SKRIPSI
PERBEDAAN TINGKAT KECEMASAN PASIEN PRE OPERASI HERNIA SETELAH PEMBERIAN INFORMED CONSENT PADA
TINDAKAN GENERAL ANESTESI DAN REGIONAL ANESTESI DI RSUP Dr. MOH. HOESIN
PALEMBANG
Skripsi Disusun Sebagai Syarat Mencapai Derajat Diploma IV Keperawatan Anestesi Reanimasi
Disusun oleh :
PRABU BALADEWA NIM : P07120208027
DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA POLITEKNIK KESEHATAN YOGYAKARTA
JURUSAN KEPERAWATAN TAHUN 2010
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Skripsi berjudul “Perbedaan Tingkat Kecemasan Pasien Pre operasi Hernia Setelah Pemberian Informed consent pada Tindakan General Anestesi dan Regional Anestesi di RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang” telah mendapat persetujuan pada tanggal : ...... Maret 2010.
Menyetujui,
Mengetahui Ketua Jurusan Keperawatan
Politeknik Kesehatan Yogyakarta
Maria H. Bakri, SKM, M.Kes. NIP. 19531122 197903.2.001
iii
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat
dan hidayah-Nya sehingga tugas penyusunan Skripsi dengan judul “Perbedaan
Tingkat Kecemasan Pasien Pre operasi Hernia Setelah Pemberian Informed
consent pada Tindakan General Anestesi dan Regional Anestesi di RSUP Dr.
Moh. Hoesin Palembang” dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Skripsi ini terwujud atas bimbingan, pengarahan dan bantuan dari
berbagai pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu dan pada kesempatan ini
penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada :
1. DR. Lucky Herawati, SKM, M.Sc, selaku Direktur Poltekkes Depkes
Yogyakarta.
2. Maria H. Bakri, SKM, M.Kes, selaku Ketua Jurusan Keperawatan Poltekkes
Depkes Yogyakarta.
3. Nunuk Sri Purwanti, S.Kp, M.Kes., selaku Ketua Prodi DIV Keperawatan
Anestesi Poltekkes Depkes Yogyakarta.
4. Catur Budi S., S.Pd., S.Kp., M.Kes., selaku pembimbing utama.
5. Yustiana Olfah, APP, M.Kes., selaku pembimbing pendamping.
6. Rekan-rekan sejawat dan semua pihak yang tidak mungkin disebutkan satu-
persatu.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa Skripsi ini masih mempunyai
kekurangan dan belum sempurna, sehingga dengan segala kerendahan hati
penulis menerima kritikan dan saran yang membangun untuk kesempurnaan
skripsi ini.
Akhirnya penulis berharap semoga Allah SWT membalas budi baik bapak
/ ibu yang telah membantu dan member motivasi kepada penulis dalam
penyelesaian Skripsi ini, Amin ya rabbal alamin.
Penulis
v
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL……………………................................................... HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING…………………………… HALAMAN PENGESAHAN …………………….................................... KATA PENGANTAR ............................................................................ DAFTAR ISI ........................................................................................ INTISARI…………………………………………………… …………….. ABSTRACT………………………………………………………………… DAFTAR GAMBAR ............................................................................. DAFTAR TABEL ……………………………………………………. …… DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................... B. Rumusan Masalah .................................................... C. Tujuan Penelitian ...................................................... D. Manfaat Penelitian .................................................... E. Keaslian Penelitian ...................................................
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Teori ..........................................................
1. Kecemasan ........................................................ 2. Anestesi ............................................................. 3. Informed consent ................................................ 4. Hernia ................................................................
B. Kerangka Teori ......................................................... C. Kerangka Konsep ..................................................... D. Hipotesis ..................................................................
BAB III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian ........................................................ B. Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................... C. Populasi dan Sampel ............................................... D. Variabel Penelitian ................................................... E. Definisi Operasional ................................................. F. Instrumen Penelitian ................................................ G. Uji Validitas dan Reliabilitas ..................................... H. Tehnik Pengumpulan Data ....................................... I. Pengolahan dan Analisis Data .................................
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Lokasi penelitian RSUP dr. moh.hoesin Palembang. B. HasilPenelitian…………………………………………
1. AnalisaUnivariat………………………………........ 2. AnalisaBivariat……………………………………
Halaman i ii iii iv v
vii viii ix x xi
1 4 4 5 6
8 8
16 22 24 32 35 35
36 36 37 38 39 41 41 41 42
44 45 45 50
vi
C. Pembahasan………………………………………….. BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan……………………………………… B. Saran……………………………………………….
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
53
56 57
vii
INTISARI Judul : Perbedaan tingkat kecemasan pasien pre op hernia setelah pemberian informed concent pada tindakan General Anestesi dan Regional Anestesi.
Latar Belakang : Tindakan Pembedahan dengan Anestesi merupakan ancaman aktual maupun potensial pada intergritas seseorang yang dapat membangkitkan reaksi fisiologis maupun psikologis.
Tujuan Penelitian :Untuk mengetahui adakah perbedaan tingkat kecemasan pasien pre op hernia setelah pemberian informed concent pada tindakan General Anestesi dan Regional Anestesi.
Metode Penelitian : Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional untuk mengetahui perbedaan tingkat kecemasan pasien pre op hernia setelah pemberian informed concent pada tindakan General Anestesi dan Regional Anestesi dengan menggunakan uji Independent samples t.test.
Hasil : Secara statistic di ketahui rata rata score kelompok General Anestesi 3 dan rata rata kelompok Regional Anestesi 2.88 secara sederhana tidak terdapat perbedaan tingkat kecemasan yang signitifikan, dari hasil uji Independent samples t test terhitung 0.239 dengan signitifikasi 0.814 berarti p > 0,05 tidak terdapat perbedaan tingkat kecemasan pada pasien Pre op hernia setelah pemberian informed concent pada tindakan General Anestesi dan Regional Anestesi.
Kesimpulan : Dari hasil uji Independent samples t test terhitung 0.239 dengan sig 0.814 berarti p > 0,05 tidak terdapat perbedaan tingkat kecemasan yang signifikan antara pasien yang di General Anestesi dan yang di Regional Anestesi.
Kata Kunci : tingkat kecemasan,General Anestesi , Regional Anestesi.
viii
ABSTRACT Title: Different levels of anxiety pre op hernia patient after giving informed concent in action General Anesthesia and Regional Anesthesia. Background: Action Surgery with Anesthesia an actual or potential threat to the integrity someone who can evoke physiological and psychological reactions. Research Objectives: To know is there a difference in patient anxiety levels pre op hernia after giving informed concent in action General Anesthesia and Regional Anesthesia. Research Methods: The study was cross-sectional study to determine differences in anxiety levels of pre op hernia patient after giving informed concent in action General Anesthesia and Regional Anesthesia by using independent test samples t.test. Results: The statistical average in the know General Anesthesia score group 3 and group average 2.88 Regional anesthesia is simply no difference signitifikan anxiety levels, from the results of independent testing samples t test with a 0239 count means signitifikasi 0814 (p > 0.05) not available differences in levels of anxiety in patients with pre op hernia after giving informed concent in action General Anesthesia and Regional Anesthesia. Conclusion: The results of the Independent test samples t test calculated with the 0239 sig 0814 means p > 0.05 there is no difference significant levels of anxiety among patients in general anesthesia and that in Regional Anesthesia. Keywords: level of anxiety, General Anesthesia, Regional Anesthesia
ix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 : Tingkat Kecemasan .................................................. 9 Gambar 2.2 : Rentang Respon Ansietas ......................................... 11 Gambar 2.3 : Kerangka Teori .......................................................... 34 Gambar 2.4 : Kerangka Konsep ...................................................... 35
x
DAFTAR TABEL
HALAMAN
Tabel 4.1 : Distribusi Frekwensi Pasien yang akan di lakukan Tindakan General Anestesi…………………………………45 Tabel 4.2 : Distribusi Frekwensi Pasien yang akan di lakukan Tindakan Regional Anestesi ……………………………….47 Tabel 4.3 : Distribusi frequensi tingkat kecemasan pasien yang akan di lakukan General Anestesi…………………. 49 Tabel 4.4 : Distribusi Frequensi tingkat kecemasan pasien yang akan di lakukan tindakan Regional Anestesi…… 50 Tabel 4.5 : statistic perbedaan tingkat kecemasan antara responden yang di lakukan tindakan General Anestesi dan responden yang dilakukan Regional anestesi……... 51 Tabel. 4.6 : Uji beda tingkat kecemasan antara Responden yang di General Anestesi dan yang di Regional Anestesi………………………………………… 52
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Permohonan Menjadi Responden
Lampiran 2. Surat Persetujuan Responden
Lampiran 3. Surat Persetujuan / Penolakan Medis Khusus
Lampiran 4. Data Identitas Responden
Lampiran 5. Instrumen Penelitian Tingkat Kecemasan Hamilton Rating Scala for Anxiety (HRS-A)
Lampiran 6. Jadwal Penelitian
Lampiran 7. Anggaran Penelitian
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kecemasan merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari, juga
merupakan suatu respons emosional terhadap penilaian. Sebagian besar
manusia merasa cemas dan tegang dalam menghadapi situasi yang
mengancam dan menekan. Perasaan tersebut ditandai dengan rasa
ketakutan yang tidak menyenangkan dan samar-samar sering kali disertai
oleh gejala otomatis seperti nyeri kepala, keringat dingin, palpitasi, kekakuan
pada dada dan gangguan lambung ringan (Kaplan dan Sadock, 1997).
Kecemasan berbeda dengan rasa takut, karakteristik rasa takut
adalah adanya obyek atau sumber yang spesifik dan dapat diidentifikasi serta
dapat dijelaskan oleh individu. Rasa takut terbentuk dari proses kognitif yang
melibatkan penilaian intelektual terhadap stimulus yang mengancam.
Ketakutan disebabkan oleh hal yang bersifat fisik dan psikologis ketika
individu dapat mengidentifikasi dan menggambarkannya (Suliswati dkk,
2005).
Tindakan pembedahan dengan anestesi merupakan ancaman aktual
maupun potensial pada integritas seseorang yang dapat
2
membangkitkan reaksi stress fisiologis maupun psikologis. Penyebab cemas
pada individu yang akan menjalani operasi, yaitu : nyeri, invalid, keganasan,
gagal atau pada kondisi yang lebih buruk. Hal ini dimanifestasikan dengan
perubahan fisik terutama tanda-tanda vital, gangguan tidur dan sering buang
air kecil sehingga seringkali terjadi pembatalan operasi.
Berdasarkan studi pendahuluan di RSUP Dr. Moh. Hoesin
Palembang, pasien hernia yang akan dilakukan tindakan operasi dengan
general anestesi dan regional anestesi dalam kurun waktu Januari sampai
Juni 2009 mencapai 162 orang, dengan rata-rata per bulan 27 orang
(16,66%). Dari 162 orang tersebut yang menjalani general anestesi sebanyak
75 orang (46,3%) dan 87 (53,7%) orang menjalani regional anestesi.
Berdasarkan pengamatan yang saya lakukan, puncak kecemasan saat
berada diruang operasi dengan penantian tindakan yang lama yaitu antara 20
menit sampai 150 menit untuk kasus elektif, makin menampakan gejala
berupa sering menarik napas dalam, sering buang air kecil, gelisah, nadi
cepat bahkan tensi meningkat 20% sampai 30%. Manajemen kecemasan
pada tahap pencegahan memerlukan suatu metode pendekatan yang bersifat
holistic, yaitu mencakup fisik (somatic), psiklogik/psikiatrik, psikososial dan
psikoreligius.
Segala bentuk prosedur pembedahan dan anestesi selalu didahului
suatu reaksi emosional tertentu oleh pasien, apakah reaksi tersebut jelas
atau tersembunyi. Sebagai contoh, kecemasan pre anestesi kemungkinan
merupakan respon antisipasi terhadap pengalaman yang dianggap pasien
3
sebagai ancaman terhadap perannya dalam hidup, integritas tubuh atau
bahkan kehidupannya itu sendiri. Sudah diketahui bahwa pikiran yang
bermasalah secara langsung mempengaruhi fungsi tubuh. Karenanya
penting artinya untuk mengidentifikasi kecemasan yang dialami pasien.
Dengan mengumpulkan data riwayat kesehatan, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang lainnya secara cermat dapat memprediksi penataan
anestesi dan penanganan kedaruratannya. Tidak diragukan lagi pasien yang
menghadapi tindakan invasif dihantui oleh ketakutan termasuk ketakutan
akan ketidaktahuan. Pedoman untuk intervensi berbagai tingkat kecemasan
sehingga akan lebih baik jika para praktisi atau klinisi khususnya yang
sedang menangani pasien pre anestesi mampu menggunakan pedoman
tersebut untuk mengetahui tingkat kecemasan pasien pada saat itu (Stuart
dan Sundeen, 2007).
Terbitnya Permenkes nomor 585 tahun 1989 tentang Persetujuan
Tindakan Medik sebenarnya Informed consent sudah menjadi hukum
(Guwandi, 2004). Informed consent sesuai dengan hak pasien tidak
seluruhnya disampaikan oleh dokter, tetapi didelegasikan kepada perawat
senior/yang ditunjuk, sesuai batas kemampuan dan kewenangan perawat.
Jika pasien setuju maka dimintakan tanda tangan persetujuan, tetapi jika
pasien tidak setuju dilakukan tindakan medis maka diberikan motivasi tentang
resiko yang terjadi, kemudian diberi kesempatan untuk memilih, apabila
pasien tetap menolak maka pihak rumah sakit memberikan formulir
pernyataan penolakan untuk dilakukan tindakan medis tersebut. Informed
consent diperlukan bukan hanya didasarkan pada kewajiban moral berkaitan
4
dengan hak asasi individu atas kesehatannya, tetapi juga berfungsi
melindungi manusia agar tidak dimanipulasi sebagai objek kepentingan.
Berdasarkan fenomena yang ada, peneliti tertarik untuk meneliti
tentang perbedaan tingkat kecemasan pasien pre operasi hernia setelah
pemberian informed consent pada tindakan general anestesi dan regional
anestesi di RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya maka,
peneliti merumuskan masalah sebagai berikut : “Adakah perbedaan tingkat
kecemasan pasien pre operasi hernia setelah pemberian informed consent
pada tindakan general anestesi dan regional anestesi di RSUP Dr. Moh.
Hoesin Palembang ?”.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Diketahuinya perbedaan tingkat kecemasan pasien pre operasi hernia
setelah pemberian informed consent pada tindakan general anestesi dan
regional anestesi di RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang.
2. Tujuan khusus
a. Diketahuinya tingkat kecemasan pasien pre operasi hernia setelah
pemberian informed consent pada tindakan general anestesi.
b. Diketahuinya tingkat kecemasan pasien pre operasi hernia setelah
pemberian informed consent pada tindakan regional anestesi.
c. Diketahuinya perbedaan tingkat kecemasan pasien pre operasi hernia
setelah pemberian informed consent pada tindakan general anestesi
dan regional anestesi.
5
D. Manfaat Penelitian
1. Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi :
a. Institusi Rumah Sakit
Memberikan masukan untuk meningkatkan kualitas SDM dalam
memberikan pelayanan dalam mempersiapkan pasien yang akan
menjalani tindakan operasi hernia dengan anestesi baik secara
psikologis maupun fisiologis yang mendukung tercapainya
kenyamanan dan kesiapan pasien dalam pemahaman tindakan
anestesi.
b. Mahasiswa
Sebagai pembelajaran dalam menerapkan ilmu yang diperoleh dalam
memberikan asuhan keperawatan dan sebagai bahan masukan
dalam proses kegiatan belajar mengajar, terutama tindakan
keperawatan anestesi reanimasi dalam menangani kecemasan
pasien yang akan menjalani operasi hernia sehingga tidak terjadi
kegagalan dan penundaan operasi.
c. Peneliti
Memberikan informasi tentang perbedaan tingkat kecemasan pasien
pre operasi hernia setelah pemberian informed consent pada tindakan
general anestesi dan regional anestesi dan meningkatkan
pengetahuan peneliti dalam bidang riset keperawatan.
d. Profesi perawat anestesi
Agar dapat menjadi acuan bagi perawat anestesi dalam memberikan
informed consent pada tindakan general anestesi dan regional
anestesi supaya tingkat kecemasan pasien pre operasi hernia dapat
teratasi.
e. Institusi pendidikan
6
Memberikan sumbangan kepada ilmu pengetahuan khususnya
lingkup keperawatan anestesi tentang perbedaan tingkat kecemasan
pasien pre operasi hernia setelah pemberian informed consent pada
tindakan general anestesi dan regional anestesi.
2. Secara teoritis
Penelitian ini dapat memberikan informasi dan pemahaman yang dapat
digunakan sebagai masukan pada ilmu pengetahuan dan acuan
pengembangan ilmu keperawatan anestesi reanimasi pada setiap
tindakan general anestesi dan regional anestesi.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian mengenai tingkat kecemasan, antara lain yang dilakukan
oleh Marlinda (2000), dengan judul Pengaruh Pemberian Informasi Pre
Operasi terhadap Kecemasan Pasien yang Akan Menjalani Apendektomi di
IRNA RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Penelitian yang digunakan adalah
deskriptif analitik jenis cross sectional. Hasil penelitian menunjukan bahwa
dari 30 responden (36,7%) mengalami kecemasan ringan dan 19 responden
(63,3%) mengalami kecemasan berat serta ada pengaruh yang signifikan
antara informasi yang diperoleh dengan tingkat kecemasan pasien yang akan
menjalani apendektomi. Perbedaan dengan peneliti adalah pemilihan variabel
bebasnya ditekankan pada pemberian informed consent pada tindakan
General Anestesi dan Regional Anestesi, penelitian yang digunakan
merupakan penelitian cross sectional , pengujian hipotesa menggunakan uji
Independent sampel t-test dan tempat penelitian di RSUP Dr. Moh. Hoesin
Palembang.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Teori
1. Kecemasan
a. Pengertian
Kecemasan merupakan keadaan yang menggambarkan
adanya rasa khawatir, gelisah, takut, tidak tentram disertai berbagai
keluhan fisik. Keadaan tersebut dapat terjadi atau menyertai berbagai
kondisi atau situasi kehidupan dan berbagai gangguan sakit
(Depkes.R.I., 2004)
Kecemasan adalah kekhawatiran yang tidak jelas dan
menyebar yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan tidak
berdaya. Kecemasan berbeda dengan rasa takut, yang merupakan
penilaian intelektual terhadap bahaya. Kecemasan adalah respon
emosional terhadap penilaian tersebut (Stuart, 2007).
Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa
kecemasan adalah keadaan emosi yang tidak menyenangkan yang
ditandai dengan istilah seperti khawatir, tegang, takut yang dihasilkan
dari ancaman-ancaman terhadap kebahagiaan dan ketenangan dan
dialami oleh semua manusia dengan derajat yang berbeda.
8
9
b. Teori Kecemasan
Kecemasan merupakan pengalaman subyektif dari individu
dan tidak dapat diobservasi secara langsung serta merupakan suatu
keadaan emosi tanpa obyek yang spesifik. Kecemasan pada individu
dapat memberikan motivasi untuk mencapai sesuatu dan merupakan
sumber penting dalam usaha memelihara keseimbangan hidup.
Kecemasan berbeda dengan rasa takut, karakteristik rasa takut
adalah obyek atau sumber yang spesifik dan dapat diidentifikasi serta
dapat dijelaskan oleh individu. Rasa takut terbentuk dari proses
kognitif yang melibatkan penilaian intelektual terhadap stimulus yang
mengancam. Ketakutan disebabkan oleh hal yang bersifat fisik dan
psikologis ketika individu dapat mengidentifikasi dan
menggambarkannya (Suliswati dkk, 2005).
Skema kecemasan :
Sumber : Hawari (2001).
Gambar 2.1. Tingkat Kecemasan
c. Timbulnya kecemasan
Menurut Mahmud (cit. Froggatt, 2003), menyatakan bahwa
sebab kecemasan itu berupa keinginan-keinginan, kebutuhan-
kebutuhan dan ingatan yang tidak disetujui oleh orang tua maupun
oleh lingkungan sekitarnya. Kecemasan ditandai oleh perasaan
khawatir, kegelisahan, perasaan tidak aman, ketidakmampuan dalam
Ringan Sedang
Panik Berat
10
menghadapi tantangan, kurangnya kepercayaan diri atau
ketidakberdayaan dalam menentukan dan memperoleh penyelesaian
masalah (Mu’tadin, 2002. ¶1. Mengenai Mekanisme Pertahanan Diri.
http://www.yakita.or.id/kecemasan.htm, diunduh 10 Agustus 2009,
dari)
Stressor pencetus mungkin berasal dari sumber internal atau
eksternal. Stressor pencetus dapat dikelompokkan dalam dua
kategori :
1) Ancaman terhadap integritas seseorang meliputi ketidakmampuan
fisiologis yang akan datang atau menurunnya kapasitas untuk
melakukan aktifitas sehari-hari.
2) Ancaman dari sistem diri seseorang dapat membahayakan
identitas, harga diri dan fungsi sosial yang terintegrasi pada diri
seseorang (Stuart, 2007).
3) Timbulnya kecemasan menurut Stuart (2007), ada empat
tingkat kecemasan yaitu :
a) Kecemasan ringan; berhubungan dengan ketegangan dalam
kehidupan sehari-hari, kecemasan ini menyebabkan individu
menjadi waspada dan meningkatkan lapang persepsinya.
Kecemasan ini dapat memotivasi belajar dan menghasilkan
pertumbuhan serta kreatifitas.
b) Kecemasan sedang : memungkinkan individu untuk berfokus
pada hal yang penting dan mengesampingkan yang lain.
Kecemasan ini mempersempit lapang persepsi individu.
Dengan demikian, individu mengalami tidak perhatian yang
11
selektif namun dapat berfokus pada lebih banyak area jika
diarahkan untuk melakukannya.
c) Kecemasan berat : sangat mengurangi lapang persepsi
individu cenderung berfokus pada sesuatu yang rinci dan
spesifik serta tidak berpikir tentang hal lain. Semua perilaku
ditujukan untuk mengurangi ketegangan. Individu tersebut
memerlukan banyak arahan untuk berfokus pada area lain.
d) Tingkat panik : dari kecemasan berhubungan dengan
terperangah, ketakutan, dan teror. Hal yang rinci terpecah dari
proporsinya. Karena mengalami kehilangan kendali, individu
yang mengalami panik tidak mampu melakukan sesuatu
walaupun dengan arahan. Panik mencakup disorganisasi
kepribadian dan menimbulkan peningkatan aktivitas motorik,
menurunnya kemampuan untuk berhubungan dengan orang
lain, persepsi yang menyimpan, dan kehilangan pemikiran
yang rasional. Tingkat kecemasan ini tidak sejalan dengan
kehidupan, jika berlangsung terus dalam waktu yang lama
dapat terjadi kelelahan dan kematian.
Sumber : Stuart (2007)
Gambar 2.2. Rentang Respon Ansietas
RENTANG RESPONS ANSIETAS Respons Respon adaptive maladaptive
Antisipasi Ringan Sedang Berat Panik
12
d. Faktor Predisposisi
Menurut Stuart (2007), bahwa faktor predisposisi kecemasan
berasal dari beberapa teori :
1) Dalam pandangan psikoanalitis, kecemasan adalah konflik
emosional yang terjadi antara dua elemen kepribadian : id dan
super ego. Id mewakili dorongan insting dan impuls primitif,
sedangkan super ego mencerminkan hati nurani dan dikendalikan
oleh norma budaya. Ego atau aku, berfungsi menengahi tuntutan
dari dua elemen yang bertentangan tersebut, dan fungsi
kecemasan mengingatkan ego bahwa ada bahaya.
2) Menurut pandangan interpersonal, kecemasan timbul dari
perasaan takut terhadap ketidaksetujuan dan penolakan
interpersonal. Kecemasan juga berhubungan dengan
perkembangan trauma, seperti perpisahan dan kehilangan, yang
menimbulkan kerentanan tertentu. Individu dengan harga diri
rendah terutama rentan mengalami kecemasan yang berat.
3) Menurut pandangan perilaku, kecemasan merupakan produk
frustasi yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan
individu untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Ahli teori perilaku
lain menganggap kecemasan sebagai suatu dorongan yang
mempelajari berdasarkan keinginan dari dalam diri untuk
menghindari kepedihan. Ahli teori pembelajaran meyakini bahwa
individu yang terbiasa sejak kecil dihadapkan pada ketakutan
yang berlebihan lebih sering menunjukkan kecemasan pada
kehidupan sebelumnya. Ahli teori konflik memandang kecemasan
13
sebagai pertentangan antara dua kepentingan yang berlawanan.
Mereka meyakini adanya hubungan timbal balik antar konflik dan
kecemasan, konflik menimbulkan kecemasan dan kecemasan
menimbulkan perasaan tidak berdaya yang pada gilirannya
meningkatkan konflik yang dirasakan.
4) Kajian keluarga menunjukkan bahwa gangguan kecemasan
biasanya terjadi dalam keluarga. Gangguan kecemasan juga
tumpang tindih antara gangguan kecemasan dan depresi.
5) Kajian biologis menunjukan bahwa otak mengandung reseptor
khusus untuk benzodiazepine, obat-obatan yang meningkatkan
neuro regulator inhibisi asam gama amino butirat (GABA), yang
berperan penting dalam mekanisme biologis yang berhubungan
dengan kecemasan. Selain itu, kesehatan umum individu dan
riwayat kecemasan. Kecemasan mungkin disertai dengan
gangguan fisik dan selanjutnya menurunkan kemampuan individu
untuk mengatasi stressor.
e. Faktor Presipitasi
Menurut Suliswati, dkk (2005), bahwa stressor presipitasi
adalah semua ketegangan dalam kehidupan yang dapat mencetuskan
timbulnya kecemasan. Stressor presipitasi kecemasan dikelompokan
menjadi dua bagian :
1) Ancaman terhadap integritas fisik yang mengancam meliputi :
a) Sumber internal, meliputi kegagalan mekanisme fisiologis
sistim imun, regulasi suhu tubuh, perubahan biologis normal
(hamil).
14
b) Sumber eksternal, meliputi paparan terhadap infeksi virus dan
bakteri, polutan lingkungan, kecelakaan, kekurangan nutrisi,
tidak adekuatnya tempat tinggal.
2) Ancaman terhadap harga diri meliputi sumber internal dan
eksternal, meliputi :
a) Sumber internal kesulitan dalam berhubungan interpersonal
dirumah dan tempat kerja, penyesuaian terhadap peran baru.
Berbagai ancaman terhadap integritas fisik juga dapat
mengancam harga diri.
b) Sumber eksternal: kehilangan orang yang dicintai, perceraian,
perubahan status pekerjaan, tekanan kelompok dan sosial
budaya.
f. Faktor Perilaku
Menurut Suliswati dkk (2005), bahwa secara langsung
kecemasan dapat diekspresikan melalui respon fisiologis dan
psikologis dan secara tidak langsung melalui pengembangan
mekanisme koping sebagai pertahanan melawan kecemasan.
1) Respon fisiologis, secara fisiologis respon tubuh terhadap
kecemasan adalah dengan mengaktifkan sistim saraf otonom
(simpatis maupun parasimpatis). Sistim saraf simpatis akan
mengaktifasi proses tubuh, sedangkan proses saraf parasimpatis
akan meminimalkan respon tubuh. Reaksi tubuh terhadap stres
(kecemasan) adalah “fliht” atau “flight“. Bila korteks otak menerima
rangsang dan dikirim melalui saraf simpatik kekelenjar adrenal
yang akan melepaskan adrenalin atau epinefrin sehingga efeknya
15
antara lain napas lebih dalam, nadi dan tekanan darah meningkat.
Darah akan tercurah terutama ke jantung, susunan saraf pusat
dan otot. Dengan peningkatan glukogenolisis maka gula darah
akan meningkat.
2) Respon psikologis, Kecemasan dapat mempengaruhi aspek
interpersonal maupun personal. Kecemasan tinggi akan
mempengaruhi refleks. Kesulitan mendengarkan akan
mengganggu hubungan dengan orang lain.
3) Respon kognitif, Kecemasan dapat mempengaruhi kemampuan
berpikir diantaranya adalah tidak mampu memperhatikan,
konsentrasi menurun, mudah lupa, menurunkan lapang persepsi
dan bingung.
4) Respon afektif, Secara afektif klien akan mengekspresikan dalam
bentuk kebingungan dan curiga berlebihan sebagai reaksi emosi
terhadap kecemasan
Untuk mengetahui derajat kecemasan seseorang apakah
ringan, sedang, berat atau berat sekali (panik) digunakan alat ukur
yang dipakai dengan nama Hamilton Rating Scala for Anxietas (HRS-
A).
Alat ini terdiri dari 14 kelompok gejala yaitu :
1) Perasaan cemas
2) Ketegangan
3) Ketakutan
4) Gangguan tidur
5) Gagguan kecerdasan
6) Perasaan depresi (murung)
16
7) Gejala somatik/fisik (otot)
8) Gejala somatik/fisik (sensorik)
9) Gejala kardiovaskuler(jantung dan pembuluh darah)
10) Gejala respiratori (pernapasan)
11) Gejala gastrointestinal(pencernaan)
12) Gejala urogenital (perkemihan dan kelamin)
13) Gejala otonom
14) Tingkah laku (sikap dalam wawancara)
Yang masing-masing kelompok dirinci lagi dengan gejala yang
lebih spesifik. Dengan penilaian angka antara 0–4, yang artinya
adalah nilai 0 = tidak ada gejala (keluhan), 1 = gejala ringan, 2 =
gejala sedang, 3 = gejala berat, 4 = gejala berat sekali (panik).
2. Anestesi
Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-“tidak, tanpa”
dan aesthētos, “persepsi, kemampuan untuk merasa”), secara umum
berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan
pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa
sakit pada tubuh (http://id.wikipedia.org/ wiki/Anestesi). Istilah anestesi
digunakan pertama kali oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846.
Anestesi dibagi dalam dua kelompok yakni :
a. Anestesia umum (general anestesi)
General anestesi merupakan tindakan meniadakan nyeri
secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali
(reversibel). General anestesi menyebabkan mati rasa karena obat ini
masuk ke jaringan otak dengan tekanan setempat yang tinggi.
Selama masa induksi pemberian obat bius harus cukup yang beredar
17
didalam darah dan tinggal didalam jaringan tubuh (Persatuan Perawat
Nasional Indonesia Kota Bontang Kalimantan Timur, 2009. ¶1.
Anestesi Umum. http://ppnibontang.blogspot.com/2009/03/anestesi-
umum_10.html, diunduh 13 Agustus 2009)
Penggunaan anestesi umum, akan menyebabkan triad
(trias) anestesia, yaitu : hipnosis (tidur), analgesia (bebas dari nyeri)
dan relaksasi otot. Relaksasi otot diperlukan untuk mengurangi
tegangnya tonus otot sehingga akan mempermudah tindakan
pembedahan. Hanya eter yang memiliki trias anestesia. Karena
anestesi modern saat ini menggunakan obat-obat selain eter, maka
trias anestesi diperoleh dengan menggabungkan pelbagai macam
obat. Hipnosis didapat dari sedatif, anestesi inhalasi (halotan,
enfluran, isofluran, sevofluran). Analgesia didapat dari N2O, analgetika
narkotik, NSAID tertentu. Sedangkan relaksasi otot didapatkan dari
obat pelumpuhan otot (muscle relaxant) (Persatuan Perawat Nasional
Indonesia Kota Bontang Kalimantan Timur, 2009. ¶2. Anestesi Umum.
http://ppnibontang.blogspot.com/2009/03/anestesi-umum_10.html,
diunduh 13 Agustus 2009)
Umumnya anestesi umum dilakukan dengan induksi. Induksi
adalah usaha membawa / membuat kondisi pasien dari sadar ke
stadium pembedahan (stadium III Skala Guedel). Ko-induksi adalah
setiap tindakan untuk mempermudah kegiatan induksi anestesi.
Pemberian obat premedikasi di kamar bedah, beberapa menit
sebelum induksi anestesi dapat dikategorikan sebagai ko-induksi.
Induksi anestesi umum dapat dikerjakan melalui cara :
1) Intravena (paling sering)
18
2) Inhalasi
3) Intramuskular
4) Per rektal.
Induksi intravena dapat dikerjakan secara full dose maupun
sleeping dose. Induksi intravena sleeping dose yaitu pemberian obat
induksi dengan dosis tertentu sampai pasien tertidur. Sleeping dose
ini dari segi takarannya di bawah dari full dose ataupun maximal dose.
Induksi sleeping dose dilakukan terhadap pasien yang kondisi fisiknya
lemah (geriatri, pasien presyok). Induksi intramuskular biasanya
menggunakan injeksi ketamin. Induksi inhalasi dapat dikerjakan
dengan teknik : steal induction, gradual induction, dan single breath
induction.
Obat yang digunakan untuk induksi inhalasi adalah obat-obat
yang memiliki sifat-sifat : tidak berbau menyengat / merangsang,
baunya enak, cepat membuat pasien tertidur. Sifat-sifat tersebut
ditemukan pada halotan dan sevofluran.
Tanda-tanda induksi berhasil ditandai dengan hilangnya
refleks bulu mata. Jika bulu mata disentuh, tidak ada gerakan pada
kelopak mata.
b. Anestesia Lokal/regional anestesi (http://www.medicastore.com/
apotik_online/obat_bius_lokal.htm)
Obat bius lokal/anestesi lokal atau yang sering disebut pemati
rasa adalah obat yang menghambat hantaran saraf bila digunakan
secara lokal pada jaringan saraf dengan kadar yang cukup. Obat bius
lokal bekerja pada tiap bagian susunan saraf. Obat bius lokal bekerja
19
merintangi secara bolak-balik penerusan impuls-impuls saraf ke
Susunan Saraf Pusat (SSP) dan dengan demikian menghilangkan
atau mengurangi rasa nyeri, gatal-gatal, rasa panas atau rasa dingin.
Obat bius lokal mencegah pembentukan dan konduksi impuls
saraf. Tempat kerjanya terutama di selaput lendir. Disamping itu,
anestesia lokal mengganggu fungsi semua organ dimana terjadi
konduksi/transmisi dari beberapa impuls. Artinya, anestesi lokal
mempunyai efek yang penting terhadap SSP, ganglia otonom,
cabang-cabang neuromuskular dan semua jaringan otot.
Persyaratan obat yang boleh digunakan sebagai anestesi
lokal:
1) Tidak mengiritasi dan tidak merusak jaringan saraf secara
permanen
2) Batas keamanan harus lebar
3) Efektif dengan pemberian secara injeksi atau penggunaan
setempat pada membran mukosa
4) Mulai kerjanya harus sesingkat mungkin dan bertahan untuk
jangka waktu yang yang cukup lama
5) Dapat larut air dan menghasilkan larutan yang stabil, juga stabil
terhadap pemanasan.
Secara kimia, anestesi lokal digolongkan sebagai berikut :
1) Senyawa ester
Adanya ikatan ester sangat menentukan sifat anestesi lokal sebab
pada degradasi dan inaktivasi di dalam tubuh, gugus tersebut
akan dihidrolisis. Karena itu golongan ester umumnya kurang
20
stabil dan mudah mengalami metabolisme dibandingkan golongan
amida. Contohnya: tetrakain, benzokain, kokain, prokain dengan
prokain sebagai prototip.
2) Senyawa amida
Contohnya senyawa amida adalah dibukain, lidokain, mepivakain,
prilokain dan bupivacaine.
3) Lainnya
Contohnya fenol, benzilalkohol, etilklorida, cryofluoran.
Anestesi lokal sering kali digunakan secara parenteral (injeksi)
pada pembedahan kecil dimana anestesi umum tidak perlu atau
tidak diinginkan.
Jenis anestesi lokal dalam bentuk parenteral yang paling
banyak digunakan adalah:
1) Anestesi permukaan.
Sebagai suntikan banyak digunakan sebagai penghilang rasa oleh
dokter gigi untuk mencabut geraham atau oleh dokter keluarga
untuk pembedahan kecil seperti menjahit luka di kulit. Sediaan ini
aman dan pada kadar yang tepat tidak akan mengganggu proses
penyembuhan luka.
2) Anestesi Infiltrasi.
Tujuannya untuk menimbulkan anestesi ujung saraf melalui injeksi
pada atau sekitar jaringan yang akan dianestesi sehingga
mengakibatkan hilangnya rasa di kulit dan jaringan yang terletak
lebih dalam, misalnya daerah kecil di kulit atau gusi (pada
pencabutan gigi).
21
3) Anestesi Blok
Cara ini dapat digunakan pada tindakan pembedahan maupun
untuk tujuan diagnostik dan terapi.
4) Anestesi Spinal
Obat anestesi di suntikan kedalam rongga Subaraknoid melalui
pungsi lumbal.di lakukan pada di bawah vertebra lumbal I pada
diskus Intervetebralis antara lumbal III dan IV.Anestesi spinal yang
berhasil akan memblok nervus simpatis yang mengakibatkan
vasodilatasi.
5) Anestesi Epidural
Blokade saraf dengan menempatkan obat di ruang
epidural(peridural,extradural).Ruang ini berada di antara
ligamentum flavum dan durameter. Bagian atas berbatasan
dengan foramen magnum di dasar tengkorak dan di bawah
dengan selaput sakrokogsigeal.
6) Anestesi Kaudal
Anestesi kaudal adalah bentuk anestesi epidural yang disuntikkan
melalui tempat yang berbeda yaitu ke dalam kanalis sakralis
melalui hiatus skralis.
Efek sampingnya adalah akibat dari efek depresi terhadap
SSP dan efek kardiodepresifnya (menekan fungsi jantung) dengan
gejala penghambatan penapasan dan sirkulasi darah. Anestesi lokal
dapat pula mengakibatkan reaksi hipersensitasi.
Ada anggapan bahwa obat bius lokal dianalogikan dengan
obat "doping" sehingga dilarang seperti kokain yang merupakan obat
22
doping yang merangsang. Kokain adalah anestetik lokal yang
pertama kali ditemukan. Saat ini, penggunaan kokain sangat dibatasi
utuk pemakaian topikal khususnya untuk anestesi saluran napas atas.
3. Informed consent
Informed consent adalah suatu proses yang menunjukkan
komunikasi yang efektif antara dokter dengan pasien, dan bertemunya
pemikiran tentang apa yang akan dan tidak akan dilakukan terhadap
pasien. Informed consent dilihat dari aspek hukum bukanlah sebagai
perjanjian antara dua pihak, melainkan lebih ke arah persetujuan sepihak
atas layanan yang ditawarkan pihak lain (Sampurna, dkk., 2005).
Menurut Dahlan (2003), definisi operasional dari informed
consent adalah suatu pernyataan sepihak dari orang yang berhak (yaitu
pasien, keluarga atau walinya) yang isinya berupa izin atau persetujuan
kepada dokter untuk melakukan tindakan medik sesudah orang yang
berhak tersebut diberi informasi secukupnya. Tujuan dari informed
consent adalah agar pasien mendapat informasi yang cukup untuk dapat
mengambil keputusan atas terapi yang akan dilaksanakan
(http://www.freewebs.com/ informedconsent_a1/ informedconsent.htm).
Demikian juga sebenarnya tindakan anestesi memenuhi
perumusan KUHP tentang Penggunaan Kekerasan pasal 89 yang
berbunyi : “Dianggap sama seperti menggunakan kekerasan suatu
tindakan yang membuat seseorang menjadi pingsan atau tidak berdaya”.
Maka seorang dokter spesialis anestesipun sebenarnya harus meminta
persetujuan pasien untuk dapat melakukan tindakan pembiusannya
(Guwandi, 2004).
23
Tiga elemen Informed consent : (Sampurna, dkk., 2005)
a. Threshold elements
Elemen ini sebenarnya tidak tepat dianggap sebagai elemen,
oleh karena sifatnya lebih ke arah syarat, yaitu pemberi consent
haruslah seseorang yang kompeten (cakap). Kompeten disini
diartikan sebagai kapasitas untuk membuat keputusan medis.
Kompetensi manusia untuk membuat keputusan sebenarnya
merupakan suaut kontinuum, dari sama sekali tidak memiliki
kompetensi hingga memiliki kompetensi yang penuh. Diantaranya
terdapat berbagai tingkat kompetensi membuat keputusan tertentu
(keputusan yang reasonable berdasarkan alasan yang reasonable).
Secara hukum seseorang dianggap cakap (kompeten) apabila
telah dewasa, sadar dan berada dalam keadaan mental yang tidak di
bawah pengampuan. Dewasa diartikan sebagai usia telah mencapai
21 tahun atau telah pernah menikah. Sedangkan keadaan mental
yang dianggap tidak kompeten adalah apabila mempunyai penyakit
mental sedemikian rupa sehingga kemampuan membuat keputusan
menjadi terganggu.
b. Information elements
Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, disclosure
(pengungkapan) dan understanding (pemahaman). Pengertian
”berdasarkan pemahaman yang adekuat membawa konsekuensi
kepada tenaga medis untuk memberikan informasi (disclosure)
sedemikian rupa sehingga pasien dapat mencapai pemahaman yang
adekuat. Dalam hal ini, seberapa ”baik” informasi harus diberikan
kepada pasien, dapat dilihat dari 3 standar, yaitu :
24
1) Standar Praktik Profesi
Bahwa kewajiban memberikan informasi dan kriteria keadekuatan
informasi ditentukan bagaimana biasanya dilakukan dalam
komunitas tenaga medis. Dalam standar ini ada kemungkinan
bahwa kebiasaan tersebut di atas tidak sesuai dengan nilai-nilai
sosial setempat, misalnya resiko yang ”tidak bermakna” (menurut
medis) tidak diinformasikan, padahal mungkin bermakna dari sisi
sosial pasien.
2) Standar pada reasonable person
Standar ini merupakan hasil kompromi dari kedua standar
sebelumnya, yaitu dianggap cukup apabila informasi yang
diberikan telah memenuhi kebutuhan umumnya orang awam.
c. Consent elements
Elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, voluntariness
(kesukarelaan, kebebasan) dan authorization (persetujuan).
Kesukarelaan mengharuskan tidak ada tipuan, misrepresentasi
ataupun paksaan. Pasien juga harus bebas dari ”tekanan” yang
dilakukan tenaga medis yang bersikap seolah-olah akan ”dibiarkan”
apabila tidak menyetujui tawarannya.
4. Hernia
a. Pengertian
Hernia berasal dari bahasa Latin “herniae” yaitu menonjolnya
isi suatu rongga melalui jaringan ikat tipis yang lemah pada dinding
rongga. Dinding rongga yang lemah itu membentuk suatu kantong
dengan pintu berupa cincin. Gangguan ini sering terjadi di daerah
25
perut dengan isi yang keluar berupa bagian dari usus
(http://id.wikipedia.org/wiki/ Hernia).
Hernia adalah keluarnya isi tubuh (biasanya abdomen) melalui
defek atau bagian terlemah dari dinding rongga yang bersangkutan.
Pada orang dewasa, hernia terjadi karena dua faktor. Pertama,
adanya otot dinding rongga, misalnya perut yang lemah. Kedua,
dorongan yang menyebabkan tekanan di dalam rongga perut
meningkat (http://perawatpskiatri.blogspot. com/2009/04/asuhan-
keperawatan-pasien-dengan-hernia.html).
Berdasarkan kedua definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa
hernia adalah keluarnya isi tubuh (biasanya abdomen) melalui defek
atau bagian terlemah dari dinding rongga yang bersangkutan.
b. Klasifikasi
Menurut Erfandi (2009), hernia dapat di klasifikasikan menurut
macam, sifat dan proses terjadinya.
1) Macam-macam hernia
Berdasarkan macamnya hernia didasarkan menurut letaknya,
seperti :
a) Inguinal. Hernia inguinal ini dibagi lagi menjadi :
(1) Indirek / lateralis.
Hernia ini terjadi melalui cincin inguinalis dan melewati
korda spermatikus melalui kanalis inguinalis. Ini umumnya
terjadi pada pria daripada wanita. Insidennya tinggi pada
bayi dan anak kecil. Hernia ini dapat menjadi sangat besar
dan sering turun ke skrotum. Umumnya pasien
26
mengatakan turun berok, burut atau kelingsir atau
mengatakan adanya benjolan di selangkangan / kemaluan.
Benjolan tersebut bisa mengecil atau menghilang pada
waktu tidur dan bila menangis, mengejan atau mengangkat
benda berat atau bila posisi pasien berdiri dapat timbul
kembali.
(2) Direk / medialis
Hernia ini melewati dinding abdomen di area kelemahan
otot, tidak melalui kanal seperti pada hernia inguinalis dan
femoralis indirek. Ini lebih umum pada lansia. Hernia
inguinalis direk secara bertahap terjadi pada area yang
lemah ini karena defisiensi kongenital. Hernia ini disebut
direkta karena langsung menuju anulus inguinalis eksterna
sehingga meskipun anulus inguinalis interna ditekan bila
pasien berdiri atau mengejan, tetap akan timbul benjolan.
Bila hernia ini sampai ke skrotum, maka hanya akan
sampai ke bagian atas skrotum, sedangkan testis dan
funikulus spermatikus dapat dipisahkan dari masa hernia.
Pada pasien terlihat adanya massa bundar pada anulus
inguinalis eksterna yang mudah mengecil bila pasien tidur.
Karena besarnya defek pada dinding posterior maka
hernia ini jarang sekali menjadi ireponibilis.
b) Femoral : Hernia femoralis terjadi melalui cincin femoral dan
lebih umum pada wanita daripada pria. Ini mulai sebagai
penyumbat lemak di kanalis femoralis yang membesar dan
27
secara bertahap menarik peritoneum dan hampir tidak dapat
dihindari kandung kemih masuk ke dalam kantung. Ada
insiden yang tinggi dari inkarserata dan strangulasi dengan
tipe hernia ini.
c) Umbilikal : Hernia umbilikalis pada orang dewasa lebih umum
pada wanita dan karena peningkatan tekanan abdominal. Ini
biasanya terjadi pada klien gemuk dan wanita multipara. Tipe
hernia ini terjadi pada sisi insisi bedah sebelumnya yang telah
sembuh secara tidak adekuat karena masalah pascaoperasi
seperti infeksi, nutrisi tidak adekuat, distensi ekstrem atau
kegemukan.
d) Incisional : batang usus atau organ lain menonjol melalui
jaringan parut yang lemah.
2) Terjadinya hernia
Berdasarkan terjadinya, hernia dibagi atas :
a) Hernia bawaan atau kongenital
Patogenesa pada jenis hernia inguinalis lateralis
(indirek), yaitu : kanalis inguinalis merupakan kanal yang
normal pada fetus. Pada bulan ke-8 kehamilan, terjadi
desensus testis melalui kanal tersebut. Penurunan testis
tersebut akan menarik peritonium ke daerah skrotum
sehingga terjadi penonjolan peritoneum yang disebut dengan
prosesus vaginalis peritonei. Pada bayi yang sudah lahir,
umumnya prosesus ini telah mengalami obliterasi sehingga isi
rongga perut tidak dapat melalui kanalis tersebut. Namun
28
dalam beberapa hal, kanalis ini tidak menutup. Karena testis
kiri turun terlebih dahulu, maka kanalis inguinalis kanan lebih
sering terbuka. Bila kanalis kiri terbuka maka biasanya yang
kanan juga terbuka. Dalam keadaan normal, kanalis yang
terbuka ini akan menutup pada usia 2 bulan. Bila prosesus
terbuka terus (karena tidak mengalami obliterasi) akan timbul
hernia inguinalis lateralis kongenital. Pada orang tua kanalis
tersebut telah menutup. Namun karena merupakan lokus
minoris resistensie, maka pada keadaan yang menyebabkan
tekanan intra-abdominal meningkat, kanal tersebut dapat
terbuka kembali dan timbul hernia inguinalis lateralis akuisita.
b) Hernia dapatan atau akuisita (acquisitus = didapat)
3) Menurut sifatnya
Berdasarkan sifatnya, hernia dapat disebut :
a) Hernia reponibel/reducible, yaitu bila isi hernia dapat keluar
masuk. Usus keluar jika berdiri atau mengedan dan masuk lagi
jika berbaring atau didorong masuk, tidak ada keluhan nyeri
atau gejala obstruksi usus.
b) Hernia ireponibel, yaitu bila isi kantong hernia tidak dapat
dikembalikan ke dalam rongga. Ini biasanya disebabkan oleh
perlekatan isi kantong pada peri tonium kantong hernia. Hernia
ini juga disebut hernia akreta (accretus = perlekatan karena
fibrosis). Tidak ada keluhan rasa nyeri ataupun tanda
sumbatan usus.
29
c) Hernia strangulata atau inkarserata (incarceratio =
terperangkap, carcer = penjara), yaitu bila isi hernia terjepit
oleh cincin hernia. Hernia inkarserata berarti isi kantong
terperangkap, tidak dapat kembali ke dalam rongga perut
disertai akibatnya yang berupa gangguan pasase atau
vaskularisasi. Secara klinis “hernia inkarserata” lebih
dimaksudkan untuk hernia ireponibel dengan gangguan
pasase, sedangkan gangguan vaskularisasi disebut sebagai
“hernia strangulata”. Hernia strangulata mengakibatkan
nekrosis dari isi abdomen di dalamnya karena tidak mendapat
darah akibat pembuluh pemasoknya terjepit. Hernia jenis ini
merupakan keadaan gawat darurat karenanya perlu mendapat
pertolongan segera.
c. Etiologi
Hernia yang terjadi pada anak-anak lebih disebabkan karena
kurang sempurnanya procesus vaginalis untuk menutup seiring
dengan turunnya testis atau buah zakar. Sementara pada orang
dewasa, dikarenakan adanya tekanan yang tinggi dalam rongga perut
dan faktor usia yang menyebabkan otot dinding perut lemah
(http://id.wikipedia.org/wiki/ Hernia).
Tekanan dalam perut yang meningkat dapat disebabkan oleh
batuk yang kronik, susah buang air besar, adanya pembesaran
prostat pada pria, serta orang yang sering mengangkut barang-
barang berat. Selain itu penyakit hernia akan meningkat sesuai
dengan penambahan umur. Hal tersebut dapat disebabkan oleh
melemahnya jaringan penyangga usus atau karena adanya penyakit
30
yang menyebabkan tekanan di dalam perut meningkat
(http://www.acehforum. or.id/hernia-turun-perut-t18449.html).
d. Patofisiologi
Defek pada dinding otot mungkin kongenital karena
kelemahan jaringan atau ruas luas pada ligamen inguinal, atau dapat
disebabkan oleh trauma. Tekanan intra-abdominal paling umum
meningkat sebagai akibat dari kehamilan atau kegemukan.
Mengangkat berat juga menyebabkan peningkatan tekanan, seperti
pada batuk dancedera traumatik karena tekanan tumpul. Bila dua
faktor ini ada bersama dengan kelemahan otot, individu akan
mengalami hernia.
e. Manifestasi Klinis
Keadaan umum pasien biasanya baik, bila benjolan tidak
tampak pasien dapat disuruh mengejan dengan menutup mulut dalam
keadaan berdiri. Bagian hernia terdiri dari cincin, kantong, dan isi
hernia itu sendiri. Isi hernia yaitu usus, ovarium, dan jaringan
penyangga usus (omentum). Bila ada bagian yang lemah dari lapisan
otot dinding perut, maka usus dapat keluar ke tempat yang tidak
seharusnya, yakni bisa ke diafragma (batas antara perut dan dada),
bisa di lipatan paha, atau di pusar. Umumnya hernia tidak
menyebabkan nyeri. Namun, akan terasa nyeri bila isi hernia terjepit
oleh cincin hernia. Infeksi akibat hernia menyebabkan penderita
merasakan nyeri yang hebat, dan infeksi tersebut akhirnya menjalar
dan meracuni seluruh tubuh. Jika sudah terjadi keadaan seperti itu,
maka harus segera ditangani oleh dokter karena dapat mengancam
nyawa penderita (Mansjoer, 2000).
31
Menurut Erfandi (2009), hernia yang tidak inkarserata /
strangulata tidak memberi gejala apa-apa, kecuali menonjol keluar
terutama bila mengejan. Pada hernia inkarserata / strangulata, karena
terdapat obstruksi menimbulkan hiperperistalsis dan akhirnya kolik
abdomen.
f. Penatalaksanaan medical
Hernia yang tidak terstrangulata atau inkarserata dapat
secara mekanis berkurang. Suatu penyokong dapat digunakan untuk
mempertahankan hernia berkurang. Penyokong ini adalah bantalan
yang diikatkan ditempatnya dengan sabuk. Bantalan ditempatkan
diatas hernia setelah hernia dikurangi dan dibiarkan ditempatnya
untuk mencegah hernia dari kekambuhan. Klien harus secara cermat
memperlihatkan kulit dibawah penyokong untuk memanifestasikan
kerusakan (Erfandi, 2009. ¶1. Hernia. http:// Puskesmas Oke.
blogspot.com/ 2009/01/11/Puskesmas_Oke_Hernia.htm, diunduh 13
Agustus 2009).
g. Penatalaksanaan bedah
Perbaikan hernia dilakukan dengan menggunakan insisi
kecil secara langsung diatas area yang lemah. Usus ini kemudian
dikembalikan ke rongga perineal, kantung hernia dibuang dan otot
ditutup dengan kencang diatas area tersebut. Hernia di region inguinal
biasanya diperbaikan hernia saat ini dilakukan sebagai prosedur
rawat jalan.
Beberapa perbaikan sulit dilakukan karena ada insufisiensi
massa otot untuk mempertahankan usus ditempatnya. Pada kasus ini,
32
graft mata jala tembaga (steel mesh) digunakan untuk menguatkan
area herniasi. Klien dengan kesulitan perbaikan biasanya dirawat di
rumah sakit selama 1-2 hari untuk mendapatkan antibiotik profilaksis
(Erfandi, 2009. ¶2. Hernia. http://PuskesmasOke.blogspot.com/
2009/01/11/Puskesmas_Oke_Hernia.htm, diunduh 13 Agustus 2009).
B. Landasan Teori
Beberapa teori yang telah diuraikan perlu intervensi
berkesinambungan dan fokus untuk informed consent pre anestesi dalam
rangka pemahaman persetujuan tindakan medik yang bukan hanya consent-
nya saja tetapi lebih kepada adanya informed untuk diberikan pada setiap
pasien dengan tindakan anestesi. Sebelum dan sesudah pemberian informed
consent tetap memperhatikan respon kecemasan.
Kecemasan merupakan keadaan emosi yang tidak menyenangkan
yang ditandai dengan istilah seperti khawatir, tegang, takut yang dihasilkan
dari ancaman-ancaman terhadap kebahagiaan dan ketenangan dan dialami
oleh semua manusia dengan derajat yang berbeda (Depkes RI, 2004 dan
Stuart, 2007) Ancaman tersebut dikelompokkan menjadi ancaman integritas
fisik dan ancaman terhadap harga diri (Suliswati, dkk., 2005).
Ancaman intergritas fisik meliputi sumber internal bila pasien
mengalami kegagalan mekanisme fisiologi sistem umun, regulasi suhu tubuh
dan perubahan biologis (hamil). Sedangkan sumber eksternal bila mengalami
paparan terhadap infeksi virus dan bakteri, polutan lingkungan, kecelakaan,
kekurangan nutrisi, tidak adekuatnya tempat tinggal (Suliswati, dkk., 2005).
Ancaman terhadap harga diri meliputi sumber internal bila pasien
mengalami kesulitan dalam berhubungan interpersonal dirumah dan tempat
kerja, penyesuaian terhadap peran baru. Sedangkan sumber eksternal bila
33
mengalami kehilangan orang yang dicintai, perceraian, perubahan status
pekerjaan, tekanan kelompok dan sosial budaya (Suliswati, dkk., 2005).
Tingkat kecemasan pre operasi hernia merupakan kekhawatiran yang
tidak jelas dan menyebar yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan
tidak berdaya yang dialami oleh pasien yang akan menjalani operasi hernia
dengan tindakan general anestesi maupun regional anestesi. Anestesi
merupakan suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan
pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit
pada tubuh (http://id.wikipedia.org/wiki/ Anestesi, diunduh 13 Agustus 2009)
General anestesi (anestesi umum) menyebabkan mati rasa yang
merupakan tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya
kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversibel). General anestesi pada
umumnya dikerjakan dengan induksi secara intravena, inhalasi,
intramuskular dan per rektal (Persatuan Perawat Nasional Indonesia Kota
Bontang Kalimantan Timur, 2009. ¶ 6. Anestesi Umum.
http://ppnibontang.blogspot.com/2009/03/anestesi-umum_10.html, diunduh
13 Agustus 2009).
Regional anestesi (anestesi lokal) merupakan obat yang
menghambat hantaran saraf bila digunakan secara lokal pada jaringan saraf
dengan kadar yang cukup. Obat bius jenis ini bila digunakan dalam operasi
pembedahan, maka setelah selesai operasi tidak membuat lama waktu
penyembuhan operasi. Jenis anestesi lokal dalam bentuk parenteral yang
paling banyak digunakan adalah anestesi permukaan, anestesi infiltrasi,
anestesi blok, anestesi spinal, anestesi epidural dan anestesi kaudal
(http://www.medicastore.com/ apotik_online/obat_bius_lokal.htm).
34
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka kerangka
teoritis dalam penelitian ini dapat digambarkan seperti berikut di bawah ini :
Gambar 2.3. Kerangka Teori
Sumber : Suliswati, dkk. (2005), PPNI Kota Bontang Kalimantan Timur, (2009) dan http://www.medicastore.com/apotik_online/obat_ bius_lokal.htm
Pendi-dikan
Umur
Pemberian informed consent pada tindakan :
1. General anestesi a. Induksi intravena b. Induksi inhalasi c. Induksi
intramuskular d. Induksi pe rektal.
2. Regional anestesi a. Anestesi permukaan b. Anestesi infiltrasi c. Anestesi blok d. Anestesi spinal e. Anestesi epidural f. Anestesi kaudal
Jenis kelamin
Tingkat kecemasan pasien pre
operasi hernia
Ancaman terhadap integritas fisik, meliputi : 1. Internal : kegagalan
mekanisme fisiologi, sistem imun, regulasi suhu tubuh, perubahan biologis normal (hamil)
2. Eksternal : paparan terhadap infeksi virus dan bakteri, polutan lingkungan, kecelakaan, kekurangan nutrisi, tidak adekuatnya tempat tinggal
Ancaman terhadap harga diri, meliputi sumber : 1. Internal : kesulitan
dalam berhubungan interpersonal di rumah dan tempat kerja, penyesuaian tehadap peran baru.
2. Eksternal : kehilangan orang yang dicintai, perceraian, perubahan status pekerjaan, tekanan kelompok dan sosial budaya. Berat
Panik
Ringan
Sedang
35
C. Kerangka Konsep
Variabel Bebas Variabel Terikat
Variabel Pengganggu
Keterangan:
: Diteliti
: Tidak diteliti
Gambar 2.4. Kerangka Konsep
D. Hipotesis Penelitian
Terdapat perbedaan tingkat kecemasan pasien pre operasi hernia setelah
pemberian informed consent pada tindakan general anestesi dan regional
anestesi di RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang
Tingkat kecemasan pasien pre operasi
hernia 1. Panik 2. Berat 3. Sedang 4. Ringan
Pemberian informed consent pada tindakan general anestesi dan
regional anestesi
- Pendidikan - Umur - Jenis kelamin
36
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian cross sectional dengan observasi
Analitik yaitu peneliti mengukur variabel di suatu saat secara bersamaan dan
data yang di peroleh mengambarkan kondisi yang terjadi saat penelitian di
lakukan, untuk mengetahui perbedaan tingkat kecemasan pasien pre op
hernia setelah pemberian informed concent pada tindakan General Anestesi
dan Regional Anestesi.
GA X1 Q1
RA X2 Q2
Keterangan:
GA : General anestesi
RA : Regional anestesi
X1 : Pemberian informed consent pada tindakan GA
X2 : Pemberian informed consent pada tindakan RA
O1 : Tingkat kecemasan GA sesudah pemberian informed consent.
O2 : Tingkat kecemasan RA sesudah pemberian informed consent.
B. Tempat dan Waktu Pelaksanaan
Penelitian dilaksanakan di RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang pada
bulan Desember- Januari 2010.
37
C. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang menyangkut
masalah yang diteliti. Variabel tersebut bisa berupa orang, kejadian,
perilaku atau sesuatu yang akan dilakukan penelitian (Notoatmodjo,
2002). Rata-rata per bulan pasien yang menjalani op hernia dengan
tindakan GA maupun RA sebanyak 27 orang. Populasi dalam penelitian
ini adalah semua pasien dalam kurun waktu dua bulan dengan tindakan
general anestesi dan regional anestesi yang akan menjalani op hernia di
RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang, yaitu sebanyak 54 orang.
2. Sampel
Sampel adalah bagian yang diambil dari keseluruhan objek yang
diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi yang diambil dengan cara
atau teknik tertentu (Notoatmodjo, 2002). Kriteria pengambilan sampel
yang digunakan sebagai berikut :
a. Pasien pre operasi hernia dengan GA atau RA.
b. Umur 20-50 tahun
c. Pendidikan SD – PT
d. Bersedia menjadi responden.
e. Dapat berkomunikasi dengan baik
f. Tidak mengalami gangguan jiwa
Penentuan besar sampel ditentukan berdasarkan untuk menguji hipotesis
proporsi pada dua kelompok, dengan menggunakan rumus : (Notoatmojo,
2003).
n = N
1 + N ቀd2ቁ
38
Keterangan :
N = Besar Populasi
n = Besar Sampel
d = Tingkat kepercayaan/ketepatan yang di inginkan (0,052)
Dengan rumus di atas peneliti menetapkan N = 54, d = 0,05; adapun
perhitungannya sebagai berikut :
n = 54
1 + 54 ቀ0,052ቁ
= 541,135
= 47,577 ≈ 48
Berdasar perhitungan di atas maka sampel yang diambil sebesar 48
orang, sehingga untuk masing-masing kelompok didapat 24 orang
sebagai sampel.
D. Variabel Penelitian
Variabel mengandung pengertian yaitu ukuran atau ciri yang dimiliki
oleh anggota suatu kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki oleh
kelompok lain. Definisi lain variabel adalah segala sesuatu yang berbentuk
apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh
informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono,
2007). Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Variabel bebas
Variabel bebas adalah varibel yang menjadi sebab timbulnya atau
berubahnya varibel terikat (Sugiyono, 2007). Variabel bebas dalam
penelitian ini adalah pemberian informed consent pada tindakan general
anestesi dan regional anestesi.
39
2. Variabel terikat
Variabel terikat adalah varibel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat,
karena adanya variabel bebas (Sugiyono, 2007). Variabel terikat dalam
penelitian ini adalah tingkat kecemasan pasien pre operasi hernia.
E. Definisi Operasional
1. Pemberian informed consent pada tindakan general anestesi dan regional
anestesi merupakan intervensi kepada pasien yang akan dilakukan
tindakan general anestesi dan regional anestesi dengan cara memberikan
Informasi tentang semua tindakan yang berkaitan dengan operasi yang
akan dijalani. Informasi yang sudah difahami kemudian disepakati
didokumentasikan dalam bentuk lembar persetujuan yang diakhiri dengan
penandatanganan dari kedua belah pihak.
Skala Nominal
2. Tingkat kecemasan pasien pre operasi hernia adalah kekhawatiran yang
tidak jelas dan menyebar yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan
tidak berdaya yang dialami oleh pasien pre operasi hernia. Tingkat
kecemasan diukur dengan menggunakan alat ukur tingkat kecemasan
klien yaitu Hamilton Rating Scale for Anxiety (HRS-A). Alat ukur ini terdiri
dari 14 kelompok, gejala masing-masing kelompok dirinci lagi dengan
gejala-gejala yang lebih spesifik. Masing-masing kelompok gejala diberi
penilaian angka (Score) antara 0-4, bila responden tidak mengalami
gejala (keluhan) diberi nilai 0, nilai 1 bila responden mengalami satu
gejala, nilai 2 bila responden mengalami dua gejala, nilai 3 bila responden
mengalami 3 gejala dan nilai 4 bila responden mengalami empat gejala
atau lebih.
Data hasil pengukuran tingkat kecemasan dikategorikan sebagai berikut
(Hawari, 2001) :
40
Total Nilai (Score) : < 14 = tidak ada kecemasan.
14-20 = kecemasan ringan
21-27 = kecemasan sedang
28-41 = kecemasan berat
42-56 = kecemasan berat sekali.
Skala : ordinal Untuk kepentingan uji hipotesis digunakan data dengan skala : Interval.
3. Faktor individu yang didapatkan dari kuesioner identitas diri, yang terdiri
dari :
a. Pendidikan adalah jenjang pendidikan terakhir yang pernah ditempuh
pasien SLTP, SLTA dan Perguruan Tinggi. Skala Nominal.
b. Umur adalah usia subyek penelitian saat pengisian kuesioner.
Variabel ini berupa skala nominal.
c. Jenis kelamin adalah jenis kelamin yang dimiliki oleh subyek
penelitian. Variabel ini berupa laki-laki dan perempuan.
skala nominal
d. Jenis anestesi adalah jenis general anastesi dan regional anestesi
subyek penelitian yang dijalankan. Variabel ini berupa skala nominal.
e. Pekerjaan adalah jenis pekerjaan yang dimiliki oleh subyek penelitian.
PNS, swasta, buruh, pedagang, petani, wiraswasta, pelajar,
mahasiswa, tidak bekerja dan lain-lain. Variabel ini berupa skala
nominal
41
F. Instrumen Penelitian
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah instrumen
tingkat kecemasan Hamilton Rating Scale for Anxiety (HRS-A) (Lampiran 5),
alat ini terdiri dari 14 kelompok gejala. Masing-masing kelompok dirinci lagi
dengan gejala yang lebih spesifik. Dengan penilaian angka antara 0–4, yang
artinya adalah nilai 0 = tidak ada gejala (keluhan), 1 = gejala ringan, 2 =
gejala sedang, 3 = gejala berat, 4 = gejala berat sekali (panik).
G. Uji Validitas dan Reliabilitas
Hamilton Rating Scala for Anxiety (HRS-A) yang merupakan alat ukur
kecemasan responden, dalam penelitian ini peneliti tidak melakukan uji coba
karena instrument ini sudah baku, Hawari (2001) menyatakan alat ukur ini
dapat di gunakan untuk mengetahui sejauh mana derajat kecemasan
seseorang apakah ringan, sedang, berat atau berat sekali.
H. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini responden terdiri dari dua kelompok yaitu
kelompok yang akan menjalani general anestesi dan kelompok yang akan
menjalani regional anestesi diamati tingkat kecemasannya. Responden
diminta untuk menandatangani surat persetujuan untuk menjadi responden.
Data dari hasil checklist yang terkumpul kemudian dilakukan pengolahan data
dengan langkah-langkah yaitu editing, coding, transfering dan tabulating.
I. Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data pada dasarnya merupakan suatu proses untuk
memperoleh data atau data ringkasan berdasarkan kelompok data mentah
dengan menggunakan rumus tertentu sehingga menghasilkan informasi yang
diperlukan (Setiadi, 2007).
42
1. Pengolahan data meliputi 6 kegiatan, yaitu:
a. Editing / memeriksa
Adalah memeriksa kelengkapan data yang telah terkumpul.
b. Coding / memberi tanda kode
Adalah mengklasifikasikan yaitu pemberian kode 0 untuk tidak ada
gejala kecemasan, 1 untuk gejala ringan, 2 untuk gejala sedang, 3
untuk gejala berat dan 4 untuk gejala berat sekali (panik)
c. Sorting
Adalah mensortir dengan memilih atau mengelompokkan data
menurut jenis yang dikehendaki (klasifikasi data).
d. Entry data
Jawaban yang sudah diberi kode kategori kemudian dimasukkan
dalam tabel dengan cara menghitung frekuensi data.
e. Cleaning
Pembersihan data, melihat kebenaran variabel.
f. Mengeluarkan informasi
Disesuaikan dengan tujuan penelitian.
2. Analisa data
Metode analisis data ini dilakukan dengan tujuan agar data hasil
penelitian yang masih berupa data kasar menjadi lebih mudah untuk
dibaca dan diinterpretasikan. Metode analisa data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah :
a. Analisis Univariat, yaitu dengan menganalisis variabel-variabel yang
ada secara deskriptif dengan menghitung distribusi frekuensi dan
proporsinya untuk mengetahui karakteristik responden.
43
b. Analisis Bivariat, yaitu analisis data yang dilakukan untuk mengetahui
hubungan antara variabel bebas yaitu pemberian informed consent
pada tindakan general anestesi dan regional anestesi terhadap
variabel terikat yaitu tingkat kecemasan pasien pre operasi hernia,
karena untuk uji hipotesa menggunakan skala interval maka analisa
datanya menggunakan independent sample t-test dengan bantuan
komputer program SPSS 13 for Windows.
43
44
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran RSUD Namlea Kabupaten Buru
RSUD Namlea Kabupaten Buru adalah rumah sakit milik
pemerintah Kabupaten Buru yang didirikan pada tahun 1983, dengan
klasifikasi kelas C. Sebelumnya merupakan UPT Dinas Kesehatan
Kabupaten Maluku Tengah, tetapi dalam perkembangannya, seiring
dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 46 tahun 1999 tentang
pembentukan Provinsi Maluku Utara, Kabupaten Buru dan Kabupaten
MTB, maka secara otomatis RSUD Kabupaten Buru menjadi UPT
Dinas Kesehatan Kabupaten Buru. Saat ini status, kelembagaan dan
pengelolaannya adalah sesuai dengan PERDA Nomor 7 tahun 2007
tentang Struktur Kelembagaan dan Fungsi RSUD Kabupaten Buru.
RSUD Namlea Kabupaten Buru berdiri diatas tanah seluas
3.468 m2 dengan luas bangunan 1.365 m2 yang terdiri atas gedung
rawat jalan, gedung rawat inap kelas I dan II, gedung rawat inap kelas
III, gedung rawat inap anak, gedung rawat pasien isolasi dan kamar
jenazah, gedung kebidanan, gedung ruang operasi, gedung radiologi,
ruangan UGD, gedung kantor, gudang generator dan gedung instalasi
gizi.
RSUD Namlea Kabupaten Buru mempunyai total 183 pegawai,
yang terdiri dari 92 PNS, 15 PTT Pusat, 2 pegawai kontrak, 2 pegawai
honor daerah, 63 PTT daerah dan 9 pegawai sukarela. Dari 92 PNS,
45
terdiri dari 2 dokter ahli yaitu ahli Obstetri dan Ginekologi dan ahli
Radiologi, 4 dokter umum dengan 1 orang berstatus tugas belajar pada
PPDS Penyakit Dalam Universitas Brawijaya Malang, 1 orang
apoteker, 54 orang paramedis perawatan, 17 paramedis non
perawatan, 14 tenaga administrasi. Tenaga medis PTT pusat 15 orang,
yang terdiri dari 10 dokter umum, 2 dokter gigi, 1 dokter spesialis paru
dan 2 tenaga bidan. Pegawai kontrak (residen) terdiri dari 2 orang,
yaitu bedah dan anastesi yang diperbantukan di RSUD Namlea sesuai
kompetensinya berdasarkan perjanjian kerjasama antara pemerintah
Kabupaten Buru dan Universitas Hasanuddin mengenai Peningkatan
Pelayanan Spesialis di RSUD Namlea. Pegawai honorer daerah terdiri
dari 2 orang tenaga non paramedis. PTT Daerah 63 orang, yang terdiri
dari 1 orang dokter umum, 28 tenaga paramedis perawatan, 7 orang
tenaga paramedis non perawatan dan 28 orang tenaga non paramedis.
Selain itu terdapat 9 orang pegawai sukarela, yang terdiri dari 6 orang
tenaga paramedis peraatan, 2 orang tenaga paramedis non perawatan
dan 1 orang tenaga non paramedis.
Organisasi RSUD Namlea Kabupaten Buru terdiri dari
beberapa instalasi, yang terdiri dari intalasi rawat jalan, instalasi rawat
inap, instalasi gawat darurat, instalasi bedah sentral dan instalasi
penunjang. Dalam peningkatan mutu pelayanan kesehatan sampai
tahun 2009 RSUD Namlea Kabupaten Buru sudah mencakup
pelayanan spesialis bedah, spesialis paru, spesialis obstetri dan
gynekologi, spesialis anestesi dan spesialis radiologi.
46
B. Hasil Penelitian
Analisis Univariat
a. Jumlah Responden
Responden yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pasien pre general anestesi dengan tindakan appendiktomi yang
berada di RSUD Namlea Kabupaten Buru. Total responden
dalam penelitian ini berjumlah 30 orang. Dalam penelitian ini
diperoleh data tentang karakteristik responden berdasarkan
usia, jenis kelamin, teknik general anestesi, pendidikan,
pekerjaan, pengalaman mengenai operasi dan status sosial.
b. Karakteristik responden
Data umur responden penelitian menunjukkan bahwa
pasien yang memiliki umur paling rendah 17 tahun dan
maksimum berusia 60 tahun. Rata-rata umur responden di
kedua kelompok tanpa mobilisasi dan dengan mobilisasi adalah
42 tahun. Peneliti selanjutnya mengelompokkan umur menjadi
dua, yaitu : < 40 tahun dan ≥ 40 tahun. Sebagian besar
responden yaitu 24 orang (80,0%) memiliki usia < 40 tahun,
sedangkan sisanya 6 orang (20%) memiliki usia ≥ 40 tahun.
Sebagian besar responden yaitu 17 orang (46,7%) berjenis
kelamin perempuan, sedangkan sisanya 13 orang (43,3%)
berjenis kelamin laki-laki. Sebagian besar responden yaitu 25
orang (83,3%) dilakukan tindakan general anestesi fase mask,
sedangkan sisanya 5 orang (16,7%) dilakukan intobasi.
47
Sebagian besar responden yaitu 16 orang (53,3%)
berpendidikan SLTA, hanya 3 orang (10,0%) responden yang
berpendidikan SD. Sebagian besar responden yaitu 12 orang
(40,0%) mempunyai pekerjaan sebagai pelajar. Adapun
responden yang mempunyai pekerjaan sebagai pensiunan dan
tidak bekerja masing-masing hanya 1 orang (3,3%). Adapun
hasil dapat dilihat dalam Tabel 4.1 sebagai berikut :
Tabel 4.1 : Distribusi responden sebelum dan sesudah pemberian informed consent pada pasien pre general anestesi dengan tindakan apendiktomi di RSUD Namlea Kabupaten Buru Tahun 2010
No Karakteristik Frekwensi Persen (%) 1 Umur a. < 40 tahun 24 80,0 b. ≥ 40 tahun 6 20,0
2 Jenis Kelamin a. Laki-laki 13 43,3 b. Perempuan 17 46,7
3 Teknik General Anestesi a. Fase Mask 25 83,3 b. Intobasi 5 16,7
4 Pendidikan a. SD 3 10,0 b. SLTP 6 20,0 c. SLTA 16 53,3 d. D3/S1 5 16,7
5 Pekerjaan a. PNS 7 23,3 b. Pedagang 2 6,7 c. Petani 4 13,3 d. Pelajar 12 40,0 e. IRT 3 10,0 f. Pensiunan 1 3,3 g. Tidak bekerja 1 3,3 Total 30 100
48
c. Distribusi tingkat kecemasan sebelum dan sesudah pemberian
informed consent pada pasien pre general anestesi dengan
tindakan apendiktomi
Distribusi responden berdasarkan tingkat kecemasan
sebelum dan sesudah pemberian informed consent pada pasien
pre general anestesi dengan tindakan apendiktomi pada
penelitian ini tersaji dalam berikut.
Tabel 4.2 Distribusi frekwensi berdasarkan tingkat kecemasan sebelum pemberian informed consent pada pasien pre general anestesi dengan tindakan apendiktomi di RSUD Namlea Kabupaten Buru Tahun 2010
No Kriteria Tingkat Kecemasan Frekwensi Persen
1 Tidak ada gejala (keluhan) 0 0,0
2 Gejala ringan 0 0,0
3 Gejala sedang 25 83,3
4 Gejala berat 5 16,7
5 Gejala berat sekali (panik) 0 0,0
Total 30 100%
Dalam tabel 4.2 tersebut nampak jelas bahwa tingkat
kecemasan sebelum pemberian informed consent pada pasien
pre general anestesi dengan tindakan apendiktomi di RSUD
Namlea Kabupaten Buru sebagian besar yaitu 25 orang (83,3%)
mempunyai gejala sedang, sedangkan sisanya yaitu 5 orang
(16,7%) mempunyai gejala berat.
49
Tabel 4.3 Distribusi frekwensi berdasarkan tingkat kecemasan sesudah pemberian informed consent pada pasien pre general anestesi dengan tindakan apendiktomi di RSUD Namlea Kabupaten Buru Tahun 2010
No Kriteria Tingkat Kecemasan Frekwensi Persen
1 Tidak ada gejala (keluhan) 4 13,3
2 Gejala ringan 26 86,7
3 Gejala sedang 0 0,0
4 Gejala berat 0 0,0
5 Gejala berat sekali (panik) 0 0,0
Total 30 100%
Dalam tabel 4.3 tersebut nampak jelas bahwa tingkat
kecemasan sesudah pemberian informed consent pada pasien
pre general anestesi dengan tindakan apendiktomi di RSUD
Namlea Kabupaten Buru sebagian besar yaitu 26 orang (86,7)
memiliki tingkat kecemasan dengan gejala ringan, sedangkan
sisanya 4 orang (13,3%) tidak menunjukkan adanya gejala
kecemasan.
Analisis inferensial perbedaan tingkat kecemasan
sebelum dan sesudah pemberian informed consent pada pasien
pre general anestesi dengan tindakan appendiktomi
Hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat perbedaan
tingkat kecemasan sebelum dan sesudah pemberian informed
consent pada pasien pre general anestesi dengan tindakan
appendiktomi di RSUD Namlea Kabupaten Buru. Data
pemberian informed consent untuk mengetahui tingkat
50
kecemasan pada pasien pre general anestesi dengan tindakan
appendiktomi yang diperoleh dari uji instrumen The Amsterdam
Preoperatif Anxiety and Information Scale (APAIS) pada 30
orang. Untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan tingkat
kecemasan sebelum dan sesudah pemberian informed consent
pada pasien pre general anestesi dengan tindakan appendiktomi
digunakan Wilcoxon Rank Test. Uji statistik dalam penelitian ini
menggunakan bantuan komputer yaitu program SPSS 13.0 for
windows. Berikut ini adalah hasil Wilcoxon Rank Test :
Tabel 4.4 Uji Beda Wilcoxon tingkat kecemasan sebelum dan sesudah pemberian informed consent pada pasien pre general anestesi dengan tindakan apendiktomi
Perlakuan
Gejala Tingkat Kecemasan
Total P Tidak ada
gejala (keluhan)
Ringan Sedang Berat
n % n % n % n % n % Sebelum informed consent
0 0,0 0 0,0 25 83,3 5 16,7 30 100,0 0,000
Setelah informed consent
4 13,3 26 86,7 0 0,0 0 0,0 30 100,0
4 6,7 26 43,3 25 41,7 5 8,3 60 .
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa pasien
sebelum diberi informed consent sebagian besar yaitu 25 orang
(83,3%) mengalami kecemasan tingkat sedang, sedangkan
sisanya 5 orang (16,7%) mengalami tingkat kecemasan berat.
Pasien yang sudah diberi informed consent sebagian besar yaitu
26 orang (86,7%) mengalami kecemasan tingkat ringan,
51
sedangkan sisanya 4 orang (13,3%) tidak mengalami gejala
kecemasan. Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa
hasil analisis data menggunakan Wilcoxon Rank Test dengan
hasil terdapat perbedaan tingkat kecemasan yang signifikan
(bermakna) dengan p = 0,000 (p < 0,05) antara pasien sebelum
dan sesudah diberi informed consent.
Berdasarkan uji tersebut dapat diketahui bahwa rata-
rata skor tingkat kecemasan sebelum pemberian informed
consent sebesar 3,17 dan rata-rata skor tingkat kecemasan
sesudah pemberian informed consent 1,87, sehingga dari rata-
rata tersebut dapat diketahui bahwa tingkat kecemasan pasien
sesudah pemberian informed consent akan berkurang
dibandingkan sebelum diberi informed consent. Dan
berdasarkan uji Wilcoxon tersebut disimpulkan bahwa tingkat
kecemasan sesudah pemberian informed consent lebih kecil
dibandingkan tingkat kecemasan sebelum pemberian informed
consent.
C. Pembahasan
Data penelitian menunjukkan tingkat kecemasan responden
sebelum dan sesudah pemberian informed consent pada pasien pre
general anestesi dengan tindakan appendiktomi sebagian besar
berumur < 40 tahun. Seperti dalam teori Mansjoer (2000), penyebab
apendicitis diduga disebabkan oleh meningkatnya pola makan berserat
52
dalam menu sehari-hari, insiden tertnggi terjadi pada kelompok umur
20-30 tahun, setelah itu menurun. Dalam penelitian ini menggunakan
teknik aksidental, sehingga dapat dimungkinkan banyak pasien dengan
jenis kelamin perempuan dengan teknik general anestesi fase mask,
berpendidikan SLTA dan pekerjaan sebagai pelajar yang menjalani
operasi apendiktomi berdasarkan nomor urut pasien yang masuk ke
kamar operasi.
Menurut (Stuart, 2007), kecemasan adalah kekhawatiran yang
tidak jelas dan menyebar yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti
dan tidak berdaya. Kecemasan berbeda dengan rasa takut,
karakteristik rasa takut adalah obyek atau sumber yang spesifik dan
dapat diidentifikasi serta dapat dijelaskan oleh individu. Rasa takut
terbentuk dari proses kognitif yang melibatkan penilaian intelektual
terhadap stimulus yang mengancam. Ketakutan disebabkan oleh hal
yang bersifat fisik dan psikologis ketika individu dapat mengidentifikasi
dan menggambarkannya (Suliswati dkk, 2005).
Informed consent (persetujuan setelah penjelasan) didefinisikan
sebagai penjelasan kepada seseorang terhadap apa yang akan
dilakukan pada seorang pasien mencakup tujuan, cara kerja,
kegunaan dan juga kemungkinan risiko yang mungkin terjadi akibat
suatu proses atau tindakan yang akan diambil. Selain itu, informed
consent juga merupakan salah satu syarat atau payung yang
digunakan para peneliti atau para dokter dalam melakukan suatu
tindakan yang akan diambil terhadap kliennya (Andalas, 2009).
53
Menurut Sampurna, dkk., (2005), informed consent adalah
suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif antara dokter
dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan
tidak akan dilakukan terhadap pasien. Informed consent dilihat dari
aspek hukum bukanlah sebagai perjanjian antara dua pihak, melainkan
lebih ke arah persetujuan sepihak atas layanan yang ditawarkan pihak
lain.
Tiga elemen yang perlu diperhatikan dalam pemberian
informed consent, yaitu treshold elements, information elements dan
consent elements. Pada treshold elements, elemen ini sifatnya lebih ke
arah syarat, yaitu pemberi consent haruslah seseorang yang kompeten
(cakap) dalam membuat keputusan medis. Selanjutnya information
elements, elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, disclosure
(pengungkapan) dan understanding (pemahaman). Artinya
pemahaman yang adekuat membawa konsekuensi tenaga medis
untuk memberikan informasi (disclosure) sedemikian rupa sehingga
pasien dapat mencapai pemahaman yang adekuat. Selain itu consent
elements, elemen ini terdiri dari dua bagian yaitu, voluntariness
(kesukarelaan, kebebasan) dan authorization (persetujuan).
Kesukarelaan mengharuskan tidak ada tipuan, misrepresentasi
ataupun paksaan serta pasien juga harus bebas dari ”tekanan” yang
dilakukan tenaga medis yang bersikap seolah-olah akan ”dibiarkan”
apabila tidak menyetujui tawarannya.
54
Berdasarkan hasil penelitian di atas diketahui bahwa tingkat
kecemasan sebelum dan sesudah pemberian informed consent pada
pasien pre general anestesi dengan tindakan apendiktomi terdapat
perbedaan yang signifikan, karena tingkat kecemasan sesudah
pemberian informed consent lebih kecil dibandingkan sebelum
pemberian informed consent. Hal ini ditunjukkan oleh perhitungan
Wilcoxon Rank Test yang berbeda secara bermakna dengan p = 0,000
(p < 0,05) antara pasien sebelum dan sesudah diberi informed
consent. Dalam penelitian ini diketahui bahwa tingkat kecemasan
sebelum pemberian informed consent sebagian besar yaitu 25 orang
(83,3%) responden menunjukkan gejala kecemasan sedang.
Selanjutnya sesudah pemberian informed consent sebagian besar
yaitu 26 orang (86,7%) responden menunjukkan gejala kecemasan
ringan.
Marlinda (2000) dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa
pasien yang diberi informasi pre operasi terhadap kecemasan pasien
yang akan menjalani apendiktomi sebagian besar yaitu 30 responden
(36,7%) mengalami kecemasan ringan dan 19 responden (63,3%)
mengalami kecemasan berat serta ada pengaruh yang signifikan
antara informasi yang diperoleh dengan tingkat kecemasan pasien
yang akan menjalani apendektomi. Hal itu senada dengan penelitian ini
karena setelah pemberian informed consent pada pasien pre general
anestesi dengan tindakan appendiktomi sebagian besar yaitu 26 orang
55
(86,7%) mengalami kecemasan ringan dan sisanya 4 orang (13,3%)
tidak mengalami kecemasan.
Menurut peneliti pemberian informed consent pada pasien pre
general anestesi dengan tindakan apendiktomi merupakan suatu
komunikasi antara perawat dengan pasien yang membahas tentang
apa yang akan dan tidak akan dilakukan terhadap pasien serta
mencakup tujuan, cara kerja, kegunaan dan juga kemungkinan risiko
yang terjadi akibat suatu proses atau tindakan diambil. Adapun faktor
yang dapat mempengaruhi timbulnya kecemasan antara lain faktor
genetik, faktor demografi, dan faktor psikologis. Selain itu ada pula
faktor pencetus, faktor perentan, dan faktor pembentuk gejala.
Faktor genetik berkaitan dengan gen keturunan dan jenis
kelamin, umumnya stress dan kecemasan lebih banyak dialami wanita
dikarenakan faktor hormonal. Faktor demografi berkaitan dengan usia
dimana individu yang matur adalah individu yang memiliki kematangan
kepribadian, lebih sukar mengalami stress karena individu yang matur
mempunyai daya adaptasi yang besar terhadap stressor yang timbul.
Latar belakang faktor sosial berkaitan dengan strata sosial,
kebudayaan, agama, dan falsafah hidup. Faktor pencetus kecemasan
misalnya kehilangan pekerjaan dan dikucilkan dari lingkungan sekitar.
Faktor perentan antara lain hubungan suami istri tidak harmonis, tidak
punya pekerjaan. Faktor pembentuk gejala antara lain pendidikan,
pengetahuan, pengalaman sebelumnya, pekerjaan dan sosial
56
ekonomi. Kecemasan yang timbul dapat sedikit banyak ditolerir
dengan adanya pola pikir yang didapatkan dari proses pendidikan.
Adapun pendidikan dan status sosial ekonomi rendah dianggap lebih
banyak mengalami stress dan kecemasan.
D. Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki keterbatasan yaitu jumlah responden
yang relatif sedikit yaitu 30 responden dan memperhatikan
homogenitas teknik general anestesi yang digunakan. Dengan
demikian untuk peneliti yang akan datang sebaiknya menambah
jumlah responden dan memperhatikan faktor homogenitas
responden.
57
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan tentang
perbedaan tingkat kecemasan sebelum dan sesudah pemberian
informed consent pada pasien pre general anestesi dengan tindakan
appendiktomi di RSUD Namlea Kabupaten Buru, dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut :
1. Responden general anestesi dengan tindakan apendiktomi
sebelum pemberian informed consent sebagian besar mengalami
kecemasan sedang (83,3%).
2. Responden general anestesi dengan tindakan apendiktomi
sesudah pemberian informed consent sebagian besar mengalami
kecemasan ringan (86,7%).
3. Terdapat perbedaan tingkat kecemasan pada pasien pre general
anestesi dengan tindakan appendiktomi antara sebelum dan
sesudah pemberian informed consent di RSUD Namlea Kabupaten
Buru. Hal ini ditunjukkan dengan signifikasi sebesar 0,000 (p <
0,05). Dengan demikian hipotesa yang diajukan terbukti. Artinya
pemberian informed consent pre general anestesi mempengaruhi
tingkat kecemasan pasien dengan tindakan appendiktomi.
58
B. Saran
1. Kepala RSUD Namlea Kabupaten Buru
Membuat kebijakan dalam memberikan informed consent untuk
mempersiapkan pasien yang akan menjalani tindakan operasi
dengan general anestesi baik secara psikologis maupun fisiologis
untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan pasien akan merasa
puas sehingga loyalitas pasien terhadap pelayanan di rumah sakit
bisa dipertahankan
2. Perawat di RSUD Namlea Kabupaten Buru
Dapat berperan aktif memberikan informed consent pada pasien
dalam menangani kecemasan pre general anestesi yang akan
menjalani operasi appendiktomi sehingga dapat memberikan
dampak menguntungkan kepada pasien.
3. Peneliti berikutnya
Peneliti yang berkenan melanjutkan penelitian ini, disarankan untuk
melakukan penelitian dengan memodifikasi desain penelitian yang
menghubungkan antara karakteristik subyek penelitian terutama
pada faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kecemasan pada
pasien pre general anestesi dengan tindakan appendiktomi agar
hasilnya lebih bermanfaat bagi pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, S, 2002. Prosedur Penelitian, Rineka Cipta, Jakarta
Depkes RI, 2004, Stress Dalam Hidup Kita, Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan Depkes RI, Jakarta.
Erfandi, 2009. Hernia. Diunduh tanggal 13 Agustus 2009 dari http://PuskesmasOke.blogspot.com/2009/01/11/Puskesmas_Oke_Hernia.htm.
Froggatt, 2003, Panduan untuk Mengatasi Kecemasan, PT Buana Ilmu Populer Jakarta.
Guwandi, 2004, Informed consent, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Handerson, MA. 1997. Ilmu Bedah untuk Perawat. Yayasan Essentia Medica, Yogyakarta.
Hawari, 2006, Manajemen Stres Cemas dan Depresi, Edisi 2, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Kaplan, H.I & Sanddock, B.J. 1997. Gangguan Kecemasan Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Psikiatri Klinis. Alih Bahasa, Kesuma W. Editor, Wiguno, I.N. Jakarta : Fakultas Kedokteran Trisakti.
Mansjoer, Arif dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3, Media Aesculapius Fakultas Kedokteran, Jakarta.
Mu’tadin, 2002, Mengenai Mekanisme Pertahanan Diri, Diunduh tanggal 10 Agustus 2009, dari http://www.yakita.or.id/kecemasan.htm
Notoatmodjo, 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta, Jakarta.
Notoatmodjo, 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. PT. Rineka Cipta, Jakarta.
Persatuan Perawat Nasional Indonesia Kota Bontang Kalimantan Timur, 2009. Anestesi Umum. Diunduh tanggal 13 Agustus 2009, dari http://ppnibontang.blogspot.com/2009/03/anestesi-umum_10.html.
Sampurna, B., Zulhasmar, S., Tjetjep D.S., 2005. Bioetik dan Hukum Kedokteran, Pengantar bagi Mahasiswa Kedokteran dan Hukum, Penerbit Pustaka Dwipar. Jakarta.
Setiadi. 2007. Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Graha Ilmu, Yogyakarta.
Sjamsuhidayat dan Wim De Jong. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Cetakan I, EGC, Jakarta.
Sofyan Dahlan. 2003, Hukum Kesehatan Rambu-rambu bagi Profesi Dokter. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang
Stuart dan Sundeen, 2007, Keperawatan Jiwa, Edisi 3, EGC Jakarta
Sugiyono. 2007. Statistik untuk Penelitian. Alfabeta, Bandung.
Suliswati dkk, 2005, Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa, Cetakan 1, EGC, Jakarta
http://www.wikipedia.org/wiki/Hernia, diunduh tanggal 10 Agustus 2009
http://www.acehforum.or.id/hernia-turun-perut-t18449.html, diunduh tanggal 10 Agustus 2009
http://perawatpskiatri. blogspot.com/2009/04/asuhan-keperawatan-pasien-dengan-hernia.html, diunduh tanggal 13 Agustus 2009.
http://id.wikipedia.org/wiki/Anestesi, diunduh tanggal 13 Agustus 2009.
http://www.medicastore.com/apotik_online/obat_bius_lokal.htm, diunduh tanggal 13 Agustus 2009.
http://www.freewebs.com/informedconsent_a1/informedconsent.htm, diunduh tanggal 15 Agustus 2009.
LAMPIRAN
Lampiran 1
PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN Kepada Yth :
Bapak / Ibu calon responden
Di RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang
Dengan hormat,
Saya yang bertanda tangan di bawah ini adalah mahasiswa Program
Diploma IV Politeknik Kesehatan Yogyakarta Jurusan Keperawatan Anestesi
Reanimasi :
Nama : Prabu Baladewa
NIM : P7120208027
Akan melakukan penelitian dengan judul “Perbedaan Tingkat Kecemasan
Pasien Pre operasi Hernia Setelah Pemberian Informed consent pada Tindakan
General Anestesi dan Regional Anestesi di RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang”.
Penelitian ini tidak akan menimbulkan akibat yang merugikan bagi bapak/ibu
sebagai responden. Kerahasiaan semua informasi akan dijaga dan dipergunakan
untuk kepentingan penelitian. Jika bapak/ibu tidak bersedia menjadi responden
dalam penelitian ini, maka tidak ada ancaman bagi bapak/ibu. Jika bapak/ibu
menyetujui,maka saya mohon kesediaan bapak/ibu untuk menandatangani
lembar persetujuan saya dan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang saya
sertakan.
Atas perhatian dan kesediaan ibu sebagai responden saya ucapkan
terima kasih.
Peneliti,
Prabu Baladewa
Lampiran 2
SURAT PERSETUJUAN RESPONDEN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : ....................................................
Umur : ....................................................
Alamat : ....................................................
Dengan ini saya bersedia berpartisipasi sebagai responden dalam
penelitian yang dilakukan oleh saudara Prabu Baladewa selaku mahasiswa DIV
Keperawatan Anestesi Reanimasi Politeknik Kesehatan Yogyakarta dengan judul
“Perbedaan Tingkat Kecemasan Pasien Pre operasi Hernia Setelah Pemberian
Informed consent pada Tindakan General Anestesi dan Regional Anestesi di
RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang”, dengan suka rela dan tanpa paksaan dari
siapapun.
Penelitian ini tidak akan merugikan saya ataupun berakibat buruk bagi
saya dan keluarga saya, maka jawaban yang saya berikan adalah yang sebenar-
benarnya.
Demikian surat persetujuan ini saya buat untuk dapat dipergunakan
sebagaimana mestinya.
Yogyakarta, September 2009
Responden
(………...........………..)
Lampiran 3
SURAT PERSETUJUAN/PENOLAKAN MEDIS KHUSUS
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : ................................................. (L/P)
Umur/Tgl Lahir : .................................................
Alamat : .................................................
Telp : .................................................
Menyatakan dengan sesungguhnya dari saya sendiri/*sebagai orang tua/*suami/*istri/*anak/*wali dari :
Nama : ................................................. (L/P)
Umur/Tgl Lahir : .................................................
Dengan ini menyatakan SETUJU / MENOLAK untuk dilakukan Tindakan Medis berupa ................................................................................................................
Dari penjelasan yang diberikan, telah saya mengerti segala hal yang berhubungan dengan penyakit tersebut, serta tindakan medis yang akan dilakukan dan kemungkinana pasca tindakan yang dapat terjadi sesuai penjelasan yang diberikan.
Palembang, .......... September 2009
Dokter/Pelaksana, Yang membuat pernyataan, ttd ttd ( ………………………….. ) ( ………………………….. )
Saksi Keluarga / Perawat / Bidan*)
( ........................................ )
*Coret yang tidak perlu
Lampiran 4
IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : .................................................
2. Umur/Tanggal Lahir : .................................................
3. Jenis Kelamin : L / P
4. Alamat : .................................................
5. Jenis general anestesi
a. Induksi intravena
b. Induksi inhalasi
c. Induksi intramuskular
d. Induksi pre rektal.
6. Jenis regional anestesi
a. Anestesi permukaan
b. Anestesi infiltrasi
c. Anestesi blok
d. Anestesi spinal
e. Anestesi epidural
f. Anestesi kaudal
7. Tingkat Pendidikan (formal) :
a. Tamat SD
b. Tamat SLTP
c. Tamat SLTA
d. Tamat Perguruan Tinggi (D3/S1)
8. Pekerjaan :
a. PNS
b. Swasta
c. Buruh
d. Pedagang
e. Petani
f. Wiraswasta
g. Tidak Bekerja
h. Lain-lain ..........................................
Lampiran 5
INSTRUMEN PENELITIAN TINGKAT KECEMASAN HAMILTON RATING SCALA FOR ANXIETY (HRS-A)
penilaian angka antara 0–4, yang artinya adalah nilai 0 = tidak ada gejala (keluhan), 1 = gejala ringan, 2 = gejala sedang, 3 = gejala berat, 4 = gejala berat sekali (panik).
Gejala Kecemasan Nilai (Score) 1. Perasaan cemas (ansietas) 0 1 2 3 4
a. Cemas b. Firasat buruk c. Takut akan pikiran sendiri d. Mudah tersinggung
2. Ketengangan 0 1 2 3 4 a. Merasa tegang b. Lesu c. Tidak bisa istirahat tenang d. Mudah terkejut e. Mudah menangis f. Gemetar g. Gelisah
3. Ketakutan 0 1 2 3 4 a. Pada gelap b. Pada orang asing c. Ditinggal sendiri d. Pada keramaian lalu lintas e. Pada kerumunan orang banyak
4. Gangguan tidur 0 1 2 3 4 a. Sukar tidur b. Terbangun malam hari c. Tidur tidak nyenyak d. Bangun dengan lesu e. Banyak mimpi-mimpi f. Mimpi buruk g. Mimpi menakutkan
5. Gangguan kecerdasan 0 1 2 3 4 a. Sukar konsentrasi b. Daya ingat menurun c. Daya ingat buruk
6. Perasaan depresi (murung) 0 1 2 3 4 a. Hilangnya minat b. Berkurangnya kesenangan pada hobi c. Sedih d. Bangun dini hari e. Perasaan berubah-ubah sepanjang hari
7. Gejala somatik/fisik (otot) 0 1 2 3 4 a. Sakit dan nyeri di otot b. Kaku c. Kedutan otot
d. Kaku e. Gigi gemerutuk f. Suara tidak stabil
8. Gejala somatik/fisik (sensorik) 0 1 2 3 4 a. Tinitus (telinga berdenging) b. Penglihatan kabur c. Muka merah atau pucat d. Merasa lemas e. Perasaan di tusuk-tusuk
9. Gejala kardiovaskuler (jantung 0 1 2 3 4 dan pembuluh darah) a. Takikardia (deyud jantung cepat) b. Berdebar-debar c. Nyeri dada d. Denyud nadi mengeras e. Rasa lesu/lemas seperti mau pingsan f. Detak jantung menghilang (berhenti sekejap) g. Tekanan darah tinggi
10. Gejala resoiratorik (pernafasan) 0 1 2 3 4 a. Rasa tertekan atau sempit di dada b. Rasa tercekik c. Sering menarik nafas d. Nafas pendek / sesak
11. Gejala gastrointestinal (pencernakan) 0 1 2 3 4 a. Sulit menelan b. Perut melilit c. Nyeri sebelum dan sesudah makan d. Mual e. Sukar buang air besar
12. Gejala urogenital (perkemihan dan kelamin) 0 1 2 3 4 a. Sering buang air kecil b. Tidak dapat menahan air seni c. Tidak datang bulan d. Darah haid berlebihan e. Menjadi dingin
13. Gejala autonom 0 1 2 3 4 a. Mulut kering b. Muka merah c. Muka berkeringat d. Kepala pusing e. Kepala terasa berat
14. Tingkah laku (sikap) pada wawancara 0 1 2 3 4 a. Gelisah b. Tidak tenang c. Jari gemetar d. Kerut kening e. Muka tegang f. Nafas pendek dan cepat
Lampiran 6
RENCANA JADWAL PENELITIAN
No Kegiatan W A K T U
Agustus Sept Oktober Nov Des Januari’10 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
1. Penyusunan proposal Skripsi 2. Seminar proposal Skripsi 3. Revisi proposal Skripsi 4. Perijinan penelitian 5. Persiapan penelitian 6. Pelaksanaan penelitian 7 Pengolahan Data 8. Laporan Skripsi 9. Sidang Skripsi 10 Revisi laporan Skripsi
Lampiran 10
RENCANA ANGGARAN PENELITIAN
No Kegiatan Bahan dan alat Biaya (Rp)
1 Penyusunan Proposal Skripsi
Pengetikan 300.000,00
2 Seminar proposal skripsi
Pengetikan, penggandaan dan penjilidan
350.000,00
3 Revisi proposal skripsi
Pengetikan, penggandaan dan penjilidan
350.000,00
4 Perijinan penelitian Biaya perijinan 350.000,00
5 Persiapan penelitian Penggandaan checklist instrumen penelitian.
100.000,00
6 Pelaksana penelitian
Transportasi/akomodasi 2.500.000,00
7 Pengolahan data Jasa pengolahan data 300.000,00
8 Laporan skripsi Pengetikan 250.000,00
9 Sidaing skripsi Penggandaan 300.000,00
10 Revisi laporan skripsi akhir
Pengetikan dan penjilidan 200.000,00
11 Biaya tak terduga 250.000,00 Jumlah 5.250.000,00