Prosedur Pemeriksaan Kesehatan Tahanan
Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA)
Jl.Arjuna Utara no.6, Jakarta 11510
Catherine Dorinda Candawasa
10.2011.293
__________________________________________________________________________
PENDAHULUAN
Seorang laki-laki, pasien lama anda, datang ke tempat praktek anda, ia menyapa
dengan baik seperti biasanya, dan kemudian meminta tolong kepada anda melakukan sesuatu.
Kakak kandungnya saat ini sedang diperiksa oleh kejaksaan karena diduga telah
melakukan tindak pidana korupsi, dengan status tahanan. Ia sebenarnya menderita penyakit
jantung yang telah lama dideritanya, penyakit lever, dan penyakit pada lutut kanannya
(osteochondritis genu) sehingga ia mengalami hambatan dalam berjalan. Pasien lama anda
tersebut menunjukan kepada anda data-data medik dari kakaknya. Pasien lama anda tersebut
mendengar bahwa di Jepang terdapat seorang profesor ortopedi yang sangat mahir dalam
menangani penyakit lututnya. Oleh karena itu ia meminta kepada anda untuk dapat
membuatkan surat pengantar berobat ke profesor di Jepang tersebut.
PEMBAHASAN
PERAWATAN TAHANAN
Bagian Pertama Penerimaan
Pasal 5
(1) Setiap penerimaan tahanan di RUTAN/Cabang RUTAN, LAPAS/Cabang LAPAS
atau tempat tertentu wajib:
a. didaftar; b. dilengkapi surat penahanan yang sah yang dikeluarkan oleh pejabat
yang bertanggung jawab secara yuridis atas tahanan yang
bersangkutan sesuai dengan tingkat pemeriksaan.
(2) Penerimaan tahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku bagi tahanan
sipil.
1
Pasal 6
(1) Pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a meliputi:
a. pencatatan;
1) surat perintah atau surat penetapan penahanan; 2) jati diri; 3)
barang dan uang yang dibawa.
b. pemeriksaan kesehatan;
c. pembuatan pasphoto;
d. pengambilan sidik jari; dan
e. pembuatan Berita Acara Serah Terima Tahanan.
(2) Pencatatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a harus
dilakukan dalam buku register yang disediakan sesuai dengan tingkat
pemeriksaannya.
Bagian Ketiga Penempatan
Pasal 7
Penempatan tahanan ditentukan berdasarkan penggolongan:
a. umur;
b. jenis kelamin;
c. jenis tindak pidana;
d. tingkat pemeriksaan perkara; atau
e. untuk kepentingan tertentu yang sesuai dengan kebutuhan dan
perkembangan.
Bagian Keempat
Tata Cara Penerimaan, Pendaftaran dan Penempatan
Pasal 8
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerimaan, pendaftaran dan penempatan
tahanan di RUTAN/Cabang RUTAN, LAPAS/ Cabang LAPAS dan tempat tertentu
diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Pasal 9
Perawatan tahanan meliputi perawatan jasmani dan rohani yang dilaksanakan
berdasarkan program perawatan.
2
Pasal 10
(1) Program perawatan bagi tahanan harus sesuai dengan bakat, minat, dan
bermanfaat bagi tahanan dan masyarakat.
(2) Program perawatan bagi tahanan dilaksanakan paling lama 7 (tujuh) jam sehari.
(3) Program perawatan tahanan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
HAK DAN KEWAJIBAN TAHANAN
Bagian Pertama Hak Tahanan Paragraf 1 Ibadah
Pasal 11
(1) Setiap tahanan berhak untuk melakukan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaannya masing-masing di dalam RUTAN/ Cabang RUTAN dan
LAPAS/Cabang LAPAS.
(2) Bagi tahanan dalam RUTAN/Cabang RUTAN atau LAPAS/ Cabang LAPAS,
pelaksanaan ibadah dilakukan di dalam kamar blok masing-masing.
(3) Dalam hal tertentu tahanan dapat melaksanakan ibadah bersama-sama di tempat
ibadah yang ada dalam RUTAN/ Cabang RUTAN atau LAPAS/Cabang LAPAS.
Pasal 12
(1) Setiap RUTAN/Cabang RUTAN atau LAPAS/Cabang LAPAS ditempatkan
petugas pembinaan keagamaan.
(2) Penempatan petugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), disesuaikan dengan
keperluan tiap-tiap RUTAN/ Cabang RUTAN atau LAPAS/Cabang LAPAS yang
berdasar atas pertimbangan Kepala RUTAN/Cabang RUTAN atau LAPAS/ Cabang
LAPAS.
(3) Apabila petugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dari lingkungan RUTAN
tidak mencukupi, maka petugas dapat didatangkan dari luar RUTAN/Cabang RUTAN
atau LAPAS/ Cabang LAPAS yang telah mendapat persetujuan dari Departemen
Agama.
Pasal 13
Sarana dan prasarana peribadatan disediakan oleh RUTAN/Cabang RUTAN atau
LAPAS/Cabang LAPAS .
3
Pasal 14
Setiap tahanan berhak mendapatkan perawatan rohani dan perawatan jasmani.
Pasal 15
(1) Perawatan rohani dilaksanakan dengan memberikan penyuluhan rohani kepada
tahanan.
(2) Penyuluhan rohani sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berupa ceramah
penyuluhan dan pendidikan agama.
Pasal 16
(1) Perawatan jasmani dilaksanakan dengan memberikan kegiatan olahraga.
(2) Kegiatan olah raga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berupa olah
raga perorangan, permainan dan sejenisnya yang bertujuan untuk menjaga atau
meningkatkan kesehatan dan kesegaran fisik.
Pasal 17
Jadwal dan materi perawatan rohani dan perawatan jasmani sebagaimana dimaksud q
dalam Pasal 15 dan Pasal 16 ditetapkan oleh Kepala RUTAN/Cabang RUTAN atau
LAPAS/Cabang LAPAS secara berkala sesuai dengan keperluan.
Pasal 18
Sarana dan prasarana perawatan rohani dan jasmani disediakan oleh RUTAN/Cabang
RUTAN atau LAPAS/Cabang LAPAS .
Pasal 19
Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dan Pasal 16 diatur
lebih lanjut dengan Keputusan Menteri.
Pasal 20
(1) Bagi tahanan dapat diberikan kesempatan mengikuti pendidikan dan pengajaran.
(2) Pelaksanaan pendidikan dan pengajaran bagi tahanan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dapat berupa:
a. penyuluhan hukum; b. kesadaran berbangsa dan bernegara; dan c. lainnya sesuai
dengan program perawatan tahanan.
4
Pasal 21
(1) Setiap tahanan berhak memperoleh pelayanan kesehatan yang layak.
(2) Pada setiap RUTAN/Cabang RUTAN atau LAPAS/Cabang LAPAS disediakan
poliklinik beserta fasilitasnya dan ditempatkan sekurang-kurangnya
seorang dokter dan tenaga kesehatan lainnya.
(3) Dalam hal RUTAN/Cabang RUTAN atau LAPAS/Cabang LAPAS belum ada
tenaga dokter atau tenaga kesehatan lainnya, maka pelayanan kesehatan
dapat minta bantuan kepada rumah sakit atau Puskesmas terdekat.
Pasal 22
(1) Pelayanan kesehatan dilakukan oleh dokter RUTAN/ Cabang RUTAN atau
LAPAS/Cabang LAPAS.
(2) Dalam hal dokter sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berhalangan,
maka pelayanan kesehatan tertentu dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan lainnya.
Pasal 23
(1) Pemeriksaan kesehatan dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam
1 (satu) bulan dan dicatat dalam kartu kesehatan.
(2) Dalam hal ada keluhan mengenai kesehatan, maka dokter atau tenaga
kesehatan RUTAN/Cabang RUTAN atau LAPAS/ Cabang LAPAS wajib melakukan
pemeriksaan terhadap tahanan.
(3) Dalam hal hasil pemeriksaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) ditemukan adanya penyakit menular atau yang
membahayakan, maka tahanan tersebut wajib dirawat secara
khusus.
(4) Perawatan secara khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 24
(1) Dalam hal tahanan yang sakit memerlukan perawatan lebih lanjut,
maka dokter atau tenaga kesehatan RUTAN/Cabang RUTAN atau LAPAS/Cabang
LAPAS memberikan rekomendasi kepada Kepala RUTAN/Cabang RUTAN atau
5
LAPAS/ Cabang LAPAS agar pelayanan kesehatan dilakukan di rumah sakit
di luar RUTAN/Cabang RUTAN atau LAPAS/Cabang LAPAS .
(2) Pelayanan kesehatan di rumah sakit sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) harus mendapat izin dari instansi yang menahan dan Kepala RUTAN/Cabang
RUTAN atau LAPAS/Cabang LAPAS.
(3) Dalam hal keadaan darurat, Kepala RUTAN/Cabang RUTAN atau
LAPAS/Cabang LAPAS dapat mengirim tahanan yang sakit ke rumah sakit tanpa izin
instansi yang menahan terlebih dahulu.
(4) Dalam jangka waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam, petugas
pemasyarakatan memberitahukan pengiriman tahanan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) kepada instansi yang menahan.
(5) Tahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) yang dibawa dan dirawat di rumah
sakit harus dikawal oleh petugas kepolisian.
(6) Biaya perawatan kesehatan di rumah sakit dibebankan kepada negara.
Pasal 25
(1) Dalam hal ada tahanan yang meninggal dunia karena sakit, maka Kepala
RUTAN/Cabang RUTAN atau LAPAS/Cabang LAPAS segera memberitahukan
kepada pejabat instansi yang menahan dan keluarga tahanan yang meninggal,
kemudian dimintakan surat keterangan kematian dari dokter serta dibuatkan berita
acara.
(2) Apabila penyebab meninggalnya tidak wajar, maka Kepala RUTAN/Cabang
RUTAN atau LAPAS/Cabang LAPAS segera melapor kepada kepolisian setempat
guna penyelidikan dan penyelesaian visum et repertum dari dokter yang berwenang
dan memberitahukan kepada pejabat instansi yang menahan serta keluarga dari
tahanan yang meninggal.
Pasal 26
(1) Jenazah tahanan yang tidak diambil keluarganya dalam waktu 2x24
(dua kali dua puluh empat) jam sejak meninggal dunia, dan telah diberitahukan secara
layak kepada keluarga atau ahli warisnya, maka penguburannya dilaksanakan oleh
6
RUTAN/ Cabang RUTAN atau LAPAS/ Cabang LAPAS dengan dibuatkan berita
acara.
(2) Pengurusan jenazah dan pemakamannya harus diselenggarakan secara layak
menurut agama dan kepercayaannya masing-masing.
(3) Segala biaya pemakaman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditanggung oleh
negara.
Pasal 27
(1) Barang-barang milik tahanan yang meninggal dunia, harus segera diserahkan
kepada keluarga atau ahli warisnya dengan dibuatkan Berita Acara Penyerahan.
(2) Apabila barang-barang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dalam tenggang
waktu 6 (enam) bulan tidak ada yang menerima, maka barang tersebut menjadi milik
negara atau dimusnahkan.
(3) Dalam hal barang-barang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengandung bibit
penyakit yang berbahaya, segera dimusnahkan dengan dibuat berita acara.
Pasal 28
(1) Setiap tahanan berhak mendapatkan makanan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
(2) Tahanan warga negara asing, diberikan makanan yang sama seperti tahanan yang
lainnya, kecuali atas petunjuk dokter dapat diberikan makanan jenis lain sesuai
dengan kebiasaan di negaranya yang harganya tidak melampaui harga makanan
seorang sehari.
(3) Setiap tahanan yang sakit, hamil, atau menyusui berhak mendapat makanan
tambahan sesuai dengan petunjuk dokter.
(4) Anak dari tahanan wanita yang dibawa ke dalam RUTAN/ Cabang RUTAN atau
LAPAS/Cabang LAPAS diberi makanan dan makanan tambahan sesuai dengan
petunjuk dokter paling lama sampai anak berumur 2 (dua) tahun.
(5) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) telah berumur 2 (dua)
tahun harus diserahkan kepada bapak atau sanak keluarganya, atau pihak lain atas
persetujuan ibunya.
Pasal 29
(1) Petugas RUTAN/Cabang RUTAN atau LAPAS/Cabang LAPAS yang mengelola
7
makanan bertanggung jawab atas:
a. kebersihan makanan dan dipenuhinya syarat-syarat kesehatan makanan
dan gizi
b. pengadaan, penyimpanan, dan penyiapan makanan; dan
c. pemeliharaan peralatan makanan dan peralatan masak.
(2) Ketentuan mengenai pengelolaan makanan diatur lebih lanjut dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 30
(1) Setiap tahanan dapat menerima makanan dan atau minuman dari keluarganya atau
pihak lain setelah mendapat izin dari petugas Satuan Pengamanan RUTAN/Cabang
RUTAN atau LAPAS/Cabang LAPAS.
(2) Makanan dan atau minuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebelum
diserahkan kepada tahanan, harus diperiksa terlebih dahulu oleh Petugas.
Pasal 31
Setiap tahanan yang berpuasa diberikan makanan dan atau minuman tambahan.
Pasal 32
Setiap orang dilarang memberikan makanan dan atau minuman kepada tahanan yang
dapat menimbulkan gangguan kesehatan, keamanan dan ketertiban.
Pasal 33
Mutu dan jumlah bahan makanan untuk kebutuhan tahanan harus sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 34
(1) Setiap tahanan berhak menyampaikan keluhan tentang perlakuan pelayanan
petugas atau sesama tahanan kepada Kepala RUTAN/ Cabang
RUTAN atau Kepala LAPAS/Cabang LAPAS.
8
(2) Keluhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan apabila perlakuan
tersebut benar-benar dirasakan dapat mengganggu dalam mengikuti program-program
perawatan, pelayanan, keamanan, dan ketertiban.
(3) Keluhan dapat disampaikan secara lisan atau tertulis dengan tetap memperhatikan
tata tertib RUTAN/Cabang RUTAN atau LAPAS/Cabang LAPAS.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian dan penyelesaian keluhan diatur lebih
lanjut dengan Keputusan Menteri.
Bahan Bacaan dan Siaran Media Massa
Pasal 35
(1) Setiap RUTAN/Cabang RUTAN atau LAPAS/Cabang LAPAS menyediakan
bahan bacaan atau media massa lainnya.
(2) Bahan bacaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus sesuai dengan program
perawatan tahanan dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(3) Jadwal pelayanan dan tata cara peminjaman bahan bacaan ditetapkan oleh Kepala
RUTAN/Cabang RUTAN atau LAPAS/Cabang LAPAS .
Pasal 36
Dalam hal tahanan membawa sendiri atau memperoleh dari orang lain bahan bacaan
atau media massa elektronika, harus mendapat izin terlebih dahulu dari Kepala
RUTAN/ Cabang RUTAN atau LAPAS/Cabang LAPAS .
BERAKHIRNYA MASA PERAWATAN TAHANAN
Pasal 48
(1) Perawatan tahanan berakhir karena:
a. adanya putusan hakim yang membebaskan atau melepaskan terdakwa dari segala
tuntutan hukum;
b. adanya putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap dan terhadap terdakwa telah
dieksekusi untuk menjalani pidana di LAPAS;
c. masa penahanan atau perpanjangan penahanannya telah habis; atau
d. meninggal dunia.
9
(2) Tahanan yang telah berakhir masa perawatannya sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) wajib:
a. dikeluarkan dari RUTAN/Cabang RUTAN atau LAPAS/ Cabang LAPAS ;
b. dicatat dalam buku register; dan
c. diambil sidik jarinya.
(3) Pencatatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf b meliputi:
a. putusan hakim yang membebaskan atau melepaskan terdakwa, putusan hakim yang
menjatuhkan pidana, dan terdakwa diperintahkan menjalani pidana, keputusan Kepala
RUTAN/ Cabang RUTAN atau LAPAS/Cabang LAPAS yang membebaskan
terdakwa atau surat keterangan kematian yang dibuat
oleh dokter;
b. jati diri;dan
c. berita acara.
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 49
Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan
mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan wewenang, tugas, dan tanggung
jawab perawatan tahanan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum
diganti dengan yang baru berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
PRINSIP ETIKA KEDOKTERAN
Etika adalah disiplin ilmu yang mempelajari baik buruk atau benar salahnya suatu
sikap dan atau perbuatan seseorang individu atau institusi dilihat dari moralitas. Penilaian
baik buruk dan benar salah dari sisi moral tersebut menggunakan pendekatan teori etika yang
cukup banyak jumlahnya.
Etika Kedokteran dalam KODEKI
KODE ETIK KEDOKTERAN INDONESIA 1
Kewajiban Umum :
10
Pasal 1
Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan sumpah
dokter.
Pasal 2
Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai
dengan standar profesi yang tertinggi.
Pasal 3
Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh
dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan
kemandirian profesi.
Pasal 4
Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji diri.
Pasal 5
Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis
maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah
memperoleh persetujuan pasien.
Pasal 6
Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan
menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji
kebenarannya dan hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.
Pasal 7
Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah
diperiksa sendiri kebenarannya.
Pasal 7a
Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan pelayanan
medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya, disertai
rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.
Pasal 7b
Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan
sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui
11
memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan
penipuan atau penggelapan, dalam menangani pasien
Pasal 7c
Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya, dan hak
tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien
Pasal 7d
Setiap dokten harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup
makhluk insani.
Pasal 8
Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan
kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan
yang menyeluruh (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik
maupun psiko-sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat
yang sebenar-benarnya.
Pasal 9
Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan
bidang lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.
Kewajiban Dokter Terhadap Pasien :
Pasal 10
Setiap dokten wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan
ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu
melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien,ia
wajib menujuk pasien kepada dokten yang mempunyai keahlian dalam penyakit
tersebut.
Pasal 11
Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa dapat
berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam
masalah lainnya.
12
Pasal 12
Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang
seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
Pasal 13
Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu
memberikannya.
Kaidah moral kedokteran
Jenis hubungan dokter pasien sangat dipengaruhi oleh etika profesi kedokteran,
sebagai konsekuensi dari kewajiban-kewajiban profesi yang memberikan batasan
atau rambu-rambu hubungan tersebut. Kewajiban-kewajiban tersebut tertuang di
dalam prinsip moral profesi, yaitu : 2
a) Autonomy (menghormati hak-hak pasien)
b) Beneficence (berorientasi pada kebaikan pasien)
c) Non-maleficence (tidak mencelakakan atau memperburuk keadaan pasien)
d) Justice (meniadakan diskriminasi)
e) Veracity (kebenaran informasi)
f) Fidelity (kesetiaan)
g) Privasi (menghormati hak pribadi)
h) Confidentiality (menjaga kerahasiaan)
Keempat prinsip teratas sering dikelompokkan sebagai prinsip dasar hubungan
dokter-pasien, sedangkan sisa dibawahnya dikelompokkan sebagai prinsip
turunan. Beauchamp and Childress (1994) menguraikan bahwa untuk mencapai
ke suatu keputusan etik diperlukan 4 kaidah dasar moral dan beberapa rules
dibawahnya. Ke-4 kaidah dasar moral tersebut adalah : 3
a. Prinsip autonomi, yaitu prinsip moral yang menghormati hak-hak pasien,
terutama hak otonomi pasien (the rights to self determination). Pasien berhak
menghendaki, menyetujui, membenarkan, mendukung, membela, dan
membiarkan pasien demi dirinya sendiri sebagai mahluk bermartabat.
13
b. Prinsip beneficence, yaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang
ditujukan kekebaikan pasien. Melindungi dan mempertahankan hak pasien,
mencegah terjadi kerugian, menghilangkan kondisi penyebab kerugian pada
yang lain. Mengutamakan kepentingan pasien, memandang pasien tak hanya
sejauh menguntungkan dokter atau pihak lain, maksimalisasi akibat baik.
c. Prinsip non maleficence, yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang
memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal sebagai “primum non
nocere” atau “above all do no harm”. Tidak boleh berbuat jahat atau
membuat derita pasien, minimalisasi akibat buruk. Kewajiban dokter
menganut ini berdasarkan pada pasien yang dalam keadaan amat berbahaya
atau berisiko hilangnya sesuatu yang penting, dokter sanggup mencegah
bahaya atau kehilangan tersebut, tindakan kedokteran tadi terbukti efektif,
manfaat bagi pasien lebih banyak dari kerugian dokter.
d. Prinsip Justice, yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan
keadilan dalam bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya,
memberikan perlakuan yang sama untuk setiap orang.
Pada awalnya, hubungan dokter-pasien adalah hubungan yang bersifat
paternalistik, dengan prinsip moral utama adalah beneficence. Sifat hubungan
paternalistik ini kemudian dinilai telah mengabaikan nilai otonomi pasien, dan
dianggap tidak sesuai dengan perkembangan moral saat ini, sehingga
berkembanglah teori hubungan kontraktual. Veatch (1972) mengatakan bahwa
dokter dan pasien adalah pihak-pihak yang bebas, yang meskipun memiliki
perbedaan kapasitas dalam membuat keputusan, tetapi saling menghargai.
Hubungan kontrak seharusnya terjadi pertukaran informasi dan negosiasi sebelum
terjadinya kesepakatan, namun juga memberikan peluang kepada pasien untuk
menyerahkan pengambilan keputusan kepada dokter.2
Etika Kedokteran dalam UU No.29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 29 TAHUN 2004
TENTANG PRAKTIK KEDOKTERAN 4
Pasal 2
14
Praktik kedokteran dilaksanakan berasaskan Pancasila dan didasarkan pada nilai
ilmiah, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, serta perlindungan dan
keselamatan pasien.
Pasal 3
Pengaturan praktik kedokteran bertujuan untuk :
a. memberikan perlindungan kepada pasien;
b. mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang
diberikan oleh dokter dan dokter gigi; dan
c. memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi.
Pasal 29
(1) Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di
Indonesia wajib memiliki surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi
dokter gigi.
(2) Surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan oleh Konsil Kedokteran
Indonesia.
(3) Untuk memperoleh surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi
dokter gigi harus memenuhi persyaratan :
a. memiliki ijazah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, atau dokter gigi
spesialis;
b. mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji dokter
atau dokter gigi;
c. memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental;
d. memiliki sertifikat kompetensi; dan
e. membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika
profesi.
Pasal 35
15
(1) Dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat tanda registrasi
mempunyai wewenang melakukan praktik kedokteran sesuai dengan pendidikan
dan kompetensi yang dimiliki, yang terdiri atas:
a. mewawancarai pasien;
b. memeriksa fisik dan mental pasien;
c. menentukan pemeriksaan penunjang;
d. menegakkan diagnosis;
e. menentukan penatalaksanaan dan pengobatan pasien;
f. melakukan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi;
g. menulis resep obat dan alat kesehatan;
h. menerbitkan surat keterangan dokter atau dokter gigi;
i. menyimpan obat dalam jumlah dan jenis yang diizinkan; dan
j. meracik dan menyerahkan obat kepada pasien, bagi yang praktik di daerah
terpencil yang tidak ada apotek.
Pasal 36
Setiap dokter dan dokter gigi yang melakukan praktik kedokteran di Indonesia
wajib memiliki surat izin praktik.
Pasal 37
(1) Surat izin praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dikeluarkan oleh
pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat praktik kedokteran
atau kedokteran gigi dilaksanakan.
(2) Surat izin praktik dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) hanya diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat. (3) Satu surat izin
praktik hanya berlaku untuk 1 (satu) tempat praktik.
Pasal 39
Praktik kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara dokter
atau dokter gigi dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan,
16
pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan
pemulihan kesehatan.
Pasal 40
(1) Dokter atau dokter gigi yang berhalangan menyelenggarakan praktik
kedokteran harus membuat pemberitahuan atau menunjuk dokter atau dokter gigi
pengganti.
(2) Dokter atau dokter gigi pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
dokter atau dokter gigi yang mempunyai surat izin praktik.
Pasal 41
(1) Dokter atau dokter gigi yang telah mempunyai surat izin praktik dan
menyelenggarakan praktik kedokteran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36
wajib memasang papan nama praktik kedokteran.
(2) Dalam hal dokter atau dokter gigi berpraktik di sarana pelayanan kesehatan,
pimpinan sarana pelayanan kesehatan wajib membuat daftar dokter atau dokter
gigi yang melakukan praktik kedokteran.
Pasal 44
(1) Dokter atau dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik kedokteran wajib
mengikuti standar pelayanan kedokteran atau kedokteran gigi.
(2) Standar pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibedakan menurut
jenis dan strata sarana pelayanan kesehatan.
(3) Standar pelayanan untuk dokter atau dokter gigi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 46
(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib
membuat rekam medis.
(2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus segera dilengkapi
setelah pasien selesai menerima pelayanan kesehatan.
17
(3) Setiap catatan rekam medis harus dibubuhi nama, waktu, dan tanda tangan
petugas yang memberikan pelayanan atau tindakan.
Pasal 47
(1) Dokumen rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 merupakan
milik dokter, dokter gigi, atau sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi rekam
medis merupakan milik pasien.
(2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disimpan dan dijaga
kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana pelayanan
kesehatan.
(3) Ketentuan mengenai rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 48
(1) Setiap dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran wajib
menyimpan rahasia kedokteran.
(2) Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan kesehatan pasien,
memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum,
permintaan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan Peraturan
Menteri.
INFORMED CONSENT
Definisi Informed Consent 5
Informed à telah diberikan penjelasan/informasi
Consent à persetujuan yang diberikan kepada seseorang utk berbuat sesuatu
Secara umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis
(pasien) kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan
tindakan medis dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu :
18
1. Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang
mengandung resiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No.
585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88
butir 3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang mengandung resiko cukup
besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pihak
pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis
serta resiko yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent);
2. Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat
non-invasif dan tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak
pasien;
3. Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien
yang akan disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan
lengannya sebagai tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap
dirinya.
19
Tujuan Informed Consent:
1. Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang
sebenarnya tidak diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya
yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasiennya.
2. Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan
bersifat negatif, karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada
setiap tindakan medik ada melekat suatu resiko (Permenkes No.
290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3)
Informed consent dalam PerMenKes
Peraturan Menteri Kesehatan No. 585/MenKes/IX/1989 tentang Persetujuan
Tindakan Medik 6
Pasal 1. Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989
a. Persetujuan tindakan medik/informed consent adalah persetujuan yang diberikan
oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenal tindakan medik
yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut;
b. Tindakan medik adalah suatu tindakan yang dilakukan terhadap pasien berupa
diagnostik atau terapeutik;
c. Tindakan invasif adalah tindakan medik yang langsung dapat mempengaruhi
keutuhan jaringan tubuh;
d. Dokter adalah dokter umur/dokter spesialis dan dokter gigi/dokter gigi spesialis
yang bekerja di rumah sakit, pus kesmes, klinik atau praktek pero-
rangan/bersama.
Pasal 2. Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989
(1) Semua tindakan medik yg akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat
persetujuan.
(2) Persetujuan dapat diberikan secara tertulis maupun lisan.
(3) persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan setelah pasien
mendapat informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medik yang
bersangkutan serta resiko yang dapat ditimbulkannya.
20
(4) Cara penyampaian dan isi informasi harus disesuaikan dengan tingkat
pendidikan serta kondisi dan situasi pasien
Pasal 3. Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989
(1) Setiap tindakan medik yang mengandung risiko tinggi harus dengan
persetujuan tertulis yang ditanda tangani oleh yang berhak memberikan
persetujuan.
(2) Tindakan medik yang tidak termasuk sebagaimana dimaksud dalam pasal ini
tidak diperlukan persetujuan tertulis, cukup persetujuan lisan
(3) Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (2) dapat diberikan secara nyata-
nyata atau secara diam-diam.
Pasal 4. Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989
(1) Informasi tentang tindakan medik harus diberikan kepada pasien, baik
diminta maupun tidak diminta.
(2) Dokter harus memberikan informasi selengkap-lengkapnya, kecuali bila
dokter menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan
kesehatan pasien atau pasien menolak diberikan informasi.
Pasal 5. Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989
(1) Informasi yang diberikan mencakup keuntungan dan kerugian dari tindakan
medik yang akan dilakukan, baik diagnostik maupun terapeutik.
(2) Informasi diberikan secara lisan
(3) Informasi harus diberikan secara jujur dan benar kecuali bila dokter menilai
bahwa hal itu dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien.
(4) Dalam hal-hal sebagaimana dimaksud ayat (3) dokter dengan persetujuan
pasien dapat memberikan informasi tersebut kepada keluarga terdekat.
Pasal 6. Permenkes No 58#MenKes/Per/IX/1989
Dalam hal tindakan bedah (operasi) atau tindakan invasif lainnya, informasi harus
diberikan oleh dokter yang akan melakukan operasi itu sendiri.
21
Pasal 7. Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989
(1) Informasi juga harus diberikan jika ada kemungkinan perluasan operasi.
(2) Perluasan operasi yang tidak dapat diduga sebelumnya, dapat dilakukan
untuk menyelamatkan jiwa pasien.
Pasal 8. Permenkes No 585/Men Kes/Per/IX/1989
(1) Persetujuan diberikan oleh pasien dewasa yang berada dalam keadaan sadar
dan sehat mental.
(2) Pasien dewasa sebagaimana dimaksud ayat (1) adalah yang telah berumur 21
tahun (duapuluh satu) tahun atau telah menikah.
Pasal 9. Permenkes No 585/Men Kes/Per/lX/1989
(1) Bagi pasien dewasa yang berada di bawah pengampuan (cura tele)
persetujuan diberikan oleh wali/curator.
(2) Bagi pasien dewasa yang menderita gangguan mental, persetujuan diberikan
oleh orang tua/wali/curator.
Pasal 10. Permenkes No 585/Men Kes/Per/IX/1989
Bagi pasien di bawah umur 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak mempunyai
orang tua/wali dan atau orang tua/wali berhalangan, persetujuan diberikan oleh
keluarga terdekat atau induk semang (guardian).
Pasal 11. Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989
Dalam hal pasien tidak sadar/pingsan serta tidak didampingi oleh keluarga
terdekat dan secara medik berada dalam keadaan gawat dan atau darurat yang
memerlukan tindakan medik segera untuk kepentingannya, tidak diper Iukan
persetujuan dari siapapun.
Pasal 12. Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989
Dokter bertanggung jawab atas pelaksanaan ketentuan tentang persetujuan tin-
dakan medik.
22
Pasal 13. Permenkes No 585/Men Kes/Per/IX/1989
Terhadap dokter yang melakukan tindakan medik tanpa adanya persetujuan dari
pasien atau keluarganya dapat dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan
surat izin prakteknya.
Pasal 14. Permenkes No 585/Men Kes/Per/IX/1989
Dalam hal tindakan medik yang harus dilaksanakan sesuai dengan program
pemerintah dimana tindakan medik tersebut untuk kepentingan masyarakat
banyak, maka persetujuan tindakan medik tidak diperlukan.
Pasal 15. Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989
Hal-hal yang bersifat teknis yang belum diatur dalam. Peraturan Menteri
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pelayanan Medik.
Informed consent dalam UU No.29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran 4
Pasal 45
(1) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh
dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien
mendapat penjelasan secara lengkap.
(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya
mencakup :
a. diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c. alternatif tindakan lain dan risikonya;
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
(4) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan baik secara
tertulis maupun lisan.
23
(5) Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko
tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang
berhak memberikan persetujuan.
(6) Ketentuan mengenai tata cara persetujuan tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4),
dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Menteri.
Secara garis besar dalam melakukan tindakan medis pada pasien, dokter harus
menjelaskan beberapa hal, yaitu:
1. Garis besar seluk beluk penyakit yang diderita dan prosedur perawatan /
pengobatan yang akan diberikan / diterapkan.
2. Resiko yang dihadapi, misalnya komplikasi yang diduga akan timbul.
3. Prospek / prognosis keberhasilan ataupun kegagalan.
4. Alternative metode perawatan / pengobatan.
5. Hal-hal yang dapat terjadi bila pasien menolak untuk memberikan
persetujuan.
6. Prosedur perawatan / pengobatan yang akan dilakukan merupakan suatu
percobaan atau menyimpang dari kebiasaan, bila hal itu yang akan dilakukan.
Informasi/keterangan yang wajib diberikan sebelum suatu tindakan kedokteran
dilaksanakan adalah:
1. Diagnosa yang telah ditegakkan.
2. Sifat dan luasnya tindakan yang akan dilakukan.
3. Manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan tersebut.
4. Resiko resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi daripada tindakan
kedokteran tersebut.
5. Konsekwensinya bila tidak dilakukan tindakan tersebut dan adakah alternatif
cara pengobatan yang lain.
6. Kadangkala biaya yang menyangkut tindakan kedokteran tersebut.
24
RAHASIA KEDOKTERAN
Rahasia kedokteran adalah suatu norma yang secara tradisional dianggap sebagai
norma dasar yang melindungi hubungan dokter dengan pasien. 7
Rahasia kedokteran dibagi :
1. Rahasia pekerjaan dokter, adalah segala sesuatu yang diketahui dan harus
dirahasiakan berdasarkan sumpah atau janji yang diucapkan setelah
menyelesaikan pendidikannya
2. Rahasia jabatan dokter, adalah rahasia dokter sebagai pejabat struktural
Dalam Sumpah Dokter Indonesia, salah satunya berbunyi : “Saya akan merahasiakan
segala sesuatu yang saya ketahui karena keprofesian saya”, sedangkan Kode Etik Kedokteran
Indonesia merumuskannya sebagai “Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang
diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.”
Peraturan Pemerintah No.10 tahun 1966 yang mengatur tentang wajib simpan rahasia
kedokteran mewajibkan seluruh tenaga kesehatan untuk menyimpan segala sesuatu yang
diketahuinya selama melakukan pekerjaan di bidang kedokteran sebagai rahasia.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN
1966 TENTANG WAJIB SIMPAN RAHASIA KEDOKTERAN
Pasal 1.
Yang dimaksud dengan rahasia kedokteran ialah segala sesuatu yang diketahui oleh
orang-orang tersebut dalam pasal 3 pada waktu atau selama melakukan pekerjaannya
dalam lapangan kedokteran.
Pasal 2.
Pengetahuan tersebut pasal 1 harus dirahasiakan oleh orang-orang yang tersebut
dalam pasal 3, kecuali apabila suatu peraturan lain yang sederajat atau lebih tinggi
daripada Peraturan Pemerintah ini menentukan lain.
Pasal 3.
Yang diwajibkan menyimpan rahasia yang dimaksud dalam pasal 1 ialah:
25
a. tenaga kesehatan menurut pasal 2 Undang-undang tentang Tenaga Kesehatan
(Lembaran Negara tahun 1963 No.79)
b. mahasiswa kedokteran, murid yang bertugas dalam lapangan pemeriksaan,
pengobatan dan/atau perawatan, dan orang lain yang ditetapkan oleh Menteri
Kesehatan.
Pasal 4
Terhadap pelanggaran ketentuan mengenai: wajib simpan rahasia kedokteran yang
tidak atau tidak dapat dipidana menurut pasal 322 atau pasal 112 Kitab Undang-
undang Hukum Pidana, Menteri Kesehatan dapat melakukan tindakan administratif
berdasarkan pasal 11 Undang-undang tentang Tenaga Kesehatan.
Pasal 5.
Apabila pelanggaran yang dimaksud dalam pasal 4 dilakukan oleh mereka yang
disebut dalam pasal 3 huruf b, maka Menteri Kesehatan dapat mengambil tindakan-
tindakan berdasarkan wewenang dan kebijaksanaannya.
Pasal 6.
Dalam pelaksanaan peraturan ini Menteri Kesehatan dapat mendengar Dewan
Pelindung Susila Kedokteran dan/atau badan-badan lain bilamana perlu.
Pasal 7.
Peraturan ini dapat disebut "Peraturan Pemerintah tentang Wajib Simpan Rahasia
Kedokteran".
Pasal 8.
Peraturan ini mulai berlaku pada hari diundangkannya. Agar setiap orang dapat
mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Namun PP tersebut diatas memberikan pengecualian sebagaimana terdapat dalam
pasal 2, yaitu apabila terdapat peraturan perundang-undangan yang sederajat (PP) atau
yang lebih tinggi (UU) yang mengaturnya lain.
26
Baik UU Kesehatan maupun UU Praktik Kedokteran juga mewajibkan tenaga
kesehatan untuk menyimpan rahasia kedokteran. Selanjutnya UU Praktik Kedokteran
memberikan peluang pengungkapan informasi kesehatan secara terbatas, yaitu dalam
pasal 48 ayat 2 UU No.29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran : 3
a. untuk kepentingan kesehatan pasien
b. untuk memenuhi permintaan aparatur penegak hukum
c. permintaan pasien sendiri
d. berdasarkan ketentuan undang-undang
Ketentuan pasal 50 KUHP yang menyatakan bahwa seseorang tidak akan dipidana
oleh karena melakukan suatu perbuatan untuk menjalankan undang-undang memperkuat
peluang bagi tenaga kesehatan dalam keadaan dan situasi tertentu dapat membuka “rahasia
kedokteran” tanpa diancam pidana. Hal ini mengakibatkan “bebasnya” para dokter dan
tenaga administrasi kesehatan dalam membuat Visum et Repertum (kewajiban dalam
KUHAP) dan dalam menyampaikan pelaporan tentang statistik kesehatan, penyakit wabah
dan karantina (diatur dalam UU terkait)
Alasan lain yang memperbolehkan membuka rahasia kedokteran adalah adanya izin atau
persetujuan atau kuasa dari pasien itu sendiri, perintah jabatan (pasal 51 KUHP), daya paksa
(pasal 48 KUHP), dan dalam rangka membela diri (pasal 49 KUHP). Selain itu etika
kedokteran umumnya membenarkan pembukaan rahasia kedokteran secara terbatas untuk
kepentingan konsultasi profesional, pendidikan, dan penelitian. Permenkes No.749a juga
memberi peluang bagi penggunaan rekam medis untuk pendidikan dan penelitian. Dalam
kaitannya dengan keadaan yang memaksa dikenal dua keadaan, yaitu pengaruh daya paksa
yang memadai (overmacht) dan keadaan yang memaksa (noodtoestand).
DAMPAK HUKUM
Setiap tindakan medis mempunyai indikasi, resiko, keuntungan dan kerugiannya
tersendiri. Dalam tindakan pengobatan pasien penderita gonorrhea (GO), penting untuk
diketahui riwayat hubungan seksual, sudah menikah belum, apakah melakukan persetubuhan
dengan lebih dari satu orang. Penting bagi dokter untuk mengingat bahwa ‘ping-pong
phenomene’ dapat terjadi pada kasus gonorrhea, maka penting untuk mengobati kedua orang
yang sudah berhubugan seksual, khususnya jika sudah menikah.
27
Kewajiban Dokter – Penjelasan Tindakan Medis ( Edukasi )
Pada kasus tersebut, pasien laki-laki harus dijelaskan mengenai keuntungan dan
kerugian jika ia menjalani pengobatan tanpa mengobati juga sang istri yang kemungkinan
sudah terkena gonorrhea. Jika dokter tidak meberikan penjelasan terlebih dahulu, dokter
tersebut tidak memenuhi kewajiban dokter yang tercantum dalam Pasal 4 dan Pasal 5
Permenkes No 585/MenKes/Per/IX/1989, yang menuntut dokter untk menjelaskan atau
memberikan informasi yang adekuat kepada pasien sebelum melakukan tindakan medis.
Apabila Dokter Melanggar Rahasia Kedokteran 8
Di lain pihak, jika dokter tidak menjelaskan kepada pasien bahwa penting untuk
memberitahu kepada istri pasien untuk menjalani pengobatan, tetapi dokter tersebut yang
menyampaikan informasi secara langsung kepada istri pasien tanpa persetujuan dari pasien,
dokter telah melanggar hak pasien atas rahasia rekam medis pasien.
Pasal 322 KUHP
(1) Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena
jabatan atau pencariannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan
pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan
ribu rupiah.
(2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya
dapat dituntut atas pengaduan orang itu.
KUH Perdata 1365
“Setiap perbuatan melanggar hukum yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain,
mewajibkan orang yang karena kesalahannnya menyebabkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut”
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Kode etik kedokteran. Diunduh dari www.idionline.org/wp-content/uploads/ Kode -
Etik - Kedokteran .pdf .9 Januari 2016
2. Hanafiah MJ, Amir A. Etika kedokteran dan hukum kesehatan. Edisi ke-4. Jakarta:
EGC; 2008. h. 48-56; h. 120-35.
3. Sampurna B, Syamsu Z, Siswaja T. Informed consent. Rahasia kedokteran. Dalam :
Bioetik dan Hukum Kedokteran. Jakarta : Pustaka Dwipar ; 2007. h. 77-83
4. UU No 29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran. Diunduh dari http://www.ropeg-
kemenkes.or.id/documents/uu_29_2004.pdf. 6 Januari 2016
5. Informed consent. Diunduh dari www.fkunja2010.files.com/2011/02/informed-
consent.ppt. 6 Januari 2016
6. Bagian kedokteran forensik FKUI. Permenkes RI No 585/ Menkes/ PER/ IX/ 1989.
Dalam:Peraturan perundang-undangan bidang kedokteran. Jakarta:Bagian Kedokteran
Forensik Fakultas Kedokteran UI; 1994. h. 2-44
7. Rahasia kedokteran. Diunduh dari
http://www.fk.uwks.ac.id/elib/Arsip/Departemen/Hukum_Kedokteran/Rahasia
%20Kedokteran%20(14).pdf . 6 Januari 2016
8. Mulyatno. KUHP. Cetakan 28. Jakarta : Bumi Aksara; 2009. h. 23–4
9. SYARAT-SYARAT DAN TATA CARA PELAKSANAAN WEWENANG, TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB PERAWATAN TAHANANDiunduh dari http://hukum.unsrat.ac.id/pp/pp_58_1999.pdf. 6 Januari 2016
29