38
BAB III
RITUAL PEBALE RAU KATTU DO MADE ORANG SABU DIASPORA
Pulau Sabu adalah sebuah pulau kecil yang terletak di propinsi Nusa Tenggara Timur
(NTT). Pulau Sabu ini terkenal dengan sebutan Rai Due Nga Donahu, Rai Ahhu Tewuni (tanah
nira dan gula).1 Pulau ini memiliki banyak kekayaan budaya dan ritual yang dilaksanakan sesuai
dengan siklus kehidupan manusia. Salah satu ritual dalam kematian adalah ritual pebale rau
kattu do made. Ritual pebale rau kattu do made adalah salah satu ritual yang masih dilaksanakan
oleh masyarakat Sabu hingga dengan saat ini. Ritual ini dilaksanakan hanya oleh orang Sabu
yang telah merantau dan meninggal di tanah rantau di sebelah timur. Ritual ini dalam
perkembangannya mengalami beberapa perubahan, baik itu secara simbol rau kattu itu sendiri
maupun berdasarkan tata cara pelaksanaannya yang dianut oleh masing-masing agama yang
berada di Sabu dan pada perkembangannya ritual ini tidak saja dilaksanakan oleh orang Sabu
yang telah merantau di daerah bagian timur dari pulau Sabu tetapi juga oleh orang Sabu yang
merantau di daerah sebelah barat.
Pada Bab ini akan dijelaskan tiga hal pokok, antara lain : (1) Makna pulau Sabu
sebagaimana yang tercermin dalam ritual pebale rau kattu do made bagi orang Sabu diaspora,
(2) Tahap-tahap dalam ritual pebale rau kattu do made, (3) Narasi tempat dan identitas dalam
pemahaman orang Sabu diaspora.
3.1 Gambaran Umum Pulau Sabu
Pada bagian ini membahas tentang latar belakang pulau Sabu, letak geografis, kependudukan,
mata pencaharian, sistem pemerintahan, kehidupan sosial-budaya dan ekonomi.
1 Ebenhaizer Nuban Timo, Sabu Punya Cerita, (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2014), vii
39
Gambar 1: Gambar Peta Pulau Sabu yang terdiri atas 6 (enam) kecamatan dan desa-desa
yang terdapat dalam 6 (enam) kecamatan tersebut.
3.1.1. Sejarah Pulau Sabu
Sejarah orang Sabu di mulai dari sebelum era penjajahan, pada zaman VOC, pada era
Hindia Belanda dan pada zaman kemerdekaan. Pada masa sebelum penjajahan diketahui bahwa
orang Sabu memiliki hubungan kekerabatan dengan orang Jawa, orang Sumba, orang Belu, dan
orang Thie di Rote. Oleh karena hubungan kekerabatan inilah maka orang Sabu selalu berusaha
menjalin dan memelihara hubungan kekerabatan dengan beberapa suku yang telah disebutkan di
atas.
Hubungan kekerabatan orang Sabu dengan orang Jawa dapat dilihat dalam beberapa hal
yaitu: pertama, orang Sabu menyebut pulau Jawa sebagai Jawa Dida sedangkan pulau Raijua
dinamakan Jawa Wawa. Kedua, dalam tempat ibadah agama suku di Sabu (Nada dan Namata)
terdapat sejumlah jenis batu yang dianggap memiliki nilai religius/magis. Dari antara batu-batu
itu terdapat sebuah yang bernama batu Jawa Miha. Ketiga, ada sejumlah adat-istiadat dan
upacara yang menyangkut siklus hidup manusia yang masih dipatuhi oleh orang Sabu yang
40
sangat mirip dengan yang ada di kalangan orang Jawa. Misalnya: upacara labuhan di Jawa yang
persis sama dengan upacara pelepasan perahu di laut pada waktu Hole. Keempat, di Pulau Raijua
terdapat banyak sekali peninggalan majapahit yang sudah dianggap sebagai bagian hidup dari
pada masyarakat Sabu. Raja Majapahit bersama isterinya Benni Kedo pernah mengunjungi
Raijua. Di Raijua terdapat satu Udu bernama Udu Nadega. Udu ini adalah keturunan orang-
orang Jawa asal Majapahit. Pulau Raijua disebut juga negeri Maja dan pemimpin masyarakat
wilayah Raijua digelar Niki Maja. Setiap kepala keluarga di Raijua berkewajiban untuk
memelihara seekor babi untuk dipersembahkan kepada Majapahit. Babi itu disebut wawi Maja.
Di Ketita ada batu keramat yang disebut batu Maja dan di Daihuli terdapat sawah Maja dan
sumur Maja. Enam tahun sekali akan diadakan upacara persembahan kepada Raja Majapahit dan
isterinya Benni Kedo ketika diadakan perkunjungan ke Pulau Dana dengan membawa
persembahan. Persembahan ini terdiri atas hasil panen dari sawah Maja dan wawi Maja.
Persembahan itu akan dilaksanakan di sebuah gua yang dipercaya sebagai rumah raja Majapahit.
Hubungan kekerabatan antara orang Sabu dengan orang Belu terlihat dari adanya sumpah
adat antara leluhur orang Belu dengan leluhur orang Sabu dan orang Thie. Adapun sumpah adat
tersebut berisi pantangan untuk berkelahi serta silang sengketa satu dengan yang lain.
Barangsiapa melanggar sumpah itu akan terkena sakit muntah darah dan penyakit-penyakit
lainnya. Sumpah ini masih disegani oleh warga-warga suku ini, terutama mereka yang
mengetahuinya. 2
Hubungan kekerabatan antara orang Sabu dengan orang Thie di Rote dapat dilihat dari
ketika Thie berada dalam situasi rawan pada tahun 1698-1700 yang sewaktu-wktu dapat terjadi
perang antar suku. Maka datanglah permintaan bantuan dari Thie kepada kerabatnya di Sabu
2 Riwu Kaho, Orang Sabu dan Budayanya, 17
41
(Habba). Pada tahun 1681 baru saja Thie dengan sekutunya Dengka dan Oenale kalah perang
melawan Termanu dan Lelain dengan bantuan Belanda sehingga terpaksa mereka harus
membayar rampasan perang yang sangat berat. Sehubungan dengan adanya hubungan
kekerabatan antara kedua suku itu, maka permintaan bantuan itu dipenuhi dengan senang hati
Nuku Baa mengutus adiknya Foe Bura dan Pada Bura beserta sebuah pasukan berangkat
menuju ke Nusak Thie. Pasukan dari Sabu bersama-sama dengan pasukan Thie dapat mengatasi
keadaan bahaya itu. Setelah keadaan pulih kembali, Foe Bura (orang Thie menyebutnya Foeh
Mbura) diminta menetap di Nusak Thie, sedangkan saudaranya Padi Bura beserta pasukannya
kembali ke Sabu. 3
Hubungan kekerabatan orang Sabu dengan orang Sumba dapat dilihat dari cerita dan
syair kuno di Sabu yang mengungkapkan bahwa orang Sabu dan orang Sumba berasal dari
leluhur yang sama. Ketika leluhur mereka berangkat dari Jawa menuju ke arah Timur untuk
mendapatkan negeri baru idaman mereka, mula-mula mereka tiba di Sumba. Sebagai anggota
rombongan memutuskan untuk menetap di Pulau Sumba, sedangkan sebagiannya melanjutkan
perjalanan lalu akhirnya tiba di Sabu. Di Tanjung Sasar yang terletak di Pulau Sumba terdapat
sebuah tempat yang bernama Juli-Haha. Penganut agama suku Sabu percaya bahwa Juli-Haha
adalah tempat kediaman kekal semua arwah leluhur dan arwah semua orang Sabu yang sudah
mati. Bukti terakhir dari hubungan kekerabatan ini adalah pada abad ke-18 raja Sabu dan raja di
Melolo melalui kawin-mawin. Sejak saat itu makin banyak orang Sabu yang bermukim di
Melolo. Sebaliknya, ada juga orang Sumba yang tinggal di Sabu. 4 Oleh karena di Tanjung Sasar
yang terletak di Pulau Sumba terdapat tempat yang bernama Juli-Haha maka orang Sabu yang
diaspora di Sumba dan meninggal di Sumba tidak perlu melaksanakan ritual pebale rau kattu do
3 Riwu Kaho, Orang Sabu dan Budayanya, 18-20
4 Riwu Kaho, Orang Sabu dan Budayanya, 21-22
42
made. Alasan orang Sabu diaspora di Sumba tidak perlu melaksanakan ritual pebale rau kattu do
made adalah karena jenazah orang Sabu diaspora tersebut dengan sendirinya telah berada
bersama dengan leluhur di Juli-Haha.
Pada zaman VOC terjadi beberapa perubahan mendasar terhadap pola hidup orang Sabu.
Nilai harmoni, kemanusiaan, kekeluargaan dan persaudaraan, dan kesetaraan mulai terganggu
oleh peperangan antar pemimpin masyarakat wilayah gara-gara terdorong motif untuk
memperebutkan hegemoni kekuasaan tertinggi atas kepulauan Sabu sesuai scenario devide et
impera (politik adu domba) VOC. Pada tahun 1648 VOC mengadakan perjanjian dengan 3 orang
pemimpin di wilayah Sabu yaitu Habba, Dimu dan Menia. Perjanjian itu berisi 3 orang
pemimpin wilayah ini akan menjadi sekutu setia dari VOC, mereka bertiga akan menyediakan
budak untuk dibeli VOC, sebaliknya VOC berjanji akan memberikan barang-barang porselin,
bahan pakaian dan barang-barang berharga lainnya. Perjanjian ini tidak dapat ditepati oleh ketiga
sekutu VOC, terutama yang menyangkut perdagangan budak. Latar belakang dari keengganan
mereka mempersiapkan budak karena sangat bertentangan dengan pandangan hidup orang Sabu
tentang manusia dan kemanusiaan. VOC sangat kecewa sekali sehingga orang Sabu dicap bangsa
yang keras kepala dan susah di atur.5
Pada waktu kedatangan VOC tahun 1648 tetapi ketiga raja di Sabu tidak dapat menyetor
budak kepada VOC maka terjadilah perselisihan dengan VOC pada tahun 1674. Perselihan itu
terjadi di pantai Dimu yaitu pemimpin VOC bernama Kerper dibunuh dengan seluruh
pasukannya oleh orang Dimu. Pada tahun 1675 VOC mengirim sebuah ekspedisi untuk
menghukum orang Dimu maka pecahlah perang sengit antara orang Dimu dengan pasukan VOC.
Raja Habba memihak kepada VOC. Perang itu memakan korban yang tidak sedikit pada kedua
5 Riwu Kaho, Orang Sabu dan Budayanya, 23-24
43
belah pihak. Akhirnya Dimu dapat dikalahkan dan dituntut untuk membayar ganti rugi 300
budak, 150 tahel (mata uang) emas dan 150 tahel multisalak dengan syarat VOC meninggalkan
Sabu. ternyata Dimu hanya membayar 20 orang budak, dan 80 tahel emas dan multisalak saja,
oleh karena sikap membandelnya orang Dimu. VOC meskipun berhasil memenangkan perang
itu, tetapi tidak berhasil mematahkan semangat orang Dimu. 6
Pada zaman Hindia Belanda orang Sabu masih terus dijadikan serdadu oleh pemerintah
Belanda. Memasuki abad ke-20 barulah terbuka kesempatan bagi orang Sabu untuk berkiprah
dalam bidang-bidang lainnya. Hal ini dimungkinkan karena semakin banyak anak-anak Sabu
yang mendapat pendidikan lanjutan setelah menyelesaikan pendidikan rendah di Sabu. Pada
zaman Hindia Belanda ini budak dikenal dalam 3 kategori yaitu: pertama, budak dalam yaitu
budak yang tinggal dalam rumah tuannnya dan mengerjakan pekerjaan dalam rumah. Ada budak
perempuan yang bernasib baik karena dijadikan gundik oleh tuannya. Kedua, budak luar adalah
budak yang tinggal di rumah tuannya akan tetapi mengerjakan pekerjaan di luar rumah seperti di
kebun, menjaga ternak. Ketiga, budak luar yang lebih bebas adalah budak yang sudah dianggap
sebagai anggota keluarga lapisan bawah dari tuannya. Tempat tinggalnya di luar rumah tuannya,
akan tetapi tetap mengabdikan diri kepada tuannya. Yang menguasai perdagangan budak di
Timor, Ende dan Sumba adalah pedagang-pedagang budak dari Ende. Ketika larangan
dikeluarkan, perdagangan budak di Timor segera berhenti tetapi di Ende dan di Sumba tetap
membandel, maka pada tahun 1838 dikirimlah ekspedisi tentara Belanda dengan bantuan
pasukan dari Sabu untuk menhancurkan pusat perdagangan di Ende. Pasukan dari Sabu dipimpin
oleh Ama Robo Riwu. Ekspedisi berhasil menghancurkan markas dari perdagangan budak di
Ende. Beberapa tahun kemudian perdagangan budak marak kembali di Sumba. Secara diam-
6 Riwu Kaho, Orang Sabu dan Budayanya, 28-29
44
diam terjalin lagi kolusi antara beberapa raja di Sumba Timur dengan para pedagang budak di
Ende maka dikirimlah ekspedisi antara Belanda ke Sumba untuk menghukum mereka yang
terlibat. Pasukan dari Sabu juga ikut serta yang dipimpin oleh Ama Ratu Kaho dengan
ajudannya Ama Willa Kote (saudara sepupu Ama Ratu Kaho). Ekspedisi yang berhasil
menumpas perdagangan budak dan menghukum mereka yang berkolusi. Perdagangan budakpun
berhenti sama sekali.7
Selain dari pekerjaan serdadu dan polisi. Makin banyak orang Sabu yang merantau ke
Kupang untuk bekerja sebagai kuli di pelabuhan. Pekerjaan pembuatan jalan raya dan
pembangunan perumahan. Sambil bekerja sebagai kuli, ada yang belajar pertukangan. Dengan
bertambahnya anak-anak Sabu yang menamatkan pendidikan dasar di Sabu (Volksschool), maka
terbuka kesempatan bagi sebagian besar anak-anak itu untuk pergi ke beberapa kota di luar Sabu
untuk mendapat pendidikan yang lebih tinggi. Ada yang pergi ke Rote untuk masuk sekolah
Penghentar Jemaat/Stovil, ada yang ke Kupang untuk bersekolah di Algemene Lagere School,
Holands Inlandsche School (HIS) dan berbagai kursus tukang, ada yang ke Ambon untuk masuk
Kweekschool (sekolah guru). Setelah menamatkan sekolahnya di Kupang ada yang ke Makasar
untuk bersekolah pada Rechts School (Sekolah Hukum), Bestuur School (Sekolah Pamong
Praja). Kweekschool dan kursus-kursus lainnya: ke Jawa untuk masuk Hollands Inlandsche
Kweekschool/HIK (Sekolah guru untuk HIS), Ambacht School (Sekolah Tehnik), Vroetvrouw
School (Sekolah Bidan), Hogere Theologishe School (Sekolah Tinggi Teologi).8
Setelah proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 hampir semua pemuda pelajar dan
bekas serdadu KNIL asal Sabu yang ada di Jawa turut serta dalam perjuangan bersenjata
7 Riwu Kaho, Orang Sabu dan Budayanya, 31-33
8 Riwu Kaho, Orang Sabu dan Budayanya, 34-36
45
mempertahankan kemerdekaan RI. Mereka menggabungkan diri dalam Laskar Sunda Kecil yang
kemudian: menjadi Tentara Nasional Indonesia. Dalam Laskar Sunda Kecil terdapat satu
battalion yang bernama Batalion Paradja. Battalion ini dipimpin oleh putra Sabu yaitu Mayor
Daud Kella. Putera Sabu yang tergabung dalam battalion ini adalah Letnan M. Huki Gah,
Kapten Hendrik Rade, Kapten J. Moi Hia, Letnan I El Tari, Letnan I Is Tiboeloedji, Letnan I M.
Amos Pah. El Tari dan Is Tiboeloedji mula-mula masuk Angkatan Laut, kemudian pindah ke
Angkatan Darat. Jeanete Betseba Gah bergabung dengan Barisan Palang Merah Indonesia.9
Pada masa kembalinya Belanda (NICA) sampai berdirinya NIT dan RIS, tokoh yang
paling berperan dalam masa ini adalah I.H. Doko yang berjuang dalam membela proklamasi
melalui partai yang didirikannya bersama-sama dengan kawanya (raja Amarasi, raja Kupang,
Titus Uly, Tom Pello, Ch. Ndaumanu, Max Rihi dan Saduk Naiusaf Oematan). Partai ini
didirikan pada tahun 1946 di Kupang bernamaPartai Perserikatan Kebangsaan Timor (PPKT).
Beberapa tahun kemudian dirubah namanya Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Ketika Negara
Indonesia Timur (NIT) berdiri beliau diangkat menjadi Menteri Penerangan, kemudian menjadi
Menteri Pengajaran pada Kabinet NTT yang berkedudukan di Makasar. 10
Pada masa setelah Republik Indonesia Serikat (RIS) menjadi Negara Kesatuan Republik
Indonesia NKRI). Banyak tokoh asal Sabu yang mulai berdatangan kembali untuk berkiprah
membangun daerah NTT. Beberapa di antara mereka adalah M.C. Haba kembali ke Kupang dari
Pare-pare untuk mengabdi sebagai guru pada SMP Negeri Airnona. Titus Uly dan Daniel Adoe
kembali sebagai Inspektur Polisi. Setelah mengabdi diberbagai tempat di tanah air akhirnya
keduanya kembali lagi di Kupang. Titus Uly menjadi Kakanwil Depdikbud dan Daniel Adoe
9 Riwu Kaho, Orang Sabu dan Budayanya, 39-40
10 Riwu Kaho, Orang Sabu dan Budayanya, 41-42
46
aktif di Polda NTT. Setelah bertugas di beberapa tempat El Tari, Is Tiboeloedji dan M.A.Amos
Pah kembali ke Kupang . Pada tahun 1965, Mayor El Tari diangkat sebagai Wakil Gubernur
NTT. Is Tiboeloedji mengabdi sebagai Pimpinan Perusahaan Daerah NTT M.M. Amos Pah
mengabdi sebagai Dandim di beberapa kota kabupaten, kemudian sebagai pimpinan Hansip NTT
sampai pension pangkat Kolonel.11
Menurut data-data tentang orang Sabu diaspora, ternyata
orang Sabu telah berdiaspora sudah sejak lama. Selain itu, orang Sabu diaspora juga adalah
orang yang sukses di tanah diaspora (rantau). Sekalipun orang-orang tersebut mengalami
kesuksesan dan kemakmuran di tanah diaspora, namun mereka tidak melupakan pulau Sabu
sebagai tanah nira (tuak) dan gula. Hal itu tergambar dari nilai-nilai yang diterapkan dalam
kehidupan diasporan yaitu kekerabatan, cinta tanah air, dan lain-lain. Selain itu, bagi orang Sabu
diaspora yang telah meninggal di tanah rantau khususnya di sebelah timur harus melaksanakan
ritual pebale rau kattu do made. Ingatan orang Sabu diaspora terhadap pulau Sabu bukan saja
ketika orang Sabu diaspora pada waktu hidup tetapi juga pada waktu kematian.
3.1.2. Letak Geografis dan Demografis
Secara geografis, keadaan desa Ledeke terletak di bagian tengah dari pusat pemerintahan
Kecamatan Sabu Liae dengn ketinggian antara 0,50 s.d 0,66 mil dari permukaan laut. Kondisi
alamnya terdiri dari lembah dan perbukitan dengan curah hujan rata-rata pertahun antara 4 atau 5
bulan hujan dengan suhu rata 25-300
C.12
11
Riwu Kaho, Orang Sabu dan Budayanya, 43-45. 12
Laporan Pelaksanaan Tugas Kepala Desa Ledeke pada Rapat Lengkap Pamong Praja tentang
Penyelenggaraan Pemerintah Desa tahun 2015, 2.
47
Luas wilayah desa Ledeke 5, 67 km2
kecuali pada tahun 1999 sudah berubah luas
wilayahnya menjadi 2.835 km2 akibat adanya pemekaran desa Ledeke dengan desa Loborui.
Desa Ledeke berpenduduk 827 jiwa dengan rincian laki-laki 448 jiwa dan perempuan 379 jiwa.13
Batas desa sebagai berikut:
Sebelah utara berbatasan dengan desa Raemude Kecamatan Sabu Barat;
Sebelah selatan berbatasa dengan desa Waduwalla Kecamatan Sabu Liae;
Sebelah Timur berbatasan dengan desa Eilogo Kecamatan Sabu Liae;
Sebelah barat berbatasan dengan Desa Mehona Kecamatan Sabu LIae;
Keadaan alam di kepulauan Sabu relatif sama. Ada sedikit perbedaan ialah bahwa pada wilayah
bagian utara relatif lebih hijau karena mempunyai sejumlah mata air dengan beberapa sungai
yang berair sepanjang tahun, sedangkan pada wilayah bagian selatan kering dan tandus serta
tidak mempunyai mata air sebaik seperti bagian utara. Hampir seluruh kepulauan ini terdiri dari
tanah putih/kapur yang berbukit-bukit dan tanah merah yang kurang subur kecuali sedikit tanah
datar di bagian utara. Di Sabu tidak ada gunung, yang ada hanyalah beberapa buah puncak bukit
yang tingginya kira-kira 250 meter.14
Keadaan iklimnya ditandai oleh musim kemarau yang panjang yang berlangsung dari
bulan Maret hingga bulan November. Musim hujan mulai dari bulan Desember hingga bulan
Februari. Menurut data dari Kantor Statistik Kabupaten Kupang, curah hujan yang tercatat pada
13
Laporan Pelaksanaan Tugas Kepala Desa Ledeke pada Rapat Lengkap Pamong Praja tentang
Penyelenggaraan Pemerintah Desa tahun 2015, 3. 14
Riwu Kaho, Orang Sabu dan Budayanya, 5.
48
tahun 1997/1998 adalah sebagai berikut: kecamatan Sabu Barat 113 mm, Sabu Timur 103 mm
dan Kecamatan Raijua 81 mm.15
Mata pencaharian utama orang Sabu adalah petani. Pada umumnya mereka bekerja
sebagai peladang (petani ladang) dan penyadap lontar. Pola kegiatan para petani masih terikat
pada siklus kegiatan menurut kalender lunar yang sangat erat kaitannya dengan adat-adat yang
bersumber pada konsep religi dan agama orang Sabu. Hasil produksi pertanian sangat tergantung
kepada curah hujan serta teknologi pertanian yang sederhana.16
Dalam waktu setahun terakhir ini di Sabu mengalami perkembangan yang cukup pesat
yaitu memiliki pabrik garam Nataga. Garam nataga ini telah dipasarkan ke Kupang dan pulau
Jawa.17
Selain itu juga dibangun pabrik Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) yang diberi nama
Oasa. Produk pertama Oasa itu diluncurkan oleh Bupati Dira Tome pada Rabu (17/8/2016) di
Kelurahan Limanggu, Kecamatan Sabu Timur, Sabu Raijua.18
Di Raenyale, kecamatan Sabu
Barat terdapat sebuah waduk yang bernama guriola.19
Waduk tersebut telah dimanfaatkan
dengan baik oleh masyarakat disekitar dengan menanam sawah, sayur, tanaman palawija dan
bawang. Selain itu juga sebuah embung besar telah dibangun di desa Kota Hawu, kecamatan
Liae dengan nama Maare Punoa.20
Hasil pembangunan embung tersebut juga sudah dapat
dinikmati oleh masyarakat Liae dengan melaksanakan panen raya padi dan bawang. Dengan
15
Riwu Kaho, Orang Sabu dan Budayanya, 5. 16
Riwu Kaho, Orang Sabu dan Budayanya, 6. 17
http://saburaijuakab.go.id/saburaijua255/index.php/layanan-publik/17-berita-seputar-sarai/138-sabu-
raijua-pasok-garam-nataga-ke-jawa.html diunduh 06 September 2016 18
http://infontt.com/2016/08/18/pemkab-sabu-raijua-luncurkan-air-minum-dalam-kemasan-oasa/ diunduh
06 September 2016 19
http://www.nttsatu.com/masyarakat-desa-raenyale-nikmati-kehadiran-waduk-guriola/ diunduh 07
September 2016 20
https://www.google.co.id/?gws_rd=cr,ssl&ei=-gvQV_jZNcrTvASAjJRw#q=bendungan+maare+punoa
diunduh 07 September 2016
49
demikian dapat disimpulkan bahwa orang Sabu tidak saja bekerja sebagai petani tetapi juga
bekerja di pabrik air kemasan dan pabrik garam.
3.2 Makna Pulau Sabu
Makna pulau Sabu yang pertama adalah pulau Sabu sebagai rumah. Rumah dalam
konstelasi pemikiran masyarakat tradisional, modern dan religius adalah pusat kehidupan
manusia (axis mundi). Kehidupan dimulai dari rumah, berlangsung di rumah dan berakhir di
rumah juga. Dalam gambaran religius yaitu kehidupan dimulai dari rumah dan tujuan akhir
rumah (rumah bapa/sorga). Rumah sebagai axis mundi karena didalam rumah ada semua nilai,
energi, kekuatan yang paling dahsyat persaudaraan dan kekeluargaan. Nilai-nilai kekeluargaan
dan persaudaraan inilah yang berguna ketika hidup di diaspora kembali.
Gambar 2: Rumah orang Sabu berbentuk perahu terbalik
Bagian-bagian rumah dari orang Sabu adalah sebagai berikut:
Loteng rumah berfungsi sebagai lumbung hasil panen: kacang hijau, padi, dan sorgum
dimasukkan ke dalam anyaman daun lontar yang disebut hoka, sedangkan gula dimasukkan ke
dalam periuk yang disebut rubi. Tempat makanan ini selalu berisi, artinya dalam keadaan sangat
berkekurangan makanan sekalipun bahan makanan tidak boleh dikeluarkan sampai habis dari
50
penyimpanannya. Mengapa? Tempat penyimpanan makanan ini dijaga oleh seseorang leluhur.
Bila tempat makanan ini kosong, leluhur penjaga dan pelindung kecukupan pangan dalam
keluarga akan pergi. Bila ia pergi, keluarga tersebut akan selalu mengalami kekurangan pangan
dan ini sebuah malapetaka.21
Lumbung, baik palawija maupun gula, adalah wilayah kekuasaan perempuan. Artinya
hanya perempuan atau anak perempuan dengan izin ibunya yang boleh naik ke loteng untuk
mengambil bahan makanan. Ini juga kearifan lokal, pelayanan satu pintu (one door service).
Dalam rumah modern jarang kita lihat ruang yang dikhususkan untuk Yang Ilahi apalagi ruang
untuk kebutuhan laki-laki dan perempuan menurut seksnya. 22
Struktur rumah dalam masyarakat Sabu terdiri atas buritan dan haluan. Buritan diatur
menjadi bagian perempuan mulai dari kegiatan harian, upacara, penyimpan benih dan logistik,
melahirkan, tidur, dan kematian. Haluan diatur menjadi milik laki-laki mulai dari kegiatan
harian, upacara, tidur, dan kematian. Keseimbangan laki-laki dan perempuan ditandai dengan
tiang nok/tiang induk, yaitu gela bani-gela mone (tiang layar perempuan dan tiang layar laki-
laki). Dasar rumah sebagai tempat untuk kembali kepada asal (kematian) dibagi untuk
perempuan (wui) dan laki-laki (d’uru). 23
Makna pulau Sabu yang kedua adalah pulau Sabu dimaknai sebagai rahim ibu. Ketika
seseorang dilahirkan dikelilingi oleh perempuan. Ada seorang perempuan duduk dibelakang si
ibu yang sakit melahirkan, memeluk si ibu dan menopang dia dengan sebelah tangan, sedangkan
tangan lainnya ditaruh di kepala si ibu untuk mencegah dia agar jangan berdiri.24
Ibu yang
21
Neonbasu, Kebudayaan Sebuah Agenda, 244 22
Neonbasu, Kebudayaan Sebuah Agenda, 244 23
Neonbasu, Kebudayaan Sebuah Agenda, 245 24
Ebenhaizer Nuban Timo, Sabu Punya Cerita…170-171
51
melahirkan tersebut berada di ruang perempuan (tarru duru). Demikian pula, pada waktu rau-
kattu dibuka maka dikelilingi oleh para perempuan di dalam rumah juga. Ketika seseorang bayi
dilahirkan dalam posisi duduk/jongkok dalam rahim ibu maka ketika seseorang meninggal juga
harus dikuburkan dalam posisi duduk atau jongkok seperti dalam rahim ibu. Oleh karena itu,
perempuan dipercayai oleh tradisi sebagai orang yang tahu seluk beluk kelahiran hingga ritus
kematian menjadi urusan perempuan.
Gambar 3: Cara menguburkan orang Sabu seperti posisi dalam rahim Ibu
Makna pulau Sabu yang ketiga adalah pulau Sabu sebagai tempat dimana banyak
deposito memori kehidupan. Contohnya: identitas masa kecil, pengharapan dan sejarah masa lalu
kehidupan. Diaspora adalah masyarakat minoritas dan karena itu bergantung dari kemurahan
kaum mayoritas, nasib tidak tentu dan jauh dari persekutuan keluarga. Bagi orang yang hidup,
ketika orang Sabu pulang ke Sabu dan melaksanakan ritual ini supaya mengambil nilai-nilai
persaudaraan, dan lain-lain untuk dipakai dalam kehidupan di diaspora. Sementara bagi orang
Sabu yang meninggal, agar mereka meninggal dalam memori keluarga. Contohnya: Yakub dan
Yusuf. Selain itu juga, diaspora adalah masyarakat mayoritas sehingga mereka juga hidup dalam
solidaritas sebagai orang-orang di daerah perantauan. Hal itu terlihat kejadian yang terjadi di
kampung Sabu, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) yaitu kejadian terkait ada isu yang
52
beredar via SMS tentang penikaman terhadap 2 (dua) pemuda asal TTS di yang ditikam di
Naibonat. Setelah dikonfirmasi dengan Kapolres TTS Bapak Agus Hermawan dan koordinasi
dengan Kapolres Babau, diperoleh jawaban pasti isu tersebut tidak benar. Sebelum diketahui
bahwa isu ini tidak benar, keadaan kampung Sabu cukup mencekam. Beberapa warga setempat
bersiaga di sejumlah sudut kampung sambil mempersentajai diri dengan batu, parang, panah,
potongan kayu, potongan pipa besi, tombak, senapan angin dan benda lainnya. Untuk mengatasi
keadaan tersebut maka polisi mengadakan razia terhadap warga luar yang melintasi jalan masuk
ke lingkungan kampung Sabu di belakang RSUD Soe. Selain itu, polisi bersiaga di sejumlah titik
dalam lingkungan kampung tersebut.25
3.3 Ritual Pebale Rau Kattu Do Made
3.3.1. Pengertian Rau kattu
Rau kattu berasal dari dua suku kata yaitu rau yang berarti bulu, rambut dan kattu yang
berarti kepala. Jadi secara etimologi pengertian rau kattu adalah rambut kepala. Rau kattu adalah
sebuah lambang atau simbol yang dalam bentuk pakaian dari seseorang yang meninggal di tanah
rantau.26 Selain dalam bentuk pakaian dari orang yang meninggal, rau kattu yang dibawa juga
bisa dalam bentuk batu kecil dari kuburan, sarung atau selimut dan tulang.27 Pembawaan rau
kattu dalam bentuk tulang ini baru pernah terjadi pada Bulan Juli 2016 di Seba dalam keluarga
Tagi. Tulang tersebut telah dimasukkan oleh keluarga dari Kupang ke dalam sebuah peti dan
selanjutnya dikuburkan di Sabu.28 Penguburan tulang ini menjadi sebuah simbol bahwa orang
yang telah meninggal di tanah rantau tersebut telah berkumpul bersama-sama dengan keluarga di
25https://www.google.co.id/?gws_rd=cr,ssl&ei=txzRV_-LB8HRvgSHp4PQCA#q=kampung+Sabu+Soe
diunduh 08 September 2016 26
Hasil wawancara dengan Pemangku Adat Liae 6 Juli 2016 27
Hasil wawancara dengan Pemangku Adat Seba (Namata) 10 Juli 2016 28
Hasil wawancara dengan Pemangku Adat Seba (Namata) 10 Juli 2016
53
Sabu. Alasan keluarga membawa rau kattu dalam bentuk tulang: pertama, ini merupakan
kesepakatan dari pihak keluarga. Kedua, tulang dianggap sebagai simbol yang mewakili si mati
untuk kembali ke tanah leluhurnya.29
Dalam sejarah awal mula rau kattu sebenarnya adalah rambut. Hal itu dapat dilihat
karena rambut adalah bagian tubuh yang paling ringan, awet, terhadap cuaca selain api. Rambut,
juga sangat sederhana (simple) dan mudah dibawa. Mengingat konteks pada waktu dahulu di
mana teknologi dan komunikasi yang belum memadai, selain dengan perahu layar (kowa) maka
dapat dipahami pilihan rambut sebagai simbol diri yang meninggal.30
Rambut menjadi pilihan
sebagai lambang diri yang meninggal untuk dibawa pulang ke Sabu. Bagi keluarga di Sabu,
melihat rambut sama dengan melihat si mati. Rau kattu adalah salah satu bagian dari kepala yang
dapat direfleksikan sebagai pusat pikiran manusia. Pikiran adalah tanda kemanusiaan yang
membedakan manusia dari makhluk lainnya. Orang yang sehat pikiran adalah orang yang
memiliki kemampuan untuk mengingat atau mengenang masa lalu, bertindak hari ini dan
berharap di hari esok. Rambut (rau) bagian dari kepala (kattu) menjadi simbol dari sebuah
pikiran untuk mengingat dan memelihara hubungan kekerabatan dalam keluarga daan dengan
lingkungan alamnya (sebagai ibu yang mengandung dan menghidupkan). Rau kattu adalah saat
kembali ke rumah atau rahim ibu (b’alle la da’ara kad’o ina).31 Bagi masyarakat primitif, rambut
juga memiliki pengertian sebagai konsentrasi terhadap daya hidup masyarakat.
Dalam pelaksanaan ritual pebale rau kattu do made memiliki perbedaan waktu antara
daerah Sabu Seba dan Sabu Liae. Hal itu dapat dilihat dari pelaksaan ritual ini di daerah Seba
dapat dilaksanakan setiap waktu, sesuai kesempatan keluarga dan tidak terikat oleh kalender adat
29
Hasil wawancara dengan Bapak Nimrod Tagi 10 Juli 2016 30
Hasil wawancara dengan Ibu Pdt. Paoina Bara Pa 10 Juli 2016 31
Hasil wawancara dengan Ibu Pdt. Paoina Bara Pa 10 Juli 2016
54
Sabu.32 Sementara dalam pelaksanaan ritual ini di daerah Liae hanya dapat terjadi pada bulan
Juni-Juli. Mengapa penyelenggaraan ritual tersebut dikhususkan hanya pada bulan Juni-Juli?
Karena sejak dari bulan Agustus sampai dengan Mei terdapat berbagai penyelenggaraan bulan-
bulan adat tertentu. Selain itu juga pada bulan Juni-Juli berhubungan dengan siklus kehidupan
pertanian, karena dalam bulan-bulan ini tidak ada pekerjaan pertanian sehingga tidak menggangu
pekerjaan pertanian dan kehidupan ekonomi masyarakat. Adapun penyelenggaraan bulan adat
menurut kepercayaan masyarakat adat Liae adalah sebagai berikut:33
Nama Bulan menurut Kalender Sabu Padanannya dalam Kalender Masehi
Kelila Wadu (Pacuan Kuda) Agustus
Pana Rau dan Warru Waduae September
Baggarae dan Likku Kerugga Oktober
Ko’o Ma (Persiapan Tanam) November
Kujja Ma (Tanam Lahan Pertanian) Desember
Kelila Ajji Lay (Pacuan Kuda diiringi
dengan gong dan tambur dari rumah adat
Medoto)
Januari
Hangadimu (Panen pertama) Februari
Nga’a Nyale dan Nga’a Daba Maret
Bangaliwu Gopo April
Bangaliwu Rame (Rame Buihi dan Hole) Mei
32
Hasil wawancara dengan Pemangku Adat Namata Seba 10 Juli 2016 33
Hasil wawancara dengan Bapak Rafilus Manahede (Kepala Desa Ledeke), Kecamatan Sabu Liae 7 Juli
2016
55
Dalam pelaksanaan ritual pebale rau kattu do made ini yang terjadi di daerah Liae khusus
hanya bulan Juni-Juli, jika ada warga masyarakat yang melanggar dari ketentuan bulan yang
telah disepakati maka akan dikenakan denda. Denda tersebut akan ditentukan oleh Mone Ama
(pemangku adat) kepada keluarga yang telah melanggar ketentuan pembawaan rau-kattu dari
tanah rantau ke daerah Liae.
Dalam tata cara pelaksanaan ritual pebale rau kattu do made ini didahului dengan
pengutusan salah satu orang dari keluarga di Sabu ke tanah rantau untuk mengambil rau-kattu
dari orang yang meninggal di tanah rantau. Setelah itu salah satu orang keluarga tersebut
bersama-sama dengan keluarga di tanah rantau untuk mempersiapkan barang-barang (rau kattu).
Isi rau kattu adalah kain, sabun, korek api, rempah-rempah seperti pala (bangalawa, cengkeh)
dan sirih pinang. Isi rau kattu ini sebenarnya mau menggambarkan bahwa orang yang meninggal
tersebut pergi berdagang dan pulang harus membawa barang dagangan.34 Barang dagangan itu
kemudian harus dibagi-bagikan kepada semua orang yang datang pada ritual pebale rau kattu do
made.
34
Hasil wawancara dengan Bpk. Gheby Thomas (keluarga pembawa rau-kattu) 8 Juli 2016
56
Gambar 4: Rau kattu yang dibawa oleh Keluarga Djami dari Kupang adalah dalam bentuk kain
yang diisi dengan beberapa barang didalamnya yaitu korek api, sabun, handbody, sirih pinang,
cengkeh. Semua barang tersebut kemudian dikemas atau ditaruh dalam sebuah tas.
Tujuan pelaksanaan ritual pebale rau kattu do made di Sabu adalah karena waktu
seseorang meninggal di tanah rantau hanya diketahui dan disaksikan oleh keluarga-keluarga
yang berada di tanah rantau saja.35
Oleh karena itu pelaksanaan ritual pebale rukattu do made di
Sabu bertujuan agar keluarga di Sabu juga menyaksikan bahwa orang tersebut telah meninggal
dan kembali dalam persekutuan kehidupan keluarga.
Ritual pebale rau kattu do made ini hanya dilaksanakan oleh orang Sabu yang karena
tuntutan hidup dan pekerjaan harus merantau ke luar pulau Sabu. Orang Sabu yang telah
merantau atau bahkan menetap di tanah rantau disebut dengan orang Sabu diaspora. Ritual
pebale rau kattu do made ini dapat dilaksanakan oleh keluarga dari orang yang meninggal
tersebut. Dalam pelaksanaannya ritual ini juga memiliki beberapa ketentuan yaitu pada awalnya
ritual pebale rau kattu do made ini hanya diperuntukkan bagi orang Sabu yang meninggal di
perantauan yang terletak di bagian Timur pulau Sabu. Mereka yang meninggal di perantauan
yang terletak di ufuk Barat tidak perlu diadakan ritual pebale rau kattu do made oleh karena
dianggap sudah langsung berada di Juli-Haha karena Juli-Haha terletak di ufuk Barat dari pulau
Sabu.36
Juli-Haha dipahami oleh orang Sabu sebagai tempat tinggal yang kekal dari arwah orang
mati. Dalam perkembangan selanjutnya, ritual pebale rau kattu do made tidak saja dilakanakan
oleh orang Sabu yang telah merantau di sebelah timur tetapi juga dilaksanakan oleh orang Sabu
yang merantau di sebelah barat pulau Sabu.
35
Hasil wawancara dengan Bpk Udju Nguru (Pemangku Adat Liae) 6 Juli 2016 36
Hasil wawancara dengan Bpk Udju Nguru (Pemangku Adat Liae) 6 Juli 2016
57
Pemimpin ritual pebale rau kattu do made ini adalah anggota keluarga masing-masing.
Orang-orang yang terlibat dalam ritual pebale rau kattu do made adalah anak cucu dan keluarga
inti dari yang meninggal di tanah rantau, keluarga di Sabu, pemerintah dan pemimpin agama.
Keluarga-keluarga baik yang dari rantau mapun yang di Sabu dapat berasal dari berbagai agama.
Agama-agama yang ada di Sabu adalah Kristen Protestan, Katolik, Islam dan agama suku Sabu
(jingitiu). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam ritual pebale rau kattu do made ini
mempertemukan orang-orang dari berbagai macam agama. Peran dari pemerintah dalam ritual
pebale rau kattu do made adalah peristiwa atau kejadian tentang kematian dirantau yang dialami
oleh seseorang kemudian keluarga yang bersangkutan yang berada di Sabu datang memberikan
informasi kepada pemerintah setempat. Selanjutnya, pada acara buka rau kattu berlangsung
pemerintah harus hadir untuk memberi kata sambutan atau kata penghiburan bagi keluarga yang
berdukacita dan juga turut berbelasungkawa atas peristiwa atau kejadian tersebut.37
Peran
pemerintah yang dapat dilihat sehubungan dengan ritual pebale rau kattu do made ini adalah
pemerintah sementara berupaya untuk melestarikan ritual ini menjadi tradisi yang tetap
dipelihara sepanjang masa. Selain itu, pemerintah sementara berupaya untuk memperkenalkan
ritual ini sebagai sebuah potensi pariwisata yang mendatangkan Pendapatan Asli Daerah (PAD).
Contohnya dalam pelaksanaan ritus ini semua yang terlibat didalamnya menggunakan pakaian
adat yang lengkap dan ritus ini dijalankan seperti pada waktu awal diturunkan secara tradisi
turun-temurun. Dalam ritual pebale rau kattu do made dalam tradisi Kristen juga melibatkan
pendeta. Peran pendeta dalam ritual pebale rau kattu do made ini adalah hanya memimpin
ibadah pada waktu malam buka rau-kattu yang biasa disebut sebagai ibadah penghiburan. Pada
37
Hasil wawancara dengan Bapak Rafilus Manahede (Kepala desa Ledeke, Kecamatan Liae) 6 Juli 2016
58
keesokan harinya tepat pada siang hari pendeta bertugas dalam memimpin ibadah pengucapan
syukur rau-kattu.38
3.3.2. Sejarah Rau kattu
Menurut tradisi yang diwariskan secara lisan, ada 2 (dua) mitos tentang asal-muasal rau
kattu. Cerita pertama adalah pada suatu hari ada dua orang laki-laki bersaudara. Yang satu, ingin
merantau. Lalu sebelum merantau, ia berpesan kepada saudaranya yang tinggal begini:
“Saudaraku, seandainya saya tak bisa pulang ke Hawu. Saya mau mati di tengah keluarga, di
kampung halaman, tanah tuak dan gula. Meskipun jenazah saya telah dikubur, saya akan
menyimpan tiga helai rambut dari pusar kepala (keweru) saya, sebagai tanda bahwa saya telah
kembali ke rumah, ke tengah keluarga dan dikuburkan di dalam rumah kita di bagian haluan
bersama nenek laki-perempuan dan juga papa dan mama kita. Mari, sebelum saya pergi, buatlah
janji bahwa engkau saudaraku tidak akan melupakan permohonan ini”. Lalu saudara yang tinggal
di Hawu: dengan penuh cinta, ia berkata: “Saya akan melakukan apa yang kau inginkan dengan
sebaik-baiknya”. Sesudah mereka berdua mengikat kesepakatan dan diakhiri dengan ciuman
maka berangkatlah saudara tersebut dengan menyebrangi lautan. Suatu hari terdengar kabar
bahwa ia telah meninggal dirantau. Mendengar berita itu, saudara yang ada di Hawu
mempersiapakan diri untuk berangkat mencari dan mengambil saudaranya kembali ke Hawu
yakni melalui rambut (rau kattu). Simbol si mati (rau kattu) diletakkan di bagian haluan rumah
sebagaimana layaknya jenazah laki-laki di Hawu. Sanak saudara diberitahukan bahwa saudara
mereka (rau kattu) telah kembali untuk bersama dengan para leluhur (ama-eppu) di dalam
perahu, bagian kolong haluan.39
38
Hasil wawancara dengan Pdt. Danial Manu 08 Juli 2016 39
Hasil wawancara dengan Ibu Pdt Paoina Bara Pa 10 Juli 2016
59
Mitos kedua mengenai cerita lahirnya rau kattu, dapat disimak melalui kisah leluhur
Hawu Miha dan Jawa Miha. Dua orang nenek moyang yang hidup ini puluhan generasi lalu
sesuai pengetahuan tentang asal-usul orang Sabu yang diceritakan secara turun-temurun. Yang
tertua bernama Hawu Miha yang berarti “Sabu sendiri”. Adik laki-lakinya bernama Jawa Miha,
adik tiri yang ibunya seorang wanita yang tidak berasal dari Sabu. J’awa berarti “orang asing”
dan tidak berarti bahwa ia berasal dari Pulau Jawa. Ketika ayah mereka Miha Ngara sudah uzur
dan buta, ia memutuskan untuk menurunkan ilmu pengetahuannya yang sampai kini
dirahasiakan, kepada putra sulungnya., Hawu Miha. Tetapi ibu J’awa Miha menginginkan
pengetahuan itu diberikan kepada puteranya. Dengan memakai berbagai dalih dan dengan
bantuan ibunya. J’awa Miha menerima pengetahuan dan kekuasaan dari ayahnya. Untuk
menghindari kemarahan dan konfrontasi dengan kakaknya, J’awa Miha melarikan diri ke luar
daerah. Tahun berganti tahun, akhirnya kedua kakak-beradik ini berdamai, dan ketika J’awa
Miha sekarat, ia meminta agar rambut dan tutup kepalanya (lehu kattu) dikembalikan ke negeri
asalnya, pulau Sabu. Cerita ini mengemukakan bahwa di pulau Sabu dikenal dua tradisi.
Pertama, bahwa laki-laki Sabu memakai tutup kepala batik untuk memperingati cerita mengenai
nenek moyang mereka. Kedua, bilamana meninggal dunia di luar pulau Sabu dan bila jasadnya
tidak dapat dibawa ke tempat kelahirannya. Rambut dan tutup kepalanya harus dikembalikan ke
daerah asal. Adat inilah yang dikenal dengan nama rau kattu.40
3.3.3. Tahap-tahap dalam Ritual Pebale Rau Kattu Do Made
Bila anggota keluarga meninggal di rantau, maka anak cucu dan keluarga inti dari yang
meninggal bersama dengan anggota keluarga yang hadir dari Sabu mengadakan pertemuan untuk
mempercakapkan dan mempersiapkan atau merencanakan suatu waktu untuk membawa rau-
40
Hasil wawancara dengan Ibu Pdt Paoina Bara Pa 10 Juli 2016
60
kattu kembali ke tengah keluarga di Sabu. Kalau keluarga di rantau mengulur-ulur waktu, maka
keluarga dari Sabu akan datang menanyakan kapan waktu pelaksanaannya; hasil kesepakatan
baru tadi akan menjadi dasar informasi bagi kedua keluarga untuk mempersiapkan diri. Keluarga
di Sabu bertugas untuk mempersiapkan rumah, makanan, menjalankan undangan, rapat keluarga
untuk pembagian tugas dalam keluarga seperti: menjemput keluarga di pelabuhan, juru bicara,
pemangku rau-kattu (saudara perempuan dari pihak ibu).
Versi Seba (Heb’a)
Waktu rau-kattu sampai di rumah, maka aka nada petugas khusus yang akan menerima
rau-kattu dan meletakkannya pada tempat yang disediakan menurut aturan adat. Bila laki-laki-
laki yang meninggal maka tempatnya di bagian haluan rumah (d’uru). Bila perempuan yang
meninggal, maka tempatnya di bagian buritan rumah (wui). Pada tempat khusus itu,
dibentangkan sebuah tikar (dapi). Di atas tikar itu, diletakkan rau-kattu yang telah ada dalam
wadah anyaman (kepepe). Para peratap akan meratap sambil menyebut nama sanjungan si mati,
menceritakan silsilah, riwayat hidup dan matinya. Biasanya, rau-kattu dikelilingi para
perempuan di dalam rumah, sedangkan laki-laki berada di luar rumah. Acara ini, sama seperti
perempuan-perempuan menunggui seorang ibu yang melahirkan di ruangan perempuan yakni
buritan.41
Pemilik rumah, telah mempersiapkan masakan yang terdiri dari seekor ayam yang
dibunuh oleh suami dan dimasak oleh istri. Nasi dan sedikit daging ayam itu dibulatkan oleh ibu
rumah tangga lalu ditaruh di wadah makan dari anyaman daun lontar (kerigi) lalu diletakkan di
samping rau-kattu bersama dengan air minum (cara ini dapat dilihat pada tradisi kematian Roma
41
Hasil wawancara dengan Pemangku Adat Namata 10 Juli 2016
61
Katolik yakni di bagian kepala ada meja kecil tersimpan patung Bunda Maria, lilin dan piring
dengan nasi, daging dan gelas air minum). Sebelum diletakkan, si ibu rumah tangga seolah-olah
menyuap bulatan nasi itu kepada si mati. Kegiatan ini disebut happo rau-kattu (menyambut si
mati dalam persekutuan dalam rumah asalnya dengan makan dan minum).42
Setelah sambutan itu dilakukan, maka petugas (beni atau mone pili d’ida) baru akan
membuka wadah rau-kattu. Petugas itu adalah seorang perempuan atau laki-laki yang berasal
dari klan ibu atau saudara dari ibu kandung si mati. Barang bagian atas dari wadah rau-kattu
menjadi milik petugas tersebut; setelah ia mengambil barang kepada keluarga inti dari pihak
ayah dan ibu. Setelah itu, juru bicara keluarga akan menyampaikan isi hati keluarga kepada
undangan lalu di tutup dengan acara makan bersama dan ciuman perpisahan.43
Versi Liae
Masyarakat Liae mempunyai keunikan khusus dalam pelaksanaannya, yaitu acara rau-
kattu dilaksanakan pada bulan Hole yaitu bulan syukur panen. Sehari atau dua hari Sehari atau
dua hari setelah upacara Hole, maka keluarga-keluarga yang bersangkutan diperbolehkan untuk
membuka acara rau kattu. Petugas yang membawa rau kattu akan masuk dari pintu haluan dan
menaruh rau kattu di bagian tiang haluan rumah (tarru d’urru) bila yang meninggal laki-laki.
Kalau perempuan, maka petugas masuk dari pintu buritan dan meletakkan rau kattu di bagian
kiri tiang haluan rumah: tanpa bicara. Tuan rumah, menyiapakan makanan nasi sorgum dan
daging ayam, lalu petugas masak akan membawa sajian tersebut dalam wadah: kerigi (nasi
ditaruh pada tempat semacam piring dari anyaman daun lontar), kab’a rai (kuah daging ditaruh
dalam wadah yang terbuat dari tanah liat), kab’a nyiu (air minum yang ditaruh dalam tempurung
42
Hasil wawancara dengan Pemangku Adat Namata 10 Juli 2016 43
Hasil wawancara dengan Ibu Pdt. Paoina Bara Pa 10 Juli 2016
62
kelapa). Sajian-sajian ini diberikan kepada beni ha’u rau kattu (perempuan yang memangku rau
kattu) sebagai sesajen untuk menyuap si mati (seolah-olah) sambil berkata I’a d’oke hammi ei
donahu, happo ke henga artinya tak dapat lagi minum air gula, karena napas sudah putus.
Ucapan ini disambut keluarga dengan tangisan atau ratapan yang menuturkan silsilah si mati.
Para kerabat inti yang ada diluar rumah akan naik ke ruangan di dalam rumah untuk menerima
pembagian barang (pakaian, sarung dan selimut) rau kattu yang dibagikan oleh petugas. Barang-
barang yang dibagikan harus diterima tanpa protes. Entah suka atau tidak suka. Apapun yang
harus diberikan harus diterima. Acara buka rau-kattu biasanya dilakukan pada malam hari
karena kemungkinan disesuaikan dengan aktifitas masyarakat sebagai petani sadap lontar yang
bekerja pada pagi dan petang hari, sehingga mereka hanya benar-benar punya waktu khusuk
pada malam hari. Selain itu cerita mengenai silsilah atau narasi silsilah hanya boleh diucapkan
atau diceritakan pada malam hari merupakan saat yang tenang. Bagi keluarga yang mampu,
acara buka rau-kattu juga disertai dengan acara yang dikenal tao leo dimana keluarga dihibur
dengan tarian penghiburan dimasa dukacita (ledo) yang diiringi tambur dan gong untuk beberapa
hari. Isi ruketu berupa pakaian si mati ditambah dengan rempah-rempah seperti pala, kencur dan
sepotong kayu cendana sebagai lamabang si mati.44
Dalam tradisi Liae, keluarga berduka pantang untuk melaut, melayat, menyiram tanaman
dan memberi makan hewan piaraan. Oleh karena itu, usai acara syukur (pemou) petugas
pembawa rau-kattu akan mencari kios terdekat untuk membeli “gula-gula atau permen” untuk
dibagikan kepada kerabat yang hadir. Tindakan ini merupakan simbol bahwa petugas telah
44
Hasil wawancara dengan Pemangku Adat Liae 6 Juli 2016
63
selesai melewati masa duka dan telah juga menyelesaikan tanggung jawab sehingga ia bisa
melaut pun melayat orang meninggal.45
Pada waktu rau-kattu dibuka, keluarga akan membicarakan serta menyelesaikan hal-hal
seperti ked’i (artinya: bangun). Ked’i merupakan acara dimana seorang janda atau duda (suami
yang kawin masuk) akan diminta atau dibawa kembali oleh keluarganya. Sebab hubungan
perjanjian sebagai suami istri telah berakhir karena kematian. Acara ked’i dengan baik
tergantung pada percakapan dan kesepakatan kedua keluarga terutama jaminan bagi si istri dari
keluarga pihak suami dan anak-anaknya yang terus dipantau oleh keluarga pihak istri.46
Versi Kristen
Pertama, pihak keluarga dari Sabu mengutus salah satu orang untuk pergi kepada keluarga di
tanah rantau. Tujuan kepergian kepada keluarga di tanah rantau adalah untuk mengambil
pakaian, rambut, tulang, sarung atau selimut dari orang yang telah meninggal di tanah rantau.
Kedua, setelah mengambil rau-kattu dari tanah rantau maka bersama-sama dengan keluarga dari
tanah rantau berangkat ke Sabu. Setiba di Sabu membuat undangan untuk semua keluarga demi
menyaksikan barang bawaannya (rau-kattu). Ketiga, setelah keluarga berkumpul semuanya
dilaksanakan ibadah penghiburan sebagai bentuk bahwa jenazah telah berada bersama dengan
keluarga yang ada di Sabu. Setelah selesai ibadah penghiburan maka dilanjutkan dengan acara
buka rau-kattu. Acara ini dimulai dengan memberi minum air gula pada pakaian yang dibawa
tersebut, karena ia telah meninggal maka ia tidak bisa menerima maka disambutlah dengan isak
tangis sebagai bentuk bahwa orang itu sudah meninggal. Keempat, barang-barang bawaan (rau-
kattu) dibagikan kepada keluarga dan sanak sauadara yang datang. Kelima, keesokan harinya
45
Hasil wawancara dengan Ibu Pdt Paoina Bara Pa 10 Juli 2016 46
Hasil wawancara dengan Ibu Pdt Paoina Bara Pa 6 Juli 2016
64
diadakan ibadah pengucapan syukur bersama dengan keluarga, sanak saudara dan kenalan yang
dipimpin oleh Pendeta. Setelah ibadah pengucapan syukur dilaksanakan acara makan dan minum
bersama dengan semua yang hadir. Khusus untuk masyarakat di Liae jamuan makan masih
dalam bentuk tradisional. Makanan disajikan di dalam anyaman piring yang terbuat dari daun
lontar (kerigi wore).47
Adapun tatacara pelaksanaan ritual pebale rau kattu do made berdasarkan versi Kristen yang
dilaksanakan di daerah Liae (desa Ledeke):
Gambar 1 : Gambar Rau-kattu yang dibawa oleh Keluarga Djami dari Kupang. Rau kattu yang
dibawa dalam bentuk kain yang dibawa dengan beberapa barang seperti korek api, sabun mandi,
cengkeh, pala dan sirih pinang.
47
Hasil wawancara dengan Ibu Pdt Paoina Bara Pa 10 Juli 2016
65
Gambar 2 : Keluarga dari Kupang dan Keluarga di Sabu berkumpul dalam rumah (Kelaga) untuk
membuka Rau-kattu yang telah dibawa dari Kupang. Dalam tradisi Sabu buka rau kattu
dikelilingi oleh perempuan karena sewaktu seseorang dilahirkan ia membutuhkan sesama
perempuan. Demikian pula ketika seseorang meninggal, kematian menjadi urusan perempuan.
Gambar 3 : Saudara perempuan memangku Rau-kattu (dalam bentuk kain) dan salah seorang
memberi minum air gula. Setelah air gula diberikan tidak diterima oleh orang yang telah
meninggal tersebut. Keluarga yang menyaksikan bahwa orang tersebut sudah meninggal dan
disambut oleh isak tangis.
Gambar 4 : Rau-kattu (barang-barang bawaan) tersebut dibuka dan disaksikan oleh keluarga baik
oleh keluarga yang berada di Sabu maupun keluarga yang datang dari Kupang.
66
Gambar 5 : Setelah rau kattu dibuka dan disaksikan oleh pihak keluarga maka selanjutnya rau
kattu (barang-barang bawaan) dibagikan kepada pihak keluarga.
Gambar 6 : Acara pada malam sewaktu buka rau kattu adalah ditutup dengan ibadah
penghiburan. Ibadah ini dihadiri oleh sanak saudara, kerabat, kenalan dan ibadah ini dipimpin
oleh pendeta.
67
Gambar 7 : Kegiatan di pagi hari dalam rangka persiapan acara syukur rau kattu adalah dengan
pembunuhan hewan untuk persiapan jamuan makan siang.
Gambar 8 : Persiapan acara syukur rau kattu adalah dengan mempersiapkan jamuan makan siang
dengan kegiatan ibu-ibu memasak.
Gambar 9 : Kegiatan ritual pebale rau kattu do made adalah dengan ibadah syukur rau-kattu
dipimpin oleh Pendeta.
68
Gambar 10 : Setelah selesai ibadah maka keluarga menyediakan jamuan makan siang. Dalam
tradisi adat di Liae, makanan masih disajikan dalam bentuk makanan secara adat yaitu makanan
ditaruh dalam anyaman daun lontar yang terdiri dari nasi dan daging. Sementara kuah dipisahkan
dan ditaruh dalam sebuah wadah yaitu wadah yang terbuat dari tempurung kelapa.
Gambar 11 : Setelah semua tamu dan keluarga selesai makan. Acara selanjutnya adalah sebelum
para tamu pamit untuk pulang ke rumah masing-masing maka keluarga akan membagikan
kepada setiap orang yang datang berupa nasi dan daging untuk dibawa pulang agar dapat
dimakan bersama dengan keluarga.
3.4 Narasi Tempat dan Identitas Kultural Orang Sabu Diaspora
Dalam pemahaman orang Sabu diaspora, tempat asal mereka adalah pulau Sabu. Tempat
asal menjadi tempat dimana seseorang dilahirkan. Bagi orang Sabu diaspora, ketika seseorang
dilahirkan di pulau Sabu maka ia akan dibuatkan ritus agar tidak melupakan pulau Sabu sebagai
tanah tuak dan gula. Ritus yang dilakukan ketika seseorang anak baru dilahirkan yaitu hapo ana.
Hapo ana adalah ritus menyambut kelahiran seorang bayi dalam keluarga. Selain itu, terdapat
beberapa ritus yaitu ritus pengguntingan rambut, pesta baptisan dan pemberian nama. Ritus
pengguntingan rambut dilaksankan setelah tiga hari dari kelahiran si bayi. Semua anggota
keluarga diundang hadir. Berbagai ternak dipotong (‘bada) seperti babi dan kambing, juga
69
(penjau) jagung dan beras harus dipersiapkan. Bidan yang menolong persalinan harus hadir
dalam pesta itu untuk menerima upahnya.48
Pesta ini diadakan siang hari. Setelah semua peserta
ambil bagian dalam acara makan, mulailah pengguntingan rambut bayi untuk pertama kali.
Pengguntingan itu terjadi dua kali. Nenek si bayi membawa keluar dari dalam rumah. Dia duduk
di atas tikar yang dekat dengan pintu masuk rumah. Salah satu orang yang memiliki rambut lebat
maju ke depan. Di tangannya ada pisau yang sangat tajam dan sebuah mangkuk berisi air (‘wo
daba). Dia membasahi kepala si bayi dengan air dalam mangkuk. Selanjutnya dia mencukur
semua rambut di kepala bayi tadi. Kali kedua, semua rambut dicukur, kecuali rambut yang
terletak dibagian depan kepala.
Ritus pesta baptisan (titu ‘daba) adalah ritus baptisan untuk seorang anak dalam
kebiasaan orang Sabu kafir beralngsung pada bulan ‘dabba, yakni sekitar bulan Mei. Si ibu
mengisi sebuah mangkuk besar (kedula) dengan air. Si anak kemudian dimasukkan dalam air itu.
Si anak dicelupkan ke dalam air tiga kali berturut-turut. Selanjutnya, si ibu mengunyah sirih-
pinang. Dengan air ludah yang sudah berwarna merah si ibu membuat tanda salib di dahi
anaknya, juga di kedua pipi kiri dan kanan.49
Ritus yang ketiga adalah ritus pemberian nama.
Segera setelah tali pusat dipotong, si anak menerima nama dari orang tuanya (pehuni ngara).
Pemberian nama yang dilakukan oleh orang Sabu dilakukan dengan metode perdukunan yang
terkenal di residen Timor yaitu nama si anak diminta dari para leluhur (ama appu).50
Selanjutnya anak-anak ini merantau dan bahkan menetap di tanah rantau. Oleh karena itu,
ketika mereka ada di negeri perantuan mereka tidak boleh lupa terhadap pulau Sabu. Hal itu
dapat dilihat nilai-nilai kehidupan yang tetap terjaga dan dianut oleh anak-anak yang berada
48
Nuban Timo, Sabu Punya Cerita, 176. 49
Nuban Timo, Sabu Punya Cerita, 178. 50
Nuban Timo, Sabu Punya Cerita, 179.
70
diperantauan. Nilai-nilai kehidupan tersebut seperti nilai cinta kasih, persaudaraan, solidaritas,
dll yang masih dipegang erat oleh mereka yang berada di tanah perantauan. Penggambaran orang
Sabu tentang pulau Sabu itu sendiri tergambar dari lirik lagu Elemoto yang menggambarkan
pulau Sabu sebagai sinar bintang indah dan terang. Lagu ini sebenarnya mau mengingatkan
bahwa anak-anak Sabu yang telah mengalami kesuksesan di tanah perantauan agar tidak bleh
lupa dengan kampung halaman berserta dengan adat-istiadatnya. Hal ini juga terlihat dalam
kehidupan keluarga dan anak-anak yang melaksanakan ritual pebale rau kattu do made. Anak-
anak dari keluarga yang melaksanakan ritual ini datang dan memberi dirinya sebagai sumber
daya untuk membangun kampung halamannya sesuai dengan talenta setelah melihat kampung
halamannya dari dekat.
Narasi tempat bagi orang Sabu diaspora yang telah meninggal adalah mereka ingin
meninggal dalam persekutuan keluarga, rumah dan kampung halamannya. Setiap orang Sabu
yang telah merantau ke luar Sabu pasti memiliki kerinduan untuk pulang dan berkumpul bersama
dengan keluarganya dalam sebuah rumah. Dalam kehidupan ini, kita memiliki kerinduan untuk
kembali ke rumah masa kecil di kampung halaman, merangkai setiap kenangan masa kecil di
kampung halaman, kadang rindu untuk berziarah lagi tertanam dalam jiwa. Dalam pengalaman
ada waktu-waktu tertentu dalam diri seseorang untuk kembali ke tempat-tempat masa kecilnya.51
Kerinduan untuk pulang dalam keadaan hidup untuk beristirahat di tengah keluarga dan
kampung halaman, tetapi siapa yang tahu akan terjadi sesuatu di masa yang akan datang? Jika
tak kembali dalam keadaan masih hidup atau dalam keadaan meninggal secara fisik di Sabu,
rindunya tetap membara untuk kembali ke rumah. Rindu untuk berada di tengah keluarga di hari
tua dan akhir hidup dinyatakan melalui ritual pebale rau kattu do made.
51
Hasil wawancara dengan Ibu Pdt. Paoina Bara Pa 10 Juli 2016
71
Identitas kultural orang Sabu diaspora yang hidup adalah ketika mereka berada jauh dari
pulau Sabu maka mereka akan membentuk komunitas yang rapat yaitu komunitas “kampung
Sabu”. Tujuan pembentukkan komunitas kampung Sabu ini adalah untuk menjaga kesatuan
identitas. Kelompok “kampung Sabu” ini kemudian digambarkan sebagai kelompok minoritas.
Sebagai kelompok minoritas, mereka hidup dengan cara mereka sendiri, memegang teguh adat-
istiadat mereka dan menjaga nilai-nilai kehidupan yang dijunjung tinggi dalam kebersamaan
mereka. Dalam penggambaran sebagai masyarakat minoritas maka mereka juga hidup dalam
suatu kehidupan solidaritas yang tinggi antara satu dengan yang lain.
Identitas kultural orang Sabu disapora yang telah meninggal adalah ketika keluarga
melaksanakan ritual pebale rau kattu do made. Alasan keluarga melaksanakan ritual ini adalah
untuk menegaskan sekalipun seseorang telah meninggal di rantau tetapi identitas sebagai orang
Sabu tidak akan pernah hilang. Identitas orang Sabu itu tertanam dalam diri orang Sabu diaspora
sejak ia dilahirkan sampai ia meninggal.
Kesimpulan
Ritual pebale rau kattu do made adalah suatu ritual yang masih terus dijalankan oleh
masyarakat Sabu hingga saat ini. Dalam pelaksanaan yang dilaksanakan oleh masyarakat Sabu,
ada 3 (tiga) versi yang dijalankan oleh masyarakat. Versi Kristen adalah satu versi yang masih
terus dilaksanakan oleh orang yang beragama Kristen Protestan yang tetap menghormati budaya
yang ada di Sabu. Pelaksanaan ritual ini berdasarkan versi Kristen ini diterima oleh gereja bukan
karena untuk melaksankan praktek agama suku, namun nilai-nilai yang terkandung dalam ritual
ini sangat kaya dan bermanfaat untuk hidup dalam sebuah kekerabatan dan persaudaraan.
72
Pada awalnya, ritual pebale rau kattu do made ini hanya dipahami sebagai sebuah
identitas dari seorang Sabu diaspora. Ketika seorang Sabu merantau ke luar pulau Sabu, ia ingin
pulang dan berkumpul bersama dengan keluarga di tanah leluhur atau tempat asal. Namun,
dalam perkembangannya ritual ini menjadikan pulau Sabu memiliki makna yang sangat
mendalam yaitu sebagai rumah, rahim ibu dan tempat dimana banyak deposito memori
kehidupan.
Top Related