghal et.al (1991) menyebutkan bahwa meskipun laki-laki dan
perempuan sama-sama memiliki risiko yang sama untuk terinfeksi
Leptospirosis, akan tetapi laki-laki memiliki resiko yang lebih besar
16
untuk terinfeksi Leptospirosis. Hal ini mungkin diakibatkan karena laki-
laki memiliki pekerjaan yang lebih terpapar oleh hewan yang terinfeksi
dan lingkungan yang terkontaminasi. Pada saat banjir laki-laki biasanya
turun langsung membersihkan lingkungan sehingga kemungkinan
terpapar kotoran rodent lebih besar.
Pernyataan diatas didukung oleh Poeppl (2013) juga menyebutkan
bahwa Salah satu faktor yang berkontribusi terhadap kejadian
Leptospirosis adalah jenis kelamin. Pengujian terhadap 216 sampel
ditemukan seropositif paling banyak ditemukan pada jenis kelamin laki-
laki berusia 18- 57 tahun. Dominasi laki-laki umur 18-57 tahun ini
dipengaruhi oleh kecenderungan mereka yang lebih besar untuk
berpartisipasi dalam kegiatan di luar ruangan sehingga mereka
mempunyai risiko lebih tinggi untuk terpapar. Meskipun demikian, tidak
ada hubungan antara kegiatan di luar ruangan dan antibodi terhadap
Leptospira spp.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Maesyarokh (2011)
yang menunjukkan bahwa Leptospirosis lebih banyak pada kelompok
laki-laki dari pada perempuan. Penelitian Ketaren (2009) juga
menunjukkan jenis kelamin penderita Leptospirosis yang paling banyak
adalah laki-laki yaitu 53%. Goris et al (2013) menyebutkan bahwa dari
2.532 pasien, 2.306 (91,1%) adalah pasien laki-laki. Vieira et al (2006)
menunjukkan bahwa dari 443 responden 73% nya adalah laki-laki.
Penelitian Prastiwi (2012) menyebutkan 77,1% penderita Leptospirosis
17
adalah laki-laki. Penelitian Armandari (2005) juga menunjukkan bahwa
penderita Leptospirosis sebagian besar adalah laki-laki yaitu 53%.
Sedangkan penelitian Manurung (2006) menunjukkan penderita
Leptospirosis sebagian besar adalah perempuan yaitu sebesa 66,8%
c. Pengetahuan
Notoatmodjo (2003) menyebutkan bahwa pengetahuan adalah
suatu faktor predisposisi seseorang atau masyarakat terhadap kesehatan.
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk
terbentuknya tindakan seseorang. Orang yang mempunyai pengetahuan
yang baik terntang suatu penyakit maka kemungkinan besar akan
memcegah terjadinya penyakit tersebut. Dari teori ini bisa dikatakan
bahwa pengetahuan mempengaruhi terhadap kejadian penyakit termasuk
penyakit Leptospirosis.
Rahim, dkk (2012) menyebutkan bahwa survei pengetahuan
merupakan strategi umum untuk mengumpulkan informasi dan menilai
praktek kerja yang aman atau upaya pencegahan di antara populasi
beresiko. Survei pengetahuan juga bisa digunakan untuk mengevaluasi
program yang ada dan untuk mengidentifikasi strategi yang efektif untuk
perubahan perilaku.
Arikunto (2010) berpendapat bahwa tingkat pengetahuan seseorang
dapat diketahui dengan menggunakan skala pengukuran yang bersifat
kualitatif. Tingkat pengetahuan tersebut terdiri dari:
1. Baik : hasil 76 %-100 %
18
2. Cukup : hasil 56 %-75 %
3. Kurang : hasil ≤ 55 %
Penelitian Arau´ jo, dkk ( 2013) menunjukkan bahwa dari 257
orang yang diwawancarai, 232 (90,3%) sebelumnya pernah mendengar
tentang Leptospirosis. penelitian ini juga sejalan dengan Penelitian
Armandari (2005) menunjukkan bahwa penderita Leptospirosis yang
memiliki pengetahuan tinggi lebih sebesar yaitu 48 orang (50,5%).
Penelitian Wiwanitkit (2006) yang menunjukkan bahwa 80% penderita
Leptospirosis memiliki pengetahuan rendah. Penelitian Okatini (2007)
menunjukkan adanya hubungan tingkat antara pengetahuan dengan
kejadian Leptospirosis yaitu dengan pvalue 0,000. Penelitian Armandari
(2005) menunjukkan adanya hubungan antara tingkat pengetahuan
dengan kejadian Leptospirosis yaitu dengan pvalue 0,000 dan OR 17,65.
d. Pekerjaan
Salah satu faktor risiko Leptospirosis adalalah berasal dari
pekerjaan (WHO, 2011). Kelompok Pekerja yang bekerja sebagai dokter
hewan, peternak, tukang potong daging, pekerja pengendali jumlah tikus,
petani padi dan tebu, pekerja tambang, nelayan, tentara dan pekerja lain
yang sering kontak langsung dengan hewan merupakan kelompok yang
berisiko terhadap kejadian Leptospirosis (Chin, 2009).
Hal ini terkait dengan penularan langsung, dimana pekerja tersebut
memiliki kemungkinan yang besar bersentuhan dengan cairan tubuh atau
urin dari hewan yang terinfeksi Leptospirosis. Sedangkan petani, militer
19
dan atlet olah raga air berisiko terkena infeksi Leptospirosis secara tidak
langsung yaitu dari lingkungan atau air dan tanah yang terkontaminasi
(Depkes RI, 2008).
Penelitian Ketaren (2007) menunjukkan bahwa sebagian besar
penderita Leptospirosis mempunyai pekerjaan tidak berisiko yaitu 93,9%.
Penelitian Rejeki (2005) juga menyebutkan bahwa sebagian besar
penderita Leptospirosis memiliki pekerjaan tidak berisiko yaitu sebanyak
92%. Penelitian Manurung (2006) menyebutkan penderita yang memiliki
pekerjaan tidak berisiko sebanyak 91,5%. Dan Penelitian Armandari
(2005) menunjukkan penderita Leptospirosis memiliki pekerjaan tidak
berisiko sebesar 98,9%.
Berdasarkan analisis bivariat, hasil penelitian dari Marunung 2006
menunjukkan bahwa pekerjaan tidak berhubungan dengan kejadian
Leptospirosis, yaitu dengan nilai p=0,78. Penelitian Armandari (2005)
menyebutkan bahwa responden dengan pekerjaan berisiko mempunyai
risiko untuk mengalami Leptospirosis sebesar 0,24 kali. Penelitian
Priyanto menunjukkan bahwa pekerjaan berisiko untuk terjadinya
Leptospirosis yaitu dengan nilai pvalue= 0,001 OR=17,36.
e. Riwayat Luka
Depkes RI (2013) menyebutkan bahwa salah satu cara bakteri
Leptospira masuk ke tubuh manusia adalah melalui kulit yang lecet atau
luka. Hal ini sesuai dengan WHO (2014) yang menyebutkan bahwa
bakteri Leptospira masuk ke tubuh manusia dapat melalui luka atau lecet
20
pada kulit, melalui selaput lendir mulut, hidung dan mata, darah, cairan
ketuban, vagina, jaringan, tanah, vegetasi dan air yang terkontaminasi
dengan urin hewan yang terinfeksi. Depkes RI (2005) infeksi dengan
leptospira umumnya berlangsung melalui luka atau erosi pada kulit
maupun selaput lendir, namun infeksi juga dapat berlangsung melalui
kulit utuh yang terpapar dalam waktu cukup lama dengan genangan air
yang terkontaminasi.
Depkes RI (2008) juga menyebutkan bahwa masuknya bakteri
Leptospira dapat melalui permukaan mukosa misalnya melalui luka
abrasi, mukosa (cavitas buccaelbuccal cavity), saluran hidung atau
conjunctiva. Kuman Leptospira akan masuk dalam peredaran darah yang
ditandai dengan adanya demam dan berkembang pada target organ serta
akan menunjukkan gejala infeksi pada organ tersebut. Gambaran klinis
akan bervariasi tergantung dari kondisi manusianya, spesies hewan pada
umurnya. Bakteri Leptospira ini beberapa hari akan tinggal pada organ
seperti hati, limpa, ginjal dengan ditandai perubahan patologis.
Mekanisme imunitas akan aktif apabila kuman menjalar ke jaringan hati
dan ginjal serta berada di tubular ginjal.
Penelitian Cahyati (2009) yang menunjukkan bahwa dari 15
responden yang menderita Leptospirosis 80%. Penelitian Cahyati (2009)
ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara riwayat adanya luka
dengan kejadian Leptospirosis yaitu dengan nilai OR sebesar 6,000.
Penelitian Prastiwi (2012) dan Maesyarokh (2011) juga menyebutkan
21
riwayat luka berhubungan dengan kejadian Leptospirosis yaitu dengan
nilai OR sebesar 10,000. Penelitian Maesyarokh (2011) juga
menyebutkan bahwa riwayat luka berhubungan dengan kejadian
Leptospirosis yaitu dengan OR=5,0
f. Status Pegungsian
UU RI No. 24 Tahun 2007 menyebutkan bahwa pengungsi adalah
orang atau kelompok orang yang terpaksa atau dipaksa keluar dari tempat
tinggalnya untuk jangka waktu yang belum pasti sebagai akibat dampak
buruk bencana.
Menurut Depkes RI (2011) status pengungsian dapat digunakan
untuk pengendalian penyakit yaitu dengan pengamatan penyakit
(surveilans), promotif, preventif dan pelayanan kesehatan (penanganan
kasus) yang dilakukan di sarana pelayanan kesehatan yang masih ada
maupun di pos kesehatan yang didirikan dalam rangka penanggulangan
bencana. Orang yang mengungsi di tempat yang telah ditentukan akan
lebih mudah di pantau masalah kesehatannya. Dalam kaitannya dengan
penyakit Leptospirosis pengungsian dapat digunakan untuk mencegah
atau mengurangi pengungsi untuk kontak dengan air banjir yang
ditakutkan terinfeksi bakteri Leptospira.
g. Personal Hygiene
Widoyono (2008) menyebutkan bahwa bagian penting dalam
upaya pencegahan dan penanggulangan penyakit menular adalah
memutuskan rantai penularan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
22
menghentikan kontak agen penyebab penyakit dengan penjamu. Faktor
pencegahan penularan menitikberatkan pada penanggulangan risiko
penyakit seperti lingkungan dan perilaku. Lingkungan yang tidak hygiene
dan perilaku individu yang tidak hygiene dapat mempermudah penularan
penyakit.
Depkes RI (2008) menyebutkan bahwa salah satu upaya untuk
mencegah terjadinya Leptospirosis yang dapat dilakukan individu adalah
dengan menjaga kebersihan individu (personal Hygiene) yaitu dengan
cara mencuci kaki, tangan serta bagian tubuh yang lainnya dengan sabun
setelah pergi kesawah dan setelah kontak dengan air banjir. Selain itu
upaya pencegahan lainnya juga bisa dilakukan menutup makanan dan
menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) pada saat ingin kontak dengan
air genangan banjir. Salah satu APD yang dapat digunakan adalah
memakai alas kaki termasuk sepatu boot dan sarung tangan (CDC, 2010).
Seseorang yang tidak melakukan upaya pencegahan maka akan
mengakibatkan kemungkinan masuknya bakteri leptospira ke dalam
tubuh akan semakin besar. Bakteri leptospira masuk tubuh melalui pori-
pori tubuh terutama kulit kaki dan tangan, melalui selaput lendir,tubuh
yang lecet, den melalui makanan yang terkontaminasi.
Penelitian Michael, et.al (2004) menunjukan bahwa tidak
mengenakan sepatu di lapangan berhubungan dengan kejadian
Leptospirosis yaitu dengan nilai OR sebesar 2,17. Penelitian Supraptono
dkk (2011) juga menunjukkan bahwa ada hubungan antara tidak
23
memakai alat pelindung diri dengan kejadian Leptopirosis yaitu dengan
nilai OR sebesar 266,3. Hasil penelitian Priyanto (2009) menunjukkan
bahwa ada kebiasaan mandi/mencuci di sungai berhubungan dengan
kejadian Leptospirosis yaitu dengan nilai OR sebesar 12,24.
2.3.2 Agent
Menurut Bustan (2008) faktor agent adalah suatu unsur organisme
hidup atau kuman infektif yang dapat menyebabkan terjadinya suatu
penyakit. faktor agent dapat meliputi: faktor nutrisi, penyebab kimiawi,
penyebab fisik seperti radiasi, penyebab biologis, metazoa, virus, jamur dan
lain sebagainya. adapun Agent pada kejadian Leptospirosis adalah Bakteri
Leptospira.
Buku Manual Pemberantasan Penyakit Menular oleh James Chin
yang di terjemahkan oleh Nyoman Khandun (2009) menyebutkan bahwa
penyebab penyakit Leptospirosis adalah Leptospira, anggota dari ordo
Spirochaetales. Leptospira yang menularkan penyakit termasuk kedalam
spesies Leptospira Interrogans, yang dibagi lagi menjadi berbagai
serovarian. Lebih dari 200 serovarian telah diketahui, dan semuanya terbagi
dalam 23 kelompok (serogroup) yang di dasarkan pada keterkaitan
serologis. Perubahan penting dalam penamaan (nomenklatur) Leptospira
sedang di buat di dasarkan atas keterkaitan DNA. Serovarian yang umum di
temukan di AS adalah Icterohaemorrhagiae, Canicola, Autumnalis,
Hebdomisis, Australis dan Pomona.
24
2.3.3 Environment (Lingkungan)
Bustan (2008) menyebutkan bahwa environment (lingkungan)
adalah semua faktor luar dari suatu individu. Komponen lingkungan dapat
berupa lingkungan fisik, biologi, dan sosial. komponen lingkungan yang
memiliki potensi terhadap kejadian Leptospirosis meliputi: kondisi selokan,
keberadaan sampah, curah hujan, ketinggian air, tatanan rumah, pH tanah
dan PH air.
a. Ketinggian Genangan Air Pada Saat Banjir
Ketinggian genangan air pada saat banjir dianggap bisa
mempengaruhi kejadian Leptospirosis. Genangan air yang tinggi pada
saat banjir akan membuat banjir semakin lama surut sehingga bakteri
Leptospirosis akan lebih lama berada bersama air genangan banjir
tersebut. Bakteri Leptospira dapat bertahan pada suhu 28-30 °C dan PH
7,2 - 8,0 (Chin, 2009). PH ini merupakan PH Air yang netral sehingga
bakteri Leptospira dapat hidup lama dan menetap pada air genangan
banjir yang ada.
Semakin tinggi genangan air banjir dan semakin lama banjir
maka akan mengakibatkan semakin lama responden untuk kontak
dengan air genangan akibat banjir tersebut. Bakteri Leptospira yang
berada pada genangan air pada saat banjir tersebut dapat masuk ke
dalam tubuh jika bagian tubuh tersebut terendam lama pada air yang
terinfeksi yaitu masuk melalui luka atau pori-pori (CDC, 2012).
Penelitian yang telah dilakukan menunjujukkan bahwa ada
25
kecenderungan jumlah penderita Leptospirosis meningkat setelah lama
banjir sampai 3 hari atau lebih (Gindo, 2002 dalam Ketaren, 2009).
Selain itu ketinggian air genangan yang tinggi dan lama akan
mengakibatkan kerusakan dan pencemaran lingkungan. Air banjir dapat
mengotori atau mengkontaminasi rumah maupun bahan makanan yang
tidak tertutupi sehingga apabila air genangan banjir tersebut terinfeksi
bakteri Leptospira maka rumah atau bahan makanan akan tercemar
bakteri Leptospira.
Ketinggian genangan air pada saat banjir dapat mempengaruhi
upaya pencegahan seseorang terhadap kejadian Leptospirosis. CDC
(2010) menyebutkan bahwa salah satu upaya pencegahan Leptospirosis
bisa dilakukan dengan cara menggunakan Alat Pelindung Diri (APD)
pada saat ingin kontak dengan air genangan banjir. Salah satu APD
yang dapat digunakan adalah memakai alas kaki termasuk sepatu boot
dan sarung tangan. Bila air genangan banjir tinggi dan melebihi
ketinggian lutut maka penggunaan APD seperti sepatu boot pada saat
banjir akan sia-sia karena sepatu boot yang ada pada saat ini rata-rata
hanya mampu melindungi sampai lutut saja.
Penelitian Dwiari (2007) menunjukkan bahwa pada saat banjir
melanda DKI Jakarta pada bulan Februari 2007, ketinggian air
genangan di setiap kelurahan bervariasi yaitu antara 10 cm hingga 250
cm dengan rata-rata ketinggian air genangan sebesar 49 cm. Bila
dibandingkan dengan kasus Leptospirosis, diperoleh gambaran bahwa
26
kasus Leptospirosis di Jakarta lebih banyak tersebar di wilayah dengan
rata-rata ketinggian air genangan akibat banjir yang lebih tinggi yaitu
antara 51-100 cm.
b. Keberadaan Sampah
Adanya kumpulan sampah di sekitar rumah akan menjadi
tempat yang disenangi tikus. Keberadaan sampah terutama sampah
sisa–sisa makanan yang diletakkan ditempat sampah yang tidak
memenuhi syarat (tertutup) kkan bahwa sebagian besar rumah
responden terdapat sampah yaitus sebanyak (73,2%), berdasarkan
analisis bivariat menunjukkan ada hubungan antara adanya sampah
dalam rumah dengan kejadian Leptospirosis (p=0,000) dan OR 8,46
c. Tatanan Rumah
Depkes RI (2000) dalam Armandari (2005) menyebutkan bahwa
keadaan dalam rumah harus bersih dan teratur artinya rumah tertata
dengan baik, rapi, tidak terdapat tumpukan barang, tidak terdapat baju
bergelantungan perabotan tersusun rapi dan bersih. Peraturan
Pemerintah no. 81 tahun 2012 menyebutkan bahwa adanya tumpukan
barang-barang bisa mengakibatkan perkembangan habitat tikus.
Hasil penelitian sejalan dengan penelitian Armandari (2005) yang
menunjukkan bahwa sebagian besar responden (93%) tatanan rumahnya
tidak memenuhi syarat. penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian
Ramadani (2010) yang menunjukkan bahwa sebagian besar penderita
Leptosporosis memiliki tatanan rumah tidak rapi yaitu sebanyak 71,8%
27
Penelitian Ramadani (2010) menunjukkan bahwa Penataan Perabot
rumah yang semrawut/tidak rapi berhubungan dengan kejadian
Leptospirosis yaitu dengan nilai p-value sebesar 0,013
d. Curah hujan
Hujan deras akan menyebabkan banjir sehingga meningkatkan
risiko Leptospirosis dengan membawa bakteri dan binatang lebih dekat
dengan manusia. Bakteri akan cepat lebih cepat menyebar bila
bercampur dengan air banjir. Curah hujan yang tinggi akan
meningkatkan paparan bakteri Leptospira pada manusia lewat air, tanah
yang terkontaminasi (Chin, 2009).
Hasil penelitian Rejeki, 2005 menunjukkan bahwa tingginya
curah hujan berisiko terkena Leptospirosis sebesar 37 kali dibandingkan
dengan curah hujan rendah.
e. Ketersediaan Air Bersih
Depkes RI (2013) menyebutkan bahwa tujuan penyehatan
lingkungan adalah untuk mengatur tatalaksana penyediaan,
pengawasan, dan perbaikan kualitas air bersih dan sanitasi. Adanya air
bersih akan membantu menurunkan risisko terjadinya penyakit menular
seperti diare, typus, scabies, Leptospirosis dan penyakit lainnya.
Tidak tersedianya air bersih dapat ditandai dengan masih
digunakannya air genangan banjir atau air sungai untuk keperluan
sehari-hari seperti mandi dan mencuci, memasak dan minum. Seperti
yang telah diketahui bakteri Leptospira dapat masuk ke tubuh manusia
28
melalui luka atau lecet pada kulit, melalui selaput lendir mulut, hidung
dan mata, darah, cairan ketuban, vagina, jaringan, tanah, vegetasi,
makanan dan air yang terkontaminasi dengan urin hewan yang
terinfeksi (WHO, 2014 dan Chin, 2009).
Seghal (1991) menyebutkan bahwa untuk mengontrol dan
melindungi dari kontaminasi kuman Leptospira pada masyarakat adalah
dengan menjaga sumber air bersih yang digunakan dari binatang
pengerat (tikus) dan perlu diadakan khlorinisasi serta apabila untuk
dikonsumsi hendaknya air direbus sehingga mendidih.
Penelitian Okatini (2007) yang menunjukkan bahwa 78,9%
responden yang memiliki ketersediaan air bersih tidak memenuhi
syarat.
f. PH Tanah dan PH Air
Depkes RI (2008) menyebutkan bahwa Leptospira dapat hidup
berbulan-bulan dalam lingkungan yang hangat (28-30 C) dan pH relatif
netral (pH 7,2-8). Bila di air dan lumpur yang paling cocok untuk
bakteri Leptospira adalah dengan pH antara 7,0-7,4 dan temperatur
antara 28°C-30°C. Bakteri ini dapat hidup dalam air yang menggenang.
Karakteristik air pada sawah yang cocok untuk bakteri leptospira adalah
air yang menggenang dengan ketinggian 5-10 cm dan pH antara 6,7-8,5
Menurunkan pH air sawah menjadi asam yaitu dengan pemakaian
pupuk/bahan-bahan kimia menyebabkan jumlah dan virulensi bakteri
Leptospira berkurang.
29
Hasil penelitian Rejeki (2005) dan Priyanto (2009) penelitian
Rejeki menyatakan tidak ada hubungan bermakna antara pH tanah
dengan kejadian Leptospirosis dengan pvalue 0,361 OR 0,3 Priyanto
dengan Pvalue 0,523 dan OR=1,28.
g. Selokan/ Sarana Pembuangan Air Limbah
Selokan/ Sarana Pembuangan Air Limbah merupakan tempat
yang sering dijadikan tempat tinggal tikus ataupun merupakan jalur
tikus masuk ke dalam rumah. Hal ini dikarenakan kondisi buangan air
dari dalam rumah umumnya terdapat saluran yang terhubung dengan
selokan di lingkungan rumah. Peran selokan sebagai media penularan
penyakit Leptospirosis terjadi ketika air pada selokan terkontaminasi
oleh urin tikus atau hewan peliharaan yang terinfeksi bakteri Leptospira
(Suratman, 2006).
Sarana pembuangan air limbah yang sehat yaitu yang dapat
mengalirkan air limbah dari sumbernya (dapur, kamar mandi) ke tempat
penampungan air limbah dengan lancar tanpa mencemari lingkungan
dan tidak dapat dijangkau serangga dan tikus (Field Book, 2009).
Sedangkan menurut Rejeki (2005) selokan sehat bila aliran selokan
lancar/tidak menggenang, tidak meluap saat ada hujan, tidak dilewati
tikus.
Darmodjono (2001) menyebutkan bahwa tikus senang bersarang
di got-got dan selokan-selokan, sedangkan tikus merupakan hewan
pembawa mikroorganisme Leptospira maka diupayakan selokan-
30
selokan tidak menjadi sarang tikus dan airnya mengalir dengan lancar
(tidak menggenang).
Penelitian Rejeki (2005) menunjukkan bahwa sebagian besar
penderita Leptospirosis memiliki kondisi selokan yang buruk yaitu
69%. Penelitian Priyanto (2009) menunjukkan bahwa ada hubungan
antara kondisi selokan yang buruk dengan kejadian Leptospirosis
(p=0,002 dan OR 3,28). Penelitian Okatini (2007) menunjukkan bahwa
spal yang buruk berhubungan dengan kejadian Leptospirosis yaitu
dengan nilai OR sebesar 1,98
h. Keberadaan Tikus di Dalam Maupun di Luar Rumah
Depkes RI (2008) menyebutkan bahwa hewan-hewan yang
menjadi sumber penularan Leptospirosis salah satunya adalah rodent
(tikus). Untuk melihat keberadaan tukus bisa dilakukan dengan cara
pemeriksaan secara visual. Yaitu dengan melihat adanya tanda tanda
keberadaan tikus berupa kotoran tikus dan/atau jejak kaki tikus. Selain
itu harus diperhatikan tanda-tanda lain seperti: sisa keratan pada
pintu/kasa/buku dan kawat kasa yang berlubang bekas lewat tikus:
Pemeriksaan secara nasal (penciuman), Informasi dari pihak lain.
Berikut adalah gambar kotoran tikus:
31
Gambar 2.3 Kotoran Tikus
Sumber: Depkes RI (2008)
Penelitian Rejeki (2005) yang menunjukkan bahwa sebagian
besar rumah responden (96,8%) terdapat tanda-tanda keberadaan tikus.
Penelitian Ketaren (2009) menunjukkan bahwa rumah responden yang
terdapat keberadaan tikus sebanyak 65%. Penelitian Armandari (2005)
juga menunjukkan responden yang rumahnya terdapat tikus sebanyak
94,7%. Penelitian Armandari (2005) ini menunjukkan bahwa ada
hubungan antara keberadaan tikus dalam rumah dengan kejadian
Leptospirosis (p=0,000 dan OR 5,87).
2.4 Kerangka Teori
Menggunakan konsep segitiga epidemiologi yang dikolaborasikan dengan
teori-teori lain (Chin (2009), Depkes RI (2008), Depkes RI (2013), Soejoedono
(2008), Rejeki (2005), Widoyono (2008), Mandal (2008) dan Tinheriyani (2012),
epidemiologi Leptospirosis dipengeruhi oleh beberapa komponen yaitu komponen
host (penderita), agent (Penyebab) dan environment (lingkungan).
Agent atau penyebab dari penyakit Leptospirosis adalah bakteri
Leptospira. Hewan yang bisa menularkan bakteri Leptospira adalah Rodent
(tikus), babi, sapi, kambing, kuda, anjing, kucing serangga dan burung. Akan
32
tetapi dari semua hewan tersebut, tikus merupakan hewan yang paling sering
menularkan Leptospirosis. Keberadaan tikus ini dipengaruhi oleh komponen
lingkungan seperti: ketinggian air, keberadaan sampah, tatanan rumah, kondisi
selokan/SPAL, curah hujan, ketersediaan air bersih, PH tanah dan PH air, dan
keberadaan tikus di dalam maupun di luar rumah.
Bakteri Leptospira yang dibawa oleh tikus dapat masuk ke dalam tubuh
manusia dan mengakibatkan terjadinya penyakit Leptospirosis. masuknya bakteri
Leptospira ini ke tubuh manusia (Host) dipengaruhi oleh beberapa komponen host
yaitu: umur, jenis kelamin, riwayat luka, tingkat pengetahuan, jenis pekerjaan,
personal hygiene, dan status pengungsian. Adapun epidemiologi kejadian
Leptospirosis dapat digambarkan sebagai berikut:
33
Bagan 2.4 Kerangka Teori
Sumber: Modifikasi teori John Gordon dalam Bustan (2008), Chin (2009), Depkes
RI (2008), Depkes RI (2013), Notoatmodjo (2007), Rejeki (2005), dan
Tinheriyani (2012).
Leptospirosis
Leptospirosi
s
Komponen Lingkungan
(Environment)
1. Ketinggian air
2. keberadaan sampah
3. Tatanan rumah
4. Kondisi selokan/SPAL
5. Curah hujan
6. Ketersediaan air bersih
7. PH tanah dan pH air
8. Keberadaan Tikus di dalam
maupun di luar rumah
Komponen Host
(penderita)
1. Umur
2. Jenis Kelamin
3. Riwayat luka
4. Tingkat pengetahuan
5. Jenis Pekerjaan
6. Status pengungsian
7. Personal Hygiene
Agent
(Penyebab)
Leptospira
Tikus
Kucing Babi
Anjing
Sapi Kambing
Serangga
Burung
34
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep
Dalam penelitian ini, peneliti tidak menjadikan semua faktor yang
mempengaruhi kejadian Leptospirosis yang telah disebutkan di kerangka teori
sebagai variabel penelitian. Adapun faktor yang mempengaruhi kejadian
Leptospirosis yang dijadikan variabel penelitian adalah variabel komponen
penderita/host (umur, jenis kelamin, keberadaan tikus, riwayat luka, tingkat
pengetahuan, dan jenis pekerjaan, personal hygiene dan status pengungsian,), dan
variabel komponen lingkungan/environment (ketersediaan air bersih, ketinggian
air, keberadaan sampah, tatanan rumah, kondisi selokan/got, dan keberadaan tikus
didalam maupun luar rumah).
Bakteri Leptospira tidak dijadikan sebagai variabel penelitian karena
peneliti tidak melakukan pemeriksaan terhadap bakteri Leptospira. Selain itu
kejadian Leptospirosis ini sudah selesai terjadi (penderita sudah sembuh) pada
saat penelitian dilakukan sehingga sudah dapat dipastikan bahwa semua penderita
positif Leptospira. Curah hujan tidak di jadikan sebagai variabel penelitian karena
penelitian ini difokuskan pada saat banjir sehingga curah hujan tidak perlu lagi
diukur karna untuk kejadian Leptospirosis curah hujan dihubungkan dengan status
atau keadaan banjir. sehingga curah hujan sudah diwakili oleh kejadian banjir.
Ph tanah dan Ph air tidak dijadikan sebagai variabel penelitian karena
Hasil penelitian Rejeki (2005) di Semarang dan Penelitian Priyanto (2004) di
35
Demak dengan desain Case-Control menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
antara PH tanah dengan kejadian Leptospirosi yaitu dengan nilai Pvalue= 0,361
dan OR 0,3 pada penelitian Rejeki dan Pvalue 0,523 dan OR=1,28 pada penelitian
Priyanto.
Babi, sapi, kambing, kucing, serangga, burung dan anjing) tidak dijadikan
sebagai variabel dan hanya menjadikan keberadaan tikus sebagai variabel
penelitian karena pada saat ini kejadian Leptospirosis banyak ditularkan melalui
tikus, seperti penyataan Dinkes Provinsi Jakarta (2003) yang menyebutkan bahwa
tikus merupakan sumber penularan Leptospirosis yang paling potensial diantara
hewan-hewan lain. Selain itu tikus-tikus yang ditangkap paska banjir di lokasi
Jakarta-Bogor dianggap membawa atau paling tidak terinfeksi Leptospirae.
Karena penelitian ini dilakukan di wilayah Jakarta, maka peneliti memilih tikus
baik untuk menjadi variabel penelitian. Adapun kerangka konsep penelitian ini
adalah sebagai berikut:
36
Bagan 3.1 Kerangka Konsep
.
Status pengungsian
Ketersediaan air bersih.
Leptospirosis
Umur
Jenis kelamin
Riwayat luka
Tingkat pengetahuan
Jenis pekerjaan
Personal hygiene
Keberadaan tikus di
dalam dan sekitar rumah
Ketinggian genangan
air banjir
Keberadaan sampah
Tatanan rumah
Kondisi selokan/SPAL
37
3.2 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Cara Ukur Alat ukur Hasil Ukur Skala Ukur
1 Leptospirosis Penderita yang didiagnosis menderita
leptospirosis oleh dokter dan
terlaporkan di Puskesmas Cengkareng
pada saat banjir periode Januari-
Februari 2014
Observasi Laporan PE
kejadian
leptospirosis
di Puskesmas
Cengkareng
Jumlah kejadian Leptospirosis Rasio
2 Umur Usia responden pada saat didiagnosis
menderita Leptospirosis pada saat
periode banjir Januari-Februari 2014.
Wawancara Kuisioner Dalam satuan tahun
Rasio
3 Jenis
Kelamin
Jenis kelamin yang dimiliki oleh
penderita Leptospirosis pada saat
didiagnosa Leptospirosis
Wawancara Kuisioner 1. Laki-laki
2. Perempuan
nominal
38
4 Riwayat luka Ada tidaknya luka kecil atau besar
pada tubuh seseorang tanggal 3
Januari-14 Februari 2014.
Wawancara Kuisioner
1. Ada luka
2. Tidak ada luka
Ordinal
5 Tingkat
Pengetahuan
Pengetahuan yang dimiliki responden
terkait penyakit Leptospirosis yang
meliputi:, penyebab, cara penularan,
gejala, pencegahan, serta faktor-faktor
yang berhubungan dengan kejadian
Leptospirosis.
Wawancara Kuisioner 1. Baik (jika nilai pengetahuan
76-100
2. Sedang (jika nilai
pengetahuan 56-75
3. Buruk <=55
Interval
6 Keberadaan
tikus di
dalam dan
sekitar rumah
Ada tidaknya tikus di dalam dan
sekitar rumah ditandai dengan ciri-ciri
sebagai berikut: adanya kotoran tikus,
suara tikus, bau kotoran tikus atau bau
tikus, adanya tikus hidup/mati di
Wawancara
dan
observasi
Kuisioner
dan lembar
observasi
1. Ada
2. Tidak ada
Ordinal
39
dalam maupun luar rumah, ada bekas
makanan yang digigit tikus, ada
lubang didalam maupun luar rumah
lubang misalnya dipojok pintu atau
diatas plafon dan sebagainya, ada
bercak atau bekas urin tikus, ada tanda
kehitaman di tembok atau perkakas
rumah 3 Januari-14 Februari 2014.
7 Ketinggian
air
Tingginya rata-rata genangan air pada
saat banjir di wilayah Kecamatan
Cengkareng periode Januari-Februari
2014
Observasi Laporan
banjir tahun
2014 dari
Sudinkes
Jakarta Barat
Dalam satuan cm Rasio
40
8 Ketersediaan
air bersih
Tersedia atau tidaknya air bersih
untuk keperluan sehari hari yaitu
untuk mandi, memasak, mencuci dan
minum pada tanggal 3 Januari-14
Februari 2014
Wawancara Kuisioner 1. Tidak tersedia.
2. Tersedia
Ordinal
9 Pekerjaan Profesi yang lakukan responden yang
berpotensi untuk terkena Leptospirosis
pada tanggal 3 Januari-14 Februari
2014
Wawancara Kuisioner 1. Berisiko (dokter hewan,
petani, peternak, tukang
potong daging, petugas
laboratorium, pekerja
pengendali jumlah tikus, ,
pekerja tambang, nelayan,
tentara, pekerja selokan
(paralon), dan tukang ojek
Ordinal
41
atau supir
2. Tidak berisiko (selain
pekerjaan berisiko)
10 Status
pengungisan
orang atau kelompok orang yang pada
saat banjir terpaksa atau dipaksa
keluar dari tempat tinggalnya untuk
jangka waktu yang belum pasti
sebagai akibat dampak buruk bencana
ke lokasi yang lebih aman pada saat
banjir periode 3 Januari-14 Februari
2014
Wawancara Kuisioner 1. Tidak mengungsi
2. Mengungsi
Ordinal
11 Personal
hygiene
Tindakan/upaya pencegahan yang di
lakukan responden untuk mencegah
kejadian Leptospirosis seperti tidak
Wawancara Kuisioner 1. Tidak melakukan upaya
pencegahan jika tidak
melakukan semua dari upaya
Ordinal
42
menutup makanan, tidak
menggunakan sepatu boot atau sarung
pada saat ingin kontak dengan air
banjir/sungai/ lumpur, tidak mandi,
tidak mencuci tangan, kaki, atau
anggota badan lainnya menggukan
sabun setelah kontak dengan air 3
Januari-14 Februari 2014.
pencegahan (Tidak menutup
makanan, tidak mandi, tidak
mencuci tangan, kaki,
anggota badan lainnya
dengan sabun, tidak
menggunakan sepatu boot)
2. Melakukan upaya
pencegahan jika melakukan
minimal 2 (menutup
makanan, mandi setelah
kontak dengan air genangan
banjir/lumpur) dari upaya
pencegahan.
43
12 Keberadaan
sampah
Ada tidaknya sampah yang bisa
menjadi indikator keberadaan tikus
yang ditandai dengan adanya sampah
yang berserakan dan tempat sampah
tidak tertutup di dalam maupun diluar
rumah perita 3 Januari-14 Februari
2014.
.
Wawancara
dan
observasi
Kuisioner
dan lembar
observasi
1. Ada sampah
Jika terdapat sampah yang
berserakan dan tempat
sampah tidak tertutup di
dalam dan di luar rumah
2. Tidak ada sampah
Jika tidak terdapat sampah
yang berserakan dan tempat
sampah tertutup di dalam dan
di luar rumah
Nominal
13 Tatanan
Rumah
Penataan rumah terhadap barang-
barang dan perbotan secara rapi dan
tidak ada tumpukan barang-barang
yang bisa menimbulkan
Wawancara
dan
observasi
Kuisioner
dan lembar
observasi
1. Buruk: jika penataan barang
dan perabotan tidak rapi dan
terdapat tumpukan barang
yang bisa menjadi habitat
Ordianal
44
perkembangan habitat tikus 3 Januari-
14 Februari 2014.
tikus
2. Baik: jika penataan barang
dan perabotan secara rapi dan
tidak ada tumpukan barang
yang bisa menjadi habitat
tikus
14 Kondisi
Selokan/SPA
L
Kondisi atau keadaan selokan/ SPAL
yang dapat berpotensi menjadi habitat
tikus ditandai dengan tidak
mengalirkannya air limbah dari
sumbernya (dapur, kamar mandi) ke
tempat penampungan air limbah
dengan lancar tanpa mencemari
lingkungan dan dapat dijangkau
Wawancara
dan
Observasi
Kuisioner
dan Lembar
observasi
1. Buruk: jika tidak dapat
mengalirkan air limbah dari
sumbernya (dapur, kamar
mandi) ke tempat
penampungan air limbah
dengan lancar tanpa
mencemari lingkungan dan
dapat dijangkau serangga dan
Ordinal
45
serangga dan tikus 3 Januari-14
Februari 2014.
tikus
2. Baik: jika tidak dapat
mengalirkan air limbah dari
sumbernya (dapur, kamar
mandi) ke tempat
penampungan air limbah
dengan lancar tanpa
mencemari lingkungan dan
tidak dapat dijangkau tikus
46
BAB IV
METODOLOGI
4.1 Desain penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi deskriptif dengan desain
studi kasus. Studi kasus adalah sebuah eksplorasi dari suatu sistem yang terkait
atau suatu kasus/ beragam kasus yang dari waktu ke waktu melalui pengumpulan
data yang mendalam serta melibatkan berbagai sumber informasi yang kaya
dalam suatu konteks (Robert, 1998). Sumber lain menyebutkan bahwa studi kasus
merupakan penelitian yang rinci mengenai suatu objek tertentu selama kurun
waktu tertentu yang mencangkup mendalam dan menyeluruh termasuk
lingkungan dan kondisi masa lalunya (Umar, 2011). Pada penelitian ini peneliti
menambahkan pendekatan kualitatif untuk mendukung pembahasan.
4.2 Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Cengkareng Kota Administratif
Jakarta Barat Provinsi DKI Jakarta. Penelitian dilakukan pada bulan Maret-Juli
tahun 2014.
4.3 Populasi dan Sampel
Populasi pada penelitian adalah semua warga yang sebagai kasus
Leptospirosis dan terlaporkan di Puskesmas Kecamatan Cengkareng yaitu
sebanyak 18 kasus. Pada penelitian ini semua kasus diteliti sehingga populasi
sekaligus menjadi sampel.
47
4.4 Pengumpulan Data
4.4.1 Sumber Data
Data pada penelitian ini terdiri dari data sekunder dan data primer.
Data sekunder adalah data kasus yang di peroleh dari laporan PE
(Penyelidikan Epidemiologi) kejadian Leptospirosis di Puskesmas
Kecamatan Cengkareng, data ketinggian genangan air akibat banjir dari
laporan banjir 2014 di Suku Dinas Kesehatan Jakarta Barat.
Sedangkan data primer adalah data yang diperoleh dari responden
penelitian terkait data: umur, jenis kelamin, riwayat luka , jenis pekerjaan,
tingkat pengetahuan, ketersediaan air bersih, keberadaan tikus, keberadaan
sampah, tatanan rumah, personal higyene, keadaan selokan/SPAL, dan
status pengungsian.
4.4.2 Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan
metode wawancara, observasi dan wawancara mendalam. Wawancara
mendalam dilakukan untuk mendukung pembahasan dari masing-masing
variabel jika dibutuhkan.
4.4.3 Instrumen Pengumpulan Data
Instrumen pengumpulan data pada penelitian ini adalah lembar
kuisioner, lembar observasi dan pedoman wawancara. Untuk variabel
kharakteristik penderita (umur, jenis kelamin, jenis pekerjaan, tingkat
pengetahuan dan riwayat luka), ketersediaa air bersih, status pengungsian,
dan personal hygiene peneliti menggunakan instrumen berupa kuisioner
48
penelitian. Untuk variabel kondisi lingkungan seperti keberadaan tikus,
keberadaan sampah, kondisi selokan dan tatanan rumah peneliti
menggunakan instrumen berupa kuisioner dan lembar observasi serta
wawancara mendalam.
Untuk variabel lingkungan (keberadaan sampah, kondisi selokan,
tatanan rumah dan keberadaan tikus), pengumpulan datanya diawali dengan
menanyakan keadaan lingkungan pada saat atau sebelum banjir, apakah
sama dengan pada saat penelitian atau tidak. Selain itu peneliti juga melihat
perilaku responden sebelum dan pada saat dilakukan penelitian. Karena
mereka menjawab kondisi lingkungan pada saat sekarang sama dengan pada
saat atau sebelum banjir dan melihat perilaku responden yang sama pada
saat atau sebelum terjadi banjir dengan pada saat sekarang, maka keadaan
lingkungan pada saat penelitian dianggap sama pada saat atau sebelum
terjadi banjir. Selain instrumen berupa kuisioner, lembar observasi dan
pedoman wawancara, Penulis juga menggunakan perlengkapan alat tulis,
kamera dan alat perekam suara.
Sebelum turun ke lapangan peneliti terlebih dahulu menguji validitas
dan reliabilitas instrumen yang akan digunakan. Jumlah sampel yang
digunakan untuk uji instrumen ini adalah 30 sehingga nilai Df= n-2 =28
kemudian dilihat pada r tabel dan didapatkan nilai r tabel sebesar 0,306.
Setelah melihat nilai r tabel kemudian penulis melihat r hitung. Daftar
pertanyaan di katakan reliabel dan valid apabila nilai r hitung > r tabel.
Hasil uji instrumen menjunjukkan sebagian besar pertanyaan dalam
49
instrumen penelitian ini sudah reliabel dan valid. Untuk pertanyaan yang
tidak reliabel dan valid, kemudian peneliti memperbaiki redaksi pertanyaan
tersebut. Adapun hasil dari uji instrumen bisa di lihat pada lampiran.
4.5 Pengolahan data
Pengolahan data pada penelitian ini dilakukan dengan cara:
1. Editing data, yaitu melakukan pengecekan data yang telah terkumpul, bila
terdapat kesalahan dan kekeliruan dalam pengumpulan data diperbaiki dan
dilakukan pendataan ulang terhadap responden,
2. Data yang telah terkumpul dan dikoreksi ketepatan dan kelengkapannya
kemudian diberi kode (coding) oleh peneliti secara manual sebelum diolah
dengan komputer,
3. Entry data dengan menginput data bersih ke dalam program komputer,
4. Cleaning dengan memeriksakan semua data yang telah dimasukkan kedalam
komputer guna menghindari terjadinya kesalahan dalam pemasukan data
5. Tabulating, yaitu setelah data tersebut masuk kemudian direkap dan disusun
dalam tabel agar dapat dibaca dengan mudah.
4.6 Analisis Data
Analis data pada penelitian ini menggunakan analisis distribusi frekuensi.
Untuk variabel dengan skala rasio (umur dan ketinggian air), maka dilihat nilai
mean ± SD, Median dan max-min. Sedangkan untuk variabel dengan skala ordinal
dan nominal (Riwayat luka, jenis kelamin, keberadaan tikus, ketersediaan air
bersih, jenis pekerjaan, status pengungsian, personal gygiene, tatanan rumah,
50
keberadaan sampah, kondisi selokan dan dan tingkat pengetahuan) akan dilihat
nilai frekuensinya (%). Data akan disajikan dalam bentuk tabel.
51
BAB V
HASIL
5.1 Distribusi Kejadian Leptospirosis Berdasarkan Komponen Host (Penderita)
Komponen Host (penderita) yang berpengaruh terhadap kejadian
Leptospirosis terdiri dari umur, jenis kelamin, jenis pekerjaan, tingkat
pengetahuan, dan riwayat luka, status pengungsian dan personal hygiene. Untuk
lebih jelasnya urutan variabel adalah sebagai berikut:
Tabel 5.1
Distribusi Frekuensi Kejadian Leptospirosis Berdasarkan Komponen
Host (Penderita) Pada Saat Banjir di Kecamatan Cengkareng
Periode Januari-Februari tahun 2014
Variabel Mean ±SD Median Min-
Max
Kejadian
Leptospirosis
n %
Umur 38, 61 ± 17,9 35,5 5-65
<20 4 22,2
20-40 7 38,9
>40 7 38,9
Jenis Kelamin
Laki-laki 13 72,2
Perempuan 5 27,8
Pengetahuan 64.11±20.5 69.0 27-95
Tinggi 5 27, 8
Sedang 6 33,3
Rendah 7 38,9
Riwayat Luka
Ada 13 72,2
Tidak ada 5 27,8
Status Pengungsian
Tidak Mengungsi 18 100
Mengungsi 0 0
Personal Hygiene
Baik 2 11,1
Burk 16 88,9
Jenis Pekerjaan
Berisiko 5 27,8
Tidak berisiko 13 72,2
52
Tabel diatas menunjukkan bahwa umur rata-rata penderita adalah 38, 61
tahun. Sebagian besar penderita berumur 20-40 tahun dan >40 tahun yaitu
masing-masing sebanyak 38,9%, laki-laki 72,2%, memiliki riwayat luka 72,2%,
pengetahuan rendah sebanyak 38,9%, semua penderita tidak mengungsi (100%),
88,9%, memiliki personal hygiene yang dan 72% memiliki pekerjaan yang tidak
berisiko. Jika dilakukan Crosstabulation terhadap jenis kelamin dan jenis
pekerjaan, umur dan jenis kelamin, maka hasilnya sebagai berikut:
Tabel 5.2
Distribusi Frekuensi Kejadian Leptospirosis Berdasarkan Komponen
Penderita Pada Saat Banjir di Kecamatan Cengkareng
Tabel diatas menunjukkan bahwa jika dibandingkan dengan jenis kelamin
penderita maka pekerjaan yang berisiko paling banyak ditemukan pada jenis
kelamin laki-laki yaitu 38,5%, dan sebagian besar kelompok umur 20-40 tahun
adalah laki-laki yaitu 85,7%.
Jenis Kelamin Jenis Pekerjaan
Berisiko Tidak Berisiko Total
n % n % n %
Laki-laki 5 38,5 8 61,5 13 100
Perempuan 0 0 5 100 5 100
Umur (tahun) Jenis Kelamin
Laki-laki Perempuan Total
n % n % n %
<20 3 75 1 25 4 100
20-40 6 85,7 1 14,3 7 100
>40 4 57,1 3 42,9 7 100
53
5.2 Distribusi Frekuensi Kejadian Leptospirosis Berdasarkan Komponen
Lingkungan
Kondisi lingkungan yang mempengaruhi kejadian Leptospirosis adalah
Keberadaan tikus, keberadaan sampah, tatanan rumah, keadaan selokan dan
ketersediaan air bersih. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel berikut:
Tabel 5.3
Distribusi Frekuensi Kejadian Leptospirosis Berdasarkan Komponen
Lingkungan Pada Saat Banjir di Kecamatan Cengkareng
Periode Januari-Februari 2014.
Tabel diatas menunjukkan bahwa semua rumah penderita baik di dalam
maupun di luar terdapat tikus yaitu sebanyak 100%, 66,7% rumah penderita
terdapat sampah, 55,6% penderita menata rumahnya secara rapi, 72,2% keadaan
selokan penderita baik, 88,9% ketersedian air bersihnya tersedia, jika ketinggian
Variabel Kejadian Leptospirosis
n %
Keberadaan Tikus
Ada tikus 18 100
Tidak ada tikus 0 0
Keberadaan Sampah
Tidak Ada Sampah 6 33,3
Ada Sampah 12 66,7
Tatanan Rumah
Rapi 10 55, 6
Tidak Rapi 8 44, 4
Keadaan Selokan
Baik 13 72,2
Buruk 5 27,8
Ketersedian Air Bersih
Tersedia 16 88,9
Tidak Tersedia 2 11,1
Ketinggian Air Genangan
Mean ±SD 36, 33 ± 8,3
Median 34
Min-Max 23-52
Rendah (<=36,33) 10 55,6
Tinggi (>36,33) 8 44,4
54
air genangan banjir dikelompokkan menjadi tinggi dan rendah berdasarkan nilai
mean yaitu 36,33 cm (berdistribusi normal), maka sebagian besar ketinggian
airnya rendah (<=36,33) yaitu sebanyak 55,6%.
Penelitian ini juga disertai dengan observasi dan wawancara mendalam
pada beberapa variabel penelitian. Hasil observasi menunjukkan bahwa sebagian
besar lingkungan rumah penderita terdapat sampah yaitu sebanyak 66,7%,
penderita yang memiliki tatanan rumah yang tidak rapi sebanyak 72,2%, dan
61,1% selokan penderita masih buruk. Adapun hasil wawancara mendalam terkait
3 variabel tersebut adalah:
“ ya gitu.. sampah disini kayak gitu.. dibuangnya ditaruh plasitik aja..
kalau petugasnya ngambilnya cepet ya ngga berantakan.. tapi petugasnya sering
telat jadi numpuk kayak gitu.. di samping itu kan kali gede mba.. sampahnya
banyak itu... (AD, RB)
Dari kutipan ini dapat dilihat bahwa pembuangan sampah penderita
tersebut masih sembarangan dan sampah akan lebih berantakan jika petugas telat
mengambilnya. Selain itu disamping rumah penderita tersebut terdapat kali/sungai
yang terdapat banyak sampah.
“ya.. Bersih-bersih rumah sudah pastilah.. sampah disitu tu ngga bisa
dibersihin.. belakang itu kalinya banyak sampahnya.. emang TPA sih..
sampahnya dari situ tu.. kali itulah selokannya..”
Kutipan diatas menjelaskan bahwa selokan penderita berupa kali/sungai
yang terdapat banyak sampah.
55
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian
1. Pada saat penelitian ada beberapa rumah penderita yang sudah direnovasi
dan berpindah rumah sehingga keadaan rumah berbeda dengan keadaan
rumah pada saat penderita terdiagnosis Leptospirosis. sehingga pada saat
observasi penulis tidak bisa melihat keadaan rumah pada saat penderita
terdiagnosis Leptospirosis.
2. Pada saat wawancara berlangsung ada gangguan yang tidak bisa di hindari
peneliti yaitu pada saat wawancara pada penderita. Ada 2 penderita yang
pada saat diwawancara keluarga dan tetangga penderita ikut menjawab
sehingga mempengaruhi jawaban penderita.
3. Setelah dilakukan perbaikan kuisioner (setelah uji validitas dan
reliabilitas) peneliti tidak menguji kembali kuisioner tersebut, peneliti
hanya mmperbaiki redaksi dari pertanyaan yang tidak valid atau reliabel
tersebut.
6.2 Distribusi Kejadian Leptospirosis Berdasarkan Komponen Host (Penderita)
Kharakteristik penderita terdiri dari umur, jenis kelamin, jenis pekerjaan,
tingkat pengetahuan, riwayat luka, status pengungsian dan personal hygiene.
Berikut adalah pembahasan dari masing-masing variabel tersebut:
56
6.2.1 Umur
Kejadian suatu penyakit sering dikaitkan dengan umur. CDC (2012)
menyebutkan bahwa manusia dengan segala lapisan umur rentan terhadap
infeksi Leptospirosis. Aulia (2012) juga menyebutkan bahwa kejadian
Leptospirosis tidak terjadi pada spesifik umur tertentu, Leptospirosis
diketahui terjadi pada semua umur berkisar antara balita sampai lansia yaitu
1 tahun sampai lebih dari 65 tahun.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar penderita
berumur 20-40 tahun dan >40 tahun yaitu masing-masing sebanyak 7
38,9%. Sedangkan penderita yang berumur <20 tahun sebanyak 22,2%.
Sesuai dengan teori Soejoedono (2004) yang menyebutkan bahwa pada
prinsipnya semua umur manusia dapat terserang Leptospirosis karena
semua umur mempunyai potensi keterpaparan (exposure potential) dan
pengalaman terpapar (exposure experience) yang sama. Akan tetapi
kejadian Leptospirosis lebih sering terjadi pada individu berumur antara 20-
40 tahun. Poeppl (2013) juga menyebutkan bahwa kasus Leptospirosis
banyak terjadi pada kisaran umur tersebut yaitu antara umur 20 sampai 50
tahun.
Penelitian Rejeki (2005) dan Ketaren (2009) menunjukkan bahwa
kasus Leptospirosis terbanyak ditemukan pada rentang umur 40–49 tahun
dan berumur >20 tahun yaitu sebanyak 83,7%. Pada usia diatas 20 tahun ini
atau usia dewasa keatas seseorang berpotensi untuk memiliki tererpaparan
yang lebih besar. Subroto (1981) dalam Armandari (2005) menyebutkan
57
bahwa Leptospirosis kerap dijumpai pada usia dewasa karena pada usia
dewasa mereka mulai bekerja dan banyak beraktifitas di luar rumah
sehingga mereka banyak terpapar oleh hewan yang terinfeksi dan
lingkungan yang terkontaminasi.
Jika dilihat dari kelompok umur yang paling banyak dan jenis
kelamin penderita, maka sebagian besar kelompok umur tersebut berjenis
kelamin laki-laki yaitu 6 penderita (85,7%) pada umur 20-40 tahun dan 4
penderita (57,1%) pada umur >40 tahun. Artinya kejadian Leptospirosis
pada kelompok umur tersebut bisa dikarenakan mereka merupakan laki-laki
dewasa sehingga memiliki aktifitas di luar rumah lebih banyak dan pada
saat banjir kelompok mereka lebih sering kontak dengan air genangan
banjir. Selain itu angka kematian akibat penyakit Leptospirosis meningkat
seiring dengan bertambahnya usia penderita. Penderita yang berusia 51
tahun, mortalitasnya mencapai 56% karena kemampuan imunitas akan
menurun sesuai dengan peningkatan usia termasuk kecepatan respons imun
melawan infeksi penyakit (Widoyono, 2008 dan Fatmah, 2006).
Meskipun kejadian Leptospirosis lebih sering terjadi pada usia
dewasa dan tua, kejadian Leptospirosis juga bisa terjadi pada anak-anak.
Sehgal et.al (1991), WHO (2004) dan Widoyono (2008) menyebutkan
bahwa anak-anak juga dapat terpapar Leptospirosis pada saat mereka
bermain di halaman (digenangan air hujan atau lumpur), pada saat berenang
dan piknik diluar rumah.
58
Penelitian ini dilakukan pada saat terjadi banjir sehingga semua
umur berpotensi untuk terkena Leptospirosis karena mereka memiliki
paparan yang sama yaitu air genangan banjir. Oleh sebab itu orang dengan
semua lapisan umur harus bersiap-siap untuk mengantisipasi agar tidak
kontak dengan tikus/urinya atau dengan hewan lain yang bisa menularkan
penyakit Leptospirosis dengan cara selalu melakukan upaya pencegahan
seperti berperilaku hidup bersih dan sehat dan memakai alat pelindung diri
ketika ingin kotak dengan hewan terinfeksi dan air genangan banjir.
6.2.2 Jenis Kelamin
Beberapa kejadian penyakit sering dikaitkan dengan jenis kelamin
seseorang. Poeppl (2013) menyebutkan bahwa salah satu faktor yang
berkontribusi terhadap kejadian Leptospirosis adalah jenis kelamin.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kejadian Leptospirosis
paling banyak terjadi pada jenis kelamin laki-laki yaitu sebayak 72,2%,
sedangkan pada perempuan sebanyak 27,8%. Begitu juga teori Mandal
(2008) yang menyebutkan bahwa sebagian besar kasus Leptospirosis terjadi
pada laki-laki. Pada saat banjir laki-laki turun langsung membersihkan
lingkungan sehingga dapat terpapar kotoran rodent lebih besar (Seghal et.al,
1991). Pada dasarnya laki-laki dan perempuan memiliki risiko yang sama
untuk menderita Leptospirosis, akan tetapi pada umumnya laki-laki
cenderung kurang peduli jika mengalami luka yang bisa menjadi tempat
masuknya bakteri (Soejoedono, 2004).
59
Penelitian Goris, dkk (2013), Vieira, dkk (2006), Prastiwi (2012),
dan Armandari (2005) menunjukkan bahwa kejadian Leptospirosis lebih
banyak pada kelompok laki-laki yaitu masing-masing 91,1%, 73%, 77,1%,
dan (53%). Sedangkan penelitian Rejeki (2005) dan Manurung (2006)
menunjukkan bahwa kejadian Leptospirosis lebih banyak pada perempuan
yaitu sebesar 76,2% dan 66,8%. Perempuan dapat terinfeksi Leptospirosis
pada saat membersihkan rumah, memegang hewan peliharaan, berenang dan
piknik diluar ruangan (Widoyono, 2008).
Penelitian ini jenis kelamin juga tidak begitu berpengaruh penelitian
dilakukan pada saat terjadi banjir sehingga semua jenis kelamin memiliki
paparan yang sama dan berpotensi untuk terkena Leptospirosis. Oleh sebab
itu, baik laki-laki maupun perempuan harus sama-sama mengantisipasi atau
mencegah terjadinya Leptospirosis.
6.2.3 Jenis Pekerjaan
Salah satu faktor risiko Leptospirosis adalah berasal dari pekerjaan.
Jenis pekerjaan dapat mempengaruhi tingkat keterpaparan pekerja dengan
hewan yang terinfeksi (WHO, 2011). Kelompok pekerja yang berisiko
terkena Leptospirosis adalah dokter hewan, peternak, tukang potong daging,
petugas laboratorium, pekerja pengendali jumlah tikus, petani padi dan tebu,
pekerja tambang, nelayan, tentara dan pekerja lain yang sering kontak
langsung dengan hewan (Chin, 2009); Widoyono, 2008 dan Mandal, 2008).
Kelompok pekerja ini berisiko karena terkait dengan penularan langsung,
dimana pekerja tersebut memiliki kemungkinan yang besar bersentuhan
60
dengan cairan tubuh atau urin dari hewan yang terinfeksi Leptospirosis.
Sedangkan petani, militer dan atlet olah raga air berisiko terkena infeksi
Leptospirosis secara tidak langsung yaitu dari lingkungan atau air dan tanah
yang terkontaminasi (Depkes RI, 2008).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar penderita
memiliki pekerjaan yang tidak berisiko yaitu sebanyak 72,2%. Begitu pula
penelitian Ketaren (2007), Rejeki (2005), manurung (2006), dan Armandari
(2005) juga menunjukkan bahwa sebagian besar penderita memiliki
pekerjaan yang tidak berisiko. Penelitian Ketaren (2007) menunjukkan
sebanyak 93,9%, Rejeki (2005) menunjukkan 92%, Manurung (2006)
menunjukkan 91,5%, dan penelitian Armandari (2005) menunjukkan 98,9%
penderita memiliki pekerjaan tidak berisiko. Hasil penelitian ini sama
dikarenakan pengkategorian yang dipakai sama.
Manurung (2006) mengkategorikan pekerjaan berisiko adalah petani
dan nelayan. Armandari mengkategorikan pekerjaan berisiko adalah petani,
pekerja kebun, pekerja tambang, rumah potong, dokter hewan, mantri
hewan, perenang, penjelajah hutan, pembersih selokan. Ketaren
mengkatergorikan pekerjaan berisiko adalah penambang, petani, nelayan,
peternak, dan dokter hewan. Sedangkan Rejeki mengkategorikan pekerjaan
berisiko adalah petani, dokter hewan, pekerja pemotong hewan, tukang
sampah, pekerja pengontrol tikus, pekerja selokan, buruh tambang dan
tentara. Selain itu penelitian ini di lakukan di kota-kota besar seperti
61
Semarang, Jakarta dan Aceh sehingga untuk pekerjaan petani, nelayan,
peternak, dan pengontrol tikus tidak ditemukan.
Pada dasarnya semua pekerjaan berisiko terkena Leptosporosis
asalkan pekerjaan tersebut memiliki kemungkinan dan berpotensi untuk
kontak dengan urin tikus. Jika dibandingkan dengan jenis kelamis, maka
semua pekerjaan berisiko dimiliki oleh penderita dengan jenis kelamin laki-
laki. Meskipun demikian, sebagian besar laki-laki memiliki pekerjaan yang
tidak berisiko yaitu sebanyak 61,5% yang terdiri dari buruh bangunan,
petugas AC dan siswa. Pada saat banjir siswa tersebut bermain air banjir
tanpa menggunakan sepatu dan mereka mempunyai riwayat luka di kaki
berupa kutu air sehingga mereka kontak dengan air genangan banjir, begitu
pula dengan petugas AC dan buruh bangunan.
Sedangkan semua penderita perempuan yaitu 100% memiliki
pekerjaan yang tidak berisiko yaitu bekerja sebagai ibu rumah tangga,
meskipun demikian perempuan memiliki kemungkinan atau potensi yang
sama untuk terpapar bakteri Leptospira. Pada saat membersihkan rumah, ibu
rumah tangga sering memegang dan membersihkan perabotan rumah, kayu,
dinding, selokan, gudang, halaman dan tempat-tempat terkecil dari rumah
misalnya kolong meja, kolong tempat tidur dan sebagainya sehingga ibu
rumah tangga tersebut berpeluang untuk kontak dengan urin tikus. Artinya
semua pekerjaan baik berisiko maupun berisiko menurut teori Chin (2009),
baik laki-laki maupun perempuan memiliki potensi yang sama untuk terkena
62
Leptospirosis asalkan mereka terpapar oleh bakteri Leptospira atau urin
tikus.
Pada saat banjir faktor jenis pekerjaan juga tidak berpengaruh
banyak terhadap kejadian Leptospirosis karena semua pekerja memiliki
paparan yang sama yaitu tepapar air genangan banjir. pada kondisi banjir
tersebut semua orang berpeluang untuk kontak dengan bakteri Leptospira
yang terbawa oleh air ganangan banjir tersebut. Penelitian Suratman (2006)
menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki pekerjaan tidak
risiko. Beberapa penderita mengatakan bahwa kondisi tempat kerja mereka
pernah terjadi banjir sehingga menimbulkan genangan air di sekitarnya.
Penderita lain mengatakan mereka memiliki pekerjaan sampingan ataupun
aktifitas di waktu luang yang selalu berhubungan dengan air, tanah yang
basah, ataupun terpapar banjir seperti kerja bakti dan bermain sepak bola di
tempat yang tergenang.
Agar para kerja terhindar dari penyakit Leptospirosis maka pekerja
harus melakukan upaya pencegahan seperti menggunakan sepatu boot dan
menggunakan sarung tangan pada saat ingin mengojek atau kontak dengan
air genangan banjir jika memungkinkan, mencuci tangan, kaki, dan anggota
tubuh lainnya dengan sabun setelah kontak dengan air/lumpur genangan
banjir, mengkonsumsi air bersih dan menghindari kontak dengan binatang
yang bisa menularkan penyakit ini seperti tikus.
63
6.2.4 Riwayat Luka
Depkes RI (2013), WHO (2014), dan Depkes RI (2008)
menyebutkan bahwa cara bakteri Leptospira masuk ke tubuh manusia
adalah melalui kulit yang lecet atau luka, melalui selaput lendir mulut,
hidung dan mata, darah, cairan ketuban, vagina, jaringan, tanah, vegetasi
dan air yang terkontaminasi dengan urin hewan yang terinfeksi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar penderita
memiliki riwayat luka yaitu sebesar 13 penderita (72%), sedangkan
penderita yang tidak memiliki luka sebesar 5 penderita (27%). Infeksi
dengan Leptospira umumnya berlangsung melalui luka atau abrasi pada
kulit maupun selaput lendir, namun infeksi juga dapat berlangsung melalui
kulit utuh yang terpapar dalam waktu cukup lama dengan genangan air yang
terkontaminasi (Depkes RI, 2005). Masa inkubasi Leptospirosis adalah
biasanya 10 hari dengan rentang 4-19 hari (Chin, 2012). Setelah masuk
ketubuh manusia, bakteri akan masuk ke peredarah dan beredar keseluruh
tubuh sehingga dapat menyebabkan kerusakan dimana saja termasuk organ
jantung, otak, ginjal (Widoyono, 2008).
Demikian pula penelitian Cahyati (2009) dan Rejeki (2005) juga
menunjukkan bahwa sebagian besar penderita Leptospirosis memiliki
riwayat luka sebelum mereka terinfeksi Leptospirosis yaitu masing-masing
80% dan 81,0%. Kedua penelitian dilakukan pada saat banjir sehingga
mereka banyak yang memiliki luka seperti luka lecet. Berdasarkan
wawancara, sebagian besar penderita pada penelitian ini memiliki riwayat
64
luka di kaki yaitu berupa kutu air. Pada saat banjir tersebut penderita
mengaku tidak menggunakan alas kaki maupun alat pelindung diri sehingga
bisa tertular Leptospirosis. Sedangkan penelitian Ningsih (2009)
menunjukkan bahwa sebagian besar penderita tidak memiliki riwayat luka
yaitu sebanyak 68,3%. Ini bisa terjadi karena jarak antara waktu penelitian
dan waktu responden mengalami sakit terlalu lama sehingga responden
lupa.
Bakteri Leptospirosis dapat masuk kedalam tubuh melalui luka, oleh
sebab itu warga harus menutup lukanya bila ingin kontak dengan air
genangan banjir atau kontak dengan hewan yang bisa menularkan penyakit
Leptospirosis dengan cara menggunakan alat pelindung diri seperti sepatu
boot dan sarung tangan.
6.2.5 Tingkat Pengetahuan
Notoatmodjo (2003) menyebutkan bahwa pengetahuan adalah suatu
faktor predisposisi seseorang atau masyarakat terhadap kesehatan.
Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya
tindakan seseorang. orang yang mempunyai pengetahuan yang baik terntang
suatu penyakit maka kemungkinan besar akan mencegah terjadinya penyakit
tersebut.
Survei pengetahuan merupakan strategi umum untuk mengumpulkan
informasi dan menilai praktek kerja yang aman atau upaya pencegahan di
antara populasi beresiko. Survei pengetahuan juga bisa digunakan untuk
mengevaluasi program yang ada dan untuk mengidentifikasi strategi yang
65
efektif untuk perubahan perilaku terhadap penyakit Leptospirosis (Rahim
et.al, 2012).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar penderita
memiliki pengetahuan yang rendah yaitu sebanyak 7 penderita (38,9%) dan
6 penderita (44,4%) dimiliki pengetahuan sedang dan 5 penderita (27,8%)
memuliki pengetahuan tinggi. Pengetahuan rendah yang dimiliki penderita
bisa dikarenakan penderita tidak mendapatkan informasi terkait
Leptospirosis.
Depkes RI (2008), Widoyono (2008) dan Mandal (2008)
menyebutkan bahwa salah satu usaha pencegahan terhadap kejadian
Leptospirosis adalah dengan memberikan pengetahuan dengan cara
melakukan edukasi kesehatan mengenai Leptospirosis seperti bahaya
Leptospirosis, cara penularan, dan higiene pribadi yang berkaitan dengan
Leptospirosis. Berdasarkan Observasi, ternyarta di Puskesmas sudah
terdapat media berupa poster yang berisi tentang Leptospirosis. selain itu
berdasarkan informasi yang didaptkan dari petugas surveiland, pada saat
penyelidikan epidemiologi mereka melakukan penyuluhan kepada warga
terkait penyakit-penyakit yang akan timbul seperti halnya penyakit
Leptospirosis. Berikut adalah kutipan wawancara kepada petugas
surveilans:
“Penyuluhan penyakit kita berikan pada saat kita turun lapangan,
misalnya tu kalau ada kasus cikungunya di Kedaung Kali Angke. Kayak
kemarin tu nek yang kamu lihat pas kasusnya bu Hamida. Bu hamida kan
66
anak-anaknya kena Cikungunya kan nek.. kamu lihat kan kemaren nek.. nah
berhubung waktu itu kadang-kadang masih ada banjir makanya kita
sekalian kasih penyuluhan sama keluarga dan tetangga terdekatnya tentang
penyakit lepto.. kayak gitu sih kalau penyelidikan mah nek.. kadang-kadang
malah kita dapet info dari warga penyakit apa yang ada disitu.. (SS, PKC)”
Kutipan ini menyatakan bahwa Puskesmas sudah melakukan upaya
yang dapat menambah pengetahuan masyarakat terkait Leptospirosis,
namun tidak semua penderita mendapatkan informasi tersebut. Penelitian ini
dilakukan setelah penderita sembuh dari penyakit Leptospirosis sehingga
penderita yang memliliki pengetahuan tinggi sebenarnya juga tidak
mengetahui penyakit Leptospirosis. Pengetahuan mereka tinggi bisa
dikarenakan mereka mandapat informasi dari dokter atau perawat yang
merawat pada saat penderita dirawat di rumah sakit.
Penelitian Wiwanitkit (2006) menunjukkan bahwa 80% penderita
Leptospirosis memiliki pengetahuan rendah, 11% memiliki pengetahuan
sedang, dan 9% pendrita memiliki pengetahuan tinggi terkait penyakit
Leptospirosis. Sebagian besar penderita memiliki pengetahuan rendah
karena penderita tinggal di daerah pedesaan sehingga informasi tidak
sampai pada penderita. Responden juga tidak tau bagaimana cara penularan
penyakit Leptispirosis. Demikian pula penelitian Agampodi, dkk (2010)
menunjukan bahwa dari 601 responden penelitian, hanya 34% yang
mengetahui cara penularan Leptospirosis dan 66% responden tidak
mengetahui cara penularan Leptospirosis.
67
Sebagian besar penderita mememiliki pengetahuan yang rendah
terkait Leptospirosis, oleh sebab itu sebaiknya dilakukan upaya agar
informasi terkait Leptospirosis sampai kepada penderita atau masyarakat
secara umum misalnya dengan cara promosi kesehatan oleh kader pada saat
ada kegiatan seperti posyandu, penyuluhan kesehatan atau memasang poster
ditempat yang mudah diliat masyarakat atau ditempat yang sering didatangi
atau dilewati masyarakat.
6.2.6 Distribusi Kejadian Leptospirosis Berdasarkan Status Pengungsian
UU RI No. 24 Tahun 2007 menyebutkan bahwa pengungsi adalah
orang atau kelompok orang yang terpaksa atau dipaksa keluar dari tempat
tinggalnya untuk jangka waktu yang belum pasti sebagai akibat dampak
buruk bencana. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua penderita tidak
mengungsi pada saat terjadi banjir yaitu sebanyak 18 penderita (100%).
Depkes RI (2011) menyebutkan bahwa status pengungsian dapat
digunakan untuk pengendalian penyakit yaitu dengan pengamatan penyakit
(surveilans), promotif, preventif dan pelayanan kesehatan (penanganan
kasus) yang dilakukan di sarana pelayanan kesehatan yang masih ada
maupun di pos kesehatan yang didirikan dalam rangka penanggulangan
bencana. Orang yang mengungsi di tempat yang telah ditentukan akan lebih
mudah di pantau masalah kesehatannya. Dalam kaitannya dengan penyakit
Leptospirosis pengungsian dapat digunakan untuk mencegah atau
mengurangi pengungsi untuk kontak dengan air banjir yang ditakutkan
terinfeksi bakteri Leptospira.
68
Berdasarkan informasi yang diperoleh, semua penderita tidak
mengungsi ke tempat pengungsian yang telah disediakan, semua penderita
lebih memilih untuk tinggal di lantai dua rumahnya. Seperti yang telah
dijelaskan diatas bahwasanya bila tidak terjadi banjir, lantai dua yang ada di
rumah penderita sebagian besar digunakan sebagai gudang sehingga ada
tikus dapat bersarang di tempat tersebut. Apabila terjadi banjir tikus akan
menetap disitu dan berada dekat dengan responden. Berikut adalah kutipan
wawancara tersebut:
“ngga sih mba.. kalau dirumah bersih..sampahnya juga dibuang
terus.. itu mungkin mba.. diatas itu kan kayak gudang mba.. barang-barang
yang ngga kepake ditaruh situ.. ia kalau lagi banjir kita pindah ke atas
bikin tenda di atas.. kalau selokan dibelakang mba tertutup” (SP, RB).
“Rumahnya cuma sekotak ini neng.. anak saya ada 3 sama saya
sama istri jadinya 5 orang dirumah ini.. begini neng rumahnya sempit.. itu
neng biasanya tikus lewat belakang tv itu dari atas ke bawah.. ia diatas ada
ruangan.. biasanya kakak tidur disitu.. tapi kalau banjir kita kesitu semua..
kecil neng.. ayok kalo mau lihat.. ia itu barang-barang kerja saya.. bisa
dibilang gudang neng.. ya numpuk disitu.. dipojok itu biasanya ada
tikusnya.. ia jemur bajunya juga disini neng. Ngga ada tepat jemur lagi
soalnya.. peling seminggu keringnya” (MS, KPK)”
Informasi lain didapatkan pada saat berbincang-bincang dengan
petugas Puskesmas yang pada saat banjir berada di Posko kesehatan banjir
menjukkan bahwa penderita yang terkena Leptospirosis biasanya tidak
69
berobat ke Pos kesehatan. Mereka memilih berobat kerumah sakit setelah
mereka merasa kondisinya semakin parah. Kalaupun mereka berobat
kebanyakan dari mereka tidak menghabiskan antibiotik yang telah diberikan
sehingga penyakitnya tidak sembuh dan lebih parah. Berikut adalah
pernyataan dari petugas puskesmas tersebut:
“Mereka berobatnya ke rumah sakit.. puskesmas uda ngga
berfungsi.. banjirnya kan uda tinggi.. mereka kan berobatnya udah parah..
kalau yang berobat di pos kesehatan biasanya yang ngungsi di deket-deket
pos itu.. biasanya kalau dia berobat dikasih 1 set obat. Nah obat itu ada
antibiotiknya.. tapi kebanyaka mereka ngga ngabisisin antibiotik itu..
jadinyakan tambah parah penyakitnya.. baru tu kalau uda parah mereka ke
rumah sakit (MMn, PKA).
Penderita juga menyebutkan bahwa beliau tidak berobat ke Pos
kesehatan banjir dan berobat di rumah sakit. Berikut adalah pernyataan dari
informan tersebut:
“Saya dulu berobatnya di puskesmas cengkareng.. ia sempat waktu
itu ke pos kesehatan banjir trus dikasih obat.. tapi saya ngga habisin
obatnya.. trus pas saya merasa badannya tambah parah.. badannya linu-
linu semua kayak mau lumpuh.. panas tinggi dulu.. trus sama bapak dibawa
ke puskesmas cengkareng.. disana sama dokternya ditanyain mau antibiotik
yang mahal apa yang biasa.. emang beda ya neng? (MT, RB)”.
Dari pembahasan ini bisa dilihat bahwa kesadaran masyarakat untuk
mengungsi dan berobat di pos kesehatan pengungsi masih kurang, maka
70
perlu diteliti mengapa mereka tidak mengungsi dan tidak berobat di pos
kesehatan. Masyarakat perlu diberikan pemahaman tentang manfaat dan
kerugian melakukan pengungsian. Jika mereka tidak bersedia untuk
mengungsi maka perlu dilakukan cara lain misalnya menghimbau mereka
agar tetap melakukan hidup bersih dan sehat serta segera berobat jika
merasakan sakit serta menghimbau mereka untuk melaporkan sakitnya
kepada petugas di Posko kesehatan setempat.
6.2.7 Distribusi Kejadian Leptospirosis Berdasarkan Personal Hygiene
Pada penelitian ini personal hygiene dilihat dari penggunaan sepatu
boot pada saat banjir, menutup makanan, mencuci kaki, tangan, atau bagian
tubuh lainnya dengan sabun serta mandi setelah kontak dengan air
genangan banjir atau lumpur akibat banjir. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa sebagian besar penderita tidak memiliki personal hygiene yang baik
yaitu sebanyak 88,9%.
Depkes RI (2008) menyebutkan bahwa salah satu upaya untuk
mencegah kejadian Leptospirosis adalah dengan melakukan personal
Hygiene dengan cara mencuci kaki, tangan serta bagian tubuh yang lainnya
dengan sabun atau detergen setelah pergi kesawah dan setelah kontak
dengan air banjir. Sabun yang mengandung zat anti kuman atau bakteri
dapat membantu membunuh atau menghambat masuknya kuman penyakit
ke dalam tubuh manusia sehingga proses penularan dapat terhambat sejak
permukaan kulit. Adanya pencemaran bahan-bahan kimiawi menyebabkan
Leptospira mudah terbasmi (Suratman, 2006).
71
Personal hygiene lainnya yang bisa dilakukan adalah menutup
makanan dan menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) pada saat ingin
kontak dengan air genangan banjir. Salah satu APD yang dapat digunakan
adalah memakai alas kaki termasuk sepatu boot dan sarung tangan (CDC,
2010). Dengan tidak melakukan upaya pencegahan dengan cara menjaga
personal hygiene maka akan mengakibatkan masuknya bakteri Leptospira
ke dalam tubuh akan semakin besar.
Begitu pula penelitan Cahyati (2009) yang menunjukkan bahwa
sebagian besar penderita (86,7%) memiliki personal hygiene yang buruk.
Penelitian Cahyati ini sama dengan hasil penelitian ini karena kategori yang
dipakai sama yaitu mencuci tangan atau kaki dan mandi setelah kontak
dengan hewan, menutup makanan dan memakai alas kaki. Sedangkan
penelitian Wiharyadi (2004) menunjukkan bahwa sebagian besar yaitu 32
(37,2%) penderita memiliki personal hygiene yang baik dan 11 (12,8%)
memiliki personal hygiene yang buruk. Hasil ini tidak sama karena
penelitian Wiharyadi ini tidak menyertakan pemakaian APD seperti
pemakaian sepatu boot atau sarung tangan. Selain itu penelitian ini juga
tidak diambil atau dilaksanakan pada saat banjir.
Karena masih banyak penderita yang belum memiliki personal
hygiene yang baik, maka penderita ataupun masyarakat sebaiknya
memperbaiki personal Hygiene tersebut. Pihak Puskesmas sebaiknya
memberikan pemahaman dan menghimbau masyarakatnya untuk selalu
melakukan personal hygiene yang baik.
72
6.3 Distribusi Kejadian Leptospirosis Berdasarkan Komponen Lingkungan
Distribusi kejadian Leptospirosis berdasarkan kondisi lingkungan terdiri
dari keberadaan tikus didalam maupun di luar rumah, keberadaan sampah, kondisi
selokan/SPAL, tatanan rumah, ketinggian air genangan banjir dan ketersdiaan air
bersih. Untuk lebih jelasnya urutan varibel adalah sebagai berikut:
6.3.1 Keberadaan Tikus di Dalam Maupun di Luar Rumah
Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri
Leptospira. Depkes RI (2008) menyebutkan bahwa hewan-hewan yang
menjadi sumber penularan Leptospirosis salah satunya adalah rodent (tikus).
Dinkes Provinsi Jakarta (2003) menyebutkan bahwa pada kenyataannya,
hewan kelompok tikus atau Rodentia serta cecurut atau Insectivora berada
dekat dengan manusia, disisi lain hewan ini dianggap musuh. Namun
manusia tidak mampu dan tidak pernah memberikan perhatian untuk
menyingkirkannya secara tuntas. Ternyata hewan-hewan tersebut
merupakan sumber penularan Leptospirosis yang paling potensial diantara
hewan-hewan lain. Tikus-tikus yang ditangkap paska banjir di lokasi
Jakarta-Bogor dianggap membawa atau paling tidak terinfeksi Leptospirae.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa didalam maupun diluar
rumah semua penderita terdapat tikus yaitu sebanyak 18 penderita (100%).
Adanya tikus di dalam maupun luar rumah ini bisa menjadi penyebab
kejadian Leptospirosis pada saat banjir di Kecamatan Cengkareng. Bakteri
Leptospira akan berada pada urin tikus dan masuk kedalam tubuh manusia
melalui melalui luka atau lecet pada kulit, melalui selaput lendir mulut,
73
hidung dan mata, darah, cairan ketuban, vagina, jaringan, tanah, vegetasi
dan air yang terkontaminasi dengan urin hewan yang terinfeksi (WHO,
2014).
Ketua RT 04/11 kelurahan Rawa Buaya menyebutkan bahwa pada
saat banjir tikus-tikus akan keluar, bangkai-bangkai tikus ikut dengan air
genangan banjir. berikut adalah pernyataan beliau:
“ oh penyakit kencing tikus itu ya.. itu orang disana pernah kena.. ia
klo banjir sih ia mba.. tikus tikus pada keluar semua.. bangkainya banyak
diluar-luar dibawa banjir.. bangkai tikus-tikus dari kali itu keluar semua..
ngapung-ngapung gitu mba bangkainya”.
Beberapa penderita menyebutkan bahwa mereka sering melihat tikus
didalam maupun luar rumahnya. Berikut adalah kutipan dari pernyataan
penderita tersebut:
“...itu neng biasanya tikus lewat belakang tv itu dari atas ke bawah..
ia diatas ada ruangan.. biasanya kakak tidur disitu.. ia itu barang-barang
kerja saya.. bisa dibilang gudang neng.. ya numpuk disitu.. dipojok itu
biasanya ada tikusnya..” (MS, KPK)”
Dari kutipan diatas bisa diketahui bahwasanya memang ada tikus di
sekitar rumah penderita dan pada saat banjir tikus atau bangkai tikus akan
keluar sehingga bila tikus tersebut terinfeksi bakteri Leptospira maka dapat
menyebar lebih luas. Berdasarkan laporan Dinkes Provinsi Jakarta (2003),
tikus yang ditangkap di RW 02 Kelurahan Kuningan Kecamatan Mampang
Prapatan 46,67% positif dengan beberapa serovar. Penularan Leptospirosis
74
antar hewan ataupun dari hewan kemanusia umumnya melalui media air
yang tercemar bakteri Leptospirae.
Hasil penelitian serologi rodent di DKI Jakarta ternyata dari 142
spesimen serum didapatkan 67 spesimen positive (47%) terhadap
Leptospira. Dan hasil penangkapan rodent (tikus) menggunakan perangkap
tikus menunjukkan bahwa rodent ini diduga mempunyai peranan terhadap
Kejadian Luar Biasa (KLB) di DKI Jakarta dan Bekasi tahun 2002. Hasil
penelitian lain yang pernah dilakukan terhadap tikus menunjukkan bahwa
90% tikus terinfeksi Leptospira (Widoyono, 2008).
Tim penelitian BPTKLPP Provinsi Jakarta (Agus, SKM)
menyebutkan bahwa penelitian yang dilakukan pada bulan April 2014
menunjukkan bahwa hasil uji terhadap tikus yang diambil di daerah dengan
jumlah kejadian terbanyak yaitu di Kelurahan Kapuk dan Kelurahan
Kedaung Kali Angke Kecamatan Cengkareng, untuk sementara
menunjukkan sebagian tikus yang sudah diuji lab semuanya negatif
mengandung Leptospira. Hasil ini menunjukkan bahwa kejadian
Leptospirosis di Kecamatan Cengkareng bisa dikarenakan ada hewan lain
selain tikus yang dapat membawa bakteri Leptospira.
Penelitian Rejeki (2005) juga menunjukkan bahwa sebagian besar
rumah penderita atau 61 penderita (96,8%) terdapat tanda-tanda keberadaan
tikus. Pada penelitian ini keberadaan tikus dilihat dari ada tidaknya tikus di
dalam dan sekitar rumah ditandai dengan ada tidaknya lubang tikus atau
kotoran tikus. Tanda-tanda keberadaan tikus yang dipakai pada penelitian
75
Rejeki juga di gunakan oleh peneliti dalam penelitian ini untuk melihat
keberadaan tikus.
Penelitian Ketaren (2009) juga menunjukkan bahwa rumah
responden yang terdapat keberadaan tikus sebanyak 32 penderita (65%).
Dalam penelitian ini keberadaan tikus dilihat dengan memasang perangkap
tikus di rumah penderita dan dilihat 24 jam kemudian. Jika ketika dilakukan
pengamatan didapati tikus dirumah penderita maka dinyatakan rumah
penderita terdapat tikus. dalam penelitian ini kemungkinan penderita yang
rumahnya terdapat tikus lebih besar dari 35% karena pada saat penelitian
tikus yang ada di rumah tidak terperangkap dan masih berkeliaran di dalam
maupun diluar rumah.
Sebagian besar rumah penderita terdapat tikus, oleh sebab itu perlu
dilakukan upaya pencegahan dengan cara menghindari kontak dengan tikus
dan hewan piaraan lainnya. jika ingin kontak dengan hewan peliaraan
sebaiknya selalu menggunakan sarung tangan dan mencuci tangan setelah
kontak dengan hewan piaraan tersebut menggunakan sabun.
6.3.2 Ketinggian Genangan Air
Ketinggian genangan air pada saat banjir dianggap bisa
mempengaruhi kejadian Leptospirosis. Data ketinggian genangan air akibat
banjir ini diperoleh dari Suku Dinas Kesehatan Jakarta Barat. Data
ketinggian air perhari pada saat banjir kemudian dilihat nilai rata-ratanya
(mean) dan Median. Kemudian penulis menggunakan nilai rata-rata tersebut
(mean) yaitu 36,33 untuk mengkategorikan ketinggian genangan air akibat
76
banjir karena variabel ini berdistribusi normal. ketinggian air rendah bila
hasilnya <=36,33 dan tinggi bila >36,33.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar ketinggian
genangan air pada saat banjir di lingkungan rumah penderita rendah
(<=36,33) yaitu sebanyak 10 penderita (55,6%) dan ketinggian air genangan
banjir tinggi (>36,33) sebanyak 8 penderita (44,4%). Genangan air yang
tinggi pada saat banjir akan membuat banjir semakin lama surut sehingga
bakteri Leptospirosis akan lebih lama berada bersama air genangan banjir
tersebut. Bakteri Leptospira dapat bertahan pada suhu 28-30 °C dan PH 7,2-
8,0 PH ini merupakan PH Air yang netral sehingga bakteri Leptospira dapat
hidup lama dan menetap pada air genangan banjir yang ada (Chin, 2009).
Leptospirosis patogenik dapat hidup selama 4 minggu pada air segar, 6
bulan pada tanah yang mengandung urin, 24 jam pada air laut (Mandal,
2008).
Semakin tinggi genangan air banjir dan semakin lama banjir maka
akan mengakibatkan semakin lama responden untuk kontak dengan air
genangan akibat banjir tersebut. Dalam kondisi banjir, tikus-tikus mencari
habitat baru dengan cara “ikut mengungsi” bersama-sama penduduk. Tikus-
tikus yang mengandung bibit penyakit Leptospirosis (yaitu Leptospira) akan
menularkan bibit penyakit itu kepada manusia (Depkes RI. 2005).
Bakteri Leptospira yang berada pada genangan air pada saat banjir
tersebut dapat masuk ke dalam tubuh jika bagian tubuh tersebut terendam
lama pada air yang terinfeksi yaitu masuk melalui luka atau pori-pori
77
(CDC, 2012). Penelitian yang telah dilakukan menunjujukkan bahwa ada
kecenderungan jumlah penderita Leptospirosis meningkat setelah lama
banjir sampai 3 hari atau lebih (Gindo, 2002 dalam Ketaren, 2009). Selain
itu ketinggian air genangan yang tinggi dan lama akan mengakibatkan
kerusakan dan pencemaran lingkungan. Air banjir dapat mengotori atau
mengkontaminasi rumah maupun bahan makanan yang tidak tertutupi
sehingga apabila air genangan banjir tersebut terinfeksi bakteri Leptospira
maka rumah atau bahan makanan akan tercemar bakteri Leptospira.
Ketinggian genangan air pada saat banjir dapat mempengaruhi upaya
pencegahan seseorang terhadap kejadian Leptospirosis seperti pemakuaian
Alat Pelindung Diri (APD). Bila air genangan banjir tinggi dan melebihi
ketinggian lutut maka penggunaan APD seperti sepatu boot pada saat banjir
akan sia-sia karena sepatu boot yang ada pada saat ini rata-rata hanya
mampu melindungi sampai lutut saja.
Penelitian Harrianto (2011) menunjukkan bahwa tinggi lutut usia 19-
21 tahun rata-rata adalah 55,4 cm pada laki-laki dan 50,3 cm pada
perempuan. Hardiansyah (2008) menunjukkan bahwa rata-rata tinggi lutut
laki-laki umur 55-59 adalah 48,8 cm dan perempuan adalah 45,7 cm.
Sedangkan pada umur 60-64 tahun, tinggi lutut laki-laki adalah 49,1 cm dan
perempuan 4,7 cm. Pada penelitian ini sebagian besar berumur penderita
>20 tahun sehingga tinggi lututnya antara 45-55 cm. Jika dibandingkan
dengan rata-rata ketinggian air genangan akibat banjir (36,33), maka para
penderita masih bisa menggunakan sepatu boot pada saat terjadi banjir.
78
Akan tetapi jika dilihat dari hasil wawancara mendalam, sebagian
besar penderita mengatakan bahwa ketinggian genangan air banjir pada saat
banjir melebihi lutut sehingga sia-sia jika menggunakan sepatu boot.
Berikut adalah kutipan beberapa informan penelitian:
“Ngga.. saya ngga pake sepatu pas banjir.. percuma aja pake
sapatu.. banjirnya diatas lutut tingginya” kalau bajirnya dikit-dikit itu baru
pake sepatu”(YTM, KKA).
“Ada sih itu sepatu bootnya cuma ngga di pakai pas banjir..
banjirnya aja sampai dalam rumah.. kadang sepinggang”(AD, KKA)
“Kalau ngojek biasanya pakai sendal aja.. ribet pakai sepatu boot..
banjirnya tinggi” ya mau pakai kalau banjirnya dikit-dikit” (MM, KKA).
Hasil wawancara menggunakan kuisioner tidak sama dengan hasil
wawancara mendalam karena penulis langsung menghitung rata-ratanya
tanpa menyajikan data ketinggian air per harinya. Jika dilihat dari data per
harinya ada yang menunjukkan ketinggian air yang mencapai 100 cm. Pada
saat wawancara mendalam, informan menyebutkan ketinggian air yang
tertinggi tersebut (100 cm). Ada kemunginan juga tinggi lutut responden
tidak sama dengan rata-rata standar tinggi lutut yang disebutkan oleh hasil
penelitian terdahulu.
Penelitian Dwiari (2007) menunjukkan bahwa bahwa kasus
Leptospirosis di Jakarta lebih banyak tersebar di wilayah dengan rata-rata
ketinggian air genangan akibat banjir yang lebih tinggi yaitu antara 51-100
cm. Meskipun ketinggian air penelitian Dwiari dan penelitian ini tidak
79
sama, akan tetapi semuanya berpotensi untuk terkena Leptospirosis. Hal ini
bisa diakibatkan karena pemakaian alat pelindung diri seperti sepatu boot.
Pada saat ketinggian genangan air akibat banjir tinggi maka pemakaian
sepatu boot akan menjadi sia-sia. Sehingga orang tidak melakukan upaya
pencegahan dengan sepatu boot dan bakteri Leptospira yang dibawa oleh
genangan air akibat banjir akan dengan mudah masuk kedalam tubuh.
Begitu pula jika ketinggian genangan air akibat banjir rendah, seharusnya
menggunakan sepatu boot, dalam kasus ini responden sama-sama tidak
memakai sepatu boot.
Oleh sebab itu perlu dihimbau dan diingatkan agar warga
menggunakan sepatu boot pada saat terjadi banjir jika memungkinkan. Dan
jika ketinggian air genangan akibat banjir tinggi maka warga dihimbau
untuk mengungsi ketempat yang lebih aman atau di pos pengungsian untuk
menghindari kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan.
6.3.3 Keberadaan Sampah
Keberadaan sampah pada penelitian ini dilihat dari ada tidaknya
sampah didalam dan dilingkungan rumah responden, yaitu dengan melihat
dimana sampah dibuang, bagaimana tempat pembuangan sampahnya dan
sering tidaknya sampah dibuang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
sebagian besar penderita (66,7%) terdapat sampah di lingkungan
dirumahnya.
Ningsih (2009) menyebutkan bahwa adanya kumpulan sampah di
sekitar rumah akan menjadi tempat yang disenangi tikus. Keberadaan
80
sampah terutama sampah sisa–sisa makanan yang diletakkan ditempat
sampah yang tidak memenuhi syarat (tertutup) akan mengundang kehadiran
tikus. Kondisi sanitasi yang jelek seperti adanya kumpulan sampah dan
kehadiran tikus merupakan variabel determinan kasus Leptospirosis.
Tumpukan sampah akan menjadi menjadi tempat bersarang dan mencari
makan tikus.
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Rejeki (2005) yang
menunjukkan bahwa sebagian besar lingkungan rumah responden terdapat
sampah yaitu 61,9%. Penelitian ini melihat ada tidaknya sampah yang bisa
menjadi indikator keberadaan tikus di dalam dan sekitar rumah 3 minggu
sebelum dirawat di RS melalui wawancara dan observasi. Dalam penelitian
Rejeki ini penulis belum bisa menemukan bagaimana peneliti melihat ada
tidaknya sampah. Pertanyaan untuk keberadaan sampah belum bisa
ditemukan dalam penelitian ini, ada kemungkinan bahwa kategori yang
dipakai untuk melihat ada tidaknya sampah sama dengan pengkategorian
yang dipakai peneliti sehingga hasil penelitiannya sama. Pada penelitian ini
keberadaan sampah dilihat dari hasil wawancara mengenai dimana penderita
membuang sampah sehari-hari, bagaimana tempat pembuuangan sampahnya
(tertutup/terbuka) dan sering atau tidaknya responden membuang sampah.
Selain wawancara peneliti juga melakukan observasi. Hasil
observasi pada penelitian ini sama dengan hasil wawancara menggunakan
kuisioner yaitu sebagian besar penderita (66,7%) terdapat sampah di
lingkungan drumahnya. Pada umumnya sampah dibuang ditempat terbuka
81
dan berserakan, selain itu adanya sampah ini juga disebabkan karena adanya
kali yang kotor dan TPA di sekitar rumah penderita. Hal ini bisa dilihat dari
hasil wawancara mendalam dan hasil observasi yang ada pada lampiran.
Berikut kutipan yang didapat dari wawancara mendalam:
“ ya gitu.. sampah disini kayak gitu.. dibuangnya ditaruh plasitik
aja.. kalau petugasnya ngambilnya cepet ya ngga berantakan.. tapi
petugasnya sering telat jadi numpuk kayak gitu.. klo selokan ya kayak itu di
depan.. dibelakang juga ada.. bersih kok.. kalinya itu mungkin mba..” (AD,
KKA)
“....dibelakang rumah ada kali mba..ada pembuangan sampah.. jadi
ya gitu kelihatannya kotor”(YTM, KKA).
Karena sebagian besar penderita belum memiliki kepedulian untuk
menjaga lingkungan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya banyak
faktor yang mempengaruhi seseorang untuk membersihkan sampah ada
yang bisa diselesaikan mereka sendiri (misalnya sampah yang ada di dalam
maupun sekitar rumah) dan ada yang yang harus diselesaikan bersama
misalnya sampah di tempat umum dan TPA. Oleh sebab itu diperlukan
kerjasama banyak pihak seperti warga, pihak PU, aparat pemerintahan
setempat dan petugas kesehatan untuk duduk bersama membahas dan
mengatasi masalah sampah ini.
6.3.4 Tatanan Rumah
Hasil penelitian ini menunjukkkan bahwa sebagian besar penderita
memiliki tatanan rumah rapi yaitu sebanyak 10 penderita (55,6%) dan
82
penderita yang memiliki tatanan rumah tidak rapi sebanyak 8 responden
(44,4). Sedangkan berdasarkan observasi sebagian besar penderita memilili
tatanan rumah yang tidak rapi yaitu sebanyak 13 penderita (72,2%) dan 5
penderita (27,8%) memiliki tatanan rumah rapi. Perbedaan ini disebabkan
karena pertanyaan mengenai tatanan rumah hanya menayakan apakah ada
tumpukan barang-barang yang tidak terpakai di dalam/diluar rumah dan
bagaimana cara penderita menata rumahnya apakah rapi atau tidak.
Penderita menjawab mereka menata rumah dengan rapi dikarenakan mereka
malu untuk menjawab tidak rapi dan kriteria rapi yang dipakai penderita dan
peneliti tidak sama sehingga pada saat observasi hasilnya berbeda.
Seperti yang sudah diketahui tatanan rumah yang tidak rapi bisa
menjadi habitat tikus. Depkes RI (2000) menyebutkan bahwa keadaan
dalam rumah harus bersih dan teratur artinya rumah tertata dengan baik,
rapi, tidak terdapat tumpukan barang, tidak terdapat baju bergelantungan
perabotan tersusun rapi dan bersih. Sehingga tidak mengundang hewan-
hewan yang merugikan seperti tikus. Peraturan Pemerintah no. 81 tahun
2012 juga menyebutkan bahwa adanya tumpukan barang-barang bisa
mengakibatkan perkembangan habitat tikus.
Penelitian Armandari (2005), Ramadani (2010) dan Ikawati (2010)
juga menunjukkan sebagian besar rumah penderita mempunyai tatanan tidak
rapi yaitu masing-masing 93%, 71,8% dan 80,6% penderita. Kategori
tatanan rapi dan tidak rapi yang digunakan hampir sama dengan kategori
yang digunanakan peneliti sehingga hasil yang didapatkan sama. Ramadani
83
mengkategorikan rapi dengan melihat bagaimana penderita menata barang
atau perabotan rumah tangga. Armandari mengkategorikan tatanan rumah
baik atau rapi dilihat dari apakah rumah tertata dengan bersih dan teratur
(rapi, tidak terdapat tumpukan barang, tidak terdapat baju bergelantungan,
perabot nampak bersih) atau rumah tidak tertata dengan baik dan teratur.
Sedangkan peneliti mengkategorikan tatanan rumah baik jika penderita
menata rumah dengan rapi dan tidak terdapat tumpukan barang-barang dan
penulis melakukan observasi.
Pada saat wawancara sebagian penderita menyebutkan penyebab
rumah mereka tidak rapi adalah karena kepadatan hunian yang ada dirumah
mereka. Berikut adalah kutipan yang mendukung pernyataan tersebut::
“......barang-barangnya ditata begitu aja.. ia rumahnya kecil.. padet
disini mah neng.. anaknya lima.... kalau banjir kita numpuk diatas semua
neng..”(MM, KKA).
Penelitian Apsari (2012) menunjukkan bahwa kepadatan hunian
merupakan faktor risiko Leptospirosis OR = 4,5. Kepadatan hunian sering
kali dihubungkan dengan penataan rumah. Apabila penataan rumah tidak
teratur maka akan menciptakan tempat-tempat yang dapat digunakan
sebagai sarang tikus, demikian pula dengan sampah yang dihasilkan, dapat
dijadikan sumber makanan bagi tikus. Karena tatanan rumah penderita
Leptospirosis masih kurang baik, maka perlu diberikan pemahaman kepada
warga apa dampak bila tatanan rumahnya buruk dan menghimbau
masyarakat agar selalu hidup bersih dan sehat.
84
6.3.5 Kondisi selokan/Sarana Pembuangan Air Limbah
Selokan/Sarana Pembuangan Air Limbah merupakan tempat yang
sering dijadikan tempat tinggal tikus ataupun merupakan jalur tikus masuk
ke dalam rumah dikarenakan kondisi pembuangan air dari dalam rumah
umumnya terdapat saluran yang terhubung dengan selokan di lingkungan
rumah. Sarana pembuangan air limbah yang sehat yaitu yang dapat
mengalirkan air limbah dari sumbernya (dapur, kamar mandi) ke tempat
penampungan air limbah dengan lancar tanpa mencemari lingkungan dan
tidak dapat dijangkau serangga dan tikus (Field Book, 2009).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar Penderita
memiliki kondisi selokan/spal yang baik yaitu sebanyak 72,2%. Sedangkan
hasil observasi menunjukkan bahwa selokan yang ada di lingkungan rumah
penderita sebagian besar penderita (61,1%) buruk. Perbedaan ini bisa
terjadi karena penderita malu pada saat menjawab kondisi selokannya
buruk. Hasil observasi menunjukkan bahwa sebagian besar selokan atau
SPAL responden berwarna hitam, tidak mengalir, dan terdapat sampah dan
ada selokan yang terdapat tikus. Hasil observasi ini bisa dilihat di lembar
lampiran 7. Selain itu hasil wawancara juga menunjukkan bahwa sebanyak
penderita (77,8%) mengatakan mereka pernah melihat tikus lewat di selokan
atau SPAL.
Kondisi selokan yang buruk ini dapat mengundang dan menjadi
habitat tikus. Darmodjono (2001) menyebutkan bahwa tikus senang
bersarang di got-got dan selokan-selokan, sedangkan tikus merupakan
85
hewan pembawa mikroorganisme Leptospira maka diupayakan selokan-
selokan tidak menjadi sarang tikus dan airnya mengalir dengan lancar (tidak
menggenang). Peran selokan sebagai media penularan penyakit
Leptospirosis terjadi ketika air pada selokan terkontaminasi oleh urin tikus
atau hewan peliharaan yang terinfeksi bakteri Leptospira (Suratman, 2006).
Untuk pendrita yang keadaan selokannya baik sebagian besar
selokannya berada di bawah tanah (tertutup) akan tetapi disekitar rumah
mereka terdapat kali yang kotor dan sekitar rumahnya ada tempat
pembuangan akhir (TPA) yang kemungkinan tikus berasal dari kali dan
TPA tersebut. Berikut adalah kutipan yang mendukung pernyataan tersebut:
“ya.. Bersih-bersih rumah sudah pastilah.. sampah disitu tu ngga
bisa dibersihin.. belakang itu kalinya banyak sampahnya.. emang TPA sih..
sampahnya dari situ tu.. kali itulah selokannya..” (ST, KPK).
Pada saat terjadi banjir sampah akan naik, air selokan dan air kali
akan naik dan tikus-tikus juga akan naik. tikus akan naik dan kotoran atau
urin tikus akan bercampur dengan air selokan dan air kali dan akan terbawa
oleh air genangan banjir sehingga apabila urin tersebut mengandung bakteri
Leptospira maka bakteri itu akan mudah menyebar dan akan mudah
menginfeksi manusia.
Penelitian Rejeki (2005) dan penelitian Aulia (2012) menunjukkan
bahwa sebagian besar penderita Leptospirosis memiliki kondisi selokan
yang buruk yaitu masing-masing sebesar 69% dan 69,7%. Rejeki
mengkategorikan keadaan selokan baik jika selokan d di depan dan sekitar
86
rumah mengalir lancar/tidak menggenang, tidak meluap saat ada hujan,
tidak dilewati tikus dan selokan lebih tinggi dari rumah. Aulia
mengkategorikan selokan memenuhi syarat jika tidak ada genangan air di
sekitar rumah, saluran tertutup atau diresapkan dan kondisi selokan lancar
tidak tersumbat kategori yang dipakai hampir sama namun pada penelitian
ini penulis tidak menggunakan kriteria tidak meluap saat ada hujan dan
selokan lebih tinggi dari rumah dan tidak ada genangan air di sekitar rumah.
Menurut peneliti kriteria tidak meluap saat ada hujan dan selokan lebih
tinggi dari rumah serta tidak ada genangan air di sekitar rumah sepertinya
kurang bisa diterima karena pada saat terjadi hujan yang lebat pasti akan
mengakibatkan banjir dan air selokan akan ikut meluap. Pada saat ini belum
banyak orang yang memakai selokan yang lebih tinggi dari rumah. Dan
untuk tidak adanya genangan air di sekitar rumah juga belum jelas genangan
yang bagaimana yang dimaksud.
Meskipun keadaan selokan baik berdasarkan hasil wawancara
kuisioner, akan tetapi buruk berdasarkan hasil observasi. Oleh karena itu
perlu keterlibatan banyak pihak misalnya pihak PU, warga setempat dan
petugas kelurahan atau kecamatan serta petugas kesehatan untuk
menyelesaikan hal tersebut. Pihak kelurahan dan kecamatan mengajak
warga untuk hidup bersih, petugas kesehatan memberikan pemahaman apa
kerugian jika keadaan selokan buruk, kali kotor, dan banyak sampah.
Sedangkan Petugas PU menyiapkan sarana untuk ikut membersihkan
lingkungan tersebut.
87
6.3.6 Ketersediaan Air Bersih
Depkes RI (2013) menyebutkan bahwa tujuan penyehatan
lingkungan pada saat bencana adalah untuk mengatur tatalaksana
penyediaan, pengawasan, dan perbaikan kualitas air bersih dan sanitasi.
Adanya air bersih akan membantu menurunkan risisko terjadinya penyakit
menular seperti diare, typus, scabies, Leptospirosis dan penyakit lainnya.
Tidak tersedianya air bersih dapat ditandai dengan masih digunakannya air
genangan banjir atau air sungai untuk keperluan sehari-hari seperti mandi
dan mencuci, memasak dan minum (WHO, 2014).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar penderita air
bersihnya tersedia yaitu sebanyak 88,9%. Penelitian ini menunjukkan
bahwa jika dilihat dari ketersediaan air bersihnya yang tersedia maka
penderita masih aman dan kejadian Leptospirosis yang dialami bisa tidak
dikarenakan oleh air yang mereka gunakan penderita. Akan tetapi ketika
ditanya apakah pada saat banjir penderita menggunakan air genangan banjir
untuk bermain, berenang atau kegiatan lainnya yang menuntut penderita
kontak dengan air banjir semua penderita (100%) mengatakan ia pernah
sehingga dapat berpengaruh pada kejadian Leptospirosis.
Apabila air genangan banjir yang digunakan mengandung bakteri
Leptospira maka orang yang menggunakan air tersebut memiliki risiko yang
besar untuk terkena Leptospirosis. Untuk itu Depkes RI (2008)
menyebutkan bahwa salah satu upaya pencegahan Leptospirosis adalah
dengan cara membersihkan air bersih dikolam-kolam renang dan sumber air
88
yang digunakan untuk keperluan sehari-hari sehingga air yang digunakan
bersih atau tidak mengandung mikroorganisme yang merugikan bagi
kesehatan seperti bakteri Leptospira. Seghal (1991) juga menyebutkan
bahwa untuk mengontrol dan melindungi dari kontaminasi kuman
Leptospira pada masyarakat adalah dengan menjaga sumber air bersih yang
digunakan dari binatang pengerat (tikus) dan perlu diadakan khlorinisasi
serta apabila untuk dikonsumsi hendaknya air direbus sehingga mendidih.
Penelitian Okatini (2007) menunjukkan bahwa sebagian besar
ketersediaan air bersih responden tidak memenuhi syarat yaitu sebanyak
78,9%. Okatini mengkategorikan ketersediaan air bersih memenuhi syarat
yaitu jika air bersih berada di wadah tertutup dan bersih. Sedangkan peneliti
mengkategorikan tersedia air bersih jika responden tidak menggunakan air
genangan banjir atau air sungai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan
sumber air bersih yang digunakan pada saat banjir berasal dari PDAM atau
dari air galon atau bantuan pemerintah. Peneliti menganggap bila air berasal
dari air ganangan banjir atau air sumur ada kemungkinan pada saat banjir air
tersebut terkontaminasi oleh berbagai macam bakteri salah satunya adalah
bakteri Leptospira. Oleh sebab itu masayarakat harus selalu menggunakan
air bersih dan tidak menggunakan air genangan banjir ataupun air sungai.
89
BAB 7
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Kecamatan Cengkareng
pada saat banjir periode Januari-Februari 2014, maka dapat diambil simpulan
sebagai berikut:
7.1.1 Distribusi Kejadian Leptospirosis Berdasarkan Komponen Host
a. Kejadian Leptospirosis paling banyak terjadi pada kelompok umur 20-
40 tahun dan >40 tahun yaitu masing-masing sebanyak 38,9%.
b. Kejadian Leptospirosis paling banyak terjadi pada jenis kelamin laki-
laki yaitu sebayak 72,2%.
c. Kejadian Leptospirosis sebagian besar terjadi pada penderita yang
memiliki pekerjaan tidak berisiko yaitu sebanyak 72,2%.
d. Kejadian Leptospirosis sebagian besar terjadi pada penderita yang
memiliki riwayat luka yaitu sebanyak 72%.
e. Kejadian Leptospirosis sebagian besar terjadi pada penderita yang
memiliki pengetahuan rendah yaitu sebanyak 38,9%.
f. Semua penderita tidak mengungsi pada saat terjadi banjir yaitu
sebanyak 100%.
g. Sebagian besar penderita memiliki personal hygiene yang buruk yaitu
sebanyak 88,9%.
90
7.1.2 Distribusi Kejadian Leptospirosis Berdasarkan Komponen
Lingkungan
a. Semua rumah atau dilingkungan rumah penderita terdapat tikus yaitu
100%.
b. Sebagian besar lingkungan rumah penderita terdapat sampah yaitu
sebanyak 66,7%.
c. Sebagian besar memiliki tatanan rumah yang rapi yaitu sebanyak
55,6%, akan tetapi hasil observasi menunjukkan sebagian besar
rumah penderita tidak rapi yaitu sebanyak 72,2%.
d. Sebagian besar penderita memiliki kondisi selokan/spal yang baik
yaitu sebanyak 72,2%, akan tetapi berdasarkan observasi sebagian
besar kondisi selokaan penderita masih buruk yaitu sebanyak 61,1%.
e. Sebagian besar ketersediaan air bersih tersedia untuk kebutuhan
sehari-hari yaitu sebanyak 88,9%.
7.2 Saran
7.2.1 Bagi Puskesmas Cengkareng
Sebaiknya dilakukan upaya promosi kesehatan terkait
Leptospirosis oleh kader dan petugas kesehatan pada saat kegiatan
posyandu, penyuluhan kesehatan, penyelidikan epidemiologi dan
kegiatan kesehatan lainnya, memasang media promosi seperti poster
tentang Leptospirosis ditempat-tempat yang sering dijangkau
masyarakat atau sering di lewati masyarakat misalnya masjid, jalan
besar dan sekolahan guna menambah pengetahuan terkait penyakit
91
Leptospirosis, serta menghimbau masyarakat untuk melakukan upaya
pencegahan terhadap Leptospirosis.
7.2.2 Bagi Masyarakat
a. Sebaiknya selalu melakukan upaya pencegahan pada saat ingin
kontak dengan air genangan/lumpur akibat banjir, pada saat ingin
beraktifitas dan pada saat memegang hewan peliharaan dengan cara
memakai sepatu boot dan sarung tangan, mencuci tangan, kaki, atau
mandi dengan sabun dan menjaga lingkungan agar tidak terdapat
tikus yaitu dengan cara membersihkan/membuang sampah, menjaga
kebersihan selokan, menata rumah dengan rapi dan bersih.
b. Masyarakat sebaiknya menghindari genangan air pada saat banjir
dan menutup luka dengan steril jika terpaksa kontak dengan air
genangan tersebut.
c. Jika merasakan sakit pada saat banjir, maka dianjurkan untuk segera
berobat dan melaporkan sakitnya kepada petugas di posko kesehatan
banjir setempat agar perkembangan penyakit di wilayah tersebut
dapat terpantau
7.2.3 Bagi Pekerja Umum/Petugas Pengambil Sampah
Pekerja yang bertugas mengambil sampah sebaiknya datang tepat
waktu dan membuang sampah dengan benar sehingga sampah tidak
menumpuk dan berserakan. Selain itu pekerja pengambil sampah harus
bekerja sama dengan warga untuk membersihkan dan menjaga
kebersihan sungai dan TPA yang ada sekitar di lingkungan warga.
xvi
DAFTAR PUSTAKA
Apsari, Desi Ari. 2014. Analisis Spasial Leptospirosis Dan Faktor Risikonya
Di Kabupaten Klaten. tesis. program pascasarjana fakultas kedokteran
universitas gadjah mada yogyakarta.
Armandari, Mari. 2005. Hubungan Faktor Lingkungan Dan Karakteristik
Individu Terhadap Kejadian Penyakit Leptospirosis Di Jakarta Tahun
2003-2005. Skripsi: Universitas Indonesia.
Aulia, Rizka. 2012. Hubungan Antara Strata Phbs Tatanan Rumah Tangga
Dan Sanitasi Rumah Dengan Kejadian Leptospirosis. Skripsi:
Universitas Negeri Semarang.
Arau´ jo, Wildo Navegantes. 2013. Attitudes, and Practices Related to
Leptospirosis among Urban Slum Residents in Brazil. Am. J. Trop.
Med. Hyg., 88(2), 2013, pp. 359–363.
Bustan, Muh Najib. 2006. Pengantar Epidemiologi Edisi Revisi. Jakarta: PT.
Rineka Cipta
Bustan, Muh Najib. 2008. 505 Tanya Jawab Epidemiologi. Makasar: Putra
Assad Print
BPBD Jakarta. 2014. Peta Banjir. Jakarta: Badan Penanggulangan Bencana
Daerah.
Cahyati, Widya Hary. 2009. Hubungan kebersihan pribadi dan riwayat luka
dengan Kejadian leptospirosis. Jurnal Kesehatan Masyarakat. ISSN
1858-1196
Colleen. Et.al. Climate Change, Flooding, Urbanisation And Leptospirosis:
Fuelling The Fire?. Elsevier Journal: Transactions of the Royal Society
of Tropical Medicine and Hygiene 104 (2010) 631–638
CDC. 2013. Infectious Diseases Related To Travel. Centers for Disease
Control and Prevention: Atlanta.
CDC. 2014. Leptospirosis. Centers for Disease Control and Prevention:
Atlanta.
CDC. 2010. Leptospirosis Pre-decision Brief for Public Health Action.
Centers for Disease Control and Prevention: Atlanta.
CDC. 2011. Outbreak of Leptospirosis after Flood, the Philippines, 2009.
Atlanta: Centers For Diseases Control and Prevention.
Dinkes Provinsi Jakarta. 2014. Laporan Leptospirosis Pada Saat Banjir.
Jakarta: Bakti Husada.
xvii
CDC. 2012. Leptospirosis. Atlanta: Centers For Diseases Control and
Prevention
Chin, James. 2009. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Jakarta: CV.
Informatika
Chin, James. 2012. Manual Pemberantasan Penyakit Menular Edisi 17
Cetakan IV. Jakarta: Infomedika
Cohen. 2004. Secon edition infectious diseases. Wosington university school
of medicine. ISBN. 032302079
Depkes RI. 2007. Buku Pedoman Banjir. Jakata: Bakti Husada Pusat
pengendalian krisis Kesehatan
Dinkes Provinsi Jakarta. 2003. Standar Penanggulangan Leptospirosis.
Jakarta: Bakti Husada.
Depkes RI. 2008. Pedoman Diagnosa dan Penatalaksanaan Kasus dan
Penanggulangan Leptospirosis di Indonesia. Jakarta: Bakti Husada
Dwiari. 2007. Pengaruh Banjir Terhadap Kejadian Leptospirosis di Provinsi
DKI Jakarta Tahun 2007. Tesis. Universitas Indonesia.
Depkes RI. 2004. Buku Pedoman Penyelidikan dan Penanggulangan Kejadian
Luar Biasa (KLB). Jakarta: Bakti husada.
Depkes RI. 2013. Petunjuk Teknis Upaya Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan dalam Penanggulangan Bencana. Jakarta:
Bakti Hudasa.
Depkes RI. 2007. Buku Pedoman Banjir. Pusat Penanggulangan Krisis
Kesehatan. Jakarta: Bakti Husada.
Depkes RI. 2005. Menanggulangi Masalah Kesehatan Akibat Banjir. Jakarta:
Bakti Husada.
Depkes RI. 2008. Pedoman Pengendalian Tikus. Jakarta: Bahti Husada,
Direktorat penegndalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Depkes RI. 2008. Pedoman Pengendalian Tikus khusus di Rumah Sakit.
Jakarta: Bakti Husada.
Depkes RI. 2000. Buku pedoman pembinaan program perilaku hidup bersih
dan sehat di tatanan. Pusat penyuluhan masyarakat. Jakarta: bakti
husada.
Ditjen PP&PL Kemenkes. 2008. Profil Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan 2007. Kementrian Kesehatan RI. Jakarta: Bakti
Husada.
xviii
Depkes RI, 2011. Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat
Bencana. Jakarta: Bakti Husadan Pusat pengendalian krisis Kesehatan
Depkes RI . 2009. Profil Kesehatan Indonesia 2008. Jakarta: Bakti Husada
Depkes RI . 2011. Profil Kesehatan Indonesia 2010. Jakarta: Bakti Husada
Depkes RI. 2012. Profil Kesehatan Indonesia 2011. Jakarta: Bakti Husada
Depkes RI. 2014. Bakti Sosial Pasca Banjir di Kel. Kalibata, Jakarta
Selatan. Jakarta: Bakti Husada.
Darmodjono. 2001. 15 Penyakit Menular Dari Binatang Ke Manusia. Jakarta:
Millenium Publiser.
Fatmah. 2006. Respons imunitas yang rendah Pada tubuh manusia usia
lanjut. Makara, kesehatan, vol. 10, no. 1, juni 2006: 47-53.
Field Book. Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat Dan Penyakit Berbasis
Lingkungan. PHBS Kesling Penyakit.
Goris, Marga. 2013. Human Leptospirosis Trends, the Netherlands, 1925–
2008. Emerging Infectious Diseases. Vol. 19, No. 3, March 2013.
Harrianto. 2011. Karakteristik dimensi antropometrik statis mahasiswa
Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti usia 19 - 21 tahun. J
Kedokter Trisakti Vol.23 No.3
Hardiansyah. 2008. Model Prediksi Tinggi Badan Lansia Etnis Jawa
Berdasarlian Tinggi Lutut,Panjang Depa, dan Tinggi Duduk. Maj
Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 12, Desember 2008.
Haida. 2002. Gambaran penderita leptospirosis dan faktor-faktor yang
berhubungan dengan kematian penderita leptospirosis di RSUD
Tarakan DKI Jakarta Pada Bulan Januari-Juni 2002. Skripsi.
Universitas Indonesia.
Okatini, Mari dkk. 2007. Hubungan faktor lingkungan dan karakteristik
individu terhadap kejadian penyakit leptospirosis di jakarta, 2003-
2005. Jurnal makara kesehatan, vol. 11, no. 1, juni 2007: 17-24
Isnani. 2010. Air, Hujan, Banjir, Dan Penyakit Menular. Loka Litbang P2B2
Banjamegara: Jurnal Litbang
Ketaren, Hendra Sinarta. 2009. Karakteristik dan kondisi lingkungan rumah
penderita penyakit Leptospirosis Pada Beberapa Kabupaten/Kota di
Provinsi NAD Tahun 2007. Skripsi. Medan: Universitas Sumatera
Utara.
Kholis. 2008. Leptospirosis sebagai penyakit pasca banjir serta cara
pencegahannya. Indonesia Scientific Journal Database.
xix
Manurung, Murni. 2006. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Leptospirosis di Lima Kabupaten, Provinsi Nangro Aceh Darussalam
Tahun 2006. Tesis. Universitas Indonesia.
Maesharokh, Siti. 2011. Hubungan faktor lingkungan dan perilaku dengan
kejadian leptospirosis di kota semarang Tahun 2010. Jurnal Core.
Mandal. 2008. Penyakit Infeksi Edisi Ke Enam. Jakarta: Erlangga
Ningsih, Riyan. 2009. Faktor Risiko Lingkungan Terhadap Kejadian
Leptospirosis Di Jawa Tengah (Studi Kasus Di Kota Semarang,
Kabupaten Demak Dan Pati). Tesis. Universitas diponegoro.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2003. Pendidikan Dan Perilaku Kesehatan. Jakarta:
Rineka Cipta.
Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Kesehatan Masyarakat Ilmu & Seni. Jakarta:
Rineka Cipta.
Pratiwi, Nanda. 2012. Analisis Temporal dan Spasial Unsur Iklim, Kepadatan
Penduduk, Daerah Rawan Banjir, dan Kasus Leptospirosis di DKI
Jakarta Tahun 2007-2011. Skripsi. Universitas Indonesia.
Priyanto, Agus. 2009. Faktor-faktor risiko yang berpengaruh terhadap
kejadian leptospirosis (studi kasus di kabupaten demak). Jurnal Core
Pranoto. 2007. Hubungan Kepadatan Pemukiman Dengan Ketersediaan
Infrastruktur. Tesis. Magister Teknik Sipil-Konsentrasi Infrastruktur
Universitas Diponegoro Semarang.
PHE. 2011. General Information on Leptospirosis. Public Health Englanad.
Peraturan Pemerintah No. 81. 2012. Pengelolaan Sampah Rumah Tangga Dan
Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga
Paeppl, W. 2009. High Prevalence Of Antibodies Against Leptospira spp. In
Male Austrian adults: a Cross-sectional Survey, April to June 2009.
Prastiwi, Betty. 2012. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
leptospirosis di kabupaten bantul. Jurnal kesehatan masyarakat, volume
1, nomor 2, tahun 2012.
Ramadhani, Tri. 2010. Kondisi lingkungan pemukiman Yang tidak sehat
berisiko Terhadap kejadian Leptospirosis (studi kasus di kota
semarang). Loka litbang P2B2 Banjarnegara
Rejeki, Sri Sarwani. 2005. Faktor risiko lingkungan yang berpengaruh
terhadap kejadian leptospirosis berat (studi kasus di rumah sakit dr.
Kariadi semarang). Tesis: Universitas Diponegoro
xx
Robert, K.Yin. 1989. Case study research design and methods. Washington:
Cosmos Corporation
Rohim, Mohd. et.al 2012. Town Service Workers’ Knowledge, Attitude and
Practice towards Leptospirosis. Journal of Health, 2012, 5: 1-12.
Supraptono, Bambang. 2011. Interaksi 13 Faktor Risiko Leptospirosis. Berita
Kedokteran Masyarakat Vol. 27, No. 2, Juni 2011
Suryani. 2013. Mewaspadai Potensi Penyakit Pasca banjir. Pusat Pengkajian,
Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI .
ISSN 2088-2351.
Stein, at al. 2007. The Global Burden Of Disease Assessment-WHO is
Responsible?. PloS Neglected Tropical Desease Vol 1, Issue 3
Suratman. 2006. Analisis faktor risiko lingkungan dan Perilaku yang
berpengaruh terhadap Kejadian leptospirosis berat Di kota semarang.
Tesis. Universitas diponegoro.
Seghal. 1991. Leptospirosis Current Status and General Aspects. India:
National Institute Of Communicable Diseases
Soejoedono, R. Roso. 2004. Zoonosis. Bogor: LaboratoriumKesmavet
Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
Soedin. 1996. Leptospirosis, Penyunting Ilmu Penyakit Dalam Edisi ketiga.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
SNI. 2004. Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan.
SNI 03-1733-2004 Revisi SNI 03-17-1989
Tinheriyani. 2012. Chepter x Teori Motivasi, Prestasi dan Kepuasan Kerja.
Jakarta: Trigunadarma
Umar. 2011. Metode Penelitian Untuk Skripsi dan Tesis Bisnis Edisi ke Dua.
Jakarta: Rajawali Pers
UU RI No 24.2007. Penanggulangan Bencana. Jakarta: Presiden RI
Vijayachari. 2008. Leptospirosis: an Emerging Global Public health Problem.
J. Biosci.33(4),pp 557-659
Victoriano. 2009. Leptospirosis in the Asia Pacific region. BMC Infectious
Diseases Journal. 2009, 9:147 doi:10.1186/1471-2334-9-14.
Viera, Maria Luisa. 2006. Human leptospirosis in Portugal: a Retrospective
Study of Eighteen Years. International Journal of Infectious Diseases
(2006) 10, 378—386.
xxi
Wiharyadi. Didik. 2004. Faktor-faktor Risiko Leptospirosis Berat di Kota
Semarang. Tesis: Kedokteran Undip Semarang.
WHO. 2014. Leptospirosis. Geneva: World health Organization
WHO. 2011. Report of the Second Meeting of The Leptospirosis Burden
Epidemiologi Reference Group. Geneva: World health Organization.
WHO. 2011. Report Of The Second Meeting Of The Leptospirosis Burden
Epidemiology Reference Group. Jenewa: World Health Organization:
WHO. 2003. Leptospirosis. cennai: World Health Organization.
WHO. 2009. Informal Expert Consultation on Surveillance, Diagnosis and
Risk Reduction of leptospirosis.Chennai: World Health Organization
WHO. 2009. Leptospirosis Situation in The WHO South-East Asia Region.
Cennai: World Health Organization
WHO. 2007. Leptospirosis: Laboratory Manual. New Delhi: World Health
Organization.
William. 2007. The globalization of leptospirosis: worldwide incidence
trends. International Journal of Infectious Diseases.
Widoyono. 2008. Penyakit Tropis; Epidemiologi, penularan, pencegahan dan
pemberantasannya. Jakarta: Erlangga.
Wiwanitkit. 2006. A Note From a Survey of some Knowladge aspects of
leptospirosis among a sample of rural villanger in the highly endemic
area, Thailand. The international journal of rural research, education,
practice and policy. ISSN 1445-6354.
WHO. 2004. Human leptospirosis: Guidance for Diagnosis, Surveillance and
control. Cennai: World health Organization.
Wiharyadi. Didik. 2004. Faktor-Faktor Risiko Leptospirosis Berat di Kota
Semarang. Tesis. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
xxii
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1
KUISIONER PENELITIAN
STUDI EPIDEMIOLOGI KEJADIAN LEPTOSPIROSIS PADA SAAT BANJIR DI
KECAMATAN CENGKARENG PERIODE JANUARI FEBRUARI TAHUN 2014
INFORMASI PENELITIAN
Kegiatan ini merupakan penelitian yang dilakukan oleh Mahasiswa Peminatan
Epidemiologi Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Tujuan
penelitian ini adalah untuk mengetahui epidemiologi kejadian Leptospirosis pada saat banjir
di kecamatan Cengkareng. Peserta pada penelitian ini adalah warga atau masyarakat yang
tinggal di kecamatan Cengkareng wilayah administrasi Jakarta Barat sebanyak 18 peserta.
Penelitian ini dapat bermanfaat bagi mahasiswa dan masyarakat untuk mengetahui
epidemiologi kejadian Leptospirosis. Kegiatan pengumpulan data pada penelitian dilakukan
dengan menggunakan daftar pertanyaan kepada peserta terkait sesuatu yang berhubungan
dengan kejadian Leptospirosis
Data yang telah kami kumpulkan akan kami jamin kerahasiaan serta keamanannya.
Oleh karena itu, kami berharap Saudara/I bersedia menjadi peserta dalam penelitian ini.
xxiii
Lampiran 2
PERSETUJUAN PESERTA PENELITIAN
Saya mengerti sepenuhnya manfaat dari keikutsertaan saya pada penelitian ini dan
menyatakan setuju untuk ikut serta sebagai peserta penelitian.
Nama Penderita :
Umur :
Pekerjaan :
Alamat :
Tanda Tangan : ______________ Tanggal:
Nama Peneliti :
Tanda Tangan : ______________ Tanggal:
CP: Ana Erviana
Handphone: 0857 6471 5698
xxiv
Lampiran 3
Instrumen Penelitian
Kuesioner Epidemiologi Kejadian Leptospirosis Pada Saat Banjir Di Kecamatan
Cengkareng Jakarta Barat
Pertanyaan (diisi oleh peserta/penderita) Di isi
peneliti
A. Riwayat luka
Apakah Bapak/Ibu/Saudara/Saudari pernah mempunyai luka lecet atau luka
terbuka atau sebagainya pada saat terjadi banjir atau 3 minggu sebelum sakit?
a. Ya b. Tidak
B. Ketersediaan air bersih
1. Pada saat banjir biasanya dari mana Bapak/Ibu/Saudara/Saudari mendapatkan air
bersih? (Jawaban boleh lebih dari satu)
a. Bantuan pemerintah
b. PDAM
c. Beli air galon
d. Sumur bor
e. Sungai
f. Air banjir
g. Lain-lain, sebutkan............
2. Menurut Bapak/Ibu/Saudara/Saudari apakah air bersih yang tersedia cukup untuk
perlukan sehari-hari?
a. Cukup b. Tidak
3. Apakah Bapak/Ibu/Saudara/Saudari pernah menggunakan air banjir/sungai untuk
mandi?
a. Pernah b. Tidak pernah
4. Apakah Bapak/Ibu/Saudara/Saudari pernah menggunakan air banjir/sungai untuk
mencuci?
a. Pernah b. Tidak pernah
5. Apakah Bapak/Ibu/Saudara/Saudari pernah menggunakan air banjir/sungai untuk
memasak?
a. Pernah b. Tidak pernah
6. Apakah Bapak/Ibu/Saudara/Saudari pernah menggunakan air banjir/sungai
xxv
untuk mimum?
a. Pernah b. Tidak pernah
7. Apakah Bapak/Ibu/Saudara/Saudari pernah menggunakan air banjir/sungai
untuk bermain atau berenang ?
a. Pernah b. Tidak pernah
C. Keberadaan tikus
1. Apakah di dalam rumah atau di luar rumah Bapak/Ibu/Saudara/Saudari pernah
ditemukan ciri-ciri keberadaan tikus dibawah ini? (Jawaban boleh lebih dari
satu)
a. Kotoran tikus
b. Suara tikus
c. Bau kotoran tikus atau bau tikus
d. Adanya tikus hidup/mati di dalam maupun luar rumah
e. Ada bekas makanan yang digigit tikus
f. Ada lubang didalam maupun luar rumah lubang misalnya dipojok pintu atau
diatas plafon dan sebagainya
g. Ada bercak atau bekas urin tikus
h. Ada tanda kehitaman di tembok atau perkakas rumah
i. Lain-lain, sebutkan.................
j. Tidak ada semua
D. Keberadaan sampah dan Tatanan Rumah
1. Dimana Bapak/Ibu/Saudara/Saudari membuang sampah sehari-hari
a. Di dalam rumah
b. Di halaman rumah
c. Di sungai
d. Di TPA di sekitar rumah
e. Di ambil petugas
2. Bagaimana tempat pembuangan sampah anda?
a. Tertutup dan sampah secara rutin di buang
b. Tertutup dan sampah jarang dibuang
c. Terbuka dan sampah sering tidak di buang
d. Terbuka dan secara rutin di buang
3. Apakah didalam maupun di luar rumah ibu terdapat tumpukan barang-barang
xxvi
yang masih bisa di pakai maupun yang tidak dipakai?
a. Ada b. Tidak ada
4. Bagaimana anda menata barang-barang atau perabotan di rumah anda?
a. Menata dengan rapi
b. Berantakan
E. Selokan/ Sarana Pembuangan Air Limbah
1. Apakah selokan/ Sarana Pembuangan Air Limbah di rumah atau
dilingkungan rumah anda dapat mengalirkan air limbah dengan lancar?
a. Iya b. Tidak
2. Bagaimana kondisi selokan/ Sarana Pembuangan Air Limbah di rumah atau
dilingkungan rumah anda?
a. Terbuka
b. Tertutup
3. Apakah selokan/ Sarana pembuangan air limbah di rumah atau di lingkungan
rumah anda terdapat sampah?
a. Ya b. Tidak
4. Apakah anda pernah menjumpai tikus di selokan/ Sarana pembuangan air
limbah di rumah atau di lingkungan rumah anda?
a. Ya b. Tidak
F. Upaya Pencegahan
1. Apakah pada saat banjir Bapak/Ibu/Saudara/Saudari selalu menggunakan
sepatu boot atau alas kaki tahan air ?
b. Ya b. Tidak
2. Setelah kontak dengan genangan air banjir atau lumpur /tanah becek di dalam
maupun di luar rumah, apa yang Bapak/Ibu/Saudara/Saudari lakukan? (jawaban
boleh lebih dari satu)
a. Langsung mencuci tangan dengan sabun
b. Langsung mencuci kaki dengan sabun
c. Langsung mencuci muka dengan sabun
d. Langsung mandi dengan sabun
e. Tidak melakukan semua kegiatan
3. Dimana Bapak/Ibu/Saudara/Saudari menyimpan makanan? (jawaban boleh
lebih dari satu)
xxvii
a. Di tempat/ wadah yang tertutup
b. Di tempat wadah yang terbuka
c. Di laci/kolong meja
d. Di gantung di dapur
e. Di sembarang tempat
f. Lain-lain, sebutkan.....................
4. Apakah ibu langsung mandi menggunakan air bersih dan menggunakan sabun
setelah membersihkan rumah dari lumpur atau genangan akibat banjir?
a. Iya, langsung mandi
b. Menunggu beberapa jam kemudian untuk mandi
c. Tidak mandi
G. Status pengungsian
1. Apakah pada saat terjadi banjir Bapak/Ibu/Saudara/Saudari mengungsi?
a. Ya b. Tidak
2. Jika ia apakah tempat pengungsian anda bebas dari genangan air, lumpur, dan
tikus?
a. Ya b. Tidak
H. Pengetahuan
1. Apakah Bapak/Ibu/Saudara/Saudari tahu tentang pengakit Leptospirosis atau
penyakit kencing tikus?
b. Ya 2. Tidak.
2. Menurut Bapak/Ibu/Saudara/Saudari, bakteri apa yang menyebabkan timbulnya
penyakit Leptospirosis atau kencing tikus?
a. Bakteri Leptospira
b. Bakteri salmonella
c. Vibrio cholerae
d. E. Coli
e. Tidak tahu
3. Menurut Bapak/Ibu/Saudara/Saudari, bagaimana gejala penyakit Leptospirosis
atau kencing tikus? (Jawaban boleh lebih dari satu)
a. Demam tinggi
b. sakit kepala
xxviii
c. menggigil
d. pegel-pegel pada betis dan kaki / mialgia berat
e. merah pada Conjungtiva/mata
f. kekuningan
g. Tidak tahu
4. Menurut Bapak/Ibu/Saudara/Saudari, bagaimana cara bakteri leptospira masuk
ke dalam tubuh? (jawaban boleh lebih dari satu)
a. Melalui makanan yang terinfeksi urin
b. Melalui air yang terkontaminasi
c. Melalui udara
d. Melalui tanah/ lumpur yang terinfeksi
e. Melalui air banjir atau sungai (melalui luka/lecet)
f. Lain-lain, sebutkan.............................
g. Tidak tahu
5. Menurut Bapak/Ibu/Saudara/Saudari hewan apa yang bisa menularkan penyakit
Leptospirosis/kencing tikus?
a. Rodent (tikus), babi, sapi, kambing, domba, kuda, anjing, kucing
b. Rodent (tikus), ayam, ular, kambing
c. Rodent (tikus) dan monyet
d. Tidak tahu
6. Menurut Bapak/Ibu/Saudara/Saudari kondisi lingkungan yang bagaimana yang
dapat dapat mempengaruhi terjadinya penyakit Leptospirosis/ kencing tikus?
(jawaban boleh lebih dari satu)
a. Lingkungan yang bersih
b. lingkungan yang banjir
c. lingkungan yang kondisi selokannya buruk
d. lingkungan yang tatanan rumahnya berantakan
e. lingkungan yang tatanan rumahnya rapi
f. tidak tahu
7. Menurut Bapak/Ibu/Saudara/Saudari apakah penyakit Leptospirosis dapat di
cegah?
a. Iya b. Tidak
8. Menurut Bapak/Ibu/Saudara/Saudari bagaimana cara pencegahan penyakit
xxix
Leptospirosis atau kencing tikus? (jawaban boleh lebih dari satu)
a. Membersihkan sarang tikus
b. Membersihkan sampah
c. Tidak menggunakan air banjir/sungai untuk mandi, memasak, minum,
mencuci dan bermain
d. Menggunakan sarung tangan, sepatu boot ketika ingin membersihkan
rumah atau kontak dengan air genangan banjir/lumpur sisa banjir.
e. Mandi, mencuci tangan, mencuci kaki dengan air bersih dan sabun setelah
kontak dengan air banjir/sungai/ lumpur dan hewan peliaraan.
f. Menata rumah dengan rapi
g. Membersihkan selokan
h. Menutup lubang-lubang yang bisa digunakan untuk tempat tinggal tikus
i. Menutup makanan
j. Memakai celana panjang
k. Memakai baju panjang
l. Lain-lain, sebutkan...........................
m. Tidak tahu
9. Menurut Bapak/Ibu/Saudara/Saudari bagaimana cara pengobatan bila
terinfeksi penyakit Leptospirosis atau kencing tikus?
a. Memberikan antibiotik seperti Penicilin
b. Memberikan albendazol
c. Lain-lain.......
d. Tidak tahu
xxx
Lampiran 4
Pedoman Wawancara dan Lembar Observasi
Pedoman Wawancara
1. Apa yang membuat rumah atau lingkungan anda masih terdapat sampah, tumpukan
barang dan kondisi selokan yang buruk yang bisa mendukung keberadaan tikus?
2. Apakah yang membuat anda tidak melakukan upaya pencegahan terhadap kejadian
Leptospirosis?
Lembar Observasi
Variabel Ada Tidak ada
Keberadaan tikus didalam dan sekitar rumah dengan melihat
tanda-tanda keberadaan tikus.
a. Kotoran tikus
b. Suara tikus
c. Bau kotoran tikus atau bau tikus
d. Adanya tikus hidup/mati di dalam maupun luar rumah
e. Ada bekas makanan yang digigit tikus
f. Ada lubang didalam maupun luar rumah lubang misalnya
dipojok pintu atau diatas plafon dan sebagainya
g. Ada bercak atau bekas urin tikus
h. Ada tanda kehitaman di tembok atau perkakas rumah
Keberadaan sampah
a. Adanya tumpukan sampah di dalam rumah maupun luar
rumah
b. Tempat sampah yang terbuka dan sampahnya berserakan
Kondisi Selokan/SPAL
a. Aliran air lancar
b. Tidak ada sampah berserakan
Tatanan rumah
a. Adanya tumpukan barang-barang yang bisa menjadi
habitat tikus
b. Perabotan rumah tertata rapi
xxxi
Lampiran 5
Hasil Wawancara Mendalam
Pertanyaan No Jawaban
Apa yang membuat rumah
atau lingkungan anda masih
terdapat sampah, tumpukan
barang dan kondisi selokan
yang buruk?
1 “hmmmm.. kalau disini mah bersih ya mba...
sampah-sampah mah diangkut setiap hari.. Cuma ya
itu dibelakang rumah ada kali mba..adap
embuangan sampah.. jadi ya gitu kelihatannya
kotor”(YTM, KKA).
2 “ngga sih mba.. kalau dirumah bersih..sampahnya
juga dibuang terus.. itu mungkin mba.. diatas itu
kan kayak gudang mba.. barang-barang yang ngga
kepake ditaruh situ.. ia kalau lagi banjir kita pindah
ke atas bikin tenda di atas.. kalau selokan
dibelakang mba tertutup” (SP, RB).
3 “ ia disamping rumah itu ada kayak gudang bu..
barangnya disimpan disitu.. kalau sampah didalam
rumah rapi bu.. klo diluar kayak ntu bu.. berantakan
jarang diambil petugas.. klo banjir mah bu...
sampah-sampahnya yang ada di kali pada naek”
(ST, Kpk).
4 “ ya gitu.. sampah disini kayak gitu.. dibuangnya
ditaruh plasitik aja.. kalau petugasnya ngambilnya
cepet ya ngga berantakan.. tapi petugasnya sering
telat jadi numpuk kayak gitu.. di samping itu kan
kali gede mba.. sampahnya banyak itu... klo selokan
ya kayak itu di depan.. dibelakang juga ada.. bersih
kok.. kalinya itu mungkin mba..” (AD, KKA)
5 “Hehenhee... ini mah bukan rumah neng-neng..
rumah tu noh gedong kayak punya orang-orang..
kalau ini rumah-rumahan ya.. hehehehe... ya kayak
gini keadaannya neng.. orang rumahnya kecil..
xxxii
rumah maen-maenan neng.. ya begitu barang-
barangnya.. bingung neng gimana natanya.. diatas
ada juga neng cuma ya sama kaya gini.. hehehe
bukan rumah ini mah neng.. selokannya ya di kali
belakang.. gitulah lihat aja neng” (NZ, KPK).
6 “adalah neng.. masak sampah ngga ada.. tu depan
kali neng.. disini bersih tapi sampahnya masih turun
ke got.. barang-barangnya ditata begitu aja.. ia
rumahnya kecil.. padet disini mah neng.. anaknya
lima.. Cuma ruangan ini sma diatas.. diatas itu
gudangnya bapak.. alat-alat kerjanya bapak ditaruh
disitu.. lihat aja neng.. kadang si kakak juga tidur
disitu.. jemuran bajunya juga disitu soalnya ngga
ada tempat lagi buat jemur.. samping rumah uda
rumah orang.. heeeheee.. kalau banjir kita numpuk
diatas semua neng..”(MM, KKA).
7 Sampah kurang baik.. pengangkutannya kurang..
petugasnya kadang ngga datang.. ngga ada selokan
disini.. kalau banjir air yang dikali naik.. jadi airnya
ya kayak air got..rumahnya kecil.. barangnya gitu-
gitu aja.” (NA, KKA).
8 “Heehhehehe mbak.. mba.. ya gitu barang-
barangnya.. rumahnya sempit mba.. ada lantai 2
juga. Suma banyak tumpukan barang juga.. kalau
banjirkan kita tidurnya diatas mba.. jadi barang-
barangnya banyak diatas mba.. tikus pastilah ada
ya mba.. tempatnya tu diatas” (MS, KPK)
9 “Keadaan di wilayah sini begini.. kesadaran
masyarakat kurang.. kita bersih mereka ngga kan
sama aja sampahnya ke kita juga.. selokan itu
disamping rumah ngga ngalir... rumahnya sempit
jadi barangnya begitu..” (MT, RB)
xxxiii
Apakah yang membuat anda
tidak melakukan upaya
pencegaham terhadap
kejadian Leptospirosis,
misalnya tidak memakai
sepatu boot pada saat banjir,
tidak mencuci kaki, tangan
atau mandi setelah kontak
dengan air/lumpur akibat
banjir? adakah keinginan
anda untuk melakukan upaya
tersebut?
1 “Ngga.. saya ngga pake sepatu pas banjir.. percuma
aja pake sapatu.. banjirnya diatas lutut tingginya”
kalau bajirnya dikit-dikit itu baru pake sepatu.. klo
cuci kaki abis dari banjir kalau mau naek rumah itu
cuci kaki..”(YTM, KKA).
2 “Saya pas banjir kan sekolah ya mba.. sepatu saya
saya lepas.. soalnya kan banjirnya diatas lutut
mba.. heheee kalau ada sepatu yang sampai badan
saya mau mba.. hehehhe” (SP, RB)
3 “Pengen pakenya.. biar ngga becek kan.. banjirnya
gede.. kadang sampe pinggang.. mandi kalau uda
sore.. kalau lewat aja dicuci aja.. ntar kalau mandi
lewat lagi kotor lagi” (ST, KPK).
4 “Ada sih itu sepatu bootnya cuma ngga di pakai pas
banjir.. banjirnya aja sampai dalam rumah.. kadang
sepinggang.. ia mandinya kalau mau tidur.. mau
naik kasur..”(AD, KKA)
5 “Ngga pake.. main-main aja di luar.. dicuci kakinya
kalau mau masuk rumah.. ngga ngga pakai sabun..
Cuma di cuci aja” (NZ, KPK)
6 “Kalau ngojek biasanya pakai sendal aja.. ribet
pakai sepatu boot.. banjirnya tinggi” ya mau pakai
kalau banjirnya dikit-dikit” (MM, KKA)
7 “Ngga pakai sepatu.. jalan aja di air banjir.. ntar
kalau sudah sampai rumah baru cuci kaki..
mandinya ntar klo sudah sore” (NA, KKA).
xxxiv
Lampiran 6
Hasil Observasi
1. Keberadaan Sampah
Gambar dibawah ini adalah gambar yang digunakan penulis untuk
mendeskripsikan bagaimana keadaan keberadaan sampah di sekitar rumah penderita.
Berikut adalah gambar dan masing-masing penjelasan dari gambar tersebut:
1 2 3 4 5
Gambar 1 menggambarkan bahwa dibelakang rumah salah satu penderita
terdapat tempat pembuangan sampah. Banyak barang-barang yang tidak dipakai
dibuang di tempat tersebut. Dibawah sampah tersebut terdapat selokan yang airnya
tidak mengalir dan hitam. Diatas tumpukan barang-bararang tersebut digunakan
penderita untuk menjemur kasur. Gambar 2, 3 dan 4 menggambarkan bahwa sampah
dibuang di pekarangan rumah, sampah terlihat tidak teratur dan menumpuk sehingga
ada kemungkinan tikus suka mendatangi tempat tersebut dan datang kerumah
penderita.
Gambar 5 menggambarkan disekitar rumah penderita terdapat tempat
pembuangan akhir sampah yang berada disekitar sungai dan tikus sering ditemukan
ditempat tersebut. Bisa dibayangkan kali yang keruh dan penuh sampah tersebut jika
terjadi banjir pasti air yang kotor itu meluap ke rumah warga dan jika air tersebut
ternyata mengandung bakteri Leptospira maka akan mudah menyebar.
xxxv
2. Tatanan Rumah
Gambar dibawah ini menggambarkan bagaimana tatanan rumah penderita.
Berikut adalah gambar dan masing-masing penjelasan dari gambar tersebut:
1 2 3 4 5
6 7
Gambar 1 menggambarkan bagaimana penderita dalam menata barangnya.
Barang terlihat menumpuk dan sesak. Diantara lemari satu dan yang lain ada rongga.
Menurut penderita disitu sering terdengar bunyi tikus. Gambar 2, 3 dan 4
menggambarkan penataan perabotan yang tidak rapi. Perabotan terlihat kotor, becek ,
terbuka dan berantakan sehingga kemungkinan sering dilewati tikus dan bila tikus
yang lewat mengandung bakteri leptospira maka ditakutkan bila perabotan tersebut
digunakan untuk wadah makanan maka bakteri itu akan mudah masuk kedalam tubuh.
Gambar 5 menggambarkan kamar penderita merupakan tempat penderita
bekerja. Karena penderita bekerja sebagai jasa service maka banyak barang-barang
elektronik dikamar penderita. sehingga kemungkinan disela-sela tumpukan barang
tersebut banyak ditemukan tikus. Gambar 6 dan 7 menggambarkan keadaan rumah
dilantai 2 penderita. Disitu dapat dilihat barang-barang yang tidak terpakai
menumpuk, disitu juga dijadikian sebagai tempat menjemur. Sangat sedikit cahaya
yang masuk sehingga ruangan tersebut terlihat kotor dan sumpek. Pada saat banjir
ruangan tersebut dijadikan sebagai tempat tidur oleh semua orang yang ada dirumah
xxxvi
penderita. Sehingga ada kemungkinan orang yang ada dirumah tersebut lebih dekat
dengan tikus dan lebih mudah kontak dengan tikus/urin tikus.
3. Kondisi Selokan
Gambar dibawah ini menggambarkan bagaimana keeadaan selokan yang ada
disekitar rumah reponden. Berikut adalah gambar dan masing-masing penjelasan dari
gambar tersebut:
1 2 3 4 5
Gambar 1 dan 2 dan 4 menunjukkan solokan disekitar rumah penderita
terbuka, bayak sampah, air pada selokan tersebut tidak mengalir dan berwarna hitam.
kondisi seperti ini yang disenangi tikus. gambar nomor 4 sebenarnya didalam lubang
terdapat tikus akan tetapi saat difoto tikus tersebut lari. Gambar 3 menggambarkan
jenis selokan yang terhubung kerumah melalui pipa terbuka sehingga mumudahkan
tikus masuk dalam rumah. Gambar 5 menggambarkan sungai/kali yang berada di
sekitar rumah penderita. Kondisi kali sangat kotor, air tidak mengalir, berwarna
hitam, dan banyak sampah. Menurut warga tikus banyak ditemukan di kali/sampah
tersebut.
4. Keberadaan Tikus
Gambar dibawah ini menggambarkan keberadaab tikus di rumah dan
lingkungan rumah reponden. Berikut adalah gambar dan masing-masing penjelasan
dari gambar tersebut:
xxxvii
1 2 3 4
Gambar 1, 2 dan 3 sebenarnya mempunyai penjelasan yang berkaitan satu
sama lain. Gambar tersebut menceritakan bagaimana keadaan lantai 2 rumah salah
satu penderita. Lantai 2 tersebut merupakan gudang tempat disimpannya barang-
barang, disitu juga dipakai untuk menjemur baju dan terkadang untuk tidur. Dan
ternyata peneliti menemukan kotoran tikus di lantai dan dikarpet yang digunakan
penderitauntuk tidur. Gambar 4 menggambarkan bahwa ternyata terdapat tikus
diselokan disekitar rumah penderita.
xxxviii
Lampiran 7
Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas
Instrumen Penelitian
Reliability Statistics
Cronbach's Alpha
Cronbach's Alpha Based on
Standardized Items N of Items
.217 .950 43
Item Statistics
Mean Std. Deviation N
Nomor Kuisioner 21.31 6.118 16
UMUR 44.38 13.455 16
A1apakah bapak/ibu/saudara/saudari pernah mempunyai luka lecet atau luka terbuka
1.69 .479 16
B1 pada saat banjir, biasanya dari mana bapak/ibu/saudara/saudari mendapatkan ai
2.56 .512 16
B2 menurut bapak/ibu/saudara/saudari, apakah air bersih yang tersedia cukup untu
1.44 .512 16
B3 Apakah bapak/ibu/saudara/saudari, pernah menggunakan air genangan banjir/sung
1.75 .447 16
B4 Apakah Bapak/Ibu/saudara/saudari, pernah menggunakan air genangan banjir/sung
1.44 .512 16
B5 Apakah Bapak/Ibu/saudara/saudari, pernah menggunakan air genangan banjir/sung
1.75 .447 16
B6 Apakah Bapak/Ibu/saudara/saudari, pernah menggunakan air genangan banjir/sung
1.56 .512 16
B7 Apakah Bapak/Ibu/saudara/saudari, pernah menggunakan air genangan banjir/sung
1.69 .479 16
C1 apakah di dalam rumah atau di luar rumah Bapak/Ibu/saudara/saudari pernah dit
1.44 .512 16
xxxix
D1 dimana bapak/Ibu/saudara/saudari membuang sampah sehari-hari?
3.25 .683 16
D2 Apakah di dalam maupun di luar rumah ibu terdapat tumpukan barang-barang yang
1.50 .516 16
D3 Bagaimana tempat pembuangan sampah anda?
1.94 .854 16
E1 apakah selokan/ sarana pembuangan air limbah di rumah atau di lingkungan ruma
1.44 .512 16
E2 bagaimana kondisi selokan/ sarana pembuangan air limbah di rumah atau di ling
1.38 .500 16
E3 apakah selokan/ sarana pembuangan air limbah di rumah atau di lingkungan ruma
1.50 .516 16
E4 apakah anda pernah menjumpai tikus di selokan/ sarana pembuangan air limbah d
1.44 .512 16
F1 apakah pada saat banjir bapak/Ibu/saudara/saudari selalu menggunakan sepatu b
1.56 .512 16
F2 pada saat memegang hewan peliharaan, apakah bapak/Ibu/saudara/saudari menggun
1.50 .516 16
f3 setelah kontak dengan genangan air banjir atau lumpur/ tanah becek di dalam m
1.44 .512 16
f4 dimana Bapak/Ibu/saudara/saudari menyimpan makanan? jawaban boleh dari satu
1.38 .500 16
F5 apakah ibu langsung mandi menggunakan air bersih dan menggunakan sabun setela
1.50 .516 16
G1 Apakah pada saat terjadi banjir Banjir/Ibu/saudara/saudari mengungsi?
1.44 .512 16
G2 Jika ia apakah tepat pengungsian anda bebas dari ganangan air, lumpur atau ti
1.44 .512 16
H1 Apakah Bapak/Ibu/saudara/saudari tahu tentang penyakit Leptospirosis atau pen
1.31 .479 16
H2 Menurut Bapak/Ibu/saudara/saudari, bakteri apa yang menyebabkan timbulnya pen
2.88 1.746 16
xl
H3 menurut bapak/Ibu/saudara/saudari, bagaimana cara bakteri leptospira masuk ke
1.56 .512 16
H4 Menurut Bapak/Ibu/saudara/saudari hewan apa yang bisa menularkan penyakit lep
1.38 .500 16
H5menurut Bapak/Ibu/saudara/saudari kondisi lingkungan yang bagaimana yang dapat
1.56 .629 16
H6 menurut bapak/Ibu/saudara/saudari apakah penyakit Leptospirosis dapat di cega
1.31 .479 16
H7a membersihkan sarang tikus
1.38 .500 16
H7b membersihkan smpah 1.44 .512 16
H7c tidak menggunakan air banjir/ sungai untuk mandi, masak, minum, mencuci dan
1.62 .500 16
H7d menggunakan sarung tangan atau sepatu boot ketika ingin membersihkan rumah a
1.56 .512 16
H7e mandi, mencuci tangan, mencuci kaki dengan air bersih dan sabun setelah kont
1.44 .512 16
H7f menata rumah dengan rapi
1.75 .447 16
H7g membersihkan selokan 1.50 .516 16
H7h menutup lubang-lubang yang bisa di gunakan untuk tempat tinggal tikus
1.44 .512 16
H7i menutup makanan 1.69 .479 16
H7j memakai celana panjang 1.88 .342 16
H7k memakai baju panjang 1.88 .342 16
H8 menurut Bapak/Ibu/saudara/saudari bagaimana cara pengobatan bila terinfeksi p
1.19 .403 16
Item-Total Statistics
Scale Mean if Item Deleted
Scale Variance if Item Deleted
Corrected Item-Total Correlation
Squared Multiple Correlation
Cronbach's Alpha if Item
Deleted
Nomor Kuisioner 111.12 252.783 .022 . .236
UMUR 88.06 280.596 -.371 . .838
A1apakah bapak/ibu/saudara/saudari pernah mempunyai luka lecet atau luka terbuka
130.75 285.667 .525 . .193
B1 pada saat banjir, biasanya dari mana bapak/ibu/saudara/saudari mendapatkan ai
129.88 289.717 .253 . .205
xli
B2 menurut bapak/ibu/saudara/saudari, apakah air bersih yang tersedia cukup untu
131.00 284.000 .587 . .188
B3 Apakah bapak/ibu/saudara/saudari, pernah menggunakan air genangan banjir/sung
130.69 290.762 .225 . .208
B4 Apakah Bapak/Ibu/saudara/saudari, pernah menggunakan air genangan banjir/sung
131.00 290.667 .198 . .208
B5 Apakah Bapak/Ibu/saudara/saudari, pernah menggunakan air genangan banjir/sung
130.69 289.029 .340 . .203
B6 Apakah Bapak/Ibu/saudara/saudari, pernah menggunakan air genangan banjir/sung
130.88 292.917 .069 . .214
B7 Apakah Bapak/Ibu/saudara/saudari, pernah menggunakan air genangan banjir/sung
130.75 289.400 .293 . .204
C1 apakah di dalam rumah atau di luar rumah Bapak/Ibu/saudara/saudari pernah dit
131.00 286.267 .454 . .195
D1 dimana bapak/Ibu/saudara/saudari membuang sampah sehari-hari?
129.19 290.829 .133 . .209
D2 Apakah di dalam maupun di luar rumah ibu terdapat tumpukan barang-barang yang
130.94 288.062 .346 . .200
D3 Bagaimana tempat pembuangan sampah anda?
130.50 292.800 .030 . .215
E1 apakah selokan/ sarana pembuangan air limbah di rumah atau di lingkungan ruma
131.00 283.733 .603 . .188
E2 bagaimana kondisi selokan/ sarana pembuangan air limbah di rumah atau di ling
131.06 285.129 .534 . .192
E3 apakah selokan/ sarana pembuangan air limbah di rumah atau di lingkungan ruma
130.94 288.196 .338 . .201
E4 apakah anda pernah menjumpai tikus di selokan/ sarana pembuangan air limbah d
131.00 285.067 .524 . .191
F1 apakah pada saat banjir bapak/Ibu/saudara/saudari selalu menggunakan sepatu b
130.88 285.850 .478 . .194
F2 pada saat memegang hewan peliharaan, apakah bapak/Ibu/saudara/saudari menggun
130.94 285.129 .516 . .192
xlii
f3 setelah kontak dengan genangan air banjir atau lumpur/ tanah becek di dalam m
131.00 285.200 .516 . .192
f4 dimana Bapak/Ibu/saudara/saudari menyimpan makanan? jawaban boleh dari satu
131.06 283.929 .606 . .188
F5 apakah ibu langsung mandi menggunakan air bersih dan menggunakan sabun setela
130.94 285.129 .516 . .192
G1 Apakah pada saat terjadi banjir Banjir/Ibu/saudara/saudari mengungsi?
131.00 286.267 .454 . .195
G2 Jika ia apakah tepat pengungsian anda bebas dari ganangan air, lumpur atau ti
131.00 284.000 .587 . .188
H1 Apakah Bapak/Ibu/saudara/saudari tahu tentang penyakit Leptospirosis atau pen
131.12 283.983 .631 . .188
H2 Menurut Bapak/Ibu/saudara/saudari, bakteri apa yang menyebabkan timbulnya pen
129.56 289.862 .025 . .215
H3 menurut bapak/Ibu/saudara/saudari, bagaimana cara bakteri leptospira masuk ke
130.88 286.117 .463 . .195
H4 Menurut Bapak/Ibu/saudara/saudari hewan apa yang bisa menularkan penyakit lep
131.06 283.929 .606 . .188
H5menurut Bapak/Ibu/saudara/saudari kondisi lingkungan yang bagaimana yang dapat
130.88 283.450 .498 . .187
H6 menurut bapak/Ibu/saudara/saudari apakah penyakit Leptospirosis dapat di cega
131.12 283.983 .631 . .188
H7a membersihkan sarang tikus
131.06 284.996 .542 . .191
H7b membersihkan smpah 131.00 281.067 .761 . .180
H7c tidak menggunakan air banjir/ sungai untuk mandi, masak, minum, mencuci dan
130.81 290.562 .210 . .207
H7d menggunakan sarung tangan atau sepatu boot ketika ingin membersihkan rumah a
130.88 285.850 .478 . .194
H7e mandi, mencuci tangan, mencuci kaki dengan air bersih dan sabun setelah kont
131.00 282.000 .705 . .182
H7f menata rumah dengan rapi
130.69 285.696 .562 . .193
H7g membersihkan selokan 130.94 287.929 .354 . .200
xliii
H7h menutup lubang-lubang yang bisa di gunakan untuk tempat tinggal tikus
131.00 281.067 .761 . .180
H7i menutup makanan 130.75 289.400 .293 . .204
H7j memakai celana panjang 130.56 291.329 .253 . .209
H7k memakai baju panjang 130.56 291.329 .253 . .209
H8 menurut Bapak/Ibu/saudara/saudari bagaimana cara pengobatan bila terinfeksi p
131.25 298.600 -.313 . .229
Top Related