KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM ISLAM
(Studi Pemikiran M. Quraish Shihab)
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana dalam Bidang Falsafah
dan Agama
Disusun Oleh:
Fitriyani
210000005
PROGRAM STUDI FALSAFAH DAN AGAMA
FAKULTAS FALSAFAH DAN PERADABAN
UNIVERSITAS PARAMADINA
JAKARTA
2014
ii
iii
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbilalamin. Segala puja dan puji penulis panjatkan ke hadirat Allah
SWT yang telah memberikan rahmat tak terhingga kepada penulis. Sholawat dan salam
penulis sampaikan kepada sang pemimpin ideal sepanjang masa, Nabi Muhammad SAW. Puji
syukur, akhirnya penulis dapat merampungkan skripsi yang berjudul Kepemimpinan
Perempuan dalam Islam (Studi Pemikiran M. Quraish Shihab) sebagai syarat memperoleh
gelar akademik di Universitas Paramadina. Tentunya, banyak pihak yang secara langsung
maupun tidak langsung telah membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Untuk itu
penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :
1. Ibunda penulis, Komriyah, madrasah pertama dalam kehidupan penulis. Yang telah
mengajarkan segalanya yang diperlukan dalam hidup kepada penulis, serta selalu
mendoakan kelancaran studi dan kesuksesan penulis. Ayahanda Mustadi, yang
telah berjasa membesarkan penulis dan memberikan pendidikan yang sangat
keras agar penulis mampu bertahan dan tegar dalam mengarungi tantangan
kehidupan yang sulit.
2. Saudara-saudara penulis. Jamaludin, kakak tertua yang selalu menjadi tauladan
yang baik bagi adik-adiknya dan Rini Andriani, kakak ipar yang cantik dan baik
hati beserta Akhdan Fatih Azizan, keponakan penulis yang selalu membuat hari
menjadi lebih ceria dan bersemangat. Amrullah, kakak yang selalu jahil dan usil
namun setia mengantar jemput penulis sejak penulis masih sekolah hingga penulis
kuliah. Rizkiyana Dewi, adik yang beranjak dewasa, yang telah menggantikan
peran penulis menjaga ibu dan adik-adik selama penulis menimba ilmu di Jakarta.
Muhammad Abdul Muksit, adik lelaki yang sudah beranjak remaja yang nakal tapi
penurut dan ringan tangan membantu orang tua dan saudara-saudaranya. Siti
Fajriyati, yang selalu mengingatkan penulis tentang masa kecil yang begitu ceria
dan menyenangkan. Zahrotusyita, si bungsu yang manja dan selalu memberi
pelukan hangat penuh cinta jika penulis ada di rumah. Terima kasih untuk
kehangatan cinta yang kalian berikan.
3. Universitas Paramadina dan PT Trikomsel Oke yang telah memberikan kesempatan
bagi penulis untuk mengenyam pendidikan tinggi di kampus peradaban ini melalui
program Paramadina Fellowship 2010.
4. Pak Pipip Ahmad Rifai Hasan, Ph.D yang telah menjadi pembimbing penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.
v
5. Mohammad Rahmatul Azis. Sahabat, guru, dan pembimbing pribadi penulis yang
tak pernah henti memberikan support, membantu mencarikan referensi dan teman
berdialog dalam wacana keilmuan kritis.
6. Program studi Falsafah dan Agama, tempat penulis menimba ilmu filsafat dan
agama. Penulis mengucapkan terima kasih kepada para dosen yang telah berbagi
ilmu kepada penulis sehingga penulis bisa merasakan manisnya lautan ilmu lewat
tangan-tangan mereka, yakni; Aan Rukmana, MA, Mas Lukman Hakim, SS.,
M.Ag, M. Subhi-Ibrahim, M.Hum, Fuad Mahbub Siraj, Ph.D, Abdul Muis
Naharong, MA, Prof. Dr. Abdul Hadi WM, Prof. Dr. Sukron Kamil, MA, A. Luthfi
Assyaukanie, Ph.D, Dr. Abdul Moqsith Ghazali, MA, Ihsan Ali-Fauzi, MA,
Novriantoni Kahar, Lc., M.Si, Dr. Asep Usman Ismail, MA, Muhammad Baqir,
MA, Dr. Abdul Muid Nawawi, MA, Rani Anggraeni, MA, mbak Fitri dan mbak
Dwi selaku staf Prodi FA.
7. Keluarga di Asrama Al Mustaqim yang menjadi tempat penulis berbagi suka duka,
canda tawa, tempat diskusi segala macam pemikiran yang tak kenal batas waktu,
serta tempat mencurahkan segala keluh kesah penulis selama empat tahun terakhir.
Fidia Larakinanti, Deti Yulianita, Nida Ulfia, Zahra Rahmani Rahmiyah, Intan
Dewi Karlita, Septi Diah Prameswari, Nurazizah Fadhilah, Asri Nuraeni, Julianti,
Tsamrotul Aniqoh, Winner Fransisca Manik, Nazifatur Rahmi, dan Indah Riadiani.
8. Teman-teman Prodi Falsafah dan Agama 2010; Joko Arizal, Aa Saepuddin, Ahmad
Hayat Fathuroji, Deddy, Elmira Cahyanate, Firman, Fatimah Zahrah, Nurul Annisa
Hamudy, Mahmud, Halim Miftahul Khoiri, Kusnandang, M. Luthfi Ghazali, M.
Sholeh, Sholahuddin, Syaharbanu, Syamsul Rizal, dan Wandi yang telah
mengajarkan penulis arti sesungguhnya kerukunan dalam perbedaan dan wadah
penulis menemukan dialog peradaban.
9. Teman-teman Fellowship 2010: Harumi Kartini, Rona Mentari, Niken Ajar Wulan,
Sherly Annavita, Nimas Ayu, Ayu Melisa, Resti Juliani, Nurmala Dewi, Nayla
Avisha, Yeni Susanti, Aan Andrian, Indra Umbara, Sefchullisan, Hery Prasetyo,
Andri Sumarno, Ardi Ramadhana, Asri Ramadhani, Arnaldi Nasrum, Azam Anas
Furqan, Diky Saputra, Faras Dianda, Farid Kardana, Grio M. Akhir, Gema
Wahyudi, Immanuel A. Cahyono, M. Imam Hidayat, Nazilil Asror, dan Said
Jahasan.
vi
10. Teman-teman HIMAFA Paramadina, Taekwondo Paramadina, KOMPAK
Paramadina, Kafha Paramadina, DKM Paramadina serta kawan-kawan volunteer di
Transparency International Indonesia (TII) dan Peace Women Across The Globe
Indonesia yang telah menorehkan warna-warni berbeda dalam sejarah hidup
penulis.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih terdapat banyak
kekurangan, oleh karena itu penulis menerima dengan terbuka segala saran, kritik dan
masukan yang membangun. Harapan penulis, skripsi ini dapat memberikan manfaat yang
besar bagi khazanah keilmuan islam, serta memperkaya wacana tentang gender dan
perempuan di Indonesia.
Jakarta, Agustus 2014
Penulis,
Fitriyani
vii
ABSTRAK
Universitas Paramadina
Falsafah dan Agama
(2014)
Fitriyani / 210000005
Kepemimpinan Perempuan dalam Islam (Studi Pemikiran M. Quraish Shihab)
(90 + xi)
Skripsi ini membahas pandangan Quraish Shihab mengenai konsep kepemimpinan
perempuan dalam Islam untuk mencari jawaban tentang apakah perempuan dalam ajaran
Islam dibolehkan menjadi pemimpin politik. Quraish Shihab merupakan salah satu ulama
tafsir terbaik yang pernah dimiliki oleh Indonesia. Beliau juga masih tetap aktif menulis dan
berceramah sampai saat ini. Selain itu pandangan-pandangan beliau menjadi pegangan
banyak kalangan umat Islam Indonesia. Perbincangan mengenai kepemimpinan perempuan
dalam konteks Islam merupakan topik yang selalu mengundang kontroversi. Ada yang pro
dan ada yang kontra. Bagi mereka yang kontra terhadap kepemimpinan politik perempuan,
banyak dalih yang diajukan untuk menentangnya. Salah satunya adalah dalil kitab suci, di
mana dalam Al-Quran terdapat ayat yang secara eksplisit sering diartikan bahwa lelaki adalah pemimpin bagi perempuan. Sedangkan yang pro, mereka mengajukan fakta-fakta
dalam sejarah Islam dan penafsiran ajaran Islam yang berbeda yang menunjukkan bahwa
Islam membolehkan perempuan untuk menjadi pemimpin politik atau berkiprah di ranah
publik. Konsep kepemimpinan perempuan dalam Islam juga biasa dirujuk oleh mereka yang
setuju dengannya pada konsep HAM yang memberikan hak sepenuhnya kepada setiap
individu manusia untuk terjun ke wilayah politik praktis. Quraish Shihab sendiri menyatakan
bahwa tidak ada dalil yang valid baik dalam ajaran Islam maupun akal pikiran (alasan
rasional) yang bisa melarang perempuan untuk menjadi seorang pemimpin. Namun demikian
Quraish Shihab menggarisbawahi kewajiban perempuan untuk mengasuh dan memberikan
pendidikan kepada anak-anaknya agar tidak diabaikan jika perempuan menjadi pemimpin
masyarakat. Oleh karena itu Pandangan Quraish Shihab tentang kepemimpinan perempuan
dapat digolongkan sebagai moderat.
Dalam studi ini penulis menggunakan metode historis-kualitatif dan deskriptis-analitis
yaitu penelitian kepustakaan (library research) dengan mempelajari, menggambarkan dan
menganalisis tulisan-tulisan Quraish Shihab baik yang berbentuk buku mau pun hasil
penelitian, dan tulisan-tulisan yang membahas tentang pemikiran Quraish Shihab mengenai
kepemimpinan perempuan, serta buku-buku lain yang relevan dengan topik yang penulis
bahas. Selain itu penulis juga melakukan wawancara (metode interview) dengan Quraish
Shihab untuk lebih memahami dan mendalami pandangan-pandangannya. Studi tentang
kepemimpinan perempuan dalam Islam merupakan salah satu subjek yang masih akan tetap
"menantang" dan menarik karena berkaitan dengan problem bagaimana ajaran agama (Islam)
dihadirkan dan bagaimana kaum Muslim melakukan respon dan terlibat dalam dinamika
sosial-budaya yang semakin kompleks dan terbuka di era globalisasi dewasa ini.
Kata kunci : Pemimpin, Perempuan, Quraish Shihab, Hak, Islam.
Daftar Pustaka: 74 (1985 s.d 2014)
viii
ABSTRACT
Paramadina University
Philosophy and Religion
(2014)
Fitriyani / 210000005
Women Leadership in Islam (A Study of M. Quraish Shihab Thoughts)
(90 + xi)
This thesis discusses the Quraish Shihab view of the concept of female leadership in Islam to
seek an answer about whether women in Islam are allowed to become political leader.
Quraish Shihab is one of the best interpreter of the Qur'an in Indonesia. He also still actively
writes and gives lectures to this date. In addition, his views have had much influence among
Indonesian Muslims. The discourse about women's leadership in Islamic context is a topic
that always invites controversy. There are pros and cons. For those who cons of women's
political leadership, many arguments were filed against it. One of the argument is sciptural,
i.e. there is a verse in the Qur'an often interpreted explicitly that men is leaders of women.
While the pros, they apply the facts in the history of Islam and the different interpretations of
Islam which show that Islam permits women to become political leaders or to engage actively
in the public domain. The concept of female leadership in Islam is also commonly referred to
by those who support it with the concept of human rights that gives full rights to every
individual human being to plunge into the sphere of practical politics. Quraish Shihab has
said that there is no valid argument both in Islamic teaching and reasoning (rational
arguments) which forbid women to become a leader. However, Quraish Shihab underlines the
obligation of women to nurture and educate their children so as not to be ignored if women
become public leaders. Therefore Quraish Shihab's view on women's leadership can be
classified as moderate.
In this study the author uses historical, qualitative, and descriptive-analytical methods
namely library research (library research) to study, describe and analyze the writings of
Quraish Shihab either in the form of books or research reports, and writings that discuss the
views of Quraish Shihab on women leadership, as well as other books that are relevant to the
topics which the author discusses. Moreover, the author also conducted interviews (interview
method) with Quraish Shihab to better understand and explore his views. The study of female
leadership in Islam is one of the subjects that will remain "challenging" and interesting
because it deals with the problem of how religion (Islam) is presented and how the Muslims
responding and engaging in socio-cultural dynamics in increased complex and more open
global world.
Keywords: Leader, Female, Quraish Shihab, Rights, Islam.
Bibliography : 74 (1985 - 2014)
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI
f
q
k
l
m
n
w
h
`
y
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
r
z
s
sy
sh
l
th
zh
gh
=
=
=
=
=
=
=
=
=
=
a
b
t
ts
j
h
kh
d
dz
=
=
=
=
=
=
=
=
=
I. Vokal Pendek: a = _ ; i = -- ; u = _
II. Vokal Panjang:
Bunyi a panjang ditulis ( = fal), bunyi i panjang ditulis ( = khalfa), dan u panjang
ditulis ( = syr), masing-masing dengan tanda garis(-) di atasnya.
Bunyi Rangkap: ay = ; aw =
Kata Sandang
Kata sandang, yang dilambangkan dengan huruf (), menjadi (l), baik ketika diikuti oleh
huruf shamsiyya maupun qamariyya: al-rijl bukan ar-rijl, al-dwn bukan ad-dwn.
x
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ...........................................................................................
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ...............................................................
KATA PENGANTAR ....................................................................................................
ABSTRAK ......................................................................................................................
ABSTRACT ...................................................................................................................
PEDOMAN TRANSLITERASI .....................................................................................
DAFTAR ISI ..................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................................
1.1 Latar Belakang Masalah .....................................................................................
1.2 Rumusan Masalah dan Batasan Masalah ...........................................................
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ...........................................................................
1.3.1 Tujuan Penelitian .......................................................................................
1.3.2 Manfaat Penelitian .....................................................................................
1.3.2.1 Manfaat Teoritis ................................................................................
1.3.2.2 Manfaat Praktis .................................................................................
1.4 Tinjauan Pustaka .................................................................................................
1.5 Metode Penelitian ...............................................................................................
1.6 Sistematika Penulisan .........................................................................................
BAB II TINJAUAN KONSEP KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM ISLAM .
2.1 Konsep Islam ...................................................................................................
2.2 Konsep Kepemimpinan ...................................................................................
2.3 Konsep Perempuan ..........................................................................................
2.4 Konsep Kepemimpinan dalam Islam ...............................................................
2.5 Konsep Perempuan dalam Islam .....................................................................
2.5.1 Perempuan dalam Al-Qur'an......................................................................
2.5.2 Perempuan dalam Hadits ...........................................................................
2.6 Konsep Kepemimpinan Perempuan dalam Islam ............................................
BAB III BIOGRAFI DAN KARYA INTELEKTUAL M. QURAISH SHIHAB ..........
3.1 Biografi M. Quraish Shihab ............................................................................
3.1.1 Latar Belakang Keluarga ...........................................................................
i
ii
iii
vi
vii
viii
ix
1
1
9
9
9
10
10
10
10
12
12
14
14
16
16
17
18
18
20
21
25
25
xi
3.1.2 Latar Belakang Pendidikan .......................................................................
3.1.3 Karir Intelektual dan Politik ......................................................................
3.2. Karya Intelektual M. Quraish Shihab .............................................................
BAB IV PEMIKIRAN M. QURAISH SHIHAB MENGENAI KEPEMIMPINAN
PEREMPUAN DALAM ISLAM ...................................................................................
4.1 Manusia dalam Pandangan M. Quraish Shihab ..............................................
4.2 Perempuan dalam Pandangan M. Quraish Shihab ..........................................
4.3 Pandangan Quraish Shihab Tentang Kepemimpinan Perempuan dalam
Islam ...............................................................................................................
4.4 Tinjauan Kritis Pemikiran M. Quraish Shihab ...............................................
BAB V PENUTUP .........................................................................................................
5.1 Kesimpulan ......................................................................................................
5.2 Saran ................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................................
LAMPIRAN ...................................................................................................................
DAFTAR RIWAYAT HIDUP .......................................................................................
25
27
28
30
34
34
45
50
58
66
66
69
70
76
83
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dewasa ini, pembahasan mengenai gender begitu sering tampil di permukaan,
terutama soal penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, kesadaran perempuan Indonesia
untuk mengangkat derajatnya sudah semakin tumbuh. Hampir di setiap kota di Indonesia
muncul organisasi atau komunitas yang bergerak di isu gender dan perempuan. Contohnya,
Aceh Women For Peace Foundation yang memperjuangkan kesejahteraan perempuan di
Aceh, Fahmina Institute yang aktif mengadakan diskusi mengenai gender di Cirebon, Peace
Women Across The Globe Indonesia yang berpusat di Jakarta juga aktif melakukan
serangkaian kegiatan yang mengusung tema pembebasan perempuan, dan lain-lain. Serta
masih banyak lagi yang lainnya.
Kosakata gender berasal dari bahasa Inggris yang artinya jenis kelamin. Gender adalah
sifat dan prilaku yang dibentuk secara sosial yang disematkan pada perempuan dan laki-laki1.
Konsep gender yang dipahami di Indonesia umumnya mengacu kepada peranan sosial dalam
masyarakat yang dibedakan berdasarkan jenis kelamin. Peranan sosial ini juga tidak serupa di
semua tempat karena disesuaikan oleh keadaan budaya dan tradisi masyarakat setempat.
Dalam kajian di Indonesia, istilah gender sering dikaitkan dengan kata feminin. Istilah
feminin digunakan untuk membedakan konsep gender antara laki-laki dan perempuan.
Feminin merupakan kata serapan dari bahasa inggris feminine yang memiliki makna
perempuan atau bersifat keperempuanan. Feminin diartikan sebagai suatu sifat lemah lembut,
halus dan penuh perasaan yang melekat pada diri perempuan secara kodrati, serta tabu bagi
lelaki untuk memiliki sifat feminin ini.
Gerakan yang mengusung pembebasan perempuan disebut feminisme, yang akar
katanya bersinionim dengan kata feminine. George Ritzer2 menjabarkan tiga gelombang
1Liza Hadiz. kata pengantar dalam buku Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru: Kumpulan Artikel
Prisma (Jakarta: Pustaka LP3ES, 2004) hlm. x-xi.
2George Ritzer. Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Postmodern.
Diterjemahkan oleh Tim Penerbit (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2012) hlm. 779.
2
feminisme awal yang muncul di Amerika Serikat pada dekade 80-an hingga era 90-an.
Gelombang pertama dimulai pada era 1830-an, agendanya berfokus pada perjuangan anti
perbudakan, hak-hak politis perempuan terutama hak untuk memilih. Gelombang pertama ini
berhasil membuat terjadinya konvensi pertama yang membicarakan mengenai hak-hak
perempuan pada tahun 1848 bertempat di Seneca Falls, New York. Konstitusi Amerika
tentang hak pilih perempuan akhirnya diamandemen dengan amandemen ke-19 pada tahun
1920, dengan adanya amandemen ini perempuan diberikan hak pilih untuk memilih dalam
pemilihan umum. Feminisme gelombang kedua (1960-1990) merumuskan ulang mengenai
konsep hubungan antara lelaki dan perempuan dalam konsep gender agar tercapai kesetaraan
ekonomi dan kesetaraan sosial. Feminisme gelombang ketiga menyuarakan aspirasi dari para
perempuan kulit berwarna, lesbian, dan perempuan kelas pekerja yang merupakan respon dari
ide-ide yang digaungkan oleh para perempuan kulit putih yang menyatakan diri sebagai
feminisme gelombang kedua. Feminisme gelombang ketiga ini juga mewakili gagasan dari
pada perempuan dewasa yang akan menjalani abad kedua puluh satu di mana tantangan yang
akan dihadapi jelas berbeda dengan perempuan-perempuan di abad sebelumnya.
Menurut Husein Muhammad, feminisme adalah gerakan yang berusaha
memperjuangkan martabat kemanusiaan dan kesetaraan sosial (gender), yang diarahkan untuk
merubah sistem yang diskriminatif terhadap perempuan3. Yanti Muchtar sebagaimana dikutip
oleh Nuruzzaman, Jalal, dan J. Ardiantoro4 menulis dalam Jurnal Perempuan bahwa ada tiga
pandangan dalam mendefinisikan feminisme. Yang pertama, feminisme adalah teori yang
mempertanyakan pola hubungan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan. Yang kedua
menyatakan bahwa seseorang dapat dikatakan feminis jika pandangan dan pemikirannya
sesuai dengan kategori feminisme yang telah ada sebelumnya, yakni Feminis Radikal,
Feminis Marxis, Feminis Liberal atau Feminis Sosialis. Yang ketiga adalah pandangan yang
berpendapat bahwa feminisme merupakan sebuah gerakan atas dasar kesadaran tentang
penindasan terhadap perempuan yang bergerak untuk melawan penindasan tersebut.
Konstruksi budaya mengenai perempuan tak pernah lepas dari ideologi patriarki yang
menganggap bahwa laki-laki lebih superior daripada perempuan. Penulis mengambil contoh
3Husein Muhammad. Islam Agama Ramah Perempuan: Pembelaan Kiai Pesantren (Yogyakarta: Lkis, 2004)
hlm. 98.
4Nuruzzaman, Jalal, dan J. Ardiantoro. Pengantar Editor dalam buku Islam Agama Ramah Perempuan:
Pembelaan Kiai Pesantren (Yogyakarta: Lkis, 2004) hlm. xxiii.
3
kultur di jazirah Arab dan negara Arab. Di sini penulis membedakan antara jazirah Arab dan
negara Arab, jazirah Arab meliputi semenanjung Arabia dimana agama Islam turun dan
berkembang pertamakali yakni Arab Saudi, sedangkan negara Arab ialah wilayah dimana
negara yang menggunakan bahasa Arab serta kultur universal Arabisme diterapkan dalam segi
sosial kemasyarakatan dan mempengaruhi kebijakan politik pemerintahan seperti di Mesir
dan sekitarnya.
Negara Arab Saudi, negara yang menerapkan syariat Islam secara legal dan formal
dengan menjadikan Islam sebagai agama negara. Negara tersebut dikenal sebagai satu-satunya
negara yang memberlakukan hukum larangan mengemudi bagi perempuan, bahkan
perempuan di Arab Saudi tidak dibolehkan pergi kemanapun tanpa seijin wali atau tanpa
muhrim yang mendampinginya. Hak untuk terjun di bidang politik dan ekonomi bagi kaum
perempuan di Arab Saudi bukanlah suatu hal yang mudah untuk dicapai. Bahkan hingga kini,
perempuan di Arab Saudi tidak diberikan hak politik, baik untuk memilih, ataupun untuk
dipilih5. Adanya aturan bahwa perempuan Saudi boleh memiliki peranan dalam wilayah
publik tanpa menanggalkan kewajiban mereka mengurus rumah tangga membuahkan peran
ganda yang membebani kaum perempuan Saudi.
Tidak berbeda jauh dengan Arab Saudi, negara Arab seperti Mesir memiliki predikat
buruk dalam hal perlakuan terhadap perempuan. Perempuan Mesir diikat dengan begitu
banyak norma sosial dan norma agama. Hak-hak mereka dibatasi. Meski pelayanan medis dan
informasi mengenai kesehatan reproduksi sangat terbuka dan bisa diakses dengan mudah,
namun perlindungan terhadap kaum perempuan di Mesir belum memadai6.
Kesamaan antara jazirah Arab seperti Arab Saudi dan negara Arab seperti Mesir
terletak pada segi kulturalnya, dimana norma agama menjadi panutan dan posisi perempuan
dinomorduakan setelah laki-laki. Kekerasan dalam rumah tangga yang sering dialami
perempuan Mesir mendapat pembenaran dari agama melalui surah An-Nisa ayat 34 yang
berbunyi:
5Quraish Shihab. Perempuan: Dari Cinta sampai Seks dari Nikah Mut'ah sampai Nikah Sunnah dari Bias Lama
sampai Bias Baru (Jakarta: Lentera Hati, 2005) hlm. 378.
6Shereen El Feki. Seks dan Hijab: Gairah dan Intimitas di Dunia Arab yang Berubah diterjemahkan oleh Adi
Toha (Jakarta: Pustaka Alvabet, 2013) 175-176.
4
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan
karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu
maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika
suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita
yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka
di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu,
maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya
Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
Sehingga jika terjadi pemukulan oleh suami terhadap istrinya maka hal tersebut
dianggap wajar dan perempuan yang menjadi korban tak dapat berbuat apapun. Karena
hukum di Mesir tidak ramah terhadap perempuan yang mengalami kasus kekerasan dalam
rumah tangga. Pun bila sang perempuan mengajukan tuntutan cerai, maka akan dipersulit.
Tidak saja dalam proses perceraiannya, bahkan setelah bercerai perempuan Mesir tetap
kesulitan menjalani hidupnya disebabkan oleh sikap masyarakat Mesir yang tidak toleran
terhadap perceraian dikarenakan adanya stereotip janda dalam masyarakat sebagai pemangsa
seksual yang berkeliaran mencari laki-laki untuk memuaskan nafsunya. Yang mendapat
stigma negatif atas terjadinya perceraian tentu saja pihak perempuan, mereka dipandang
sebagai perempuan yang buruk, sedangkan pihak lelaki bisa melenggang dengan tenang dan
menikah lagi7.
Seorang ulama besar Mesir yakni Syekh Muhammad al Ghazali sebagaimana yang
dikutip oleh Husein Muhammad8 mengatakan:Sekalipun dunia sudah berubah, ternyata
hubungan laki-laki dan perempuan berikut hak-hak mereka, baik yang umum maupun yang
khusus belum menempuh jalan yang benar.
Dalam konteks di Indonesia, masalah gender yang melingkupi peran antara laki-laki
dan perempuan sudah terjadi jauh sebelum Islam menjadi agama mayoritas di Indonesia.
7Shereen El Feki. Seks & Hijab: Gairah dan Intimitas di Dunia Arab yang Berubah. Diterjemahkan oleh Adi
Toha. (Tangerang: Alvabet, 2013) hlm. 108-109.
8Husein Muhammad. Islam Agama Ramah Perempuan: Pembelaan Kiai Pesantren. (Yogyakarta: Lkis, 2004)
hlm. 13.
5
Dalam budaya Jawa, kepemilikan atas perempuan merupakan atribut yang wajar dari
kekuasaan9.
Pada era kolonialisme Belanda, berkembang institusi selir di antara para lelaki
Belanda yang bertugas di Indonesia. Selir adalah perempuan yang digauli tanpa dinikahi, hal
ini didorong oleh sedikitnya perempuan Belanda yang datang ke Indonesia, sehingga untuk
memenuhi kebutuhan biologisnya, para lelaki Belanda mengambil perempuan pribumi untuk
digauli yang biasa disebut Nyai10
. Perempuan-perempuan pribumi yang menjadi Nyai ini tak
memiliki kuasa untuk menentukan nasibnya sendiri, bagi perempuan yang berasal dari
kalangan miskin, ia akan diserahkan kepada orang Belanda untuk mendapatkan uang (dijual),
sedangkan bagi perempuan yang berasal dari kalangan menengah dan orangtuanya memiliki
jabatan di pemerintahan kolonial Belanda, ia diserahkan kepada orang Belanda untuk
mengamankan jabatan atau agar orangtuanya bisa naik pangkat11
. Para perempuan ini tak bisa
melakukan apapun untuk menolak keinginan orangtuanya, tidak tersedianya pendidikan bagi
kaum perempuan pada masa itu membuat mereka tak mampu berbicara untuk hak mereka
sendiri. Kehidupan para perempuan pribumi yang menjadi Nyai ini mungkin berubah menjadi
lebih baik dari segi ekonomi karena ditopang oleh pejabat Belanda yang memeliharanya.
Namun setelah ia melahirkan anak dari pejabat tersebut, maka ia akan dibuang dari kehidupan
orang Belanda yang dulu merawat dan menggaulinya. Berkembang luasnya pergundikan ini
disebabkan oleh para pejabat Belanda yang bertugas di Indonesia tidak diperkenankan untuk
menikahi wanita pribumi karena pernikahan mereka tidak akan diakui oleh institusi gereja di
tempat asalnya12
. Maka di sini, nasib perempuan pribumi hanya sebatas pemuas nafsu dan
penghasil keturunan semata.
Pasca kemerdekaan Indonesia, peran perempuan masih terpinggirkan. Meski pada era
Orde Baru ada organisasi Dharma Wanita yang mewadahi istri pegawai negeri dan pegawai
negara di Indonesia, pada kenyataannya organisasi ini dibentuk dengan tujuan agar bisa
9Julia I Suryakusuma. Seksualitas dalam Pengaturan Negara. Dalam Liza Hadiz, ed. Perempuan dalam Wacana
Politik Orde Baru (Jakarta: LP3ES, 2004) hlm. 361.
10Onghokham. Kekuasaan dan Seksualitas: Lintasan Sejarah Pra dan Masa Kolonial. Dalam Liza Hadiz, ed.
Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru (Jakarta: LP3ES, 2004) hlm. 324.
11Linda Christanty. Nyai dan Masyarakat Kolonial Belanda. Dalam Liza Hadiz, ed. Perempuan dalam Wacana
Politik Orde Baru (Jakarta: LP3ES, 2004) hlm. 340.
12Linda Christanty. Nyai dan Masyarakat Kolonial Hindia Belanda. Dalam Liza Hadiz, ed. Perempuan dalam
Wacana Politik Orde Baru (Jakarta: LP3ES, 2004) hlm. 339.
6
membentuk seorang istri yang patuh dan taat kepada suami13
. Meski demikian, Dharma
Wanita ampuh menjadi tempat keluh kesah para istri pejabat negara yang mendapatkan
perlakuan kasar dari suaminya hingga pada tahun 1983, organisasi Dharma Wanita berhasil
mendesak pemerintah untuk mengesahkan sebuah peraturan yang membatasi pejabat negara
untuk memperlakukan istrinya dengan semena-mena. Peraturan Pemerintah Nomor 10 atau
yang lebih popular di sebut PP 10 merupakan pelengkap Undang-Undang Perkawinan yang
disahkan pada tahun 1974. Dengan adanya PP 10 ini, Pegawai Negeri yang hendak bercerai
atau mengambil istri kedua harus mendapatkan izin dari atasannya, perceraian dapat membuat
pegawai negara yang bersangkutan mendapatkan sanksi atau pemecatan jika alasan bercerai
tidak sesuai dengan PP 1014
. Sekilas, PP 10 ini tampak menguntungkan perempuan, namun
dalam implementasinya, timbul masalah-masalah baru yang membuat para istri pegawai
negara mengalami penderitaan dalam bentuk lain. Di antaranya ialah terjebak dalam
perkawinan sandiwara, tidak mendapatkan nafkah batin, namun tak bisa bercerai karena
konsekuensinya ialah suami akan kehilangan jabatan dan hidup mapan yang mereka rasakan
akan berakhir. Akhirnya kaum perempuan ini tetap diam demi melanggengkan karir jabatan
suaminya dan demi masa depan anak-anaknya. Kembali, perempuan tak memiliki daya untuk
memperjuangkan nasib mereka sendiri. Karena meskipun ada di antara mereka berhasil
membebaskan diri dari belenggu perkawinan yang tidak bahagia, maka mereka akan
mendapatkan citra negatif sebagai seorang janda cerai15
.
Begitu kompleks permasalahan tentang perempuan ini juga menarik perhatian
kalangan ulama Islam di Indonesia untuk ikut merumuskan permasalahan dan mencari
solusinya dari sudut pandang Islam. Sebut saja Kiai Husein Muhammad yang mengaku
tertarik untuk mencari tahu lebih dalam permasalahan perempuan dalam Islam setelah
mengikuti seminar tentang perempuan dalam pandangan agama-agama pada tahun 199316
.
Sejak itu Husein Muhammad mulai menelaah kitab-kitab kuning yang menjadi rujukan dalam
13Julia I Suryakusuma. Seksualitas dalam Pengaturan Negara. Dalam Liza Hadiz, ed. Perempuan dalam
Wacana Politik Orde Baru (Jakarta: LP3ES, 2004) hlm. 359.
14Julia I Suryakusuma. Seksualitas dalam Pengaturan Negara. Dalam Liza Hadiz, ed. Perempuan dalam
Wacana Politik Orde Baru (Jakarta: LP3ES, 2004) hlm. 361-362.
15Julia I Suryakusuma. Seksualitas dalam Pengaturan Negara. Dalam Liza Hadiz, ed. Perempuan dalam
Wacana Politik Orde Baru (Jakarta: LP3ES, 2004) hlm. 367.
16Nuruzzaman, Jalal, dan J. Ardiantoro. Pengantar Editor dalam buku Islam Agama Ramah Perempuan:
Pembelaan Kiai Pesantren (Yogyakarta: Lkis, 2004) hlm. xxxii.
7
pendidikan di kalangan pesantren, dan beliau menemui cukup banyak bias gender yang ada
dalam teks-teks tersebut.
Almarhum KH. Abdurrahman Wahid atau yang akrab disapa Gus Dur memandang
perempuan sebagai mahluk yang luar biasa rumit dari segi psikologi, karena faktor emosinya
yang lebih bervariasi dibandingkan laki-laki. Namun di situlah menurut Gus Dur, perempuan
memiliki potensi untuk membuat capaian yang lebih besar daripada pria17
.
M. Quraish Shihab, yang pemikirannya dijadikan topik kajian dalam skripsi ini
memandang perempuan sebagai makhluk yang tercipta untuk menyempurnakan laki-laki.
Maka dari itu, perempuan wajib dihormati dan dicintai. Karena ketidakhadiran perempuan
dalam dunia ini akan menyebabkan kehancuran bagi laki-laki18
.
Salah satu hal yang sering diperdebatkan ketika berbicara tentang perempuan ialah
apakah perempuan bisa menjadi pemimpin suatu kelompok yang didalamnya mayoritas laki-
laki. Pembicaraan mengenai persoalan kepemimpinan perempuan di Indonesia mulai
menghangat ketika Megawati Soekarnoputri mencalonkan diri menjadi presiden. Banyak
pihak yang menentangnya bukan karena meragukan kemampuan Megawati untuk memimpin,
melainkan karena jenis kelaminnya perempuan. Meski pada Pemilu tahun 1999 Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan yang dipimpin oleh Megawati memenangkan suara
terbanyak, namun hal tersebut tidak otomatis membuat Megawati menduduki jabatan
Presiden. Sebagian ulama bersikeras menentangnya, bahkan kalangan ulama NU pun menjadi
terpecah saat mendiskusikan tentang apakah mungkin perempuan menjadi pemimpin19
.
Beberapa ulama yang menentang perempuan menjadi pemimpin biasanya bersandar
pada Quran Surat An-Nisa ayat 34 berikut ini:
17M. N Ibad. Kekuatan Perempuan dalam Perjuangan Gus Dur-Gus Miek (Yogyakarta: Pustaka Pesantren,
2011) hlm. 137.
18Quraish Shihab. Perempuan: Dari Cinta sampai Seks dari Nikah Mut'ah sampai Nikah Sunnah dari Bias
Lama sampai Bias Baru (Jakarta: Lentera Hati, 2005) hlm. x.
19M. N Ibad. Kekuatan Perempuan dalam Perjuangan Gus Dur-Gus Miek (Yogyakarta: Pustaka Pesantren,
2011) cat. kaki nomor 1 hlm. 89-90.
8
Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan
sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita)
Abbas Mahmud al-Aqqad menjadikan ayat ini sebagai afirmasi bahwa ada perbedaan
mendasar antara laki-laki dan perempuan yang bersifat alamiah, yang dia sebut sebagai asas
pembawaan alamiah dan asas tanggung jawab sosial. Oleh karena itu, hak atas kepemimpinan
bersumber dari kesanggupan alamiah yang dimiliki oleh jenis kelamin laki-laki. Maka, bagi
al-Aqqad, hak atas kepemimpinan hanya bisa didapat oleh laki-laki20
. Selain itu, beberapa ahli
fiqih klasik seperti Ibn Hazm, Abu Ya'la al Farra, dan al-Mawardi dalam menetapkan hukun
tentang kepemimpinan mereka mensyaratkan agar seorang kepala negara tidak boleh
perempuan. Alasannya ialah bahwa tugas seorang pemimpin sangatlah berat (menjaga
eksistensi agama, ijtihad, mengimami shalat, dan lain-lain)21
.
Husein Muhammad, dalam menafsirkan ayat ini meletakkannya dalam konteks sosial
pada masa al-Quran diturunkan, dimana masyarakat Quraisy menempatkan perempuan
dalam kelas sosial yang rendah bahkan hampir tak memiliki hak, maka ayat ini berbicara
tentang realitas sosial yang ada dalam masyarakat Arab pada masa itu yang dihadapi oleh
umat Islam. Husein Muhammad menyatakan bahwa ayat ini bukanlah ayat normatif yang
berlaku di segala zaman, karena Al-Quran sendiri tidak mengharuskan laki-laki menjadi
pemimpin baik dalam ranah domestik maupun ranah publik22
.
Adapun Quraish Shihab menafsirkan ayat ini dalam konteks kepemimpinan dalam
rumah tangga, walaupun ia tak menutup kemungkinan bahwa perempuan juga bisa menjadi
kepala rumah tangga. Gus Dur sendiri dalam menafsirkan ayat ini berpegang pada pendapat
bahwa laki-laki memiliki kelebihan dalam hal kekuatan fisik dibandingkan wanita sehingga
laki-laki bertanggung jawab atas keselamatan perempuan, karena tanggung jawabnya inilah
20Abbas Mahmud al-Aqqad. Filsafat Al-Qur'an: Filsafat, Spiritual dan Sosial dalam Isyarat Al-Qur'an (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1986) hlm. 73-74.
21Sukron Kamil. Pemikiran Islam Tematik: Agama dan Negara, Demokrasi, Civil Society, Syariah dan HAM,
Fundamentalisme, dan Antikorupsi (Jakarta: Kencana, 2013) hlm. 194-195.
22Husein Muhammad. Islam Agama Ramah Perempuan: Pembelaan Kiai Pesantren (Yogyakarta: Lkis, 2004)
hlm. 91.
9
laki-laki dijadikan sebagai pemimpin. Sedangkan dari segi yang lainnya tidak ada perbedaan
antara laki-laki maupun perempuan23
.
Sementara itu, Syaikh Mahmud Syaltut yang merupakan mantan pemimpin tertinggi
Al Azhar seperti yang dikutip oleh Quraish Shihab24
menyatakan bahwa Allah telah
menganugerahkan potensi yang cukup kepada laki-laki dan perempuan untuk mengemban
tanggung jawab sosial dan kemanusiaan. Potensi ini juga termasuk dalam hal kepemimpinan.
Karena pada akhirnya setiap manusia akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya
kepada Allah SWT, maka tak ada alasan bagi pelarangan seorang perempuan menjadi
pemimpin.
Keberagaman pendapat dari para ulama dan cendekiawan muslim inilah yang
kemudian menarik minat penulis untuk mengangkat tema tentang kepemimpinan perempuan
dalam Islam yang dikhususkan kepada pemikiran M. Quraish Shihab. Penulis memilih
Muhammad Quraish Shihab untuk dijadikan sebagai objek pembahasan dalam skripsi ini
dengan alasan bahwa beliau adalah seorang ulama tafsir terkemuka di Indonesia dan
pemikiran-pemikirannya jauh lebih terbuka dibandingkan kebanyakan ulama di negeri ini.
Sebagai ulama, beliau juga tidak hanya giat berdakwah, namun terjun langsung dalam
pemerintahan dengan menjabat sebagai Menteri Agama pada tahun 1998. Beliau juga pernah
menjabat sebagai Rektor IAIN Jakarta selama dua periode dan pernah pula menjabat sebagai
Ketua MUI Pusat. Semua kesibukan dan aktifitas dalam kesehariannya tidak menghalani
beliau untuk tetap produktif menulis. Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah Tafsir
al-Mishbah. Tafsir al-Mishbah di tulis dalam bahasa Indonesia, sehingga memudahkan
masyarakat muslim Indonesia untuk memahami makna yang terkandung dalam al-Quran
melalui Kitab Tafsir al-Mishbah tanpa harus menerjemahkan dulu tafsirannya dari bahasa
lain. Inilah salah satu keunggulan kitab tafsir karangan Quraish Shihab dibandingkan kitab
tafsir lainnya yang beredar di Indonesia25
.
23M. N Ibad. Kekuatan Perempuan dalam Perjuangan Gus Dur-Gus Miek (Yogyakarta: Pustaka Pesantren,
2011) hlm. 57-58.
24Quraish Shihab. Perempuan: Dari Cinta sampai Seks dari Nikah Mut'ah sampai Nikah Sunnah dari Bias
Lama sampai Bias Baru (Jakarta: Lentera Hati, 2005) hlm. 7.
25Naqiyah Mukhtar. Kepala Negara Perempuan Muslimah: Analisis Wacana Terhadap Tafsir Quraish Shihab.
Dimuat dalam Komunika, Jurnal Dakwah dan Komunikasi Vol. 5 No. 2 STAIN Purwokerto tahun 2011.
10
1.2 Rumusan Masalah dan Batasan Masalah
Berdasarkan uraian yang penulis paparkan dalam latar belakang, muncullah permasalahan
mengenai kepemimpinan perempuan dilihat dari sudut pandang agama Islam. Posisi
perempuan yang subordinat dibanding laki-laki menyulitkannya untuk dapat memegang
tampuk kepemimpinan atas laki-laki. Adapun batasan masalahnya ialah persoalan
kepemimpinan perempuan dari sudut pandang agama Islam yang dikhususkan kepada
pemikiran M. Quraish Shihab sebagai salah satu ulama tafsir Indonesia yang cukup terkenal
dan diakui keahliannya dalam ilmu agama Islam. Adapun rumusan masalahnya ialah sebagai
berikut.
1. Bagaimanakah latar belakang sosial dan intelektual M.Quraish Shihab?
2. Bagaimanakah pandangan Quraish Shihab mengenai perempuan?
3. Bagaimanakah Quraish Shihab memandang persoalan kepemimpinan perempuan?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Dari permasalahan yang diuraikan di rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini
sesungguhnya ialah untuk mengetahui pandangan M. Quraish Shihab mengenai
kepemimpinan perempuan dalam Islam. Adapun tujuan penelitiannya secara khusus ialah
untuk mengetahui:
1. Latar belakang sosial dan intelektual Quraish Shihab
2. Pandangan Quraish Shihab tentang perempuan
3. Pemikiran Quraish Shihab mengenai persoalan kepemimpinan perempuan dalam
Islam
1.3.2 Manfaat Penelitian
Dengan hadirnya skripsi ini, penulis mengharapkan ada manfaat yang bisa dihasilkan.
Diantaranya ialah manfaat teoritis dan manfaat praktis.
11
1.3.2.1 Manfaat Teoritis
Dari segi teoritis, penulis mengharapkan skripsi ini bisa menjadi kontribusi dalam
mengubah pandangan masyarakat yang kurang positif terhadap kepemimpinan perempuan
dalam Islam. menambah khazanah keilmuan Islam, khususnya kajian tentang perempuan dan
pemikiran Quraish Shihab. Juga memperkaya referensi tentang pembahasan gender di
kalangan umat Islam.
1.3.2.2 Manfaat Praktis
Dari segi manfaat praktis, penulis mengharapkan skripsi ini bisa menjadi acuan studi
dengan fokus kajian perempuan di Universitas Paramadina, mengingat bahwa studi yang
membahas mengenai gender dan perempuan masih jarang dibahas di kampus ini.
1.4 Tinjauan Pustaka
Salah satu tulisan yang pernah diterbitkan mengenai pandangan Quraish Shihab
tentang pemimpin perempuan adalah tulisan dari Naqiyah Mukhtar (Dosen Tetap STAIN
Purwokerto) yang dimuat dalam jurnal Komunika, terbit pada tahun 2011. Tulisannya
berjudul Kepala Negara Perempuan Muslimah: Analisis Wacana terhadap Tafsir Quraish
Shihab. Dalam tulisannya ini, Naqiyah Mukhtar menganalisa tafsiran Quraish Shihab
terhadap surat An Nisa ayat 34 dalam berbagai karya berbeda yang pernah ditulis oleh
Quraish Shihab, yakni Membumikan Al-Quran, Wawasan Al Quran, Tafsir Al Mishbah, dan
Perempuan. Dengan menggunakan metode analisis wacana, Naqiyah Mukhtar menemukan
ada inkonsistensi antara karya Quraish Shihab sebelum dan sesudah tahun 2000. Quraish
Shihab menafsirkan kata ar Rijal dalam Tafsir Al Mishbah yang terbit pada tahun 2000
sebagai laki-laki secara umum, sedangkan dalam karya sebelumnya yakni Wawasan Al
Quran (terbit 1996) dan Membumikan Al Quran ( terbit 1992) ia memaknai kata tersebut
sebagai suami, hal yang sama ia kemukakan dalam buku Perempuan (2005), bahwa ar Rijal
harus dimaknai sebagai suami. Naqiyah Mukhtar mengungkap suatu kemungkinan bahwa
pemaknaan yang berbeda dari kata ar Rijal dalam Al Mishbah, dibandingkan karya sebelum
dan sesudahnya mengindikasikan ketidaksetujuan Quraish Shihab terhadap wacana
kepemimpinan Megawati Soekarnoputri yang sedang menjadi perbincangan hangat di
kalangan intelektual muslim, dimana isu tersebut mencuat bertepatan dengan waktu Al
Mishbah ditulis dan diterbitkan.
12
Perbedaan Skripsi ini dengan karya Naqiyah Mukhtar tersebut terletak pada kekuatan
sumber yang digunakan, Naqiyah Mukhtar hanya mendasarkan pada karya-karya Quraish
Shihab yang telah diterbitkan dan mengungkap beberapa kemungkinan. Sedangkan penulis
menyusun skripsi ini dengan mewawancarai langsung objek yang bersangkutan yakni Quraish
Shihab untuk menanyakan pandangannya mengenai konsep kepemimpinan perempuan dalam
Islam. Bila Naqiyah Mukhtar hanya melakukan analisis wacana terhadap penafsiran Quraish
Shihab mengenai surah an Nisa ayat 34, penulis menyusun skripsi ini dengan menganalisa
pandangan Quraish Shihab mengenai perempuan terlebih dulu melalui tafsirannya terhadap
ayat-ayat lain yang diperkuat dengan beberapa hadits dan wawancara langsung yang
dilakukan oleh penulis. Untuk mendapatkan gambaran bagaimana sebenarnya Quraish Shihab
memandang sosok perempuan hingga pemikirannya tentang kepemimpinan perempuan bisa
dijabarkan.
Beberapa tulisan lain mengenai pandangan-pandangan Quraish Shihab tentang
masalah sehari-hari juga pernah dibuat. Salah satunya adalah skripsi dari salah satu
mahasiswa di Fakultas Dakwah IAIN Walisongo bernama Supriyati yang mengangkat topik
Jilbab Menurut Quraish Shihab dan Implikasinya terhadap Bimbingan Muslimah dalam
Berbusana. Skripsi tersebut menjabarkan poin-poin mengenai konsep aurat dan jilbab yang
ada dalam buku berjudul Jilbab Pakaian Wanita Muslimah karya Quraish Shihab.
Tulisan lain yang mengutip pendapat Quraish Shihab tentang perempuan adalah milik
Dr. Ajat Sudrajat, seorang Dosen Filsafat Sejarah di Universitas Negeri Yogyakarta yang
berjudul Beberapa Persoalan Perempuan Dalam Islam, beliau mengutip pandangan Quraish
Shihab mengenai kepemimpinan perempuan dalam rumah tangga dan juga negara secara
sekilas dalam salah satu penjelasan makalahnya.
Perbedaan tulisan-tulisan tersebut dengan tema yang penulis angkat ialah bahwa
dalam skripsi ini, penulis tidak hanya sekedar mengutip, namun membedah pemikiran
Quraish Shihab tentang kepemimpinan perempuan dalam Islam secara runut dan mendalam.
Runut dalam arti berurutan, yakni dipaparkan terlebih dulu pandangan Quraish Shihab
mengenai perempuan, juga pendapat beliau tentang kepemimpinan, kemudian baru
menjabarkan kepemimpinan perempuan dalam Islam menurut Quraish Shihab. Mendalam,
karena apa yang disampaikan dalam skripsi ini tidak hanya sekedar mendeskripsikan
pandangan Quraish Shihab, namun juga meninjau secara kritis pandangan Quraish Shihab
mengenai Kepemimpinan Perempuan dalam Islam.
13
Setelah mendeskripsikan pandangan Quraish Shihab, penulis menyajikan analisis
kritis dari setiap pandangan yang dikemuakan oleh Quraish Shihab dengan cara
membandingkan pendapat tersebut dengan pendapat-pendapat dari intelektual lain, baik
intelektual yang muslim maupun non-Muslim. Penulis dapat memastikan bahwa karya tulis
ini bebas dari plagiasi dan memiliki diferensiasi dengan karya sejenis yang juga membahas
tokoh yang sama.
1.5 Metode Penelitian
Metode Penelitian ialah suatu cara kerja yang dilakukan untuk memperoleh
pengetahuan yang dimulai dengan merumuskan masalah hingga menarik kesimpulan26
.
Adapun metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini ialah kajian pustaka (library
research) dengan menggabungkan sumber-sumber tertulis baik berupa buku, makalah,
ataupun artikel di media massa yang sesuai dengan objek kajian penulis yakni kepemimpinan
perempuan dalam Islam menurut pandangan Quraish Shihab. Kemudian dianalisis dengan
cermat untuk memperoleh sebuah pemahaman baru mengenai konteks kepemimpinan
perempuan dalam Islam.
1.6 Sistematika Penulisan
BAB 1, merupakan pendahuluan yang berisi uraian latar belakang yang memuat
alasan-alasan mengapa penulis memilih topik kepemimpinan perempuan untuk dijadikan
skripsi, rumusan dan batasan masalah membahas mengenai fokus kajian yang mencakup
pemikiran Quraish Shihab tentang kepemimpinan perempuan, tujuan dan manfaat penelitian
baik secara teoritis maupun praktis, tinjauan pustaka yang menyajikan tulisan-tulisan sejenis
yang membahas pemikiran Quraish Shihab serta diferensiasi dengan topik yang diangkat oleh
penulis, metode penelitian yang memaparkan metodologi pengambilan informasi dan data
dalam penyusunan skripsi ini, dan sistematika penulisan yang menerangkan secara singkat
pembahasan bab per bab dalam skripsi ini.
BAB 2, membahas tinjauan konsep kepemimpinan perempuan dalam Islam. Di sini
akan dijelaskan pengertian Islam, kepemimpinan, perempuan, konsep feminisme, konsep
kepemimpinan dalam Islam, perempuan dalam pandangan Islam, dan konsep kepemimpinan
perempuan dalam Islam.
26Cik Hasan Bisri & Eva Rufaidah. Kata Pengantar dalam buku Model Penelitian Agama dan Dinamika Sosial
(Jakarta: Rajawali Pers, 2006) hlm. vi.
14
BAB 3, merupakan biografi M.Quraish Shihab yang berisi riwayat hidup dan rekam
jejak sosial intelektual beliau dalam kiprahnya sebagai ulama tafsir di Indonesia. Juga akan
dipaparkan karya-karya intelektual yang telah dihasilkan selama kurun waktu kehidupannya.
BAB 4, merupakan isi utama yang membahas pemikiran M. Quraish Shihab tentang
konsep kepemimpinan perempuan dalam Islam. Diawali dengan penjelasan pandangan
Quraish Shihab tentang perempuan, pandangannya mengenai konsep kepemimpinan, dan
tema utama yakni kepemimpinan perempuan dalam Islam. Kemudian di akhir pembahasan
disajikan tinjauan kritis atas pemikiran Quraish Shihab mengenai kepemimpinan perempuan
dalam Islam dengan konteksnya di Indonesia masa kini.
BAB 5, berisi kesimpulan dan penutup. Di sini akan disajikan jawaban-jawaban dari
pertanyaan yang ada di rumusan masalah. Kemudian di perkaya dengan saran dari penulis
terkait wacana tentang perempuan.
15
BAB II
TINJAUAN KONSEP KEPEMIMPINAN PEREMPUAN DALAM ISLAM
Menurut J. Sudarminta, konsep adalah suatu representasi abstrak dan umum tentang
sesuatu yang bersifat mental, merupakan medium yang menghubungkan subjek penahu
dengan objek yang diketahui, yakni pikian dan kenyataan1. Dalam bab ini, akan dipaparkan
tentang konsep kepemimpinan perempuan dalam Islam. Dengan lebih rinci penulis
menghadirkan konsep dari setiap kata yang tercantum dalam judul skripsi ini, yakni Islam,
kepemimpinan, perempuan dan juga konsep kepemimpinan dalam Islam dan konsep
perempuan dalam Islam. Hal ini bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam
atas semua konsep yang terkandung dalam kalimat kepemimpinan perempuan dalam Islam.
2.1 Konsep Islam
Kata Islam berasal dari bahasa Arab salama dari akar kata salima yang memiliki arti
menyelamatkan, pasrah, tunduk, berserah diri2. Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi
Muhammad SAW. Menurut ajaran Islam, sebelum Nabi Muhammad telah hadir nabi-nabi
lainnya yang membawa ajaran dan seruan untuk menyembah Allah SWT seperti Nabi Nuh
AS, Nabi Ibrahim AS, Nabi Musa AS, dan Nabi Isa AS. Ajakan yang mereka bawa adalah
untuk menyembah hanya kepada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Muhammad Isa Nuruddin,
seorang filosof berkebangsaan Swiss sebagaimana yang dikutip oleh Mohammad Monib dan
Fery Mulayana3 menyatakan bahwa Islam adalah konsep agama yang paling sempurna dari
keseluruhan ajaran agama yang dibawa oleh Nabi Nuh AS hingga Nabi Isa AS. Sementara itu,
Nurcholish Madjid mengungkapkan bahwa heterogenitas agama yang ada di dunia ini
menjadi alasan logis mengapa ajaran Islam diturunkan ke bumi. Islam hadir untuk
menyempurnakan ajaran-ajaran agama sebelumnya, mengukuhkan tauhid kepada umat
1J. Sudarminta. Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta: Kanisius, 2002) hlm. 87.
2Nanang Tahqiq. Islam Agama Pasrah dalam Tim Penerbit Dian Rakyat, ed. Mengenal Islam Jalan Tengah:
Buku Daras Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi (Jakarta: Dian Rakyat, 2012) hlm. 9.
3Mohammad Monib & Fery Mulyana. Pelita Hati Pelita Kemanusiaan (Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009) hlm.
317.
16
manusia, dan meluruskan kesalahpahaman yang terjadi di agama-agama sebelumnya karena
kebodohan manusia itu sendiri4.
Nanang Tahqiq mengungkapkan bahwa Islam yang dipahami oleh masyarakat muslim
pada umumnya adalah sesuai dengan apa yang tercantum dalam hadits Rasul SAW sebagai
berikut.
Melalui otoritas Abu 'Abd al-Rahman 'Abdullah, putra Umar bin Khattab berkata:
Aku dengar Rasulullah bersabda, Islam telah dibangn di atas lima (tiang): bersaksi tiada
Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan-Nya, mendirikan sholat, membayar zakat, pergi
haji dan puasa ramadhan. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)5.
Nurcholish, mendefinisikan kata Islam sebagai suatu sikap tunduk dan pasrah kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Oleh sebab itu, masih menurutnya, jika dikembalikan pada asal
muasalnya, semua agama mengajarkan ketundukan dan kepasrahan. Meski nama Islam baru
muncul pada masa Nabi Muhammad SAW, pada dasarnya agama-agama samawi yang
dibawa oleh para Nabi sebelumnya juga bisa disebut Islam. Karena mengajarkan ketundukan
dan kepasrahan hanya kepada satu Tuhan6. Bagi Quraish Shihab, kata Islam dimaknai sebagai
sebuah perdamaian. Seperti yang tercantum dalam ucapa Assalamu 'Alaikum (damai untuk
anda), melalui kalimat ini Islam mendambakan kedamaian bagi diri sendiri dan orang lain.
Lebih lanjut Quraish Shihab menyatakan bahwa perdamaian merupakan salah satu ciri utama
agama Islam yang lahir dari pandangan ajaran tentang Allah Tuhan Yang Maha Esa. Di dalam
hadits Rasulullah SAW juga disebutkan bahwa ciri seorang muslim adalah dia yang membuat
orang lain merasa damai dari gangguan lidah dan tangannya7.
Quraish Shihab juga menolak pandangan yang menyatakan bahwa syariat Islam
mewajibkan perempuan untuk diam di dalam rumah. Menurutnya, perempuan yang
4Mohammad Monib & Fery Mulyana. Pelita Hati Pelita Kemanusiaan (Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009) hlm.
145.
5Nanang Tahqiq. Islam Agama Pasrah dalam Tim Penerbit Dian Rakyat, ed. Mengenal Islam Jalan Tengah:
Buku Daras Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi (Jakarta: Dian Rakyat, 2012) hlm. 14.
6Mohammad Monib & Fery Mulyana. Pelita Hati Pelita Kemanusiaan (Jakarta: Pustaka Intermasa, 2009) hlm.
320-321.
7Quraish Shihab. Wawasan Al-Qur'an: Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat (Bandung: Mizan, 1996)
hlm. 378.
17
semestinya dikurung di dalam rumah ialah mereka yang jika dibiarkan keluar rumah maka
akan berbuat kerusakan. Akan tetapi, bila keluarnya si perempuan dengan tujuan baik dan
tidak melakukan tindakan yang dapat menganggu kedamaian dalam masyarakat, maka tak
seharusnya perempuan itu dikurung. Quraish Shihab memaknai al-Quran sebagai petunjuk
agama Islam harus dipahami dalam konteks dan sebab-sebab turunnya sebuah ayat, agar kita
terhindar dari sebuah penghakiman terhadap sesama manusia karena menganggap sebuah
interpretasi terhadap ayat al-Quran berlaku di segala zaman. Islam yang dipahami oleh
Quraish Shihab adalah ajaran yang membawa kemaslahatan bagi seluruh umat manusia, baik
laki-laki maupun perempuan8.
2.2 Konsep Kepemimpinan
Secara umum, kepemimpinan adalah kemampuan yang dimiliki oleh seorang individu
sehingga dapat mempengaruhi, mendorong, menggerakkan orang lain agar dapat berbuat
sesuatu demi mencapai tujuan tertentu. Menurut Mangunhardjana seperti yang dikutip oleh
Baharuddin dan Umiarso, kepemimpinan berasal dari kata dasar pemimpin. Dalam Bahasa
Inggris, kepemimpinan dinamakan leadership, asal katanya adalah leader, dari akar kata to
lead yang memiliki makna bergerak lebih awal, berjalan di awal, mengambil langkah awal,
berbuat paling dulu, memelopori, membimbing, menuntun, mengarahkan pikiran atau
pendapat orang lain, dan menggerakkan orang lain melalui pengaruhnya. Hendiyat Soetopo
dan Waty Soemanto mendefinisikan kepemimpinan sebagai sebuah kegiatan untuk
membimibing suatu golongan atau kelompok dengan cara sedemikian rupa hingga tercapai
tujuan bersama dari kelompok tersebut. J. Salusu mengartikan kepemimpinan sebagai
kekuatan dalam memengaruhi orang lain agar ikut serta dalam mencapai tujuan umum9.
Jadi, dari penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah suatu
kemampuan untuk mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
Kepemimpinan bisa terjadi sebagai bawaan lahir seseorang atau bisa juga dipelajari.
8Wawancara dengan Quraish Shihab.
9Baharuddin & Umiarso. Kepemimpinan Pendidikan Islam: Antara Teori dan Praktik (Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2012) hlm. 47.
18
2.3 Konsep Perempuan
Membicarakan tentang perempuan, tentunya kita tak bisa melepaskan diri dari
pasangan jenisnya yakni laki-laki. Ada beberapa konsep yang mengatur hubungan antar dua
jenis kelamin ini. Salah satunya adalah teori nature dan teori nurture10
. Teori nature
menyatakan bahwa secara biologis perempuan dan lelaki memiliki perbedaan sejak lahir
dimana perbedaan ini tidak bisa dipertukarkan antara satu sama lain, contohnya, perempuan
mengalami menstruasi, melahirkan dan menyusui sedangkan laki-laki tidak. Perbedaan ini
menjadikan lelaki sering menjadi tokoh utama dalam kehidupan berkeluarga dan
bermasyarakat, karena laki-laki dianggap lebih potensial untuk mengemban tugas-tugas
kemasyarakatan. Keadaan biologis perempuan dianggap sebagai kelemahan yang membatasi
ruang gerak mereka, sehingga ia tak mampu mengemban tugas-tugas sosial kemasyarakatan.
Sedangkan teori nurture menyatakan bahwa perbedaan peran dalam masyarakat antara kedua
jenis kelamin ini bukan disebabkan oleh perbedaan biologis, namun lebih banyak disebabkan
oleh bangunan kultural yang melekat dalam masyarakat. Peran sosial yang diberikan oleh
teori nature ditolak oleh penganut teori nurture, karena hal tersebut bukanlah kehendak
Tuhan, ajaran agama, dan bukan pula karena faktor biologis, melainkan karena konstruksi
budaya dalam masyarakat yang memandang perempuan lebih lemah dari laki-laki.
Selain teori nature dan teori nurture, ada pula konsep gender dan seks yang
membedakan antara lelaki dan perempuan. Prinsip dari konsep gender dan seks kurang lebih
sama dengan dua teori sebelumnya. Awalnya kata gender dipadankan dengan kata seks yang
merujuk pada perbedan jenis kelamin. Hingga kemudian muncul karya dari Charlotte Perkins
Gilman Women and Economics, yang menciptakan suatu konsep pembedaan seks yang
berlebihan untuk merujuk kepada hal-hal yang sekarang ini disebut gender11. Nasaruddin
Umar membatasi dua pengertian konsep ini dengan mengatakan bahwa gender adalah tentang
10Ajat Sudrajat. Beberapa Persoalan Perempuan dalam Islam. Makalah pdf diunduh dari
http://staff.uny.ac.id/dosen/prof-dr-ajat-sudrajat-mag diakses pada 25 Maret 2014 pukul 11.30 WIB. hlm. 1-2.
11George Ritzer. Teori Sosiologi: Dari Sosiologi Klasik Sampai Perkembangan terakhir Postmodern.
Diterjemahkan oleh Saut Pasaribu, Rh. Widada, dan Eka Adinugraha. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012) cat.
kaki hlm. 775.
19
feminitas dan maskulinitas sedangkan konsep seksual adalah perbedaan berdasarkan
komposisi kimia dalam tubuh12
.
Oleh sebab itu, pembedaan terhadap perempuan dibandingkan dengan laki-laki lebih
bersifat budaya daripada kodrati. Yang kemudian membuahkan peran berbeda antar dua jenis
kelamin ini di masyarakat. Adapun penjelasan lebih lanjut mengenai perempuan dalam Islam
akan dijabarkan pada pembahasan selanjutnya.
2.4 Konsep Kepemimpinan dalam Islam
Secara etimologis, kepemimpinan dalam Islam sering disebut sebagai khilafah,
imamah atau imarah. Ketiga istilah tersebut memiliki makna yang sama, yaitu daya
memimpin, kualitas seorang pemimpin, atau tindakan dalam memimpin. Secara terminologi,
kepemimpinan diartikan sebagai suatu kemampuan untuk mengajak orang lain agar mencapai
tujuan-tujuan tertentu yang telah ditetapkan13
. Penulis hanya akan menjelaskan secara lebih
rinci mengenai term khalifah.
Kata Khalifah, akar katanya terdiri dari tiga huruf, yaitu kha, lamdan fa. Terma
khalifah ini memiliki arti mengganti kedudukan, belakangan, dan perubahan. Pengertian
mengganti bisa diartikan sebagai pergantian generasi, atau penggantian kedudukan pemimpin
untuk periode yang akan datang. Dari akar kata tersebut, ada dua bentuk kata kerja berbeda
yang ditemukan dalam Al-Quran, yaitu khalafa-yakhlifu yang dipergunakan untuk makna
mengganti, dan kata kerja istakhlafa-yastakhlifu yang digunakan untuk arti kata menjadikan.
Bentuk jamak dari kata khalifah adalah khalaif dan khulafa. Kata khalaif digunakan dalam
pembicaraan mengenai orang mukmin, sementara khulafa digunakan untuk pembicaraan yang
ditujukan kepada orang-orang kafir. Sedangkan dalam konsep yang terkandung dalam kata
kerja khalafa bermakna regenerasi kepemimpinan, dan dalam makna konotasinya diartikan
sebagai seseorang yang diangkat sebagai pemimpin dan penguasa di bumi yang mengemban
tugas-tugas tertentu14
. Kepemimpinan dalam Islam memiliki misi untuk menuntun manusia
12Nasaruddin Umar. Kodrat Perempuan dalam Islam (Jakarta: Fikahati Aneska, 2000) hlm. 10-11.
13Baharuddin & Umiarso. Kepemimpinan Pendidikan Islam: Antara Teori dan Praktik (Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2012) hlm. 80.
14Baharuddin & Umiarso. Kepemimpinan Pendidikan Islam: Antara Teori dan Praktik (Jogjakarta: Ar-Ruzz
Media, 2012) hlm. 81.
20
mencapai tujuan bersama yang diridhai oleh Allah SWT. Tujuan itu ialah pengabdian kepada
Sang Pencipta untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
2.5 Konsep Perempuan dalam Islam
Dalam terminologi Islam, perempuan disebut sebagai al-Marah, sedangkan bentuk
jamaknya adalah an-Nisa yang sepadan dengan kata wanita, perempuan dewasa atau lawan
jenis pria. Penjelasan mengenai perempuan dalam konteks Islam, kita perlu merujuk pada dua
sumber utama hukum Islam yakni al-Quran dan Hadits. Maka, penjelasan ini akan dibagi
menjadi dua, yakni wacana perempuan dalam Al-Quran yang ditemui dalam kitab tafsir dan
wacana perempuan dalam teks-teks hadits.
2.5.1 Perempuan dalam al-Quran
Wacana tentang perempuan dalam al-Quran bisa kita temui dalam banyak ayat.
Bahkan beberapa surat dalam Al-Quran juga menggunakan nama perempuan. Contohnya
Surat An Nisa dan surat Maryam. Di dalam surat Maryam dikisahkan putri dari Imran yang
memiliki derajat ketakwaan paling tinggi di antara semua perempuan di masanya, bahkan
mengalahkan laki-laki. Hingga kemudian ia dipilih untuk melahirkan Nabi Isa AS meski tak
pernah berhubungan dengan laki-laki. Satu-satunya ibunda Nabi yang namanya diabadikan
dalam Al-Quran hanyalah Maryam. Sebelum ia melahirkan Nabi Isa, Maryam digambarkan
sebagai seorang perempuan mulia yang kesehariannya dihabiskan untuk beribadah dan
mengabdi kepada Allah SWT. Ketika ia dipilih untuk mengandung bayi Nabi Isa tanpa
seorang suami yang mencampurinya, Maryam telah menyadari konsekuensi yang akan ia
terima berupa celaan dari masyarakat. Namun Maryam tetap menjalaninya sebagai ketetapan
dari Allah SWT dan bukti kepasrahannya terhadap Allah.
Di dalam Al-Quran juga terdapat kisah seorang perempuan yang menjadi pemimpin
dari sebuah kerajaan besar, yaitu Ratu Balqis dari kerajaan Saba. Kisah tentang Ratu Balqis
ada dalam dua surat dalam al-Quran, yakni surat an-Naml dan surat al-Anbiya. Kerajaan
Saba digambarkan dalam Al-Quran sebagai kerajaan yang makmur, rakyatnya sejahtera, dan
memiliki angkatan perang yang kuat. Ketika Nabi Sulaiman mengirimkan surat kepada Ratu
Balqis yang berisi ajakan untuk mengadakan hubungan diplomatik dan menyeru agar Ratu
21
Balqis dan rakyatnya menyembah kepada Allah SWT, pada saat itu rakyat kerajaan Saba
masih menyembah matahari15
.
Selain Ratu Balqis dan Maryam ibu Nabi Isa AS, masih ada beberapa orang
perempuan lagi yang kisahnya tercantum dalam al-Quran. Contohnya, ibu Nabi Musa AS,
istri Imran, dan Zulaikha. Kecuali Zulaikha yang memperdaya Nabi Yusuf AS, kesemua
perempuan yang diceritakan dalam al-Quran tersebut menempati posisi yang mulia, sebagai
ibu atau istri dari laki-laki shalih yang mengabdi kepada Allah. Ada pula Istri dari Nabi Luth
AS dan Nabi Nuh AS yang membangkang dari ajaran suaminya sehingga mendapatkan azab
dari Allah.
Demikianlah, sekilas mengenai perempuan dalam pandangan al-Quran. Al Quran
sebagai sumber hukum utama yang menjadi rujukan bagi umat muslim, memandang wanita
sebagai makhluk yang mulia, baik dalam posisinya sebagai ibu maupun sebagai individu yang
utuh. Dan apabila ia beriman dengan sebenar-benarnya iman, maka derajatnya bisa melebihi
laki-laki.
2.5.2 Perempuan dalam Hadits
Badriyah Fayuni dan Alai Najib menjelaskan menjelaskan posisi perempuan dalam
Islam melalui hadits-hadits Nabi SAW. Mereka membagi pembahasannya ke dalam empat
perspektif gender dalam hadits, yakni sebagai berikut16
.
Secara esensial, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam masalah
ibadah dan ajaran Islam. Semua hadits-hadits Nabi Muhammad SAW yang
menyangkut ajaran Islam berlaku untuk semua jenis kelamin. Seruan untuk menuntut
ilmu, berbuat amal sholeh, dan ajakan untuk bersodakoh ditujukan kepada semua jenis
manusia, tanpa memandang laki-laki ataupun perempuan. Kesetaraan jenis kelamin
berlaku untuk semua jenis ibadah seperti shalat, puasa, zakat, dan ibadah haji. Bahkan
15Nasaruddin Umar dan Amany Lubis. Hawa Sebagai Simbol Ketergantungan: Relasi Gender dalam Kitab
Tafsir dalam Ali Munhanif, ed. Mutiara Terpendam: Perempuan dalam Literatur Islam Klasik (Jakarta:
Gramedia, 2002) hlm. 9-11.
16Badriyah Fayuni dan Alai Najib. Perempuan yang Paling Mendapat Perhatian Nabi: Perempuan dalam
Hadits dalam Ali Munhanif, ed. Mutiara Terpendam: Perempuan dalam Literatur Islam Klasik (Jakarta:
Gramedia, 2002) hlm. 55-57.
22
Nabi pun membolehkan perempuan untuk melakukan sholat Jumat dan menganjurkan
untuk mengikuti shalat Ied. Ini menandakan bahwa kesempatan untuk mendapatkan
pahala dan dosa, setara antara laki-laki dan perempuan.
Dalam beberapa hadits Nabi, perempuan diperlakukan secara istimewa sesuai
kodratnya, sebagaimana juga terdapat pengkhususan terhadap laki-laki sesuai dengan
kodratnya. Perbedaan ini tidak dijadikan sebagai pembedaan yang mencolok yang bisa
menimbulkan perpecahan. Tapi diakui sebagai keistimewaan masing-masing jenis
kelamin.
Perempuan diperlakukan secara khusus sesuai dengan kondisi-kondisi objektif yang
menuntut terjadinya pengkhususan atas mereka. Kadang pula terjadi tawar-menawar
antara Nabi dan kaum perempuan dalam hal yang khusus ini. Hingga kemudian dicari
jalan keluar yang bersifat akomodatif di kedua belah pihak. Hal yang sama juga terjadi
pada laki-laki.
Perempuan dipandang sebagai makhluk yang inferior dibanding laki-laki, namun pada
saat yang sama, perempuan diberi kesempatan untuk menutupi kekurangannya agar
bisa mencapai derajat yang setara bahkan melebihi laki-laki. Contohnya, dalam
permasalahan agama, wanita kurang agamanya karena tidak melakukan shalat dan
puasa saat haid, akan tetapi mereka bisa menggantinya dengan bersodakoh sehingga
perempuan tetap bisa mendapatkan pahala dari sodakoh. Terlebih lagi, meninggalkan
shalat dan puasa saat sedang haid dan nifas merupakan perintah Allah yang jika ditaati
akan mendapatkan pahala dan bila dilanggar mendapatkan dosa, seperti halnya
larangan berzina dan memakan daging babi. Di sisi lain, laki-laki dipandang lebih
superior daripada wanita namun superioritas ini membuahkan tanggung jawab besar
yang harus dipikul oleh laki-laki. Jika tanggung jawab ini diabaikan oleh laki-laki,
maka derajat lebih yang dimilikinya bisa berkurang atau bahkan hilang. Contohnya,
laki-laki dianggap sebagai pemimpin bagi wanita dan laki-laki memiliki kelebihan
beberapa derajat di atas wanita karena ia berkewajiban memberi nafkah, melindungi
dan menjaga keselamatan bagi wanita. Jika tanggung jawab ini diabaikan, laki-laki
akan jatuh ke tingkat derajat yang paling hina, bukan hanya di mata Allah, tapi juga di
mata manusia.
23
Dari empat kategori perspektif gender dalam hadits yang diungkapkan oleh Badriyah
Fayuni dan Alai Najib ini, ditemukan sebuah pemahaman bahwa Rasulullah tidak pernah
membeda-bedakan antara umatnya. Pengkhususan satu jenis kelamin dari jenis kelamin yang
lainnya dilakukan sesuai kebutuhan dari masing-masing jenis kelamin itu sendiri, dan bukan
untuk memarginalkan satu jenis dari jenis lainnya. Adapun kelebihan dan kekurangan antara
jenis kelamin yang satu dengan yang lainnya dibarengi dengan catatan-catatan penting yang
tidak bisa diabaikan. Oleh karena itu, dapat kita simpulkan bahwa perempuan memiliki
kedudukan yang setara dengan laki-laki dalam hadits-hadits Rasulullah SAW17
.
2.6 Konsep Kepemimpinan Perempuan dalam Islam
Hal yang selalu menjadi kontroversi dalam perbincangan mengenai sosok perempuan
ialah tentang boleh tidaknya seorang perempuan menjadi pemimpin. Konsep kepemimpinan
perempuan dalam Islam yang akan dibahas dalam sub-bab ini dikhususkan pada pembahasan
mengenai kepemimpinan dalam ranah publik di luar rumah tangga. Karena diskursus
mengenai kepemimpinan perempuan di ranah publik ini lebih beragam dan kompleks
dibandingkan dengan pembicaraan mengenai kepemimpinan perempuan dalam rumah tangga.
Salah satu orang yang menolak kepemimpinan perempuan di ranah publik ini ialah
Abbas Mahmud al-Aqqad. Dia menjadikan perbedaan fisik dan biologis sebagai landasan
perbedaan tanggung jawab sosial yang diemban oleh kedua jenis kelamin. Dengan adanya
perbedaan tanggung jawab sosial ini, maka laki-laki dinilai lebih berhak menjadi pemimpin
karena laki-laki sudah terbiasa bertanggung jawab dalam keluarga dan masyarakat, sedangkan
perempuan bertanggung jawab untuk menjaga keharmonisan rumah tangga. Ia menyatakan
bahwa hak kepemimpinan bersumber pada kesanggupan alamiah yang tentu lebih dimiliki
oleh kaum lelaki dibandingkan perempuan. Lebih jauh ia menyampaikan bahwa kerajaan
seorang perempuan ada dalam rumah tangga, sedangkan kerajaan laki-laki ada di dalam
perjuangan hidup18
.
17Badriyah Fayuni dan Alai Najib. Perempuan yang Paling Mendapat Perhatian Nabi: Perempuan dalam
Hadits dalam Ali Munhanif, ed. Mutiara Terpendam: Perempuan dalam Literatur Islam Klasik (Jakarta:
Gramedia, 2002) hlm. 58.
18Abbas Mahmud al-Aqqad. Filsafat Al-Qur'an: Filsafat, Spiritual dan Sosial dalam Isyarat Al-Qur'an
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986) hlm. 74-75.
24
Lain halnya dengan Nasaruddin Umar19
, seorang cendekiawan muslim kontemporer
yang menyatakan bahwa tidak ada satupun dalil, baik dari al-Quran maupun hadits yang
melarang kaum perempuan aktif di dunia politik. Hal ini merupakan hak yang dimiliki oleh
seorang perempuan untuk terjun ke dalam bidang politik baik sebagai pejabat atau pemimpin
negara. Fakta sejarah mengungkapkan bahwa perempuan-perempuan di sekitar Nabi terlibat
aktif dalam dunia politik. Nasaruddin Umar juga menegaskan bahwa kata khalifah pada surat
al-Baqarah ayat 30 tidak merujuk hanya kepada satu jenis kelamin tertentu, laki-laki dan
perempuan sama-sama memiliki fungsi sebagai khalifah di muka bumi yang akan
mempertanggungjawabkan kepemimpinannya di hadapan Allah SWT20
.
Hal yang serupa disampaikan oleh Husein Muhammad21
, dengan terlebih dulu
menjabarkan pandangan ulama-ulama klasik yang tidak memberikan peluang sama sekali
untuk perempuan terlibat dalam dunia politik. Husein Muhammad kemudian menguraikan
bahwa sejak awal abad ke-20, dengan terbukanya akses pendidikan bagi kaum perempuan,
maka peluang partisipasi politik bagi kaum perempuan juga semakin terbuka. Hal ini ditandai
dengan perubahan-perubahan dalam undang-undang yang lebih mengakomodasi kepentingan
perempuan di ranah publik negara-negara Islam seperti Mesir, Sudan, Yordania, Tunisia, Irak,
Iran, dan Suriah. Di Indonesia sendiri, aktivitas politik kaum perempuan telah memiliki
landasan yuridis dalam UUD 1945. Apalagi sekarang, dengan adanya kebijakan 30% kursi di
parlemen harus diisi oleh perempuan, maka tidak ada lagi alasan untuk melarang perempuan
terjun langsung ke dalam politik. Husein Muhammad memandang hal ini sebagai hal yang
menarik, mengingat pada pemilu tahun 1999, banyak partai politik yang menolak presiden
perempuan sekarang langsung menyetujui affirmative action 30% kuota tersebut tanpa ada
penolakan ataupun perdebatan.
Kepemimpinan Aisyah di Perang Jamal di mana sejumlah sahabat Nabi yang terkenal
bersatu di bawah komandonya merupakan bukti nyata bahwa perempuan juga mampu
19Nasaruddin Umar. Kodrat Perempuan dalam Islam (Jakarta: Fikahati Aneska, 2000) hlm. 49.
20Fadlan. Islam, Feminisme dan Konsep Kesetaraan Gender dalam Al-Qur'an Dalam Karsa: Jurnal Budaya
dan Sosial Keislaman Vol. 19 No. 2 STAIN Pamekasan. hlm. 115.
21Husein Muhammad. Islam Agama Ramah Perempuan: Pembelaan Kiai Pesantren (Yogyakarta: Lkis, 2004)
hlm. 170-172.
25
memimpin laki-laki. Kaukab Siddique22
menambahkan bahwa kepemimpinan Aisyah ini
bukanlah suatu hal yang muncul tiba-tiba saat perang Jamal terjadi, karena jauh sebelum itu
yakni pada masa awal Islam Aisyah adalah orang yang selalu dimintai fatwa oleh para sahabat
Nabi SAW seperti Abu Bakar, Umar dan Utsman. Sebelum Aisyah terjun memimpin pasukan
di perang Jamal, beliau telah lebih dulu menjadi seorang guru yang fatwanya diterima oleh
semua kalangan baik laki-laki maupun perempuan. Banyak orang yang datang dari seluruh
penjuru dunia Arab untuk mendapatkan pengajaran dari istri Nabi yang terkenal cerdas itu.
Bahkan, tak sedikit ulama dan guru para imam yang terkenal pada masa itu yang dulunya
merupakan murid Aisyah.
KH. Abdurrahman Wahid atau yang lebih dikenal dengan sebutan Gus Dur, seorang
ulama NU yang pernah menjadi Presiden Republik Indonesia ini tidak menampik
kemungkinan seorang perempuan menjadi pemimpin negara. Abdurrahman Wahid
mengungkapkan bahwa sukses atau tidaknya perempuan menjadi seorang pemimpin sangat
bergantung kepada penerimaan dari kaum laki-laki yang berada di bawah kepemimpinannya,
apakah mereka bersedia bekerjasama di bawah komando perempuan tersebut atau tidak.
Abdurrahman Wahid juga menyampaikan bahwa ungkapan ulama yang menyatakan bahwa
perempuan lebih lemah dari laki-laki sehingga tidak bisa memimpin justru bertolak belakang
dengan fakta sejarah bahwa banyak pemimpin negara yang sukses justru dari jenis kelamin
perempuan. Misalnya Cleopatra, Ratu Balqis, Corie Aquino, Margaret Theatcher dan Benazir
Butho. Bahkan Abdurrahman Wahid mengakui kemampuan Megawati Soekarnoputri untuk
menjadi seorang presiden, di samping karena ia memiliki nasab dari Soekarno yang
merupakan pemimpin negara, kesuksesannya memimpin PDIP membuktikan bahwa
Megawati memiliki kecerdasan dalam memimpin. Menurut pandangan Abdurrahman Wahid,
apa yang dimiliki Megawati yaitu nasab dan kecerdasan dalam memimpin adalah landasan
yang bisa menjadikan seseorang sebagai pemimpin di masa depan23
.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa pandangan ulama-ulama klasik mayoritas tidak
menyetujui jika perempuan menjadi pemimpin dalam ranah publik yang kebanyakan
22Kaukab Siddique. Menggugat Tuhan Yang Maskulin. Diterjemahkan oleh Arif Maftuhin. (Jakarta:
Paramadina, 2012) hlm. 50-53.
23M.N Ibad. Kekuatan Perempuan dalam Perjuangan Gus Dur-Gus Miek (Yogyakarta: Pustaka Pesantren,
2011) hlm. 101-102.
26
dilakukan oleh laki-laki. Sedangkan ulama-ulama modern dan kontemporer saat ini lebih
melihat ke dalam fakta sejarah dan realita yang ada sekarang bahwa banyak dari kaum
perempuan yang memiliki kemampuan dalam bidang politik dan jabatan-jabatan penting di
ranah publik yang biasanya di-dominasi oleh laki-laki. Karenanya, menafikan peran
perempuan dalam kancah perpolitikan sama halnya mengabaikan potensi separuh dari
masyarakat itu sendiri.
27
BAB III
BIOGRAFI DAN KARYA INTELEKTUAL M. QURAISH SHIHAB
3.1 Biografi M. Quraish Shihab
3.1.1 Latar Belakang Keluarga
Muhammad Quraish Shihab atau lebih dikenal dengan Quraish Shihab, lahir pada
tanggal 16 Februari 1944 di Rappang, Kabupaten Sidenreng, Rappang, Sulawesi Selatan. Ia
merupakan keturunan campuran Arab Quraisy dan Bugis dan berasal dari kaum terpelajar.
Ayahnya bernama Abdurrahman Shihab, dan ibunya bernama Asma Aburisyi. Dia adalah
anak keempat dari dua belas bersaudara. Dia memiliki tiga orang kakak bernama Nur, Ali dan
Umar. Ia juga mempunyai delapan orang adik yakni Wardah, Alwi Shihab, Nina, Sida Nizar,
Abdul Mutalib, Salwa, serta si kembar Ulfa dan Latifah.Ayah Quraish Shihab, yakni Prof.
Abdurrahman Shihab adalah seorang ulama yang cukup terpandang di daerah Sulawesi
Selatan1.
Selain sebagai ulama, Abdurrahman Shihab juga seorang pengusaha dan politikus
yang memiliki reputasi baik di kalangan masyarakat yang mengenalnya. Beliau memiliki
kontribusi dalam dunia pendidikan. Hal ini terlihat dalam usahanya membina dua perguruan
tinggi besar di daerah Sulawesi Selatan yakni Universitas Muslim Indonesia (UMI) dan IAIN
Alauddin Makassar. UMI adalah sebuah perguruan tinggi swasta terbesar di Indonesia bagian
timur. Abdurrahman Shihab juga pernah menjabat sebagai rektor di UMI dari tahun 1959
hingga tahun 1965, kemudian menjadi rektor di IAIN Alauddin sejak tahun 1972 hingga
tahun 19772. Dari sini terlihat bahwa Quraish Shihab berasal dari keluarga yang akrab dengan
dunia pendidikan, hingga tak heran jika di kemudian hari beliau menjadi seorang
cendekiawan besar karena sejak dini telah mengenal budaya akademik melalui atmosfer
pendidikan yang diterapkan ayahnya di rumah.
1http://tafsiralmishbah.wordpress.com/biografi-m-quraish-shihab/ diakses pada tanggal 18 Mei 2014 pukul 22.42
WIB.
2Rahmat Hidayat. Pemikiran Muhammad Quraish Shihab tentang Poligami. Skripsi S1 Program Studi Al-
Ahwal Al-Syakhshiyah Fakultas Syariah UIN Malang tahun 2008. hlm. 61.
28
Quraish Shihab mendapatkan motivasi dan benih kecintaan terhadap studi tafsir al-
Quran dari sang ayah. Sejak dini, Abdurrahman Shihab telah membiasakan anak-anaknya
untuk duduk bersama usai shalat Maghrib, saat-saat seperti ini Abdurrahman Shihab
menyampaikan nasihat yang lebih sering berupa ayat-ayat Al-Quran. Quraish Shihab juga
diwajibkan untuk mengikuti pengajian Al-Quran yang diadakan oleh ayahnya. Tidak hanya
menyuruh anak-anaknya untuk rajin membaca Al-Quran, Abdurrahman Shihab juga kerap
menguraikan kisah-kisah dalam Al-Quran kepada anak-anaknya secara sepintas. Dari sinilah
benih-benih kecintaan terhadap Al-Quran mulai tumbuh dalam diri Quraish Shihab3.
Quraish Shihab memiliki seorang istri bernama Fatmawaty Assegaf yang dinikahinya pada
bulan Februari tahun 1975 di Solo, Jawa Tengah. Keduanya dikaruniai lima orang anak,
masing-masing ialah Najelaa (lahir pada tanggal 11 September 1976), Najwa (lahir 16
September 1977), Nasma (lahir tahun 1982), Ahmad (lahir 1 Juli 1983), dan Nahla (lahir
Oktober 1986)4. Anak sulungnya Najelaa, menikah dengan Ahmad Fikri Assegaf pada tahun
1995 dan memberi tiga orang cucu kepada Quraish Shihab, yaitu Fathi, Nishrin, dan Nihlah.
Putri kedua Quraish Shihab menikah dengan Ibrahim Syarief Assegaf pada tahun 1997 dan
dikaruniai anak bernama Izzat dan almarhum Namiya (meninggal empat jam setelah
dilahirkan karena prematur5). Putri ketiganya yakni Nasywa Shihab menikah dengan
Muhammad Riza Alydrus pada tahun 2005 yang kemudian dikaruniai dua orang putri yaitu
Naziha dan Nuha. Ahmad Shihab, yang merupakan satu-satunya anak lelaki dari Quraish
Shihab, menikah dengan Sidah Al Hadad6.
Anak-anak Quraish Shihab yang telah menikah tinggal di rumah yang tidak berjauhan
dengan rumah Quraish Shihab di Cilandak, Jakarta Timur. Setiap pagi semua anak-anaknya
akan berkunjung ke rumah Quraish Shihab untuk mencium tangannya sebelum mereka
beraktifitas, bila tak sempat melakukannya mereka akan pamit lewat telepon. Kebiasaan
tersebut untuk menjaga hubungan antara orangtua dan anak agar tidak berjarak dan tetap
dekat. Bahkan Quraish Shihab juga menugaskan seorang koki di rumahnya untuk memasak
3Rahmat Hidayat. Pemikiran Muhammad Quraish Shihab tentang Poligami. Skripsi S1 Program Studi Al-
Ahwal Al-Syakhshiyah Fakultas Syariah UIN Malang tahun 2008. hlm. 62.
4Suliyah. Pemikiran Muhammad Quraish Shihab Tentang Makna dan Upaya Meraih Hidayah dalam Tafsir Al
Misbah. Skripsi S1 Program Ushuludin IAIN Walisongo Semarang tahun 2007. hlm. 34.
5http://wowkeren.com/berita/tampil/00053646.html diakses pada 8 Agustus 2014 pukul 20.00 WIB.
6http://quraishshihab.com/profile/ diakses pada tanggal 18 Juli pukul 12.34 WIB.
29
dan mengirimkan makanan ke rumah anak-anaknya setiap hari. Hal ini dilakukan untuk
menjaga kesehatan seluruh anggota keluarganya agar terhindar dari efek buruk makanan yang
dibeli dari luar7.
Quraish Shihab memiliki prinsip untuk selalu memberikan keteladanan kepada anak-
anaknya. Ia membebaskan anak-anaknya untuk menentukan jalan hidupnya, dengan tetap
memberikan rambu-rambu agama yang bersifat tegas. Sejak kecil anak-anaknya dididik
dengan ilmu agama yang kuat, sebagai bekal untuk kehidupan di masa depan. Kemudian
dalam menentukan pasangan hidup pun, Quraish Shihab membebaskan anak-anaknya untuk
memilih pendamping hidupnya sendiri. Bahkan dalam hal berpakaian, Quraish Shihab tidak
memaksakan bahwa anak perempuannya harus berjilbab. Namun secara tegas ia menyatakan
bahwa dalam hal berpakaian harus tetap berpegang pada norma-norma kesopanan dan
kehormatan bagi seorang muslim8.
3.1.2 Latar Belakang Pendidikan
Selain mengikuti pengajian dan kultum (kuliah tujuh menit) yang diberikan sang ayah
seusai shalat maghrib, yang bisa dikategorikan sebagai pendidikan informal dalam keluarga
yang diterimanya, Quraish Shihab mendapatkan pendidikan formal di sekolah dasar hingga
kelas dua sekolah menengah pertama di Ujungpandang. Pada tahun 1956, Quraish Shihab
dikirim ayahnya untuk menimba ilmu di Pondok Pesantren Darul-Hadits Al-Faqihiyyah9.
Ketika pemerintah Mesir menawarkan program beasiswa, Quraish Shihab bersama
adiknya Alwi Shihab mengikuti tes seleksi dan lolos ke Kairo. Quraish Shihab berangkat ke
Mesir pada tahun 1958 dan diterima di kelas dua Tsanawiyah Al Azhar. Setelah menamatkan
sekolah menengah, Quraish Shihab melanjutkan studinya di Universitas al-Azhar pada
Top Related