BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Nelayan dengan sistem perekonomian mereka yang unik merupakan
hal yang menarik dikaji. Mereka menjalankan model ekonomi yang berbeda
dengan masyarakat lain yang membudidayakan ikan. Misalnya, nelayan
tangkap memanfaatkan laut yang sifatnya open access, sementara nelayan
yang membudidayakan ikan memiliki penguasan atas lahan budidayanya
(Ahmadin; 2009:23-24, 47-51). Lingkungan laut yang mereka hadapi
memberi karakter khusus yang berbeda dengan masyarakat lain yang
lingkungannya relatif lebih mudah dikuasai (Lampe; 1989: 2-6)1.
Berbagai keunikan yang ditemukan oleh para peneliti dalam
masyarakat nelayan mendorong untuk melakukan pengkajian yang
mendalam tentang kelembagaan mereka (lihat misalnya Ahmadin; 2009:47-
57, 87-90; Kusnadi; 2006: 1-4). Studi yang dilakukan mengenai struktur
organisasi nelayan (punggawa-sawi) memberi pemahaman kepada kita
bahwa dalam mengelola suatu usaha perikanan, punggawa adalah figur yang
harus memiliki sejumlah modal dan kemampuan managemen yang baik.
Punggawa harus memiliki kemampuan menjalin hubungan baik dengan para
1 Strategi-strategi Adaptif Nelayan. Suatu Studi Tentang Antropologi Perikanan. Disajikan dalam Forum Informasi Ilmiah Kontemporer, Fisipol Unhas tanggal 14 Juni 1989.
1
kliennya dengan cara dermawan, rela berkorban demi kepentingan sawi
beserta keluarganya agar usahanya tetap berjalan dengan baik. Modal yang
sulit dimiliki oleh orang lain ini menjadikan punggawa sebagai “penyelamat”
bagi ekonomi nelayan. Selain itu, punggawa adalah sosok pemimpin yang
hebat dalam memimpin sebuah organisasi ekonomi. Hal ini membuat kita
lupa bahwa masih ada komponen masyarakat lain yang ternyata belum
dijelaskan dengan baik oleh para pengkaji sebelumnya. Mereka adalah para
istri punggawa, yang memiliki potensi besar dalam mempengaruhi usaha
punggawa.
Meskipun kondisi sumber daya alam kehidupan nelayan dan struktur
organisasinya menarik untuk dibahas, tetapi tidak berarti membuat kita lupa
untuk memperhatikan kehidupan perempuan. Bagaimanapun, istri nelayan
khususnya istri punggawa juga merupakan komponen utama dalam sosial
masyarakatnya. Mungkin saja mereka memiliki pengaruh terhadap
perkembangan kehidupan nelayan atau secara khusus mempengaruhi
dinamika usaha perikanan yang ada di sekitarnya. Hal ini senada dengan
temuan Kusnadi, dkk (2006:81) bahwa dengan memperhatikan peran
domestik-publik, istri nelayan tidak hanya memberi konstribusi peran pada
kehidupan rumah tangganya, tetapi juga pada dinamika sosial masyarakat
mereka.
Sebenarnya, pengkajian mengenai perempuan nelayan bukanlah
sesuatu yang baru dalam kalangan akademisi khususnya ilmuan sosial.
2
Telah banyak karya yang dihasilkan oleh peneliti pendahulu. Kita dapat
menemukan bagaimana kehidupan perempuan nelayan dalam karya
Sanatang (2006)2, Andayani (2006)3, Abbas dkk (2004)4, Damayanti (2009)5,
dan masih banyak karya yang memusatkan perhatian tentang perempuan
nelayan. Namun, kajian yang dilakukan fokus pada istri nelayan secara
umum, padahal mereka memiliki tingkat-tingkat sosial-ekonomi yang
berbeda, di mana hal ini dapat berpengaruh terhadap peran yang mereka
mainkan. Beberapa kajian juga difokuskan pada perempuan yang dianggap
kurang mampu secara ekonomi atau lahir dari keluarga yang kurang mampu.
Berbeda dengan studi yang hendak dilakukan penulis, masalah yang hendak
diteliti difokuskan pada istri punggawa yang telah memiliki tingkat ekonomi
menengah ke atas. Selain itu, penelitian ini tidak bermaksud mengungkap
model eksploitasi terhadap perempuan khususnya istri punggawa, melainkan
untuk mengidentifikasi peran-peran menentukan istri punggawa termasuk
faktor-faktor yang membentuknya, dan bagaimana peran tersebut merupakan
2 Sebuah tesis pada Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar dengan judul “Peranan Perempuan Dalam Ekonomi Rumah Tangga, Studi Kasus Istri Nelayan di Kelurahan Sumpang Minangae Kota Parepare”..
3 Perubahan Peranan Wanita Dalam Ekonomi Keluarga Nelayan Di Desa Percut Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli http://www.geocities.com/ konferensinasionalsejarah/trisna_andayani.pdf
4 Gender dan Peran Perempuan dalam Rumah Tangga Nelayan Komunitas Kel. Dufa-Dufa Kota Ternate Utara. http://jjfoundation. wordpress.com/yang-penulis-tulis/gender-dan-peran-perempuan-dalam-rumah-tangga-nelayan-komunitas-kel-dufa-dufa-kota-ternate-utara/
5 Damayanti, Yosi. 2009. Tiga Peran Rangkap Perempuan Nelayan.Studi Pada Keluarga Nelayan di lingkungan Kapuran Kelurahan Pasar Madang Kecamatan Kota Agung Kabupaten Tanggamus. http://skripsi.unila.ac.id/wp-content/uploads/2009/07/TIGA-PERAN-RANGKAP-PEREMPUAN-NELAYAN.pdf
3
suatu bentuk “kerjasama” antara punggawa dan istrinya dalam rangka
mempertahankan dan memajukan usaha, atau bagaimana hubungan timbal
balik antara peran istri dengan usaha suami.
Abdullah (2006:248) mengatakan bahwa, realitas kehidupan kaum
perempuan harus dilihat berdasarkan konteks di mana mereka memainkan
peran. Hal ini disebabkan tidak semua perempuan memiliki pengalaman yang
sama dan status sosial yang sama. Dengan demikian, harus dibedakan
antara peran istri nelayan yang tingkat ekonominya rendah dengan peran istri
nelayan (nelayan pemodal) yang tingkat ekonominya menengah ke atas. Istri
nelayan yang ekonominya rendah jelas memiliki peran yang besar dalam
menopang ekonomi keluarga karena hal tersebut merupakan tuntutan untuk
mempertahankan hidup. Seperti halnya yang dikemukakan oleh Suratiyah
dkk (1994:23) bahwa faktor pendorong masuknya wanita pada kegiatan
produktif terutama disebabkan oleh pendapatan suami yang kurang
mencukupi. Sedangkan istri punggawa yang tergolong berekonomi
menengah ke atas belum tentu berperan langsung dalam usaha suaminya.
Hal tersebut dapat terjadi karena dorongan untuk terlibat dalam usaha
mencari nafkah telah berkurang akibat kebutuhan ekonominya telah dipenuhi
oleh suami. Bila demikian, lantas, apakah istri punggawa tidak berperan
dalam pengelolaan usaha suaminya? Atau justru terjadi hal sebaliknya?
Menurut Sanatang (2006:61-64), pada masyarakat nelayan, istri
memiliki kewenangan dalam mengatur keuangan rumah tangga, sementara
4
suami (nelayan) berkewajiban untuk mencari nafkah. Hal ini merupakan
bentuk pembagian peran antara suami dengan istri. Hanya saja, dalam karya
Sanatang tersebut belum ditemukan adanya korelasi antara peran istri
sebagai pemegang uang dengan pekerjaan suaminya. Misalnya, apakah
suami ketika hendak membuka usaha (yang mana hal ini adalah urusan
publik) harus meminta pertimbangan pada istri karena bagaimanapun istri
adalah bendahara keluarga?
Menurut Kusnadi, dkk (2006:59), pengambilan keputusan rumah
tangga nelayan mutlak dilakukan dengan musyawarah antara suami dengan
istri ketika hal yang hendak dputuskan memerlukan biaya yang relatif tinggi.
Hal ini disebabkan kedua pihak bertanggung jawab pada kelangsungan hidup
keluarga. Dengan demikian, suami yang berperan dalam wilayah publik tetap
melakukan musyawarah dengan istri bila urusannya dapat berimplikasi
terhadap rumah tangga. Namun, temuan ini masih bersifat umum pada
keluarga nelayan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, peneltian
tentang realitas perempuan harus dilihat berdasarkan konteksnya. Penelitian
yang dilakukan ini difokuskan pada istri punggawa (nelayan pemilik modal),
dimana suaminya memiliki usaha yang relatif besar. Usaha yang besar tidak
hanya menyangkut modal yang besar tetapi juga membutuhkan tenaga kerja
yang banyak. Dengan demikian, ketika punggawa telah memiliki tenaga kerja
yang banyak, maka kiranya penting melihat peran istri, apakah istri tidak
perlu berperan dalam usaha suami bila pekerjaan-pekerjaan dalam usaha
5
dapat diselesaikan oleh tenaga kerja yang direkrut oleh suami? Atau apakah
ada peran istri yang lain yang secara tidak langsung signifikan berpengaruh
terhadap usaha suami?
Berdasarkan perihal di atas, maka penulis melakukan penelitian
dengan judul “Peran Istri Punggawa Dalam Managemen Usaha Perikanan di
Pulau Bone Tambung Kota Makassar”.
B. Fokus Masalah
Penelitian yang hendak dilakukan difokuskan pada hal berikut:
1. Bagaimana peran istri punggawa pada masyarakat Pulau
Bonetambung?
2. Bagaimana pengaruh peran istri punggawa terhadap
keberadaan usaha perikanan?
C. Tujuan Penelitian
Peneletian ini bertujuan untuk:
1. Untuk menggambarkan peran istri punggawa pada masyarakat
pulau Bonetambung.
2. Untuk menggambarkan pengaruh peran istri punggawa
terhadap keberadaan usaha perikanan.
6
D. Manfaat Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka manfaat penelitian ini
adalah:
1. Menambah studi etnografi masyarakat nelayan, khususnya
berkaitan peran istri punggawa pada masyarakat nelayan Makassar.
2. Dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dan
kalangan praktisi yang hendak memajukan kesejahteraan masyarakat
nelayan, terutama yang berkaitan langsung dengan peran perempuan.
E. Kerangka Teoritis
Mengkaji peran perempuan bukan berarti mengabaikan peran laki-laki
karena peran yang dimainkan oleh kedua jenis kelamin ini dipedomani oleh
budaya yang mereka miliki. Pembagian peran ini dikonseptualisasi dengan
istilah peran gender, yaitu peran yang dijalankan oleh kaum laki-laki dan
kaum perempuan yang dikonstruksi secara sosial budaya. Karena peran ini
adalah konstruksi sosial budaya, maka pelakunya menjalankan peran
berdasarkan gagasan yang sifatnya normatif, yaitu apa yang boleh dan tidak
boleh diperankan oleh perempuan maupun laki-laki. Dengan demikian, peran
yang dijalankan oleh kaum perempuan pada masyarakat yang satu dapat
berbeda dengan peran perempuan pada masyarakat lainnya karena mereka
memiliki budaya yang berbeda (Abdullah; 2006: 242).
7
Konstruksionisme sosial menekankan peran gender sebagai
konstruksi sosial, yaitu proses pembentukan realitas dan pemahaman
mengenai suatu pengalaman melalui interaksi sosial. Ditekankan bahwa
realitas keadaan dan pengalaman tentang sesuatu diketahui dan
diinterpretasikan melalui aktivitas sosial. Dengan demikian, realitas
kehidupan perempuan, yang meliputi pemahaman dan prakteknya dalam
kehidupan sehari-hari merupakan sesuatu hal yang dibentuk melalui interaksi
sosialnya, sehingga realitas tersebut tidak dapat dipisahkan dengan kontek
dimana realitas itu ditemukan (Abdullah; 2006: 239-243).
Berger dan Luckmann (1991:187) juga mengatakan bahwa hubungan
gender yang ada dalam suatu masyarakat merupakan hasil dari proses
sosialisasi yang meliputi dua pengertian, yaitu sosialisasi primer dan
sosialisasi sekunder. Sosialisasi primer merupakan sosialisasi pertama yang
dialami individu dalam masa kanak kanak sebagai bagian dari anggota
masyarakat dan dianggapstruktur dasar dari sosialisasi sekunder. Sedangkan
sosialisasi sekunder adalah sosialisasi selanjutnya yang mengimbas individu
telah disosialisasikan ke dalam sektor-sektor baru dunia objektif masyarakat
(dalam Abdullah; 2006:245-246). Dengan demikian, dalam penelitian ini,
penting kiranya untuk memperhatikan bentuk-bentuk interaksi istri punggawa
dalam konteks masyarakat karena hal ini dilihat sebagai salah satu proses
pembentukan pengetahuannya tentang peran gender yang berimplikasi pada
bentuk peran yang dimainkannya. Sehubungan dengan hal itu, untuk mencari
8
keterangan mengenai relasi sosial, “gosip” merupakan salah satu hal yang
penting diperhatikan. Menurut Irianto (1992: 28), gosip merupakan jaringan
komunikasi informal, yang berlangsung secara lisan, melalui mana berita dan
kabar menyebar. Gosip tidak hanya berisi tentang hal-hal yang berkonotasi
buruk menurut rasa keadilan atau kepantasan seseorang, tetapi juga
berisikan tentang emosi akan keindahan, kebaikan dan sebagainya
mengenai keadaan, hal atau menyangkut orang dan kelompok lain.
Realitas kehidupan perempuan bukan sesuatu yang sederhana karena
terbentuk oleh unsur-unsur yang kompleks serta proses sejarah yang
panjang (Abdullah; 2006: 239-240). Untuk memahami kompleksitas tersebut,
perlu melakukan peninjauan dari dua sudut. Pertama, realitas itu tersusun
dari unsur-unsur yang begitu luas sehingga diperlukan langkah sistematis
untuk mengindentifikasi serta melihat kaitannya satu sama lain. Unsur-unsur
tersebut bisa berupa ekonomi, politik, lingkungan fisik atau hal lain yang
mereka hadapi.
Kedua, realitas kehidupan kaum perempuan tersusun dari unsur-unsur
yang berlapis-lapis sehingga kita harus mengupas lapis-lapis tersebut satu-
persatu agar dapat mengetahui realitas yang sesungguhnya. Unsur-unsur
yang berlapis-lapis ini terutama disebabkan oleh proses sejarah, sehingga
untuk mengupasnya diperlukan pemahaman sejarah dari tiap lapisan yang
ada.
9
Peranan perempuan dalam suatu masyarakat juga dapat dilihat
sebagai bentuk struktur yang memiliki fungsi tertentu dalam masyarakatnya.
Struktural-fungsionalisme memandang masyarakat sebagai suatu sistem
yang di dalamnya terdapat struktur, status dan peran, norma, nilai dan
institusi serta fungsi itu sendiri (Saifuddin; 2005: 156-161). Individu yang
menempati suatu status memiliki hak dan kewajiban tertentu yang
merupakan peranan dalam status tersebut. Peranan perempuan tidak
terlepas dari struktur-struktur lain yang ada dalam masyarakatnya yang mana
hal ini merupakan hasil kesepakatan bersama dan memiliki fungsi-fungsi
tertentu. Meskipun laki-laki dan perempuan memiliki peranan yang berbeda,
tetapi hal ini tidak berarti bahwa mereka itu terpisah dan memiliki tujuan yang
berbeda. Namun, berbeda dengan struktural-fungsionalisme yang
menekankan keseimbangan, realitis tersebut harus dilihat sebagai sesuatu
yang dinamis seiring perubahan pada unsur-unsur lain, seperti sistem
ekonomi, budaya, atau hal lain yang signifikan.
Penjelasan tentang unsur-unsur pembentuk realitas kehidupan
perempuan tersebut dapat berarti bahwa realitas itu mengalamai transformasi
atau pergeseran berdasarkan realitas sosial yang dihadapi. Hal ini dapat
diasumsikan bahwa peran istri punggawa di pulau Bone Tambung mengalami
pergeseran seiring dengan perubahan sosial yang terjadi, terutama
perubahan pada aktivitas ekonomi mereka. Hal ini senada dengan hasil
penelitian Andayani (2006) di Desa Percut Kecamatan Percut Sei Tuan
10
Kabupaten Deli Sumatra Utara. Menurutnya, peranan perempuan di daerah
tersebut telah mengalami perubahan. Sebelumnya, mereka hanya berperan
sebagai ibu rumah tangga dan penjual di kios campuran. Sekarang hal itu
telah berubah, mereka telah menjadi nelayan atau terjun langsung dalam
aktivitas menangkap ikan sebagaimana yang dilakukan oleh kaum laki-laki.
Perubahan peranan perempuan yang telah menjadi nelayan menurut
Andayani (2006: 2-3) terutama disebabkan oleh dua faktor. Pertama, mereka
menjadi nelayan karena penghasilan suaminya tidak mencukupi kebutuhan
keluarga. Munculnya teknologi destruktif seperti pukat harimau serta
penebangan hutan mangrove di lingkungan mereka menyebabkan
penghasilan yang diperoleh suaminya semakin berkurang. Kedua, untuk
menjadi nelayan tidak dibutuhkan modal yang besar, bahkan mereka dapat
melakukannya tanpa modal sama sekali. Untuk menggunakan sarana dan
prasarana penangkapan seperti perahu, alat tangkap, bahan bakar serta
biaya produksi lainnya dapat diperoleh dengan dua cara, yaitu sewa dan atau
bagi hasil. Bagi perempuan yang yang memiliki modal untuk membeli bahan
bakar dan komsumsi selama menangkap ikan, mereka dapat menyewa
perahu (yang disewa hanya perahu) yang dibayar setelah memperoleh hasil
tangkapan. Sementara mereka yang tidak memiliki modal dapat menempuh
model bagi hasil, yaitu seluruh modal (perahu, alat tangkap, bahan bakar dan
konsumsi) ditanggung oleh pemilik perahu. Bila memperoleh hasil tangkapan,
11
hasilnya akan dibagi dua, satu bagian untuk diberikan kepada pemilik perahu
dan bagian lainnya juga harus dijual ke pemilik perahu.
Hasil penelitian di atas memberi gambaran bahwa peranan perempuan
tidak terbentuk dengan sendirinya atau terpisah dari sistem sosialnya. Hal ini
juga berarti bahwa peranan perempuan tidak terlepas dari status ekonomi
mereka. Peranan yang dimainkan oleh perempuan yang berstatus ekonomi
atas akan berbeda dengan peranan perempuan yang berstatus ekonomi
bawah. Menurut Fakih (2007:9), gender dipahami sebagai sifat-sifat yang
bisa dipertukarkan antara laki-laki perempuan, yang bisa berubah dari waktu
ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari
satu kelas ke kelas yang lain. Dengan demikian, perempuan yang
ekonominya rendah akan aktif mencari penghasilan tambahan karena
pendapatan suaminya tidak mencukupi. Hal ini senada dengan pernyataan
Nye (1982:33-34) bahwa dalam upaya memenuhi kebutuhan dasar
kehidupan, isu substansial yang selalu dihadapi oleh keluarga atau rumah
tangga adalah bagaimana individu-individu yang ada di dalamnya harus
berusaha maksimal dan bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan rumah
tangga sehingga kelangsungan hidupnya terpelihara (dalam Kusnadi;
2000:191). Sedangkan perempuan yang ekonominya tinggi dapat berperan
bersama suami menjalankan usaha atau justru lebih banyak berperan dalam
konteks sosial yang sifatnya nonproduktif, dimana peran yang dimainkan
12
tersebut berbeda dengan peran perempuan pada “kelas” yang lain, yaitu
perempuan yang berekonomi rendah.
Realitas kehidupan perempuan yang kompleks pada akhirnya
“mengajak” untuk memperhatikan segala bentuk peran yang mereka
mainkan. Damayanti (2009) menggunakan konsep “tiga peran rangkap” untuk
membedakan tipe peran istri nelayan. Menurutnya, istri nelayan memiliki tiga
peran yang dijalankan sekaligus, yaitu peran reproduktif, produktif dan sosial
masyarakat. Peran reprodukti istri nelayan yaitu mengurus anak dan
keluarga, sedangkan peran produktif yaitu sebagai pengasin ikan, penjual
ikan dan pembuat jenis makanan yang berbahan dasar ikan. Adapun peran
sosial masyarakat yang digeluti hanya sebatas mengikuti pengajian.
Sementara itu, Suratiyah, dkk (1994:12) menggunakan konsep “peran
ganda” untuk melihat realitas peran perempuan (Suratiyah, dkk
menggunakan kata wanita). Perempuan yang di satu sisi bekerja mencari
nafkah, tetapi tetap menjadi orang pertama dalam kegiatan rumah tangga
disebut dengan peran ganda. Adapun Kusnadi, dkk (2006:47) menggunakan
istilah peran publik dan peran domestik. Peran domestik perempuan meliputi
tugasnya sebagai istri, ibu dari anak-anaknya, sedangkan peran publik dilihat
sebagai aktivitas istri dalam rangka memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
Sihite (1992:106) membedakan peran perampuan dengan istilah “kegiatan
ekonomi” dan “kegiatan non ekonomi”. Menurutnya, kegiatan ekonomi
merupakan kegiatan menambah penghasilan keluarga, biasanya kegiatan
13
yang dilakukan berupa berdagang sayur atau makanan-makanan ringan.
Adapun kegiatan non ekonomi yaitu kegiatan yang dilakukan di rumah seperti
pengasuhan anak, memasak, menyiapkan sarapan, makan siang dan malam,
mencuci pakaian.
Istri yang bekerja untuk mencari nafkah secara langsung akan
memberi penghasilan bagi keluarga, dan tidak berarti bahwa istri yang
berperan di luar kegiatan produktif tidak memiliki kontribusi pada usaha
produktif. Kegiatan dalam ranah domestik atau konteks sosial lainnya yang
bukan produktif sesungguhnya memberi peluang dalam berlangsungnya
aktivitas produktif (White, 1981) dalam Suratiyah (1994:12). Sejalan dengan
hal tersebut, Sosrodihardjo (1986: 79-81) mengatakan bahwa perempuan
memiliki pengaruh positif terhadap pembangunan. Kelembutan dalam
berbahasa dan sikap yang sopan efektif untuk mempengaruhi orang lain
dalam berbuat hal-hal yang positif. Jadi, peran istri dalam usaha suami tidak
hanya mengarahkan kita untuk mencari peran istri yang secara langsung
terlibat dengan usaha suami, tetapi peran-peran lain yang secara tidak
langsung signifikan mempengaruhi usaha suami.
Dengan demikian, penelitian ini juga akan melihat peran istri
punggawa dalam tiga konteks, yaitu konteks rumah tangga, konteks usaha
dan konteks masyarakat. Peran pada ketiga konteks tersebut akan dilihat
sebagai peran yang dikonstruk secara sosial budaya, dimana peran tersebut
merupakan peran yang tidak terlepas dari pandangan mereka tentang peran
14
gender, aktivitas sosial dan ekonomi, status sosial dan tingkat ekonomi.
Sehubungan dengan itu, Ihromi (1992:82) mengatakan bahwa analisis
mengenai hubungan antara pria dan wanita harus dipusatkan pada apa yang
sesungguhnya dilakukan oleh pria dan wanita dan pada pemahaman-
pemahaman budaya yang mendasari tindakan-tindakan mereka. Selanjutnya,
peran-peran istri punggawa tersebut pada akhirnya akan dilihat sebagai
peran yang berkorelasi dengan usaha yang dimiliki oleh suaminya.
F. Metode Penelitian
Dengan mengacu pada tujuan penelitian ini, metode penelitian yang
digunakan mencakup komponen-komponen sebagai berikut:
a. Tipe Penelitian
Tipe deskriptif dengan pendekatan kualitatif yang penekanannya pada
kualitas data. Ihromi (1990: 2) dalam Irianto (1992: 28) mengatakan:
“... bahwa justru pendekatan yang tidak terlalu mengandalkan kepada objektivitas itu malahan dapat membantu peneliti untuk memperoleh pengertian yang lebih mendalam tentang pokok yang ditekuninya, dan kami berpendapat bahwa penelitian tentang wanita, paling tidak pada tahap-tahap tertentu dari pengetahuan kita tentang wanita seperti yang masih dialami sekarang, pendekatan kualitatif itu memberi kegunaan yang menguntungkan.”
b. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Pulau Bonetambung, Kecamatan Ujung
Tanah Kota Makassar. Lokasi penelitian dilakukan secara sengaja
dengan alasan bahwa di pulau ini penduduknya relatif lebih kecil
15
dibanding dengan pulau-pulau lain yang ada di sekitarnya sehingga
dapat memudahkan peneliti untuk mendalami realitas yang diteliti.
Selain itu, istri punggawa banyak terlibat dalam urusan publik, yakni
urusan yang dilakukan di luar konteks rumah tangga.
c. Pemilihan Informan
Informan dalam penelitian ini dipilih secara sengaja dengan dasar
bahwa informan tersebut memiliki “keahlian” tentang fenomena yang
hendak didalami. Berangkat dari pemahaman bahwa perempuan
merupakan mahluk sosial dan juga sekaligus mahluk individu yang
memiliki pandangan subjektif mengenai realitas sosialnya, maka
penting kiranya menjadikan istri punggawa sebagai informan ahli.
Namun, informan lain juga akan dibutuhkan terutama untuk menggali
pandangan mereka tentang peran istri punggawa.
d. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, digunakan metode sebagai berikut:
Observasi. Observasi digunakan untuk melihat aktivitas yang
dilakukan oleh istri punggawa dalam tiga konteks, yaitu konteks rumah
tangga, usaha dan aktivitas sosial lainnya. Metode ini terutama untuk
mengumpulkan data mengenai beberapa pertanyaan penting, yaitu
apa yang mereka lakukan? Tempatnya di mana? Kapan dilakukan?
Bagaimana dia melakukannya? Serta dengan siapa (aktor-aktor lain
yang ikut beraktivitas denganya) aktivitas itu dilakukan?
16
Wawancara mendalam. Teknik ini digunakan untuk melacak
pandangan mereka tentang peran gender, maksud dan tujuan suatu
peran, peristiwa-peristiwa yang telah terjadi dan berkaitan dengan
peran istri punggawa, pendapat orang lain mengenai peran istri
punggawa, serta hal-hal lain yang tidak dapat diamati.
e. Proses Berlangsungnya Penelitian
Ketertarikan penulis pada topik peran istri punggawa dipicu oleh
pernyataan seorang punggawa darat nelayan jaring gae di kabupaten
Jeneponto bahwa “seorang punggawa tidak akan berhasil jika istrinya
tidak pintar”. Pernyataan ini cukup singkat namun melahirkan banyak
pertanyaan. Namun pada waktu itu peneliti tidak memiliki kesempatan
untuk menggali informasi yang lebih dalam tentang pernyataan
tersebut sebab pertemuan kami hanya sebentar dan tidak bertujuan
untuk itu.
Sejak saat itu, penulis memikirkan dan mendiskusikan dengan teman
kuliah tentang pernyataan punggawa tersebut. Diskusi kami pada
akhirnya menggiring penulis untuk melakukan penelitian secara lebih
mendalam tentang peran istri punggawa dalam manajemen usaha
perikanan.
Beberapa bulan kemudian, tepatnya bulan Juni 2008, penulis bersama
puluhan teman mahasiswa melakukan praktek lapang di pulau
Bonetambung selama 11 hari. Pernyataan punggawa tersebut terus
17
terpikirkan oleh penulis di lokasi yang berbeda ini. Sejak praktek
lapang berlangsung, penulis meluangkan waktu untuk mencari
informasi dasar berkaitan dengan peran istri punggawa dengan
maksud menemukan formulasi penelitian yang lebih terarah. Sejak itu
pula, penulis membangun hubungan dekat dengan masyarakat pulau
Bonetambung, terutama tokoh-tokoh yang bisa membantu penulis
dalam menyelesaikan penelitian.
Setahun kemudian, yaitu tahun 2009, secara resmi penulis melakukan
seminar proposal penelitian skripsi dengan judul “Peran Istri
Punggawa dalam Manajemen Usaha Perikanan di Pulau
Bonetambung Kec. Ujung Tanah Kota Makassar”. Selama setahun,
yaitu antara tahun 2008 sampai tahun 2009 (sebelum seminar
proposal penelitian skripsi), penulis beberapa kali melakukan
kunjungan ke pulau Bonetambung, baik dalam rangka mencari
informasi awal tentang topik yang akan diteliti maupun dalam prosesi
upacara daur hidup (diundang oleh masyarakat pulau Bonetambung).
Kegiatan-kegiatan tersebut semakin mempererat hubungan penulis
dengan masyarakat yang akan diteliti. Hal ini juga memberi
kesempatan kepada penulis untuk mengidentifikasi calon-calon
informan terkait topik penelitian ini.
Setelah melakukan seminar proposal penelitian, penulis pun
mempersiapkan segala kebutuhan untuk melakukan pengumpulan
18
data secara mendalam, baik itu kebutuhan pengambilan data seperti
alat perekam suara, foto, alat tulis menulis maupun kelengkapan
administrasi (meskipun secara emosional penulis dapat diterima oleh
masyarakat pulau Bonetambung karena telah dianggap sebagai
kerabat, bukan orang asing).
Secara resmi, penulis melakukan penelitian selama kurang lebih 3
bulan dengan beberapa kali kunjungan. Penulis tinggal di lokasi
penelitian rata-rata 10 hari setiap kunjungannya. Selama di lokasi
peneltian, penulis bergaul dengan beberapa kelompok perempuan,
yang mana kelompok tersebut terbentuk secara ‘alami’ atau bukan
kelompok yang formal, melainkan kelompok yang terbentuk karena
hubungan tetangga (berdekatan rumah) dan memiliki topik
pembicaraan yang cenderung sama. Dalam kelompok tersebut, ada
beberapa perempuan (yang telah berstatus istri) yang memiliki
hubungan keluarga dekat, seperti sepupu satu kali, saudara atau
tante, namun ini bukan hal yang begitu berpengaruh terhadap
terbentuknya kelompok ini.
Selain bergaul dengan kelompok perempuan, penulis juga bergaul
dengan anak-anak muda yang umurya antara 17-28 tahun, yang mana
mereka adalah nelayan, dan beberapa di antara mereka adalah anak
punggawa. Penulis mendengarkan dan ikut bertukar pikiran dengan
mereka tentang kenelayanan, bagaimana mereka melakukan
19
penangkapan, bagaimana mereka menjalin hubungan dengan
punggawa, bagaimana mereka membuat rencana untuk masa yang
akan datang, bagaimana mereka membicarakan orang lain yang tidak
ada pada saat waktu pembicaraan, baik itu orang yang tempat
tinggalnya di pulau yang sama (lokasi penelitian) maupun yang tinggal
di tempat lain atau pulau yang lain.
Tentu kelompok lain yang penulis dekati, dan sangat penting juga
hubugannya dengan penelitian ini, yaitu kelompok lelaki dewasa, yang
sudah berkeluarga. Ada yang bersatus sebagai punggawa darat, ada
yang berstatus sebagai punggawa laut, ada yang berstatus sebagai
sawi dan ada pula yang berstatus sebagai “punggawa mandiri”
(penjelasan tentang punggawa mandiri ada pada bab III dan bab IV).
Lelaki dewasa ini cenderung lebih jarang berkumpul dengan lelaki
dewasa yang lain dibanding dengan kelompok perepuan (istri-istri
nelayan) karena sibuk dengan pekerjaan mereka.
Meskipun topik pembicaraan ke tiga kelompok tersebut relatif berbeda,
namun sesungguhnya memiliki hubungan yang sangat dekat. Hal ini
penulis sadari setelah bergaul dengan mereka, ikut mendengarkan,
kadang-kadang mengeluarkan pertanyaan, pendapat, ikut tertawa bila
ada hal yang lucu.
Kedekatan penulis dengan mereka membuat penulis lebih mudah
memahami apa yang penulis teliti dan membuahkan pikiran tentang
20
hal baru, yang sebelumnya tidak pernah penulis pikirkan dan tidak
pernah ditemukan dalam literatur. Selain itu, kedekatan ini juga
membuat penulis lebih mudah menggali sebuah informasi, sangat
berbeda ketika penulis berkunjung ke pulau ini pada tahun 2008.
Meskipun pada waktu itu penulis tidak bermaksud untuk melakukan
penelitian tentang peran istri punggawa, akan tetapi penulis
merasakan hal yang berbeda pada saat melakukan penelitian ini,
tentunya karena hubungan yang lebih dekat.
Selama melakukan penelitian, penulis hanya melakukan beberapa kali
wawancara dengan suasana yang formal (terutama saat penulis
melakukan wawancara dengan orang tertua di pulau tersebut, yang
dianggap sebagai orang bijaksana), selebihnya hanya dengan situasi
seperti pembicaraan biasa, sebagaimana mereka berbicara dengan
tetangga atau kelompoknya. Kehadiran penulis di tengah-tengah
mereka tidak mempengaruhi pembicaaran mereka. Hal ini memberi
penulis keuntungan karena apa yang dibicarakan adalah data bagi
penulis. Kadang-kadang penulis mengeluarkan pertanyaan, tapi
pertanyaan tersebut tidak dianggap sebagai pertanyaa wawancara
(bagi mereka) melainkan pertanyaan selayaknya orang lain bertanya
pada saat sedang melakukan perbincangan biasa.
Selain terlibat dalam pembicaraan sehari-hari, penulis juga terlibat
dalam beberapa kegiatan seperti mempersiapkan perahu sebelum
21
turun ke laut, membantu memasak, ikut mengangkat ikan, ikut acara
pernikahan, mulai dari tahap pelamaran sampai acara puncaknya,
yaitu pesta pernikahan. Untuk kegiatan yang terkahir, penulis dengan
sengaja diajak oleh kepala RK, selain sebagai pemerintah, beliau juga
adalah salah seorang yang dituakan dalam masyarakatnya. Lagi-lagi
ini membuat penulis memperoleh kesempatan besar untuk menjalin
kepercayaan dengan mereka, bertemu dengan tokoh-tokoh yang
memiliki status berbeda ketika di luar acara pernikahan, memberi
penulis kesempatan mengamati punggawa-punggawa beserta istrinya
ketika berada pada setting sosial yang sama. Mengamati bagaimana
nelayan-nelayan (anak muda) bergaul dengan sesama mereka,
bagaimana lelaki dewasa yang bukan punggawa berhubungan dengan
punggawa dan banyak hal yang dapat penulis amati. Meskipun
penelitian penulis tidak fokus pada acara pernikahan, tetapi penulis
menyadari bahwa setting sosial yang ada di dalamnya memiliki
hubungan dengan aktifitas keseharian mereka. Kerugiannya, penulis
tidak dapat membuat dekumentasi foto, karena kehadiran penulis tidak
pernah kuduga sebelumnya. Tentunya ini membuat penulis tidak dapat
mempersiapkan alat untuk melakukan dokumentasi visual.
Pada saat berada di lapangan penelitian, penulis merasa terjebak
pada kecenderungan mencari data tentang signifikansi peran istri
punggawa dalam usaha perikanan. Penulis selalu berusaha mencari
22
apa yang signifikan dari peran istri punggawa, peran apa yang
berdampak positif dan negatif terhadap usaha perikanan.
Kenyataannya, sangat sedikit data yang ditemukan mengenai hal ini
dan seakan-akan membuktikan bahwa usaha perikanan adalah setting
yang betul-betul hanyalah urusan suami (laki-laki).
Namun di sisi lain, seorang istri punggawa memiliki peran yang tidak
langsung berpengaruh terhadap usaha perikanan. Bagaimana “sifat”
istri punggawa sehingga mampu menciptakan suasana yang “nyaman”
bagi tetangga dan sawi untuk datang ke rumahnya dan menikmati
segala sesuatu yang dia (istri punggawa) nikmati, misalnya makan
yang bebas memilih apa saja dan bahkan boleh meraciknya sendiri.
Kebaikan-kebaikan istri punggawa ini penulis rasakan menjadi nilai
lebih bagi usaha perikanan yang dimiliki suaminya. Dan penulis tidak
heran jika usaha suaminya tersebut merupakan usaha yang paling
besar di pulau (dilihat dari jumlah sawi).
f. Analisis Data
Analisis data dilakukan sejak peneliti melakukan penelitian. Data yang
telah ditemukan di validasi dengan teknik triangulasi. Kemudian, data
tersebut dilihat hubungannya dengan data-data lain sehingga
terbangun suatu deskripsi data yang logis berdasarkan fenomena
yang ada.
23
g. Sistematika Penulisan
Bab I : Pendahuluan memuat tentang latar belakang, masalah
penelitian, kerangka konseptual, metode penelitian dan
sistematika penulisan
Bab II : Tinjauan Pustaka memuat tentang hal-hal yang berkenaan
dengan masalah penelitian yang dijadikan bahan acuan
dalam penyusunan tulisan ini tentang peran istri dalam
menunjang ekonomi rumah tangga, kegiatan ekonomi
formal, dan etos kerja masyarakat
Bab III : memuat tentang gambaran umum tentang lokasi dan objek
penelitian.
Bab IV : memuat data khusus tetang bagaimana Peran istri
punggawa dalam rumah tangga. Peran istri punggawa
dalam usaha perikanan. Dan bagaimana Peran istri
punggawa dalam masyarakat.
Bab V : merupakan Bab Penutup yang berisi kesimpulan dan
saran tentang masalah penelitian.
24
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Peran Istri Nelayan
Dalam konteks kehidupan masyarakat nelayan, keterlibatan kaum
perempuan dalam kegiatan publik adalah hal biasa sekaligus merupakan
suatu keharusan untuk menjaga kelangsungan hidup rumah tangga nelayan.
Sistem pembagian kerja secara seksual yang berlaku didalam masyarakat
nelayan,dimana tugas tugas didarat sepenuhnya menjadi tanggung jawab
perempuan atau istri nelayan,sedangkan laut merupakan ranah laki-laki,telah
memberikan peluang yang besar bagi perempuan atau istri nelayan untuk
terlibat secara intensif dalam kegiatan publik (Ulhaq, 2008:1).
Realitas kehidupan perempuan yang kompleks pada akhirnya
“mengajak” untuk memperhatikan segala bentuk peran yang mereka
mainkan. Damayanti (2009) menggunakan konsep “tiga peran rangkap” untuk
membedakan tipe peran istri nelayan. Menurutnya, istri nelayan memiliki tiga
peran yang dijalankan sekaligus, yaitu peran reproduktif, produktif dan sosial
masyarakat. Peran reprodukti istri nelayan yaitu mengurus anak dan
keluarga, sedangkan peran produktif yaitu sebagai pengasin ikan, penjual
ikan dan pembuat jenis makanan yang berbahan dasar ikan. Adapun peran
sosial masyarakat yang digeluti hanya sebatas mengikuti pengajian.
25
Menurut Ulhaq (2008:1), peranan dominan yang dimainkan oleh kaum
perempuan atau istri nelayan tidak hanya dalam hal mengolah dan menjual
ikan. Akan tetapi dalam hal pengambilan keputusan yang menyangkut
kelangsungan hidup rumah tangga, peran istri nelayan relatif lebih dominan,
terutama dalam mengatur keuangan keluarga, seperti pengeluaran untuk
konsumsi sehari-hari, pembelian pakaian, perabotan rumah tangga,
menabung, perbaikan rumah, biaya pendidikan anak dan sebagainya. Di
desa-desa nelayan di wilayah pesisir BAWEAN adat yang berlaku
mengharuskan suami untuk menyerahkan semua penghasilan yang
diperolehnya kepada istri, suami tidak di perkenankan memegang
penghasilannya sendiri.
Sementara itu, Suratiyah, dkk (1994:12) menggunakan konsep “peran
ganda” untuk melihat realitas peran perempuan (Suratiyah, dkk
menggunakan kata wanita). Perempuan yang di satu sisi bekerja mencari
nafkah, tetapi tetap menjadi orang pertama dalam kegiatan rumah tangga
disebut dengan peran ganda. Adapun Kusnadi, dkk (2006:47) menggunakan
istilah peran publik dan peran domestik. Peran domestik perempuan meliputi
tugasnya sebagai istri, ibu dari anak-anaknya, sedangkan peran publik dilihat
sebagai aktivitas istri dalam rangka memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
Sihite (1992:106) membedakan peran perampuan dengan istilah “kegiatan
ekonomi” dan “kegiatan non ekonomi”. Menurutnya, kegiatan ekonomi
merupakan kegiatan menambah penghasilan keluarga, biasanya kegiatan
26
yang dilakukan berupa berdagang sayur atau makanan-makanan ringan.
Adapun kegiatan non ekonomi yaitu kegiatan yang dilakukan di rumah seperti
pengasuhan anak, memasak, menyiapkan sarapan, makan siang dan malam,
mencuci pakaian.
Istri yang bekerja untuk mencari nafkah secara langsung akan
memberi penghasilan bagi keluarga, dan tidak berarti bahwa istri yang
berperan di luar kegiatan produktif tidak memiliki kontribusi pada usaha
produktif. Kegiatan dalam ranah domestik atau konteks sosial lainnya yang
bukan produktif sesungguhnya memberi peluang dalam berlangsungnya
aktivitas produktif (White, 1981) dalam Suratiyah (1994:12). Sejalan dengan
hal tersebut, Sosrodihardjo (1986: 79-81) mengatakan bahwa perempuan
memiliki pengaruh positif terhadap pembangunan. Kelembutan dalam
berbahasa dan sikap yang sopan efektif untuk mempengaruhi orang lain
dalam berbuat hal-hal yang positif. Jadi, peran istri dalam usaha suami tidak
hanya mengarahkan kita untuk mencari peran istri yang secara langsung
terlibat dengan usaha suami, tetapi peran-peran lain yang secara tidak
langsung signifikan mempengaruhi usaha suami.
Menurut Hubies (1985) dalam Harijani (2001: 20) (dalam Susoliwati,
2006:25-26) , analisis alternatif mengenai peran wanita dapat dilihat dari tiga
perspektif dalam kaitannya dengan posisinya sebagai manager rumah tangga
dan partisipan pembangunan atau pekerja pencari nafkah. Jika dilihat areal
peranan seorang wanita di dalam sebuah rumah tangga maka dapat dibagi
menjadi:
27
1. Peran Tradisional
Peran ini merupakan semua pekerjaan rumah, dari membersihkan
rumah, memasak, mencuci, mengasuh anak serta segala hal yang
berkaitan dengan rumah tangga. Bila ditinjau secara luas tentang
peranan wanita sebagai ibu rumah tangga, wanita telah memberikan
perananya yang sungguh mahal dan penting artinya dalam
pembentukan keluarga sejahtera. Tidak ada kedudukan yang lebih
tinggi dan lebih rendah antara ibu dengan ayah. Pekerjaan-pekerjaan
ibu rumah tangga dalam mengatur rumah, memasak, mencuci, serta
membimbing dan mengasuh anak tidak dapat diukur dengan nilai
uang.
Ibu merupakan figur yang paling menentukan dalam membentuk
pribadi anak. Hal ini disebabkan keterikatan anak terhadap ibunya
sudah berawal sejak anak masih dalam kandungan.
2. Peran Transisi
Adalah peran wanita yang juga berperan atau terbiasa bekerja untuk
mencari nafkah. Partisispasi tenaga kerja wanita atau ibu disebabkan
oleh beberapa faktor, misalnya bidang pertanian dalam memenuhi
kebutuhan pokoknya tenaga kerja wanita dibutuhkan untuk menambah
tenaga yang ada. Sedangkan dibidang industri yang membuka
peluang bagi para wanita untuk bekerja karena dengan
berkembangnya industrri berarti tersedianya pekerjaan yang cocok
28
bagi wanita sehingga terbukalah kesempatan kerja bagi wanita.
Masalah kehidupan mendorong lebih banyak wanita untuk bekerja
mencari nafkah.
3. Peran Kontemporer
Peran kontemporer adalah peran dimana seorang wanita hanya
memiliki peran diluar rumah tangga sebagai wanita karier.
Sedangkan menurut Mary Astuti (1998: 1) dalam Susoliwati (2006:25-
26), peran wanita terbagi atas tiga, yaiut :
1. Peran Produktif Yaitu peran yang dihargai dengan uang atau
barang yang menghasilkan uang atau barang atau yang berkaitan erat
dengan kegiatan ekonomi. Contoh: petani, penjahit, guru dan
pengusaha,
2. Peran Reproduktif Yaitu peran yang tidak dapat dihargai
dengan nilai uang atau barang, peran ini terkait dengan kelangsungan
hidup manusia. Contoh : sebagaimana peran istri seperti
mengandung, melahirkan, dan menyusui anak adalah kodrat dari
seorang ibu serta mendidik anak, memasak, menyiram tanaman,
mencuci, memandikan anak, menyapu walaupun bisa dikerjakan
secara bersama-sama.
3. Peran Sosial Yaitu peran yang berkaiatan dengan peran istri
untuk mengikuti kegiatan kemasyarakatan. Contoh: kegiatan
pengajian, PKK, arisan, organisasi kemasyarakatan. Selanjutnya
29
penulis menyebut bahwa peran wanita baik di lingkungan keluarga
maupun di dalam masyarakat meliputi profil aktifitas yang mencakup
peran domestik, publik dan sosial, profil akses dan profil kontrol.
Dalam Ulhaq (2008:1), peran istri nelayan selain menjual hasil
tangkapan yang diperoleh suami, sektor usaha ekonomi yang biasa dimasuki
oleh kaum perempuan atau istri nelayan adalah usaha pengolahan ikan,
terutama kegiatan pengeringan dan pemindangan ikan. Di desa-desa
nelayan di wilayah pesisir bawean, istri nelayan lebih banyak melakukan
kegiatan seperti, mengolah ikan, mulai dari menimbang, mencuci, memotong,
menusuk potongan ikan dengan tusuk sate, memanggang, menata ikan
panggangan di Nyiur sampai menjualnya kepasar atau kawasan perumahan
(menjual kerumah). Dengan kata lain, istri nelayan yang bertanggung jawab
mengolah dan menjula ikan.
Susoliwati (2006:62-63) Sebagian besar dari istri nelayan desa
Kabongan Lor mempunyai usaha sampingan dalam menunjang penghasilan
suami mereka yang sangat minim. Usaha sampingan tersebut merupakan
upaya mereka dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya. Usaha
sampingan yang paling banyak diminati oleh para istri nelayan di desa
Kabongan Lor adalah sebagai pengupas rajungan, pengrajin ikan asin dan
membuka warung kelontong. Selain itu, ada beberapa jenis usaha
sampingan lain yang juga digeluti istri nelayan di desa Kabongan Lor
30
walaupun dalam jumlah yang kecil. Usaha sampingan tersebut adalah
menjadi pembantu rumah tangga di beberapa desa di kota Rembang.
B. Latar Belakang dan Dinamika Peran Istri Nelayan
Ulhaq (2008:2) menjelaskan bahwa dibandingkan masyarakat lain,
kaum perempuan didesa-desa nelayan mengambil kedudukan dan peranan
social yang sangat penting, baik disektor domestic maupun disektor publik.
Hal ini disebabkan oleh karena beberapa pertimbangan pemikiran. Pertama,
dalam system pembagian kerja secara seksual pada masyarakat nelayan,
kaum perempuan atau istri nelayan mengambil peranan yang besar dalam
kegiatan social-ekonomi didarat, terutama kegiatan perdagangan ikan,
sedangkan kegiatan melaut merupakan pekerjaan laki-laki. Inilah system
gender yang berlaku dalam masyarakat nelayan.
Kedua. Dampak dari sistem pembagian kerja di atas, mengharuskan
kaum perempuan pesisir untuk selalu terlibat dalam kegiatan publik, mencari
nafkah untuk keluarga sebagai antisipasi jika suami mereka tidak
memperoleh penghasilan saat melaut. Kegiatan melaut merupakan kegiatan
yang spekulatif,oleh karena itu,nelayan yang melaut belum bisa dipastikan
memperoleh penghasilan.
Ketiga. System pembagian kerja masyarakat pesisir dan tidak adanya
kepastian penghasilan setiap hari dalam rumah tangga nelayan telah
menempatkan perempuan sebagai salah satu pilar penyangga kebutuhan
hidup rumah tangga.
31
Sedangkan menurut Susoliwati (2006:63), ada tiga hal yang menjadi
motivasi para istri nelayan untuk ikut terjun melakukan kegiatan ekonomi
yaitu:
1. Dorongan untuk mencukupi kebutuhan ekonomi Rumah Tangga.
2. Memanfatkan ketrampilan yang ia miliki.
3. Merasa bertanggung jawab terhadap keluarga.
Hal yang senada juga dijelaskan oleh Ulhaq (2008:1) bahwa alasan
mereka menjual ikan karena pekerjaan tersebut adalah kewajibannya
sebagai istri dan merupakan kesepakatan bersama dengan suami.
Kondisi yang dihadapi oleh masyarakat nelayan menjadi pemicu
terhadap perubahan bentuk peran istri nelayan. Hal ini sebagaimana hasil
penelitian Andayani (2006) di Desa Percut Kecamatan Percut Sei Tuan
Kabupaten Deli Sumatra Utara. Menurutnya, peranan perempuan di daerah
tersebut telah mengalami perubahan. Sebelumnya, mereka hanya berperan
sebagai ibu rumah tangga dan penjual di kios campuran. Sekarang hal itu
telah berubah, mereka telah menjadi nelayan atau terjun langsung dalam
aktivitas menangkap ikan sebagaimana yang dilakukan oleh kaum laki-laki.
Perubahan peranan perempuan yang telah menjadi nelayan menurut
Andayani (2006: 2-3) terutama disebabkan oleh dua faktor. Pertama, mereka
menjadi nelayan karena penghasilan suaminya tidak mencukupi kebutuhan
keluarga. Munculnya teknologi destruktif seperti pukat harimau serta
penebangan hutan mangrove di lingkungan mereka menyebabkan
32
penghasilan yang diperoleh suaminya semakin berkurang. Kedua, untuk
menjadi nelayan tidak dibutuhkan modal yang besar, bahkan mereka dapat
melakukannya tanpa modal sama sekali. Untuk menggunakan sarana dan
prasarana penangkapan seperti perahu, alat tangkap, bahan bakar serta
biaya produksi lainnya dapat diperoleh dengan dua cara, yaitu sewa dan atau
bagi hasil. Bagi perempuan yang yang memiliki modal untuk membeli bahan
bakar dan komsumsi selama menangkap ikan, mereka dapat menyewa
perahu (yang disewa hanya perahu) yang dibayar setelah memperoleh hasil
tangkapan. Sementara mereka yang tidak memiliki modal dapat menempuh
model bagi hasil, yaitu seluruh modal (perahu, alat tangkap, bahan bakar dan
konsumsi) ditanggung oleh pemilik perahu. Bila memperoleh hasil tangkapan,
hasilnya akan dibagi dua, satu bagian untuk diberikan kepada pemilik perahu
dan bagian lainnya juga harus dijual ke pemilik perahu.
Hasil penelitian di atas memberi gambaran bahwa peranan perempuan
tidak terbentuk dengan sendirinya atau terpisah dari sistem sosialnya. Hal ini
juga berarti bahwa peranan perempuan tidak terlepas dari status ekonomi
mereka. Peranan yang dimainkan oleh perempuan yang berstatus ekonomi
atas akan berbeda dengan peranan perempuan yang berstatus ekonomi
bawah. Menurut Fakih (2007:9), gender dipahami sebagai sifat-sifat yang
bisa dipertukarkan antara laki-laki perempuan, yang bisa berubah dari waktu
ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari
satu kelas ke kelas yang lain. Dengan demikian, perempuan yang
33
ekonominya rendah akan aktif mencari penghasilan tambahan karena
pendapatan suaminya tidak mencukupi. Hal ini senada dengan pernyataan
Nye (1982:33-34) bahwa dalam upaya memenuhi kebutuhan dasar
kehidupan, isu substansial yang selalu dihadapi oleh keluarga atau rumah
tangga adalah bagaimana individu-individu yang ada di dalamnya harus
berusaha maksimal dan bekerja sama untuk memenuhi kebutuhan rumah
tangga sehingga kelangsungan hidupnya terpelihara (dalam Kusnadi;
2000:191). Sedangkan perempuan yang ekonominya tinggi dapat berperan
bersama suami menjalankan usaha atau justru lebih banyak berperan dalam
konteks sosial yang sifatnya nonproduktif, dimana peran yang dimainkan
tersebut berbeda dengan peran perempuan pada “kelas” yang lain, yaitu
perempuan yang berekonomi rendah.
Dinamika peran istri nelayan dipengaruhi oleh kondisi yang terjadi di
tengah-tengah masyarakatnya. Hal ini misalnya dapat kita lihat dari
penjelasan Ulhaq (2008:1) bahwa bagi istri-istri nelayan yang membuka
usaha warung makanan-minuman, seperti yang terdapat di sebagian besar
wilayah pesisir madura, tingkat pendapatan yang diperoleh juga sangat
tergantung dari fluktuasi pendapatan nelayan dari kegiatan melaut. Artinya,
usaha warungnya itu akan menghadapi masa sepi jika musim paceklik atau
masa terang bulan tiba. Pada masa-masa ini, penghasilan nelayan dari
melaut tidak bisa dipastikan atau mungkin tidak ada sama sekali, sehingga
mempengaruhi tingkat konsumsinya.
34
BAB III
GAMBARAN UMUM
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1. Letak Geografis dan Keadaan Pulau
Pulau Bonetambung terletak disebelah barat laut Kota Makassar
dengan jarak ± 17,2 Km dan merupakan pulau karang seluas ± 5,4 ha. Di
sebelah Utara berbatasan dengan pulau Badi (Kab. Pangkep), sebelah Timur
dengan pulau Barrang Lompo, sebelah Tenggara dengan pulau Barang
Caddi, sebelah Selatan dengan pulau Kodingareng Keke, dan di sebelah
Barat dengan Pulau Langkai dan dan Pulau Lumu-Lumu. Secara geografis
Bonetambung terletak pada posisi 1190 19’ 48‘‘ BT dan 050 02’48’‘ LS6.
Pulau ini memiliki tinggi dari permukaan laut ± 4 meter. Pada sisi barat
dapat ditemui gundukan pasir setinggi kurang lebih 4 meter yang diakibatkan
oleh pengaruh ombak besar pada musim barat. Jenis sedimen penyusun
pulau terdiri dari ± 90% pasir kasar dan halus yang labil. Di pulau karang ini
tidak ditemukan sumber air tawar.
Pulau ini berbentuk bulat, dengan luas 5 Ha, atau berjarak 18 km dari
Makassar. Posisinya berada di sebelah timur P. Langkai. Perairan sebelah
utara dan timur merupakan alur pelayaran pelabuhan, dengan kedalaman
6 Jamaluddin Jompa, dkk. Kondisi Ekosistem Perairan Kepulauan Spermonde: Keterkaitannya dengan Pemanfaatan Sumberdaya Laut di Kepulauan Spermonde (Hasil Penelitian). Divisi Kelautan Pusat Kegiatan Penelitian, Universitas Hasanuddin
35
lebih dari 40 meter (± 900 meter dari pantai), perairan sebelah barat terdapat
rataan terumbu karang, pada bagian luar sekitas 1 km terdapat kedalaman
besar dari 20 m, dan pada sebelah baratdaya sekitar 1 km terdapat daerah
yang sangat dangkal dengan kedalaman kurang dari 5 meter.
2. Sarana dan Prasarana
Untuk mendukung sarana transportasi laut dipulau ini, telah dibangun
dermaga pada sisi barat pulau. Namun belum tersedia transporatasi reguler
ke pulau ini. Untuk mengakses pulau ini, kita dapat menggunakan perahu
carteran (sekoci) 40 PK dengan biaya sebesar Rp. 600.000,- (pergi-pulang).
Selain fasilitas dermaga, terdapat 1 buah sekolah dasar (SD) dan 1
buah Puskesmas pembantu dengan tenaga medis 1 orang mantri, 1 orang
suster dan 1 orang dukun, sanitasi lingkungan di pulau ini belum tersedia.
Kita juga dapat menjumpai sebuah masjid hasil swadaya masyarakat
dan fasilitas olahraga yakni lapangan bola dan volley. Sebuah instalasi lidtrik
dengan generator yang beroperasi padad pukul 18.00 – 22.00 wita
melengkapi fasilitas di pulau ini.
3. Pemukiman dan Interaksi Sosial
Di pulau Bonetambung, terdapat kurang lebih 100 rumah. Sebagian
besar rumah didirikan di bagian sisi timur pulau sehingga hampir tidak terlihat
lahan yang kosong. Sedangkan pada sisi barat, rumah-rumah masih dapat
dijumpai lahan yang kosong. Mereka menghindari ancaman abrasi yang
36
setiap tahun terjadi. Namun bukan hanya hal itu yang menjadi alasan
pendirian rumah yang tidak merata ini.
Masyarakat Bonetambung cenderung mendirikan rumah bersebelahan
dengan keluarga terdekatnya seperti ayah atau ibu, meskipun mereka hampir
dikatakan sebagai satu keluarga besar. Jadi kita bisa memahami bahwa
mereka yang mendirikan rumah di bagian sisi timur pulau memiliki hubungan
kekerabatan yang dekat. Begitu juga halnya pada sisi barat, mereka memiliki
hubungan kekerabatan yang dekat dan cenderung memiliki kewenangan
yang lebih besar dibanding mereka yang tinggal di bagian timur.
Pemukiman yang tidak merata ini tidak berarti bahwa terdapat konflik
diantara ”warga timur” dan ”warga barat” (sebagaimana yang penulis duga
pada awal memulai penelitian). Meskipun dalam aktifitas sosial sehari-hari,
mereka cenderung berinteraksi dengan tetangga terdekat, namun hubungan
mereka tetap terjaga. Selain karena mereka masih memiliki hubungan darah,
pulau yang mereka huni relatif lebih kecil sehingga masih banyak aktifitas
sosial yang membuat mereka saling berinteraksi dan saling membutuhkan.
B. Jenis Usaha dan Struktur Sosial
Struktur sosial di pulau Bonetambung memiliki hubungan yang
signifikan dengan jenis usaha mereka. Hampir dikatakan bahwa struktur
sosial mereka terbentuk dari jenis usahanya dan akan berdinamika seiring
dengan dinamika usaha yang ada. Berikut penjelasan mengenai hal ini akan
37
dimulai dari penjelasan tentang jenis-jenis usaha yang digeluti oleh
masyarakat pulau Bonetambung.
1. Jenis Usaha
Di pulau Bonetambung, terdapat beberapa jenis usaha perikanan yang
diusahakan, yaitu usaha ikan hidup, usaha ikan lelong dan usaha ikan
timbangan serta usaha gurita.
a. Usaha Ikan Hidup
Usaha ikan hidup adalah usaha yang menjual dan membeli ikan hidup
jenis kerapu, atau dalam nama lokal disebut ikan sunu. Ikan yang ditangkap
harus dalam keadaan hidup dan tidak cacat dengan ukuran yang telah
ditentukan oleh pembeli.
Pemilik usaha ikan hidup biasa disebut punggawa, yaitu orang yang
memimpin sebuah usaha. Punggawa yang memiliki modal kemudian
memberikan modalnya kepada pihak lain berupa alat tangkap dan biaya
operasional disebut punggawa bonto atau punggawa darat. Punggawa darat
memberikan modal kepada seorang nahkoda perahu yang disebut punggawa
laut atau juragan. Juragan kemudian memimpin beberapa orang untuk
mengoperasikan perahu dan alat tangkap. Beberapa orang yang dipimpin
tersebut disebut sawi atau orang yang bekerja pada perahu7.
7 Semua orang yang secara langsung terlibat dalam proses penangkapan disebut paboya, yang secara istilah dapat diartikan pencari. Informan yang menggunakan bahasa Indonesia untuk menyebut paboya juga menggunakan istilah pencari. Jadi, paboya dipimpin oleh pimpinan yang disebut juragan atau punggawa laut.
38
Ikan hasil tangkapan yang diperoleh punggawa laut atau juragan
bersama para sawinya harus dijual kepada punggawa darat. Puggawa darat
kemudian menjual ikan tersebut ke pembeli yang ada di Makassar8.
Adapun punggawa darat dibantu oleh beberapa anak buah yang
disebut sawi darat. Tugas sawi darat ini adalah mensortir ikan dan melakukan
perawatan serta menjaga penampungan ikan. Sawi darat direkrut
berdasarkan keterampilannya dalam merawat ikan. Hal ini dikarenakan ikan
harus dijual dalam keadaan hidup dan tidak cacat dan harus menggunakan
teknik-teknik tertentu untuk melakukannya, terutama dalam penggunaan
obat-obatan dan pengukuran timbangan dan takaran air.
b. Usaha Ikan Lelong
Usaha ikan lelong adalah usaha yang menjual dan membeli ikan untuk
kebutuhan pasar lokal. Ikan dibeli dari nelayan pemancing dan juga nelayan
yang menggunakan alat tangkap bu. Hingga saat laporan ini ditulis, hanya
satu pembeli ikan lelong yang ada di lokasi penelitian. Pembeli ikan lelong ini
tidak memberikan biaya operasional kepada nelayan. Ikan yang dibelinya
8 Pembeli ikan hidup yang menunggu ikan di Makassar biasanya adalah pihak yang memberikan modal kepada punggawa bonto atau punggawa darat. Dilihat dari status dan perannya, pemberi modal yang tinggal di Makassar ini juga sebenarnya adalah seorang punggawa bonto karena dia hanya memberikan modal kemudian menunggu hasil tangkapan. Namun, mereka tidak menyebutnya punggawa bonto, melainkan bos. Sebutan bos ditujukan untuk menyebut pemilik modal yang modalnya cukup besar menurut ukuran mereka (nelayan pulau Bonetambung). Seorang punggawa bonto atau punggawa darat dapat dipanggil bos jika usahanya sudah besar dengan ukuran modal yang dimiliki. Demikian anatomi status punggawa yang dilihat dari volume modal yang dimiliki, menurut beberapa informan (informan yang menjelaskan hal ini adalah informan yang umurnya sudah tua dan pernah menjadi punggawa bonto. Hal ini biasanya tidak dapat dijelaskan oleh informan yang umurnya masih muda, panggilan status cenderung digunakan berdasarkan kebiasaan saja)
39
sebagaian besar merupakan ikan mati yang ditangkap oleh nelayan pencari
ikan hidup9.
c. Usaha Ikan Timbangan
Usaha ikan timbangan adalah usaha yang menjual dan membeli ikan
untuk kebutuhan ekspor. Ikan yang dibeli diukur menggunakan timbangan.
Jenis yang masuk kategori ikan timbangan adalah ikan tinumbu. Pembeli ikan
timbangan yang tinggal di pulau Bonetambung berjumlah empat orang.
Pembeli ikan timbangan ini berstatus sebagai punggawa darat karena dia
memberikan modal kepada nelayan pemancing kemudian menunggu hasil
tangkapan di darat.
d. Usaha Gurita
Usaha gurita adalah usaha yang khusus menjual dan membeli biota
gurita. Pembeli gurita juga merupakan punggawa. Punggawa yang membeli
gurita adalah orang yang sama dengan pembeli ikan timbangan.
Dari keempat jenis usaha tersebut, usaha yang paling banyak
dilakukan adalah usaha ikan hidup. Punggawa pemilik usaha ikan hidup tidak
membeli biota jenis lain sementara punggawa jenis usaha lain juga membeli
9 Alat yang digunakan oleh nelayan ikan hidup disebut bu, yaitu perangkap yang dipasang di sekitar terumbukarang. Ikan yang terperangkap adalah ikan yang hidup di sekitar terumbukarang. Karena banyak jenis ikan yang masuk ke dalam bu, nelayan pun memisahkan ikan sunu (jenis kerapu) dengan ikan lainnya. Ikan sunu dibiarkan hidup karena merupakan biota target utama, yang lainnya dibiarkan mati. Ikan hidup dijual kepada pemilik modal sementara ikan mati dijual kepada pembeli ikan mati, bukan pemilik modal. Pemilik modal usaha ikan hidup hanya membeli ikan hidup, sisanya bebas dijual kepada pembeli ikan mati
40
biota lain yaitu ikan timbangan dan gurita. Jadi, punggawa ikan timbangan
juga merupakan punggawa nelayan gurita.
2. Struktur Sosial
Di Bonetambung, punggawa dapat dibedakan berdasarkan hal berikut:
a. Kepemilikan
Berdasarkan kepemilikannya, kita dapat menemukan tiga status
punggawa dari keempat jenis usaha tersebut, yaitu punggawa bonto atau
punggawa darat, punggawa berdikari dan punggawa laut atau juragan.
Punggawa bonto atau punggawa darat adalah punggawa yang memberikan
modal kepada paboya atau pencari ikan. Punggawa darat hanya menunggu
hasil tangkapan di darat, tidak terjun langsung melakukan penangkapan.
Sedangkan punggawa laut atau juragan adalah pemimpin perahu yang
melakukan penangkapan. Punggawa laut memperoleh perahu dan alat
tangkap serta biasa operasional dari punggawa darat. Dengan demikian,
hasil tangkapannya harus dijual kepada punggawa darat yang memberikan
modal.
Sementara punggawa berdikari, adalah status punggawa yang relatif
masih baru, yang ditujukan untuk menyebut punggawa laut yang memiliki
perahu, alat tangkap dan biaya operasinal sendiri, tidak dimodali oleh
punggawa darat. Jenis usaha yang dijalankan adalah usaha ikan hidup.
Punggawa berdikari ini bebas menjual hasil tangkapannya kepada punggawa
41
darat dengan penawaran harga yang lebih tinggi. Namun pada
perkembangannya, sudah banyak punggawa berdikari yang diberikan modal
langsung oleh pengusaha yang ada di Makassar tanpa melewati perantara
punggawa darat yang ada di pulau Bonetambung. Meskipun statusnya mirip
dengan punggawa laut, namun punggawa berdikari ini menjual ikannya
dengan harga yang sama dengan harga ikan di Makassar10.
Dari ketiga status punggawa tersebut, peneliti memusatkan perhatian
pada punggawa usaha ikan hidup. Perhatian dipusatkan pada peran istri
mereka dalam usaha perikanan yang dimiliki. Pertimbangan untuk
memusatkan perhatian pada usaha ikan hidup adalah karena sebagian besar
nelayan di pulau Bonetambung menangkap ikan hidup. Hal ini memudahkan
peneliti untuk menggali informasi dan dapat dengan mudah dilakukan
pengamatan secara langsung. Pembahasan berikut ini akan menjelaskan
peran istri punggawa usaha ikan hidup.
b. Volume Usaha
1) Punggawa Lompo
Punggawa lompo, yaitu punggawa yang usahanya sudah besar.
Besarnya usah dinilai dari modal yang dimiliki, sarana produksi, jumlah
sawi, dan jaringan di kota. Punggawa lompo tidak ikut dalam proses
produksi
10 Hal ini menyebabkan usaha punggawa darat yang tinggal di pulau mengalami penurunan karena banyak punggawa laut yang langsung meminta modal kepada pengusaha di Makassar dan menjual hasil tangkapannya dengan harga yang lebih tinggi.
42
2) Punggawa Berdikari
Punggawa berdikari, yaitu punggawa yang memiliki satu atau dua
perahu penangkapan beserta sawi yang mengoperasikannya. Jika
punggawa berdikari ini memiliki dua perahu, maka salah satu perahu
dipimpin olehnya untuk beroperasi. Punggawa ini tidak memiliki ikatan
dengan bos atau pembeli yang ada di Makassar. Modal untuk
membuka usaha diperoleh dari bantuan keluarga (biasanya keluarga
yang pegawai negeri) dan sistem hutang yang tidak dibayar
menggunakan ikan. Melainkan berupa uang tunai pada jangka waktu
tertentu.
Jika kita mencermati pengklasifikasian punggawa di atas, maka kita
akan melihat bahwa seorang punggawa dapat memiliki beberapa status
sekaligus. Punggawa darat jika memiliki modal yang besar, tenaga kerja yang
banyak dan jaringan yang luas, maka dia juga adalah seorang punggawa
lompo. Beberapa punggawa darat juga, ada yang membeli dan menjual ikan
hidup sekaligus membeli dan menjual ikan timbangan pada musim tertentu.
Namun tidak pernah membeli ikan mati untuk pasar lokal.
Namun, tidak semua punggawa darat adalah punggawa lompo,
meskipun tidak ikut dalam aktivitas produksi, atau hanya tinggal di darat
menunggu kedatangan nelayan. Jika seorang punggawa darat hanya
membeli ikan mati dan modal yang diberikan kepada nelayan juga tidak
besar, maka dia tidak disebut punggawa lompo, biasanya disebut sebagai
43
punggawa balolang atau punggawa yang mengantar ikan. Dia hanya memiliki
beberapa sawi dan khusus untuk ikan mati. Sementara jika sawinya
memperoleh ikan hidup, maka ikan hidup tersebut diserahkan kepada orang
lain yang membeli ikan hidup. Begitu juga sebaliknya punggawa lompo yang
usahanya fokus pada ikan hidup, jika sawinya memperoleh ikan mati, maka
ikan mati tersebut akan diserahkan kepada pembeli ikan mati.
Sementara punggawa berdikari, biasanya usahanya fokus pada ikan
hidup namun berbeda dengan punggawa lompo. Punggawa lompo, hanya
terlibat pada pasca produksi, yaitu setelah nelayan datang membawa ikan
hasil tangkapannya. Keterlibatan punggawa lompo hanya sebatas
mengawasi karena yang mensortir ikan dikerjakan oleh sawi darat yang ahli.
Sementara punggawa berdikari tidak memiliki tukang size atau sawi untuk
mensortir ikan. Ikan yang ditangkap biasanya dibawa langsung ke Makassar
untuk dijual, atau dalam kondisi tertentu, misalnya tangkapan yang sedikit,
maka biasanya dijual ke punggawa lompo setempat (yang berada di pulau
yang sama) dengan harga yang relatif sama dengan harga di Makasar). Ini
dilakukan untuk menekan pengeluaran biaya perjalanan.
Jadi, klasifikasi punggawa di atas dapat disederhanakan menjadi tiga,
yaitu punggawa lompo, punggawa ikan mati dan punggawa berdikari.
Perbedaan status punggawa ini berimplikasi terhadap perbedaan peran istri
mereka. Istri punggawa lompo memiliki peran yang berbeda dengan istri
punggawa berdikari atau istri punggawa ikan mati. Perbedaan tersebut
secara rinci akan dibahas pada sub bahasan yang khusus.
44
C. Aktivitas Kaum Perempuan
Dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat mengamati perbedaan
aktivitas antara laki-laki dan perempuan, baik yang telah berkeluarga maupun
yang telah berkeluarga (suami dan istri). Pada pagi hari, secara umum
perempuan sibuk dengan aktivitas di rumah seperti membersihkan
pekarangan rumah, mencuci pakaian, membersihkan ruangan dalam rumah.
Bagi perempuan yang telah berkeluarga, yaitu sebagai istri dan memiliki
balita, dia memiliki aktivitas yang khusus di samping aktivitas yang telha
disebutkan, yaitu merawat anaknya.
Istri nelayan, yang suaminya akan berangkat ke laut, pada pagi hari
sibuk mempersiapkan makanan untuk bekal suaminya dan sebagai hidangan
sebelum berangkat. Aktivitas lain seperti membersihkan rumah dan mencuci
pakaian baru dilakukan setelah suami berangkat ke laut.
Di Bonetambung, terdapat beberapa pekerjaan (yang menghasilkan
uang) yang ‘diidentikkan’ dengan perempuan. Perkejaan tersebut adalah:
menjual barang campuran
berbelanja kebutuhan rumah tangga di Makassar, biasa disebut
paterong
mangombang juku atau membelah ikan untuk dikeringkan
menjual kosmetik dan pakaian
bandar arisan
45
menjual kue
menjual sayur-sayuran
Meskipun pekerjaan tersebut identik dengan perempuan, tetapi itu
merupakan hasil kesepakatan antara suami dan istri, atau jika itu dilakukan
oleh seorang anak perempuan itu sudah disepakati oleh orang tuanya.
Meskipun suami tidak terlibat langsung dalam pekerjaan tersebut, namun dia
juga ikut mengatur atau menghitung untung rugi usaha yang dikerjakan oleh
istrinya. Modal usaha diperoleh dari suami. Bahkan, istri yang menjual barang
campuran seperti beras, mie instan, gula pasir, kopi, teh, minyak goreng,
rokok dan sebagainya memiliki hubungan yang sangat dekat dengan aktivitas
kenelayanan. Nelayan yang akan berangkat ke laut biasanya mengambil
barang dari warung tersebut dan akan dibayar setelah memperoleh
penghasilan. Jika warung tersebut merupakan usaha istri punggawa, maka
akan dicatat dalam nota pengambilan pada punggawa dan dapat dibayar
dalam bentuk penyerahan ikan. Jika warung tersebut bukan milik punggawa,
maka itu merupakan pembayaran berupa uang tunai karena pemilik warung
tidak berprofesi sebagai penjual ikan.
46
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada bab ini, penulis akan membahas pokok permasalahan penelitian
yang telah dilakukan. Pembahasan ini akan menjawab pertanyaan umum
yaitu “bagaimana peran istri punggawa dalam managemen usaha perikanan
di pulau Bonetambung?”.
Peran istri punggawa dalam usaha perikanan tidak terlepas dari
kondisi sosialnya, dan utamanya bentuk usaha suami. Kondisi sosial yang
dimaksud di sini adalah termasuk pola pergaulan antara warga
masyarakatnya, pembagian peran antara suami dan istri serta sesuatu yang
dianggap penting dan tidak penting. Sedangkan bentuk usaha suami yang
dimaksudkan adalah jenis usaha yang dijalankan oleh suami. Berdasarkan
biota yang ditargetkan, ada 2 usaha perikanan, yaitu usaha ikan mati dan
usaha ikan hidup. Usaha ikan mati terdiri dari pemancing, dan nelayan pukat.
Sedangkan usaha ikan hidup (khusus yang nelayan di Bonetambung) terdiri
dari nelayan Bu dan nelayan bius. Kedua hal tersebut, yaitu kondisi sosial
dan bentuk usaha suami, memiliki hubungan yang signifikan terhadap peran
istri punggawa.
Setelah melakukan penelitian, disadari bahwa apa yang diperankan
oleh istri punggawa dalam usaha perikanan sangat erat kaitannya dengan
peran gender yang berlaku pada masyarakat pulau Bonetambung. Oleh
47
karena itu, pemahaman tentang peran istri punggawa dalam usaha perikanan
terlebih dahulu harus diawali dengan memahami peran gender yang berlaku,
yaitu peran yang mereka pahami dan praktekkan dalam kehidupan sehari-
sehari. Namun, peran gender yang akan kami gambarkan hanyalah peran
gender yang dianggap berkaitan dengan usaha perikanan, mengingat bahwa
fokus penelitian ini adalah mengenai usaha perikanan.
A. Peran Gender pada Masyarakat Nelayan Pulau Bonetambung
1. Peran Gender pada Masyarakat Nelayan Pulau Bonetambung
Pembagian peran antara istri dengan suami masyarakat pulau
Bonetambung secara umum dapat kita bedakan dalam dua peran yang
mencolok, yaitu peran ‘darat’ dan peran ‘laut’. Peran laut yaitu peran yang
menyangkut penangkapan yang meliputi persiapan produksi, produksi dan
distribusi. Sementara peran darat adalah peran yang dilakukan diluar peran
laut seperti mengurus rumah tangga, mengatur konsumsi dan peran-peran
kemasyarakatan.
a. Peran Laut
Peran laut dimulai ketika suami hendak melakukan operasi. Suami
mempersiapkan peralatan penangkapan serta mengecek kondisi perahu dan
mesin. Pada waktu yang bersamaan, istri mempersiapkan konsumsi untuk
suami sebelum berangkat dan untuk bekal selama beroperasi. Pembagian
peran seperti ini terutama dijumpai pada keluarga nelayan yang
48
menggunakan perahu fiber, yaitu perahu kecil yang hanya dioperasikan oleh
satu orang untuk memancing gurita dan ikan tinumbu. Perahu yang
digunakan adalah milik sendiri yang diperoleh secara cicil11, sementara biaya
lainnya, termasuk biaya konsumsi ditanggung sendiri.
Berbeda dengan nelayan yang menangkap ikan hidup, mereka
menggunakan perahu jolloro dan alat tangkap yang disebut ‘bu’. Bu
dioperasikan oleh 3-4 orang yang terdiri dari satu punggawa laut, dua
penyelam dan satunya lagi untuk menjaga kompresor. Pada tahap persiapan,
yang mempersiapkan peralatan adalah sawi, sementara konsumsi untuk
bekal konsumsi selama beroperasi dilakukan oleh istri punggawa laut.
Sementara istri sawi hanya mempersiapkan konsumsi untuk suaminya
sebelum berangkat. Istri sawi tidak mengurus bekal konsumsi karena aturan
penangkapan yang mereka terapkan yaitu selama beroperasi, semua
kebutuhan ditanggung oleh punggawa laut, termasuk kebutuhan konsumsi.
Tahap selanjutnya adalah operasi. Selama beroperasi, semua urusan
di laut diperankan oleh laki-laki (suami) karena tidak ada perempuan yang
ikut melakukan penangkapan. Istri hanya tinggal di rumah, mengurus anak,
mencuci pakaian dan mengerjakan beberapa pekerjaan lainnya sambil
menunggu suami datang dari laut. Selama suami berada di laut, hampir
11 Cicil adalah istilah yang mereka digunakan untuk menyebut pengambilan perahu dengan cara kredit, dengan ketentuan bahwa sebelum perahu tersebut lunas, yang bersangkutan harus menjual hasil tangkapannya kepada pemberi kredit yang biasa mereka sebut sebagai ‘punggawa’. Namun pada kenyataannya, tidak ada perahu yang dilunasi oleh nelayan. Nelayan lebih memilih mengumpulkan uang untuk membeli perahu yang baru kemudian mengembalikan perahu yang lama kepada pemiliknya.
49
semua pekerjaan didarat dilakukan oleh istri, kecuali bagi mereka yang
anaknya sudah bisa ikut membantu.
Setelah suami datang dari melaut, kita dapat melihat adanya
perbedaan pembagian peran secara gender antara keluarga nelayan
pemancing dengan keluarga nelayan yang menggunakan ‘bu’. Bagi nelayan
‘bu’, kedatangan mereka disambut oleh banyak perempuan tetapi bukan istri
mereka. Yang menyambut adalah para istri yang hendak membeli ikan (ikan
yang dibeli adalah ikan yang mati dan harganya murah) untuk keperluan lauk
bagi keluarganya. Selain bertujuan untuk membeli ikan, mereka juga ingin
mendengar kabar suaminya yang masih beroperasi, apakah memperoleh
tangkapan yang banyak atau tidak, apakah suaminya dalam keadaan yang
baik. Setelah interaksi antara nelayan dan para istri tersebut selesai, ikan
hidup pun dibawa ke tempat penampungan punggawa darat untuk disortir.
Jadi, istri nelayan di sini tidak berperan dalam tahap pendistribusian hasil
tangkapan.
Sementara nelayan pemancing, pembagian peran antara suami
dengan istri berbeda dengan nelayan bu. Setelah suami datang dari laut, dia
disambut oleh istrinya. Mereka melakukan penyortiran hasil tangkapan.
Setelah selesai, hasil tangkapan tersebut dibawa ke pembeli (punggawa
yang memberi kredit perahu) yang juga tinggal di pulau Bonetambung. Bukan
50
suami yang membawa hasil tangkapan, tetapi dilakukan oleh istrinya12.
Sementara istri membawa hasil tangkapan kepunggawa, suami
membersihkan perahu kemudian kembali ke rumah dan menyantap hidangan
yang sebelumnya telah disiapakan istri.
Kesibukan istri nelayan setiap hari yang dapat kita amati adalah
mengurus anak, menyiapkan makanan untuk suami sebelum pulang dari laut,
mencuci pakain, sisa waktu yang ada biasanya digunakan untuk berkumpul
dengan istri nelayan yang lain yang juga memiliki waktu luang. Sebagian kecil
di antara mereka ada yang memiliki usaha dagang yang modalnya tidak
besar. Mereka menjual sembako yang dibeli di kota. Selain itu, ada pula istri
nelayan yang tidak memiliki warung tetapi memiliki kerajinan membuat
makanan ringan untuk dijual dari rumah ke rumah.
b. Peran Darat
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, peran darat adalah peran
yang dilakukan di luar peran laut seperti mengurus rumah tangga, mengatur
konsumsi dan peran-peran kemasyarakatan. Selama suami berada di laut,
hampir semua urusan di darat menjadi tanggung jawab istri, kecuali mereka
yang tinggal bersama di rumah orang tuanya.
2. Pandangan Tentang Suami dan Istri yang Baik13
12 Bagi nelayan yang memiliki anak yang kira-kira berumur 7-10 tahun, ikan hasil tangkapan biasanya dibawa oleh sang anak, sementara istri menunggu suami di rumah.
13 Penggunaan kata baik di sini mengikuti logika bahasa mereka, yang mana tidak bertujuan untuk menyudutkan seseorang yang tidak baik. Kata baik di sini bermakna memiliki nilai lebih dibanding yang lain.
51
Berdasarkan pembagian peran secara umum di atas, mencari ikan
dianggap sebagai pekerjaan yang paling utama dan merupakan tanggung
jawab seorang suami. Sementara urusan di darat diselesaikan oleh istri
ketika suami sedang beroperasi di laut. Suami akan merasa malu jika dia
tidak mampu memenuhi kebutuhan materi keluarganya.
Pembagian peran di atas berkaitan dengan pandangan dan penilaian
mereka tentang suami yang baik dan istri yang baik. Pandangan dan
penilaian ini telah ditanamkan sebelum seseorang menikah. Untuk itulah,
sebelum menjelaskan tentang tipe suami dan istri yang baik, penjelasan akan
diawali dengan laki-laki yang baik dan perempuan yang baik.
Laki-laki (belum menikah) yang baik menurut penilaian masyarakatnya
memiliki kriteria seperti sabar, tidak sombong, gemar memberi dan yang
paling utama adalah rajin bekerja (mencari ikan). Kriteria yang disebutkan
terakhir terlepas dari latar belakang ekonomi orang tuanya, kaya atau miskin,
karena kekayaan akan diperoleh bila rajin bekerja. Berikut kisah yang
diceritakan seorang informan:
“...seorang anak punggawa bernama Iwan (nama samaran) yang kini telah menikah. Sebelum menikah, Iwan memiliki perbedaan yang menonjol dengan pemuda lain sebayanya. Pemuda lain yang orang tuanya bukan seorang punggawa hampir setiap hari berangkat ke laut untuk mencari ikan, sementara Iwan hanya tinggal di pulau untuk menunggu nelayan datang membawa hasil tangkapannya. Dia hanya membantu ayahnya mensortir ikan hasil tangkapan sawi. Hal ini menyebabkan Iwan tidak memiliki keterampilan menangkap ikan. Setelah menikah, dia harus menghidupi keluarganya dengan usaha sendiri. Harta yang dimiliki orang
52
tuanya tidak bisa digunakannya untuk menghidupi keluarga, karena prinsipnya adalah seorang laki-laki yang telah menikah memiliki tanggungjawab untuk mencari nafkah sendiri. Di pulau ini, hampir semua anak punggawa tidak memiliki keterampilan mencari ikan, dia hanya tau cara menghabiskan uang...”
Dari kisah tersebut, kita dapat melihat bagaimana seorang laki-laki
harus mampu mencari nafkah untuk dirinya dan juga untuk keluarganya
kelak. Hal ini juga dapat kita lihat dari pernyataan salah seorang punggawa
darat :
“...Saya memiliki beberapa anak laki-laki, tapi coba kau lihat, semuanya turun mencari, meskipun saya orang tuanya sudah punya usaha. Mau tidak mau, dia juga harus bisa merasakan bagaimana menjadi pencari14. Suatu saat bila dia punya rejeki untuk jadi punggawa, dia tidak sulit lagi berhubungan dengan dengan sawi. Atau suatu saat dia tidak bisa jadi punggawa, kan dia sudah punya modal untuk hidup. Coba bandingkan dengan anak punggawa lain, kan kau kenal toh, kira-kira menurutmu bagus begitu? Tidak diminta-minta, tapi suatu saat jika usaha hajinya turun, dia pasti akan pusing...”
Jika mengamati secara sepintas, kita tidak akan memahami
perbedaan antara laki-laki yang dianggap baik dengan laki-laki yang
dianggap kurang baik. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka bergaul dengan
orang lain tanpa membedakan nilai lebih yang dimiliki seseorang. Hal ini
terutama didasari oleh kesadaran bahwa mereka saling membutuhkan pada
suatu kondisi yang tidak diduga, misalnya tidak memperoleh hasil tangkapan
dan harus meminta bantuan pada orang lain atau hal lain yang tidak dapat 14 Pencari adalah istilah bahasa Indonesia yang mereka gunakan untuk menyebut istilah
lokal, yaitu paboya, yang berarti pencari ikan. Pencari digunakan untuk menyebut pada nelayan biasa, bukan pemilik perahu.
53
dikerjakan sendiri. Namun, dalam konteks tertentu, penilaian ini akan
berpengaruh terhadap interaksi seseorang dengan orang lain.
a. Suami yang baik
Bagi masyarakat pulau Bonetambung, membanding-bandingkan
seorang laki-laki dengan laki-laki yang lain merupakan hal yang dapat
menyinggung perasaan, apabila yang diperbandingkan adalah laki-laki yang
baik dan yang tidak baik. Menceritakan kebaikan orang yang tidak berada
pada setting sosial pembicaraan tersebut menjadi hal yang positif bagi orang
lain, yaitu sebagai bahan pembelajaran mengenai contoh sikap dan perilaku
yang baik. Begitu juga jika membicarakan sifat dan perilaku orang yang tidak
baik. Pembicaraan mengenai sifat dan perilaku orang yang tidak baik
biasanya lebih tertutup, namun mudah untuk ditemukan pada percakapan
sehari-hari yang dilakukan oleh beberapa istri yang berkumpul atau laki-laki
yang sedang bercanda sesama laki-laki.
Sebagaimana halnya yang telah dibahas sebelumnya, suami yang
baik terutama dinilai dari ketekuannya bekerja mencari nafkah, kemudian
tidak boros dan menyerahkan seluruh pendapatannya kepada istri. Dapat
diamati secara nyata, suami yang baik bisanya tidak meninggalkan pulau
untuk keperluan yang tidak penting, misalnya ke kota (Makassar) hanya
untuk berbelanja kebutuhan yang tidak penting. Dia hanya memperhatikan
alat tangkapnya, atau usahnya. Urusan belanja diserahkan kepada istri,
54
kecuali berbelanja untuk keperluan penangkapan, misalnya alat tangkap atau
peralatan lainnya.
Salah seorang informan menjelaskan:
“...Orang Bugis Makassar berbeda dengan orang Bajo, mereka (orang Bajo) turun bersama istrinya ke laut mencari ikan. Kita (orang Bugis-Makassar) malu kalau istrinya juga turun mencari ikan. Kalau masih ada “Buranena” (suaminya), mestinya (suami) yang cari uang, kecuali kalau memang suami memang tidak bisa atau sudah meninggal. Malu itu suami (diketahui oleh orang lain) kalau istrinya yang mencari, dibilangi “lelaki pacce” (Burane Pacce). Kan itu suami tugasnya mencari uang.
Biasa juga perempuan bantu-bantu suaminya kerja, seperti misalnya di pulau Sanane, istri yang bawa ikan ke Paotere kalau suaminya dapat ikan, tapi tidak ikut mencari ikan. Kalau di sini (Bone Tambu), tidak ada yang begitu seperti di Sanane. Kecuali istrinya Dg. Kadere yang pergi ke Makassar bawa ikan (ikan sunu hidup) kalau anaknya dapat ikan. Tapi dia Cuma mengatur ikan, anaknya yang laki-laki pergi mencari. Kalau dg. Kadere sendiri tinggal di rumah, dia tidak turun lagi mencari karena banyak anak laki-lakinya yang sudah besar. Anak-anaknya menggunakan perahu sendiri (mandiri) untuk mencari ikan.
b. Istri yang baik
Suami dan istri adalah satu kesatuan yang tidak dapat dilihat secara
terpisah. Dalam keluarga, suami dan istri adalah anggota tim yang masing-
masing memiliki peran yang berbeda dengan tujuan yang sama, yaitu
“membangun keluarga” yang sejahtera. Untuk mencapai tujuan tersebut,
suami dan istri “bekerjasama” dan bukan bekerja “bersama-sama”. Berikut
kutipan wawancara dengan salah seorang nelayan:
55
“...tidak baik itu kalau istri juga ikut kerja, tidak apa dia kerja cukup di darat saja, seperti menjual-jual makanan. Kalau istri juga mencari atau istri sibuk baru kita pulang mencari, siapa yang mau urusi kita... siapa yang urus anak di belakang, siapa yang urus rumah. Kalau kita pulang mencari, tidak ada lagi yang bisa dikerja di darat karena kita sudah capek, tinggal istirahat saja. Atau misalnya kita sakit, baru istri sibuk dan juga sakit, siapa yang urus...”
Meskipun istri tidak memiliki pekerjaan yang menghasilkan uang, dan
hanya bekerja sebagai “istri”, yaitu memasak, mencuci, menyiapkan
makanan, merawat anak, tapi itu adalah bentuk peran yang juga bertujuan
membentuk keluarga yang “sejahtera”. Sebaliknya, suami yang bekerja
mencari uang sesungguhnya tidak bekerja untuk dirinya sendiri, tetapi untuk
seluruh anggota keluarga, istri dan anak. Uang adalah hal yang penting
dalam keluarga, namun tidak berarti bahwa suami yang secara langsung
memperoleh uang memiliki kekuasaan mutlak dalam keluarga. Istri juga
memiliki kekuasaan, dalam rumah tangga.
Kalau itu istri, dia yang atur belanja, dia yang simpan uang. Jadi kalau suami sudah dapat ikan, kemudian dijual dan hasilnya diserahkan kepada istri. Tidak baik kalau suami yang simpan uang. Kan itu istri istilahnya “bank”-nya keluarga, yang namanya bank tidak pergi-pergi. Kalau suami yang simpan uang dan dibawa kemana-mana, nanti habis mungkin dibelanjakan disembarang tempat atau dirampok.
Senada dengan hal di atas, seorang punggawa juga menjelaskan:
“Istri itu tugasnya menyimpan uang, berapa saja pendapatan suami, semua harus diserahkan kepada istri, nanti kalau suami mau belanja baru minta sama istri. Meskipun suami yang memegang uang usaha, tetap harus diketahui oleh istri, sebab tidak baik kalau terjadi apa-apa dibelakang, sementara istri tidak tau dari awal, istilahnya orang Makassar “nasassala
56
bura’nena. Itu tidak baik, rejeki tidak bisa lancar kalau begitu. Jadi harus dibicarakan dulu dengan istri kalau mau belanja untuk keperluan nelayan...
Namun, kewenangan istri untuk mengatur keuangan keluarga bukan
berarti bahwa istri berhak membelanjakan uang semaunya. Dia juga harus
membicarakan dengan suami. Istri yang baik harus pintar menyimpan uang
untuk kebutuhan keluarga dan juga untuk kebutuhan yang tidak diduga.
Selain itu, istri yang baik juga harus bersyukur dengan rejeki yang diperoleh
suaminya. Jika diberi uang yang banyak dia bersyukur, jika sedikit, dia harus
bersabar. Doa istri sebelum suami berangkat mencari dan setelah pulang
membawa hasil adalah hal penting, karena begitu caranya agar rejeki lancar.
Informan lainnya juga mengatakan:
...istri yang baik adalah istri yang mendengarkan kata-kata suaminya, tidak asal berbuat. Sementara istri yang tidak baik adalah istri yang tidak mendengarkan kata-kata suaminya. Misalnya, kalau istri mau ke suatu tempat di luar rumah, seharusnya dia minta izin pada suami, tidak boleh “piti-piti Gau”. Seperti istri saya, dia itu tidak mau tinggalkan rumah tanpa minta izin pada saya. Seperti tadi juga, waktu saya hendak pergi menangkap ikan, istri saya melihat mau hujan, dia melarang saya tunggu pergi, jadi saya juga menunggu sampai hujan reda. Begitulah istri yang baik. Itu kau lihat di dalam, dia itu kalau ada orang (tamu), belum dikasi tau dia langsung bikin kue15...Dalam pembagian perannya, suami dan istri memiliki wilayah dimana
mereka memiliki otoritas untuk mengambil keputusan, namun bukan
keputusan yang “sewenang-wenang”. Bagaimana pun, setiap keputusan
15 Pada saat melakukan wawancara, istri informan sedang menggoreng pisang untuk dihidangkan kepada peneliti
57
yang akan diambil oleh suami atau istri dalam “wilayahnya” harus diketahui
oleh pasangan mereka.
3. Perbedaan Peran Gender Sebagai Bentuk Keseimbangan
Pembagian peran antara suami dengan istri pada masyarakat yang
diteliti mirip dengan pembagian peran gender yang ada pada masyarakat
yang lain. Hal yang sama terjadi bahwa suami berperan di luar rumah dan
istri berperan di dalam dan sekitar rumah. Fenomena ini oleh sebagian ahli
dipandang sebagai bentuk ketimpangan, di mana istri hanya memiliki sedikit
hak untuk mengatur rumah tangganya. Hal ini terjadi karena suami relatif
lebih banyak memberikan sumbangsih kepada keluarganya, yang mengacu
pada pandangan bahwa peran suami di luar rumah, yaitu mencari nafkah,
dianggap lebih penting dibanding peran istri yang hanya tinggal di rumah
untuk memasak, membersihkan dan merawat anak.
Pada masyarakat yang diteliti (yaitu masyarakat di pulau
Bonetambung), pembagian peran antara suami dan istri seperti dijelaskan
sebelumnya adalah hal yang umum. Hal tersebut tidak dapat dipandang
sebagai sebuah bentuk ketimpangan karena pembagian peran tersebut
ditempuh sebagai langkah untuk menangani keterbatasan masing-masing
person (yaitu suami dan istri). Hal ini berimplikasi pada kepemilikan hak yang
sama terhadap pengambilan keputusan terhadap sesuatu yang sedang atau
akan dilakukan. Istri, meskipun tidak secara langsung mencari nafkah, tetapi
58
dia memiliki hak untuk mengatur pengeluaran suaminya. Bukan hanya itu,
hampir setiap sesuatu yang akan dilakukan oleh suami, termasuk masalah
kenelayanan, harus diketahui oleh istrinya, meskipun secara publik istri tidak
boleh secara terang-terangan mengatur suami. Sebaliknya, sang istri jika
hendak melakukan sesuatu, misalnya membuka warung, berangkat ke
Makassar dan hal lainnya, hendaknya terlebih dahulu diberitahukan kepada
suami.
Bagi nelayan, hanya satu hal tabu yang tidak boleh dilanggar, yaitu
naik perahu penangkapan pada saat haid atau datang bulan. Diluar masa
tersebut, perempuan boleh saja naik perahu nelayan, bahkan juga boleh ikut
menangkap ikan (pada beberapa puluh tahun yang lalu, sekita tahun 70-an,
seorang anak gadis boleh ikut dengan orang tua atau paman mereka ke laut
untuk menangkap ikan asalkan tidak haid. Perempuan juga pintar
mendayung perahu dan tidak ada masalah. Yang dianggap masalah ialah
ketika pergi ke laut bersama laki-laki lain yang bukan muhrimnya).
Namun, sekarang tidak ada perempuan yang ikut mencari ikan bukan
karena aturan adat, tetapi karena tidak ada lagi perempuan yang mau ikut ke
laut. Menurut salah satu ibu (istri nelayan), sekarang cewe’cewe’ sudah takut
hitam, mereka sekarang sibuk dengan alat makeupnya, jika dibanding
dengan dulu, kita waktu cewe sering ke laut ikut sama bapa untuk mencari
ikan. Kalau ada pemuda (nelayan) yang tertarik sama kita, dia akan bilang
kepada orang tua kita, biasanya orang jodoh karena ketemu di laut.
59
Adapun istri nelayan sekarang, tidak ikut ke laut juga bukan persoalan
adat tapi karena pandangan bahwa lebih baik tinggal di rumah merawat anak
di banding ikut melaut. Seorang suami juga merasa malu jika istrinya ikut
melaut, “nanti nabilang orang suaminya tidak bisa memberi makan”. Kecuali
jika suami tidak mampu, maka istri boleh saja bekerja keras untuk mencari
nafkah karena itu adalah jalan terakhir untuk menghidupi keluarga. Salah
seorang warga pulau Bonetambung, yaitu seorang perempuan dengan umur
kurang lebih 45 tahun, berprofesi sebagai pedang ikan hidup. Dia yang
langsung membawa ikan hasil tangkapan beberapa anak laki-lakinya ke
Makassar. Hal ini bukan sesuatu yang ‘aneh’ bagi masyarakat Bonetambung,
bahkan mereka mengatakan bahwa itu adalah sesuatu yang bagus karena
memang suami beliau sudah tua.
Informan mengatakan:
kalau istri juga turun ke laut mencari ikan, siapa yang mengurus anak mereka? Siapa yang mengurus pekerjaan di rumah? Jadi, supaya suami bisa enak kerja, jadi istri juga kerja di rumah, kalau suami datang langsung bisa makan, istirahat, tidak ada lagi yang dipikirkan kalau tiba dari laut. Kemudian, suami merasa malu kalau harus istrinya turun ke laut. Menurutnya, pekerjaan sebagai nelayan adalah bagian laki-laki yang berat, jadi jika istri harus bekerja berat orang akan berkata bahwa suaminya tidak bertanggung jawab, tidak bisa memberi nafkah kepada istrinya.
Ditambahkan oleh seorang informan perempuan:
...dulu, waktu dia masih gadis, biasa ikut sama kakeknya ke laut, dia juga mendayung, jadi wajar saja kalau cewe-cewe dulu banyak yang pintar mendayung. Sekarang anak perempaun sudah sibuk bergaya, hidup mereka sudah sangat
60
enak dibanding orang tua dulu. Sekarang yang anak perempuan pikirkan adalah bagaimana caranya supaya lebih cantik dilihat. Apalagi sekarang memang tidak susah cari uang dibanding dulu, jadi biar perempuan tidak turun mencari ikan bisa juga makan enak. Kalau mau dapat uang, bisa jual-jual seperti kue, alat-alat kecantikan...
B. Peran Istri Punggawa pada Masyarakat Pulau Bonetambung
Untuk menjelaskan peran istri punggawa usaha ikan hidup, penulis
membedakan peran mereka pada dua model peran, yaitu peran langsung
dan peran tidak langsung. Peran langsung adalah kegiatan yang dilakukan
istri punggawa yang berkaitan langsung dalam usaha perikanan. Peran
langsung ini misalnya mencatat piutang, mensortir ikan, menimbang ikan,
membayar hasil tangkapan nelayan, mempersiapkan bekal makanan yang
akan dibawah oleh suami ke laut, membuka kios sembako dan sebagainya.
Sedangkan peran tidak langsung adalah kegiatan yang dilakukan oleh
istri punggawa di luar usaha perikanan namun secara signifikan berpengaruh
terhadap usaha. Peran tidak langsung ini berupa gosip atau bergaul dengan
tetangga, arisan, upacara daur hidup, menyambut dan melayani tamu dan
sebagainya.
1. Peran Langsung
Usaha perikanan yang dimiliki oleh seorang punggawa sesungguhnya
tidak terlepas dari peranan istrinya. Meskipun peranan istri tidak nampak
61
sebagaimana halnya kesibukan suami yang setiap saat dapat kita amati,
namun peran istri bukan sesuatu yang tidak penting. Bahkan, maju
mundurnya usaha perikanan kerap diawali dari peran istri. Berikut ini, penulis
akan menggambarkan peran istri yang secara langsung dan signifikan
mempengaruhi usaha perikanan, namun terkadang tidak nampak dalam
kehidupan sehari-hari, hanya dapat dipahami jika kita hidup bersama mereka.
a. Peran Istri dalam Memulai Usaha Perikanan
1) Peran Istri dalam Merencanakan Usaha dan Mengumpulkan Modal
Untuk memulai usaha, istri calon punggawa memiliki peran dalam hal
mengumpulkan modal. Berikut kutipan wawancara dengan salah seorang
punggawa darat.
...dalam memulai usaha ada istri yang berani mendukung suami dan ada juga yang tidak berani. Istri yang tidak berani biasanya dia berpikir bahwa bagaimana nanti kalau uang tidak kembali. Sementara istri yang berani, dia akan dukung suaminya jadi punggawa, dia akan menyimpan uang sedikit-sedikit, kalau sudah cukup akan dikasi ke suami untuk modal (komentarku, meskipun sebagian modal awal diperoleh dari pihak lain Saya sendiri, separoh saya dapat dari punggawa di kota atau bos besar sebagian juga modal yang dikumpul-kumpul. Jadi rata-rata itu kalau istri mau suaminya jadi punggawa, pasti dia dukung sekali. Jadi kalau suami jadi punggawa, dia cerita memang ke istri, tidak baik kalau tidak dikasi tau, nanti kita rugi misalnya, kita dipaccidda sama istri, dia tidak maumi bantu kalau ada apa-apa. Misalnya kita bisa pake emasnya istri untuk digadaikan, atau ada simpanannya, nah begitu kalau istri tau dan dia setuju. Istri yang mendukung juga pasti akan menghemat pengeluaran, misalnya tidak membeli barang-barang mewah, meskipun uangnya cukup, tetapi tidak dibelanjakan karena dia mau menambah usaha. Siapa tau ada paboya yang mau pindah dari punggawanya dan dia minta sama kita, harus ada persediaan. Apalagi itu
62
paboya kalau ada utangnya misalnya 1 juta, pasti dia akan minta lebih banyak pada calon punggawanya yang baru. Pasti begitu, tidak pernah tidak, jadi kita juga harus persiapkan semua. Jadi, kalau istri baku cocok ma suami, pasti dia tidak royal membelanjakan uang dan dia akan membantu suami untuk meningkatkan usahanya...(DC)
Dari informasi yang dijelaskan oleh informan di atas, kita dapat melihat
bagaimana istri berperan dalam memulai usaha perikanan. Peranan yang
disebutkan di atas adalah peran dalam pengumpulan modal awal untuk
memulai usaha. Namun, jika dibandingkan dengan jumlah total modal yang
dibutuhkan dalam usaha perikanan, modal yang dikumpulkan oleh istri
sebenarnya masih jauh dari cukup. Akan tetapi dukungan istri adalah hal
yang sangat penting bagi masyarakat Bonetambung. Dukungan tersebut
terkait dengan keyakinan mereka bahwa salah satu faktor yang
mempengaruhi kelancaran rejeki suami adalah istri. Berikut ini penjelasan
salah seorang informan:
Begini ceritanya, itu “ponna assapparengnge” ada sama istri... dia yang memegang uang. Pertama, Tidak ragu memberikan uang kepada kita (suami). Kalau hatinya tidak ihlas memberikan uang, menggerutu, pasti itu usahanya tidak bisa bejalan dengan baik sebab itu uang tidak halal. Itu uang dari kita kemudian dikembalikan dengan tidak ihlas. Tapi kalau istri yang baik, sebaliknya, dia ihlas memberikan uang kepada suami untuk membuka atau menjalankan usaha, tidak bisa salah itu pekerjaan, pasti akan berjalan dengan baik. (HSN)
Hal di atas juga senada dengan penjelasan seorang informan berikut:
Kita itu suami, kalau mau mengerjakan sesuatu, mesti dikasi tau dulu itu istri, nanti istri besar hatinya baru kita bisa mulai mengerjakannya. Kalau tidak besar hatinya, tidak usah dikerjakan, bikin cape’ saja karena pasti rugi itu. Sama
63
misalnya, sekarang saya tidak turun mencari karena selalu rugi, pasti selalu ada sangkutan utang sama punggawa karena lebih banyak ongkos dari ikan yang ditangkap. Itu terjadi kalau saya mau berangkat mencari lantas ibu tidak besar hatinya. Apalagi kalau ada sedikit pertentangan dengan ibu, kemudian marah-marah, lebih baik jangan pergi, takut kecelakaan di tengah laut.
Beberapa tahun terakhir, usaha ikan hidup di pulau Bonetambung
semakin menarik untuk diamati. Hal yang menarik adalah munculnya banyak
nelayan berdikari, yaitu punggawa laut atau sawi yang langsung memperoleh
modal dari pihak lain selain punggawa darat. Hal ini mengakibatkan hampir
semua punggawa darat di pulau Bonetambung mengalami penurunan usaha
sebab punggawa laut yang dulunya bekerja dengannya kini telah “memiliki”
alat tangkap sendiri.
Salah satu mantan punggawa laut bernama Ammang kini telah
“berhasil” menjadi punggawa berdikari16 karena mendapat dukungan yang
kuat dari istrinya. Sang suami adalah punggawa laut yang dikenal rajin
bekerja dan rejekinya bagus. Kelebihan ini membuatnya disenangi oleh
punggawa darat. Namun karena dorongan istri yang sangat kuat agar
suaminya membeli perahu sendiri menyebabkan sang suami memohon izin
kepada punggawanya untuk membeli sendiri.
Aturan yang berlaku jika seorang sawi hendak lepas dari
punggawanya adalah dia harus melunasi seluruh utangnya pada punggawa
darat. Untuk melunasi utang tersebut, sang istri menyimpan uang sedikit
16 Untuk penjelasan punggawa berdikari, dapat dilihat pada bab sebelumnya.
64
demi sedikit tanpa sepengetahuan suami. Setelah uang tersebut cukup untuk
melunasi utang, maka segeralah sang istri memberitahukan suami untuk
melunasi hutangnya. Kemudian, berkat bantuan keluarga sang istri, sang
suami diberikan pinjaman uang untuk membeli perahu penangkapan. Sang
suami tidak diharuskan menjual ikan kepada keluarga sang istri, karena
profesinya bukan sebagai pembeli ikan, tetapi seorang pegawai di salah satu
instansi.
Menurut informasi dari beberapa keluarga Ammang, memang Istri
Ammang dikenal pandai menyimpan uang. Jika diamati dalam kehidupan
sehari-hari, Istri Ammang memang terlihat berbeda dengan istri nelayan yang
lain. Dia jarang ke Makassar untuk berbelanja. Dia juga jarang ditemukan
membeli makanan atau barang lainnya secara berlebihan. Meskipun sang
istri tidak memiliki usaha kelontong sebagaimana beberapa istri nelayan
lainnya, tetapi kepandaiannya mengatur uang konsumsi menjadi hal yang
menonjol.
Menurut pengakuan beberapa nelayan, pendapatan Rp. 100.000
perhari belum cukup untuk disimpan, bahkan masih kurang untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Karena istri mereka boros membelanjakan uang,
setiap ada penjual yang lewat, pasti dibeli. Jadi, salah satu kunci agar
nelayan dapat menyimpan sebagain pendapatannya adalah pada istri.
Sebenarnya, seorang istri dapat dipastikan akan mendukung
suaminya untuk memulai usaha perikanan. Hal ini mengingat bahwa mereka
65
hidup di pulau kecil, dan usaha perikanan adalah usaha yang relatif lebih
mudah dilakukan dibanding usaha yang lain. Salah satu informan
mengatakan:
...kalau menyangkut membuka usaha, apakah istri mengizinkan atau tidak, itu tergantung jenis pekerjaannya, kalau dia orang pulau, terus suami mau mencari kerja di kota... umpamanya mau menarik becak, pasti istri tidak izinkan. Tapi kalau pekerjaan itu menyangkut di pulau, pekerjaan apapun itu, berisiko atau tidak beresiko pasti istri mengisinkan. Misalnya, kita kan orang pulau, saya mau terjun membius, itukan beresiko tapi pasti istri akan mengisinkan karena kita ini kerja di pulau, tinggal di pulau, apa yang mau dimakan, iya kan... kecuali mau cari pekerjaan di kota mungkin tidak diizinkan... (HD)
Jika kita memperhatikan kutipan wawancara di atas, mungkin kita
akan berpikir bahwa dukungan istri adalah hal yang biasa atau bisa dilakukan
oleh setiap istri. Akan tetapi, tidak semua istri dapat memberi dukungan
sebagaimana halnya kisah istri Ammang yang digambarkan di atas. Semua
istri ingin suaminya memiliki usaha sendiri agar keadaan ekonomi keluarga
meningkat, namun tidak semua mampu memulainya dengan merubah
kebiasaan, misalnya kebiasaan boros dan sebagainya.
2) Peran Istri dalam Perekrutan Sawi
Dalam kehidupan sehari-hari, hampir kita tidak dapat menemukan
keterlibatan istri punggawa secara langsung dalam usaha suaminya. Setiap
hari kita hanya melihat mereka mencuci, mesak, memandikan anak (bagi
66
mereka yang anaknya masih kecil) dan berkumpul sesama perempuan untuk
membicarakan banyak hal, baik soal pakaian, makanan atau pun hal lainnya.
Namun, hal yang disebutkan terakhir, yaitu berkumpul sesama perempuan
adalah hal yang sangat menarik.
Hubungan yang akrab antara istri punggawa dengan istri paboya
adalah faktor penting dalam hal perekrutan sawi. Seorang nelayan yang
datang kepada punggawa darat untuk meminta pinjaman uang atau perahu
biasanya karena dorongan istrinya. Begitu juga sebaliknya, seorang sawi bisa
saja pindah kepada punggawa lain akibat hubungan yang tidak harmonis
antara istri sawi dengan istri punggawanya.
Berbincang-bincang dengan sesama perempuan adalah hal yang
dapat dijumpai setiap hari, terutama pada waktu istirahat siang. Kebiasaan ini
membangun hubungan yang akrab di antara mereka membentuk semacam
ikatan emosi. Jika salah satu di antara mereka ada yang kesulitan, yang lain
merasa terdorong untuk membantu. Hal yang dibicarakan adalah
menyangkut kehidupan sehari-hari dan terkadang dianggap tidak penting
oleh laki-laki.
Meskipun pembicaraan mereka dianggap kurang penting oleh
kebanyakan orang, namun seorang punggawa darat menjelaskan bahwa
hubungan antara istri punggawa dengan istri sawi itulah yang sangat
berpengaruh terhadap keberlangsungan usaha suami. Berikut kutipan
wawancara dengan seorang punggawa darat:
67
...tidak jarang itu punggawa sukses karena istrinya, pendorong usaha yang paling utama adalah istri, ujung tombak. Umpamanya, ada orang yang mau masuk menjadi sawi, kita tidak mau tapi istri yang mau, atau istri yang mencari orang untuk masuk kerja dengan kita. Tidak boleh dibilang ini usaha laki-laki jadi tidak boleh dicampuri istri, justru lebih baik kalau istri ikut campur dalam usaha, apabila usaha hancur, istri tidak menyesal, istilahnya nasassala’... ...itu dalam menarik orang supaya mau masuk kerja dengan kita, itu istri yang paling penting peranannya, kita kan cuma bergaul dengan laki-laki, atau sering di kota, itu istri kebanyakan tinggal di pulau bergaul dengan tetangga dengan sesama ibu-ibu. Kalau dia bagus sama ibu-ibu yang lain, pasti ibu-ibu itu akan menyuruh suaminya atau anakknya untuk masuk ke kita. Misalnya, istriku dekat dengan ibu A, dia tanya ke ibu A, suamimu apa kerjanya, kalau tidak ada datang saja ke Haji Laki-laki (si punggawa), dia pasti belikan suamimu perahu, padahal nanti di rumah dia baru kasi tau saya, kalau datang suaminya atau anaknya ibu A, kasikan saja. Begitu istri, dia yang jadi penasehat kita. Itu istri dibandingkan dengan kita dalam menarik paboya, kita cuma dapat satu, kalau istri dapat dua, kenapa, karena kalau kita cuma bisa pengaruhi laki-laki tidak bisa pengaruhi istrinya, kalau saya misalnya ketemu dengan laki-laki saya bilang nanti saya belikan kau perahu, dia pasti akan bilang nanti saya pikir-pikir dulu, dia pasti akan bicara dulu sama istrinya. Kalau istri dia pengaruhi dulu istrinya baru nanti istri paboya yang pengaruhi suaminya, itu istri di nelayan besar sekali pengaruhnya kepada suami, dia itu kuat sekali membujuk suami. Kalau si anak misalnya sudah besar, sudah bisa pergi mencari, kalau istriku dekat dengan ibunya “kalau anakmu butuh perahu, datang saja ke H laki-laki”, ini anak pasti mau kalau mamanya yang suruh dia ke saya. Jadi istri itu ujung tombak.Memang laki-laki itu sering bilang bahwa perempuan itu tidak tau masalah, memang begitu kalau istri yang memegang penuh usaha tidak bisa juga berkembang karena istri biasanya hanya satu kali bepikir, tapi justru itulah istri karena pikirannya dia satu kali saja jadi dia kuat sekali mempengaruhi, satu kali dia mau dia akan desak terus suaminya sampai mau dipenuhi. Begitu juga dalam menarik sawi, kalau istri paboya yang sudah mau ke kita, biar dia kerja sama orang lain, kalau ada masalahnya di sana pasti dia akan diarahkan istrinya ke kita. Jadi istri itu ujung tombak meskipun
68
dia tidak terjun langsung tapi dia yang mempengaruhi suami di rumah. Lihat misalnya juga itu orang jawa yang datang menjual jamu di makassar, kalau dia tidak pandai-pandai, pasti tidak ada langganannya. Misalnya, kalau ada orang mau minum jamu tapi uangnya tidak ada, dia bilang nanti besok-besok kau bayar, pas besok ada penjual jamu yang lain, pasti dia tidak akan membeli jamu di situ karena ada utangnya sama penjual jamu yang kemarin, jadi begitu pandai-pandai mencari langganan. Biasa itu saya pelajari, kalau ada yang datang sama saya, pasti dia sudah kasi tau istriku, jadi kalau dia (calon sawi) datang sama saya, biar pun saya belum mau, tapi karena dia ‘dibantu’ sama istriku untuk mendorong saya supaya mau memberikan...
Sehungan dengan penjelasan informan di atas, seorang istri sawi
mengatakan:
...kita itu nelayan, mau minta sama siapa lagi kalau bukan pada punggawa, apalagi kalau suami tidak memperoleh hasil tangkapan yang banyak. Tapi biasanya itu suami malu-malu minta sama punggawanya, tapi bagaimanami kalau kita mau belanja tapi tidak ada uang. Mau tidak mau harus pinjam. Itu bagus kalau kita dengan istri punggawa, biasanya saya minta sendiri lewat dia, nanti dia yang kasi tau suaminya. Tapi ada juga istri punggawa yang pelit sekali, kita biasa minta dia selalu bilang tidak ada, padahal sebenarnya ada itu. cuma kalau suamita tidak banyak didapat ikan, itumi dia juga malas kasiki uang, tapi kalau suamita banyak didapat, tidak enaknya ji biar tidak minta kita dikasi juga... Coba kau lihat itu istrinya H. Beddu (nama samaran), pelit sekali, tapi liatmi sekarang maumi najual perahunya tapi tidak ada yang mau beli. Kalau saya itu, kusuruh mentong suamiku sama anakku pindah, apalagi dia sering cerita ke orang lain kalau anakku ikut tapi sedikit ikan didapat...
Sehubungan dengan informasi di atas, seorang istri punggawa juga
menjelaskan kepada penulis
...itu juga kalau itu paboya ada yang dia minta sama kita, biar ada baru kita bilang tidak ada, tentu itu paboya tidak suka baru kita dicerita pada orang lain. Begitu biasa na usahanya
69
orang tidak bagus karena orang tidak suka sama kita. Itu biasa kalau Haji Laki-Laki tidak ada baru dia datang sama saya baru saya tidak kasi, biasa dia cerita “kalau tidak ada H Laki-Laki dia tidak kasi kita, jadi saya, biar tidak ada H Laki-laki mesti kukasi juga, tapi saya kasi tau dulu lewat telepon biasa bilang ini si anu datang minta pembeli minyak”. Itu usahanya kita dari orang ji, jadi kalau kita tidak baik sama orang, tidak bisa juga bagus ini usaha. Jadi, kalau ada perlunya sama kita, diusahakan untuk dikasi...
Untuk memulai sebuah usaha, modal yang banyak dan kepekaan
terhadap keperluan sawi adalah hal yang paling utama dimiliki. Punggawa
beserta istrinya tidak boleh terlalu banyak perhitungan, terutama dalam hal
kebutuhan sawi. Modal yang dimiliki harus melebihi dari perhitungan
keperluan usaha (tidak boleh pas, harus lebih). Hal ini dikarenakan banyak
kebutuhan sawi yang tidak terduga dan kebutuhan tersebut sebenarnya
diluar usaha (menyangkut kebutuhan sehari-hari sawi). Punggawa harus rela
memberikan uang lebih dan tidak menghitungnya jika ia ingin sawinya tetap
betah. Bahkan dalam kondisi usaha rugi setelah menjual hasil tangkapan,
punggawa harus tetap memberikan uang kepada sawi karena mereka telah
berusaha semaksimal mungkin. Di satu sisi, sawi juga akan merasa malu
untuk sering menerima uang cuma-cuma dari punggawanya jika ia tidak
sering mendapat tangkapan yang banyak. Meskipun tidak dihitung, tapi
menerima uang Cuma-Cuma adalah menjadi “hutang budi” bagi Sawi. Tidak
semua operasi mengalami kerugian, makanya punggawa harus rela memberi
uang kepada sawi jika kerugian terjadi.
70
Biasanya, pemberian uang itu tetap masuk dalam catatan utang sawi
kepada punggawa, tapi hal itu tidak menjadi masalah selama sawi tetap rajin
bekerja pada punggawanya (“setia”). Secara tidak langsung, uang yang
diberikan punggawa kepada sawi untuk keperluan di luar usaha akan kembali
melalui keuntungan operasi. Itulah sebabnya punggawa tetap tidak rugi jika
dia tidak menuntut utangnya dilunasi selama sawi tetap setia kepadanya.
Pertanyaannya, kenapa punggawa tetap memasukkannya ke dalam
catatan utang jika itu tidak akan ditagih? Catatan utang itu adalah sebuah
kontrak bahwa sawi akan tetap bekerja padanya. Catatan utang itu adalah
semacam surat jaminan sawi. Catatan utang adalah kontrak kerja yang
seakan-akan redaksinya adalah “ini catatan utangmu, saya tidak akan
menagihnya jika kamu tetap bekerja pada saya”. Dalam jangka waktu
tertentu, uang yang diberikan (di luar keperluan produksi) oleh punggawa
kepada sawinya ini tetap akan kembali dalam bentuk keuntungan menjual
hasil tangkapan oleh punggawa. Makanya, punggawa tidak akan rugi jika dia
membebaskan utang sawinya jika dia (sawi) telah lama bekerja.
Sawi yang rajin bekerja dan dipercaya memiliki rejeki yang bagus
(dilihat dari hasil tangkapan setiap beroperasi) akan sangat disayangi oleh
punggawa. Punggawa tidak segan-segan memberikan “pinjaman” uang
kepada sawi tersebut jika dia membutuhkan. Sebaliknya, sawi yang seperti
ini juga tidak segan-segan meminta “uang utang” kepada punggawanya
karena dia merasa itu seimbang dengan hasil kerjanya. Namun, sawi yang
71
memiliki pertimbangan baik soal uang tidak akan banyak meminta uang
kepada punggawanya. Karena jika dia banyak meminta uang, berarti dia
harus terus bekerja pada punggawa tersebut. Suatu saat jika dia hendak
beralih pada usaha lain yang tidak dimiliki punggawanya, hal itu akan
mempersulitnya, atau ada pertimbangan bahwa suatu saat dia akan menjadi
nelayan mandiri, maka dia harus pandai menahan keinginannya untuk
meminta uang pada punggawa.
b. Peran Istri dalam Pengelolaan Modal dan Konsumsi
Pengelolaan modal adalah salah satu hal yang sangat penting dalam
suatu usaha. Semua jenis usaha, baik itu usaha perikanan maupun usaha
lainnya tentunya harus memperhatikan hal ini. Namun dalam penerapannya
terdapat perbedaan antara usaha perikanan yang diteliti dengan usaha jenis
lain yang lebih formal. Pengelolaan modal dalam usaha perikanan cenderung
sangat dipengaruhi oleh budaya yang dianut dalam masyarakatnya, terutama
dalam hal pengelolaan modal. Dalam sebuah perusahaan, dengan sengaja
direkrut seorang yang memiliki keterampilan khusus dalam mengelola uang,
namun usaha perikanan tidak demikian. Usaha perikanan adalah milik
keluarga, tanpa membutuhkan keterampilan khusus, anggota keluarga dapat
secara langsung menjadi karyawan.
Menyangkut pengelolaan modal ini, istri adalah aktor yang sangat
berpengaruh. Sebagaimana telah digambarkan secara umum pada bagian
awal, bahwa kedudukan istri dalam rumah tangganya adalah sebagai
72
pengelola uang, sementara suami berperan untuk mengumpulkan uang.
Berikut, penulis akan menggambarkan peran istri punggawa dalam hal
pengelolaan uang, baik modal usaha maupun konsumsi.
1) Istri Sebagai Bendahara Keluarga dan Usaha
Pada bagian awal, telah digambarkan secara umum pembagian peran
antara suami dan istri, yaitu suami sebagai pencari nafkah, dan istri yang
berperan mengelola pendapatan suami. Meskipun suami sebagai tulang
punggung keluarga, namun ia tidak memiliki keputusan mutlak terhadap
uang. Karena secara normatif, suami tidak boleh mengatur keuangan secara
berlebihan, karena istri juga memiliki hak di dalamnya. Bahkan mereka
percaya bahwa rejeki keluarga tidak akan baik jika suami dan istri tidak
mempercayakan peran masing-masing anggota keluarga.
Semua kebutuhan istri adalah tanggung jawab suami untuk
memenuhinya. Jika suami tidak mampu melakukannya, mereka akan merasa
malu pada orang lain. Seorang istri akan dibenarkan oleh masyaraktnya jika
marah kepada suami karena tidak rajin bekerja. Suami juga akan merasa
malu jika ketidak cocokan dengan istrinya dibicarakan oleh orang lain karena
persoalan uang.
Masyarakat pulau Bonetambung meyakini bahwa salah satu faktor
utama kelancaran rejeki sebuah rumah tangga adalah keharomnisannya.
Rumah tangga yang tidak harmonis juga tidak akan memperoleh rejeki yang
baik. Keluarga yang tidak pernah terdengar masalah di dalamnya juga
73
dianggap sebagai keluarga yang bahagia dan suatu saat akan mendapat
rejeki yang bagus. Dengan demikian, menjaga keharmonisan rumah tangga
adalah hal yang penting.
Suami sebagai kepala keluarga dan juga sebagai tulang punggung
pendapatan, termotifasi untuk bekerja secara maksimal oleh keyakinan
mereka. Mereka memandang bahwa istri adalah “ponna assapparengnge”
atau pokok utama pencaharian. Semua pendapatan diserahkan kepada istri
untuk dikelola. Suami wajib mencari nafkah semaksimal mungkin dan istri
wajib menjaga pendapatan suami. Jika keduanya, yaitu suami dan istri
menjalankan perannya dengan baik, maka keluarga tersebut akan
memperoleh rejeki yang banyak.
Seorang informan mengatakan bahwa tidak ada tujuan lain seorang
suami untuk mencari nafkah selain untuk istri. Hal yang paling pertama
dipenuhi adalah kebutuhan istri setelah itu baru merencanakan tujuan yang
lain, namun pada intinya harus untuk anggota keluarganya.
Seorang suami yang mencari nafkah kemudian tidak menyerahkan
pendapatannya kepada istri disebut dengan istilah “kampidokang”.
Kampidokang adalah sesuatu yang memalukan bagi mereka. Pada saat
pengumpulan data, setiap kali penulis menanyakan soal kampidokang,
informan selalu ketawa kemudian mengatakan “itu tidak baik”. Informan
menjelaskan kampidokang sebagai berikut:
74
...kampidokang itu istilahnya kalau dia tidak jujur memberikan uang kepada istri, misalnya dia sudah menjual ikan dan hasilnya 5 juta, dia hanya memberi separuhnya, itu disebut kampidokang. Bila dibelakang hari istri tau bahwa ternyata suami menyembunyikan uang, istri akan marah dan akhirnya rejeki terhalangi...(HT)
Seorang istri punggawa juga menjelaskan kepada penulis tentang
kampidokang ini.
...itu biasa yang dibilang orang kampidokang, kalau suami mengatur belanjanya istri seperti beras, sayur dan keperluan rumah tangga yang lain. Jadi itu uang dibagi dua, satu bagian memang untuk modal dan satu bagian lainnya untuk belanja. Jadi, kalau soal modal, suami yang mengatur. Kalau misalnya ada paboya yang datang minta uang sama saya, meskipun itu modal saya yang simpan, tapi saya harus juga memberitahukan kepada suami sebelum memberi. Kalau suamiku bilang “nanti saya yang kasi”, jadi saya kasi tau bilang tunggu dulu Haji laki-laki. Itu kampidokang kalau suami terlalu pelit sama istri, dia kasi uang sedikit tapi kalau tidak ada ikan misalnya, dia tanya terus kenapa tidak ada ini, itu padahal uang yang dikasi juga sedikit, manna beras dia juga mau yang atur... (istri H Sumara)
Senada dengan informasi di atas, seorang punggawa darat juga
menjelaskan sebagai berikut:
...kampidokang, itu jelas jelek. Biasanya yang kampidokang itu adalah nelayan, misalnya harga ikannya dari punggawa 700 ribu, dia tidak kasi semua istrinya, yang dikasi hanya untuk kebutuhan satu hari, dia perkirakan memang sekian harga beras, sekian harga ikan dan sebagainya, baru pas-pas itu yang dikasi. Itu suami terlalu takut jangan sampai istrinya menghambur-hamburkan uang, jadi cepat sekali habis. Jadi itu istri kalau mau beli beras misalnya, minta lagi uang sama suami, yang dikasi uang pas saja...(DC)
Seluruh pendapatan suami harus diserahkan kepada istri, baik itu
untuk kebutuhan keluarga maupun modal usaha. Namun, tidak semua suami
75
yang kampidokang akan dipandang negatif oleh masyarakatnya. Hal ini
sebagaimana dijelaskan oleh informan di bawah:
...tidak ada punggawa yang bangkrut karena kampidokang karena kampidokang ini hanya menyangkut kebutuhan sehari-hari, bukan menyangkut modal usaha. Memang punggawa yang mengatur uang usaha, tapi itu bukan kampidokang namanya. Kan itu uang sudah dipisahkan, modal usaha dengan belanja istri, tidak boleh dicampur. Yang dipegang oleh punggawa (suami) juga tidak semua, hanya sebagian. Kan biasa itu nelayan biasa tiba-tiba ada keperluannya, 100 ribu, 500 ribu, kebutuhan yang sedikit-sedikit, jadi lebih baik suami yang pegang. Sebagian lagi dipegang sama istri untuk disimpan. Kalau ada kelebihan modal (keuntungan) semuanya dikasi ke istri. Kalau menyangkut kebutuhan rumah, semua istri yang atur, karena dia tau semua berapa modal berapa keuntungan dan berapa yang bisa dibelanjakan....
Senada dengan hal di atas, informan lain mengatakan:
...ada yang kampidokang yang tujuannya baik dan ada pula yang tujuannya tidak baik. Yang tidak baik itu misalnya suami hanya memberikan separuh hasil penjualannya kepada istri dan sisanya digunakan untuk hal yang salah seperti mencari perempuan lain, mabuk, judi dan hal-hal lain. Jelas ini akan merusak usaha karena modalnya bisa habis. Dibelakng hari bila istri mengetahuinya, istri akan marah, akibatnya, bila ada sawi yang minta uang kepada istri punggawa, dia akan marah-marah dan mengatakan ‘datang saja ke punggawamu’, ini akan membuat sawi perlahan-lahan pindah. Kampidokang yang baik, suami hanya menyerahkan separuh uangnya dan sisanya digunakan untuk hal baik, misalnya membelikan perahu untuk sawi baru tanpa sepengetahuan istri, kalau modal itu ternyata berhasil memberi keuntungan, itu tidak masalah, tetapi bila ternyata tidak menguntungkan, istri akan mengomel, nakana mangkasar ‘nasassai’ bura’nenna, ‘siapa suruh tidak bilang-bilang sama saya’, begitu kata istri, nah, kalau istri sudah marah-marah begitu, lagi-lagi rejeki akan terhalangi. Jadi, kita itu suami memang mencari untuk istri, jadi apa saja yang akan kita lakukan untuk usaha harus dibicarakan dengan istri, kalau istri yang baik,
76
pasti akan didukung dengan baik. Lain cerita kalau istri tidak baik, memang suami yang istrinya tidak baik tidak bisa bagus usahanya. ...
Dari penjelasan informan di atas, kapidokang ada yang bertujuan baik
dan ada juga bertujuan tidak baik. Namun rupanya kampidokang tetap saja
dapat berdampak negatif pada usaha perikanan di masa yang akan datang,
meskpun suami yang kampidokang memiliki tujuan yang baik. Hal ini
memberi pemahaman kepada penulis bahwa, setiap keputusan suami yang
menyangkut keuangan, baik itu untuk kebutuhan keluarga maupun modal
usaha, harus terlebih dahulu dibicarakan dengan istri.
Sebaliknya, istri yang boros juga merupakan hal yang tidak baik dalam
pandangan mereka. Lebih lanjut, informan menjelaskan bahwa :
Ada pula istri yang boros, itu disebut dengan istilah “baine buru’”. Dia belanjakan uang berlebihan sehingga tidak ada yang disimpan untuk usaha, siapa tau ada orang yang mau pinjam uang, sawi misalnya, terus uang sudah tidak ada, itu akan menyebabkan sawi pindah ke punggawa lain. Misalnya, dia minta 50 ribu, ternyata tidak dikasi karena memang sudah habis, tapi karena banyak punggawa, akhirnya sawi tersebut pindah ke punggawa lain, dia bilang, “uang 50 ribu saja yang saya minta untuk membeli rokok tidak dikasi apalagi kalau sudah banyak, lebih baik pindah ke punggawa yang mau memberi uang”. Istri yang buru’ artinya tidak menjaga suaminya, tidak memikirkan hal-hal yang bisa terjadi di belakang hari.(HT)
Informan lain juga mengatakan sebagai berikut:
...Istri juga harus pandai-pandai menyimpan uang, kalau ada uang yang masuk 10 ribu misalnya, ya simpanlah sebagian. Tapi kalau 10 ribu uang yang masuk terus belanjanya juga setiap hari 100 ribu, apakah tidak hancur?
77
Begitu juga halnya kalau kita jadi punggawa. Kita dengan istri sudah perkirakan perbulannya, berapa yang harus dibelanja, kalau istri tidak pandai-pandai menyimpan uang, pasti itu usaha lama-lama hancur. Misalnya, ada uang yang masuk perbulannya 2 juta, tapi kalau belanja 3 juta, biar modal juga akan habis, jadi sama juga pengaturannya dengan keluarga nelayan (sawi)... (HD)
Dengan demikian, istri adalah aktor penting dalam menyimpan uang
dan suami adalah tokoh penting dalam mengumpulkan uang. Namun
keputusan untuk pemanfaatan uang tersebut, baik untuk usaha maupun
untuk konsumsi keluarga, harus diambil berdasarkan hasil pembicaraan di
antara keduanya. Keduanya, suami dan istri tidak dapat dilihat terpisah,
usaha perikanan milik suami juga merupakan milik istri.
2) Pengelolaan Modal dan Konsumsi
Bentuk pembagian peran antara suami dan istri dalam rumah tangga
juga berlaku pada usaha perikanan yang dimiliki. Dalam keluarganya, suami
berperan mencari nafkah dan istri yang mengelola pendapatan yang
diperoleh suami. Dalam usaha perikanan, suami adalah pemimpin usaha dan
istri adalah bendahara usaha. Secara bersamaan, istri punggawa harus
menyimpan uang usaha dengan baik disamping harus mengatur konsumsi
keluarga.
Uang yang diperoleh oleh suami dipisahkan antara modal usaha dan
anggaran untuk konsumsi keluarga. Setelah uang tersebut dipisahkan,
barulah diserahkan kepada istrinya untuk disimpan. Seorang punggawa
78
menjelaskan tentang peran istri punggawa dalam mengelola uang sebagai
berikut:
...itu keuangan punggawa dipisahkan antara modal dengan uang belanja. Semua itu dipegang oleh istri. Kalau misalnya modal yang keluar adalah 3 juta dan ada untungnya 2 juta, itu semua dipegang oleh istri. Istri punggawa yang pandai tidak akan membelanjakan keuntungan itu semuanya, meskipun itu boleh dibelanjakan. Dia hanya membelanjakan keuntungan itu sebanyak 1 juta untuk kebutuhan sehari-hari keluarga dan satu jutanya lagi dimasukkan ke modal, jadi modal usaha bisa bertambah. Tapi kalau istri tidak pandai-pandai memikirkan hari yang akan datang, dia pasti akan membelanjakan semuanya, bagaimana kalau tiba-tiba ada sawi yang sangat membutuhkan uang untuk keperluan lain di luar usaha, sementara modal sudah dipake semua untuk mencari, karena itu sawi kita tidak boleh kita bilang tidak ada kalau dia datang meminta uang. Kalau misalnya ada orang yang baru mau jadi sawi kita, dia minta uang 20 juta, sementara uang di jaga-jaga di luar modal juga hanya 20 juta, terpaksa tidak dikasi dulu karena harus ada uang yang disimpan karena kalau ada sawi yang sudah lama kerja dengan kita dan tidak memperoleh tangkapan, dia pasti akan meminta utang lagi sama kita, jadi memang harus dipersiapkan. Kecuali misalnya uang jaga-jaga sebanyak 20 juta, dan orang yang baru mau jadi sawita hanya minta modal sekitar 10 sampai 15 juta, harus dikasi karena masih ada yang bisa disimpan. Kalau ada keuntungan yang diperoleh, nanti itu akan diputar lagi, akan diberikan sebagai pinjaman ke sawi... (HD)
Dari penjelasan informan di atas, kita dapat melihat bagaimana peran
istri dalam mengelola modal usaha dan konsumsi keluarga. Kedua anggaran
ini, yaitu anggara untuk konsumsi keluarga dan usaha disimpan dan dikelola
oleh istri punggawa. Hal yang serupa juga dijelaskan oleh punggawa yang
lain sebagai berikut:
...Modal utama istri yang pegang uang. Kalau ada nelayan yang butuh, kita minta sama istri. Jadi, itu modal harus istri
79
yang pegang, tapi tidak bisa dikorek-korek, nanti kalau ada kelebihannya baru diputar lagi. Kalau kayak saya misalnya, modal utama istri yang pegang dan sebagian saya pegang, tapi semuanya diketahui oleh istri. Saya pegang sebagian karena biasa istri malas kasi keluar uang kalau ada nelayan yang tiba-tiba butuh. Istri harus tau uang yang kita pegang karena kapang istilahnya tekor ini uang, istri pasti cari. Kita tidak bisa bohong sama istri. Misalnya dia tidak tau harga ikan di kota, tapi pasti kalau pulang dia akan tau. Malu kita itu suami kalau didengar bertengkar sama istri gara-gara uang. Itu istilahnya kalau suami pegang uang, terus dia hanya memberi uang belanja ke Istri, orang pulau bilang kampidokang, tapi kebanyakan nelayan yang begitu, tapi tidak semua nelayan juga begitu, biasa ada yang begitu...(DC)
Informasi di atas menjelaskan keutamaan menyerahkan seluruh uang
kepada istri, baik itu modal usaha terlebih konsumsi keluarga, meskipun
sebagian modal usaha juga disimpan oleh punggawa. Punggawa harus
mempercayai istrinya dalam hal pengelolaan uang. Sebagaimana pada
penjelasan sebeleumnya, suami akan merasa malu jika dia tidak mampu
membahagiakan istrinya secara materi, apalagi jika terdengar bahwa di
antara mereka (punggawa dan istrinya) terjadi pertengkaran karena
persoalan uang dan hal itu akan tersebar ke seluruh orang yang ada di pulau.
Punggawa tidak boleh menyimpan seluruh modal usaha, sebagaian
harus diserahkan kepada istrinya bahkan lebih baik jika seluruh modal
disimpan oleh istri. Hal ini berkaitan dengan kepercayaan mereka bahwa
rejeki suami tergantung pada istrinya, sebaliknya juga demikian. Jika
keduanya tidak saling percaya, usaha dan rumah tangga mereka akan
hancur. Ketidak cocokan antara suami dan istri adalah penghalang utama
80
rejeki. Namun demikian, secara normatif mereka tidak boleh terlalu jauh
mencapuri usaha suaminya karena usaha perikanan adalah “urusan suami”.
Hal ini diungkapkan oleh informan punggawa darat sebagai berikut:
...itu istri, dia yang memegang modal tapi dia tidak terjun langsung mengatur usaha seperti membeli ikan dari nelayan karena dia tidak tau harga, begitu kalau usahanya adalah usaha ikan hidup. Memang istri yang memegang modal tapi dia tidak berhak terjun mengatur, kalau itu usaha ikan hidup, apalagi inikan usaha besar. Tapi kalau usaha ikan mati yang tidak besar dibanding usaha ikan hidup, istri itu juga ikut membeli ikan kalau misalnya saya ada di Barrang Caddi atau di kota.
Istri itu hanya menyimpan saja uang, uang yang disimpan yaitu semua modal usaha, baik modal awal maupun modal operasi. Kalau kita sudah menjual ikan dan ternyata ada untungnya, itu akan dibagi untuk belanja di rumah dan sebagiannya lagi langsung dikasi masuk ke modal agar modal bertambah, jadi itu istri tau semua berapa modal, berapa keuntungan maupun kerugiannya. Kalau nelayan ingin beroperasi, dia minta pada kita (suami), nanti kita yang kasi tau istri bahwa si ‘anu’ mau pergi mencari, dia butuh uang sekian. Jadi kalau istri yang tidak tau mengelola uang, bisa saja dia tarik sedikit demi sedikit itu yang yang dipegang, tanpa dirasa ternyata sudah banyak yang habis. Tiba-tiba ada nelayan yang butuh ternyata modal sudah tidak cukup, begitu biasa ada punggawa yang cepat sekali bangkrut. Kalau kita mau beli barang-barang yang mahal seperti misalnya TV, nanti ada utungnya baru kita simpan sedikit-sedikit, jangan diambil semua, diusahakan ada yang masuk di modal supaya modal tetap bertambah, ada juga yang juga bisa dibelikan TV. Jadi saya itu kubagi memang, ini modal, ini untuk istri sama anak-anak, jadi itu modalku bisa tetap utuh. Ada memang orang juga kayak begitu, dia tidak perhatikan jadi lama-lama usahanya kacau dan berhenti. Jadi kalau punggawa pintar itu, mesti dia atur memang, istri tinggal menyimpan saja...(DC)
Pengelolaan modal usaha dan konsumsi keluarga adalah hal yang
paling penting dalam usaha perikanan karena hal ini sangat mempengaruhi
81
kelangsungan usaha perikanan yang dimiliki. Jika pengelolaan modal sebuah
usaha perikanan tidak baik, maka usaha tersebut dengan cepat dapat
berhenti. Posisi istri sebagai bendahara keluarga menuntut keahlian khusus
dan kesabaran yang tidak semua perempuan memilikinya. Bagaimana
mereka (istri punggawa) lebih mementingkan kebutuhan sawi dibanding
kebutuhan konsumsi kelurganya. Berkaitan dengan hal ini, seorang istri
punggawa menjelaskan sebagai berikut:
...Itu modal usaha tidak bisa dibelanjakan di luar kepentingan usaha. Saya takut belanjakan, nanti kalau habis kemudian ada paboya yang datang meminta uang untuk belanja, tentu ini usah berhenti. Jadi, itu modal tidak bisa diganggu. Kalau ada uang belanja dikasi sama Haji laki-laki, itu tidak dibelanja semua, cukup untuk kebutuhan makan saja dulu, kemudian sisanya di simpan-simpan. Itu memang adatnya orang Bugis-Makassar bahwa berapa saja penghasilan suami tetap harus diserahkan kepada istri, tapi kalau uang itu adalah modal usaha, kita tidak boleh belanja, nanti datang itu paboya minta uang baru bisa dikasi.
Kalau modal itu tadi telah habis digunakan untuk membayar ikan nelayan yang datang dari laut, kemudian nelayan (paboya) lain juga datang, maka saya biasa datang ke Dg. Ducu (punggawa ikan timbangan) untuk meminjam uangnya, “saya minta tolong dibantu uang untuk bayar ikan nelayanku, Haji laki-laki belum datang dari Makassar (battu raya) menjual ikannya, besok dibayar”. Begitu kalau kita kehabisan modal.
Kalau ada orang (paboya) yang datang minta uang sama saya, saya lihat dulu siapa yang datang minta uang. Kalau orang baru mau masuk, saya tanya dulu sama Haji laki-laki, saya takut. Kecuali yang datang itu orang sudah lama kerja sama kita, biar tidak kukasi tau Haji laki-laki, kan baku taumi. Paboya juga sudah tau kalau tidak ada Haji laki-laki saya bisa kasi langsung biar tidak dikasi tau.
82
Dari penjelasan di atas, kita dapat memahami bahwa posisi istri
punggawa dalam memegang modal adalah hal sangat penting dalam
menjaga “kesetiaan” sawi agar tetap bekerja di dalam usahanya. Penjelasan
istri punggawa di atas menggambarkan bagaimana peran istri dalam
pengelolaan modal. Seorang istri harus berhati-hati dalam membelanjakan
uang untuk kepentingan konsumsi rumah tangga. Hal ini disebabkan oleh
model pengelolaan mereka berdasarkan hubungan keluarga yang mana
setiap orang yang berperan dalam usaha tidak direkrut secara resmi
sebagaimana halnya dalam perusahaan yang resmi. Pengelolaan modal ini
erat kaitannya dengan pengelolaan tenaga kerja pada point pembahasan
berikut ini.
c. Peran Istri Punggawa dalam Manajemen Tenaga Kerja
Peran istri dalam memulai usaha dan merekrut tenaga kerja adalah hal
yang penting dalam usaha perikanan. Sebagaimana telah digambarkan di
atas, tidak semua istri mampu mendukung suaminya dengan tindakan yang
ril. Begitu juga dalam hal perekrutan sawi, terkadang seorang yang ingin
memulai usaha perikanan sendiri dan telah memiliki modal harus
mengurungkan rencananya karena tidak yakin bahwa akan ada orang yang
mau menjadi sawi.
Hal yang lebih penting lagi setelah usaha telah berjalan adalah
mempertahankan usaha. Kunci utama keberlanjutan usaha perikanan adalah
tenaga kerja atau sawi. Sawi, jika sepintas dilihat dari status kepemilikan,
83
dapat saja tunduk pada keinginan punggawanya. Namun mereka menyadari
bahwa modal yang besar tidak akan berguna jika tidak seorang pun yang
bersedia menjadi sawi. Karena itulah, menjaga agar seorang sawi tetap
senang dan betah bekerja adalah hal yang sangat penting diperhatikan.
Dalam menjaga agar sawi tetap betah bekerja, sikap yang baik adalah
hal penting yang harus dimiliki oleh punggawa dan istrinya. Hal ini dijelaskan
oleh seorang punggawa darat sebagai berikut:
...itu yang namanya punggawa harus baik sama pencari, misalnya kalau dia utangnya 100 ribu, kita tidak boleh langsung potong seratus ribu pada saat dia pulang mencari, cukup 10 ribu saja atau 15 ribu atau 20 ribu saja sekali mencari, kita harus kasian sama pencari. Kalau kita baik sama pencari, itu orang pulau sampai mati kerja sama kita, itu kalau kita baik, tapi kalau kita tidak baik, biar 20 juta utangnya bisa langsung pindah ke punggawa lain karena di sini kan banyak punggawa, sementara semua punggawa mau menambah pencarinya, semakin banyak semaikin bagus. Tidak jarang itu punggawa sukses karena istrinya, pendorong usaha yang paling utama adalah istri, ujung tombak. Umpamanya, ada orang yang mau masuk (menjadi sawi), kita tidak mau tapi istri yang mau, atau istri yang mencari orang untuk masuk kerja dengan kita. Tidak boleh dibilang ini usaha laki-laki jadi tidak boleh dicampuri istri, justru lebih baik kalau istri ikut campur dalam usaha, apabila usaha hancur, istri tidak menyesal (sassala’). Misalnya, kalau ada orang yang mau masuk, sedangkan istri tidak mau, dibelakang hari ternyata ada masalah dengan orang tersebut, pasti istri akan mencekcok, kita akan disesalkan. Kalau sudah begitu usaha pasti akan hancur, tidak sekaligus hancur tapi perlahan-lahan. Umpamanya, kita punya paboya sebanyak 10, satu saja ini yang keluar akan mempengaruhi 9 paboya yang lain karena akan terjadi pembicaraan di luar. Apalagi kalau orang yang keluar tersebut adalah orang dalam (keluarga dekat), umpamanya sepupu, orang lain pasti akan bepikir, itu saja yang dekat dengan dia tidak mau kerja di sana, apalagi orang
84
lain, kalau sudah begini, pelan-pelan orang lain juga akan ikut keluar…
Dari informasi di atas, kita dapat melihat bagaiamana seorang
punggawa (suami) sangat memperhatikan keputusan istrinya. Komunikasi
yang baik antara punggawa dengan istrinya adalah hal yang penting dalam
menjaga kelangsungan suatu usaha. Namun, kita harus memahami bahwa
bukan hanya istri yang menjadi penyebab maju atau mundurnya usaha,
namun semua anggota keluarga memiliki peran yang seimbang. Hal ini
sebagaimana penjelasan lebih lanjut oleh informan di atas.
…hal seperti ini, bukan hanya istri yang penyebabnya, tetapi bisa juga suami kalau dia tidak baik sama sawi. Kalau ada anak laki-laki yang sudah besar, yang biasa juga jadi penyebabnya adalah anak. Misalnya saya punya anak yang sudah besar, saya sementara ada di kota, jadi saya serahkan kepada anak untuk mengurus pekerajaan di belakang, kalau dia tidak baik caranya, bagaimana?
Sebuah usaha perikanan, dinilai mundur ketika sawi keluar atau
pindah ke punggawa yang lain. Hal ini juga membuktikan bahwa sawi
memiliki posisi yang kuat dalam mengambil keputusan sebab
keberlangsungan usaha punggawanya tergantung dari mereka. Untuk itulah,
punggawa beserta istrinya harus memperhatikan kebutuhan mereka
sebagaimana yang dijelaskan oleh informan berikut.
Itu pencari bisa goyang (pindah ke punggawa lain) apabila misalnya dia minta uang. Begini ceritanya, misalnya itu paboya datang minta uang sama kita, kita mesti bicara dulu dengan istri karena dia yang pegang uang. Berapa yang dia minta, tanya istri, lihat dulu utangnya berapa, kalau misalnya
85
utangnya sebanyak 20 juta, istri bilang sudah terlalu banyak utangnya, tidak usah dikasi, atau separuh saja dari yang dia minta kita beri. Kalu begini, pencari pasti akan goyang, jangankan utang 20 juta, 70 juta saja masih bisa goyang, sebentar sekali prosesnya, kan di sini banyak punggawa, kalau ada paboya yang mau dibayarkan utangnya, biar berapa pasti dikasi, kalau tidak ada pasti akan diusahakan. Seperti misalnya H XXX, gara-gara uang 2 juta yang diminta paboyanya tapi dia tidak dikasi akhirnya paboyanya goyang satu persatu, ada yang lari ke saya, ada yang ke H SY. Itu prinsipnya punggawa, jangan pernah berpikir bahwa paboya tidak bisa goyang kalau utangnya sudah terlalu banyak, banyak punggawa yang siap bayarkan utangnya. Sedangkan utang 100 juta msih bisa goyang apalagi kalau hanya puluhan atau jutaan saja, coba bayangkan. Kenapa bisa gampang sekali goyang itu paboya, ceritanya begini, itu paboya tidak mungkin minta uang kalau tidak ada keperluannya yang mendesak, nanti ada keperluan mendesak baru datang ke kita, kalau dia butuh sekali uang 200 ribu misalnya, tapi kebetulan kita tidak punya uang, pasti dia akan minta ke punggawa lain, bayarannya juga pasti dengan ikan, begitulah ceritanya sampai utangnya yang puluhan juta sama kita akan dibayarkan sama punggawanya yang baru. Itulah sebabnya kita harus pandai-pandai menyimpan uang untuk jaga-jaga hal seperti ini. Kalau paboya butuh uang mendesak puluhan juta, misalnya mau menikah, sementara kita tidak punya uang banyak, itulah sebabnya saya katakan tadi bahwa memang kita harus dipercaya sama orang yang ada di Makassar kalau tiba-tiba kita butuh uang banyak, jadi susah jadi punggawa juga kalau tidak dikenal dengan orang yang ada di kota.
Terkait masalah pelayanan punggawa dan istrinya kepada sawi,
mereka tidak boleh membeda-bedakan antara sawi yang satu dengan sawi
yang lain sebab dapat menimbulkan ketersinggungan. Oleh karena itu,
kepandaian menjaga sikap dan melihat kondisi serta berempati terhadapa
kebutuhan sawi adalah hal utama yang harus dimiliki oleh punggawa dan
istrinya. Menganai hal ini, informan menjelaskan:
86
Punggawa dan istrinya masing-masing punya pengaruh terhadap naik turunnya suatu usaha, misalnya, ada juga itu istri punggawa kalau banyak hasil yang diperoleh oleh paboya, pada saat dia meminjam uang, dia kasi juga banyak, begitu juga sebaliknya bila paboya yang lain tidak dapat ikan. Dia membeda-bedakan itu paboya. Tapi kalau masalah turun usaha itu saya tidak pusing, kan bukan kita yang mengatur, ada tuhan. Mungkin kau yang paling besar usahamu sekarang, tetapi besok bukan lagi, tapi saya lagi yang memegang kendali. Sama itu H XXX, tahun kemarin dia yang memegang kendali, sekarang bukan lagi, kau bisa lihat kan, dia sudah menjual beberapa kapalnya, tidak usah dulu melihat barang-barangnya, itu saja pencari yang kita lihat, kalau sudah ada yang keluar 2-3 orang, itu bisa membuat paboya yang lain juga goyang. Bukan kita yang mencari uang, kita hanya mengelola keuntungan, yang mencari itu paboya, kalau dia yang sudah tidak mau, apa lagi yang mau kita kelola, jadi kita harus pandai-pandai sama nelayan.
Usaha perikanan yang dilakoni oleh masyarakat nelayan
Bonetambung berbeda dengan yang ada di kota, di mana urusan atau usaha
suami adalah tanggung jawabnya sendiri, begitu pun juga sebaliknya usaha
istri. Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh informan mengenai pembagian
tugas antara suami dan istri dalam usaha, serta bagaimana hal itu berbeda
dengan usaha yang dilakoni oleh orang kota menurut pemahaman mereka.
Itu paboya kalau mau minta uang dia biasa datang ke kita biasa juga ke istri. Misalnya kalau kita ke Makassar karena kita kebanyakan ke Makassar, istri itu yang ditempati meminta uang sama paboya, nanti dia kasi tau kita bilang ini sudah kukasi uang sekian. Kalau kita ada, itu paboya datang ke kita, nanti kita kasi tau lagi istri bilang saya mau kasi si ini uang sekian, jadi harus dikasi tau. Tidak sama dengan artis atau orang-orang kaya yang ada di kota seperti orang cina, urusannya istri beda dengan urusannya suami, masing masing punya usaha yang berbeda, istri tidak tau usahanya suami, suami juga sebaliknya, sehingga kalau ada yang hancur, misalnya usahanya suami yang hancur, itu istri tidak
87
menanggung, bahkan bisa-bisa dia ditinggalkan sama istrinya, coba liat di televisi, banyak artis yang bercerai karena begitu, usaha istrinya atau suaminya sudah hancur akhirnya cerai. Kalau kita di pulau berbeda, usaha suami ditau oleh istri begitupun sebaliknya, kita sama-sama di situ, sehingga kalau usaha hancur, dua-duanya ikut menanggung, jadi, hancur satu, yang lain juga ikut hancur. Kita itu tidak bisa saling menyembunyikan dengan istri karena kalau ada apa-apa dibelakang pasti istri akan “sassalaki”
Senada dengan informasi di atas, seorang istri punggawa juga
menjelaskan kepada penulis tentang peran istri dalam menjaga hubungan
dengan sawi dan anggota masyarakat yang lain.
Itu juga kita istri punggawa tidak boleh marah-marah sama paboya kalau dia datang dari boya baru tidak ada hasil yang dia dapat. Namanya belum ada rejeki, lain kali lagi. Jadi kalau dia minta uang, dikasi saja, nanti ada rejekinya baru dibayar. Itulah biasanya paboya pindah ke orang lain kalau kita juga tidak mengerti sama paboya.
Kalau suatu saat nanti kau mau beristri, carilah istri yang baik supaya usahamu juga bisa baik. Kalau kau misalnya baik tapi istrimu tidak baik, tidak bisa tinggal lama itu nelayan. Misalnya, ada nelayan yang datang minta uang, biar ada uang disimpan oleh istrimu tapi kalau dia bilang tidak ada tentu nelayan akan pindah ke punggawa lain. Kalau nelayan (paboya) sudah pindah ke orang lain, bagaimana bisa melanjutkan usaha. Jadi, cari memang istri yang baik, baik sama suami maupun sama orang lain. Itu istri juga tidak boleh terlalu banyak belanja kalau dia tidak punya usaha sendiri seperti misalnya Haji Samo (istrinya Haji Daming). Karena kalau selalu mau belanja, nanti dia habiskan modalnya usahanya suami. Kalau saya sendiri tidak berani belanja kalau tidak diizinkan oleh Haji laki-laki, nanti modal habis baru suami marah... (Istri Punggawa HS)
Rasa saling memiliki dan saling membutuhkan merupakan spirit bagi
suami dan istri dalam membangun dan mempertahankan usahanya. Mereka
88
tidak dapat dilihat secara terpisah apalagi melihat mereka sebagai unit
keluarga yang memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Usaha yang dimiliki
oleh suami juga merupakan milik istri. Oleh karena itu, tidak mudah
mengatakan bahwa suami memiliki peran yang dominan disbanding istrinya
sehingga pengambilan keputusan juga didominasi oleh suami. Kita dapat
melihat bagaimana seorang punggawa merefleksikan hubungan pernikanan,
usaha dan bagaimana dia membandingkan dengan masyarakat yang lain.
…menurut saya, itu perceraian tidak bagus, meskipun seperti yang kau bilang cerai itu tidak apa-apa kalau ini istri bikin rusak-rusak usaha. Justru itulah, sebelum kita mau buka usaha, kita cerita memang sama istri, jadi apapun yang terjadi di belakang di belakang kita tanggung bersama, itu biasa istri marah-marah kalau ada masalah karena sebelumnya dia tidak tau. Beda dengan orang-orang di kota seperti yang di TV, dia sukses dulu baru menikah, kalau kita beda, kita sama-sama istri memulai usaha dari nol. Kalau orang di TV itu, gampang bercerai karena dari awal mereka memang sudah punya usaha masing-masing sehingga kalau ada masalah gampang juga pisah. Kalau kita beda, kita sudah punya istri baru mau usaha kemudian usaha kita besar dan jatuh lagi, meskipun jatuh saya justru ingat bahwa karena sama-sama ini istriku saya bisa buka usaha yang besar, jadi kita betul-betul ingat itu, sama seperti saya dengan H. Said, dia dulunya tidak percaya sama saya kalau saya bisa memegang kendali di luar (pulau), tapi tetap dia berani memberi modal kepada saya, biar berapa ratus juta saya minta ke dia pasti dia akan kasih, saya juga sebaliknya, apapun yang terjadi saya pasti akan kerja dengan dia, apakah itu harga ikannya turun atau bagaimana, biar utangku sudah lunas saya tidak akan lari ke orang lain untuk jual ikan, karena bukan kau yang saya ingat, kau baru mau kasi uang ke saya 200 juta umpamanya tapi nanti kau berani setelah kau kenal saya bahwa saya bisa memegang kendali di pulau, saya ingat dulu saya bisa begini karena dia yang bantu saya, begitu juga dengan istri, tidak mudah langsung ditinggalkan karena kita sama-sama pernah menderita, kita sama-sama bangun usaha, itulah sebabnya
89
usaha apa yang cocok dibicarakan dulu dengan istri supaya kita bisa saling membantu dan dibelakang tidak ada masalah.
Bukan hanya dalam usaha, dalam kehidupan sehari-hari mereka harus
saling memperhatikan, masing-masing harus berusaha menjaga kehormatan
keluarga di depan orang lain, baik dalam hal perbuatan maupun ucapan.
Berikut penjelasan informan:
…dalam kehidupan sehari-hari, perilaku baik itu perlu dijaga oleh suami maupun istri, misalnya, kalau istri suka bohong sama orang, orang bilang istrinya H Daming suka bohong, apakah saya tidak malu, itu semua bisa halangi rejeki, bisa menggoyangkan rumah tangga. Kita itu dalam masyarakat bukan hanya satu orang yang dilihat, tapi juga istri, tidak terpisah itu, kalau suami yang tidak baik orang akan bilang suaminya anu, sebaliknya juga begitu, jadi kita itu sama-sama. Apalagi kalau kita satu pulau dengan paboya, kita tinggal di sini, kita punya pencari juga di sini, salah satunya yang tidak baik, misalnya saya baik, tapi istri saya tidak baik, orang juga tidak enak datang ke rumah karena ada salah satu di rumah ini yang yang tidak baik. Misalnya, kalau ada orang yang mau masuk, kita setuju tapi istri tidak mau, apakah tidak mau, langsung tersebar itu karena di sini pulau kecil, gampang ditau. Bagaimana bisa orang mendoakan kita supaya baik. Tidak usah belajar sama orang lain, belajar saja sama diri sendiri, coba tanya saja diri sendiri, yang mana tidak baik yang mana baik, kalau kau sudah tau tidak baik, jangan lakukan sama orang, apa yang kau anggap tidak baik pasti juga tidak baik sama orang lain kan sama-samaki manusia, apalagi kita satu pulau. Jadi kalau istri tidak baik, kita juga ikut kena dampaknya, tidak usah perilaku, pakaian saja kita lihat, kalau istriku pakaiannya tidak bagus, sudah dikasi tau tapi tetap dia pake, orang lain akhirnya bilang, istrinya Haji ini begini pakaiannya, kalau orang cerita baru saya dengar, apakah saya tidak tersinggung, mungkin istriku tidak malu tapi saya yang malu. Kalau istri sering dicerita tidak baik sama orang-orang, tidak bisa maju itu usaha, tidak mau datang ke kita. Itu usaha tergantung orang, makanya akita harus pandai-pandai baik sama orang supaya mau datang ke kita, begitu juga
90
sebaliknya suami, juga harus baik, bukan hanya istri yang harus baik karena pasti kita harus bicarakan dulu sama istri kalau bikin sesuatu supaya dibelakang tidak ada masalah, kalau tidak, biar naik itu usaha pasti cepat juga turun. (HD)
Dari penjelasan informan di atas, kita dapat memahami bahwa kondisi
sosial budaya dalam suatu masyarakat sangat signifikan mempengaruhi
suatu usaha. Dalam hal ini, istri sebagai salah satu unit penting dalam
keluarga turut berperan dalam usaha, sehingga suami dan istri dalam usaha
perikanan tidak dapat dilihat secara terpisah. Tentu konteks usaha ini juga
tidak dapat dilihat terpisah dengan konteks sosial yang lain.
Keseimbangan antara peran istri dengan suami adalah yang penting.
Istri punggawa tidak boleh terlalu jauh mencampuri usaha suami. Istri yang
terlalu banyak mencampuri urusan suami dalam hal usaha dapat berdampak
pada hancurnya usaha. Hal ini lebih lanjut dijelaskan oleh informan:
Sering kejadian usaha goncang karena istri yang sering mengatur uang ke nelayan. Kan itu istilahnya lain maunya laki-laki lain juga maunya dia. Nelayan maunya begini tapi istri lain juga. Masalah yang seperti ini biasa yang membuat nelaya tidak cocok kalau istri yang mengatur ke nelayan, biasa itu istilahnya “goncang usaha” karena istri yang terjun langsung ke nalayan. Pengalaman biasa saya itu, tidak lama itu usahanya kalau istri yang terjun langsung ke usaha. Biasa itu misalnya nelayan kebutuhannya 1 juta, tapi istri menentang dengan berkata “masa dibelikan segini harga penjualannya juga segini kemudian dia mau minta 1 juta”, ahhhh... dari begitunya biasa nelayan mengeluh. Kebutuhan sehari-harinya nelayan, biasa umpamanya pa bu, kalau dia mau berangkat besok mesti dia datang dulu ke punggawanya minta ongkos, beli es, beli umpan, beli beras, beli bahan bakar. Kan itu perempuan pintar menghitung, sekian harga minyak, sekian beras, sekian ini, sekian itu, tapi kenapa dia minta terlalu banyak. Kan biasa itu nelayan kalau mau berangkat, dia minta
91
memang uang lebih sama punggawanya untuk disimpan guna keperluan istri di rumah, jadi sekaligus di minta supaya tidak sering-sering. Jadi misalnya kebutuhan nelayan di laut cuma 500 ribu, dia minta memang 1 juta untuk keperluan istrinya di belakang, diperhitungkan memang bahwa sekian hari saya di laut, berarti sekian uang yang dibutuhkan istri di rumah selama saya tidak ada. Biasa kalau istri punggawa yang atur, tidak pernah cocok, biasa goncang nelayan (paboya-iya). Dia bilang biasa nelayan, “kodi anjo punggawayya, istrinya yang atur”.
Dari penjelasan di atas, kita dapat melihat bagaimana dampak
negative jika seorang istri punggawa mendominasi dalam pengambilan
keputusan, terutama dalam hal modal. Sikap istri yang demikian
menyebabkan sawi meresa tidak nyamana berkerja di dalam usahanya dan
akan berpindah ke punggawa lain yang dirasa lebih nyamana. Sikap istri
yang demikian dianggap karena dia tidak berpengalaman dalam hal
kenelayanan. Istri hanya pandai memperhitungkan namun sulit berempati
atau merasakan masalah yang dihadapi oleh nelayan. Terkait dengan hal ini,
seorang punggawa menjelaskan:
…memang itu istri dia tidak tau persoalan di lapangan, dia cuma tau menghitung saja, dia hanya menghitung pas untuk nelayan, dia tidak pernah menghitung keperluan lain nelayan, bilang nelayan itu juga punya keluarga. Itulah biasa nelayan goncang kemudian satu-satu pindah. Contohnya, “kau kenal Beddu (nama samaran) di Barrang Caddi?” Istrinya mentong itu yang terjun langsung. Lihatmi sekarang, tidak lama itu usahanya, dulunya bagus lancar usahanya tapi tidak lama berhenti usahanya. Istrinya yang terjun langsung, itu Gaffar kasihan hanya tau beli ikan kemudian antar ikan ke Makassar, kalau ada nelayan yang butuh uang, harus sama istrinya, istrinya mentong yang atur. Pokoknya itu kuncinya, kalau istri yang terjun langsung mengatur segala-galanya kebutuhan nelayan, baik untuk
92
mencari maupun kebutuhan untuk keluarganya, pasti goncang itu usaha.
Tidak semua istri punggawa dapat mengelola modal usaha dengan
baik. Istri pandai menghitung dan pandai menjaga agar modal usaha tidak
habis. Namun sikap istri yang terlalu hati-hati mengeluarkan modal usaha
dapat menghancurkan usahanya sendiri. Sikap kehati-hatian dalam
mengelola modal usaha harus seimbang dengan sikap kedermawanan. Tidak
semua istri punggawa memahami akan hal ini sebab mereka tidak pernah
merasakan perasaan sawi. Berbeda dengan suami yang pernah menjadi
sawi, cenderung lebih peka akan kebutuhan sawi menyangkut keuangan.
Berkaitan dengan hal tersebut, seorang punggawa menjelaskan
kepada penulis sebagai berikut:
...ada juga orang yang dia (suami) semua yang pegang modal usaha, dia tidak kasi ke istri untuk di simpan, misalnya kayak saya, jadi kalau ada nelayan yang butuh, dia tidak datang lagi ke istri, langsung saja ke saya. Nanti kalau ada hasilnya (kelebihan dari modal) baru saya kasi ke istri untuk disimpan. Tapi kalau suami boros, baru suka minum-minum misalnya di kota, kemudian dia yang pegang uang usaha, bisa-bisa itu modal habis. Tapi kalau saya, lebih baik saya yang pegang uang usaha karena biasa kalau istri banyak sekali pertanyaannya kalau nelayan datang minta uang, itu karena dia tidak tau perasaannya nelayan. Kalau suami, kan kita juga pernah jadi nelayan jadi dirasa bagaimana kalau kita jadi sawi. Jadi saya tau itu kebutuhannya nelayan, istri kan tidak pengalaman karena tidak pernah menjadi nelayan, dia hanya tau menghitung saja......kalau punggawa kayak saya (punggawa usaha ikan mati, ikan lelong), itu keuntungan susah dirata-ratakan. Biasa sebulan tidak ada keuntungan, bahkan rugi karena harga ikan di lelong biasa tiba-tiba turun. Berbeda kalau usaha ikan
93
hidup, itu harga bisa cepat dipastikan jadi harga pembelian sama nelayan bisa cepat disesuaikan. Kemudian, kalau ikan hidup, biar banyak harga tetap sama. Beda kalau ikan mati, kita tidak bisa pastikan apakah besok akan banjir ikan atau sedikit, kalau banjir harga akan sangat turun, untung kalau turun harganya, tapi kalau tidak dibeli lagi. Walau begitu, kita juga harus jaga perasaannya nelayan, kalau dia bawa ikan harus dibeli juga. Makanya, kita harus pandai-pandai mengatur uang. Makanya, kalau istri yang terlalu banyak mengatur uang kenelayan, misalnya nelayan minta sekian baru terlalu perhitungan, itu tidak baik. Istri tidak pernah terjun langsung, jadi dia tidak tau perasaannya nelayan...
Penyimpangan pada pranata gender, yaitu suami tidak menyerahkan
uang kepada istri untuk dikelola, dalam konteks seperti yang dijelaskan
informan di atas dapat dibenarkan oleh masyarakatnya. Sikap suami tersebut
dianggap sikap yang tidak salah karena hal itu sangat mempengaruhi
kelansungan usaha. Jika suami mampu mempertahankan usahanya, berarti
dia mampu memenuhi kebutuhan ekonomi anggota keluarganya.
Dari data di atas, kita juga dapat memahami bagaimana suatu nilai
budaya berangsur-angsur berubah karena faktor ekonomi. Pada awalnya,
suami dianggap tidak baik jika dia tidak menyerahkan atau mempercayai
istrinya sebagai pengelola uang, baik uang usaha terlebih uang untuk
konsumsi keluarga. Namun karena jenis usaha yang dijalankan suami
menuntut kehati-hatian dalam pengelolaan uang, maka sikap kampidokang
(sebagai salah satu sikap yang tidak dibenarkan secara budaya) dapat
diterima atau dibenarkan oleh masyarakatnya.
Istri diumpamakan sebagai bank. Suami yang bekerja untuk mencari
uang kemudian menyerahkan uang yang diperoleh kepada istri untuk
94
disimpan. Jika suami yang memegang uang, biasanya uang tersebut akan
cepat habis karena suami sering ke kota dan akan tertarik untuk membeli
barang-barang yang dijumpainya, meskipun barang tersebut tidak terlalu
dibutuhkan. Jika suami bertemu dengan orang lain, biasanya suami akan
boros untuk mentraktir, misalnya rokok dan kopi atau minuman lainnya.
Sekali berkunjung ke kota untuk bersantai, biasanya menghabiskan uang
ratusan ribu rupiah, hanya beberapa jam di kota.
Walaupun istri yang berhak menyimpan uang, tetap harus
memperhatikan posisi suami sebagai pemimpin usaha. Berapa yang harus
dikeluarkan atau diberikan kepada sawi adalah keputusan suami. Jika
keputusan istri lebih kuat dibanding keputusan suaminya (punggawa), hal ini
dapat berdampak negatif terhadap usaha.
Itu biasa ada sawi yang lari (pindah punggawa) gara-gara istri punggawa karena tidak baku cocok. Biasa suaminya bilang kasi 500 ribu misalnya, tapi dia hanya kasi 400 ribu misalnya, dia potong. Kan memang itu uang dipegang sama istri, bukan suami. Itu suami hanya memegang uang kalau dia menerima hasil penjualan ikan di Kota, kalau sudah tiba di pulau, dia serahkan lagi ke istri (dengan nada yang besar dan tegas). Kalau sudah dikasi bagiannya sawi setelah mencari, sisanya diserahkan semua ke istri untuk disimpan.
Nanti itu uang yang disimpan sama istri dikeluarkan kalau suami bilang kasi si anu uang sekian, baru kemudian dicatat. Jadi bukan suami yang pegang uang. Memang perempuan itu yang memegang uang, karena istri itu sebagai bank. Itu bank tidak pergi-pergi sementara suami itu selalu pergi. Bagaimana kalau di jalan ada yang rampok misalnya.
2. Peran tidak Langsung
95
Pada bagian ini, penulis akan menjelaskan hal-hal di luar faktor
produksi yang diperankan oleh istri punggawa namun sangat mempengaruhi
usaha perikanan milik suaminya. Bagian ini dipandang perlu untuk dibahas
karena dalam kehidupan sehari-hari istri punggawa, banyak hal yang pada
awalnya dianggap tidak penting untuk direkam oleh peneliti, namun setelah
dicermati, rupanya hal-hal itulah (hal di luar faktor produksi) yang
sesungguhnya sangat signifikan mempengaruhi dinamika usaha perikanan.
Peran tidak langsung yang dimaksud pada point pembahasan ini
adalah aktifitas istri punggawa di luar konteks usaha namun dapat
mempengaruhi dinamika usaha perikanan. Peran tidak langsung ini terutama
dalam konteks kehidupan sehari-hari, di mana istri punggawa setiap harinya
berkumpul sesama perempuan pada waktu-waktu luang, biasanya pada
waktu menjelang siang sampai menjelang petang.
Kebiasaan yang sering di jumpai di lapangan, para perempuan
berkumpul dengan sesama perempuan dan membicarakan beragam hal. Hal
yang dibicarakan adalah masalah pakaian, masalah harga sembako,
masalah arisan, membicarakan kekurangan atau kelebihan orang lain, baik
itu yang berkaitan dengan kenelayanan maupun hal lain yang dijumpai pada
setting tertentu (misalnya upacara daur hidup). Kebiasaan berkumpul ini
biasanya dijumpai pada siang menjelang sore atau setelah makan siang.
Kebiasaan kelompok perempuan ini adalah hal yang dianggap biasa.
Namun setelah menggali informasi, rupanya kebiasaan tersebut dapat
96
berfungsi dalam dinamika usaha perikanan. Hal ini sebagaimana dijelaskan
oleh seorang punggawa sebagai berikut:
...cerita-cerita tidak baik, pertama menyebar melalui istri....kejelekannya orang atau rahasianya orang muncul pertama-tama melalui istri, jarang laki-laki itu memulai bergosip. Biasa itu laki-laki bergosip setelah dia dengar dari istrinya bahwa begini-begini. Kita itu laki-laki berpikir dulu kalau mau bergosip jangan sampai kita baku hantam, tapi kalau perempuan tidak. Seperti halnya dengan kekurangannya punggawa, misalnya ada punggawa yang tidak baik, itu ibu-ibu sudah dengar dulu baru dia kasi tau suaminya, “kau tidak usah sama punggawa A karena istrinya itu tidak baik”, begitulah sampai suaminya juga terpengaruh.
Waktu luang yang cukup banyak bagi istri menjadi ruang bagi mereka
untuk membicarakan kondisi social yang mereka pahami. Hal ini telah
menjadi kebiasaan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Informasi yang
diceritakan oleh istri dari orang yang satu ke orang lain rupanya signifikan
mempengaruhi dinamika usaha perikanan yang ada di sekitarnya. Hal ini
disebabkan karena istri memiliki kemampuan mempengaruhi suaminya
dalam mengambil keputusan. Jika seorang istri meresa tidak senang terhapa
teman atau punggawa suaminya, dia dapat mempengaruhi agar suami
pindah ke punggawa lain. Terkait masalah ini, informan menjelaskan:
Itu istri kuat sekali mempengaruhi suami, kita itu memang mudah terpengaruh sama perempuan. Itu pengaruh perempuan tajam betul, satu kali dia mau harus begitu. Suami memang dianjurkan jadi pemimpin karena bisa berpikir dua tiga kali, tapi kalau istri itu cuma sekali saja. Meskipun begitu, kita itu suami kalau sudah sering dikasi tau suami pasti akan terpengaruh. Kalau kita (suami) mau pindah ke punggawa lain, kita itu berpikir-pikir dua tiga kali dulu, tapi kalau istri sudah masuk, cepat sekali pasti akan keluar.
97
Persoalan istri di luar konteks perikanan juga sering mempengaruhi
suatu usaha. Aktifitas mereka sehari-hari yang dilakukan oleh sesama
peremuan, meskipun tidak menyangkut perikanan, sering menjadi pemicu
bagi retaknya hubungan antara sawi dengan penggawanya. Hal ini seperti
yang dijelaskan oleh informan:
…misalnya, kau adalah paboyaku, kau punya istri dan saya punya istri. Selama kau kerja sama saya, hubungan kita baik-baik saja dan kau menilai bahwa saya itu baik. Tapi yang jadi masalah, istrimu merasa istriku tidak baik dan mereka tidak baku baik. Karena istrimu tidak suka sama istriku, dia akhirnya menyuruh kau keluar dari saya dan pindah ke punggawa yang lain. Meskipun kau tidak mau, tapi kalau istrimu mau sekali, cepat atau lambat kau pasti akan pindah. Saya tidak tau kenapa itu istri kuat sekali pengaruhnya sama suami17. Itu istri paboya pintar mencari punggawa melalui sesama istri, termasuk istri punggawa. Kalau dia sudah ‘tembak’ suaminya bilang pindah saja ke punggawa ini, pasti dia sudah punya pertimbangan karena dekat dengan istri punggawa yang bersangkutan. Misalnya, si A adalah paboya dari punggawa B. Istri paboya A selalu bergaul kalau siang dengan istri punggawa C. Kalau ini istri punggawa C baik sama istri paboya A, pasti cepat atau lambat paboya A akan pindah ke punggawa C, satu kali saja punggawa A melakukan kesalahan yang tidak disenangi oleh paboya A misalnya dia marah-marah, itulah sebabnya saya katakan tadi pengaruh istri itu tajam betul, baik istri punggawa maupun istri paboya karena mereka kebanyakan didarat sehingga pergaulan mereka ‘luas’. Lihat saja itu dulu waktu masih penjajahan, tidak bisa merdeka itu Indonesia kalau bukan perempuan, belum selesai itu perang, perempuan sudah bikin itu bendera, seandainya tidak ada bendera, tidak mungkin merdeka
17 Mereka percaya bahwa suatu urusan atau pekerjaan yang tidak disenangi oleh istri namun tetap dilakukan oleh suaminya pasti tidak akan mendatangkan keuntungan. Walaupun urusan itu sukses, pasti dibelakang akan rugi. Jadi, jika seorang istri sawi tidak senang jika suaminya bekerja pada seorang punggawa, cepat atau lambat sang suami akan pindah ke punggawa lain.
98
Indonesia, itu saja jaidkan contoh kecil, bagaimana kalau usaha...
Informasi yang dicontohkan oleh informan di atas menegaskan bahwa
faktor-faktor non produksi, yang sering dilakoni oleh istri, sangat signifikan
mempengaruhi keberlangsungan usaha perikanan. Dengan demikian,
memahami usaha perikanan tidaklah lengkap jika tidak memahami konteks
lain yang ada di sekitarnya.
Selain membicarakan banyak hal, mereka juga biasa tidur-tiduran
sehingga waktu yang dihabiskan hingga beberapa jam. Bila sore hari, penjual
beraneka makanan ringan mulai ramai dan tentunya lewat di depan
perempuan yang berkumpul tadi. Mereka pun membeli makanan,
kebanyakan diutang dan akan dibayar keesokan harinya atau jika suami telah
menjual ikan hasil tangkapan. Sehingga setiap sore, banyak penjual yang
berkeliling pulau bukan hanya membawa jualan tetapi juga buku catatan
utang. Kemudahan utang ini membuat mereka tidak sadar telah
mengumpulkan utang yang banyak karena mereka tidak hanya berutang
pada satu penjual tapi beberapa penjual yang menjajakan jenis jualan yang
berbeda.
Ada pun hal lain di luar konteks usaha namun memberi pengaruh
terhadap usaha yang dimiliki suami adalah adat menjamu orang yang datang
ke rumahnya. Menjamu orang yang datang ke rumah adalah adat istiadat dan
memberi nilai khusus bagi yang memperhatikannya. Orang yang datang ke
99
rumah bisa dalam rangka membicarakan usaha atau hanya sekedar mampir.
Berikut kutipan wawancara dengan informan:
...istri punggawa yang baik akan menyambut sawi yang datang ke rumahnya jalan-jalan atau datang dari mencari ikan. Belum lama dia datang dia sudah dibuatkan minuman dan dasajikan kue, apalagi dengan cara penyajian yang baik, kata-kata yang baik. Itulah yang paling diingat orang kalau kita baik, dari ade’na, ampe-ampena, ada-adanna. Kalau kita mau orang betah bekerja sama kita, perbaikilah itu semua, karena uang bisa habis dibelanja tapi kesan baik tidak akan pernah hilang. Biar sawi tidak mendapat hasil yang bagus tetap disambut dengan baik, kan dia akan berkata, baik punggawaku, apalagi istrinya, lebih baik saya di sini saja menetap bekerja...
Punggawa dengan sawi memiliki satu budaya yang sama, yang mana
memiliki pandangan yang sama tentang perbuatan yang baik dan tidak baik,
sehingga bila punggawa dan istrinya tidak melaksanakan norma-norma
kehidupan sesuai dengan pemahaman masyarakat, maka akan menjadi satu
penilaian bagi sawi yang dapat berpengaruh terhadap kesuksesan usaha.
Dengan demikian, nilai-nilai budaya yang ada juga turut mempengaruhi nilai-
nilai ekonomi. Menyajikan makanan dan minuman adalah adat istiadat, tetapi
besar pengaruhnya dalam mempertahankan usaha, kedermawanan seorang
punggawa salah satunya tercermin dari caranya menyambut orang yang
datang kerumahnya.
Sikap dan perilaku suami dengan istrinya terkait dengan keyakinan
mereka tentang rejeki. Rejeki seseorang tidak baik jika mereka tidak pandai
bersyukur dan menjaga hubungan baik dengan orang lain.
100
...rejeki itu bukan manusia yang menentukan, tapi Tuhan. Bukan manusia yang simpan ikan di laut, tapi Tuhan, kita hanya berusaha. Kalau memang ada rejeki pasti ada banyak kita dapat, begitu saja. Jadi, rejekinya punggawa diatur oleh Tuhan dan diturunkan melalui sawi, jadi kalau ada punggawa dan istrinya nanti baik pada sawinya nanti kalau dia dapat hasil yang bagus sementara kalau hanya sedikit tangkapan yang diperoleh, itulah punggawa yang tidak bersyukur, dia tidak paham bahwa rejeki hari ini berbeda dengan besok, kalau hari ini tidak dapat pasti hari-hari akan datang akan dapat. Orang yang tidak bersyukur, tidak akan dimudahkan rejekinya, sebaliknya, orang yang bersyukur akan dimudahkan rejekinya.
Keyakinan seperti yang dijelaskan oleh informan di atas, harus
dipahami oleh suami dan istri. Hal ini akan menciptakan keharmonisan
hubungan antara suami dan istrinya yang mana hal ini sangat berpengaruh
terhadap usaha yang dimiliki. Hal ini lebih lanjut dijelaskan oleh informan
sebagai berikut:
Kalau punggawa dengan istrinya pandai bersukur dan baik kepada orang lain, biar turun usahanya tapi tidak akan hancur sama sekali, akan ada jalan untuk bangkit kembali. Kalau suami dengan istri saling memahami dan saling mendukung dan baik ke orang lain, pasti Tuhan juga akan baik kepada kita. Orang mengatakan, Tuhan baru akan mendukung suatu usaha kalau orang-orang di sekitarnya telah mendukungnya, kalau istri mendukung, sawi juga mendukung, pasti usaha tersebut akan besar, jadi diperbaiki hubungan kesesama manusia, perempuan maupun laki-laki dan harus pandai bersyukur, yang menciptakan manusia adalah tuhan, jadi bagaimana tuhan membantu kita kalau orang lain saja tidak mau membantu kita. Banyak kejadian kejadian pengusaha ikan bangkrut karena begitu, baik di pulau ini, Barrang Caddi maupun pulau-pulau lain...
101
Penjelasan informan ini memberi pemahaman kepada kita pentingnya
memperhatikan hal-hal yang ada di luar konteks usaha perikanan agar kita
mampu memahami secara utuh dinamika usaha tersebut. Bukan hanya faktor
produksi yang penting diperhatikan, tetapi pola interaksi mereka, norma dan
pranata-pranata budaya serta kepercayaan mereka adalah hal yang penting
diperhatikan.
102
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Peran istri punggawa dalam manajemen usaha perikanan dipengaruhi
oleh dua hal, yaitu peran gender dalam masyarakatnya dan jenis usaha yang
dimiliki suaminya. Secara umum, peran gender mengatur pembagian peran
antara suami dan istri, termasuk hak dan kewajiban keduanya. Peran gender
tersebut menjadi dasar dalam pembagian peran antara punggawa dengan
istrinya dalam konteks usaha yang dimiliki.
Pada masyarakat pulau Bonetambung, suami berperan mencari
nafkah untuk keluarganya sementara istri berperan mengatur rumah
tangganya. Salah satu peran penting istri dalam keluarganya adalah
mengelola uang yang diperoleh oleh suami. Peran istri ini berpengaruh
terhadap usaha sebab mereka percaya bahwa rejeki yang diperoleh oleh
suami akan mendatangkan berkah dan rejeki yang melimpah pada waktu
yang lain jika rejeki tersebut dikelola oleh istri. Hal inilah yang menjadi salah
satu dasar penting bagi keterlibatan istri dalam usaha perikanan suaminya.
Hal kedua yang berpengaruh terhadap peran istri punggawa dalam
manajemen usaha perikanan adalah jenis usaha yang dimiliki oleh suaminya.
Peran istri punggawa ikan mati berbeda dengan peran istri punggawa ikan
hidup. Pada usaha ikan mati, istri terlibat langsung dalam pembelian ikan
103
yang diperoleh oleh nelayan tangkap. Namun untuk punggawa darat yang
memiliki usaha ikan hidup, peran istrinya justru tidak nampak karena hampir
seluruh perkerjaan dikerjakan oleh tenaga kerja khusus atau biasa disebut
sebagai sawi darat. Sawi darat terbagai lagi, ada yang khusus untuk
mensortir, menimbang dan merawat ikan (tukang size) dan ada yang khusus
mencatat dan membayar nelayan. Pekerjaan sebagai tukang size
membutuhkan keahlian khusus karena ikan yang diusahakan harus dalam
keadaan hidup dan tidak cacat. Begitu juga dengan mencatat hasil
tangkapan, biasanya dilakukan oleh sawi khusus atau langsung dikerjakan
oleh punggawa darat. Istri punggawa tidak mengetahui harga ikan, selain
karena bukan hanya timbangan yang diperhatikan dalam penentuan harga,
namun jenis ikan yang kadang rumit dibedakan dengan jenis lainnya dapat
berpengaruh terhadap harga.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian ini, penulis merekomendasikan beberapa
hal berikut:
1. Akademisi yang hendak melakukan studi yang serupa dengan
penelitian ini hendaknya memperhatikan aspek-aspek gender yang
berlaku pada masyarakat yang diteliti. Penulis menyadari bahwa
penelitian ini masih memiliki banyak kekurangan terutama dalam aspek
histori. Tentunya, perhatian terhadap aspek histori akan menjelaskan
104
bagaimana gender dalam masyarakat berubah seiring dengan dinamika
ekonomi yang terjadi.
2. Perhatian pada aspek gender juga penting untuk para praktisi dalam
usahanya membangun perekonomian masyarakat. Pemahaman ini akan
membuka pikiran kita bahwa usaha peningkatan ekonomi suatu
masyarakat tidak akan mudah dilakukan jika aspek gender tidak dipahami
dengan baik. Pada masyarakat yang diteliti oleh penulis, suami yang
berperan dalam mencari nafkah. Namun hal ini tidak berarti bahwa istri
tidak memiliki pengaruh terhadap pekerjaan suaminya. Untuk itulah,
sebaiknya program pemberdayaan memperhatikan pengaruh istri tersebut
dan menjadikannya perhatian khusus.
105
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Nurhasna dkk. 2004. Gender dan Peran Perempuan dalam Rumah Tangga Nelayan Komunitas Kel. Dufa-Dufa Kota Ternate Utara . http://jjfoundation. wordpress.com/yang-saya-tulis/gender-dan-peran-perempuan-dalam-rumah-tangga-nelayan-komunitas-kel-dufa-dufa-kota-ternate-utara/
Abdullah, Irwan. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ahmadin. 2009. Ketika Lautku Tak Berikan Lagi. Makassar: Rayhan Intermedia
Andayani, Trisna.2006 Perubahan Peranan Wanita Dalam Ekonomi Keluarga Nelayan Di Desa Percut Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli.
http://www.geocities.com/konferensinasionalsejarah/trisna_andayani.pdf Diakses 7 sept 2009
Damayanti, Yosi. 2009. Tiga Peran Rangkap Perempuan Nelayan.Studi Pada Keluarga Nelayan di lingkungan Kapuran Kelurahan Pasar Madang Kecamatan Kotaagung Kabupaten Tanggamus. http://skripsi.unila.ac.id/wp-content/uploads/2009/07/TIGA-PERAN-RANGKAP-PEREMPUAN-NELAYAN.pdf
Fakih Mansour. 2007 (cetakan ke-11). Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ihromi, T.O. 1992. Otonomi Wanita. Dalam Jurnal Antropologi Indonesia No. 50 Th. XVI, September-Desember 1992, halaman 79-96. Jakarta: Jurusan Antropologi Fisip UI.
Irawan, Prasetya. 2006. Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Departemen Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.
Irianto, Sulistyowati. 1992. Sumbangan Pendekatan Antropologi Hukum Terhadap Pengkajian Wanita. Dalam Jurnal Antropologi Indonesia No. 50 Th. XVI, September-Desember 1992, halaman 21-35. Jakarta: Jurusan Antropologi Fisip UI.
106
Jamaluddin Jompa, dkk. Kondisi Ekosistem Perairan Kepulauan Spermonde: Keterkaitannya dengan Pemanfaatan Sumberdaya Laut di Kepulauan Spermonde (Hasil Penelitian). Divisi Kelautan Pusat KegiatanPenelitian, Universitas Hasanuddin http://bahasa.makassarkota.go.id/index.php/makassar-hari-ini/85?start=7
Kusnadi. 2000. Nelayan. Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Bandung: Humaniora Utama Press.
Kusnadi. 2006 (cetakan ke-2). Konflik Sosial Nelayan. Kemiskinan dan Perebutan Sumber Daya Alam. Yogyakarta: LkiS
Kusnadi, dkk. 2006. Perempuan Pesisir. Yogyakarta: LkiS.
Lampe, Munsi. 1989. Strategi-strategi Adaptif Nelayan. Suatu Studi Tentang Antropologi Perikanan. Disajikan dalam Forum Informasi Ilmiah Kontemporer Fisipol-Unhas tanggal 14 Juni 1989.
Saifuddin, Achmad Fedyani. 2005. Antropologi Kontemporer. Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Jakarta: Kencana.
Sanatang. 2006. Peranan Perempuan Dalam Ekonomi Rumah Tangga. Studi Kasus Istri Nelayan di Kelurahan Sumpang Minangar Kota Parepare. Tesis. Makassar: Program pascasarjana Universitas Hasanuddin.
Sihite, Romani R. 1992. Peranan dan Pola Kegiatan Wanita di Sektor Informal. Dalam Jurnal Antropologi Indonesia No. 50 Th. XVI, September-Desember 1992, halaman 97-107. Jakarta: Jurusan Antropologi Fisip UI.
Sosrodihardjo, Soedjito. 1986. Transformasi Sosil Menuju Masyarakat Industri. Yogyakarta: PT Tiara Wacana.
Susoliwati, Sri Pudji. 2006. Peranan Istri Nelayan Dalam Meningkatkan Kesejahteraan Rumah Tangga (di desa Kabongan Lor Kecamatan Rembang Kabupaten Rembang). Skripsi. Jurusan Sosiologi Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang.
Ulhaq, Muhammad Zia. 2008. Kehidupan perempuan pesisir pantai di Pulau Bawean. www.bawean.info.
107
108
Top Related