i
SINTESIS PEWARNA ALAMI KULIT TELUR PUYUH
(Coturnix coturnix L.) SECARA KOMPLEKSASI DENGAN ION Al3+
SYNTHESIS OF NATURAL DYES FROM QUAIL EGGSHELL
(Coturnix coturnix L.) USING Al3+ COMPLEXATION
Oleh:
Harry Setiawan Saputra
652013010
TUGAS AKHIR
Diajukan kepada Program Studi Kimia Fakultas Sains dan Matematika guna
memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sains
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN MATEMATIKA
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2017
ii
iii
iv
1
SINTESIS PEWARNA ALAMI KULIT TELUR PUYUH
(Coturnix coturnix L.) SECARA KOMPLEKSASI DENGAN ION Al3+
SYNTHESIS OF NATURAL DYES FROM QUAIL EGGSHELL
(Coturnix coturnix L.) USING Al3+ COMPLEXATION
Harry Setiawan1, Cucun Alep Riyanto1, Dewi K.A.K.Hastuti1, Yohanes Martono1,*
1Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Matematika
Universitas Kristen Satya Wacana
Jl. Diponegoro 52-60, Salatiga 50711, Jawa Tengah, Indonesia
*Email: [email protected]
ABSTRACT
This study aims were to determine the optimum conditions in terms of protoporphyrin
IX extraction solvent compositions, methods, and extraction cycle from quail eggshell, and ato optimize complexation process of protoporphyrin IX and ion Al3+ using Respon Surface
Method (RSM). Quail eggshell extraction was optimized based on extraction method (maceration and ultrasonic method), solvent, and cycle of extraction. RSM was optimized using Central Composite Design (CCD) of 33 model. Variabel was performed based on mol
ratio, pH and temperature. The assay protoporphyrin IX was done using UV-VIS spectroscopy and determined using the Lambert-Beer equation. The results showed that
quail eggshell extract contained protoporphyrin IX. It can be seen from the spectra and has been already matched with spectra protoporphyrin IX standard. Optimum condition of protoporphyrin IX extraction were obtained by using methanol 96% and HCl(c) 5% (v/v).
Extraction was performed using maceration method. Protoporphyrin IX content in the extract was 1.92 × 10-2 % w/w. Optimum protoporphyrin IX extraction cycle was achieved
at 3 cycles. Protoporphyrin IX extract was fractionated with chloroform. Fractionation with chloroform caused structural changes into protoporphyrin dimethyl ester and made discoloration of extract solution. Based on RSM model, the optimum condition of
complexation between Al3+ and protoporphyrin IX were present at pH 5; ratio of 1: 3 (mol: mol); temperature of 30 oC. The RSM polynomial equation for optimization of the complex
protoporphyrin IX- Al3+ is affected by the interaction between pH and ratio ; and ratio with temperature.
Key words : Extraction, optimization, protoporphyrin, quail eggshell
2
PENDAHULUAN
Pada masa sekarang, perusahaan tekstil banyak menggunakan pewarna yang berasal
dari senyawa sintetik karena mudah dalam pewarnaan serta harga yang murah (Prabhu &
Bhute, 2012), tetapi penggunaan senyawa sintetik dalam industri tekstil dapat menyebabkan
pencemaran lingkungan karena senyawa ini tidak dapat terdegradasi di alam (Prabhu & Teli,
2011). Selain itu, pewarna sintetis juga bersifat karsinogenik dan menyebabkan alergi
(Prabhu & Bhute, 2012). Oleh karena itu, perusahaan tekstil mencoba kembali untuk
menggunakan zat pewarna alami karena tingginya tingkat kesadaran untuk menciptakan
lingkungan yang sehat (Prabhu & Teli, 2011; Samanta & Agarwal, 2009).
Zat pewarna alami didapatkan dari bahan – bahan alam seperti hasil ekstrak
tumbuhan atau hewan (Kwartiningsih, Setyawardhani, Wiyanto, & Triyono, 2009)
contohnya adalah pigmen dalam kerabang telur puyuh. Kerabang telur puyuh belum banyak
dimanfaatkan padahal memiliki pigmen protoporphyrin IX (Gosler, 2006) yang dapat
digunakan sebagai pewarna alami. Protoporphyrin IX merupakan pigmen utama dalam telur
yang berwarna coklat (Zhao, Xu, Liu, Li, & Yang, 2006). Kondisi dalam mengekstraks i
protoporphyrin IX perlu diperhatikan agar proses ekstraksi dapat dilakukan secara efektif
dan efisien.
Pengukuran protoporphyrin IX pada ekstrak kerabang telur puyuh dapat ditentukan
dengan pengukuran panjang gelombang maksimal menggunakan spektroskopi UV – Vis
(Mukhriani, 2014) dengan menggunakan nilai absorptivitas molar (ɛ) dari protoporphyrin
IX dalam HCl 1,5 M (Hunter, Sampson, & Ferreira, 2008) dan distandardisasi dengan cara
membandingkan kurva absorbansi panjang gelombang maksimum dengan kurva standard
protoporphyrin IX dalam metanol - HCl.
Protoporphyrin IX dapat diekstraksi dari kerabang telur ayam (Dean, Miller, &
Brückner, 2011), kerabang telur puyuh jepang (Duval, Cassey, Miksík, Reynolds, &
Spencer, 2013), dan telur – telur dari unggas yang lain (Thomas, Hauber, Hanley,
Waterhouse, Fraser, & Gordon, 2015). Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi
protoporphyrin IX beragam, seperti HCl 2 M dan asetat (Dean et al., 2011), metanol H2SO4
8,5% (Duval et al., 2013), dan methanol H2SO4 5% (Cassey et al., 2012). Protoporphyrin IX
dimetil ester dapat diidentifikasi lebih lanjut dengan melakukan fraksinasi menggunakan
klorofom. Setelah itu, dipindai dengan spektrofotometer UV – Vis (Grinsten, 1947).
Ekstraksi protoporphyrin IX dengan menggunakan ultrasonik banyak dilakukan pada sampel
3
bakteri (Wang et al., 2016), alga (Pasquet et al., 2011), dan sel hewan (Wang, Hannafon,
Lind, & Ding, 2015).
Pewarnaan yang terbatas, mudah luntur dan mudah kusam karena afinitas yang
rendah dengan tekstil (Prabhu & Teli, 2011) menjadi kelemahan dari zat pewarna alami
sehingga perlu dilakukan pengembangan lebih lanjut agar dapat meminimalkan kelemahan
tersebut.
Pada penelitian sebelumnya, proses pewarnaan menggunakan ekstrak kasar dari
kerabang telur puyuh tanpa dilakukan standarisasi terlebih dahulu (Kombando, 2014). Hal
ini dapat menyebabkan perbedaan hasil walau dilakukan dengan sampel yang sama tetapi
berbeda penelitian. Kebaruan dari penelitian ini adalah menggunakan ekstrak
protoporphyrin yang terstandarisasi untuk pembentukan kompleks dengan ion logam Al3+.
Pengukuran protoporphyrin IX pada ekstrak kerabang telur puyuh dapat ditentukan dengan
pengukuran panjang gelombang maksimal menggunakan spektroskopi UV – Vis
(Mukhriani, 2014) dengan menggunakan nilai absorptivitas molar (ɛ) dari protoporphyrin
IX dalam HCl 1,5 M (Gunther, Turner & Huff., 1989) dan distandarisasi dengan cara
mencocokan kurva absorbansi panjang gelombang maksimum dengan kurva standart
protoporphyrin IX dalam metanol - HCl.
Kompleksasi dengan ion logam bertujuan untuk menjaga kestabilan senyawa pigmen
yang ada agar menjaga konsistensi warna sehingga tidak mudah kusam atau dapat disebut
dengan mordan (Sumanta & Konar, 2011). Ion logam akan bereaksi dengan pewarna alami
dan membentuk kompleks sehingga senyawa pewarna alami tersebut menjadi stabil.
Pembentukan kompleks dipengaruhi oleh pH (Fagadar-Cosma et al., 2014), konsentrasi dari
ion logam yang dipakai (Maming, Jumina, Siswanta, Sastrohamidjojo, & Ohto, 2008) dan
suhu (Aprian & Ali, 2012). Semakin banyak kompleks yang terbentuk, maka senyawa
pewarna alami semakin tidak mudah kusam karena senyawa alami akan menjadi stabil dan
sulit berinteraksi dengan air ataupun sinar matahari (Prabhu & Bhute, 2012).
Pada penelitian-penelitian tersebut, penelitian mengenai kondisi optimum ekstraksi
protoporphyrin IX dari kerabang telur puyuh Indonesia yang ditinjau dari pelarut dan metode
yang digunakan dan kondisi optimum proses kompleksasi ditinjau dari pH, konsentrasi ion
logam Al3+, dan suhu pada proses kompleksasi protoporphyrin IX dengan ion logam Al3+
yang terstandarisasi belum pernah dilakukan.. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka
tujuan penelitian ini adalah memperoleh ekstrak protoporphyrin IX dari kerabang telur
puyuh Indonesia, menstandardisasi ekstrak kerabang telur puyuh berdasarkan kandungan
4
dan spektra protoporphyrin IX, menentukan kondisi optimum ekstraksi protoporphyrin IX
(metode ekstraksi) dari kerabang telur puyuh, dan mengoptimasi reaksi kompleksasi
protoporphyrin IX dan ion logam Al3+ ditinjau dari pH, rasio mol antara ekstrak
protoporphyrin dengan ion logam, dan suhu menggunakan model Respon Surface Method
(RSM).
METODOLOGI PENELITIAN
Alat dan Bahan
Sampel limbah kerabang telur puyuh diperoleh dari pedagang di Pasar Projo
Ambarawa. Bahan yang digunakan diantaranya metanol, HCl, NaCl, klorofom, AlCl3.6H2O,
dietileter, dan larutan buffer (pH 3, 4 dan 5). Semua bahan yang digunakan berderajat PA
(pro-analysis) diperoleh dari E-Merck, German.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini diantaranya Spektrofotometer (Optizen,
2120), neraca dengan ketelitian 0,01g (Ohaus, TAJ602), neraca analitis dengan ketelitian 0,1
mg (Ohaus, PA214), moisture analyzer (Ohaus, MB 25), pH meter (Hanna HI 9812), corong
pisah, dan ultrasonikator (Krisbow Ultrasonic cleaner DSA50-GL2-2.5L)
Metode
Metoda yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Preparasi Sampel (Kombado, 2014)
Kulit telur puyuh dikeringkan dalam drying cabinet selama 24 jam. Setelah
kering sampel dihaluskan dan diayak (20 mesh).
b. Ekstraksi Protoporphyrin IX (Wang et al., 2007)
Lima puluh gram serbuk telur puyuh dimaserasi dalam metanol 96%-HCl 5%
(v/v) (HCl(p) dan HCl 5%).Sampel diektraksi dengan menggunakan metode maserasi
dan ultrasonik. Maserasi dilakukan secara bertingkat dengan waktu masing-mas ing
selama 30 menit. Perbandingan yang digunakan antara sampel dan pelarut tiap waktu
maserasi adalah 1:10 (𝑏 𝑣⁄ ). Setelah proses ekstraksi, ekstrak dipindai dengan
spektrofotometer UV-VIS pada kisaran panjang gelombang 200 – 700 nm untuk
menentukan panjang gelombang maksimal.
5
c. Fraksinasi Protoporphyrin IX (Duval et al., 2013)
Fraksinasi larutan ekstrak dilakukan dengan menambahkan kloroform pada
rasio kloroform : fase aqueous = 1:2, v/v. Fase organik diambil dan ditambahkan 10 mL
NaCl 10% lalu digojok, kemudian fase organik dipisahkan. Fase organik dipinda i
dengan menggunakan spektrofotometer UV-VIS pada kisaran panjang gelombang 200
– 700 nm untuk menentukan panjang gelombang maksimal.
Standardisasi ekstrak kerabang telur puyuh berdasarkan kandungan
protoporphyrin IX dilakukan dengan pemindaian ekstrak kerabang telur puyuh pada
kisaran panjang gelombang 200–700nm.
Kandungan protoporphyrin IX dalam ekstrak kerabang telur puyuh diukur
berdasarkan persamaan 1 berikut:
A407= ε b.C ...........................(1)
Keterangan :
A407 : Absorbansi ekstrak pada panjang gelombang 407 nm.
ε : absortivitas molar porfirin dalam pelarut 1,5M HCl pada panjang gelombang 407
nm (297.000 L mol-1cm-1) .
b : panjang jalan masuk sinar atau lebar kuvet yaitu 1cm.
C : konsentrasi protoporphyrin IX dalam ekstrak kerabang telur puyuh (mol L-1)
d. Kompleksasi Protoporphyrin dengan ion logam Al3+ (Tanziha, Kusharto, & Januwati,
2009)
Kompleks Al-protoporphirin IX dibuat dengan cara mereaksikan ion logam Al3+
dan ekstrak kerabang kulit telur puyuh dengan perbandingan mol 1:1; 1:2; dan 1:3 .
Ekstrak kerabang telur puyuh diatur pH-nya (3, 4, dan 5) dengan menambahkan larutan
buffer. Reaksi dilakukan di dalam labu tertutup selama 30 menit menggunakan
ultrasonikator pada pada variasi suhu suhu 30 oC, 40 oC, dan 50 oC. Sebagai kontrol
adalah larutan Al3+ dan ekstrak kerabang telur puyuh.
Analisa pembentukan kompleks ekstrak kerabang telur puyuh dengan ion logam
Al3+ berdasarkan pemindaian pada kisaran panjang gelombang 360 – 1060 nm. Spektra
yang diperoleh dicocokan dengan spektra standar protoporphyrin IX.
6
e. Analisa Data (Heleno et al., 2016)
Optimasi reaksi kompleksasi dilakukan dengan metode Response surface
methodology (RSM). Desain optimasi menggunakan model 33 Central Composite
Design (CCD) dengan tiga pengubah dan tiga level faktor. Sebagai pengubah yaitu pH
(X1), nisbahmol ion logam Al3+ dengan mol protoporphyrin IX (X2), dan suhu reaksi
(X3). Faktor X1 meliputi pH 3, 4, dan 5. Faktor X2 meliputi nisbah 1:1 ; 1:2 ; dan 1: 3 .
Faktor X3 meliputi suhu 30oC, 40 oC, dan 50oC. Setiap pengubah dan faktor diberi kode
-1,68; -1; 0; 1; dan +1,68.
7
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pelarut metanol-HCl (HCl(p) dan HCl 5%)
Spektra hasil pemindaian ekstrak HCl 5% dan HCl(p) menunjukkan hasil yang sangat
berbeda (Gambar 1). Ekstraksi dengan menggunakan metanol – HCl 5% tidak dapat
mengekstrak sepenuhnya protoporphyrin IX ditunjukkan dengan tidak adanya titik puncak
yang signifikan pada panjang gelombang 421 nm (Gambar 1a). Hal ini dikarenakan hampir
95% komponen pada kerabang telur puyuh adalah CaCO3 (Mann & Mann, 2015) sehingga
HCl habis bereaksi dengan CaCO3 terlebih dahulu sebelum dapat mengekstrak
protoporphyrin IX. HCl menjadi komponen yang penting dalam pengekstrakan yaitu untuk
proses demetalisasi sehingga protoporphyrin IX dapat memutuskan ikatannya dengan ion
logam yang ada sehingga dapat terekstrak dalam bentuk protoporphyrin IX saja (Gorchein,
Lim, & Cassey, 2008). Dalam penelitian ini, kadar protoporphyrin IX yang terekstrak
dengan HCl 5% adalah 1,81 x 10-5 % (b/b) sedangkan menggunakan HCl(p) terekstrak 1,84
x 10-2 % (b/b).
(a)
(b)
Gambar 1. (a) Spektra protoporphyrin IX pada pelarut metanol – HCl (HCl 5%) pada
kisaran panjang gelombang 200 – 700 nm dengan tidak terdapat panjang gelombang maksimum. (b) Spektra protoporphyrin IX pada pelarut metanol –
HCl (HCl(p)) pada kisaran panjang gelombang 200 – 700 nm dengan panjang gelombang maksimum 409 nm
Metode ekstraksi secara maserasi dan ultrasonik
Spektra protoporphyrin IX dari kedua metode ekstraksi menunjukkan hasil yang
berbeda (Gambar 2). Spektra yang memiliki kesamaan dengan spektra protoporphyrin IX
standard adalah spektra yang menggunakan metode maserasi (Gambar 2a). Spektra dari
metode ultrasonik menunjukkan hasil yang berbeda dari spektra standard protoporphrin IX
tetapi memiliki nilai panjang gelombang yang sama dengan protoporphyrin IX (Gambar
8
2b). Pada spektra ekstrak protoporphyrin yang diekstraksi secara ultrasonik, hampir
terbentuk puncak panjang gelombang yang lain dan mengalami perubahan bentuk pada
bentuk spektranya, ultrasonik memberikan energi sehingga membuat kromofor pada struktur
protoporphyrin IX mengalami perubahan kompleks donor – aseptor elektron intramolekular,
perubahan kompleks kromofor tak jenuh terkonjugasi dan perubahan dalam disosiasi atau
protonasi pada gugus karboksil (Kaiser & Berhe, 2014). Hal ini membuat struktur
protoporphyrin IX terdekomposisi dan diduga berubah menjadi bentuk isoporphyr in
(Bhuyan, 2015). Kadar protoporphyrin IX yang didapat dengan metode ultrasonik adalah
1,88 x 10-2 % (b/b) sedangkan kadar protoporphyrin yang didapat menggunakan metode
maserasi adalah 1,92 x 10-2 % (b/b).
Gambar 2. (a) Spektra protoporphyrin IX menggunakan metode maserasi pada kisaran panjang gelombang 200 – 700 nm dengan panjang gelombang maksimum 409 nm. (b) Spektra protoporphyrin IX menggunakan metode ultrasonik pada kisaran
panjang gelombang 200 – 700 nm dengan panjang gelombang maksimum 409 nm
Siklus ekstraksi
Siklus yang digunakan adalah 5 kali. Pada setiap siklus tidak terjadi perubahan
bentuk spektra, tetapi mengalami penurunan intensitas penyerapan radiasi elektromagne tik
dalam nilai absorbansi. Pada spektra terjadi pergeseran secara hipokromik, pergeseran
spektra ini menunjukkan perubahan nilai intensitas yang semakin kecil yang disebabkan oleh
perubahan pelarut atau berkurangnya konsentrasi senyawa yang terlarut (Musiam & Alfian,
2017). Pada siklus pertama didapatkan kadar protoporphyrin IX 1,84 x 10-2 %, pada siklus
kedua 1,82 x 10-2 %, pada siklus ketiga 1,79 x 10-2 %, pada siklus keempat 1,72 x 10-2 %
dan pada siklus kelima 1,56 x 10-2 %. Penambahan siklus ekstraksi masih dapat dilakukan
(a) (b)
9
untuk memaksimalkan pengambilan protoporphyrin IX karena pada siklus kelima masih
banyak terdapat protoporphyrin IX.
Gambar 3. Spektra 5 siklus ekstraksi protoporphyrin IX pada kisaran panjang gelombang 200 – 700 nm terdapat panjang gelombang maksimum 409 nm silklus 1 ( ),
siklus 2 ( ), siklus 3 ( ) Siklus 4 ( ), siklus 5 ( )
Fraksinasi kloroform
Pada proses fraksinasi dengan kloroform, ekstrak yang berwarna biru kehijauan
berubah menjadi cokelat. Kedua sampel dipindai dengan menggunakan spektroskopi UV –
Vis untuk mengetahui spektranya. Spektra hasil pemindaian ditunjukkan pada Gambar 4a
dan Gambar 4b.
Gambar 4. (a)Spektra protoporphyrin IX pada fraksi metanol HCl pada kisaran panjang
gelombang 200 – 700 nm dengan panjang gelombang maksimum 409 nm. (b) Spektra protoporphyrin IX pada fraksi kloroform pada kisaran panjang
gelombang 200 – 700 nm dengan panjang gelombang maksimum 407 nm, 507 nm, 540 nm, 575 nm, 631 nm
(a) (b)
10
Pada Gambar 4b terlihat adanya perubahan pola serapan radiasi elektromagnetik
pada kisaran panjang gelombang 407 nm, 507 nm, 540 nm, 575 nm dan 631 nm. Perubahan
panjang gelombang maksimum dikarenakan terjadinya perubahan pada sisi kromofor di
protoporphyrin IX (Kaiser & Berhe, 2014), Perbedaan warna yang diserap menghasi lkan
perubahan pada panjang gelombang maksimum sehingga menyebabkan terjadinya
perubahan warna pada larutan ekstrak (Day & Underwood, 2002). Pada proses fraksinas i
dengan kloroform, protoporphyrin mengalami alkoholisis (gugus asam karboksilat)
sehingga menjadi dimetil ester protoporphyrn (Arita, Dara, & Irawan, 2008). Dimetil ester
protoporphyrin memiliki 5 panjang gelombang maksimal, yaitu pada 407 nm, 507 nm, 540
nm, 575 nm dan 631 nm (Grinsten, 1947).
Stabilitas ekstrak protoporphyrin IX
Setelah proses ekstraksi, diambil salah satu sampel lalu dilakukan penyimpanan di
dalam lemari pendingin selama 14 hari untuk menguji stabilitas protoporphyrin IX yang
sudah terekstrak tersebut. Pada hari pertama didapatkan absorbansi pada 411 nm adalah
2,066 dan pada hari ke – 14 didapatkan nilai absorbansi 411 nm sebesar 2,244. Kenaikan
nilai absorbansi ini dapat terjadi karena ketika pengukuran terjadi penguapan pelarut metanol
sehingga menyebabkan protoporphyrin IX menjadi lebih pekat. Pola spektra ekstrak
protoporphyrin IX tidak mengalami perubahan yang bermakna (Gambar 5). Hasil tersebut
menunjukkan bahwa ekstrak protoporphyrin IX stabil selama 14 hari pada penyimpanan
dalam lemari pendingin.
Gambar 5. (a) Spektra protoporphyrin IX pada hari ke – 0 pada kisaran panjang gelombang 200 – 700 nm dengan panjang gelombang maksimum 409 nm. (b) Spektra
protoporphyrin IX pada hari ke – 14 pada kisaran panjang gelombang 200 – 700 nm dengan panjang gelombang maksimum 409 nm
(a) (b)
11
Menurut Samiullah, Roberts, & Chousalkar (2016), protoporphyrin IX dalam bubuk
kerabang telur segar dan pada kerabang telur yang telah disimpan dalam kondisi dingin (20
– 25°C) diatas 6 – 7 tahun tidak mengalami perubahan sama sekali, tetapi ketika umur
penyimpanan kerabang telur mencapai kurang lebih 150 tahun, akan mengalami degradasi
warna yang disebabkan oleh infeksi jamur pada kerabang telur dan terjadi reaksi dengan
senyawa kimia pada tempat penyimpanan tersebut (Cassey, Maurer, Duval, Ewen, &
Hauber, 2010). Namun demikian, tingkat kestabilan protoporphyrin IX pada ekstrak
kerabang telur puyuh perlu diteliti lebih lagi untuk menentukan tingkat kestabilan terbaik
dari protoporphyrin IX tersebut.
Spektra Kompleks ekstrak porfirin dengan ion logam Al3+
Gambar 6. (a) Spektra Al3+ (b) Spektra kompleks protoporphyrin IX dengan Al3+ dengan
kondisi pH 3; rasio mol 1 : 1; suhu 30oC, (c) Spektra kompleks protoporphyrin IX dengan Al3+ dengan kondisi pH 4; rasio mol 1 : 2; suhu 23,2oC, (d) Spektra
kompleks protoporphyrin IX dengan Al3+ dengan kondisi pH 4; rasio mol 1 : 3; suhu 40oC pada kisaran panjang gelombang 200 – 700 nm
Kompleksasi dengan ion Al3+ menunjukan panjang gelombang maksimal yang
berbeda dari sebelumnya, panjang gelombang maksmial tanpa kompleksasi adalah 409 nm
dan mengalami pergeseran ke kanan menjadi 420 nm. Hal ini menunjukan bahwa
protoporphyrin IX dan Al3+ membentuk kompleks dan saling berikatan membentuk struktur
yang baru.
(b) (a)
(c) (d)
12
Optimasi kompleksasi ekstrak kerabang kulit telur puyuh dengan ion logam Al3+
Hasil optimasi kompleksasi dianalisa dengan metode Response surface methodology
(RSM) menggunakan model 33 central composite design dengan tiga peubah dan tiga level
faktor. Setiap peubah dan faktor diberi kode -1,68; -1; 0; 1; dan +1,68. Tabel peubah bebas
dan kode aras faktor optimasi yang digunakan tersebut disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Tabel peubah bebas dan kode aras faktor optimasi.
Kode
Aras
Nilai Aras
pH Rasio Suhu
-1,68 23,2 1:0,32 23,2
-1 3 1:01 30
0 4 1:02 40
1 5 1:03 50
+1,68 5,68 1:3,68 56,8
Tabel 2. Tabel faktor optimasi dan respon hasil serapan.
Faktor
pH
Faktor
Rasio
Faktor
Suhu
Respon Serapan Tiap Panjang Gelombang
Abs 420nm
4 1:2 40 2,638
4 1:2 40 2,62
5 1:1 50 2,854
5 1:3 30 2,921
3 1:1 30 2,538
4 1:2 40 2,62
3 1:3 50 2,432
3 1:1 50 2,824
4 1:2 40 2,553
5 1:3 50 2,886
3 1:3 30 2,699
5 1:1 30 2,553
4 1:2 56,82 2,585
4 1:0,32 40 2,398
5.68 1:2 40 2,444
2.32 1:2 40 2,456
4 1:2 40 2,553
4 1:2 23,18 2,678
4 1:2 40 2,638
4 1:3,68 40 2,509
13
Hasil pembentukan kompleks berdasarkan faktor optimasi tersebut dapat dilihat pada
Tabel 2. Dari tabel tersebut, dapat ditentukan faktor optimasi pembentukan kompleks. pH,
rasio, dan suhu merupakan faktor optimasi pada pembentukan kompleks antara ekstrak
protoporphyrin IX dengan ion logam Al3+ berdasarkan kode level optimasinya.
Analisa pemodelan polinomial orde dua pada penelitian ini berdasarkan persamaan
matematis berikut ini, yaitu:
𝑌 = ß0 + ∑ ßi𝑥i + ∑ ∑ ßij𝑥i𝑥j + ∑ ßii𝑥𝑖2 . . . . . .. (2)
3
𝑖=1
3
𝑗=𝑖+1
𝑘=1
𝑖=1
3
𝑖=1
RSM sangat bergantung pada model yang digunakan untuk menganalisa penelit ian.
Model yang dipakai adalah model quadratic yang dimodifikasi dengan seleksi nilai R2
dengan nilai kepercayaan 95%. Persamaan (2) digunakan sebagai dasar dalam analisa
pemodelan polinomial orde dua. Persamaan matematis tersebut digunakan berdasarkan uji
pemodelan yang digunakan. Data pada penelitian ini menunjukkan persamaan yang
terbentuk mengikuti persamaan polinomial yang ditunjukkan pada persamaan (2).
Koefisien persamaan polinomial yang diperoleh dari optimasi kompleksasi Al3+ dan
protoporphyrin IX tertera pada Tabel 3. berikut:
Tabel 3. Tabel koefisien persamaan polinomial penelitian
Koefisien Panjang Gelombang
420 nm
ß0 2,93043
Linear
ß1 -0,10643
ß2 0,15504
ß3 -0,022705
Kuadrat
ß33 5,73401 x 10-4
Interaksi
ß12 0,078875
ß23 -0,011112
R2 0,71
CV 3,47
(2)
14
Secara matematis, persamaan polinomial untuk tiga faktor pembentukan kompleks
antara porfirin dengan ion Al3+ pada penelitian ini ditunjukkan pada persamaan (3):
Dimana :
Y : Absorbansi kompleks protoporphyrin IX- Al3+
X2 : Rasio mol
X1 : pH
X3 : Suhu
Nilai R2 pada Tabel 3. menunjukkan keakuratan model yang digunakan. Pada
penelitian ini diketahui nilai efisiensi determinasi R2 yaitu sebesar 0,71. Hal tersebut
menunjukkan bahwa 71% dari total variasi pada hasil percobaan terwakili dalam model yang
digunakan, serta menunjukkan bahwa nilai prediksi yang diberikan model 71% sesuai
dengan data aktual. Data prediksi dengan data aktual disajikan dalam Grafik 1. Pada grafik
tersebut diketahui bahwa nilai interaksi dari pH, rasio, dan suhu pada pembentuk kan
kompleks memiliki absorbansi tertinggi sebesar 2,955 Abs dan terendah sebesar 2,405.
Grafik 1. Data Prediksi Model Vs Data Aktual
Analisa penelitian dengan menggunakan RSM sangat bergantung pada model yang
digunakan, oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan terhadap model yang digunakan.
Hal tersebut dapat diamati pada Tabel 4. dan Tabel 5.
𝑦 = 2,93043 − 0,10643𝑋1 + 0,15504𝑋2 − 0,022705𝑋3 + 0,000573𝑋32 + 0,078875𝑋12 − 0,011112𝑋23 …… (3)
15
Tabel 4. Analisis varian dari RSM model untuk respon hasil kompleksasi ekstrak
protoporphyrin IX dengan ion logam Al3+
Sumber DF Sum of Square
Mean square F-value p-value
420nm
Lack of Fit 8 0,091 0,011 5,85 0,0529
Pure Error 4 7,825 x 10-3 1,956 x 10-4
Total Error 12 0,098825 0,0111956
Pengujian lack of fit (ketidakpasan data) dilakukan untuk menguji apakah data yang
digunakan sudah cocok dengan model yang digunakan atau belum. Hasil pemodelan
menunjukkan bahwa antara data sesungguhnya dengan data hasil pemodelan tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan (p-value > 0,05). Penganalisaan variasi pemodelan
dapat dilihat pada Lampiran 1.
Dari keempat model diatas, model quadratic yang dimodifikasi paling cocok untuk
digunakan karena memiliki R2 yang lebih tinggi dan juga memiliki nilai p-value < 0,05.
Hal ini menunjukkan bahwa parameter yang digunakan memiliki perbedaan pengaruh yang
besar pada model perhitungan optimasi pembentukan kompleks Al3+ dan protoporphyrin
IX.
Pada penelitian digunakan tiga faktor yaitu pH, rasio antara ekstrak protoporphyrin
IX dengan ion logam Al3+ (mol/mol), dan suhu. Pembentukan kompleks protoporphyrin IX
– Al sangat dipengaruhi oleh interaksi antara pH dengan rasio dan rasio dengan suhu. Analisa
varian dari faktor pH, rasio dan suhu yang digunakan tersaji pada Tabel 5.
Tabel 5. Analisis varian dari faktor pH, rasio, dan suhu yang digunakan
Sumber Analysis of variance
DF Sum of Squares Mean square F-value p-value
420nm
pH*Rasio 1 0,05 0,05 6,01 0,0305
Rasio*Suhu 1 0,099 0,099 11,94 0,0048
Suhu2 1 0,048 0,048 5,83 0,0327
Dari model yang digunakan, didapatkan bahwa pembentukan kompleks Al3+ dengan
protoporphyrin IX sangat dipengaruhi oleh interaksi antara pH dan rasio; serta rasio dan suhu
16
karena memiliki p-value < 0,05 / sangat berpengaruh terhadap model. Interaksi antara pH
dan rasio dapat dilihat pada Gambar 7. dan interaksi antara rasio dan suhu dapat dilihat pada
Gambar 8. berikut :
Gambar 7. Response Surface dan Contour Plot pada panjang gelombang 420 nm interaksi
antara pH dan rasio
Gambar 8. Response Surface dan Contour Plot pada panjang gelombang 420 nm interaksi
antara rasio dan suhu
17
KESIMPULAN
Protoporphyrin IX dapat diekstraksi dari kerabang telur puyuh dengan kadar
mencapai 1,92 ×10-2 % (b/b). Kondisi optimum untuk melakukan ekstraksi protoporphyrin
IX dari kerabang telur puyuh adalah menggunakan pelarut metanol-HCl 5 % v/v (HCl(p))
dengan metode maserasi. Hasil kompleksasi optimal antara protoporhyrin IX dengan ion
Al3+ dilihat pada panjang gelombang 420 nm dengan kondisi optimum yaitu pada pH 5; rasio
1:3, dan suhu sebesar 30°C dengan absorbansi 2,9736. Proses kompleksasi protoporphyrin
IX dengan Al3+ sangat dipengaruhi oleh interaksi antara pH dengan rasio mol; dan interaksi
antara rasio mol dan suhu.
DAFTAR PUSTAKA
Aprian, R. P., & Ali, M. (2011). Pengolahan Sampah Plastik menjadi Minyak Menggunakan
Proses Pirolisis. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan. 4(1).
Arita, S., Dara, M. B., & Irawan, J. (2008). Pembuatan metil ester asam lemak dari CPO off
grade dengan metode esterifikasi-transesterifikasi. Jurnal Teknik Kimia, 15(2), 34-43
Bhuyan, J. (2015). Metalloisoporphyrins: from synthesis to applications. Dalton Transactions. 44(36), 15742-15756. 10.1039/C5DT01544H
Cassey, P., Maurer, G., Duval, C., Ewen, J. G., & Hauber, M. E.. (2010). Impact of time
since collection on avian eggshell color: a comparison of museum and fresh egg specimens. Behavioral Ecology and Sociobiology, 64(10), 1711-1720.
http://dx.doi.org/10.1007/s00265-010-1027-8
Cassey, P., Thomas, G. H., Portugal, S. J., Maurer, G., Hauber, M. E., Grim, T., Lovell, P. G., & Mikšík, I. (2012). Why are birds’ eggs colorful? Eggshell pigments co-vary with life-history and nesting ecology among British breeding non-passerine birds.
Biological Journal of the Linnean Society, 106(3), 657-672. http://dx.doi.org/10.1111/j.1095-8312.2012.01877.x
Day, R. A. Jr & Underwood, A. L. (2002). Spektrofotometri. In H. Wibi H., S.T. & L.
Simarmata, S. T. (Eds.), Analisis Kimia Kuantitatif / Edisi Keenam (pp. 382-421). Jakarta : Penerbit Erlangga.
Dean, M. L., Miller, T. A, & Brückner, C. (2011). Egg-citing! Isolation of protoporphyrin
IX from brown eggshells and its detection by optical spectroscopy and chemiluminescence. Journal of Chemical Education, 88(6), 788 – 792. http://dx.doi.org/10.1021/ed100093h
Duval, C., Cassey, P., Miksík, I., Reynolds, S. J., & Spencer, K. A. (2013). Condition-
dependent strategies of eggshell pigmentation : an experimental study of Japanese quail (Coturnix coturnix japonica), The Journal of Experimental Biology, 216, 700
– 708. http://dx.doi.org/10.1242/jeb.077370
18
Fagadar-Cosma, E., et al. (2014). A sensitive A3B porphyrin nanomaterial for CO2 detection.
Molecules, 19(12), 21239-21252. http://dx.doi.org/ 10.3390/molecules191221239
Gorchein, A., Lim, C. K., & Cassey, P. (2008). Extraction and Analysis of Colorful Eggshe ll Pigments Using HPLC and HPLC/Electrospray Ionization Tandem Mass
Spectrometry. Biomedical Chromatography. 23(6), 602-606. http://dx.doi.org/10.1002/bmc.1158
Gosler, A. G. (2006). Yet even more ways to dress eggs. British Birds, 99(7), 338-353.
Gunther, E. W., Turner, W. E., & Huff, D. L. (1989). Investigation of Protoporphyrin IX
Standard Materials Used in Acid-Extraction Methods, and a Proposed Correction for the Milimolar Absorptivity of Protoporphyrin IX. Clinical Chemistry, 35(8), 1601-1606
Grinsten, M. (1947). Studies of Protoporphyrin : VII. A Simple and Improved Method for
The Preparation of Pure Protoporphyrin from Hemoglobin. Journal of Biological Chemistry, 167, 515-519.
Heleno, S. A., Prieto, M. A., Barros, L. Rodrigues, A., Barreiro, M. F., & Ferreira, I. C. F.
R. (2016). Optimization of microwave-assisted extraction of ergosterol from Agaricus bisporus L. by-products using response surface methodology. Food and Bioproducts Processing. 100. 25 – 35. https://doi.org/10.1016/j.fbp.2016.06.006
Hunter, G. A. Sampson, M. P., & Ferreira, G. C. (2008). Metal Ion Substrate Inhibition of Ferrochelatase. The Journal of Biological Chemistry, 283(35), 23685-23691. https://dx.doi.org/10.1074/jbc.M803372200
Kaiser, M., & Berhe, A. A. (2014). How does sonication affect the mineral and organic
constituents of soil aggregates?. Journal of Plant Nutrition and Soil Science, 000, 1-17. http://dx.doi.org/10.1002/jpln.201300339
Kombado, A. R. (2014). Limbah Kerabang Telur Puyuh (Cortunix cortunix japonica)
sebagai Pewarna Alami Kain Batik (Pengaruh Jenis Fiksatif terhadap Ketuaan dan Ketahanan Luntur. Ditelaah dengan Metode Pengolahan Citra Digital RGB). Skripsi. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana.
Kwartiningsih, E., Setyawardhani, D. A., Wiyatno, A. & Triyono, A. (2009). Zat Warna
Alami Tekstil dari Kulit Buah Manggis. Ekuilibrium, 8(1), 41-47.
Maming, Jumina, Siswanta, D., Sastrohamidjojo, H. & Ohto, K. (2008). Transport behavior of Cr(III), Cd(II), Pb(II), and Ag(I) ions through bulk liquid membrane containing p-
tert-butylcalix[4]arene–tetradiethylacetamide as ion carrier. Indonesian Journal of Chemistry. 8(3). 300 – 306. http://dx.doi.org/10.22146/ijc.381
Mann, K. & Mann, M. (2015). Proteomic analysis of quail calcified eggshell matrix: a
comparison to chicken and turkey eggshell proteomes. Proteome Science, 13-22. https://dx.doi.org/10.1186/s12953-015-0078-1
Mukhriani, T. (2014). Ekstraksi, Pemisahan Senyawa, dan Identifikasi Senyawa Aktif. Jurnal Kesehatan, 7(2), 361-367.
Musiam, S., & Alfian, R. (2017). Validasi Metode Spektrofotometri IV pada Penetapan Kadar Asam Mefenamat dalam Sediaan Tablet Generik. Jurnal Ilmiah Ibnu Sina, 2(1), 31-43.
Pasquet, V., Chérouvrier, J. R., Farhat, F., Thiéry, V., Piot, J. M., Bérard, J. P., Kaas, R.,
Serive, B., Patrice, T., Cadoret, J. P., & Picot, L., (2011). Study on the microalga l pigments extraction process: Performance of microwave assisted extraction. Process
Biochemistry, 46(1), 59-67. https://doi.org/10.1016/j.procbio.2010.07.009
19
Prabhu, K. H., & Bhute, A. S. (2012). Plant based natural dyes and mordants : A Review .
Journal of Natural Product and Plant Resource., 2(6), 649 – 664.
Prabhu, K. H., & Teli, M. D. (2011). Eco-dyeing using Tamarindus indica L. seed coat tannin as a natural mordant for textiles with antibacterial activiry. Journal of Saudi
Chemical Society, 18(6), 864-872. https://doi.org/10.1016/j.jscs.2011.10.014
Samanta, A. K., & Agarwal, P. (2009). Application of Natural Dyes on Textiles. Indian Journal of Fibre & Textile Research, 34, 384-399.
Samiullah, S., Roberts, J. & Chousalkar, K. (2016). Infectious bronchitis virus and brown
shell colour: Australian strains of infectious bronchitis virus affect brown eggshell colour in commercial laying hens differently. Avian Pathology, 45(6), 552-558. http://dx.doi.org/10.1080/03079457.2016.1184744
Sumanta, A. K., & Konar, A. (2011). Dyeing of Textiles with Natural Dyes. Natural Dyes,
ISBN : 978-953-307-783-3, InTech
Tanziha, I, Kusharto, C.M., & Januwati, M. (2009). Kandungan Klorofil Berbagai Jenis
Daun Tanaman dan Cu-Turunan Klorofil serta Karakteristik Fisiko-Kimianya. Departemen Gizi Masyarakat dan PERGIZI PANGAN Indonesia.
Thomas, D. B., Hauber, M. E., Hanley, G., Waterhouse, G. I. N., Fraser, S. & Gordon, K. C.
(2015). Analysing avian eggshell pigments with Raman spectroscopy. The Journal of Experimental Biology, 218, 2670-2674. https://dx.doi.org/10.1242/jeb.124917
Wang, S., Hannafon, B. N., Lind, S. E., & Ding, W. Q. (2015). Zinc protoporphyrin suppresses beta-catenin protein expression in human cancer cells: the potential
involvement of lysosome-mediated degradation. PLoS One, . https://doi.org/10.1371/journal.pone.0127413
Wang, X. T., Deng, X. M., Zhao, C. J., Li, J. Y., Xu, G. Y., Lian, L. S. & Wu, C. X.
(2007). Study of the deposition process of eggshell pigments using an improved dissolution method. Poultry Science, 86(10), 2236–2238. https://doi.org/10.1093/ps/86.10.2236
Wang, Y., Wu, X., Chen, J., Amin, R., Lu, M., Bhayana, B., Zhao, J., Murray, C. K.,
Hamblin, M. R., Hooper, D. C., & Dai, T. (2016). Antimicrobial blue light inactivation of gram-negative pathogens in biofilm: In vitro and in vivo studies. The
Journal of Infectious Diseases, 213(9), 1380-1387. https://doi.org/10.1093/infdis/jiw070
Zhao, R, Xu, G. Y., Liu, Z. Z., Li, J. Y. & Yang, N. (2006). A Study on Eggshe ll
Pigmentation : Biliverdin in Blue-Shelled Chickens. Poultry Science, 85(3), 546-549. https://doi.org/10.1093/ps/85.3.546
20
LAMPIRAN
Lampiran 1. Tabel analisa sidik ragam
Regresi Db JK KT Fhit Ftabel
420nm
Modified 6 0,24 0,04 4,90 2,96
Linear 3 0,046 0,0153 0,78 3,39
2FI 6 0,20 0,0333 2,90 2,96
Quadratic 9 0,25 0,0278 2,80 2,95
Total model 24 0,736 0,0307 11,38
Top Related