LEMBAR PERSETUJUAN
Penelitian dengan judul:
Laporan hasil penelitian ini telah diperiksa, disetujui dan dipertahankan dihadapan Tim
Penguji Program Studi S1 Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
PERTAMEDIKA
Telah mendapatkan persetujuan untuk dilaksanakan
Jakarta, 14 Juni 2013
Menyetujui,
Pembimbing
(Rumiarti, SKp, MARS)
Mengetahui,
Kepala Prodi S1 Keperawatan
(Lenny Rosbi Rimbun, SKp, M.Si)
i
LEMBAR PENGESAHAN
Laporan hasil penelitian dengan judul “Pengaruh Kompres Hangat Dan Stretching
Terhadap Penurunan Skala Nyeri Sendi Pada Lansia di Wilayah RW 03, Kelurahan
Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur Tahun 2013”, ini telah diujikan dan
dinyatakan Lulus dalam ujian sidang dihadapan Tim Penguji pada tanggal 14 juni 2013
Penguji I
(Rumiarti, SKp, MARS)
Penguji II
(Wasijati, S.Kp, M.Si)
Penguji III
(Lenny Rosbi Rimbun, S.Kp, M.Si)
ii
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PERTAMEDIKA PROGAM S1 KEPERAWATAN
Riset, 14 Juni 2013
ITJMI AYOE FERYANI
Pengaruh Kompres Hangat Dan Stretching Terhadap Penurunan Skala Nyeri Sendi Pada Lansia Di Wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur Tahun 2013
VII+...Halaman+...Tabel+....Lampiran
ABSTRAK
Penuaan dapat terjadi secara fisiologis atau patologis. Salah satu penuaan yang terjadi secara fisiologis adalah perubahan pada sistem muskuloskeletal, yaitu sendi yang dapat menimbulkan gangguan berupa nyeri. Beberapa terapi dapat digunakan untuk mengurangi nyeri sendi, salah satunya adalah terapi nonfarmakologis seperti kompres hangat dan stretching. Kompres hangat selain memberi efek menghilangkan sensasi nyeri, teknik ini meningkatkan aliran darah dalam jaringan. Sedang stretching membuat otot dan sendi tetap lentur sehingga lansia dapat beraktivitas dengan optimal. Tujuan penelitian ini adalah memberikan kompres hangat dan stretching pada lansia dengan nyeri sendi untuk mengurangi skala nyeri sendi yang dialaminya. Penelitian ini menggunakan desain penelitian Quasi-Eksperiment Non Equivalent Pretest-Posttest Kontrol Group Design. Jumlah sampel dalam penelitian ini 36 orang dengan ketentuan 18 orang kelompok intervensi dan 18 orang kelompok kontrol. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode purposive sampling. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 10 April 2013 sampai 23 Mei 2013 di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur. Penelitian ini menggunakan uji statistik Kolmogorov-Smirnov. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kompres hangat dan stretching berpengaruh signifikan terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur (p = 0,000), sedangkan usia tidak berpengaruh signifikan terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia (p = 0,941), jenis kelamin tidak berpengaruh signifikan terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia (p = 0,878), dan lokasi nyeri sendi tidak berpengaruh signifikan terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia (p = 1,000). Berdasarkan hasil penelitian, perawat diharapkan dapat memberikan kompres hangat dan stretching sebagai salah satu intervensi keperawatan untuk mengurangi nyeri sendi. Kepada penelitian selanjutnya perlu diteliti variabel-variabel lainnya yang mempengaruhi nyeri.
Kata Kunci : Lansia, Nyeri Sendi, Stretching, Kompres hangat,
Daftar Pustaka : 33 (2000 – 2012)
iii
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PERTAMEDIKA PROGAM S1 KEPERAWATAN
Riset, 14 Juni 2013
ITJMI AYOE FERYANI
Pengaruh Kompres Hangat Dan Stretching Terhadap Penurunan Skala Nyeri Sendi Pada Lansia Di Wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur Tahun 2013
VII+...Halaman+...Tabel+....Lampiran
ABSTRAK
Penuaan dapat terjadi secara fisiologis atau patologis. Salah satu penuaan yang terjadi secara fisiologis adalah perubahan pada sistem muskuloskeletal, yaitu sendi yang dapat menimbulkan gangguan berupa nyeri. Beberapa terapi dapat digunakan untuk mengurangi nyeri sendi, salah satunya adalah terapi nonfarmakologis seperti kompres hangat dan stretching. Kompres hangat selain memberi efek menghilangkan sensasi nyeri, teknik ini meningkatkan aliran darah dalam jaringan. Sedang stretching membuat otot dan sendi tetap lentur sehingga lansia dapat beraktivitas dengan optimal. Tujuan penelitian ini adalah memberikan kompres hangat dan stretching pada lansia dengan nyeri sendi untuk mengurangi skala nyeri sendi yang dialaminya. Penelitian ini menggunakan desain penelitian Quasi-Eksperiment Non Equivalent Pretest-Posttest Kontrol Group Design. Jumlah sampel dalam penelitian ini 36 orang dengan ketentuan 18 orang kelompok intervensi dan 18 orang kelompok kontrol. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode purposive sampling. Penelitian ini dilakukan pada tanggal 10 April 2013 sampai 23 Mei 2013 di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur. Penelitian ini menggunakan uji statistik Kolmogorov-Smirnov. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kompres hangat dan stretching berpengaruh signifikan terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur (p = 0,000), sedangkan usia tidak berpengaruh signifikan terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia (p = 0,941), jenis kelamin tidak berpengaruh signifikan terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia (p = 0,878), dan lokasi nyeri sendi tidak berpengaruh signifikan terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia (p = 1,000). Berdasarkan hasil penelitian, perawat diharapkan dapat memberikan kompres hangat dan stretching sebagai salah satu intervensi keperawatan untuk mengurangi nyeri sendi. Kepada penelitian selanjutnya perlu diteliti variabel-variabel lainnya yang mempengaruhi nyeri.
Kata Kunci : Lansia, Nyeri Sendi, Stretching, Kompres hangat,
Daftar Pustaka : 33 (2000 – 2012)
iv
SURAT PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya:
Nama : Itjmi Ayoe Feryani
Nim : 09028
Mahasiswi S1 Keperawatan/Angkatan : STIKes PERTAMEDIKA/II
Menyatakan bahwa saya tidak melakukan kegiatan plagiat dalam penulisan Laporan
Penelitian Mata Ajaran Riset Keperawatansaya yang berjudul:
“PENGARUH KOMPRES HANGAT DAN STRETCHING TERHADAP
PENURUNAN SKALA NYERI SENDI PADA LANSIA DI WILAYAH RW 03,
KELURAHAN PULOGEBANG, KECAMATAN CAKUNG, JAKARTA TIMUR
TAHUN 2013”
Apabila suatu saat terbukti saya melakukan tindakan plagiat, maka saya akan menerima
sangsi yang telah ditetapkan.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Jakarta, 14 Juni 2013
Yang Membuat Pernyataan
(Itjmi Ayoe Feryani)
v
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR
UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai civitas akademik Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan PERTAMEDIKA (STIKes
PERTAMEDIKA, saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Itjmi Ayoe Feryani
NPM : 09028
Program Studi : S1 Keperawatan
Institusi : Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan PERTAMEDIKA
Jenis Karya : Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan PERTAMEDIKA Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non
exclusive Royalty Free Right) atas Skripsi saya yang berjudul:
PENGARUH KOMPRES HANGAT DAN STRETCHING TERHADAP
PENURUNAN SKALA NYERI SENDI PADA LANSIA DI WILAYAH RW 03,
KELURAHAN PULOGEBANG, KECAMATAN CAKUNG, JAKARTA TIMUR
TAHUN 2013
Beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalty Nonekslusif
ini STIKes PERTAMEDIKA berhak menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola
dalam bentuk pangkalan data (Database), merawat dan memublikasikan tugas akhir saya
selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik
Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Jakarta
Pada tanggal : 14 Juni 2013
Yang menyatakan
(Itjmi Ayoe Feryani)
vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Itjmi Ayoe Feryani
Tempat/Tgl. Lahir : Jakarta, 17 Febuari 1992
Alamat : Asrama Palad GUPUSMU III RT 01/03 No. D13, Kelurahan
Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur. Kode Pos
13950
Riwayat Pendidikan : 1. SDN 011 Pagi Pulogebang Lulus Tahun 2003
2. SMP Negeri 172 Jakarta Lulus Tahun 2006
3. SMK Kesehatan Kesdam Jaya Lulus Tahun 2009
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan atas kehadiran Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat
dan Karunianya sehingga peneliti dapat menyelesaikan proposal penelitian yang
berjudul “Pengaruh kompres hangat dan stretching terhadap penurunan skala nyeri sendi
pada lansia di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta
Timur Tahun 2013”.
Proposal penelitian ini dibuat untuk memenuhi persyaratan penyelesaian tugas akhir
pada Program Studi S1 Keperawatan – Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
PERTAMEDIKA. Peneliti menyadari banyak pihak yang turut membantu sejak awal
penyusunan sampai selesainya proposal penelitian ini. Pada kesempatan ini peneliti
ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. DR. Mardjo Soebiandono, SpB selaku Direksi PERTAMEDIKA dan Pembina
Yayasan Pendidikan PERTAMEDIKA.
2. DR. Dany Amrul Ichdan, SE, MSc selaku Ketua Pengurus Yayasan Pendidikan
PERTAMEDIKA.
3. Widiyo Weni Wigati, SKM, MARS selaku Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan
PERTAMEDIKA.
4. Lenny Rosbi Rimbun, SKp selaku Kepala Program Studi S1 Keperawatan Sekolah
Tinggi Ilmu Kesehatan PERTAMEDIKA.
5. Rumiarti, SKp, MARS selaku Pembimbing yang dengan kesabaran dan
kebaikannya telah membimbing penulis selama proses penelitian ini.
6. Para Wakil Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan PERTAMEDIKA.
viii
7. Para Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan PERTAMEDIKA.
8. Bapak Moh. Taufik dan Ibu Puji Rahayu selaku orang tua saya yang selalu
mendukung dan mendoakan saya dalam melakukan penelitian ini, sehingga laporan
ini dapat selesai sesuai dengan waktunya.
9. Keluarga besar saya yang senantiasa membantu dan mendoakan saya, sehingga
laporan ini dapat selesai sesuai dengan waktunya.
10. Dona Ari Sunandar yang selalu memotivasi dan membantu saya dalam melakukan
penelitian ini, sehingga laporan ini dapat selesai sesuai dengan waktunya.
11. Kakak saya Fajri Marindra S. yang selalu memotivasi dan membantu saya dalam
melakukan penelitian ini, sehingga laporan ini dapat selesai sesuai dengan
waktunya.
12. Bapak Slamet selaku Ketua RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung,
Jakarta Timur yang turut membantu, sehingga laporan penelitian ini dapat selesai
sesuai dengan waktunya.
13. Ibu Siswoyo selaku pengurus senam lansia di wilayah Kelurahan Pulogebang,
Kecamatan Cakung, Jakarta Timur yang turut membantu, sehingga laporan
penelitian ini dapat selesai sesuai dengan waktunya.
14. Bapak Ketua RT 01 – RT 18 di wilayah RW 03 Kelurahan Pulogebang, Kecamatan
Cakung, Jakarta Timur yang turut membantu, sehingga laporan penelitian ini dapat
selesai sesuai dengan waktunya.
15. Para responden atas keikutsertaan dan kerjasamanya, sehingga laporan penelitian ini
dapat selesai sesuai dengan waktunya.
ix
16. Teman-teman satu bimbingan saya Ita Wulandari, Erma Dian, Hesti Setyoningsih,
Erna Astika, dan Lela Purnamasari yang sudah turut membantu dalam proses
penyelesaian proposal ini tepat pada waktunya.
17. Teman-teman saya Riska Indarwati, Reza Anissa Dina, dan Nur Ardhila yang selalu
memotivasi dan membantu saya dalam melakukan penelitian ini, sehingga laporan
ini dapat selesai sesuai dengan waktunya.
18. Teman-teman S1 Reguler 2 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan PERTAMEDIKA.
19. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang turut berpartisipasi
sehingga selesainya penelitian ini.
Peneliti menyadari bahwa dalam penyusunan penelitian ini banyak sekali
kekurangannya, sehingga saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan demi
perbaikan penulisan dan penyusunan hasil penelitian di masa mendatang.
Jakarta, 14 Juni 2013
Peneliti
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PERSETUJUAN................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN...............................................................................................ii
ABSTRAK........................................................................................................................iii
SURAT PERNYATAAN...................................................................................................v
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI.............................................................vi
DAFTAR RIWAYAT HIDUP.........................................................................................vii
KATA PENGANTAR....................................................................................................viii
DAFTAR ISI.....................................................................................................................xi
DAFTAR TABEL...........................................................................................................xiv
DAFTAR GAMBAR.....................................................................................................xvii
DAFTAR SKEMA........................................................................................................xviii
DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................................xix
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah.............................................................................1
B. Perumusan Masalah....................................................................................7
C. Tujuan Penelitian........................................................................................7
1. Tujuan Umum......................................................................................7
2. Tujuan Khusus.....................................................................................7
D. Manfaat Penelitian......................................................................................8
1. Pelayanan Keperawatan.......................................................................9
xi
2. Perkembangan Ilmu Keperawatan.......................................................9
BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN.......................................................................10
A. Teori dan Konsep Terkait.........................................................................10
1. Lansia.................................................................................................10
2. Persendian..........................................................................................22
3. Nyeri Sendi........................................................................................34
4. Kompres Hangat................................................................................61
5. Stretching (Peregangan)....................................................................72
B. Penelitian Terkait......................................................................................85
BAB III KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS
DAN DEFINISI OPERASIONAL..................................................................88
C. Kerangka Konsep......................................................................................88
D. Hipotesis...................................................................................................90
E. Definisi Operasional.................................................................................91
BAB IV METODE PENELITIAN................................................................................95
A. Desain Penelitian......................................................................................95
B. Populasi dan Sampel.................................................................................97
C. Lokasi dan Waktu Penelitian..................................................................101
D. Etika Penelitian.......................................................................................101
E. Alat Pengumpulan Data..........................................................................104
F. Prosedur Pengumpulan Data...................................................................105
xii
G. Pengolahan dan Analisa Data.................................................................106
BAB V HASIL PENELITIAN...................................................................................110
A. Gambaran Tempat dan Responden Penelitian........................................111
B. Analisis Data...........................................................................................111
BAB VI PEMBAHASAN............................................................................................123
A. Interpretasi dan Diskusi Hasil.................................................................123
B. Keterbatasan Penelitian..........................................................................144
BAB VII PENUTUP.....................................................................................................145
A. Kesimpulan.............................................................................................145
B. Saran.......................................................................................................147
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................149
LAMPIRAN...................................................................................................................152
xiii
DAFTAR TABEL
1. Tabel 3.2 Definisi Operasional...........................................................................92
2. Tabel 4.1 Rancangan Quasi-Eksperiment Non Equivalent
Pretest-Posttest Control Group Design..............................................97
3. Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Usia Responden
di Wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung,
Jakarta Timur Tahun 2013..................................................................113
4. Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin Responden
di Wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung,
Jakarta Timur Tahun 2013..................................................................113
5. Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Lokasi Nyeri Sendi Responden
di Wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung,
Jakarta Timur Tahun 2013..................................................................114
6. Tabel 5.4 Distribusi Rata-Rata Penderita Nyeri Sendi
Berdasarkan Skala Nyeri Sebelum Dilakukan Kompres Hangat
dan Stretching Di Wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang,
Kecamatan Cakung, Jakarta Timur Tahun 2013................................ 115
7. Tabel 5.5 Distribusi Rata-Rata Penderita Nyeri Sendi
Berdasarkan Skala Nyeri Setelah Dilakukan Kompres Hangat
dan Stretching Di Wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang,
Kecamatan Cakung, Jakarta Timur Tahun 2013................................116
xiv
8. Tabel 5.6 Pengaruh Kompres Hangat dan Stretching
Terhadap Penurunan Skala Nyeri di Wilayah RW 03,
Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung,
Jakarta Timur Tahun 2013..................................................................118
9. Tabel 5.7 Uji Kolmogorov-Smirnov Pengaruh Kompres Hangat
dan Stretching Terhadap Penurunan Skala Nyeri
di Wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang,
Kecamatan Cakung, Jakarta Timur Tahun 2013................................119
10. Tabel 5.8 Pengaruh Usia Responden
Terhadap Penurunan Skala Nyeri di Wilayah RW 03,
Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung,
Jakarta Timur Tahun 2013..................................................................119
11. Tabel 5.9 Uji Kolmogorov-Smirnov Pengaruh Usia
Terhadap Penurunan Skala Nyeri
di Wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang,
Kecamatan Cakung, Jakarta Timur Tahun 2013................................120
12. Tabel 5.10 Pengaruh Jenis Kelamin Responden
Terhadap Penurunan Skala Nyeri di Wilayah RW 03,
Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung,
Jakarta Timur Tahun 2013..................................................................121
13. Tabel 5.11 Uji Kolmogorov-Smirnov Pengaruh Jenis Kelamin Responden
Terhadap Penurunan Skala Nyeri
di Wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang,
Kecamatan Cakung, Jakarta Timur Tahun 2013................................121
xv
14. Tabel 5.12 Pengaruh Lokasi Nyeri Sendi Responden
Terhadap Penurunan Skala Nyeri di Wilayah RW 03,
Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung,
Jakarta Timur Tahun 2013..................................................................122
15. Tabel 5.13 Uji Kolmogorov-Smirnov Pengaruh Lokasi
Nyeri Sendi Responden Terhadap Penurunan
Skala Nyeri di Wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang,
Kecamatan Cakung, Jakarta Timur Tahun 2013................................123
xvi
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 2.1 Skala Nyeri........................................................................................39
2. Gambar 2.3 Stretching Lansia...............................................................................86
xvii
DAFTAR SKEMA
1. Skema 2.1 Rentang Skala Nyeri............................................................................39
2. Skema 3.1 Kerangka Konsep................................................................................90
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Data Awal
Lampiran 2 Surat Izin Penelitian
Lampiran 3 Penjelasan Penelitian
Lampiran 4 Surat Persetujuan Responden
Lampiran 5 Kuesioner Penelitian
Lampiran 6 Modul Kompres Hangat dan Stretching
Lampiran 7 Waktu Penelitian
Lampiran 8 Output Data SPSS
xix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Lanjut usia adalah bagian dari proses tumbuh kembang. Manusia tidak secara tiba-
tiba menjadi tua, tetapi berkembang dari bayi, anak-anak, dewasa, dan akhirnya
menjadi tua. Hal ini normal, dengan perubahan fisik dan tingkah laku yang dapat
diramalkan yang terjadi pada semua orang pada saat mereka mencapai usia tahap
perkembangan kronologis tertentu. Lansia merupakan suatu proses alami yang
ditentukan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Semua orang akan mengalami proses
menjadi tua dan masa tua merupakan masa hidup manusia yang terakhir (Lilik
Ma’rifatul Azizah, 2011).
Institute for Ageing and Health University of Newcastle, pada 23 April 2007
memberikan pernyataan yang mengejutkan. Pada salah satu konfrensi “Changing
Expectation of Life”, dilaporkan bahwa setiap harinya umur harapan hidup
bertambah rata-rata 5 jam untuk negara-negara Eropa (Azwar Agoes, 2010).
Disadari atau tidak ternyata Indonesia telah memasuki era pertambahan jumlah
penduduk lansia. (Azwar Agoes, 2010: 1).
1
2
Tahun 1990 jumlah lansia 6,3 persen (11,3 juta orang), pada tahun 2015 jumlah
lansia diperkirakan mencapai 24, 5 juta orang, dan akan melewati jumlah balita
yang pada saat itu diperkirakan mencapai 18,8 juta orang. Laporan Survei
Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 1995 jumlah lansia 60 tahun ke
atas sebesar 7,5 persen atau 15 juta jiwa dibanding tahun 1986. Tahun 2020 jumlah
lansia di Indonesia diperkirakan akan menempati urutan ke 6 terbanyak di dunia dan
melebihi jumlah lansia di Brazil, Meksiko dan Negara Eropa. (Sri Surini Pudjiastuti,
2003)
Perbandingan indeks pembangunan manusia dan komponen menurut provinsi tahun
2009 – 2010 dalam Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun 2011 mencatat angka
harapan hidup Warga Negara Indonesia pada tahun 2009 adalah 69,21 tahun dan
pada tahun 2010 adalah 69,43 tahun. Jakarta menempati posisi pertama dalam hal
harapan hidup pada tahun 2009 dan tahun 2010 yaitu 73,05 tahun dan 73,20 tahun.
Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun 2011 juga mencatat estimasi jumlah
penduduk Indonesia menurut kelompok umur dan jenis kelamin pada tahun 2011
berjumlah 241.182.182 jiwa dengan jumlah usia ≥ 60 tahun 16.713.926 jiwa yang
berarti 6,9% dari total jumlah penduduk Indonesia.
Kemajuan ekonomi, perbaikan lingkungan hidup, dan majunya pengetahuan dan
teknologi terutama ilmu kesehatan, promosi kesehatan, pencegahan penyakit, dan
pelayananan kesehatan mengakibatkan meningkatnya umur harapan hidup manusia
(life expectancy). Akibatnya jumlah orang lanjut usia akan bertambah dan ada
kecenderungan akan meningkat dengan cepat. Peningkatan jumlah penduduk lanjut
3
usia akan membawa dampak terhadap berbagai aspek kehidupan, baik bagi individu
lansia itu sendiri, keluarga, masyarakat maupun pemerintah. Apa artinya umur yang
panjang apabila penuh dengan penderitaan, masalahnya tidak hanya “how to add
more years to life” tetapi juga menjadi “how to add live’s to years”. Implikasi
ekonomis yang penting dari peningkatan jumlah penduduk lanjut usia adalah
peningkatan ratio ketergantungan usia lanjut (old age ratio dependency).
Ketergantungan lanjut usia disebabkan kemunduran fisik, psikis dan sosial lanjut
usia yang dapat digambarkan melalui tiga tahap, yaitu kelemahan (impairment),
keterbatasan fungsional (functional limitations), ketidakmampuan (disability), dan
keterhambatan (handicap) yang akan dialami bersamaan dengan proses kemunduran
akibat proses menua (aging process) (Lilik Ma’rifatul Azizah, 2011).
Penuaan itu sendiri dapat terjadi secara alamiah/fisiologis atau patologis. Salah satu
penuaan yang terjadi secara fisiologis adalah perubahan pada sistem
muskuloskeletal, yaitu sendi (Sri Surini Pudjiastuti, 2003).
Kemunduran kartilago sendi, sebagian besar terjadi pada sendi-sendi yang menahan
berat, dan pembentukan tulang di permukaan sendi merupakan hal yang umum
terjadi. Komponen-komponen kapsul sendi pecah dan kolagen yang terdapat yang
terdapat pada jaringan penyambung meningkat secara progresif yang jika tidak
dipakai lagi mungkin menyebabkan inflamasi nyeri, penurunan mobilitas sendi, dan
deformitas (Mickey Stanley, 2006).
4
Kelainan akibat perubahan sendi yang banyak terjadi pada lansia antara lain
osteoartritis, artritis rheumatoid, gout, dan pseudogout. Kelainan ini dapat
menimbulkan gangguan berupa bengkak, nyeri, kekakuan sendi, keterbatasan luas
gerak sendi, gangguan berjalan, dan aktivitas keseharian lainnya (Sri Surini
Pudjiastuti, 2003).
Melihat keragaman masalah kesehatan pada lansia, upaya pencegahan harus
diutamakan. Masalah kesehatan lansia tidak terjadi seketika itu saja, tetapi melalui
proses kemunduran yang panjang. Proses itu dapat dihambat atau dalam beberapa
hal tertentu dapat dicegah bila upaya pencegahan dilakukan sejak dini, terpadu,
terus-menerus dan berkesinambungan. Pertimbangan lain adalah tingginya biaya
pelayanan kesehatan sehingga upaya pencegahan akan jauh lebih hemat dan murah
daripada upaya pengobatan (Sri Surini Pudjiastuti, 2003).
Salah satu upaya untuk mengatasi nyeri adalah dengan melakukan kompres hangat
dan teknik distraksi taktil berupa stretching (peregangan). Kompres hangat selain
dapat menurunkan sensasi nyeri juga dapat meningkatkan proses penyembuhan
jaringan yang mengalami kerusakan (Anas Tamsuri, 2006).
Stretching (peregangan) itu sendiri membuat otot tetap lentur, membuat anda siap
bergerak, dan membantu anda beralih dari aktivitas kurang gerak ke aktivitas
banyak gerak tanpa menimbulkan ketegangan (Bob Anderson, 2008).
5
Hasil penelitian Yohana Pamungkas pada tahun 2010 yang berjudul “Pengaruh
Latihan Gerak Kaki (Stretching) terhadap Penurunan Nyeri Sendi Ekstremitas
Bawah pada Lansia di Posyandu Lansia Sejahtera GBI Setia Bakti Kediri”,
didapatkan data sebelum diberikan latihan gerak kaki (stretching) terdapat 7
responden (20%) dengan nyeri ringan, 20 responden (51%) dengan nyeri sedang,
dan 9 responden (22,9%) dengan nyeri parah. Setelah dilakukan latihan gerak kaki
(stretching) terdapat 33 responden (94,2%) yang mengalami penurunan nyeri sendi
ekstremitas bawah. Hasil uji statistik Wilcoxon Match Pair Test dengan tingkat
kemaknaan p = 0,00, hal ini berarti terdapat pengaruh latihan gerak kaki (stretching)
terhadap penurunan nyeri sendi pada lansia di posyandu lansia Sejahtera GBI Setia
Bakti Kediri.
Hasil penelitian Mery Fanada dan Widyaiswara Muda tahun 2012 yang berjudul
“Pengaruh Kompres Hangat dalam Menurunkan Skala Nyeri pada Lansia yang
Mengalami Nyeri Rematik di Panti Sosial Tresna Werdha Teratai Palembang Tahun
2012”, didapatkan data mengenai tingkat nyeri rematik pada lansia sebelum
dilakukan kompres hangat sebanyak 20 responden dengan nilai rata-rata 2,45, yaitu
nyeri lebih menyakitkan dengan skala nyeri 2 sebanyak 11 responden (55%)
kemudian nyeri lebih menyakitkan lagi dengan skala nyeri 3 sebanyak 9 responden
(45%). Setelah dilakukan kompres hangat, tingkat nyeri rematik pada lansia
sebanyak 20 responden dengan nilai rata-rata 0,20 menjadi tidak nyeri dengan skala
nyeri 0 sebanyak 16 responden (80%) kemudian nyeri sedikit menyakitkan dengan
skala nyeri 2 sebanyak 4 responden (20%). Berdasarkan uji statistik menunjukkan
(p value = 0.000, α = 0,05), maka didapatkan ada perbedaan yang signifikan antara
6
pengukuran tingkat nyeri sebelum dilakukan kompres hangat dengan pengukuran
nyeri sesudah dilakukan kompres hangat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
tindakan kompres hangat yang dilakukan sesuai dengan aturan dapat menurunkan
tingkat nyeri pada lansia yang mengalami nyeri rematik.
Studi pendahuluan dilakukan saat senam lansia berlangsung di Kelurahan
Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur dengan jumlah lansia sebanyak 131
orang. Berdasarkan hasil survei, didapatkan bahwa belum pernah dilakukan
penelitian mengenai pengaruh kompres hangat dan stretching terhadap penurunan
skala nyeri sendi, sedangkan hasil wawancara dari 10 orang lansia diketahui bahwa
7 lansia diantaranya mempunyai keluhan nyeri sendi. Hasil survei penelitian dengan
bantuan ketua RT dan RW setempat di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang,
Kecamatan Cakung, Jakarta Timur, tercatat 103 orang lansia, dengan 57 orang
lansia menderita nyeri sendi. Rasa nyeri timbul secara tiba-tiba dan tanpa sebab di
pagi hari atau saat beraktivitas maupun setelah beraktivitas sehingga lansia
terkadang harus membatasi aktivitasnya.
Berdasarkan latar belakang, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian pengaruh
kompres hangat dan stretching terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia di
wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun
2013.
7
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan Fenomena yang terjadi di RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan
Cakung, Jakarta Timur maka rumusan masalah ini adalah apakah ada pengaruh
kompres hangat dan stretching terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia di
wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta timur tahun
2013?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui adanya pengaruh kompres hangat dan stretching terhadap
penurunan skala nyeri sendi pada lansia di wilayah RW 03, Kelurahan
Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta timur tahun 2013.
2. Tujuan Khusus
a. Diketahuinya jumlah responden penderita nyeri sendi berdasarkan usia di
wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta
Timur tahun 2013.
b. Diketahuinya jumlah responden penderita nyeri sendi berdasarkan jenis
kelamin di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung,
Jakarta Timur tahun 2013.
c. Diketahuinya jumlah responden penderita nyeri sendi berdasarkan lokasi
nyeri di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung,
Jakarta Timur tahun 2013.
8
d. Diketahuinya skala nyeri sendi sebelum diberikan kompres hangat dan
stretching pada lansia di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang,
Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013.
e. Diketahuinya skala nyeri sendi setelah diberikan kompres hangat dan
stretching pada lansia di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang,
Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013.
f. Diketahuinya pengaruh kompres hangat dan stretching terhadap penurunan
skala nyeri sendi pada lansia di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang,
Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013.
g. Diketahuinya pengaruh usia terhadap penurunan skala nyeri sendi pada
lansia di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung,
Jakarta Timur tahun 2013.
h. Diketahuinya pengaruh jenis kelamin terhadap penurunan skala nyeri sendi
pada lansia di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung,
Jakarta Timur tahun 2013.
i. Diketahuinya pengaruh lokasi nyeri sendi terhadap penurunan skala nyeri
sendi pada lansia di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan
Cakung, Jakarta Timur tahun 2013.
D. Manfaat Penelitian
Melihat dari penelitian yang akan dilakukan maka dikemukakan manfaat penelitian
ditinjau dari:
9
1. Pelayanan Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan dalam rangka
meningkatkan upaya-upaya penurunan nyeri sendi pada lansia khususnya di
wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur
tahun 2013 sehingga dapat menurunkan angka kesakitan pada lansia dan dapat
mengoptimalkan lansia yang sehat.
2. Perkembangan Ilmu Keperawatan
Hasil penelitian ini dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan kesehatan
masyarakat, khususnya di bidang keperawatan gerontik mengenai manfaat
penatalaksanaan nonfarmakologis nyeri berupa kompres hangat dan stretching
sebagai penurun skala nyeri sendi pada lansia tanpa mengkhawatirkan efek
samping yang bermakna terhadap faal tubuh lainnya.
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
A. Teori dan Konsep Terkait
1. Lansia
Menua (menjadi tua = aging) adalah suatu proses menghilangnya secara
perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti
dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat
bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang
diderita (Constantinides, 1994 dikutip oleh R. Boedhi Darmojo, 2000: 4).
Undang-Undang No. 13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia pada bab
1 pasal 1 ayat 2, yang dimaksud dengan lanjut usia adalah seseorang yang
mencapai usia 60 tahun ke atas (Lilik Ma’rifatul Azizah, 2011: 1).
Prof. DR. Koesoemanto Setyonegoro, Sp.Kj., menyatakan bahwa batas usia
dewasa sampai lanjut usia dikelompokan menjadi :
a. Usia dewasa muda (elderly adulthood) usia 18/20 – 25 tahun,
b. Usia dewasa penuh (middle years) atau maturitas usia 25 – 60/56 tahun,
c. Lanjut usia (geriatric age) usia >65/70 tahun, terbagi atas:
10
11
1) Young old (usia 70 – 75 tahun)
2) Old (usia 75 – 80 tahun)
3) Very old (usia >80 tahun)
(Kushariyadi, 2010: 2)
WHO (1999) menggolongkan lanjut usia berdasarkan usia kronologis/biologis
menjadi 4 kelompok yaitu usia pertengahan (middle age) antara usia 45 sampai
59 tahun, lanjut usia (elderly) berusia antara 60 dan 74 tahun, lanjut usia (old)
usia 75 – 90 tahun, dan usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun. Sedangkan
Nughroho (2000) menyimpulkan pembagian umur berdasarkan pendapat
beberapa ahli bahwa yang disebut lansia adalah orang yang telah berumur 65
tahun ke atas (Lilik Ma’rifatul Azizah, 2011: 2).
a. Teori Penuaan
Teori-teori yang menjelaskan bagaimana dan mengapa penuaan terjadi
biasanya dikelompokan ke dalam dua kelompok besar, yaitu teori biologis
dan psikologis. Penelitian yang telibat dengan jalur biologi telah
memusatkan perhatian pada indikator yang dapat dilihat dengan jelas pada
proses penuaan, banyak pada tingkat seluler, sedangkan ahli teori
psikososial mencoba untuk menjelaskan bagaimana proses tersebut
dipandang dalam kaitan dengan kepribadian dan perilaku (Mickey Stanley
dan Patricia Gauntlett Beare, 2006: 11).
12
1) Teori Biologis
Teori biologis mencoba untuk menjelaskan proses fisik penuaan,
termasuk perubahan fungsi dan struktur, perkembangan, panjang usia,
dan kematian. Perubahan-perubahan dalam tubuh, termasuk perubahan
molekuler dan seluler dalam sistem organ utama dan kemampuan
tubuh untuk berfungsi secara adekuat dan melawan penyakit. Teori
biologis juga mencoba untuk menjelaskan mengapa orang mengalami
penuaan dengan cara yang berbeda dari waktu ke waktu dan faktor apa
yang mempengaruhi faktor panjang, perlawanan terhadap organisme,
dan kematian atau perubahan seluler (Mickey Stanley dan Patricia
Gauntlett Beare, 2006: 11 – 12).
Teori biologis diidentifikasikan oleh para ahli dengan 5 karakteristik,
antara lain:
a) Teori Genetika
Menurut teori genetika, penuaan adalah suatu proses yang secara
tidak sadar diwariskan yang berjalan dari waktu ke waktu untuk
mengubah sel atau struktur jaringan (Mickey Stanley dan Patricia
Gauntlett Beare, 2006: 12).
b) Teori Wear and Tear (Dipakai dan Rusak)
Teori Wear and Tear (dipakai dan rusak) mengusulkan bahwa
akumulasi sampah metabolik atau zat nutrisi dapat merusak
sintesis DNA, sehingga mendorong malfungsi molekular dan
akhirnya malfungsi organ tubuh. Radikal bebas adalah contoh dari
produk sampah metabolisme yang menyebabkan kerusakan ketika
13
akumulasi terjadi. Karena laju metabolisme terkait secara
langsung pada pembentukan radikal bebas, sehingga ilmuan
memiliki hipotesis bahwa tingkat kecepatan produksi radikal
bebas berhubungan dengan penentuan waktu rentang hidup
(Mickey Stanley dan Patricia Gauntlett Beare, 2006: 12).
c) Teori Lingkungan
Menurut teori ini, faktor-faktor di dalam lingkungan (misalnya
karsinogen dari industri, cahaya matahari, taruma, dan infeksi)
dapat membawa perubahan dalam proses penuaan. Walaupun
faktor-faktor ini diketahui dapat mempercepat penuaan, dampak
lingkungan lebih merupakan dampak sekunder dan bukan
merupakan faktor utama dalam penuaan (Mickey Stanley dan
Patricia Gauntlett Beare, 2006: 13).
d) Teori Imunitas
Teori imunitas menggambarkan suatu kemunduran dalam sistem
imun yang berhubungan dengan penuaan. Seiring dengan
berkurangnya fungsi sistem imun, terjadilah peningkatan dalam
respons autoimun tubuh. Selain itu, tubuh kehilangan
kemampuannya untuk meningkatkan responnya terhadap sel
asing, terutama bila menghadapi infeksi (Mickey Stanley dan
Patricia Gauntlett Beare, 2006: 13).
e) Teori Neuroendokrin
Para ahli telah memikirkan bahwa penuaan terjadi oleh karena
adanya suatu perlambatan dalam sekresi hormon tertentu yang
14
mempunyai dampak pada reaksi yang diatur oleh sistem saraf. Hal
ini lebih jelas ditunjukan dalam kelenjar hipofisis, tiroid, adrenal,
dan reproduksi. Penelitian terbaru menyatakan bahwa walaupun
kepercayaan telah diberikan pada jam biologis yang dapat
diprediksi yang mengendalikan fertilitas. Tetapi terdapat hal yang
dapat dipelajari lebih jauh dari penelitian tentang sistem
neuroendokrin dalam hubungan dengan proses penuaan sistemik
yang dikendalikan oleh suatu “jam tubuh” (Mickey Stanley dan
Patricia Gauntlett Beare, 2006: 13 - 14).
2) Teori Psikososiologis
Teori psikososiologis memusatkan perhatian pada perubahan sikap dan
perilaku yang menyertai peningkatan usia, sebagai lawan dari
implikasi biologi pada kerusakan anatomis (Mickey Stanley dan
Patricia Gauntlett Beare, 2006: 14).
Teori psikologis diidentifikasikan oleh para ahli dengan 6
karakteristik, antara lain:
a) Teori Kepribadian
Teori kepribadian menyebutkan aspek-aspek pertumbuhan
psikologis tanpa menggambarkan harapan atau tugas spesifik
lansia. Jung mengembangkan suatu teori pengembangan
kepribadian orang dewasa yang memandang kepribadian sebagai
ekstrovert atau introvert (Mickey Stanley dan Patricia Gauntlett
Beare, 2006: 14).
15
b) Teori Tugas Perkembangan
Beberapa ahli teori terkenal sudah menguraikan proses maturasi
dalam kaitannya dengan tugas yang harus dikuasai pada berbagai
tahap sepanjang rentang hidup manusia. Tugas perkembangan
adalah aktivitas dan tantangan yang harus dipenuhi oleh seorang
pada tahap-tahap spesifik dalam hidupnya untuk mencapai
penemuan yang sukses (Mickey Stanley dan Patricia Gauntlett
Beare, 2006: 15).
c) Teori Pembebasan (Disengagement Theory)
Putusnya pergaulan atau hubungan dengan masyarakan dan
kemunduran individu dengan individu lainnya (Nugroho, 2000).
Teori ini menyatakan bahwa dengan bertambahnya usia, seseorang
secara pelan tetapi pasti mulai melepas diri dari kehidupan sosial
atau menarik diri dari pergaulan sekitarnya. Keadaan ini
mengakibatkan interaksi sosial lanjut usia menurun, baik secara
kualitas maupun kuantitas sehingga sering terjadi kehilangan
ganda atau triple loss, yakni:
(1) Kehilangan peran atau (loss of role).
(2) Hambatan kontak sosial (restriction of contacts and
relationship).
(3) Berkurangnya komitmen (reduced commitment of sosial
mores and values).
(Lilik Ma’rifatul Azizah, 2011: 11)
16
d) Teori Aktivitas
Lawan langsung dari teori disengagement adalah teori aktivitas
penuaan, yang berpendapat bahwa menuju penuaan yang sukses
adalah dengan cara aktif (Mickey Stanley dan Patricia Gauntlett
Beare, 2006: 15).
e) Teori Kontinuitas
Teori ini menekankan pada kemampuan koping individu
sebelumnya dan kepribadian sebagai dasar untuk memprediksi
bagaimana seseorang akan dapat menyesuaikan diri terhadap
perubahan akibat penuaan. Ciri kepribadian dasar dikatakan tetap
tidak berubah walaupun usianya telah lanjut. Selanjutnya, ciri
kepribadian secara khas menjadi lebih jelas pada saat orang
tersebut bertambah tua (Mickey Stanley dan Patricia Gauntlett
Beare, 2006: 15).
b. Perubahan Fisiologis Penuaan
Menurut Sri Surini Pudjiastuti (2003: 8 – 17) pada penuaan terjadi
perubahan fisiologis, antara lain:
1) Sistem muskuloskeletal
a) Jaringan penghubung (kolagen dan elastin)
Kolagen sebagai protein pendukung utama pada kulit, tendon,
tulang, kartilago, dan jaringan pengikat mengalami perubahan
menjadi bentangan cross linking yang tidak teratur. Bentangan
yang tidak teratur dan penurunan hubungan tarikan linear pada
17
jaringan kolagen merupakan salah satu alasan penurunan mobilitas
pada jaringan tubuh. Setelah kolagen mencapai puncak fungsi atau
daya mekaniknya karena penuaan, tensile strenght dan kekakuan
dari kolagen mulai menurun. Kolagen dan elastin yang merupakan
jaringan ikat pada jaringan penghubung mengalami perubahan
kualitatif dan kuantitatif sesuai penuaan (Sri Surini Pudjiastuti,
2003: 8 – 9).
Perubahan pada kolagen itu merupakan penyebab turunnya
fleksibilitas pada lansia sehingga menimbulkan dampak berupa
nyeri, penurunan kemampuan untuk meningkatkan kekuatan otot,
kesulitan bergerak dari duduk ke berdiri, jongkok, dan berjalan,
dan hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari (Sri Surini
Pudjiastuti, 2003: 9).
b) Kartilago
Jaringan kartilago pada persendian menjadi lunak dan mengalami
granulasi dan akhirnya permukaan sendi menjadi rata.
Selanjutnya, kemampuan kartilago untuk regenerasi berkurang
dan degenerasi yang terjadi cenderung ke arah progresif.
Proteoglikan yang merupakan komponen dasar matriks kartilago
berkurang atau hilang secara bertahap. Setelah matriks mengalami
deteriorasi, jaringan fibril pada kolagen kehilangan kekuatannya,
dan akhirnya kartilago cenderung mengalami fibrilasi. Kartilago
mengalami kalsifikasi di beberapa tempat, seperti pada tulang
rusuk dan tiroid. Fungsi kartilago menjadi tidak efektif, tidak
18
hanya sebagai peredam kejut, tetapi juga sebagai permukaan sendi
yang berpelumas. Konsekuensinya, kartilago pada persendian
menjadi rentan terhadap gesekan (Sri Surini Pudjiastuti, 2003: 9).
Perubahan tersebut sering terjadi pada sendi besar penumpu berat
badan. Akibat perubahan itu sendi mudah mengalami peradangan,
kekakuan, nyeri, keterbatasan gerak, dan terganggunya aktivitas
sehari-hari. Untuk mencegah kerusakan lebih lanjut, dapat
diberikan teknik perlindungan sendi (Sri Surini Pudjiastuti, 2003:
9).
c) Tulang
Berkurangnya kepadatan tulang, setelah diobservasi, adalah
bagian dari penuaan fisiologis. Trabekula longitudinal menjadi
tipis dan trabekula transversal terabsorbsi kembali. Sebagai akibat
dari perubahan itu, jumlah tulang spongiosa berkurang dan tulang
kompakta menjadi tipis. Perubahan terjadi adalah penurunan
estrogen sehingga produksi osteoklas tidak terkendali, penurunan
penyerapan kalsium di usus, peningkatan kanal Harvesi sehingga
tulang keropos. Berkurangnya jaringan dan ukuran tulang secara
keseluruhan menyebabkan kekuatan dan kekakuan tulang
menurun (Sri Surini Pudjiastuti, 2003: 9 – 10).
Dampak berkurangnya kepadatan akan mengakibatkan
osteoporosis. Osteoporosis lebih lanjut mengakibatkan nyeri,
deformitas, dan fraktur (Sri Surini Pudjiastuti, 2003: 10).
19
d) Otot
Perubahan struktur otot pada penuaan sangat bervariasi.
Penurunan jumlah dan ukuran serabut otot, peningkatan jaringan
penghubung, dan jaringan lemak pada otot mengakibatkan efek
negatif (Sri Surini Pudjiastuti, 2003: 10).
Secara morfologis, perubahan otot pada penuaan, antara lain:
(1) Penurunan jumlah serabut otot.
(2) Atrofi pada beberapa serabut otot dan fibril menjadi tidak
teratur, dan hipertrofi pada beberapa serabut otot yang lain.
(3) Berkurangnya 30% masa otot terutama otot tipe II (fast
twitch).
(4) Penumpukan liposfusin.
(5) Peningkatan jaringan lemak dan jaringan penghubung.
(6) Adanya ringbinden.
(7) Adanya badan sitoplasma.
(8) Degenerasi miofibril.
(9) Timbulnya berkas garis Z pada serabut otot.
(Sri Surini Pudjiastuti, 2003: 10)
Dampak perubahan morfologis otot adalah penurunan kekuatan,
penurunan fleksibilitas, peningkatan waktu reaksi, dan penurunan
kemampuan fungsional otot (Sri Surini Pudjiastuti, 2003: 10).
e) Sendi
Pada lansia, jaringan ikat sekitar sendi seperti tendon, ligamen,
dan fasia mengalami penurunan elastisitas. Ligamen, kartilago,
20
dan jaringan periartikular mengalami penurunan daya lentur dan
elastisitas. Terjadi degenerasi, erosi, dan kalsifikasi pada kartilago
dan kapsul sendi (Sri Surini Pudjiastuti, 2003: 10).
2) Sistem saraf
Lansia mengalami penurunan koordinasi dan kemampuan dalam
melakukan aktivitas sehari-hari. Penuaan menyebabkan penurunan
persepsi sensorik dan respons motorik dan susunan saraf pusat dan
penurunan reseptor proprioseptif. Perubahan tersebut mengakibatkan
penurunan fungsi kognitif, koordinasi, keseimbangan, kekuatan otot,
refleks, proprioseptis, perubahan postur, dan peningkatan waktu reaksi
(Sri Surini Pudjiastuti, 2003: 11).
3) Sistem kardiovaskular dan respirasi
a) Sistem kardiovaskular
Kemampuan arteri dalam menjalankan fungsinya berkurang
sampai 50%. Pembuluh darah kapiler mengalami penurunan
elastisitas dan permeabilitas. Terjadi perubahan fungsional berupa
kenaikan tahanan vaskular sehingga menyebabkan peningkatan
tekanan sistole dan penurunan perfusi jaringan. Penurunan
sensitifitas baroreseptor menyebabkan terjadinya hipotensi
postural. Curah jantung (cardiac output) menurun akibat
penurunan denyut jantung maksimal dan volume sekuncup.
Respon vasokontriksi untuk mencegah terjadinya penggumpalan
21
darah (pooling of blood) menurun sehingga respon terhadap
hipoksia menjadi lambat. Konsumsi oksigen pada tingkat
maksimal (VO2 maks.) berkurang sehingga kapasital vital paru
menurun (Sri Surini Pudjiastuti, 2003: 12).
b) Sistem respirasi
Pada penuaan terjadi perubahan jaringan ikat paru. Kalsifikasi
kartilago kosta mengakibatkan penurunan mobilitas tulang rusuk
sehingga ekspansi rongga dada dan kapasitas ventilasi paru
menurun (Sri Surini Pudjiastuti, 2003: 12).
4) Sistem indra
a) Sistem penglihatan
Sistem penglihatan erat kaitannya dengan presbiopi (old sight) (Sri
Surini Pudjiastuti, 2003: 14).
b) Gangguan pendengaran
Pada lansia umumnya disebabkan koagulasi cairan yang terjadi
selama otitis media atau tumor seperti kolesteatoma. Penyebab
gangguan pendengaran lainnya, seperti sindrom Meniérè dengan
gejala seperti vertigo, mual, muntah, telinga terasa penuh, tinnitus,
dan hilangan daya pendengaran dan aquostic neuroma. Hal yang
sering terjadi pada lansia adalah hilangnya high pitch terutama
konsonan. Apabila berbicara dengan lansia sebaiknya jelas, pelan,
selalu memelihara kontak mata, dan berhadapan sehingga lansia
22
dapat melihat gerak bibir sewaktu kita berbicara (Sri Surini
Pudjiastuti, 2003: 15).
5) Sistem integumen
Pada lansia, kulit mengalami atrofi, kendur, dan tidak elastis, kering,
dan berkerut. Kulit akan kekurangan cairan sehingga menjadi tipis dan
berbercak. Kekeringan kulit disebabkan atrofi glandula sebasea dan
glandula sudorifera. Menipisnya kulit ini tidak terjadi pada
epidermisnya, tetapi pada dermisnya karena terdapat perubahan dalam
jaringan kolagen serta jaringan elastisnya. Bagian kecil pada kulit
menjadi mudah retak dan menyebabkan cechymosen. Timbul pigmen
berwarna coklat pada kulit, dikenal dengan liver spot. Perubahan kulit
lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan, antara lain angin dan
sinar matahari, terutama sinar ultra violet (Sri Surini Pudjiastuti, 2003:
16).
2. Persendian
Persambungan tulang atau sendi (artikulasi) adalah pertemuan dua buah tulang
atau beberapa tulang kerangka. Artrologi adalah ilmu yang mempelajari tentang
persendian (Syaifuddin, 2006: 70).
Stabilitas sendi bergantung pada:
a. Permukaan sendi, bentuk tulang memegang peranan penting pada stabilitas
sendi.
23
b. Ligamentum, ligamentum fibrosa mencegah pergerakan sendi secara
berlebihan. Kalau regangan terus berlangsung lama, ligamentum fibrosa
akan teregang. Ligamentum elastis sebaliknya mengembalikan panjang asal
setelah teregang, misalnya tulang pergerakan memegang peranan aktif
dalam menyokong sendi dan membantu mengembalikan tulang pada posisi
asal setelah melakukan pergerakan.
c. Tonus otot, pada kebanyakan sendi tonus otot merupakan faktor utama
yang mengatur stabilitas.
(Syaifuddin, 2006: 70 – 71)
a. Jenis-jenis Sendi
Menurut Evelyn C. Pearce (2010: 104 – 107) terdapat tiga jenis sendi
utama, antara lain:
1) Sendi fibrus atau sinartroses adalah sendi yang tidak dapat bergerak
atau merekat ikat, maka tidak mungkin ada gerakan diantara tulang-
tulangnya, antara lain:
a) Sutura atau sela antara tulang pipih tengkorak.
b) Sendi kaitan dan sendi kantong – gigi di dalam kantongnya.
c) Sindesmoses, tempat permukaan persendian dihubungkan mebran,
seperti pada sendi tibio-fibuler inferior.
2) Sendi tulang rawan atau amfiartroses adalah sendi dengan gerakan
sedikit, dan permukaan persendiannya dipisahkan-bahan antara dan
hanya mungkin sedikit gerakan, misalnya:
24
a) Simfisis atau persendian yang dapat bergerak sedikit, sedangkan
ujung-ujung tulang dipisahkan sebuah bantalan tulang rawan
fibrotik, seperti Simfisis pubis, tempat sebuah bantalan tulang
rawan mempersatukan kedua tulang pubis dan sendi intervetebral
dengan cakram intervetebral tulang rawan fibro.
b) Sendi antara manubrium dan badan sternum.
c) Sendi temporer (sementara) atau sendi tulang rawan primer
dijumpai antara diafisis dan efisis tulang-tulang pipa sebelum
pertumbuhan penuhnya sempurna.
3) Sendi sinovial atau diartroses adalah persendian yang bergerak bebas
dan terdapat banyak ragamnya. Ciri-ciri sendi yang bergerak bebas:
a) Ujung tulang-tulang yang masuk dalam formasi persendian
ditutupi tulang rawan hialin.
b) Ligamen diperlukan untuk mengikat tulang-tulang bersama.
c) Sebuah rongga persendian: rongganya terbungkus sebuah kapsul
jaringan fibrus yang biasanya diperkuat ligamen. Terdapat enam
jenis sendi sinovial, sebagai berikut:
(1) Sendi datar atau sendi geser. Dua permukaan tulang saling
meluncur, misalnya sendi karpus dan tarsus.
(2) Sendi putar, tempat sebuah ujung bulat tepat masuk di dalam
sebuah rongga cawan tulang lain, yang mengizinkan gerakan
ke segala jurusan, seperti bola di dalam lubang berbentuk
cawan, misalnya sendi panggul dan sendi bahu.
25
(3) Sendi engsel, satu permukaan bundar diterima yang lain
sedemikian rupa sehingga hanya mungkin gerakan dalam satu
bidang, seperti gerakan engsel. Contoh yang baik adalah sendi
siku.
(4) Sendi kondiloid mirip sendi engsel, tetapi dapat bergerak
dalam dua bidang lateral, ke belakang dan ke depan, sehingga
fleksi dan ekstensi, abduksi dan aduksi (ke samping dan ke
tengah), dan sedikit sirkumduksi, seperti pada pergelangan
tangan tetapi bukan rotasi (perputaran).
(5) Sendi berporos atau sendi putar ialah yang hanya mungkin
perputaran, seperti pada gerakan kepala, tempat atlas yang
berbentuk cincin berputar sekitar prosesus yang berbentuk
paku dari aksis (servikal ke dua atau epistrofeus), contoh lain
ialah gerakan radius sekitar ulna waktu pronasi (putar ke
depan) dan supinasi (putar ke belakang) lengan bawah.
(6) Sendi pelana atau sendi yang timbal-balik menerima,
misalnya sendi amtara trapezium (multangulum mayus) dan
tulang metakarpal pertama ibu jari, memberi banyak
kebebasan bergerak, memungkinkan ibu jari berhadapan
dengan jari-jari lainnya.
b. Pergerakan Sendi
Gerak-gerik yang terjadi pada sendi-sendi kerangka dapat dibagi menjadi
tiga kelompok utama, yaitu:
26
1) Gerakan meluncur, tempat dua permukaan ceper bergerak saling
bergeseran, seperti dalam gerakan antara tulang-tulang karpal dan
tarsal.
2) Gerakan bersudut (anguler), yang diterangkan sesuai dengan arah
gerakan, misalnya fleksi, lenturan atau pelipatan; ekstensi (pelurusan
atau penguluran), yang terjadi sekitar sebuah sumbu yang terpasang
melintang. Dalam hal sendi mata kaki, istilah dorso-fleksi dan plantor-
fleksi digunakan. Aduksi adalah gerakan ke arah medial badan, dan
abduksi ke arah menjauh medial badan, ke duanya memutari sumbu
yang memanjang dalam arah anteroposterior (dari depan ke belakang).
3) Gerakan rotasi adalah satu tulang bergerak mengitari tulang lain atau
di dalam tulang lain, seperti pada sendi putar, misalnya rotasi radius
mengelilingi ulna. Hal itu juga terjadi pada bahu dan agak terbatas
pada sendi panggul.
(Evelyn C. Pearce, 2010: 107)
Sirkumduksi adalah istilah untuk melukiskan kombiasi rotasi dan gerakan
anguler (bersudut), berputar dalam lingkaran, misalnya membawa lengan
ke depan, ke atas, ke belakang, dan ke bawah; termasuk fleksi, abduksi,
ekstensi, aduksi, dan beberapa rotasi (Evelyn C. Pearce, 2010: 107).
Pembatasan gerakan sendi dalam banyak hal disebabkan bentuk permukaan
persendian, misalnya pelurusan siku dibatasi prosesus olekranon ulna yang
membentur pada humerus. Dalam hal lain gerakan dibatasi simpai-simpai
27
kuat ligamen, seperti ligamen ilio-femoral di depan sendi panggul yang
membatasi pelurusan paha. Fleksi siku dan tungkai di atas paha dibatasi
bagian lunak yang tersentuh (Evelyn C. Pearce, 2010: 107 – 108).
c. Persendian Menurut Tempat
Menurut Evelyn C. Pearce (2010: 108 – 118) persendian menurut
tempatnya terbagi atas:
1) Sendi anggota atas
a) Sendi sterno-klavikuler adalah sendi meluncur yang dibentuk
ujung besar di sebelah sternum klavikula dan yang bersendi
dengan faset untuk klavikula di atas sternum.
b) Sendi akromio-klavikuler dibentuk ujung luar klavikula yang
bersendi dengan prosesus akromion skapula.
Gerakan bahu. Gerakan sedikit meluncur dapat terjadi antara
klavikula dan skapula. Peran skapula terhadap dinding dada
sebegitu jauh hanya berarti sebagai penambah kebebasan gerak
humerus di dalam gelang bahu
c) Sendi bahu atau humero-skapuler adalah sendi sinovial variasi
sendi putar. Kepala humerus yang berbentuk sepertiga bola,
bersendi di dalam rongga glenoid skapula. Rongga diperdalam
karena terpasang lapisan tebal tulang rawan fibrus, yaitu labrum
glenoidal. Tulang-tulangnya dipersatukan ligamen yang
membentuk kapsul yang sangat longgar.
28
Tingkat dan pembatasan gerakan di sini sebagaian besar
tergantung otot-otot yang mengelilinginya dan tekanan atmosfer
yang menahan tulang-tulang dalam kedudukannya, sedangkan
kelonggaran ligamen berupa kapsul memberi kebebasan gerakan
kesemua jurusan, abduksi, adduksi, fleksi, ekstensi, rotasi medial
dan lateral, dan sirkumduksi.
d) Sendi siku adalah sendi engsel antara permukaan troklear di atas
ujung bawah humerus dan lekukan troklear ulna. Semua ini
merupakan bagian utama sendi, yaitu sendi humero-ulnaris.
Kepala radius bersendi dengan kapitulum humeri, membentuk
sendi humero-radialis dan empat permukaan persendian ini berada
di dalam kaspsul persendian. Dalam gerakan sendi itu radius
diangkat ke belakang dan ke depan bersama dengan ulna. Gerakan
yang terjadi pada siku adalah fleksi dan ekstensi. Sudut siku yang
dibuat bila siku lurus, lengan bawah, dan tangan dalam supinasi
adalah kira-kira 170 derajat dengan lengan atas. Hal ini
disebabkan letak oblik permukaan persendian antara humerus dan
ulna. Keuntungan sudut yang dibuat ini adalah barang-barang
dapat diangkat dan diulurkan dengan baik.
e) Sendi radio-ulnaris. Antara radius dan ulna terdapat dua buah
sendi yang dapat bergerak, yaitu sendi radio-ulnaris superior dan
inferior. Membran interosa (antar tulang) membentuk sendi ke
tiga, yaitu sendi radio-ulnaris tengah. Membran ini juga
29
memisahkan otot-otot yang ada di depan dari yang ada di belakang
lengan bawah.
Gerakan radius di atas ulna adalah bebas. Karena kepala radius
berotasi di dalam ligamen pembatas sendi radio-ulnaris superior,
ujung bawah radius berotasi di atas kepala ulna pada sendi radio-
ulnaris inferior dan tangan di bawah serta dalam gerakan pronasi
dan supinasi dengan lengan bawah.
Pronasi adalah rotasi radius di atas ulna sampai tapak tangan
menghadap ke belakang. Gerakan ini dilaksanakan otot-otot yang
disebut pronator dan terletak di depan lengan bawah antara radius
dan ulna.
Supinasi adalah gerakan sebaliknya. Kalau memulai dengan
lengan bawah dalam pronasi, rotasinya dari dalam ke arah luar
sampai radius dan ulna terletak paralel dan tangan terletak dengan
tapaknya ke depan. Supinasi dilaksanakan dua otot supinator yang
berada di sebelah belakang lengan bawah, antara radius dan ulna
dan juga otot bisep yang berkait ke dalam tuberoksitas radii.
Gerakan ini perlu kalau memutar masuk skrup memakai obeng,
atau memutar knop pintu.
f) Sendi pergelangan tangan atau sendi radio-karpal adalah sendi
kondiloid antara ujung bawah radius dan diskus persendian di
bawah kepal ulna, yang bersama-sama membentuk permukaan
konkaf (cekung) untuk menerima sisi atas skafoid (navikular
30
lunar, dan tulang-tulang trikuetrum). Gerakan fleksi, abduksi, dan
adduksi terjadi di atas sendi ini.
2) Sendi tangan dan jari
a) Sendi karpal. Permukaan persendian antara tulang-tulang karpal
adalah ceper dan halus. Permukaan ceper ini dengan mudah saling
bergeser dan membentuk persendian meluncur antara berbagai
tulang itu. Tulang karpal tersusun berdempet rapat, sehingga
hanya gerakan meluncur terbatas yang mungkin, tetapi dapat
melaksanakan jumlah gerakan yang cukup banyak jika semua
tulang bergerak bersama-sama.
b) Sendi karpo-metakarpal adalah sendi meluncur yang terbentuk
antara sisi distal baris bawah tulang-tulang karpal -- setiap tulang
dari lima tulang metakarpal. Sendi karpol-metakarpal ibu jari,
yaitu sendi pelana, terbentuk antara basis metakarpal pertama dan
trapezium (multangulum mayus). Sendi intermetakarpal dibentuk
antara basis tulang-tulang metakarpal; permukaan persendian
lateral membentuk sendi datar atau sendi meluncur antara tulang-
tulang ini.
c) Sendi metakarpo-falangeal adalah sendi jenis kondiloid. Kepala
lima tulang metakarpal ini diterima dalam permukaan persendian
pada basis falang proksimal. Gerak fleksi, ekstensi, abduksi, dan
aduksi berlangsung pada sendi-sendi ini.
d) Sendi interfalangeal adalah sendi engsel. Sendi ini terbentuk oleh
kepala falang proksimal yang diterima dalam permukaan
31
persendian di atas basis falang distal. Gerakannya adalah fleksi
dan ekstensi.
3) Sendi panggul
Sendi panggul adalah sendi sinovial varietas sendi putar. Kepala femur
diterima ke dalam asetabulum tulang koksa. Asetabulum diperdalam
kaitan labrum asetabular yang mengelilinginya. Ligamen ini
sebenarnya sebuah pinggiran tulang rawan fibrus yang memperdalam
dan menambah kemampuan menerima permukaan yang dibentuk
asetabulum guna menerima kepala femur.
Ligamen kapsuler sendi panggul adalah tebal dan kuat dan membatasi
gerak sendi ke semua jurusan. Ligamennya juga diperkuat secara
khusus oleh simpai-simpai dari serabut di dalam beberapa bagian.
Salah satu yang terpenting dari simpai-simpai ini terletak di depan
sendi ini yaitu ligamen iliofemoral. Ligamen ini membatasi ekstensi
pada sendi, maka dengan demikian membantu mempertahankan sikap
tegak tubuh kalau berdiri. Gerakan yang terjadi pada sendi panggul
adalah fleksi, ekstensi, abduksi, aduksi, serta rotasi medial dan lateral.
Kombinasi semua gerakan ini disebut sirkumduksi.
4) Sendi lutut
Sendi lutut adalah sendi engsel dengan perubahan dan yang dibentuk
kedua kondil femur yang bersendi dengan permukaan superior kondil-
kondil tibia. Patela terletak di atas permukaan pateler yang halus pada
femur dan di atas itu patela meluncur sewaktu sendi bergerak. Patela
32
berada di depan bagian-bagian persendian yang utama, tetapi tidak
masuk ke dalam formasi sendi lutut.
Struktur interartikuler. Beberapa struktur penting berada di dalam
sendi lutut. Tulang rawan semilunaris terletak di atas permukaan
persendian yang berupa dataran tinggi tibia guna memperdalamnya
untuk penerimaan kondiler femur. Ligamen bersilang berjalan dari
puncak kondil tibial ke arah permukaan dasar di atas takik
interkondiloid femur. Ligamen-ligamen ini bertujuan membatasi gerak
sendi lutut dan mengikat tulang-tulangnya bersama dengan lebih kuat.
Ligamen kapsuler sendi lutut sangat tebal dan diperkuat lagi oleh
ekspansi (perlebaran) otot-otot dan tendon-tendon yang mengelilingi
dan berjalan di atas sendi. Membran sinovial sendi lutut adalah
terbesar dalam tubuh. Selain melapisi struktur sendi, membran itu juga
membentang ke atas dan ke bawah sampai di bawah ligamen patela,
dan membentuk beberapa bursa (kantong) sekitar sendi. Tentang
gerakan, fleksi, ekstensi, dan rotasi medial yang ringan.
5) Sendi tibio-fibuler
Sendi-sendi ini dibentuk antara ujung atas dan ujung bawah kedua
tulang tungkai bawah. Batang tulang-tulang itu digabung oleh sebuah
ligamen interosa (antar tulang), yang membentuk sebuah sendi ketiga
antara tulang-tulang ini seperti pada lengan bawah.
6) Sendi pergelangan kaki
Sendi pergelangan kaki adalah sendi engsel yang dibentuk antara
ujung bawah tibia beserta maleolus medialisnya, dan maleolus lateralis
33
fibula, yang bersama-sama membentuk sebuah lubang untuk menerima
badan talus. Kapsul sendi diperkuat ligamen-ligamen penting yang
bersangkutan. Ligamen deltoid di siai medial berjalan dari maleolus
medial ke tulang-tulang tarsal yang mendampinginya dan sering
mengalami robek yang parah bila pergelangan kaki terkilir. Gerakan
sendi pergelangan kaki adalah fleksi dan ekstensi atau lebih biasa
disebut dorsi-fleksi dan plantar-fleksi.
7) Sendi telapak kaki
Sendi antara berbagai tulang tarsal adalah sendi luncur. Tulang-
tulangnya disatukan ligamen dorsal, plantar, dan interosa. Ligamen
interosa yang diletakkan di antara permukaan bawah talus dan
permukaan atas kalkaneus adalah tebal dan kuat, serta membuat gili-
gili dalam permukaan persendian tulang-tulang ini.
Gerakan sendi. Sedikit gerakan mengayun dapat dilakukan pada seni
talokalkaneus yang mirip aduksi dan abduksi. Sendi antara kepala talus
dan mavikular dan sendi antara kalkaneus dan kuboid disebut sendi
mediotarsal atau sendi subtaloid. Pada sendi-sendi inilah terjadi
gerakan inversi dan eversi.
Pada inversi tepi dalam, kaki diangkat ke atas dan telapaknya ditarik
ke dalam. Pada eversi tepi samping, kaki diangkat ke atas dan
telapaknya agak ditarik ke samping. Gerakan ini sedikit disertai aduksi
dan abduksi yang terjadi pada sendi talo-kalkaneus. Sendi pada tarso-
metatarsus, metatarso-falang, dan interfalang serupa dengan yang telah
diuraikan pada tangan.
34
3. Nyeri Sendi
International Association for Study of Pain (1979), mendefinisikan nyeri
sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional yang tidak
menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang bersifat aktual atau
potensial atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian dimana terjadi
kerusakan (Sigit Nian Prasetyo, 2010: 2).
Menurut Mc Caffery (1979), nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang
mempengaruhi seseorang, dan eksistensinya diketahui bila seseorang pernah
mengalaminya (Anas Tamsuri, 2006: 1).
Majalah kesehatan online (2011) menyatakan bahwa banyak sebab mengapa
persendian sakit. Nyeri sendi dapat merupakan gejala tunggal atau menjadi
bagian banyak gejala lain yang Anda alami. Manifestasi nyeri sendi dapat
bervariasi, seperti kelembutan atau tidak nyaman ketika disentuh,
pembengkakan, peradangan, kekakuan, atau pembatasan gerakan. Rasa sakit di
sendi tentu saja hanyalah gejala dari masalah yang sebenarnya.
Beberapa kelainan akibat perubahan sendi yang banyak terjadi pada lansia
antara lain osteoartritis, artritis reumatoid, gout, dan pseudogout. Kelainan
tersebut dapat menimbulkan gangguan berupa bengkak, nyeri, kekakuan sendi,
keterbatasan luas gerak sendi, gangguan jalan, dan aktivitas keseharian lainnya
(Sri Surini Pudjiastuti, 2003: 11).
35
a. Tipe dan Karakteristik Nyeri
Menurut Lukman dan Nurna Ningsih (2012: 16 – 19) nyeri terbagi menjadi
lima, yaitu nyeri berdasarkan durasi, nyeri berdasarkan intensitas, nyeri
berdasarkan transmisi, nyeri berdasarkan sumber atau asal nyeri, dan
penyebab nyeri.
1) Nyeri berdasarkan durasi
a) Nyeri akut
Menurut Anas Tamsuri (2006: 13) nyeri akut adalah nyeri yang
terjadi dalam waktu (durasi) dari satu detik sampai dengan kurang
dari 6 bulan.
Nyeri akut umumnya terjadi pada cedera, penyakit akut, atau pada
pembedahan dengan awitan yang cepat dan tingkat keparahan
yang bervariasi (sampai dengan berat). Nyeri akut dapat
dipandang sebagai nyeri yang terbatas dan bermanfaat untuk
mengindikasi adanya cedera atau penyakit pada tubuh. Nyeri jenis
ini biasanya hilang dengan sendirinya dengan atau tanpa tindakan
setelah kerusakan jaringan penyembuh (Anas Tamsuri, 2006: 13).
Nyeri akut terkadang disertai oleh aktivasi sistem saraf simpatis
yang akan memperlihatkan gejala-gejala seperti: peningkatan
tekanan darah, peningkatan respirasi, peningkatan denyut jantung,
diaphoresis, dan dilatasi pupil. Klien yang mengalami nyeri akut
akan memperlihatkan respon emosi dan perilaku seperti menangis,
mengerang, kesakitan, mengerutkan wajah, atau menyeringai.
Klien akan melaporkan secara verbal adanya ketidaknyamanan
36
berkaitan dengan nyeri yang dirasakan (Sigit Nian Prasetyo, 2010:
22).
Reccurent acute pain diidentifikasikan dengan nyeri yang
mempunyai periode yang berulang-ulang dan dirasakan sepanjang
hidup klien. Contoh dari nyeri Reccurent acute adalah migrain,
sickle cell pain, nyeri angina pectoris yang berhubungan dengan
hipoksia pada miokardium (Sigit Nian Prasetyo, 2010: 22).
b) Nyeri kronis
Nyeri kronis berlangsung lebih lama dari nyeri akut, intensitasnya
bervariasi (ringan sampai berat) dan biasanya berlangsung lebih
dari enam bulan (Sigit Nian Prasetyo, 2010: 22).
Nyeri kronis pada umumnya timbul tidak teratur, intermiten atau
bahkan persisten. Nyeri kronis dibedakan dalam dua kelompok
besar yaitu nyeri kronis maligna dan nyeri kronis nonmaligna.
Karakteristik nyeri kronis adalah penyembuhannya tidak dapat
diprediksi meskipun penyebabnya mudah ditentukan (namun,
pada beberapa kasus sulit ditemukan) (Anas Tamsuri, 2006: 15).
Tanda dan gejala yang tampak pada nyeri kronis sangat berbeda
dengan yang diperlihatkan oleh nyeri akut. Tanda-tanda vital
sering kali dalam batas normal dan tidak disertai dengan dilatasi
pupil. Tanda dan gejala lainnya yang tampak pada nyeri kronis
adalah keputusasaan klien terhadap penyakitnya, kelesuan,
penurunan libido dan berat badan, perilaku menarik diri, mudah
tersinggung, marah, klien sedikit bertanya tentang nyeri yang ia
37
alami pada petugas kesehatan, dan tidak tertarik pada aktivitas
fisik, dimana tanda dan gejala yang muncul hampir sama dengan
apa yang nampak pada klien yang mengalami depresi. Klien
mungkin akan melaporkan adanya kelemahan dan kelelahan.
Mengerang, menangis, dan menjerit kesakitan mungkin tidak
dijumpai seperti pada nyeri akut (Sigit Nian Prasetyo, 2010: 24).
2) Berdasarkan intensitas
Berdasarkan intensitas, nyeri digolongkan nyeri berat, nyeri sedang,
dan nyeri ringan. Untuk mengukur intensitas nyeri yang dirasakan
seseorang, dapat digunakan alat bantu yaitu dengan skala nyeri. Skala
nyeri yang umum digunakan adalah cara Mc. Gill dengan
menggunakan skala 0 – 5 (0 = tidak ada nyeri, 1 = nyeri ringan, 2 =
tidak menyenangkan, 3 = nyeri sedang, 4 = menakutkan, 5 = sangat
menakutkan). Skala ini disebut dengan “The Present Pain Intensity”
(Lukman dan Nurna Ningsih, 2012: 17).
Pengkajian yang lebih sederhana dan mudah dilakukan adalah
menggunakan skala 0 – 10, yaitu analog visual skala dengan cara
menyatakan sejauh mana nyeri yang dirasakan klien (Lukman dan
Nurna Ningsih, 2012: 17).
38
Tidak ada Nyeri ringan Nyeri sedang Nyeri berat Nyeri tidakNyeri terkontrol
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Skema 2.1 Rentang Skala Nyeri
Menurut Sri Surini Pudjiastuti (2003: 62 – 64) pemeriksaan nyeri
dilakukan dengan cara:
a) Verbal Analog Scale (VAS)
Pengukuran derajat nyeri dengan cara menunjuk satu titik pada
garis skala nyeri (0 – 10 cm). Satu ujung menunjukan tidak nyeri
dan ujung yang lain menunjukan nyeri hebat. Panjang garis mulai
dari titik tidak nyeri sampai titik yang ditunjuk menunjukan
besarnya nyeri. Besarannya dalam satuan milimeter, misalnya 10 –
20 – 30 mm (Sri Surini Pudjiastuti, 2003: 62 – 63).
Skema 2.2 Skala Nyeri
b) Verbal Descriptive Scale (VDS)
Cara pengukuran derajat nyeri dengan tujuh skala penilaian, yaitu
nilai:
39
1 = tidak nyeri
2 = nyeri sangat ringan
3 = nyeri ringan
4 = nyeri tidak begitu berat
5 = nyeri cukup berat
6 = nyeri berat
7 = nyeri hampir tak tertahan
(Sri Surini Pudjiastuti, 2003: 63)
c) Skala lima tingkat
Skala lima tingkat merupakan parameter pengukuran derajat nyeri
dengan memakai 5 skala, yaitu derajat:
0 = tidak nyeri; tidak ada rasa nyeri pada waktu istirahat dan
aktivitas.
1 = minimal; istirahat tidak ada nyeri, perasaan nyeri timbul
sewaktu bekerja lama, berat, dan pada penekanan kuat
terasa sakit.
2 = ringan; rasa sakit terus menerus atau kadang-kadang
timbul, tetapi masih dapat diabaikan/tidak mengganggu,
LGS normal, pada penekanan kuat terasa sakit, fleksi dan
ekstensi sakit.
3 = sedang; keluhan seperti pada derajat 2, ditambah keluhan
tersebut mengganggu aktivitas dan LGS terganggu.
4 = berat; nyeri menyulitkan lansia hampir tak tertahankan dan
gerakan fleksi/ekstensi hampir tidak ada/tidak mampu.
40
(Sri Surini Pudjiastuti, 2003: 63 – 64)
3) Berdasarkan transmisi
a) Nyeri sebar (radiasi)
Nyeri sebar (radiasi) adalah sensasi nyeri yang meluas dari daerah
asal ke jaringan sekitar. Nyeri jenis ini biasanya dirasakan oleh
klien seperti berjalan/bergerak dari daerah asal nyeri ke sekitar
atau ke sepanjang bagian tubuh tertentu. Nyeri dapat bersifat
intermiten atau konstan (Anas Tamsuri, 2006: 16).
b) Nyeri alih (reffered pain)
Nyeri alih (reffered pain) adalah nyeri yang ditimbulkan akibat
adanya nyeri viseral yang menjalar ke organ lain, sehingga
dirasakan nyeri pada beberapa tempat atau lokasi. Nyeri jenis ini
dapat timbul karena masuknya neuron sensori dari organ yang
mengalami nyeri ke dalam medula spinalis dan mengalami
sinapsis dengan serabut saraf yang berada pada bagian tubuh
lainnya. Nyeri yang timbul biasanya pada beberapa tempat yang
kadang jauh dari lokasi asal nyeri (Anas Tamsuri, 2006: 17 – 18).
4) Berdasarkan sumber atau asal nyeri
a) Nyeri superfisial
Nyeri superfisial biasanya timbul akibat stimulasi terhadap kulit
seperti pada laserasi, luka bakar, dan bagiannya. Nyeri jenis ini
41
memiliki durasi yang pendek, terlokalisir, dan memiliki sensasi
yang tajam (Anas Tamsuri, 2006: 15).
b) Nyeri somatik dalam (deep somatic pain)
Nyeri somatik dalam (deep somatic pain) adalah nyeri yang terjadi
pada otot dan tulang serta struktur penyokong lainnya, umumnya
nyeri bersifat tumpul dan distimulasi dengan adanya peregangan
dan iskemia (Anas Tamsuri, 2006: 15).
c) Nyeri viseral
Nyeri viseral adalah nyeri yang disebabkan oleh kerusakan organ
internal. Nyeri yang timbul bersifat difus dan durasinya cukup
lama. Sensasi yang timbul biasanya tumpul (Anas Tamsuri, 2006:
15 – 16).
5) Berdasarkan penyebab
Menurut penyebabnya, nyeri dibagi menjadi enam kriteria seperti
berikut ini:
a) Termik, disebabkan oleh perbedaan suhu yang ekstrem.
b) Kimia, disebabkan oleh bahan/zat kimia.
c) Mekanik, disebabkan oleh trauma fisik/mekanik.
d) Elektrik, disebabkan oleh aliran listrik.
e) Psikogenik, nyeri yang tanpa diketahui adanya kelainan fisik,
bersifat psikologis.
f) Neurologik, disebabkan oleh kerusakan jaringan saraf.
42
(Lukman dan Nurna Ningsih, 2012: 18)
b. Respon Tubuh Terhadap Nyeri
1) Respon fisik
Respon fisik timbul karena pada saat impuls nyeri ditransmisikan oleh
medula spinalis menuju batang otak dan talamus, sistem saraf otonom
terstimulasi, sehingga menimbulkan respons yang serupa dengan
respons tubuh terhadap stress (Anas Tamsuri, 2006: 19).
Pada nyeri skala ringan sampai moderat serta pada nyeri superfisial,
tubuh bereaksi membangkitkan “General Adaptation Syndrome”
(Reaksi Fight or Flight) dengan merangsang sistem saraf simpatis
sedangkan pada nyeri yang berat dan tidak dapat ditoleransi serta nyeri
yang berasal dari organ viseral akan mengakibatkan stimulasi terhadap
saraf parasimpatis (Anas Tamsuri, 2006: 19).
2) Respon psikologis
Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien terhadap
nyeri yang terjadi atau arti nyeri bagi klien. Klien yang mengartikan
nyeri sebagai sesuatu yang “negatif” cenderung memiliki suasana hati
sedih, berduka, ketidakberdayaan dan dapat berbalik menjadi rasa
marah dan frustasi. Sebaliknya pada klien yang memiliki persepsi
nyeri sebagai pengalaman yang “positif” akan menerima nyeri yang
dialaminya (Anas Tamsuri, 2006: 21).
43
3) Respon perilaku
Respon perilaku yang timbul pada klien yang mengalami nyeri dapat
bermacam-macam. Meinhart & Mc. Caffery (1983) menggambarkan
tiga fase perilaku terhadap nyeri yaitu antisipasi, sensasi, dan fase
pasca nyeri (Anas Tamsuri, 2006: 22).
Fase antisipasi merupakan fase yang paling penting karena pada fase
ini merupakan penentuan untuk fase berikutnya. Pada fase ini,
merupakan fase yang memungkinkan individu untuk memahami nyeri,
untuk belajar dan mendapatkan gambaran tentang nyeri itu sendiri.
Pada fase ini, klien dipersiapkan untuk belajar bagaimana
mengendalikan nyeri yang mungkin akan timbul, dan juga klien
diajarkan bagaimana tindakan klien jika terapi/tindakan yang
dilakukan kurang efektif. Pada fase antisipasi, klien juga belajar
mengendalikan emosi (kecemasan) sebelum nyeri itu sendiri muncul,
karena kecemasan dapat menyebabkan peningkatan sensasi nyeri yang
terjadi pada klien dan/atau tindakan ulang yang dilakukan oleh klien
untuk mengatasi nyeri menjadi kurang efektif (Anas Tamsuri, 2006:
22).
Pada saat terjadi nyeri, banyak perilaku yang dapat diungkapkan oleh
seorang klien yang mengalami nyeri seperti menangis, meringis,
meringkukan badan, menjerit, dan bahkan mungkin berlari-lari.
Perilaku klien dalam merespons nyeri ini dapat dipengaruhi oleh
kemampuan tubuh untuk menoleransi nyeri dan juga oleh berat-
ringannya sensasi nyeri itu sendiri. Kadang kala klien tidak mau
44
mengungkapkan pengalaman nyeri yang dirasakannya karena
menganggap dirinya adalah “orang yang cengeng” atau ia akan
berpandangan bahwa perawat akan menyebut klien sebagai “pasien
yang cerewet” (Anas Tamsuri, 2006: 22 – 23)
Pada fase pasca nyeri, klien mungkin mengalami trauma psikologis,
takut, depresi, serta dapat juga menjadi menggigil (Anas Tamsuri,
2006: 23).
c. Faktor yang Mempengaruhi Nyeri
Menurut McCaffery dan Pasero (1999) dikutip dari Sigit Nian Prasetyo
(2010: 33 – 37) menyatakan bahwa hanya klienlah yang paling mengerti
dan memahami tentang nyeri yang ia rasakan. Terdapat faktor-faktor yang
mempengaruhi persepsi dan reaksi terhadap nyeri, antara lain:
1) Usia
Usia merupakan variabel yang penting dalam mempengaruhi nyeri
pada individu. Pada pasien lansia seorang perawat harus melakukan
pengkajian lebih rinci ketika seorang lansia melaporkan adanya nyeri.
Seringkali lansia memiliki sumber nyeri lebih dari satu. Terkadang
penyakit yang berbeda-beda yang diderita lansia menimbulkan gejala
yang sama. Sebagian lansia terkadang pasrah terhadap apa yang
mereka rasakan, mereka menganggap bahwa hal tersebut merupakan
konsekuensi penuaan yang tidak bisa dihindari (Sigit Nian Prasetyo,
2010: 33 – 34).
45
2) Jenis kelamin
Secara umum pria dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam
berespon terhadap nyeri. Hanya beberapa budaya menganggap bahwa
seseorang anak laki-laki harus lebih berani dan tidak boleh menangis
dibandingkan anak perempuan dalam situasi yang sama ketika
merasakan nyeri. Penelitian terakhir memperlihatkan hormon seks
pada mamalia berpengaruh terhadap tingkat toleransi terhadap nyeri.
Hormon seks testosteron menaikkan ambang nyeri pada percobaan
binatang, sedangkan esterogen meningkatkan pengenalan/sensitifitas
terhadap nyeri. Pada manusia lebih kompleks, dipengaruhi oleh
personal, sosial, budaya, dan lain-lain (Sigit Nian Prasetyo, 2010: 34).
3) Kebudayaan
Setiap individu memiliki cara berespon terhadap nyeri yang berbeda.
Seorang klien berkebangsaan Mexico-Amerika yang menangis keras
tidak selalu mempersepsikan pengalaman nyeri sebagai sesuatu yang
berat atau mengaharapkan perawat melakukan intervensi (Sigit Nian
Prasetyo, 2010: 35).
4) Makna nyeri
Makna nyeri pada seseorang mempengaruhi pengalaman nyeri dan
cara seseorang beradaptasi terhadap nyeri. Seorang wanita yang
merasakan nyeri saat bersalin akan mempersepsikan nyeri secara
46
berbeda dengan wanita lainnya yang nyeri karena dipukul suaminya
(Sigit Nian Prasetyo, 2010: 35).
5) Lokasi dan tingkat keparahan nyeri
Nyeri yang dirasakan bervariasi dalam intensitas dan tingkat keparahan
pada masing-masing individu. Nyeri yang dirasakan mungkin terasa
ringan, sedang atau bisa jadi merupakan nyeri yang berat. Dalam
kaitannya dengan kualitas nyeri, masing-masing individu juga
bervariasi, ada yang melaporkan nyeri seperti tertusuk, nyeri tumpul,
berdenyut, terbakar, dan lain-lain (Sigit Nian Prasetyo, 2010: 35).
6) Perhatian
Tingkat perhatian seseorang terhadap nyeri akan mempengaruhi
persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat terhadap nyeri akan
meningkatkan respon nyeri sedangkan upaya pengalihan (distraksi)
dihubungkan dengan penurunan respon nyeri (Sigit Nian Prasetyo,
2010: 36).
7) Ansietas (kecemasan)
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat kompleks, ansietas yang
dirasakan seseorang seringkali meningkatkan persepsi nyeri, akan
tetapi nyeri juga dapat menimbulkan perasaan ansietas (Sigit Nian
Prasetyo, 2010: 36).
47
8) Keletihan
Keletihan/kelelahan yang dirasakan seseorang akan meningkatkan
sensasi nyeri dan menurunkan kemampuan koping individu (Sigit Nian
Prasetyo, 2010: 36).
9) Pengalaman sebelumnya
Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri, akan tetapi pengalaman
yang telah dirasakan individu tersebut tidak berarti bahwa individu
tersebut akan mudah dalam menghadapi nyeri pada masa mendatang.
Seseorang yang terbiasa merasakan nyeri akan lebih siap dan mudah
mengantisipasi nyeri daripada individu yang mempunyai pengalaman
sedikit tentang nyeri (Sigit Nian Prasetyo, 2010: 36).
10) Dukungan keluarga dan sosial
Individu yang mengalami nyeri seringkali mebutuhkan dukungan,
bantuan, perlindungan dari anggota keluarga lain, atau teman terdekat.
Walaupun nyeri masih dirasakan klien, kehadiran orang terdekat akan
meminimalkan kesepian dan ketakutan (Sigit Nian Prasetyo, 2010: 37).
d. Pengkajian Nyeri
Pengkajian nyeri menurut Lukman dan Nurna Ningsih (2012: 19), antara
lain:
P : Titik nyeri berasal
Pada bagian mana nyeri mulai terasa?
48
Kapan rasa nyeri mulai terasa?
Apa yang Anda kerjakan pada saat nyeri mulai terasa?
Apakah rasa nyeri menyebar?
A : Faktor-faktor yang mempengaruhi
Apakah yang dapat membuat rasa nyeri semakin berkurang?
Apakah yang membuat nyeri semakin terasa nyeri?
Apakah nyeri yang serupa pernah terjadi sebelumnya? Bila ya, apa
yang terjadi?
Apakah Anda meminum obat-obatan penghilang rasa nyeri?
Apakah Anda merasa cemas saat merasa nyeri?
I : Intensitas
Bagaimana dengan skala nyeri yang Anda rasakan?
N : Sifat dari rasa nyeri
Gambaran rasa nyeri: tidak nyaman, distres, rasa terbakar, tegang,
patah, dan kram.
e. Penatalaksanaan Nyeri pada Lansia
Mc. Caffery dalam Anas Tamsuri (2006: 43), berbagai tindakan dapat
dilakukan oleh perawat untuk mengatasi nyeri. Namun, ada beberapa
prinsip yang harus diperhatikan perawat ketika memberi intervensi
keperawatan untuk mengatasi nyeri, yaitu:
1) Membentuk hubungan saling percaya.
2) Menggunakan berbagai cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi
nyeri.
49
3) Melakukan tindakan untuk mengatasi nyeri sebelum nyeri menjadi
lebih parah.
4) Mempertimbangkan kemampuan klien untuk berpartisipasi dalam
upaya mengatasi nyeri.
5) Menentukan jenis teknik untuk mengatasi nyeri berdasarkan perilaku
yang ditunjukan oleh klien.
6) Melakukan teknik-teknik yang oleh klien dianggap efektif.
7) Mendorong klien untuk mencoba melakukan kembali teknik mengatasi
nyeri, jika terapi yang dilakukan sebelumnya tidak efektif.
8) Membuka wawasan dan pengetahuan terhadap cara-cara yang dapat
dilakukan untuk mengatasi nyeri klien.
9) Melindungi klien.
10) Beri penjelasan kepada klien tentang nyeri yang timbul/dirasakan
klien.
Tindakan untuk mengatasi nyeri dapat dibedakan menjadi dua kelompok
utama, yaitu tindakan pengobatan (farmakologis) dan tindakan
nonfarmakologis (tanpa pengobatan). Menurut stimulasi yang dibedakan,
nyeri dapat di kelompokan dalam stimulasi tingkat tinggi (pada otak) dan
stimulasi tingkat rendah (pada spinotalamikus). Stimulasi pada otak adalah
tindakan yang memungkinkan otak bekerja untuk mengurasi nyeri;
sedangkan stimulasi tingkat spinotalamikus adalah pemberian sejumlah
rangsangan pada tubuh untuk memengaruhi sensasi nyeri sebelum sampai
50
di otak. Tindakan rangsangan pada tingkat spinotalamikus sesuai dengan
teori gerbang kendali nyeri (Anas Tamsuri, 2006: 44).
a. Penatalaksanaan farmakologis
Tiga jenis pengobatan yang biasa digunakan untuk mengendalikan
nyeri: analgesik non opioid, opioid, dan adjuvan. Adjuvan bukan
merupakan analgesik yang sebenarnya, tetapi zat tersebut dapat
membantu jenis-jenis nyeri tertentu, terutama nyeri kronis (Mickey
Stanley dan Patricia Gauntlett Beare, 2006: 293).
a) Non opioid
Asetaminofen (Tylenol) dan aspirin adalah dua jenis analgesik non
opioid (non narkotik) yang paling sering digunakan. Obat-obat ini
bekerja terutama pada tingkat perifer untuk mengurangi nyeri.
Efek analgesik dari obat-obat tersebut sama tetapi efek anti-
inflamasinya bervariasi. Asetaminofen biasanya tidak dapat
membantu menangani nyeri inflamasi seperti artritis reumatoid
atau osteoartritis karena asetaminofen hanya memiliki sedikit efek
anti inflamasi. Asetaminofen memiliki efek samping utama yaitu
hepatotoksik (Mickey Stanley dan Patricia Gauntlett Beare, 2006:
293 - 294).
Aspirin adalah salah satu obat anti inflamasi non steroid atau Non-
Steroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAID)). Non-Steroidal
Anti-Inflammatory Drugs (NSAID) berkerja dengan menghambat
sintesis prostaglandin. Obat-obat Non-Steroidal Anti-Inflammatory
Drugs (NSAID) sangat efektif dalam menurunkan nyeri dan
51
inflamasi pada banyak kondisi umum yang terjadi pada lansia:
artritis reumatoid, osteoartritis, nyeri punggung dan leher, nyeri
pasca operasi, sakit gigi, dan nyeri yang bermetastasis pada tulang.
Efek samping Non-Steroidal Anti-Inflammatory Drugs (NSAID)
yang paling sering adalah gangguan pada gastrointestinal.
Kemungkinan efek samping yang lain termasuk perdarahan
gastrointestinal, retensi cairan, dan komplikasi ginjal (Mickey
Stanley dan Patricia Gauntlett Beare, 2006: 294).
Banyak jenis dan kelas Non-Steroidal Anti-Inflammatory Drugs
(NSAID) yang tersedia (merujuk America Pain Society). Beberapa
NSAID dianjurkan untuk lansia karena obat-obat tersebut kurang
menyebabkan iritasi gastrointestinal: salsalat (Disalcid), kolin
magnesium trisalisilat (Trilisate), diflunisal (Dolobid), dan
nabumeton (Relafen) (Mickey Stanley dan Patricia Gauntlett
Beare, 2006: 294).
Piroksikam (Feldene) adalah NSAID dengan waktu paruh panjang
yang dapat menimbulkan akumulasi masalah, terutama pada orang
yang mengalami disfungsi hepar atau ginjal. Indometasin
(Indocin) adalah NSAID lain yang tampaknya memiliki
peningkatan efek pada ginjal. Ke dua NSAID ini tidak dianjurkan
pada lansia (Mickey Stanley dan Patricia Gauntlett Beare, 2006:
294).
52
b) Opioid
Analgesik opioid (narkotik) bekerja dengan cara melekatkan diri
pada reseptor-reseptor nyeri spesifik di dalam SSP. Opiod
direkomendasikan untuk nyeri sedang sampai berat. Terdapat dua
jenis opioid analgesik agonis murni (jenis morfin) dan campuran
agonis-antagonis pentazocin (Talwin), nalbufin (Nubain), dan
butorfanol (Stadol) (Mickey Stanley dan Patricia Gauntlett Beare,
2006: 295).
Campuran agonis-antagonis (Talwin, Nubain, Stadol) harus
dihindari bagi lansia karena akan memicu putus obat bagi
pengguna agonis murni, memiliki insidensi yang sangat tinggi
untuk terjadinya efek samping psikotomimetik (konfusi, kejang,
atau agitasi), dan satu-satunya agonis-antagonis yang tersedia
secara oral adalah pentazocin (Talwin) yang memiliki insidensi
efek psikotomimetik paling tinggi (Mickey Stanley dan Patricia
Gauntlett Beare, 2006: 295).
Morfin, oksikodon (Oxycotin), dan hidromorfon (Dilaudid)
dianjurkan diberikan secara oral untuk lansia yang sedang dalam
keadaan nyeri berat. Fentanil (koyo Duragesic) sangat berguna
untuk pasien rawat inap yang memiliki penyakit berat atau kronis
yang tidak dapat menelan. Kodein dan oksikodon (Percodan,
Tylox) dianjurkan untuk nyeri ringan sampai sedang (Mickey
Stanley dan Patricia Gauntlett Beare, 2006: 295).
53
Dolofin (Methadone) dan levorfanol (Levodromoran) harus
dihindari untuk lansia karena obat-obat ini memiliki waktu paruh
yang panjang dan dapat berakumulasi dan menyebabkan sedasi
berlebihan dan masalah-masalah SSP yang lain. Meperidin
(Demerol) juga harus dihindari bagi lansia karena metabolit
aktifnya (normeperidin) dapat terakumulasi dengan pengulangan
dosis, yang menyebabkan toksisitas pada SSP (misalnya kedutan,
mati rasa, konfusi, halusinasi, dan kejang). Akumulasi ini lebih
cenderung terjadi pada lansia karena penurunan eliminasi obat-
obatan di dalam ginjal (Mickey Stanley dan Patricia Gauntlett
Beare, 2006: 295).
c) Adjuvan
Adjuvan adalah obat yang bukan merupakan analgesik tetapi
masih memiliki peran penting dalam mengurangi nyeri. Obat-obat
ini dianjurkan terutama untuk nyeri kronis. Antidepresan trisiklik
efektif untuk nyeri neuropati, yang disebabkan oleh kerusakan
saraf pada SSP, seperti nyeri fantom pada tungkai, neuropati
diabetik, neuralgia trigeminal, kausalgia, dan nyeri pascastroke.
Tipe nyeri neuropati yang lain yang sering terjadi pada lansia
adalah neuralgia pascaherpetik atau herpes zoster. Obat
antikovulsan karbamazepin (Tegretol) telah diketahui efektif
dalam menangani nyeri neuropati (Mickey Stanley dan Patricia
Gauntlett Beare, 2006: 298).
54
Antidepresan trisiklik harus diberikan sekali sehari pada jam-jam
tidur karena sedasi adalah efek samping yang sering terjadi. Efek
samping lain dari antikolinergik yang dapat terjadi adalah
pandangan kabur, mulut kering, retensi urine, dan hipotensi.
Nortriptilin (Pamelor) menyebabkan sedikit sedasi dan doksepin
(Sinequan) memiliki lebih sedikit efek antikolinergis daripada
trisiklik, sehingga ke dua obat antidepresan ini direkomendasikan
untuk lansia. Gunakan Endep dan Elavil secara hati-hati, karena
lebih banyak efek antikolinergik yang terlihat (Mickey Stanley
dan Patricia Gauntlett Beare, 2006: 298 – 299).
b. Penatalaksanaan non farmakologis
Penatalaksanaan Non Farmakologis menurut Anas Tamsuri (2006: 50
– 66) meliputi:
a) Stimulasi fisik
Penanganan nyeri dengan tindakan fisik dilakukan dengan tujuan
meningkatkan kenyamanan, memperbaiki adanya disfungsi fisik,
mengubah respon fisiologik, dan menurunkan kecemasan yang
berhubungan dengan imobilitas karena nyeri atau adanya
pembatasan aktivitas (Anas Tamsuri, 2006: 51).
Stimulasi fisik menurut Anas Tamsuri (2006: 51 – 60) meliputi:
(1) Stimulasi kulit
Stimulasi kulit dapat memberikan efek penurunkan nyeri yang
efektif. Tindakan ini mengalihkan perhatian klien sehingga
55
klien berfokus pada stimulus taktil dan mengabaikan sensasi
nyeri, yang pada akhirnya dapat menurunkan persepsi nyeri
(Anas Tamsuri, 2006: 51).
Teknik stimulasi kulit meliputi:
(a) Masase
Masase kulit memberikan efek penurunan kecemasan dan
ketegangan otot, sehingga mampu memblok atau
menurunkan impuls nyeri. Masase kulit dapat dilakukan
dengan menggunakan ointment (balsem gosok) atau
liniment (obat cair gosok) yang mengandung mentol
untuk membantu mencapai pengurangan nyeri (Anas
Tamsuri, 2006: 52).
(b) Kompres panas atau kompres dingin
Kompres panas atau kompres dingin, selain menurunkan
sensasi nyeri juga dapat meningkatkan proses
penyembuhan jaringan yang mengalami kerusakan (Anas
Tamsuri, 2006: 54).
(c) Akupuntur
Acupressure dikembangkan dari ilmu pengobatan kuno
Cina dengan menggunakan sistem akupunktur. Terapis
memberikan tekanan jari-jari pada berbagai titik organ
tubuh seperti pada akupunktur (Anas Tamsuri, 2006: 51).
Akupunktur adalah terapi pelengkap menggunakan jarum
kecil untuk memulihkan kembali aliran energi (chi)
56
dalam tubuh. Akupunktur dapat meredakan keluhan otot,
termasuk linu pinggul dan fibromialgia (Kim Daves,
2007: 200).
(d) Stimulasi kontralateral
Stimulasi kontralateral adalah memberi stimulasi pada
daerah kulit di sisi yang berlawanan dari daerah
terjadinya nyeri. Stimulasi kontralateral dapat berupa
garukan pada daerah yang berlawanan jika terjadi gatal,
menggosok (masase) jika kram (kejang), atau pemberian
kompres dingin atau panas serta pemberian balsem atau
obat cair gosok. Metode ini mungkin berguna jika daerah
yang mengalami nyeri tidak dapat disentuh karena
hipersensitif, tertutup perban atau gips atau ketika terjadi
nyeri bayang atau fantom (phantom pain) (Anas Tamsuri,
2006: 56 – 57).
(2) TENS (Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation)
Simulasi saraf elektris transkutan menggunakan satu unit
peralatan yang dijalankan dengan elektroda yang dipasang
pada kulit untuk menghasilkan sensasi kesemutan, getaran,
atau mendengung pada area kulit tertentu (Anas Tamsuri,
2006: 57).
(3) Plasebo
Plasebo merupakan zat tanpa kegiatan farmakologik dalam
bentuk yang dikenal oleh klien sebagai “obat” seperti kaplet,
57
kapsul, cairan injeksi, dan sebaginya. Plasebo umumnya
terdiri atas gula, larutan salin normal, dan atau air biasa.
Plasebo tidak memiliki efek farmakologik, “obat” ini hanya
memberikan efek karena dikeluarkannya produk alamiah
(endogen) endorfin dalam sistem kontrol desenden; sehingga
menimbulkan efek penurunan nyeri. Harapan klien yang
positif terhadap pengobatan dapat meningkatkan keefektifan
medikasi atau intervensi lainnya. Semakin sering klien
mendapatkan informasi tentang keefektifan suatu terapi,
makin efektif intervensi tersebut nantinya. Hubungan perawat
– klien yang positif juga dapat memberi peran yang amat
penting dalam meningkatkan efek plasebo (Anas Tamsuri,
2006: 59 – 60).
b) Perilaku Kognitif
Perilaku kognitif menurut Anas Tamsuri (2006: 61 – 66) meliputi:
(1) Distraksi
Distraksi adalah pengalihan dari fokus perhatian terhadap
nyeri ke stimulus yang lain. Teknik distraksi dapat mengatasi
nyeri berdasarkan teori bahwa aktivasi retikuler menghambat
stimulus nyeri, jika seseorang menerima input sensori yang
berlebihan dapat menyebabkan terhambatnya impuls nyeri ke
otak (nyeri berkurang atau tidak dirasakan oleh klien).
Stimulus yang menyenangkan dari luar juga dapat
merangsang sekresi endorfin, sehingga stimulus nyeri yang
58
dirasakan oleh klien menjadi berkurang (Anas Tamsuri, 2006:
61).
Macam-macam distraksi antara lain:
(a) Distraksi visual
Distraksi visual, antara lain melihat pertandingan,
menonton televisi, membaca koran, melihat
pemandangan dan gambar (Anas Tamsuri, 2006: 61).
(b) Distraksi pendengaran
Distraksi pendengaran, antara lain mendengarkan musik
yang disukai, atau suara burung serta gemercik air.
Individu dianjurkan untuk memilih musik yang tenang
dan disukai, dan diminta untuk berkonsentrasi pada lirik
dan irama lagu. Klien juga diperbolehkan untuk
menggerakkan tubuh mengikuti irama lagu seperti
bergoyang, mengetukan jari atau kaki (Anas Tamsuri,
2006: 62 – 63).
(c) Distraksi pernafasan
Anjurkan klien untuk memAndang fokus pada satu objek
atau memejamkan mata dan melakukan inhalasi perlahan
melalui hidung dengan hitungan dari satu sampai empat
dan kemudian menghembuskan nafas melalui mulut
secara perlahan sambil menghitung satu sampai empat
(dalam hati). Anjurkan klien untuk berkonsentrasi pada
sensasi pernafasan dan terhadap gambar yang memberi
59
ketenangan. Lanjutkan teknik ini hingga terbentuk pola
pernafasan yang ritmik (Anas Tamsuri, 2006: 62).
(d) Distraksi intelektual
Distraksi intelektual, antara lain dengan mengisi teka-teki
silang, bermain kartu, melakukan kegemaran (di tempat
tidur) seperti mengumpulkan perangko dan menulis cerita
(Anas Tamsuri, 2006: 62).
(e) Distraksi taktil
Distraksi taktil merupakan latihan fisik, seperti senam
dan peregangan (Anas Tamsuri, 2006: 69).
(f) Teknik pernafasan
Teknik pernafasan seperti bermain, menyanyi,
menggambar, atau sembahyang (Anas Tamsuri, 2006:
62).
(g) Imajinasi terbimbing
Imajinasi terbimbing adalah kegiatan klien membuat
suatu bayangan yang menyenangkan, dan
mengkonsentrasikan diri pada bayangan tersebut serta
berangsur-angsur membebaskan diri dari perhatian
terhadap nyeri (Anas Tamsuri, 2006: 63).
(2) Relaksasi
Tindakan relaksasi dapat dipandang sebagai upaya
pembebasan mental dan fisik dari tekanan dan stres. Relaksasi
otot rangka dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan
60
merelaksasikan ketegangan otot yang mendukung rasa nyeri
(Anas Tamsuri, 2006: 63 – 64).
(3) Umpan balik tubuh (biofeedback)
Umpan balik tubuh (biofeedback) adalah teknik mengatasi
nyeri dengan memberikan informasi kepada klien tentang
repons fisiologis tubuh terhadap nyeri yang dialami klien
(misalnya tekanan darah atau ketegangan otot serta EEG) dan
cara untuk mengendalikan secara involunter respons tersebut.
Dengan memberi informasi yang akurat tentang tekanan
darah, ketegangan otot, atau melihat monitor poligraf, klien
akan berusaha untuk mencapai relaksasi yang optimal,
sehingga nyeri yang dirasakan klien berkurang (Anas
Tamsuri, 2006: 65).
(4) Hipnosis
Teknik hipnosis termasuk dalam psikoterapi. Psikoterapi
dapat menurunkan nyeri klien, terutama pada klien yang
sangat sulit untuk mengontrol nyeri, klien yang mengalami
depresi, atau pada klien yang pernah mempunyai riwayat
psikiatri. Salah satu model pendekatan psikiatrik adalah
dengan membangun kerangka pikiran yang positif pada klien,
sebuah pendekatan yang mengajarkan klien untuk
membingkai kembali masalah yang dihadapi dengan
meningkatkan kesadaran sehingga dapat berespon terhadap
masalah tersebut (Sigit Nian Prasetyo, 2010: 73).
61
(5) Sentuhan terapeutik
Teknik yang digunakan adalah perawat melakukan meditasi
dalam waktu singkat sebelum kontak dengan klien. Pada
periode ini, perawat menyembunyikan tingkat energi internal,
kemudian meraba klien dan mentransmisikan energi
penyembuhan (Anas Tamsuri, 2006: 65).
Teknik ini dilakukan pada saat klien tidak merasa atau sedikit
merasa nyeri. Penjelasan yang diberikan dapat membantu
klien mengendalikan kecemasan dan meningkatkan toleransi
terhadap nyeri (Anas Tamsuri, 2006: 66).
4. Kompres Hangat
Kompres hangat adalah memberikan rasa hangat pada klien dengan
menggunakan cairan atau alat yang menimbulkan rasa hangat pada bagian
tubuh tertentu yang memerlukannya (Mery Fanada dan Widyaiswara Muda,
2012).
a. Manfaat Kompres Hangat
Penggunaan panas, selain memberi efek mengatasi atau menghilangkan
sensasi nyeri, teknik ini juga memberikan reaksi fisiologis antara lain:
1) Meningkatkan respons inflamasi.
2) Meningkatkan aliran darah dalam jaringan.
3) Meningkatkan pembentukan edema.
(Anas Tamsuri, 2006: 54)
62
Menurut Audrey Berman (2009: 402) Efek fisiologis kompres panas,
antara lain:
1) Vasodilatasi.
2) Meningkatkan permeabilitas kapiler.
3) Meningkatkan metabolisme selular.
4) Melaksasi otot.
5) Meningkatkan inflamasi; meningkatkan aliran darah ke suatu area.
6) Meredakan nyeri dengan merelaksasi otot.
7) Efek sedatif.
8) Mengurangi kekakuan sendi dengan menurunkan viskositas cairan
sinovial.
b. Variabel yang Mempengaruhi Toleransi Fisiologi Terhadap Panas
Variabel yang mempengaruhi toleransi fisiologi terhadap panas menurut
Audrey Berman (2009: 404), antara lain:
1) Bagian tubuh. Bagian punggung tangan dan kaki adalah bagian yang
tidak terlalu sensitif terhadap suhu. Sebaliknya, bagian dalam dari
pergelangan tangan dan lengan bawah, leher, dan area perineum adalah
bagian yang sensitif terhadap suhu.
2) Ukuran bagian tubuh yang terpajan. Semakin besar area yang terpajan
oleh panas, seakin rendah toleransinya.
3) Toleransi perseorangan. Individu yang sangat muda dan sangat tua
umumnya memiliki toleransi yang paling rendah. Individu yang
63
memiliki kerusakan neurosensori mungkin memiliki toleransi yang
tinggi, tetap resiko cederanya juga lebih besar.
Suhu yang direkomendasikan untuk kompres panas menurut Audrey
Berman (2009: 403), yaitu:
a) Hangat kuku (27 – 370C) : mandi spons-alkohol.
b) Hangat (37 – 400C) : mandi dengan air hangat, bantalan
akuatermia.
c) Panas (40 – 460C) : berendam dalam air panas, irigasi,
kompres panas.
d) Sangat panas (> 460C) : kantong air panas untuk orang dewasa.
4) Lama pajanan. Individu paling merasakan kompres panas saat awal
kompres diberikan. Setelah jangka waktu tertentu, toleransi akan
meningkat.
Panas menyebabkan vasodilatasi maksimum dalam 20 – 30 menit;
melanjutkan kompres melebihi 30 – 34 menit akan mengakibatkan
kongesti jaringan, dan pembuluh darah kemudian berkontriksi (Audrey
Berman, 2009: 403).
5) Keutuhan kulit. Area kulit yang cedera lebih sensitif terhadap variasi
suhu.
c. Indikasi dan Kontraindikasi Penggunaan Kompres Hangat
Menurut Audrey Berman (2009: 403) Indikasi pilihan kompres panas
(indikasi terhadap efek panas), antara lain:
64
(1) Spasme otot : merelaksasikan otot dan meningkatkan
kontraktilitasnya.
(2) Inflamasi : meningkatkan aliran darah, melunakkan eksudat.
(3) Nyeri : meredakan nyeri, kemungkinan dengan meningkatkan
relaksasi otot, meningkatkan sirkulasi, meningkatkan
relaksasi psikologis, dan merasa nyaman; bekerja
sebagai conterirritant.
(4) Kontraktur : mengurangi kontraktur dan meningkatkan rentang
pergerakan sendi dengan lebih memungkinkan
terjadinya distensi otot dan jaringan penyambung.
(5) Kaku sendi : mengurangi kaku sendi dengan menurunkan viskositas
cairan sinovial dan meningkatkan distensibilitas
jaringan.
Kondisi yang merupakan kontraindikasi pemberian kompres panas, yaitu:
(1) 24 jam pertama setelah cedera traumatik. Panas akan meningkatkan
perdarahan dan pembengkakan.
(2) Perdarahan aktif. Panas menyebabkan vasodilatasi dan meningkatkan
perdarahan.
(3) Edema noninflamasi. Panas meningkatkan permeabilitas kapiler dan
edema.
(4) Tumor ganas terlokalisasi. Karena panas mempercepat metabolisme
sel, pertumbuhan sel, dan meningkatkan sirkulasi, panas dapat
mempercepat metastase (tumor sekunder).
65
(5) Gangguan kulit yang menyebabkan kemerahan atau melepuh. Panas
dapat membakar atau menyebabkan kerusakan kulit lebih jauh.
(Audrey Berman, 2009: 405)
Menurut Anas Tamsuri (2006: 54) penggunaan panas (aplikasi kompres
panas) sebaiknya dilakukan pada:
a. Trauma yang lebih dari 48 jam.
b. Sistitis.
c. Haemoroid.
d. Nyeri punggung.
e. Artritis.
f. Bursitis.
Penggunaan kompres panas dikontraindikasikan pada:
a. Trauma 12 – 24 jam pertama.
b. Perdarahan/edema.
c. Gangguan vaskular.
d. Pleuritis.
(Anas Tamsuri, 2006: 54)
Kondisi yang mengindikasi perlunya tindakan kewaspadaan khusus selama
pemberian kompres panas, yaitu:
66
(1) Kerusakan neurosensori. Individu yang memiliki kerusakan sensori
tidak mampu merasakan bahwa panas tersebut merusak jaringan dan
beresiko mengalami luka bakar.
(2) Gangguan status mental. Individu mengalami konfusi atau perubahan
tingkat kesadaran membutuhkan pemantauan dan supervisi selama
pemberian kompres untuk memastikan keamanan terapi tersebut bagi
klien.
(3) Gangguan sirkulasi. Individu yang memiliki penyakit pembuluh darah
perifer, diabetes, atau gagal jantung kongestif kurang memiliki
kemampuan untuk menghilangkan panas melalui sirkulasi darah, yang
membuat mereka beresiko mengalami kerusakan jaringan akibat
kompres panas.
(4) Luka terbuka. Jaringan di sekitar luka terbuka lebih sensitif terhadap
panas.
(Audrey Berman, 2009: 405)
d. Pedoman Kompres Hangat
Pemahaman tentang respons adaptif reseptor termal, fenomena rebound,
efek sistemik, toleransi terhadap panas, dan kontraindikasi merupakan hal
yang penting ketika memberikan kompres panas (Audrey Berman, 2009:
402).
1) Adaptasi reseptor termal
Reseptor termal beradaptasi terhadap perubahan suhu. Ketika reseptor
hangat terpajan suhu yang tiba-tiba tinggi, pada awalnya reseptor
67
terstimulasi dengan kuat. Stimulasi yang kuat ini menurun dengan
cepat selama beberapa detik pertama dan kemudian menjadi lebih
lambat selama setengah jam berikutnya atau lebih karena reseptor
beradaptasi terhadap suhu yang baru (Audrey Berman, 2009: 402).
Perawat perlu memahami respons adaptif ini ketika memberikan
kompres panas. Klien mungkin ingin mengubah suhu pada kompres
tersebut karena adanya perubahan sensasi termal setelah adaptasi.
Meningkatkan suhu kompres panas setelah adaptasi terjadi dapat
menyebabkan luka bakar yang serius (Audrey Berman, 2009: 402).
2) Fenomena rebound
Fenomena rebound terjadi pada saat efek terapeutik maksimal dari
kompres panas telah dicapai dan kemudian efek yang berlawanan
terjadi. Misalnya, panas menyebabkan vasodilatasi maksimum dalam
20 – 30 menit; melanjutkan kompres melebihi 30 – 34 menit akan
mengakibatkan kongesti jaringan, dan pembuluh darah kemudian
berkontriksi dengan alasan yang tidak diketahui. Apabila kompres
panas terus dilanjutkan, klien beresiko mengalami luka bakar, karena
pembuluh darah yang berkontriksi tidak mampu membuang panas
secara adekuat melalui sirkulasi darah. Kompres harus dihentikan
sebelum fenomena rebound terjadi (Audrey Berman, 2009: 402 – 403).
3) Efek sistemik
Kompres panas diberikan pada area tubuh lokal, terutama pada area
tubuh yang luas, dapat meningkatkan curah jantung dan ventilasi paru.
Peningkatan tersebut adalah hasil vasodilatasi perifer yang berlebihan,
68
yang mengalihkan sejumlah besar suplai darah dari organ dalam dan
menghasilkan penurunan tekanan darah. Penurunan tekanan darah
yang signifikan dapat menyebabkan klien pingsan. Klien yang
memiliki penyakit jantung atau paru serta yang memiliki gangguan
sirkulasi seperti arteriosklerosis akan lebih retan terhadap efek
kompres ini dibanding orang sehat (Audrey Berman, 2009: 403 – 404).
4) Toleransi dan kontraindikasi
Berbagai bagian tubuh memiliki toleransi panas yang berbeda.
Toleransi fisiologis individu juga berbeda. Kondisi tertentu merupakan
kontraindikasi penggunaan kompres panas. Selain itu, beberapa
kondisi memerlukan tindakan kewaspadaan ketika memberikan terapi
kompres panas (Audrey Berman, 2009: 404).
e. Metode Kompres Hangat
Metode penggunaan kompres panas, antara lain:
1) Handuk waslap dicelupkan ke dalam air hangat dan diletakkan pada
bagian tubuh (handuk ditutup dengan plastik di sekitar daerah kompres
agar panas tidak menyebar keluar).
2) Menggunakan kantung atau buli-buli panas.
3) Mandi air panas.
4) Berjemur di sinar matahari.
5) Menggunakan selimut hangat, bantal panas.
69
6) Menggunakan lampu penghangat, yaitu lampu 60 watt dengan leher
angsa yang diletakkan pada jarak 45 – 60 cm di daerah yang akan
diberikan aplikasi hangat.
(Anas Tamsuri, 2006: 55)
Perlu diketahui apabila suhu yang diaplikasikan terlalu tinggi akan
menimbulkan rasa tidak nyaman dan kurang memberikan efek penurunan
nyeri pada klien. Untuk itu, suhu perlu diatur, yaitu sekitar 520C pada
dewasa normal dan 40,5 – 460C pada klien dewasa yang tidak sadar (Anas
Tamsuri, 2006: 55).
f. Teknik Pemberian Kompres Hangat
Teknik pemberian kompres hangat menurut Audrey Berman, (2009: 404 –
408) yang sesuai dengan proses keperawatan kompres panas, antara lain:
1) Pengkajian
Kaji:
a) Kemampuan klien untuk mengenali kapan rasa dapat
menyebabkan cedera. Kaji apakah klien menyadari rasa panas
serta dapat membedakan suhu yang terlalu panas untuk tubuh.
b) Tingkatkan kesadaran dan kondisi fisik umum klien. Klien yang
sangat muda, sangat tua, tidak sadar, atau yang lemah tidak dapat
menoleransi panas dengan baik.
c) Area yang akan dikompres dengan memeriksa:
70
(1) Perubahan integritas kulit, seperti adanya edema, memar,
kemerahan, lesi terbuka, adanya rabas dan perdarahan.
(2) Status sirkulasi (warna, suhu, dan sensasi). Jaringan yang
terasa dingin, berwarna pucat atau kebiruan, dan kurangnya
sensasi atau mati rasa mengindikasikan kerusakan sirkulasi.
(3) Tingkat ketidaknyamanan dan rentang pegerakan sendi jika
spasme otot atau nyeri sedang diterapi.
d) Denyut nadi, pernapasan, dan tekanan darah. Faktor ini penting
dikaji sebelum kompres panas diberikan pada area tubuh yang
luas.
2) Perencanaan
Sebelum memberikan kompres panas tentukan:
a) Apakah klien perlu menandatangani surat persetujuan tindakan
(jika surat persetujuan diperlukan, periksa surat tersebut pada
catatan klien).
b) Tipe kompres panas yang akan digunakan, suhu, dan durasi serta
frekuensi kompres (periksa program dokter jika perlu).
c) Protokol institusi tentang tipe perlengkapan yang digunakan, suhu
yang direkomendasikan, dan durasi kompres (periksa program
dokter jika perlu).
d) Waktu kompres diberikan.
71
3) Implementasi
a) Jelaskan kepada klien apa yang akan Anda lakukan, mengapa hal
tersebut diperlukan, dan bagaimana klien dapat bekerjasama.
Diskusikan bagaimana hasilnya akan digunakan untuk
merencanakan perawatan atau terapi selanjutnya.
b) Cuci tangan dan observasi prosedur pengendalian infeksi yang
tepat.
c) Berikan privasi klien.
d) Berikan kompres panas.
Lokasi : Persendian tubuh (terutama persendian tubuh yang
sakit).
Suhu : Suhu air yang diberikan untuk klien dewasa normal 46 –
520C (Audrey Berman, 2009: 406).
Durasi : Panas menyebabkan vasodilatasi maksimum dalam 20 –
30 menit; melanjutkan kompres melebihi 30 – 34 menit
akan mengakibatkan kongesti jaringan, dan pembuluh
darah kemudian berkontriksi. (Audrey Berman, 2009:
403)
Waktu : Dilakukan sebelum stretching.
Berikan perhatian khusus saat mengkaji area yang akan diterapi
dan ketika mengevaluasi efek terapi karena lansia memiliki
banyak kondisi yang merupakan presidposisi terjadinya cedera
pada pemberian kompres (Audrey Berman, 2009: 408).
72
e) Letakkan kemasan pemanas pada tempatnya hanya selama jangka
waktu yang telah ditentukan guna menghindari fenomena
rebound.
f) Dokumentasikan pemberian kompres panas dan respon klien pada
catatan klien dengan menggunakan format atau daftar titik yang
disertai catatan narasi jika perlu.
4) Evaluasi
Lakukan pemeriksaan lanjutan pada klien untuk mengkaji efektivitas
terapi dan mengkaji adanya komplikasi. Hubungkan hasil yang didapat
dengan data pengkajian sebelumnya jika tersedia.
5. Stretching (Peregangan)
Stretching merupakan bentuk dari penguluran dan peregangan pada otot-otot
disetiap anggota badan biasanya dilakukan sebelum atau setelah berolahraga.
Kegiatan ini bertujuan membuat otot dan persendian menjadi fleksibel dan
elastik. Sehingga menjadi lebih mudah pada saat melakukan pergerakan dan
dapat mengurangi dampak cidera yang timbul saat berolahraga (Ukas Danaria,
2011).
Peregangan adalah penghubung penting antara kehidupan statis dan kehidupan
aktif. Peregangan membuat otot tetap lentur, membuat Anda siap bergerak, dan
membantu Anda beralih dari aktivitas kurang gerak ke aktivitas banyak gerak
tanpa menimbulkan ketegangan. Hal ini terutama penting bila Anda berlari,
73
bermain tenis, atau melakukan olahraga keras lainnya, karena aktivitas seperti
ini bisa menyebabkan otot kaku. Melakukan peregangan sebelum dan sesudah
olahraga akan membuat otot Anda tetap lentur dan dapat mencegah cedera yang
umum terjadi, seperti masalah pada lutut akibat lari dan nyeri bahu atau siku
akibat bermain tenis (Bob Anderson, 2008: 11).
a. Manfaat Peregangan
Karena dapat merelaksasikan pikiran dan menyegarkan tubuh, peregangan
semestinya menjadi bagian dari keseharian Anda. Anda kan mengetahui
bahwa peregangan yang teratur akan membuahkan hasil-hasil sebagai
berikut:
1) Mengurangi ketegangan otot dan membuat tubuh terasa lebih relaks.
2) Membantu koordinasi dengan melakukan gerakan yang lebih bebas
dan lebih mudah.
3) Memperluas rentang gerak.
4) Membantu mencegah cedera seperti kram otot. (Otot yang kuat dan
lentur dapat menahan beban lebih baik daripada otot kuat tapi kaku.)
5) Membuat aktivitas yang berat, seperti berlari, bermain ski, bermain
tenis, berenang, dan bersepeda, menjadi lebih mudah dilakukan, karena
peregangan akan menyiapkan tubuh untuk beraktivitas; ini merupakan
cara memberi tahu otot bahwa sebentar lagi ia akan digunakan.
6) Membantu mempertahankan tingkat kelenturan Anda, sehingga
dengan berjalannya waktu, Anda tidak akan menjadi semakin kaku.
74
7) Membangun kesadaran akan tubuh Anda; ketika meregangkan
berbagai bagian tubuh, Anda akan terfokus pada bagian-bagian
tersebut dan berkomunikasi dengannya; Anda mulai mengenali diri
sendiri.
8) Membantu mengendurkan kendali pikiran atas tubuh, sehingga tubuh
bergerak ‘demi dirinya sendiri’ dan bukan untuk kompetisi atau ego.
9) Merasa nyaman.
(Bob Anderson, 2008: 14)
b. Tahapan Peregangan pada Lansia
Menurut Bob Anderson (2008: 15) metode peregangan antara lain:
1) Peregangan ringan
Lakukan peregangan ringan selama 10 – 15 detik. Lakukan dengan
memakai tenaga, bukan sekedar menggerakan tubuh. Lakukanlah
hingga Anda merasakan tegangan ringan dan relakslah saat menahan
regangan. Otot yang terasa menegang seharusnya mereda saat Anda
menahan posisi tersebut. Jika tidak, kendurkan sedikit dan lakukan
sampai Anda merasakan tegangan yang nyaman. Peregangan ringan
akan mengurangi kekakuan dan ketegangan otot serta mempersiapkan
jaringan otot untuk peregangan lanjutan (Bob Anderson, 2008: 15).
2) Peregangan lanjutan
Setelah peregangan ringan, majulah perlahan ke peregangan lanjutan.
Sekali lagi, lakukan dengan memakai tenaga. Bergeraklah beberapa
sentimeter lebih jauh hingga Anda merasakan lagi tegangan ringan dan
75
tahan selama 10 – 15 detik. Tetap jaga kendali gerakan Anda. Sekali
lagi, ketegangan harus mereda; jika tidak, kendurkan sedikit. Ingat:
jika ketegangan meningkat saat Anda menahan regangan dan atau
berubah menyakitkan berarti Anda melakukan peregangan secara
berlebihan. Peregangan lanjutan menyiapkan otot dan meningkatkan
kelenturan (Bob Anderson, 2008: 15).
c. Dosis Latihan
Dosis yang akan dibahas adalah FITT yang meliputi pengaturan frekuensi
(frequency), intensitas (intencity), durasi (time), dan macam (type) latihan.
Secara umum dosis dijabarkan sebagai berikut:
1) Frekuensi. Tiga atau lima kali perminggu.
2) Intensitas. Intensitas didasarkan atas beban latihan dan merupakan
faktor yang penting dalam program latihan. Bagi pemula dianjurkan
dengan intensitas lima puluh sampai enam puluh persen dari VO2
maks.
3) Durasi. Untuk mendapatkan hasil yang bermanfaat bagi kebugaran
jantung paru, harus berlatih pada zona latihan selama lima sampai
sepuluh menit dan diakhiri dengan pendinginan selama lima sampai
sepuluh menit.
4) Macam. Untuk mendapatkan kebugaran jasmani yang adekuat, jenis
latihan harus disesuaikan dengan manfaat yang diharapkan. Latihan
yang menggerakkan sebagian otot-otot besar pada panggul kaki secara
76
ritmis dan berkesinambungan, sangat bermanfaat bagi kebugaran
jantung dan paru.
(Sri Surini Pudjiastuti, 2003: 104 – 105)
d. Hal-hal yang Perlu Diperhatikan Selama Latihan
Menurut Sri Surini Pudjiastuti (2003: 106) hal-hal yang perlu diperhatikan
selama latihan, antara lain:
1) Pilih program latihan yang cukup bermanfaat, aman dan sesuai dengan
kebutuhan atau tingkat kebugaran.
2) Mulai dengan perlahan, ringan, kemudian semakin ditingkatkan.
3) Jangan berlatih jika merasa tidak sehat.
4) Latihan fisik jangan dilakukan satu sampai dua jam setelah makan,
jangan pada cuaca panas dan kelembaban tinggi. Hindari kram dengan
banyak minum ditambah garam dapur.
5) Hentikan kebiasaan merokok dan minuman keras.
6) Jangan duduk segera setelah latihan.
7) Jangan mandi air dingin setelah berlatih.
e. Teknik Stretching bagi Lansia ≥ 60 tahun
Kurang lebih 7 menit.
Berikut ini rangkaian peregangan untuk membantu memulihkan dan
menjaga kelenturan menurut Bob Anderson (2008: 136 – 137).
1) Peregangan untuk punggung bawah, pinggul, pangkal paha dan paha
belakang dengan Teknik PNF: Kontraksikan – Relaksasikan –
77
Regangkan. Kemudian, berdiri dengan posisi lutut tertekuk dan tumit
datar, jari kaki mengarah lurus ke depan, dan ke dua telapak kaki
terpisah selebar bahu. Tahan selama 30 detik. Pada posisi lutut
tertekuk ini, Anda mengkontraksikan paha depan (quadriceps) dan
merelaksasi paha belakang (hamstring). Fungsi utama paha depan
adalah untuk menegakkan kaki. Fungsi utama paha belakang adalah
untuk menekuk lutut. Karena ke dua otot ini menjalankan fungsi yang
berlawanan, mengkontraksikan paha depan akan merelaksasi paha
belakang (Bob Anderson, 2008: 65).
Saat Anda menahan posisi lutut tertekuk ini, rasakan perbedaan antara
bagian depan dan belakang paha Anda. Paha depan akan terasa keras
dan kencang, sementara paha belakang akan terasa lembut dan relaks.
Paha belakang akan lebih mudah diregangkan bila di relaksasikan
terlebih dahulu. Lakukan 10 – 30 detik untuk lansia (Bob Anderson,
2008: 65).
2) Setelah menahan posisi lutut tertekuk, berdirilah dan kemudian
membungkuk lagi dengan lutut sedikit menekuk (2,5 cm). Jangan
tergesa. Anda kini mungkin sudah mengalami kemajuan. Tahan selama
10 – 15 detik (Bob Anderson, 2008: 65).
Ingatlah untuk selalu menekuk lutut ketika bangkit. Ini mengurangi
ketegangan di punggung bawah. Anda harus berada dalam posisi
nyaman dan stabil saat melakukan peregangan (Bob Anderson, 2008:
66).
78
Anda akan merasakan bahwa lebih mudah menahan regangan ini jika
bobot tubuh dapat didistribusikan ke lengan dan kaki. Jika Anda tidak
mampu menyentuh ibu jari kaki (atau pergelangan) dengan lutut
sedikit menekuk (banyak orang tidak bisa), gunakan tangga atau
bangku pendek, atau tumpuan buku untuk menaruh tangan Anda.
Temukan keseimbangan antara tangan dan kaki sehingga Anda dapat
relaks. Lakukan 10 – 15 detik untuk lansia (Bob Anderson, 2008: 65).
3) Untuk meregangkan betis, berdirilah agak jauh dari penyangga dan
menyandarlah padanya dengan lengan depan, sementara kepala
bersandar di tangan. Tekuk satu kaki dan letakkan telapaknya di lantai
di depan Anda, sementara kaki yang lain lurus. Perlahan-lahan
gerakkan pinggul ke depan sambil menjaga punggung bawah tetap
rata. Pastikan tumit kaki yang liris tetap berada di lantai, dengan jari
kaki mengarah ke depan atau agak miring ke dalam. Tahan regangan
ringan selama 10 – 15 detik. Jangan tergesa. Sekarang regangkan kaki
lainnya. Lakukan 10 – 20 detik untuk lansia (Bob Anderson, 2008: 82).
4) Untuk meregangkan paha belakang dan lutut, pegang ujung telapak
kaki kanan dengan tangan kiri dan perlahan-lahan tarik tumit kearah
bokong. Lutut menekuk ke dalam sudut alami saat Anda memegang
kaki dengan tangan yang berlawanan. Gerakan ini baik dipakai untuk
mengatasi masalah lutut. Tahan selama 10 – 20 detik untuk masing-
masing kaki (Bob Anderson, 2008: 86).
Variasi: Peregangan ini juga dapat dilakukan dengan tengkurap.
Pastikan peregangan ini tidak menyakitkan. Jangkau tangan ke
79
belakang dan peganglah ujung telapak kaki lawannya di antara sendi
pergelangan kaki dan jari kaki. Dengan lembut tarik tumit ke arah
tengah bokong. Tahan selama 10 – 15 detik. Lakukan 10 detik untuk
lansia (Bob Anderson, 2008: 68).
5) Berdirilah di ambang pintu dan letakkan ke dua tangan setinggi bahu
di kedua sisi ambang pintu. Gerakkan badan atas ke depan hingga
terasa regangan yang nyaman di ke dua lengan dan dada. Jaga dada
dan kepala tetap tegap dan lutut sedikit menekuk ketika melakukan
peregangan ini. Tahan selama 15 detik. Lakukan 15 – 20 detik untuk
lansia (Bob Anderson, 2008: 57).
6) Teknik PNF: Kontraksikan – relaksasikan – Regangkan. Berdirilah
dengan lutut sedikit menekuk dan kaki di buka selebar bahu. Pegang
siku kanan dengan tangan kiri. Gerakkan siku kanan ke arah bawah
sambil melawan gerakan ini dengan tangan kiri (kontraksi isometrik)
selama 3 – 4 detik. Setelah relaks beberapa saat, perlahan tarik siku ke
samping, di belakang kepala, hingga terasa regangan ringan di lengan
belakang atas seperti pada peregangan sebelumnya. Tahan selama 10 –
15 detik. Ulangi pada sisi yang lain (Bob Anderson, 2008: 54).
Mulailah dengan posisi berdiri dan lutut sedikit menekuk. Tekuk siku
kanan dan letakkan lengan di belakang kepala. Pegang siku kanan
dengan tangan kiri. Untuk meregangkan daerah ketiak dan bahu,
gerakkan kepala ke belakang ke arah lengan kanan, hingga terasa
sedikit regangan. Tahan selama 10 – 15 detik. Lakukan untuk ke dua
sisi. Lakukan 8 – 10 detik untuk lansia (Bob Anderson, 2008: 54).
80
7) Sekarang jalin jari-jari tangan di atas kepala. Dengan telapak
menghadap ke atas, dorong ke dua lengan sedikit ke belakang dan ke
atas. Rasakan regangan pada lengan, bahu, dan punggung atas. Tahan
selama 15 detik. Jangan menahan nafas. Peregangan ini baik dilakukan
di mana saja, kapan saja, dan sangat baik untuk bahu yang merosot.
Bernafaslah dalam-dalam. Lakukan 10 – 15 detik untuk lansia (Bob
Anderson, 2008: 56).
8) Cara lain untuk meregangkan pangkal paha yang kaku adalah dengan
duduk menyandar pada dinding atau kursi; apa pun yang dapat
menyangga. Dengan punggung lurus dan ke dua telapak kaki
menangkup, gunakan tangan untuk mendorong lembut bagian paha
dalam (bukan di lutut, tetapi di atasnya). Dorong perlahan sampai
terasa regangan yang enak dan merata. Relaks dan tahan selama 20 –
30 detik. Lakukan 10 – 15 detik untuk lansia (Bob Anderson, 2008:
65).
9) Tangkupkan telapak kaki dan berpeganglah pada jari-jari kaki Anda.
Pelan-pelan dorong tubuh ke depan, condongkan dari pinggul hingga
Anda merasakan regangan yang enak di pangkal paha. Anda juga
mungkin merasakan regangan di punggung. Tahan selama 20 detik.
Jangan memulai gerak dari kepala dan bahu saat melakukan regangan
ini. Mulailah gerakan dari pinggul. Jagalah siku agar tetap di sisi luar
kaki agar Anda stabil dan seimbang. Kontraksikan otot perut Anda
secara perlahan saat miring ke depan; ini akan meningkatkan
81
kelenturan Anda untuk mencondongkan tubuh ke depan (Bob
Anderson, 2008: 68).
Jika Anda sulit mencondongkan tubuh Anda ke depan, tumit Anda
mungkin terlalu dekat dengan pangkal paha. Jika demikian, kaki
menjauh ke hadapan Anda. Ini memungkinkan Anda menggerakkan
tubuh ke depan dari pinggul (Bob Anderson, 2008: 69).
Variasi jika Anda kaku di daerah pangkal paha. Peganglah telapak kaki
dengan satu tangan, taruh siku di sisi dalam betis untuk menahan dan
menstabilkan kaki. Sekarang, dengan menggunakan tangan lain yang
disisi dalam betis (bukan di lutut), perlahan-lahan tekan kaki ke bawah
untuk meregangkan sisi pangkal paha ini. Jika bagian pangkal paha
Anda yang kaku, ini adalah peregangan yang baik yang akan
melenturkan daerah ini dan membuat lutut jauh lebih alami ke bawah.
Lakukan untuk ke dua kaki. Tahan selama 10 – 15 detik. Lakukan 10 –
20 detik untuk lansia (Bob Anderson, 2008: 69).
10) Duduklah dengan kaki kanan lurus. Tekuk lutut kiri menyilang keluar
lutut kanan. Tarik lutut melintasi tubuh ke arah bahu yang berlawanan
hingga Anda merasakan rengangan ringan di pinggul samping. Tahan
20 – 30 detik. Lakukan di ke dua sisi (Bob Anderson, 2008: 71).
Duduklah dengan kaki kanan lurus. Tekuk lutut kiri menyilang keluar
lutut kanan. Tarik lutut melintasi tubuh ke arah bahu yang berlawanan
hingga Anda merasakan rengangan ringan di pinggul samping. Tahan
20 – 30 detik. Lakukan di ke dua sisi. Lakukan 10 – 20 detik untuk
lansia (Bob Anderson, 2008: 71).
82
11) Duduklah dengan ke dua kaki lurus dan telapak kaki mengarah ke atas,
tumit terpisah tidak lebih dari 15 cm. Membungkuklah dari pinggul
untuk merasakan regangan ringan. Tahan selama 10 – 15 detik. Anda
mungkin akan merasakan regangan tepat di belakang lutut dan paha
bawah. Anda juga mungkin merasakan regangan di punggung bawah
jika punggung Anda kaku (Bob Anderson, 2008: 66).
Jangan menundukan kepala ke depan saat memulai peregangan ini.
Jagalah pinggul agar tidak melengkung ke belakang. Condongkan
tubuh dari pinggul tanpa membuat punggung atas melengkung (Bob
Anderson, 2008: 67).
Anda mungkin harus duduk menyandar ke dinding untuk menjaga agar
punggung tetap rata. Posisi ini sendiri mungkin sudah merupakan
peregangan yang memadai jika badan Anda sangat kaku. Jika Anda
sulit relaks saat melakukan peregangan ini, gunakan handuk sebagai
alat bantu. Tarik tubuh ke depan (perlahan) dari pinggul hingga titik
dimana Anda dapat merasakan relaks dan tetap merasakan peregangan.
Gunakan tangan untuk menarik tubuh ke depan. Temukan regangan
yang pas. Berhati-hatilah, jangan meregang berlebihan (Bob Anderson,
2008: 67).
Jika sulit melakukan peregangan ini dengan posisi duduk, lakukan
peregangan yang sama dengan cara berbaringlah dan angkat kaki ke
atas dengan sudut 900 dari sendi paha. Jaga punggung tetap rata
dilantai. Tahan selama 15 – 20 detik. Ulangi pada kaki yang lain. Jika
perlu berpeganglah pada paha belakang untuk menghasilkan regangan.
83
Atau taruh handuk melingkari telapak kaki dan tarik dengan lembut.
Regangkan sampai terasa nyaman. Anda juga dapat meletakkan bantal
di bawah kepala agar lebih nyaman. Lakukan 10 – 15 detik untuk
lansia (Bob Anderson, 2008: 68).
12) Biarkan tubuh relaks, dengan ke dua lutut menekuk dan telapak kaki
menangkup. Posisi nyaman ini akan meregangkan pangkal paha Anda.
Tahan selama 30 detik. Biarkan tarikan gravitasi meregangkan tubuh
Anda. Anda boleh menaruh bantal kecil di belakang kepala agar
nyaman. Lakukan 20 – 30 detik untuk lansia (Bob Anderson, 2008:
32).
13) Untuk mengurangi ketegangan di leher: Sambil berbaring di lantai,
Anda dapat meregangkan tulang belakang (spine) atas dan leher. Jalin
jari-jari tangan di belakang kepala, kira-kira sejajar dengan telinga.
Perlahan tarik kepala ke depan hingga terasa sedikit regangan di leher
belakang. Tahan 3 – 5 detik, kemudian perlahan kembali ke posisi
awal. Lakukan ini 3 – 4 kali untuk melonggarkan tulang belakang
bagian atas dan leher secara bertahap. Biarkan rahang Anda relaks
(gigi belakang sedikit terpisah) dan tetaplah bernafas. Lakukan 3 – 5
detik 2 kali untuk lansia (Bob Anderson, 2008: 34).
14) Berbaring, tarik kaki kiri ke arah dada. Jaga bagian kepala belakang
tetap di matras jika memungkinkan, tetapi jangan tegang. Jika Anda
tidak dapat melakukannya dengan kepala di bawah, letakkan bantal
kecil di bawah kepala. Jaga kaki yang lain selurus mungkin, tanpa
mengunci lutut. Tahan selama 30 detik. Lakukan di ke dua sisi. Ini
84
akan melemaskan otot punggung dan paha belakang. Lakukan 20 – 30
detik untuk lansia (Bob Anderson, 2008: 73).
15) Angkat kedua lutut, telapak kaki di lantai. Jalin jari-jari tangan di
belakang kepala dengan lengan di lantai. Sekarang angkat kaki kiri ke
atas kaki kanan. Kemudian, gunakan kaki kiri untuk menarik kaki
kanan ke arah lantai hingga terasa regangan di sepanjang pinggul
samping atau punggung bawah. Relaks, jaga agar punggung atas,
kepala belakang, bahu, dan siku menempel di lantai. Tahan selama 10
– 20 detik. Tujuannya bukanlah untuk menyentuh lantai dengan lutut
kanan, tetapi melakukan peregangan semampu Anda. Ulangi
peregangan ke sisi yang lain: silangkan kaki kanan ke atas kaki kiri
dan tarik ke kanan. Keluarkan nafas ketika Anda akan melakukan
peregangan, kemudian bernafaslah secara teratur saat sedang
melakukan peregangan. Lakukan 10 – 15 detik untuk lansia (Bob
Anderson, 2008: 32 – 33).
16) Peregangan memanjang: Rentangkan ke dua lengan di atas kepala
dan luruskan kaki. Kemudian panjangkan sejauh mungkin ke dua
tangan dan kaki Anda ke arah berlawanan namun tetap nyaman. Tahan
regangan ini selama 5 detik, kemudian relaks (Bob Anderson, 2008:
37).
85
Gambar 2.1 Stretching Ekstremitas Bawah
B. Penelitian Terkait
Penelitian ini terkait dengan jurnal STIKes RS. Baptis Volume 3, Edisi 1 Juli 2010,
berjudul “Pengaruh Latihan Gerak Kaki (Stretching) terhadap Penurunan Nyeri
Sendi Ekstremitas Bawah pada Lansia di Posyandu Lansia Sejahtera GBI Setia
Bakti Kediri” oleh Yohanita Pamungkas. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa
sebelum diberikan latihan gerak kaki (stretching) terdapat 7 responden (20%)
dengan nyeri ringan, 20 responden (51%) dengan nyeri sedang, dan 9 responden
(22,9%) dengan nyeri parah. Setelah dilakukan latihan gerak kaki (stretching)
terdapat 33 responden (94,2%) yang mengalami penurunan nyeri sendi ekstremitas
bawah. Hasil uji statistik Wilcoxon Match Pair Test dengan tingkat kemaknaan p =
0,00, hal ini berarti terdapat pengaruh latihan gerak kaki (stretching) terhadap
86
penurunan nyeri sendi ekstremitas bawah pada lansia di posyandu lansia Sejahtera
GBI Setia Bakti Kediri.
Penelitian ini juga terkait dengan jurnal Nursing Studies Universitas Diponegoro,
Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, berjudul “Pemberian Intervensi Senam Lansia
pada Lansia dengan Nyeri Lutut di Unit Rehabilitasi Sosial Margo Mukti Kabupaten
Rembang” oleh Afifka Dyah Ayu D. dan Bambang Edi Warsito. Hasil penelitian ini
didapatkan bahwa senam lansia efektif untuk mengatasi nyeri lutut pada lansia.
Hasil penelitian berdasarkan jenis kelamin menunjukkan bahwa lansia dengan jenis
kelamin perempuan sebanyak 9 lansia (60%) dan laki-laki sebanyak 6 lansia (40%).
Hasil penelitian berdasarkan usia menunjukkan bahwa lansia dengan usia 61-75
tahun sebanyak 12 lansia (80%) dan lansia dengan usia 55 – 60 tahun sebanyak 3
lansia (20%). Hasil penelitian sesudah dilakukan terapi senam lansia menunjukkan
bahwa sebesar 86,7% lansia memiliki skala nyeri 0 atau tidak nyeri dan 13,33%
lansia mempunyai skala nyeri 1 atau skala nyeri ringan. Hasil uji statistik Wilcoxon
diperoleh nilai p-value 0,001 yang berarti sig<α=(0,05). Nilai signifikansi 0,001 <
0,05 artinya hipotesa diterima. Kesimpulannya pemberian terapi senam lansia
efektif mengatasi nyeri lutut pada lansia. Pemberian terapi senam lansia ini dapat
digunakan oleh siapapun tanpa mengeluarkan uang. Sebagai perawat komunitas
terapi senam lansia dapat diterapkan untuk meningkatkan kualitas mutu pelayanan
kesehatan lansia di suatu instansi. Terapi senam lansia efektif dalam mengurangi
nyeri lutut pada lansia.
87
Penelitian ini terkait dengan penelitian Mery Fanada danWidyaiswara Muda, Badan
Diklat Provinsi Sumatera Selatan, yang berjudul “Pengaruh Kompres Hangat dalam
Menurunkan Skala Nyeri pada Lansia yang Mengalami Nyeri Rematik di Pati Sosial
Tresna Werdha Teratai Palembang Tahun 2012”. Hasil penelitian ini didapatkan
bahwa karakteristik responden rematik diketahui yang tidak sekolah yaitu 35% dan
berpendidikan rendah yaitu 65%, yang tidak bekerja lebih banyak dibandingkan
dengan yang bekerja yaitu 85%, dan umur responden semua ≥ 60 tahun, serta
karakteristik jenis kelamin laki-laki 40% dan perempuan 60%. Tingkat nyeri
rematik pada lansia sebelum dilakukan kompres hangat sebanyak 20 responden
dengan nilai rata-rata 2,45, yaitu nyeri lebih menyakitkan dengan skala nyeri 2
sebanyak 11 responden (55%) kemudian nyeri lebih menyakitkan lagi dengan skala
nyeri 3 sebanyak 9 responden (45%). Tingkat nyeri rematik pada lansia sesudah
dilakukan kompres hangat sebanyak 20 responden dengan nilai rata-rata 0,20, yaitu
tidak nyeri dengan skala nyeri 0 sebanyak 16 responden (80%) kemudian nyeri
sedikit menyakitkan dengan skala nyeri 2 sebanyak 4 responden (20%).
Berdasarkan uji statistik menunjukkan (p value = 0.000, α = 0.05), maka didapatkan
ada perbedaan yang signifikan antara pengukuran tingkat nyeri sebelum dilakukan
kompres hangat dengan pengukuran nyeri sesudah dilakukan kompres hangat.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa tindakan kompres hangat yang dilakukan sesuai
dengan aturan dapat menurunkan tingkat nyeri pada lansia yang mengalami nyeri
rematik.
BAB III
KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS
DAN DEFINISI OPERASIONAL
Dari hasil tinjauan kepustakaan serta kerangka teori yang telah dijabarkan pada bab
sebelumnya, maka dikembangkan suatu “kerangka konsep penelitian”. Pada bab ini akan
dibahas kerangka konsep penelitian yang terdiri dari: variabel dependen, variabel
independen, variabel perancu (confounding), hipotesis dan definisi operasional.
C. Kerangka Konsep
Kerangka konsep adalah merupakan abstraksi yang terbentuk oleh generalisasi dari
hal-hal khusus. Oleh karena konsep merupakan abstraksi, maka konsep tidak dapat
langsung diamati atau diukur. Konsep hanya dapat diamati melalui konstruk atau
yang lebih dikenal dengan nama variabel (Soekidjo Notoatmodjo, 2010: 100).
Pada penelitian ini akan dikaji tentang pengaruh kompres hangat dan stretching
terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia di wilayah RW 03, Kelurahan
Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013.
88
89
Variabel Independen Variabel Dependen
Skema 3.1 Kerangka Konseptual
Variabel penelitian
Variabel independen (bebas) adalah variabel yang nilainya menentukan variabel
lain. Suatu kegiatan stimulus yang dimanipulasi oleh peneliti menciptakan suatu
dampak pada variabel dependen. Variabel bebas biasanya dimanipulasi, diamati,
dan diukur untuk diketahui hubungannya atau pengaruhnya terhadap variable lain.
Dalam ilmu keperawatan, variabel bebas biasanya merupakan stimulus atau
intervensi keperawatan yang diberikan kepada klien untuk mempengaruhi tingkah
laku klien (Nursalam, 2009: 97).
Variabel independen dalam penelitian ini adalah kompres hangat dan stretching.
Variabel dependen variabel yang nilainya ditentukan oleh variabel lain. Variabel
respons akan muncul sebagai akibat dari manipulasi variabel-variabel lain. Dalam
ilmu tingkah laku variabel terikat adalah aspek tingkah laku yang diamati dari suatu
organisme yang dikenai stimulus. Dengan kata lain, variabel terikat adalah faktor
Kompres hangat dan stretching
Skala nyeri sendi
Variabel Perancu (Confounding):- Usia- Jenis kelamin- Lokasi nyeri
90
yang diamati dan diukur untuk menentukan adanya hubungan atau pengaruh dari
variabel bebas (Nursalam, 2009: 98).
Variabel dependen dalam penelitian ini adalah skala nyeri sendi.
Variabel perancu (confounding) adalah variabel yang nilainya ikut menentukan
variabel baik secara langsung maupun secara tidak langsung (Nursalam, 2009: 98).
Variabel perancu (confounding) dalam penelitian ini adalah usia, jenis kelamin,
dan lokasi nyeri.
D. Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara dari suatu penelitian. Hasil suatu penelitian
pada hakikatnya adalah suatu jawaban atas pertanyaan penelitian yang telah
dirumuskan. Jadi hipotesis di dalam penelitian berarti jawaban sementara penelitian,
patokan duga, atau dalil sementara, yang kebenarannya akan dibuktikan dalam
penelitian tersebut. Setelah melalui pembuktian dari hasil penelitian, maka hipotesis
ini dapat benar atau salah, dapat diterima atau ditolak (Setiadi, 2007: 119).
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka hipotesis dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
Ho : Tidak ada pengaruh kompres hangat dan stretching terhadap penurunan
skala nyeri sendi pada lansia di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang,
Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013.
91
Ha : Ada pengaruh kompres hangat dan stretching terhadap penurunan skala
nyeri sendi pada lansia di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang,
Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013.
E. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah unsur penelitian yang menjelaskan bagaimana caranya
menentukan variabel dan mengukur suatu variabel, sehingga definisi operasional ini
merupakan suatu informasi ilmiah yang akan membantu peneliti lain yang ingin
menggunakan variabel yang sama. Definisi operasional merupakan penjelasan
semua variabel dan istilah yang akan digunakan dalam penelitian secara operasional
sehingga akhirnya mempermudah pembaca dalam mengartikan makna penelitian
(Setiadi, 2007: 165).
Adapun definisi operasional dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
No Variabel Definisi Operasional
Cara Ukur Alat Ukur
Hasil Ukur Skala ukur
1. Variabel dependen
Skala nyeri sendi
Perubahan respon responden terhadap rasa nyeri sendi pada awal dan akhir penelitian.
Peneliti mengisi lembar observasi kelompok perlakuan dan lembar observasi kelompok kontrol (pre/post) yang berisi respon fisiologis yang ditampilkan oleh klien secara objektif.
Lembar observasi kelompok perlakuan dan lembar observasi kelompok kontrol (pre/po
Jika jawaban: 1. Menurun:
terdapat penurunan skala nyeri menurut skala lima tingkat
2. Tetap: tidak terdapat penurunan skala nyeri menurut Skala lima
Ordinal
92
st). tingkat3. Meningkat:
terdapat peningkatan skala nyeri menurut Skala lima tingkat
3. Variabel independen
Kompres hangat
Teknik stimulasi kulit terhadap nyeri sendi pada responden yang dilakukan dengan cara mengkompres sendi (terutama sendi yang sakit) menggunakan handuk kecil hangat selama dua minggu dengan frekuensi 5 kali seminggu dengan durasi 20 menit sebelum memulai stretching dengan suhu 460C.
Peneliti melakukan perlakuan kompres hangat pada lansia di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk dalam kriteria eksklusi.
Termometer
air
Melakukan kompres hangat
-
Stretching Teknik distraksi taktil pada responden nyeri sendi yang
Peneliti melakukan perlakuan stretching pada lansia di wilayah RW 03,
- Melakukan stretching
-
93
dilakukan selama dua minggu dengan frekuensi 5 kali seminggu dengan durasi 7 menit.
Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak termasuk dalam kriteria eksklusi.
3. Variabel perancu (confounding)
Usia Lama hidup responden sejak lahir hingga ulang tahun terakhir yang dinyatakan dalam tahun
Responden diminta mengisi kuesioner secara pasif untuk semua pertanyaan pada kuesioner, bila ada yang kurang jelas responden diminta mengkonfirmasi pada penelitian.
Kuesioner
Menurut WHO (1999) jika jawaban:1. Elderly: 60
– 74 tahun2. Old: 75 –
90 tahun3. Very old:
>90 tahun
Ordinal
Jenis Kelamin
Kondisi perbedaan gender responden yang dibawa sejak lahir
Responden diminta mengisi kuesioner secara pasif untuk semua pertanyaan pada kuesioner, bila ada yang kurang jelas responden diminta mengkonfirmasi pada penelitian
Kuesioner
Jika jawaban:1. Laki-laki2. Perempuan
Nominal
Lokasi nyeri Letak atau tempat atau bagian dimana sendi terasa nyeri.
Responden diminta mengisi kuesioner secara pasif untuk semua pertanyaan pada kuesioner, bila ada yang kurang
Kuesioner
Jika jawaban:1. Sendi
ekstremitas atas : sendi leher, sendi bahu, sendi siku, sendi pergelangan
Ordinal
94
jelas responden diminta mengkonfirmasi pada penelitian.
tangan, sendi tangan dan jari-jari tangan.
2. Sendi estremitas bawah : sendi panggul, sendi lutut, sendi mata kaki, sendi pada telapak dan jari-jari kaki.
Tabel 3.2 Definisi Operasional
95
BAB IV
METODE PENELITIAN
A. Desain Penelitian
Desain penelitian merupakan rencana penelitian yang disusun sedemikian rupa
sehingga peneliti dapat memperoleh jawaban terhadap pertanyaan penelitian. Desain
penelitian mengacu pada jenis atau macam penelitian yang dipilih untuk mencapai
tujuan penelitian, serta berperan sebagai alat dan pedoman untuk mencapai tujuan
tersebut. Desain penelitian membantu peneliti untuk mendapatkan jawaban dari
pertanyaan penelitian yang sahih, objektif, akurat serta hemat (Setiadi, 2007: 127).
Rancangan atau desain yang digunakan pada penelitian ini adalah jenis rancangan
penelitian Quasi-Eksperiment Non Equivalent Pretest-Posttest Control Group
Design atau disebut juga Non Randomized Control Group Pretest-Posttest Design,
dengan tujuan mengungkapkan hubungan sebab akibat dengan cara melibatkan
kelompok kontrol di samping kelompok eksperimental. Tapi pemilihan ke dua
kelompok ini tidak menggunakan teknik acak. Rancangan ini biasanya
menggunakan kelompok subjek yang telah terbentuk secara wajar (teknik rumpun),
sehingga sejak awal bisa saja ke dua kelompok subjek telah memiliki
96
97
karakteristik yang berbeda. Apabila pada pasca-tes ternyata ke dua kelompok itu
berbeda, mungkin perbedaannya bukan disebabkan oleh perlakuan tetapi karena
sejak awal kelompok awal sudah berbeda. Dalam rancangan ini, kelompok
eksperimental diberi perlakuan sedangkan kelompok kontrol tidak. Pada ke dua
kelompok perlakuan diawali dengan pra-tes, dan setelah pemberian perlakuan
diadakan pengukuran kembali (pasca-tes) (Nursalam, 2009: 86 – 87).
Adapun bentuk rancangan penelitian ini adalah sebagai berikut:
Subjek Pra Perlakuan Pasca-tesK-AK-B
OO
Time 1
I-
Time 2
O1-AO1-B
Time 3
Tabel 4.1 Rancangan Quasi-Eksperiment Non EquivalentPretest-Posttest Control Group Design
Keterangan :
K-A : Subjek (lansia) perlakuan.
K-B : Subjek (lansia) control.
- : aktivitas lainnya (selain kompres hangat dan stretching yang telah
diprogramkan).
O : Observasi skala nyeri sendi ekstremitas bawah sebelum kompres
hangat dan stretching.
I : Intervensi (kompres hangat dan stretching).
O1 (A+B) : Observasi skala nyeri sendi ekstremitas bawah setelah kompres
hangat dan stretching (kelompok perlakuan dan kontrol).
98
B. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian yang akan diteliti. Populasi dapat
dibedakan menjadi dua katagori, yaitu populasi target, yaitu seluruh unit
populasi dan populasi survey, yaitu sub unit dari populasi target. Sub unit dari
populasi survei untuk selanjutnya menjadi sampel penelitian (Setiadi, 2007:
175)
Populasi dalam penelitian ini adalah para lansia penderita nyeri sendi di
wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur
tahun 2013. Jumlah lansia di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang,
Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013 sebanyak 103 orang lansia,
dengan 57 orang lansia menderita nyeri sendi (55,3%)
2. Sampel
Sampel penelitian adalah sebagian dari keseluruhan objek yang diteliti dan
dianggap mewakili seluruh populasi. Dengan kata lain, sampel adalah elemen-
elemen populasi yang dipilih berdasarkan kemampuan mewakilinya (Setiadi,
2007: 177).
Sampel dalam penelitian ini adalah para lansia penderita nyeri sendi di wilayah
RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013
yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memiliki kriteria eksklusi.
99
a. Kriteria sampel
1) Kriteria inklusi
Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subjek penelitian dari suatu
populasi target yang terjangkau dan akan diteliti (Nursalam, 2009: 92).
a) Penderita nyeri sendi dengan usia ≥ 60 tahun yang ditemui pada
saat penelitian.
b) Penderita nyeri sendi yang bersedia untuk menjadi responden.
c) Penderita nyeri sendi yang dapat memberikan informasi untuk
melengkapi data dalam penelitian.
2) Kriteria eksklusi
Kriteria eksklusi adalah hal-hal yang menyebabkan sampel dapat
memenuhi kriteria tidak diikutsertakan dalam penelitian (Nursalam,
2009: 92).
a) Penderita nyeri sendi dengan gangguan kardiovaskuler, seperti
hipertensi berat, stroke, dekompensasio kordis, kelainan katup
jantung, dan angina pektoris.
b) Penderita nyeri sendi yang mengalami komplikasi, seperti fraktur,
tumor ganas terlokalisasi, perdarahan aktif, edema non inflamasi,
gangguan kulit yang menyebabkan kemerahan atau melepuh, dan
deformitas.
c) Penderita nyeri sendi yang sedang menjalani terapi medis maupun
tradisional.
d) Penderita nyeri sendi yang mengkonsumsi obat pereda nyeri.
100
b. Besar sampel
A. Aziz Alimul Hidayat (2011: 80) menyatakan rumus yang dapat
digunakan dalam penelitian eksperimental adalah :
Keterangan:
t = banyak kelompok perlakuan
n = jumlah sampel
Penghitungan :
( t-1 ) ( n-1 ) ≥ 15 = ( 2-1 ) ( n-1 ) ≥ 15
= 1 ( n-1 ) ≥ 15
= ( n-1 ) ≥ 15
= n ≥ 15 + 1
= n ≥ 16
Heru Subaris Kasjono dan Yasril (2009: 104) menyatakan untuk
menghindari dropout, loss of follow up, atau subjek yang tidak taat, maka
perlu dilakukan koreksi terhadap besar sampel yang dihitung, dengan
menambahkan sejumlah subjek agar besar sampel tetap terpenuhi dengan
formula:
( t-1 ) ( n-1 ) ≥ 15
n’ = n/(1-f)
101
Keterangan:
n = besar sampel yang dihitung
f = perkiraan proporsi drop out
Sebagai contoh peneliti mengambil perkiraan proporsi drop out 10%, jadi
perhitungan jumlah sampel:
n’ = n/(1-f)
= 16/(1-0,1)
= 17,8
= 18 orang sampel
Total sampel yang digunakan sebanyak 18 orang untuk masing-masing
kelompok.
c. Cara pengambilan sampel
Pengambilan sampel dalam penelitian ini yaitu menggunakan teknik non
probability sampling dengan metode purposive sampling, yaitu suatu
teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel diantara populasi
sesuai dengan yang dikehendaki peneliti, sehingga sampel tersebut dapat
mewakili karakteristik populasi yang telah dikenal sebelumnya (Nursalam,
2009: 94).
102
C. Lokasi dan Waktu Penelitian
1. Lokasi penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan
Cakung, Jakarta Timur. Alasan peneliti memilih lokasi ini karena tempat
tersebut memiliki kriteria sampel penelitian, disamping itu lokasi ini mudah
dijangkau peneliti.
2. Waktu penelitian
Waktu yang diperlukan dalam melakukan penelitian ini terdiri
dari 8 tahapan yaitu penyusunan proposal, penyusunan
instrumen, persiapan lapangan, uji coba instrumen,
pengumpulan data, pengolahan data, analisis data dan
penyusunan laporan (Soekidjo Notoatmodjo, 2010: 88).
Tahap penyusunan proposal dilakukan pada awal bulan
September 2012, tahap penyusunan instrumen, tahap
persiapan lapangan, dan uji coba instrumen dilakukan pada
awal bulan Maret 2013, sedangkan tahap pengumpulan data
dilakukan pada akhir bulan Maret dan awal bulan April 2013,
pengolahan data dilakukan pada bulan April 2013 dan analisis
data serta penyusunan laporan dilakukan pada akhir bulan
April hingga pertengahan bulan Mei 2013.
103
D. Etika Penelitian
Kode etik penelitian adalah suatu pedoman etika yang berlaku untuk setiap kegiatan
penelitian yang melibatkan antara pihak peneliti, pihak yang diteliti (subjek
penelitian) dan masyarakat yang akan memperoleh dampak hasil penelitian tersebut.
Etika penelitian ini mencangkup juga perilaku peneliti atau perlakuan peneliti
terhadap subjek penelitian serta sesuatu yang dihasilkan oleh peneliti bagi
masyarakat (Soekidjo Notoatmodjo, 2010: 202).
Soekidjo Notoatmodjo (2010: 203) menyatakan secara garis besar, dalam
pelaksanaan sebuah penelitian ada empat prinsip yang harus dipegang teguh, yakni:
dalam melaksanakan sebuah penelitian ada 4 prinsip yang harus dipegang teguh
(Milton, 1999 dalam Bondan Palestin), yakni :
1. Menghormati harkat dan martabat manusia (respect for human dignity)
Peneliti perlu mempertimbangkan hak-hak subjek penelitian untuk
mendapatkan informasi tentang tujuan peneliti melakukan penelitian tersebut.
Disamping itu, peneliti juga memberikan kebebasan kepada subjek untuk
memberikan informasi (berpartisipasi). Sebagai ungkapan, peneliti
menghormati harkat dan martabat subjek penelitian, peneliti seyogjanya
mempersiapkan formulir persetujuan subjek (inform concent) yang mencakup :
a. Penjelasan manfaat penelitian.
b. Penjelasan kemungkinan resiko dan ketidaknyamanan yang ditimbulkan.
c. Penjelasan manfaat yang akan didapatkan.
d. Persetujuan peneliti dapat menjawab setiap pertanyaan yang diajukan
subjek berkaitan dengan prosedur penelitian.
104
e. Persetujuan subjek dapat mengundurkan diri sebagai objek penelitian
kapan saja.
f. Jaminan anonimitas dan kerahasiaan terhadap identitas dan informasi yang
diberikan oleh responden.
2. Menghormati privasi dan kerahasiaan subjek penelitian (respect for privacy and
confidentiality)
Setiap orang mempunyai hak-hak dasar individu termasuk privasi dan
kebebasan individu dalam memberikan informasi. Setiap orang berhak untuk
tidak memberikan apa yang diketahuinya kepada orang lain. Oleh sebab itu,
peneliti tidak boleh menampilkan informasi mengenai identitas dan kerahasiaan
identitas subjek. Peneliti seyogianya cukup menggunakan coding sebagai
pengganti identitas responden.
3. Keadilan dan inklusivitas / keterbukaan (respect for justice and inclusiveness)
Prinsip keterbukaan dan adil perlu dijaga oleh peneliti dengan kejujuran,
keterbukaan, dan kehati-hatian. Untuk itu, lingkungan penelitian perlu
dikondisikan sehingga memenuhi prinsip keterbukaan, yakni dengan
menjelaskan prosedur penelitian. Prinsip keadilan ini menjamin bahwa semua
subjek penelitian memperoleh perlakuan dan keuntungan yang sama, tanpa
membedakan jender, agama, etnis dan sebagainya.
4. Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing harms
and benefits)
Sebuah penelitian hendaknya memperoleh manfaat semaksimal mungkin bagi
masyarakat pada umumnya, dan subjek penelitian pada khususnya. Peneliti
hendaknya berusaha meminimalisasi dampak yang merugikan bagi subjek.
105
Oleh sebab itu, pelaksanaan penelitian harus dapat mencegah atau paling tidak
mengurangi rasa sakit, cidera, stress, maupun kematian subjek penelitian.
Mengacu pada prinsip-prinsip penelitian tersebut, maka setiap penelitian yang
dilakukan oleh siapa saja, termasuk para peneliti kesehatan hendaknya :
a. Memenuhi kaidah keilmuan dan dilakukan berdasarkan hati nurani, moral,
kejujuran, kebebasan dan tanggung jawab.
b. Merupakan upaya untuk mewujudkan ilmu pengetahuan, kesejahteraan,
martabat dan peradaban manusia, serta terhindar dari segala sesuatu yang
menimbulkan kerugian atau membahayakan subjek penelitian atau
masyarakat pada umumnya.
Pada penelitian ini, sebelum penelitian dilakukan peneliti mengajukan permohonan
kepada ketua jurusan untuk dibuatkan surat permohonan melakukan penelitian,
mengajukan surat permohonan di tempat yang akan menjadi tempat penelitian untuk
melakukan penelitian, serta kepada responden diberikan surat persetujuan bersedia
untuk menjadi responden.
E. Alat Pengumpulan Data
Instrumen atau alat penelitian yang akan digunakan dalam
penelitian ini adalah :
1. Informed concent
106
Lembar persetujuan diberikan kepada responden yang akan
diteliti. Berisi kesediaan responden untuk dilakukan intervensi
selama penelitian dilangsungkan.
2. Tensimeter
Alat ukur tekanan darah yang akan digunakan untuk
mengetahui tekanan darah responden.
3. Termometer air
Alat ukur suhu air yang akan digunakan untuk kompres hangat.
4. Lembar kuesioner demografi
Berupa pertanyaan yang diberikan untuk mengetahui identitas
responden, ada atau tidaknya nyeri sendi, lokasi nyeri,
penanganan saat nyeri sendi timbul, dan ada atau tidaknya
penyakit penyerta nyeri sendi pada lansia.
5. Lembar observasi kelompok eksperimen 1 dan 2 (pre/post)
Berupa pertanyaan yang diberikan untuk mengetahui skala
nyeri sebelum dan setelah dilakukannya perlakuan kompres
hangat dan stretching pada lansia di RW 03, Kelurahan
Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013
selama ± 15 menit untuk pertanyaan skala nyeri. Lembar
eksperimen 1 untuk subjek perlakuan dan lembar eksperimen
2 untuk subjek kontrol.
6. Kompres hangat
107
Teknik stimulasi kulit terhadap nyeri sendi pada responden yang dilakukan
dengan cara mengkompres sendi (terutama sendi yang sakit) menggunakan
handuk kecil hangat selama dua minggu dengan frekuensi 5 kali seminggu
dengan durasi 20 menit sebelum memulai stretching dengan suhu 460C.
7. Stretching
Teknik distraksi taktil pada responden nyeri sendi yang dilakukan selama dua
minggu dengan frekuensi 5 kali seminggu dengan durasi 7 menit.
F. Prosedur Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan dengan cara :
a. Mengajukan permohonan izin kepada institusi pendidikan
(Program Studi S1 Keperawatan STIKes Pertamedika).
b. Mengirim permohonan izin yang diperoleh ke ketua RW 03
Kelurahan Pulogebang, Jakarta Timur.
c. Mengumpulkan data lansia melalui RT setempat di wilayah RW
03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur
setelah mendapatkan izin melakukan penelitian di wilayah
tersebut.
d. Menjelaskan kepada calon responden dan keluarga responden
tentang tujuan dan manfaat penelitian.
e. Melakukan intervensi sesuai dengan waktu penelitian yang
telah ditentukan.
108
G. Pengolahan dan Analisa Data
1. Pengolahan data
Pengolahan data yang dilakukan secara statistik komputer dengan langkah
sebagai berikut:
a. Editing
Editing merupakan kegiatan untuk pengecekan dan perbaikan isian
formulir atau kuesioner.
b. Coding
Coding yaitu mengubah data berbentuk kalimat atau huruf menjadi data
angka atau bilangan.
c. Entry data atau processing
Entry data yaitu jawaban-jawaban dari masing-masing responden yang
dalam bentuk “kode” (angka atau huruf) dimasukkan ke dalam program
atau “software” komputer.
d. Cleaning (pembersihan data)
Apabila semua data dari setiap sumber data atau responden selesai
dimasukkan, perlu di cek kembali untuk melihat kemungkinan-
kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan kode, ketidaklengkapan, dan
sebagainya, kemudian dilakukan pembetulan atau koreksi
(Soekidjo Notoatmodjo, 2010: 176 – 178)
2. Analisa data
109
Peneliti melakukan pengolahan data dengan menggunakan program komputer
(Statistical Product and Solution). Dalam penelitian ini ada dua tahap teknik
analisis data yang digunakan, yaitu:
a. Analisis univariat
Analisis univariat bertujan untuk menjelasakan atau mendeskripsikan
karakteristik dan menghasilkan distribusi frekuensi (Soekidjo
Notoatmodjo, 2010: 182).
Pada penelitian ini yang telah digambarkan dalam bentuk distribusi
frekuensi adalah karakteristik penderita nyeri sendi pada lansia yang
meliputi: usia, jenis kelamin, dan lokasi nyeri sendi.
b. Analisis bivariat
Apabila telah dilakukan analisis univariat tersebut di atas, hasilnya akan
diketahui karakteristik atau distribusi setiap variabel, dan dapat dilanjutkan
analisis bivariat. Analisis bivariat yang dilakukan terhadap dua variabel
yang diduga berhubungan atau berkorelasi (Soekidjo Notoatmodjo, 2010:
183).
Analisis bivariat ini dilakukan untuk mengetahui adanya pengaruh kompres
hangat dan stretching terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia di
wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta
Timur tahun 2013 serta pengaruh variabel confounding (usia, jenis
kelamin, dan lokasi nyeri sendi) terhadap penurunan skala nyeri sendi pada
lansia di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung,
Jakarta Timur tahun 2013 dengan menggunakan uji statistik, yaitu Uji Chi
110
Square dengan menggunakan derajat kepercayaan 95% dan tingkat
kemaknaan α = 0,05 dengan rumus:
x2=[∑ f o−f e
f e]2
Keterangan:
x2 : Nilai chi-kuadrat
f e : Frekuensi yang diharapkan
f o : Frekuensi yang diperoleh/diamati
(Laboratorium Gunadarma, 2010: 12)
Jika nilai x2hitung>x2
tabel atau nilai p-value<0,05 maka Ha diterima dan tidak
terdapat perbedaan jika x2hitung≤ x2
tabel atau p>0,05 maka Ho diterima. (Andi
Wijayanto, 2009)
Aturan yang berlaku pada Chi Square adalah sebagai berikut:
1) Bila pada tabel 2 x 2 dijumpai nilai expected (harapan) kurang dari 5,
maka yang digunakan adalah “Fisher’s Excat Test”.
2) Bila tabel 2 x 2, dan tidak ada nilai E < 5, maka uji yang dipakai
sebaiknya “Continuity Correction (α)”
3) Bila tabelnya lebih dari 2 x 2, misalnya 3 x 2, 3 x 3, dan sebagainya,
maka digunakan uji “Pearson Chi Square”.
(Sutanto Priyo Hastono, 2010)
111
Salah satu syarat Uji Chi Square adalah setiap sel paling sedikit berisi
frekuensi harapan sebesar 1 (satu) dan sel yang mempunyai expected count
kurang dari 5 maksimal berjumlah 20%. (Malonda Gaib, 2011). Apabila
distribusi frekuensi datanya normal, biasanya digunakan analisis atau uji
statistik parametrik. Tetapi bila asumsi datanya tidak normal, biasanya
menggunakan analisis uji statistik nonparametrik. (Soekidjo Notoadmodjo,
2010: 182).
BAB V
HASIL PENELITIAN
Bab ini menyajikan data hasil penelitian mengenai pengaruh kompres hangat dan
stretching terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia di wilayah RW 03,
Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013. Semua
responden yang dijadikan sampel berhasil dihimpun datanya secara lengkap melalui
penyebaran angket data demografi (kuesioner) dan pengukuran skala nyeri sendi
sebelum dan setelah kompres hangat dan stretching.
Penelitian ini menggunakan desain Quasi-Eksperiment Non Equivalent Pretest-Posttest
Kontrol Group Design atau disebut juga Non Randomized Kontrol Group Pretest-
Posttest Design, dalam penelitian lapangan, biasanya lebih dimungkinkan untuk
membandingkan hasil intervensi program kesehatan disuatu kontrol yang serupa, tetapi
tidak perlu kelompok yang benar-benar sama, pengelompokkan anggota sampel pada
kelompok eksperimen dan kelompok kontrol tidak dilakukan secara random atau acak
(Setiadi, 2013: 156).
112
113
A. Gambaran Tempat dan Responden Penelitian
Penelitian ini mulai dilakukan pada 10 April 2013 hingga 23 Mei 2013 di wilayah
RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur. Jumlah
responden dalam penelitian ini sebanyak 18 orang pada kelompok intervensi dan 18
orang pada kelompok kontrol dengan pengukuran skala nyeri sendi sebelum dan
setelah dilakukan kompres hangat dan stretching selama dua minggu sebanyak lima
kali seminggu pada pagi hari.
B. Analisis Data
Hasil pengumpulan dan pengolahan data telah dianalisis dalam dua bagian, yaitu: 1)
Analisis univariat yang menggambarkan distribusi frekuensi, 2) Analisis bivariat
untuk melihat pengaruh antara variabel bebas (independent) dan variabel terikat
(dependent).
Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi dan persentase
dari masing-masing variabel responden yaitu usia, jenis kelamin, dan lokasi nyeri.
Sedangkan, analisis bivariat dilakukan untuk melihat pengaruh kompres hangat dan
stretching terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia di wilayah RW 03,
Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013.
114
1. Analisis Univariat
a. Gambaran Karakteristik Usia Responden
Tabel 5.1Distribusi Frekuensi Berdasarkan Usia Responden
di Wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur Tahun 2013
Tabel 5.1 Menunjukan bahwa dari total 36 responden, dari total 36
responden, 23 responden (63,9%) dengan kategori elderly yang berusia
antara 60 – 74 tahun, 11 responden (30,6%) dengan kategori old yang
berusia 75 – 90 tahun, dan 2 responden (5,6%) dengan kategori very old
yang berusia > 90 tahun.
b. Gambaran Karakteristik Jenis Kelamin Responden
Tabel 5.2Distribusi Frekuensi Berdasarkan Jenis Kelamin Responden
di Wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur Tahun 2013
Usia ( Tahun) N %
Elderly (60 – 74 tahun) 23 63,9
Old (75 – 90 tahun) 11 30,6
Very old (>90 tahun) 2 5,6
Total 36 100
Jenis Kelamin N %
Laki-laki 12 33,3
Perempuan 24 66,7
Total 36 100
115
Tabel 5.2 Menunjukkan bahwa dari total 36 responden, 24 responden
(66,7%) berjenis kelamin perempuan dan 12 responden (33,3%) berjenis
kelamin laki-laki.
c. Gambaran Karakteristik Lokasi Nyeri Sendi Responden
Tabel 5.3Distribusi Frekuensi Berdasarkan Lokasi Nyeri Sendi Respondendi Wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung,
Jakarta Timur Tahun 2013
Tabel 5.3 Menunjukkan bahwa dari total 36 responden, 32 responden
(11,1%) mengalami nyeri sendi ektremitas bawah dan 4 responden (88,9
%) mengalami nyeri sendi ekstremitas atas.
Lokasi Nyeri Sendi N %
Ekstremitas Atas 4 11,1
Ekstremitas Bawah 32 88,9
Total 36 100
116
d. Gambaran Karakteristik Penderita Nyeri Sendi Berdasarkan Skala Nyeri
Sebelum Dilakukan Kompres Hangat dan Stretching.
Tabel 5.4Distribusi Rata-rata Penderita Nyeri Sendi Berdasarkan
Skala Nyeri Sebelum Dilakukan Kompres Hangat dan Stretchingdi Wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung,
Jakarta Timur Tahun 2013
Tabel 5.4 Menunjukan bahwa dari total 36 responden, 18 responden pada
kelompok intervensi mengalami nyeri sendi dengan skala sedang 10
responden (55,6%), sedangkan untuk skala ringan dan berat masing-masing
7 responden (38,9%) dan 1 responden (5,6%). Rata-rata skala nyeri sendi
yang dialami responden adalah 2,67 dengan skala nyeri sendi tertinggi 4
atau berat dan skala nyeri terendah 2 atau ringan. Pada kelompok kontrol
dengan total 18 responden, 10 responden (55,6%) mengalami nyeri sendi
dengan skala sedang sedangkan untuk skala ringan dan berat masing-
Kelompok
Skala Nyeri Sendi
N % Mean Med SdMin
Max
Intervensi
0 = Tidak Nyeri 0 0
2,67 3 0,594 2 4
1 = Minimal 0 0
2 = Ringan 7 38,9
3 = Sedang 10 55,6
4 = Berat 1 5,6
Total 18 100
Kontrol
0 = Tidak Nyeri 0 0
2,67 3 0,594 2 4
1 = Minimal 0 0
2 = Ringan 7 38,9
3 = Sedang 10 55,6
4 = Berat 1 5,6
Total 18 100
117
masing 7 responden (38,9%) dan 1 responden (5,6%). Rata-rata skala nyeri
sendi yang dialami responden adalah 2,67 dengan skala nyeri sendi
tertinggi 4 atau berat dan skala nyeri terendah 2 atau ringan.
e. Gambaran Karakteristik Penderita Nyeri Sendi Berdasarkan Skala Nyeri
Setelah Dilakukan Kompres Hangat dan Stretching.
Tabel 5.5Distribusi Rata-rata Penderita Nyeri Sendi Berdasarkan
Skala Nyeri Setelah Dilakukan Kompres Hangat dan Stretchingdi Wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung,
Jakarta Timur Tahun 2013
Tabel 5.5 Menunjukan bahwa dari total 36 responden, 18 responden pada
kelompok intervensi mengalami nyeri sendi dengan skala minimal 10
responden (55,6%), sedangkan untuk skala sedang, ringan dan berat
Kelompok
Skala Nyeri Sendi N % Mean Med Sd Min Max
Intervensi
0 = Tidak Nyeri 0 0
1,78 1 1,003 1 4
1 = Minimal 1055,6
2 = Ringan 316,7
3 = Sedang 422,2
4 = Berat 1 5,6
Total 18 100
Kontrol (tidak dilakukan kompres hangat maupun stretching)
0 = Tidak Nyeri 0 0
2,94 3 0,416 2 4
1 = Minimal 0 0
2 = Ringan 211,1
3 = Sedang 1583,3
4 = Berat 1 5,6
Total 18 100
118
masing-masing 4 responden (22,2%), 3 responden (16,7%), dan 1
responden (5,6%). Rata-rata skala nyeri sendi yang dialami responden
adalah 1,78 dengan skala nyeri sendi tertinggi 4 atau berat dan skala nyeri
terendah 1 atau minimal. Pada kelompok kontrol yang tidak dilakukan
kompres hangat maupun stretching dengan total 18 responden, 15
responden (83,3%) mengalami nyeri sendi dengan skala sedang sedangkan
untuk skala ringan dan berat masing-masing 2 responden (11,1%) dan 1
responden (5,6%). Rata-rata skala nyeri sendi yang dialami responden
adalah 2,94 dengan skala nyeri sendi tertinggi 4 atau berat dan skala nyeri
terendah 2 atau ringan.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk menjelaskan pengaruh kompres hangat dan
stretching terhadap penurunan skala nyeri responden, serta untuk menjelaskan
pengaruh antara variabel independen dengan variabel confounding yang
meliputi usia, jenis kelamin, dan lokasi nyeri. Analisis bivariat menggunakan
uji statistik Chi-Square dengan tingkat kemaknaan (level of significance) 5%
berdasarkan ketentuan sebagai berikut: berpengaruh dikatakan bermakna jika p-
value < 0,05 dan tidak berpengaruh jika p-value > 0,05. Bila data tidak
memenuhi syarat uji Chi-Square, maka digunakan uji Kolmogorov-Smirnov.
119
a. Pengaruh Kompres Hangat dan Stretching Terhadap Penurunan Skala
Nyeri
Tabel 5.6Pengaruh Kompres Hangat dan Stretching
Terhadap Penurunan Skala Nyeri di Wilayah RW 03,Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur
Tahun 2013
Kelompok
Skala Nyeri Sendi
Total %Menurun Tetap Meningkat
N % N % N %
Intervensi 13 72,2 4 22,2 1 5,6 18 100
Kontrol 0 0 13 72,2 5 27,8 18 100
Total 13 36,1 17 47,2 6 16,7 36 100
Tabel 5.6 Menunjukan bahwa pengaruh kompres hangat dan stretching
terhadap penurunan skala nyeri sendi pada kelompok intervensi dengan
total 18 responden, sebanyak 13 responden mengalami penurunan skala
nyeri sendi (72,2%), 4 responden mengalami penetapan skala nyeri sendi
(22,2%), dan 1 responden mengalami peningkatan skala nyeri sendi
(5,6%). Sedangkan pada kelompok kontrol dengan total 18 responden yang
tidak dilakukan kompres hangat maupun stretching, sebanyak 0 responden
yang mengalami penurunan skala nyeri sendi (0%), 13 responden
mengalami penetapan skala nyeri sendi (72,2%), dan 5 responden
mengalami peningkatan skala nyeri sendi (27,8%).
120
Tabel 5.7Uji Kolmogorov-Smirnov Pengaruh Kompres Hangat dan Stretching
Terhadap Penurunan Skala Nyeri di Wilayah RW 03,Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur
Tahun 2013
Kolmogorov-Smirnov Kategori
Asymp. Sig. (2-tailed) 0,000
Tabel 5.7 Menunjukan bahwa hasil uji Kolmogorov-Smirnov didapatkan
nilai p value = 0,000 (p value < 0,05) maka dapat disimpulkan bahwa ada
pengaruh yang signifikan antara kompres hangat dan stretching terhadap
penurunan skala nyeri sendi pada lansia di wilayah RW 03, Kelurahan
Pulogebang, Kecamatan Cakung Jakarta Timur, Tahun 2013.
b. Pengaruh Usia Responden Terhadap Penurunan Skala Nyeri Sendi
Tabel 5.8Pengaruh Usia Responden Terhadap Penurunan Skala Nyeri Sendi
di Wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur Tahun 2013
Tabel 5.8 Menunjukan bahwa pengaruh usia responden terhadap penurunan
skala nyeri sendi pada kelompok usia elderly (60 – 74 tahun) dengan total
Usia
Skala Nyeri Sendi
Total %Menurun Tetap Meningkat
N % N % N %
Elderly (60 – 74 tahun)
9 39,1 8 34,8 6 26,1 23 100
Old (75 – 90 tahun)
4 36,4 7 63,6 0 0 11 100
Very old (>90 tahun)
0 0 2 100 0 0 2 100
Total 13 36,1 17 47,2 6 16,7 36 100
121
23 responden, sebanyak 9 responden mengalami penurunan skala nyeri
sendi (39,1%), 8 responden mengalami penetapan skala nyeri sendi
(34,8%), dan 6 responden mengalami peningkatan skala nyeri sendi
(26,1%). Pada kelompok usia old (75 – 90 tahun) dengan total 11
responden, sebanyak 4 responden mengalami penurunan skala nyeri sendi
(36,4%), 7 responden mengalami penetapan skala nyeri sendi (63,6%), dan
0 responden mengalami peningkatan skala nyeri sendi (0%). Sedangkan
pada kelompok usia very old (>90 tahun) dengan total 2 responden,
sebanyak 0 responden mengalami penurunan skala nyeri sendi (0%), 2
responden mengalami penetapan skala nyeri sendi (100%), dan 0
responden mengalami peningkatan skala nyeri sendi (0%).
Tabel 5.9Uji Kolmogorov-Smirnov Pengaruh Usia Responden Terhadap Penurunan Skala Nyeri Sendi di Wilayah RW 03, Kelurahan
Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta TimurTahun 2013
Kolmogorov-Smirnov Kategori
Asymp. Sig. (2-tailed) 0,941
Tabel 5.9 Menunjukan bahwa hasil uji Kolmogorov-Smirnov didapatkan
nilai p value = 0,941 (p value > 0,05) maka dapat disimpulkan bahwa tidak
ada pengaruh usia terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia di
wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta
Timur tahun 2013.
122
c. Pengaruh Jenis Kelamin Responden Terhadap Penurunan Skala Nyeri
Sendi.
Tabel 5.10Pengaruh Jenis Kelamin Responden
Terhadap Penurunan Skala Nyeri Sendidi Wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung,
Jakarta Timur Tahun 2013
Kelompok
Skala Nyeri Sendi
Total %Menurun Tetap Meningkat
N % N % N %
Laki-laki 6 50% 3 25% 3 25% 12 100
Perempuan 7 29,2 14 58,3 3 12,5 24 100
Total 13 36,1 17 47,2 6 16,7 36 100
Tabel 5.10 Menunjukan bahwa pengaruh jenis kelamin terhadap penurunan
skala nyeri sendi pada laki-laki dengan total 12 responden, sebanyak 6
responden mengalami penurunan skala nyeri sendi (50%), 3 responden
mengalami penetapan skala nyeri sendi (25%), dan 3 responden mengalami
peningkatan skala nyeri sendi (25%). Sedangkan pada perempuan,
sebanyak 7 responden yang mengalami penurunan skala nyeri sendi
(29,2%), 14 responden mengalami penetapan skala nyeri sendi (58,3%),
dan 3 responden mengalami peningkatan skala nyeri sendi (12,5%).
Tabel 5.11Uji Kolmogorov-Smirnov Pengaruh Jenis Kelamin Responden
Terhadap Penurunan Skala Nyeri di Wilayah RW 03,Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur
Tahun 2013
Kolmogorov-Smirnov Kategori
Asymp. Sig. (2-tailed) 0,878
123
Tabel 5.11 Menunjukan bahwa hasil uji Kolmogorov-Smirnov didapatkan
nilai p value = 0,878 (p value > 0,05) maka dapat disimpulkan bahwa tidak
ada pengaruh jenis kelamin terhadap penurunan skala nyeri sendi pada
lansia di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung,
Jakarta Timur tahun 2013.
d. Pengaruh Lokasi Nyeri Sendi Responden Terhadap Penurunan Skala Nyeri
Sendi
Tabel 5.12Pengaruh Lokasi Nyeri Sendi Responden
Terhadap Penurunan Skala Nyeri Sendidi Wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung,
Jakarta Timur Tahun 2013
Kelompok
Skala Nyeri Sendi
Total %Menurun Tetap Meningkat
N % N % N %
Ekstremitas Atas
1 25 2 50 1 25 4 100
Ekstremitas Bawah
12 37,5 15 46,9 5 15,6 32 100
Total 13 36,1 17 47,2 6 16,7 36 100
Tabel 5.12 Menunjukan bahwa pengaruh lokasi nyeri sendi terhadap
penurunan skala nyeri sendi pada sendi ekstremitas bawah dengan total 32
responden, sebanyak 12 responden mengalami penurunan skala nyeri sendi
(50%), 15 responden mengalami penetapan skala nyeri sendi (46,9%), dan
5 responden mengalami peningkatan skala nyeri sendi (15,6%). Sedangkan
pada sendi ekstremitas atas, sebanyak 1 responden yang mengalami
penurunan skala nyeri sendi (25%), 2 responden mengalami penetapan
124
skala nyeri sendi (50%), dan 1 responden mengalami peningkatan skala
nyeri sendi (25%).
Tabel 5.13Uji Kolmogorov-Smirnov Pengaruh Lokasi Nyeri Sendi Responden
Terhadap Penurunan Skala Nyeri di Wilayah RW 03,Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur
Tahun 2013
Kolmogorov-Smirnov Kategori
Asymp. Sig. (2-tailed) 1,000
Tabel 5.13 Menunjukan bahwa hasil uji Kolmogorov-Smirnov didapatkan
nilai p value = 1,000 (p value > 0,05) maka dapat disimpulkan bahwa tidak
ada pengaruh lokasi nyeri sendi terhadap penurunan skala nyeri sendi pada
lansia di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung,
Jakarta Timur tahun 2013.
BAB VI
PEMBAHASAN
Pada bab ini akan diuraikan tentang pembahasan yang meliputi interpretasi dan diskusi
hasil dari penelitian seperti yang telah dipaparkan dalam bab sebelumnya, keterbatasan
penelitian yang terkait dengan desain penelitian yang digunakan dan karakteristik
sampel yang digunakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kompres
hangat dan stretching terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia penderita nyeri
sendi. Kompres hangat dan stretching yang dilakukan lima kali seminggu selama dua
minggu, penelitian ini dilakukan mulai tanggal 10 April sampai 23 Mei 2013 di wilayah
RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur.
A. Interpretasi dan Diskusi Hasil
1. Karakteristik Penderita Hipertensi Berdasarkan Data Demografi
a. Usia
Berdasarkan hasil analisis univariat menunjukkan distribusi frekuensi
menurut usia yang diperoleh dari 36 responden penderita nyeri sendi,
sebanyak 23 responden (63,9%) dengan kategori elderly yang berusia
antara 60 – 74 tahun, 11 responden (30,6%) dengan kategori old yang
berusia antara 75 – 90 tahun, dan 2 responden (5,6%) dengan kategori very
old yang berusia antara >90 tahun.
125
126
Pada penelitian ini, jumlah responden lansia dengan dengan kategori
elderly yang berusia antara 60 – 74 tahun menempati urutan paling besar
yang mengalami nyeri sendi.
Penelitian ini terkait dengan penelitian Mery Fanada dan Widyaiswara
Muda, Badan Diklat Provinsi Sumatera Selatan, yang berjudul “Pengaruh
Kompres Hangat dalam Menurunkan Skala Nyeri pada Lansia yang
Mengalami Nyeri Rematik di Panti Sosial Tresna Werdha Teratai
Palembang Tahun 2012”. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa
karakteristik responden rematik diketahui dari total 20 responden,
responden yang berusia 60 tahun – 70 tahun sebanyak 16 responden (80%)
dan responden yang berusia 71 tahun – 80 tahun sebanyak 4 responden
(20%).
Penelitian ini juga terkait dengan jurnal Nursing Studies Universitas
Diponegoro, Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, berjudul “Pemberian
Intervensi Senam Lansia pada Lansia dengan Nyeri Lutut di Unit
Rehabilitasi Sosial Margo Mukti Kabupaten Rembang” oleh Afifka Dyah
Ayu D. dan Bambang Edi Warsito. Hasil penelitian berdasarkan usia
menunjukkan bahwa lansia dengan usia 61-75 tahun sebanyak 12 lansia
(80%) dan lansia dengan usia 55 – 60 tahun sebanyak 3 lansia (20%).
Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun 2011 mencatat estimasi jumlah
penduduk Indonesia menurut kelompok umur dan jenis kelamin tahun 2011
sebesar 5.901.728 dengan usia 60 – 64 tahun, 4.485.989 dengan usia 65 –
69 tahun, 3.087.132 dengan usia 70 – 74 tahun, dan 3.239.077 dengan usia
≥ 75 tahun.
127
Pada umumnya pengapuran terjadi pada mereka yang berusia di atas 45
tahun. Penyebabnya adalah proses penuaan alami. Secara medis, pada usia
60 tahun orang akan mengalami penggugusan tulang rawan (Heru Triyono,
2009). Konsekuensinya, kartilago pada persendian menjadi rentan terhadap
gesekan (Sri Surini Pudjiastuti, 2003: 9). Gesekan yang terus menerus
menyebabkan nyeri sendi.
Berdasarkan Profil Data Kesehatan Indonesia Tahun 2011, diketahui
jumlah lansia yang berusia 60 – 64 tahun lebih tinggi dibanding jumlah
lansia yang berusia ≥ 75 tahun, hal ini menyebabkan lebih banyaknya data
penderita nyeri sendi pada kategori usia elderly dibanding penderita nyeri
sendi pada kategori usia old dan very old.
Pada penelitian ini, kategori usia very old dan old mayoritas ditemukan
penderita nyeri sendi yang mengalami nyeri kronis (lebih dari 6 bulan)
dengan perilaku negatif, seperti: kekurangan minat untuk berkomunikasi,
paranoid, menarik diri, dan tidak tertarik pada aktivitas fisik, sehingga sulit
bagi peneliti untuk melakukan pengajian data.
Hal ini kemungkinan disebabkan sulit bagi lansia untuk mengomunikasikan
nyeri karena nyeri adalah perasaan subjektif. Lansia mungkin segan untuk
mengatakan bahwa mereka mengalami nyeri (Mickey Stanley dan Patricia
Gauntlett Beare, 2006: 289). Sebagian lansia terkadang pasrah terhadap apa
yang mereka rasakan, mereka menganggap bahwa hal tersebut merupakan
konsekuensi penuaan yang tidak bisa dihindari (Sigit Nian Prasetyo, 2010:
34).
128
b. Jenis Kelamin
Berdasarkan hasil analisis univariat menunjukkan distribusi frekuensi
menurut jenis kelamin yang diperoleh dari 36 responden penderita nyeri
sendi, sebanyak 24 responden (66,7%) berjenis kelamin perempuan dan
sebanyak 12 responden (33,3%) berjenis kelamin laki-laki.
Pada penelitian ini, jumlah responden lansia perempuan menempati urutan
paling besar yang mengalami nyeri sendi.
Penelitian ini terkait dengan penelitian Mery Fanada dan Widyaiswara
Muda, Badan Diklat Provinsi Sumatera Selatan, yang berjudul “Pengaruh
Kompres Hangat dalam Menurunkan Skala Nyeri pada Lansia yang
Mengalami Nyeri Rematik di Panti Sosial Tresna Werdha Teratai
Palembang Tahun 2012”. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa
karakteristik responden rematik diketahui dari total 20 responden,
responden yang berjenis kelamin perempuan sebanyak 12 responden (60%)
dan responden berjenis kelamin perempuan sebanyak 8 responden (40%).
Penelitian ini juga terkait dengan jurnal Nursing Studies Universitas
Diponegoro, Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, berjudul “Pemberian
Intervensi Senam Lansia pada Lansia dengan Nyeri Lutut di Unit
Rehabilitasi Sosial Margo Mukti Kabupaten Rembang” oleh Afifka Dyah
Ayu D. dan Bambang Edi Warsito. Hasil penelitian berdasarkan jenis
kelamin menunjukkan bahwa lansia dengan jenis kelamin perempuan
sebanyak 9 lansia (60%) dan laki-laki sebanyak 6 lansia (40%).
Profil Data Kesehatan Indonesia tahun 2011 mencatat estimasi jumlah
penduduk Indonesia menurut kelompok umur dan jenis kelamin tahun 2011
129
sebesar 9.026.627 untuk perempuan dan 7.688.807 untuk laki-laki dengan
usia masing-masing ≥ 60 tahun.
Secara umum pria dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam
berespon terhadap nyeri. Hanya beberapa budaya menganggap bahwa
seseorang anak laki-laki harus lebih berani dan tidak boleh menangis
dibandingkan anak perempuan dalam situasi yang sama ketika merasakan
nyeri. Penelitian terakhir memperlihatkan hormon seks pada mamalia
berpengaruh terhadap tingkat toleransi terhadap nyeri. Hormon seks
testosteron menaikkan ambang nyeri pada percobaan binatang, sedangkan
esterogen meningkatkan pengenalan/sensitifitas terhadap nyeri. Pada
manusia lebih kompleks, dipengaruhi oleh personal, sosial, budaya, dan
lain-lain (Sigit Nian Prasetyo, 2010: 34).
Hormon yang menentukan massa tulang adalah hormon yang mengatur
kadar kalsium dan plasma, misalnya hormon paratiroid, kalsitonin, dan
vitamin D; sedangkan yang lain mempengaruhi secara tidak langsung,
misalnya hormon esterogen, androgen, insulin, dan tiroksin. Pada wanita,
hormon esterogen merupakan penentu yang penting untuk kepadatan
tulang. Penurunan esterogen meningkatkan aktivitas osteoklas sehingga
kalsium tulang menurun (Sri Surini Pudjiastuti, 2003: 86). Penurunan
massa tulang lebih dipercepat pada wanita pasca menopause (Hartono
Taslim, 2001). Wanita pasca menopause memiliki laju demineralisasi
tulang yang lebih besar daripada pria lansia (Patricia A. Potter, 2005: 736).
Penurunan massa tulang mengakibatkan berkurangnya kepadatan tulang.
130
Dampak berkurangnya kepadatan akan mengakibatkan mengakibatkan
nyeri, deformitas, dan fraktur. (Sri Surini Pudjiastuti, 2003: 10)
c. Lokasi Nyeri Sendi
Berdasarkan hasil analisis univariat menunjukkan distribusi frekuensi
menurut lokasi nyeri sendi yang diperoleh dari 36 responden penderita
nyeri sendi, sebanyak 32 responden (11,1%) mengalami nyeri sendi
ekstremitas bawah dan 24 responden (66,7%) mengalami nyeri sendi
ekstremitas atas.
Pada penelitian ini, jumlah responden dengan nyeri sendi ekstremitas
bawah menempati urutan paling besar yang mengalami nyeri sendi.
Hasil penelitian ini mendukung penelitian terkait jurnal STIKes RS. Baptis
Volume 3, Edisi 1 Juli 2010, berjudul “Pengaruh Latihan Gerak Kaki
(Stretching) terhadap Penurunan Nyeri Sendi Ekstremitas Bawah pada
Lansia di Posyandu Lansia Sejahtera GBI Setia Bakti Kediri” oleh
Yohanita Pamungkas.
Stabilitas sendi bergantung pada permukaan sendi, ligamentum, dan tonus
otot. Ligamentum fibrosa mencegah pergerakan sendi secara berlebihan.
Kalau regangan terus berlangsung lama, ligamentum fibrosa akan teregang.
Ligamentum elastis sebaliknya mengembalikan panjang asal setelah
teregang, misalnya tulang pergerakan memegang peranan aktif dalam
menyokong sendi dan membantu mengembalikan tulang pada posisi asal
setelah melakukan pergerakan (Syaifuddin, 2006: 70 – 71).
Pada penuaan terjadi perubahan fisiologis pada sistem muskuloskletal
sendi, yaitu jaringan kartilago pada persendian menjadi lunak dan
131
mengalami granulasi dan akhirnya permukaan sendi menjadi rata.
Selanjutnya, kemampuan kartilago untuk regenerasi berkurang dan
degenerasi yang terjadi cenderung ke arah progresif. Proteoglikan yang
merupakan komponen dasar matriks kartilago berkurang atau hilang secara
bertahap. Setelah matriks mengalami deteriorasi, jaringan fibril pada
kolagen kehilangan kekuatannya, dan akhirnya kartilago cenderung
mengalami fibrilasi. Kartilago mengalami kalsifikasi di beberapa tempat,
seperti pada tulang rusuk dan tiroid. Fungsi kartilago menjadi tidak efektif,
tidak hanya sebagai peredam kejut, tetapi juga sebagai permukaan sendi
yang berpelumas. Konsekuensinya, kartilago pada persendian menjadi
rentan terhadap gesekan (Sri Surini Pudjiastuti, 2003: 9).
Perubahan tersebut sering terjadi pada sendi besar penumpu berat badan.
Akibat perubahan itu sendi mudah mengalami peradangan, kekakuan,
nyeri, keterbatasan gerak, dan terganggunya aktivitas sehari-hari (Sri Surini
Pudjiastuti, 2003: 9).
Sendi ekstremitas bawah terutama sendi pinggul dan lutut adalah dua sendi
yang paling sering terasa nyeri karena paling banyak menerima beban
(Indonesia Hip and Knee Society, 2007).
d. Tingkat Nyeri Sendi Ekstremitas Bawah pada Lansia Sebelum Diberikan
Stretching dan Kompres Hangat di Wilayah RW 03, Kelurahan
Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur Tahun 2013
Berdasarkan hasil penelitian sebelum diberikan kompres hangat dan
stretching didapatkan sebanyak 18 responden pada kelompok intervensi
mengalami nyeri sendi dengan skala sedang 10 orang (55,6%), sedangkan
132
untuk skala ringan dan berat masing-masing 7 orang (38,9%) dan 1 orang
(5,6%). Rata-rata skala nyeri sendi yang dialami responden adalah 2,67
dengan skala nyeri sendi tertinggi 4 atau berat dan skala nyeri terendah 2
atau ringan. Pada kelompok kontrol dengan total 18 responden, 10 orang
(55,6%) mengalami nyeri sendi dengan skala sedang sedangkan untuk
skala ringan dan berat masing-masing 7 orang (38,9%) dan 1 orang (5,6%).
Rata-rata skala nyeri sendi yang dialami responden adalah 2,67 dengan
skala nyeri sendi tertinggi 4 atau berat dan skala nyeri terendah 2 atau
ringan.
Penelitian ini terkait dengan jurnal STIKes RS. Baptis Volume 3, Edisi 1
Juli 2010, berjudul “Pengaruh Latihan Gerak Kaki (Stretching) terhadap
Penurunan Nyeri Sendi Ekstremitas Bawah pada Lansia di Posyandu
Lansia Sejahtera GBI Setia Bakti Kediri” oleh Yohanita Pamungkas. Hasil
penelitian ini didapatkan bahwa sebelum diberikan latihan gerak kaki
(stretching) terdapat 7 responden (20%) dengan nyeri ringan, 20 responden
(51%) dengan nyeri sedang, dan 9 responden (22,9%) dengan nyeri parah.
Lansia mengalami proses menua (aging) yaitu proses yang terus-menerus
(berlanjut secara alamiah) yang dimulai sejak lahir dan umumnya dialami
oleh semua makhluk hidup (Nugroho, 2000: 13). Pada proses penuaan ini
disertai oleh adanya penurunan kondisi, biologis, psikologis, maupun sosial
yang saling berinteraksi satu sama lain (Pudjiastuti, 2000: 4).
Pada penuaan terjadi perubahan fisiologis pada sistem muskuloskletal,
antara lain: kolagen sebagai protein pendukung utama pada kulit, tendon,
tulang, kartilago, dan jaringan pengikat mengalami perubahan menjadi
133
bentangan cross linking yang tidak teratur; Jaringan kartilago pada
persendian menjadi lunak dan mengalami granulasi dan akhirnya
permukaan sendi menjadi rata. Proteoglikan yang merupakan komponen
dasar matriks kartilago berkurang atau hilang secara bertahap;
Berkurangnya kepadatan tulang; Penurunan jumlah dan ukuran serabut
otot, peningkatan jaringan penghubung, dan jaringan lemak pada otot; Dan
jaringan ikat sekitar sendi seperti tendon, ligamen, dan fasia mengalami
penurunan elastisitas. Terjadi degenerasi, erosi, dan kalsifikasi pada
kartilago dan kapsul sendi. (Sri Surini Pudjiastuti, 2003: 8 – 17)
Perubahan-perubahan yang terjadi mengakibatkan peradangan, kekakuan,
nyeri, keterbatasan gerak, dan terganggunya aktivitas sehari-hari. (Sri
Surini Pudjiastuti, 2003: 9)
International Association for Study of Pain (1979), mendefinisikan nyeri
sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman emosional yang tidak
menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan yang bersifat aktual
atau potensial atau yang dirasakan dalam kejadian-kejadian dimana terjadi
kerusakan. (Sigit Nian Prasetyo, 2010: 2)
Pada kelompok intervensi, 7 orang mengalami skala nyeri ringan (skala 2)
yang artinya rasa sakit terus menerus atau kadang-kadang timbul, tetapi
masih dapat diabaikan/tidak mengganggu, LGS normal, pada penekanan
kuat terasa sakit, fleksi dan ekstensi sakit. Sedangkan 10 orang mengalami
skala nyeri sedang (skala 3) yang artinya keluhan seperti pada derajat 2
(skala 2), ditambah keluhan tersebut mengganggu aktivitas dan LGS
terganggu dan satu orang mengalami skala nyeri berat (skala 4) yang
134
artinya nyeri menyulitkan lansia hampir tak tertahankan dan gerakan
fleksi/ekstensi hampir tidak ada/tidak mampu. (Sri Surini Pudjiastuti, 2003:
63 – 64)
e. Tingkat Nyeri Sendi Ekstremitas Bawah pada Lansia Setelah Diberikan
Stretching dan Kompres Hangat di Wilayah RW 03, Kelurahan
Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur Tahun 2013
Berdasarkan hasil penelitian sebelum diberikan kompres hangat dan
stretching didapatkan sebanyak 18 responden pada kelompok intervensi
mengalami nyeri sendi dengan skala minimal 10 orang (55,6%), sedangkan
untuk skala sedang, ringan dan berat masing-masing 4 orang (22,2%), 3
orang (16,7%), dan satu orang (5,6%). Rata-rata skala nyeri sendi yang
dialami responden adalah 1,78 dengan skala nyeri sendi tertinggi 4 atau
berat dan skala nyeri terendah 1 atau minimal. Pada kelompok kontrol yang
tidak dilakukan kompres hangat maupun stretching dengan total 18
responden, 15 orang (83,3%) mengalami nyeri sendi dengan skala sedang
sedangkan untuk skala ringan dan berat masing-masing 2 orang (11,1%)
dan satu orang (5,6%). Rata-rata skala nyeri sendi yang dialami responden
adalah 2,94 dengan skala nyeri sendi tertinggi 4 atau berat dan skala nyeri
terendah 2 atau ringan.
Penelitian ini terkait dengan penelitian Mery Fanada dan Widyaiswara
Muda, Badan Diklat Provinsi Sumatera Selatan, yang berjudul “Pengaruh
Kompres Hangat dalam Menurunkan Skala Nyeri pada Lansia yang
Mengalami Nyeri Rematik di Panti Sosial Tresna Werdha Teratai
Palembang Tahun 2012”. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa
135
karakteristik responden rematik sesudah dilakukan kompres hangat
sebanyak 20 responden dengan nilai rata-rata 0,20, yaitu tidak nyeri dengan
skala nyeri 0 sebanyak 16 responden (80%) kemudian nyeri sedikit
menyakitkan dengan skala nyeri 2 sebanyak 4 responden (20%).
Mc. Caffery dalam Anas Tamsuri (2006: 43), berbagai tindakan dapat
dilakukan oleh perawat untuk mengatasi nyeri. Tindakan untuk mengatasi
nyeri dapat dibedakan menjadi dua kelompok utama, yaitu tindakan
pengobatan (farmakologis) dan tindakan nonfarmakologis (tanpa
pengobatan).
Kompres hangat merupakan stimulasi fisik berupa stimulasi kulit dengan
panas. Stimulasi kulit dapat memberikan efek penurunkan nyeri yang
efektif. Tindakan ini mengalihkan perhatian klien sehingga klien berfokus
pada stimulus taktil dan mengabaikan sensasi nyeri, yang pada akhirnya
dapat menurunkan persepsi nyeri. (Anas Tamsuri, 2006: 51)
Kompres hangat adalah memberikan rasa hangat pada klien dengan
menggunakan cairan atau alat yang menimbulkan rasa hangat pada bagian
tubuh tertentu yang memerlukannya. (Mery Fanada dan Widyaiswara
Muda, 2012) Kompres panas selain menurunkan sensasi nyeri juga dapat
meningkatkan proses penyembuhan jaringan yang mengalami kerusakan.
(Anas Tamsuri, 2006: 54)
Stretching merupakan bentuk dari penguluran dan peregangan pada otot-
otot disetiap anggota badan biasanya dilakukan sebelum atau setelah
berolahraga. Kegiatan ini bertujuan membuat otot dan persendian menjadi
fleksibel dan elastik. Sehingga menjadi lebih mudah pada saat melakukan
136
pergerakan dan dapat mengurangi dampak cidera yang timbul saat
berolahraga. (Ukas Danaria, 2011)
2. Pengaruh Kompres Hangat dan Stretching Terhadap Penurunan Skala Nyeri
Sendi
Berdasarkan hasil penelitian, jumlah responden yang mengalami penurunan
skala nyeri intervensi yang mendapatkan kompres hangat dan stretching dengan
total 18 responden, sebanyak 13 responden mengalami penurunan skala nyeri
sendi (72,2%), 4 responden mengalami penetapan skala nyeri sendi (22,2%),
dan 1 responden mengalami peningkatan skala nyeri sendi (5,6%). Sedangkan
pada kelompok kontrol yang tidak dilakukan kompres hangat dan stretching
dengan total 18 responden, sebanyak 0 responden yang mengalami penurunan
skala nyeri sendi (0%), 13 responden mengalami penetapan skala nyeri sendi
(72,2%), dan 5 responden mengalami peningkatan skala nyeri sendi (27,8%).
Hasil uji Kolmogorov-Smirnov didapatkan nilai p value = 0,000 (p value <
0,05) maka Ho ditolak, berarti ada penurunan skala nyeri sendi yang signifikan
pada responden penderita nyeri sendi. Jadi, ada pengaruh kompres hangat dan
stretching terhadap penurunan skala nyeri sendi di wilayah RW 03, Kelurahan
Pulogebang, Kecamatan Cakung Jakarta Timur, Tahun 2013.
Hasil penelitian ini mendukung penelitian terkait dari jurnal STIKes RS. Baptis
Volume 3, Edisi 1 Juli 2010, berjudul “Pengaruh Latihan Gerak Kaki
(Stretching) terhadap Penurunan Nyeri Sendi Ekstremitas Bawah pada Lansia
di Posyandu Lansia Sejahtera GBI Setia Bakti Kediri” oleh Yohanita
Pamungkas. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa sebelum diberikan latihan
137
gerak kaki (stretching) terdapat 7 responden (20%) dengan nyeri ringan, 20
responden (51%) dengan nyeri sedang, dan 9 responden (22,9%) dengan nyeri
parah. Setelah dilakukan latihan gerak kaki (stretching) terdapat 33 responden
(94,2%) yang mengalami penurunan nyeri sendi ekstremitas bawah. Hasil uji
statistik Wilcoxon Match Pair Test dengan tingkat kemaknaan p = 0,00, hal ini
berarti terdapat pengaruh latihan gerak kaki (stretching) terhadap penurunan
nyeri sendi ekstremitas bawah pada lansia di posyandu lansia Sejahtera GBI
Setia Bakti Kediri.
Penelitian ini terkait dengan jurnal Nursing Studies Universitas Diponegoro,
Volume 1, Nomor 1, Tahun 2012, berjudul “Pemberian Intervensi Senam
Lansia pada Lansia dengan Nyeri Lutut di Unit Rehabilitasi Sosial Margo
Mukti Kabupaten Rembang” oleh Afifka Dyah Ayu D. dan Bambang Edi
Warsito. Hasil penelitian ini didapatkan bahwa senam lansia efektif untuk
mengatasi nyeri lutut pada lansia. Hasil penelitian berdasarkan jenis kelamin
menunjukkan bahwa lansia dengan jenis kelamin perempuan sebanyak 9 lansia
(60%) dan laki-laki sebanyak 6 lansia (40%). Hasil penelitian berdasarkan usia
menunjukkan bahwa lansia dengan usia 61-75 tahun sebanyak 12 lansia (80%)
dan lansia dengan usia 55 – 60 tahun sebanyak 3 lansia (20%). Hasil penelitian
sesudah dilakukan terapi senam lansia menunjukkan bahwa sebesar 86,7%
lansia memiliki skala nyeri 0 atau tidak nyeri dan 13,33% lansia mempunyai
skala nyeri 1 atau skala nyeri ringan. Hasil uji statistik Wilcoxon diperoleh nilai
p-value 0,001 yang berarti sig<α=(0,05). Nilai signifikansi 0,001 < 0,05 artinya
hipotesa diterima. Kesimpulannya pemberian terapi senam lansia efektif
mengatasi nyeri lutut pada lansia. Pemberian terapi senam lansia ini dapat
138
digunakan oleh siapapun tanpa mengeluarkan uang. Sebagai perawat komunitas
terapi senam lansia dapat diterapkan untuk meningkatkan kualitas mutu
pelayanan kesehatan lansia di suatu instansi. Terapi senam lansia efektif dalam
mengurangi nyeri lutut pada lansia.
Penelitian ini juga terkait dengan penelitian Mery Fanada dan Widyaiswara
Muda, Badan Diklat Provinsi Sumatera Selatan, yang berjudul “Pengaruh
Kompres Hangat dalam Menurunkan Skala Nyeri pada Lansia yang Mengalami
Nyeri Rematik di Panti Sosial Tresna Werdha Teratai Palembang Tahun 2012”.
Hasil penelitian ini didapatkan bahwa karakteristik responden rematik diketahui
yang tidak sekolah yaitu 35% dan berpendidikan rendah yaitu 65%, yang tidak
bekerja lebih banyak dibandingkan dengan yang bekerja yaitu 85%, dan umur
responden semua ≥ 60 tahun, serta karakteristik jenis kelamin laki-laki 40% dan
perempuan 60%. Tingkat nyeri rematik pada lansia sebelum dilakukan kompres
hangat sebanyak 20 responden dengan nilai rata-rata 2.45, yaitu nyeri lebih
menyakitkan dengan skala nyeri 2 sebanyak 11 responden (55%) kemudian
nyeri lebih menyakitkan lagi dengan skala nyeri 3 sebanyak 9 responden (45%).
Tingkat nyeri rematik pada lansia sesudah dilakukan kompres hangat sebanyak
20 responden dengan nilai rata-rata 0.20, yaitu tidak nyeri dengan skala nyeri 0
sebanyak 16 responden (80%) kemudian nyeri sedikit menyakitkan dengan
skala nyeri 2 sebanyak 4 responden (20%). Berdasarkan uji statistik
menunjukkan (ρ value = 0.000, α = 0.05), maka didapatkan ada perbedaan yang
signifikan antara pengukuran tingkat nyeri sebelum dilakukan kompres hangat
dengan pengukuran nyeri sesudah dilakukan kompres hangat. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa tindakan kompres hangat yang dilakukan sesuai dengan
139
aturan dapat menurunkan tingkat nyeri pada lansia yang mengalami nyeri
rematik.
Hal ini disebabkan karena kompres hangat selain memberi efek mengatasi atau
menghilangkan sensasi nyeri, teknik ini juga memberikan reaksi fisiologis
antara lain: meningkatkan respons inflamasi, meningkatkan aliran darah dalam
jaringan, dan meningkatkan pembentukan edema (Anas Tamsuri, 2006: 54).
Menurut Audrey Berman (2009: 402) Efek fisiologis kompres panas, antara
lain: vasodilatasi, meningkatkan permeabilitas kapiler, meningkatkan
metabolisme selular, merelaksasi otot, meningkatkan inflamasi; meningkatkan
aliran darah ke suatu area, meredakan nyeri dengan merelaksasi otot, efek
sedatif, dan mengurangi kekakuan sendi dengan menurunkan viskositas cairan
sinovial.
Stretching atau peregangan adalah penghubung penting antara kehidupan statis
dan kehidupan aktif, yang membuat otot tetap lentur, membuat siap bergerak
dan membantu tubuh beralih dari kehidupan kurang gerak ke aktivitas banyak
gerak tanpa menimbulkan ketegangan (Anderson, 2008: 11).
Peregangan yang teratur akan membuahkan hasil-hasil sebagai berikut:
mengurangi ketegangan otot dan membuat tubuh terasa lebih relaks; membantu
koordinasi dengan melakukan gerakan yang lebih bebas dan lebih mudah;
memperluas rentang gerak; membantu mencegah cedera seperti kram otot (Otot
yang kuat dan lentur dapat menahan beban lebih baik daripada otot kuat tapi
kaku); membuat aktivitas yang berat, seperti berlari, bermain ski, bermain tenis,
berenang, dan bersepeda, menjadi lebih mudah dilakukan, karena peregangan
akan menyiapkan tubuh untuk beraktivitas; membantu mempertahankan tingkat
140
kelenturan Anda, sehingga dengan berjalannya waktu, Anda tidak akan menjadi
semakin kaku; membangun kesadaran akan tubuh Anda (ketika meregangkan
berbagai bagian tubuh, Anda akan terfokus pada bagian-bagian tersebut dan
berkomunikasi dengannya, Anda mulai mengenali diri sendiri); membantu
mengendurkan kendali pikiran atas tubuh, sehingga tubuh bergerak ‘demi
dirinya sendiri’ dan bukan untuk kompetisi atau ego; merasa nyaman (Bob
Anderson, 2008: 14).
Selain dapat menurunkan sensasi nyeri kompres hangat juga dapat
meningkatkan proses penyembuhan jaringan yang mengalami kerusakan (Anas
Tamsuri, 2006: 54). Sedangkan stretching membuat otot-otot yang tegang akan
berkurang dan mempertahankan atau meningkatkan kelenturan tubuh sehingga
tubuh terasa lebih relaks. Selain itu rentang gerak lansia menjadi lebih luas
sehingga membuat aktivitas yang berat menjadi lebih mudah dilakukan.
Dengan adanya penurunan rasa nyeri sendi tersebut maka lansia dapat menjadi
lebih aktif, produktif dan dapat menjalani masa tuanya dengan lebih nyaman
(Yohana Pamungkas, 2010: 11).
3. Pengaruh Usia Terhadap Penurunan Skala Nyeri Sendi
Berdasarkan hasil penelitian, jumlah responden yang mengalami penurunan
skala nyeri berdasarkan usia dengan total 36 responden, pada kelompok usia
elderly (60 – 74 tahun) dengan total 23 responden, sebanyak 9 responden
mengalami penurunan skala nyeri sendi (39,1%), 8 responden mengalami
penetapan skala nyeri sendi (34,8%), dan 6 responden mengalami peningkatan
skala nyeri sendi (26,1%). Pada kelompok usia old (75 – 90 tahun) dengan total
141
11 responden, sebanyak 4 responden mengalami penurunan skala nyeri sendi
(36,4%), 7 responden mengalami penetapan skala nyeri sendi (63,6%), dan 0
responden mengalami peningkatan skala nyeri sendi (0%). Sedangkan pada
kelompok usia very old (>90 tahun) dengan total 2 responden, sebanyak 0
responden mengalami penurunan skala nyeri sendi (0%), 2 responden
mengalami penetapan skala nyeri sendi (100%), dan 0 responden mengalami
peningkatan skala nyeri sendi (0%).
Hasil uji Kolmogorov-Smirnov didapatkan nilai p value = 0,941 (p value >
0,05) maka Ho diterima, berarti tidak ada penurunan skala nyeri sendi yang
signifikan pada responden penderita nyeri sendi. Jadi, tidak ada pengaruh usia
terhadap penurunan skala nyeri sendi di wilayah RW 03, Kelurahan
Pulogebang, Kecamatan Cakung Jakarta Timur, Tahun 2013.
Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan teori McCaffery dan Pasero
(1999) dikutip dari Sigit Nian Prasetyo (2010: 33 – 37) yang menyatakan
bahwa usia merupakan variabel yang penting dalam mempengaruhi nyeri pada
individu.
Hal ini kemungkinan dikarenakan masalah kesehatan fisiologis. Hampir 80%
dewasa diatas 65 tahun mempunyai sedikitnya satu masalah kesehatan kronis,
salah satunya adalah kerusakan sensori (Patricia A. Potter, 2005: 743). Sulit
bagi lansia untuk mengomunikasikan nyeri karena nyeri adalah perasaan
subjektif. Lansia mungkin segan untuk mengatakan bahwa mereka mengalami
nyeri, dan jika ya, laporannya sering tidak ditanggapi oleh pemberi perawatan
kesehatan yang salah mempercayai bahwa lansia tidak dapat merasakan nyeri
atau tidak mampu untuk menilainya. Oleh karena itu, nyeri mereka tidak
142
ditangani dengan baik atau bahkan tidak ditangani sama sekali (Mickey Stanley
dan Patricia Gauntlett Beare, 2006: 289).
Lansia tidak memberitahukan nyerinya karena berbagai alasan; Mereka
menyukai dokternya dan tidak ingin mengecewakannya, mereka tidak terbiasa
mengeluh, dan mereka percaya bahwa nyeri adalah bagian normal dari penuaan
(Mickey Stanley dan Patricia Gauntlett Beare, 2006: 289).
Laporan perubahan terkait usia terhadap presepsi nyeri masih kontroversial, dan
baik profesi pelayanan kesehatan maupun orang awam percaya bahwa nyeri
adalah bagian alami dari penuaan dan penyakit (Ferell dan Rivera, 1996 dikutip
dari Patricia A. Potter, 2005: 744). Presepsi yang salah ini mengakibatkan nyeri
tidak dilaporkan dan mencegah penggunaan tindakan penghilang nyeri yang
sesuai untuk lansia (Patricia A. Potter, 2005: 744).
Pada pasien lansia, seringkali memiliki sumber nyeri lebih dari satu. Terkadang
penyakit yang berbeda-beda yang diderita lansia menimbulkan gejala yang
sama. Sebagian lansia terkadang pasrah terhadap apa yang mereka rasakan,
mereka menganggap bahwa hal tersebut merupakan konsekuensi penuaan yang
tidak bisa dihindari (Sigit Nian Prasetyo, 2010: 34).
Selain itu, faktor lain seperti ansietas yang bersifat kompleks dan keletihan
seringkali meningkatkan persepsi nyeri dan menurunkan kemampuan koping
individu (Sigit Nian Prasetyo, 2010: 34).
4. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Penurunan Skala Nyeri Sendi
Berdasarkan hasil penelitian, jumlah responden yang mengalami penurunan
skala nyeri berdasarkan jenis kelamin dengan total 36 responden, pada laki-laki
143
dengan total 12 responden, sebanyak 6 responden mengalami penurunan skala
nyeri sendi (50%), 3 responden mengalami penetapan skala nyeri sendi (25%),
dan 3 responden mengalami peningkatan skala nyeri sendi (25%). Sedangkan
pada perempuan, sebanyak 7 responden yang mengalami penurunan skala nyeri
sendi (29,2%), 14 responden mengalami penetapan skala nyeri sendi (58,3%),
dan 3 responden mengalami peningkatan skala nyeri sendi (12,5%).
Hasil uji Kolmogorov-Smirnov didapatkan nilai p value = 0,878 (p value >
0,05) maka Ho diterima, berarti tidak ada penurunan skala nyeri sendi yang
signifikan pada responden penderita nyeri sendi. Jadi, tidak ada pengaruh jenis
kelamin terhadap penurunan skala nyeri sendi di wilayah RW 03, Kelurahan
Pulogebang, Kecamatan Cakung Jakarta Timur, Tahun 2013.
Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan teori yang mengatakan jenis
kelamin berpengaruh terhadap toleransi nyeri seseorang.
Secara umum pria dan wanita tidak berbeda secara signifikan dalam berespon
terhadap nyeri. Hanya beberapa budaya menganggap bahwa seseorang anak
laki-laki harus lebih berani dan tidak boleh menangis dibandingkan anak
perempuan dalam situasi yang sama ketika merasakan nyeri. Penelitian terakhir
memperlihatkan hormon seks pada mamalia berpengaruh terhadap tingkat
toleransi terhadap nyeri. Hormon seks testosteron menaikkan ambang nyeri
pada percobaan binatang, sedangkan esterogen meningkatkan
pengenalan/sensitifitas terhadap nyeri. Pada manusia lebih kompleks,
dipengaruhi oleh personal, sosial, budaya, dan lain-lain (Sigit Nian Prasetyo,
2010: 34).
144
Orang belajar dari budayanya, bagaimana seharusnya mereka berespon
terhadap nyeri misalnya seperti suatu daerah menganut kepercayaan bahwa
nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka melakukan kesalahan,
jadi mereka tidak mengeluh jika ada nyeri (Psychology, 2012).
Setiap individu memiliki cara berespon terhadap nyeri yang berbeda. Seorang
klien berkebangsaan Mexico-Amerika yang menangis keras tidak selalu
mempersepsikan pengalaman nyeri sebagai sesuatu yang berat atau
mengaharapkan perawat melakukan intervensi (Sigit Nian Prasetyo, 2010: 35).
Setiap individu belajar dari pengalaman nyeri, akan tetapi pengalaman yang
telah dirasakan individu tersebut tidak berarti bahwa individu tersebut akan
mudah dalam menghadapi nyeri pada masa mendatang. Seseorang yang
terbiasa merasakan nyeri akan lebih siap dan mudah mengantisipasi nyeri
daripada individu yang mempunyai pengalaman sedikit tentang nyeri (Sigit
Nian Prasetyo, 2010: 36).
Individu yang mengalami nyeri seringkali membutuhkan dukungan, bantuan,
perlindungan dari anggota keluarga lain, atau teman terdekat. Walaupun nyeri
masih dirasakan klien, kehadiran orang terdekat akan meminimalkan kesepian
dan ketakutan (Sigit Nian Prasetyo, 2010: 37).
5. Pengaruh Lokasi Nyeri Sendi Terhadap Penurunan Skala Nyeri Sendi
Berdasarkan hasil penelitian, jumlah responden yang mengalami penurunan
skala nyeri berdasarkan jenis kelamin dengan total 36 responden, pada sendi
ekstremitas bawah dengan total 32 responden, sebanyak 12 responden
mengalami penurunan skala nyeri sendi (50%), 15 responden mengalami
145
penetapan skala nyeri sendi (46,9%), dan 5 responden mengalami peningkatan
skala nyeri sendi (15,6%). Sedangkan pada sendi ekstremitas atas, sebanyak 1
responden yang mengalami penurunan skala nyeri sendi (25%), 2 responden
mengalami penetapan skala nyeri sendi (50%), dan 1 responden mengalami
peningkatan skala nyeri sendi (25%).
hasil uji Kolmogorov-Smirnov didapatkan nilai p value = 1,000 (p value > 0,05)
maka Ho diterima, berarti tidak ada penurunan skala nyeri sendi yang
signifikan pada responden penderita nyeri sendi. Jadi, tidak ada pengaruh lokasi
nyeri sendi terhadap penurunan skala nyeri sendi di wilayah RW 03, Kelurahan
Pulogebang, Kecamatan Cakung Jakarta Timur, Tahun 2013.
Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan teori yang mengatakan lokasi
nyeri sendi berpengaruh terhadap toleransi nyeri seseorang.
Hal ini dikarenakan nyeri yang dirasakan bervariasi dalam intensitas dan
tingkat keparahan pada masing-masing individu. Nyeri yang dirasakan mungkin
terasa ringan, sedang atau bisa jadi merupakan nyeri yang berat. Dalam
kaitannya dengan kualitas nyeri, masing-masing individu juga bervariasi, ada
yang melaporkan nyeri seperti tertusuk, nyeri tumpul, berdenyut, terbakar, dan
lain-lain (Sigit Nian Prasetyo, 2010: 35). Perilaku klien dalam merespons nyeri
ini dapat dipengaruhi oleh kemampuan tubuh untuk menoleransi nyeri dan juga
oleh berat-ringannya sensasi nyeri itu sendiri. (Anas Tamsuri, 2006: 22).
(ambang perbedaan nyeri ekstremitas bawah sama atas lbh bsr mn)
146
B. Keterbatasan Penelitian
Peneliti menyadari banyaknya keterbatasan yang dialami selama penelitian
dilaksanakan, sehingga dapat mempengaruhi hasil penelitian ini. Adapun
keterbatasan yang peneliti alami, yaitu:
1. Peneliti tidak meneliti faktor-faktor lain yang mempengaruhi persepsi dan reaksi
nyeri, seperti makna nyeri, perhatian, ansietas, keletihan, pengalaman
sebelumnya, serta dukungan keluarga dan sosial.
2. Peneliti tidak mengkaji secara detail apakah nyeri sendi yang ditimbulkan murni
karena peradangan sendi atau kelainan pada sendi secara patologis, atau
disebabkan pengaruh psikologis lansia, seperti depresi.
3. Peneliti tidak bisa menjamin para responden di kelompok intervensi dapat
melakukan kompres hangat dan stretching secara mandiri dengan sempurna
karena tidak diamati secara khusus.
4. Jumlah sample dalam penelitian ini masih terbatas, yaitu sebanyak 36
responden.
BAB VII
PENUTUP
Bab ini akan menjelaskan mengenai kesimpulan hasil dari pembahasan mengenai
penelitian secara sistematik yang berkaitan dengan upaya menjawab tujuan penelitian.
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian “pengaruh kompres hangat dan stretching terhadap
penurunan skala nyeri sendi pada lansia di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang,
Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013”, dapat disimpulkan bahwa :
1. Hasil penelitian berdasarkan kategori usia menunjukan bahwa dari total 36
responden, 23 responden (63,9%) dengan kategori elderly (60 – 74 tahun), 11
responden (30,6%) dengan kategori old (75 – 90 tahun), dan 2 responden
(5,6%) dengan kategori very old (> 90 tahun).
2. Hasil penelitian berdasarkan kategori jenis kelamin menunjukan bahwa dari
total 36 responden, 24 responden (66,7%) berjenis kelamin perempuan dan 12
responden (33,3%) berjenis kelamin laki-laki.
3. Hasil penelitian berdasarkan kategori lokasi nyeri sendi menunjukan bahwa dari
total 36 responden, 32 responden (11,1%) mengalami nyeri sendi ektremitas
bawah dan 4 responden (88,9 %) mengalami nyeri sendi ekstremitas atas.
147
148
4. Hasil penelitian berdasarkan kategori lokasi nyeri sendi sebelum dilakukan
kompres hangat dan stretching menunjukan bahwa dari total 36 responden, 18
responden pada kelompok intervensi mengalami nyeri sendi skala sedang 10
responden (55,6%), skala ringan 7 responden (38,9%), dan skala berat 1
responden (5,6%). Rata-rata skala nyeri sendi yang dialami responden adalah
2,67 dengan skala nyeri sendi tertinggi 4 atau berat dan skala nyeri terendah 2
atau ringan. Pada kelompok kontrol dengan total 18 responden, 10 responden
(55,6%) mengalami nyeri sendi dengan skala sedang, skala ringan 7 responden
(38,9%), dan skala berat 1 responden (5,6%). Rata-rata skala nyeri sendi yang
dialami responden adalah 2,67 dengan skala nyeri sendi tertinggi 4 atau berat
dan skala nyeri terendah 2 atau ringan.
5. Hasil penelitian berdasarkan kategori lokasi nyeri sendi menunjukan bahwa
setelah dilakukan kompres hangat dan stretching dari total 36 responden, 18
responden pada kelompok intervensi mengalami nyeri sendi dengan skala
minimal 10 responden (55,6%), skala sedang 4 responden (22,2%), skala
ringan 3 responden (16,7%), dan skala berat 1 responden (5,6%). Rata-rata
skala nyeri sendi yang dialami responden adalah 1,78 dengan skala nyeri sendi
tertinggi 4 atau berat dan skala nyeri terendah 1 atau minimal. Pada kelompok
kontrol yang tidak dilakukan kompres hangat maupun stretching dengan total
18 responden, 15 responden (83,3%) mengalami nyeri sendi dengan skala
sedang, skala ringan 2 responden (11,1%) dan skala berat 1 responden (5,6%).
Rata-rata skala nyeri sendi yang dialami responden adalah 2,94 dengan skala
nyeri sendi tertinggi 4 atau berat dan skala nyeri terendah 2 atau ringan.
148
149
6. Hasil uji Kolmogorov-Smirnov didapatkan nilai p value = 0,000 (p value <
0,05) maka dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara
kompres hangat dan stretching terhadap penurunan skala nyeri sendi pada
lansia di wilayah RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung Jakarta
Timur, Tahun 2013.
7. Hasil uji Kolmogorov-Smirnov didapatkan nilai p value = 0,941 (p value >
0,05) maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh usia terhadap
penurunan skala nyeri sendi pada lansia di wilayah RW 03, Kelurahan
Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013.
8. Hasil uji Kolmogorov-Smirnov didapatkan nilai p value = 0,878 (p value >
0,05) maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh jenis kelamin
terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia di wilayah RW 03, Kelurahan
Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013.
9. Hasil uji Kolmogorov-Smirnov didapatkan nilai p value = 1,000 (p value >
0,05) maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh lokasi nyeri sendi
terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia di wilayah RW 03, Kelurahan
Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013.
B. Saran
Ada beberapa hal yang dapat disarankan dalam penelitian ini, yaitu :
1. Bagi praktisi kesehatan agar dapat menjadikan kompres hangat dan stretching
sebagai salah satu alternatif tatalaksana pada pasien dengan nyeri sendi.
149
150
2. Bagi pelayanan keperawatan komunitas, dengan adanya hasil penelitian ini
dapat digunakan sebagai salah satu intervensi mandiri keperawatan dalam
menangani lansia dengan nyeri sendi di masyarakat.
3. Untuk peneliti selanjutnya agar dapat melakukan penelitian lebih lanjut
mengenai pengaruh kompres hangat dan stretching terhadap penurunan skala
nyeri sendi.
150
DAFTAR PUSTAKA
Agoes, Azwar, dkk. (2010). Penyakit di Usia Tua. Jakarta: EGC
Anderson, Bob. (2008). Stretching. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta
Ayu, Afifka Dyah, dkk. (2012). Pemberian Intervensi Senam Lansia pada Lansia dengan Nyeri Lutut di Unit Rehabilitasi Sosial Margo Mukti Kabupaten Rembang. Jurnal Nursing Studies Universitas Diponegoro, 1, 60 – 65. Diunduh pada 24 Februari 2013 melalui http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jnursing/article/view/163
Azizah, Lilik Ma’rifatul. (2011). Keperawatan Lanjut Usia. Yogyakarta: Graha Ilmu
Berman, Audrey, dkk. (2009). Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis. (Edisi 5). Jakarta: EGC
Davies, Kim. (2007). Buku Pintar Nyeri Tulang dan Otot. Jakarta: Erlangga
Fanada, Mery, dkk. (2012). Pengaruh Kompres Hangat dalam Menurunkan Skala Nyeri pada Lansia yang Mengalami Nyeri Rematik di Pati Sosial Tresna Werdha Teratai Palembang Tahun 2012. Diunduh pada 22 Maret 2013 melalui http://www.banyuasinkab.go.id/tampung/dokumen/dokumen-15-50.pdf
Gaib, Malonda. (2011). Uji Kai Kuadrat (Chi Square Test). Diunduh pada 14 Maret 2013 melalui http://statistik-kesehatan.blogspot.com/2011/04/uji-kai-kuadrat-chi-square-test.html
Hidayat, A. Aziz Alimul. (2011). Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika
Indonesia Hip and Knee Society. 2007. Jenis Sakit Nyeri Sendi. Diunduh pada 10 Juni 2013 melalui http://www.sakitsendi.info/artikel/78-jenis-sakit-nyeri-sendi.html
Kasjono, Heru Subaris, dkk. (2009). Teknik Sampling untuk Penelitian Kesehatan. Yogyakarta: Graha Ilmu
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2012). Profil Data Kesehatan Indonesia 2011. Diunduh pada 10 Maret 2013 melalui http://www.depkes.go.id/downloads/PROFIL_DATA_KESEHATAN_INDONESIA_TAHUN_2011.pdf
Kushariyadi. (2010). Asuhan Keperawatan pada Klien Lanjut Usia. Jakarta: Salemba Medika
151
Laboratorium Gunadarma. (2010). Modul Praktikum Materi Chi Square. Diunduh pada 14 Maret 2013 melalui http://ma-dasar.lab.gunadarma.ac.id/wp-content/uploads/2010/01/Modul-Chi-Square.pdf
Lukman, dkk. (2012). Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika
Majalah Kesehatan (2011). 5 Penyebab Umum Nyeri Sendi. Diunduh pada 8 Maret 2013 melalui http://majalahkesehatan.com/5-penyebab-umum-nyeri-sendi/
Maria, Eva. (2008). Pengaruh Teknik Distraksi (Mendengarkan Musik) Terhadap penurunan Nyeri saat Menstruasi Hari Ke 1 pada Mahasiswa PSIK UMY. Skripsi master tidak diterbitkan, Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia. Diunduh melalui http://digilib.fk.umy.ac.id/gdl.php?mod=bookmark&id=yoptumyfkpp-gdl-hasnahrimi-323
Nian Prasetyo, Sigit. (2010). Konsep dan Proses Keperawatan Nyeri. Yogyakarta: Graha Ilmu
Notoatmodjo, Soekidjo. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta
Nursalam. (2009). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika
Pamungkas, Yohanita. (2010). Pengaruh Latihan Gerak Kaki (Stretching) terhadap Penurunan Nyeri Sendi Ekstremitas Bawah pada Lansia di Posyandu Lansia Sejahtera GBI Setia Bakti Kediri. Jurnal STIKes RS Baptis, 3, 8 – 12. Diunduh pada 8 Maret 2013 melalui http://puslit2.petra.ac.id/ejournal/index.php/stikes/article/view/18443
Pearce, C. Evelyn. (2010). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Psychology. (2012). Faktor yang Mempengaruhi Nyeri. Diunduh pada 10 Juni 2013 melalui http://www.psychologymania.com/2012/08/faktor-yang-mempengaruhi-nyeri.html
Potter, Patricia A. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik (Fundamentals of Nursing: Concepts, Process, and Practice). (Edisi 4). Jakarta: EGC
Pudjiastuti, Sri Surini, dkk. (2003). Fisioterapi pada Lansia. Jakarta: EGC
152
Setiadi. (2007). Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu
Stanley, Mickey, dkk. (2006). Buku Ajar Keperawatan Gerontik. (Edisi 2). Jakarta: EGC
Syaifuddin. 2006. Anatomi Fisiologi untuk Mahasiswa Keperawatan. (Edisi 3). Jakarta. EGC
Hastono, Sutanto Priyo. (2010). Analisis Data Kesehatan. Jakarta: FKUI
Tamsuri, Anas. (2006). Konsep dan Penatalaksanaan Nyeri. Jakarta: EGC
Taslim, Hartono. (2001). Gangguan Muskuloskeletal pada Usia Lanjut. Diunduh pada 10 Juni 2013 melalui http://www.tempo.co.id/medika/arsip/072001/pus-1.htm
Ukas Danaria (2011). Peregangan (Stretching). Diunduh pada 8 Maret 2013 melalui http://yukez.wordpress.com/2011/03/13/peregangan-stretching/
Wijayanto, Andi. (2009). Uji Chi Square. Diunduh pada 14 Maret 2013 melalui http://eprints.undip.ac.id/6796/1/CHI-KUADRAT.pdf
153
LAMPIRAN
Lampiran 3
PENJELASAN PENELITIAN
Kepada : Yth. Saudara/i
di-
RW 03 Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur
Bersama ini disampaikan bahwa dalam rangka menyelesaikan tugas akhir di Program
Sarjana Ilmu Keperawatan STIKES PERTAMEDIKA, maka saya :
Nama : Itjmi Ayoe Feryani
NPM : 09028
Alamat : Asrama Palad GUPUSMU III RT 01/03 No. D13, Jak-Tim
Nomor telephone : 085710071060
Alamat email : [email protected]
Bermaksud mengadakan penelitian skripsi berjudul Pengaruh kompres hangat dan
stretching terhadap penurunan skala nyeri sendi pada lansia di RW 03, Kelurahan
Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013. Tujuan umum penelitian ini
adalah untuk mengetahui pengaruh kompres hangat dan stretching terhadap penurunan
skala nyeri sendi pada lansia di RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung,
Jakarta Timur tahun 2013.
Penelitian ini tidak akan menimbulkan kerugian dan pengaruh apapun. Hal tersebut
karena semua informasi dan kerahasiaan identitas yang diberikan akan dijaga dan hanya
digunakan untuk penelitian ini semata. Jika saudara/i telah menjadi responden dan
terjadi hal-hal yang menimbulkan ketidaknyamanan maka saudara/i diperkenankan
untuk mengundurkan diri dari penelitian dengan memberi informasi kepada peneliti.
Saudara/i tidak mendapat manfaat secara langsung dalam penelitian ini, tetapi penelitian
ini sangat bermanfaat bagi perbaikan pelayanan dan pengembangan keilmuan
keperawatan.
Saya sangat mengharapkan agar saudara/i berkenan menjadi responden dan mengisi
lembar persetujuan. Atas perhatian dan kesediaannya saya ucapkan banyak terima kasih.
Jakarta, 10 April 2013
Peneliti
Itjmi Ayoe Feryani
Lampiran 4
SURAT PERSETUJUAN RESPONDEN
Judul Penelitian : Pengaruh kompres hangat dan stretching terhadap penurunan skala
nyeri sendi pada lansia di RW 03, Kelurahan Pulogebang,
Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013
Peneliti : Itjmi Ayoe Feryani
NPM : 09028
Asal : Mahasiswa Program Sarjana Ilmu Keperawatan STIKES
PERTAMEDIKA
Dengan ini saya memberikan persetujuan untuk menjadi reponden dalam penelitian ini.
Saya mengetahui bahwa saya menjadi bagian dari penelitian yang bertujuan untuk
mengetahui pengaruh kompres hangat dan stretching terhadap penurunan skala nyeri
sendi pada lansia di RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur
tahun 2013.
Saya mengetahui bahwa tidak ada resiko yang akan saya alami dan saya diberitahukan
tentang adanya jaminan kerahasiaan informasi yang diberikan. Saya juga memahami
bahwa penelitian ini bermanfaat bagi pelayanan keperawatan.
Jakarta, 10 April 2013
Tanda Tangan Peneliti Tanda Tangan Responden
Itjmi Ayoe Feryani _____________________
Lampiran 5
Tanggal Kode Responden
LEMBAR KUESIONER
Pengaruh Kompres Hangat dan Stretching Terhadap Penurunan Skala Nyeri Sendi pada
Lansia di RW 03, Kelurahan Pulogebang, Kecamatan Cakung, Jakarta Timur tahun 2013
Petunjuk Pengisian:
1. Bacalah setiap pertanyaan dengan cermat sebelum memberi jawaban.
2. Berilah tanda (√) pada kolom yang tersedia sesuai dengan keadaan Saudara saat ini.
3. Tidak perlu menggunakan penghapus atau tipe-x untuk jawaban yang salah tetapi
cukup beri tanda silang (X) pada jawaban yang salah dan memberi tanda (√)
kembali pada jawaban yang dianggap benar.
4. Dimohon untuk TIDAK mengosongkan jawaban pada setiap pernyataan.
5. Saudara dapat bertanya langsung kepada peneliti bila ada pertanyaan yang tidak
jelas atau ada kesulitan dalam menjawab pertanyaan ini.
DATA DEMOGRAFI
1. Usia : 60 – 74 tahun >90 tahun
75 – 90 tahun
2. Jenis kelamin : Laki-laki Perempuan
3. Tekanan darah :
4. Saudara sedang merasakan nyeri sendi
Ya
Tidak
5. Pada sendi bagian mana yang terasa nyeri?
Sendi ekstrimitas atas (sendi tubuh bagian atas), antara lain : sendi anggota
gerak atas (termasuk sendi bahu dan sendi siku), sendi tangan dan jari tangan.
Sendi ekstrimitas bawah (sendi tubuh bagian bawah), antara lain : sendi
panggul, sendi lutut, sendi pergelangan kaki, dan sendi telapak kaki.
Seluruh sendi : ekstrimitas atas dan ekstrimitas bawah.
6. Saudara mengalami nyeri sendi selama:
<6 bulan
>6 bulan
7. Apakah Saudara sedang mengalami salah satu hal di bawah ini:
Gangguan kardiovaskuler, seperti hipertensi (darah tinggi), stroke,
dekompensasio kordis (pembesaran jantung), kelainan katup jantung, dan
angina pektoris (nyeri dada disertai sesak).
Mengalami komplikasi, seperti fraktur (patah tulang), tumor ganas
terlokalisasi, perdarahan aktif, edema non inflamasi (bengkak), gangguan kulit
yang menyebabkan kemerahan atau melepuh, dan deformitas (perubahan
bentuk tubuh).
Menjalani terapi medis (terapi dokter) maupun tradisional (terapi alternatif).
Mengkonsumsi obat pereda nyeri.
Tidak mengalami salah satu di atas
LEMBAR OBSERVASI KELOMPOK PERLAKUAN (PRE/POST)
1. Nama :
2. Usia :
3. Jenis kelamin :
4. Tekanan darah :
5. Alamat :
6. Skala nyeri ekstrimitas bawah yang dirasakan responden pada awal penelitian:
7. Skala nyeri ekstrimitas bawah yang dirasakan responden pada akhir penelitian:
8. Pengukuran skala nyeri responden berdasarkan skala nyeri lima tingkat menurut Sri
Surini Pudjiastuti tahun 2003 (responden merasakan nyeri yang dialaminya berada
pada suatu skala), dengan kriteria:
SKALA NYERI MENURUT SRI SURINI PUDJIASTUTI (2003)
(√) Skala Karakteristik
0 Tidak nyeri; tidak ada rasa nyeri pada waktu istirahat dan
aktivitas.
1 Minimal; istirahat tidak ada nyeri, perasaan nyeri timbul sewaktu
bekerja lama, berat, dan pada penekanan kuat terasa sakit.
2 Ringan; rasa sakit terus menerus atau kadang-kadang timbul,
tetapi masih dapat diabaikan/tidak mengganggu, LGS normal,
pada penekanan kuat terasa sakit, fleksi dan ekstensi sakit.
3 Sedang; keluhan seperti pada derajat 2, ditambah keluhan
tersebut mengganggu aktivitas dan LGS terganggu.
4 Berat; nyeri menyulitkan lansia hampir tak tertahankan dan
gerakan fleksi/ekstensi hampir tidak ada/tidak mampu.
Jakarta, 2013
Observer
(Itjmi Ayoe Feryani)
LEMBAR OBSERVASI KELOMPOK KONTROL (PRE/POST)
1. Nama :
2. Usia :
3. Jenis kelamin :
4. Tekanan darah :
5. Alamat :
6. Skala nyeri ekstrimitas bawah yang dirasakan responden pada awal penelitian:
7. Skala nyeri ekstrimitas bawah yang dirasakan responden pada akhir penelitian:
8. Pengukuran skala nyeri responden berdasarkan skala nyeri lima tingkat menurut Sri
Surini Pudjiastuti tahun 2003 (responden merasakan nyeri yang dialaminya berada
pada suatu skala), dengan kriteria:
SKALA NYERI MENURUT SRI SURINI PUDJIASTUTI (2003)
(√) Skala Karakteristik
0 Tidak nyeri; tidak ada rasa nyeri pada waktu istirahat dan
aktivitas.
1 Minimal; istirahat tidak ada nyeri, perasaan nyeri timbul sewaktu
bekerja lama, berat, dan pada penekanan kuat terasa sakit.
2 Ringan; rasa sakit terus menerus atau kadang-kadang timbul,
tetapi masih dapat diabaikan/tidak mengganggu, LGS normal,
pada penekanan kuat terasa sakit, fleksi dan ekstensi sakit.
3 Sedang; keluhan seperti pada derajat 2, ditambah keluhan
tersebut mengganggu aktivitas dan LGS terganggu.
4 Berat; nyeri menyulitkan lansia hampir tak tertahankan dan
gerakan fleksi/ekstensi hampir tidak ada/tidak mampu.
Jakarta, 2013
Observer
(Itjmi Ayoe Feryani)
Lampiran 7
WAKTU PENELITIAN
Kegiatan
Bulan ke
2012 2013
9 10 11 12 1 2 3 4 5 6
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Penyusunan
proposal
Penyusunan
instrumen
Persiapan
lapangan
Uji coba
instrumen
Pengumpulan
data
Pengolahan
data
Analisis data
Penyusunan
laporan
Lampiran 8
OUTPUT DATA SPSS
Frequencies
Statistics
Usia Jenis Kelamin
Lokasi Nyeri
Responden
Skala Nyeri
Pretest
Skala Nyeri
Postest
N Valid 36 36 36 36 36
Missing 0 0 0 0 0
Mean 1.42 1.67 1.89 2.67 2.36
Std. Error of Mean .101 .080 .053 .098 .160
Median 1.00 2.00 2.00 3.00 3.00
Mode 1 2 2 3 3
Std. Deviation .604 .478 .319 .586 .961
Skewness 1.164 -.738 -2.584 .201 -.399
Std. Error of Skewness .393 .393 .393 .393 .393
Minimum 1 1 1 2 1
Maximum 3 2 2 4 4
Percentiles 25 1.00 1.00 2.00 2.00 1.00
50 1.00 2.00 2.00 3.00 3.00
75 2.00 2.00 2.00 3.00 3.00
Lampiran 9
Frequency Table
Usia
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Elderly (60 - 74 tahun) 23 63.9 63.9 63.9
Old (75-90 tahun) 11 30.6 30.6 94.4
Very Old (>90 tahun) 2 5.6 5.6 100.0
Total 36 100.0 100.0
Jenis Kelamin
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Laki-laki 12 33.3 33.3 33.3
Perempuan 24 66.7 66.7 100.0
Total 36 100.0 100.0
Lokasi Nyeri Responden
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Sendi Ekstremitas Atas 4 11.1 11.1 11.1
Sendi Ekstremitas Bawah 32 88.9 88.9 100.0
Total 36 100.0 100.0
Lampiran 10
Lokasi Nyeri Responden
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Sendi Ekstremitas Atas 4 11.1 11.1 11.1
Sendi Ekstremitas Bawah 32 88.9 88.9 100.0
Skala Nyeri Pretest
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 2 14 38.9 38.9 38.9
3 20 55.6 55.6 94.4
4 2 5.6 5.6 100.0
Total 36 100.0 100.0
Skala Nyeri Postest
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 1 10 27.8 27.8 27.8
2 5 13.9 13.9 41.7
3 19 52.8 52.8 94.4
4 2 5.6 5.6 100.0
Total 36 100.0 100.0
Lampiran 11
Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Kode Intervensi * kategori 36 100.0% 0 .0% 36 100.0%
Kode Intervensi * kategori Crosstabulation
Count
kategori
TotalMenurun Tetap Meningkat
Kode Intervensi Kelompok Perlakuan 13 4 1 18
Kelompok Kontrol 0 13 5 18
Total 13 17 6 36
Lampiran 12
Chi-Square Tests
Value Df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 20.431a 2 .000
Likelihood Ratio 25.950 2 .000
Linear-by-Linear Association 15.929 1 .000
N of Valid Cases 36
a. 2 cells (33,3%) have expected count less than 5. The minimum
expected count is 3,00.
Risk Estimate
Value
Odds Ratio for Kode
Intervensi (Kelompok
Perlakuan / Kelompok
Kontrol)
a
a. Risk Estimate statistics cannot be
computed. They are only computed for a
2*2 table without empty cells.
Lampiran 13
NPar Tests
Two-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Frequencies
Kode Intervensi N
kategori Kelompok Perlakuan 18
Kelompok Kontrol 18
Total 36
Test Statisticsa
kategori
Most Extreme Differences Absolute .722
Positive .722
Negative .000
Kolmogorov-Smirnov Z 2.167
Asymp. Sig. (2-tailed) .000
a. Grouping Variable: Kode Intervensi
Lampiran 14
Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Jenis Kelamin * kategori 36 100.0% 0 .0% 36 100.0%
Jenis Kelamin * kategori Crosstabulation
Count
kategori
TotalMenurun Tetap Meningkat
Jenis Kelamin Laki-laki 6 3 3 12
Perempuan 7 14 3 24
Total 13 17 6 36
Chi-Square Tests
Value Df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 3.594a 2 .166
Likelihood Ratio 3.722 2 .155
Linear-by-Linear Association .110 1 .740
N of Valid Cases 36
Lampiran 15
NPar Tests
Two-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Frequencies
Jenis Kelamin N
kategori Laki-laki 12
Perempuan 24
Total 36
Lampiran 16
Test Statisticsa
kategori
Most Extreme Differences Absolute .208
Positive .125
Negative -.208
Kolmogorov-Smirnov Z .589
Asymp. Sig. (2-tailed) .878
a. Grouping Variable: Jenis Kelamin
Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Usia * kategori 36 100.0% 0 .0% 36 100.0%
Lampiran 17
Usia * kategori Crosstabulation
Count
kategori
TotalMenurun Tetap Meningkat
Usia Elderly (60 - 74 tahun) 9 8 6 23
Old (75-90 tahun) 4 7 0 11
Very Old (>90 tahun) 0 2 0 2
Total 13 17 6 36
Chi-Square Tests
Value Df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square 6.733a 4 .151
Likelihood Ratio 9.163 4 .057
Linear-by-Linear Association .183 1 .669
N of Valid Cases 36
a. 6 cells (66,7%) have expected count less than 5. The minimum
expected count is ,33.
Lampiran 18
Risk Estimate
Value
Odds Ratio for Usia (Elderly
(60 - 74 tahun) / Old (75-90
tahun))
a
a. Risk Estimate statistics cannot be
computed. They are only computed for a
2*2 table without empty cells.
NPar Tests
Two-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Frequencies
Usia N
kategori Elderly (60 - 74 tahun) 23
Very Old (>90 tahun) 2
Total 25
Lampiran 19
Test Statisticsa
kategori
Most Extreme Differences Absolute .391
Positive .391
Negative -.261
Kolmogorov-Smirnov Z .531
Asymp. Sig. (2-tailed) .941
a. Grouping Variable: Usia
Crosstabs
Case Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
Lokasi Nyeri Responden *
kategori36 100.0% 0 .0% 36 100.0%
Lampiran 20
Lokasi Nyeri Responden * kategori Crosstabulation
Count
kategori
TotalMenurun Tetap Meningkat
Lokasi Nyeri Responden Sendi Ekstremitas Atas 1 2 1 4
Sendi Ekstremitas Bawah 12 15 5 32
Total 13 17 6 36
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Pearson Chi-Square .349a 2 .840
Likelihood Ratio .343 2 .842
Linear-by-Linear Association .338 1 .561
N of Valid Cases 36
a. 3 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum
expected count is ,67.
Lampiran 21
Risk Estimate
Value
Odds Ratio for Lokasi Nyeri
Responden (Sendi
Ekstremitas Atas / Sendi
Ekstremitas Bawah)
a
a. Risk Estimate statistics cannot be
computed. They are only computed for a
2*2 table without empty cells.
NPar Tests
Two-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Frequencies
Lokasi Nyeri Responden N
kategori Sendi Ekstremitas Atas 4
Sendi Ekstremitas Bawah 32
Total 36
Lampiran 22
Test Statisticsa
kategori
Most Extreme Differences Absolute .125
Positive .125
Negative .000
Kolmogorov-Smirnov Z .236
Asymp. Sig. (2-tailed) 1.000
a. Grouping Variable: Lokasi Nyeri Responden
Top Related